Anda di halaman 1dari 10

Perempuan dan Demokrasi Lokal di Minangkabau

Perempuan dan Demokrasi Lokal di


Minangkabau

ABSTRAK

Sejak lama Minangkabau dikenal sebagai suku bangsa (etnik) yang


memiliki nilai-nilai budaya yang demokratis. Namun kenyataan di
lapangan tidak selalu demikian. Sekalipun sudah terdapat beberapa
kemajuan dalam pelaksanaan demokrasi, baik pada tataran
prosedur maupun nilai, namun juga masih banyak unsur budaya dan
PENULIS praktik sosial politik di Minangkabau sampai saat ini belum sejalan
dengan nilai-nilai demokrasi. Salah satunya terkait soal kualitas
1. Israr Iskandar keterwakilan (representasi) perempuan dalam kehidupan politik di
daerah.

KATA KUNCI
AFILIASI DAN EMAIL
Minangkabau, demokratis, budaya, nilai, perempuan
1
Universitas Andalas,
israr_iskan2005@gmail.com
INFORMASI DOKUMEN

Naskah diterima : 18 Februari 2023


Revisi : 21 April 2023
Disetujui : 24 April 2023

DOI : http://jcp.fib.unand.ac.id/index.php/jcepe/article/view/14

Jurnal Ceteris Paribus: Jurnal Sejarah dan Humaniora


E-ISSN: 2964-0296
Vol. 2, No. 1, Maret 2023, hlm. 46-55
Tersedia online: http://jcp.fib.unand.ac.id/index.php/jcepe
Pengutipan: Iskandar, I. (2023). Perempuan Dan Demokrasi Lokal Di Minangkabau. Jurnal Ceteris
Paribus, 2(1). https://doi.org/10.25077/jcp.v2i1.14

THIS WORK IS LICENSED


UNDER A CREATIVE COMMONS ATTRIBUTION-NONCOMMERCIAL-SHAREALIKE 4.0
INTERNATIONAL LICENSE

46 Vol. 2. No. 1, Maret 2023


Israr Iskandar

metode sejarah, historiografrafi.


