Anda di halaman 1dari 83

Phenobarbital

nama dagang - Luminal Sodium - Fenobarbital

dosis Dosis: oral : 60-180 mg (malam). Anak 5-8 mg/kg/hari. Injeksi i.m./i.v. 50-200 mg, ulang setelah 6jam bila perlu, maksimal 600mg/hari. Encerkan dalam air 1:10 untuk i.v. Status epileptikus (tersedia di ICU): i.v. kecepatan tak lebih dari 100mg/menit, sampai bangkitan teratasi atau sampai maksimal 15mg/kg/hari tercapai. (IONI) Farmakologi Fenobarbital adalah antikonvulsan turunan barbiturat yang efektif dalam mengatasi epilepsi pada dosis subhipnotis.

indikasi Sebagai antikonvulsi, fenobarbital digunakan dalam penanganan seizure tonik-klonik (grand mal) dan seizure parsial. Fenobarbital dapat digunakan dalam pengobatan awal, baik untuk bayi maupun anak-anak.

kontraindikasi Hipersensitif terhadap barbiturat atau komponen sediaan, gangguan hati yang jelas, dispnea, obstruksi saluran nafas, porfiria, hamil.

efek samping Mengantuk, kelelahan, depresi mental, ataksia dan alergi kulit, paradoxical excitement restlessness, bingung pada orang dewasa dan hiperkinesia pada anak; anemia megaloblastik(dapat diterapi dengan asam folat)

interaksi - Dengan Obat Lain : Alkohol : Meningkatkan efek sedatif. Antiaritmia : Metabolisme disopiramid dan kinidin ditingkatkan (kadar plasma diturunkan) Antibakteri : Metabolisme kloramfenikol, doksisiklin, dan metronidazol dipercepat (efek berkurang). Antikoagulan : metabolisme nikumalon dan warfarin dipercepat (mengurangi efek antikoagulan). Antidepresan : antagonisme efek antikonvulsan (ambang kejang menurun); metabolisme mianserin dan trisiklik dipercepat (menurunkan kadar plasma). Antiepileptika : pemberian bersama dengan fenobarbital dapat meningkatkan toksisitas tanpa disertai peningkatan efek antiepileptik; disamping itu interaksi dapat menyulitkan pemantauan terhadap pengobatan; interaksi termasuk peningkatan efek, peningkatan sedasi, dan penurunan kadar plasma. Antijamur : fenobarbital mempercepat metabolisme griseofulvin (mengurangi efek). Antipsikotik : antagonisme efek antikonvulsan (ambang kejang diturunkan). Antagonis-Kalsium : efek diltiazem, felodipin, isradipin, verapamil,dan mungkin nikardipin dan nifedipin dikurangi. likosida jantung : hanya metabolisme digitoksin yang dipercepat (mengurangi efek). Kortikosteroida : metabolisme kortikosteroid dipercepat (menurunkan efek). Siklosporin : metabolism siklosporin dipercepat (mengurangi efek). Antagonisme hormon : metabolisme toremifen mungkin dipercepat. Estrogen dan Progestogen : metabolisme gestrinon, tibolon, dan kontrasepsi oral dipercepat (menurunkan efek kontraseptif). Teofilin : metabolisme teofilin dipercepat (mengurangi efek). Tiroksin : metabolisme tiroksin dipercepat (dapat meningkatkan kebutuhan akan tiroksin pada hipotiroidisme). Vitamin : kebutuhan akan vitamin D mungkin meningkat

- Dengan Makanan : Dapat menyebabkan penurunan vitamin D dan kalsium.

mekanisme kerja Barbiturat menekan korteks sensor,menurunkan aktivitas motorik, mempengaruhi fungsi serebral dan menyebabkan kantuk, efek sedasi dan hipnotik. Pada dosis tinggi barbiturat memiliki sifat antikonvulsan, dan menyebabkan depresi saluran nafas yang dipengaruhi dosis.

bentuk sediaan Tablet, Cairan Injeksi parameter monitoring Konsentrasi serum fenobarbital, status/ kondisi mental, CBC, LFTs, aktivitas seizure

stabilitas penyimpanan Lindungi eliksir dari sinar matahari, tidak stabil dalam larutan air; gunakan hanya larutan jernih; jangan ditambahkan larutan asam, akan terbentuk endapan; bentuk IV tidak tercampurkan dengan benzquinamid (dalam syringe; vancomisin, sefalotin, klorpromasin, hidralasin, hidrokortison, hidroksizin, insulin levorpanol, meperidin, metadon, morfin, norepineprin, pentazosin, proklorferazin, promazin, ranitidin (dalam syringe)

MOVILEPS

Komposisi:
MOVILEPS INFATAB Tiap tablet mengandung: Fenitoin natrium 50 mg MOVILEPS KAPSUL Tiap kapsul mengandung: Fenitoin natrium 100 mg

Cara kerja obat:


Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang. Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonik-klonik (grand mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22 jam (antara 7-42 jam).

Indikasi:
Fenitoin diindikasikan untuk mengontrol keadaan kejang tonik-klonik (grand mal) dan serangan psikomotor temporal lobe.

Kontraindikasi:
Pasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk hidantoin lain.

Posologi:

Kemungkinan diperlukan penyesuaian dosis dan monitoring level serum bila terjadi perubahan dari pemakaian bentuk free acid menjadi bentuk garam natriumnya dan sebaliknya karena fenitoin bentuk free acid mengandung kadar fenitoin 8% lebih tinggi dibanding bentuk sediaan garam natriumnya. Dosis harus disesuaikan dengan keadaan penderita dan konsentrasi plasma harus dimonitor. Dewasa: Dosis awal: 300 mg sehari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis pemeliharaan: 300-400 mg atau 3-5 mg/kg BB sehari (maksimal 600 mg sehari).

Anak-anak: Dosis awal 5 mg/kg BB sehari dibagi dalam 2-3 dosis dan tidak lebih dari 300 mg sehari. Dosis pemeliharaan awal yang dianjurkan: 4-7 mg/kg BB sehari. Anak usia lebih dari 6 tahun dapat diberikan dosis minimal dewasa (300 mg sehari).

Efek samping:
Susunan Saraf pusat: manifestasi paling sering yang berhubungan dengan terapi fenitoin dengan SSP biasanya tergantung dosis. Efek samping ini berupa nistagmus, ataksia, banyak bicara, koordinasi menurun dan konfusi mental, pusing, susah tidur, gelisah, kejang motorik dan sakit kepala. Saluran cerna: mual, muntah dan konstipasi. Kulit: kelainan dermatologik berupa ruam kulit skarlatimiform atau morbiliform kadang-kadang disrtai dengan demam. Bentuk lebih serius dapat berupa dermatitis eksfoliativ, lupus eritematosus, sindroma Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik. Sistem hemopoetik: efek samping yang dapat bersifat fatal ini kadang-kadang dilaporkan terjadi. Hal ini dapat berupa trombositopenia leukopenia, granulositopenia, agranulositosis, pansitopenia dengan atau tanpa supresi sumsum tulang. Jaringan penunjang: muka menjadi kasar, bibir melebar, hiperplasia gusi, hipertrikosis dan penyakit peyroni. Kardiovaskular: periarterisis nodosa. Imunologik: sindroma sensitifitas, lupus eritromatosus sistemik dan kelainan immunoglobulin.

Peringatan dan perhatian:


Bila diperlukan pengurangan dosis, penghentian pengobatan harus dilakukan bertahap. Pada kasus terjadi alergi atau reaksi hipersensitifitas, kemungkinan diperlukan terapi alternatif yang bukan dari golongan hidantoin. Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi hati, usia lanjut. Fenitoin dapat meningkatkan kadar glukosa pada pasien diabetes. Fenitoin tidak diindikasikan untuk kejang yang disebabkan oleh hipoglikemia atau kasuskasus lain yang belum pasti. Osteomalasia telah dihubungkan dengan terapi fenitoin dan disebabkan pengaruh fenitoin terhadap metabolisme vitamin D.

Penderita harus diobservasi bila terjadi tanda-tanda adanya depresi pernafasan. Fenitoin tidak efek untuk kejang petit mal. Jika terjadi campuran antara kejang tonik-kronik (grand mal) dan kejang petit mati, pengobatan harus dilakukan dengan obat kombinasi. Fenitoin harus dihentikan jika timbul ruam kulit. Pada penggunaan jangka panjang, harus dilakukan pemeriksaan darah secara kontinu. Tidak dianjurkan penggunaan pada wanita hamil dan menyusui. Pasien diingatkan pentingnya menjaga kebersihan gigi untuk mengurangi berkurangnya hiperplasia gusi dan komplikasinya.

Interaksi obat:
Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar fenitoin yaitu: asupan alkohol akut, amiodaron, kloramfenikol, klordiazepoksid, diazepam, dikumarol, disulfiram, estrogen, H2-antagonis, halotan, isoniazid, metilfenidat, fenotiazin, fenilbutazon, salisilat, suksinimid, sulfonamid, tolbutamid, trazodan. Obat-obat yang dapat menurunkan kadar fenitoin yaitu: karbamazepin, penggunaan alkohol kronis, reserpin dan sukralfat. Obat-obat yang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar fenitoin yaitu: Fenobarbital, natrium valproat dan asam valproat. Meskipun bukan interaksi obat yang sebenarnya, antidepressam trisiklik dapat menyebabkab kejang pada pasien yang peka, karena itu dosis fenitoin perlu disesuaikan. Obat-obat yang khasiatnya terganggu oleh fenitoin yaitu: kortikosteroid, antikoagulan, kumarin, digitoksin, estrogen, furosemid, kontrasepsi oral, kuinidin, rifampisin, teofilin, vitamin D.

Overdosis:
Dosis letal pada orang dewasa diperkirakan 2 sampai 5 gram. Gejala awal yang terjadi: nistagmus, ataksia dan disartria. Tanda-tanda lain adalah: tremor, hiperfleksia, letargi, banyak bicara, mual, muntah. Kemudian menjadi koma, pupil tidak beraksi dan tekanan darah menurun. Kematian terjadi akibat depresi pernafasan dan depresi sirkulatori. Penatalaksanaannya bersifat non-spesifik yaitu dengan bantuan pernafasan atau hemodialisis. Lethal dose pada anak-anak tidak diketahui.

Kemasan & No. Registrasi:


MOVILEPS INFATAB 50 : Botol plastik 100 tablet, No. Reg. DKL0105029710A1 MOVILEPS KAPSUL 100 : Botol plastik 100 tablet, No. Reg. DKL0105029801A1

HARUS DENGAN RESEP DOKTER, Simpan dalam wadah tertutup rapat, terhindar dari cahaya.

FENITOIN
FENITOIN DESKRIPSI Cara kerja obat: Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas kejang. Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap hipereksitabilitas yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan perubahan lingkungan di mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui membran. Ini termasuk penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps. Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal pusat batang otak yang berhubungan dengan fase tonik dari kejang tonikklonik (grand mal). Waktu paruh plasma setelah pemberian oral rata-rata adalah 22 jam (antara 7-42 jam). Nama dan Struktur Kimia : 5,5-Difenilhidantoin Sifat Fisikokimia : Serbuk,putih,tidak berbau,melebur pada suhu lebih kurang 295C.. Kelarutan praktis tidak larut dalam air,larut dalam etanol panas,sukar Larut dalam etanol dingin dalam kloroform dan dalam eter (FI IV). Golongan / Kelas Terapi : Antiepilepsi, Antikonvulsi Nama Dagang : - Kutoin 100 - Movileps - Phenilep - Zentropil - Dilantin Indikasi Terapi pada semua jenis epilepsi, kecuali petit mal; status epileptikus (IONI p.153). Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian Oral : dosis awal 3-4 mg/kg/hari atau 150-300 mg/hari, dosis tunggal atau terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan bertahap. Dosis lazim : 300 - 400 mg/hari, maksimal 600 mg/hari. ANAK : 5 - 8 mg/kg/hari, dosis tunggal/terbagi 2 kali sehari. Status epileptikus : i.v. lambat atau infus, 15 mg/kg, kecepatan maksimal 50 mg/menit (loading dose). Dosis pemeliharaan sekitar 100 mg diberikan sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor kadar plasma. Pengurangan dosis berdasar berat badan.(IONI p.153). Farmakologi Fenitoin menghambat zat - zat yang bersifat antiaritmia. Walaupun obat ini memiliki efek yang kecil terhadap perangsangan elektrik pada otot jantung, tetapi dapat menurunkan kekuatan kontraksi, menekan pacemaker action, meningkatkan konduksi antrioventrikular, terutama setelah ditekan oleh glikosida digitalis. Obat ini dapat menimbulkan hipotensi jika diberikan secara intravena. Fenitoin memiliki aktivitas hipnotik yang kecil. (AHFS p.2132). Stabilitas Penyimpanan Sediaan fenitoin tablet dan suspensi oral harus disimpan dalam wadah yang tertutup rapat pada temperatur ruang tidak lebih dari 30C. Sediaan fenitoin lepas lambat harus terhindar dari cahaya dan kelembaban. Sediaan fenitoin suspensi oral tidak boleh dibekukan dan terhindar dari cahaya. Fenitoin injeksi harus disimpan pada suhu 15 - 30C dan tidak boleh dibekukan. Endapan dapat timbul jika injeksi fenitoin didinginkan atau dibekukan, tetapi dapat melarut kembali pada temperatur kamar. Injeksi fenitoin tidak boleh digunakan jika

larutan tidak jernih atau terdapat endapan, tetapi larutan injeksi fenitoin kadang berwarna sedikit kekuningan yang tidak mempengaruhi efektivitas obat. Endapan dari fenitoin bebas timbul pada pH <= 11,5. (AHFS p.2136). Kontraindikasi Hipersensitif terhadap fenitoin atau hidantoin lain, komponen sediaan obat, kehamilan. Posologi: Kemungkinan diperlukan penyesuaian dosis dan monitoring level serum bila terjadi perubahan dari pemakaian bentuk free acid menjadi bentuk garam natriumnya dan sebaliknya karena fenitoin bentuk free acid mengandung kadar fenitoin 8% lebih tinggi dibanding bentuk sediaan garam natriumnya. Dosis harus disesuaikan dengan keadaan penderita dan konsentrasi plasma harus dimonitor. Dewasa: Dosis awal: 300 mg sehari dibagi dalam 2-3 dosis. Dosis pemeliharaan: 300-400 mg atau 3-5 mg/kg BB sehari (maksimal 600 mg sehari). Anak-anak: Dosis awal 5 mg/kg BB sehari dibagi dalam 2-3 dosis dan tidak lebih dari 300 mg sehari. Dosis pemeliharaan awal yang dianjurkan: 4-7 mg/kg BB sehari. Anak usia lebih dari 6 tahun dapat diberikan dosis minimal dewasa (300 mg sehari).

Efek Samping Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia, neuropati perifer, hipertrofi gingiva, ataksia, bicara tak jelas, nistagmus, penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam, hepatitis, lupus eritematosus, eritema multiform, efek hematologik (leukopenia, trombositopenia, agranulositosis). (IONI p.153) Interaksi - Dengan Obat Lain : Analgetik : Kadar plasma fenitoin dinaikkan oleh asetosal, azapropazon dan fenilbutazon. Antasida : Menurunkan absorpsi fenitoin. Antiaritmia : Amiodaron menaikkan kadar plasma fenitoin; fenitoin menurunkan kadar plasma disopiramid, meksiletin, dan kinidin. Antibakteri : Kadar plasma fenitoin dinaikkan oleh kloramfenikol, sikloserin, isoniazid dan metronidazol; kadar plasma fenitoin dan efek antifolat ditingkatkan oleh kotrimoksazol dan trimetoprim dan mungkin juga oleh sulfonamida lain; kadar plasma fenitoin diturunkan oleh rifamisin; kadar plasma doksisiklin diturunkan oleh fenitoin. Antikoagulan : Metabolisme nikumalon dan warfarin dipercepat (kemungkinan efek antikoagulan menurun, tetapi juga dilaporkan adanya peningkatan) Antidepresan : Antagonisme efek antikonvulsan (ambang kejang diturunkan); fluoksetin, fluroksamin, dan viloksazin menaikkan kadar plasma fenitoin; fenitoin menurunkan kadar plasma mianserin, paroksetin, dan trisiklik. Antidiabetik : Kadar plasma fenitoin untuk sementara ditingkatkan oleh tolbutamid (kemungkinan toksisitas) Antiepileptik lain : Pemberian bersama dua atau lebih antiepileptik dapat meningkatkan toksisitas tanpa diikuti peningkatan khasiat anti epileptik; selain itu interaksi antar antiepileptik dapat menyulitkan pemantauan pengobatan; interaksi meliputi peningkatan efek, peningkatan sedasi,dan penurunan kadar plasma.

Antijamur : Kadar plasma fenitoin dinaikkan oleh flukonazol dan mikonazol; kadar plasma itrakonazol dan ketokonazol diturunkan Antimalaria : Antagonisme efek antikonvulsan; peningkatan risiko efek antifolat dengan pirimetamin Obat-obat antiplatelet : Kadar plasma fenitoin ditingkatkan oleh asetosal Antipsikotik : Antagonisme efek antikonvulsan (ambang kejang direndahkan); fenitoin mempercepat metabolisme klozapin dan sertindol (menurunkan kadar plasma) Antivirus : Kadar plasma fenitoin dinaikkan atau diturunkan oleh zidovudin Ansiolitik dan hipnotik : Diazepam dan mungkin benzodiazepin lain menaikkan atau menurunkan kadar plasma fenitoin. Antagonis kalsium : Diltiazem dan nifedipin menaikkan kadar plasma fenitoin; efek felodipin, isradipin, dan mungkin diltiazem, nikardipin, nifedipin, dan verapamil dikurangi. Glikosida jantung : metabolisme digitoksin (hanya digitoksin) dipercepat (menurunkan efek) Kortikosteroida : metabolime kortikosteroida dipercepat (menurunkan efek) Siklosporin : Metabolisme siklosporin dipercepat (menurunkan kadar Plasma) Sitotoksika : Mengurangi absorpsi fenitoin; efek antifolat dinaikkan dengan metotreksat Disulfiram : Kadar plasma fenitoin dinaikkan Estrogen dan progesteron : Metabolisme gestrinon, tibolon, dan kontrasepsi oral dipercepat (menurunkan efek kontrasepsi) Simpatomimetik : Kadar plasma fenitoin dinaikkan oleh metilfenidat Teofilin : Metabolisme teofilin dipercepat Tiroksin : Metabolisme tiroksin dipercepat (bisa menaikkan kebutuhan akan tiroksin pada hipotiroidisme) Obat - obat antiulkus : Simetidin menghambat metabolisme (menaikkan kadar plasma fenitoin); sukralfat mengurangi absorpsi; omeprazol menambah efek fenitoin Urikosurika : Kadar plasma fenitoin ditingkatkan oleh sulfinpirazon Vaksin : Efek dinaikkan oleh vaksin influenza Vitamin : Kadar plasma fenitoin kadang diturunkan oleh asam folat; kebutuhan akan vitamin D mungkin meningkat - Dengan Makanan : Makanan dapat mempengaruhi kadar obat dalam darah. Jika diberikan bersamaan dengan nutrisi enteral, bioavailabilitas fenitoin akan turun. Nutrisi enteral diberikan 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fenitoin. Dapat menurunkan kadar kalsium, asam folat dan vitamin D yang berasal dari makanan. Overdosis: Dosis letal pada orang dewasa diperkirakan 2 sampai 5 gram. Gejala awal yang terjadi: nistagmus, ataksia dan disartria. Tanda-tanda lain adalah: tremor, hiperfleksia, letargi, banyak bicara, mual, muntah. Kemudian menjadi koma, pupil tidak beraksi dan tekanan darah menurun. Kematian terjadi akibat depresi pernafasan dan depresi sirkulatori. Penatalaksanaannya bersifat non-spesifik yaitu dengan bantuan pernafasan atau hemodialisis. Lethal dose pada anak-anak tidak diketahui. Pengaruh - Terhadap Kehamilan : Faktor resiko kelas D : Terbukti positip dapat berisiko menyebabkan kematian pada janin. Tetapi jika manfaat pemberian melebihi risiko yang dapat ditimbulkan terhadap ibu hamil maka dapat digunakan(misal: jika obat dibutuhkan pada keadaan mengancam jiwa atau untuk penyakit serius dimana tidak ada obat lain yang lebih aman untuk dapat digunakan) (Lexy-

comp p.940) Malformasi kongenital, suplemen asam folat yang cukup harus diberikan pada ibu hamil (mis.asam folat 5 mg/hari). Ada kemungkinan dapat menyebabkan defisiensi vitamin K dan risiko perdarahan neonatus. Jika vitamin K tidak diberikan sewaktu masa akan melahirkan, maka neonatus harus diawasi dengan ketat jika terdapat tanda - tanda perdarahan. (BNF -51 p.243) - Terhadap Ibu Menyusui : Terdapat dalam air susu Ibu dalam jumlah sedikit. Sebaiknya dihindari. (BNF 51 p,243) - Terhadap Anak-anak : - Terhadap Hasil Laboratorium : Parameter Monitoring Perlu dilakukan monitoring terhadap tekanan darah, kadar fenitoin dalam darah, fungsi hati. Bentuk Sediaan Tablet, Kapsul, Suspensi Oral, Injeksi. Peringatan Hati-hati pada gangguan fungsi hati (dosis diturunkan), hindari pemutusan obat dengan tibatiba, hindari pada porifiria. (BNF 51 p.243) Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus Informasi Pasien Kocok terlebih dahulu jika menggunakan obat dengan bentuk sediaan suspensi oral. Jangan mengganti sediaan obat atau dosis tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter, jangan sampai lupa minum obat, Obat ini dapat menyebabkan kantuk, sakit kepala, ataksia, dan hilangnya koordinasi; obat ini diminum setelah atau bersama dengan makanan, jangan memecah atau membuka kapsul dari obat. (Lexy-comp p.940). Mekanisme Aksi Menstabilisasi membran saraf dan menurunkan aktivitas kejang dengan meningkatkan eflux atau menurunkan effux dari ion natrium yang melewati membran sel pada kortek motorik dari impuls saraf. Memperpanjang effective refractory period dan memperpendek potensial aksi di jantung. (Lexy-comp p.940) Peran dan Tanggung jawab perawat sehubungan dengan pemberian obat: Perawat harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang memadai mengenai obat. Mendukung keefektivitasan obat. Mengobservasi efek samping dan alergi obat Menyimpan, menyiapkan dan administrasi obat Melakukan pendidikan kesehatan tentang obat Perawatan, pemeliharaan dan pemberian banyak obat-obatan merupakan tanggung jawab besar bagi perawat. Kesalahan dapat terjadi pada instruksi, pembagian, penamaan dan pengintrepretasian instruksi sesuai dengan penatalaksanaan obat. Di RS : meskipun bagian farmasi yang bertanggung jawab untuk penyimpanan, penamaan dan distribusi obat ke ruangan merupakan tanggung jawab perawat Obat harus tidak diberikan perawat tanpa membawa resep tertulis kecuali pada saat kegawatan Tanggung jawab ini hanya bisa dilimpahkan dengan persetujuan dari petugas yang memiliki wewenang.

Peran perawat dilihat dari batas kewenangannya sbb: 1. Peran independen: merupakan peran dimana perawat secara legal dapat melakukan tindakan secara mandiri 2. Peran dependen: Perawat tergantung kepada profesi lain 3. Peran Interdependen: (kolaborasi) peran dimana perawat melakukan tindakan terhadap masalah kesehatan yang memerlukan penanganan bersama. Pengetahuan Farmakologi yang harus dimiliki perawat : Dosis Mekanisme Kerja Obat Mekanisme tubuh Efek Obat Efek Samping Obat Cara Pemberian obat Interaksi obat dengan bahan lain Makna pemberian obat Perilaku dan persepsi pasien dalam menerima terapi obat Efek Obat : Efek terapeutik efek yang dinginkan, efek utama ex: morfin sulfat adalah analgetik, diazepam mnghilangkan kcemasan Efek samping efek yang tidak diinginkan, biasanya dapat diprediksi ex: digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi miokard tapi efek sampingnya mual muntah Toksisitas obat efek yang merusak terhadap organisme aatau jaringan sebagai akibat overdosis ex:depresi pernafasan akibat penumpukan morfin sulfat dalam tubuh. Alergi obat Reaksi immunologi terhadap suatu obat.dapat ringan atau berat. Bervariasi mulai dari ruam kulit sampai diare berat yaitu syok anapilaktif PEMBERIAN OBAT Prinsip 5 Benar : 1. Benar order (dosisnya) 2. Benar obat 3. Benar pasien 4. Benar cara pemberian 5. Benar waktu pemberian 6. Benar pendokumentasiannya. Pada dasarnya ada empat jenis order pengobatan: 1. Staat order (perintah segera), mendadak, cyto hanya berlaku satu kali 2. Single order (perintah tunggal), Satu kali pemberian pada saat tertentu, namun tidak segera diberikan. SA (Sulfa atropin) untuk persiapan operasi 3. Standing order (perintah tetap) jangka waktu tertentu, misalnya gentamicin 500 mg selama 7 hari pada pasien post op. 4. perintah kalau perlu diberikan jika dperlukan saja, ex: asam mefenamat untuk nyeri. Daya kerja obat secara fisiologis# Faktor fisiologis yang mempengaruhi reaksi obat: 1. Absorpsi obat Obat bergerak dari sumber ke dalam aliran darah, kecuali topical drugs Faktor yang mempengaruh : Cara pemberian, jenis obat, makanan,keadaan pasien.

