Anda di halaman 1dari 121

ABSTRAKSI BUDI PRASTYO UTOMO.

PENGGAMBARAN KEKUASAAN PEREMPUAN DALAM LIRIK LAGU (Studi Semiotik Terhadap Lirik Lagu Pria Dijajah Wanita Dari Grup Band Indie Kaimsasikun) Penelitian ini didasarkan pada fenomena baru yang dituangkan dalam sebuah lirik lagu tentang sebuah pemahaman terhadap singularitas gender yang notabene menentang pemahaman patriarki yang berlaku hampir diseluruh masyarakat, bahwa perempuan juga berhak untuk memiliki sebuah kekuasaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk kekuasaan itu bisa muncul dari seorang perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita dari grup band indie Kaimsasikun dalam album Kaimsasikun dengan menggunakan studi tentang tandatanda dalam sebuah kajian linguistik strukturalis Ferdinand De Saussure yang disebut sebagai semiotika dengan dikotomi-dikotominya terhadap petanda dan penanda, langue dan parole-nya, serta hubungan sintagmatik dan paradigmatiknya untuk dapat diketahui interpretasinya, kemudian setelah proses pemaknaan selesai akan dicari penggambarannya tentang perempuan apa yang melakukan sebuah kekuasaan, bagaimana sebuah perempuan dalam lirik lagu ini dapat mencapai kekuasaan, dan apa yang menjadi tujuan sebuah kekuasaan dari perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu ini. Kekuasaan sendiri merupakan kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi, dan sebuah kekuasaan bukan semata-mata hanya dapat ditempuh melalui jalan kekerasan dan paksaan secara kasar saja, melainkan kekuasaan itu juga terlaksana melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui sebuah rangsangan atau persuasi. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan menggunakan analisis semiotika. Unit analisis yang digunakan adalah lirik lagu Pria Dijajah Wanita dari grup band indie Kaimsasikun dalam album Kaimsasikun. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa seorang perempuan pop atau perempuan yang telah dikonstruksi oleh budaya populer yang merupakan karakter perempuan dalam lirik lagu ini, dapat mencapai kekuasaannya dengan menggunakan segala kefemininitasnya dan kecantikan fisiknya yang dipergunakan sebagai senjata untuk dapat mempengaruhi laki-laki yang dalam lirik lagu ini diceritakan sebagai kekasihnya untuk mau melakukan apa yang dikehendaki dan diinginkan oleh perempuan pop itu sendiri, yaitu memberikan harta yang dimiliki oleh laki-laki tersebut kepada dirinya.

BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna, tanda tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Littlejohn dalam sobur 2004:15). Manusia dengan perantaraan tanda tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini, termasuk juga melalui sebuah karya seni. Sebuah karya seni memerlukan sebuah media dalam menyampaikan pesannya, salah satunya adalah musik dan lagu. Berbicara masalah musik dan lagu tidak terlepas dari musik pop dan industri musik. Musik pop disini diartikan sebagai musik populer, bukan hanya genre musik pop. Musik pop dalam komoditasnya sekarang telah dijadikan sebagai sebuah industri yang dapat menghasilkan banyak uang serta mengesampingkan nilai seninya itu sendiri. John Storey dalam bukunya mempunyai asumsi yang dibuat bahwa musik sebagai sebuah industri, industri musik menentukan nilai guna produk-produk yang dihasilkan. Paling jauh, khalayak secara pasif mengonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Paling buruk, mereka menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang mereka konsumsi. Seperti argumen Leon Rosselson menyatakan bahwa industri musik memberikan publik apa yang mereka inginkan (Storey,2007:121). Jelas terlihat bahwa musik populer

diciptakan,

direkam,

dirilis,

diedarkan,

dan

dijual

mempunyai

pertimbangan hanya mengikuti selera pasar atau publik atau konsumen tanpa mempertimbangkan faktor ideologi sebuah musik dan lagu dari penciptanya sendiri. Musisi sebagai pencipta lagu dalam menciptakan lagunya dituntut oleh pihak perusahaan rekaman untuk menghasilkan sebuah karya yang sesuai dengan telinga pasar. Hal tersebut dapat

memenjarakan sebuah kreativitas seni yang keluar dari hati yang paling dalam yang kemudian dituangkan dalam sebuah lagu baik dari segi lirik maupun aransemennya. Yang pada akhirnya banyak dari para musisi yang berusaha menciptakan lagunya tanpa menginginkan campur tangan dari pihak perusahaan rekaman. Hal tersebut dimaksudkan agar para musisinya dapat bebas bergerak dan berkarya tanpa adanya campur tangan dari perusahaan rekaman yang notabene hanya bertujuan bisnis dan mencari keuntungan dari lagu-lagu yang telah diciptakan untuk dapat dijual kepada publik. Dari persoalan inilah yang kemudian

melahirkan banyak munculnya musisi-musisi independent yang bebas berkarya tanpa adanya campur tangan serta ikatan kontrak dari sebuah perusahaan rekaman komersil. Berdasarkan Wikipedia, yang dimaksud dengan independent atau indie di sini adalah tidak terikat atau tidak adanya campur tangan dalam perusahaan rekaman komersil atau biasa disebut major label, baik dalam proses penciptaan ide dan kreativitas, produksinya, maupun secara finansial atau masalah keuangan seperti

pembagian

royalti

(www.wikipedia.org).

Termasuk

band

sebagai

pengusung musik, banyak band yang memilih jalur independent dalam memproduksi dan mendistribusikan lagunya dari pada memilih jalur major label atau perusahaan rekaman komersil. Kaimsasikun merupakan contoh band indie yang lebih memilih jalur independent dari pada memilih jalur major label sehingga kreativitas dan ideologi yang tertuang dalam musik dan lagunya dapat bergerak bebas tanpa hanya memikirkan selera publik dan komersialitas seperti yang biasa dilakukan dalam industri musik major label. Entah itu musik indie ataupun musik populer, musik

sebagaimana dapat disimpulkan dari pendapat Soerjono Soekanto (Rachmawati,2001:1) bahwa musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan dan gejala khas akibat interaksi sosial dimana lirik lagu menjadi penunjang dalam musik tersebut dalam menjembatani isu-isu sosial yang terjadi. Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik lagunya, karena melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di dunia sekitar, dimana dia

berinteraksi didalamnya. Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk

mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir

dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih,2003:7-8). Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rachmawati (2000:1) yang menyatakan : Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunti suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya. Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat. Salah satunya dalam lirik lagu band indie Kaimsasikun yang berjudul Pria Dijajah Wanita dalam album Kaimsasikun, yang berkaitan tentang permasalahan terhadap situasi sosial dan isu-isu sosial yang terjadi. Sosok perempuan, digambarkan oleh si pencipta lagu dari setiap baitnya dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita, sebagai sosok perempuan yang memiliki sebuah karakter, mandiri, cantik, kuat, dan berambisi untuk mendapatkan sebuah kekuasaan. Padahal, dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh masyarakat, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah

derajatnya daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis (Mustaqim, 2003:1). Patriarki merupakan aturan yang berasal dari Ayah (Bapak) atau kepala keluarga. Ini mengacu pada sistem sosial, dimana Bapak memegang kontrol (kendali) atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang, sumber pendapatan dan pemegang keputusan utama. Sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi) bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan sudah seharusnya dikendalikan

(dikontrol) oleh pria dan menjadi bagian dari properti pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memenjarakan perempuan di rumah serta mengontrol kehidupan mereka. Selain itu, standar dobel moralitas dan hukum, yang memberikan hak lebih pada pria dibanding perempuan, didasarkan atas patriarki

(www.sekitarkita.com). Sosok dari perempuan dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita merupakan perempuan masa kini karena lagu tersebut diciptakan pada masa sekarang dan mengambil tema sosial yang sedang terjadi pada masa sekarang pula, yaitu perempuan yang hidup di era posmodern, dimana muncul sebuah pemikiran baru dalam perjuangan akan gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan gender, yaitu posfeminisme. Dalam praktiknya, posfeminisme mempunyai sosok baru yang bisa diasumsikan sebagai perempuan pop (budaya pop). Seperti pendapat

Gadis Arivia dalam sebuah bukunya mengatakan, budaya posmodern di tahun 90-an telah memperlihatkan kemunculan ikon perempuan baru, yaitu perempuan yang tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan menginginkan kuasa. Singkatnya, mendekonstruksi women's culture. Dalam konteks pop culture (budaya pop), contoh-cotoh ikon posfeminisme adalah seperti Spice Girl, Madonna, dan lain sebagainya (Arivia, 2006:128). Kebudayaan pop sendiri merupakan sebuah budaya massa yang sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan, istilah ini merupakan pasangan dari high culture

(kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi) yang pada perkembangannya akibat media komunikasi dan teknologi informasi, tidak lagi hanya ditujukan bagi orang miskin atau kelas bawah (seperti awal

terbentuknya), melainkan merata pada setiap lapisan yang dikhawatirkan menggilas semuanya dan menjadi satu-satunya kebudayaan yang menguasai semua bangsa di dunia. Dalam artian, semua kebudayaan akan diseragamkan oleh kebudayaan massa atau biasa disebut budaya pop (Ibrahim,1997:6). Perempuan pop yang hidup pada era posmodernisme dan konsumerisme, adalah perempuan yang beresiko terjebak sebagai korban sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol

kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan. Bre Redana menguraikan narasi kondisi masyarakat konsumerisme yang dikontrol oleh gaya

hidup sebagai sebuah tuntutan zaman, bahwa pada era sekarang (era posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi perang besarbesaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141). Dalam artian, kebudayaan pop di era posmodern menampilkan sebuah kecenderungan baru akan sebuah gaya yang dikultuskan dan dipuja sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai sebuah keinginan. Masyarakat dalam era posmodern memandang bahwa pencitraan atau image sangatlah penting. Seperti halnya seorang perempuan pop, telah terjadi pergeseran orientasi atau nilai-nilai yang menciptakan sebuah pencitraan diri. Sebagai suatu contoh, bahwa bila zaman dahulu seseorang bisa mendapatkan uang karena status, maka zaman sekarang seseorang bisa mendapatkan sebuah status karena uang

(Ibrahim,1997:193). Sebuah penilaian akan status tersebut bisa disama artikan dengan sebuah kekuasaan. Dengan sebuah status yang didapatkan dari uang atau dalam artian harta dan kekayaan, seseorang dapat memiliki sebuah kekuasaan atau dengan kata lain memiliki status berkuasa. Menurut wikipedia, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan

berperilaku

sesuai

dengan

kehendak

yang

mempengaruhi

(http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan). Kekuasaan tidak hanya dapat diraih dengan sebuah kekerasan, tetapi juga melalui sebuah persuasi. Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan (Audifax, 2006:227). Sebuah kekuasaan tidak terlepas dari sebuah kata penjajahan. Penjajahan merupakan metode atau cara untuk mendapatkan sebuah kekuasaan. Penjajahan oleh perempuan dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita tidak dikaitkan dengan sebuah culture tertentu yang dalam artian ras tertentu atau suku tertentu dalam konteks pencapaian kekuasaan, melainkan dalam ruang lingkup sebuah kebudayaan pop (pop culture). Sanny sebagai pencipta lagu Pria Dijajah Wanita sekaligus pemain bass Kaimsasikun tidak menjelaskan perempuan dari culture mana yang digambarkan dalam lirik lagunya dengan kata kamu tersebut, entah perempuan Jawa, perempuan Batak, perempuan Bali, ataupun perempuan Sunda, akan tetapi yang jelas perempuan yang dimaksud merupakan perempuan Indonesia masa kini yang telah dikonstruksi oleh budaya pop.

Dari permasalahan dalam lirik lagu tersebut yang berkaitan dengan fenomena sosial yang sedang terjadi, menimbulkan ketertarikan penulis untuk mencari tahu bagaimana kuasa perempuan yang

digambarkan dalam lirik lagu band indie Kaimsasikun yang berjudul Pria Dijajah Wanita. Bagaimana seorang perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita dapat mencapai kuasa atas lakilaki, sementara stereotipe yang berkembang dalam masyarakat patriarki berpendapat bahwa perempuan merupakan subordinasi yang tidak berhak atas kuasa apapun. Selain itu ketertarikan penulis dalam memilih lagu dari grup band indie Kaimsasikun yang berjudul Pria Dijajah Wanita sebagai obyek penelitian, sebagai sebuah band indie, Kaimsasikun dalam menciptakan lagunya tidak hanya memikirkan selera publik dan komersialitas seperti yang biasa dilakukan dalam industri musik major label, tetapi Kaimsasikun juga tetap mempertahankan ideologinya dalam bermusik, menciptakan, merekam, merilis, dan mendistribusikan lagulagunya dalam sebuah album melalui jalur independent atau indie label, sehingga pesan dari lagu yang dilemparkan kepada publik merupakan cerminan ideologi dari band tersebut, tanpa mengikuti arus pasar industri musik. Lagu Pria Dijajah Wanita menurut penulis, mempunyai tema tentang percintaan yang unik dan tidak biasa yang belum dapat diterima oleh publik secara luas, terutama para penganut patriarki. Terlebih lagi sebagai sebuah band indie, Kaimsasikun tidak mempunyai

10

jaringan edar pasar atau distribusi yang cukup luas seperti major label sehingga banyak publik yang belum mengetahui lagu tersebut. Hanya sedikit orang saja yang mengetahui lagu tersebut, terutama di kalangan penikmat musik indie atau yang biasa disebut sebagai scene indie (komunitas indie). Dari beberapa hal diatas, maka penulis melihat bahwa lagu dari grup band indie Kaimsasikun menarik untuk diteliti dan dalam penelitian ini berupaya lebih menitikberatkan pada penggambaran kekuasaan perempuan atas laki-laki dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita dalam album Kaimsasikun dari grup band indie Kaimsasikun.

I.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana kekuasaan perempuan atas laki-laki digambarkan dalam lagu Pria Dijajah Wanita dari grup band indie Kaimsasikun, dalam album Kaimsasikun?

I.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian I.3.1 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui bagaimanakah kekuasaan perempuan atas laki-laki digambarkan dalam lagu Pria Dijajah Wanita dari grup band indie Kaimsasikun, dalam album Kaimsasikun.

11

I.3.2 Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis, yaitu untuk menambah literatur penelitian kualitatif Ilmu Komunikasi khususnya mengenai analisis dengan metode semiotik. 2. Kegunaan Praktis, yaitu membantu pembaca dalam memahami makna tanda yang menggambarkan kekuasaan perempuan atas laki-laki dalam lirik lagu grup band indie Kaimsasikun.

12

BAB II KAJIAN PUSTAKA II.1 Landasan Teori II. 1. 1 Definisi komunikasi Komunikasi atau communication dalam bahasa inggris berasal daru kata latin communis yang berarti sama, communico,

communicatio, atau communicare yang berarti membuat sama (to make common). Istilah pertama (communis) adalah istilah yang paling sering disebut sebagai asal usul kata komunikasi, yang merupakan akar dari kata kata Latin lainnya yang mirip. Komunikasi menyarankan

bahwa suatu pikiran atau suatu makna, atau suatu pesan dianut secara sama. Kata yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas

(community) yang juga menekankan kesamaan atau kebersamaan. Komunitas merujuk pada sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa ada komunikasi tidak akan ada komunitas . komunitas bergantung pada pengalaman dan emosi bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh karena itu , komunitas juga berbagi bentuk bentuk komunikasi yang berkaitan dengan seni, agama dan bahasa, dan masing masing bentuk tersebut mengandung dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif, pandangan yang

mengakar kuat dalam sejarah komunitas tersebut. (Mulyana, 2001:42).

13

Pada dasarnya manusia berkomunikasi dengan simbol simbol, simbol simbol itu mewakili pikiran, perkataan dan perbuatan yang mengiringi interaksi antar manusia, simbol simbol itu berbentuk verbal dan non verbal yang ditransmisikan secara sadar maupun tidak, secara bersistem maupun tidak bersistem dalam interaksi dan komunikasi antar manusia. Didalam berkomunikasi manusia mengkonstruksi suatu gambar mengenai dunia tersebut melalui proses aktif dan kreatif yang kita sebut persepsi. Mulyana (2001:167) mengungkapkan bahwa persepsi adalah proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi kita. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan

penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi, yang identik dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi. Begitu juga de ungkapkan Desiderato dalam Rakhmat (2003:51) persepsi adalah

pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Persepsi ialah memberikan makna pada stimuli inderawi (sensory stimuli). Dan Nimmo mengatakan dalam pendefinisiannya tentang

komunikasi, bahwa : Komunikasi adalah proses interaksi sosial yang digunakan orang untuk menyusun makna yang merupakan citra mereka mengenai dunia (yang berdasarkan itu mereka bertindak) dan untuk bertukar citra itu melalui symbol symbol.(Nimmo, 1989:7)

14

Melalui interaksi sosial orang menurunkan dan bertindak menurut makna yang mampu membuat mereka mampu menciptakan dan menciptakan kembali dunia subjektif mereka. Komunikasi adalah negoisasi dan pertukaran makna sebuah pesan yang dibangun masyarakat berdasar budaya dan realitas, yang mampu berinteraksi karena menggunakan makna yang mereka bangun dan mereka pahami bersama untuk menumbuhkan saling pengertian. Disebut komunikasi karena ada aktor, ada proses dan ada lambang. Proses

komunikasi dalam interaksi sosial antar actor dalam masyarakat menyampaikan pesan dengan menggunakan lambang lambang, simbol symbol, bahasa, dalam hal ini disebut tanda tanda. Tanda tanda ini menjadi pesan setelah melalui proses encoding oleh komunikator. Demikian pula pesan yang diterima komunikan yang berupa tanda tanda tersebut juga ditafsirkan melalui proses decoding. Proses penyandian pesan oleh komunikator menjadi tanda dan proses penafsiran tanda oleh komunikan inilah yang disebut proses signifikasi atau proses semiosis. Manusia sehari-hari dikelilingi oleh tanda-tanda, apakah itu natural atau artifisial. Hakikat peran yang dibawakan oleh tanda-tanda pada prinsipnya ditentukan oleh kebudayaan. Studi tentang tanda-tanda pada umumnya, serta studi tentang bekerjanya sejumlah besar kode-kode dalam suatu kebudayaan, yang memungkinkan kita mampu

menginterpretasikan tanda-tanda tersebut secara memuaskan sekarang diberi nama Semiologi (di Prancis dan negara Eropa lainnya) atau

15

Semiotika (Amerika Selatan).(Sarup, 2003: 217). Semiologi sebagai konsep tentang tanda tanda dipergunakan secara fleksibel tetapi

seksama didalam memecahkan persoalan makna pesan dalam tindak komunikasi, menggali berbagi perspektif dalam fenomena komunikasi, serta semiologi akan membantu menjelaskan bagaimana tindak

komunikasi berlangsung sebagai proses interaksi, The semiotic model help to explain how communication work as an interactive process (Purwasito, 2003:243). Setiap tindakan komunikasi dianggap sebagai pesan yang dikirim dan diterima melalui beragam tanda berbeda. Berbagai aturan kompleks yang mengatur kombinasi pesan-pesan ini ditentukan oleh berbagai kode sosial. Seluruh bentuk ekspresi musik, seni, film, fashion, makanan, kesusasteraan- dapat dianalisis sebagai sebuah sistem tanda. Begitu juga dengan lirik lagu, yang juga merupakan sebuah tanda yang sarat makna, ia membuka kemungkinan sebagai

sebuah tanda yang bisa ditafsirkan.

