Anda di halaman 1dari 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Collaborative Problem Solving Dalam istilah bahasa Inggris, Collaborative dapat diartikan sebagai kerjasama. Sedangkan menurut Takwin (2004) istilah

Collaborative Learning dapat diartikan sebagai proses belajar kelompok di mana setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat, kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya untuk secara bersama-sama saling meningkatkan pemahaman seluruh anggota. Ada tiga prosedur umum dalam melaksanakan Collaborative Learning yaitu: (1). Kelompok dibagi sesuai dengan kriteria kondisi efektif. (2). Berikan tugas yang memenuhi kriteria kondisi efektif. (3). Rancang media komunikasi yang efektif. Selain itu, Takwin (2004) juga mengungkapkan bahwa ada mekanisme yang harus terjadi dalam Collaborative Learning yaitu: a. Konflik dan ketidaksepakatan Pada bagian ini, siswa memiliki ide-ide tersendiri dalam menanggapi permasalahan yang diberikan. Hal ini memicu adanya perbedaan pendapat dalam kelompok. Adanya ketidaksesuaian antara pendapat satu siswa dengan siswa lainnya menyebabkan kondisi pertentangan yang menuntut adanya kesepahaman.

10

b. Pendapat alternatif Perbedaan pendapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengetahui adanya pendapat lain. Siswa dihadapkan pada alternatifalternatif yang berbeda yang memancing pengetahuannya untuk mempertimbangkan pendapat orang lain. c. Self-explanation Siswa menyusun penjelasan baru bagi penyelesaian masalah dalam pemahamannya. Pengetahuan yang dipahami secara konseptual dalam pemikiran siswa akan lebih dikuasai dan terstruktur jika diungkapkan kepada orang lain. d. Internalisasi Penjelasan satu siswa ditanggapi oleh siswa lain sehingga terjadi percakapan verbal dan aktivitas saling menanggapi. Dari percakapan itu, masing-masing siswa belajar lebih banyak daripada jika ia belajar sendiri. e. Appropriasi Pendapat siswa mendapat tanggapan dari orang lain sehingga pendapat itu semakin baik (terutama jika orang lain itu lebih ahli). Dengan tanggapan perbaikan dari orang lain, siswa memahami mana pendapat yang memadai (appropriate) dan mana yang tidak. f. Berbagi beban kognitif Bersama kelompok, siswa dapat membagi beban kognitifnya sehingga penyelesaian masalah (tugas) dapat lebih mudah dilakukan.

11

g. Mutual regulation Bersama kelompok, siswa lebih mudah melakukan kesepakatan perbaikan dalam struktur pengetahuannya karena dapat saling memberikan masukan terhadap pendapat yang dikemukakan setiap siswa. h. Social grounding Dalam kelompok, siswa mendapat penegasan atas apa yang dipahami melalui tanggapan dari kelompok. Siswa mendapat penegasan bahwa orang lain memahami apa yang dipahaminya dan pengetahuannya diterima oleh kelompok. Menurut Barron (2000 : 413), Collaborative Problem Solving adalah pembelajaran di mana siswa berpartisipasi dalam sebuah project pemecahan masalah yang diselesaikan secara bersama-sama dan mendengarkan salah seorang dari rekan kerjanya untuk menjelaskan hasil dari pekerjaannya tersebut. Sedangkan Greene (2008) dalam bukunya the explosive child mengungkapkan bahwa Collaborative Problem Solving adalah suatu pendekatan yang berpegang pada dua hal utama. Pertama, bahwa tantangan sosial, emosional, dan perilaku pada anak sebaiknya dipahami sebagai hasil sampingan dari perkembangan keterampilan kognitif; dan kedua, bahwa tantangan paling baik ditangani dengan memecahkan masalah yang menjadikan masalah sebagai fokus perhatian untuk menantang perilaku secara bersama.

12

Setting pembelajaran Collaborative Problem Solving ini dilakukan dalam kelompok belajar kecil, di mana setiap kelompok diisi oleh 2-4 orang, sebelum mereka diminta dalam kerja kelompok, guru terlebih dahulu memberikan masalah untuk diselesaikan secara individu yang kemudian, jika dirasa sudah cukup, guru meminta siswa bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan masalah yang diberikan oleh guru. Pada pembelajaran Collaborative Problem Solving ini, dapat

dilakukan dalam empat sesi kegiatan pembelajaran. Pertama, siswa dihadapkan pada masalah yang diberikan oleh guru untuk dipelajari oleh siswa secara individual. Kedua, siswa mencoba mengolah masalah berupa membuat pertanyaan-pertanyaan dari masalah yang diberikan untuk menjadi bahan acuan dalam penyelesaian masalah yang diberikan. Ketiga, siswa menyelesaikan masalah berdasarkan acuan yang telah dibuat pada sesi kedua. Keempat, siswa mencoba mentransfer hasil pekerjaannya secara individu tadi ke dalam kelompoknya. Dalam pelaksanaan transfer hasil pemecahan masalah yang dilakukan, Barron (2000: 414) mengungkapkan bahwa akan ada kemungkinan reaksi yang timbul dari setiap orang dalam menanggapi hasil dari pemecahan masalah yang disajikan. Reaksi tersebut dikelompokkan ke dalam lima tipe reaksi, yaitu: 1). Acceptances (penerimaan), pada reaksi ini terdapat kata-kata atau tindakan positif yang mendukung jawaban dari penyelesaian masalah yang diajukan; 2). Clarifications (Klarifikasi), pada reaksi ini siswa meminta beberapa penjelasan tentang penyelesaian yang

