Anda di halaman 1dari 6

Universitas, Organisasi Militer atau Akademik?

Oleh: Ary Mochtar Pedju*

ORGANISASI universitas seperti sering terlihat pada universitas kita, yang


menonjolkan hirarki otoritas administratif, terasa janggal dan hampir tak pernah terlihat
pada universitas-universitas maju di dunia. Power sebuah universitas dengan misi
menghasilkan manusia cerdas dan produk-produk pemikiran tingkat tinggi melalui
pendidikan, penelitian, dan pelayanan masyarakat, tidak terletak pada petinggi-petinggi
administratif.

Hipotesa dalam tulisan ini adalah, organisasi perguruan tinggi kita menyerupai
organisasi militer-oleh almarhum Umar Kayam disebut "seperti jawatan pemerintah"-
adalah salah satu penyebab utama rendahnya mutu universitas kita.

Bila kita berkunjung ke beberapa universitas maju dan bertanya pada penyelenggaranya
apa yang menjadi kebanggaan lembaga yang dipimpinnya, jawaban mereka selalu hasil-
hasil penelitian atau teori-teori baru produk "Laboratoriumnya" (dengan "L" besar!)
yang dipublikasikan dan banyak dijadikan rujukan.

Contoh, MIT di Amerika Serikat (AS) akan menyodorkan informasi sekitar 70 buah
program dan penelitian antardisiplin yang diselenggarakan antarjurusan. Universitas
Stuttgart di Jerman, melalui brosurnya, akan menonjolkan tiap Laboratorium yang
berjumlah sekitar 160 buah, lengkap dengan program riset antardisiplin, organisasi,
fasilitas, dan target grup, dari bisnis, bahasa, pendidikan, teknik, dan sebagainya hingga
ilmu-ilmu dasar.

Lebih dari itu, yang mereka banggakan kini adalah hasil-hasil penelitian yang telah
banyak berubah dibanding hasil penelitian tradisional yang lebih besar unsur
arogansinya, yang oleh Dertouzos (1991) dijuluki for the sake of abstraction, difficulty
or elegance. Tujuan pusat-pusat penelitian dan program studi adalah banyak melatih
kemampuan mencari solusi masalah-masalah dunia nyata yang amat kompleks. Di
bidang teknik (engineering) misalnya, banyak laboratorium telah berubah menjadi
sociotechnical research centers, berciri antardisiplin (interdisciplinary), kontekstual, dan
broad based.

Banyak universitas ingin mendapat reputasi tinggi dan berusaha mendapat julukan
research university. Namun, kondisi di negara kita amat berbeda. Organisasi universitas
mirip organisasi militer. Puncak kegiatan ilmiah organisasi justru terletak paling bawah
(Gambar 1).

Pimpinan administratif tertinggi, rektor, ada di puncak struktur. Pimpinan satuan ilmiah
yang paling bertanggung jawab atas mutu akademik universitas tidak tampak. Profesor
yang rektor, di universitas negeri, diberi tunjangan lima kali lebih besar dari profesor
pemimpin Laboratorium (Keppres 2001). Profesor yang rektor seakan jenderal,
profesor yang tokoh ilmuwan sejati seperti kopral.

Sejarah pendidikan tinggi kita mencatat, universitas-universitas besar negeri yang


belum lama dibangun, diberi nama yang sama dengan nama komando daerah militer
(Kodam) di mana universitas itu berada, Pattimura, Hasanuddin, Udayana, Brawijaya,
dan seterusnya. (Ini fenomena menarik untuk bahan penelitian). "Suara universitas" ke
masyarakat adalah suara komandan tertinggi universitas.