2. Pergerakan obat dalam tubuh. Absorpsi darah dan di dalam limfatik, ke luar melalui sel, masuk ke jaringan Faktor yang mempengaruhi sirkulasi cairan tubuh: Keseimbangan cairan dan elektrolit Cardiac patologik 3. Metabolisme obat Sirkulasi obat jaringan berinteraksi dengan sel perubahan zat kimia menjadi lebih efektif bereaksi diekskresi hati darah mucosa usus, dan ginjal 4. Ekskresi obat Obat setelah bereaksi keluar melalui Ginjal urine Intestinal Faeces Paru-paru udara Yang mempengaruhi reaksi obat: Usia dan BB Jenis kelamin Faktor psikologis Kondisi sakit kronik Waktu dan cara pemberian Lingkungan DAFTAR PUSTAKA http://meetabied.blogspot.com/2010/03/hal-hal-yang-perlu-diketahui-dalam.html http://lihatdarisini.blogspot.com/2009/10/fenitoin.html theodorus,1996,Penuntun Praktis Peresepan Obat, Staf Pengajar Laboratorium Farmakologi F.K.UNSRI,Jakarta,EGC

PENGGUNAAN FENOBARBITAL DALAM TERAPI


23 Dec 2010 sumarheni

Fenobarbital sudah lama dipasarkan pada tahun 1912 oleh perusahaan Bayer dengan menggunakan merek luminal. Dan digunakan oleh dokter di Jerman untuk membunuh anak yang lahir dengan deformitas, yang saat itu merupakan kebijakan Nazi, Jerman. Dulu juga digunakan untuk penyakit kuning dan profilaxis pada kejang demam Fenobarbital (fee-no-BAR-bih-tal) adalah obat anti-epilepsi yang mempunyai sejarah panjang. Obat ini pertama kali digunakan sebagai obat anti-epilepsi pada tahun 1912. Fenobarbital digunakan untuk pengobatan epilepsi tonik-klonik, epilepsi kompleks atau parsial simpel pada orang dewasa dan anak-anak. Fenobarbital juga digunakan untuk epilepsi miklonik (myclonic). Obat ini pernah menjadi obat first line, namun sekarang menjadi obat second-line karena efek samping yang ditimbulkannya yaitu efek penenang, depresi dan agitasi. Fenobarbital merupakan obat antiepilepsi atau antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif rendah, murah, efektif, dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah dosis untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive. Manfaat terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata (grand mall) dan serangan fokal kortikal. FENOBARBITAL Berdasarkan masa kerjanya, turunan barbiturate dibagi menjadi 4, yaitu: 1. Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih) Contohnya : barbiturat, metarbital, fenobarbital 2. Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam) Contoh : alobarbital, amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital berguna untuk mempertahankan tidur dalamjangka waktu yang panjang 3. Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam) Contoh : sekobarbital, dan pentobarbital, yang digunakan untuk menimbulkan tidur untuk orang yang sulit jatuh tidur. 4. Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam) Contoh : thiopental yang digunakan untuk anestesi umum. Barbiturat sejak lama digunakan sebagai hipnotika dan sedative, tetapi penggunaanya sejak tahun 1980-an telah sangat menurun karena adanya obat-obat dari kelompok benzodiazepine yang lebih aman. Yang merupakan pengecualian adalah fenobarbital yang memiliki sifat antikonvulsif. Barbital digunakan sebagai obat pereda untuk siang hari dalam dosis yang lebih rendah dari dosisnya sebagai obat tidur, yakni -1/6 kalinya. Fenobarbital (Luminal) merupakan senyawa organik kejang pertama yang efektif. Senyawa ini memiliki toksisitas yang relative rendah, tidak mahal, dan masih merupakan salah satu obat yang efektif dan lebih banyak digunakan untuk kejang. Hubungan struktur-aktivitas. Rumus struktur fenobarbital (asam 5-fenil-5-etilbabiturat) hubungan struktur aktifitas barbiturate telah banyak diteliti. Aktivitas kejang maksimal

diperoleh jika satu substituent pada posisi 5 berupa gugus fenil. Turunan 5,5-difenil mempunyai potensi kejang lebih lemah dibandingkan dengan fenobarbital tetapi hampir tanpa aktivitas hipnotik. Sebaliknya, asam 5,5-dibenzil barbiturat menyebabkan konvulsi. Sifat-sifat kejang, kebanyakan barbiturat mempunyai sifat kejang. Namun, kapasitas beberapa senyawa barbiturat untuk memberikan kerja kejang yang maksimal pada dosis yang lebih rendah dari dosis yang diperlukan untuk hypnosis menentukan kegunaan klinisnya sebagai obat kejang, contohnya fenobarbital. Fenobarbital aktif pada kebanyakan uji anti kejang pada hewan tetapi relative tidak selektif. Obat ini menghambat ekstensi tonik tungkai belakang pada hewan berkaki empat pada elektrosyok maksimal, kejang klonik yang dipicu oleh pentilentetrazol, dan kejang kindled. Mekanisme kerja Mekanisme kerja menghambat kejang kemungkinan melibatkan potensiasi penghambatan sinaps melalui suatu kerja pada reseptor GABAA, rekaman intrasel neuron korteks atau spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa fenobarbital meningkatkan respons terhadap GABA yang diberikan secara iontoforetik. Efek ini telah teramati pada konsentrasi fenobarbital yang sesuai secara terapeutik. Analisis saluran tunggal pada out patch bagian luar yang diisolasi dari neuron spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa fenobarbital meningkatkan arus yang diperantarai reseptor GABA dengan meningkatkan durasi ledakan arus yang diperantarai reseptor GABA tanpa merubah frekuensi ledakan. Pada kadar yang melebihi konsentrasi terapeutik, fenobarbital juga membatasi perangsangan berulang terus menerus; ini mendasari beberapa efek kejang fenobarbital pada konsentrasi yang lebih tinggi yang tercapai selama terapi status epileptikus. Sifat Farmakokinetik Fenobarbital diabsorbsi secara lengkap tetapi agak lambat; kosentrasi puncak dalam plasma terjadi beberapa jam setelah pemberian suatu dosis tunggal. Sebanyak 40% sampai 60% fenobarbital terikat pada protein plasma dan terikat dalam jumlah yang sama diberbagai jaringan, termasuk otak. Sampai 25 % dari suatu dosis dieliminasi melalui eksresi ginjal yang tergantung PH dalam bentuk tidak berubah; sisanya diinaktivasi oleh enzim mikrososm hati. Sitokrom P450 yang paling bertanggung jawab adalah CYP2C9, dengan sedikit metabolism oleh CYP2C19 dan 2El. Fenobarbital menginduksi enzim uridin difosfa glukuronosil transferase(UGT) dan sitokrom P450 subfamili CYP2C dan 3 A. obat-obat yang dimetabolisme oleh enzim-enzim ini dapat terurai lebih cepat jika diberikan bersama fenobarbital; yang penting, kontrasepsi oral dimetabolisme oleh CYP3A4. Toksisitas Sedasi merupakan efek yang tidak diharapkan dari fenobarbital yang paling sering terjadi yang tampak pada semua pasien pada awal terapi. Tingkat sedasi yang terjadi berbeda-beda tetapi selama pengobatan kronis berkembang toleransi terhadap efek ini. Nistagmus dan ataksia terjadi pada dosis belebih. Fenobarbital kadang-kadang menyebabkan kondisi mudah marah dan hiperaktivitas pada anak-anak, serta agitasi dan kebingungan pada lanjut usia. Ruam yang mirip scarlet atau morbili, mungkin disertai dengan manifestasi alergi obat lainnya, terjadi pada 1% sampai 2% pasien. Dermatitis eksfoliatif jarang terjadi. Hipoprotrombinemia yang disertai hemoragia teramati pada bayi baru lahir yang ibunya

menggunakan fenobarbital selama kehamilan; vitamin K efektif untuk penanganan atau profilaksis. Anemia megaloblastik yang berespons terhadap folat dan osteomalasia yang berespons terhadap vitamin D dosis tinggi terjadi selama terapi epilepsy dengan fenobarbital jangka panjang, seperti yang terjadi selama pengobatan dengan fenitoin. Konsentrasi obat dalam plasma, selama terapi jangka panjang pada orang dewasa, konsentrasi fenobarbital dalam plasma rata-rata 10g/ml dengan dosis sehari 1 mg/kg; pada anak-anak besarnya 5 sampai 7g/ml dengan dosis 1 mg/kg. meskipun tidak ada hubungan yang pasti antara hasil terapeutik dan konsentrasi obat dalam plasma, biasanya disarankan konsentrasi plasma 10 sampai 35g/ml untuk mengendalikan kejang; kadar minimal untuk pencegahan konvulsi demam adalah 15g/ml. Hubungan antara konsentrasi fenobarbital dalam plasma dan efek merugikan beragam sesuai dengan perkembangan toleransi. Sedasi, nistagmus dan ataksia biasanya tidak terjadi pada konsentrasi dibawah 30 g/ml selama terapi jangka panjang, tetapi efek-efek merugikan mungkin tampak selama beberapa hari pada konsentrasi yang lebih rendah saat dimulai terapi atau setiap dilakukan peningkatan dosis. Konsentrasi yang lebih besar dari 60l/mg mungkin menyebabkan intoksikasi nyata pada individu yang tidak toleran. Karena dapat terjadi toksisitas yang signifikan terhadap perilaku walaupun tidak ada tandatanda toksisitas terlihat, maka kecenderungan untuk terus memberikan fenobarbital dosis tinggi yang berlebihan pada pasien harus dihindari, terutama pada anak-anak. Konsentrasi fenobarbital dalam plasma boleh ditingkatkan diatas 30 sampai 40g/ml hanya jika peningkatan tersebut dapat diterima dengan memadai dan hanya jika hal itu membantu pengendalian kejang secara bermakna. Interaksi obat Interaksi antara fenobarbital dan obat lain biasanya melibatkan induksi sistem enzim mikrosom hati oleh fenobarbital. Konsentrasi fenobarbital dalam plasma dapat ditingkatkan sebanyak 40 % selama penggunaanya yang bersaman dengan asam valproat. Fenobarbital mengurangi kadar carbamazepin, lamotrigin, tiagabin, dan zonisamide dalam darah; phenobarnital mungkin megurangi konsentrasi ethosuximide dalam darah; konsentrasi Fenobarbital dalam darah meningkat oleh oxcarbazepin, juga kadar metabolit aktif oxcarbazepin dalam darah menurun; kadar Fenobarbital dalam darah seringkali meningkat oleh fenitoin, kadar fenitoin dalam darah seringkali berkurang tetapi dapat meningkat; efek sedasi meningkat saat barbiturate diberikan dengan primidone; kadar Fenobarbital dalam darah meningkat oleh valproat, kadar valproat dalam darah menurun; kadar Fenobarbital dalam darah mungkin berkurang oleh vigabatrin. Pengunaan terapeutik Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang tonik-klonik menyeluruh dan kejang parsial. Efikasi, toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting untuk tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan perilaku pada anak-anak telah mengurangi pengunaanya sebagai obat utama. Golongan barbiturat, sangat efektif sebagai anti konvulsi, paling sering digunakan karena paling murah terutama digunakan pada serangan grand mal. Biasanya untuk pemakaian lama

dikombinasi dengan kofein atau efedrin guna melawan efek hipnotiknya. Tetapi tidak dapat digunakan pada jenis petit mal karena dapat memperburuk kondisi penderita. Contoh fenobarbital dan piramidon. Efek samping Penggunaan fenobarbital dapat menimbulkan efek hipnotik-sedatif. Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan mempermudah atau menyebabkan tidur, pusing, ataksia dan pada anak-anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi dengan penambahan obat-obat lain dan pada umumnya, diberikan pada malam hari. KEJANG Indikasi utama dari Fenobarbital adalah untuk pengobatan Kejang. Kejang adalah gerakan otot tonik atau klonik yang involuntar yang merupakan serangan berkala, disebabkan oleh lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan. Kejang tidak secara otomatis berarti epilepsi. Dengan demikian perlu ditarik garis pemisah yang tegas : manakah kejang epilepsi dan mana pula kejang yang bukan eplepsi. Istilah kejang bersifat generic, dan dapat dipergunakan penjelasan-penjelasan lain yang lebih spesifik sesaui karakteristik yang diamati. Kejang dapat terjadi hanya sekali atau berulang. Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolism yang terjadi bertahun-tahun disebut epilepsy . bangkitan motorik generalisata yang menyebabkan hilangnya kesadaran dan kombinasi kontraksi otot tonik-klonik yang sering disebut kejang. Tetanus, histeri, dan kejang demam bukanlah epilepsi walaupun ketiganya menunjukkan kejang seluruh tubuh. Cedera kepala yang berat, radang otak, radang selaput otak, gangguan elektrolit dalam darah, kadar gula darah yang terlalu tinggi, tumor otak, stroke, hipoksia, semuanya dapat menimbulkan kejang. Pada tahun 1981, The International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu sistem klasifikasi internasional kejang epileptik yang membagi kejang menjadi dua kelompok besar yaitu Kejang Parsial sederhana (fokal atau lokal) dan Kejang Generalisata. Kejang parsial kemudian dibagi lagi menjadi Parsial Sederhana, Parsial Kompleks, dan Parsial yang menjadi Generalisata sekunder. Kejang parsial dimulai disuatu daerah diotak, biasanya korteks serebrum. Gejala kejang ini bergantung pada lokasi focus diotak. Sebagai contoh, apabila focus terletak dikorteks sementara apabila focus motorik, maka gejala utama mungkin adalah kedutan otot; sementara, apabila focus terletak dikorteks sensorik, maka pasien mengalami gejala-gejala sensorik termasuk baal, sensasi seperti ada yang merayap dan menusuk-nusuk. Kejang sensorik biasanya disertai beberapa gerakan klonik, karena dikorteks sensorik terdapat beberapa representase motorik. Adapun yang termasuk kejang generalisata yaitu Lena (Tipikal atau Atipikal), mioklonik, klonik, tonik, tonik-klonik dan atonik. Kejang Generalisata melibatkan seluruk korteks serebrum dan diensefalon serta ditandai dengan awitan aktivitas kejang yang bilateral dan simetrik yang terjadi dikedua hemisfer tanpa tanda-tanda bafwa kejang berawal sebgai kejang fokal. Pasien tidak sadar dan tidak mengetahui keadaan sekelililingnya saat mengalami kejang. Bisa bermula dari talamus dan

struktur subkortikal lainnya. Pada EEG ditemukan kelainan secara serentak pada kedua hemisfer. Kejang generalisata memberikan manifetasi bilateral pada tubuh dan ada gejala penurunan kesadaran. Kejang generalisata diklasifikasikan menjadi atonik, tonik, klonik, tonik klonik atau kejang. Kejang tonik adalah kekakuan kontraktur pada otot-otot, termasuk otot pernafasan dengan karakteristik peningkatan mendadak tonus otot(menjadi kaku, kontraksi) wajah dan tubuh bagian atas fleksi lengan dan ekstensi tungkai, mata dan kepala mungkin berputar pada satu sisi, dan dapat menyebakan henti nafas. Kejang klonik berupa gemetar yang bersifat lebih lama dengan karakteristik gerakan menyentak, repetitive, tajam, lambat, dan tunggal atau multiple dilengan, tungkai atau torso. Jika keduanya muncul secara bersamaan maka disebut kejang tonik klonik (dahulu disebut grand mal) diawali dengan hilangnya kesadaran dengan cepat. Pasien mungkin bersuara menagis, akibat ekspirasi paksa yang disebakan oleh spasme toraks atau abdomen. Pasien kehilangan posisi berdirinya , mengalami gerakan tonik kemudian klonik dan inkontinensia urin disertai disfungsi outonom. Fase ini berlangsung beberapa detik. Sebagian kejang yang lain sulit dikelompokkan pada salah satunya dimasukkan sebagai kejang tidak terklasifikasi (Unclassified Kejang). Cara pengelompokan ini masih diterima secara luas. FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI KEJANG Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik. Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. lesi otak tengah, thalamus, dan korteks serebrum kemungkinan besar bersifat epileptogenik, sedangkan lesi diserebrum dan batang otak umumnya tidak memicu kejang. Ditingkat membrane sel, focus kejang memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi, termasuk yang berikut: Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan

Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan secara berlebihan Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam repolarisasi) yang disebakan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gammaaminobutirat (GABA). Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam basa atau elektrolit, yang menggangu homeostatis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada depolarisasi neuron. Gagngguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik. Perubahan-perubahan metabolic yang terjadi selama dan segera setelah kejang sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energy akibat hiperaktifitas neuron. Selama kejang, kebutuhan metabolic secara drastic meningkat lepas muatan listrik sel-sel saraf

motorik meningkat menjadi 1000/detik. Aliran darah otak meningkat, demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul dicairan serebrospinal selama dan setelah kejang. Secara fisiologis, suatu kejang merupakan akibat dari serangan muatan listrik terhadap neuron yang rentan di daerah fokus epileptogenik. Diketahui bahwa neuron-neuron ini sangat peka dan untuk alasan yang belum jelas tetap berada dalam keadaan terdepolarisasi. Neuronneuron di sekitar fokus epileptogenik bersifat GABA-nergik dan hiperpolarisasi, yang menghambat neuron epileptogenik. Pada suatu saat ketika neuron-neuron epileptogenik melebihi pengaruh penghambat di sekitarnya, menyebar ke struktur korteks sekitarnya dan kemudian ke subkortikal dan struktur batang otak. Dalam keadaan fisiologik neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Pada keadaan patologik, gaya yang bersifat mekanik atau toksik dapat menurunkan potensial membran neuron, sehingga neuron melepaskan muatan listriknya dan terjadi kejang. PENYAKIT-PENYAKIT NEUROLOGIS YANG MENYEBABKAN KEJANG Penyakit-penyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan dibahas tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit sistemik, tumor, trauma, infeksi, dan serebrovaskuler. Kelainan metabolik Kelainan metabolic, sebagai kelainan yang mendasari kejang, mencakup diantaranya hiponatremia dan hiponatremia. Gejala neurologik perubahan natrium serum terjadi akibat peningkatan atau penurunan volume cairan intrasel neuron dan berkaitan dengan kadar absolute kurang dari 125mEq/L atau lebih dari 150 mEq/L tetapi yang lebi penting berkorelasi dengan kecepatan terjadinya perubahan tersebut. Hiponatremia Hiponatremia terjadi bila : a) Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi b) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH (mis : pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH = Syndrom of Inappropriate ADH-secretion). Hiponatremia dengan gejala berat (mis : penurunan kesadaran dan kejang) yang terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ektrasel masuk ke intrasel yang osmolalitas-nya lebih tinggi digolongkan sebagai hiponatremia akut (hiponatremia simptomatik). Sebaliknya bila gejalanya hanya ringan saja (mis : lemas dan mengantuk) maka ini masuk dalam kategori kronik (hiponatremia asimptomatik). Langkah pertama dalam penatalaksanaan hiponatremia adalah mencari sebab terjadinya hiponatremia melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunjang. Langkah selanjutnya adalah pengobatan yang tepat sasaran dengan koreksi Na berdasarkan kategori hiponatremia-nya. Hipernatremia Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada orang dengan usia lanjut atau penderita diabetes insipidus. Oleh karena air keluar maka volume otak mengecil dan menimbulkan robekan pada vena menyebabkan perdarahan lokal dan

subarakhnoid. Langkah penatalaksanaan berikutnya ialah mencoba menurunkan kadar Na dalam plasma ke arah normal. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin. Bila penyebabnya adalah asupan Na berlebihan maka pemberian Na dihentikan. Intoksikasi berbagai bahan toksik dan obat dapat menyebabkan kejang. Beberapa obat, kejang merupakan manifestasi efek toksik. Beberapa obat yang dapat menimbulkan efek kejang yaitu aminofilin, obat antidiabetes, lidokain, fenotiazin, fisostigmin dan trisiklik. Penyalahgunaan zat seperti alkohol dan kokain dapat juga menyebabkan kejang. Penegakan diagnosa pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana laboratorium toksikologi sehingga dibutuhkan autoanamnesis dan alloanamnesis yang cukup sermat serta bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun. Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu penegakan diagnosis pada pasien dengan penurunan kesadaran. Pemeriksaan penunjang berupa analisa toksikologi harus dilakukan sedini mungkin dengan sampel berupa 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses. Pemeriksaan lain seperti radiologis, laboratorium klinik, dan EKG juga perlu dilakukan. Adapun standar penatalaksanaan dari intoksikasi yaitu stabilisasi, dekontaminasi, eliminasi, dan pemberian antidotum. Sementara gejala yang sering menjadi penyerta atau penyulit adalah gangguan cairan, elektrolit, dan asam-basa ; gangguan irama jantung ; methemoglobinemia ; hiperemesis ; distonia ; rabdomiolisis ; dan sindrom antikolinergik. 6 Tumor otak Sel-sel tumor bukan epileptogenik, tetapi sel-sel neuron di sekitarnya yang terganggu fungsi dan metabolismenya dapat menjadi focus epileptik. Apakah suatu neoplasma otak menimbulkan kejang bergantung pada jenis, kecepatan pertumbuhan, dan lokasi neoplasma tersebut. Kira-kira 10% dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada susunan saraf dan selaputnya, 8% di antaranya berlokasi di ruang intrakranial dan 2% sisanya di ruang kanalis spinalis. Dengan kata lain 3-7 dari 100.000 orang penduduk mempunyai neoplasma saraf primer. Urutan frekuensi neoplasma intrakranial yaitu : Glioma (41%), Meningioma (17%), Adenoma hipofisis (13%), Neurilemoma / neurofibroma (12%), Neoplasma metastatik dan neoplasma pembuluh darah serebral. Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak berpengaruh secara mutlak bagi tumor intrakranial oleh karena tumor benigna secara histologik dapat menduduki tempat yang vital, sehingga menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Simptomatologi tumor intrakranial dapat dibagi dalam : 1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi Selain menempati ruang, tumor intrakranial juga menimbulkan perdarahan setempat. Penimbunan katabolit di sekitar jaringan tumor menyebabkan jaringan otak bereaksi dengan menimbulkan edema yang juga bisa diakibatkan penekanan pada vena sehingga terjadi stasis. Sumbatan oleh tumor terhadap likuor sehingga terjadi penimbunan juga meningkatkan tekananintrakranial. TIK yang meningkat menimbulkan gangguan kesadaran dan menifestasi

disfungsi batang otak yang dinamakan (a) sindrom unkus / kompresi diensefalon ke lateral ; (b) sindrom kompresi sentral restrokaudal terhadap batang otak ; dan (c) herniasi serebelum di foramen magnum. Sebelum tahap stupor atau koma tercapai, TIK yang meninggi sudah menimbulkan gejala-gejala umum. 2. Gejala-gejala umum akibat tekanan intrakranial yang meninggi salah satunya adalah kejang. Kejang merupakan manifestasi pertama tumor intrakranial pada 15% penderita. Meningioma pada konveksitas otak sering menimbulkan kejang sebagai gejala dini. Kejang umum dapat timbul sebagai manifestasi tekanan intrakranial yang melonjak secara cepat, terutama sebagai menifestasi glioblastoma multiforme. Kejang tonik yang sesuai dengan serangan rigiditas deserebrasi biasanya timbul pada tumor di fossa kranii posterior dan secara tidak tepat dinamakan oleh para ahli neurologi dahulu sebagai cerebellar fits. Trauma Kejang dapat terjadi setelah cedera kepala dan harus segera diatasi karena akan menyebabkan hipoksia otak dan kenaikan tekanan intrakranial serta memperberat edem otak. Mula-mula berikan diazepam 10 mg intravena perlahan-lahan dan dapat diulangi sampai 3 kali bila masih kejang. Bila tidak berhasil dapat diberikan fenitoin 15 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan dengan kecepatan tidak melebihi 50 mg/menit. Infeksi Kejang dapat terjadi akibat fase akut atau sekuele dari infeksi sususnan saraf pusat (SSP) yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau parist. Perlu dicatat bahwa kejang biasanya merupakan gejala klinis pertama pada abses serebrum. Infeksi merupakan penyebab sekitar 3% kasus epilepsy. Infeksi pada susunan saraf dapat berupa meningitis atau abses dalam bentuk empiema epidural, subdural, atau abses otak. Serebrovaskuler Insufisiensi serebrovasekuler arteriosklerosis dan infark serebrum merupakan kausa utama kejang pada pasien dengan penyakit vascular, dan hal ini tampaknya meningkat seiring dengan meningkatnya populasi orang berusia lanjut. Infark besar dan infark dalam yang meluas kestruktur-struktur subkorteks lebih besar kemungkinan menimbulkan kejang berulang. Stroke mengacu kepada semua gangguan neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. CVA (Cerebralvascular accident) dan serangan otak sering digunakan secara sinonim untuk stroke. Konvulsi umum atau fokal dapat bangkit baik pada stroke hemoragik maupun strok nonhemoragik. Fenobarbital (Efek mengatasi kejang, mengurangi metabolisme sel yang rusak dan memperbaiki sirkulasi otak sehingga melindungi sel yang rusak karena asfiksia dan anoxia) Kejang demam Kejang tonik-klonik demam yang sering disebut Kejang demam hanya mengenai bayi usia 6 bulan sampai anak usia 5 tahun. Teori menyarankan bahwa kejang ini disebabkan olehhipertermia yang muncul secara cepat yang berkaitan dengan infeksi virus atau bakteri. Terjadi pada hari pertama demam, serangan pertama jarang sekali terjadi pada usia < 6 bulan atau > 3 tahun. Gejala: anak tidak sadar, kejang tampak sebagai gerakan-gerakan seluruh

tangan dan kaki yang terjadi dalam waktu sangat singkat. Umumnya TIDAK BERBAHAYA, tidak menyebabkan KERUSAKAN OTAK. Orang tua sering sulit membedakan antara menggigil dengan kejang. Pada saat anak menggigil, anak tidak kehilangan kesadaran, tidak berhenti napasnya. Anak menggigil karena suhu demamnya akan meningkat. Orang tua juga sering sulit membedakan antara kejang demam/steup dengan kejang akibat infeksi otak. Kejang akibat demam bersifat generalized (melibatkan seluruh tubuh), berlangsung sekejap, setelah kejang, anak segera sadar. Kejang akibat infeksi otak berlangsung lama, berulangulang, lehernya kaku, dan anak tetap tidak sadar sekalipun kejang sudah berhenti. Sebaiknya orang tua menghitung lamanya kejang dengan watch stop. Tidak jarang, akibat penampilannya yang menakutkan, maka orang tua merasa kejangnya lama meski sebenarnya hanya berlangsung dalam detik atau menit. Dosis fenobarbital yang dianjurkan untuk demam kejang yaitu 8-10 mg/Kg BB pada hari pertama dan selanjutnya dapat diberikan 4-5 mg/Kg BB. IKTERUS Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek ( unconjugated ) dan direk ( conjugated ) mia. Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah otak. Fenobarbital meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam beberapa hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5 mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia. Dari berbagai penyebab kejang diatas mekanisme kerja fenobarbital yaitu menstimulir pelepasan GABA (gamma- aminobutiric acid) yang teradapat praktis diseluruh otak dalam yang berhubungan langsung dengan serangan kejang. Obat-obat yang memperkuat system penghambatan yang diatur oleh GABA berdaya antikonvulsi. Fenobarbital juga mencegah timbulnya pelepasan muatan listrik abnormal dari pangkalnya (focus) dalam SSP. EPILEPSI Epilepsi adalah Kejang rekuren, spontan, dan tidak disebabkan oleh kelainan metabolisme yang terjadi bertahun-tahun. Status epilpetikus adalah suatu kejang berkepanjangan atau serangkaian kejang repetitive tanpa pemulihan kesadaran antartikus. Pada dasarnya, epilepsy dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu:

