Oleh:
NIM. E0018010
FAKULTAS HUKUM
2021
A. Judul
ANALISIS KEBIJAKAN PENCABUTAN STATUS WARGA NEGARA
INDONESIA EKS MILITAN ISIS PASCA PENOLAKAN REPATRIASI OLEH
PEMERINTAH INDONESIA
B. Bidang Ilmu
Ilmu Hukum (Hukum Tata Negara)
C. Latar Belakang
Mencermati pada beberapa tahun terakhir hampir semua negara-negara di dunia
memerangi ISIS, hal tersebut sesuai dengan United Nations Security Council
Resolution 2249 yang dikeluarkan pada 20 November tahun 2015 mengenai resolusi
pada setiap anggota PBB untuk meningkatkan upaya yang untuk melawan ISIS. (Kifly
Arafat Samu, 2018: 76)
ISIS atau Islamic State of Iraq and Suria merupakan teroris internasional yang
dipimpin Abu Bakar al-Baghdadi. Organisasi tersebut oleh dunia barat dikenal dengan
istilah organisasi Islam garis keras. Stigma negatif barat terhadap Islam salah satunya
akibat berbagai kasus terorisme yang terjadi di berbagai negara Eropa. Padahal jika
dikaji secara mendalam mengenai ideologi mereka, maka sangat jauh dari ideologi
Islam yang sebenarnya. (Moh. Ramdan Rusdi, 2020: 3)
Pasca dinyatakan kalah pada tahun 2019, muncul permasalahan baru terkait
nasib eks ISIS yang masih tersisa. Pasalnya, tidak semua simpatisan ISIS berasal dari
Iraq dan Suriah, banyak pula dari mereka yang berasal dari negara-negara berpenduduk
muslim, salah satunya dari Indonesia. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan bahwa sebanyak 689 WNI
eks ISIS itu kini berada di Suriah, Turki, dan beberapa negara lainnya yang terlibat FTF
(Foreign Terrorist Fighters).
Pro kontra repatriasi eks ISIS mencuat di masyarakat. Beberapa ada yang
menerima pemulangan mereka dan ada juga yang menolak dengan keras dengan alasan
akan menjadi bibit terorisme baru di Indonesia. Penolakan yang paling keras khususnya
berasal dari keluarga korban berbagai kasus terorisme yang pernah terjadi di Indonesia.
Dalam lima tahun terakhir (2015-2020) tercatat ada lima kasus terorisme yang
dikonfirmasi sebagai tindakan ISIS, bom Tahmrin, rencana serangan pos polisi di
Tanggerang, jaringan Majalengka, bom Mapolresta Surakarta, dan Teror 17 Agustus di
Solo pada 2015.
Pemulangan eks ISIS juga terhalang oleh kebijakan deradikalisasi yang menjadi
program pemerintah dalam menekan ideologi radikal di Indonesia. Deradikalisasi
bertujuan untuk mengecegah paham reaktif di masyarakat akibat ketidakadilan dan
propaganda ketidakadilan oleh oknum-oknum tertentu. Sehingga, jika eks ISIS tetap
dipulangkan, maka untuk menyukseskan deradikalisasi akan menemui kegagalan. Hal
ini karena objek deradikalisasi adalah pemuda-pemuda yang masih memiliki
pemahaman ideologi yang sesuai dengan Pancasila.
Melalui rapat terbatas atau ratas yang diadakan Presiden Joko Widodo telah
diambil keputusan bahwa sebanyak 689 WNI eks ISIS sudah dipastikan tidak akan
dipulangkan ke Tanah Air. Keputusan penolakan repatriasi mereka diambil dengan
sejumlah pertimbangan, salah satunya yakni demi menjaga 267 juta rakyat Indonesia.
Dapat diketahui bersama sebelum ISIS kehilangan wilayah kekuasaanya di
Suriah, ISIS telah melakukan berbagai extraordinary crime yang membuat
keberadaannya mengancam perdamaian dunia. Segala kejahatan Hak Asasi Manusia
(HAM) berat yang dilakukan anggota ISIS yang tidak hanya berpusat pada Irak dan
Suriah, melainkan di berbagai negara yang menyebabkan akhirnya banyak negara-
negara yang mencabut kewarganegaraan atau denasionalisasi warga negaranya yang
tergabung ke dalam ISIS. (Sunardi Fanny Tanuwijaya, 2018: 73)
Berangkat dari hal tersebut, dalam rapat terbatas yang telah dilaksanakan,
masalah status kewarganegaraan WNI eks ISIS itu pun juga dibahas. Dukungan dan
penolakan muncul dalam wacana tersebut. Dalam pandangan pro, kebijakan tersebut
dapat meningkatkan prorgam deradikalisasi yang sedang digencarkan pemerintah.
