Anda di halaman 1dari 7

c  c  

Menurut kamus besar bahasa Indonesia Bakau adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga
Rhizophora, suku Rhizophoraceae. Di Indonesia pohon bakau juga memiliki banyak nama lain seperti
tanjang menurut orang jawa; bangko menurut orang Bugis; kawoka dan menurut orang Nusa Tenggara
Timur, wako, jangkar dan lain-lain.

Kata bakau juga merupakan terjemahan dari mangrove, sehingga bakau juga sering disebut dengan kata
mangrove. Tapi tahukah kita bahwa sampai saat ini asal usul kata mangrove belum diketahui secara
jelas. Ada banyak versi menyangkut asal-usul mangrove, Macnae (1968) mengatakan bahwa kata
mangrove merupakan perpaduan kata mangue dalam bahasa Portugis dan kata grove sebuah kata
bahasa Inggris. Sedangkan menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno
mangi-mangi merupakan sebuah istilah untuk menerangkan marga Avecennia.

Sedangkan arti hutan bakau atau disebut juga hutan mangrove menurut kamus bahasa Indonesia adalah
hutan yang tumbuh di atas rawa-rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh
pasang-surut air laut. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat-tempat di mana terjadi pelumpuran dan
akumulasi bahan organik. Baik di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar
muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.

Soerianegara (1987) mendefinisikan hutan mangrove sebagai hutan yang terutama tumbuh pada tanah
lumpur alluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri
atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria,
Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.

Secara umum kita boleh mendifinisikan bahwa hutan bakau merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan
pantai yang didominasi oleh jenis pohon bakau-bakauan (mangrove) yang mampu tumbuh dan
berkembang pada daerah pasang surut pantai yang berlumpur dan berpasir. Jenis-jenis bakau tersebut
antara lain bakau (Rhizophora spp), api-api (Avicennia spp), cengal (Ceriops spp), tancang (Bruguera
spp), nyirih (Xylocarpus spp), pedada (Sonneratia spp).

Hutan bakau merupakan formasi hutan yang sangat dinamis dan berubah relatif cepat jika dibandingkan
dengan proses suksesi pada jenis-jenis hutan lainnya. Suksesi pada hutan bakau merupakan salah satu
contoh suksesi pada lahan basah atau Hydrosere.

Suksesi sekunder terjadi ketika hutan mangrove yang sudah ada mendapat gangguan yang besar
sehingga merusak komunitas hutan mangrove tersebut, seperti karena penebangan hutan, kebakaran,
bencana alam dan lain sebagainya. Secara alami jika kondisi tersebut kita biarkan dan tidak terus
mendapatkan gangguan yang berarti maka komunitas yang terganggu tersebut akan tumbuh kembali
menjadi komunitas hutan yang mantap. Suksesi sekunder ini dapat merubah komposisi vegetasi hutan
bakau serta dapat juga merubah komposisi organisme lain yang berasosiasi dengan tipe vegetasi
tertentu di hutan bakau tersebut. Sedangkan suksesi sekunder hutan mangrove terjadi dimulai dengan
terbentuknya suatu paparan lumpur (mudflat) yang dapat berfungsi sebagai substrat hutan bakau.
Hingga pada suatu saat substrat baru ini diinvasi oleh jenis-jenis vegetasi mangrove, dan mulailah
terbentuk vegetasi pionir hutan bakau. Jenis-jenis pioner ini biasanya adalah dari kerabat Avicennia dan
Sonneratia yang mampu tumbuh di habitat air asin dan pada substrat yang kurang stabil. Dengan
demikian telah terbentuk satu zona.
Tumbuhnya jenis-jenis pioner tersebut proses sedimentasi atau penangkapan lumpur semakin cepat.
Tanah halus yang dihanyutkan aliran sungai, pasir yang terbawa arus laut, segala macam sampah dan
hancuran vegetasi, akan diendapkan di antara perakaran vegetasi mangrove. Dengan demikian lumpur
lambat laun akan terakumulasi semakin banyak sehingga lapisan tanah akan semakin tebal dan salinitas
air akan semakin berkurang dengan substrat yang semakin stabil.

