Anda di halaman 1dari 6

Konsep dan Rasional “Social Studies” Secara Umum

Edgar Bruce Wesley (1937) menyatakan bahwa social studies adalah ilmu – ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. The United
States of Education’s Standard Terminoogy for Curriculum and Instruction menyatakan bahwa social studies berisi aspek – aspek ilmu sejarah, ilmu
ekonomi, ilmu politik, sosioogi, antropologi, psikolofi, ilmu geografi, dan filsafat yang dipilih untuk tujuan pembelajaran sekolah dan perguruan
tinggi. Secara umum, pengertian social studies menyiratkan hal – hal berikut :
1. Social studeis merupakan disiplin dari ilmu – ilmu sosial.
2. Disiplin dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan / pembelajaran baik pada tingkat sekolahan maupun perguruan tinggi.
3. Aspek masing – masing disiplin ilmu perlu diseleksi sesuai dengan tujuan.
Pada tahun 1940 – 1970-an, perkembangan bidang social studies merasakan keadaan ketidakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan
ketakmajuan. Social studies menjalani periode yang sulit seperti digambarkan oleh Barr Barth dan Shermis (1977 : 33 – 46). Antara tahun 1940 –
1950-an, social studies mendapat serangan dari segala penjuru. Pada tahun 1960-an, dipandang sebagai suatu resolusi dalam social studies yang
dipelopori oleh para sejarawa dan ahli –ahli ilmu sosial. Sampai tahun 1970-an, gerakan akademis atau yang disebut the news social studies belum
menjadi kenyataan. Pada tahun 1940 – 1960, ditegaskan oleh Barr dan kawan – kawan (1997 : 36) adalah terjadinya tarik – menarik antara dua
visi social studies. Di satu pihak, adanya gerakan untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education yang terus
bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Di lain pihak, terus bergulir gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderug
memperlemah konsepsi social studies education.
Dilihat dari visi, misi, dan strateginya, Barr dan kawan – kawan (1987 : 17 – 19), social studies dapat dikembangkan dalam tiga tradisi, yakni :
 Social studies taught as citizenship transmission
 Social studies taught as social science
 Social studies taught as reflective enguing
Empat hal yang tersirat dan tersurat dalam definisi social studies menurut Barr adalah,
1. Social studies merupakan suatu sistem pengetahuan terpadu.
2. Misi utama social studies adlah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis.
3. Sumber utama konten social studies adalah social sciense dan humanities.
4. Dalam upaya penyiapan warga negara yang demokratis, terbuka kemungkinan dalam orientasi, visi, tujuan, dan metode pembelajaran.
Dilihat dari definisi dan tujuannya, social studies menyiratkan dan menyuratkan hal – hal sebagai berikut :
1. Social studies merupakan mata pelajaran diseluruh jenjang pendidikan persekolahan.
2. Tujuan utama pelajaran ini adalah mengembangkan siswa untuk menjadi warga negara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap, dan
keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi.
3. Konten pelajarannya digali dan diseleksi dari sejarah dari ilmu – ilmu sosial serta dalam banyak hal dari humoniora dan sains.
4. Pembelajarannya menggunakan cara – cara yang mencerminkan kesadaran pribadi kemasyarakatan, pengalaman budaya, dan
perkembangan pribadi siswa.
5. Paradigma Pendidikan IPS di Indonesia
6.      Pemikiran mengenai konsep pendidikan IPS di Indonesia banyak dipengaruhi oleh pemikiran “social studies” di Amerika Serikat
sebagai salah satu negara yang memiliki pengalaman panjang dan reputasi akademis yang signifikan dalam bidang itu. Reputasi tersebut
tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu seperti dapat disimak dari berbagai karya akademis yang antara lain
dipublikasikan oleh National Council for the Social Studies (NCSS).
