Pengertian Mangrove
Hutan mangrove adalah ekosistem hutan daerah pantai yang terdiri dari
kelompok pepohonan yang bisa hidup dalam lingkungan berkadar
garam tinggi. Penampakan mangrove seperti hamparan semak belukar yang
memisahkan daratan dengan laut.
Kata mangrove berasal dari kata mangue (bahasa Portugis) yang berarti
tumbuhan, dengan grove(bahasa Inggris) yang berarti belukar.1 Sementara itu
dalam literatur lain disebutkan bahwa istilah mangrove berasal dari
kata mangi-mangi (bahasa Melayu Kuno).
Hutan mangrove adalah suatu kelompok jenis tumbuhan berkayu yang tumbuh
disepanjang garis pantai tropis dan subtropis yang terlindung dan memiliki
semacam bentuk lahan pantai dengan tipe tanah anaerob.
1
A. Ciri – Ciri Hutan Mangrove
2
4. Hutan Mangrove Mempunyai Lentisel Pada Bagian Kulit Pohon
Selain itu, pohon mangrove juga memiliki lentisel yang terdapat pada
bagian kulit pohon bakau yang merupakan salah satu ciri khas dari hutan
mangrove.
3
B. Fungsi dan Manfaat hutan mangrove
Hutan mangrove memiliki peran ekologis yang besar bagi kehidupan manusia.
Telah berabad-abad lamanya dijadikan tumpuan jutaan orang yang hidup di
pesisir. Hutan ini memiliki banyak fungsi mulai dari penyedia sumber
makanan, bahan baku industri, mencegah banjir, mencegah erosi, hingga
fungsi rekreasi.
1. Menahan aberasi
Mangrove tumbuh disepanjang garis pantai seakan-akan memisahkan
antara lautan dan daratan. Keberadaan mangrove menghambat gelombang dan
angin yang datang dari arah laut agar tidak langsung membentur daratan. Di
daerah-daerah yang memiliki tutupan mangrove hampir tidak ditemukan
aberasi parah. Bahkan di daerah-daerah tertentu keberadaan mangrove
melindungi pemukiman, pertanian dan fasilitas lain yang terdapat
dibelakangnya. Pada tahun 1993 saat terjadi tsunami, dusun Tongke-tongke
dan Pangasa di Sinjai, Sulawesi Selatan, terhindar dari gelombang pasang.
Kedua dusun itu memiliki tutupan mangrove yang tebal. Kontras dengan
dusun-dusun disekitarnya yang mengalami kerusakan cukup parah karena tidak
memiliki mangrove.
4
dengan kemampuan hutan mangrove untuk menciptakan daratan baru.
Pertumbuhan hutan mengrove yang terus merangsek ke laut disinyalir bisa
menambah luas daratan, meski hal ini masih diperdebatkan.
5. Penyerap Karbon
5
Pada sebagian besar ekosistem hutan, bahan ini membusuk dan
melepaskan karbon kembali ke atmosfer (baca: fungsi atmosfer, lapisan
atmosfer) sebagai karbon diaoksida (CO2). Akan tetapi hutan mangrove justru
mengandung sejumlah besar bahan organik yang tidak membusuk. Karena itu,
hutan mangrove lebih berfungsi sebagai penyerap karbon dibandingkan
sebagai sumber pelepas karbon karena tumbuhan di hutan mangrove memiliki
banyak daun sehingga lebih berpotensi menyerap karbon dalam jumlah yang
banyak dibanding dengan tumbuhan lain.
6
2. Sumber keanekaragaman hayati
Hutan mangrove merupakan sumber plasma nutfah dan
keanekaragaman hayati. Selain ikan, hutan ini menjadi habitat hidup berbagai
satwa mulai yang umum hingga satwa langka. Mulai dari jenis-jenis burung
hingga primata.
Satwa yang ada di hutan mangrove :
Hutan mangrove menjadi habitat berbagai jenis fauna, mulai dari satwa air
hingga primata. Ekosistem mangrove menjadi tempat berkembang biak
berbagai satwa air seperti ikan, udang-udangan, kepiting dan moluska.
Beberapa jenis burung air juga memilih tempat ini untuk berkembang biak.