1. 1. Bangkitan umum (epilepsi umum) yang terdiri dari:

Bangkitan tonik-klonik (epilepsy grand mal) Ditandai dengan kehilangan kesadaran, dilanjutkan kejang kejang, keluar air liur berbusa dan sering disertai nafas mengorok pada saat serangan epilepsi umum. a. Bangkitan lena (epilepsy petit mal atau absences) Terjadi gangguan kesadaran secara mendadak ( absence ). Pada jens epilepsi ini penyandang akan tampak diam tanpa reaksi untuk beberapa saat, kemudian melanjutkan aktifitasnya semula setelah sadar. b. Bangkitan lena tidak khas (atypical absences)

Bangkitan mioklonik (epilepsy mioklonik) Bangkitan klonik Bangkitan tonik Bangkitan atonik Bangkitan infantil (spasme infantil) Bangkitan parsial atau fokal atau local (epilepsy parsial atau fokal) Bangkitan parsial sederhana Bangkitan parsial kompleks

Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum misalnya bangkitan tonikklonik, bangkitan tonik atau bangkitan klonik saja. Epilepsi psikomotor atau epilepsy lobus temporalis merupakan bangkitan parsial kompleks atau bangkitan parsial yang berkembang menjadi epilepsy umum bila fokusnya terletak di lobus temporalis anterior. c. Bangkitan lain-lain (tidak termasuk golongan I atau II) Mekanisme Kerja Antiepilepsi Terdapat 2 mekanisme antikonvulsan yang penting:
1. Dengan mencegah timbulnya letupan depolarisasi eksesif pada neuro epileptik dalam fokus epilepsi. 2. Dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuro normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi

Fenobarbital, asam 5,5-fenil-etil barbiturate, merupakan senyawa organic pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsan. Kerjanya membatasi penjalaran aktivitas bangkitan dan menaikkan ambang rangsang. Fenobarbital masih merupakan obat antikonvulsan pilihan karena cukup efektif, murah. Dosis efektifnya relative rendah. Efek sedative, dalam hal ini dianggap sebagai efek samping, dapat diatasi dengan pemberian stimulant sentral tanpa mengurangi efek antikonvulsinya.

Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah 2100 mg sehari. Untuk mengendalikan epilepsy disarankan kadar plasma optimal, berkisar antara 10-40 g/ml. kadar plasma diata 40 g/ml sering disertai gejala toksik yang nyata. Penghentian pemberian fenobarbital harus secara bertahap guna mencegah kemungkinan meningkatnya frekuensi bengkitan kembali, atau malahan bangkitan status epileptikus. Epilepsi bukan suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi, tetapi merupakan gangguan kronik pada otak akibat gangguan atau infeksi terdahulu yang menyerang otak. Tanda yang paling sederhana dan mudah dikenali bagi penyandang epilpsi adalah tiba tiba kejang dengan mengeluarkan air liur berbusa dari dalam mulut. Gangguan ini muncul sebagai serangan dan terjadi berulang ulang yang disebabkan terlepasnya muatan listrik abnormal sel sel saraf otak yang bersifat reversible dengan berbagai penyebab. Gejala yang timbul secara tiba tiba akan menghilang secara tiba tiba pula. Penyebab yang dapat memicu terjadinya epilepsi, antara lain :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Trauma yang dapat menyebabkan cedera otak atau perdarahan otak. Infeksi pada otak atau selaput otak yang disebabkan oleh virus atau bakteri. Kejang demam yang sering terjadi pada anak anak. Tumor otak Kelainan pembuluh darah Keracunan timbal ( Pb) atau kamper Gangguan keseimbangan hormon

Rangsangan rangsangan tertentu mempermudah serangan epilepsi : 1. Faktor sensoris Cahaya yang berkedip kedip, bunyi bunyi yang mengejutkan, air panas. 2. Faktor sistemis Demam, pemyakit infeksi, obat obatan, kelelahan fisik 3. Faktor mental Stress, gangguan emosional Penanganan pertama bila berada dekat dengan penderita yang mengalami serangan epilepsi : 1. Hindarkan benturan kepala atau bagian tubuh lain dari benda keras, tajam atau panas 2. Longgarakan pakaian, bila mungkin miringkan kepala kesamping untuk mencegah sumbatan jalan nafas. 3. Biarkan kejang berlangsung, jangan memasukkan benda keras diantara gigi karena dapat mengakibatkan gigi patah. 4. Biarkan istirahat setelah kejang, karena penderita akan bingung atau mengantuk setelah kejang. 5. laporkan adanya serangan pada kerabat dekat penderita epilepsy ( penting untuk pemberian pengobatan dari dokter ).

6. Bila serangan berulang dalam waktu singkat atau mengalami luka berat, segera larikan ke rumah sakit. Fenobarbital (Luminal) merupakan senyawa organik kejang pertama yang efektif. Senyawa ini memiliki toksisitas yang relative rendah, tidak mahal, dan masih merupakan salah satu obat yang efektif dan lebih banyak digunakan untuk kejang. Indikasi utama dari fenobarbital adalah untuk pengobatan kejang. Penyakitpenyakit yang menyebabkan kejang dapat dikelompokkan secara sederhana menjadi penyebab kejang epileptik dan penyebab kejang non-epileptik. Penyakit epilepsi akan dibahas tersendiri sementara kelompok non-epileptik terbagi lagi menjadi penyakit metabolis, tumor, trauma, infeksi, ikterus, dan serebrovaskuler. DAFTAR PUSTAKA
1. A.Price Sylvia dan M.Wilson Lorraine. Patofisiologi volume 2 edisi 6. 2006. Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta. 2. Ganiswarna. Farmakologi Terapan Edisi IV. 2006. Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta. 3. Tjay Hoan Tan Drs dan Raharja Kirana Drs. 2008. Obat-Obat Penting Edisi 6. Gramedia. Jakarta. 4. Gilman, A. G. Dasar Farmakologi Terapi Volume I. 2007. Penerbit Kedokteran EGC. Jakarta.

FAKTOR ETIOLOGI PENYAKIT GINGIVAL DAN PERIODONTAL A. Klasifikasi Penyakit periodontal adalah suatu keadaan peradangan dan degencrasi dari jaringan lunak dan tulang penyangga gigi. Penyakit periodontal bersifat khronis, kumulatif dan progresif yang dapat mengakibatkan penderita kehilangan gigi. Etiologi penyakit periodontal ini sangat kompleks, dan merupakan penyebab utama kehilangan gigi pada kelompok usia 35 tahun ke atas. Di Indonesia penyakit periodontal menduduki urutan ke dua utama yang masih merupakan masalah di masyarakat Berdasarkan peranannya dalam menimbulkan penyakit, faktor etiologi penyakit gingival dan periodontal diklasifikasikan sebagai berikut : Faktor etiologi primer, berupa plak dental/ plak bakteri. Faktor etiologi sekunder/ pendorong, yang mempengaruhi efek dari faktor primer. Berdasarkan keberadaanya: Faktor etiologi lokal/ ekstrinsik Faktor sistemik/ intrinsic Faktor lokal adalah faktor yang berakibat langsung pada jaringan periodonsium; dapat dibedakan dalam dua bagian yaitu faktor iritasi lokal dan fungsi lokal. Yang dimaksud dengan faktor lokal adalah plak bakteri sebagai penyebab utama. Faktor-faktor lainnya antara lain adalah bentuk gigi yang kurang balk dan letak gigi yang tdak teratur, maloklusi, malfungsi gigi, over hanging restoration dan bruksisme. Faktor tersebut dinamakan faktor ekstrinsik karena berada di luar jaringan periodonsium Faktor sistemik sebagai penyebab penyakit periodontal antara lain adalah pengaruh hormonal pada masa pubertas, kehamilan, menopause, defisiensi vitamin, diabetes mellitus dan lain-lain. Faktor sistemik adalah faktor yang berkaitan dengan kondisi umum pasien. Faktor sistemik dinamakan juga faktor intrinsic karena berada dalam tubuh pasien. B. Kaitan antara masing-masing klasifikasi Bila klasifikasi pertama dikaitkan dengan yang kedua, jelas bahwa faktor etiologi utama(plak dental) merupakan faktor etiologi lokal. Faktor-faktor pendorong yang dimaksudkan pada klasifiksi pertama bisa merupakan faktor etiologi lokal atau sistemik tergantung keberadaanya. Terlihat adanya hubungan yang erat antara faktor lokal dan faktor sistemik, yaitu penyakit diabetes mellitus dapat mengakibatkan meningkatnya insiden karies dentis dan memperberat gingivitis maupun penyakit periodontal. Sebaliknya infeksi gigi dan jaringan sekitarnya dapat mempengaruhi stabilitas kadar gula darah C. Karakter antara factor local dan factor intrinsik Interaksi antara faktor lokal dan faktor sistemik pada penyakit gingiva dan periodontal sampai sekarang ini masih kontroversial. Pada kebanyakan penyakit gingiva dan periodontal, khususnya infalamasi kronis, faktor lokal berupa plak bakteri merupakan faktor etiologi utama. Faktor sistemik berperan sekunder dengan jalan memperparah respon periodonsium terhadap iritan lokal. Namun demikian, faktor sistemik tertentu seperti pemakaian obat yang mngandung nifedipin dapat berperan primer dengn menyebabkan terjadinya hiperplasia gingiva gingiva non inflamasi. Dalam keadaan seperti ini, justru faktor lokal yang berperan sekunder dengan memperparah hiperplasia bila telah terjadi inflamasi.

PLAK DENTAL A. Klasifikasi Dental plak adalah deposit lunak berwarna putih kekuningan yang tersusun dari garam-garam saliva dan koloni mikroorganisme mulut ( pada umumnya Streptococcus mutans ). Dental plak merekat kuat pada permukaan gigi dan lokasi tersering adalah pada daerah-daerah gigi yang sulit terjangkau saat menggosok gigi seperti pada pit dan fissure dari gigi-gigi premolar-molar atau pada daerah tersembunyi di samping gigi dengan malposisi. Berdasarkan lokasinya pada permukaan gigi, plak dental diklasifikasikan atas: 1. Plak Supragingival Plak supragingival adalah plak yang berada pada atau koronal dari tepi gingiva. Plak supragingival yang berada tepat pada tepi gingiva dinamakan secara khusus sebagai plak marginal. 2. Plak Subgingival Plak subgingival adalah plak yang lokasinya apikal dari tepi gingiva, diantara gigi dengan jaringan yang mendindingi sulkus gingiva. Secara morfologis, plak subgingival dibedakan pula atas plak subgingival yang berkaitan dengan gigi (tooth associated) dan plak subgingival yang berkaitan dengan jaringan (tissue associated) B. Proses Pembentukan Plak Proses pembentukan plak dibagi atas tiga tahap, yaitu: 1. Pembentukan pelikel dental Pada tahap awal ini permukaan gigi atau restorasi akan dibalut oleh pelikel glikoprotein. Pelikel berfungsi sebagai penghalang protektif, yang akan bertindak sebagai pelumas permukaan dan mencegah desikasi jaringan. Di atas pelikel ini akan menempel berbagai macam bakteri yang membentuk koloni. Komponen dari pelikel ini termasuk di dalamnya adalah albumin, lisozim, amilase, imunoglobulin A, protein kaya prolin dan mucin. 2. Kolonisasi awal pada permukaan gigi Bakteri yang pertama-tama mengkoloni permukaan gigi yang dibalut pelikel didominasi oleh mikroorganisme fakultatif gram-positif, seperti Actinomyces viscous dan Streptococcus sanguis. Pengkoloni awal tersebut melekat ke pelikel dengan bantuan adhesin, yaitu molekul spesifik yang ada di permukaan bakteri. Adhesin akan berinteraksi dengan reseptor pada pelikel dental. Setelah kolonisasi awal permukaan gigi, plak meningkat oleh dua mekanisme yang berbeda: 1) Multiplikasi bakteri sudah menempel pada permukaan gigi 2) Lampiran berikutnya dan multiplikasi spesies bakteri baru pada sel-sel bakteri sudah hadir di plak massa. 3. Kolonisasi sekunder dan pematangan plak Pengkoloni sekunder adalah mikroorganisme yang tidak turut sebagai pengkoloni awal ke permukaan gigi yang bersih. Bakteri sekunder yang terdapat pada pelikel gigi termasuk spesies Gram-negatif seperti Fusobacterium nucleatum, Prevotella intermedia, dan spesies Capnocytophaga. Organisme ini biasanya akan ditemukan dalam plak setelah 1 sampai 3 hari akumulasi. Proses perlekatannya adalah berupa interaksi stereokhemikal yang sangat spesifik dari molekul-molekul protein dan karbohidrat yang berada pada permukaan sel bakteri.

C. Struktur dan Sifat Fisiologis Struktur plak supragingival adalah berupa kokus gram positif dan bakteri batang yang pendek mendominasi permuakaan yang menghadap gigi. Sedangkan bakteri batang dan filamen garmnegatif dan spirokheta mendominasi permukaan luar plak matang. Pada sulkus gingiva atau saku mengenang cairan sulkular yang mengandung banyak substansi yang bisa dijadikan bahan makanan oleh bakteri. Plak yang berkaitan dengan gigi ditandai dari kokus dan bakteri batang gram positif, termasuk diantaranya Streptococcus mitis, S. sanguis,A. viscous, A.naeslundii, dan Eubakterium sp. Plak yang berkaitan dengan jaringan tersusun lebih longgar dibandingkan yang berkaitan dengan gigi. Bakteri yang terkandung pada plak ini terutama bakteri batang dan kokus gram negatif disamping filamen, bakteri batang berflagela, dan spirokheta. Berdasarkan hasil pengkulturan bakteri yang dominan pada plak yang berkaitan dengan jaringan adalah P. gingivalis,P. intermedia, Capnocytophaga ochracea. Peralihan mikroorganisme pada struktur plak dental dari gram positif ke gram negatif sejalan dengan peralihan fisiologis pada perkembangan plak. Diantara bakteri yang ada pada plak dental berlangsung banyak interaksi fisiologis. Pejamu juga merupakan sumber nutrisi yang penting. D. Hubungan Antara Mikroorganisme Plak Dengan Penyakit Periodontal Dahulu ada anggapan bahwa penyakit periodontal merupakan akibat dari penumpukan plak yang terus berlangsung disertai penurunan respon pejamu dan peningkatan kerentanan pejamu sehubungan dengan bertambahnya usia seseorang. Kemudian berkembang dua konsep, masingmasing hipotesa plak non-spesifik dan hipotesa plak spesifik. 1. Hipotesa Plak Non-spesifik Dikemukakan tahun 1976 oleh Loesche. Berdasarkan hipotesa ini, penyakit periodontal adalah berasal dari produk perusak (noxious product) dari seluruh flora plak yang ada. Termasuk kedalam hipotesa non-spesifik ini adalah konsep bahwa kontrol terhadap penyakit periodontal adalah tergantung pada pengkontrolan jumlah penumpukan plak dengan jalan perawatan lokal disertai prosedur kebersihan mulut. 2. Hipotesa Plak Spesifik Berdasarkan hipotesa plak spesifik, hanya bakteri plak tertentu yang patogen, dan patogenitasnya tergantung pada keberadaan atau peningkatan mikroorganisme yang spesifik. Pada setiap tipe penyakit biasanya berperan 6-12 spesies bakteri patogen. Diterimanya hipotesa plak spesifik berawal dari dikenalinya Actinobacillus actinomycetemcomitans sebagai patogen pada periodontitis juvenil lokalisata. E. Komposisi Bakteri Plak Komposisi utama plak dental adalah mikroorganisme. Diperkirakan bahwa sebanyak 400 spesies bakteri yang berbeda dapat ditemukan dalam plak. Selain sel-sel bakteri, plak mengandung sejumlah kecil sel epitel, leukosit, dan makrofag. Sel-sel yang terkandung dalam sebuah matriks ekstraseluler, yang terbentuk dari produk bakteri dan air liur. Matriks ekstraselular mengandung protein, polisakarida dan lipid.

F. Mekanisme Perusakan Periodonsium Oleh Bakteri Plak Kemampuan bakteri dalam merusak jaringan pejamu dikelompokkan atas: 1. Kemampuannya secara langsung menyebabkan degradasi atau penghancuran sel pejamu 2. Kemampuannya untuk memicu jaringan pejamu sehingga sel-sel jaringan pejamu melepas

substansi yang secara biologis aktif dan dapat merusak jaringan pejamu itu sendiri yaitu: Produk bakteri yang dapat menghambat pertumbuhan atau metabolism sel-sel jaringan pejamu: Ammonia, Senyawa sulfur, Asam lemak, Peptide, Indol, dan Enzim(lihat tabel 1) Enzim bakteri Spesies Kolagenase Porphyromonas gingivalis; actinobacillus actinomycetemcomitans Enzim mirip tripsin Pophyromonas gingivalis; actinobacillus actinomycetemcomitans Keratinase Pophyromonas gingivalis; Treponema denticola Arilsulfatase Treponema denticola Neuaminidase Champylobacter rectus; bacteroides forsythus; Pophyromonas gingivalis Enzim pendegradasi fibronektin Pophyromonas melaninogenica; Pophyromonas gingivalis; prevotella intermedia Pospolipase A prevotella intermedia; Pophyromonas melaninogenica Tabel 1. Enzim bakteri yang dapat merusak jaringan pejamu Produk bakteri dapat pula menimbulkan efek biologis pada sel-sel jaringan pejamu , dimana produk tersebut akan memicu system imunitas yang pada akhirnya bias menimbulkan perusakan pada jaringan pejamu. Salah satunya adalah dilepaskannya interleukin-2 ; TNF (tumor necrosis factor) dan prostaglandin dari monosit yang terpapar dengan endotoksin bakteri. Dimana pelepasan hal-hal diatas dapat berpotensi untuk menyebabkan resorpsi tulang dan menghambat ataupun mengaktifkan sel-sel imunitas lainnya yang dapat menimbulkan kerusakan lain

KALKULUS A. Klasifikasi Kalkulus merupakan suatu endapan amorf atau kristal lunak yang terbentuk pada gigi atau protesa dan membentuk lapisan konsentris. Bakteri plak diperkirakan memegang peranan penting dalam pembentukan kalkulus, yaitu dalam proses mineralisasi, meningkatkan kejenuhan cairan di sekitarnya sehingga lingkungannya menjadi tidak stabil atau merusak faktor penghambat mineralisasi. Diketahui ada dua macam kalkulus menurut letaknya terhadap gingival margin yaitu kalkulus supragingival dan kalkulus subgingival. B. Komposisi Kalkulus terdiri dari komponen anorganik (70%-90%) dan komponen organik. Kandungan anorganik Komponen anorganik kalkulus supragingival terdiri dari 75,9% kalsium posfat; 3,1% kalsium karbonat dan sejumlah kecil magnesium posfat, dan logam lainnya. Komponen anorganik yang utama adalah kalsium (39%); posfor (19%); karbondioksida (1,9%); magnesium (0,8%); dan sejumlah kecil natrium,

seng, stronsium, bron, tembaga, mangan, tungsten, emas, aluminium, silikon, besi, dan fluor. Sedikitnya dua per tiga komponen anorganiknya dalam bentuk kristal. Empat bentuk kristal yang utama adalah : Hidroksiapatit (sekitar 58%) Magnesium whitlockite (sekitar 21%) Oktakalsium posfat (sekitar 21%) Brusit (sekitar 9 %) Kandungan organik Kalkulus supragingival terdiri dari komponen anorganik (70-90%) dan komponen organik. Komponen organik kalkulus terdiri dari campuran senyawa protein-polisakarida, sel-sel epitel yang deskuamasi, leukosit, dan bernagai tipe bakteri. 1,9-9,1% komponen organiknya berupa karbohidrat , yang terdiri dari galaktosa, glukosa, ramnosa, mannosa, asam glukoronat, galaktosamin, dan kadang-kadang arabinosa, asam galakturonat, dan glukosamin. Protein saliva merupakan 5,9%-8,2% dari komponen organik kalkulus dan kebanyakan berupa asam amino. Lemak terdapat sejumlah 0,2% dari kandungan organik dalam bentuk lemak netral, asam lemak bebas, kolesterol,kolesterol ester, dan posfolipid. Komposisi kalkulus subgingival mirip dengan komposisi kalkulus supragingival dengan sedikit perbedaan. Pada kalkulus subgingival kandungan hidroksiapatitnya sama, magnesium whitlockite lebih banyak, brusit dan oktakalsium posfat lebih sedikit. Rasio kalsium; posfat adalah lebih tinggi pada kalkulus subgingival, kandungan natrium meningkat dengan semakin dalamnya saku periodontal. Protein saliva tidak dijumpai pada kalkulus subgingival. C. Mekanisme Perlekatan Kalkulus ke Permukaan Gigi Ada 4 cara perlekatan kalkulus ke permukaan gigi : 1. Perlekatan dengan bantuan pelikel organik 2. Penetrasi bakteri kalkulus ke sementum 3. Perlekatan mekanis ke ketidakrataan pada permukaan gigi 4. Adaptasi rapat antara depresi/lekukan pada permukaan dalam kalkulus ke penonjolan pada permukaan sementum yang tidak terganggu (masih utuh) D. Proses Pembentukan Kakulus Kalkulus melekat ke plak dental yang telah mengalami mineralisasi. Proses kalsifikasi mencakup pengikatan ion-ion kalsium ke senyawa karbohidrat-protein dari matriks organik, dan pengendapan kristal-kristal garam kalsium posfat. Kristal terbentuk pertama kali pada matriks interseluler dan pada permukaan bakteri, dan akhirnya diantara bakteri Kalsifikasi kalkulus dimulai sepanjang permukaan dalam plak supragingival (dan pada komponen melekat dari plak supragingival) yang berbatasan dengan gigi membentuk fokus-fokus yang terpisah. Fokus-fokus tersebut kemudian membesar dan menyatu membentuk massa kalkulus yang padat. Kalsifikasi tersebut dapat diikuti dengan perubahan kandungan bakteri dan kualitas pewarnaan plak. Dengan adanya kalsifikasi, bakteri berfilamen bertambah jumlahnya. Pada fokus-fokus kalsifikasi terjadi perubahan dari basofilia menjadi eosinofilia; intensitas pewarnaan menunjukkan pengurangan reaksi periodic acid-schiff positif dan sulfihidril dan grup amino, dan pewarnaan dengan toluidin blue yang pada mulanya ortokromatik berubah menjadi metakromatik dan menghilang. Kalkulus dibentuk lapis demi lapis, dimana setiap lapis sering dipisahkan oleh kutikula yang tipis, yang kemudian tertanam dalam kalkulus dengan berlangsungnya kalsifikasi. Gambar-gambar di bawah menunjukkan tahap pembentukan karang gigi (atau kalkulus).