II. 2. Musik Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya, penggubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik dalam bentuk sistem tanda perantara tertulis. Bagi semiotikus musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orkestra. Hal ini sangat memudahkan dalam

16

menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis. Meski demikian, semiotik tidak dapat hidup hanya dengan sintaksis: tidak ada semiotika tanpa semantik. Jadi, juga tidak ada semiotika musik tanpa semantik musik. Semantik musik, bisa dikatakan, harus senantiasa membuktikan hak kehadirannya (Van Zoest, 1993:120121).

II. 2. 1. Musik Indie Berdasarkan Wikipedia, yang dimaksud dengan independent atau indie di sini adalah tidak terikat atau tidak adanya campur tangan dalam perusahaan rekaman komersil atau biasa disebut major label, baik dalam proses penciptaan ide dan kreativitas, produksinya, maupun secara finansial atau masalah keuangan seperti pembagian royalti

(www.wikipedia.org). Termasuk band sebagai pengusung musik, banyak band yang memilih jalur independent dalam memproduksi dan

mendistribusikan lagunya dari pada memilih jalur major label atau perusahaan rekaman komersil. Kaimsasikun merupakan contoh band indie yang lebih memilih jalur independent dari pada memilih jalur major label sehingga kreativitas dan ideologi yang tertuang dalam musik dan lagunya dapat bergerak bebas tanpa hanya memikirkan selera publik dan komersialitas seperti yang biasa dilakukan dalam industri musik major label.

17

II. 1. 2. Lirik Lagu Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu sikap atau nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih,2003:7-8). Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Termasuk realitas sosial yang menggambarkan perempuan yang cantik, kuat, tangguh, tidak

menganggap dirinya sebagai korban, acuh tak acuh, dan menginginkan kuasa dari laki-laki dengan menggunakan kefemininitasan yang dia miliki. Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dalam Rachmawati (2000:1) yang menyatakan : Musik berkait erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunti suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.

18

Berdasarkan kutipan di atas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat. II. 3. Pendekatan Semiotika Kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti tanda atau seme yang berarti penafsir tanda.

Semiotika berasal dari studi klasik dan skolastik atas seni logika, retorika dan poetika. Tanda pada masa itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain (Sobur, 2003:16) Juga diungkapkan oleh Saussure dalam Budiman bahwa : A science that studies the life of signs within society is conceivable; it would be a part of social psychology and consequently of general psychology; i shall call it semiology (from the Greek semeionsign). Semiology would show that constitutes signs, what laws govern them... Sebuah ilmu yang mengkaji tanda tanda di dalam masyarakat dapat dibayangkan; ia akan menjadi bagian dari psikologi sosial dan sebagai konsekuensinya, psikologi general; ia akan saya beri nama semiologi (dari bahasa Yunani semeion tanda). Semiologi akan menunjukkan hal hal apa yang membentuk tanda tanda, kaidah kaidah apa yang mengendalikannya... Berkenaan dengan studi semiotik, pada dasarnya pusat perhatian pendekatan semiotik adalah pada tanda (sign). Menurut John Fiske, terdapat tiga area penting dalam studi semiotik, yakni (Fiske, 1990:40): 1. The sign it self. This consist of the study of different varieties of sign, of the different ways they have of conveying meaning, and of the way relate to the people who use them. For sign are human constructs and can only

19

be understood is term of the uses pepole put them to.(Tanda itu sendiri. Hal ini berkaitan dengan beragam tanda yang berbeda, seperti cara mengantarkan makna serta cara menghubungkannya dengan orang yang menggunakan. Tanda adalah buatan manusia dan hanya bisa dimengerti oleh orang yang menggunakannya). 2. The codes of sistems into which signs are organized. This study covers the way that a vareity of codes have develop in order to meet the needs of society or culture.(Kode atau sistem dimana lambang lambang disusun. Studi ini meliputi bagaimana beragam kode yang berbeda dibangun untuk mempertemukan dengan kebutuhan didalam masyarakat dalam kebudayaan). 3. The culture within which these codes and signs operate. (Kebudayaan dimana kode dan lambang itu beroperasi) (Sobur, 2001:94) Sebuah tanda tidak hadir begitu saja sebagai bagian dari kenyataan ia merefleksi dan membiaskan kenyataan lain. Oleh karena itu sebuah tanda bisa saja memiuhkan kenyataan atau mentaatinya.

Dalam semiotika, bila segala sesuatu yang dalam terminologi semiotika disebut sebagai tanda (sign), semata alat untuk berdusta, maka setiap tanda akan selalu mengandung muatan dusta; setiap makna (meaning) adalah dusta; setiap pengguna tanda adalah para pendusta; setiap proses pertandaan (signification) adalah kedustaan. Umberto Eco menjelaskan bahwa bila sesuatu tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan dusta, maka sebaliknya ia tidak dapat pula digunakan untuk mengungkapkan kebenaran (truth): ia pada kenyataannya tidak dapat digunakan untuk mengungkapkan apa-apa. Dia berpikir definisi sebagai sebuah teori kedustaan sudah sepantasnya diterima sebagai program komprehensif untuk semiotika umum (Piliang, 2003:43).

20

II. 3. 1. Teori Tanda Ferdinand De Saussure Semiotika signifikasi adalah akar dari pemikiran dari bahasan saussure yang didefinisikan sebagai ilmu yang mengkaji tentang peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial, implicit dari definisi tersebut adalah sebuah relasi bahwa bila tanda merupakan bagian dari kehidupan sosial, maka tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Saussure juga berbicara mengenai konvensi sosial yang mengatur penggunaan tanda secara sosial, yaitu pemilihan, pengkombinasian, dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga ia mempunyai makna dan nilai sosial (Sobur, 2003:vii). Menurut pandangan Saussure, segala sesuatu yang berhubungan dengan sisi statik dari suatu ilmu adalah sinkronik. Linguistik, dengan perspektif sinkroniknya, secara khusus memperhatikan relasi-relasi logis dan psikologis yang memadukan terma-terma secara berbarengan dan membentuk suatu sistem dalam pikiran kolektif. Analisis bahasa secara sinkronik adalah analisis bahasa sebagai sistem yang eksis pada suatu titik waktu tertentu (yang seringkali berarti saat ini atau

kontemporer) dengan mengabaikan route yang telah dilaluinya sehingga dapat berwujud seperti sekarang. Sebaliknya, segala sesuatu yang bersangkutan dengan evolusi adalah diakronik. Linguistik yang diakronik dapat dibedakan menjadi dua sudut pandang, yaitu prospektif dan retrospektif. Sudut pandang yang pertama mengikuti majunya arus waktu, sedangkan yang kedua berjalan mundur. Linguistik diakronik

21

mengkaji relasi-relasi yang secara suksesif mengikat terma-terma secara bersamaan, yang masing-masing dapat saling bersubtitusi tanpa

membentuk suatu sistem, namun tetap tidak disadari oleh pikiran kolektif. Meskipun Saussure sendiri dididik dalam tradisi lingusitik diakronik yang sangat kental, preferensinya secara khusus tertuju kepada lingusitik sinkronik. Segala konsep yang dikembangkan di dalam linguistik sinkronik Saussurean ini berkisar pada dikotomi-dikotomi tertenti, yakni penanda dan petanda, langue dan parole, serta sintagmatik dan paradigmatik (Budiman, 2004:38).

II. 3. 1. 1. Signifier dan Signified Yang cukup penting dalam upaya menangkap hal pokok pada tori saussure adalah prinsip yang mengatakan bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda itu tersusun atas dua bagian, yakni signifier (penanda) dan signified (petanda). Menurut saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (sign). Suara-suara baik itu suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian semua dapat dikatakan sebagai bahasa apabila itu semua mengekspresikan, menyampaikan ide-ide, pengertian-pengertian tertentu (Sobur, 2003:46). Tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda dan petanda dengan kata lain, penanda adalah bunyi yang bermakna atau coretan yang bermakna. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa: apa yang dikatakan, apa yang didengar, dan apa yang ditulis

22

atau dibaca. Petanda sendiri adalah gambaran mental, pikiran, konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa (Bertens, 2001:180). Yang mesti diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang kongkrit, kedua unsur tidak dapat dillepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi : penanda atau petanda : signifier atau signified. Suatu penanda tanpa petanda tidak akan berarti apa-apa dan karena itu tidak merupakan tanda. Sebaliknya, suatu petanda tidak mungkin disampaikan atau ditangkap lepas dari penanda : petanda atau yang ditandakan itu termasuk tanda sendiri dan dengan demikian merupakan suatu faktor lingusitik. Penanda dan petanda merupakan kesatuan, seperti dua sisi dari sehelai kertas, kata Saussure. Jadi, meskipun antara penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah, namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar bahasa. Maka itu setiap upaya untuk memaparkan teori Saussure mengenai bahasa, pertama-tama harus membicarakan pandangan Saussure mengenai hakikat tanda tersebut. Setiap tanda kabsahan, menurut Saussure pada dasarnya menyatukan sebuah konsep dan suatu citra suara (sound image), bukan menyatakan suatu sebagai nama. Dua konsep signifier dan signified tidak dapat dipisahkan, memisahkan berarti hanya

menghancurkan kata tersebut.

23

II. 3. 1. 2. Langue dan Parole Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis:

langange, langue (sistem bahasa) dan parole (kegiatan ujaran). Langange adalah suatu kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang. Singkatnya, langange adalah bahasa pada umumnya. Orang bisu pun sama memiliki langange ini, namun disebabkan, umpamanya, gangguan fisiologis pada bagian tertentu maka dia tidak bisa berbicara secara normal. Dalam pengertian umum, langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole merupakan ekspresi bahasa pada tingkat individu. Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu. Apa yang dinamakan langue itu menurut Saussure, harus dianggap sebagai sistem. Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode, maka parole adalah living speech, yaitu bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya. Kalau langue bersifat kolektif dan pemakaiannya tidak disadari oleh pengguna bahasa yang bersangkutan, maka parole lebih memperhatikan faktor pribadi

pengguna bahasa. Kalau unit dasar langue adalah kata, maka unit dasar parole adalah kalimat (Sobur, 2003:50-51). Pada saat yang sama, Saussure menyatakan bahwa tinjauan terhadap terhadap langue (bahasa sebagai sistem) harus didahulukan

24

dari pada parole (bahasa sebagai tindak penuturan / ujaran). Artinya, posisi sistem bahasa secara umum mendahului dan lebih penting daripada seluruh ujaran nyata yang pernah benar-benar dituturkan. Ini merupakan argumen paling mengejutkan yang lahir dari sudut pandang ilmu-ilmu alam, ilmu di mana bukti fisik positif menjadi satu-satunya bukti yang dapat diterima. Namun demikian, menurut Saussure, bukti fisik positif tidaklah cukup untuk menjelaskan bahasa sebagai bahasa yang menandakan sekaligus memuat informasi (Harland,2006:15).

II. 3. 1. 3. Syntagmatic dan Associative Hubungan Associative (paradigmatik) adalah hubungan eksternal suatu tanda dengan tanda lain. Tanda lain yang bisa berhubungan secara paradigmatik adalah tanda-tanda satu kelas atau satu sistem. Hubungan yang kedua adalah hubungan Syntagmatic (sintagmatik atau hubungan aktual). Hubungan ini menunjuk hubungan suatu tanda dengan tandatanda lainnya, baik yang mendahului atau mengikutinya. Hubungan sintagmatik mengajak kita mengimajinasikan ke depan atau memprediksi apa yang terjadi kemudian. Hubungan-hubungan ini terdapat pada katakata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Sobur, 2003:54).

25

II. 4. Pendekatan Gender Dalam membahas kaum laki-laki dan perempuan konsep penting yang perlu dipahami adalah membedakan konsep seks (jenis kelamin) dan konsep gender. Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan konsep gender sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidak adilan sosial baik yang menimpa kaum laki-laki maupun perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender difference) dan ketidak adilan gender (gender inequalities) dengan struktur ketidak adilan masyarakat secara lebih luas. Dengan demikian pemahaman dan pembedaan yang jelas antara konsep seks dan gender sangat diperlukan dalam membahas masalah ketidak adilan sosial. Maka sesungguhnya terjadi keterkaitan antara persoalan gender dengan persoalan ketidak adilan sosial lainnya. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan antara kata gender dengan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin adalah pembedaan terhadap manusia yang didasarkan pada alat-alat biologis yang melekat padanya. Misalnya, laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kalamenjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis laki-laki dan perempuan selamanya dan tidak dapat

26

dipertukarkan atau disebut juga dengan kodrat. Sebagaimana menurut Mansour Fakih sebagai berikut: Secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat. Sedangkan konsep lainnya adalah konsep gender, yaitu: sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan yang dikonstruksi secara sosial kultural, dimana sifat-sifat ini dapat dipertukarkan. Masih menurut Mansour Fakih, diberikan beberapa contoh: Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan. Sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. (1996:8) Sejarah perbedaan gender (gender difference) antara manusia jenis laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara (Fakih1996:6). Perbedaan gender (gender difference) dapat saja muncul karena struktur masyarakat yang kebanyakan patriarki. Yang paling tidak menyimpan asumsi dasar bahwa manusia pertama adalah laki-laki sedangkan dalam hal perbuatan dosa,

27

perempuanlah makhluk yang pertama. Menurut Prof. Riffat Hassan (Ridjal, 1993:13) beberapa asumsi yang mendasari perbedaan gender, yaitu: 1. Manusia pertama adalah laki-laki, dan perempuan diciptakan darinya. Sehingga perempuan adalah makhluk sekunder. 2. Walaupun perempuan adalah makhluk kedua dalam prosedur penciptaan, ia adalah makhluk pertama dalam perbuatan dosa, dialah yang menggoda Adam sehingga akhirnya terusir dari surga. 3. Perempuan bukan saja dari laki-laki tetapi juga untuk laki-laki. Asumsi ketiga ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk mendefinisikan status, hak, dan martabatnya, kecuali apa yang telah disediakan oleh kaum laki-laki untuknya. Kehadiran perempuan di dunia ini bersifat instrumental bagi kepentingan laki-laki dan bukan fundamental. Secara langsung maupun tidak langsung proses sosialisasi gender itu pada akhirnya dianggap sebagai ketentuan Tuhan. Dimana jenis kelamin laki-laki harus bersikap maskulin dan jenis kelamin perempuan harus bersikap feminin, sebagaimana stereotipe yang telah peran

dikonstruksikan. Setiap struktural masyarakat.

penyimpangan akan ditolak dalam

28

II. 4. 1. Konsep Gender Selama ini orang menganggap bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan didasarkan pada konsep jenis kelamin (seks) saja. Konsep jenis kelamin (seks) adalah persifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis pada jenis kelamin tertentu. Misalnya manusia jenis kelamin laki-laki adalah manusia yang mempunyai penis, memiliki jakala (kalamenjing), dan memproduksi sperma. Sedangkan manusia jenis kelamin perempuan mempunyai alat reproduksi seperti rahim, dan saluran vagina, serta mempunyai alat untuk menyusui. Semua alat tersebut tidak dapat dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada laki-laki dan perempuan secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis, atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan, atau kodrat (Fakih, 1996:8). Istilah sex (dalam kamus Bahasa Indonesia juga berarti jenis kelamin) lebih berkonsentrasi pada aspek biologis seseorang, meliputi perbedaan komposisi harmone dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik tubuh seseorang (www.mediaisnet.org). Konsep laki-laki dan perempuan tidak hanya dibagi berdasarkan perbedaan biologis saja. Pada masyarakat ternyata berkembang suatu sistem yang membedakan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan stereotipe dan nilai-nilai yang ditanamkan (disosialisasikan) sejak kecil, konsep ini dikenal dengan nama gender.

29

Kata gender berasal dari Bahasa Inggris yang berarti jenis Kelamin. Dalam kamus Websters New Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan yang dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Womens Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa peran gender adalah suatu konsep kultural yang merupaya membuat perbedaan (distinction) dalam peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Hillary M. Lips dalam bukunya yang terkenal sex and gender: An Introduction mengartikan gender sebagai suatu harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectation for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (what a given society defines as masculine or feminine is a component af gender). Kata gender belum masuk dalam pembendaharaan kamus besar Bahasa Indonesia, tetapi istilah tersebut sudah lazim digunakan, khususnya di Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, dengan istilah jender. Jender diartikan sebagai interpretasi mental dan kultural terhadap perbedan kelamin yakni laki-laki dan perempuan. Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap tepat bagi laki-laki dan perempuan. Studi gender lebih

30

menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) atau feminitas (feminity) seseora (www.mediaisnet.org). Kemudian muncul bias gender yang berkembang dimana-mana, antara lain: 1. Perbedaan gender laki-laki dan perempuan, apa yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan meliputi pekerjaan / kegiatan, pendidikan, penampilan, sikap perilaku. 2. Perbedaan antara apa yang ideal untuk perempuan dan laki-laki, bahkan minat mereka pun berbeda. 3. Perbedaan status sosial antara laki-laki dan perempuan. Akibatnya, muncul beberapa stereotipe antara lain laki-laki adalah pencari nafkah, dan perempuan mengasuh anak, dan lain-lain

(Harijani,2001:2). Menurut Kreitner dan Kinicki (2003:218) stereotipe adalah kayakinan yang membedakan sifat dan kemampuan antara peran perempuan dan laki-laki untuk peran-peran yang berbeda. Misalnya stereotipe gender menganggap bahwa perempuan sebagai sosok yang ekspresif, kurang independent, lebih emosional, kurang logis, secara kuantitatif kurang orientasi dan lebih partisipatif daripada laki-laki. Sebaliknya laki-laki lebih sering dianggap menentukan, orientasinya kuantitatif, dan lebih otokrasi serta terarah daripada perempuan. Pandangan stereotipe mengaburkan pandangan terhadap manusia secara pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia kotak

31

stereotipe. Oleh karena itu seorang pribadi, baik perempuan dan lakilaki merasa tidak pantas apabila keluar dari kotak tersebut. Ia akan merasa bersalah apabila tidak memenuhi kehendak sosial, memenuhi label yang telah diciptakan untuk mereka. Pandangan ini telah dibakukan melalui tradisi selama berabad-abad sehingga dianggap kodrat yang tidak dapat dirubah, seolah ciri-ciri perempuan dan laki-laki sudah terkunci mati (Murniati,2004:XVIII). Konstruksi sosial bahwa perempuan itu lemah lembut, emosional, keibuan, cantik, menyebabkan mereka mendapat tugas untuk bekerja di lingkungan rumah tempat tinggal, seperti melakukan pekerjaan rumah tangga, mengasuh anak, serta tergantung pada laki-laki. Sedangkan lakilaki dikonstruksikan sebagai seorang yang kuat, rasional, jantan dan perkasa sehingga laki-laki mendapat tugas untuk bekerja di luar rumah. Sebenarnya sifat tersebut dapat dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan untuk berada di lingkungan luar atau dalam rumah (Fakih,1996:9).