Selain itu mangrove menjadi tempat mencari makan sejumlah satwa liar seperti
reptil dan mamalia. Berikut ini jenis-jenis satwa yang sering dijumpai di hutan
mangrove:
Ikan
Ikan menjadikan mangrove sebagai tempat berlindung, mencari makan
dan berkembang biak. Ikan-ikan kecil memilih berkembang biak di
habitat mangrove untuk menghindari predator. Mangrove menyediakan
makanan bagi ikan dalam bentuk material organik yang berupa guguran
vegetasi tanaman, berbagai jenis serangga, kepiting, udang-udangan dan
hewan invertebrata.
Kepiting
Kepiting merupakan hewan yang paling umum dan mudah ditemukan di
areal mangrove. Menurut sejumlah penelitian rata-rata ada 10-70 ekor
kepiting di setiap meter persegi hutan mangrove.
7
Moluska
Moluska banyak di temukan di hutan mangrove Indonesia. Hewan ini
hidup di dalam tanah, permukaan tanah, atau menempel di batang-
batang pohon.
Udang-udangan
Mangrove juga menjadi habitat udang-udangan (Crustacea) yang
memiliki nilai komersial tinggi.
Serangga
Serangga yang hidup di hutan mangrove kebanyakan berasal dari
ordo Hymenoptera, Diptera dan Psocoptera. Serangga memiliki peran
penting dalam jaring makanan di hutan mangrove. Beberapa
diantaranya menjadi pakan bagi burung air, ikan, dan reptil.
Reptil
Reptil yang ditemukan di hutan mangrove biasanya dapat ditemukan
juga di lingkungan air tawar atau di daratan. Beberapa diantaranya
adalah buaya muara, biawak, ular air, ular mangrove (Boiga
dendrophila), dan ular tambak.
Amphibia
Hewan jenis amphibi jarang ditemukan di areal mangrove. Sejauh ini
hanya ada dua jenis amphibi yang sanggup hidup di lingkungan
bersalinitas tinggi seperti mangrove, yakni Rana cancrivora dan Rana
limnocharis.
8
Burung
Hutan mangrove adalah surga bagi burung air dan burung migrasi
lainnya. Setidaknya ada 200 spesies burung yang bergantung pada
ekosistem mangrove, atau sekitar 13% dari seluruh burung yang ada di
Indonesia. Beberapa di antaranya termasuk burung-burung bangau yang
terancam punah, seperti bangau wilwo (Mycteria cinerea), bubut hitam
(Centropus nigrorufus), dan bangau tongtong (Leptoptilos javanicus)
Mamalia
Mamalia menjadikan habitat mangrove sebagai tempat mencari makan.
Beberapa diantaranya adalah babi liar, kelalawar, kancil, berang-berang,
dan kucing bakau. Sedangkan untuk mamalia air ada lumba-lumba yang
hidup disekitar muara. Bahkan harimau sumatera juga ditemukan
berkeliaran di hutan mangrove wilayah Sungai Sembilang, Sumatera
Selatan. Primata merupakan salah satu jenis mamalia yang sering
mencari makan di hutan mangrove. Diantaranya ada lutung, monyet
ekor panjang, dan bekantan. Namun mamalia tersebut tidak ada yang
eksklusif hidup di hutan mangrove.
9
bawah kanopi pepohonan. Iklim mikro para hutan mangrove juga dipengaruhi
oleh angin, topografi bahkan vegetasi yang ada pada hutan mangrove tersebut.
Plasma nutfah yang merupakan salah satu kekayaan alam berharga dari
kehidupan sangat besar manfaatnya baik bagi perbaikan jenis-jenis satwa
komersial maupun untuk memelihara populasi kehidupan liar itu sendiri di
masa depan sebagai pendukung kemajuan teknologi ilmu pengetahuan dan
untuk mendukung pembangunan suatu daerah.
10
7. Sarana pendidikan dan penelitian
11
5. Sumber mata pencarian masyarakat sekitar seperti dengan menjadi
12
Jenis –jenis mangrove yaitu:
1. Avicennia (Api-Api)
13
2. Acrostichum aureum (Paku Laut)
3. Acanthus (Jeruju)
14
dihaluskan di dalam air dapat dipakai untuk menghentikan pendarahan yang
keluar dari luka dan juga untuk mengobati luka karena gigitan ular. Daunnya
digunakan sebagai obat gosok untuk menghilangkan rasa nyeri dan
menyembuhkan luka karena terkena racun. Daun yang direbus dengan kulit
kayu manis dapat diminum untuk menyembuhkan perut kembung.