Pasca sarjana (S-2, S-3)

Masyarakat ilmuwan Amerika yang tergabung dalam National Academy of Sciences,


National Academy of Engineering dan Institute of Medicine mengeluarkan dokumen
bersama tentang pendidikan pascasarjana: "Reshaping the Graduate Education of
Scientists and Engineers", (RGESE) 1995. Tujuan dokumen itu adalah to examine how
well graduate school prepare students to integrate and disseminate their knowledge and
apply it to the full range of present societal needs. Terlihat dalam dokumen itu, lulusan
Doktor (PhD) Amerika dalam jangka waktu panjang (1970-1990) kian banyak memilih
lapangan kerja bisnis dan industri meski disiplin ilmunya tidak sesuai. Dan secara
konstan, jumlah PhD yang memilih dunia pendidikan menurun hingga tinggal kurang
dari 50 persen!

Dari lulusan Magister, hanya sekitar 17 persen yang memilih pendidikan, dan rata-rata
60 persen memilih bisnis dan industri. Bila dikaji melalui program studi dan program
penelitian yang terakhir di berbagai universitas Inggris dan Eropa, tampaknya
kecenderungannya sama. Para pemimpin Laboratorium (dengan "L" besar) mereka juga
memiliki program penelitian dan studi yang menekankan the real societal needs.

Para guru besar pemimpin Laboratorium inilah yang mempunyai otoritas ilmiah
tertinggi di bidang keahlian masing-masing, dan dengan program serta riset yang
mempelajari dan mencari solusi-solusi tentang the massively complex societal needs
and issues, maka suaramereka adalah suara universitas yang diperlukan masyarakat.
Relevansi konsep modern ini dengan kondisi di tanah air kita amat besar, karena
societal issues dalam hal hukum, ekonomi, politik, teknologi, pendidikan, etika dan
lainnya itu, terasa lebih kritis di negara kita daripada kondisi di negara maju. Letak para
pemimpin Laboratorium ini seharusnya ditempat teratas dalam organisasi ilmiah, bukan
seperti kopral dalam organisasi militer.

Para pemimpin Laboratorium ini adalah "jenderal-jenderal" paling cerdas yang


seharusnya duduk pada tempat tertinggi dalam otoritas akademik. Peran administratif
rektor, dekan, ketua jurusan seperti akar, batang, cabang yang menjamin fisik yang
kekar dan makanan yang sehat, yang didistribusikan dengan baik pada pohon
universitas agar menghasilkan bunga dan buah segar yang diperlukan masyarakat
(Gambar 2). Kesimpulan yang menghasilkan gambar ini ditarik penulis dari hasil studi
banding dengan mengunjungi berbagai universitas di AS, tahun 1995, dan beberapa
universitas di Inggris, Belanda, dan Jerman, tahun 1997.

Pendidikan sarjana (S-1)

Gambar 2 juga menunjukkan mutu pendidikan S-1, umumnya terkait mutu program S-2
dan S-3 (di universitas yang sama), karena seluruh dosen universitas itu harus terlibat
berbagai kelompok kegiatan penelitian dan studi di berbagai Laboratorium yang justru
menjadi fasilitas utama program S-2 dan S-3.
"Rumah" dosen dan peserta program S-2 dan S-3 adalah Laboratorium. Makin bermutu
produk para dosen di Laboratorium, makin bermutu kuliah dan latihan di S-1. Dosen
seperti ini akan selalu kaya berbagai ilustrasi dan pengalaman segar saat ada di depan
kelas dan laboratorium (dengan "l" kecil) untuk mengajar dasar-dasar pengetahuan
program S-1. Mutu program S-2 dan S-3 yang tinggi selalu akan "menarik ke atas"
mutu program S-1.

Sebagai kesimpulan tampaknya diperlukan perubahan besar dalam melihat bagaimana


seharusnya organisasi universitas ditata untuk mencapai suasana tertentu yang amat
spesifik dalam kampus yakni suasana akademik (academic atmosphere) yang benar-
benar berbeda dengan lingkungan dalam sebuah "jawatan pemerintah" atau organisasi
militer.

Reformasi psikologis ini, bagi kita jauh lebih mendesak dibanding reshaping yang
dimaksud RGESE di atas, betapapun mudanya umur sebuah universitas dan betapapun
sederhana fasilitas yang dimilikinya.

