model separated yang dikembanghkan dalam kurikulum-nya.Disamping itu ada kaitannya dengan tradisi
pendidikan IPS yang dikembangkan pada FPIPS IKIP sebagai lembaga yang mempersiapkan gurunya.
Diduga penggunaan istilah ini kurang dianalisis secara akademik, sehingga hanya merupakan nama yang
digunakan untuk “mengimbangi” istilah IPA dalam kelompok mata pelajaran eksakta.
Dalam kurikulum SMA 1968, dibakukan sejumlah mata pelajaran ilmu-ilmu sosial yang
diorganisir secara terpisah-pisah dengan nama kewarganegaraan negara, ilmu bumi
indonesia,sejarah,ekonomi koperasi, antropologiI budaya dan tata buku (Depdikbud;1969).Dalam
kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), pelajaran ini telah diorganisir dengan
menggunakanpendekatan “konsep” dan ‘generalisasi”. Dilihat dari organisasi kurikulum, sturktur
semacam ini lebih tampaak sebagai wujud dari konsep broadfield curiculu sepeti yang dikembangkan
Hilda Taba (1967) dengan sebutan studi Sosisal. Sedangkan Pendidikan IPS yang didalamnya terdiri
daribeberapa mata pelajaran ilmu sosial seperti dikembangkan dalam kurikulum SMA 1968.
Istilah studi sosial muncul sebagai sebutan konseptual bagi pendidikan ilmu-ilmu sosial,
merupakan terjemahaan dari istilah Social Studies yang telah lama digunakan di Amerika untuk mata
pelajaran ini dalam kurikulum di sekolah . Di indonesia diperkenalkan istilah ini pada tahun 1971 pada
Seminar Nasional Civics Education di Tawangmangu Solo (Panitia seminar Civics Education), didasari
hasil survey pelajaran ilmu-ilmu sosial pada tahun 1969 , kemudian disusul oleh muncul naskah yang
berjudul Tantangan dalam Pengjaran Ilmu Sosial ditulis oleh Hartshorn dan Nu’man Somantri (1970).
Sebagai respon dari naskah ini terbit buku I Kearah Memperkuat Dasar-Dasar Pengjaran
Pngjran Studi Sosial di Indonesia Menyongsong Sistem Komprehensif ditulis Achmad Sanusi (1971).Buku
ini mengungkapkan pula beberapa tantangan sekaligus dasar konseptual bagi alternatif
pemecahananya.Penggunaan istilah “Studi Ssosial”, kendatipun tidak dijadikan nama bagi pendidikan IPS,
namun terus berkembang sebagai sebutan konseptual dalam pembaharuan pendidikan IPS yang secara
operasiaonal lebih berperan sebagai “pendekatan dalam pengembangan kurikulum” pendidikan
IPS.Implikasinya tidaklah heran jika studi sosial merupakan terjemahan dari Sosial Studies dijadikan
acuan teoritik dalam pengembangan pendidikan IPS di indonesia. Begitu pula dalam penelitian ini pada
tahap awal kajiannya masih menggunakan sumber teoritik tersebut. Namun dalam menggunakan
selanjutnya diadaptasi dengan menggunakan pendekatan sosial budaya bagi kepentingan pendidikan IPS
di Indonesia dengan aplikasinya lebih diorientasikan pada perspektif ‘ keindonesiaan”.
Beberapa istilah asing yang digunakan bagi pendidkan IPS antara lain Civics, Civics Education
(Gross and Zenely),1958, Allen;1960,Best;1960). Social studies, Sosial sciences dan Sosial Education
sering digunbakan secara bergantian ,” Social Sciences” sebagai organisasi dari “bodies of knowledge”
mengenai hubungan antar manusia (Wesley;1962).Marsh dan Print (1975) menggunakan “Social Science”
untuk kelompok mata pelajaran sosial dalam kurikulum sekolah. Sedangkan istilah ‘Social Studies”
didefinisikan sebagai porsi dari ilmu sosial untuk pendidikan “a portion of social science” (Estvan: 1968).