Kondisi yang baru ini tentunya sudah tidak cocok lagi dengan jenis Avicennia dan Sonneratia sehingga
komunitas ini hanya akan mampu tumbuh kearah laut. Pada bagian ini masuk jenis-jenis baru kerabat
Rizophora yang menggeser tempat dari jenis Avicennia dan Sonneratia. Maka terbentuklah zona yang
baru di bagian belakang.

Demikian perubahan terus terjadi, yang memakan waktu berpuluh hingga beratus tahun. Sementara
zona pionir terus maju dan meluaskan hutan bakau, zona-zona berikutnya pun bermunculan di bagian
pedalaman yang mengering sehingga terlihat formasi hutan bakau yang mempunyai struktur berlapis.
Dengan demikian nyata bahwa zonasi seperti yang telah dibahas sebelumnya bukanlah formasi yang
statis namun senantiasa bergeser secara perlahan-lahan.

Uraian di atas adalah penyederhanaan dari kondisi nyata, keadaan alam yang sesungguhnya jauh lebih
rumit. Karena tidak selalu hutan bakau terus bertambah luas, bahkan mungkin dapat habis karena
faktor-faktor alam seperti abrasi, penebangan hutan, bencana alam dan lain sebagainya. Demikian pula
munculnya zona-zona tak selalu dapat diperkirakan

„  
 „  

Hutan mangrove seringkali diangap sebagai areal yang kurang bermanfaat, bahkan cenderung
dianggap sebagai lahan yang tidak produktif. Sehinga seringkali karasan ini diubah peruntukannya.
Padahal sebagai sebuah ekosistem kawasan hutan mangrove merupakan kawasan yang sangat
produktif dan mempunyai fungsi dan manfaat sangat luas baik secara ekonomi maupun ekologi.

Secara garis besar fungsi dan manfaat hutan mangrove dapat dikelompokan menjadi 3, yakni :
a. Fungsi fisik Hutan mangrove sebagai benteng/ tameng bagi daratan dari terpaan ombak, angin dan
badai. Tegakan mangrove dapat melindungi garis pantai dari terpaan gelombang yang mengakibatkan
abrasi. Selain itu mangrove juga dapat melindungi pemukiman, bangunan lahan budidaya pertanian
dari terpaan angin dan badai serta intrusi air laut. Kawasan yang mempunyai barisan hutan mangrove
yang tebal akan lebih terlindung jika terjadi badai atau tsunami dibandingkan dengan daerah yang
tidak memiliki hutan bakau.

Di Jakarta karena rusaknya hutan mangrove di sepanjang pantai utara Jakarta mengakibatkan
masuknya air laut ke daratan. Akibatnya banyak sumur-sumur masyarakat yang mengandung kadar
garam tinggi sehingga airnya berasa asin. Akar-akar bakau sebenarnya merupakan filter/saringan yang
cukup baik agar air asin tidak masuk ke daratan.

Kemapuan hutan mangrove dalam memperluas daratan kearah laut merupakan fungsi hutan mangrove
dalam membentuk lahan baru yang tidak tergantikan oleh komunitas hutan lainnya. Akar-akar bakau
yang rapat merupakan perangkap yang cukup baik bagi sisa-sisa bahan organic dan lumpur/endapan
yang dibawa oleh air laut.
Selain itu akar bakau juga dapat mengikat dan menstabilkan substrat lumpur. Kemudian setelah
substratnya setabil akan memungkinkan tumbuhnya jenis-jenis pioneer yang tahan terhadap salinitas
tinggi seperti jenis-jenis Avicennia.

