Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

METODE PEMBELAJARAN MATEMATIKA

WRITING to LEARN MATH


PROBLEM POSING
Dosen pengampu : Prof. Dr. Rusgiyanto

Disusun oleh Kelompok 6 :

DIANA AMIROTUZ ZURAIDA (15709251066)


SRI SURYANINGTYAS (15709251075)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2015
WRITING to LEARN MATH
PROBLEM POSING

A. Pengertian Writing to Learn Mathematics


Salah satu tujuan pembelajaran matematika mengkomunikasikan gagasan
dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau
masalah. Baroody (1993) menyatakan bahwa ada dua buah alasan mengapa
matematika merupakan alat komunikasi yaitu: (1) mathematics as a language,
dan (2) mathematics learning as social activity. Sebagai bahasa, matematika
tidak sekedar sebagai alat berfikir, alat untuk menemukan pola, atau
menyelesaikan masalah tetapi matematika juga digunakan sebagai alat untuk
menyampaikan berbagai macam ide atau gagasan secara jelas, ringkas, dan tepat.
Alasan yang kedua, mathematics learning as social activity. Seseorang yang
memiliki kemampuan komunikasi matematis yang baik diharapkan dapat
mengkomunikasikan pemahaman matematisnya kepada orang lain dengan baik
pula. Menulis merupakan kegiatan yang dilakukan di semua proses
pembelajaran dan merupakan cara berkomunikasi, selain berbicara. Sehubungan
dengan hal tersebut maka menulis dapat dijadikan metode dalam pembelajaran
matematika.
Cangelosi (1992), berpendapat bahwa pembelajaran matematika pada
dasarnya menghendaki siswa menerima pesan (to receive message) melalui
membaca, mendengar guru atau yang lainnya, dan menghendaki siswa mengirim
pesan (to send message) melalui berbicara, menulis ataupun memasukkan data
ke dalam komputer. The Nuffield Mathematics (Sumantri, 1988:8)
mengemukakan tiga aturan yang digunakan dalam mengajar, yaitu: aku dengar
dan aku lupa, aku lihat dan aku ingat, aku kerjakan dan aku mengerti. Dari
ketiga aturan tersebut terlihat bahwa apabila dalam pembelajaran siswa hanya
mendengar saja, maka mereka akan mudah lupa. Bila mereka belajar dengan
melihat mereka akan mudah mengingat, tetapi bila mereka belajar dengan
melakukan dan ikut berpartisipasi, dalam hal ini menulis dalam matematika,
maka mereka akan mengerti tentang pokok bahasan yang sedang mereka
pelajari.
Menulis adalah sebuah tindakan menganalisis, membandingkan fakta-
fakta, dan mensintesis informasi (Farrel: 1978, dalam Louis Lim & David 
Pugalee). Keterampilan menulis adalah kemampuan seseorang dalam
melukiskan lambang garfis yang dimengerti oleh penulis bahasa itu sendiri
maupun orang lain yang mempunyai persamaaan pengertian terhadap simbol-
simbol bahasa tersebut (Nurjanah, 2005). Beberapa hal berkaitan dengan
menulis adalah (a) penuangan informasi; (b) penuangan pikiran, gagasan, atau
pendapat; (c) penggunaan bahasa tulis; (d) memperhatikan pembaca; dan (e)
memberikan pemahaman terhadap pembaca (Santoso, 2003). Berdasarkan
beberapa pengertian menulis tersebut, dapat disimpulkan bahwa menulis
matematis adalah menuangkan informasi, gagasan, ide-ide matematika dengan
menggunakan kata-kata, lambang-lambang dan simbol-simbol tertententu, agar
dapat dipahami oleh orang lain, yang diawali dengan proses analisis yang telah
dilakukan sebelumnya.
Mahmudi (2009) memandang bahwa aktivitas menulis sebagai strategi
belajar. Dalam Writing Across the Curriculum (WAC) yang dipublikasikan oleh
Michigan Education menyebut Write to Learn sebagai sebuah strategi
pembelajaran yang didefinisikan sebagai salah satu yang dilakukan pengajar
sepanjang dan/atau di akhir pembelajaran untuk berinteraksi dengan para siswa
dan mengembangkan ide-ide dan konsep besar. Dengan pandangan ini, aktivitas
menulis tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk kemampuan menulis itu
sendiri, melainkan dipandang sebagai cara untuk membelajarkan anak, termasuk
belajar matematika.
Menulis matematika yang baik yaitu :
1. Terorganisir dengan baik.
2. Ringkas.
3. Menggunakan bahasa yang jelas dan tepat.
4. Menggunakan kalimat matematika yang benar.
5. Menggunakan simbol untuk operasi dan pola dengan benar.
6. Menunjukkan penalaran logis.