Bart, Bart Shermis (1978) menggunakn dan mengartikan iustilah “Social Studies” sebagai integrasi dari
ilmu-ilmu sosial dan humanitis untuk kepentingan pendidikan kewargaan negara (Citizenship Education).
Saedangkan Dufty (1970) menggunakan dan mengartikannya sebagai program pendidikan dalam rangka
sosialisasi “ the process of learning to live with other people”. Dapat disimpulkan bahwa adanya beberapa
istilah dan pengertian yang dikemukakan oleh para pakar didasarkan atas persepsi dan dasar konsptual
dari tradisi dan model setiap pengembangan kurikulam pada negaranya masing- masing.
John Jarolimek(1964:64), The Sosial Studies as a part of the elementary school curiculum
drawsubject matter content from the social sciences, hitory, philosopy antropology, and economics.The
social studies have been definited as those portion of the social sciences. Sacunche (1988). Menekankan
bahwa program pembeljaran Ilmu Pengetahuan Sosial harus mampu memberikan penglaman-pengalaman
beljar yang berorientasi pada aktivitas belajar peserta didik. Pelibtan peserta didik secar penuh dalam
serangkaian aktivitas dan penglaman belajar mammpu mebberikan kesempatan yang luas pada peserta
didik untuk terlibat dalam proses memecahkan masalah di dalam lingkungan beljar yang dibuat
sebagaiumana realitas yang sesungguhnya.Di negara kita dijumpai pula beberapa istilah seperti civbics
dalam kurikulam 1962 dan pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum 1968 sebagai nama bagi
rumpun sejarah, Geografi dan Ekonomi.Dalam kurikulum 1975, ada bidang Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) yang digunakan untuk kelompok mata pelajaran ilmu-ilmu sosial di SMP.IIS sesebagai nama
bidanbg studi merupakan program “interdisipliner” dari dari ilmu-ilmu sosial kelas satu semester satu
SMA.Kemudian istilah program studi ilmu-ilmu sosial dijumpai dalam kurikulum 1984 digunakan sebagai
nama bagi kelompok mata pelajaran ilmu-ilmu sosial seperti Tata Negara, Sejahra, Geografi, Ekonomi,
Sosiologi, Antroipologi di SMA, digunakan pula sebagai nama untuk mata pelajaran yang sama dalam
kurikulam SMA (Somantri;1987).Sebutan IPS ditunjukan unutuk mata pelajaran ilmu sosial
(Adikusumo;1989), digunakan pula sebagai sebutan bagi salah satu fakultas pada IKIP dan salah satu
jurusan Universitas Terbuka , yang ada adalah “ilmu-ilmu sosial”.Kedua istilah itu sering digunakan daam
aarti yang sama ,yaitu menunjuk pada mata pelajaran ilmu-ilmu sosial di SMA.
Selain beberapa istilah di atas, dikenal pula dengan sebutan ‘studi sosial”(Achmad Saanusi;1971)
untuk pengjaran ilmu pengetahuan sosial di semua jenbjang pendidikan. Istilah ini digunakan sebagaia
salah satu mata kuliah di ITB (1979) yang merupakan integrasi dari berbagi konsep-konsep ilmu sosial
yang diorganisasi dalam bentuk generalisasi.Tujuan yang ingin dicapai adalah memberikan wawasan
sosial bagi para mahasiswa dalam aplikasi teknologi sesuai dengan profesinya.Mirip seperti program
tersebut di tingkat Universitas disebut mata kuliah “Ilmu Sosial Dasar (ISD)” yang dibina dan
dikembangkan oleh konsorium Antar Bnidang Depdikbud sebagai salah satu mata kuliah MKDU
dengan tujuan mengembangkan kepribadian dan wawasan pemikiran khusus berkenaan dengan orang lain
Agar daya tanggap, persepsi dan penalaran lingkungan sosial dapat dipertajam.ISD dapat diartikan
pengetahuan yang menelaah masalah-masalah sosial, khususnya masalah-masalah yang diwujudkan oleh
masyarakat Indonesia dengan menggunakan pengertian-pengertian (fakta, konsep,teori) yang berasal dari
berbagai bidang pengetahuan keahlian dalam lapangan ilmu-ilmu sosial (Konsorium Antar Bidang;1982
)dari uraian diatas, tampak beberapa istilah dan pengertian tentang penddikan IPS yang tumbuh dan
berkembang.Makin banyak istilah dan definisi adalah baik dari pada hanya terbatas pada satu definisi
saja.Meskipun demikian , dasar konseptualtetap diperluakan bagi kepentingan pengembangannya.