Selain mempunyai fungsi sebagai penjaga garis pantai dan komunitas yang ada didarat, hutan
mangrove juga berfungsi menjaga komunitas yang ada di laut seperti padang lamun dan terumbu
karang. Aliran permukaan yang besar pada daerah hulu akan menyebabkan larutnya partikel-pertikel
tanah dan terbawa ke laut. Jika tidak ada hutan bakau maka tidak terdapat filter bagi sampah dan
sediment dari daratan. Akibatnya kebersihan air laut tidak bisa terjaga maka padang lamun dan
terumbu karang tidak akan mampu hidup pada air yang kotor dan penuh sediment. Secara fisik
mangrove juga berfungsi sebagai pendaur ulang unsur-unsur yang penting seperti nitrogen dan sulfur.

b. Fungsi biologi . Secara biologis hutan mangrove mempunyai fungsi yang sangat penting. Hutan
mengarove merupakan tempat hidup, pelindung dan sekaligus tempat mencarai makan dan
berkembang biak. Bagi jenis-jenis udang dan ikan serta kepiting tertentu hutan bakau merupakan
tempat asuhan (nursery ground) untuk membesarkan anaknya, karena pada areal ini terdapat sumber-
sumber makanan dari sisa-sisa bahan organic yang telah melapuk.

Bagai jenis-jenis tertentu hutan mangrove merupakan tempat berlindung dan berkembang biak
karena pada kawasan ini dianggap cukup sedikit penggangu atau lebih aman dari predator. Lingkungan
hutan mangrove merupakan perwujudan siklus rantai makanan yang sempurna dari sebuah
keseimbangan alam. Karena kondisi tersebut jika tidak mendapat gangguan terutama dari manusia
dan bencana alam maka keragaman jenis fauna pada hutan mangrove akan semakin meningkat.

Salah satu alasan kuat untuk mempertahankan hutan mangrove adalah bahwa hutan mangrove
berfungsi sebagai habitat bagi banyak jenis flora dan fauna. Selain itu adalah bahwa kawasan ini
merupakan kawasan penting bagi burung-burung migrant sebagai tempat beristirahat dan mencari
makan.

c. Fungsi komersial. Selain fungsi-fungsi fisik dan biologis yang lebih bersifat manfaat ekologis, hutan
bakau juga memiliki manfaat ekonomi yang cukup tinggi. Banyak keperluan rumah tangga, pertanian,
bahan bangunan sampai keperluan industri berasal dari produk hutan mangrove.

Hutan bakau sebagai penghasil kayu bahan bangunan, kayu bakar dan bahan arang. Selain itu hutan
bakau juga dapat menghasilkan pewarna pakaian, pengawet kulit, fiber, pupuk, kertas, parfum, minyak
rambut, lem, racun, lilin, anti nyamuk, obat-obatan, minyak goreng, gula, sayuran dan lain sebagainya.
Selain itu hutan mangrove juga penghasil makanan dari jenis-jenis hewan, ikan, madu dan lain
sebagainya.

Manfaat lain dari hutan mangrove adalah sebagai areal budidaya perairan (aquakultur) berupa
tambak udang, tambak bandeng, kepiting, pembesaran ikan, udang dan kepiting dengan system
keramba apung, empang parit dan lain sebagainya. Selain untuk budidaya perikanan juga untuk
budidaya tambak garam. Dengan adanya hutan mangrove tambak garam tidak mudah rusak oleh
terpaan ombak dari laut sehingga lebih terlindung.

Selain itu hutan mangrove juga berfungsi sebagai daerah tujuan wisata. Banyak potensi hutan bakau
yang menarik untuk di jadikan objek wisata mulai dari tegakan bakau, jenis hidupan air dan jenis-jenis
fauna yang lainnya semua dapat dikemas untuk dipasarkan sebagai produk ekowisata. Wisata pancing
dan wisata petualangan untuk menjelajahi hutan bakau merupakan jenis wisata bahari yang sangat
layak jual.