Pendahuluan
Memang ada kesan, perempuan di Hasil dan Pembahasan
tanah Minangkabau (sesuai dengan Kesetaraan gender dalam politik
konteks zamannya) sudah pernah demokrasi sangat penting. Prinsipnya,
memainkan peranan signifikan, seperti setiap bagian dari masyarakat (tak
tercermin dari kaliber ketokohan peduli latar belakang jenis kelamin,
perempuan lokal dalam sejarah bangsa suku, ras, agama, dan golongan) mesti
ini. Beberapa perempuan pelopor diutamakan dalam aksesnya terhadap
kemajuan di tanah air sebagian justru jabatan publik, entah melalui pemilihan
berasal dari Minangkabau, seperti atau bukan. Argumentasi lain, banyak
Rohana Koeddoes, Rasuna Said, dan masalah terkait perempuan tidak pernah
Rahmah El Yunusyiah, sekalipun (dalam serius dibicarakan para pria atau diberi
batas tertentu) proporsi peran prioritas mamadai dalam persaingan
historisnya itu masih sangat kecil memperebutkan jabatan dan pendanaan
dibandingkan kuantitas perempuan publik.
lokal yang masih “termarginalkan” Kenyataannya, dalam masyarakat
dalam pelbagai kehidupan masa itu. yang dikelilingi budaya patriarki
Dari sudut adat Minang sendiri, ada (dominasi laki-laki dan kelelakian dalam
kesan paradoksal pada peranan seluruh wacana sosial) membuat posisi
perempuan lokal. Sekalipun menganut dan daya tawar perempuan
adat matrilineal, yakni menarik garis dilematis. Penyebabnya, warisan masa
keturunan dari garis ibu dan perempuan lalu, seperti ketidakadilan dalam
diaku memiliki kekuasaan atas harta pembagian kerja dan waktu kerja di
pusaka dan anak, tetapi perempuan rumah di mana para wanita selalu
lokal pada dasarnya tetap tersub- memegang tanggung jawab utama untuk
ordinasi oleh budaya patriarki yang memelihara anak-anak dan mengurusi
hidup dalam masyarakat. Ada kesan, rumah tangga yang menjadi penghalang
setidak-tidaknya dalam persepsi awam, bagi wanita dalam mengejar jabatan-
bahwa tidak ada korelasi positif antara jabatan publik.
sistem matrilineal yang dianut mayoritas Terkait keterlibatan dan
warga Sumatra Barat dan pengalaman keterwakilan perempuan dalam politik,
atau kiprah “menakjubkan” sejumlah dalam praktik politik di negara-negara
tokoh perempuan Minang di pentas demokrasi maju sebenarnya tak banyak
sejarah perempuan nasional dengan berbeda dengan negara demokrasi
kesadaran gender (dalam arti baru. Bedanya, di negara maju, seperti
emansipatif) pada masyarakat lokal Amerika Serikat, posisi dan daya tawar
hingga saat ini. politik kelompok politik dan pejuang
hak-hak perempuan relatif lebih kuat.
Metode Hasilnya kemudian tercermin pada
Penelitian ini bertujuan produk kebijakan publik yang sensitif
menjelaskan relasi antara perempuan gender. Konstitusi negara pun kemudian
sebagai pusat kehidupan masyarakat tegas menggariskan kesederajatan hak-
Minangkabau dengan implementasi hak politik perempuan dengan laki-
demokrasi di Sumatera Barat. Data-data laki.
didapatkan penelusuran sumber- Prestasi perempuan di lapangan
sumber, kritik, dan interpretasi. Artikel politik bahkan menorehkan catatan
ini merupakan langkah terakhir dari
JURNAL CETERIS PARIBUS: JURNAL SEJARAH DAN HUMANIORA 47
Perempuan dan Demokrasi Lokal di Minangkabau

sejarah di beberapa negara demokrasi, perempuan dalam jumlah signifikan


sekalipun belum bisa dijadikan ukuran diperkirakan sudah merambah ke sektor
standar/ideal bagi keterwakilan dan BUMN, swasta, kampus, dan bahkan
kualitas partisipasi perempuan dalam organisasi olahraga. Ini ikut menguatkan
politik, yang tujuannya untuk membela persepsi, kaum perempuan
kepentingan kaum perempuan. Sudah sesungguhnya bisa tampil setara dengan
banyak tokoh perempuan tampil laki-laki, dalam bidang apapun.
sebagai pemimpin pemerintahan Kenyataan serupa juga terdapat di
tertinggi, sebagai presiden atau Sumbar, khususnya di kampus, partai
perdana menteri, ketua partai politik, politik, birokrasi, masyarakat sipil, dan
anggota parlemen, hakim agung, dunia usaha, walaupun tentu masih
gubernur hingga bupati/walikota. parsial sekali.
Di Indonesia juga begitu.
Keterwakilan perempuan dalam politik Perempuan dalam Khazanah
telah menjadi isu krusial pula sejak era Adat dan Budaya Lokal
reformasi. Pelbagai undang-undang Ketika orang bicara tentang
politik yang dilahirkan mulai pula perempuan Minang, barangkali yang
mengakomodasi tuntutan keterwakilan terbayang adalah bahwa adat dan
perempuan, sebagai manifestasi budaya Minang sangat menghormati
gagasan kesetaraan politik tadi. posisi perempuan. Ini tentu sejalan
Terakhir hasilnya adalah UU Nomor 10 dengan persepsi bahwa masyarakat dan
Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota budaya lokal mengandung nilai-nilai
DPR, DPD dan DPRD (pemilu legislatif) demokratis. Ungkapan duduak samo
serta UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang randah tagak samo tinggi (duduk sama
Parpol yang telah memandatkan parpol rendah, berdiri sama tinggi), misalnya,
memenuhi kuota 30 persen bagi mencerminkan egaliterianisme budaya
perempuan dalam politik, terutama di masyarakat daerah, tentu termasuk bagi
lembaga perwakilan. kalangan perempuan.
Dalam batas tertentu, demokrasi di Dalam pengetahuan umum, adat
tanah air pernah dianggap “mekar” saat matrilineal juga menempatkan
tampilnya perempuan di posisi politik perempuan dalam posisi sentral dalam
tertinggi. Sekalipun dianggap masyarakat adat. Selain keturunan dan
“mewariskan” kharisma ayahnya, pembentukan kelompok keturunan
Soekarno (1901-1970), tapi tampilnya diatur menurut garis ibu, dalam sistem
Megawati Soekarnoputri sebagai ini, perempuan juga dianggap berkuasa
Presiden Indonesia ke-5 (2000-2004), atas harta pusaka dalam keluarga dan
dalam batas tertentu, menandai suatu kaum. Posisi laki-laki atas harta pusaka
era baru politik perempuan di tanah air, sebagai penggarap belaka. Inilah ihwal
karena tidak ada presedennya dalam yang memunculkan pandangan bahwa
sejarah Republik. Belum lagi, tampilnya perempuan Minang justru memiliki
sejumlah perempuan sebagai ketua kekuasaan, sekalipun terbatas
partai politik dan kepala daerah, dalam perkara harta pusaka saja.
sekalipun masih tebatas sekali Di Minangkabau, kelompok
jumlahnya. perempuan kerap dipanggil Bundo
Pada kegiatan-kegiatan profesional Kanduang. Bundo artinya ibu sedangkan
lainnya, keterlibatan perempuan juga kanduang artinya sejati. Dengan
mengalami kemajuan. Emansipasi demikian, bundo kanduang adalah ibu