*Ary Mochtar Pedju, Anggota BAN, praktisi dan alumnus ITB-MIT/AS.

URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0212/12/opini/44663.htm


Teknologi, SBY, dan Obama
Ary Mochtar Pedju*

Pada 20 Januari 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di depan


Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan masyarakat ilmiah di Puspiptek, Serpong.

Namun, pidato ini kurang disambut antusias oleh media walaupun terasa penting. Tidak
antusiasnya media mungkin karena topiknya ?anyatentang teknologi dan pendidikan.
Terasa penting karena Presiden AS Obama ikut menyambut, dibacakan duta besarnya.

Diawali dengan mengilustrasikan majunya peradaban Islam pada abad pertengahan


karena penguasaan, kemampuan, dan pengembangan iptek yang dilengkapi beberapa
contoh hasil temuan, SBY mengungkapkan satu keyakinan: arus sejarah yang dahsyat
akan mewarnai abad ke-21 dengan perubahan yang terutama digerakkan kedigdayaan
teknologi. Dalam iklim politik galau sekarang, pemikiran tentang peradaban manusia
dengan martabatnya seperti di atas tentu menyejukkan. Perkataan ?eradabandiucapkan
Presiden hingga 10 kali dan ?novasi22 kali.

Kotak hitam

”Sistem teknologi memang kompleks dan runyam (messy) serta mengandung


komponen pemecah masalah (problem-solving component) yang pelik. Teknologi
tercipta secara sosial oleh masyarakat, tetapi juga membentuk masyarakat (socially
constructed and society shaping)(Thomas Hughes)

Teori sosiologi-teknologi ini mungkin dapat menjelaskan kegerahan banyak orang


tentang tingkat penguasaan teknologi kita hingga ada cendekiawan yang menulis ?ertas
tidak ditemukan di Indonesia, ... segala jenis mesin juga bukan made in Indonesia, ...
minyak bumi dan mineral memang banyak ditemukan di dalam perut bumi Indonesia,
tetapi teknologi, modal, dan tenaga kerja terdidiknya berasal dari luar Indonesia.
Indonesia hanya penyedia, sementara yang lain pemerah dan pemerasnya(Koran Tempo
20/11/2009).

Kotak hitam (black box) sistem teknologi mulai dibuka profesor ekonomi Universitas
Stanford, AS, Rosenberg, awal dekade 1980-an, tetapi masih terbatas kajian ekonomi
(Inside The Black Box: Technology and Economics, 1982). Ia mengkaji peristiwa alir
teknologi antar-industri (inter-industry flow of technology). Juga diteliti bagaimana
proses terjadinya serbuan inovasi masif melalui satuan-satuan kecil: material-
komponen-alat, pada pembangunan gedung, pembangkit listrik, hingga teknologi tinggi
pada pembuatan pesawat terbang. Ini penting bagi perencanaan kebijakan inovasi
nasional.

Kajian sosial-lanjut

Pada periode yang sama, 1982, profesor fisika Universitas California, Berkeley, Fritjof
Capra, ikut membuka black box dan menyimpulkan teknologi telah berkembang jadi
anti-ekologi, antisosial, tidak sehat, dan tidak manusiawi; seterusnya ia katakan,
teknologi telah disederhanakan sebagai capaian terbatas fisik dan meninggalkan
berbagai aspek relevan, seperti psikologi, sosial, riset perilaku, apalagi filsafat dan
sastra. Namun, pada tengah hingga akhir 1980-an, lahir ilmu sosiologi-teknologi
mutakhir yang didukung pengembangan ilmu sejarah-teknologi dan ilmu antropologi-
teknologi (The Social Construction of Technological Systems/SCOT, 1989). Para
ilmuwan bidang ini termasuk Thomas Hughes, Donald Mackenzie, Michael Fischer,
Wiebe Bijker, dan Trevor Pinch (beberapa pernah ke Indonesia diundang ITB).