II. 4. 2. Konstruksi Sosial Gender Proses konstruksi yang berlangsung secara mapan dan lama inilah yang mengakibatkan masyarakat kita sulit untuk membedakan apakah sifat-sifat gender tersebut dibentuk oleh masyarakat ataukah kodrat biologis yang ditetapkan dari Tuhan. Namun, Mansour Fakih menegaskan bahwa setiap sifat melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang

32

sifat itu bias dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstroksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat (Fakih,1996:10). Menurut Wijaya, keberadaan konstruksi gender yang berlangsung dalam masyarakat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain: 1. Adat kebiasaan. 2. Kultur. 3. Lingkungan dan pranata membesarkan dan mendidik anak. 4. Lingkungan dan pranata gender, differensiasi (perbedaan gender). 5. Struktur yang berlaku. 6. Kekuasaan. Dari beberapa hal diatas, kemudian terjadi pembentukan stereotipe yaitu pelabellan atau penandaan yang dilekatkan pada jenis kelamin, antara lain stereotipe laki-laki (maskulinitas) dan stereotipe perempuan (feminitas) secara obyektif, terdapat butir-butir stereotipe maskulin yang bernilai positif, yaitu: mandiri, sangat agresif, tidak emosional, sangat obyektif, tidak mudah dipengaruhi, aktif, logis, lugas, tahu bagaimana bertindak, tegar, pandai membuat keputusan, percaya diri, ambisius, dan sebagainya. Disamping terdapat butir-butir stereotipe maskulinitas yang positif, terdapat pula butir-butir stereotipe feminin yang bernilai positif seperti: tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebaginya (Wijaya,1991:156-157).

33

Jika dilihat secara umum, stereotipe adalah pelabellan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Celakanya stereotipe selalu merugikan dan menimbulkan ketidak adilan. Stereotipe yang diberikan suku bangsa tertentu, misalnya Yahudi di Barat, Cina di Asia Tenggara, telah merugikan suku bangsa tersebut (Fakih,1996:16). Salah satu jenis stereotipe diatas adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali ketidak adilan pada jenis kelamin tertentu, yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan pada mereka. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa laki-laki adalah mata keranjang dan tidak berperasaan, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengean stereotipe ini. Bahkan jika ada pemerkosaan yang dialami oleh perempuan, masyarakat berkecenderungan menyalahkan laki-laki (Siregar, 2002:2). Mansour Fakih (1996:17) juga menegaskan bahwa masyarakat memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Stereotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan perempuan di nomorduakan. Stereotipe terhadap perempuan ini terjadi dimana-mana dan gender merupakan akar dari ketidak adilan akibat stereotipe tersebut. Hal ini semakin dilanggengkan oleh kultur

masyarakat yang menganggap stereotipe gender yang dilekatkan tersebut adalah kodrat Tuhan. Gender sebagai konsep merupakan hasil pemikiran atau hasil rekayasa manusia, sehingga sama sekali tidak bisa disebut sebagai kodrat

34

Tuhan, karena sifat-sifat yang ada di dalamnya bisa dipertukarkan. Sebagai pendapat Caplan dalam Fakih (1996:72): Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan tidaklah sekedar biologi, namun melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sedangkan jenis kelamin biologis (sex) akan tetap tidak berubah. Seperti uraian diatas, struktur patriarki memiliki peran yang penting dalam melanggengkan keberadaan gender. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari sejarahnya dimana pengaruh ideologi patriarki dalam tatanan hidup sehari-hari kemasyarakatan kita yang meletakkan secara tegas peran antara laki-laki dan perempuan, seperti yang dikemukakan oleh Mosse (1996:65): Pada awalnya, patriarki memang untuk menunjukkan bahwa sebagai kepala rumah tangga, laki-laki mempunyai kekuasaan, namun pada akhirnya, istilah patriarki mulai digunakan di seluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan anak-anak di dalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua lingkup kemasyarakatan lainnya. Dari pendapat Julia Claves Mosse diatas dapat disimpulkan bahwa konstruksi sosial gender yang berasal dari patriarki mengakibatkan struktur sosial yang tidak adil bersifat tidak setara antara mayoritas dan minoritas. Minoritas disini tidak didasarkan pada jumlah melainkan posisi dalam konstruksi sosial dimana perempuan pada posisi subordinasi terhadap laki-laki akibat nilai yang mendasari peran-peran sosial,

35

karenanya berada pada posisi minoritas. Sehingga timbulnya ketidak adilan gender adalah implikasi dari konstruksi sosial yang bersifat menindas terhadap minoritas.

II. 5. Gerakan Feminisme Dalam Budaya Patriarki Dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh

masyarakat, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis

(Mustaqim, 2003:1). Patriarki merupakan aturan yang berasal dari Ayah (Bapak) atau kepala keluarga. Ini mengacu pada sistem sosial, dimana Bapak memegang kontrol (kendali) atas seluruh anggota keluarga, kepemilikan barang, sumber pendapatan dan pemegang keputusan utama. Sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi) bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan sudah seharusnya dikendalikan (dikontrol) oleh pria dan menjadi bagian dari properti pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memenjarakan perempuan di rumah serta mengontrol kehidupan mereka. Selain itu, standar dobel moralitas dan hukum, yang memberikan hak lebih pada pria dibanding perempuan, didasarkan atas patriarki (www.sekitarkita.com).

36

Dengan adanya perbedaan konstruksi sosial

gender yang

diakibatkan oleh sistem patriarki menimbulkan sebuah pemikiran dan gerakan dalam perempuan yang disebut sebagai gerakan feminisme. Gerakan feminisme memiliki berbagai macam aliran yang masing-masing memiliki titik tekan dalam memperjuangkan tujuan sosial yang ingin dicapainya. Gerakan feminisme berangkat dari fakta ketertindasan dan penindasan terhadap kaum perempuan oleh struktur sosial yang ada dan diikuti dengan kesadaran yang dimunculkannya untuk melanggengkan posisi perempuan yang terpinggirkan (www.parasindonesia.com). Menurut Aquarini, Julia Kristeva dalam Womens Time melihat bahwa feminisme bergerak dalam gelombang. Menurut Kristeva,

subjektivitas perempuan berhubungan dengan waktu yang berulang (cylical-repetation) dan waktu monumental (keabadian). Keduanya merupakan cara untuk mengoseptualisasi waktu berdasarkan perspektif motherhood dan reproduksi. Waktu dalam sejarah, dilain pihak, adalah waktu yang linear: waktu sebagai proyek, kemajuan, kedatangan, dan sebagainya. Tiga gelombang feminisme itu menurut Kristeva adalah : 1. Feminis egalitarian yang menuntut hak yang sejajar dengan laki-laki, dengan perkataan lain, hak-haknya untuk memperoleh tempat dalam waktu yang linear, misalnya feminisme liberal dan feminisme marxis. 2. Generasi kedua adalah yang muncul setelah tahun 1968, yang menekankan perbedaan radikal perempuan dari laki-laki dan

37

menuntut hak perempuan untuk tetap berada di luar waktu linear sejarah dan politik, misalnya feminisme radikal. 3. Feminisme generasi ketiga adalah yang mendorong eksistensi yang pararel yang menggabungkan ketiga pendekatan feminisme yang memungkinkan perbedaan individual untuk tetap ada tanpa menjadi kehilangan feminisannya, misalnya, terutama posmodernisme

(Adlin,2006:218). Munculnya sebuah gerakan feminisme yang merubah pemikiran dari masyarakat tentang persamaan dan kesetaraan gender, maka semakin banyak gerakan-gerakan dari kaum perempuan yang menuntut hak-hak mereka supaya disamakan dengan kaum laki-laki. Pada gerakan feminisme generasi kedua muncul pemikiran dari para pefeminis radikal yang beberapa dari mereka lebih cenderung pada androgini, menekankan pada semua jenis hubungan seks (heteroseksual, lesbian, atau otoerotik), dan memandang teknologi pembantu reproduksi, dan juga teknologi lama pengendali reproduksi, sebagai anugerah mutlak bagi perempuan. Perempuan berhak mengkontrol dan mengambil alih kendali kekuasaan yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Menurut Rosemarie Tong, perempuan dalam pemikiran feminis radikal berhak menentang budaya patriarkal yang menggunakan peran gender secara kaku dengan mengklaim dan memastikan bahwa perempuan tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan, ceria, baik dan ramah) dan laki-laki tetap aktif (kuat, agresif, penuh rasa ingin

38

tahu, ambisius, penuh rencana, bertanggung jawab, orisinil, dan kompetitif). Karena itu, cara bagi perempuan untuk menghancurkan kekuasaan laki-laki yang tidak layak atas perempuan, adalah dengan pertama-tama menyadari bahwa perempuan tidak ditakdirkan untuk menjadi pasif, seperti juga laki-laki tidak ditakdirkan untuk menjadi aktif, dan kemudian mengembalikan kombinasi apapun dari sifat-sifat feminin dan maskulin yang paling baik merefleksikan kepribadian unik mereka masing-masing (Tong,2006:3,73).

II. 5. 1. Posfeminisme Sebagai Pemikiran Feminis Baru Pada era feminis gelombang kedua, muncul sebuah pemikiran feminis baru yang dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki yang disebut sebagai posfeminisme. Pelabelan pos, mengundang

berbagai pertanyaan, problematika dalam pendefinisiannya, terutama pada istilah yang dilebelinya. Posfeminisme, dengan demikian juga mengundang pertanyaan. Pada beberapa decade, posfeminisme yang merupakan ekspresi kontinu dari tahapan evolusi gerakan feminisme dipandang sebagai antifeminis. Terutama oleh media dan pers, yang terus-menerus menggembar-gemborkan semangat posfeminisme sebagai anti feminisme. Sehingga tak bisa dihindarkan bila pengertian tentang posfeminisme banyak disumbang oleh media dan pers tersebut. Istilah posfeminisme bergulir di tengah kesadaran populer pada akhir 1980-an dan awal 1990-an, seperti dinyatakan oleh Alice bahwa posfeminisme

39

telah memiliki nilai baru, yang sering kali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada feminis. Padahal bila dilihat dari kemunculannya pertama kali, masih menurut Alice, bahwa posfeminisme tercipta antara periode tercapainya hak pilih perempuan di Amerika Serikat dan kebangkitan feminisme gelombang kedua selama tahun 1960-an. Hal ini ditunjukkan oleh keberhasilan perjuangan hak pilih kaum perempuan, kesempatan menempati ruang public, dan pilihan untuk menggunakan lebih banyak ruang personalnya (Adlin,2006:228). Menurut Ann Brooks, salah satu penganjur utama konsepsi mengenai posfeminisme ini adalah Susan Faludi, di dalam bukunya Backlash (1992). Faludi merujuk pada tulisan Brenda Polan di Guardian untuk membangun kepercayaan atas klaim yang dibuatnya. Plan berkeyakinan bahwa posfeminisme merupakan reaksi buruk, karena menurutnya semua gerakan atau filsafat yang mendefinisikan dirinya sebagai pos, maka apapun yang datang sebelumnya akan menjadi relasi yang terikat dan reaktif. Bahkan dalam kebanyakan kasus, gerakan tersebut juga bersifat reaksioner (Brooks,1997:3). Yang pada kemudian Faludi pun menegaskan bahwa sementara media memperkenalkan reaksi buruk pada khalayak nasional pada tahun 1980-an melalui penggunaan istilah kekurangan pria, jam biologis, dan posfeminisme, kenyataannya pers mengekspresikan pandangan sebagai antifeminis jauh lebih awal. Faludi beranggapan bahwa sentiment-sentimen posfeminisme pertama kali dimunculkan,

40

bukan di media tahun 1980-an, melainkan di pers tahun 1920-an. Dibawah serangkaian kata-kata media, dengan cepat keanggotan organisasi-organisasi feminis terjungkal, dan kelompok perempuan yang serta tersisa dengan serta-merta mencela Amandemen Persamaan Hak atau dengan mudah mengubah diri mereka menjadi klub-klub sosial. Eks-feminis mulai menerbitkan pengakuan kesalahan mereka.

Pendefinisian lainnya tentang posfeminisme adalah kerangka referensi konseptual yang penting mencakup pertemuan antara feminisme dengan sejumlah gerakan antifondasionalis lainnya, termasuk posmodernisme, posrtukturalisme, dan poskolonialisme. Posfeminisme memperlihatkan, sebagaimana yang dinyatakan Yeatman, Telah tiba waktunya bagi feminisme, kematangannya menjadi suatu tubuh teori dan politik yang percaya diri, merepresentasikan pluralisme dan perbedaan, serta merefleksikan posisinya dalam hubungannya dengan gerakan filsafat dan politik yang sama-sama menuntut perubahan (Adlin,2006:229-230). Konsep pos pun merujuk pada transformasi dan perubahan yang sedang berlangsung. Sehingga posfeminisme dapat dipahami sebagai perjumpaan kritis dengan patriarki. Posfeminisme juga

menempati posisi kritis dalam memandang kerangka feminis sebelumnya, yang pada saat bersamaan melawan secara kritis terhadap wacana patriarki dan imperialis. Dalam praktiknya, posfeminisme menantang asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemologi feminis

gelombang kedua bahwa penindasan patriarki dan imperialis adalah

41

pengalaman penindasan yang universal (Brooks,1997:2). Pertentangan dalam pemikiran posfeminisme kepada feminisme yang mengkritisi pertanyaan yang dihadapi bahwa seberapa jauh feminisme bertemu dengan perdebatan teoritis kontemporer mengenai posmodernisme dan postrukturalisme (Brooks,1997:65). Dalam pandangan feminisme,

pembacaan postrukturalis inilah yang memunculkan posfeminisme, aliran dalam feminisme yang disebut-sebut sebagai feminisme tanpa

membicarakan perempuan. Kenapa demikian? Karena perempuan adalah sebuah pembacaan yang juga mengimplikasikan struktur oposisi biner, karena ketika ada kita bicara perempuan laki-laki. maka selalu

mengimplikasikan

oposisinya,

yaitu

Posfeminisme

berfokus pada singularitas, karena dalam singularitas itulah terdapat tanggung jawab dan keunikan masing-masing nama dalam hidup ini. Ketika struktur oposisi biner bisa didekonstruksi oleh pembacaan postrukturalis maka kultur pemikiran yang dipengaruhi oposisi biner, seperti dikotomi patriarki-matriarki, maskulin-feminin, laki-perempuan juga bisa dilampaui. Dan oleh karenanya persoalan marjinalisasi perempuan juga terlampaui karena yang ada tinggal singularitas, nama demi nama (http://www.mail-archive.com/reformasitotal@yahoogroups. com/msg01513.htm). Layak apabila posfeminis dipandang sebagai gerakan yang berseberangan dengan feminisme atau bahkan banyak yang menyebut posfeminisme sebagai gerakan antifeminis karena

42

posfeminisme telah memiliki nilai baru yang seringkali bermusuhan dan diarahkan terutama kepada para feminis. Posfeminisme Setelah dipandang sebagai sesuatu yang sinonim dengan antifeminis, posfeminisme kini dipahami sebagai dasar

pertemuan teoretik antara gerakan feminisme dan anti fondasionalis seperti posmodern, postrukturialisme, dan poskolonialisme. Teori dan praktik feminisme telah bergeser dari penekanan teori dominasi ke diferensi dan heterogenitas. Budaya posmodern di tahun 90-an telah memperlihatkan kemunculan ikon perempuan baru, yaitu perempuan yang tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan menginginkan kuasa. Singkatnya, mendekonstruksi

women's culture. Menurut pendapat Gadis Arivia dalam sebuah bukunya, bahwa dalam konteks pop culture (budaya pop), contoh-cotoh ikon posfeminisme adalah seperti Spice Girl, Madonna, dan lain sebagainya. Posfeminisme dalam konteks kajian feminisme merupakan istilah yang dipakai untuk menolak perempuan yang digambarkan sebagai korban, tidak otonom, dan bertanggung jawab. Penggambaran yang terusmenerus menjadi korban menggambarkan perempuan yang tidak memiliki karakter dan kontrol atas hidupnya sendiri (Arivia, 2006:128). Sosok perempuan posfeminisme digambarkan sebagai sosok seorang perempuan yang mandiri atau independent tetapi juga tetap membutuhkan sosok laki-laki dalam hidupnya sebagai pelengkap

hidupnya baik secara biologis maupun secara emosional, karena seorang

43

perempuan

posfeminis

sadar

bahwa

dia

merupakan

seorang

perempuan yang juga menjadi objek seks bagi laki-laki disamping dia sebagai sosok perempuan mandiri yang dengan kepercayaan diri yang tinggi yang bisa meraih segalanya (karir, kekayaan, kekuasaan, dan kejayaan), bukan perempuan mandiri yang tanpa laki-laki seperti pemikiran feminisme pada umumnya terutama para pefeminis radikal. Seperti yang dikutip di dalam buku Posfeminisme & Cultural Studies menanggapi serial Sex In The City. Dimana digambarkan bahwa seorang Samantha yang merupakan karakter perempuan tangguh dan memiliki semuanya yang berkarir sebagai seorang penulis di salah satu majalah lifestyle di kota New York dalam salah satu episodenya, mempunyai kebimbangan dan terhukum oleh dirinya sendiri akibat kepercayaan diri yang terlalu berlebihan dengan tidak menikah atau mempunyai seorang kekasih, dia merasa menderita karena tidak ada seorang laki-laki yang berada disisinya ketika dia membutuhkan sebuah hubungan secara biologis maupun hubungan secara emosional (Brooks,1997:vii).