7.      Untuk menelusuri perkembangan pemikiran atau konsep pendidikan IPS di Indonesia secara historis epistemologis terasa sangat susah
karena dua alasan. Pertama, di Indonesia belum ada lembaga professional bidang pendidikan IPS setua dan sekuat pengaruh NCSS atau
SSEC. Lembaga serupa yang dimiliki Indonesia, yakni HISPIPSI (Himpunan Sarjana pendidikan IPS Indonesia) usianya masih sangat
muda dan produktivitas akademisnya masih belum optimal, karena masih terbatas pada pertemuan tahunan dan komunikasi antar anggota
masih insidental. Kedua, perkembangan kurikulum dan pembelajaran IPS sebagai ontologi ilmu pendidikan (disiplin) IPS sampai saat ini
sangat tergantung pada pemikiran individual dan atau kelompok pakar yang ditugasi secara insidental untuk mengembangkan perangkat
kurikulum IPS melalui Pusat pengembangan Kurikulum dan Sarana Pendidikan Balitbang Dikbud (Puskur). Pengaruh akademis dari
komunitas ilmiah bidang ini terhadap pengembangan IPS tersebut sangatlah terbatas, sebatas yang tersalur melalui anggotanya yang
kebetulan dilibatkan dalam berbagai kegiatan tersebut. Jadi, sangat jauh berbeda dengan peranan dan kontribusi Social Studies Curriculum
Task Force-nya NCSS, atau SSEC di Amerika Serikat.
8.      Oleh karena itu, perkembangan pemikiran mengenai pendidikan IPS di Indonesia akan ditelusuri dari alur perubahan kurikulum IPS
dalam dunia persekolahan, dikaitkan dengan beberapa konten pertemuan ilmiah dan penelitian yang relevan dalam bidang itu.
Istilah IPS (Ilmu Pengetahuan Sosial), sejauh yang dapat ditelusuri, untuk pertama kalinya muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic
Education tahun 1972 di Tawangmangu Solo. Menurut Laporan Seminar tersebut ada tiga istilah yang muncul dan digunakan secara
bertukar pakai yakni “pengetahuan social, studi social, dan Ilmu Pengetahuan Sosial” yang diartikan sebagai suatu studi masalah-masalah
social yang dipilih dan dikembangkan dengan menggunakan pendekatan interdisipliner dan bertujuan agar masalah-masalah social itu
dapat dipahami siswa. Dengan demikian, para siswa akan dapat menghadapi dan memecahkan masalah sosila sehari-hari. Pada saat itu,
konsep IPS tersebut belum masuk ke dalam kurikulum sekolah, tetapi baru dalam wacana akademis yang muncul dalam seminar tersebut.
Kemunculan istilah tersebut bersamaan dengan munculnya istilah Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) dalam wacana akademis pendidikan
Sains. Pengertian IPS yang disepakati dalam seminar tersebut dapat dianggap sebagai pilar pertama dalam perkembangan pemikiran
tentang pendidikan IPS. Berbeda dengan pemunculan pengertian social studies dari Edgar Bruce Wesley yang segera dapat respon
akademis secara meluas dan melahirkan kontroversi akademik, pemunsulan pengertian IPS dengan mudah dapat diterima dengan sedikit
komentar. Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dalam dunia persekolahan pada tahun 1972-1973, yakni dalam Kurikulum Proyek
Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) IKIP Bandung. Hal ini terjadi karena, barangkali kebetulan beberapa pakar yang menjadi pemikir
dalam Seminar Civic Education di Tawangmangu itu, seperti Achmad Sanusi, Noeman Soemantri, Achmad Kosasih Djahiri, dan Dedih
Suwardi berasal dari IKIP Bandung, dan pada pengembangan Kurikulum PPSP FKIP Bandung berperan sebagai anggota tim
pemnegmbang kurikulum tersebut. Dalam Kurikulum SD 8 tahun PPSP digunakan istilah “Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial”
sebagai mata pelajaran social terpadu. Penggunaan garis miring nampaknya mengisyaratkan adanya pengaruh dari konsep pengajaran
social yang awalaupun tidak diberi label IPS, telah diadopsi dalam Kurikulum SD tahun 1968. Dalam Kurikulum tersebut digunakan
istilah Pendidikan Kewargaan Negara yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, Ilmu Bumi Indonesia, dan Civics yang diartikan
sebagai Pengetahuan Kewargaan Negara. Oleh karena itu, dalam kurikulum SD PPSP tersebut, konsep IPS diartikan sama dengan
Pendidikan Kewargaan Negara. Penggunaan istilah Studi Sosial nampaknya dipengaruhi oelh pemikiran atau penafsiran Achmad Sanusi
yang pada tahun 1972 menerbitkan sebuah manuskrip berjudul “Studi Sosial:
9.      Sedangkan dalam Kurikulum Sekolah Menengah 4 tahun, digunakan tiga istilah yakni:
10.      1.  Studi Sosial sebagai mata pelajaran inti untuk semua siswa dan sebagai bendera untuk kelompok mata pelajaran social yang terdiri
atas geografi, sejarah, dan ekonomi sebagai amat pelajaran major pada jurusan IPS;
11.      2.  Pendidikan Kewargaan Negara sebagai mata pelajaran inti bagi semua jurusan
12.      3.  Civics dan Hukum sebagai mata pelajaran major pada jurusan IPS.