Mereka mempelajari bagaimana sebuah teknologi bisa berhasil atau gagal di


masyarakat. Diteliti bagaimana insinyur bersama ahli lain bekerja tahap demi tahap
untuk menghasilkan artifak fisik sebuah proyek/produk sekaligus proses-proses sosial
yang mengiringinya ?i luar sana Proses sosial dapat menggagalkan penguasaan
teknologi.

Contohnya, tak semua kelompok sosial?ermasuk politik, bisnis?i dalam dan di luar
negeri mengharapkan Indonesia sukses menguasai berbagai teknologi: kedirgantaraan,
nuklir, energi hemat, otomotif, obat murah, atau pertahanan. Kita juga masih ingat
kasus teknologi ICT untuk pedesaan ciptaan Onno Poerbo yang mendapat perlawanan.

Tindakan penghadangan (reverse salient) dapat terjadi pada setiap tahap proses
teknologi dan tidak mudah terdeteksi. SCOT memberi kesadaran untuk mengatasi
reverse salient.

Jadi, investasi pembangunan infrastruktur yang ditargetkan pemerintah Rp 1.500 triliun


pada 2015 perlu disikapi dengan semangat ilmiah inovatif, terutama oleh universitas.
Jembatan, pembangkit listrik, penjernihan air, lapangan terbang, sistem komunikasi,
pelabuhan, memiliki variasi teknologi
dari sederhana hingga supercanggih. Tergantung lokasi proyek dan prioritas pilihan,
universitas dapat menentukan sendiri tahap mana saja yang strategis untuk dikaji sejak
sekarang.

Amerika Serikat yang dipimpin Obama saat ini dipercaya berada di posisi terdepan
bukan saja dalam kecerdasan membuka kotak hitam teknologi, tetapi juga mengelola
dan mengolah pengetahuan itu jadi program-program akademik modern di universitas.
Universitas kita membutuhkan pengalaman Amerika dalam hal kajian dan penelitian
tentang hubungan teknologi, masyarakat industri, dan pemerintah. Mahasiswa kita perlu
diberi kesempatan dan wadah belajar, meneliti, dan mengkaji persoalan kompleks
teknologi dengan konteks Indonesia.

Calon-calon pemimpin parpol dan birokrat yang akan berprofesi di DPRD, Bappeda,
kantor bupati-wali kota-gubernur di seluruh Indonesia, apalagi di pusat, perlu dibekali
kemampuan memecahkan masalah melalui ?ema ganda lintas disiplin Misalnya: Energi-
Lingkungan-Kebijakan Riset; Teknologi-Kebijakan-Pengembangan Industri; Hukum-
Teknologi-Kebijakan Publik; Kultur dan Implikasi Proyek Besar. Topiknya: Inovasi
Biomedik, Sains Material dan Engineering, Entrepeneurship, Real Estate, dan lainnya
yang diperlukan masyarakat industri.

Mahasiswa fakultas keguruan dan ilmu pendidikan berada di garis prioritas terdepan.
Mereka harus sanggup membuat matematika, fisika, dan sains lain menjadi lunak dan
tidak ditakuti seperti sekarang. Lebih penting lagi murid usia muda harus dimotivasi
dengan mengenal kultur scientific bangsa lain melalui ilmu sejarah sains dan teknologi.
Sebagai ilustrasi, pusat kajian sejarah Universitas Stuttgart, Jerman, sekarang (2009)
meneliti sejarah abad ke-19 dan ke-20 dengan tekanan pada peranan sains fisika modern
dan teknologi.

Kita lihat juga India, bekas koloni Inggris, dan China yang komunis menilai universitas
Amerika. Sejak tahun 2001, jumlah mahasiswa India di Amerika rata-rata 80.000 per
tahun dan China 60.000 (When China Rules The World, 2009)! Mereka tahu universitas
di Amerika dijuluki ?esin pencetak hadiah Nobel

*Ary Mochtar Pedju, Anggota AIPI dan Majelis Kehormatan Persatuan Insinyur
Indonesia (PII)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/06/16/05295835/teknologi..sby.dan.obama

Anda mungkin juga menyukai