II. 5. 2. Perempuan Dalam Budaya Pop Era posmodern di tahun 90-an telah memperlihatkan kemunculan ikon perempuan baru, yaitu perempuan yang tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan menginginkan kuasa. Singkatnya, mendekonstruksi women's culture. Dalam konteks

44

pop culture (budaya pop), contoh-cotoh ikon posfeminisme adalah seperti Spice Girl, Madonna, dan lain sebagainya (Arivia, 2006:128). Kebudayaan pop merupakan budaya massa yang sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan, istilah ini merupakan pasangan dari high culture (kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi) yang pada perkembangannya akibat media

komunikasi dan teknologi informasi, tidak lagi hanya ditujukan bagi orang miskin atau kelas bawah (seperti awal terbentuknya), melainkan merata pada setiap lapisan yang dikhawatirkan menggilas semuanya dan menjadi satu-satunya kebudayaan yang menguasai semua bangsa di dunia. Dalam artian, semua kebudayaan akan diseragamkan oleh kebudayaan massa atau biasa disebut budaya pop (Ibrahim,1997:6). Dalam sebuah kajian budaya sendiri menegaskan bahwa

penciptaan budaya pop (praktik produksi) bisa menentang pemahaman dominant terhadap dunia serta menjadi pemberdayaan bagi mereka yang subordinat. Namun, bukan berarti bahwa budaya pop selamanya memberdayakan dan menentang. Menyangkal pasivitas konsumsi bukan berarti menampik bahwa kadangkala konsumsi itu pasif; mengingkari bahwa kensumen budaya pop bukan korban penipuan budaya bukan berarti menyangkal bahwa sekali waktu kita semua bisa menjadi korban penipuan. Melainkan ini berarti menolak bahwa budaya pop sama sekali tak lebih daripada budaya yang terdegradasi, yang berhasil ditimpakan

45

dari atas, untuk meraup keuntungan dan menjamin control ideologis (Storey, 2007:7). Perempuan pop yang hidup pada era posmodernisme dan konsumerisme, adalah perempuan yang beresiko terjebak sebagai korban sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol

kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan. Bre Redana menguraikan narasi kondisi masyarakat konsumerisme yang dikontrol oleh gaya hidup sebagai sebuah tuntutan zaman, bahwa pada era sekarang (era posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi perang besarbesaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141). Dalam artian, kebudayaan pop di era posmodern menampilkan sebuah kecenderungan baru akan sebuah gaya yang dikultuskan dan dipuja sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai sebuah keinginan. Masyarakat dalam era posmodern memandang bahwa pencitraan atau image sangatlah penting. Seperti halnya seorang perempuan pop, telah terjadi pergeseran orientasi atau nilai-nilai yang menciptakan sebuah pencitraan diri. Sebagai suatu contoh, bahwa bila zaman dahulu seseorang bisa mendapatkan uang karena status, maka zaman sekarang seseorang bisa mendapatkan sebuah status karena uang

(Ibrahim,1997:193).

46

II. 5. 3. Perempuan, Kekuasaan, Posfeminisme, dan Foucauldian Penggambaran tangguh dan serba lebih dari perempuan menunjukkan adanya keinginan untuk berperan dalam banyak hal, terutama di ruang publik. Singkatnya, seorang perempuan tidak ingin menjadi marjinal ataupun inferior lagi, tetapi mereka menginginkan sebuah pengakuan dan perlakuan sebagai sebuah dominasi atau superior, bukan lagi sebagai subordinasi. Pemikiran feminis yang masih

menganggap patriarki sebagai penyebab utama dari ketidak adilan gender dianggap belum cukup untuk memperjuangkan hak-hak

perempuan. Pemikiran feminis masih menganggap perempuan masih diposisikan sebagai kaum yang dirugikan dan sebagai korban dari patriarki. Perjuangan menjadi a super woman dari feminisme, mendapat pandangan baru sebagai jalan lain dari perjuangan

perempuan. Untuk itulah pemikiran posfeminisme muncul sebagai jalan lain dalam gerakan perempuan. Posfeminsme menganggap bahwa pemikiran feminis terlalu berlebih dalam memperjuangkan perempuan dengan hak-haknya. Seperti pendapat Ann Brooks, Alice dalam bukunya mengatakan bahwa mungkin pesan paling persuasif bagi posfeminisme populer bahwa feminisme telah mendorong perempuan untuk

menginginkan terlalu banyak. Posfeminisme ditawarkan sebagai pelarian dari beban perempuan super dalam rangka memenuhi citra sukses kaum feminis.(Brooks,1997:5). Atau dengan kata lain, posfeminisme memberikan wacana baru dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

47

Seorang perempuan tidak perlu untuk menjadi laki-laki seperti pada pemikiran feminisme radikal dalam artian bahwa perempuan tidak perlu bermaskulinitas untuk suatu persamaan hak, dengan

keperempuanan yang dia miliki, dia bisa merasakan hak yang sama dengan apa yang didapatkan laki-laki. Wacana posfeminis tidak begitu menghiraukan sistem patriarki seperti yang dianggap oleh pemikiran para feminis. Dengan menggunakan sebuah feminitas yang melekat dalam dirinya, seorang perempuan dapat sama berhak meraih apa yang dimiliki oleh para laki-laki, yaitu kekuasaan. Menurut wikipedia, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi(http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan). Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan. Kekuasaan bukan instisusi, dan bukan struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki; tetapi nama yang diberikan pada situasi strategis kompleks dalam suatu masyarakat. Kekuasaan ada dimana-mana; tetapi bukan

48

berarti mencakup semua; melainkan kekuasaan datang dari mana-mana (Audifax, 2006:227). Dalam stereotip klasik, perempuan dan dimensi feminin tidak mencantumkan gagasan kekuasaan. Umumnya stereotip perempuan meliputi kesimpatikan, kepekaan terhadap kebutuhan sesama,

memahami, merawat, hangat, lembut, ramah, setia, dan tidak berbicara kasar. Sedangkan gagasan kekuasaan menurut konsep Barat meliputi ketegaran dan keperkasaan. Akibatnya, menjadi wajar jika dalam budaya Barat secara tradisional perempuan tidak memikirkan kekuasaan dalam diri mereka sebagaimana laki-laki mendefinisikan kata tersebut. Kualitas feminin justru sangat berlawanan dengan definisi tradisional kekuasaan (Handayani-Novianto,2004:168). Ketika banyak bentuk feminisme mengikat diri pada suatu organisasi massa perempuan, disatukan oleh penindasan yang sama dan pergulatan yang sama melawan patriarki, Foucault akan berpendapat bahwa bahkan jika gerakan massa yang demikian mungkin terjadi, mereka tidak mungkin merupakan bentuk paling efektif bagi perubahan. Seperti Grosz menyatakan, kelompok yang lebih kecil dengan baik memposisikan sebagai militant mungkin lebih berhasil dalam mengubah secara efektif daripada organisasi dengan skala besar. Foucault mengakui pentingnya hubungan antara bentuk lokal dan global dari kuasa. Seperti yang dinyatakannya, yang lokal dan yang global secara bersamaan mengkondisikan satu sama lain....Tidak ada bentuk kuasa lokal yang

49

dapat menjaga dirinya sendiri untuk waktu yang lama tanpa konteks global yang lebih luas melampaui penjajaran (Brooks,1997:86). Foucault mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan (Audifax, 2006:227). Kekuasaan bukan hanya dimiliki oleh laki-laki, karena sebuah kekuasaan bersifat jamak yang bisa dimiliki oleh siapapun dan bukan milik yang itu-itu saja. Menurut Ann Brooks dalam bukunya, Foucault secara implisit menggugat gagasan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ransom, teori kuasa ini menyokong pluralisme Foucault; kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada lintasan tunggal atau dengan referensi pada pertanyaan tertentu. Foucault memahami kuasa sebagai bersifat kapiler menyebar melalui wacana, tubuh, dan hubungan di dalam metaphor suatu jaringan (ibid.). Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan, tetapi menolak bahwa laki-laki memegang kuasa. Ramazanoglu dan Holland menyatakan bahwa terdapat analisis yang tidak memadai terhadap garis tengah relasi kuasa, misalnya antara politik-mikro kehidupan sehari-hari dan konsolidasi yang sangat kukuh dari privilese laki-laki dalam keseluruhan kehidupan sosial. Foucault sendiri

50

menyatakan bahwa cara di mana kuasa bekerja dan dijalankan sangat sedikit dipahami. Dia menyarankan untuk memusatkan pada teknik tertentu dari kuasa untuk menunjukkan bagaimana mereka yang berkuasa mengambil keputusan tertentu (Brooks,1997:85). Cinta dalam pengertian kekasih sebenarnya merupakan sensasi erotis yang timbul dari drive untuk penyatuan. Drive ini berasal dari hasrat yang timbul akibat keterpisahan yang dialami manusia.

Kekosongan atau jeda dalam relasi pandangan, di mana manusia mengisi jeda itu dengan pelbagai pemaknaan. Suatu kondisi yang lebih merupakan inderstanding ketimbang understanding, karena begitu banyak yang stand between dalam kekosongan itu. Cinta lantas menjadi salah satu episode bahasa yang menurut Barthes selalu merujuk pada sensasi akan kebenaran. Manusia yang mengalami dalam memikirkan cintanya, karena ia percaya ialah satu-satunya yang bisa melihat objek yang dicintainya dalam kebenaran. Sisi lain dari fenomena ini adalah penilaian mengenai apa yang baik dan pengetahuan yang dimiliki: hanya aku yang tahu dia, hanya aku yang membuatnya eksis sebagai kebenaran. Hanya dengan orang lain aku bisa merasakan diriku sendiri. Pada titik ini pameo cinta adalah buta adalah salah. Cinta membuka mata lebar-lebar, cinta memproduksi penglihatan jernih: Saya memiliki dirimu, segalanya tentangmu, sebagai pengetahuan absolut. Kamu menguasai segalanya dariku tetapi aku memiliki pengetahuan atasmu. Ini berarti cinta di satu sisi menjebak dalam

51

kekuasaan, namun disisi lain ia juga membuka pengetahuan baru, memberi nilai baru dalam kehidupan (Audifax, 2006:234). Analisis memberikan Foucauldian, untuk bagi kebanyakan dan pluralis feminis,

kerangka

mengenali

mengartikulasikan

perbedaan dan kesamaan. Feminisme dengan demikian, diterjemahkan menjadi feminisme-feminisme atau posfeminisme dan menjadi, seperti Ransom menunjukkan, dalam serangkaian strategi diskursif subversif di antara yang lainnya, yang diidentifikasi oleh Foucault sebagai pemberontakan dari pengetahuan yang ditaklukkan.

Sebagaimana Hartsock mencatat, hal ini menyajikan, menurut Foucault, satu-satunya bentuk pengetahuan radikal yang bersifat potensial atau aksi politik dalam dunia kontemporer (Brooks,1997:99).

II. 5. 4. Kekuasaan Dapat Diraih Dengan Cantik Secara Tubuh Tidak bisa dipungkiri bahwa secara genetikal atau fisik, seorang perempuan itu sangatlah menarik. FIsik seorang perempuan memang diciptakan dengan sangat indah oleh Tuhan sehingga dapat membuat rasa ketertarikan bagi siapapun yang melihatnya. Entah ketertarikan secara alamiah berupa pujian tentang keindahan tubuhnya dari sesama perempuan, ataukah laki-laki. Begitu juga bagi yang tertarik secara seksual. Tak bisa dihindari bahwa perempuan dimana-mana selalu menjadi objek seks bagi laki-laki, terutama di dalam media. Iklan contohnya, iklan sebagai bagian dari bisnis komersial adalah komoditas

52

yang fungsinya menjual komoditas. Banyak jenis komoditas dijual melalui seksualitas dan tubuh perempuan. Dengan demikian komodifikasi itu pada akhirnya bermuara pada komodifikasi tubuh dan seksualitas perempuan (Prabasmoro,2006:303). Maka tak layak dalam adat Timur bahkan mungkin adat Barat, seorang perempuan diwajibkan berhati-hati terhadap auratnya. Karena dengan terbukanya bagian-bagian tubuh perempuan yang seharusnya tertutup maka perempuan bisa menjadi objek seks yang dilecehkan oleh laki-laki. Oleh karena itu dalam perbedaan gender oleh patriarki, penempatan perempuan menjadi kanca wingking bagi laki-laki untuk menjaga kehormatan keluarga dengan tidak melibatkan perempuan dalam aktivitas di ruang publik. Perempuan hanya ditempatkan di ruang privat hanya sebatas rumah dan keluarga, karena takut anggota keluarga perempuan dilecehkan oleh laki-laki di luar lingkungan rumah dan keluarga. Dari hal tersebutlah yang ditentang oleh para feminis, bahwa menjadi perempuan secara tubuh bukanlah pilihan, melainkan kodrat. Cantik mempunyai banyak definisi, karena cantik dilihat dari banyak mata dan sudut pandang yang berbeda bagi setiap orang. Secara tidak sadar bahwa perempuan yang menjadi objek seks karena aurat yang cantik, yang membuat laki-laki jatuh bertekuk lutut pada perempuan. Dan kekalahan laki-laki pada kecantikan tubuh perempuan secara tidak langsung menimbulkan kuasa dalam diri perempuan atas laki-laki. Banyak contoh seperti, seorang Julius Caesar

53

yang jatuh hati pada kecantikan Cleopatra, Ken Arok jatuh cinta pada Ken Dedes yang konon sangat cantik, dan lain sebagainya. Seperti yang diceritakan oleh Aquarini Priyatna Prabasmoro tentang menjadi perempuan dengan tubuh : Ketika saya besar dan mulai mengendarai mobil sendiri. Saya tidak dapat mencuci mobil sendiri di depan rumah kecuali saya yakin kakek tua tetangga di depan rumah sedang tidak ada di rumah. Seperti banyak orang yang saya temui, dia pun memastikan bahwa saya tidak memamerkan gerakan-gerakan tubuh saya dengan mencuci mobil. Mungkin ada gerakan-gerakan erotis ketika seorang perempuan mencuci mobil dan dia khawatir ada yang memerhatikan saya berjinjit untuk mencapai atap mobil, membungkuk, berjongkok, atau bergetar-getar ketika saya menyikat dan mengelap atau berbasah-basah terkena cipratan air. Apapun alasannya, tubuh saya kemudian belajar berdisiplin untuk tidak terlalu banyak bergerak. Dan ini yang saya tahu belakangan. Saya tidak seharusnya banyak bergerak apalagi jika gerakan-gerakan itu dicurigai dapat menggugah hasrat laki-laki. (Prabasmoro,2006:78) Ketika Foucault mengatakan bahwa kekuasaan justru bisa lahir dari dalam tubuh, maka kekuasaan juga dapat eksis dalam cinta, pemikiran dan peran. Ketika kekuasaan eksis dalam tubuh, maka menjadi masuk akal ketika manusia lahir ke dunia, maka saat itulah dia terjebak terjebak dalam kekuasaan tubuh yang menifes dalam segala keterbatasannya. Keterbatasan-keterbatasan inilah yang kemudian

diperkuat oleh budaya dalam suatu masyarakat, sehingga muncul tubuhtubuh tertentu yang di-sub-ordinasi (Audifax, 2006:229). Kecantikan, tubuh, dan seks merupakan setali tiga uang yang tidak dapat dihindari oleh siapapun yang bernyawa di muka bumi ini.

54

Membicarakan masalah kecantikan tentu tak hanya berbicara tentang inner beauty, tetapi juga kecantikan secara fisik yang dianalogikan berbeda-beda tergantung dari sudut pandang dan selera setiap orang. Termasuk keindahan tubuh yang merupakan bagian dari partikelpartikel dari kecantikan secara fisik. Kecantikan tubuh dan seksualitas mempunyai hubungan yang erat. Seorang yang tertarik pada lawan jenisnya yang lain secara fisik tentu tak pernah lepas dari seks dan seksualitas. Wacana seks dan seksualitas sendiri tampaknya bersifat taksa dan ambivalen. Seks memancarkan daya tarik yang sedemikian kuat sehingga dapat menciptakan ketakutan tetapi pada saat yang sama melahirkan rasa ingin tahu. Pembicaraan tentang seks kemudian bergerak antara keinginan untuk menyalurkan hasrat dan usaha untuk mengekangnya. Ketaksaan dan ambivalensi itu kemudian sering ditujukan kepada perempuan. Selain lirik lagu, Wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu. Namun ada kala pria berkuasa, tekuk lutut di sudut kerling wanita merefleksi hasrat terhadap perempuan dan pada saat yang sama ketakutan akan kekuatan (seksual) perempuan. Pancaran antara keinginan dan ketakutan itu terutama terasa dalam banyak etik, tabu dan mitos yang berkenaan dengan seks dan seksualitas, salah satunya mitos keperawanan. Dengan ambivalensi itu, tubuh perempuan serta hasrat yang hidup di dalam serta melaluinya juga dimaknai sebagai monster. Tubuh perempuan menjadi vagina dentata, sebuah gerbang perempuan yang lembut, sensual dan menggoda tetapi

55

penuh dengan gigi gerigi yang siap menerkam dan menghabisi apa dan siapapun yang tergoda untuk memasukinya. Vagina dentata

menyimbolkan ambivalensi laki-laki terhadap seksualitas perempuan. Tetapi lebih dari itu, vagina dentata adalah simbol ketakutan laki-laki akan keliyanan perempuan yang diciptakannya sendiri. Sigmund Freud yang menemukan teori ini mengklaim bahwa vagina dentata adalah ketakutan universal yang bersembunyi di dalam ketidak sadaran setiap laki-laki. Vagina dentata juga merepresentasi ketakutan kehilangan diri (laki-laki) terisap oleh kekuatan yang tidak dikenal, yang penuh lorong dan gelap; tubuh dan seksualitas perempuan. Selain itu, karena seks dan seksualitas adalah suatu konstruksi, maka seks dan seksualitas bukanlah wacana mengenai tubuh dan keinginan atau kebutuhan biologis semata, melainkan juga merupakan wacana mengenai kekuasaan. Melalui slogan feminis yang dikembangkannya, Kate Millett berargumentasi bahwa bahkan hal yang sangat pribadi sesungguhnya tidak sungguh-sungguh pribadi. Lebih dari itu, bahkan wacana seksual adalah wacana politis (sexual is political). Menurutnya, seksual politik mencakup sosialisasi baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki ke dalam kategori yang berhubungan dengan temperamen, peran, dan status

(Prabasmoro,2006:291-292).