13.      Kurikulum PPSP tersebut dapat dianggap sebagai pilar kedua dalam perkembangan pemikiran tentang pendidikan IPS, yakni masuknya
kesepakatan akademis tentang IPS ke dalam kurikulum sekolah. Pada tahap ini, konsep pendidikan IPS diwujudkan dalam tiga bentuk
yakni:
14.      1.  Pendidikan IPS terintegrasi dengan nama Pendidikan Kewargaan Negara/Studi Sosial
15.      2.  Pendidikan IPS terpisah, dimana istilah IPS hanya digunakan sebagai patung untuk mata pelajaran geografi, sejarah dan ekonomi.
16.      3.  Pendidikan kewarganegaraan sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus.
Konsep pendidikan IPS tersebut kemudian memberi inspirasi terhadap Kurikulum 1975, yang memang dalam banyak hal mengadopsi
inovasi yang dicoba melalui Kurikulum PPSP. Di dalam Kurikulum 1975 pendidikan IPS menampilkan empat profil, yakni:
17.      1.  Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Pendidikan Kewargaan Negara sebagai suatu bentuk pendidikan IPS khusus yang
mewadai tradisi citizenship transmission.
18.      2.  Pendidikan IPS terpadu untuk Sekolah Dasar.
19.      3.  Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep payung yang menaungi mata pelajaran Geografi,
sejarah, dan ekonomi koperasi
20.      4.  Pendidikan IPS terpisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, geografi, dan ekonomi untuk SMA, atau sejarah dan geografi
untuk SPG (Dep. P dan K,1975a; 1975b, 1975c; dan 1976).
21. Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam kurikulum 1984, yang memang secara konseptual merupakan
penyempurnaan dari kurikulum 1975. Penyempurnaan yang dilakukan khususnya dalam aktualisasi materi yang disesuaikan dengan
perkembangan baru dalam masing-masing disiplin, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) sebagai
materi pokok Pendidikan Moral Pancasila. Sedang konsep pendidikan IPS itu sendiri tidak mengalami perubahan yng mendasar.
22.      Dengan berlakunya Undang-Undang No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dalam wacana pendidikan IPS muncul dua bahan
kajian kurikuler pendidikan Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan. Kemudian ketika ditetapkannya Kurikulum 1994 mnggantikan
kurikulum 1984, kedua bahan tersebut dilembagakan menjadi satu pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara
konseptual mata pelajaran ini masih tetap merupakan bidang pendidikan IPS yang khusus mewadai tradisi citizenship transmission dengan
muatan utama butir-butir nilai Pancasila yang diorganisasikan dengan menggunakan pendekatan spiral of concept development ala Taba
(Taba:1967) dan expanding environment approach” ala Hanna (Dufty; 1970) dengan bertitik tolak dari masing-masing sila Pancasila.
Di dalam Kuikulum 1994 mata pelajaran PPKn merupakan pelajaran social khusus yang wajib diikuti oleh semua siswa setiap jenjang
pendidikan (SD, SLTP, SMU). Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam: pertama, pendidikan IPS terpadu di SD kelas III s/d
kelas VI; kedua, pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup materi geografi, sejarah, dan ekonomi koperasi dan ketiga,
pendidikan IPS terpisah-pisah yang mirip dengan tradisi in social studies taught as social science menurut Barr dan kawan-kawan (1978).
