Anda di halaman 1dari 5

Isu NII & Sikap Hipokrit Penguasa: Menciptakan Islamphobia

Oleh: Harits Abu Ulya


(Pemerhati Kontra-Terorisme dan Ketua Lajnah Siyasiyah DPP-HTI)

Dalam sepekan lebih, NII (Negara Islam Indonesia) menjadi buah bibir di media
elektronik maupun cetak. Banyak kalangan mendiskusikan dan memberikan penilaian,
sikap dan tawaran solusi. Pro-kontra; Pemerintah terkesan tidak tegas bahkan
ambivalen, kemudian justru menggiring opini kearah perlunya pemerintah memiliki
seperangkat regulasi (Undang-Undang) seperti UU Intelijen. Seperti ungkap Menhan RI
Purnomo Y di Yogyakarta, Jumat ; ”Yang kita butuhkan sebenarnya adalah mata dan
telinga yang terbuka yang dapat melakukan pengawasan, penetrasi dalam, terhadap
gerakan-gerakan radikalisme seperti itu,”. Lebih jauh ungkapnya; penanganan kelompok
NII mengalami kesulitan karena terganjal tidak adanya dasar hukum yang kuat. Ia
beralasan bahwa negara ini belum memiliki UU keamanan Nasional dan UU Intelijen
yang masih banyak ditentang sejumlah masyarakat. (Antara, 29/4/2011).

Bahkan banyak pihak yang menuding pemerintah seolah menutup mata,


melakukan pembiaran dan menganggap enteng gerakan NII. Sikap ini beralasan, karena
melihat pemerintah seperti yang di ungkapkan Menko Polhukam RI DJoko Suyanto; NII
belum bisa dianggap makar karena baru bersifat mengajak orang untuk mengikuti jalan
mereka.Kalau hanya menghimbau dan meminta untuk mengikuti NII, kan tidak bisa
dikatakan menggangu kedaulatan negara,”. Dan meminta agar media tidak membesar-
besarkan masalah NII.Di kesempatan yang berbeda Djoko kembali menegaskan
pernyataannya bahwa NII belum menjadi ancaman Nasional. Dalihnya karena NII belum
merupakan gerakan yang bersifat massif, (MI, 2/5/2011).Sementara mayoritas Umat
Islam Indonesia mempersoalkan eksistensi NII, alasan mendasarnya adalah adanya
penyimpangan-penyimpangan menyangkut Akidah, pokok-pokok Syariat dan terjadinya
tindakan kriminal yang dilakukan secara terorganisir oleh OTB (organisasi tanpa bentuk)
-NII.
Umat Islam Indonesia seolah takpernah ada habisnya dirundung masalah,
musibah dan fitnah terkait dengan keyakinan dan syariatnya. Seperti halnya dalam isu
NII KW IX, terlihat ada upaya tangan-tangan kotor untuk membuat umat Islam salah
paham terhadap agamanya sendiri bahkan phobia dengan perjuangan syariat dibumi
Indonesia. Maka perlu kiranya umat mebangun kesadaran politknya, apa kiranya yang
terjadi dengan isu NII. Apakah benar NII yang dipersoakan hari ini adalah kelompok yang
menyimpang dari Islam? Dan adakah hal-hal yang kontraproduktif dengan
berkembangnya isu NII ditengah masyarakat terhadap Islam dan kaum muslimin?

NII KW IX bukan DI/TII Kartosoewiryo


Isu NII yang muncul sebenarnya lebih fokus mengarah kepada kelompok NII KW
IX yang ditengarai pemimpinya adalah Abu Toto alias Abu Mariq alias Abu Marif alias
Syamsul Alam dengan julukan atau gelar Panji Gumilang.Jika dilacak akar embrionalnya
tentu tidak bisa lepas dari sejarah eksistensi gerakan DI/TII dibawah pimpinan Sekarmaji
Marijan Kartosoewiryo yang diproklamirkan pada 7 Agustus 1949. Sebuah sikap anak
bangsa di awal kemerdekaan Indonesia, yang merasa tidak terakomodir kepentingan
dan visi politiknya dalam format dan sistem yang dibangun untuk kehidupan sosial
politik negara Indonesia. Namun NII KW IX tidak otomatis bisa diklaim adalah DI/TII itu
sendiri, karena faktanya dalam banyak aspek yang dikembangkan oleh KW IX tidak dan
bukan aspek (visi dan misinya) murni seperti yang pernah di perjuangkan oleh DI/TII
Kartosoewiryo.