Istilh yang digunakan dalam rangka penelitian ini ialah “Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial”,
dengan merujuk pada penddikan IPS yang terdiri dari sejumlah mata pelajaran ilmu-ilmu sosial di SMA
menurut kurikulum 1984.Diduga ada sejumlah pengertian yang tumbuh tidak atas dasar kesepakatan
akademik, sehingga kurang memberikan kejelasan.Maka penelitian in antara lain bertujuan
untukmerumuskan dasar konseptual IPS yang dianggap tepat bagi latr sosial budaya Indonesia(social and
cultural cointext).
Mengenai pengertian ini HISPIPSI sekarang HISPISI dalam pertemuan tahunannya telah mencoba
merumuskannya dengan tetap mentolelir munculnya beberapa definisis.Rumusan yang diajukan ialah
“Pendidikan IPS adalah penyederhanaan dari disiplin ilmu-ilmu sosial yang diorganisir , disajikan
secara ilmiah dan psikologis untuk mencapai tujuan pendidikan”.Ada keberatan kata”sederhana “ untuk
digunakan kata “seleksi”.Latar belakang kata ‘menyederhanakan” sebenarnya untuk membedakan dengan
istilah ilmu-ilmu sosial yang biasanya disajikan di Universitas (Dokumen HIPIPSI;1990, sekarang
HISPISI).Tampaknya dalam perkembangan konsep pendidikana IPS, rumusan tersebut di atas merupakan
rumusan yang pertama kali dikembangkan dalm forum nasional organisasi profesi dalam kaitannya
dengan usaha meningkatkan kualitas pendidikan IPS.Jika dianalisis definisi tersebut, mirip dengan
rumusan yang dikenmbangkan oleh Edgar Bruce Wesley (1958) yang mengemukakan bahwa pendidikan
IPS dalm kurikulum sekolah mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas, sebagai”….the
sosial sciences simplified For pedagogical purpose”.
Mutu strategi pembelajaran sering dilihat dari satu sisi, seperti pada dimensi
kemampuan guru di lapangan. Dimensi ini hanya terbatas pada penampilan guru dalam
kelas, sedangkan latar belakang dan faktor lain yang mempengaruhinya, cenderung
terabaikan dalam konteks pembahasan masalah pendidikan. Termasuk masalah lembaga
pendidikan dan tenaga kependidikan yang mempersiapkan guru profesional. Di samping
itu sering mmengukur mutu strategi pembelajaran dan hanya menekankan pada hasil
belajar yang diperoleh melalui tes hasil belajar. Evaluasi sering memusatkan pada hasil
dan mengabaikan proses strategi pembelajaran itu sendiri.
Kelemahan strategi pembelajaran ternyata berkolerasi pula dengan bergeseran
nilai oprientasi strategi pembelajaran dari pihak orang tua dan masyarakat. Khusus
mengenai orientasi terhadap evaluasi tersebut yang diformalkan dlam bentuk NEM,
diantisipasi telah merekayasa berbagai pihak yang sangat mempengaruhi praktek
pendidikan, termasuk di dalamnya cara belajar peserta didik dalam strategi Ilmu
Pengetahuan Sosial (NEM).
Di lain pihak, strategi pembelajaran akan banyak menentukan kualitas strategi
pembelajaran pada jenjang berikutnya, yang memerlukan perhatian yang serius.
Keberhasilan menangani masalah strategi pembelajaran IPS merupakan langkah strategis
untuk membenahi sistem strategi pembelajaran pada level di atasnya dan pada gilirannya
akan menyentuh sistem strategi pembelajaran nasional secara keseluruhan.
Strategi pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan salah satu pelajaran
pada strategi pembelajaran IPS, masih dihadapkan pada masalah meningkatkan mutu.
