Anda di halaman 1dari 4

3.

TEKNIK PERATAAN BERSYARAT


3.1. Persamaan dasar dan penyelesaiannya Dalam pengukuran sipat datar tertutup atau pengukuran pergi pulang seperti diperlihatkan pada bab 1, bahwa pengukuran beda tinggi dimulai dan berakhir pada titik yang sama. Oleh karena itu jumlah pengukuran beda tinggi menjadi sama dengan nol. Pada Gambar 3.1 terdapat pengukuran jaring sipat datar yang membentuk beberapa jalur sipat datar tertutup. Jika l3 D C maksud pengukuran hanya menentukan beda tinggi antara titik A,B,C dan D, maka cukup dilakukan pengukuran beda tinggi dari A ke l6 B, B ke C dan ke D, atau l1, l2 , dan l3 . Jadi diperlukan 3 pengukuran, sedangkan yang l2 l4 dilakukan 6 pengukuran, sehingga terdapat 6 l5 - 3 = 3 pengukuran lebih. Dari 6 pengukuran tersebut dapat dibentuk 5 jalur tertutup, yaitu ABCDA, ABCA, BCDB, CDAC, ABDA, sehingga jika pengukuran itu tidak dihinggapi A B kesalahan, maka dapat dibentuk 5 syarat l1 berikut, Gambar 3.1. Jaring sipat datar (a) l1 + l2 + l3 + l4 =0 (b) l1 + l2 - l5 =0 (c) - l6 = 0 l2 + l3 (d) =0 l3 + l4 + l5 (e) l1 + l6 = 0 + l4 jalur ABCDA jalur ABCA jalur BCDB jalur CDAC jalur ABDA

Dari 5 persamaan syarat di atas dapat dilihat bahwa (d) = (a) - (b), dan (e) = (a) - (c). Jadi syarat (d) dan (e) bergantung linier terhadap syarat (a), (b) dan (c); sedangkan syarat (a), (b) dan (c) merupakan 3 persamaan syarat yang saling tidak bergantungan. Persamaan syarat lain yang tidak bergantungan adalah kelompok (a), (b), (e), kelompok (b), (c), (e), kelompok (b), (c), (d), kelompok (b), (d), (e), kelompok (c), (d), (e). Dengan demikian dari 3 pengukuran lebih pada jaring pengukuran sipat datar tersebut dapat disusun beberapa 3 syarat yang saling tidak bergantungan. C Pada sebuah segitiga terdapat 3 unsur sudut dan 3 unsur sisi. Untuk l3 menentukan bentuk segitiga cukup dilakukan pengukuran 2 unsur sudut, l5 l4 sehingga jika dilakukan pengukuran semua sudut segitiga (Gambar 3.2), maka pengukuran tersebut harus memenuhi syarat jumlah sudut dalam l1 l2 segitiga, yaitu B A
l6

Gambar 3.2. Unsur pada segitiga

l1 + l2 + l3 - 180o = 0

Desember 2002, @JOENIL_KAHAR (Teknik_Geodesi_ITB)

Bentuk dan besar segitiga ditentukan oleh 3 unsur, yaitu 2 unsur sudut dan 1 unsur sisi, atau 1 unsur sudut dan 2 unsur sisi, atau 3 unsur sisi. Jika dilakukan pengukuran 2 unsur sudut dan 2 unsur sisi, maka terjadi pengukuran lebih 1 sisi, yang menimbulkan satu syarat sinus pada segitiga. Misalkan dilakukan pengukuran sudut l1, l2 dan sisi l4 , l5 , maka syarat sisi yang harus dipenuhi dari data pengukuran yang tidak dihinggapi kesalahan adalah l5 sin l1 l4 sin l2 = 0 Apabila dilakukan pengukuran semua unsur-unsur segitiga, jadi banyak pengukuran yang dilakukan adalah 6, maka banyak pengukuran lebih adalah (6-3) = 3. Dari pengukuran ini terbentuk syarat-syarat berikut (a) (b) (c) (d) l1 + l2 + l3 - 180o = 0 l5 sin l1 l4 sin l2 = 0 l6 sin l1 l4 sin l3 = 0

l6 sin l2 l5 sin l3 = 0

Dari 4 syarat tersebut di atas syarat (b), (c) dan (d) saling bergantungan, karena l5 ( b ) l6 ( a ) = l4 ( c) Ini menunjukkan bahwa dari 3 pengukuran lebih terdapat 3 persamaan syarat yang tidak saling bergantungan, yang terdiri dari kelompok (a), (b), (c), kelompok (a), (b), (d), dan kelompok (a), (c), (d). Uraian di atas memberi kesimpulan bahwa jika banyak pengukuran yang dilakukan adalah n, sedangkan banyak pengukuran yang diperlukan adalah no, sehingga terjadi banyak pengukuran lebih r = (n-no) , maka dapat disusun r persamaan syarat yang saling tidak bergantungan. Pada contoh jaring sipat datar persamaan yang terbentuk merupakan fungsi linier, sedangkan pada contoh pengukuran semua unsur segitiga akan membentuk fungsi linier dan tak linier. Andaikan dari n pengukuran terdapat r pengukuran lebih yang dapat disusun menurut persamaan syarat tak linier berikut f1 ( l1 , l2 , . . . . . . ln ) = 0 f2 ( l1 , l2 , . . . . . . ln ) = 0 . . . fr ( l1 , l2 , . . . . . . ln ) = 0