15
Daun : Pinggiran daun umumya rata kadang bergerigi seperti A.
ilicifolius. Unit & Letak: Sederhana, berlawanan. Bentuk: lanset. Ujung:
meruncing. Ukuran: 7-20 x 4-10 cm.
Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung
cerah, kadang agak putih di bagian ujungnya. Panjang tandan bunga lebih
pendek dari A. ilicifolius, sedangkan bunganya sendiri 2-2,5 cm. Bunga hanya
mempunyai satu pinak daun utama, karena yang sekunder biasanya cepat
rontok. Letak: di ujung. Formasi: bulir.
Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya
licin mengkilat. Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: Buah
panjang 2,5- 3 cm, biji 5-7 mm.
b. Acanthus ilicifolius ,
Herba rendah, terjurai di permukaan tanah, kuat, agak berkayu,
ketinggian hingga 2m. Cabang umumnya tegak tapi cenderung kurus sesuai
dengan umurnya. Percabangan tidak banyak dan umumnya muncul dari
bagian-bagian yang lebih tua. Akar udara muncul dari permukaan bawah
batang horizontal.
Daun : Dua sayap gagang daun yang berduri terletak pada tangkai.
Permukaan daun halus, tepi daun bervariasi: zigzag/bergerigi besar-besar
seperti gergaji atau agak rata dan secara gradual menyempit menuju pangkal.
Unit & letak: sederhana, berlawanan. Bentuk: lanset lebar. Ujung: meruncing
dan berduri tajam. Ukuran: 9-30 x 4-12 cm.
Bunga : Mahkota bunga berwarna biru muda hingga ungu lembayung,
kadang agak putih. Panjang tandan bunga 10-20 cm, sedangkan bunganya
sendiri 5-4 cm. Bunga memiliki satu pinak daun penutup utama dan dua
sekunder. Pinak daun tersebut tetap menempel seumur hidup pohon. Letak: di
ujung. Formasi: bulir.
16
Buah : Warna buah saat masih muda hijau cerah dan permukaannya
licin mengkilat. Bentuk buah bulat lonjong seperti buah melinjo. Ukuran: buah
panjang 2,5- 3 cm, biji 10 mm.
Ekologi : Biasanya pada atau dekat mangrove, sangat jarang di daratan.
Memiliki kekhasan sebagai herba yang tumbuh rendah dan kuat, yang
memiliki kemampuan untuk menyebar secara vegetatif karena perakarannya
yang berasal dari batang horizontal, sehingga membentuk bagian yang besar
dan kukuh. Bunga kemungkinan diserbuki oleh burung dan serangga. Biji
tertiup angin, sampai sejauh 2 m. Di Bali berbuah sekitar Agustus.
4. Rhizophora (Bakau)
Ada tiga jenis yang tergolong dalam marga ini, yaitu R. mucronata, R.
apiculata dan R. stylosa. Jenis-jenis ini dikenal dengan nama bakau, dan
merupakan jenis yang umum di hutan mangrove. Pohon-pohon jenis ini
mudah dikenal karena bentuk perakarannya yang menyerupai jangkar, tinggi
pohon dewasa dapat mencapai 30 — 40 m, batangnya besar dan daunnya
selalu hijau mengilap permukaannya. Semua bagian tumbuhan jenis ini dapat
dimanfaatkan sebagai obat dan pangan. Daun, buah dan akar yang
masih muda apabila direbus bersama dengan kulit muda
Kandelia candel dapat digunakan sebagai obat pencuci luka-luka yang
mujarab dan dapat mengusir nyamuk agar tidak mendekati tubuh kita. Air
rebusan kulit yang masih muda dan bagian ujung dari akar jangkar yang masih
muda dapat dipakai untuk mengobati mencret, disentri dan sakit perut
lainnya. Buahnya yang muda biasanya dapat dipakai sebagai campuran
minuman penyegar.
17
Gambar Mangrove Jenis Rhizophora (Bakau)
a. Rhizophora apiculata
18
berbintil, berwarna hijau jingga. Leher kotilodon berwarna merah jika sudah
matang. Ukuran: Hipokotil panjang 18-38 cm dan diameter 1-2 cm.