Bahkan dirasakan di lapangan jauh ketinggalan oleh mata pelajaran IPA dan matematika,
dengan demikian peningkatan mutu strategi pembelajaran IPS harus segera dilakukan.
Hal ini pula berkait dengan asumsi, bahwa peningkatan kualitas strategi pembelajaran
IPS tidak lepas dari meningkatkan kualitas setiap bidang studi, termasuk IPS.
Berkenaan dengan latar belakang pemikiran tersebut di atas, penelitian ini
berangkat dari keresahan tantangan dan masalah, bagaimana peningkatan mutu strategi
pembelajaran IPS dan strategi pembelajaran IPS? Dengan demikian, kajian dalam studi
ini lebih memusatkan perhatian pada dimensi cara belajar/pembelajaran peserta didik
yang dipandang strategis dalam peningkatan mutu tersebut.
Deskripsi ini merupakan gambaran respon di lapangan, stas lontaran isu hipotesis
diskusi dengan beberapa rekan guru di lapangan. Di samping itu pula, analisi terhadap
pendapat bebrapa siswa tentang strategi pembelajaran IPS. Diungkapkan melalui
penelitian dapat dijadikan bahan pembahasan lebih lanjut, untuk kemudian dijadikan
bahan bagi pemikiran ke arah memperkuat kualitas pembelajaran dalam IPS seperti
berikut.
Prosedur pengembangan sistem instruksional, telah dikembangkan sebagai salah
satu pendekatan dalam pengembangan program pelajaran. Salah satu hasilnya
dirumuskan dalam bentuk Satuan Pelajaran. Namun dalam pelaksanaan pengembangan
program tersebut, ditandai dengan menguatnya orientasi pada tujuan ketimbang proses.
Sementara itu, pembuatan program dalam bentuk satuan pelajaran dilakukan oleh guru
secara ketat berpegang pada kurikulum. Kurikulum dipandang sebagai satu-satunya
acuan formal. Di lain pihak, terdapat kecenderungan pula bahwa dalam pengembangan
materi pelajaran para guru “lebih dekat” dengan buku.. buku paket diyakini benar sudah
sesuai dengan kurikulum, namun pola pembelajaran dikembangkan oleh guru sendiri,
berdasarkan kebiasaan dan cenderung pada pola satu arah. Dalam model program ini,
proses pembelajaran hanya ditulis jenis metode dan medianya, tidak diuraikan dalam
siklus pembelajaran yang rinci. Pembuatan program dalam bentuk satpel mendapat
perhatian dari para guru, dan mereka selalu membuat. Satpel kebanyakan ditulis tangan
oleh guru sendiri, akan tetapi tidak semuanya mereka membuat sendiri, adakalanya
mengambil dari model yang dikembangkan pihak lain, seperti banyak dijual di pasaran.
Adanya kecenderungan aspek nformal lebih menonjol dari pada aspek fungsi
akademiknya. Di samping itu, dalam pelaksanaannya di kelas, satpel sering tidak sesuai
dengan kondisi aktual dalam proses pembelajaran di kelas. Pembuatan satpel oleh guru
ternyata banyak menyita waktu dan cenderung membosankan. Namun, disamping itu,
diakui secara teoritik tujuan dan kegunaan dari penggunaan program tersebut. Aspek
administrasi cenderung dirasakan sebagai beban dibandingkan aspek lainnya. Kondisi ini
antara lain disebabkan, kepercayaan yang berlebihan terhadap kurikulum dan buku paket,
yang memungkinkan peran guru lebih menonjol sebagai “pelaksana” kurikulum, bukan
sebagai pengembang kurikulum. Akibatnya, kurikulum lebih cenderung dilaksanakan
sebagai harga mati, dan kondisi ini diperkuat dengan adanya persepsi bahwa materi UAN
semuanya mengacu pada kurikulum.