E. Peranan Kakulus Sebagai Faktor Etiologi Kalkulus secara langsung tidak berpengaruh terhadap terjadinya penyakit periodontal; akan tetapi karena kalkulus terbentuk dan plak gigi yang termineralisasi karena pengaruh komponen saliva, maka secara tidak langsung kalkulus juga dianggap sebagai penyebab keradangan gusi (gingivitis). Regio kalkulus yang telah dibersihkan dan plak gigi dan dipoles permukaannya ternyata tidak menimbulkan keradangan gusi dibandingkan dengan regio kalkulus yang tidak dipoles. Banyak faktor yang merupakan predisposisi terbentuknya plak gigi. Plak gigi dan kalkulus mempunyai hubungan yang erat dengan keradangan gusi; bila keradangan gusi ini tidak dirawat, akan berkembang menjadi periodontitis atau keradangan tulang penyangga gigi, akibatnya gigi menjadi goyang atau tanggal. Tetapi akhir-akhir ini dilaporkan bahwa baik pada penelitian klinis maupun epidemiologis ternyata tidak semua gingivitis selalu berkembang menjadi periodontitis. Penyakit periodontal bersifat kronis dan destruktif, umumnya penderita tidak mengetahui adanya kelainan dan datang sudah dalam keadaan lanjut dan sukar disembuhkan. Kalkulus dan gingivitis terdapat lebih banyak pada para perokok daripada bukan perokok. Sedangkan Sheiham melaporkan bahwa para perokok mempunyai skor plak, kalkulus dan derajat penyakit periodontal yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok. DEBRIS MAKANAN DAN MATERI ALBA A. Perbedaan Debris Makanan dan Materi Alba Debris makanan adalah sisa-sisa makanan yang dicairkan oleh enzim-enzim bakteri , dan dibersihkan dari rongga mulut setiap lima menit setelah makan, tetapi sebagian tetap tinggal di permukaan gigi dan mukosa dan lebih mudah dibersihkan daripada plak. Sedangkan materi alba adalah deposit lunak, bersifat melekat, berwarna kuning atau putih keabu-abuan, dan daya lekatnya lebih rendah dibandingkan plak dental. Materi alba merupakan kumpulan mikroorganisme, sel-sel epitel deskuamasi, lekosit, dan campuran protein saliva dengan lemak, dengan sedikit atau tanpa partikel makanan, serta tidak mempunyai pola susunan yang teratur. Debris makanan juga mengandung bakteri, namun berbeda dengan bakteri coatings (plak dan materi alba). Debris makanan seharusnya dibedakan dsri serat-serat yang terjerat di daerah interproximal pada daerah timbunan makanan. B. Peranannya sebagai Faktor Etiologi Plak dental bukanlah derivat debris makanan, dan debris makanan bukan penyebab gingivitis yang penting. Penumpukan materi alba cenderung pada sepertiga gingival gigi dan pada gigi yang malposisi. Efek pengiritasian dari materi alba terhadap gingiva adalah berasal dari bakteri dan produk bakteri. STEIN DENTAL Stein adalah deposit berpikmen pada permukaan gigi. Secara primer keberadaan stein merupakan masalah estetis. Stein terjadi akibat pikmentasi pelikek perkembangan (pelikel yang membalut gigi pada masa pertumbuhan dan erupsi gigi) atau pelikel akuid (pelikel yang didapat setelah gigi erupsi ) oleh bakteri kromogenik, makanan dan bahan kimia. Stein bervariasi dalam hal warna, komposisi, dan kekuatan perlekatannya ke permukaan gigi. Stein dental secara umum dibagi 2, yaitu : Extrinsic stains.

Intrinsic stains. Berdasarkan warna dan timbulnya, stein dental terdiri dari : 1. Stein coklat Berupa pelikel terpikmentasi yang tipis, bebas bakteri, akuid, dan translusen. Timbul pada individu yang tidak menyikat giginya dengan baik, atau menggunakan pasta gigi tanpa aksi pembersih yang adekuat, dan juga karena adanya tannin. Terdapat pada permukaan bukal molar maksila dan pada permukaan lingual insisivus mandibula. 2. Stein tembakau Merupakan deposit permukaan yang melekat erat, berwarna coklat atau hitam, yang disertai perubahan warna substansi gigi menjadi coklat. Pewarnaan adalah akibat dari produk pembakaran tar, dan dari penetrasi sari tembakau ke pit dan fissure, enamel, dan dentin. Derajat pewarnaan tergantung dari pelikel akuid yang telah ada pada permukaan gigi yang akan melekatkan produk tembakau ke permukaan gigi. 3. Stein hitam Berupa garis hitam tipis pada pemukaan vestibular dan oral dari gigi dekat ke tepi gingiva, dan sebagian daerah diffus pada permukaan proksimal. Melekat erat ke permukaan gigi, dan cenderung timbul kembali setelah disingkirkan, sering pada wanita dan bisa timbul pada individu dengan higienen oral yang baik. Stein hitam yang terjadi pada gigi susu biasanya disertai karies yang rendah pada gigi dengan stein hitam. Sering dikaitkan dengan baktei kromogenik. Diduga penyebabnya adalah bakteri batang gram positif, terutama spesies actinomyces, karena mendominasi mikroflora stein hitam. 4. Stein hijau Berwarna hijau atau kuning kehijau-hijauan, kadang-kadang cukup tebal, dan sering dijumpai pada anak-anak, yang mungkin merupakan pigmentasi dari partikel saliva oleh bakteri kromogenik. Diduga stein ini adalah sisia stein dari kutikula enamel. Pewarnaan disebabkan oleh bakteri dan jamur (fungi) fluorosensi, seperti penicillum dan aspergillus. Biasanya terjadi pada setengah gingival permukaan vestibular gigi anterior maksila, sering dijumpai pada anak laki-laki (65%) daripada anak-anak perempuan(43%). 5. Stein orange Jarang dijumpai dibandingkan stein hijau dan stein coklat. Bisa terjadi pada permukaan vestibular maupun pada permukaan oral gigi anterior. Penyebabnya adalah bakteri kromogenik serratia marcescens dan flavobacterium lutescens. 6. Stein logam Disebabkan oleh logam dan garam-garam logam, yang masuk ke rongga mulut karena debu yang mengandung logam terhisap oleh buruh industry, atau melalui obat-obatan yang diberikan secara oral. Logam tersebut berikatan dengan pelikel di permukaan gigi dan menimbulkan stein permukaan atau penetrasi ke substansi gigi membentuk pewarnaan yang permanen. Debu tembaga akan menimbulkan stein hijau dan debu bei menimbulkan stein coklat. Obatobatan yang mengandung besi menimbulkan deposit sulfit besi berwarna hitam. Stein logam lain yang kadang-kadang dijumpai adalah berkaitan dengan mangan (warna hitam), air raksa(hitam kehijau-hiauan ), nikel (hijau), dan perak(hitam).

7. Stein klorheksidin Merupakan stein yang timbul akibat pemakaian obat kumur yang mengandung klorheksidin untuk jangka waktu yang lama. Klorheksidin biasa retensi(tinggal dan melekat) di rongga mulut karena afinitasnya terhadap sulfat dan grup asam, seperti yang dijumpai pada kandungan plak, lesi karies, pelikel, dan dinding sel bakteri. Retensi klorheksidin di rongga mulut tergantunga pada konsentrasi dan lama pemakaian. Stein klorheksidin menyebabkan warna coklat kekuning-kuningan sampai kecoklat-coklatan pada jaringan di rongga mulut. Pewarnaan terjadi pada daerah serviks dan interproksimal gigi asli, restorasi, plak, dan pada permukaan lidah. Pewarnaan pada enamel dan dentin tidaklah permanen karena dapat dibersihkan dengan penyikatan gigi atau profilaksis professional. Stein yang sama juga dihasilkan oleh obat kumur aleksidin. FAKTOR IATROGENIK A. Pengertian Faktor-faktor iatrogenik adalah kesalahan pada restorasi atau protesa yang bisa berperan dalam menyebabkan inflamasi gingiva dan perusakan jaringan periodontal. B. Jenis-Jenisnya Tepi Restorasi Tepi tumpatan yang overhanging berperan dalam terjadinya inflamasi gingiva dan perusakan periodontal karena merupakan lokasi yang ideal bagi penumpukan plak serta dapat mengubah keseimbangan ekologis sulkus gingiva ke arah yang menguntungkan bagi organisme anaerob gramnegatif yang menjadi penyebab penyakit periodontal. Meskipun restorasinya dibuat dengan standard kualitas yang tinggi, apabila tepinya ditempatkan subgingival akan meningkatkan penumpukan plak dan laju aliran cairan sulkular. Adanya kekasaran pada daerah subgingiva akibat penempatan tepi restorasi pada daerah subgingiva merupakan penyebab penumpukan plak dengan akibat respon inflamasi yang ditimbulkannya. Kontur Restorasi Mahkota tiruan dan restorasi dengan kontur berlebih (overcontoured) cenderung mempermudah penumpukan plak dan kemungkinan juga mencegah mekanisme self-cleansing oleh pipi, bibir, dan lidah. Kontak proksimal yang inadekuat, tidak dikembalikannya anatomi occlusal marginal ridge dan developmental groove cenderung menimbulkan impaksi makanan. Oklusi Restorasi yang tidak sesuai dengan pola oklusal akan menimbulkan disharmoni yang bisa mencederai jaringan periodontal pendukung. Bahan Restorasi Pada umumnya bahan restorasi tidak mencederai jaringan periodontal, kecuali bahan akrilik selfcuring. Yang terpenting adalah bahan restorasi harus dipoles dengan baik agar tidak mudah ditumpuki plak. Desain GTSL Gigi Tiruan Sebagian Lepasan mempermudah penumpukan plak, terutama apabila desainnya menutup gingiva. Gigi tiruan yang terus dipakai sepanjang siang dan malam akan menginduksi lebih

banyak pembentukan plak dibandingkan gigi tiruan yang hanya digunakan pada siang hari saja. Oleh karena itu, pemeliharaan kebersihan mulut bagi pengguna gigi tiruan sangat penting untuk menghindari terjadinya gangguan terhadap gigi yang masih ada serta jaringan periodonsiumnya. Prosedur Kedokteran Gigi Penggunaan klem rubber dam, cincin untuk matriks, dan disc yang tidak baik bisa mencederai gingiva dengan akibat terjadinya inflamasi. Separasi gigi yang terlalu memaksa dapat menimbulkan cedera pada jaringan periodontal pendukung.

PERANANAN PIRANTI ORTODONTI SEBAGAI FAKTOR ETIOLOGI Perawatan ortodonti bisa berperan dalam menimbulkan penyakit atau kelainan pada periodonsuim dengan berabagai cara : Retensi plak Piranti ortodonti tidak saja cendrung mempermudah penumpukan plak dental dan debris makanan dengan akibat timbulknya gingivitis, tetapi bisa pula memodofikasi ekosistem gingiva. Dilaporkan bahwa setelah pemasanagn cincin ortodonti terjadi peningkatan proporsi Prevotella melaninogenica, Prevotela intermedia, dan Actinomyces odontolyticus, dan pengurangan flora anaerob/fakultatif di dalam sulkus gingiva. Iritasi dari cincin ortodonti Pemasangan cincin ortodonti yang dipaksakan terlalu jauh ke daerah subgingiva bisa menyebabkan terpisahnya gingiva dari akibat migrasi epitel penyatu ke arah apikal sehingga timbul resesi gingiva. Tekanan dari piranti ortodonti Tekanan ortodonsi yang normal dapat diadaptasi periodonsuim berupa remodeling. Tekanan yang berlebihan bisa menimbulkan nekrose jaringan periodontal dan tulang alveolar, yang pada umumnya bisa mengalami perbaikan apabila tekanannya dikurangi. Namun demikian, apabila kerusakan melibatkan ligamen periodontal yang berada pada krista tulang alveolar, kerusakannya adalah irreversible. Tekanan ortodonsi yang terlalu berlebihan dapat pula menyebabkan resopsi pada apkes akar gigi. IMPAKSI MAKANAN Mekanisme Terjadinya Sebagai Faktor Etiologi Impaksi makanan adalah terdesaknya makanan secara paksa ke jaringan periodonsium. Hubungan kontak proksimal yang utuh dan ketat mencegah terdesaknya makanan secara paksa ke daerah interproksimal. Lokasi kontak proksimal yang optimal dalam arah serviko oklusal adalah pada diameter mesio distal terbesar dari gigi, dekat ke Krista marginal ridge. Tidak adanya kontak atau kontak proksimal yang tidak baik kondusif bagi terjadinya impaksi makanan. Kontur permukaan oklusal yang dibentuk oleh marginal ridge dan developmental groove secara normal akan mendeflesikan makanan menjauhi ruang interproksimal. Apabila gigi menjadi aus dan permukaan oklusalnya menjadi datar, maka efek mendesak dari tonjol(cusp) gigi antagonis ke ruang interproksimal akan bertambah hebat dengan akibat terjadinya impaksi makanan. Efek tonjol pendorong bisa timbul karena keausan gigi, atau karena perubahan posisi gigi karena tidak digantinya gigi yang hilang.

Overbite anterior yang berlebihan merupakan salah satu penyebab umum impaksi makanan di region anterior, dimana makanan akan terdesak ke gingival pada permukaan vestibular gigi anterior mandibula atau permukaan oral gigi anterior maksila. Hirschfeld mengemukakan beberapa factor yang menjurus ke terjadinya impaksi makanan yaitu: 1. Keausan oklusl yang tidak sama rata 2. Terbukanya titik kontak sebagai akibat hilangnya dukungan proksimal atau karena estruksi 3. Abnormalitas morfologis congenital 4. Restorasi yang tidak baik konstruksinya Ada juga impaksi makanan lateral dimana sumber tekanan yang mendesak makanan adalah tekanan lateral dari pipi, lidah dan bibir. Impaksi lateral lebih mudah terjadi apabila embrasure gingival menjadi besar karena kerusakan jaringan akibat penyakit periodontal atau resesi.Dampak impaksi makanan akan menimbulkan penyakit gingival, periodontal, dan memperhebat keparahan penyakit yang telah ada. periodontal disease

PERANAN FACTOR-FAKTOR BERIKUT SEBAGAI FACTOR ETIOLOGI A. Tidak Digantinga Gigi yang Hilang Pencabutan gigi yang tidak disetai penggantian dengan gigi tiruan dapat menimbulkan serangkaian perubahan yang menimbulkan dampak bagi periodonsium. Apabila gigi molar pertama dicabut, perubahan awal yang terjadi adalah drifting ( bergesernya) dan tilting (miring) gigi molar kedua dan ketiga mandibula, dan ekstrusinya molar pertama maksila. Tilting gigi posterior juga menyebabkan berkurangnya dimensi vertical dan bertambahnya overbite anterior. Gigi anterior mandibula meluncur pada gingival sepanjang permukaan oral gigi anterior maksila dengan akibat posisi mandibula bergeser ke distal. Selain itu, terjadi impaksi makanan dan pembentukan saku pada gigi anterior. Drifting premolar kedua mandibula ke distal menyebabkan terjadinya impaksi makanan. B. Maloklusi dan Malposisi Gigi Gigi-geligi yang tidak teratur menyebabkan control plak sukar bahkan bias tidak mungkin bias dilakukan. Resesi gingival bias terjadi pada gigi labioversi. Disharmoni oklusal yang disebabkan maloklusi dapat mencederai periodonsium. Overbite yang berlebihan sering menyebabkan iritasi gingival pada rahang antagonis. Openbite bisa menjurus ke perubahan periodontal yang disebabkan penumpukan plak dan hilangnya fungsi. KEBIASAAN BURUK YANG BIAS BERPERAN SEBAGAI FACTOR ETIOLOGI A. Jenis-jenisnya,yaitu : (1) Bernapas dari mulut (2) Mendorong-dorongkan lidah (3) Penggunaan tembakau (4) Trauma sikat gigi dan alat pembersihnya (5) Kebiasaan parafungsi atau bruksim (6) Neurosis

(7) Kebiasaan berkaitan dengan okupasi B. .Peranannya masing-masing (1) Bernafas dari mulut Gingivitis sering dikaitkan dengan kebiasaan bernapas dari mulut . dampaknya terhadap gingival adalah berupa dehidrasi permukaan. Ada hubungan antara kebiasaan bernapas dari mulut dengan gingivitis : 1. Bernapas dari mulut tidak mempengaruhi prevalensi dan perluasan gingivitis kecuali pada pasien yang ada kalkulusnya. 2. Gingivitis pada orang yang bernapas dari mulut lebih parah daripada orang yang bernapas normal meskipun skor plaknya sama. 3. Terjadi sedikit peningkatan prevalensinya 4. Gigi crowded yang disertai gingivitis hanya terjadi pada orang yang bernapas dari mulut. (2) Mendorong-dorong lidah Yaitu menekankan lidahnya kuat-kuat ke gigi, terutama ke gigi anterior,secara tetap. Pada waktu mengunyah dimana seharusnya bagian dorsal lidah menekan ke palatum dan ujung lidah berada di belakang gigi-gigi maksila, lidahnya justru ditekankan ke gigi anterior. Kebiasaan ini menyebabkan : - Berserak dan miringnya gigi-geligi anterior , disertai gigitan terbuka (open bite) pada daerah anterior,posterior, dan premolar. - Berubahnya inklinasi gigi anterior maksila menyebabkan perubahan arah tekanan fungsional, sehingga tekanan lateral terhadap mahkota gigi meningkat. - Bergeraknya gigi lebih jauh ke labial dan timbulnya tekanan rotasi dalam arah labiolingual. - Beradunya tekanan yang mendorong gigi ke labial dengan tekanan bibir kea rah rongga mulut akan menyebabkan gigi menjadi goyang. - Perubahan inklinasi gigi yang terjadi menyebabkan terganggu ekskursi makanan sehingga mempermudah penumpukan debris makanan pada tepi gingival. - Hilangnya kontak proksimal karena berseraknya gigi dapat menjurus ke terjadinya impaksi makanan. (3) Penggunaan tembakau Kebiasaan ini berupa kebiasaan merokok atau kebiasaan menguntah tembakau. Berperannya kebiasaan merokok sebagai factor etiologi bisa karena : - Mempermudah penumpukan kalkulus - Asap rokok bisa memperlemah kemampuan khemotaksis dan fagositosis netrofil - Kandungan nikotin rokok dapat memperlemah kemampuan fagositosis, menekan proliferasi osteoblas, dan kemungkinan juga mengurangi aliran darah ke gingival. (4) Trauma sikat gigi dan alat pembersih lainnya Penyikatan yang terlalu agresif, baik dengan gerak horizontal atau rotasi, bisa mencederai gingival secara langsung. Akibat buruk tersebut akan lebih parah apabila digunakan pula pasta gigi yang terlalu abrasive yang dapat meyebabkan : - Perubahan Akut Gingiva, yaitu terkelupasnya epitel gingival, pembentukan vesikel, atau eritema yang difus. - Perubahan Kronis Gingival beruoa resesi gingival disertai tersingkapnya akar gigi dan tepu gingival sedikit menggembung. Penggunaan tusuk gigi yang berlebihan menyebabkan terbukanya ruang interproksimal yang akan menjurus ke penumpukan debris dan perubahan inflamatoris.

(5) Kebiasaan Parafungsi atau bruksim Merupakan kebiasaan mengasah-asahkan gigi pada waktu tidak sedang mengunyah atau menelan. Bruksim dapa menyebabkan : keausan gigi, fraktur gigi atau hipertrofi otot. (6) Neurosis Yang termasuk kebiasaan neurosis adalah : menggigit-gigit bibir, mengigit-gigit pipi dapat menyebabkan penempatan mandibula yang ektrafungsionil : mengigit-gigit tusuk gigi,kuku, atau pensil / ballpoint. Kebiasaan mendorong-dorong lidah juga termasuk kelompok neurosis. (7) Kebiasaan yang berkaitan dengan okupasi Kebiasaan ini berkaitan dengan pekerjaan sehari-hari, diantaranya memegang paku dan mengigitnya, yang dilakukan tukang sepatu, tukang kayu, tukang perabot; memutuskan benang dengan gigi pada tukang jahit; tekanan dari alat music tiup tertentu (misalnya clarinet) pada pemain music. FACTOR-FAKTOR ETIOLOGI SEBAGAI BERIKUT : A. Bahan kimia Obat kumur yang terlalu keras efeknya, tablet aspirin yang diletakkan pada kavitas gigi yang sedang berdenyut, obat-obatan dengan efek membakar, dan kontak tidak sengaja dengan bahan kimia seperti fenol dan perak nitrat bisa menimbulkan inflamasi akut dengan ulserasi pada gingiva. B. Efek radiasi khususnya dijumpai pada penderita kanker rongga mulut atau disekitar kepala dan leher yang mendapat perawatan dengan radiasi. Radiasi bisa menyebabkan pembentukan eritema dan deskuamasi mukosa termasuk gingiva. Apabila radiasinya berlangsung lama bisa menyebabkan atrofi epitel, jaringan ikat menjadi fibrous dengan pembuluh darah yang berkurang jumlahnya. Pada tulang alveolar bisa terjadi degenerasi dan berkurangnya osteoklas dan osteoblast. Akibat perubahan tersebut tulang menjadi tempat masuknya infeksi dengan akibat terjadinya osteoradionekrosis. Radiasi juga menyebabkan atrofi kelenjar saliva sehingga terjadi xerostomia dengan akibat perubahan flora oral yang menjurus ke pembentukan karies. PROSES BERPERANNYA SUPRA KONTAK SEBAGAI FAKTOR ETIOLOGI Suprakontak adalah istilah umum untuk menyatakan kontak yang dapat menghalangi permukaan oklusal lainnya mencapai kontak stabil dengan banyak titik kontak. Ada beberapa tipe suprakontak : 1. Suprakontak retrusif ( retrusive supracontacts), yaitu suprakontak yang mendeplesikan mandibula pada penutupan ke posisi retrusi ; 2. Suprakontak interkuspal ( intercuspal supracontacts ), yaitu suprakontak yang menghalangi penutupan mandibula ke posisi intercuspal Terjadinya suprakontak bisa karena beberapa sebab : 1. Pembuatan restorasi atau gigi tiruan yang tidak memperhatikan oklusi yang baik ; 2. Maloklusi dan malposisi gigi ; 3. Tidak digantinya gigi yang hilang, sehingga menimbulkan serangkaian perubahan, diantaranya tilting-nya gigi tetangga dan ekstrusi gigi antagonist. FAKTOR NUTRISI SEBAGAI FAKTOR ETIOLOGI SISTEMIK Ada dua kesimpulan dari hasil-hasil penelitian mengenai efek nutrisi terhadap jaringan periodonsium, yaitu ada defisiensi nutrisi tertentu yang menyebabkan perubahan pada jaringan

periodonsium, perubahan mana dikategorikan sebagai manifestasi penyakit nutrisi pada periodonsium, dan tidak ada defisiensi nutrisi yang sendirian saja dapat menimbulkan gingivitis atau pembentukan saku periodontal. Namun demikian, ada defisiensi nutrisi yang mempengaruhi kondisi periodonsium, sehingga memperparah efek dari iritan local dan tekanan oklusal yang berlebihan. Defisiensi Vitamin C Disamping dapat menyebabkan scurvy, defisiensi vitamin C sering dikaitkan dengan penyakit periodontal. Defisiensi vitamin C memperhebat respon gingival terhadap plak dan memperparah oedema, pembesaran dan pendarahan yang terjadi akibat inflamsi yang disebabkan plak. Ada beberapa hipotesa mengenai mekanisme berperannya vitamin C pada penyakit periodontal: 1. Level vitamin C yang rendah akan mempengaruhi metabolism kolagen dalam periodonsium, sehingga mempengaruhi kemampuan regenerasi dan perbaikan jaringan, namun belum ada hasil penelitian yang mendukung hipotesa ini. 2. Defisiensi vitamin C menghambat pembentukan tulang yang akan menjurus ke kehilangan tulang. 3. Defisiensi vitamin c meningkatkan permeabilitas epitel krevikular terhadap dekstran tertritiasi; vitamin C dalam level yang tinggi dibutuhkan untuk memelihara fungsi penghalang dari epitel terhadap produk bakteri. 4. Peningkatan level vitamin C meningkatkan aksi kemotaksis dan aksi migrasi lekosit, tanpa mempengaruhi aksi fagositosisnya; tampaknya diperlukan megadosis vitamin c untuk memperbaiki aktivitas bakterisidal lekosit. 5. Level vitamin C yang optimal diperlukan untuk memelihara integritas mikrovaskulatur periodonsium, demikian juga respon vascular terhadap iritasi bacterial. 6. Penurunan level vitamin C yang drastic bias mengganggu keseimbangan ekologis bakteri dalam plak sehingga meningkatkan patogenitasnya. Defisiensi Protein 1. Terhambatnya aktivitas pembentukan tulang yang normal 2. Semakin parahnya efek destruktif dari iritan local dan trauma oklusal terhadap jaringan periodonsium. Namun untuk dimulainya gingivitis dan keparahannya adalah tergantung pada iritan lokal. PERANAN PENYAKIT KELAINAN ENDOKRIN SEBAGAI FAKTOR ETIOLOGI SISTEMIK Manifestasi jaringan periodontal dari penyakit sistemik bervarisi tergantung penyakit spesifik, respon individual dan faktor lokal yang ada. Faktor sistemik terlibat dalam penyakit periodontal dengan saling berhubungan dengan faktor lokal. Faktor sistemik saja tidak bisa menyebabkan respon keradangan pada penyakit periodontal,tetapi harus ada faktor lokal yang mendukung. Pada pasien kencing manis, bila faktor lokal pada riongga mulutnya buruk, akan bisa menyebabkan gangguan yang lebih lanjut lagi, oleh karena seorang dengan kencing manis mempunyai kelainan pada sistemiknya. Ada beberapa hipotesa mengenai keterlibatan diabetes melitus sebagai faktor etiologi penyakit gingiva dan periodontal, antara lain: 1. Terjadinya penebalan membran basal Pada penderita DM membran basal kapiler gingiva mengalami penebalan sehingga lumen kapiler menyempit. Menyempitnya lumen kapiler akibat penebalan tersebut menyebabkan terganggunya difusi oksigen, pembuangan limbah metabolisme, migrasi lekosit polimorfonukleus, dan difusi faktor- faktor serum termasuk antibodi 2. Perubahan biokimia