56

II. 5. 5. Kekuasaan, Madonna, Dan Politik Material Girl Perempuan yang hidup pada era posmodernisme dan

konsumerisme, adalah perempuan yang beresiko terjebak sebagai korban sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol

kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan. Bre Redana menguraikan narasi kondisi masyarakat konsumerisme yang dikontrol oleh gaya hidup sebagai sebuah tuntutan zaman, bahwa pada era sekarang (era posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi perang besarbesaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141). Menyoroti sosok Madonna sebagai pop icon yang sukses dan menjadi semacam influence bagi banyak perempuan posfeminis yang hidup di era posmodernisme dan konsumerisme saat ini, Ann Brooks berpendapat dalam bukunya, bahwa tingginya ukuran kesuksesan Madonna sebagai suatu fenomena posmodern menyoroti saling pengaruh antara posmodernisme dan konsumerisme, dan identitas transformatifnya dapat dipahami pada tingkatan materialitas dan simulasi. Pada tingkatan material, kemampuan Madonna untuk

memasarkan dirinya sendiri dan untuk mengakomodasi pasar kapitalis akhir menunjukkan kebutuhan permintaan industri media, kecantikan, dan musik bagi fleksibilitas dalam keperluannya atas respons tak autentik dan reinvesionis bagi strategi pemasaran. Tetzlaff

57

menguraikan

narasi

metatekstual

dari

material

girl

yang

menegksplorasi bagaimana kuasa adalah persoalan material dan dihubungkan dengan sukses Madonna. Masih menurut Ann Brooks, Pribram mengambil konsep posmodernis tentang simulasi dan

bujukan sebagaimana dikembangkan di dalam karya Jean Baudrillard. Dia menentang materialitas kritik realis terhadap Madonna dan mengklaim bahwa penggunaan teknik bujukan yang disimulasikan oleh Madonna mengungkap ukuran luas kontrol atas citranya sendiri(ibid.). (Brooks,1997:228). Namun sebuah bujukan yang disimulasikan dalam sebuah industri media, kecantikan, seks, musik, maupun teks yang merupakan sebuah pertunjukan budaya yang diciptakan oleh seorang Madonna selalu mengungkap ukuran luas kontrol atas citra dirinya dengan bukti kesuksesan dalam setiap penjualan album, pertunjukan, film, dan penyebaran budaya pop, dengan citra diri seorang Madonna yang dianggap sebagai citra diri perempuan posmodern mampu untuk membujuk umatnya untuk mengikuti dan menjadikannya sebagai inspirasi untuk menyuarakan kebebasan sebagai seorang perempuan era posmodern. Mandzuik berpendapat bahwa teks Madonna secara konstan menyamakan kenikmatan dengan kuasa dan seksualitas dengan kontrol. Dia mencatat bahwa tuntutan Madonna bahwa kebebasan personal dan seksualitas memiliki hubungan yang tidak bisa dipisahkan merupakan bagian dari perdebatan yang lebih luas tentang artikulasi politik dalam

58

teori feminis kontemporer. Mandzuik menyatakan bahwa Madonna adalah representasi perjuangan teoretis feminisme yang tepat untuk sampai pada pengertian tentang persimpangan antara citra budaya dan praktik politik (Brooks,1997:229). Fenomena Madonna, adalah ikon dalam semangat membalik poskolonial. Kapitalisme dan tubuhnya ia gunakan untuk menjadi kekuasaannya. Di sini Madonna sebagai tubuh perempuan tidak lagi menjadi korban eksploitasi, ia mengeksploitasinya untuk menjadi kekuasaan menundukan wacana yang tidak membebaskan perempuan meraih diriya sendiri. Madonna adalah imaji atas dirinya sendiri, yang dapat memperlihatkan gender dan seksualitas kepada generasi pada waktu itu. Kebangkitan popularitasnya sejak 1980-an dengan smash hit lagunya Like A Virgin dan Material Girl di awal 90-an merupakan transformasi lambang tentang kesadaran diri atas kebingungan gender. Penggemarnya yang kebanyakan perempuan, dan kritik-kritik

terhadapnya menjadi intelektual, bahkan banyak membawa studi tentang gender, seksualitas dan media massa. Madonna menjadi simbol perempuan dalam post-gender. Semangat membalik Madonna menjadi semangat post dan menjadi contoh penting dalam melihat persoalan seks perempuan di tengah perlawanan dan kehadirannya. Gerakan-gerakan post memang menjadi kontroversial karena tidak sealur dengan standar nilai masyarakat dan agama, kemunculannya sering mengejutkan dan awalnya akan dianggap sebagai kehadiran yang melenceng. Namun bila

59

dipahami dan dipelajari lebih dalam, pemahaman post termasuk postkolonial sesungguhnya melengkapi perlawanan kolonialisme itu sendiri(http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/postcolo nial.html). Secara kesimpulan, bahwa seorang perempuan seperti layaknya Madonna, dalam konteks perempuan posmodern, menginginkan sebuah kekayaan yang merupakan ujud dari kekuasaannya yang didapatkan dari kecerdasannya dengan mengeksploitasi kecantikan sebagai citra dirinya.

II. 6. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir penelitian ini tidak terlepas dari metode semiotik Ferdinand De Saussure untuk menginterpretasikan makna lirik lagu Pria Dijajah Wanita oleh grup band indie Kaimsasikun pada album Kaimsasikun. Metode semiotika yang digunakan didalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif-interpretatif (interpretation), penelitian ini akan mendekonstruksi tanda tanda dengan menggunakan dikotomi-

dikotomi dari Saussurean, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Yang

kemudian hasil dari pandangan Sussurean tersebut akan ditafsirkan dengan teori perspektif gender, feminisme dan posfeminisme, dan wacana kekuasaan perempuan. Dan pada akhirnya, akan menghasilkan suatu interpretasi berupa muatan pesan yang terkandung dari hasil

60

pembongkaran dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita oleh grup band indie Kaimsasikun pada album Kaimsasikun.

61

Bab III METODE PENELITIAN

III. 1 Metode Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya data yang digunakan merupakan data kualitatif (data yang tidak terdiri atas angka-angka) melainkan berupa pesan-pesan verbal (tulisan ) yang terdapat pada lirik lagu Pria Dijajah Wanita oleh Band Indie Kaimsasikun dalam album Kaimsasikun. Data-data kualitatif tersebut berusaha diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensireferensi secara ilmiah. Penelitian kualitatif menggunakan metode kualitatif ini di gunakan karena beberapa pertimbangan. Pertama, menyesuaikan

metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda; kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat peneliti dan yang di teliti ; dan ketiga, metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama

terhadap pola pola yang di hadapi (Moleong, 2002:5) Metode semiotika yang digunakan didalam penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif-interpretatif (interpretation), penelitian ini akan mendekonstruksi tanda tanda dengan menggunakan dikotomi-dikotomi dari Saussurean, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta

62

syntagmatic

(sintagmatik) dan associative

(paradigmatik). Melalui

pandangan dari Saussurean itulah baru kemudian dijelaskan lewat penafsiran dengan menggunakan teori perspektif gender, teori

feminisme dan posfeminisme, dan

teoriteori wacana

kekuasaan

perempuan. Yang pada akhirnya kemudian dapat ditarik suatu makna yang sebenarnya dari lirik lagu tersebut. Sesuai dengan paradigma konstruktivisme, analisis semiotika bersifat kualitatif, jenis penelitian ini memberi peluang besar bagi dibuatnya interpretasi alternatif (Sobur, 2001:147). Metode semiotika ini adalah sebuah metode yang memfokuskan dirinya pada tanda dan teks sebagai objek kajiannya, serta bagaimana peneliti menafsirkan dan memahami kode (decoding) dibalik tanda dan teks tersebut (Piliang, 2003:270). Penggunaan semiotika sebagai metode pembacaan didalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, oleh karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktek sosial dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda (Piliang, 2003:257). Dengan semiotika kita berurusan dengan tanda , dengan tanda tanda kita mencoba mencari keteraturan ditengah dunia yang centang perenang ini, setidaknya agar kita mempunyai pegangan. Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita bagaimana - interpretasi

63

menguraikan aturan aturan tersebut dan membawanya pada sebuah kesadaran (Sobur, 2003:16).

III. 2 Kerangka Konseptual III. 2. 1 Unit Analisis Unit analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah tandatanda berupa tulisan, yang terdiri atas kata-kata yang membentuk kalimat yang ada pada lirik lagu Pria Dijajah Wanita.

III. 2. 2 Korpus penelitian Korpus adalah sekumpulan bahan yang terbatas yang ditentukan pada perkembangannya oleh analisis dengan semacam kesemenaan, bersifat sehomogen mungkin (Kurniawan, 2001:70). Korpus atau data yang dikumpulkan berujud tulisan. Pada penelitian ini yang menjadi korpus adalah lirik lagu yang berjudul Pria Dijajah Wanita oleh Band Indie Kaimsasikun dalam album Kaimsasikun. Alasan pengambilan lagu diatas sebagai korpus adalah

dikarenakan dalam lagu tersebut dalam liriknya terdapat penggambaran seorang perempuan yang dapat mencapai kuasa atas laki-laki, sementara stereotipe yang berkembang dalam masyarakat patriarki berpendapat bahwa perempuan merupakan subordinasi yang tidak berhak atas kuasa apapun. Dan berikut adalah lirik lagu Pria Dijajah Wanita.

64

PRIA DIJAJAH WANITA Terpujilah kamu, di mata hatinya Bibirmu yg manis, sepenuhnya bisa Masihkah dia, kau peras darahnya Wajahmu yg manis, sesatkan jiwa Reff : Harta, kau buta karnanya Kau anggap semua sama Pria dijajah wanita Wanita seperti kamu Tak berbisa layaknya Wajahmu yg manis Namun kau sadis Akhiri semua Sadarkan dirimu Bila kau memang wanita

III. 2. 3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data didalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder: 1. Data primer, Korpus atau data yang dikumpulkan oleh peneliti, berujud tulisan yaitu lirik lagu yang berjudul Pria Dijajah Wanita. Data primer diperoleh melalui lirik lagu yang terdapat

65

dalam cover CD Album Kaimsasikun, yang kemudian ditulis kembali oleh peneliti untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. 2. Data sekunder berasal dari bahan bahan referensi seperti buku, artikel artikel, internet yang berhubungan dengan objek kajian yang diteliti.

III. 3 Analisis Data Pertama, data yang telah dikumpulkan dan dideskripsikan. Kedua, dilakukan "pembongkaran dari lirik lagu tersebut dengan menggunakan pandangan dari Saussurean, yaitu dikotomi-dikotomi dari Saussurean tentang signifier (penanda) dan signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik) untuk mencari tahu makna yang terkandung dalam lirik lagu tersebut menurut pandangan Saussurean. Yang kemudian dari dikotomi-dikotomi Sussurean tersebut akan dijelaskan lewat penafsiran dengan menggunakan teori perspektif gender, teori feminisme dan posfeminisme, dan teoriteori wacana kekuasaan perempuan. Analisis atau penafsiran tanda-tanda komunikasi digunakan sebagai upaya untuk menguak makna dibalik lirik lagu tersebut. Dengan cara, menganalisa lirik lagu Pria Dijajah Wanita dengan menggunakan teori-teori tersebut untuk dapat mengetahui bagaimana seorang perempuan dapat berkuasa atas laki-laki seperti yang digambarkan dalam lirik lagu tersebut, apa yang menjadi dasar

66

pemikiran perempuan tersebut, apa hubungannya dengan feminisme dan posfeminisme, apa yang menjadi tujuan dari kekuasaan yang dia miliki, dan dengan cara apa dia melakukan kuasa terhadap laki-laki yang ternyata merupakan kekasihnya sendiri. Dari penafsiran-penafsiran tersebut kemudian dapat ditarik suatu makna yang sebenarnya dari lirik lagu Pria Dijajah Wanita oleh Band Indie Kaimsasikun dalam album Kaimsasikun.

67

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. 1 Gambaran Umum Objek Penelitian IV. 1. 1 Kaimsasikun Sebagai Band Indie Band-band indie dikenal lewat lagu-lagunya yang tidak mengikuti selera pasar. Mereka cenderung menciptakan sebuah lagu menurut keinginan mereka sendiri tanpa ada campur tangan pihak lain yang dalam hal ini merupakan pihak label atau perusahaan rekaman. Para pemainnya lebih mengutamakan sebuah idealisme dalam bermusik daripada mengkomersialkan lagu-lagunya. Berdasarkan Wikipedia, yang dimaksud dengan independent atau indie di sini adalah tidak terikat atau tidak adanya campur tangan dalam perusahaan rekaman komersil atau biasa disebut major label, baik dalam proses penciptaan ide dan kreativitas, produksinya, maupun secara finansial atau masalah keuangan seperti pembagian royalti (http://en.wikipedia.org /wiki/Indie_(music) #Definitions_of_.22indie.22). Sebuah band indie mempunyai cara tersendiri dalam

memperkenalkan lagunya untuk dapat didengar oleh masyarakat, mulai dengan mengcopy hasil rekaman untuk dapat dijual kepada masyarakat, membiarkan lagu mereka dibajak oleh masyarakat luas dengan dalih supaya musik mereka dapat diterima oleh telinga banyak orang tanpa memperdulikan hasil royalti yang mereka dapat, sampai

68

mendistribusikan lagu-lagunya lewat internet. Pada perkembangannya saat ini banyak dari para band indie lebih menggunakan sarana internet sebagai jalur pendistribusian dari lagu-lagunya sekaligus mempromosikan ke-eksisan mereka dalam dunia musik. Salah satunya melalui situs www.myspace.com. Ada orang-orang yang aktif dibelakang profileprofile Social Network seperti myspace, friendster, dan lain-lain. Memanfaatkan media internet alternatif sebagai alat bantu distribusi adalah mutlak bagi musisi atau band pendatang baru atau yang memutuskan untuk tetap di jalur Indie pada saat ini

(http://www.saylows.com/category/indie/). Salah Kaimsasikun. satu Di band tengah indie yang berada di Indonesia band-band adalah indie,

gelombang

munculnya

Kaimsasikun hadir lewat album perdananya yang mengusung single Pria Dijajah Wanita. Kaimsasikun kedengarannya aneh, namun dengan nama ini M Ferry Sanny Ismail (bas), Ian JS (vokal), Zulkarnaen Aldino Tayeb (gitar), Narendra Gautama (drummer), dan Pandu Gantoro Robby (gitar) memantapkan diri untuk memasuki industri musik dalam negeri. Dengan harapan musik yang mereka usung dapat ikut mewarnai genre rock alternatif. Kelompok ini terdiri dari empat pemuda asal Bali dan satu asal Bandung, yakni Pandu. Impian mereka sederhana, menjadi musisi yang menghasilkan karya. "Dengan berdirinya band ini, maka kami menganggap sebuah harapan dan rasa percaya telah berbuah menjadi kenyata-an," kata mereka saat peluncuran album debut bertajuk Pria

69

Dijajah Wanita yang diluncurkan baru-baru ini di Jakarta. Band ini awalnya berbasis di Bali dengan nama Jimmy Rubbernek and His Car Battery Band. Selama itu mereka berkiprah di berbagai ajang festival dan telah beberapa kali meraih penghargaan. Bahkan pada tahun 2000 lalu, mereka berhasil meraih Band Lima Terbaik se-Bali dalam A Mild Live Band Festival. Hanya saja, di luar festival mereka masih dikenal sebagai band cover song alias tampil membawakan musik dan lagu orang lain yang populer. Namun mereka tetap merintis untuk membentuk jati diri dan menghasilkan karya sendiri. Harapan itu mulai berbuah ketika mereka mengubah nama menjadi Kaimsasikun. Menurut Ferry Sanny yang akrab dipanggil Sanny nama Kaimsasikun diperoleh dari sebuah mimpi. "Waktu itu, tanggal 11 Februari 2003. Saya bermimpi mendapatkan ilham untuk mengganti nama band yang panjang dengan nama Kaimsasikun. Saat dihitung, huruf K adalah huruf ke-sebelas dalam urutan alfabet. Kata kaimsasikun sendiri mengandung 11 huruf. Karena semuanya selalu mengandung makna sebelas, maka kami mencoba untuk menyatakan kaimsasikun sendiri berarti sebelas," kata Sanny. Sanny mengaku saat menyampaikan mimpi ini pada teman-temannya, semua menyambut dengan antusias. "Hari itu akhirnya kami ganti nama," ujarnya. Tampaknya nama ini memang membawa hoki. Demo tape mereka langsung diterima oleh Pay BIP dan langsung dibawa ke Jakarta. Kelima sekawan ini pun kemudian didaulat untuk rekaman. Memiliki album sendiri jelas jauh lebih menyenangkan dari pada

70

hanya terkenal sebagai pembawa lagu ciptaan orang lain. Namun, memasuki blantika musik yang serius sempat mereka kaget. Awalnya mereka sendiri mengaku merasa belum siap. Namun, Pay yang menjadi produser sekaligus supervisor terus mendesak dan memberikan

semangat. Pay tak hanya menegakkan karakter Kaimsasikun tapi juga mau turun tangan sebagai music director yang langsung berperan sebagai sound engineer juga sehingga jadilah album perdana Kaimsasikun yang bertitel sama dengan nama band kami, ujar Sanny lagi. Lagu andalan mereka antara lain Pria Dijajah Wanita yang liriknya ditulis oleh Sanny. Lagu ini becorak pop alternatif dengan style menyanyi yang kaya teknik falsetto dari Ian. Selain lagu berbahasa Indonesia, mereka juga membuat lagu berbahasa Inggris antara lain Minor, Laugh At dan juga Tired of Being Blind. "Kami ingin mencoba menembus blantika musik

internasional," tutur Sanny dengan wajah berseri. Harapan yang butuh perjuangan panjang. (http://www.suarapembaruan.com/News/2004/10 /14/Hiburan/hib02.htm)

IV. 2 Penyajian Data Sebuah lirik lagu mempunyai struktur judul lagu, song, reff, bridge, interlude, dan coda. Akan tetapi, dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita hanya mempunyai struktur judul lagu yang menjadi tema dari lagu, song yang merupakan isi cerita dalam lirik lagu, reff yang merupakan inti dari cerita dalam lirik lagu atau dengan kata lain inti dari

71

lagu, dan bridge merupakan jembatan antara reff yang kemudian menaikkan emosi dari lagu untuk dikembalikan lagi dalam reff lagu. Judul lagu terdapat pada bait PRIA DIJAJAH WANITA. Struktur song terdapat pada bait pertama yaitu Terpujilah kamu, di mata hatinya, bait kedua yaitu Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa, bait ketiga yaitu Masihkah dia, kau peras darahnya, dan bait keempat yaitu Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa. Struktur reff terdapat pada bait pertama yaitu Harta, kau buta karnanya, bait kedua Kau anggap semua sama, bait ketiga Pria dijajah wanita, bait keempat Wanita seperti kamu, bait kelima Tak berbisa layaknya, bait keenam Wajahmu yang manis, dan bait ketujuh Namun kau sadis. Struktur bridge terdapat pada bait pertama Akhiri semua, bait kedua Sadarkan dirimu, dan bait ketiga Bila kau memang wanita. PRIA DIJAJAH WANITA Terpujilah kamu, di mata hatinya Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa Masihkah dia, kau peras darahnya Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa Reff: Harta, kau buta karnanya Kau anggap semua sama Pria dijajah wanita Wanita seperti kamu Tak berbisa layaknya Wajahmu yang manis

72

Namun kau sadis Akhiri semua Sadarkan dirimu Bila kau memang wanita

IV. 3 Pemaknaan Lirik Lagu Pria Dijajah Wanita Menurut Dikotomidikotomi Saussurean Objek dari penelitian ini adalah lirik lagu Pria Dijajah Wanita yang secara keseluruhan dapat dibedah dengan menggunakan

dikotomi-dikotomi dari Saussurean, yaitu pandangan tentang signifier (penanda) dan signified (petanda); langue (bahasa) dan parole (ujaran); serta syntagmatic (sintagmatik) dan associative (paradigmatik). Pada lirik lagu ini akan dimaknai menurut struktur lagunya.