Pengembangan program dilihat dari muatan ranah dan keseimbangannya, mata
pelajaran IPS lebih banyak memuat aspek kognitif, sedangkan ranah afektif diakui
mengalami kesulitan dalam melaksanakannya. IPS lebih banyak membuat aspek kognitif
pada tingkatan rendah dan terpusat dari pada hapalan. Akibatnya pelajaran IPS lebih
memberikan kesan kepada peserta didik sebagai pelajaran hapalan. Kondisi ini mengat,
terutama pada kelas IV disebabkan orientasi pada pencapaian target UAN.
Sementara itu kurikulum strategi pembelajaran IPS tidak banyak memberikan
arahan dan acuan untuk mengembangkan nilai, kandungan materi dalam buku paket pun
masih banyak ranah kognitif sedangkan aspek afektif dan psikomotorik sangat rendah,
sehingga mereka merasakannya seperti terekayasa sebagai pembuat program yang lebih
bersifat kognitif muatan materinya. Keterampilan sosial dan sikap sosial belum secara
sengaja terprogram, pelaksanaannya masih kurang mendapatkan perhatian pada guru
untuk mengembangkannya lewat proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan proses
pembelajaran didominasi oleh guru, yang cenderung banyak memberikan informasi yang
bersifat kognitif dengan konvigurasi pada level 1 dan 2. kondisi ini memunculkan
masalah bagaimana mengembangkan nilai sosial dan memadukannya dengan aspek
pengetahuan dan psikomotorik.
Kendala dalam dimensi program dan materi terltek pada orientasi yang berlebihan
pada evaluasi sebagai dampak pendekatan sistem tujuan dan evaluasi yang tidak dapat
dipisahkan. Di samping itu, pengaruh dari sistem sentralistik tidak memberikan peluang
bagi para guru secara optimal sebagai pengembang kurikulum. Kendala tersebut di atas
tempak menguat, dan diantisipasi menjadi faktor kesulitan dikembangkannya muatan
lokal yang telah dituntut oleh kurikulum 1994. orientasi yang sangat kuat pada aspek itu,
memperlemah keberanian memperkaya bahan dari proses pembelajaran, karena adanya
kekhawatiran kekurangan waktu untuk mencapai target kurikulum.
Adanya kecenderungan muatan lokal dianggap di luar kurikulum. Oleh karena itu,
muatan lokal ini belum mempunyai acuan atau model pengembangan, disamping itu
buku-buku penunjang belum ada. Mengenai muatan lokal ini, ternyata menuntut
keterampilan bagi pengembangan program untuk memahami kondisi lingkungannya.
Peluang untuk memperkuat keterpaduannya antara program materi mata pelajaran ini
dengan kondisi lingkungan sosial masih lemah, dan belum menjaminb peserta didik
mengaktualisasikan pengetahuan.
Peran peran peserta didik belum secar optimal diperlakukan sebagai subyek didik
yang memiliki potensi untuk berkembang secara mandiri. Posisi peserta didik masih
dalam situasi dan kondisi belajar yang emnempatkan mereka dalam keadaan pasif,
aktivitas belajar mengajar masih didominasi guru dalam menyampaikan informasi yang
secara garis besar bahan-bahannya telah tertulis dalam buku paket.
Keadaan guru vertindak sebagai pemberi informasi, mengembangakn budaya
belajar yang menerima dengan pengambangan berpikir pada tingkat hapalan. Peserta
didik masih kuat kedudukannya sebagai murid yang memusatkan perhatiannya pada
bahan yang disajikan oleh guru. Usaha guru ke arah yang lebih mengaktifkan peserta
didik untuk belajar tampak ada. Namun kendala yang bersumber dari aspek sosial budaya
lebih kuat, sehingga memaksa siswa kembali dalam kondisi penerimaan.
Lain halnya dengan strategi pembelajaran IPS dengan orientasi yang kuat pada
pencapaian target kurikulum, kegiatan peserta didik dalam belajar terbatas pada kegiatan
di kelas, kegiatan luar kelas rata-rata jarang dilakukan, apalagi di kelas VI yang harus
disiapkan secar matang untuk menghadapi peserta didik. Kondisi ini memungkinkan
peserta didik melebihi kelebihan dalam proses menghapal sebagai perolehan dari budaya
belajar hapalan, dan kondisi ini dijumpai pada pendidik IPS. Disamping itu, peserta didik
memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menyimak materi pelajaran berupa
informasi abstrak yang disajikan guru, sehingga secara fisik kemampuan untuk
mendengarkan telah terlatih.
