Dalam sepekan lebih, NII (Negara Islam Indonesia) menjadi buah bibir di media
elektronik maupun cetak. Banyak kalangan mendiskusikan dan memberikan penilaian,
sikap dan tawaran solusi. Pro-kontra; Pemerintah terkesan tidak tegas bahkan
ambivalen, kemudian justru menggiring opini kearah perlunya pemerintah memiliki
seperangkat regulasi (Undang-Undang) seperti UU Intelijen. Seperti ungkap Menhan RI
Purnomo Y di Yogyakarta, Jumat ; ”Yang kita butuhkan sebenarnya adalah mata dan
telinga yang terbuka yang dapat melakukan pengawasan, penetrasi dalam, terhadap
gerakan-gerakan radikalisme seperti itu,”. Lebih jauh ungkapnya; penanganan kelompok
NII mengalami kesulitan karena terganjal tidak adanya dasar hukum yang kuat. Ia
beralasan bahwa negara ini belum memiliki UU keamanan Nasional dan UU Intelijen
yang masih banyak ditentang sejumlah masyarakat. (Antara, 29/4/2011).
Dalam riset MUI (2002) terungkap; menurut Raden Abdul Fatah Wirangganapati,
mantan Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi Angkatan Perang NII yang bertugas
memilih dan mengangkat panglima komandemen wilayah, sejak Juli 1962 secara
organisasi NII sudah bubar. Saat itu hanya ada tujuh KW, jadi belum ada KW IX.
Menurutnya, pada tahun 1975 (1974), Adah Jailani (mantan salah satu komandan
wilayah) mengangkat dirinya sebagai imam NII (1975), dan sempat dipenjara tahun itu.
Pada tahun 1976 tercium kuat adanya fakta penetrasi intelijen (Ali Murtopo/BAKIN) ke
tubuh NII, melalui Adah Jailani . Lalu di bentuk Komandemen baru yaitu KW VIII untuk
wilayah Lampung dan KW IX yang meliputi Jakarta Raya (Jakarta, Tangerang, Bekasi,
Banten). KW IX dipimpin oleh Seno Aji alias Basyar. Lalu dia digantikan oleh Abu Karim
Hasan, orang yang paling berpengaruh dalam pembentukan doktrin Mabadiuts
Tsalatsah yang digunakan KW IX hingga kini. Abu Karim Hasan meninggal tahun 1992,
lalu Adah Jaelani mengangkat Abu Toto menggantikan Abu Karim. Sejak tahun 1993,
KW IX membangun struktur dibawahnya hingga meliputi seluruh wilayah Indonesia.
Juga membangun sistem keuangan dan doktrin dasar yang sebelumnya tidak pernah
diajarkan dalam gerakan DI/TII Kartosoewiryo. NII KW IX itu eksis hingga kini. Dari
penelitian MUI tahun 2002 ditemukan indikasi kuat adanya relasi antara Ma’had az-
Zaytun (MAZ) dan organisasi NII KW IX.
Justru yang lebih aneh, isu NII menjadi komoditi untuk mempropagandakan
pentingnya RUU Intelijen di sahkan dengan memberikan kewenangan kepada aparat
intelijen secara lebih. Agar bisa bersikap lebih represif kepada kelompok-kelompok yang
dikatagorikan sebagai ancaman nasional. Dalam benak masyarakat muncul soal; apakah
penguasa memiliki kepentingan politik dibalik eksistensi NII? Jika tidak, kenapa kesannya
membisu. Ataukah pemerintah terkesan ogah-ogahan karena mengambil nasehat
sebagian orang; fokus lebih dahulu untuk membangun keadilan dan kemakmuran , baru
berantas tindak pidana teroris dan kelompok-kelompok yang dianggap embrio lahirnya
terorisme karena mengusung ideologi radikal. Jika iya, maka sangat klise sekali karena
faktanya selama ini pemerintah terlihat “amnesia” melihat akar persoalan terorisme di
Indonesia. Sibuk menyelesaikan persoalan hilir dan abai pada persoalan
hulu.Kedzaliman global yang di komandani Amerika di dunia Islam nyaris tanpa pernah
dikoreksi apalagi dilawan, pengelolaan urusan domestik rakyat Indonesia terlihat
bopeng sana-sini atau lebih tepat negara gagal karena tidak kunjung hadir memberikan
solusi praktis atas berbagai problem ekonomi, hukum dan keadilan yang didambakan
rakyat. Apakah para penguasa sadar jika kondisi seperti ini cenderung mudah
melahirkan masyarakat yang sakit, rentan melahirkan kontraksi dan disharmonisasi
kehidupan sosial politik hingga berujung pada tindakan anarkisme dan sejenisnya.