Level cAMP, yang efeknya mengurangi inflamasi, pada penderita DM menurun, hal mana diduga sebagai salah satu sebab lebih parahnya inflamasi gingiva pada penderita DM. 3. Perubahan mikrobiologis Peningkatan level glukosa dalam cairan sulkular dapat mempengaruhi lingkungan subgingiva, yang dapat menginduksi perubahan kualitatif pada bakteri yang pada akhirnya mempengaruhi perubahan periodontal. 4. Perubahan imunologis Meningkatnya kerentanan penderita diabetes melitus terhadap inflamasi diduga disebabkan oleh terjadinya defisiensi fungsi lekosit polimorfonukleus (LPN) berupa terganggunya khemotaksis, kelemahan daya fagositosis, atau terganggunya kemampuannya untuk melekat ke bakteri 5. Perubahan berkaitan dengan kolagen Peningkatan level glukosa bisa pula menyebabkan berkurangnya produksi kolagen. Di samping itu, terjadi pula peningkatan aktivitas kolagenase pada gingiva. Inflamed, papulonodular hyperplasia of the gingiva in a diabetic patient a. Kehamilan Kehamilan secara sendirian tidak dapat menyebabkan gingivitis. Gingivitis pada kehamilan adalah disebabkan oleh plak bakteri, sebagaimana pada orang yang tidak hamil. Kehamilan akan memperparah respon gingival tehadap plak dan memodifikasi gambaran klinis yang menyertainya. Tanpa adanya iritan lokal tidak terlihat perubahan secara klinis pada gingival wanita yang sedang mengalami kehamilan. Ada beberapa mekanisme bagaimana kehamilan berperan sebagai faktor etiologi penyakit gingival dan periodontal, yaitu: 1. Peningkatan level estradiol dan progesteron yang menyebabkan peningkatan bakteri Prevotella intermedia. 2. Tertekannya respon limfosit-T maternal selama kehamilan mempengaruhi respon periodonsium terhadap plak. 3. Peningkatan level estradiol dan progesterone juga menyebabkan dilatasi dan simpang siurnya mikrovaskulator gingival, stasis sirkulasi, dan peningkatan kerentanan terhadap iritasi mekanis. Perubahan tersebut memudahkan masuknya cairan ke perivaskular. b. Kontrasepsi Hormonal Perubahan yang diakibatkan oleh kehamilan yang dikemukakan di atas bias pula terjadi pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal (bentuk pil, implant, atau suntikan) untuk jangka waktu lebih dari satu setengah tahun. 15. Peranan kelainan/penyakit darah berikut sebagai factor etiologi sistemik : A. Leukimia Leukemia adalah neoplasma maligna pada precursor sel darah putih. Berdasarkan evolusinya, leukemia dibedakan atas bentuk: (1) akut, yang bersifat fatal; (2) subakut; (3) kronis. Pada leukemia akut sel-sel leukemia menginfiltrasi gingival, dan jarang sekali bisa infiltrasi ke tulang alveolar. Keadaan ini bisa menyebab terjadinya pembesaran gingival (leukemic gingival enlargement). Infiltrasi yang banyak dari sel-sel leukemik yang tidak matang disamping sel-sel inflamasi yang biasa

menyebabkan respon gingival terhadap iritasi adalah berbeda dibandingkan dengan yang bukan penderita leukemia. B. Anemia Anemia adalah defisiensi dalam defisiensi dalam kuantitas maupun kualitas darah yang dimanifestasikan dengan berkurangnya jumlah eritrosit dan hemoglobin. Ada empat tipe anemia berdasarkan morfologi selulernya dan kandungan hemoglobinnya, yaitu: (1) anemia makrositik hiperkromik (pernicious anemia); (2) anemia mikrositik hipokromik (iron deficiency anemia); (3) sickle cell anemia; dan (4) anemia normositik-normokromik (hemolytic anemia/aplastic anemia). Diantara keempat tipe anemia tersebut, tampaknya anemia aplastik yang turut berperan dalam etiologi penyakit gingival dan periodontal. Pada tipe anemia ini kerentanan gingival terhadap inflamasi meningkat karena terjadinya neutropenia. 16. Peranan faktor-faktor sebagai faktor etiologi sistemik : A. Penyakit yang melemahkan Penyakit yang melemahkan (debilitating diseases) seperti sifilis, nefritis kronis, dan tuberkulosa bisa menjadi factor pendorong bagi terjadinya penyakit gingival dan periodontal, dengan jalan melemahkan pertahanan periodonsium terhadap iritan local, dan menimbulkan kecenderungan terjadinya gingivitis dan kehilangan tulang alveolar. B. Gangguan Psikosomatik Dengan gangguan psikosomatik dimaksudkan efek merusak sebagai akibat pengaruh psikis terhadap control organic jaringan. Ada dua cara gangguan psikosomatik mempengaruhi periodonsium dan jaringan di rongga mulut lainnya: (1) melalui timbulnya kebiasaan buruk yang dapat mencederai periodonsium; (2) dengan efek langsung system saraf otonom terhadap keseimbangan jaringan yang fisiologis. Dibawah tekanan mental atau emosional, mulut akan menjadi sasaran pemuasan bagi orang dewasa. Hal ini menimbulkan kebiasaan buruk seperti: klensing; menggigit pensil, ballpoint, atau kuku; merokok secara berlebihan; yang kesemuanya berpotensi mencederai periodonsium. Meningkatnya aktivitas system saraf otonom oleh pengaruh psikis antara lain bisa menyebabkan perubahan respon pada kapiler gingival. C. AIDS/ Infeksi HIV Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) ditandai dengan penurunan system imunitas yang menyolok. Kondisi yang pertama kali dilaporkan tahun 1981 adalah disebabkan oleh virus yang dinamakan human immunodeficiency virus (HIV). Infeksi HIV menyebabkan gangguan terutama terhadap sel-TH, disamping terhadap monosit, makrofag, dan beberapa sel lainnya. Meskipun limfosit B tidak terpengaruh, namun akibat terganggunya fungsi limfosit T akan menyebabkan deregulasi pada sel-B. Penurunan system imunitas pada penderita yang terinfeksi HIV menyebabkan peningkatan kerentanannya terhadap penyakit gingival dan periodontal.

. PERANAN OBAT-OBATAN YANG BERPERAN SEBAGAI FAKTOR ETIOLOGI SISTEMIK MENGENAI

a. Jenis obat Beberapa jenis obat dengan efek kerja yang berbeda dapat menginduksi hyperplasia gingival noninflamasi dengan gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan. Obat-obatan yang dimaksud adalah : Fenitoin atau dilantin, suatu antikonvulsan yang digunakan dalam perawatan epilepsi Siklosporin, suatu imunosupresif yang biasa digunakan untuk mencegah reaksi tubuh dalam pencangkokan anggota tubuh. Nifedipin, diltiazem, dan verapamil, yaitu penghambat kalsium (calcium blocker) yang digunakan dalam perawatan hipertensi. b. Mekanisme berperannya Mekanisme penginduksian hyperplasia gingival oleh obat-obatan tersebut diatas atau oleh metabolitnya belumlah jelas betul, namun terlepas darimana yang paling berperan ada beberapa hipotesa yang dikemukakan : Pengaruh obat atau metabolit secara tidak langsung Obat atau metabolit menstimulasi diproduksinya IL-2 oleh sel-T, atau diproduksinya metabolit testosterone oleh fibroblast gingiva, yang pada akhirnya akan menstimulasi proliferasi dan atau sintesa kolagen oleh fibroblast gingiva Pengaruh obat atau metabolit secara langsung Obat/metabolit secara langsung menstimulasi proliferasi fibroblast gingival, sintesa protein, dan produksi kolagen Penghambatan aktivitas kolagenase Obat/metabolit dapat menghambat aktivitas kolagenase hingga penghancuran matriks akan terhambat Penghambatan degradasi kolagenase Obat/metabolit menstimulasi terbentuknya kolagenase fibroblastic inaktif, dengan akibat degradasi kolagen akan terhambat Faktor estetis Akhir-akhir ini dihipotesakan adanya faktor genetis yang menentukan kecenderungan bisa terjadi hyperplasia yang diinduksikan obat-obatan pada seseorang.

REFERENSI Daliemunthe, Saidina Hamzah. 2001. Periodonsia Edisi Revisi 2008. Medan. Genco RJ, Loe H. The role of systemic conditions and disorders in periodontal diseases. Periodontology 2000 1993,(2):98-116 http://id.88db.com/Kesehatan-Pengobatan/Perawatan-Kesehatan/ad-88755/ http://gigidanmulutsehat.blogspot.com/2009/11/kalkuluskarang-gigitartardan-apalah.html#more http://theo766hi.wordpress.com/2010/01/30/karang-gigi/ http://savechildfromsmoke.wordpress.com/2009/08/28/perokok-perokok-pasif-dan-kanker-ronggamulut/ http://www.scribd.com/doc/20949995/Cdk-140-Bunga-Rampai-Penyakit-Dalam http://drgdondy.blogspot.com/2008_07_01_archive.html Dr. Y. Kim 2000-12-04.foodimp01-Microsoft Word

http://drgdondy.blogspot.com/2008/07/penyakit-periodontal-pada-penderita.html http://chawdnextholmes.blogspot.com/ plaque.pdf Adobe Reader cdk_113_gigi.pdf Adobe Reader. Kalkulus Hubungannya dengan Penyakit Periodontal dan Penanganannya http://www.toothiq.com/dental-symptoms/dental-symptom-dental-overhang.html http://www.americandentalcenter.us/cosmetic_dentistry.html http://dentechblog.blogspot.com/2010/01/lares-laser-cleared-for-subgingival.html http://www.whocollab.od.mah.se/expl/ohigv60.htm

NEUROTRANSMITTER
Posted on January 25, 2010 by diyoyen. Categories: Syaraf. BAB 1. PENDAHULUAN Setiap mahasiswa kedokteran harus menyadari bahwa informasi yang dijalarkan dalam sistem saraf pusat terutama dalam bentuk potensial aksi saraf, disebut impuls saraf, yang melewati serangkaian neuron-neuron, dari satu neuron ke neuron yang berikutnya. Impuls saraf dijalarkan dari dari satu neuron ke neuron berikutnya melalui batas antar neuron (interneuronal junctions) yang disebut sinaps. Terdapat dua macam sinaps yaitu sinaps kimia dan sinaps listrik. Hampir semua sinaps yang dipakai untuk menjalarkan impuls pada sistem saraf pusat manusia adalah sinaps kimia. Pada sinaps kimia ini, neuron pertama yang menyekresi bahan kimia disebut neurotransmiter pada sinaps, dan bahan transmiter ini sebaliknyaakan bekerja reseptor protein dalam membran neuron berikutnya sehingga neuron trensebut akan terangsang, menghambatnya atau mengubah sensitivitasnya dalam berbagai cara. Neurotransmitters merupakan bahan kimia yang diperhitungkan dalam pengiriman sinyal dari satu neuron ke neuron berikutnya di synapses. They are also found at the axon endings of motor neurons, where they stimulate the muscle fibers to contract. neurotransmiter juga ditemukan di axon dari motor neurons. In this chapter, we will review some of the most significant neurotransmitters. Dalam bab ini, kita akan meninjau beberapa neurotransmitters yang paling signifikan. Neurotransmitter diproduksi oleh soma sel dan dialirkan ke terminal button melalui microtubules di sepanjang axon. Proses ini disebut dengan axoplasmic transport. Neurotransmiter merupakan zat kimia yang disintesis dalam neuron dan disimpan dalam gelembung sinaptik pada ujung akson. Zat kimia ini dilepaskan dari akson terminal melalui eksositosis dan juga direabsorpsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan cara komunikasi antar neuron. Zat-zat kimia ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi lebih kurang dapt menyalurkan impuls, tergantung dari neuron dan transmiter tersebut. Diketahu atau diduga terdapat lebih dari tiga puluh macam neurotransmiter, contoh-contoh neurotransmiter adalah norefinefrin, acetilkolin, dopamin, serotonin, asam gama aminobutirat (GABA) dan glisin. BAB 2. PEMBAHASAN 2.1 Neurotransmitter

Informasi yang dijalarkan di dalam system saraf pusat terutama dalam bentuk potensial aksi saraf disebut impuls saraf, yang melewati serangkaian neuron-neuron, dari satu neuron ke neuron berikutnya. Sinyal-sinyal saraf dijalarkan dari satu neuron ke neuron berikutnya melalui batas antar neuron (interneuronal junctions) yang disebut sinaps. Terdapat dua macam sinaps, yaitu sinaps kimia dan sinaps listrik. Hampir semua sinaps yang dipakai untuk menjalarkan sinyal pada system saraf pusat manusia adalah sinaps kimia. Pada sinaps kimia ini, neuron pertama yang mensekresi bahan kimia disebut sebagai neurotransmitter pada sinaps, dan bahan transmitter ini akan bekerja pada reseptor protein dalam membran neuron berikutnya sehingga neuron tersebut akan terangsang, menghambatnya atau mengubah sensitifitasnya dalam berbagai cara. Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 40 substansi transmitter. Beberapa diantaranya adalah asetilkolin, norepinefrin, histamine, asam gamma aminobutirat (GABA), glisin, serotonin, dan glutamate. Sebaliknya sinaps listrik ditandai oleh adanya saluran langsung yang menjalarkan aliran listrik dari satu sel ke sel berikutnya. Kebanyakan saluran ini terdiri atas struktur tubuler protein kecil yang disebut taut celah (gap junction) yang memudahkan pergerakan ion-ion secara bebas dari bagian satu sel ke sel berkutnya. Di dalam system saraf pusat hanya dijumpai sedikit taut celah, dan artinya secara umum belum diketahui. Sebaliknya pada otot polos visceral, dengan melewati taut celah dan taut lain yang serupa,sial aksi itu dapat dijalarkan dari satu serabut otot polos ke serabut berikutnya dan juga pada otot jantung, dari satu sel otot jantung ke sel otot jantung lainnya. Sinaps kimia mempunyai sifat yang penting, sehingga sangat disukai sebagai tempat penjalaran sinyal sistem saraf: sinaps ini selalu menjalarkan sinyal dalam satu arah, yakni dari neuron yang menyekresi transmitter, yang disebut neuron presinaps, ke neuron dimana bahan transmitter tadi bekerja, yang disebut neuron postsinaps. Hal ini dikenal sebagai prinsip konduksi satu arah pada sinaps kimia, dan penjalaran ini sungguh berbeda dengan penjalaran melewati sinapa listrik yang dapat menjalarkan sinyal secara dua arah. Pikirkan sejenak perihal makna yang sangat penting dari mekanisme konduksi satu arah ini. Mekanisme ini memungkinkan penjalaran sinaps ke arah satu tujuan yang khas. Tentu saja, hal ini merupakan penjalaran sinaps yang berciri tersendiri dan ada daerah yang sangat tepat di dalam sistem saraf yang mempermudah sistem saraf itu melaksanakan fungsinya yang sangat banyak seperti sensasi, pengaturan motorik, memori, dan banyak lainnya. 2.2 Anatomi Fisiologi Sinaps

Pada gambar 2.1 menjelaskan sebuah neuron motorik anterior yang khas di dalam kornu anterior medulla spinalis. Neuron motorik ini terdiri dari 3 bagian utama, yaitu soma (cell body) yang merupakan badan utama dari neuron, sebuah akson tunggal yang memanjang dari soma ke dalam saraf perifer yang meninggalkan medulla spinalis, dan denrit yang merupakan sejumlah besar penonjolan tipis dari soma yang memanjang keluar sepanjang 1 mm ke daerah sekitar medulla spinalis. Gambar 2.1 Sebuah neuron motorik yang khas, memperlihatkan ujung presinaps yang terdapat pada soma neuron dan denrit. Perhatikan juga adanya akson tunggal Di permukaan dendrit dan soma dari neuron motorik terdapat rata-rata 10.000 knop kecil yang disebut ujung presinaps (presynaps terminal). Kira-kira 80-95% ujung presinap ini terletak pada dendrit dan hanya 5-20% terletak pada soma. Ujung presinaps ini merupakan ujung dari serabutserabut fibril yang berasal dari banyakneuron lain. Nanti akan menjadi jelas bahwa sebagian besar ujung presinaps ini bersifat mudah dirangsang (excitatory), artinya menyekresi suatu bahan yang merangsang neuron post sinaps, sedangkan yang lainnya bersifat mudah dihambat (inhibitory), artinya menyekresi suatu bahan yang dapat menghambat neuron post sinaps. Neuron-neuron yang terdapat pada bagian lain medulla spinalis dan otak jelas berbeda dengan neuron motorik anterior, yakni dalam hal ukuran badan sel, panjang, ukuran dan jumlah dendrit, panjang dan besarnya akson, jumlah ujung presinaps. Oleh karena perbedaan ini, maka neuron-neuron yang terdapat di bagian sistem saraf yang berbeda akan mengeluarkan reaksi yang berbeda pula terhadap sinyal yang masuk, dan akibatnya akan menimbulkan fungsi yang berbeda juga. Penelitian dengan menggunakan mikroskop elektron terhadap ujung presinaps mempunyai bermacam-macam bentuk anatomi, namun kebanyakan bentuknya menyerupai tombol bulat atau bujur telur sehingga seringkali disebut sebagai ujung tombol (terminal knob), knob bunga (boutons), ujung kaki (end feet) atau knob sinaps (synaptic knob). Pada gambar 2.2 menjelaskan struktur dasar ujung presinaps. Ujung presinaps ini dipisahkan dari soma neuron oleh suatu celah sinaps yang biasanya mempunyai lebar 200-300 angstrom. Ujung presinaps ini mempunyai dua struktur interna yang berfungsi untuk penerusan rangsang (excitatory) atau penghambatan sinaps, yakni kantong transmitter (transmitter vesicles) dan mitokondria. Kantung transmitter ini mengandung bahan transmitter yang bila dilepaskan ke dalam celah sinaps dapat merangsang atau menghambat neuron postsinaps, akan merangsang jika membran

neuronnya mengandung reseptor perangsang, akan menghambat bila membran neuronnya mengandung reseptor penghambat. Mitokondria akan menyediakan adenosin trifosfat (ATP), yang mensuplai energi untuk sintesis bahan transmitter baru. Gambar 2.2 Anatomi fisiologi sebuah sinaps Bila suatu potensial aksi menyebar di sepanjang ujung presinaps, maka depolarisasi membran yang terjadi akan mengosongkan sejumlah kecil kantung ke dalam celah sinaps dan bahan transmitter yang dikeluarkan itu sebaliknya akan segera menyebabkan perubahan pada sifat permeabilitas membran neuron post sinaps, sehingga mempermudah terjadinya perangsangan atau penghambatan pada neuron post sinaps tersebut, bergantung pada sifat reseptornya. 2.3 Mekanisme Yang Timbul Bila Suatu Potensial Aksi Menyebabkan Pelepasan Transmitter Di Ujung Presinaps-Peran Ion Kalsium Membran sel yang menutupi ujung presinaps yang disebut membran presinaps, mengandung banyak sekali saluran kalsium yang berpintu gerbang voltase (voltage-gated calcium channels). Keadaan ini sangat berbeda dengan serabut-serabut saraf yang ada di daerah lainnya yang hanya mengandung sedikit sekali saluran yang serupa. Bila ada potensial aksi yang mendepolarisasi terminal, maka sebagian besar ion kalsium akan mengalir masuk ke dalam ujung tadi melalui saluran kalsium tersebut. Jumlah bahan transmitter yang dilepaskan ke dalam celah sinaps sesuai dengan jumlah ion kalsium yang memasuki terminal. Bagaimana tepatnya mekanisme yang dipakai oleh ion kalsium untuk terjadinya pelepasan bahan pemancar tadi tidaklah diketahui, namun ada anggapan bahwa mekanismenya adalah sebagai berikut: Sewaktu ion kalsium memasuki ujung presinaps, ada anggapan bahwa ion-ion ini berikatan dengan molekul protein pada permukaan sisi dalam membran presinaps, yang disebut sisi pelepasan. Keadaan ini sebaliknya akan menyebabkan kantong-kantong transmitter di sekitar daerah itu akan berikatan dan menyatu dengan membran, sehingga akhirnya akan membuka bagian luar membran melalui proses yang disebut eksositosis. Beberapa kantong biasanya melepaskan transmitternya ke dalam celah setiap timbul potensial aksi tunggal. Pada kantong-kantong ini yang menyimpan neurotransmitter asetilkolin, masing-masing ditemukan antara 2.000-100.000 molekul asetilkolin dan terdapat cukup banyak kantong pada ujung presinapa untuk menjalarkan beberapa ratus sampai lebih dari 10.000 potensial aksi. 2.4 Pengaruh Bahan Transmitter Terhadap Neuron Postsinaps-Fungsi Protein Reseptor

Pada sinaps,membran neuron postsinaps mengandung banyak sekali protein reseptor, seperti yang terdapat pada gambar 2.2. reseptor-reseptor ini mempunyai dua komponen penting, yakni komponen pengikat yang menonjol keluar dari membran masuk ke dalam celah sinaps, disini komponen akan berikatan dengan neurotransmitter yang berasal dari ujung presinaps dan komponen ionofor yang melewati semua jalur melalui membran ke bagian dalam neuron postsinaps. Ionofor merupakan salah satu dari dua hal berikut, yang pertama saluran ion yang memungkinkan berjalannya ion jenis khusus untuk melalui saluran, yang kedua aktifator second messenger yang bukan merupakan saluran ion melainkan penonjolan ke dalam sitoplasma sel dan mengaktivasi satu atau lebih bahan-bahan di bagian dalam neuron post sinaps. Bahan-bahan ini bertindak sebagai second messenger untuk mengubah fungsi seluler yang khas. Saluran Ion. Saluran ion di dalam membran neuron postsinaps biasanya terdiri atas dua jenis, yaitu: 1. Saluran kation, yang sebagian besar seringkali memungkinkan ion natrium lewat tapi kadang-kadang juga ion kalium atau ion kalsium 2. Saluran anion, yang terutama memungkinakan ion klorida untuk lewat dan juga sedikit sekali anion yang lain. Saluran kation yang menghantarkan ion natrium dibatasi oleh muatan negatif. Muatan ini menarik muatan ion natrium yang bersifatpositif ke dalam saluran ketika diameter saluran meningkat menjadi ukuran yang lebih besar dari ion natrium yang terhidrasi. Tetapi ion yang sama yang memiliki muatan negatif menolak ion klorida dan anion lain dan menghambat jalannya. Untuk saluran anion, ketika diameter saluran menjadi cukup besar, ion klorida berjalan masuk melalui saluran dan melaluinya ke arah yang berlawanan, sedangkan kation natrium, kalium, dan kalsium dihambat, terutama karena ukuran dari bentuk ion hidrasinya terlalu besar untuk dapat lewat. Pembukaan saluran natrium akan mengeksitasi neuron postsinaps. Karena itu substansi transmitter yang membuka saluran natrium disebut sebagai transmitter eksitator. Selain itu, pembukaan saluran klorida akan menghambat neuron, dan substansi transmitter yang membuka saluran klorida ini disebut sebagai transmitter inhibitor. Ketika substansi transmitter mengaktivasi saluran ion, saluran biasanya akan membuka dalam waktu milidetik. Ketika substansi transmitter tidak ada lagi, saluran menutup dengan cepat. Karena itu

pembukaan dan penutupan saluran ion memberi artiuntuk aktivasi cepat atau inhibisis cepat pada neuron postsinaps. 2.5 Sistem Second Messenger pada Neuron Postsinaps Banyak fungsi sistem saraf, sebagai contoh,proses memori memerlukan perubahan yang cukup lama dalam neuron selama beberapa detik sampai beberapa bulan setelah substansi transmitter mula-mula menghilang. Saluran ion tidak sesuai untuk menyebabkan perubahan neuron postsinaps yang lama, sebab saluran ini tertutup dalam waktu milidetik setelah substansi transmitter tidak ada lagi. Dalam banyak contoh kerja neuron yang lama dicapai melalui pengaktivan sistem kimia second messenger di dalam selneuron post sinaps sendiri, dan kemudian second messenger menyebabkan efek yang panjang. Terdapat beberapa jenis sistem second messenger. Satu dari jenis yang paling kuat dalam neuron menggunakan sekelompok protein yang disebut protein G. Gambar 2.3 memperlihatkan protein reseptor membran yang diaktivasi oleh substansi transmitter. Protein G dilekatkan pada bagian protein reseptor yang menonjol ke bagian inferior sel. Protein G terdiri dari tiga komponen, yaitu komponen alfa yang merupakan aktivator sebagian protein G, dan komponen beta serta gama yang melekatkan protein G ke bagian dalam membran sel yang berdekatan dengan protein reseptor. Pada proses aktivasi oleh impuls saraf, bagian alfa protein G mamisahkan diri dari bagian beta dan gama dan kemudian dia bebas bergerak di dalam sitoplasma sel. Di dalam sitoplasma komponen alfa yang terpisah membentuk satu atau lebih fungsi majemuk, bergantung pada gambaran khas dari setiap jenis neuron. Gambar 2.3 memperlihatkan empat perubahan yang dapat terjadi. Keempat hal itu adalah sebagai berikut: 1. Pembukaan saluran ion khusus melalui membran post sinaps. Saluran kalium terbuka sebgai respon terhadap protein G. Saluran ini seringkali tetap terbuka untuk waktu yang lama, sebaliknya akan menutup dengan cepat akibat aktivasi langsung saluran ion yang tidak menggunakan sistem second messenger. 2. Aktivasi adenosin monofosfat siklik (AMP) atau guanosin monofosfat siklik (GMP) dalam sel neuron. Ingatlah bahwa AMP siklik atau GMP siklik dengan kuat dapat mengendalikan mesin metabolik spesifik dalam neuron dan karena itu, dapat mencetuskan akibat kimiawi termasuk perubahan jangka panjang dalam struktur sel sendiri, jadi akan mengganggu eksitabilitas neuron jangka panjang.