Ekologi : Tumbuh pada tanah berlumpur, halus, dalam dan tergenang
pada saat pasang normal. Tidak menyukai substrat yang lebih keras yang
bercampur dengan pasir. Tingkat dominasi dapat mencapai 90% dari vegetasi
yang tumbuh di suatu lokasi. Menyukai perairan pasang surut yang memiliki
pengaruh masukan air tawar yang kuat secara permanen. Percabangan akarnya
dapat tumbuh secara abnormal karena gangguan kumbang yang menyerang
ujung akar. Kepiting dapat juga menghambat pertumbuhan mereka karena
mengganggu kulit akar anakan. Tumbuh lambat, tetapi perbungaan terdapat
sepanjang tahun.
Penyebaran : Sri Lanka, seluruh Malaysia dan Indonesia hingga
Australia Tropis dan Kepulauan Pasifik.
b. Rhizophora mucronata
Pohon dengan ketinggian mencapai 27 m, jarang melebihi 30 m. Batang
memiliki diameter hingga 70 cm dengan kulit kayu berwarna gelap hingga
hitam dan terdapat celah horizontal. Akar tunjang dan akar udara yang tumbuh
dari percabangan bagian bawah.
Daun : Daun berkulit. Gagang daun berwarna hijau, panjang 2,5-5,5 cm.
Pinak daun terletak pada pangkal gagang daun berukuran 5,5-8,5 cm. Unit &
Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar hingga bulat
memanjang. Ujung: meruncing. Ukuran: 11-23 x 5-13 cm.
Bunga : Gagang kepala bunga seperti cagak, bersifat biseksual, masing-
masing menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di
ketiak daun. Formasi: Kelompok (4-8 bunga per kelompok). Daun mahkota:
19
4;putih, ada rambut. 9 mm. Kelopak bunga: 4; kuning pucat, panjangnya 13-19
mm. Benang sari: 8; tak bertangkai.
Buah : Buah lonjong/panjang hingga berbentuk telur berukuran 5-7 cm,
berwarna hijaukecoklatan, seringkali kasar di bagian pangkal, berbiji tunggal.
Hipokotil silindris, kasar dan berbintil. Leher kotilodon kuning ketika matang.
Ukuran: Hipokotil: panjang 36-70 cm dan diameter 2-3 cm.
Ekologi : Di areal yang sama dengan R.apiculata tetapi lebih toleran
terhadap substrat yang lebih keras dan pasir. Pada umumnya tumbuh dalam
kelompok, dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai,
jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut.
Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang tergenang dalam, serta pada tanah
yang kaya akan humus. Merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang
paling penting dan paling tersebar luas. Perbungaan terjadi sepanjang tahun.
Anakan seringkali dimakan oleh kepiting, sehingga menghambat pertumbuhan
mereka. Anakan yang telah dikeringkan dibawah naungan untuk beberapa hari
akan lebih tahan terhadap gangguan kepiting. Hal tersebut mungkin
dikarenakan adanya akumulasi tanin dalam jaringan yang kemudian
melindungi mereka.
Penyebaran :Afrika Timur, Madagaskar, Mauritania, Asia tenggara,
seluruh Malaysia dan Indonesia, Melanesia dan Mikronesia. Dibawa dan
ditanam di Hawaii.
c. Rhizophora stylosa
Pohon dengan satu atau banyak batang, tinggi hingga 10 m. Kulit kayu
halus, bercelah, berwarna abu-abu hingga hitam. Memiliki akar tunjang dengan
panjang hingga 3 m, dan akar udara yang tumbuh dari cabang bawah.
Daun :Daun berkulit, berbintik teratur di lapisan bawah. Gagang daun
berwarna hijau, panjang gagang 1-3,5 cm, dengan pinak daun panjang 4-6 cm.
20
Unit & Letak: sederhana & berlawanan. Bentuk: elips melebar. Ujung:
meruncing. Ukuran: meruncing.
Bunga :Gagang kepala bunga seperti cagak, biseksual, masing-masing
menempel pada gagang individu yang panjangnya 2,5-5 cm. Letak: di ketiak
daun. Formasi: kelompok (8-16 bunga per kelompok). Daun mahkota: 4; putih,
ada rambut. 8 mm. Kelopak bunga: 4; kuning hijau, panjangnya 13-19 mm.
Benang sari: 8; dan sebuah tangkai putik, panjang 4-6 mm.