1. Judul Lagu Pria Dijajah Wanita Pada judul lagu tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Pria Dijajah Wanita merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu

73

sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Pria Dijajah Wanita. Langue merupakan sekumpulan tanda yang terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat dalam judul Pria Dijajah Wanita, yaitu Pria; Dijajah; Wanita. Parole-nya sendiri terletak pada kalimat yang menjadi bait judul dari lagu tersebut, yaitu Pria Dijajah Wanita. Pada bait judul Pria Dijajah Wanita merupakan bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Pria; Dijajah; Wanita. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Pria Dijajah Wanita yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Bait kalimat Pria Dijajah Wanita tidak akan menjadi Pria Dijajah Wanita tanpa adanya sekumpulan tanda dari kata-kata Pria; Dijajah; Wanita, dan hal tersebut tidak akan menjadi sebuah tanda yang bermakna dalam bait kalimat, karena tidak adanya sebuah kata yang membentuk sebuah kalimat. Berdasarkan petanda, penanda, parole, dan langue-nya bait judul Pria Dijajah Wanita mempunyai makna yaitu, seorang yang berjenis kelamin laki-laki atau gender yang distereotipekan oleh masyarakat sebagai sosok maskulin sedang diperlakukan yaitu dengan dijajah oleh seorang yang berjenis kelamin perempuan atau gender yang

distereotipekan oleh masyarakat sebagai sosok yang feminin demi mendapatkan suatu kekuasaan atau menguasai laki-laki tersebut, atau

74

dengan kata lain seorang perempuan ingin menguasai seorang laki-laki dengan cara menjajah laki-laki tersebut.

2. Song Bait Pertama Terpujilah kamu, di mata hatinya Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Terpujilah kamu, di mata hatinya merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Terpujilah kamu, di mata hatinya. Langue merupakan sekumpulan tanda yang terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada bait pertama Terpujilah kamu, di mata hatinya, yaitu Terpujilah; Kamu; Di; Mata; Hati; Nya. Parole-nya sendiri terletak pada kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Terpujilah kamu, di mata hatinya. Pada bait Terpujilah kamu, di mata hatinya merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Terpujilah; Kamu; Di; Mata; Hati; Nya. Sehingga

menghasilkan sebuah bait kalimat Terpujilah kamu, di mata hatinya

75

yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Bait kalimat Terpujilah kamu, di mata hatinya tidak akan menjadi Terpujilah kamu, di mata hatinya tanpa adanya sekumpulan tanda dari kata-kata Terpujilah; Kamu; Di; Mata; Hati; Nya. Dalam bait lagu Terpujilah kamu, di mata hatinya terdapat dua buah kata atau tanda yang dapat disintagmakan. Kata mata merupakan yang dapat disintagmakan dengan alat indera atau panca indera atau dengan kata lain mempunyai paradigma dengan hidung; telinga; dan lain sebagainya. Kata hati dapat disintagmakan dengan organ tubuh atau dengan kata lain mempunyai paradigma dengan jantung; paru-paru; lambung; dan lain sebagainya. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue, sintagmatik, dan paradigmatiknya, bait lirik pertama Terpujilah kamu, di mata hatinya mempunyai makna, yaitu seorang perempuan yang digambarkan dalam lirik lagu ini dengan kata kamu mendapatkan suatu semacam penghargaan karena dianggap istimewa atau mempunyai suatu

kelebihan, dari seorang laki-laki yang digambarkan dengan kata nya atau berarti dia (laki-laki) yang berasal dari perasaannya yang terdalam (baca: timbul akibat dari perasaan cinta).

76

3. Song Bait Kedua Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada song bait kedua Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa, yaitu Bibir; Mu; Yang; Manis; Sepenuhnya; Bisa. Parole-nya sendiri terletak pada kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa. Pada bait Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Bibir; Mu; Yang; Manis; Sepenuhnya; Bisa. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa tidak akan menjadi Bibirmu yang manis, sepenuhnya

77

bisa

tanpa adanya sebuah kata Bibir; Mu; Yang; Manis;

Sepenuhnya; Bisa. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik kedua Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa mempunyai makna, yaitu sebuah ucapan atau tutur kata yang lemah lembut dan ramah dari karakter seorang perempuan yang diceritakan dalam lirik lagu ini ternyata mempunyai sifat merusak dan sebagai sesuatu yang bersifat buruk atau jahat atau dengan kata lain sebuah ucapan atau tutur kata yang lemah lembut dari seorang perempuan ternyata merupakan sebuah penipuan (dapat mempengaruhi seseorang) yang bersifat jahat dan tidak selembut dan seindah seperti apa yang diucapkan.

4. Song Bait Ketiga Masihkah dia, kau peras darahnya Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Masihkah dia, kau peras darahnya merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Masihkah dia, kau peras darahnya.

78

Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada song bait ketiga Masihkah dia, kau peras darahnya, yaitu Masihkah; Dia; Kau; Peras; Darah; Nya. Parole-nya sendiri terletak pada kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Masihkah dia kau peras darahnya. Pada bait Masihkah dia, kau peras darahnya merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Masihkah; Dia; Kau; Peras; Darah; Nya. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Masihkah dia, kau peras darahnya yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Masihkah dia, kau peras darahnya tidak akan menjadi Masihkah dia, kau peras darahnya tanpa adanya sebuah kata Masihkah; Dia; Kau; Peras; Darah; Nya. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Masihkah dia, kau peras darahnya mempunyai makna, yaitu sebuah pertanyaan terhadap perempuan (baca: kau) tentang perlakuannya yang menghancurkan hidup laki-laki atau dengan kata lain mengambil apa yang dimiliki laki-laki tersebut (baca: peras darahnya) yang sebagai kekasihnya.

5. Song Bait Keempat Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental

79

yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada song bait keempat Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa, yaitu Wajah; Mu; Yang; Manis; Sesatkan; Jiwa. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa. Pada bait Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Wajah; Mu; Yang; Manis; Sesatkan; Jiwa. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa tidak akan menjadi Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa tanpa adanya sebuah kata Wajah; Mu; Yang; Manis; Sesatkan; Jiwa. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa mempunyai makna, yaitu sebuah wajah yang cantik dari perempuan yang disimbolkan dengan kata

80

manis ternyata menipu dan dapat mempengaruhi orang lain dengan membawa ke arah yang salah dalam kehidupan batin seseorang.

6. Reff Bait Pertama Harta, kau buta karnanya Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Harta, kau buta karnanya merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Harta, kau buta karnanya. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada reff bait pertama Harta, kau buta karenanya, yaitu Harta; Kau; Buta; Karenanya. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Harta, kau buta karnanya. Pada bait Harta, kau buta karnanya merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Harta; Kau; Buta; Karenanya. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Harta, kau buta karnanya yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Harta, kau buta

81

karnanya tidak akan menjadi Harta, kau buta karnanya tanpa adanya sebuah kata Harta; Kau; Puja; Karenanya. Kata harta merupakan sebuah sintagma yang bisa

diparadigmakan dengan uang; emas; mobil; rumah dan lain sebagainya. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue, sintagmatik, dan paradigmatiknya, reff bait pertama mempunyai makna, yaitu seorang perempuan yang telah dibutakan oleh harta. Pandangannya hanya tertuju dan terobsesi akan suatu harta (kekayaan) untuk dimiliki. Pada bait ini, terdapat makna ambigu yang bisa membuat setiap orang akan mempunyai pemaknaan yang berbeda, maka dari itu pemaknaan pada bait ini akan dimaknai dengan digabungkan bersamaan dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya yaitu bait kau anggap semua sama dan bait pria dijajah wanita.

7. Reff bait kedua Kau anggap semua sama Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Kau anggap semua sama merupakan ujud dari petanda

82

yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Kau anggap semua sama. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada reff bait kedua Kau anggap semua sama, yaitu Kau; Anggap; Semua; Sama. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Kau anggap semua sama. Pada bait Kau anggap semua sama merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Kau; Anggap; Semua; Sama. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Kau anggap semua sama yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Kau anggap semua sama tidak akan menjadi Kau anggap semua sama tanpa adanya sebuah kata

Kau; Anggap; Semua; Sama. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Kau anggap semua sama mempunyai makna, yaitu seorang perempuan (baca: kau) yang memandang segalanya sebagai hal yang serupa (baca: sama). Kalimat Kau anggap semua sama dalam reff bait ketiga dari lirik lagu ini mempunyai makna ambigu. Kalimat tersebut akan dapat diketahui maknanya secara keseluruhan setelah dimaknai bait

selanjutnya, yaitu Pria dijajah wanita.

83

8. Reff bait ketiga Pria dijajah wanita Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Pria dijajah wanita merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Pria dijajah wanita. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada reff bait ketiga Pria dijajah wanita, yaitu Pria; Dijajah; Wanita. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Pria dijajah wanita. Pada bait Pria dijajah wanita merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Pria; Dijajah; Wanita. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Pria dijajah

wanita yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Pria dijajah wanita tidak akan menjadi Pria dijajah

wanita tanpa adanya sebuah kata Pria; Dijajah; Wanita. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Pria dijajah wanita mempunyai makna, yaitu seorang yang berjenis kelamin laki-laki atau gender yang distereotipekan oleh masyarakat

84

sebagai sosok maskulin sedang diperlakukan yaitu dengan dijajah oleh seorang yang berjenis kelamin perempuan atau gender yang

distereotipekan oleh masyarakat sebagai sosok yang feminin demi mendapatkan suatu kekuasaan atau menguasai laki-laki tersebut, atau dengan kata lain seorang perempuan ingin menguasai seorang laki-laki dengan cara menjajah laki-laki tersebut.

9. Pemaknaan reff bait pertama harta, kau buta karnanya, reff bait kedua kau anggap semua sama, dan reff bait ketiga pria dijajah wanita. Pada reff pertama harta, kau buta karnanya dan reff kedua kau anggap semua sama mempunyai makna ambigu, karena

mempunyai makna yang banyak dan bermacam-macam. Oleh karena itu untuk dapat memaknai isi pesan dari lirik lagu ini dapat diketahui pesan yang terkandung setelah dimaknai tiga bait reff dengan pemaknaan reff bait pertama harta, kau buta karnanya digabungkan dengan

pemaknaan reff bait kedua kau anggap semua sama dan pemaknaan pada reff bait ketiga pria dijajah wanita. Makna yang terkandung secara keseluruhan dari ketiga bait tersebut adalah seorang perempuan (baca: kau) yang telah terobsesi akan suatu harta (kekayaan) untuk dimilikinya, dan karena hal tersebut (baca: harta) seorang perempuan telah tertutup hati nuraninya (baca: buta) dengan memandang bahwa semua laki-laki (baca: pria) seharusnya

85

diperlakukan sama, yaitu dijajah oleh perempuan (baca: wanita), atau dengan kata lain semua laki-laki dalam segala hal seharusnya dikuasai (baca: kekuasaan merupakan tujuan dari segala bentuk penjajahan) oleh perempuan dengan sebuah tujuan yaitu untuk menguasai harta yang dimiliki oleh laki-laki tersebut.

10. Reff bait keempat Wanita seperti kamu Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Wanita seperti kamu merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Wanita sperti kamu. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada reff bait keempat Wanita sperti kamu, yaitu Wanita; Seperti; Kamu. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Wanita seperti kamu. Pada bait Wanita sperti kamu merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Wanita; Seperti;

86

Kamu. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Wanita seperti kamu yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Wanita seperti kamu tidak akan menjadi Wanita seperti kamu

tanpa adanya sebuah kata Wanita; Seperti; Kamu. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Wanita seperti kamu mempunyai makna, yaitu sebuah harapan yang ditujukan kepada perempuan untuk menjadi perempuan seharusnya sesuai dengan yang distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok yang feminin yaitu sosok yang tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebaginya.

11. Reff bait kelima Tak berbisa layaknya Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Tak berbisa layaknya merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Tak berbisa layaknya.

87

Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada reff bait kelima Tak berbisa layaknya, yaitu Tak; Berbisa; Layaknya. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Tak berbisa layaknya. Pada bait Tak berbisa layaknya merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Tak; Berbisa; Layaknya. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Tak berbisa layaknya yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Tak berbisa layaknya tidak akan menjadi Tak berbisa

layaknya tanpa adanya sebuah kata Tak; Berbisa; Layaknya. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Tak berbisa layaknya mempunyai makna, yaitu sebuah harapan untuk tidak berbuat jahat atau berbuat suatu keburukan seperti yang sepatutnya.

12. Reff bait keenam Wajahmu yang manis Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Wajahmu yang manis merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga

88

menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Wajahmu yang manis. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada reff bait keenam Wajahmu yang manis, yaitu Wajah; Mu; Yang; Manis. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Tak berbisa layaknya. Pada bait Wajahmu yang manis merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Wajah; Mu; Yang; Manis. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Wajahmu yang manis yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Wajahmu yang manis tidak akan menjadi Wajahmu yang manis tanpa adanya sebuah kata Wajah; Mu; Yang; Manis. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Wajahmu yang manis mempunyai makna, yaitu wajah seorang perempuan yang dianggap cantik (baca: manis).

13. Reff bait ketujuh Namun kau sadis Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa

89

dalam penanda Namun kau sadis merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Namun kau sadis. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada reff bait ketujuh Namun kau sadis, yaitu Namun; Kau; Sadis. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Tak berbisa layaknya. Pada bait Namun kau sadis merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Namun; Kau; Sadis. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Namun kau sadis yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Namun kau sadis tidak akan menjadi Namun kau sadis tanpa

adanya sebuah kata Namun; Kau; Sadis. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Namun kau sadis mempunyai makna, yaitu seorang perempuan mempunyai sifat yang kejam.

14. Pemaknaan reff bait keempat wanita seperti kamu, reff bait kelima tak berbisa layaknya, reff bait keenam wajahmu yang manis, dan reff bait ketujuh namun kau sadis. Pada reff bait kelima tak berbisa layaknya mempunyai makna ambigu, karena mempunyai makna yang banyak dan bermacam-macam. Oleh karena itu untuk dapat memaknai isi pesan dari lirik lagu ini dapat

90

diketahui pesan yang terkandung setelah dimaknai empat bait reff dengan pemaknaan reff bait keempat wanita seperti kamu

digabungkan dengan pemaknaan reff bait kelima tak berbisa layaknya, pemaknaan pada reff bait keenam wajahmu yang manis, dan pemaknaan pada reff bait ketujuh namun kau sadis. Makna yang terkandung secara keseluruhan dari keempat bait tersebut adalah, sebuah harapan terhadap seorang perempuan yang seharusnya menjadi perempuan yang sesuai dengan yang distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok yang feminin yaitu sosok yang tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebaginya untuk tidak berbuat jahat atau mempunyai sifat yang jahat (baca: berbisa) seperti halnya seorang perempuan tersebut mempunyai wajah yang cantik (baca: manis) namun mempunyai sifat yang kejam (baca: sadis).

15. Bridge bait pertama Akhiri semua Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa

91

dalam penanda Akhiri semua merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Akhiri semua. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada bridge bait pertama Akhiri semua, yaitu Akhiri; Semua. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Akhiri semua. Pada bait Wajahmu yang manis merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Akhiri; Semua. Sehingga

menghasilkan sebuah bait kalimat Akhiri semua yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Akhiri semua tidak akan menjadi Akhiri semua tanpa adanya sebuah kata Akhiri; Semua. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Akhiri semua mempunyai makna, yaitu sebuah harapan untuk menyudahi (baca: mengakhiri atau memberhentikan) semua apa yang telah diperbuat. Bait ini mempunyai makna yang belum jelas dan ambigu, maka dari itu untuk mengetahui makna secara keseluruhan, akan digabungkan dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya.

92

16. Bridge bait kedua Sadarkan dirimu Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Sadarkan dirimu merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Sadarkan dirimu. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada bridge bait kedua Sadarkan dirimu, yaitu Sadarkan; Diri; Mu. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Sadarkan dirimu. Pada bait Sadarkan dirimu merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata Sadarkan; Diri; Mu. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Sadarkan dirimu yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Sadarkan dirimu tidak akan menjadi Sadarkan dirimu tanpa adanya sebuah kata Sadarkan; Diri; Mu. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Sadarkan dirimu mempunyai makna, yaitu sebuah harapan kepada

93

seorang perempuan (baca: dirimu) untuk sadar atau insyaf (baca: sadarkan). Bait ini mempunyai makna yang belum jelas dan ambigu, maka dari itu untuk mengetahui makna secara keseluruhan, akan digabungkan dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya.

16. Bridge bait ketiga Bila kau memang wanita Pada bait tersebut terdapat sebuah penanda dan petanda yang kemudian menghasilkan sebuah tanda, bahwa terdapat konsep mental yaitu sebuah petanda yang kemudian dituliskan menjadi sebuah teks yang merupakan sebuah penanda. Tanda-tanda terletak pada setiap kata yang kemudian dirangkai menjadi bait kalimat yang menandakan bahwa dalam penanda Bila kau memang wanita merupakan ujud dari petanda yang disampaikan dengan bentuk tulisan yang menjadi lirik lagu sehingga menjadikan sebuah tanda yang bermakna menjadi Bila kau memang wanita. Langue-nya terletak pada setiap kata yang tersusun dari bait kalimat pada bridge bait ketiga Bila kau memang wanita, yaitu Bila; Kau; Memang; Wanita. Parole-nya sendiri terletak pada setiap kalimat yang menjadi sebuah bait pada lirik lagu tersebut, yaitu Bila kau memang wanita. Pada bait Bila kau memang wanita merupakan sebuah bait kalimat yang tersusun oleh sekumpulan tanda dari kata

94

Bila; Kau; Memang; Wanita. Sehingga menghasilkan sebuah bait kalimat Bila kau memang wanita yang kemudian menghasilkan sebuah tanda yang dapat dimaknai. Bila kau memang wanita tidak akan menjadi Bila kau memang wanita tanpa adanya sebuah kata Bila; Kau; Memang; Wanita. Berdasarkan petanda, penanda, parole, langue-nya, bait lirik Bila kau memang wanita mempunyai makna, yaitu sebuah ungkapan yang menunjukkan terhadap perempuan (baca: wanita) jika mungkin perempuan tersebut benar-benar seorang perempuan seperti yang telah distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok feminin, yaitu seorang yang ekspresif, kurang independent, lebih emosional, kurang logis, secara kuantitatif kurang orientasi dan lebih partisipatif daripada laki-laki. Bait ini mempunyai makna yang belum jelas dan ambigu, maka dari itu untuk mengetahui makna secara keseluruhan, akan digabungkan dengan pemaknaan pada bait-bait selanjutnya.

17. Pemaknaan bridge bait pertama akhiri semua, bridge bait kedua sadarkan dirimu, dan bridge bait ketiga bila kau memang wanita. Pada bridge bait pertama akhiri semua, bridge bait kedua sadarkan dirimu, dan bridge bait ketiga bila kau memang wanita mempunyai makna yang ambigu. Maka dari itu untuk mengetahui makna keseluruhan dari ketiga bridge ini harus dimaknai dengan

95

menggabungkan makna dari bridge bait pertama akhiri semua, bridge bait kedua sadarkan dirimu, dan bridge bait ketiga bila kau memang wanita. Secara keseluruhan, makna dari ketiga bait bridge ini yaitu sebuah harapan terhadap seorang perempuan (baca: wanita) untuk menyadarkan diri atau menginsyafkan diri dan mengakhiri semua kejahatan yang telah diperbuat (seperti yang dimaknakan pada bait-bait sebelumnya) jika memang perempuan tersebut (baca: kau) adalah benar-benar seorang perempuan seperti yang telah distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok feminin, yaitu seorang yang ekspresif, kurang independent, lebih emosional, kurang logis, secara kuantitatif kurang orientasi dan lebih partisipatif daripada laki-laki, atau dengan kata lain seorang perempuan yang seperti yang telah distereotipekan dalam konstuksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok yang feminin tidak seharusnya berbuat atau mempunyai sifat yang jahat seperti yang telah dilakukannya (baca: perempuan).