B. Manfaat Writing to Learn Mathematics


Menulis dalam matematika adalah menjelaskan konsep matematika
dengan bahasa sendiri, membuat suatu kalimat matematika menjadi suatu model
matematika, dan menginterprestasikan grafik. Bretzing & Kulhavy (Slavin, 1997)
menemukan bahwa menulis menyatakan ide-ide utama dalam kata-kata yang
berbeda atau dengan kalimat sendiri dan membuat catatan dalam persiapan
pengajaran adalah strategi membuat catatan yang efektif, sebab cara ini
menghendaki proses mental atas informasi yang lebih tinggi.
Menurut Baroody (1993) ada beberapa kegunaan dan keuntungan dari menulis:
a. Menyimpulkan, yaitu siswa diminta untuk merangkum pelajaran dalam
bahasa mereka sendiri. Kegiatan ini berguna karena dapat membantu siswa
fokus pada konsep-konsep kunci dari suatu pelajaran, menilai pemahaman
dan memudahkan retensi. Hal ini diperkuat oleh Witttrock (Slavin, 1997)
menyatakan bahwa "One effective way is to have students write one-sentence
summaries after reading each paragraph".
b. Pertanyaan, yaitu siswa diminta untuk menuliskan pertanyaannya sendiri.
Kegiatan ini berguna untuk membantu siswa merefleksi pada fokus yang
tidak mereka pahami.
c. Penjelasan, yaitu siswa diminta untuk menjelaskan prosedur penyelesaian dan
bagaimana menghindari suatu kesalahan. Kegiatan ini berguna untuk
mempercepat refleksi, pemahaman, dan penggunaan kata-kata yang tidak
sesuai.
d. Definisi, yaitu siswa diminta untuk menjelaskan istilah-istilah yang muncul
dalam bahasa mereka sendiri. Kegiatan ini berguna untuk membantu siswa
berpikir tentang makna istilah dan menjelaskan pemahaman mereka terhadap
suatu istilah.
e. Laporan (reports), yaitu siswa diminta untuk menuliskan suatu laporan.
Kegiatan ini berguna membantu siswa memahami bahwa menulis adalah
suatu aspek penting dalam matematika untuk menyelidiki topik-topik dan isu-
isu dalam matematika dan performan.