Buah :Panjangnya 2,5-4 cm, berbentuk buah pir, berwarna coklat, berisi
1 biji fertil. Hipokotil silindris, berbintil agak halus. Leher kotilodon kuning
kehijauan ketika matang. Ukuran: Hipokotil: panjang 20-35 cm (kadang
sampai 50 cm) dan diameter 1,5-2,0 cm.
Ekologi :Tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut:
lumpur, pasir dan batu. Menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga
sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari
mangrove. Satu jenis relung khas yang bisa ditempatinya adalah tepian
mangrove pada pulau/substrat karang. Menghasilkan bunga dan buah
sepanjang tahun. Kemungkinan diserbuki oleh angin.
Penyebaran :Di Taiwan, Malaysia, Filipina, sepanjang Indonesia, Papua
New Guinea dan Australia Tropis. Tercatat dari Jawa, Bali, Lombok,
Sumatera, Sulawesi, Sumba, Sumbawa, Maluku dan Irian Jaya.
21
D. Perbedaan mangrove dan bakau
Istilah mangrove sering kali dianggap sama dengan bakau. Padahal di
beberapa literatur kedua istilah tersebut merujuk pada hal yang berbeda. Bakau
merupakan istilah bahasa Indonesia dan juga Malaysia yang mengacu pada
sekelompok tanaman yang berasal dari genus
Rhizophora. Contohnya Rhizophora apiculata, Rhizophora
mucronata, Rhizophora stylosa, dan lain-lain.
Hutan mangrove tersebar di 123 negara yang memiliki iklim tropis dan sub
tropis. Biasanya mangrove menyukai arus laut hangat sepanjang garis
khatulistiwa, 20° ke utara dan selatan. Terkadang ditemukan hingga lintang
32° ke Utara dan Selatan. Tanaman mangrove sensitif terhadap suhu dibawah
nol. Hutan mangrove tersebar mulai dari benua Amerika, Afrika, Asia hingga
ke Australia.
Terhitung sejak 1980-an dunia telah kehilangan hutan mangrove sebesar
3,6 juta hektar, atau sekitar 20%. Hingga tahun 2005 luas mangrove
22
sebesar 15,2 juta hektar. Luas ini sekitar 1% dari total luas hutan tropis.4 Dari
tahun ke tahun luasannya mengalami penyusutan sekitar 1%.
Terhitung sejak periode 2000-2005 laju penurunannya melambat menjadi
sekitar 0,66% per tahun. Penyebab utama hilangnya mangrove adalah konversi
lahan untuk pertanian, permukiman dan infrastruktur pariwisata.
23
Berikut adalah beberapa hutan mangrove yang terkenal di Indonesia :
Taman wisata alam Angke Kapuk merupakan salah satu kawasan hutan
mangrove yang dijadikan sebagai kawasan konservasi. Kawasan ini
mempunyai luas wilayah sekitar 99,82 Ha dengan vegetasi utama berupa
pepohonan mangrove atau yang kita kenal sebagai hutan bakau.
Keberadaan hutan mangrove ini berfungsi selain berperan sebagai pencegahan
erosi pantai dan tempat konservasi, juga berperan sebagai wisata alam dan
edukasi bagi para pengunjung untuk dapat lebih mengenal tanaman mangrove.
24
2. Hutan Mangrove Kulon Progo Jogja
25
3. Hutan Mangrove Surabaya
26
Daftar Pustaka
http://earthhour.wwf.or.id/5-manfaat-hutan-mangrove-untuk-manusia/
https://alamendah.org/2011/02/18/hutan-bakau-hutan-mangrove-definisi-dan-
fungsi/
http://nyu18.blogspot.co.id/2012/05/bermacam-macam-fungsi-hutan-
mangrove.html
https://jurnalbumi.com/hutan-mangrove/
http://sahabatnesia.com/hutan-mangrove-indonesia/
http://persemaian-hutankalimantan.blogspot.co.id/2012/10/jenis-jenis-pohon-
mangrove-atau-bakau.html
http://lalaukan.blogspot.co.id/2016/06/jenis-jenis-mangrove.html
27
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh
karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi
kompleks antara sifat fisika dan sifat biologi. Karena sifat fisiknya, mangrove mampu
berperan sebagai penahan ombak serta penahan intrusi dan abrasi laut. Proses
dekomposisi bakau atau mangrove yang terjadi mampu menunjang kehidupan makhluk
hidup di dalamnya. Keunikan lainnya adalah fungsi serbaguna hutan mangrove sebagai
penghasilan masyarakat desa di daerah pesisir, tempat berkembangnya biota laut
tertentu dan flora-fauna pesisir, serta dapat juga dikembangkan sebagai wahana wisata
untuk kepentingan pendidikan dan observasi/penelitian. Ekosistem hutan mangrove
adalah suatu sistem ekologi yang terdiri dari komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang
pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Kerusakan ekosistem hutan
mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun abiotik didalam ekosistem hutan
mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang disebabkan oleh faktor alam dan
faktor manusia (Tirtakusumah, 1994). Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan
mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam penyalahgunaan sumberdaya alam
di wilayah pantai tidak memperhatikan kelestarian, seperti : penebangan untuk
keperluan kayu bakar 2 yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan
pertambangan (Permenhut, 2004). Kualitas lingkungan pesisir saat ini terus mengalami
penurunan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir.
