Anda di halaman 1dari 4

Makalah Filsafat Islam IBNU BAJJAH

D I S U S U N
Oleh: Suryani (320902731)

FAKULTAS USHULUDDIN / PERBANDINGAN AGAMA INSTITUTE AGAMA ISLAM NEGERI AR-RANIRY DARUSSALAM BANDA ACEH 2010/2011

PEMBAHASAN IBNU BAJJAH 1. Riwayat Hidup dan Karyanya Ibnu Bajjah dilahirkan di Saragosta pada abad ke 11 M. tahun kkelahirannya yang pasti tidak diketahui, demikian pula masa kecil dan masa mudanya. Sejauh yang dapat dicatat oleh sejarah, ia hidup di Serville, Granada dan Fas. Ia menulis beberapa risalah tentang logika di kota Serville pada tahun 1128 M, dan meninggal dunia di Fas pada tahun 1138 M. ketika usianya belum lagi tua. Menurut satu riwayat ia meninggal karena diracun oleh seseorang dokter yang iri terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.1 Sebagian filosof yang lain, Ibnu Bajjah juga banyak mengarang buku, yaitu, buku yang ditinggalkannya ialah : 1. Beberapa risalah dalam ilmu logika , dan sampai sekarang masih tersimpan diperpustakaan Spanyol 2. Risalah tentang jiwa 3. Risalah al-Ittisal, mengenai pertemuan manusia dan akal-akal 4. Risalah al-wada, berisi uraian tentang penggerak pertama bagi manusia dan tujuan sebenarnya bagi wujud manusia dan alam 5. Beberapa risalah tentang falaq dan ketabiban 6. Risalah tadbir al-mutawahhid 7. Beberapa ulasan terhadap buku-buku filsafat, antara lain dari Aristoteles, Al-Farabi, dan sebagainya

2. Antara Filosof dan Filsafatnya Mengenai akal Ibnu Bajjah mengatakan bahwa akal sebagai daya berfikir adalah sumber semua pekerjaan manusia. Ahli-ahli filsafat umumnya menganggap bahwa akal serupa dengan jiwa. Roh ada tiga macam, yaitu, roh sekali untuk berpikir, roh jiwa untuk menggerakkan, dan roh tabiat untuk merasakan dan mengindra. Dalam hal ini kita ingat akan teori al-farabi aristoteles tentang jiwa negative, jiwa sensitive, dan jiwa akali yang ketiga-tiganya merupakan kesatuan rohani manusia.
1

Drs. Poerwantana dkk; Seluk Beluk Filsafat Islam; h : 186.

Akal meerupakan segi rohani manusia yang melebihkan derajatnya dari hewan dan tumbuhan. Dalam kitab Rasalatul-wada Ibnu Bajjah menjelaskan bahhwa manusia dengan berpikir sendiri (berfilsafat) akan sanggup memahami dirinya sendiri dan dapat memahami (marifat) akal yang tertinggi, yaitu Tuhan yang Maha kuasa. 2 Ibnu Bajjah menentang pandangan al-Ghazali mengenai filsafat, akan tetapi banyak mengomentari filsafat aristoteles. Ibnu Bajjah berhasil member corak baru filsafat islam dibarat terutama mengenai teori marifat dalam efitologi. Dalam hal ini pandangannya berbeda sam sekali dengan al-Ghazali. Dalam risalah al-wada, Ibnu Bajjah mengatakan bahwa Al-Ghazali dalam bukunya Al-Munqidzu min ad-Dlalal telah menempuh jalan khayali yang remeh, dan dengan demikian ia telah sesat dan menyesatkan orang-orang yang memasuki fatamorgana dan yang mengira bahwa pintu tasawuf telah membuka dunia pikiran dan selanjutnya memperlihatkan kebahagian-kebahagian ketika melihat alam langit. Menurut Ibnu Bbajjah hanya penyendiri saja yang dapat mencapai tingkat akalmustafad, yaitu akal yang sudah menerima pengetahuan dari akal faal. Dari segi ini, makapenyendirinya Ibnu Bajjah mirip sekali dengan orang bijaksananya al-Farabi yang dapat berhubungan dengan akal-faal.
3