IV. 4 Penggambaran Kekuasaan Perempuan Setelah lirik lagu pria Dijajah Wanita dimaknai, kemudian dari pemaknaan tersebut akan dicari penggambaran tentang kekuasaan perempuan, atau dengan kata lain bagaimana bentuk-bentuk kekuasaan dari seorang perempuan digambarkan :

96

1. Song bait pertama Terpujilah kamu, di mata hatinya Bait tersebut menggambarkan seorang perempuan yang

mempunyai karakter yang kuat.

Penggambaran karakter seorang

perempuan yang kuat tersebut dapat disimak dalam kalimat terpujilah kamu. Dari kalimat tersebut, mempunyai makna seorang perempuan yang mendapatkan suatu semacam penghargaan dari orang lain karena dianggap istimewa atau mempunyai suatu kelebihan. Atau dengan kata lain yang berarti suatu bentuk pengakuan dari orang lain terhadap kelebihan yang dimiliki oleh perempuan tersebut. Sosok perempuan yang berkarakter kuat, merupakan sosok perempuan masa kini yang hidup di era posmodern yang telah dikonstruksi oleh budaya pop (populer). Kebudayaan pop sendiri merupakan budaya massa yang sebenarnya merupakan istilah yang mengandung nada mengejek atau merendahkan, istilah ini merupakan pasangan dari high culture (kebudayaan elite atau kebudayaan tinggi) yang pada perkembangannya akibat media komunikasi dan teknologi informasi, tidak lagi hanya ditujukan bagi orang miskin atau kelas bawah (seperti awal terbentuknya), melainkan merata pada setiap lapisan yang dikhawatirkan menggilas semuanya dan menjadi satu-satunya

kebudayaan yang menguasai semua bangsa di dunia. Dalam artian, semua kebudayaan akan diseragamkan oleh kebudayaan massa atau biasa disebut budaya pop (Ibrahim,1997:6). Perempuan pop merupakan ikon

97

baru dalam era posmodern seperti yang terjadi di saat ini. Perempuan pop digambarkan sebagai sosok perempuan yang tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan menginginkan kuasa. Singkatnya, mendekonstruksi women's culture. Dalam konteks pop culture (budaya pop), contoh-cotoh ikon

posfeminisme adalah seperti Spice Girl, Madonna, dan lain sebagainya (Arivia, 2006:128). Seperti yang diceritakan pada song bait pertama Terpujilah kamu, di mata hatinya, perempuan yang digambarkan sebagai sosok perempuan pop yang merupakan ikon dari posfeminisme merupakan sosok seorang perempuan seorang yang mandiri, akan tetapi juga dalam tetap

kemandiriannya,

perempuan

posfeminis

membutuhkan sosok laki-laki dalam

hidupnya sebagai pelengkap

hidupnya baik secara biologis maupun secara emosional, karena seorang perempuan posfeminis sadar bahwa dia merupakan seorang

perempuan yang juga menjadi objek seks bagi laki-laki disamping dia sebagai sosok perempuan mandiri yang dengan kepercayaan diri yang tinggi yang bisa meraih segalanya (Brooks,1997:vii). Dan hal ini tergambar dari kalimat di mata hatinya. Dari kalimat tersebut terdapat gambaran siapa yang dimaksud dengan nya yaitu seorang laki-laki yang merupakan kekasih dari perempuan pop yang diceritakan dalam lirik lagu ini, dan penggambaran nya atau dia yang merupakan laki-laki dapat disimak dalam bait-bait selanjutnya, karena

98

dalam lagu ini menceritakan kisah percintaan antara laki-laki dan perempuan.

2. Song bait kedua Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa Dalam kalimat bibirmu yang manis yang mempunyai makna sebuah ucapan atau tutur kata yang lembut dan ramah, menunjukkan penggambaran karakter perempuan yang feminin. Seorang perempuan yang distereotipekan oleh konstruksi sosial dalam masyarakat sebagai sosok yang tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya. Pembahasan masalah feminitas merupakan stereotipe gender yang dikonstruksikan oleh masyarakat. Pandangan stereotipe mengaburkan pandangan terhadap manusia secara pribadi, karena memasukkan setiap jenis manusia kotak stereotipe. Oleh karena itu seorang pribadi, baik perempuan dan laki-laki merasa tidak pantas apabila keluar dari kotak tersebut. Ia akan merasa bersalah apabila tidak memenuhi kehendak sosial, memenuhi label yang telah diciptakan untuk mereka. Pandangan ini telah dibakukan melalui tradisi selama berabad-abad sehingga dianggap kodrat yang tidak dapat dirubah, seolah ciri-ciri perempuan dan laki-laki sudah terkunci mati (Murniati,2004:XVIII). Dalam bait kalimat ini juga menunjukkan sebuah pertentangan terhadap stereotipe feminin yang berlaku di dalam masyarakat. Seperti

99

yang terdapat pada kalimat selanjutnya pada bait ini yaitu sepenuhnya bisa. Sebuah kata bisa mempunyai makna sebuah racun yang berarti sebagai hal yang bersifat jahat. Pertentangan terhadap stereotipe tersebut sangat mempertanyakan, bagaimana mungkin seorang

perempuan yang feminin dapat melakukan sesuatu yang bersifat jahat yang tidak seharusnya dia lakukan seperti stereotipe yang berkembang dalam masyarakat bahwa perlakuan tersebut (hal yang bersifat jahat) bukan termasuk karakter seorang perempuan? Akan tetapi pertentangan tersebut dapat dijawab dengan mudah bahwa seorang perempuan mempunyai suatu tujuan tertentu yang harus dipenuhi, dan dalam pencapaian hal itu dia mampu untuk melakukan sebuah penipuan nyata dengan mengkaburkan pandangan terhadap sebuah konstruksi sosial yang telah distereotipekan. Bahwa perempuan yang

distereotipekan dengan feminin mempunyai karakter tidak suka bicara kasar, halus, lembut, peka pada perasaan orang lain, bicara pelan, mudah mengekspresikan diri, dan sebagainya ternyata menginginkan sebuah kuasa dengan mengandalkan kefeminitasannya, yaitu sebuah bujukan dan rayuan yang sangat menjerumuskan ke dalam suatu hal yang bersifat jahat. Hal-hal yang bersifat jahat tersebut dalam artian sebagai hal yang merugikan tentunya bagi tokoh kedua yang digambarkan dalam lirik lagu tersebut yaitu laki-laki yang menjadi kekasihnya. Perempuan yang berani keluar dari kotak stereotipe gender tersebut merupakan perempuan pop yang menjadi ikon dari

100

posfeminisme. Para perempuan posfeminis beranggapan bahwa tidak ada sesuatu yang bersifat biner, semuanya bersifat singular karena dalam singularitas itulah terdapat tanggung jawab dan keunikan masing-masing nama dalam hidup ini. Ketika struktur oposisi biner bisa didekonstruksi oleh pembacaan postrukturalis maka kultur pemikiran yang dipengaruhi oposisi biner, seperti dikotomi patriarki-matriarki, maskulin-feminin, laki-perempuan juga bisa dilampaui. Dan oleh karenanya persoalan marjinalisasi perempuan juga terlampaui karena yang ada tinggal singularitas, nama demi nama (http://www.mail-archive.com/

reformasitotal@yahoogroups.com/msg01513.htm). Secara garis besar dalam song bait kedua bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa terdapat sebuah gambaran perempuan yang

seharusnya berkarakter feminin seperti yang telah distereotipekan oleh konstruksi sosial masyarakat telah melakukan suatu yang menipu karena tidak seperti tampaknya (kelembutan). Bahwa suatu ucapan atau tutur kata yang lembut ternyata kenyataannya tidak seperti itu atau dengan kata lain, sebuah kelembutan yang mematikan, dan kelembutan tersebut merupakan cara-cara bujukan dan rayuan dari seorang perempuan. Bujukan dan rayuan tersebut merupakan salah satu cara sebuah pencapaian sebuah kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya dapat diraih dengan sebuah kekerasan, tetapi juga melalui sebuah persuasi. Audifax menjelaskan dalam sebuah bukunya, bahwa menurut Foucault, kekuasaan itu terlaksana bukan pertama-tama melalui kekerasan atau

101

hasil persetujuan, melainkan melalui struktur tindakan yang menekan dan mendorong munculnya tindakan-tindakan lain melalui rangsangan, persuasi atau bisa juga melalui paksaan dan larangan (Audifax, 2006:227). Sedangkan kekuasaan sendiri menurut wikipedia merupakan kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku, atau dengan kata lain kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan). Maka tak

layak bahwa tokoh perempuan yang digambarkan di lirik lagu ini mempunyai suatu tujuan tertentu (sepenuhnya bisa) yang harus dia dapatkan dan penuhi, dan dengan sebuah kekuasaan yang didapatkan dengan bujukan dan rayuan (bibirmu yang manis), dia dapat memenuhi keinginan yang menjadi tujuan dia, dan itu merupakan gambaran seorang perempuan pop yang digambarkan dalam lirik lagu ini.

3. Song bait ketiga Masihkah dia, kau peras darahnya Pada bait ini menggambarkan sebuah pertanyaan terhadap seorang perempuan (baca: kau) tentang perlakuan yang merugikan terhadap laki-laki yang menjadi kekasihnya yaitu dengan mengambil secara paksa sesuatu yang dimiliki laki-laki (baca: dia) tersebut dan hal

102

itu sama saja dengan menghancurkan hidup laki-laki tersebut (Masihkah dia, kau peras darahnya). Akan tetapi tampaknya laki-laki tersebut seperti tidak sadar bahwa dia diperlakukan dengan tidak baik atau dalam artian dipermainkan cintanya dengan mengambil apa yang dimiliki lakilaki tersebut. Hal ini juga terlihat dalam song bait pertama Terpujilah kamu, di mata hatinya, dalam bait ini laki-laki tersebut tetap menganggap perempuan tersebut istimewa dan mempunyai banyak kelebihan atau dengan kata lain berkarakter, dan hal tersebut menunjukkan kelebihan seorang perempuan akan bujukan dan rayuan yang dia lancarkan terhadap laki-laki seolah-olah mengetahui area titik lemah laki-laki sehingga laki-laki tersebut tidak sadar bahwa dia sedang diperlakukan dengan tidak baik yang dapat menghancurkan hidupnya (kau peras darahnya). Pada bait ini juga menunjukkan penggambaran tentang sebuah kekuasaan yang dimiliki perempuan terhadap laki-laki yang menjadi kekasihnya. Dalam kalimat kau peras darahnya mempunyai makna mengambil secara paksa apa yang dimiliki dan yang berharga dari lakilaki tersebut, merupakan suatu bentuk kuasa yang didapatkan, dan bentuk-bentuk kekuasaannya tentu tidak ditempuh secara kekerasan, melainkan secara persuasi dan penonjolan terhadap kecantikan fisiknya yang dimiliki yang dapat menimbulkan paksaan dengan tidak sadar. Bentuk persuasi tersebut merupakan bujukan dan rayuan dari seorang perempuan.

103

4. Song bait keempat Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa Pada bait ini menggambarkan sosok perempuan yang cantik (wajahmu yang manis), kata manis di sini dimaknai dengan keindahan yang disinonimkan dengan kecantikan. Kecantikan yang dimaksud adalah merupakan kecantikan secara fisik yang dapat disimak dari kata wajahmu. Dengan kecantikannya, seorang perempuan mampu untuk merayu dan membujuk laki-laki lawan jenisnya untuk mempengaruhinya (sesatkan jiwa) dan bentuk pengaruh-

mempengaruhi merupakan bentuk-bentuk sebuah kuasa. Dalam sebuah percintaan, kekuasaan bisa muncul dan eksis. Seperti yang diungkapkan Foucault, ketika Foucault mengatakan bahwa kekuasaan justru bisa lahir dari dalam tubuh, maka kekuasaan juga dapat eksis dalam cinta, pemikiran dan peran. Ketika kekuasaan eksis dalam tubuh, maka menjadi masuk akal ketika manusia lahir ke dunia, maka saat itulah dia terjebak terjebak dalam kekuasaan tubuh yang menifes dalam segala keterbatasannya. Keterbatasan-keterbatasan inilah yang kemudian

diperkuat oleh budaya dalam suatu masyarakat, sehingga muncul tubuhtubuh tertentu yang di-sub-ordinasi (Audifax, 2006:229). Tubuh-tubuh yang di-sub-ordinasi yang diakibatkan oleh keterbatasan yang diperkuat oleh budaya dalam suatu masyarakat di sini yang dimaksud adalah sebuah perempuan. Menjadi seorang perempuan secara tubuh, atau dalam kata lain secara sex merupakan seorang perempuan. Dalam

104

pemahaman patriarki, seorang perempuan tidak berhak mempunyai bentuk kuasa atas apapun. Dalam sistem patriarki yang berlaku hampir di seluruh masyarakat, telah menganggap sebuah asumsi bahwa kodrat seorang perempuan itu lebih rendah derajatnya daripada laki-laki demi terciptanya kehidupan keluarga dan masyarakat yang harmonis

(Mustaqim, 2003:1). Sehubungan dengan sistem sosial ini, diyakini (dijadikan ideologi) bahwa pria lebih superior dibanding perempuan, sehingga perempuan sudah seharusnya dikendalikan (dikontrol) oleh pria dan menjadi bagian dari properti pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus menjelaskan semua tindakan sosial yang memenjarakan perempuan di rumah serta mengontrol kehidupan mereka. Selain itu, standar dobel moralitas dan hukum, yang memberikan hak lebih pada pria dibanding perempuan, didasarkan atas patriarki (www.sekitarkita.com). Maka dari itu timbul sebuah stereotipe bahwa perempuan merupakan sebuah subordinasi yang tidak bisa mendominasi, dengan kata lain bahwa perempuanlah yang seharusnya dikendalikan atau dikontrol. Pengendalian atau pengontrolan merupakan salah satu dari bentuk sebuah kuasa. Akan tetapi hal tersebutl yang memunculkan sebuah pergerakan yang bisa dikatakan sebagai pemberontakan dari budaya patriarki yang disebut sebagai gerakan feminisme. Dari mulai feminisme gelombang pertama hingga gelombang ketiga. Sehingga dari banyaknya gerakan feminisme tersebut, muncul sebuah gerakan dan pemikiran yang

105

dianggap kontroversial dan menentang gerakan feminisme itu sendiri, yaitu posfeminisme pada era feminisme gelombang kedua yang kemudian memunculkan ikon baru yang disebut sebagai perempuan pop seperti yang dijelaskan diatas (pada song bait pertama). Kenapa dianggap kontroversial? Karena perempuan adalah sebuah pembacaan yang juga mengimplikasikan struktur oposisi biner, karena ketika kita bicara perempuan maka selalu mengimplikasikan ada oposisinya, yaitu lakilaki. Posfeminisme berfokus pada singularitas, karena dalam

singularitas itulah terdapat tanggung jawab dan keunikan masing-masing nama dalam hidup ini. Ketika struktur oposisi biner bisa didekonstruksi oleh pembacaan postrukturalis maka kultur pemikiran yang dipengaruhi oposisi biner, seperti dikotomi patriarki-matriarki, maskulin-feminin, laki-perempuan juga bisa dilampaui. Dan oleh karenanya persoalan marjinalisasi perempuan juga terlampaui karena yang ada tinggal singularitas, nama demi nama (http://www.mail-

archive.com/reformasitotal@yahoogroups. com/msg01513.htm). Sebuah bujukan dan rayuan, merupakan sebuah cara penggapaian kekuasaan dari perempuan. Dan pada bait ini, penggambaran kekuasaan perempuan yang dijalankan melalui tubuh yang cantik menjadi wacana tersendiri terhadap kaum laki-laki. Kecantikan secara tubuh atau bisa dikatakan cantik secara fisik merupakan aset bagi seorang perempuan untuk bisa melanggeng bebas dan dapat melakukan apa saja yang diinginkannya. Tak bisa dihindari bahwa perempuan dimana-mana selalu

106

menjadi objek seks bagi laki-laki, terutama di dalam media. Iklan contohnya, iklan sebagai bagian dari bisnis komersial adalah komoditas yang fungsinya menjual komoditas. Banyak jenis komoditas dijual melalui seksualitas dan tubuh perempuan. Dengan demikian komodifikasi itu pada akhirnya bermuara pada komodifikasi tubuh dan seksualitas perempuan (Prabasmoro,2006:303). Wacana bagi kaum laki-laki terhadap kecantikan yang kemudian dihubungkan dengan ketertarikan secara seksual. Wacana seks dan seksualitas sendiri tampaknya bersifat taksa dan ambivalen. Seks memancarkan daya tarik yang sedemikian kuat sehingga dapat

menciptakan ketakutan tetapi pada saat yang sama melahirkan rasa ingin tahu. Pembicaraan tentang seks kemudian bergerak antara keinginan untuk menyalurkan hasrat dan usaha untuk mengekangnya. Ketaksaan dan ambivalensi itu kemudian sering ditujukan kepada perempuan. Pancaran antara keinginan dan ketakutan itu terutama terasa dalam banyak etik, tabu dan mitos yang berkenaan dengan seks dan seksualitas, salah satunya mitos keperawanan. Dengan ambivalensi itu, tubuh perempuan serta hasrat yang hidup di dalam serta melaluinya juga dimaknai sebagai monster. Tubuh perempuan menjadi vagina dentata, sebuah gerbang perempuan yang lembut, sensual dan menggoda tetapi penuh dengan gigi gerigi yang siap menerkam dan menghabisi apa dan siapapun yang tergoda untuk memasukinya. Vagina dentata

menyimbolkan ambivalensi laki-laki terhadap seksualitas perempuan.

107

Tetapi lebih dari itu, vagina dentata adalah simbol ketakutan laki-laki akan keliyanan perempuan yang diciptakannya sendiri. Sigmund Freud yang menemukan teori ini mengklaim bahwa vagina dentata adalah ketakutan universal yang bersembunyi di dalam ketidak sadaran setiap laki-laki. Vagina dentata juga merepresentasi ketakutan kehilangan diri (laki-laki) terisap oleh kekuatan yang tidak dikenal, yang penuh lorong dan gelap; tubuh dan seksualitas perempuan. Selain itu, karena seks dan seksualitas adalah suatu konstruksi, maka seks dan seksualitas bukanlah wacana mengenai tubuh dan keinginan atau kebutuhan biologis semata, melainkan juga merupakan wacana mengenai kekuasaan. Melalui slogan feminis yang dikembangkannya, Kate Millett berargumentasi bahwa bahkan hal yang sangat pribadi sesungguhnya tidak sungguh-sungguh pribadi. Lebih dari itu, bahkan wacana seksual adalah wacana politis (sexual is political). Menurutnya, seksual politik mencakup sosialisasi baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki ke dalam kategori yang berhubungan dengan temperamen, peran, dan status

(Prabasmoro,2006:291-292). Maka dari itu, pada bait ini digambarkan adanya ketakutan (secara tidak sadar) dari seorang laki-laki terhadap perempuan sehingga bentukbentuk sebuah rayuan dan bujukan dengan senjata kecantikan seorang perempuan yang dapat melenakan atau membuai (wajahmu yang manis) akan diterima olehnya (baca: laki-laki) walaupun bujukan dan rayuan tersebut sangat merugikannya (sesatkan jiwa) seperti layaknya

108

kisah seorang Julius Caesar yang jatuh hati pada kecantikan Cleopatra, atau Ken Arok yang jatuh cinta pada Ken Dedes yang konon sangat cantik. Cinta dalam pengertian kekasih sebenarnya merupakan sensasi erotis yang timbul dari drive untuk penyatuan. Drive ini berasal dari hasrat yang timbul akibat keterpisahan yang dialami manusia.