Dalam riset MUI (2002) terungkap; menurut Raden Abdul Fatah Wirangganapati,
mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang bertugas
memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah, sejak Juli 1962 secara
organisasi NII sudah bubar. Saat itu hanya ada tujuh KW, jadi belum ada KW IX.
Menurutnya, pada tahun 1975 (1974), Adah Jailani (mantan salah satu komandan
wilayah) mengangkat dirinya sebagai imam NII (1975), dan sempat dipenjara tahun itu.
Pada tahun 1976 tercium kuat adanya fakta penetrasi intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke
tubuh NII, melalui Adah Jailani . Lalu di bentuk Komandemen baru yaitu KW VIII untuk
wilayah Lampung dan KW IX yang meliputi Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi,
Banten). KW IX dipimpin oleh Seno Aji alias Basyar. Lalu dia digantikan oleh Abu Karim
Hasan, orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan doktrin Mabadiuts
Tsalatsah yang digunakan KW IX hingga kini. Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992,
lalu Adah Jaelani mengangkat Abu Toto menggantikan Abu Karim. Sejak tahun 1993,
KW IX membangun struktur dibawahnya hingga meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Juga membangun sistem keuangan dan doktrin dasar yang sebelumnya tidak pernah
diajarkan dalam gerakan DI/TII Kartosoewiryo. NII KW IX itu eksis hingga kini. Dari
penelitian MUI tahun 2002 ditemukan indikasi kuat adanya relasi antara Ma’had az-
Zaytun (MAZ) dan organisasi NII KW IX.

Tidak keliru kalau sebagian pihak menyatakan, bahwa orang-orang NII KW IX


adalah mereka yang mencari uang dengan menjual nama NII atau berkedok perjuangan
agama.Cita-cita negara Islam lebih tepat menjadi tameng dari sebuah kriminalitas
terorganisir bahkan disinyalir melibakan instrument kekuasaan (intelijen negara),
dibanding sebuah visi politik yang bisa dipertangung jawabkan baik dari aspek doktrin
normative dan metode operasioalnya serta visibilitasnya sebagai sebuah gerakan politik.
Banyak tindakan kriminal dilakukan sebagai akibat doktrin keagamaan yang keluar dari
pakem yang ada. Seperti doktrin mengkafirkan umat diluar kelompok mereka.
Konsekuensi doktrin ini adalah kehalalan darah dan harta umat diluar kelompok mereka.
Kebolehan melakukan tipu daya, berbohong, mengambil harta hinga melakukan
tindakan kriminal terhadap umat diluar mereka. Dan mereka menghimpun doktrin
ajaran dalam istilah Mabadi Tsalasah (tiga prinsip dasar).

Dalam masalah akidah, dan syariat terungkap doktrin yang menyimpang;


1.Menafsirkan al Qur’an sesuai dengan kepentingan organisasi, 2. Membagi shalat
menjadi dua, shalat ritual dan shalat universal, 3. Merubah zakat jadi harakah
Ramadhan dan harakah Qurban, 4. Melaksanakan haji ke ibu kota negara (di lembaga
mantelnya; ma’had az Zaytun Indramayu -Jabar), 5.Mengkafirkan orang diluar
kelompoknya, 6.Menyamakan posisi negara dengan Allah, dan para pimpinanya sebagai
Rasul,7.Sangat eksklusif dan tertutup, 8.Menghalalkan segala cara untuk meraih target.
Tentu doktrin seperti ini akan berdampak kepada penafsiran al Qur’an dan hadis
mengikuti hawa nafsu. Merubah arti dan bentuk ibadah yang sudah pasti (tauqifiyah),
melegalisasi segala bentuk kriminalitas dengan al Qur’an.(www.nii-crisis-center.com).