3. Aktivasi dari satu atau lebih enzim intraseluler. Protein G dapat secara langsung mengaktivasi satu atau lebih enzim intraseluler, kemudian enzim tersebut dapat menimbulkan fungsi kimia sel khusus. 4. Aktivasi transkrip gen. Hal ini barang kali merupakan sistem second messenger yang paling penting dari neuron postsinaps. Transkripsi gen dapat menyebabkan pembentukan protein baru di dalam neuron, dan hal ini dapat mengubah mesin metabolik sel atau strukturnya. Sbaliknya telah diketahui dengan baik, bahwa dapat terjadi perubahan strukturan neuron yang teraktivasi secara baik, terutama pada proses memori panjang. Karena itu, telah jelas bahwa aktivasi sistem second messenger di dalamneuron, apakah berupa protein G atau lainnya, sifatnya sangat penting untuk perubahan berbagai gambaran respon dari jalur neuron yang berbeda 2.6 Reseptor Eksitasi Dan Inhibisi Pada Membran Postsinaps Beberapa reseptor postsinaps bila diaktivasi menyebabkan eksitasi neuron postsinaps dan yang lainnya menyebabkan inhibisi. Pentingnya memiliki reseptor inhibisi seperti juga jenis eksitasi adalah bahwa reseptor-reseptor ini memberi dimensi tambahan terhadap fungsi saraf, memungkinkan pengendalian kerja saraf dan perangsangannya. Berbagai mekanisme molekuler dan membran digunakan oleh berbagai reseptor untuk menimbulkan eksitasi atau inhibisi, sebagai berikut: Eksitasi 1. Saluran natrium yang terbuka memungkinkan pelepasan listrik bermuatan positif dalam jumlah besar untuk mengalir dari bagian anterior dari postsinaps. Hal ini akan meningkatkan potensial membran dalam arah positif menuju nilai ambang rangsang untuk menyebabkan eksitasi. 2. Penekanan hantaran melalui saluran klorida atau kalium atau keduanya akan menurunkan difusi ion korida bermuatan negatif ke bagian dalam neuron postsinaps atau menurunkan difusi ionbermuatan positif ke bagian luar. Pada contih lainpengaruhnya adalah dengan membuat potensial membran internal menjadi lebih positif dari normal yang bersifat eksitatorik.

3. Berbagai perubahan metabolisme internal sel untuk merangsang aktivitas sel atau pada beberapa keadaan meningkatkan jumlah reseptor membran eksitasi atau menurunkan jumlah reseptor membran inhibisi. Inhibisi 1. Pembukaan saluran ion kloridamelaui molekul reseptor akan memungkinkan ion klorida yang bermuatan negatif untuk berdifusi secara cepat dari bagian luar neuron postsinaps ke bagian dalam, dengan demikian membawa muatan negatif ke dalam dan meningkatkan negativitas di bagian dalam, yang bersifat inhibisi. 2. Meningkatkan hantaran ion kalium melalui reseptor akan memungkinkan ion kalium yang bermuatan positif untuk berdifusi ke bagian eksterior yang juga bersifat inhibisi. 3. Aktivasi enzim reseptor yang menghambat fungsi metabolik seluler atau yang meningkatkan jumlah reseptor sinap inhibisi atau menurunkan jumlah reseptor eksitasi. Transmisi sinaps kimia berlangsung melalui dua macam proses transmisi neurokimia yang berbeda satu sarna lain, yaitu small-molecule neurotransmitters dan large-molecule

neurotrnsmitters. a. Small-Molecule Neurotransmitters. Proses ini dimulai dengan berkumpulnya substansi kimia didalam cisterna yang akan disimpan di dekat membran presinapsis (membran presinapsis kaya akan kelenjar-kelenjar yang mengandung kalsium. Bila mendapat stimulasi dari potensial aksi, saluran kalsium tadi akan terbuka dan ion Ca++ akan masuk ke dalam button. Masuknyaa++akan mendorong pembuluh sinapsis untuk melakukan kontak dengan membran presinapsis dan melepaskan isinya ke dalam celah sinapsis (lihat gambar 3.12.). Proses ini disebut dengan exocytosis. Proses ini berlangsung pada setiap kali stimulasi dari potensial aksi terjadi. Ia langsung menyampaikan pesan kepada reseptor postsinapsis yang ada di sekitarnya (lokal). b. Large-molecule Neurotransmitters. Proses exocytosis juga terjadi, namun untuk large molecule neurotransmitter, substansi kimia yang dibutuhkan akan berkumpul dalam Badan Goigi dan dialirkan ke buttons melalui microtubules. Proses exocytosisnya tetap sarna, namun bila small-molecule berlangsung pada setiap kali terjadi stimulasi; proses exocytosis large-molecule akan berlangsung secara bertahap. Largemolecule umumnya juga tidak dilepaskan pada celahinapsis, namun dilepaskan pada cairan ekstrasel

dan pembuluh darah. Oleh karena itu proses large-molecule ini biasanya terjadi pada reseptor yang letaknya jauh dari proses exocytosis dan pengaruh yang disebarkan juga tidak terbatas pada neuron yang ada disekitarnya tetapi juga neuron-neuron yang letaknya berjauhan. Oleh karena itu proses large-molecule neurotansmitter umumnya lebih berfungsi sebagai neuromodulator. Proses largemolecule diperlancar dengan bantuan proses-proses smallmolecule (sebagai second

messenger/penyampai pesan sekunder). Neuromodulator memiliki peranan yang besar dalam mengkontrol emosi dan motivasi. 2.7 Substansi Kimia Yang Berfungsi Sebagai Transmitter Sinaptik Lebih dari 40 substansi kimia telah dibuktikan atau dinyatakan berfungsi sebagai transmitter sinaptik. Sebagian besar dari semua itu dicantumkan dalam tabel 2.1 dan tabel 2.2, yang terbagi menjadi dua kelompok transmitter sinaptik. Yang satu merupakan molekul kecil, yaitu transmitter yang bekerja cepat, dan yang lainnya terdiri dari banyak neuropeptida yang memiliki ukuran molekul jauh lebih besar dan bekerja jauh lebih lambat. Tabel 2.1 Transmitter molekul kecil yang bekerja cepat KELAS Kelas I Kelas II Asetilkolin Norepinefrin Dopamin Serotonin Histamin Kelas III Asam Gama Aminobutirat (GABA) Glisin Glutamat Aspartat Kelas IV Oksida Nitrat (NO) Golongan molekul kecil, yaitu transmitter yang bekerja cepat adalah salah satu yang menyebabkan sebagian besar respon cepat dari sistem saraf, seperti penjalaran sinyal sensorik ke otak dan sinyal motorik ke otot. Neuropeptida sebaliknya, biasanya menyebabkan kerja yang lebih lambat, seperti perubahan jangka panjang jumlah reseptor,pembukaan atau penutupan jangka panjang dari saluran ion tertentu, dan mungkin bahkan perubahan jangka panjang jumlah sinap atau ukuran sinap. TRANSMITTER

Tabel 2.2 Neuropeptida (Transmitter yang bekerja lambat) JENIS Hypothalamic-releasing hormone NEUROPEPTIDA Thyrotropin releasing hormone Luteinizing hormone-releasing hormone Somatostatin Peptida hipofise ACTH Beta Endorfin Alfa melanocyte stimulating hormone Prolactin Luteinizing hormone Thyrotropin Growth hormone Vasopresin Oksitosin Peptida yang bekerja pada usus dan otak Leusin enkefalin Metionin enkefalin Substansi P Gastrin Kolesistokin Polipeptida vasoaktif Intestinum (VIP) Neurotensisn Insulin Glukagon Dari Jaringan-jaringan lain Angiotensin II Bradikinin Karnosin Peptida tidur Kalsitonin 2.7.1 Transmitter Bermolekul Kecil Yang Bekerja Cepat Pada sebagian besar kasus, transmitter jenis molekul kecil ini disintesis dalam sitosol pada ujung presinaptik dan kemudian diabsorbsi melalui transpor aktif ke dalam banyak gelembung transmitter di ujung sinaps. Kemudian setiap kali potensial aksi mencapai ujung sinap, beberapa

gelembung segera melepaskan transmitternya ke dalam celah sinaptik. Hal ini biasanya terjadi dalam waktu milidetik atau kurang melalui mekanisme yang telah dijelaskan sebelumnya. Kerja transmitter jenis molekul kecil ini selanjutnya pada reseptor membran postsinaps biasanya juga terjadi dalam waktu milidetik atau kurang. Efek yang paling sering adalah mengaktivasi protein reseptor yang meningkatkan atau menurunkan hantaran melalui saluran ion. Suatu contoh adalah untuk meningkatkan hantaran natrium yang menyebabkan eksitasi atau untuk meningkatkan hantaran kalium atau klorida yang menyebabkan inhibisi. Kadang-kadang transmitter jenis molekul kecil dapat merangsang enzim teraktivasi-reseptor dan sebaliknya membuka saluran ion, maka terjadi perubahan mesin metabolik internal dari sel. a. Pendauran Ulang Gelembung Jenis Molekul Kecil Gelembung yang menyimpan dan melepaskan transmitter molekul kecil terus menerus mengalami daur ulang, artinya dapat dipakai lagi. Setelah mereka bersatu dengan membran sinap dan membuka untuk melepaskan substansi transmitternya, mula-mula gelembung membran menjadi bagian dari membran sinap. Namun, dalam beberapa detik sampai beberapa menit, bagian gelembung dari membran masuk kembali ke dalam ujung presinap dan akan membentuk gelembung baru. Gelembung ini tetap berisi protein transpor yang sesuai untuk mengkonsentrasikan substansi transmitter baru dibagian dalam gelembung. Asetilkolin adalah transmitter molekul kecil yang khas yang mematuhi prinsip-prinsip sintesis dan pelepasan seperti di atas. Substansi transmitter ini disintesis diujung presinap dari koenzim asetil A dan kolin dengan menggunakan enzim kolin asetiltransferase. Kemudian substansi ini dibawa ke dalam gelembung spesifiknya.ketika kemudian gelembung melepaskan asetilkolin ke dalam celah sinap, asetilkolin dengan cepat memecah kembali asetat dan kolin dengan bantuan enzim kolinesterase, yang berikatan dengan retikulum proteoglikan dan mengisi ruang celah sinap. Kemudian gelembung mengalami daur ulang dan kolin juga secara aktif dibawa kembali ke dalam ujung sinap untuk digunakan kembali bagi keperluan sintesis asetilkolin baru. 2.7.2 Ciri Khas Beberapa Transmitter Molekul Kecil a. Aspartat Asam aspartat (Asp) adalah -asam amino dengan rumus kimia HO2CCH(NH2)CH2CO2H. Asam aspartat (atau sering disebut aspartat saja, karena terionisasi di dalam sel), merupakan satu dari 20 asam amino penyusun protein. Kodonnya adalah GAU dan GAC.

Asam aspartat bersama dengan asam glutamat bersifat asam dengan pKa dari 4.0. Bagi mamalia aspartat tidaklah esensial. Fungsinya diketahui sebagai pembangkit neurotransmisi di otak dan saraf otot. Diduga, aspartat berperan dalam daya tahan terhadap kelelahan. Senyawa ini juga merupakan produk dari daur urea dan terlibat dalam glukoneogenesis. Peranan dalam biosintesis asam amino1 Aspartat adalah asam amino non esensial bagi manusia yang dihasilkan dari oksaloasetat melalui transaminase. Pemindahan gugus amino dari asam amino ke asam keto menghasilkan asam keto dari asam amino asal dan asam amino baru dari asam keto yang sudah menerima gugus amino. Reaksi ini dikatalisis oleh aminotransferase atau transaminase. Sebagai aseptor utama gugus amino adalah a ketoglutarat membentuk asam amino glutamat: Asam amino + ketoglutarat asam keto + glutamat Glutamat selanjutnya mentransfer gugus aminonya dalam transaminasi kedua ke oxaloasetat membentuk aspartat. Glutamat + oxaloasetat ketoglutarat + aspartat Sebaliknya aspartat dapat diubah kembali menjadi oxaloacetate melalui transaminasi aspartat Gambar 2.3 Transaminasi Aspartat Dalam tanaman dan mikroorganisme, aspartat merupakan bahan prekursor untuk pembentukan beberapa asam amino, termasuk empat asam amino essensial yaitu methionine, threonine, isoleucine, dan lysine. Pembentukan asam amino tersebut dari aspartat dimulai dengan mereduksi aspartat menjadi bentuk semi aldehidnya, HO2CCH(NH2)CH2CHO. Gambar 2.4 Biosintesis Aspartat Famili Asparagine berasal dari aspartat melalui proses transamidasi: HO2CCH(NH2)CH2CO2H+GC(O)NH2HO2CCH(NH2)CH2CONH2+ GC(O)OH

(GC(O)NH2 adalah glutamat dan GC(O)OH adalah asam glutamat). Sebaliknya asparagin dapat diubah menjadi aspartat oleh asparaginase Gambar 2.5 Konversi Asparagin menjadi Aspartat oleh asparaginase1

Peranan sebagai neurotransmiter Aspartat (basa konjugasi dari asam aspartat) merupakan neurotransmiter yang bersifat eksitasi terhadap sistem saraf pusat. Aspartat merangsang reseptor NMDA (N-metil-D-Aspartat), meskipun tidak sekuat rangsangan glutamat terhadap reseptor tersebut. Sebagai neurotransmitter, aspartat berperan dalam daya tahan terhadap kelelahan. Tetapi,buktibukti yang mendukung gagasan ini kurang kuat. Sumber 1. Sumber makanan Asam aspartat bukan merupakan asam amino esensial, yang berarti dapat disintesis sendiri dalam tubuh manusia. Asam aspartat dapat ditemukan dalam daging, sosis, alpukat, asparagus, dan suplemen makanan. 1. Sintesis kimia Asam aspartat dapat disintesis dari diethyl sodium phthalimidomalonate,

(C6H4(CO)2NC(CO2Et)2). b. Glisin Glisin (Gly, G) atau asam aminoetanoat adalah asam amino alami paling sederhana. Rumus kimianya NH2CH2COOH. Glisin merupakan asam amino terkecil dari 20 asam amino yang umum ditemukan dalam protein. Kodonnya adalah GGU, GGC, GGA dan GGG.

Glisin merupakan satu-satunya asam amino yang tidak memiliki isomer optik karena gugus residu yang terikat pada atom karbon alpha adalah atom hidrogen sehingga terjadi simetri. Jadi, tidak ada L-glisin atau D-glisin. Glisin merupakan asam amino yang mudah menyesuaikan diri dengan berbagai situasi karena strukturnya sederhana. Sebagai contoh, glisin adalah satu-satunya asam amino internal pada heliks kolagen, suatu protein struktural. Pada sejumlah protein penting tertentu, misalnya sitokrom c, mioglobin, dan hemoglobin, glisin selalu berada pada posisi yang sama sepanjang evolusi (terkonservasi). Penggantian glisin dengan asam amino lain akan merusak struktur dan membuat protein tidak berfungsi dengan normal. Secara umum protein tidak

banyak pengandung glisina. Perkecualian ialah pada kolagen yang dua per tiga dari keseluruhan asam aminonya adalah glisin.
Biosintesis Glisin

Glisin merupakan asam amino nonesensial bagi manusia. Tubuh manusia memproduksi glisin dalam jumlah mencukupi. Glisin dibentuk dari serin, yang merupakan derivat dari 3phosphoglycerate. Pada kebanyakan organisme, enzim serine hydroxymethyltransferase mengkatalis pembentukan glisin dari serin. Serine + tetrahydrofolate Glycine + N5,N10-Methylene tetrahydrofolate + H2O Dalam hati vertebrata, sintesis glisin dikatalis oleh enzim glycine synthase secara reversibel.
CO2 + NH4+ + N5,N10-Methylene tetrahydrofolate + NADH + H+ Glycine + tetrahydrofolate + NAD+

Katabolisme glisin Glisin didegradasi melalui tiga jalur: 1.Glisin dipecah dengan bantuan enzim glycine synthase, enzim yang sama dalam biosintesis glisin. Jalur ini merupakan jalur utama bagi katabolisme glisin dan serin pada manusia serta banyak vertebrata lainnya. Kompleks glycine synthase, yaitu suatu kompleks enzim makromolekular pada mitokondria hati, akan memecah glisin menjadi CO2 dan NH4+ secara reversibel.
Glycine + tetrahydrofolate + NAD+ CO2 + NH4+ + N5,N10-Methylene tetrahydrofolate + NADH + H+

2.Glisin dipecah dalam dua langkah. Glisin diubah menjadi serin dengan bantuan enzim hydroxymethyl transferase. Serin yang terbentuk diubah menjadi piuvat dengan bantuan enzim serine dehydratase. 3.Glisin diubah menjadi glyoxylate olehD-amino acid oxidase. Glycoxylate lalu dioksidasi oleh lactate dehydrogenase menjadi oxalate in pada reaksi yang bergantung pada NAD+. Peranan glisin sebagai neurotransmiter. Glisin bekerja sebagai transmiter inhibisi pada sistem saraf pusat, terutama pada medula spinalis, brainstem, dan retina. Jika reseptor glisin teraktivasi, korida memasuki

neuron melalui reseptor inotropik, menyebabkan terjadinya potensial inhibisi post sinaps (Inhibitory postsynaptic potential / IPSP). Strychnine merupakan antagonis reseptor glisin yang kuat, sedangkan bicuculline merupakan antagonis reseptor glisin yang lemah. Glisin merupakan reseptor agonis bagi glutamat reseptor NMDA. c. GABA -Aminobutyric acid (GABA) adalah neurotransmiter inhibisi utama pada sistem saraf pusat. GABA berperan penting dalam mengatur exitability neuron melalui sistem saraf. Pada manusia, GABA juga bertanggung jawab langsung pada pengaturan tonus otot. Biosntesis GABA GABA dibentuk dari dekarboksilasi glutamat yang dikatalis oleh glutamate decarboxylase (GAD).GAD umumnya terdapat dalam akhiran saraf. Aktivitas GAD membutuhkan pyridoxal phosphate (PLP) sebagai kofaktor. PLP dibentuk dari vitamin B6 (pyridoxine, pyridoxal, and pyridoxamine) dengan bantuan pyridoxal kinase. Pyridoxal kinase sendiri membutuhkan zinc untuk aktivasi. Kekurangan pyridoxal kinase atau zinc dapat menyebabkan kejang, seperti pada pasien preeklamsi. Gambar 2.6 Konversi Glutamat-Gaba Reseptor GABA Reseptor GABA dibagi dalam dua jenis: GABAA dan GABAB. Reseptor GABAA membuka saluran florida dan diantagonis oleh pikrotoksin dan bikukulin, yang keduanya dapat mnimbulkan konvulsi umum. Reseptor GABAB yang secara selektif dapat diaktifkan oleh obat anti spastik baklofen, tergabung dalam saluran kalium dalam membran pascasinaps. Pada sebagian besar daerah otak IPSP terdiri atas komponen lambat dan cepat. Bukti-bukti menunjukkan bahwa GABA adalah transmiter penghambat yang memperantarai kedua componen tersebut. IPSP cepat dihambat oleh antagonis GABAA, sedangkan IPSP lambat oleh antagonis GABAB. Penelitian imunohistokimia menunjukkan bahwa sebagian besar dari saraf sirkuit local mensintesis GABA. Satu kelompok khusus saraf dari sirkuit local terdapat di tanduk dorsal sumsum tulang belakang juga menghasilkan GABA. Saraf-saraf ini membentuk sinaps aksoaksonik dengan terminal saraf sensoris primer dan bekerja untuk inhibisi presinaps. Peranan GABA sebagai neurotransmiter. Pada vertebrata, GABA berperan dalam inhibisi sinaps pada otak melalui pengikatan terhadap reseptor spesifik transmembran dalammembran plasma pada proses pre dan post sinaps. Pengikatan ini menyebabkan terbukanya saluran ion sehingga ion klorida yang bermuatan negatif masuk kedalam sel dan ion kalium yang bermuatan positif keluar dari sel.

Akibatnya terjadi perubahan potensial transmembran, yang biasanya menyebabkan hiperpolarisasi. Reseptor GABAA merupakan reseptor inotropik yang merupakan saluran ion itu sendiri, sedangkan Reseptor GABAB merupakan reseptor metabotropik yang membuka saluran ion melalui perantara G protein (G protein-coupled reseptor) Neuron-neuron yang menghasilkanyang menghasilkan GABA disebut neuron GABAergic. Sel medium spiny merupakan salahsatu contoh sel GABAergic.
d. Glutamat Glutamate merupakan neurotransmitter yang paling umum di sistem saraf pusat, jumlahnya kira-kira separuh dari semua neurons di otak. Sangat penting dalam hal memori. Kelebihan Glutamate akan membunuh neuron di otak. Terkadang kerusakan otak atau stroke akan mengakibatkan produksi glutamat berlebih akan mengakibatkan kelebihan dan diakhiri dengan banyak sel-sel otak mati daripada yang asli dari trauma. AlS, lebih dikenal sebagai penyakit Lou Gehrigs, dari hasil produksi berlebihan glutamate. Banyak percaya mungkin juga cukup bertanggung jawab untuk berbagai penyakit pada sistem saraf, dan mencari cara untuk meminimalisir efek. e. Norephineprin, Dopamin Noepinephrine, epinephrine, dan dopamine dikelompokkan dalam cathecolamines. Hidroksilasi tirosin merupakan tahap penentu (rate-limiting step) dalam biosintesis cathecolamin. Disamping itu, enzim tirosin hidroksilase ini dihambat oleh oleh katekol (umpan balik negatif oleh hasil akhirnya). 1.Dopamin Merupakan neurotransmiter yang mirip dengan adrenalin dimana mempengaruhi proses otak yang mengontrol gerakan, respon emosional dan kemampuan untuk merasakan kesenangan dan rasa sakit. Dopamin sangat penting untuk mengontrol gerakan keseimbangan. Jika kekurangan dopamin akan menyebabkan berkurangnya kontrol gerakan seperti kasus pada penyakit Parkinson. Jika kekurangan atau masalah dengan aliran dopamine dapat menyebabkan orang kehilangan kemampuan untuk berpikir rasionil, ditunjukkan dalam skizofrenia. dari perut tegmental area yang banyak bagian limbic sistem akan menyebabkan seseorang selalu curiga dan memungkinkan untuk mempunyai kepribadian paranoia. Jika kekurangan Dopamin di bidang mesocortical dari daerah perut tegmental ke neocortex terutama di daerah prefrontal dapat mengurangi salah satu dari memori.