Untuk kepentingan penunjang kegiatan belajar-mengajar disekolah hutan bakau dapat dijadikan
sebagai laboraturium hidup yang sangat menarik. Tempat ini sangat cocok untuk memperkenalkan
jenis-jenis biota laut khususnya pesisir serta sebagai objek penelitian.
 „
Hutan bakau tumbuh di sepanjang pantai yang berlumpur dan berpasir yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut dan tidak dipengaruhi oleh iklim. Hutan bakau atau hutan mangrove dengan
lingkungannya membentuk ekosistem mangrove. Ekosistem mangrove merupakan ekosistem peralihan
antara darat dan laut yang terdapat pada daerah tropis. Ekosistem hutan bakau mempunyai sifat yang
khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya aerasi tanah; salinitas tanahnya
yang tinggi; serta mengalami daur penggenangan oleh pasang-surut air laut. Hanya sedikit jenis
tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis-jenis ini kebanyakan bersifat khas
hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.

Pada daerah pantai yang lurus hutan mangrove biasanya membentuk sabuk hijau sepanjang pantai.
Sabuk hijau tersebut pada umumnya mempunyai struktur vegetasi yang relative seragam. Sedangkan
pada kawasan muara dan delta, bakau dapat tumbuh subur pada kawasan yang luas dengan struktur
vegetasi yang beragam dengan zonasi yang relative jelas.

Menurut Chapman (1977) dan Bunt & Williams (1981) struktur vegetasi yang membentuk lapisan atau
zona-zona vegetasi yang berbeda satu dengan yang lainnya tersebut berkaitan erat dengan tipe tanah
(lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (sering dan kerasnya hempasan gelombang), Salinitas serta
pengaruh pasang surut. Setiap zonasi itu disebut komunitas tumbuhan bakau yang dinamai sesuai
dengan jenis tumbuhan bakau yang mendominasi zona tersebut.

Masih menurut Chapman (1977) hampir semua jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah
lumpur, terutama jenis Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Selain substrat berlumpur kondisi
salinitas mempunyai pengaruh yang besar terhadap komposisi hutan mangrove. Masing-masing jenis
vegetasi mangrove mempunyai cara yang berbeda-beda dalam mengatasi salinitas air yang
menggenangi mediannya.
Diantaranya ada yang dengan selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media tumbuhnya,
sementara beberapa jenis yang lain mampu mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daunnya.

Secara umum struktur vegetasi hutan mangrove dari pantai menuju daratan terbagi menjadi beberapa
zona sebagai berikut :

a. Zona yang paling dekat dengan


lautan, pada zona pertama ini kondisi habitatnya selalu tergenang air laut, biasanya berada mulai dari
tepi pantai sampai 50 meter dari tepi pantai pada kondisi pantai yang lurus. Jenis-jenis Avicennia dan
Soneratia merupakan marga yang mempunyai kemampuan beradaptasi dengan kondisi salinitas tinggi.
Oleh karena itu jenis-jenis ini dapat dengan mudah dijumpai pada barisan paling depan dari hutan
mangrove ini. Di zona paling depan ini didominasi oleh jenis-jenis Avicennia dan Soneratia, jika ada jenis
lain yang ada pada zona ini biasanya akan tumbuh kerdil atau tidak mampu menghasilkan buah. Zona ini
sering juga disebut dengan zona mangrove terbuka.

b. Zona berikutnya adalah zona yang kondisi


habitatnya hanya terendam air saat pasang air laut, biasanya berada antara 50 meter sampai dengan
100 meter dari pinggir pantai pada kondisi pantai yang lurus. Pada zona ini didominasi oleh jenis-jenis
Rhizophora, marga ini umumnya mempunyai kemampuan untuk hidup pada salinitas antara 50 %
sampai dengan 60 %. Zona ini sering juga di sebut dengan zona mangrove tengah.