C. Pengertian Problem Posing


Problem posing dalam pembelajaran mempunyai banyak arti. Diantara
arti yang sepadan dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkan
pengertian problem posing adalah mengajukan pertanyaan, merumuskan masalah
atau membuat masalah. Menurut Silver (Hajar, 2001:11-12)  problem
posing memiliki beberapa pengertian. Pertama, problem posing ialah pengajuan
soal sederhana atau perumusan ulang suatu soal yang ada dengan beberapa
perubahan agar lebih sederhana dan dapat dipahami dalam rangka menyelesaikan
soal yang rumit. Kedua, perumusan soal yang berkaitan dengan syarat-syarat
pada soal yang telah diselesaikan dalam rangka mencari alternatif penyelesaian
atau alternatif soal yang masih relevan. Ketiga, perumusan soal atau
pembentukan soal dari suatu situasi yang tersedia, baik dilakukan sebelum,
ketika, atau setelah menyelsaikan suatu soal.
Menurut NCTM (As’ari, 2000:42) problem posing (membuat soal)
merupakan ”the heart of doing mathematics”, inti dari matematika. Oleh karena
itu, NCTM merekomendasikan agar para siswa diberi kesempatan sebesar-
besarnya untuk mengalami membuat soal sendiri (problem posing). Berdasarkan
pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa problem posing adalah membuat
pertanyaan atau perumusan ulang berdasarkan soal yang sedang disediakan
sebagai bentuk dari proses penyelesaian masalah.
Silver (1997) mengklasifikasikan tiga aktivitas kognitif dalam pembuatan
soal antaralain:
1. Pre-soluting posing yaitu pembuatan soal berdasarkan situasi atau informasi
yang diberikan.
2. Within-soluting posing yaitu pembuatan atau formulasi soal yang sedang
diselesaikan. Pembuatan soal ini dimaksudkan sebagai penyederhanaan dari
soal yang diselesaikan. Dengan demikian, pembuatan soal akan mendukung
penyelesaian soal semula.
3. Post-solution posing. Strategi ini disebut juga sebagai strategi “find a more
challenging problem”. Siswa memodifikasi atau merevisi tujuan atau kondisi
soal yang telah diselesaikan untuk menghasilkan soal-soal baru yang lebih
menantang. Pembuatan soal demikian merujuk pada strategi “what-if-not
…?” atau ”what happen if …”. Beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
membuat soal dengan strategi itu adalah sebagai berikut:
a. Mengubah informasi atau data pada soal semula
b. Menambah informasi atau data pada soal semula
c. Mengubah nilai data yang diberikan, tetapi tetap mempertahankan kondisi
atau situasi soal semula
d. Mengubah situasi atau kondisi soal semula, tetapi tetap mempertahankan
data atau informasi yang ada pada soal semula.
Stoyanofa (Hajar, 2001:13) mengklasifikasikan problem posing menjadi
3 tipe, yaitu free problem posing (problem posing bebas), semi-structured
problem posing (problem posing semi-terstruktur), dan structured problem
posing (problem posing terstruktur). Pemilihan tipe-tipe itu dapat didasarkan
pada materi matematika, kemampuan siswa, hasil belajar siswa, atau tingkat
berpikir siswa. Berikut diuraikan masing-masing tipe tersebut:
1. Free problem posing (problem posing bebas). Menurut tipe ini siswa diminta
untuk membuat soal secara bebas berdasarkan situasi kehidupan sehari-hari.
Tugas yang diberikan kepada siswa dapat berbentuk: ”buatlah soal yang
sederhana atau kompleks”, buatlah soal yang kamu sukai, buatlah soal untuk
kompetisi matematika atau tes, ”buatlah soal untuk temanmu”, atau ”buatlah
soal sebagai hiburan (for fun)”.
2. Semi-structured problem posing (problem posing semi-terstruktur). Dalam
hal ini siswa diberikan suatu situasi bebas atau terbuka dan diminta untuk
mengeksplorasinya dengan menggunakan pengetahuan, keterampilan, atau
konsep yang telah mereka miliki. Bentuk soal yang dapat diberikan adalah
soal terbuka (open-ended problem) yang melibatkan aktivitas investigasi
matematika, membuat soal berdasarkan soal yang diberikan, membuat soal
dengan konteks yang sama dengan soal yang diberikan, membuat soal yang
terkait dengan teorema tertentu, atau membuat soal berdasarkan gambar yang
diberikan.
3. Structured problem posing (problem posing terstruktur). Dalam hal ini siswa
diminta untuk membuat soal berdasarkan soal yang diketahui dengan
mengubah data atau informasi yang diketahui. Brown dan Walter (1990)
merancang formula pembuatan soal berdasarkan soal-soal yang telah
diselesaikan dengan memvariasikan kondisi atau tujuan dari soal yang
diberikan.