Di SMU ini bidang pendidikan IPS terpisah-pisah terdiri atas mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah Umum di kelas I dan II;
Ekonomi dan Geografi di kelas I dan II; Sosiologi di kelas II; Sejarah Budaya di kelas III Program Bahasa; Ekonomi, Sosiologi, Tata
Negara, Dan Antropologi di kelas III Program IPS.
23.      Dilihat dari tujuannya, setiap mata pelajaran social memiliki tujuan yang bervariasi. Mata pelajaran Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum bertujuan untuk”….menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini, menumbuhkan
rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta rasa bangga sebagai warga bangsa Indonesia, dan memperluas wawasan hubungan masyarakat
antar bangsa di dunia” (Depdikbud, 1993: 23-24). Dimensi tujuan tersebut pada dasarnya mengandung esensi pendidikan
kewarganegaraan atau tradisi “citizenship transmission” (Barr, dan kawan-kawan: 1978). Mata pelajaran Ekonomi bertujuan untuk
memberikan pengetahuan konsep-konsep dan teori sederhana dan menerapkannya dalam pemecahan masalah-masalah ekonomi yang
dihadapinya secara kritis dan objektif (Depdikbud, 1993:29).
Hal yang juga tampak sejalan terdapat dalam rumusan tujuan mata pelajaran Sejarah Budaya yang menggariskan tujuannya untuk
menanamkan pengertian adanya keterkaitan perkembangan budaya masyarakat pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang
sehingga siswa menyadari dan menghargai hasil dan nilai budaya pada masa lampau dan masa kini (Depdikbud, 1993: 31). Demikian juga
dalam tujuan mata pelajaran Antropologi yang dengan tegas diorentasikan pada upaya untuk memberikan pengetahuan mengenai proses
terjadinya kebudayaan, pemanfaatan dan perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari; menanamkan kesadaran perlunya menghargai nilai-
nilai budaya suatu bangsa, terutama bangsa sendiri, dan pada akhirnya dimaksudkan juga untuk menanamkan kesadaran tentang peranan
kebudayaan dalam perkembangan dan pembangunan masyarakat serta dampak perubahan kebudayaan terhadap kehidupan masyarakat
(Depdikbud, 1993: 33).
Bila disimak dari perkembangan pemikiran pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an ini
pendidikan IPS di Indonesia mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni: pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam
tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua,
pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP,
dan yang terintegrasi di SD.

c. Tujuan Pembelajaran IPS di Indonesia


     IPS sebagai sebuah bidang keilmuwan yang dinamis, karena mempelajari tentang keadaan masyarakat yang cepat perkembangannya, tidak
bisa terlepas dari perkembangan. Pengembangan kurikulum IPS merupakan jawaban terhadap tuntutan kebutuhan masyarakat yang akan
mempelajarinya. Perkembangan IPS di Indonesia dilatar belakangi oleh beberapa hal
     1.  Pengalaman hidup masa lampau dengan situasi sosialnya yang labil, memerlukan masa depan yang lebih mantap dan utuh sebagai suatu
bangsa yang bulat.
     2.  Laju perkembangan pendidikan, teknologi, dan budaya Indonesia memerlukan kebijakan pendidikan dan pengajaran yang seirama
dengan laju perkembangan tersebut.
     3.  Agar output pendidikan persekolahan benar-benar lebih relevan dengan tuntutan masyarakat yang ia akan menjadi bagiannya dan materi
yang dimuat dalam kurikulum atau dipelajari peserta didik dapat bermanfaat. Segi lain yang menyebabkan dikembangkannya kurikulum IPS
sebagai mata pelajaran wajib bagi setiap anak didik adalah menyiapkan mereka kelak apabila terjun ke dalam kehidupan masyarakat.