13

diberikan. Contoh, siswa menanyakan tentang penggunaan salah satu teorema bisa digunakan dalam dalam penyelesaian masalah yang diberikan; 3). Elaborations, sikap pada respon ini adalah reaksi berupa masukan yang menawarkan informasi tambahan. Contoh, siswa

menyarankan menambahkan suatu keterangan yang dirasa belum lengkap.; 4) Rejections (penolakan). penolakan terjadi jika dianggap alternatif penyelesaian masalah tidak tepat; dan, 5). Tanpa Respon, pada kondisi ini siswa hanya diam dan cenderung tidak menerima dan tidak menolak. Willihnganz (2001) mengungkapkan bahwa terdapat enam langkah dalam melaksanakan Collaborative Problem Solving ini yaitu: 1. Menentukan arah masalah sebagai suatu kebutuhan yang harus ada, bukan sebagai suatu solusi; 2. 3. Kembangkan semua solusi yang mungkin; Pilih salah satu solusi yang dianggap terbaik dari semua ide yang muncul; 4. 5. 6. Susun rencana dari ide yang dipilih; Laksanakan rencana; Evaluasi proses Collaborative Problem Solving. Dalam penelitian ini, pendekatan Collaborative Problem Solving yang dimaksud adalah pendekatan pembelajaran berbasis kelompok kecil dengan memberikan permasalahan secara individu dan berkelompok untuk diselesaikan dan mengungkapkankan hasil pekerjaannya kepada siswa lain.

14

Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Membuat kelompok kecil yang terdiri dari 2-5 orang siswa; Setiap siswa diberikan permasalahan secara individu; Setelah permasalahan secara individu diberikan, siswa bekerja secara berkelompok dengan bermodalkan pengetahuan yang didapat dari permasalahan individu; 4. Di dalam kelompok, siswa menyelesaikan permasalahan secara berkelompok; 5. Hasil dari pengerjaan secara berkelompok disampaikan kepada kelompok lain; 6. Kelompok lain memberikan tanggapan.

B. Komunikasi Matematis Secara umum komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain dengan maksud agar pesan yang disampaikan tersebut dapat dimengerti oleh pihak yang menerima pesan. Sedangkan kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan dalam matematika yang meliputi penggunaan keahlian: membaca, menulis, menyimak, menelaah, menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide, simbol, istilah serta informasi matematika

(Rachmawati, 2008:20). National Council of Teacher of Mathematics (NCTM) sebagaimana dikutip oleh Shadiq (2004) mendeklarasikan pernyataan bahwa program

15

pembelajaran di kelas-kelas TK hingga SMA harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk: 1. Mengorganisasi dan mengkonsolidasikan pemikiran dan ide

matematika dengan cara mengkomunikasikannya; 2. Mengkomunikasikan pemikiran matematika mereka secara logis dan jelas pada teman sejawatnya, gurunya, dan orang lain; 3. 4. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika orang lain; Menggunakan bahasa matematika untuk menyatakan ide-ide mereka dengan tepat. Melihat uraian di atas, jelaslah bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu kompetensi yang harus dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Greenes dan Schulman (Suzana, 2009:20) mengemukakan bahwa kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan: menyatakan ide matematik melalui ucapan, tulisan, demonstrasi dan melukiskannya secara visual dalam tipe yang berbeda; menafsirkan dan menilai ide yang disajikan dalam tulisan, lisan, atau dalam bentuk visual; mengkonstruksi, menafsirkan, dan menghubungkan bermacam-macam representasi ide dan hubungannya. Sedangkan Bean dan Barth (Suzana, 2009) mengemukakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam menjelaskan suatu algoritma dan cara unik untuk pemecahan masalah, kemampuan siswa mengkonstruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, kata-kata atau kalimat, persamaan, tabel, dan sajian fisik. Sedangkan Sullivan dan