D. Langkah-langkah Pembelajaran Problem Posing


Penerapan suatu model pembelajaran harus memiliki langkah-langkah
yang jelas, hal tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja guru dan aktivitas
yang dilakukan siswa. Amri (2013:13) menyatakan bahwa langkah-langkah
model pembelajaran problem posing sebagai berikut:
a. guru menjelaskan materi pelajaran, alat peraga yang disarankan
b. memberikan latihan soal secukupnya
c. siswa mengajukan soal yang menantang dan dapat menyelesaikan. Ini
dilakukan dengan kelompok
d. pertemuan berikutnya guru meminta siswa menyajikan soal temuan di depan
kelas.
e. Guru memberikan tugas rumah secara individual.
Langkah-langkah penerapan model problem posing yang dikemukakan
Thobroni dan Mustofa (2012:351) bahwa 1) guru menjelaskan materi pelajaran
kepada siswa menggunakan alat peraga untuk memfasilitasi siswa dalam
mengajukan pertanyaan, 2) siswa diminta untuk mengajukan pertanyaan secara
berkelompok, 3) siswa saling menukarkan soal yang telah diajukan, 4) kemudian
menjawab soal-soal tersebut dengan berkelompok.
Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa langkah-langkah problem posing antara lain 1) menjelaskan
materi pelajaran dengan media yang telah disediakan, 2) membagi siswa menjadi
kelompok secara heterogen, 3) secara berkelompok, siswa mengajukan
pertanyaan pada lembar soal, 4) menukarkan lembar soal pada kelompok lainnya,
5) menjawab soal pada lembar jawab, dan 6) mempresentasikan lembar soal dan
lembar jawab di depan kelas.

E. Ciri-ciri Pembelajaran Problem Posing


Thobroni dan Mustofa (2012:350) menyatakan bahwa pembelajaran
problem posing memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Guru belajar dari murid dan murid belajar dari guru
b. Guru menjadi rekan murid yang melibatkan diri dan menstimulasi daya
pemikiran kritis murid-muridnya serta mereka saling memanusiakan.
c. Manusia dapat mengembangkan kemampuannya untuk mengerti secara kritis
dirinya dan dunia tempat ia berada.
d. Pembelajaran problem posing senantiasa membuka rahasia realita yang
menantang manusia kemudian menuntut suatu tanggapan terhadap tantangan
tersebut.
Berdasarkan ciri-ciri yang telah disebutkan di atas, disimpulkan bahwa
model problem posing ini bersifat fleksibel, mengesankan, menganggap murid
adalah subjek belajar, membuat anak untuk mengembangkan potensinya sebagai
orang yang memiliki potensi rasa ingin tahu dan berusahan keras dalam
memahami lingkungannya.