         Sejak diberlakukan kurikulum tahun 1964 sampai kurikulum 1968, program pengajaran ilmu-ilmu sosial masih menggunakan cara-cara
(pendekatan) tradisional. Ilmu sosial seperti sejarah, geografi (ilmu bumi) dan ekonomi masih disajikan secara terpisah. Sejumlah ahli
menyadari bahwa sebenarnya sistem tersebut telah usang dan tidak relevan. Terkait dengan pengembangan kurikulum IPS, seorang ahli
pendidikan, guru besar pada IKIP Malang, Prof. Dr. Soepartinah Pakasi, dapat dianggap sebagai penganut social studies yang pertama di
Indonesia. Pada tahun 1968 beliau menerapkan pola pengajaran social studies pada sekolah percobaan IKIP Malang yang dipimpinnya. Dalam
penerapannya, guru-guru social studies di sekolah-sekolah tersebut di samping diberi pedoman pelatihan keterampilan secara khusus juga
didampingi oleh sebuah regu dosen jurusan sejarah, geografi dan ekonomi. Dalam lingkup nasional, ide-ide untuk menerapkan pengajaran
social studies mulai ramai diperbincangkan sekitar tahun 1971/1972.  
Setiap usaha pendidikan senantiasa memiliki tujuan tertentu yang hendak dicapai. Berdasarkan tujuan pendidikan yang jelas, tegas, terarah,
barulah pendidik dapat menentukan usaha apa yang akan dilakukannya dan bahan pelajaran apa yang sebaiknya diberikan kepada anak
didiknya. Demikian juga di dalam negara kita telah dirumuskan tujuan pendidikan nasional dirumuskan berdasarkan pada falsafah negara
Pancasila dan UUD 1945, seperti digariskan dalam GBHN. Berdasarkan pada falsafah negara tersebut, maka telah dirumuskan tujuan
pendidikan nasional menurut Undang-undang Nomer 20 Tahun 2003 adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab sesuai ketentuan yang termaksud dalam UUD 1945.
Berkaitaan dengan hal tersebut, kurikulum 2013 untuk tingkat SD menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial (sebutan IPS dalam kurikulum
2013), bertujuan untuk :
1.   Mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis.
2.   Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan sosial
3.   Membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
4.   Meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, baik secara nasional maupun global.
     Ada 5 macam sumber materi IPS antara lain:
         a.   Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak dari keluarga, sekolah, desa, kecamatan sampai lingkungan
yang luas negara dan dunia dengan berbagai permasalahannya.
         b.   Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan, produksi, komunikasi, transportasi.
         c.   Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan antropologi yang terdapat sejak dari lingkungan anak yang
terdekat sampai yang terjauh.
         d.  Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai dari sejarah lingkungan terdekat sampai yang
terjauh, tentang tokoh-tokoh dan kejadian-kejadian yang besar.
         e.   Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian, permainan, keluarga.
     Dengan demikian masyarakat dan lingkungannya, selain menjadi sumber materi IPS sekaligus juga menjadi laboratoriumnya. Pengetahuan
konsep, teori-teori IPS yang diperoleh anak di dalam kelas dapat dicocokkan dan dicobakan sekaligus diterapkan dalam kehidupannya sehari-
hari di masyarakat.
     Pembahasan tentang pendidikan IPS tidak bisa terlepas dari interaksi fungsional perkembangan masyarakat Indonesia dengan sistem dan
praksis pendidikannya. Yang dimaksud dengan interaksi fungsional di sini adalah bagaimana perkembangan masyarakat mengimplikasi
terhadap tubuh pengetahuan IPS, dan sebaliknya bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS turut memfasilitasi pengembangan aktor sosial
dan warga negara yang cerdas dan baik, yang pada gilirannya dapat memberikan konstribusi yang bermakna terhadap perkembangan
masyarakat Indonesia. Dalam mengkaji perubahan dalam masyarakat, perlu diawali dengan postulat yang telah diterima secara umum, bahwa
dalam kehidupan ini perubahan merupakan suatu keniscayaan karena tidak ada yang tetap kecuali perubahan. Untuk memahami semua gejala
krisis dalam konteks kehidupan global yang sistemik diperlukan cara pandang yang utuh dan menyeluruh yang oleh Capra dalam dalam Udin
S. Winataputra3) disebut sebagai cara memandang situasi “…dalam konteks evolusi budaya manusia”. Dengan merujuk pada teori perubahan
“tantangan dan tanggapan” (challenge and response) dari Toynbee, yang pada dasarnya meneorikan “Tantangan dari lingkungan alam dan
sosial memancing tanggapan kreatif dari suatu masyarakat, atau kelompok sosial, yang mendorong masyarakat itu untuk memasuki proses
peradaban, Capra dalam Udin S. Winataputra3) mengemukakan adanya “Irama berulang dalam pertumbuhan budaya”, yang pada dasarnya
merupakan siklus interaktif antara dua kekuatan yang saling mempengaruhi.