48 Vol. 2. No. 1, Maret 2023


Israr Iskandar

sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan adalah Rumah Gadang, yang merupakan
dan kepemimpinan. Menurut ahli adat, rumah keluarga besar dari garis ibu tadi.
Idrus Hakimi, bundo kanduang adalah Di wilayah ini, perempuan ditahbiskan
golongan wanita yang menjadi pertama-tama sebagai
perantara keturunan yang mesti penguasa/pemilik harta pusaka
memelihara diri dengan aturan adat keluarga. Jika dielaborasi, ungkapan di
besandi syarak (agama Islam). Ia harus atas sekaligus mencerminkan lapangan
sosok yang mampu membedakan buruk pengabdian, sanjungan sekaligus
dan baik, halal dan haram, makanan, harapan terhadap perempuan.
serta perbuatan lahiriah lainnya. Hal itu Dalam ketentuan adat, seorang
karena sebagai perantara keturunan, bundo kanduang haruslah memiliki sifat-
bundo kanduang memiliki tugas pokok sifat kepemimpinan serta ibu sebagai
dalam membentuk dan menentukan perantara keurunan dan menentukan
watak anak yang merupakan watak manusia (anak-anak) yang
keturunannya. Dalam konteks umum, dilahirkannya. Tuntutan karakter
bundo kanduang kemudian menjadi perempuan Minang nampaknya sama
panggilan kehormatan kepada dengan tuntutan karakter para
kepemimpinan perempuan pemimpin adat (penghulu) pada
Minangkabau, perlambang ibu yang umumnya, di antaranya besifat benar,
bijaksana dalam kehidupan adat di bersifat jujur, dipercaya lahir dan batin,
Rumah Gadang. cerdik dan punyan ilmu pengetahuan,
Secara prinsipil peran bundo panda berbicara dan mempunyai sifat
kanduang di Minangkabau termaktub malu. Nampak di sini, bahwa karakter
dalam suatu ungkapan di tambo, yang hendak dilekatkan pada
merupakan sumber klasik sejarah perempuan dan penghulu sudah banyak
Minangkabau. Bunyinya: limpapeh dipengaruhi nilai-nilai Islam.
rumah gadang, umbun puruak Jika dielaborasi, sifat-sifat
pagangan kunci, amba puro aluang kepemimpinan perempuan yang
bunian, pusek jalo kumpulan tali, ditentukan dalam adat Minang tak
Sumarak di dalam kampuang, hiasan berbeda dengan sifat-sifat
dalam nagari, nan gadang basa batua, kepemimpinan pada umumnya. Sekilas
kok iduik tampek banasa, kok mati ungkapan “ibu” menunjukkan suatu
tampek baniaik, ka unduang-unduang wujud emansipasi ketentuan adat
ka madinah, ka payuang panji ka terhadap kaum perempuan. Sifat cerdik,
sarugo”. (Limpapeh rumah besar, misalnya ternyata tidak hanya
umbun puruk pegangan kunci, hambar menyangkut kemampan menggunakan
pura alung bunian, pusat jala kumpulan akal sehat (rasio), membedakan baik
tali, semarak di dalam kampung hiasan dan buruk, manfaat dan mudharat, tetapi
dalam nagari, yang besar besar bertuah, juga keharusan memiliki ilmu
jika hidup tempat binasa, jika mati pengatahuan, supaya perempuan bisa
tempat berniat, ke undung-undung ke pula menjalankan perannya sebagai
Madinah, ke payung panji ke surga). limpapeh di keluarga dan kaumnya.
Selain merefleksikan ikhtiar Pandai berbicara, juga mencerminkan
pemuliaan terhadap martabat tuntutan keterampilan berargumentasi
perempuan, ungkapan di atas juga untuk melindungi keluarga dan
hendak mengambarkan bahwa domain kaumnya.
kekuasaan perempuan Minang sejatinya
JURNAL CETERIS PARIBUS: JURNAL SEJARAH DAN HUMANIORA 49
Perempuan dan Demokrasi Lokal di Minangkabau