16

Mousley (Suzana, 2009:20) mempertegas bahwa komunikasi matematis bukan hanya sekedar menyatakan ide melalui tulisan tetapi lebih luas lagi yaitu kemampuan siswa dalam hal bercakap, menjelaskan,

menggambarkan, mendengar, menanyakan, klarifikasi, bekerjasama, menulis, dan akhirnya melaporkan apa yang dipelajarinya. Dari beberapa pengertian di atas, ada beberapa catatan penting yang berkaitan dengan komunikasi. Komunikasi dalam matematika terdiri dari dua bagian yaitu komunikasi lisan yang meliputi membaca, mendengar, diskusi, dan menjelaskan; dan komunikasi tertulis yang meliputi pengungkapan ide matematika dalam fenomena dunia nyata melalui grafik atau gambar, tabel, persamaan aljabar, ataupun bahasa sehari-hari. Menurut Sumarmo (2010) kegiatan yang tergolong pada komunikasi matematis di antaranya adalah: 1. Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau model matematik; 2. Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau tulisan; 3. 4. 5. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis; Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika dalam bahasa sendiri. National Council of Teacher of Matematics (NCTM) (2000) mengungkapkan bahwa salah satu standar yang harus dimiliki siswa dalam

17

mempelajari matematika adalah memiliki kemampuan komunikasi matematis. Lebih jauh lagi NCTM menjelaskan dengan kemampuan komunikasi matematis yang siswa miliki dapat memungkinkan mereka untuk: 1. Mengorganisasi dan mengkonsolidasikan pemikiran matematika mereka melalui komunikasi; 2. Mengkomunikasikan pemikiran matematika mereka secara koheren dan jelas kepada teman, guru, dan kepada pihak lain; 3. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematika dan strategi orang lain; 4. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide matematika dengan tepat. Ada beberapa indikator kemampuan komunikasi dalam diskusi yang diungkapkan oleh Djumhur (Suzana, 2009:24), yaitu: 1. 2. Siswa ikut menyampaikan pendapat tentang masalah yang dibahas; Siswa berpartisipasi aktif dalam menanggapi pendapat yang diberikan siswa lain; 3. Siswa mau mengajukan pertanyaan ketika ada sesuatu yang tidak dimengerti; 4. Mendengarkan secara serius ketika siswa lain mengemukakan pendapat. Indikator kemampuan komunikasi matematika tertulis yang

dikemukakan oleh Ross (Suzana, 2009:25) sebagai berikut:

18

1.

Menggunakan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar, bagan, tabel, dan secara aljabar;

2. 3.

Menyatakan hasil dalam bentuk tertulis; Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan konsep matematika dan solusinya;

4.

Membuat situasi matematika dengan menyediakan ide dan keterangan dalam bentuk tertulis;

5.

Menggunakan bahasa matematika dan simbol secara tepat. Sedangkan komunikasi matematis lisan dalam pembelajaran

matematika adalah kemampuan siswa dalam mengungkapkan suatu gagasan atau ide matematika secara lisan. Adapun indikator kemampuan komunikasi matematika lisan adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Siswa dapat menjelaskan kesimpulan yang diperolehnya; Siswa dapat menafsirkan solusi yang diperoleh; Siswa dapat memilih cara yang tepat dalam menyampaikan penjelasannya; 4. Menggunakan tabel, gambar, model, dan lain-lain untuk

menyampaikan penjelasannya; 5. 6. 7. Siswa dapat mengajukan suatu permasalahan atau persoalan; Siswa dapat menyajikan penyelesaian dari suatu permasalahan; Siswa dapat merespon suatu pernyataan atau persoalan dari siswa lain dalam bentuk argumen yang meyakinkan;

19

8.

Siswa dapat menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide, simbol, istilah, serta informasi matematika;

9.

Siswa dapat mengungkapkan lambang, notasi, dan persamaan matematika secara lengkap dan tepat. Adapun kemampuan komunikasi matematis yang penulis maksud

adalah kemampuan komunikasi matematis yang dapat diukur malalui aspek: (1). Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan konsep matematika dan solusinya; (2). Membuat situasi matematika dan menyediakan Menggunakan menggunakan ide serta keterangan dan dalam bentuk tertulis; (3).

situasi gambar

masalah dan

menyatakan (4).

solusi

masalah ide

aljabar;

Menginterpretasikan

matematika dalam bentuk gambar dan aljabar.

C. Penelitian yang Relevan Sebagai bahan pertimbangan penulis merangkum beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu sebagai berikut: 1. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anna Suzana (2009) yang berjudul Pengaruh penerapan model Reciprocal Learning terhadap peningkatan kemampuan komunikasi matematik. Penelitian tersebut dilakukan di SMP Negeri 1 Kedawung Kabupaten Cirebon. Hasilnya menunjukkan bahwa siswa yang memperoleh model pembelajaran Reciprocal Learning mempunyai kemampuan komunikasi yang lebih

20

baik dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran konvensional. 2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Komarudin (2010) yang berjudul Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Collaborative Problem Solving untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMA. Penelitian tersebut dilakukan di MAN 1 Bandung. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan kemampuan berpikir kritis siswa yang menggunakan model Collaborative Problem Solving dengan siswa yang menggunakan pembelajaran konvensional.

D. Hipotesis Berdasarkan kajian pustaka dan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah kemampuan komunikasi matematis siswa SMP yang mendapat

pembelajaran matematika dengan pendekatan Collaborative Problem Solving lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan pendekatan konvensional.

Anda mungkin juga menyukai