2.Norephineprin Disekresi oleh sebagian besar neuron yang badan sel/somanya terletak pada batang otak dan hipothalamus. Secara khas neuron-neuron penyekresi norephineprin yang terletak di lokus seruleus di dalam pons akan mengirimkan serabut-serabut saraf yang luas di dalam otak dan akan membantu pengaturan seluruh aktivitas dan perasaan, seperti peningkatan kewaspadaan. Pada sebagian daerah ini, norephineprin mungkin mengaktivasi reseptor aksitasi, namun pada yang lebih sempit malahan mengatur reseptor inhibisi. Norephineprin juga sebagian disekresikan oleh sebagian besar neuron post ganglion sistem saraf simpatisdimana ephineprin merangsang beberapa organ tetapi menghambat organ yang lain. f. Serotonin Serotonin (5-hydroxytryptamine, atau 5-HT) adalah suatu neurotransmittermonoamino yang disintesiskan dalam neuron-neuron serotonergis dalam sistem saraf pusat (CNS) dan sel-sel enterochromaffin dalam saluran pencernaan.

Gambar 2.7 Rumus Kimia Serotonin

Nama kimia Rumusan kimia Massa molekul Massa monoisotop Komposisi (berat) Nomor CAS SMILES IUPAC InChI ID

5-Hydroxytryptamine or 3-(2-aminoethyl)-1H-indol-5-ol N2OC10H12 176.2182 g/mol 176.0950 g/mol N: 15.8970% O: 9.0793% C: 68.1598% H: 6.8638% 50-67-9
NCCC1=CNC2=C1C=C(O)C=C2 1/C10H12N2O/c11-4-3-7-6-12-10-2-18(13)5-9(7)10/h1-2,5-6,12-13H,3-4,11H2

1.Fungsi Pada system saraf pusat serotonin memiliki peranan penting sebagai neurotransmitter yang berperan pada proses marah, agresif, temperature tubuh, mood, tidur, human sexuality, selera makan, dan metabolisme, serta rangsang muntah. Serotonin memiliki aktivitas yang luas pada otak dan variasi genetic pada reseptor serotonin dan transporter serotonin, yang juga memiliki kemampuan untuk reuptake yang jika terganggu akan memiliki dampak pada kelainan neurologist. Obat-obatan yang mempengaruhi jalur dari pembentukan serotonin biasanya digunakan sebagai terapi pada banyak gangguan psikiatri, selain itu serotonin juga merupakan salah satu dari pusat penelitian pengaruh genetic pada perubahan genetic psikiatri. Pada beberapa studi yang telah dilakukan dapat dibuktikan bahwa pada beberapa orang dengan gangguan cemas memiliki serotonin transporter yang tidak normal dan efek dari perubahan ini adalah adanya peluang terjadinya depresi jauh lebih besar dibanding orang normal. Peningkatan dari jumlah serotonin di otak juga diketahui memiliki hubungan erat dengan peningkatan agresifitas dan mutasi genetic pada kode reseptor 5-HT2A memiliki peningkatan resiko untuk bunuh diri menjadi 2 kali lipat. Dari peneltian terbaru juga didapatkan bahwa serotonin bersama-sama dengan asetilkolin dan norepinefrin akan bertindak sebagai neurotransmitter yang dilepaskan pada ujung-ujung saraf enteric. Kebanyakan nuclei rafe akan mensekresi serotonin yang membantu dalam pengaturan tidur normal. Serotonin juga merupakan salah satu dari beberapa bahan aktif yang akan mengaktifkan proses peradangan, yang akan dimulai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal sampai pada tahap pembengkakan sel jaringan, selain itu serotonin juga memiliki kendali pada aliran darah, kontraksi otot polos, rangsang nyeri, system analgesic, dan peristaltic usus halus. 2.Anatomi a.Gross Anatomy Neuron-neuron dari nuclei rafe merupakan sumber utama dari pelepasan 5-HT. Nuklei rafe merupakan kelompok neuron yang tergabung menjadi sembilan pasang dan tersebar sepanjang batang otak. Akson-akson dari nuclei rafe akan membentuk sebuah system neurotransmitter yang

tersebar luas pada area-area otak. Akson-akson dari sisi kaudal nuclei rafe akan berjalan mengikuti deep cerebellar nuclei, korteks serebelum, dan medulla spinalis. Pada sisi rostral akson dari neuronneuron nuklei rafe akan berakhir pada talamus, striatum, hipotalamus, nukleus accumbens, neokortek, singulum, hipokampus, dan amigdala. Dari penjelasan tersebut dapatlah diketahui bahwa sistem serotonin memiliki efek luas pada otak. b.Microanatomy Serotonin dilepaskan dari serotonergic varicosities (swellings) ke dalam ekstraneural space, namun tidak dari bouton sinap terminal, seperti neurotransmitter lainnya. Pada akhirnya serotonin akan mengaktifkan reseptor 5-HT pada dendrite, badan sel, dan presinap dari batas antar neuron 1)Reseptor Reseptor untuk serotonin adalah 5-HT. reseptor 5-HT terdapat pada membrane sel dari sel saraf dan beberapa sel lain pada hewan dan terutama bertindak sebagai mediator efek dari serotonin ligan endogen dan sangat banyak dari obat-obatan an terutama pada obat-obatan halusinagen. 2)Terminasi Aksi serotonergik akan diakhiri dengan uptake 5-HT dari sinap. Hal ini akan diteruskan pada monoamin transporter yang spesifik untuk 5-HT pada neuron presinap. Beberapa senyawa dapat menghambat uptake 5-HT, diantaranya ekstasi, amfetamin, kokain, dekstrometorpan, trisiklik antidepresan dan selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) c.Endothelial cell function dan serotonin 5-HT akan mengaktivasi sintesis endotel nitric oxide dan merangsang proses fosforilasi dari p44/p42 mitogen yang akhirnya akan mengaktivasi protein kinase pada sel endotel. 3.Biosintesis Pada hewan, termasuk manusia serotonin disintesis dari amino acid L-tryptophan melalui metabolisme singkat yang membutuhkan dua buah enzim, yaitu enzymes: tryptophan hydroxylase (TPH) and amino acid decarboxylase (DDC). Gambar 2.8 Biosisntesis Serotonin

4.Target obat Beberapa kelas dari target obat 5-HT termasuk didalamnya antidepresan, antipsikotik, antixiolitik, antiemetik, dan antimigrain serta obat-obat psychedelic dan empatogen. a.Psychedelic drugs Obat-obat psychedelic, DMT, mescaline, dan LSD akan bertindak sebagai bahan serupa serotonin pada reseptor 5-HT. Lain halnya dengan ekstasi yang akan melepaskan serotonin dari sinap. b.Antidepresan MAOI akan bekerja dengan mencegah penurunan monoamine neurotransmitter (termasuk serotonin) dan akan meningkatkan konsentrasinya pada otak. Beberapa obat MAOI akan menghambat reuptake dari serotonin, dengan membuatnya bertahan lebih lama didalam sinaps. Antidepresan trisiklik akan menghambat reuptake dari serotonin dan norepinefrin. c.Antiemetik Antagonis 5-HT3 terdapat pada ondansentron, granisetron, dan tropisetron merupakan antiemetik yang sangat penting. Obat-obatan tersebut dapat mencegah terjadinya mual dan muntah selama kemoterapi terutama dengan obat-obatan sitotoksik. Selain itu bias juga digunakan untuk pencegahan dan terapi mual dan muntah setelah operasi. Aplikasi lainnya juga dapat digunakan sebagai terapi dari depresi dan beberapa gangguan mental dan psikologi. 5.Patologi Jika neuron-neuron pembuat serotonin (neuron serotonergik) tidak normal pada bayi, maka akan dapat meningkatkan resiko dari sudden infant death syndrome (SIDS). Obsessi Compulsive disorder juga ditemukan adanya kekurangan dari jumlah serotonin, yang dapat diterapi dengan menggunakan obat-obatan yang meningkatkan jumlah serotonin. a.Serotonin sindrom Peningkatan jumlah serotonin yang sangat ekstrim dapat bersifat toksik dan berpotensi untuk menjadi fatal, yang disebabkan oleh kondisi yang disebut sebagai serotonin sindrom. Pada

percobaan peningkatan jumlah serotonin sampai menjadi toksik dapat dicapai hanya dengan menggunakan satu jenis obat antidepresi dengan melebihi dosis aman. b.Kronik disease resulting dari serotonin 5-HT2B overstimulation Di dalam darah, serotonin tersimpan dalam platelet dan dengan adanya serotonin ini dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriktor untuk menghentikan perdarahan dan juga sebagai fibrosit mitotic untuk mempercepat penyembuhan. Dengan adanya efek ini, kelebihan serotonin, atau adanya tambahan obat agonis serotonin yang berlebihan, bias menyebabkan gangguan akut maupun kronik dari hipertensi pulmonary karena vasokonstriksi dari pulmonary atau sindrom lainnya yang disebut retroperitoneal fibrosis atau cardiac valve fibrosis (endocardial fibrosis) yang disebabkan oleh rangsangan berlebihan dari reseptor pertumbuhan serotonin pada fibrosit. 6.Serotonin pada organisme uniseluler Serotonin memiliki berbagai kegunaan pada berbagai organisme uniseluler dengan banyaknya keragaman tujuan. Serotonin re-uptake inhibitors (SSRIs) dapat menjadi toksik pada beberapa organisme uniseluler seperti alga, pada parasit gastrointestinal seperti Entamoeba histolytica dapat mensekresi sendiri serotonin yang akan mengakibatkan terjadinya diare sekretorik pada beberapa pasien. 7.Serotonin pada tanaman Serotonin dapat dijumpai pada jamur dan tanaman-tanaman, termasuk buah dan sayur. Kadar tertinggi sekitar 25-400 mg/kg didapatkan pada kacang-kacangan. Kadar serotonin ditemukan sekitar 3-30mg/kg pada nanas, pisang, buah kiwi, dan tomat. Di bawah itu dengan kadar sekitar 0,13 mg/kg dapat ditemukan pada berbagai sayur-sayuran. 8.Serotonin pada hewan Serotonin sebagai neurotransmitter ditemukan pada hamper seluruh hewan, termasuk serangga. g. Epinefrin Epinefrin meningkatkan Figth or Flight Response dari system simpatis melalui jaras saraf otonom. Epinefrin dibentuk dari asam amino fenilalanin dan tirosin.

Gambar 2.9 Rumus Molekul Epinefrin Epinefrin merupakan salah satu hormon yang berperan pada reaksi stres jangka pendek. Epinefrin disekresi oleh kelenjar adrenal saat ada keadaan gawat ataupun berbahaya. Di dalam aliran darah epinefrin dengan cepat menjaga kebutuhan tubuh saat terjadu ketegangan, atau kondisi gawat dengan memberi suplai oksigen dan glukosa lebih pada otak dan otot. Selain itu epinefrin juga meningkatkan denyut jantung, stroke volume, dilatasi dan kontraksi arteriol pada gastrointestinal dan otot skelet. Epinefrin akan meningkatkan gula darah dengan jalan meningkatkan katabolisme dari glikogen menjadi glukosa di hati dan saat bersamaan menurunkan pembentukan lipid dari selsel lemak. Epinefrin memiliki banyak sekali fungsi di hampir seluruh tubuh, diantaranya dalam mengatur konsentrasi asam lemak, konsentrasi glukosa darah, kontrol aliran darah ginjal, mengatur laju metabolisme, kontraksi otot polos, termogenesis kimia, vasodilatasi, vasokonstriksi, dll. h. Asetilkolin Asetilkolin disekresi oleh neuron-neuron yang terdapat di sebagian besar daerah otak, namun khususnya oleh sel-sel piramid besar korteks motorik, oleh beberapa neuron dalam ganglia basalis, neuron motorik yang menginervasi otot rangka, neuron preganglion sistem saraf otonom,, neuron postganglion sistem saraf simpatik,. Pada sebagian besar contoh di atas asetilkolin memiliki efek eksitasi, namun asetilkolin juga telah diketahui memilik efek inhibisi pada beberapa ujung saraf parasimpatik perifer, misalnya inhibisi jantung oleh nervus vagus. i. Nitrat Oksida (NO) NO adalah substansi molekul kecil yang baru ditemukan. Zat ini terutama timbul di daerah otak yang bertanggung jawab terhadap tingkah laku jangka panjang dan untuk ingatan. Karena itu, transmitter yang baru ditemukan ini dapat menolong kita untuk menjelaskan mengenai tingkah laku dan fungsi ingatan. Oksida nitrat berbeda dengan transmitter molekul lainnya dalam hal mekanisme pembentukan di ujung presinap dan kerjanya di neuron post sinap. Zat ini tidak dibentuk sebelumnya dan disimpan dalam gelembung ujung presinap seperti transmitter lain. Zat ini disintesis hampir segera saat diperlukan dan kemudian berdifusi keluar dari ujung presinap dalam waktu beberapa detik dan tidak dilepaskan dalam paket gelembung-gelembung. Selanjutnya zat ini berdifusi ke dalam neuron post sinap yang paling dekat, selanjutnya di neuron postsinap, zat ini tidak mempengaruhi membran potensial menjadi lebih besar, tetapi sebaliknya mengubah fungsi

metabolik intraseluler yang kemudian mempengaruhi eksitabilitas neuron dalam beberapa detik, menit, atau barangkali lebih lama. 2.8 Neropeptida Neuropeptida merupakan kelompok transmitter yang sangat berbeda dan biasanya bekerja lambat dan dalam hal lain sedikit berbeda dengan yang terdapat pada transmitter molekul kecil. Sekitar 40 jenis peptida diperkirakan memiliki fungsi sebagai neurotransmitter. Daftar peptida ini semakin panjang dengan ditemukannya putative neurotransmitter (diperkirakan memiliki fungsi sebagai neurotransmitter berdasarkan bukti-bukti yang ada tetapi belum dapat dibuktikan secara langsung). Neuropeptida sudah dipelajari sejak lama, namun bukan dalam fungsinya sebagai neurotransmitter, namun fungsinya sebagai substansi hormonal. Peptida ini mula-mula dilepaskan ke dalam aliran darah oleh kelenjar endokrin, kemudian hormon-hormon peptida itu akan menuju ke jaringan-jaringan otak. Dahulu para ahli meyangka bahwa peptida dihasikan dalam kelenjar hormon danmasuk ke dalamjaringan otak, namun saat ini sudah dapat dibuktikan bahwa peptida yang berfungsi sebagai neurotransmitter, dapat disintesa dan dilepaskan oleh neuron di susunan saraf. Neuropeptida tidak disintesis dalam sitosol pada ujung presinap. Namun demikian, zat ini disintesis sebagai bagian integral dari molekul protein besar oleh ribosom-ribosom dalam badan sel neuron. Molekul protein selanjutnya mula-mula memasuki retikulum endoplasma badan sel dan kemudian ke aparatus golgi, yaitu tempat terjadinya perubahan berikut: 1. Protein secara enzimatik memecah menjadi fragmen-fragmen yang lebih kecil dan dengan demikian melepaskan neuropeptidanya sendiri atau prekursornya. 2. Aparatus golgi mengemas neuropeptida menjadi gelembung-gelembung transmitter berukuran kecil yang dilepaskan ke dalam sitoplasma. 3. Gelembung transmitter ini dibawa ke ujung serabut saraf lewat aliran aksonal dari sitoplasma akson, berkeliling dengan kecepatan lambat hanya beberapa sentimeter per hari. 4. Akhirnya gelembung ini melepaskan trasnmitternya sebagai respon terhadap potensial aksi dengan cara yang sama seperti untuk transmitter molekul kecil. Namun gelembung diautolisis dan tidak digunakan kembali. 2.9 Pengaruh Obat-Obatan Terhadap Transmisi Sinapsis

Obat -obatan memiliki dua efek dasar terhadap proses transmisi sinapsis, yaitu menghambat (inhibitory); atau meningkatkan aktivitas (excitatory). Obat-obatan yang meningkatkan aktivitas proses sinapsis disebut sebagai agonist dari neurotransmitter yang berperan dalam proses sinapsis tersebut, sedangkan obat-obatan yang menghambat aktivitas proses sinapsis disebut sebagai antagonist dari neurotransmitter yang bersangkutan dalam proses sinapsis tersebut. Gambar dibawah ini menunjukkan proses transmisi sinapsis yang umum terjadi. Proses tersebut berlangsung dalam 7 tahap sebagai berikut: 1. Molekul neurotransmitter disintesa/diproduksi oleh substansi-substansi kimia dalam sitoplasma dengan bantuan enzym-enzym tertentu; 2. Molekul-molekul tersebut kemudian disimpan pada kelenjar sinapsis (synaptic vesicles); 3. Molekul neurotransmitter yang keluar dari synaptic vesicle karena suatu kebocoran, akan dihancurkan oleh enzym-~nzym disekitarnya; (4) Bila terjadi potensial aksi di synaptic button, vesicle akan bersentuhan denganmembran presinapsis dan molekul

neurotransmitter dilepaskan ke celah sinapsis; (5) di celah synapsis, molekul neurotransmitter yang tidak mengikatkan diri pada reseptor di membran presinapsis (karena neurotransmitter yang dilepaskan sudah cukup untuk meneruskan impuls) akan masuk kembali ke dalam synaptic vesicles yang melepaskannya (autoreceptor) dan sekaligus menghambat pelepasan neurotransmitter; 4. Neurotransmitter yang sampaipada reseptor di membran postsinapsis akan meneruskan aktivitas sesuai dengan pesan yang dibawanya; 5. Proses neurotransmitter ini akhimya berhenti; baik karena mekanisme penarikan neurotransmitter ke synapsis vesicles maupun olehenzim-enzim di celah sinapsis yang memecah molekul-molekul neurotransmitter ini menjadi substansi yang tidak digunakan lagi. Gambar 2.10 Tujuh Tahap Proses Neurotransmitter (Pinel, 1993) 1. Mekanisme Efek Obat-obatan Agonistik Efek obat-obatan Agonistik berperan dalam 6 tahap proses neurotransmitter di atas, yaitu proses 1, 3,4, 5, 6, 7. Untuk keterangan lebih lanjut, perhatikan gambar di bawah ini. Gambar 2.11 Proses Neurotransmitter yang Dipengaruhi Obat-obatan Agonistik (Pinel, 1993) 2. Mekanisme Efek Obat-obatan Antagonistik

Obat-obatan

terbukti

memiliki

pengaruh

antagonistik

dalam

tahap

proses

neurotransmitter. Mekanisme antagonistis yang mempengaruhi 5 tahap neurotransmitter dilihat pada gambar di bawah ini. Obat-obatan yang menimbulkan efek antagonistik terjadi dengan cara mengikat reseptor postsynapsis dan memblocking neurotransmitter yang akan keluar. Kondisi ini sering disebut denganfalse transmitter (transmitter palsu). Gambar 2.12 Proses Neurotransmitter yang Dipengaruhi Obat-obatan Antagonistik (Pinel,1993) 3. Beberapa Contoh Efek Agonistik dan Antagonistik Dalam dunia medis dikenal berbagai macam obat-obat yang memiliki efek agonistik dan antagonistik, namun pada bagian ini hanya akan diperkenalkan 4 macam obat. Dua macam obat yang memberi efek agonistik adalah morphine dan benzodiazepin; dan obat yang memberi efek antagonistik adalah atropine dan d-tubocurarine. 1. Morphine. Salah satu jenis yang dikenal adalah opium yang didapatkan dari ekstrak bunga opium. Opium telah lama digunakan sebagai penimbul efek rasa gembira (euphoria) selain digunakan sebagai campuran obat-obatan untuk mengurangi rasa sakit, obat batuk dan obat diare. 2. Zat yang aktif dalam opium disebut morphine (dinamakan berdasarkan nama Dewa Mimpi; Morpheus). Morphine bereaksi dengan mengaktifkan reseptor di otak yang secara normal distimulasi oleh golongan neuropeptida yang disebut endorphins sehingga dapat dikatakan bahwa morphine adalah agonist dari endorphin .Sebutan endorphine juga sering digunakan untuk menyebut substansi-substansi sejenis morphine yang secara alami diproduksi oleh otak 3. Benzodiazepine. Chlordiazepoxide (dijual dengan label Librium) dan diazepam (dijual dengan label Valium) masuk dalam kelas obat-obatan benzodiazepine. Benzodiazepin memiliki efekanxiolytic (pengurang kecemasan), sedative (menimbulkan rasamengantuk atau ingin tidur) dan anticonvulsant (anti kejang). Efek anti kecemasan yang ditimbulkan benzodiazepin berlangsung dengan efek agonist bagi substansi GABA. Benzodiazepin mengikat sebagian reseptor substansi GABA tapi efek agonisnya tidak dapat mempengaruhi aktivitas GABA. Artinya benzodiazepin tidak menghentikan sarna sekali reaksi GABA tetapi hanya menghambat saja. Umumnya benzodiazepin mengikat GABA di amygdala; yaitu bagian otak yang banyak berperan dalam emosi dan aktivitas lobus temporal

4. Atropine. Sejak zaman dahulu, obat-obatan banyak yang dihasilkan oleh ekstrak tumbuhtumbuhan. Contohnya ekstrak tanaman belladonna (belladonna =perempuan cantik) di zaman Hippocrates yang banyak digunakan untuk menyembuhkan sakit perut dan membuat mereka tambah menarik, selain itu efek dari ekstrak belladonna adalah efek dilatasi pada pupil (pupil menjadi membesar). Kondisi pupil yang membesar bagi sebagian besar wanita Yunani zaman itu dianggap menjadi salah satu daya tarik mereka. Zat aktif dalam ekstrak belladonna adalah atropine yang memberikan efek antagonis dengan cara mengikat reseptor acetylcholine tertentu, yaitu muscarinic receptors (reseptor muskarinik). Sambil mengikat muscarinic reseptor, ia juga bertindak sebagai substansi neurotransmitter palsu sehingga menghambat efek acetylcholine di tempat terse but. Efek perusak (kelebihan dosis) dari atropine di otak, tampakjelas pada kasus 5. Alzheimers Disease, yaitu hilangnya fungsi mengingat pada diri seseorang 6. d- Tubocurarine. Indian di Amerika Selatan sering menggunakan curare, yaitu ekstrak dari kayu vines untuk membunuh lawannya. Zat aktif dalam curare adalah d-turbocurarine yangjuga bertindak sebagai substansi neurotransmitterpalsu di sinapsis cholinergic tetapi ia tidak mempengaruhi reseptor muscarinic, tetapi mempengaruhi nicotinic receptors. Dengan mengikat reseptor nicotinic, d-turbocurarine membloking transmisi sarafke otototot gerak. d-turbocurarine tidak hanya membloking transmisi, tetapi dalamjumlah yang besar (over dosis) dapat menghentikan gerakan organ-organ internal sehingga terjadi hambatan dalam respirasi yang akhirnya dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu apabila dalam suatu operasi digunakan d-turbocurarine untuk membius pasien, maka mesin respirasi harus tetap dipasangkan pada pasien untuk membantunya bernafas. 2.10 Peran Sistem Neurotransmiter Pada Beberapa Penyakit a. Psikosis Depresi dan Manik Depresi Menurut buktiyang telah dikumpulkan yang mengenai sekitar 8 juta orang di Amerika Serikat pada suatu waktu unkin disebabkan oleh berkurangnya pembentukan norephineprin atau serotoni atau keduanya (sekarang telah ada bukti bahwa masih ada sejumlah neurotransmiter yang lain yang berperan). Sejumlah neuron yang mensekresi norephineprin terletak di batang otak, terutama di lokus seruleus. Mereka mengirim serat-seratnya ke atas menuju sistem limbic, talamus, dan kortek cerebri. Selain itu masih banyak neuron yang menghasilkan serotonin terletak di nuklei rafe garis

tengah pada bagian bawah pons dan medulla, dan serat-serat yang menonjol ke banyak area sistem limbik dan ke beberapa area lain dalam otak. Alasan utama untuk mempercayai bahwa depresi disebabkan oleh penurunan aktivitas sistem norephineprin dan serotonin adalah bahwa obat yang menghambat sekresi norephineprin dan serotonin seperti reserpin, seringkali menyebabkan depresi. Sebaliknya sekitar 70 % pasien yang depresi dapat diobati secara efektif dengan obat yang meningkatkanefek eksitasi norephineprin dan serotonin pada ujung-ujung saraf , sebagai contoh : 1.inhibisi monoamin oksidase, yang menghambat penghancuran norepinefrin dan serotonin ketika keduanya terbentuk. 2.Antidepresan trisiklik seperti imipramin dan amitriptilin yang menghambat pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin oleh ujung-ujung saraf, sehingga transmiter-transmiter ini dapat tetap aktif untuk jangka waktu lama setelah disekresi. 3.Golongan obat baru yang meningkatkan kerja serotonin saja, seringkali lebih sedikit efek samping. b. Skizofrenia Skizofrenia dapat timbul dalam beberapa variasi. Yang paling umum, seseorang dapat mendengar suara-suara dan mempunyai waham kebesaran, paranoia, bicara inkoheren, disosiasi pikiran, seringkali mereka menarik diri dan sikap tubuh abnormal dan bahkan kaku. Skizofrenia disebabkan oleh : a.Terjadi hambatan terhadap sinyal-sinyal saraf diberbagai area pada lobus prefrontalis atau terjadi disfungsional pada pengolahan sinyal-sinyal. b.Perangsangan yang berlebihan terhadap sekelompok neuron yang mensekresi dopamin di pusat-pusat prilaku otak, termasuk dilobus frontalis c.Abnormalitas fungsi dari bagian-bagian yang penting pada pusat sistem pengatur tingkah laku limbik disekeliling hipokampus di otak.