Maka jika hari ini di hembuskan ulang tentang NII, sangat mungkin bidikan
sesungguhnya bukan dalam rangka menghancurkan dan memberangus NII. Tapi
mengambil satu aspek, yakni terminologi “negara Islam” (alias: darul Islam, daulah
Islam). Disana berkelindan kepentingan proyek deradikalisasi, mengharuskan
tercapainya target; masyarakat resisten terhadap terminologi dan dan visi politik dari
sebuah kelompok yaitu “negara Islam”. Penerapan Islam dalam format Negara harus
menjadi momok bagi kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia, sekalipun
penghuninya mayoritas adalah orang Islam. Karena format Indonesia yang sekuler dan
liberal dalam bingkai demokrasi adalah “harga mati” (padahal sejatinya justru menjadi
sumber semua permasalahan yang terjadi), karenanya wajib mengeliminasi setiap
“ancaman” terhadapnya baik dengan cara soft (lembut) maupun hard strategi (tindakan
keras).
Bahkan, isu NII terus dibiarkan agar menjadi “teror NII”, untuk mendesakkan
kebutuhan akan adanya regulasi (UU) tentang keamanan negara khususnya UU Intelijen
yang sedang dibahas di DPR. Menhan Purnomo Yoesgiantoro menyatakan bahwa
penanganan kelompok NII mengalami kesulitan karena terganjal tidak adanya dasar
hukum yang kuat. Ia beralasan bahwa negara ini belum memiliki UU keamanan Nasional
dan UU Intelijen yang masih banyak ditentang sejumlah masyarakat. (Antara,
29/4/2011). Menurut Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi dan Informatika
Kemenko Polhukam, Sagom Tamboen, untuk mengantisipasi adanya dugaan
pelanggaran pidana yang dilakukan gerakan NII, maka diperlukan terbentuknya Undang-
Undang Intelijen (Okezone.com, 29/4).
Lebih tegas lagi, seiring dengan sikap “aneh” pemerintah, isu NII justru diekspos
secara massif. Berbagai opini dan propaganda pun diblow up dengan memanfaatkan isu
tersebut. Di media massa dibeberkan pernyataan kepolisian dan pihak lainnya bahwa
beberapa pelaku aksi teror pernah bergabung dengan NII. Maraknya radikalisme dan
aksi terorisme pun tak jarang dikaitkan dengan ideologi radikal seperti yang
dikembangkan oleh NII. Pada saat yang sama berbagai kasus yang dikaitkan dengan NII
dan berbagai penyimpangan NII diblow up dan terus dikaitkan dengan tujuan pendirian
negara islam.
Dengan itu negara islam dikesankan sebagai sesuatu yang menakutkan, menjadi
ancaman dan bahaya bagi umat. Sekaligus secara implisit itu adalah propaganda untuk
mengesankan syariah islam sebagai ancaman dan bahaya. Maka itulah upaya
“monsterisasi” istilah negara islam. Arahnya tidak lain adalah untuk menciptakan dan
menanamkan sikap phobi terhadap visi islam politik penerapan syariah islam dalam
bingkai negara. Ujungnya adalah untuk menjauhkan umat dari perjuangan penerapan
syariah yang diwajibkan oleh Allah atas mereka.
Jangan sampai isu NII menjadi jebakan adu domba bagi umat Islam. Waspadalah
wahai kaum muslimin, karena orang-orang munafik yang benci kepada Islam, siang dan
malam menyusun rencana dan agenda untuk memadamkan cahaya Islam atas alasan
“demokrasi. Wallahu a’lam bisshowab