F. Kelebihan dan Kekurangan Problem Posing


Setiap metode pembelajaran pasti ada kelebihan dan kekuranganya.
Begitupula dengan model pembelajaran problem posing. Dalam Ilfi Norman &
Md. Nor Bakar (2011:1) menguraikan bahwa kelebihan model problem posing
adalah :
Researchers in mathematics education argued that the use of appropriate
problem posing approaches can affect students’ academic success in a positive
way, can be a useful strategy for developing the problem solving ability (e.g.,
Kilpatrick, 1987; Cai, 1998; English, 1998; NCTM, 2000; Cunningham, 2004;
Christou, Mousoulides, Pittalis, Pitta, & Sriraman, 2005), can develop
students’ mathematical knowledge and understandings (e.g., Gonzales, 1996;
Goldenberg, 2003), can illuminate what can be learned from studying how
students solve problems and vice versa (e.g., English, 1997; NCTM, 2000; Cai
& Hwang, 2002; Brown & Walter, 2005; Costa, 2005), can develop students’
problem posing performance (e.g., Abu-Elwan, 2002, 2006),can effect students’
positive attitudes towards mathematics (e.g., Akay & Boz, 2010).
Dari pendapat ahli diatas dapat dipahami bahwa kelebihan model
problem posing adalah :
1. Kemampuan memecahkan masalah/mampu mencari berbagai jalan dari suatu
kesulitan yang dihadapi
2. Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman siswa/terampil
menyelesaikan soal tentang materi yang diajarkan
3. Mengetahui proses bagaimana cara siswa memecahkan masalah
4. Meningkatkan kemampuan mengajukan soal
5. Sikap yang positif terhadap matematika
Sedangkan menurut Rahayuningsih (Sutisna, 2002:18), kelebihan Problem
Posing diantaranya adalah: 
1. Kegiatan pembelajaran tidak terpusat pada guru, tetapi dituntut keaktifan
siswa.
2. Minat siswa dalam pembelajaran matematika lebih besar dan siswa lebih
mudah memahami soal karena dibuat sendiri.
3. Semua siswa terpacu untuk terlibat secara aktif dalam membuat soal.
4. Dengan membuat soal dapat menimbulkan dampak terhadap kemampuan
siswa dalam menyelesaikan masalah.
5. Dapat membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada dan yang baru
diterima sehingga diharapkan mendapatkan pemahaman yang mendalam dan
lebih baik
Berdasarkan kedua pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kelebihan
model pembelajaran problem posing yaitu:
1. Siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran.
2. Minat yang positif terhadap matematika.
3. Membantu siswa untuk melihat permasalahan yang ada sehingga
meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah.
4. Memunculkan ide yang kreatif dari dalam mengajukan soal.
5. Mengetahui proses bagaimana cara siswa memecahkan masalah.
Kekurangan model problem posing yaitu:
1. Membutuhkan waktu yang lama, karena waktu yang digunakan lebih banyak
untuk membuat soal dan penyelesaiannya sehingga materi yang disampaikan
sedikit.
2. Agar pelaksanaan kegiatan dalam membuat soal dapat dilakukan dengan baik
perlu ditunjang oleh buku yang dapat dijadikan pemahaman dalam kegiatan
belajar terutama membuat soal.
3. Tidak dapat digunakan pada kelas rendah dan tidak semua murid terampil
bertanya.