Obat yang blok dopamine receptors di otak, seperti chlorpromazine dan clozapine, telah digunakan untuk meringankan gejala dan membantu pasien kembali ke pengaturan sosial biasa. c. Anxietas
Anxietas merupakan pengalaman yang bersifat subjektif, tidak menyenagkan. tidak menentu, menakutkan dan mengkhawatirkan akan adanya kemungkuna bahaya atau ancaman bahaya, dan seringkali disertai oleh gejala-gejala atau reaksi fisik tertentu akibat peningkatan aktifitas otonomik. Masyarakat umum dengan anxiety disorder pengalaman khawatir berlebihan yang menyebabkan masalah di tempat kerja dan dalam tanggung jawab pemeliharaan sehari-hari. Bukti menunjukkan bahwa anxietas disorder melibatkan beberapa sistem neurotransmitter di otak, termasuk norepinephrine dan serotonin.

d. Attention-deficit/hyperactivity kerocetan Seseorang yang terpengaruh oleh attention-deficit/hyperactivity disorder (ADHD) mengalami kesulitan dalam bidang perhatian, overactivity, impuls, dan distractibility. Penelitian menunjukkan bahwa dopamine dan norepinephrine imbalances sangat implicated dalam menyebabkan ADHD.
Tabel 2.3 Pola perilaku yang dapat menunjukkan ADHD: 5
Kekurangan perhatian oSedang bimbang dengan

Hyperactivity
oTidak dapat duduk diam oBerbicara non-stop

Impulsivity oKarena

tidak

dapat

mudah
oKegagalan

memberangus impulses tempat duduk / seperti untuk perhatian


oMeninggalkan

membuat komentar yang tidak patut


ojawaban

membayar

ke rincian ceroboh dan membuat kesalahan


oLupa, seperti pencils, yang

duduk

ketika

diharapkan diinstruksikan

sebelum

pertanyaan selesai
oMemukul orang lain oPerilaku

diperlukan

untuk

menyelesaikan tugas yang


oJarang

berikut

arah

menempatkan satu dalam bahaya,

benar-benar atau

seperti gagah ke jalan

e. Kecanduan Narkoba
Pengguna Narkoba banyak yang menggunakan jenis Methamphetamin. Methamphetamin memiliki sasaran nukleus yang mengatur mengenai pemahaman, zat ini bekerja dengan menghambat re-uptake dopamine dan meningkatkan pelepasan dopamine hingga 1200 unit per kali pemakaian, ini 3,5 kali lebih besar dari yang keluar pada penggunaan kokain. Methamphetamine menyebabkan penumpukan katekolamin dalam celah sinaps dan masuk ke dalam sirkulasi, selain itu methamphetamine juga ditransport ke presinaps dimana ia menghambat MAO dan menghambat penyimpanan katekolamin pada ujung saraf. Aksi ini akan menyebabkan peningkatan stimulasi simpatik dan meningkatkan kadar katekolamin dalam darah perifer. Ekses katekolamin dalam darah diasosiasikan dengan pembentukan radikal bebas. Secara fisiologis, produk oksidasi dari katekolamin yang disebut o-quinone adalah senyawa yang amat reaktif dan berpotensi untuk merusak lapisan endotel dari pembuluh darah, baik besar maupun kecil.4

Yang lain adalah jenis kokain. Kokain, psycostimulants yang mempengaruhi dopamine di wilayah yang dikenal sebagai sistem limbik. Kokain ketika digunakan, akan menghasilkan sebuah rasa percaya diri dan berkuasa. Namun, ketika terjadi over dosis, pemakai akan menderita kelelahan fisik dan emosional serta depresi. f. Autisme
Gangguan sistem neurotransmiter sering dijumpai pada penderita autisme, dan berhubungan dengan munculnya gejala gangguan perilaku. Berbagai penelitian terdahulu memperlihatkan adanya disfungsi sistem neurokimiawi pada penderita autisme yang meliputi sistem serotonin, norefinefrin, GABA, dan dopamin.5,6 Gangguan system neurokimiawi tersebut berhubungan dengan perilaku agresif, obsesif kompulsif, dan stimulasi diri sendiri (self stimulating) yang berlebih. Gangguan fungsi serotonin pada penderita autisme Serotonin dikenal juga dengan nama 5hydroxytryptamine (5-HT), suatu neurotransmiter yang dibentuk dari asam amino tryptophan. Serotonin dimetabolisme oleh enzim monoamine oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic acid (5HIAA), sebuah metabolit yang dapat digunakan untuk menilai fungsi serotonergik sentral. Sistem serotoninergik pada otak manusia terbagi dalam 2 bagian besar, yaitu pada bagian rostral dan kaudal. Nukleus bagian rostral meliputi nukleus linearis, raphe dorsalis, raphe medialis, dan raphe

pontis, yang berproyeksi hampir ke seluruh bagian otak termasuk serebelum. Sementara nukleus bagian kaudal terdiri dari raphe magnus, raphe pallidus, dan raphe obscuris dengan proyeksi yang lebih terbatas pada serebelum, batang otak, dan medula spinalis. Serotonin disintesa dari asam amino tryptophan, tryptophan akan dihidroksilasi oleh enzim tryptophan hydroxylase (TPH) menjadi 5-Hydroxytryptophan yang kemudian mengalami dekarboksilasi menjadi serotonin oleh enzim Laromatic amino acid decarboxylase. Metabolisme serotonin terutama diperantarai oleh enzim MAO (Mono Amine Oxidase) menjadi 5-hydroxyindoleactic acid (5-HIAA). Serotonin yang dilepaskan ke celah sinaps akan mengalami satu atau lebih kejadian berikut: 1. difusi dari sinaps, 2. dimetabolisme oleh enzim MAO 3. mengaktivasi reseptor

g. Toksin tetanus (tetanospasmin) Toksin tetanus dikodekan pada plasmid. Toksin ini dihasilkan sebagai rantai polipeptid tunggal (150,000 dalton) yang dipecahkan oleh protease menjadi rantai berat (100,00 dalton, subunit B) dan rantai ringan (50,000 dalton, subunit A) yang dihubungkan oleh ikatan dwisulfida. Toksin ini pada mulanya bergabung dengan saraf perifer dan diangkut di dalam axon sehingga sampai ke sistem saraf pusat. Toksin tetanus ialah sejenis endopeptidase yang memotong synaptobrevin. Tindakan ini akan menganggu pembentukan vesikel pada pertemuan antara otot dengan saraf (myoneural junction) dan antara saraf dengan saraf (neural-neural junction) pada saraf tunjang (spinal cord).
Gambar 2.13 Eksitatori dan Inhibitori Transmitter

Gambar di atas menunjukkan bagaimana neurotransmisi dikawal oleh imbangan antara neurotransmiter perangsang (excitory) dan penghambat (inhibitory). Contoh neurotransmiter penghambat termasuk GABA dan glisin. Toksin tetanus mengganggu pembebasan GABA atau glisin. Tanpa neurotransmiter penghambat (inhibitory neurotransmitter) ini, pengaktifan neuroaxon tidak dapat dikawal dan otot akan sentiasa teraktif (excited). Kesannya ialah spasme otot.2
Interaksi Obat Benzodiazepine. Chlordiazepoxide (dijual dengan label Librium) dan diazepam (dijual dengan label Valium) masuk dalam kelas obat-obatan benzodiazepine. Benzodiazepin memiliki efekanxiolytic

(pengurang kecemasan), sedative (menimbulkan rasamengantuk atau ingin tidur) dan anticonvulsant (anti kejang). Efek anti kecemasan yang ditimbulkan benzodiazepin berlangsung dengan efek agonist bagi substansi GABA. Benzodiazepin mengikat sebagian reseptor substansi GABA tapi efek agonisnya tidak dapat mempengaruhi aktivitas GABA. Artinya benzodiazepin tidak menghentikan sarna sekali reaksi GABA tetapi hanya menghambat saja. Umumnya benzodiazepin mengikat GABA di amygdala; yaitu bagian otak yang banyak berperan dalam emosi dan aktivitas lobus temporal3 DAFTAR PUSTAKA 1.Dopamine Neurotransmitter Home > By Jake Van Der Borne Oleh Jake Van Der borne Nov 16, 2004 1:12:00 PM November 16, 2004. www.anxiety-and-depression-

solutions.com/insight_answers/dopamin 2.Konduksi NeuraldanTransmisi Sinapsis 3.General Psychologi Neurotransmitters oleh dr George C Boeree. ww.minddisorders.com/KauNu/Neurotransmitters.html 4.http://faculty.washington.edu/chudler/adhd.html Beberapa ADHD Gets Attention

(Attention Deficit Hyperactivity Disorder) (Attention Defisit Hyperactivity Disorder) 5.E-learning Biokimia. 2007. Bioenergitika dan Metabolismo. http://e-

course.usu.ac.id/content/biologi/biokimia/textbook.pdf 6.Danial. 2008. Mekanisme Tindakan Toksin

Bakteriahttp://pkukmweb.ukm.my/~danial/Mekanisme%20toksin.html 7.E-learning Gunadarma. 2007. Konduksi Neural danTransmisi Sinapsis 8.http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/psikologi_faal/bab3_konduksi_neural_dan_transmisi _sinapsis.pdf 9.Wikipedia. 2009. Aspartic acid. http://en.wikipedia.org/wiki/ Aspartic acid 10.Wikipedia. 2009. Glycine. http://en.wikipedia.org/wiki/ Glycine 11.Wikipedia. 2009. gamma-Aminobutyric acid. http://en.wikipedia.org/wiki/ GABA

12.faal gayton 13.General Psychologi Neurotransmitters oleh dr George C Boeree. ww.minddisorders.com/KauNu/Neurotransmitters.html 14.PAtofisiologi konsep klinis proses2 penyakit.

Bagian yang menghubungkan satu neuron(sel saraf) dengan neuron yang lain disebut sinapsis. Sinapsis ini terdiri dari 2 bagian, yaitu presinapsis dan post sinapsis. Neurotransmitter adalah suatu zat kimia yang dilepaskan oleh bagian presinaps ke bagian post sinaps untuk menghantarkan impuls dari satu neuron (sel saraf) ke neuron yang lain. Ada beberapa neurotransmitter yang telah dikenaldan diidentifikasi hingga saat ini, yaitu antara lain :

1. Asetilkolin Merupakan neurotransmitter yang dilepaskan oleh saraf saraf parasimpatis dan juga saraf saraf preganglionik.

2.

Norepinefrin

Merupakan neurotransmitter yang hanya dikeluarkan oleh saraf saraf simpatis. Selain itu norepinefrin juga dihasilkan sebagai hormone pada kelenjar adrenal.

3.

Serotonin

Merupakan neurotransmitter pada bagian otak yang fungsinya sebagai penghambat nafsu makan dan menimbulkan rasa tenang.

4.

Dopamin

Juga terdapat di dalam otak, tetapi fungsinya berlawanan dengan serotonin. Dopamin biasanya disekresi ketika kita dalam keadaan stress, depresi, khawatir, dll.

5.

GABA

(Gamma

Amino

Butiric

Acid)

Merupakan neurotransmitter inhibitor, artinya akan menghalangi penghantaran impuls di serabut saraf. GABA akan membuka gerbang ion chlorine yang bermuatan negative sehingga serabut saraf akan bermuatan sangat negative. Dengan begitu impuls sulit untuk dihantarkan melalui serabut saraf

Sistem syaraf pusat (Central Nervous System)

seperti yg udah disebutin di posting sebelumnya kalo sistem syaraf pusat terdiri dari otak dan sumsum tulang belakang. Nah secara morfologis ternyata sinaps di SSP g jauh beda ama yg ada di sistem saraf perifer. Bahkan neurotransmitternya lebih banyak. wow

Neurotransmitter di SSP
di sini keren nih ada lebih banyak neurotransmitternya. dibagi jadi 2 kelompok besar:

Neurotransmitter inhibitori : apabila produksi neurotransmitter ini tinggi, maka aktifitas saraf akan menurun. Contoh: GABA Neurotransmitter exitatory / stimulatory : apabila produksi naik maka aktivitas saraf jg naik. Contoh: NE, ACh, Dopamin, Glutamat, Glisin, Histamin, dll

Obat pada SSP


1. Obat sedatif-hipnotik dan Ansiolitik
hah apaan itu?

obat sedatif hipnotik : obat bikin ngantuk dan tidur obat ansiolitik : obat anticemas

Penggolongan: 1. Golongan barbiturat

kerja: 1. meningkatkan respon GABA . seperti yg udah disinggung sedikit di atas kalo GABA termasuk neurotransmitter inhibitori. sehingga ia akan menghambat pada SSP (berlawanan dengan ACh) 2. membuka kanal ion Cl- meski tanpa GABA dengan terbukanya kanal klorida di SSP maka Cl- akan masuk ke sel syaraf. akibatnya potensial listrik akan trusun dan terjadi hiperpolarisasi. inilah yg menyebabkan efek sedatif dan anestesi efeknya: 1. menghasilkan efek sedasi, hipnotik, bahkan koma dan kematian (jika dosisnya ngawur) 2. menekan pernapasan : menghambat respon terhadap hipoksia dan CO2 3. induksi sistem enzim P-45o di hati (kayak di praktikum farkol P2, barbiturat akan menyebabkan metabolisme akan lebih cepat sehingga bioavailabilitas turun) contoh: Thiopental, pentobarbital, secobarbital, amobarbital, fenobarbital 2. Golongan Benzodiazepin (benzodiazepam) kerja:

GABA sendiri akan menyebabkan pembukaan reseptor post sinaptik yaitu pada reseptor GABA-A. Pembukaan tersebut akan menyebabkan ion Cl- masuk ke sel dan terjadi hiperpolarisasi. Tapi saat dikasih obat seperti benzodiazepin maka afinitas GABA ke reseptornya meningkat. Pembukaan kanal ion akan lebih sering dan ion Cl- akan lebih sering masuk ke sel. akibatnya ngantuk -____mekanisme lengkapnya bisa diliat di sini Contoh: Diazepam dan lorazepam : terapi status epilepticus Klordiazepoksida : terapi kasus alkohol withdrawal Alprazolam : ansiolitik

2. Obat Anti depressan


Adakah yg pernah mengalami depresi? Pada saat bencana, pengungsi dikasih obat ini. Tahukah anda pada saat depresi kadar serotonin, norepinefrin dan dopamin menurun? (saya jg baru tau waktu kuliah XD) Obat antidepressan kalo depresi kadar serotonin, NE dan dopamin turun berarti obatnya? yang menaikkan kadar ketiga neurotransmitter tersebut dibagi menjadi 4 kelompok: 1. Serotonin Spesific reuptak inhibitor (SSRIs)

gambar di atas adalah proses mekanisme serotonin. Saat kadar serotonin berlebihan maka terdapat suatu sistem reuptake dimana kelebihan serotonin tadi akan kembali masuk ke vesikel. Obat golongan SSRIs menghambat proses kembalinya serotonin ke vesikel. sehingga kadar serotonin akan meningkat contohnya : Fluoretin 2. Heterosiklik mengeblok reuptake serotonin dan norepinefrin, dan sebagai antagonis reseptor muskarinik. sehingga kadar serotonin dan NE tinggi. Contohnya : desipramin, imipramin 3. MAO inhibitor pada saat serotonin ada di luar vesikel, ada kemungkinan dia akan dihajar oleh MAO (mono amin oksidase) sehingga akan terdegradasi. Karenanya dipakai obat inhibitor MAO sehingga serotonin, NE dan dopamin tidak terblok Contohnya: isokarboksamid 4. Lain-lain Mirtazapiin: antagonis reseptor alfa 2 presinaptik pusat. sehingga menebabkan sekresi serotonin dan NE meningkat

3. Obat antipsikotik (neuroleptik)


obat ini digunakan untuk gangguan jiwa schizophrenia. Pada penderia schizophrenia / gangguan kejiwaan, kadar dopamin dan serotonin meningkat. Apabila kadar dopamin tinggi maka disebut gejala positif. Penderita cenderung ekstrovert Apabila kadar serotoninnya yang tinggi maka disebut gejala negatif. Pendreita cenderung berdiam diri Obat karena dopamin dan serotonin tinggi, maka obatnya yg menurunkan kedua senyawa tersebut. ada 2 golongan: 1. Typical neuroleptik Untuk mengobati gejala positif dengan menurunkan dopamin Mekanisme: mengeblok reseptor dopamin, kolinergik muskarinik, alfa adrenergik dan H-1 histaminergik Contoh: Klorpromasin, Haloperidol (potensi besar namun efek samping paling besar yaitu dapat menyebabkan parkinson), Acetofenasin Efek samping: Menghasilkan efek ekstrapiramidal (mempengaruhi aktivitas motorik) seperti parkinsonisme, akathisia, tardive dyskinesia 2. Atypical, 5-HT DA Antagonist Untuk mengobati gejala postifi dan negatif karena menghambat reseptor dopamin dan serotonin Mekanisme : antagonis serotonin-dopamin, mengeblok reseptor kolinergik muskarinik, alfa-1 adrenergik dan H-1 histaminergik Contoh: clozapine, quetiapine Efek samping : Agranulositosis

4. Obat Parkinson
Parkinson merupakan kelainan yang ditandai oleh hipokinesia, tremor dan rigiditas muskular Penyebab: penurunan / kehilangan syaraf yang mengandung dopamin. sel syarafnya adalah sel syaraf dopaminergik (DA) yg terdapat di bangsal ganglia

Akibatnya: Neuron asetilkolin tidak terkontrol Kondisi penderita : Kadar dopamin rendah sedangkan asetilkolin tinggi Obat Terapi bagi penderita parkinson adalah menaikkan level dopamin. dapat dilakukan dengan: 1. Terapi pengganti dopamin (terapi utama) contoh: 1) levodopa : prekursor metabolik dopamin 2) karbidopa: inhibitor dekarboksilase dopamin -> menurunkanmetabolisme levodopa -> kadar levodopa meningkat 3) tolkapon : inhibitor COMT (Catechol-O-Methyl-transferase) sehingga levodopa bisa hidup lebih lama (waktu paro lebih panjang) dan kadarnya dalam darah meningkat 2. Agonis reseptor dopamin agonis reseptor dopamin akan menstimulasi reseptor dopamin tanpa tergantung pada asupan levodopa untuk membentuk dopamin obatnya: bromokriptin pergolid pramipexole 3. Terapi antikolinergik untuk menurunkan aktivitas kolinergik pada basal ganglia Contoh: triheksifenidil, benzotropin

LAPORAN IPTEK Cara Kerja Otak dan Nobel TAK sia-sia menjuluki dekade lalu sebagai Dekade Otak. Pemahaman cara kerja otak manusia meningkat pesat. Puncaknya adalah pengakuan yang diberikan kepada tiga ilmuwan yang mendalaminya, mereka berhak menerima Hadiah Nobel untuk bidang Fisiologi atau Kedokteran untuk tahun ini. Mereka adalah Arvid Carlsson dari Swedia dan dua pakar Amerika Serikat, Paul Greengard dan Eric Kandel. (Kompas, 10/10) Laporan kali tidak akan membahas semua hasil karya ketiga tokoh di atas, namun lebih terfokus pada temuan Arvid Carlsson yang dianggap berjasa dalam pemahaman fungsi dopamin (dopamine) sebagai suatu transmitter di dalam otak dan betapa pentingnya senyawa kimia ini bagi kemampuan kita untuk bergerak. Yang menarik dari pemberian penghargaan Hadiah Nobel Kedokteran tahun ini adalah pengakuan bahwa riset dasar terbukti dapat bermuara pada terapan dan kegunaan praktis, yaitu penemuan obat-obatan modern. Obat-obat ini merupakan jawaban bagi aneka penyakit yang selama ini banyak menyiksa umat manusia, seperti penyakit Parkinson, depresi, hingga skizofrenia. Riset yang dilakukan Arvid Carlsson misalnya, telah mengarahkan pemahaman orang tentang penyakit Parkinson, yang ternyata disebabkan oleh kurangnya/tidak adanya dopamin di bagian tertentu otak. Dengan adanya pengetahuan ini maka dapat dikembangkanlah pengobatan dengan memberikan substitusi (agonist) yang mirip dopamin, yaitu obat bernama L-dopa (Levo-dopa) yang terbukti cukup efektif. Dengan terapi ini kadar dopamin seseorang dapat dinaikkan. Paus Yohannes Paulus II yang menderita penyakit Parkinson diperkirakan memperoleh terapi ini selain juga terapi menurunkan kadar asetilkolin, sehingga mengimbangi kadar dopamin. (Kompas, 26/4) Arvid Carlsson berhasil menunjukkan bahwa di dalam otak manusia terdapat kadar yang tinggi dopamin di daerah ganglia basalis, yang merupakan area penting untuk mengontrol gerakan otot. Pada pasien-pasien penyakit Parkinson, sel-sel saraf di otak yang memproduksi dopamin, serabut syarafnya menjulur hingga ke ganglia basalis mati. Hal ini menyebabkan gejala-gejala seperti tremor, kekakuan otot, dan menurunnya kemampuan seseorang untuk bergerak.(Lihat Gambar 1) *** DI dalam otak manusia terdapat ratusan milyar sel saraf. Mereka dihubungkan satu sama lain lewat suatu jaringan kompleks proses saraf yang luasnya tak terhingga. Pesan dari satu sel saraf ke sel saraf lainnya ditransmisikan lewat transmitter kimia yang berbeda, yang kemudian lazim dinamakan sebagai neurotransmitter. Transduksi sinyal antarsel saraf ini terjadi di titik-titik kontak khusus yang bernama sinaps. Sebuah sel saraf dapat memiliki ribuan kontak semacam ini dengan sel-sel saraf lainnya. (Lihat Gambar 2) Arvid Carlsson telah melakukan riset rintisan di bidang neurologi sejak akhir tahun 1950-an, khususnya tentang dopamin. Pada masa itu para ilmuwan masih meyakini bahwa dopamin hanyalah suatu prekursor bagi neurotransmitter, yaitu noradrenalin. Carlsson berhasil mematahkan anggapan ini, karena ia menemukan bahwa dopamin terkonsentrasi di daerah otak yang lain dari tempat noradrenalin, sehingga ia berkesimpulan, dopamin adalah transmitter tersendiri yang terpisah dari noradrenalin. Selain keberhasilan mengobati pasien Parkinson, riset Carlsson telah

meningkatkan pemahaman kita tentang beberapa obat lain. Ia berhasil menunjukkan obat-obat antispikotik yang banyak dipakai untuk mengobati pasien skizofrenia, mempengaruhi transmisi sinaptik dengan memblok reseptor-reseptor dopamin. Temuan Carlsson memiliki makna amat penting bagi pengobatan depresi, salah satu penyakit kejiwaan yang paling banyak dialami manusia. Ia juga amat berkontribusi bagi pengembangan obat-obat antidepresi generasi baru, yaitu kelompok SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor). Obat kelompok ini ternyata sempat terlaris di Amerika, seperti Prozac (flouxetine) yang pada awal tahun 1990-an mencapai omzet 1 milyar dollar AS, walaupun kemudian popularitasnya mulai menurun karena diperdebatkan sebagai "kapsul kepribadian", yang membuat pasien yang meminumnya seolah-olah mengalami perubahan kepribadian. Posisinya kini tergeser oleh Zoloft (sertraline). Kedua obat ini beredar di Indonesia, dapat bersaing menjadi sponsor dalam Konferensi Nasional Pertama Skizofrenia di Jakarta, awal pekan ini. Berkomentar tentang Hadiah Nobel kedokteran tahun ini, dr Jan Sudir Purba PhD, Kepala Subbagian Neuroendokrinologi/Neuroimunologi Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (FKUI/RSCM) menyatakan bahwa perkembangan pengetahuan tentang neurotransmitter memang luar biasa pesat. "Neurologi modern dan terapan khususnya yang mendalami neurotransmitter berkembang sejak tahun 1980-an. Waktu itu sudah diketahui 20-an jenis. Tahun 1988 ketika saya masih menjadi asisten di Bagian Neurologi FK Universitas Vrije Amsterdam meningkat jadi 40-an, dan tahun 1990 melonjak lagi jadi 50-an. Sekarang jumlahnya sudah jadi delapan puluh sampai seratusan," katanya. Akibatnya obat-obat untuk penyakit saraf dan kejiwaan pun makin spesifik, mirip dengan perkembangan antibiotik. Sementara ahli farmakologi FKUI, Prof dr Iwan Darmansjah, menyatakan, kemajuan di bidang riset otak manusia dan penemuan obat-obat neurologi/psikiatri ditunjang oleh kemajuan peralatan mulai dari CT Scan, MRI, hingga PET (Positron Emission Tomography) Scan yang mampu memvisualisasi kerja otak. "Dengan alat bantu canggih ini, kita bisa menyaksikan sel-sel saraf yang aktif jika ada suatu impuls. Kita juga bisa mengetahui gugus-gugus kimia di otak. Semuanya bermuara pada pembuatan obat dan uji klinik obat-obat itu. Di sinilah hebatnya dunia riset dasar dan terapan di Amerika dan Eropa," ujarnya. (Irwan Julianto)

http://bb18.org/thread-2891.html

Anda mungkin juga menyukai