Kenaikan jumlah penduduk di kawasan pesisir secara otomatis meningkatkan kebutuhan
terhadap sandang, pangan, papan, air bersih dan energi, hal ini mengakibatkan
eksploitasi terhadap sumber daya pesisir semakin meningkat. Dalam
pengeksploitasiannya masyarakat cenderung mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan
bersifat merusak. Salah satu sumber daya pesisir yang saat ini mulai terancam adalah
ekosistem mangrove yang mempunyai fungsi sebagai penyeimbang kawasan pesisir.
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di kawasan pesisir, saat ini di
seluruh dunia terus mengalami tekanan. Menurut F.A.O (2003) mencatat bahwa luas
28
mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai 19,8 juta ha, turun menjadi 16,4 juta ha
pada tahun 1990, dan menjadi 14,6 juta ha pada tahun 2000, sedangkan di Indonesia,
luas mangrove mencapai 4,25 juta ha pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta ha pada
tahun 1990 dan tersisa 2,93 juta ha pada tahun 2000. Hutan mangrove di pesisir pantai
timur Sumatera Utara disusun oleh 20 jenis flora mangrove, dengan jenis paling
dominan adalah Avicenia marina yang merupakan jenis pionir. Tumbuhan mangrove
yang dijumpai hanya berada pada tingkat semai dan pancang, sedangkan tingkat pohon
tidak dijumpai, sehingga tergolong hutan mangrove muda (Onrizal, 2010). Mangrove
mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar
tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing 3 sungai, mencegah terjadinya abrasi
dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove
adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari makan,
sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular,
kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis
mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok,
papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan (Gunarto, 2004). Hutan
mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya sangat
berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya
kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem
yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove
akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para
nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu
faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji,
2001). Hutan mangrove sebagai suatu ekosistem di daerah pasang surut, kehadirannya
sangat berpengaruh terhadap ekosistem-ekosistem lain di daerah tersebut. Terjadinya
kerusakan/gangguan pada ekosistem yang satu tentu saja akan mengganggu ekosistem
yang lain. Sebaliknya keberhasilan dalam pengelolaan (rehabilitasi) hutan mangrove
akan memungkinkan peningkatan penghasilan masyarakat pesisir khususnya para
nelayan dan petani tambak karena kehadiran hutan mangrove ini merupakan salah satu
faktor penentu pada kelimpahan ikan atau berbagai biota laut lainnya (Sudarmadji,
2001). 4 Ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat disebabkan oleh
29
dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem hutan mangrove
disebabkan oleh faktor manusia berupa aktivitas ekonomi penduduk yang
memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat didalam ekosistem hutan mangrove
tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan
mangrove, yaitu pengalih fungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan
pertambakan, pertanian, perumahan, permukiman, dan raklamasi pantai untuk
kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, pohon mangrove dimanfaatkan sebagai
bahan bakar (kayu bakar, dan arang), bahan bangunan (balok perancah, atap rumah,