G. Pembelajaran Matematika dengan Problem Posing


Problem posing atau pembentukan soal adalah salah satu cara yang
efektif untuk mengembangkan keterampilan siswa guna meningkatkan
kemampuan siswa dalam menerapkan konsep matematika. Tim Penelitian
Tindakan Matematika (2002:2) mengatakan bahwa :
1. Adanya korelasi positif antara kemampuan membentuk soal dan kemampuan
membentuk masalah.
2. Latihan membentuk soal merupakan cara efektif untuk meningkatkan
kreatifitas siswa dalam memecahkan suatu masalah.
Menurut Brown dan Walter (1990:11), “…problem posing can give one a
chance to develop independent thinking processes”. Yang artinya problem posing
memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat berpikir secara bebas dan
mandiri dalam menyelesaikan masalah. Masalah disini tentunya masalah dalam
matematika.Adapun masalah dalam matematika diklasifikasikan dalam dua jenis
antara lain:
1. Soal mencari (problem to find) yaitu mencari, menentukan, atau mendapatkan
nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam soal dan memenuhi
kondisi atau syarat yang sesuai dengan soal. Objek yang ditanyakan atau
dicari (unknown), syarat-syarat yang memenuhi soal (condition) dan data atau
informasi yang diberikan merupakan bagian penting atau pokok dari sebuah
soal mencari dan harus dipenuhi serta dikenali dengan baik pada saat
memecahkan masalah.
2. Soal membuktikan (problem to prove), yaitu prosedur untuk menentukan
apakah suatu pernyataan benar atau tidak benar. Soal membuktikan terdiri atas
bagian hipotesis dan kesimpulan. Pembuktian dilakukan dengan membuat atau
memproses pernyataan yang logis dari hipotesis menuju kesimpulan
(Depdiknas, 2005: 219).
Silver dkk (Suhartini, 2004:48) mengemukakan bahwa sebenarnya sudah
sejak lama para tokoh pendidikan matematika menunjukkan pembentukan soal
merupakan bagian penting dalam pengalaman matematis siswa dan menyarankan
agar dalam pembelajaran matematika ditekankan kegiatan pembentukan soal.
Begitupun yang ditekankan English bahwa pembentukan soal merupakan inti
kegiatan matematis dan merupakan komponen penting dalam kurikulum
matematika.
Hasil penelitian Silver dan Cai (Suhartini, 2004:49) menunjukkan bahwa
kemampuan pembentukan soal berkorelasi positif dengan kemampuan
memecahkan masalah. Dengan demikian kemampuan pembentukan soal sesuai
dengan tujuan pembelajaran matematika di sekolah sebagai usaha meningkatkan
hasil pembelajaran matematika dan dapat meningkatkan kemampuan siswa. Dari
sini kita peroleh bahwa pembentukan soal penting dalam pelajaran matematika
guna meningkatkan prestasi belajar matematika siswa dengan membuat siswa 
aktif dan kreatif.
Pengajuan soal menempati posisi yang strategis dalam pembelajaran
matematika. Pengajuan soal dikatakan sebagai inti terpenting dalam disiplin
matematika dan dalam sifat pemikiran penalaran matematika. (Silver, et.al,
1996:293). Kurikulum pendidikan matematika di Amerika (NCTM Curriculum
and Evaluation Standards for School Mathematics, 1989:70) menganjurkan agar
siswa diberi kesempatan yang banyak untuk investigasi dan merumuskan
pertanyaan dari situasi masalah (Silver, et.al, 1996:293). Oleh karena itu, problem
posing dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengembangkan berpikir
matematis atau pola pikir matematis. Menurut Suryanto (1998:3) merumuskan
soal merupakan salah satu dari tujuh kriteria berpikir atau pola berpikir matematis.
Menurut Killpatrich dalam Abdussakir, salah satu dasar kognitif yang
ada dalam problem posing adalah asosiasi yaitu kecenderungan siswa
menggunakan respon pertama sebagai pijakan untuk mengajukan soal kedua,
ketiga, dan seterusnya. Menurut As’ari (Abdussakir, 2000:9) dalam kegiatan
problem posing, ketika terjadi proses asosiasi antara informasi baru dengan
struktur kognitif yang dimiliki seseorang, maka proses selanjutnya yang terjadi
adalah proses asimilasi dan akomodasi.
Di samping itu, Brown dan Walter (1990:15) yang menyatakan
pembuatan soal dalam pembelajaran matematika melalui dua tahap kegiatan
kognitif, yaitu accepting (menerima) dan challenging (menantang). Menerima
terjadi ketika siswa membaca situasi atau informasi yang diberika guru dan
menantang terjadi ketika siswa berusaha untuk mengajukan soal berdasarkan
situasi atau informasi yang diberikan. As’ari (Abdussakir, 2000:9) juga
menegaskan bahwa proses kognitif menerima memungkinkan siswa untuk
menempatkan suatu informasi pada suatu jaringan struktur kognitif sehingga
struktur kognitif tersebut makin kaya, sementara proses kognitif menantang
memungkinkan jaringan stuktur kognitif yang ada menjadi semakin kuat
hubungannya. Dengan demikian pembelajaran matematika dengan pendekatan
problem posing akan menambah kemampuan dan penguatan konsep dan prinsip
matematika siswa.
Pendekatan problem posing (pengajuan masalah) dapat dilakukan secara
individu atau kelompok (classical), berpasangan (in pairs) atau secara
berkelompok (groups). Masalah matematika yang diajukan secara individu tidak
memuat intervensi atau pemikiran dari siswa yang lain. Masalah tersebut adalah
murni sebagai hasil pemikiran yang dilatar belakangi oleh situasi yang diberikan.
Masalah matematika yang diajukan oleh siswa yang dibuat secara
berpasangan dapat lebih berbobot, jika dilakukan dengan cara kolaborasi,
utamanya yang berkaitan dengan tingkat keterselesaian masalah tersebut. Sama
halnya dengan masalah matematika yang dirumuskan dalam satu kelompok kecil,
akan menjadi lebih berkualitas manakala anggota kelompok dapat berpartsipasi
dengan baik (Hamzah, 2003:10 dalam Muhfida).