     Kondisi internal masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, seperti dianalisis oleh Soedijarto (1999) teridentifikasi adanya berbagai faktor
yang diperkirakan mempengaruhi kondisi kehidupan bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai dengan saat
ini.

III. SIMPULAN DAN SARAN


a. Simpulan
     Berdasarkan uraian diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
     1. Mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi serta Mata Pelajaran Sosial lainnya berfungsi untuk
menyiapkan peserta didik agar mampu menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta
damai.
     2. Pendidikan IPS yang terwujudkan dalam Kurikulum sampai dengan dasawarsa 1990-an mempunyai dua konsep pendidikan IPS, yakni:
pertama, pendidikan IPS di Indonesia yang diajarkan dalam tradisi “citizenship transmission” dalam bentuk mata pelajaran Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan dan Sejarah Nasional; kedua, pendidikan IPS yang diajarkan dalam tradisi social science dalam bentuk
pendidikan IPS terpisah dari SMU, yang terkonfederasi di SLTP, dan yang terintegrasi di SD.
     3. Pendidikan IPS tidak bisa terlepas dari interaksi fungsional perkembangan masyarakat Indonesia dengan sistem dan praksis
pendidikannya. Yang dimaksud dengan interaksi fungsional di sini adalah bagaimana perkembangan masyarakat mengimplikasi terhadap tubuh
pengetahuan IPS, dan sebaliknya bagaimana tubuh pengetahuan pendidikan IPS turut memfasilitasi pengembangan aktor sosial dan warga
negara yang cerdas dan baik, yang pada gilirannya dapat memberikan konstribusi yang bermakna terhadap perkembangan masyarakat
Indonesia.
B.     PARADIGMA IPS
Paradigma IPS  adalah model atau kerangka berpikir pengembangan IPS yang diwacanakan dalam kurikulum pada sistem pendidikan
Indonesia, dan IPS merupakan studi yang mempelajari tentang masyarakat atau manusia, dan merupakan ilmu pengetahuan sosial yang diambil dari
ilmu sosial. Ada tiga istilah yang termasuk bidang pengetahuan sosial, yaitu: Ilmu Sosial ( Social Sciences ), Studi Sosial ( Social Studies ), dan Ilmu
Pengetahuan Sosial ( IPS ). Selain istilah tersebut ada juga istilah yang kadang-kadang digunakan dalam menyebut bidang studi IPS, yaitu: Social
Education dan Social Learning, yang menurut Cheppy kedua istilah tersebut lebih menitik beratkan kepada berbagai pengalaman disekolah yang
dipandang dapat membantu anak didik untuk lebih mampu bergaul di tengah-tengah masyarakat.
A.    Ilmu Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2) adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-
disiplin ilmu pengetahuan sosial yang bertaraf akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial
secara ilmiah, memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik
secara perorangan maupun tingkah laku kelompok. Oleh karena itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan
mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
IIS lebih menitik beratkan kepada interdisiplin pada suatu bidang studi kajian disatu disiplin ilmu, seperti contoh pada disiplin ilmu
Antropologi.

B.     Studi Sosial (Social Studies).


Berbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan
suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut :
Studi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi siswa sejak pendidikan dasar dan dapat
berfungsi sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin ilmu sosial. Studi Sosial merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan
masalah sosial yang terjadi pada masyarakat.