Kondisi ini tampak memunculkan kelemahan bagi peserta didik, dilihat dari tuntutan
peran peserta didik dalam peningkatan mutu pendidikan, anatara lain mereka kurang
terlatih dalam menemukan/mencari, menganalisis dan menggunakan informasi sebagai
akibat dari penerimaan pelajaran melalui metode ceramah. Peserta didik kurang terlatih
dalam proses pemecahan masalah, dialami dalam strategi pada pembelajaran IPS pada
pembelajaran IPS sebagai akibat dari sajian materi lebih bersifat kognitif, tanpa banyak
memuat masalah aktual.
Peserta didik sangat tinggi ketergantungannya pada guru. Guru dijadikan satu-
satunya sumber informasi dalam belajar. Mereka juga kurang terlatih dalam belajar
bersama “cooperative learning” dan sangat terbatas pada tatap muka dikelas. Peserta
didik dalam strategi pembelajaran IPS kurang terlatih dalam kemampuannya
mengapresiasikan nilai-niai sosial budaya. Akhirnya, mereka kurang akrab dengan
lingkungan sosial budayanya, sehingga mereka mendapatkan kesulitan untuk
mengaplikasikan dan mengaktualisasikan hasil belajar. Mengenai deskripsi keadaan
proses strategi pembelajaran IPS secara umum, dapat terlihat dalam deskripsi peran
pendidik dan peran peserta didik. Studi pada bagian ini lebih mengkaji dan membahas
dari dimensi budaya belajar, artinya bagaimana gambaran proses belajar strategi
pembelajaran IPS. Proses strategi pembelajaarn IPS ternyata lebih banyak diwarnai
orientasi yang sangat kuat pada pencapaian target kurikulum, sehingga proses strategi
pembelajaran dilaksanakan dalam interaksi yang lebih kuat pada pola satu arah proses
belajar, diwarnai oleh dominasi guru, sehingga aktivitas peserta didik tampak kurang
aktif.
Proses pembelajaran IPS lebih kuat tampak sebagai proses pengalihan dan
penyerapan informasi berupa bahan pelajaran sebagai muatan kurikulum. Disajikan
dalam pelajaran klasikal, sehingga metode ceramah lebih banyak digunakan dan
dipandang efektif untuk mencapai terget kurikulum. Hal ini konsisten dengan posisi dan
peran guru yang kurang kreatif dalam menciptakan iklim, situasi dan kondisi bagi
tumbuhnya proses pembelajaran pada peserta didik.
Metode lain seperti inquiry, pemecahan masalah dan sisiodrama, yang dipandang
lebih efektif dalam mengembangkan proses berpikir belum banyak digunakan. Hal ini
disebabkan penggunaan metode tersebut masih dipandang memerlukan waktu yang
banyak, sehingga khawatir target kurikulum tidak tercapai. Kondisi ini sama-sama
dijumpai pada pelajaran strategi pembelajaran IPS, dalam kurikulum sekolah. Kelemahan
yang muncul dalam proses pendidikan, antara lain tampak pada suasa belajar kaku dan
terpusat pada satu arah, sehingga kurang memberikan kesempatan bagi peserta didik
untuk lebih aktif dalam belajar. Budaya belajar lebih ditandai oleh hapalan dari pada
budaya berpikir, sehinga untuk mata pelajaran ini peserta didik cenderung menganggap
sebagai pelajaran hapalan.
Proses pembelajaran meningkatkan penguasaan bahan pada strategi pembelajaran
IPS diperkotaan dengan memberikan sebanyak mungkin PR, dilakukan dengan asumsi
semakin banyak diberikan PR, makin tinggi daya serap peserta didik. Namun pada diri
peserta didik diakui adanya kebosanan. Mengkaji jenis PR yang banyak diberikan dalam
strategi pembelajaran IPS, ternyata materinya sebagian besar terdapat pada buku
pegangan peserta didik, sehngga kesan “mengulang” lebih kuat.