c. Zona ketiga
adalah zona peralihan antara zona yang didominasi oleh Rhizophora dan zona yang didominasi oleh
Bruguiera, sehingga pada zona ini populasi Rhizophora dan Bruguiera hampir seimbang. Pada zona ini
kondisi habitatnya hampir selalu tergenang air namun salinitas air yang ada pada zona ini tidak setinggi
pada zona pertama. Air yang ada pada zona ini merupakan sisa-sisa air laut saat pasang namun karena
kondisi tanah air tersebut tertahan dan tidak dapat kembali kelaut. Selain itu juga air yang berasal dari
air hujan yang turun di lokasi sekitarnya. Zona ini biasanya berada pada jarak 100 meter sampai dengan
200 meter atau lebih pada kondisi pantai yang lurus atau juga terdapat di sekitar laur-alur sungai besar
yang dekat dengan pantai. Selain jenis-jenis Rhizophora dan Bruguiera pada zona ini juga banyak
ditumbuhi jenis-jenis Xylocarpus. Zona ini sering juga di sebut dengan zona mangrove payau.

d. Zona terakhir adalah


zona yang paling jarang digenangi oleh air laut. Zona ini hanya digenangi oleh air laut pada saat pasang
yang sangat tinggi. Pada zona ini jenis-jenis yang mendominasi adalah Bruguiera dan bebrapa jenis
Xylocarpus. Jenis-jenis yang tumbuh pada zona ini umumnya adalah jenis yang kurang mampu bertahan
pada salinitas tinggi dan genangan air. Zona ini juga merupakan zona peralihan hutan mangrove dengan
hutan pantai biasanya banyak di tumbuhi jenis-jenis pandan, nipah, Ficus dan Intsia bijuga. Zona ini
sering juga di sebut dengan zona mangrove daratan.

Walaupun kita telah dapat mengklasifikasikan zonasi pada hutan mangrove namun dilapangan untuk
membedakan keempat zonasi tersebut bukan sesederhana yang kita bayangkan. Banyak sekali formasi
serta zona vegetasi yang tumpang tindih dan
bercampur. Selain itu formasi yang ada pada suatu daerah tertentu belum tentu sama dengan daerah
lainnya. Secara umum kondisi zona atau struktur vegetasi hutan mangrove dipengaruhi oleh faktor-
faktor alam yang ada di daerah mangrove antara lain adalah sifat fisik dan kimia tanah, salinitas air
tanah, drainase dan kondisi pasang surut serta periode genangan.

c    
Dalam komunitas hutan bakau selain terdapat jenis-jenis vegetasi dari kerabat mangrove, juga terdapat
jenis-jenis lain. Menurut catatan Wetlands International pada hutan mangrove di Indonesia terdapat 89
spesies pohon, 5 palem, 19 liana, 44 herba tanah, 44 epifit dan 1 sikas. Dari total 202 jenis species
tersebut pulau Jawa, pulau Sumatera dan pulau Kalimantan merupakan tiga besar yang memiliki
keragaman paling tinggi di Indonesia, masing masing Jawa terdapat 166 spesies, Sumatera 157 spesies
dan Kalimantan 150 spesies.

Untuk membedakan berbagai jenis pohon bakau tersebut, umumnya dilakukan dengan mengamati tipe
akar, bentuk daun, bentuk buah dan bunga. Dilihat dari akarnya ada 4 tipe akar yang ada pada hutan
mangrove. Akar yang muncul dari tanah ke atas berbentuk pensil dan kerucut dan berfungsi sebagai
akar napas, yang demikian itu disebut akar pasak. Ada pula yang muncul ke atas tanah kemudian
menekuk dan menancap kembali ke dalam tanah, di sebut akar lutut. Selain itu ada akar yang berbentuk
pipih seperti papan, disebut akar papan dan yang keempat akar tongkat yaitu yang menggantung dari
batang bagian bawah pohon sebagai akar napas dan yang menancap ketanah sebagai penopang pohon
tersebut.
Bentuk daun vegetasi mangrove beragam mulai dari yang berbentuk bulat lonjong, oval, sampai elips
runcing. Ketebalan daunnya juga beragam ada yang tipis, sampai tebal dan kaku karena permukaan
daun berlapis lilin. Selain itu permukaan daun sebagian jenis mangrove ada yang mengeluarkan garam
berbentuk kristal dan bintik-bintik, ini merupakan bentuk adaptasi tumbuhan tersebut terhadap salinitas
air tanah habitatnya. Hampir semua jenis mangrove utama mempunyai buah yang berbiji dua dan
berbentuk vivipar serta bulat.