Studi Sosial menurut Achmad Sanusi:
“Adapun Studi Sosial tidak selalu bertaraf akademis-universiter, bahkan dapat merupakan bahan-bahan pelajaran bagi murid-murid sejak
pendidikan dasar, dan dapat berfungsi selanjutnya sebagai pengantar bagi lanjutan kepada disiplin-disiplin Ilmu Sosial. Studi Sosial bersifat
interdisipliner, dengan menetapkan pilihan judul atau masalah-masalah tertentu berdasarkan sesuatu rangka referensi, dan meninjaunya dari
beberapa sudut sambil mencari logika dari hubungan-hubungan yang ada satu dengan lainnya. Sesuatu acara ditinjau dari beberapa sudut
komprehensif mungkin.”
Studi Sosial menurut John Jarolimek:
“Tugas Studi Sosial sebagai suatu bidang studi mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dengan
tujuan membina warga masyarakat yang mampu menyelaraskan kehidupannya berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan social, serta membantu
melahirkan kemampuan memecahkan masalah-masalah social yang dihadapainya. Jadi, baik materi maupun metode pembelajaran penyajiannya
harus sesuai dengan misi yang diembannya.”

C.     Pengetahuan Sosial (IPS)


Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980: 8) memberi batasan IPS adalah merupakan suatu pendekatan interdsipliner ( Inter-disciplinary
Approach) dari pelajaran Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya,
psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi oleh Saidiharjo (1996: 4) bahwa IPS
merupakan hasil kombinasi atau hasil perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
IPS lebih menitik beratkan kepada pendekatan multidisipliner  atau interdisipliner, dimana topik-topik dalam IPS dapat dimanipulasi
menjadi suatu isu, pertanyaan atau permasalahan yang berperspektif interdisiplin.Ilmu pengetahuan IPS yg dikenal di Indonesia bukan Ilmu Sosial.
Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS pada berbagai tingkat pendidikan tidak   akan menekankan pada aspek teoritis keilmuannya, melainkan
lebih menekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah serta mengkaji gejala dan masalah sosial dengan mempertimbangkan bobot dan
tingkatan peserta didik pada tiap jenjang.
Pendekaatan yang dilakukan Studi Sosial sangat berbeda dengan pendekatan yang biasa digunakan dalam Ilmu Sosial. Pendekatan Studi
Sosial bersifat interdisipliner atau multidisipliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Sedangkan pendekatan yang digunakan dalam
Ilmu Sosial ( Social Sciences ) bersifat disipliner dari bidang ilmunya masing-masing.
Konsep “Social Studies” secara umum berkembang di Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang telah menujukkan reputasi
akademis dalam bidang sosial, seperti dengan berdirinya National Council for The Social Studies (NCSS) pada tanggal 20-30 November 1935.
dalam pertemuan ini, disepakati bahwa “Social Science as the Core of the Curriculum” yaitu menempatkan bahwa social studies sebagai core
curriculum. Sedangkan pada tahun 1937, pilar historis-epiostemologis, social studies yang pertama, berupa suatu definisi tentang “ social studies”
yang berawal dari Edgar Bruce Wesley yaitu The Social Studies Are The Social Sciences Simplified Pedagogical Purpose yang artinya bahwa “The
Social Studies” adalah ilmu-ilmu sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Kemudian dikembangkan bahwa social studies berisikan
aspek-aspek ilmu sejarah, ilmu ekonomi, ilmu politik, sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu geografi dan filsafat. Berdasarkan pengamatan Edgar
Bruce Wesley selama 40-an tahun bahwa bahwa bidang social studies mengalami perkembangan dengan adanya ketakmenentuan
ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan terutama pada tahun 1940-1970-an.