(3.1)

Karena l j = l j + v j dimana j merupakan bilangan bulat mulai dari 1 sampai dengan n, maka dengan proses linierisasi setiap persamaan ke-i dari pers. (3.1) menghasilkan
fi f fi f v j . . . . + i v n + fi (l1 , l2 , . . . l n ) = 0 v1 + i v2 . . . . + l1 l2 l j l n

(3.2)

Desember 2002, @JOENIL_KAHAR (Teknik_Geodesi_ITB)

Perlu diingat bahwa dalam proses linierisasi yang menghasilkan pers. (3.1) dilakukan dengan mengabaikan suku-suku yang memuat turunan kedua hingga turunan ke-n. Oleh karena itu secara teoritis pers. (3.1) tidak sama dengan pers. (3.2). fi Dengan mengandaikan = a ij , maka persamaan syarat (3.1) menjadi l j a11 v1 + a12 v2 + . . . . + a1j vj + . . . . + a1n vn + w1 = 0 a21 v1 + a22 v2 + . . . . + a2j vj + . . . . + a2n vn + w2 = 0 ..................................... =0 ai1 v1 + ai2 v2 + . . . . + aij vj + . . . . + ain vn + wi = 0 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .= 0 ar1 v1 + ar2 v2 + . . . . + arj vj + . . . . + arn vn + w2 = 0 dengan w i = fi (l1 , l2 , . . . l n ) , a11 a 21 . . a i1 . . a r1 a12 a 22 . . a i2 . . ar2 dan selanjutnya dalam penulisan matriks 0 0 . . 0 . . 0

. . a1 j . . a1n v1 w1 . . a 2 j . . a 2 n v2 w 2 . . . . . . . . . . . . . . . . + = . . a ij . . a in v j w i . . . . . . . . . . . . . . . . . . a rj . . a rn v n w r AV + W = 0

(3.4)

yang disingkat menjadi (3.5) Pers. (3.5) adalah persamaan dasar pada teknik perataan bersyarat. A disebut matriks koefisien dengan dimensi (r x n), sedangkan V adalah matriks koreksi dengan dimensi (n x 1). Karena koreksi = - kesalahan, maka matriks W merupakan matriks kesalahan dan disebut kesalahan penutup, yang berukuran (r x 1). Setiap unsur matriks W merupakan fungsi dari semua data pengukuran lj. Jadi matriks ini merupakan matriks yang diketahui, begitu juga matriks koefisien A. Jadi matriks koreksi V pada pers. (3.5) merupakan matriks anu (tak diketahui). Matriks V ini ditentukan dengan menggunakan prinsip minimum, yaitu VT P V minimum, dengan P matriks berat pengukuran yang berdimensi (n x n). Ambil matriks pengali (multiplikator) Lagrange K yang berukuran (r x 1), yang dipakai pada pers. (3.5), dengan konstanta c 0 c KT (AV + W) = 0 (3.6)

Jika pada ruas kanan pers. (3.5) 0 merupakan matriks yang semua unsurnya adalah 0, maka pada ruas kanan pers. (3.6) adalah merupakan skalar yang mempunyai nilai 0. Karena VT P V memberikan hasil sebuah skalar yang mempunyai nilai , maka dengan menambahkannya pada pers. (3.5), dalam hal ini c = 2, akan tetap memberikan hasil minimum , jadi VT P V + 2 KT (AV + W) minimum
Desember 2002, @JOENIL_KAHAR (Teknik_Geodesi_ITB)

Agar menapai minimum, maka turunannya terhadap setiap vj harus sama dengan 0. Jadi = 0T V 2 VT P + 2 KT A = 0T PV + ATK = 0 sehingga atau V = - P-1 AT K V = - Q AT K (3.7a) (3.7b)

Dengan memasukkan pers. (3.7) kedalam pers. (3.5) didapatkan persamaan yang disebut persamaan normal (A P-1 AT) K - W = 0 atau atau NK-W=0 (3.8c) Matriks N adalah matriks berukuran (r x r), dan merupakan matriks yang diketahui, karena matriks A, P atau Q merupakan matriks yang diketahui. Mtariks K yang disebut juga matriks korelat dapat ditentukan K = N-1 W atau atau K = (A Q AT)-1 W K = (A P-1 AT) -1 W (3.9a) (3.9b) (3.9c) (A Q AT) K - W = 0 (3.8a) (3.8b)

VT P V dapat ditentukan dengan menggunakan (3.9) ke dalam (3.7), VT P V = WT K atau VT P V = WT N-1 W (3.10a) (3.10b)

Variansi baku o2 ditentukan dari VTP V 2 = o r Hasil ukuran setelah perataan ditentukan dari L = L+V

(3.11) (3.12)

Parameter X dapat pula ditentukan berdasarkan hasil setelah perataan dimana X merupakan fungsi dari L X = X( L ) (3.13)

Desember 2002, @JOENIL_KAHAR (Teknik_Geodesi_ITB)

Anda mungkin juga menyukai