tonggak, dan bahan kapal) dan bahan baku industri (makanan, minuman, pupuk, obat –
obatan dan kertas) (Saenger, 1983). Luas ekosistem hutan mangrove yang ada di
Indonesia sekitar 4.251.011 Ha yang tersebar di beberapa pulau, seperti Sumatera, Jawa
dan Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulauwesi, Maluku, dan Papua/irian yang dimana
persebaran ekosistem hutan mangrove terbesar terdapat di Papua/Irian (± 65%) dan
Sumatera (± 15%) (WCMC “World Conservation Monitoring Centre”, 1992). Dengan
gencarnya pemanfaatan mangrove ini mengakibatkan lebih dari setengah luas
ekosistem hutam mangrove yang ada di Indonesia ternyata dalam kondisi rusak parah,
diantaranya 1,6 juta Ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta Ha di luar kawasan hutan
(Ginting, 2006) Luas hutan mangrove di pesisir timur Sumatera Utara dari tahun ke
tahun mengalami penurunan. Berdasarkan hasil penelitian Onrizal (2010) dengan
menggunakan teknologi penginderaan jarak jauh dalam 4 kali pengukuran 5 berbeda
(1977, 1988/1989, 1997 dan 2006) terus menurun. Jika dibandingkan dengan hutan
mangrove tahun 1977, pada tahun 1988/1989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di
pesisir timur Sumatera Utara secara berturut-turut terus berkurang, yaitu sebesar
14,01% (tersisa menjadi 88.931 ha), 48,56% (tersisa menjadi 53.198 ha) dan 59,68%
(hanya tersisa 41.700 ha) dari luas awal sebesar 103.415 ha pada tahun 1977.
Berdasarkan data di atas, maka dapat diketahui bahwa laju kerusakan mangrove di
pesisir timur Sumatera Utara adalah sebesar 2128,103 ha/tahun. Pada dasarnya ini
terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Ironisnya, sampai
sekarang tidak ada data aktual yang pasti mengenai luasan hutan mangrove, baik yang
kondisinya masih alami maupun yang telah berubah tutupan lahannya. Umumnya hutan
mangrove tidak memiliki batas-batas yang jelas. Estimasi kehilangan hutan selama
30
tahun 1985 s/d tahun 1997 untuk pulau Sumatera sebesar 3.391.400 ha. Berdasarkan
kondisi ekosistem yang dijumpai tersebut, kawasan mangrove tersebut sudah tidak
memungkinkan lagi bagi vegetasi dan satwa untuk berlindung dan beregenerasi secara
alami. Gambaran kerusakan mangrove juga bisa dilihat dari kemerosotan sumber daya
alam yang signifikan di kawasan hutan mangrove, baik pada ekosistem hutan pantai,
ekosistem perairan, fisik lahan dan lain-lain. Hal ini berakibat langsung pada
menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove (Purwoko dan
Onrizal, 2002). Interaksi yang tinggi antara masyarakat dengan kawasan hutan biasanya
membawa dampak yang cukup serius terhadap ekosistem kawasan maupun terhadap
fungsi dan keunikannya (Purwoko dan Onrizal, 2002). Dari satu sisi, hal ini
mengindikasikan bahwa keterlibatan sektor kehutanan dalam perekonomian 6 dan
kontribusinya terhadap perekonomian rakyat sudah cukup intensif. Namun di sisi yang
lain, dampak degradasi ekosistem mangrovenya terhadap perekonomian wilayah pesisir
secara keseluruhan jauh lebih serius. Padahal kelestarian ekosistem mangrove mutlak
harus tetap dipelihara sebagai satu-satunya cara untuk mempertahankan peran, fungsi
serta keseimbangan ekosistem kehidupan di sekitar kawasan pesisir.. Secara geografis
Kabupaten Asahan berada pada 02° 03’-03°26’ LU dan 99°01’-100°00’ BT dengan
ketinggian 0-1.000 m di atas permukaan laut. Kabupaten Asahan mempunyai luas
462.441 ha yang terdiri dari 20 kecamatan dan 271 desa/kelurahan. Kawasan hutan di
Kabupaten Asahan secara keseluruhan adalah 146.497,68 ha atau sebesar 31,68%.