Budayawan AA Navis juga Ini memang disebabkan bentuk


mengatakan, sistem matrilineal menjadi kepemimpinan di Minang serta adanya
lahan subur berkembangnya kultur pengaruh ide-ide “kemajuan” dari luar.
demokratis justru dalam masyarakat Perempuan tidak pernah jadi penghulu,
tradisional Minang. Sebab matrilineal sekalipun tidak ada ketentuan
adalah sistem dari budaya egaliter perempuan dilarang menjadi penghulu.
(egalite) yang memungkinan Penghulu adalah pemimpin tradisional
berlangsungnya kesetaraan dalam arti penanggung jawab anak
gender. Secara harfiah, egaliter itu kemenakan dalam kaumnya, seperti
sendiri berarti persamaan, kesamaan, urusan ekonomi, kesehatan, pendidikan,
kebersamaan antara seasama perumahan, keamanan, dan agama.
manusia. Menurutnya, matrilineal Dalam rapat-rapat soal penetapan
merupakan sistem untuk memantapkan urusan kemasyarakatan, perempuan
kedudukan perempuan agar sederajat juga tidak diajak berunding. Dalam
dengan laki-laki secara hukum, sosial rapat-rapat adat, perwakilan perempuan
dan kebudayaan. Untuk itulah di juga tidak berperan. Kenyataan itu telah
Minang, perempuan diberi kekuatan berlangsung sejak lama.
pengimbang dengan pemilikan atas Pada masa munculnya ide-ide
harta dan anak. Ia kemudian pembaruan agama di Minangkabau
mengibaratkan rumah tangga/keluarga akhir abad 19 dan awal abad 20,
di Minangkabau sebagai sebuah perempuan Minang yang posisinya
perseroan yang sero (saham)-nya disanjung dalam tambo dan sistem
dimiliki perempuan, sedangkan ayah matrialineal tadi, mendapatkan
memegang jabatan sebagai direktur. tantangan yang berat. Salah satu bentuk
Peluang laki-laki untuk memiliki harta pengaruh gerakan pembaruan itu ialah
atas dasar usaha sendiri, misalnya ketika Haji Abdul Karim Amrullah (ayah
berdagang. Hamka), seorang pembaru Islam di
Sayangnya itu lebih sebagai Minangkabau, melarang seorang
simbolisasi belaka. Kecuali masalah perempuan tampil berpidato di depan
penguasaan harta pusaka, posisi dan umum saat Muktamar Muhammadiyah
kekuasaan perempuan lokal tahun 1930.
sesungguhnya masih marginal. Pada aras negara, posisi tawar
Perempuan disanjung dalam sistem adat perempuan Minang juga
dan praktek “ideal” yang pernah terjadi “beramasalah”. Pada masa Orde Baru,
di masa lampau, tetapi dalam perempuan Minang termarginalisasikan
prakteknya pada beberapa dekade lewat pola-pola kekuasaan rezim.
terakhir justru tidak banyak lagi Mereka diinstitusionalisasi lewat
mengangkat martabat perempuan. organisasi Bundo Kanduang, sekalipun
Dalam kehidupan sosial dan budaya para aktornya bertujuan baik bagi upaya
sendiri, laki-laki tetap dominan. Dalam pemberdayaan perempuan.
sidang-sidang adat, umpamanya dalam Masalahnya, pelembagaan Bundo
KAN (Kerapatan Adat Nagari), Kanduang bukan sekedar untuk maksud-
perempuan malah tidak diajak maksud kultural, tetapi juga bertujuan
berunding, karena KAN adalah politis, yakni menyokong legitimasi
perwakilan kepala suku/kaum yang rezim berkuasa dan berafiliasi ke
berjenis kelamin laki-laki. Golkar. Bundo Kanduang akhirnya
seolah representasi keseluruhan