H. Contoh Problem Posing dalam Matematika


Contoh soal 1 Problem Posing untuk kelas 4 SD:
Bacalah dan pahami situasi yang diberikan pada soal di bawah ini dan kemudian
bentuklah soal – soal yang berkaitan dengan situasi yang diberikan.
Bapak Amat mempunyai kebun kelapa. Bulan Mei memetik buah kelapa
sebanyak 650 buah, bulan Juni memetik buah kelapa sebanyak 435 buah dan
bulan Juli memetik buah kelapa sebanyak 975 buah.
Jawaban:
Pada bulan Mei Pak Amat memetik buah kelapa sebanyak berapa buah?
Dan pada bulan Juni Pak Amat memetik berapa buah lagi?
Pada bulan Juli Pak Amat memetik berapa buah lagi?
Jika digabungkan
Jika dijumlahkan selama bulan Mei, Juni, dan Juli Pak Amat telah memetik berapa
buah?
650 + 435+975=2060
Jadi, selama bulan Mei, Juni, dan Juli jika dijumlahkan Pak Amat telah memetgik
2060 buah kelapa.
Contoh soal 2 untuk SMP kelas VIII
Tentukan persamaan garis yang melalui (3,2) dan sejajar dengan garis 2x + 3y - 8 =
0! Buatlah soal lain atau pertanyaan berdasarkan soal di atas yang mengarah pada
penyelesaian soal itu.
Jawaban:
1. Berapakah gradien garis 2x + 3y - 8 = 0?
2. Apakah syarat agar dua garis dikatakan sejajar?
3. Bagaimana rumus persamaan garis, bila diketahui sebuah titik dan
gradiennya?
DAFTAR PUSTAKA

Abdussakir. (2009). Pembelajaran Matematika Dengan Problem Posing. [Online].


Tersedia:http://abdussakir.wordpress.com/2009/02/13/pembelajaran-
matematika-dengan-problem-posing/. [20 Oktober 2015].

As’ari, Abdur Rahman. (2000). Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan


Problem Posing. Buletin Pelangi Pendidikan 17(2), 42-45.

Baroody, Arthur J. (1993). Problem Solving, Reasoning, And Communicating (K-8).


New York: Macmillan Publishing Company.

Brown, S., and Walter, M.I. (1990). The Art of Problem Posing. Philadelphia, PA:
Franklin Institute Press.

Cangelosi, James; S. (1992). Teaching Mathematics in Secondary and Middle School


Research- Based Approach.New York : McGraw- Hill.

Mahmudi, Ali. (2009). Menulis sebagai Strategi Belajar Matematika. Makalah pada
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika yang
Diselenggarakan oleh Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY
Yogyakarta.

Muhfida. (2010). Problem Posing dalam Pembelajaran Matematika. [Online].


Tersedia:http://blog.muhfida.com/problem-posing-dalam-pembelajaran-
matematika. [20 Oktober 2015).

Silver, E. A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in Mathematical


Problem Solving and Problem Posing. Zentralblatt für Didaktik der
Mathematik (ZDM) – The International Journal on Mathematics Education.
[Online]. Tersedia di: http://www.emis.de /journals/ZDM/zdm973a3.pdf.
ISSN 1615-679X. [20 Oktober 2015].
Slavin, Robert R. (1997). Educational Psychology and Practice. Fifth Edition. USA:
Paramount Publishing.

Sumantri, Bambang. (1988). Metode Pengajaran Matematika untuk SD. Jakarta:


Erlangga.