Pada periode ini, merupakan periode yang sangat sulit dalam menjalankan social studies. Antara tahun 1940-1950-an, “social studies”
mendapat serangan dari segala penjuru yang pada dasarnya berkisar pada pertanyaan mesti atau tidaknya “ social studies” menanamkan nilai dan
sikap demokratis kepada para pemuda. Pada tahun 1960-an timbul suatu gerakan akademis yang mendasar dalam pendidikan, yang secara khusus
dapat dipandang sebagai suatu revolusi dalam bidang social studies yang dipelopori oleh para sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial. Kedua kelompok
ilmuwan ini terpikat oleh “social studies” karena pada saat pemerintahan federal menyediakan dana yang sangat besar untuk pengembangan
kurikulum. Dengan dana ini, para ahli bekerja sama untuk mengembangkan proyek kurikulum dan memproduksi bahan belajar yang sangat inovatif
dan menantang dalam skala besar. Gerakan akademis tersebut dikenal sebagai gerakan “The New Social Studies”.
Namun demikian, sampai tahun 1970-an ternyata gagasan untuk mendapatkan The New Social Studies ini belum menjadi kenyataan. Isu
yang terus menerpa social studies adalah mengenai perlu tidaknya indoktrinasi, tujuan pembelajaran yang saling bertentangan dan pertikaian
mengenai isi pembelajaran. Pada tahun 1940-1960 terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies, disatu pihak adanya gerakan untuk
mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu sosial untuk tujuan citizenship education dan di lain pihak terus bergulirnya gerakan pemisahan berbagai
disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsepsi social studies education. Hal ini merupakan dampak dari berbagai penelitian yang
dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah, terutama yang berkenaan dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu, merupakan dampak dari
opini publik berkaitan dengan perang dunia II, perang dingin, dan perang korea serta kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey
tentang pengembangan kemampuan berpikir kritis dalam praktik pendidikan persekolahan.
Gerakan The New Social Studies yang menjadi pilar dari perkembangan Social Studies pada tahun 1960-an bertolak dari kesimpulan
bahwa “Social Studies” sebelumnya dinilai sangat tidak efektif dalam mengajarkan substansi dan mempengaruhi perubahan siswa.
 Oleh karena itu, sejarawan dan ahli-ahli ilmu sosial bersatu padu untuk bergerak meningkatkan  Social Studies kepada taraf higher level of
Intellectual Pursuit yakni mempelajari ilmu sosial secara mendasar. Dengan orientasi tersebut maka dimulailah era modus pembelajaran  Social
Studies Education. Dari berbagai pandangan mendorong timbulnya upaya mentransformasikan “Social Studies” ke dalam “Social Science” dan
mengajarkan sebagai disiplin Akademik yang terpisah. Gerakan inilai yang mendorong berdirinya The Social Science Education
Concortium ( SSEC ) yang kemudian menerbitkan bukunya yang pertama Concept and Structure in The New Social Studies Curriculum.
Pada akhir 1960-an adanya perubahan dari orientasi pada disiplin akademik yang terpisah-pisah ke suatu upaya untuk mencari hubungan
interdisipliner. Definisi “Social Studies” dan pengidentifikasian “Social Studies” atas tiga tradisi pedagogis dianggap sebagai pilar utama dari
“Social Studies” pada tahun 1970-an. Dalam definisi tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal yaitu pertama Social Studies merupakan suatu sistem
pengetahuan terpadu, kedua misi utama Social Studies adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis, ketiga sumber
utama kontek Social Studies adalah social sciences dan humanities, keempat dalam upaya penyiapan warga negara yang demokratis (Barr dkk,
1978) pada tahun 1980-1990-an pemikiran mengenal Social Studies yang sebelumnya dilanda masalah, secara konseptual telah dapat diatasi.
Dilihat dari karakteristik dan tujuannya, Social Studies Education atau Social Studies yang dipikirkan untuk abad ke-21 masih tetap
menempatkan pendidikan kewarganegaraan yaitu pengembangan Civic Responsibility and Active Civic Participation sebagai salah satu esensinya.
Pada tahun 1992, The Board of Directors of The National Council fot The Social Studies mengadopsi visi terbaru mengenai Social Studies yang
kemudian diterbitkan dalam dokumen resmi NCSS pada tahun 1994 dengan judul Expectations of Excellence; Curricullum Standars for Social
Studies

Anda mungkin juga menyukai