50 Vol. 2. No. 1, Maret 2023


Israr Iskandar

perempuan Minang, sekalipun proses ternyata belum paralel dengan


pemilihan pengurusnya tidak begitu perbaikan kualitas partisipasi politik
dikenal dan tidak banyak diketahui perempuan.
publik luas. Dalam batas tertentu, rendahnya
Ketika Bundo Kanduang mengalami partisipasi politik perempuan telah
proses “penegaraan”, sejatinya peran menjadi masalah klasik dalam
Bundo Kanduang sudah mengalami masyarakat politik Indonesia, bahkan
pergeseran. Secara politik, ada upaya beberapa negara lainnya. Lihatlah dari
homogenisasi aspirasi perempuan sisi tingkat keterwakilan perempuan di
Minang dalam politik. Masalahnya, parlemen, baik pusat maupun daerah.
bukan hanya soal penafian kreatifitas, Padahal, parlemen adalah sarana
tetapi juga pengabsahan atas sistem artikulasi dan agregasi kepentingan
yang otoriter dan tidak bertanggung rakyat di mana lebih separoh jumlah
jawab. Secara tidak langsung, Bundo pemilihnya berjenis kelamin
Kanduang ikut memberikan perempuan.
“landasan” atas bentuk-bentuk Komposisi anggota DPR hasil
penyimpangan kekuasaan yang lazim pemilu 2004 menunjukkan, dari 550
terjadi pada masa Orde Baru. anggota DPR, hanya 61 orang
Pada masa reformasi, sisa-sisa sub- perempuan atau 11,9
ordinasi negara atas Bundo Kanduang persen. Rinciannya, Partai Golkar 19
belum hilang. Politik “atas nama orang, PDI Perjuangan 12 orang, PKB 7
perempuan” pun masih dimainkan, orang, Parta Demokrat dan PAN masing-
untuk suatu pembelaan terhadap sesuatu masing 6 orang, dan lainnya di bawah 3
yang belum tentu mewakili kepentingan orang. Pada tingkat dunia, partisipasi
masyarakat, termasuk perempuan. politik perempuan di parlemen juga
Paling tidak, itulah yang terjadi ketika masih minimal. Angkanya masih sekitar
organisasi Bundo Kanduang ikut 13, 7 persen, artinya tidak terlalu jauh
menandatangani Maklumat Masyarakat berbeda dengan Indonesia yang 11,9
Sumatera Barat tahun 2001 yang persen.
menuntut spin-off (pemisahan) PT Semen Kebijakan otonomi daerah,
Padang atas PT Gresik Tbk (199-2003). termasuk di Sumbar, juga belum banyak
membantu. Di pemda-pemda, kaum
Demokrasi dan Posisi Perempuan perempuan malah masih tetap disub-
Minang Kontemporer ordinasi, lewat dalam organisasi PKK
Ketika demokrasi modern dan Dharma Wanita. Pada akhirnya,
diperkenalkan, ada harapan perbaikan daya tawar perempuan untuk
atas peran dan kiprah perempuan lokal, memperjuangkan kaumnya dan
sehingga mereka tidak hanya terpaku kebijakan yang sensitif gender masih
pada isu-isu dan urusan domestik, minimal sekali.
melainkan juga sosial dan politik. Rendahnya partisipasi perempuan
Faktanya, kesadaran gender pada dalam politik dan kebijakan publik juga
aras politik tetap belum membawa terlihat dalam pilkada. Dalam pemilihan
perubahan signifikan. Ketika demokrasi gubernur lewat DPRD 2000, pernah
makin bersifat langsung sejak 2004, muncul sekali, tapi dia “gugur” pada
misalnya, keterwakilan perempuan babak pendahuluan. Pada pilkada
dalam politik juga masih “jauh” dari langsung 2005, dari lima pasang calon
harapan. Perbaikan sistem politik
JURNAL CETERIS PARIBUS: JURNAL SEJARAH DAN HUMANIORA 51
Perempuan dan Demokrasi Lokal di Minangkabau