Ibnu bajjah tidak banyak meninggalkan

karangan dibidang filsafat alam tetapi pemikiran-pemikirannya banyak mempengaruhi filosof islam berikutnya, yaitu Ibnu Rusyd. Pendapat Ibnu Bajjah sejalan dengan Ibnu Thuwail mengenai dominasi akal manusia yang tanpak jelas dalam teori etikanya. 3. Teori Etikanya Sifat akali menurut Ibnu Bajjah adalah factor rohani yang menggerakkan manusia pada kesusilaan. Sebagian dari akhlak manusia sama saja dengan akhlak. Misalnya sifat berani dari singa, sifat soombong ari merak, sifat malu, sifat patuh dan sebagainya. Akan tetapi, sifat akali manusia yang menjadi pangkal ilmu mereka adalah sifat kesempurnaan yang mutlak yang dapat mengatasi sifat-sifat hewani tersebut. Oleh sebab itu manusia yang tidak mengindahkan sifat keutamaannya (akalnya) itu berarti dia hanya mencukupkan dirinya pada sifat-sifat hewaninya saja. Tentu saja keeuntungannya akan

2 3

Drs. Poerwantana, dkk; Op, Cit; h ; 187. Ibid; Loc. Cit.

menjadi hilang apabila sifat-sifat hewani itu sangat erat hubungannya dengan alat-alat jasmaniah seperti makan, seksual dan sebagainya. Tegasnya, yang dimaksudkannya dengan sifat akali dalam etikanya ini ialah sifat yang mengutamakan pertimbangan rohani yang tinggi, yakni akal, dari pada pertimbangan rohani yang rendah, yakni sifat-sifat rohani (naluri) hewani.4 Ibnu Bajjah membagi pertumbuhan-pertumbuhan manusia kepada dua bagian. Bagian pertama, ialah perbuatan yang timbul dari motif naluri dan hal-hal lain yang berhubungan dengannya, baik dekat atau jjauh. Bagian kedua ialah perbuatan yang timbul dari pemikiran yang harus dan kemauan yang bersih dan tinggi dan bagian ini disebutkan : perbuatan-perbuatan manusia. Pangkal perbedaan antara kedua bagian tersebut bagi Ibnu Bajjah bukan perbuatan itu sendiri melainkan motifnya. Untuk menjelaskan kedua macam perbuatan tersebut, ia mengemukakan seorang yang terantuk dengan batu, kemudian luka-luka, lalu ia melemparkkan batu itu. kalau ia melemparkannya karena telah melukainya, maka ini adalah perbuatan hewani yang didorong oleh naluri hewani yang telah mendektekan kepadanya untuk memusnahkan setiap perkara yang mengganggunya. Kalu melemparkannya agar batu itu tidak mengganggu orang lain, bukan karena kepentingan dirinya, atau marahnya tidak ada sangkut paut dengan pelemparan tersebut, maka perbuatan itu adalah pekerjaan kemanusiaan pekerjaan terajhir ini saja yang bisa dinilai dalam lapangan akhlak karena menurut Ibnu Bajjah, hanya orang yang bekerja dibawah pengarruh pikiran dan keadilan semata-mata, dan tidak ada hubungannya dengan segi hewani padanya, itu saja yang bisa dihargai perbuatannya dan bisa disebut orang langit, dan berhak dibicarakan oleh ibnu Bajjah dalam bukunya. Setiap orang yang bendak menundukkan segi hhewani pada dirinya, maka ia tidak lain hanya harus memulai dengan melaksanakansegi kemanusiaannya. Dalam keadaan demikianlah, maka segi hewani pada dirinya tunduk kepada ketinggian segi kemanusiaan, dan seseorang menjadi manusia dengan tidak ada kekurangannya ini timbul disebabkan ketundukannya kepada naluri.

Drs Poerwantana, dkk; Op. Cit; h; 187-188

Anda mungkin juga menyukai