Bunga dari jenis-jenis vegetasi mangrove sangat beragam baik warna dan bentuknya. Mulai yang
berwarna putih, kekuningan, merah jambu sampai merah. Begitu pula bentuk dan ukurannya dari
berbentuk bulat sampai berbentuk kumpulan benang-benang berwarna putih.

Hutan bakau sebagai sebuah ekosistem merupakan tempat hidup bukan hanya dari jenis tumbuhan
(flora) namun juga binatang (fauna). Berbagai jenis hewan tumbuh dan berkembang serta berperan
dalam menyeimbangkan ekosistem mangrove tersebut, mulai dari mikro organisme sampai sampai ke
hewan-hewan bersar. Mikro organisme seperti jamur dan bakteri selain berfungsi sebagai dekompuser
juga pengahasil detritus yang meruapakn makanan ikan-ikan kecil serta hewan kecil laut lainnya.
kemudian secara berjenjang hewan-hewan tersebut dimakan hewan yang lebih besar kemudian terus
hingga sampai ke predator utama serta dimanfaatkan oleh manusia.

Keragaman fauna pada hutan mangrove cukup tinggi mulai dari jenis-jenis fauna aquatic sampai jenis-
jenis fauna terestrial. Jenis-jenis fauna aquatic seperti ikan, udang, kepiting, plankton dan lain-lain.
Sementar jenis-jenis fauna terestris mulai dari mamalia (babi, kelelawar, berang-berang, bekantan, dll),
burung (kuntul, raja udang, blekok, bangau dll), reptilian dan amphibian (kodok, ular sanca, biawak,
kadal, dll), serangga (capung, ngengat, kutu semut, dll) sampai jenis-jenis invertebrate seperti siput dan
lain sebagainya.

Jenis-jenis fauna yang ada pada ekosistem hutan bakau oleh para ahli dibedakan menjadi tiga kelompok
besar, yakni: "Jenis-jenis fauna yang hanya datang/ berkunjung untuk mencari makan atau hanya
sekedar tempat persinggahan saja seperti misalnya burung-burung migrant. "jenis-jenis fauna yang
datang dan menjadikan hutan bakau hanya sebagai tempat pemijahan atau hanya untuk berkembang
biak, kemudian setelah mencapai dewasa fauna tersebut akan pergi.
"Jenis-jenis hewan yang memang menggunakan hutan bakau sebagai tempat tinggal, mencari makan,
bereproduksi serta melangsungkan proses hidupnya yang lain.

Sasekumar dkk (1992) mencatat tidak kurang dari 119 jenis ikan berada pada kawasan hutan mangrove.
Ikan menjadikan hutan mangrove sebagai habitat permanent dan tempat pemijahan. Sebagai tempat
pemijahan dan pembesaran anak mangrove dapat berfungsi cukup baik, selain menyediakan naungan
juga untuk mengurangi predator. Selain itu di hutan mangrove banyak tersedia sumber makanan bagi
anak-anak ikan yang baru menetas. Daun-daun tanaman mangrove yang jatuh kemudian dihancurkan
oleh mikro organisme yang menghasilkan bahan makanan yang baik bagi larva udang dan anak ikan.
Selain itu makanan lain juga dapat bersumber dari hewan-hewan invertebrate dan udang-udang kecil
serta serangga yang ada pada hutan manrove. Beberapa jenis ikan yang sering dijumpai pada kawasan
hutan mangrove antara lain ikan gelodok, belanak, kuwe, kapasan, ikan lontong, kekemek, galama, krot,
barakuda, alu-alu dan ikan tancak.