gubernur-wakil gubernur, tak satu pun berpihak kepada perempuan, termasuk


dari kalangan perempuan. di Sumbar. Kita bisa melihat betapa
Dalam pencalonan anggota rendahnya partisipasi politik
legislatif di era reformasi, beberapa perempuan. Perempuan hanya unggul
tokoh perempuan juga muncul. Dulu dari segi jumlah suara pada hari
sewaktu masih dalam bentuk Utusan pencoblosan, tetapi “partisipasi aktif”
Daerah MPR-RI, nama perempuan juga dalam politik kekuasaan dan kebijakan
tidak muncul, namun sewaktu dalam publik, seperti menjadi anggota
bentuk DPD juga tidak ada perempuan. legislatif, masih jauh dari harapan.
Barulah dalam daftar calon DPD pada Jika pasa masa Orde Baru, yang
pemilu April 2009, tampil dua calon disebut-sebut sebagai zaman otoriter,
perempuan dan satu di antaranya jumlah perempuan di parlemen daerah
kemudian terpilih di nomor urut dua (DPRD Sumbar) cukup “signifikan”,
dengan suara cukup signifikan. maka di awal era reformasi, jumlah
Anggota DPRD Sumbar dari perempuan di dewan justru menurun
kalangan perempuan juga masih persentasenya. Ini bisa jadi karena
minimal. Bahkan, selama 10 tahun partai-partai di masa reformasi masih
terakhir, fenomena kekurangterwakilan kuat ditentukan oleh oligarki, khususnya
perempuan di parlemen lebih getir dari kalangan politisi laki-laki. Barulah
dibandingkan masa Orde Baru. Pada pada pemilu 2009, wakil perempuan di
masa Soeharto jumlah perempuan di DPRD meningkat lagi menjadi 7 orang,
DPRD Sumbar pernah mencapai 6 orang suatu rekor tertinggi dalam sejarah
untuk satu periode. (Lihat tabel di parlemen provinsi Sumbar. Namun
bawah) proporsinya tentu masih jauh di bawah
Di era reformasi, salah satu tuntutan limit 30 persen. Ke depan kiprah mereka
utamanya adalah kesetaraan politik bagi dalam proses pembuatan kebijakan
warga negara. Pada masa ini pula, isu yang sensitif gender pun masih harus
kesetaraan gender mengemuka, dibuktikan, karena kuantitas tidak selalu
termasuk di bidang politik. Namun paralel dengan kualitas.
kenyataannya, hal itu tetap belum