Sikap aneh penguasa?


Media sudah banyak ekspos, korban tindak pidana dari kelompok NII KW IX. Dari
berbagai kalangan, dan kelas masyarakat kecuali dari keluarga Polri dan TNI (karena ini
target yang dihindari oleh kelompok NII dengan dalih keamanan). Ada kasus penculikan,
penipuan, pencurian bahkan sampai tindakan perampokan adalah produk dari
kelompok ini. Pengaduan korban, kesaksian mantan anggota NII dan hasil penelitian
Balitbang Depag (Februari 2004), MUI(5 oktober 2002) dan temuan Intelkam Mabes
Polri seharusnya cukup memberikan pijakan kepada pemerintah untuk merumuskan
sikap dan tindakan tegas terhadap kelompok NII KW IX.Dalam benak umat Islam
bergelayut pertanyaan; kenapa pemerintah begitu tegas dan keras memberantas
kelompok OTB (organisasi tanpa bentuk) yang memegang ideologi Jihad dengan dilabeli
JI (jemaah islamiyah) dan teroris. Bahkan kasus kriminal perampokan 2010 (Bank CIMB-
Medan) juga dianggap tindakan teroris dengan mengopinikan bahwa visi perampokan
adalah mendirikan negara Islam (daulah Islam), bahkan sekarang para pelakunya di adili
dengan UU No 15 tahun 2003 (tindak pidana terorisme). Atau kasus terbaru, bom buku
yang kemudian hari terungkap motif pelakunya lebih dominan adalah bisnis, tapi pihak
pemerintah (BNPT) juga “bernyanyi” bahwa mereka adalah kelompok teroris dengan
misi politik hendak mendirikan daulah Islam global (Khilafah). Lantas kenapa dalam
kasus NII dengan data dan fakta kejahatan kriminal yang berserak, pemerintah tidak
bertindak tegas dan keras. Apalagi selama ini alur berfikir yag dibangun melalui media
masa kelompok macam NII-lah yang menyuburkan tindakan terorisme dengan ideologi
dan visi politiknya yaitu hendak mendirikan negara Islam.

Justru yang lebih aneh, isu NII menjadi komoditi untuk mempropagandakan
pentingnya RUU Intelijen di sahkan dengan memberikan kewenangan kepada aparat
intelijen secara lebih. Agar bisa bersikap lebih represif kepada kelompok-kelompok yang
dikatagorikan sebagai ancaman nasional. Dalam benak masyarakat muncul soal; apakah
penguasa memiliki kepentingan politik dibalik eksistensi NII? Jika tidak, kenapa kesannya
membisu. Ataukah pemerintah terkesan ogah-ogahan karena mengambil nasehat
sebagian orang; fokus lebih dahulu untuk membangun keadilan dan kemakmuran , baru
berantas tindak pidana teroris dan kelompok-kelompok yang dianggap embrio lahirnya
terorisme karena mengusung ideologi radikal. Jika iya, maka sangat klise sekali karena
faktanya selama ini pemerintah terlihat “amnesia” melihat akar persoalan terorisme di
Indonesia. Sibuk menyelesaikan persoalan hilir dan abai pada persoalan
hulu.Kedzaliman global yang di komandani Amerika di dunia Islam nyaris tanpa pernah
dikoreksi apalagi dilawan, pengelolaan urusan domestik rakyat Indonesia terlihat
bopeng sana-sini atau lebih tepat negara gagal karena tidak kunjung hadir memberikan
solusi praktis atas berbagai problem ekonomi, hukum dan keadilan yang didambakan
rakyat. Apakah para penguasa sadar jika kondisi seperti ini cenderung mudah
melahirkan masyarakat yang sakit, rentan melahirkan kontraksi dan disharmonisasi
kehidupan sosial politik hingga berujung pada tindakan anarkisme dan sejenisnya.