Menurut Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok
Kehutanan menyebutkan bahwa luasan kawasan hutan yang harus dipertahankan
minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang
proporsional. Dari segi regulasi, luasan hutan ini telah memenuhi batasan minimum luas
hutan yang harus dipertahankan sehingga kawasan hutan tersebut mampu menjamin
asas kelestarian (ekologi, pro-duksi, dan sosial). Fungsi hutan di Kabupaten Asahan
sebagian telah berubah fungsi menjadi penggunaan lain seperti pemukiman,
perkebunan, sawah, tambak, dan tanah terbuka. Hutan lindung yang mempunyai luas
61.823 Ha telah berubah fungsi menjadi pemukiman, perkebunan, sawah, tambak, dan
tanah terbuka sebanyak 3.247,44 Ha (5,24%). Hutan produksi seluas 34.667,60 Ha juga
telah berubah fungsi menjadi perkebunan dan tanah terbuka sebesar 6.831,07
31
(19,70%). Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi sebanyak 20.611,93 Ha telah 7
berubah fungsi menjadi perkebunan dan sawah sebesar 13.516,14 Ha (65,57%). Sesuai
dengan SK. MENHUT No : SK.579/MENHUT-II/2005 , hutan lindung mempunyai luas
61.823 Ha (16,45%) dan menurut SK. MENHUT No : SK.579/MENHUT-II/2014 , hutan
lindung mempunyai luas 45.149 Ha (12,01%) , disini dapat kita liat banyaknya
penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis. Salah satu wilayah
Kabupaten Asahan yang mengalami kerusakan mangrove adalah Kecamatan Tanjung
Balai Desa Bagan Asahan. Kerusakan ini sebagian disebabkan oleh tekanan penduduk
dalam memanfaatkan lahan hutan mangrove untuk usaha pertambakan, persawahan,
dan permukiman. Keadaan semakin parah sejak pengalihan fungsi lahan mangrove
menjadi permukiman dan perubahan kawasan hutan menjadi tidak kawasan hutan yang
dilakukan oleh warga. Kondisi ini merupakan bukti nyata adanya aktivitas pemanfaatan
ekosistem mangrove (usaha pertambakan, persawahan, dan permukiman) secara
berlebihan, tanpa memperhatikan aspek pelestariannya. Kondisi ini menyebabkan
kawasan mangrove menjadi perhatian yang serius. Penurunan luasan ekosistem
mangrove diatas berdampak pada degradasi atau perubahan kawsan mangrove cukup
tinggi, hutan tak mampu lagi melindungi pantai dari gelombang laut, dan juga tak
mampu menahan angin maupun menahan kecepatan erosi pantai oleh kikisan arus.
Selain itu juga mengakibatkan rusaknya ekosistem biota seperti udang, kepiting, dan
ikan yang ada di dalam kawasan hutan mangrove tersebut. Menghadapi situasi sulit
seperti ini pemerintah daerah Kabupaten Asahan melaksanakan program Reboisasi.
Reboisasi merupkan kegiatan penghutanan 8 kembali kawasan hutan bekas tebangan
maupun lahan – lahan kosong yang terdapat di dalam kawasan hutan. Reboisasi
meliputi kegiatan permudaan pohon, penanaman jenis pohon di area hutan negara dan
area lainnya sesuai rencana tata guna lahan yang diperuntukkan sebagai hutan. Dengan
demikian, membangun hutan baru pada area bekas tebang habis, bekas tebang pilih,
atau pada lahan kosong lain yang terdapat didalam kawasan hutan termasuk reboisasi.
Kurangnya pemahaman akan pentingnya hutan mangrove telah memicu pengalihan
fungsi hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, permukiman, dan juga
perkebunan, sebagaimana yang terjadi di Desa Bagan Asahan. Bila keadaan ini terus
berlangsung di khawatirkan akan berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan
32
mangrove. Terkait dengan permasalahan diatas, maka perlu dilakukannya penelitian
tentang pengaruh pemanfaatan vegetasi mangrove terhadap kerusakan ekosistem
hutan mangrove di Desa Bagan Asahan Kecamatan Tanjung Balai Kabupaten Asahan. B.
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasi
masalah sebagai berikut : 1. Kualitas lingkungan pesisir yang terus mengalami
penurunan seiring dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk di kawasan pesisir.
2. Terjadi penurunan luasan dan kualitas hutan mangrove secara drastis dari tahun ke
tahun. 9 3. Kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat eksploitasi masyarakat yang
cenderung mengabaikan aspek-aspek lingkungan dan bersifat merusak. 4. Upaya
pelestarian Pemerintah daerah dan warga setempat akibat aktivitas pemanfaatan
vegetasi mangrove oleh penduduk sehingga mengakibatkan kerusakan ekosistem hutan
mangrove
33