Anggota DPRD Sumbar sepanjang sejarah:


Periode Laki- Perempuan Jumlah
laki
1950-an 29 0 29
1971- 38 2 40
1977
1977- 36 4 40
1982
1982- 35 5 40
1987
1987- 39 6 45
1992
1992- 41 4 45
1997
1997- 41 4 45
1999
52 Vol. 2. No. 1, Maret 2023
Israr Iskandar

1999- 51 4 55
2004
2004- 51 4 55
2009
2009- 48 7 55
2014

Sumber: Diolah dari Beragam Sumber

Realitas memprihatinkan juga saat sama di level nasional, memang


terlihat dari komposisi anggota DPR-RI hanya 62 perempuan saja yang terpilih
asal Sumbar. Nampaknya hanya dari 550 anggota DPR (11,3 persen).
terdapat sedikit kemajuan dalam Kalau di level nasional, angka
keterlibatan kaum perempuan asal keterwakilan perempuan sudah 11,3
Sumbar dalam perpolitikan nasional, persen, mengapa tak ada satupun dari
ketika salah satu caleg terpilih dari Sumbar yang daerahnya dikenal sangat
Partai Demokrat pada pemilu 2009 mengagungkan posisi perempuan
adalah perempuan. Itu artinya, sekitar 4 sebagaimana termaktub dalam pepatah-
juta rakyat Sumbar pada awal reformasi petitih adatnya?
lebih banyak diwakili laki-laki. Pada

Komposisi Anggota DPR-RI asal Sumbar di Era Reformasi:


Periode Laki- Perempuan Jumlah
laki
1999- 14 0 14
2004
2004- 14 0 14
2009
2009- 13 1 14
2014

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Hal serupa juga terlihat dari yang tercatat dalam daftar calon anggota
komposisi keanggotaan Dewan DPD periode 2009-2014 hanya dua orang
Perwakilan Daerah (DPD). Sekalipun yang berjenis kelamin perempuan,
sudah di era demokratisasi, tak seorang tetapi satu di anytaranya terpilih.
pun bundo kanduang menjadi senator Sebelumnya, ketika masih bernama
mewakili daerah Sumbar di DPD periode Utusan Daerah MPR, dari lima anggota
2004-2009. Barulah pada 2009, sejarah UD asal Sumbar, tak satu pun dari
baru terukir. Walaupun dari 42 nama kalangan perempuan.

Komposisi Utusan Daerah/DPD RI asal Sumbar di Era Reformasi:

JURNAL CETERIS PARIBUS: JURNAL SEJARAH DAN HUMANIORA 53


Perempuan dan Demokrasi Lokal di Minangkabau

Periode Laki- Perempuan Jumlah


laki
1999- 4 0 4
2004
2004- 4 0 4
2009
2009- 3 1 4
2014

Sumber: Diolah dari beragam sumber

Kebijakan kembali ke nagari yang


dicanangkan Pemerintah Daerah Kesimpulan
Sumbar sejak tahun 2000, menyusul Walaupun rendahnya partisipasi
dibelakukannya Peraturan Daerah perempuan dalam politik sudah
Nomor 9 tahun 2000, juga belum banyak merupakan masalah klasik di Indonesia
berpihak kepada upaya perbaikan (bahkan banyak negara lainnya), namun
kualitas partisipasi politik perempuan. untuk konteks Sumbar terkesan menjadi
Padahal kembali ke nagari sejak awal “aneh”, karena masyarakat daerah ini
“mengklaim” memiliki kultur dan nilai-
diikhtiarkan untuk meningkatkan
nilai budaya yang sejalan dengan nilai-
kualitas demokrasi dan partisipasi
nilai demokrasi. Oleh karena itu, masih
rakyat dalam kehidupan plitik, rendahnya keterwakilan perempuan di
khususnya di level terbawah, serta legislatif maupun eksekutif dapat dilihat
kesejahteraan masyarakat pada secara sosiologis dan ekonomis.
umumnya. Dari dimensi sosial,
Pada level politik apapun, ketidakterwakilan perempuan
perempuan nampaknya masih dominan mengisyaratkan bahwa di dalam
sebagai “lumbung suara” belaka. Dalam masyarakat terdapat ketidaksetaraan
pemilihan wali nagari secara langsung, yang berasal dari perbedaan yang
jelas minimal sekali muncul tokoh-tokoh secara sosial didasarkan pada kelompok
perempuan. Tidak ada larangan khusus yang dominan. Misalnya kaum lelaki
dalam adat bagi munculnya calon kelompok mayoritas di dalam parlemen,
sedangkan perempuan kelompok
perempuan sebagai pemimpin, namun
minoritas. Pada akhirnya akan
tetap saja tidak banyak tampil tokoh- berlangsung siklus bahwa kelompok
tokoh perempuan dalam kontestasi perempuan menjadi subordinasi dari
memerebutkan jabatan publik di nagari. kelompok mayoritas. Dari dimensi
Memang ada wali nagari perempuan di ekonomi, ketidakterwakilan perempuan
Kabupaten Lima Puluh Kota, tetapi disebabkan adanya perbedaan kelas
dibandingkan sekitar 400 nagari yang sosial-ekonomi dalam masyarakat, di
ada di Sumbar, fakta itu tidak signifikan mana perempuan dianggap lebih
maknanya. inferior daripada lelaki.

Daftar Pustaka
AA Navis. Alam Terkembang jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta:
Grafiti Pers, 1984

54 Vol. 2. No. 1, Maret 2023


Israr Iskandar

Asnan, Gusti. Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi. Jakarta: Citra
Pustaka, 2006.
Bahar, Saafroedin et al. Masih Ada Harapan: Posisi sebuah Etnik Minoritas dlam Hidup
Berbagsa dan Bernegara. Jakarta: Yayasan 10 Agustus, 2004.
Benda Beckman, Franz von. “Identitas-identitas Ambivalen: Desentralisasi dan
Komunitas-komunitas Politik Minangkabau” dalam Henk S Nordholt , et al (eds),
Politik Lokl di Indonesia. Jakarta: Obor dan KITLV-Jakarta 2007.
Bentham, David & Kevin Boyle. Demokrasi: 80 Tanya Jawab. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Dt Maradjo, Sjanir. Sirih Pinang Adat Minangkabau. Padang: Sentra Budaya, 2006.
Hakimi Dt Rajo Panghulu, Idrus. Pegangan Penghulu, Bundo Kanduang, dan Pidato Alua
Pasambahan Adat di Minangkabau, Bandung: Rosda Karya, 1978
Kato, Tsuyoshi. Adat Minangkabau an Merantau dalam Perspektf Sejarah, Jakarta: Balai
Pustaka, 2007.
Rajo Panghulu, Sayuti Dt. Tau jo Nan Ampek : Pengetahuan yang Empat Menurut Ajaran
adat damn budaya Minangkabau). Padang: Megasari, 2005.
Suryadi, “ Perempuan Minang: Matriarchs yang “Berlayar di Arus Deras”, Padang
Ekspres, 26 Nopember 2008.
Syahmunir, “ Kedudukan Wanita dalam Kepemilikan Hak Ulayat di Minangkabau”,
dalam Pemerintahan Nagari dan Tanah Ulayat: 70 tahun Prof Dr Syahmunir SH,
Padang: Andalas University Press, 2006.

JURNAL CETERIS PARIBUS: JURNAL SEJARAH DAN HUMANIORA 55

Anda mungkin juga menyukai