Isu NII kontraproduktif untuk perjuangan syariat Islam


Isu NII, opininya terlanjur menggelinding menjadi bola panas. Akhirnya disadari
atau tidak, melahirkan dampak negatif dalam kehidupan umat Islam. Media
mengekspos secara massif, sengaja isu NII selalu dikaitkan dengan kasus radikalisme,
ideologi radikal dan terorisme. Sebuah alur pemikiran dibangun sedemikian rupa nyaris
tanpa koreksi, seolah tindakan terorisme yang tumbuh silih berganti di Indonesia terkait
dengan ideologi radikal seperti yang dikembangkan oleh NII.Padahal faktanya NII KW IX
tidak lebih sebagai entitas underground (bawah tanah) yang menjadi antitesa dari
perjuangan Islam yang sesungguhnya.

Maka jika hari ini di hembuskan ulang tentang NII, sangat mungkin bidikan
sesungguhnya bukan dalam rangka menghancurkan dan memberangus NII. Tapi
mengambil satu aspek, yakni terminologi “negara Islam” (alias: darul Islam, daulah
Islam). Disana berkelindan kepentingan proyek deradikalisasi, mengharuskan
tercapainya target; masyarakat resisten terhadap terminologi dan dan visi politik dari
sebuah kelompok yaitu “negara Islam”. Penerapan Islam dalam format Negara harus
menjadi momok bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, sekalipun
penghuninya mayoritas adalah orang Islam. Karena format Indonesia yang sekuler dan
liberal dalam bingkai demokrasi adalah “harga mati” (padahal sejatinya justru menjadi
sumber semua permasalahan yang terjadi), karenanya wajib mengeliminasi setiap
“ancaman” terhadapnya baik dengan cara soft (lembut) maupun hard strategi (tindakan
keras).
Bahkan, isu NII terus dibiarkan agar menjadi “teror NII”, untuk mendesakkan
kebutuhan akan adanya regulasi (UU) tentang keamanan negara khususnya UU Intelijen
yang sedang dibahas di DPR. Menhan Purnomo Yoesgiantoro menyatakan bahwa
penanganan kelompok NII mengalami kesulitan karena terganjal tidak adanya dasar
hukum yang kuat. Ia beralasan bahwa negara ini belum memiliki UU keamanan Nasional
dan UU Intelijen yang masih banyak ditentang sejumlah masyarakat. (Antara,
29/4/2011). Menurut Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informatika
Kemenko Polhukam, Sagom Tamboen, untuk mengantisipasi adanya dugaan
pelanggaran pidana yang dilakukan gerakan NII, maka diperlukan terbentuknya Undang-
Undang Intelijen (Okezone.com, 29/4).

Lebih tegas lagi, seiring dengan sikap “aneh” pemerintah, isu NII justru diekspos
secara massif. Berbagai opini dan propaganda pun diblow up dengan memanfaatkan isu
tersebut. Di media massa dibeberkan pernyataan kepolisian dan pihak lainnya bahwa
beberapa pelaku aksi teror pernah bergabung dengan NII. Maraknya radikalisme dan
aksi terorisme pun tak jarang dikaitkan dengan ideologi radikal seperti yang
dikembangkan oleh NII. Pada saat yang sama berbagai kasus yang dikaitkan dengan NII
dan berbagai penyimpangan NII diblow up dan terus dikaitkan dengan tujuan pendirian
negara islam.

Dengan itu negara islam dikesankan sebagai sesuatu yang menakutkan, menjadi
ancaman dan bahaya bagi umat. Sekaligus secara implisit itu adalah propaganda untuk
mengesankan syariah islam sebagai ancaman dan bahaya. Maka itulah upaya
“monsterisasi” istilah negara islam. Arahnya tidak lain adalah untuk menciptakan dan
menanamkan sikap phobi terhadap visi islam politik penerapan syariah islam dalam
bingkai negara. Ujungnya adalah untuk menjauhkan umat dari perjuangan penerapan
syariah yang diwajibkan oleh Allah atas mereka.

Jangan sampai isu NII menjadi jebakan adu domba bagi umat Islam. Waspadalah
wahai kaum muslimin, karena orang-orang munafik yang benci kepada Islam, siang dan
malam menyusun rencana dan agenda untuk memadamkan cahaya Islam atas alasan
“demokrasi. Wallahu a’lam bisshowab

Anda mungkin juga menyukai