Namun dalam sudut pandang kontra ada hal lain yang perlu dipertimbangkan yaitu
‘membuang’ para WNI yang menjadi anggota ISIS tersebut tidak menyelesaikan
masalah dari akarnya.
Kepala Staf Presiden Moeldoko memastikan bahwa status kewarganegaraan
WNI mantan teroris lintas batas yang ditolak masuk ke Indonesia menjadi stateless.
Menurut Moeldoko, status kewarganegaraan mereka sudah diatur dalam perundang-
undangan tentang kewarganegaraan. Namun pendapat tersebut tidak sejalan dengan
yang disampaikan oleh Mahfud MD selaku Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum, dan Keamanan yang menjelaskan bahwa pencabutan kewarganegaraan melalui
proses hukum administrasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan dan Peratuan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2007
Tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh Kembali
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Menilik lebih lanjut pencabutan status kewarganegaraan eks simpatisan ISIS
tersebut juga sudah dilakukan oleh Inggris. Associated Press mengutip laporan-laporan
media di Inggris yang melaporkan bahwa para pejabat Inggris telah mencabut
kewarganegaraan lebih dari 100 pejuang yang berasal dari negara itu, termasuk
pasangan mereka, sehingga secara legal tidak bisa kembali ke negara tersebut. Mereka
yang kehilangan kewarganegaraan Inggris merupakan simpatisan ISIS yang memiliki
dwi-kewarganegaraan. Sehingga ketika mereka dicabut kewarganegaraannya tidak
serta merta membuatnya berstatus stateless.
Sejalan dengan Inggris, Jerman pun melakukan langkah demikian dalam
menyikapi kebijakan terkait warga negaranya yang bergabung dengan ISIS. Koalisi
pemerintahan Kanselir Angela Merkel di parlemen Jerman telah menyepakati rencana
untuk mencabut kewarganegaraan dari sejumlah warganya yang bergabung menjadi
militan ISIS. Lebih dari 1.000 orang Jerman telah meninggalkan negara mereka sejak
2013 untuk bergabung dalam zona perang di Timur Tengah. Terdapat tiga kriteria yang
harus dipenuhi pemerintah jika ingin mencabut kewarganegaraan warganya yang
bergabung dengan ISIS, yaitu:
1. Orang-orang tersebut harus memiliki kewarganegaraan kedua;
2. Berusia dewasa berdasarkan hukum; dan
3. Status kewarganegaraannya akan dicabut jika mereka berperang bersama
ISIS setelah aturan tersebut diberlakukan.
Jika dicermati lebih lanjut terdapat persamaan antara kebijakan yang dilakukan
Inggris dan Jerman terkait kriteria dalam pencabutan status warga negara, yaitu harus
memiliki kewarganegaraan ganda atau kewarganegaraan kedua. Berdasarkan aturan
hukum internasional, pemerintah baik Inggris atau Jerman tidak bisa mencabut
kewarganegaraan seseorang jika hal itu membuat mereka sama sekali tidak memiliki
kewarganegaraan karena akan mengakibatkan situasi statelessness atau tanpa
kewarganegaraan. Dalam kerangka hukum Internasional, statelessness atau tanpa
kewarganegaraan, adalah seseorang yang tidak diakui sebagai warga negara oleh
negara mana pun berdasarkan hukumnya. Keadaan tanpa kewarganegaraan bagi
seseorang merupakan permasalahan yang kompleks dan berkepanjangan.
Dalam hal ini kriteria yang diterapkan oleh Inggris dan Jerman dapat dijadikan
pandangan bagi pemerintah Indonesia dalam mengambil keputusan terkait status WNI
eks ISIS. Mengingat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan berbagai instrumen
internasional hak asasi manusia telah mengatur bahwa setiap orang berhak atas
kewarganegaraan. Namun demikian, kewaraganegaraan hanya dapat diberikan kepada
seseorang atas diskresi suatu Negara. Adapun Indonesia sebagai duty bearer dalam hal
ini memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas
kewarganegaraan.