Dalam proses strategi pembelajaran IPSpada strategi pembelajaran IPS, tampak
pengaruh yang sangat kuat untuk mempersiapkan perserta didik supaya berhasil dalam
EBTANAS dengan mendapatkan NEM yang tinggi. Kondisi ini tidak tampak pada
perilaku peserta didik, melainkan juga tumbuh pada guru dan kebijakan pimpinan sekolah
serta harapan orang tua. Diakui untuk kelas lima dan enam, kegiatan ekstrakulikuler
belum dibatasi, khusus kelas enam proses belajar lebih banyak ditandai dengan
membahas kisi-kisi UAN. Dalam kondisi ini, sekolah seperti bersaing dengan bimbingan
tes. Hal ini dilakukan untuk memelihara citra sekolah dari pandangan orang tua yang
sistem nilainya telah terbentuk oleh orientasi mendapatkan nilai yang tinggi.
Pada masyarakat perkotaan sering terjadi anak dimasukkan pada bimbingan tes,
sehingga timbul kesan lebih mempercayai bimbingan tes dari pada sekolah. Hal ini lebih
dirasakan pada pelajaran strategi pembelajaran IPS, sebab merupakan salah satu pelajaran
yang diujikan dalam EBTANAS. Dari sisi lain, tampak sekolah belum memberikan
dukungan yang optimal terhadap budaya belajar. Hal ini lebih kuat di perkotaan yang
waktu belajarnya relatif lebih singkat, karena bangunan komplek dihuni oleh beberapa
sekolah.
Pembelajaran Pengembangan Life Skill dalam Pendidikan IPS
Salah satu tujuan dari pembelajaran IPS adalah bagaimana mengembangkan
keterampilan untuk menjalani kehidupan masyarakat, yang sering dikenal dengan istilah
keterampilan sosial skill atau lebih dikenal dengan Life Skill. Dalam kaiotannya dengan
pengembangan kompetensi adalah berkait dengan kompetensi sosial. Pada pembelajaran
pendidikan IPS ini sangat penting, persoalannya bagaiman memperankan guiru agar
dapat merencanakan dan melaksanakan perannya sebagai pembelajar untuk menciptakan
pembelajaran yang memperankan pesertadidik untuk dapat mengembangkan potensinya
dalam kompetensi tersebut.
Strategi pengembangan ini sangat penting atas pertimbangan bahwa pendidikan
IPS dihadapkan kepada tantangan globalisasi dimana kehidupan masyarakat cenderung
berubah ke arah pengelolaan, sehingga masalah sosial akan semakin rumit, sehingga
pemecahannya memerlukan pendekatan baru yang sesuai dengan tantangan tersebut.
Perkembangan IPTEKS yang ditunjang dengan poerkembangan dalam bidang Informasi
teknologi, memicu proses perubahan tersebut sangat cepat. Implikasinya terhadap
pembelajaran diperlukan strategi yang dapat mengembangkan keterampilan sosial yang
tinggi. Era informasi modern mempengaruhi pembelajaran harus dapat mengakses
dengan menggunakan teknologi informasi secara efektif. Namun demikan
pemberdayaanya pun harus tetap memperhatikan nilai-niali sosial budaya dan lingkungan
pendidikannya. Kondisi sosial budaya yang beragam dalam pembelajaran menuntut
perhatian terhadap pendekatan multikultural, hal ini dapat dilakukan ketika akan
mengembangkan pembelajaran berbasis pengembangan keterampilan sosial tersebut.
Masalah bagaimana pengembangan Life-Skill dalam Kurikulum Pendidikan IPS?
Bagaimana strategi pembelajaran life-skill (Suwarma:L 2006) dalam Seminar Pendidikan
IPSA sebagaimana model sosial yang diselenggarakan oleh Sekolah Pasca Sarjana UPI)
Pengembangan Pembelajaran
Berbasis Life-Skill
Latarbelakang
- tantangan globalisasi Life-Skill
- era informasi Keterampilan
- kompleksitas masalah sosial
Sosial budaya
Multikultural