Sutisna. (2010). Kelebihan dan Kelemahan Pembelajaran dengan Pendekatan


Problem Posing. [Online]. Tersedia:http://sutisna.com/artikel/artikel-
kependidikan/kelebihan-dan-kelemahan-pembelajaran-dengan-pendekatan-
problem-posing/ [18 Oktober 2015].

Tim Penelitian Tindakan Matematika (PTM). (2002). Meningkatkan Kemampuan


Siswa Menerapkan Konsep Matematika Melalui Pemberian Tugas Problem
Posing Secara Berkelompok. Buletin Pelangi PendidikanVolume 2. Jakarta:
Direktorat Pendidikan.
HASIL DISKUSI

1. Pertanyaan dari Diena Frentika


Apakah problem posing dapat digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir
tingkat tinggi (HOTS)?
Jawaban Penyaji
Iya, dapat. Pada pertemuan sebelumnya kelompok yang menyajikan mamteri
tentang HOTS menyampaikan bahwa ada beberapa cara untuk mengukur HOTS
salah satunya adalah dengan problem posing. Karena pada problem posing ini
siswa diminta untuk berpikir kreatif dan kritis dalam membuat permasalahan
berdasarkan keadaan yang telah diilustrasikan dan membuat penyelesaian dari
permasalahan yang dibuatnya. Serta untuk mengetahui sejauh mana kemampuan
siswa dalam memahami suatu materi pembelajaran sehingga permasalahan yanng
dibuat siswa guru bisa mengetahui kesulitan siswa.

2. Pertanyaan dari Rusi Ulfa Hasanah


a. Problem posing ini termasuk model, metode atau pendekatan pembelajaran?
b. Apa perbedaan problem solving dengan problem posing?
c. Setiap siswa membuat pertanyaan dan jawabannya lalu bagaimana
penilaiannya?
Jawaban Penyaji
a. Problem posing ini bisa termasuk pendekatan maupun metode tergantung
bagaimana seorang guru menerapkannya. Karena problem posing ini lebih
pada soal atau permasalahan dari suatu materi sehingga dapat dikolaborasikan
dengan model pembelajaran yang ada. Misal judulnya Pengaruh Metode
Pembelajaran Problem Posing terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Kelas IV SD Gugus VI Kecamatan Banjar, Peningkatan
Aktivitas Belajar Matematika dengan Penerapan Metode Problem Posing Type
Post Solution Posing (PTK pada Siswa Kelas X PK 2 SMK Muhammadiyah
Delanggu Semester Genap Tahun 2013/2014).
b. Problem posing dengan problem solving berbeda, karena problem solving
siswa sudah diberikan permasalahan kemudian siswa diminta mencari
penyelesaian dari permasalahan tersebut. Permasalahan tersebut dapat berupa
open ended dan close ended, disesuaikan dengan tujuan pembuatan soal
tersebut. Sedangkan problem posing siswa hanya diberikan ilustrasi keadaan
kemudian siswa diminta untuk membuat permasalahan beserta
penyelesaiannya. Jadi, problem solving lebih menekankan pada penyelesaian
masalah sedangkan problem posing lebih menekankan pembuatan beserta
penyelesaian masalah.
c. Sama halnya dengan penilaian pada umumnya pastinya mempunyai kriteria-
kriteria penilaian. Sebelumnya guru telah membuat rancangan pertanyaan
berserta penyelesaiannya yang mungkin dibuat siswa kemudian diberi skor
sesuai dengan tingkat kesulitan permasalahan beserta penyelesaian yang dibuat
serta guru dapat membatasi jumlah permasalahan atau soal yang dibuat siswa.
Ketika problem posing dilaksanakan secara kelompok, guru tidak terlalu
kesulitan karena banyaknya soal yang dibuat siswa tidak sebanyak jika
dilaksanakan secara individu. Oleh sebab itu, amat sangat penting bagi guru
untuk membuat pedoman penilaian di setiap pembelajaran.

Anda mungkin juga menyukai