Kekosongan atau jeda dalam relasi pandangan, di mana manusia mengisi jeda itu dengan pelbagai pemaknaan. Suatu kondisi yang lebih merupakan inderstanding ketimbang understanding, karena begitu banyak yang stand between dalam kekosongan itu. Cinta lantas menjadi salah satu episode bahasa yang menurut Barthes selalu merujuk pada sensasi akan kebenaran. Manusia yang mengalami dalam memikirkan cintanya, karena ia percaya ialah satu-satunya yang bisa melihat objek yang dicintainya dalam kebenaran. Sisi lain dari fenomena ini adalah penilaian mengenai apa yang baik dan pengetahuan yang dimiliki: hanya aku yang tahu dia, hanya aku yang membuatnya eksis sebagai kebenaran. Hanya dengan orang lain aku bisa merasakan diriku sendiri. Pada titik ini pameo cinta adalah buta adalah salah. Cinta membuka mata lebar-lebar, cinta memproduksi penglihatan jernih: Saya memiliki dirimu, segalanya tentangmu, sebagai pengetahuan absolut. Kamu menguasai segalanya dariku tetapi aku memiliki pengetahuan atasmu. Ini berarti cinta di satu sisi menjebak dalam kekuasaan, namun disisi lain ia juga membuka pengetahuan baru, memberi nilai baru dalam kehidupan (Audifax, 2006:234).

109

Pada song bait kedua dan song bait keempat mempunyai sebuah hubungan, bahwa dengan kelembutan dalam bertutur kata (bibirmu yang manis) dan dengan kecantikan fisik (wajahmu yang manis) seorang karakter perempuan dalam lirik lagu ini dapat mempengaruhi laki-laki yang diceritakan sebagai kekasihnya, dan dengan proses mempengaruhi tersebut merupakan cara-cara penggapaian kekuasaan oleh perempuan (baca: wanita) dari laki-laki yang sebagai kekasihnya (baca: pria).

5. Reff bait pertama harta, kau buta karnanya, reff bait kedua kau anggap semua sama, dan reff bait ketiga pria dijajah wanita. Ketiga bait tersebut mempunyai makna yang terkandung secara keseluruhan bahwa seorang perempuan (baca: kau) yang telah terobsesi akan suatu harta (kekayaan) untuk dimilikinya, dan karena hal tersebut (baca: harta) seorang perempuan telah tertutup hati nuraninya (baca: buta) dengan memandang bahwa semua laki-laki (baca: pria) seharusnya diperlakukan sama, yaitu dijajah oleh perempuan (baca: wanita), atau dengan kata lain semua laki-laki dalam segala hal seharusnya dikuasai (baca: kekuasaan merupakan tujuan dari segala bentuk penjajahan) oleh perempuan dengan sebuah tujuan yaitu untuk menguasai harta yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. Berdasarkan pemaknaan tersebut terdapat sebuah gambaran tentang tujuan dari sebuah kekuasaan yang diinginkan oleh perempuan

110

(baca: wanita) kepada kekasihnya. Keinginan akan sebuah harta (kekayan) merupakan suatu contoh bagi masyarakat yang hidup di era posmodernisme dan konsumerisme seperti saat ini. Sama hal-nya dalam menyoroti sosok Madonna sebagai pop icon yang sukses dan menjadi semacam influence bagi banyak perempuan posfeminis yang hidup di era posmodernisme dan konsumerisme saat ini, Ann Brooks berpendapat dalam bukunya, bahwa tingginya ukuran kesuksesan Madonna sebagai suatu fenomena posmodern menyoroti saling pengaruh antara

posmodernisme dan konsumerisme, dan identitas transformatifnya dapat dipahami pada tingkatan materialitas dan simulasi. Pada tingkatan material, kemampuan Madonna untuk memasarkan dirinya sendiri dan untuk mengakomodasi pasar kapitalis akhir menunjukkan kebutuhan permintaan industri media, kecantikan, dan musik bagi fleksibilitas dalam keperluannya atas respons tak autentik dan reinvesionis bagi strategi pemasaran. Tetzlaff menguraikan narasi metatekstual dari material girl yang menegksplorasi bagaimana kuasa adalah persoalan material dan dihubungkan dengan sukses Madonna. Masih menurut Ann Brooks, Pribram mengambil konsep posmodernis tentang simulasi dan bujukan sebagaimana dikembangkan di dalam karya Jean Baudrillard. Dia menentang materialitas kritik realis terhadap Madonna dan mengklaim bahwa penggunaan teknik bujukan yang disimulasikan oleh Madonna mengungkap ukuran luas kontrol atas citranya sendiri(ibid.). (Brooks,1997:228).

111

Dalam konteks lirik lagu ini, yang dimaksud adalah seorang perempuan yang dikonstruksi oleh budaya pop (seperti song bait pertama). Perempuan pop yang hidup pada era posmodernisme dan konsumerisme, adalah perempuan yang beresiko terjebak sebagai korban sebuah komodifikasi suatu gaya hidup dengan simbol

kemewahan, kekayaan, dan kesuksesan. Bre Redana menguraikan narasi kondisi masyarakat konsumerisme yang dikontrol oleh gaya hidup sebagai sebuah tuntutan zaman, bahwa pada era sekarang (era posmodernisme dan konsumerisme) tengah terjadi perang besarbesaran, semboyan besar-besaran, untuk mendewakan kekuatan materi, kekuatan uang, perpacuan bukan saja untuk menjadi kaya, tetapi juga bagaimana tampil dan dihormati sebagai orang kaya (Ibrahim,1997:141). Dalam artian, kebudayaan pop di era posmodern menampilkan sebuah kecenderungan baru akan sebuah gaya yang dikultuskan dan dipuja sebagai sebuah kebutuhan, bukan lagi sebagai sebuah keinginan. Masyarakat dalam era posmodern memandang bahwa pencitraan atau image sangatlah penting. Seperti halnya seorang perempuan pop, telah terjadi pergeseran orientasi atau nilai-nilai yang menciptakan sebuah pencitraan diri. Sebagai suatu contoh, bahwa bila zaman dahulu seseorang bisa mendapatkan uang karena status, maka zaman sekarang seseorang bisa mendapatkan sebuah status karena uang

(Ibrahim,1997:193).

112

Keinginan terhadap sebuah status tersebutlah yang menjadikan seorang perempuan tersebut menginginkan harta dari laki-laki yang menjadi kekasihnya. Pencitraan akan sebuah status yang dipandang penting bagi perempuan pop menjadikan seorang perempuan

mempunyai pergeseran nilai dalam bersikap dan berpandangan. Bahwa semuanya bersifat singular. Tak ada sebuah perbedaan antara dominasi atau sub ordinasi (kau anggap semua sama), semua mempunyai hak yang sama (ciri perempuan pop posfeminis) termasuk juga dalam hal berkuasa. Seperti menurut Ann Brooks dalam bukunya, Foucault secara implisit menggugat gagasan bahwa laki-laki memiliki kuasa atas perempuan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Ransom, teori kuasa ini menyokong pluralisme Foucault; kuasa dipahami bersifat plural, tidak bekerja pada lintasan tunggal atau dengan referensi pada pertanyaan tertentu. Foucault memahami kuasa sebagai bersifat kapiler menyebar melalui wacana, tubuh, dan hubungan di dalam metaphor suatu jaringan (ibid.). Foucault mengakui pelaksanaan kuasa laki-laki atas perempuan, tetapi menolak bahwa laki-laki memegang kuasa. Ramazanoglu dan Holland menyatakan bahwa terdapat analisis yang tidak memadai terhadap garis tengah relasi kuasa, misalnya antara politik-mikro kehidupan sehari-hari dan konsolidasi yang sangat kukuh dari privilese laki-laki dalam keseluruhan kehidupan sosial. Foucault sendiri

menyatakan bahwa cara di mana kuasa bekerja dan dijalankan sangat sedikit dipahami. Dia menyarankan untuk memusatkan pada teknik

113

tertentu dari kuasa untuk menunjukkan bagaimana mereka yang berkuasa mengambil keputusan tertentu (Brooks,1997:85), dan pemikiran Foucault tersebut dapat dilihat pada bait sebelumnya dalam lirik lagu ini (song bait kedua, ketiga, dan keempat). Foucault mengandaikan bahwa kekuasaan itu banyak dan tersebar serta tidak mengacu pada satu sistem umum dominasi oleh seseorang atau suatu kelompok terhadap yang lain, tetapi menunjuk pada beragamnya hubungan kekuasaan. Kekuasaan dipahami bukan dalam keterpusatan satu titik atau satu sumber otoritas, namun berasal dari adanya perbedaan dalam hubungan (Audifax, 2006:227). Dan semboyan-semboyan kekuasaan tersebut dicantumkan dengan cara penjajahan terhadap laki-laki (pria dijajah wanita), yang merupakan cara dalam pencapaian sebuah kekuasaan dengan tujuan untuk menguasai harta (kekayaan) dari laki-laki tersebut (harta, kau buta karnanya).

114

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan Berdasarkan pemaknaan yang kemudian dicari penggambarannya, kesimpulan dari peneliti tentang bentuk kekuasaan perempuan dalam lirik lagu Pria Dijajah Wanita dari grup band indie Kaimsasikun digambarkan dengan: 1. Terdapat sosok perempuan pop Indonesia masa kini yang merupakan perempuan posfeminis yang terdapat dalam song bait pertama Terpujilah kamu, di mata hatinya. Karakter

perempuan pop dapat disimak dari kalimat bait Terpujilah kamu yang mempunyai makna seorang perempuan yang

mendapatkan suatu semacam penghargaan dari orang lain karena dianggap istimewa atau mempunyai suatu kelebihan. Sosok perempuan yang berkarakter kuat, yang merupakan sosok

perempuan masa kini yang hidup di era posmodern yang telah dikonstruksi oleh budaya pop (populer). Perempuan pop digambarkan sebagai sosok perempuan yang tangguh, seksi, dan acuh tak acuh, tidak melihat diri sendiri sebagai korban, dan menginginkan kuasa. 2. Dengan sebuah persuasi yang berupa rayuan dan bujukan, seorang perempuan pop dapat melakukan suatu bentuk kekuasaan

115

dengan suatu tujuan. Bujukan dan rayuan tersebut merupakan salah satu cara dalam pencapaian sebuah kekuasaan. Hal ini dapat disimak dalam song bait kedua Bibirmu yang manis, sepenuhnya bisa. 3. Terdapat suatu petanyaan bagi sosok perempuan pop tentang eksistensinya dalam menggapai sebuah kuasa, yaitu dengan mengambil secara paksa sesuatu yang dimiliki laki-laki (baca: dia) tersebut dan hal itu sama saja dengan menghancurkan hidup lakilaki tersebut. Hal tersebut dapat disimak dalam song bait ketiga Masihkah dia, kau peras darahnya. 4. Dengan kecantikan secara fisik (sosok yang digambarkan sangat cantik), perempuan pop dapat meraih sebuah kekuasaan. Kekuasaan tersebut dapat diraih dengan sebuah bujukan dan rayuan dengan mengandalkan kecantikannya sehingga membuat laki-laki yang diceritakan dalam lirik lagu menjadi kekasihnya terbuai akan kecantikannya dan tak sadar bahwa dia sedang dikuasai oleh kekasihnya sendiri. Hal ini dapat disimak dalam song bait keempat Wajahmu yang manis, sesatkan jiwa. 5. Dengan sebuah persuasi berupa bujukan dan rayuan serta kecantikan yang dimiliki yang dipergunakan untuk mempengaruhi agar dapat menggapai sebuah kekuasaan, seorang perempuan pop ternyata mempunyai sebuah tujuan dalam penggapaian kekuasaannya terhadap laki-laki yang diceritakan dalam lirik lagu

116

sebagai kekasihnya, yaitu ingin menguasai harta atau kekayaan yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. Dengan alasan sebuah status atas citra diri yang lebih, bahwa dengan sebuah kekayaan seseorang dapat dipandang oleh orang lain dan tidak dipandang sebelah mata. Karena perempuan pop merupakan perempuan yang hidup di era konsumerisme yang dapat terjebak pada suatu gaya hidup, dan dengan sebuah kekayaan dia dapat mempunyai gaya hidup yang dia ingini. Dari pandangan akan harta tersebut yang menyebabkan seorang perempuan pop mempunyai

pandangan dan pemikiran bahwa semua manusia sama yang tidak dibedakan. Bahwa laki-laki adalah sebuah dominasi dan

perempuan merupakan subordinasi, merupakan stereotipe yang dipatahkan olehnya. Dan hal tersebut sah-sah saja apabila seorang perempuan pop mempunyai sebuah kuasa dari laki-laki yang menjadi kekasihnya dengan tujuan, menguasai harta yang dimiliki laki-laki tersebut. Hal ini dapat disimak dalam reff bait pertama harta, kau buta karnanya, reff bait kedua kau anggap semua sama, dan reff bait ketiga pria dijajah wanita.

V.2. Saran Adapun saran dari peneliti bahwa seorang perempuan harusnya dikembalikan dalam kodratnya sebagai perempuan layaknya dalam sistem patriarki yang menganggap seorang perempuan tidak berhak atas

117

kuasa apapun. Laki-laki tetap merupakan pemimpin terutama dalam sebuah rumah tangga. Akan tetapi bukan berarti sangat membatasi gerak seorang perempuan, yang dimaksud adalah bahwa seorang perempuan harus menyadari akan kodratnya. Mana yang harus dia lakukan dan mana yang harus dia batasi, supaya kekurang ajaran seperti yang digambarkan dalam lirik lagu ini tidak dilakukan. Seorang perempuan walaupun dia mempunyai batas-batas dalam sebuah stereotipe yang dikonstruksi oleh masyarakat, dia dapat menjadi sebuah penentu. Seperti hal-nya sebuah pepatah perempuan adalah tiang negara. Sama hal-nya seorang ibu yang dapat

membesarkan anaknya dengan baik sehingga anaknya dapat menjadi tumbuh dewasa dan menjadi orang yang berguna. Dan perempuan yang kembali ke kodratnya adalah seorang perempuan yang menyadari akan batas-batas yang diberikan padanya. Dengan batas-batas tersebut seorang perempuan bukannya ditindas atau dijajah, melainkan

dilindungi.

118

DAFTAR PUSTAKA Adlin, Alfathri, 2006. Resistensi Gaya Hidup: Teori Dan Realitas, Yogyakarta : Jalasutra. Arivia, Gadis, 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati, Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Audifax, 2006. Imagining Lara Croft: Psikosemiotika, Hiperealitas dan Simbol-simbol Ketaksadaran, Yogyakarta : Jalasutra. Bainar, 1998, Wacana Perempuan Dalam Ke Indonesiaan Kemoderenan, Yogyakarta : PT. Pustaka Cidesindo. dan

Bertens, K, 2001, Filsafat barat Kontemporer Prancis, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Brooks, Ann, 1997. Posfeminisme & Cultural Studies: Sebuah Pengantar Paling Komperhensif, Yogyakarta : Jalasutra. Budiman, Kris, 2004. Semiotika Visual, Yogyakarta : Penerbit Buku Baik. Fakih, Mansour, 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Handayani, Christina S. Ardhian Novianto, 2004. Kuasa Wanita Jawa, LkiS Yogyakarta. Harijani, Donirckro, 2001. Etos Kerja Perempuan Desa, Yogyakarta : Philosophy Press Harland, Richard. 2006. Superstrukturalisme: Pengantar Komperhensif Kepada Semiotika, Strukturakisme, dan Postrukturalisme, Yogyakarta : Jalasutra. Ibrahim, Idi Subandy 1997. Lifestyle Ecstasy: kebudayaan pop dalam masyarakat komoditas Indonesia, Yogyakarta : Jalasutra. Kurniawan, 2001. Semiologi INDONESIATERA. Roland Barthes, Penerbit Yayasan

Moleong, Lexy, 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

119

Mosse, Julia Cleves, 1996. Gender dan Pembangunan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mulyana, Deddy, 2001. Pengantar Ilmu Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Mustaqim, Abdul, 2003. Tafsir Feminisme Yogyakarta : PT. Sabda Persada. Vs Tafsir Patriarki,

Prabasmoro, Aquarini Priyatna, 2006. Kajian Budaya Feminis: Tubuh, Sastra, dan Budaya Pop, Yogyakarta : Jalasutra. Purwasito, Andik, 2003. Komunikasi Multikultural, Surakarta: Muhhamadiyah University Press Rakhmat, Jalaludin, 2003. Psikologi Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Ridjal, Fauzie, 1993. Dinamika Gerakan Perempuan Di Indonesia, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya. Piliang, Yasraf Amir, 2003. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna, Yogyakarta : Jalasutra. Sarup, Madan, 2003. Post-Strukturalism End Postmodernism, Jendela, Yogyakarta. Storey, John, 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Yogyakarta : Jalasutra. Sobur, Alex, 2003. Semiotika Komunikasi, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Sylado, Remi, 1991. Seni Dalam Masyarakat Indonesia, Yogyakarta : Duta Wacana University Press ___________, 2001. Analisis Teks Media, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Tong, Rosemarie Putnam, 2004. Feminist Thought: Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, Yogyakarta : Jalasutra. Van Zoest, Aart.1993. Semiotika Tentang Tanda, Cara Bekerjanya dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya, Jakarta : Yayasan Sumber Agung

120

Non Buku : Haryogo, Dhimas, 2006. SEMIOLOGI MURAL GRAFITTI (Studi semiologi gambar mural grafitti, versi tulisan Surabaya di dinding Jl.Gubeng Pojok), Skripsi, Surabaya : FIA, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN Veteran. Setianingsih, Ida, 2003. Penggambaran Perempuan Dalam Lirik Lagu, Skripsi, Surabaya : FIA, Jurusan Ilmu Komunikasi UPN Veteran.

http://en.wikipedia.org/wiki/Indie_(music) http://www.Geocities.Com www.sekitarkita.com www.parasindonesia.com www.mediaisnet.org http://www.mailarchive.com/reformasitotal@yahoogroups.com/msg01513.htm http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/postcolonial.ht ml http://www.suarapembaruan.com/News/2004/10/14/Hiburan/hib02.ht m http://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan

121

Anda mungkin juga menyukai