Hutan mangrove juga menjadi habitat yang sangat penting bagi jenis-jenis krustasea seperti udang dan
kepiting. Tercatat tidak kurang dari 100 jenis kepiting hidup pada kawasan hutan mangrove, dan banyak
diantaranya yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi seperti jenis Scylla serrataI. Bahakan menurut
penelitian Macintosh (1984) dalam setiap meter persegi dapat ditemukan 10-70 ekor kepiting.
Sedangkan jenis udang, ada sekitar 14 jenis udang dapat ditemukan pada kawasan hutan mangrove.

Selain ikan, jenis-jenis moluska juga banyak dijumpai pada hutan mangrove. Menurut Budiman (1985)
ada 91 jenis molusca dapat ditemukan hanya pada satu tempat saja yakni di pulau Seram, Maluku. Ini
menunjukkan bahwa molusca juga menjadikan hutan mangrove sebagai salah satu habitat penting bagi
kelangsungan hidupnya.

Sedangkan jenis-jenis reptilia yang banyak dijumpai pada kawasan hutan mangrove antara lain adalah
buaya muara, biawak, ular sanca, kadal, ular air, ular bakau dan ular tambak. Jenis-jenis reptile tersebut
juga banyak dijumpai pada daerah daratan selain pada kawasan mangrove.

Sementara ini jenis-jenis amphibia termasuk binatang yang agak sulit dijumpai pada kawasan hutan
bakau. Hal ini terjadi karena sangat sedikit sekali jenis amphibia yang mampu hidup pada salinitas air
yang tinggi. Namun menurut catatan MacNae (1968) ada 2 jenis amphibia yang mampu bertahan hidup
pada lingkungan yang mempunyai kadar garam tinggi ini. Kedua jenis tersebut adalah Rana cancrivora
dan Rana limnocharis.

Dari kelompok mamalia sampai saat muncul anggapan bahwa jenis-jenis mamalia yang ada pada hutan
mangrove pada awalnya hanya jenis pendatang, yang hanya datang untuk mencari makan. Karena jenis-
jenis mamalia yang ada pada hutan bakau bukanlah jenis yang spesifik ada pada kawasan hutan bakau,
namun juga banyak terdapat pada kawasan hutan lainnya. hewan-hewan tersebut antara lain harimau
sumatera, macan dahan, berang-berang, babi, kancil, kelelawar, lutung, kera ekor panjang, bekantan
dan kelelawar.

Begitu halnya mamalia, jenis-jenis burung juga pada awalnya merupakan burung-burung pendatang
yang datang untuk mencari makan, berbiak dan sekedar beristirahat. Anggapan ini muncul karena
darisekian banyak jenis burung yang ada di hutan mangrove tampaknya tidak terlalu berbeda dengan
jenis-jenis burung
yang hidup pada hutan disekitarnya.

Sampai saat ini tercatat tidak kurang dari 200 jenis burung terdapat pada kawasan hutan mangrove.
Maklum memang kawasan hutan mangrove merupakan tempat hidup yang cukup representative bagi
jenis-jenis pemakan ikan seperti raja udang, serta jenis-jenis burung air seperti bangau tongtong, kuntul,
pecuk ular dan lain-lainnya. dikawasan ini burung-burung tersebut dapat mencari makan dan
membangun sarang untuk berkembang biak karena pada kawasan ini sangat sedikit gangguan bagi
dirinya.

Selain itu bagi jenis burung migrant (Charadriidae dan Scolopacidae) hutan bakau merupakan areal
penting utnuk beristirahat sementara sebelum melanjutkan perjalanan dan sekaligus tempat berlindung
dan mencari makan. Kawasan hutan mangrove pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, pantai barat
Sulawesi merupakan kawasan penting bagi burung-burung migrant tersebut. Sementara kawasan hutan
bakau di Papua, Maluku dan Kalimantan kemungkinan juga menjdai daerah peristirahatan burung
migrant tersebut, namun utnuk meyakinkannya masih diperlukan survey yang lebih mendalam.

Anda mungkin juga menyukai