Anda di halaman 1dari 29

A.

Judul Penelitian

Desain Didaktis Mengantisipasi Learning Obstacles pada Konsep

Persamaan Linear Satu Variabel Dalam Pembelajaran Matematika Sekolah

Menengah Pertama Kelas VII.

B. Latar Belakang Penelitian

Matematika sangat penting untuk dipelajari dan dipahami sejak dini

dengan baik, tidak hanya demi kepentingan pendidikan formal, tetapi juga untuk

membantu manusia dalam kehidupan sehari-hari. Many people think of

mathematics as a content area—algebra, geometry, number theory, and so on—

the purpose of this chapter is to remind us that mathematics is also a process,

something that one “does.” (Brahier, 2010: 25). Banyak orang menganggap

matematika sebagai sebuah bidang yang hanya mencakup materi atau konsep

seperti, aljabar, geometri, teori angka dan lainnya, padahal matematika juga

memperhatikan proses, atau sesuatu yang harus dilakukan dan dijalani. Ady

(2013) menyatakan bahwa dengan mempelajari matematika, seseorang terbiasa

berpikir secara sistematis, ilmiah, menggunakan logika, kritis, serta dapat

meningkatkan daya kreativitasnya. Bagaimana matematika dipelajari disekolah

tentunya menjadi salah satu aspek penting untuk membuat siswa memahami

matematika dengan baik serta mendapatkan manfaat atau menerapkan dalam

kehidupan sehari-hari.

Belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat

fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Ini

berarti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu tergantung

pada proses belajar yang dialami siswa (Syah, 2014: 87). Sebagian orang

1
beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau

menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran.

(Syah, 2014: 87). Proses belajar disini bukanlah dengan mendapatkan suatu

konsep yang dapat langsung digunakan untuk memecahkan masalah melainkan

siswa menggunakan dan memodifikasi hal yang telah ia ketahui untuk

menciptakan suatu pengetahuan yang baru dan siswa memahami bahwa

pengetahuan tersebut dapat ia gunakan untuk memecahkan masalah (Brousseau,

2002)

Disinilah peran penting seorang guru, yakni mendidik, mengajar,

membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik

(UU Nomor 14 Tahun 2005). Salah satu fungsi guru adalah sebagai Manager of

Instruction, artinya sebagai pengelola pengajaran. Fungsi ini menghendaki

kemampuan guru dalam mengelola seluruh tahapan belajar. Salah satunya yang

terpenting ialah menciptakan kondisi dan situasi sebaik-baiknya, sehingga

memungkinkan para siswa belajar secara berdayaguna dan berhasilguna (Syah,

2014: 250). Untuk membantu siswa dalam belajar, seorang guru harus

menciptakan suatu situasi didaktis, yakni dimana guru memberikan masalah

kepada siswa serta membimbing siswa untuk berinteraksi dengan masalah kepada

siswa dengan masalah tersebut dan menyelesaikannya secara mandiri (proses

belajar) (Brousseau, 2002). Artinya guru harus bisa memahami kondisi siswa

sehingga mampu menciptakan situasi didaktis yang efektif.

Situasi belajar ini perlu terus diperbaharui, karena akan sulit bagi guru

untuk menciptakan ulang kondisi yang sama dan biasanya hasil yang diperoleh

tidak sebaik situasi didaktis sebelumnya (Brousseau, 2002: 27). Oleh karena itu,

2
penting bagi guru untuk membuat suatu proses perencanaan yang disusun sebagai

rancangan pembelajaran atau yang disebut juga dengan desain didaktis. Desain

didaktis ini merupakan sebuah rancangan pembelajaran yang dibuat dengan

menciptakan relasi antara siswa dan materi sehingga guru dapat menciptakan

situasi didaktis yang ideal bagi siswa (Suryadi, 2010a: 63). Miyakawa (2009)

menyatakan teknik didaktis bertujuan untuk membangun pengetahuan ilmiah,

yang mana pelajaran diwujudkan untuk mengonfirmasi kondisi pembelajaran

yang diantisipasi dalam analisis terhadap target pengetahuan dan eksperimen

sebelumnya.

Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa untuk menciptakan

desain didaktis yang baik guru harus memahami kondisi siswa. Maka salah satu

hal yang perlu diperhatikan untuk membuat suatu desain didaktis adalah hambatan

belajar (learning obstacles) yang dialami siswa. Menurut Setiawati (2011) ketika

seorang pelajar menemukan kendala dalam pengalaman belajarnya, dapat

dimungkinkan penyebabnya adalah sistem interaksi, proses belajar yang terjadi,

sifat pengajaran dari guru, sifat materi pelajaran, faktor genetik dan

pengembangan pribadi.

Brousseau (2002) mengatakan bahwa, terdapat tiga faktor penyebab

munculnya hambatan belajar, yaitu hambatan ontogeni, hambatan didaktis, dan

hambatan epistimologis. Hambatan ontogeni adalah hambatan yang disebabkan

oleh kesiapan mental belajar siswa dalam menghadapi proses pembelajaran yang

kurang. Hambatan didaktis adalah hambatan yang disebabkan oleh pengajaran

guru atau kesiapan guru dalam menghadapi proses pembelajaran. Hambatan

epistimologis adalah hambatan yang disebabkan oleh pengetahuan siswa yang

3
memiliki konteks aplikasi terbatas. Hercovics (dalam Setiawati, 2011)

menjelaskan bahwa perkembangan pengetahuan ilmiah seorang individu banyak

mengalami kendala epistimologis, dimana schemata konseptual pada diri pelajar

mengalami kendala kognitif. Hambatan epistimologis dapat menyebabkan

stagnasi pengetahuan ilmiah, bahkan penurunan pengetahuan seseorang

(Setiawati, 2011: 794).

Hasil penelitian Rika Febrianti (2014) mengidentifikasi kesalahan siswa

saat menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel untuk

kelas VII, yakni sebagai berikut

1. Kesalahan konsep adalah kesalahan yang dibuat siswa dalam menggunakan

konsep-konsep yang berkaitan dengan materi. Indikator kesalahan konsep

sebagai berikut:

a. Tidak ingat definisi konsep koefisien, variabel, dan konstanta.

b. Salah dalam menyamakan kedua ruas

c. Salah dalam menerjemahkan soal cerita ke dalam model matematika.

2. Kesalahan prinsip adalah kesalahan dalam menggunakan aturan-aturan atau

rumus-rumus matematika atau salah dalam menggunakan prinsip-prinsip

yang berkaitan dengan materi. Indikator kesalahan prinsip meliputi:

a. Salah dalam menyelesaikan jawaban.

b. Salah dalam menentukan jawaban akhir soal dan dalam penarikan

kesimpulan

3. Kesalahan operasi adalah kesalahan dalam melakukan operasi atau

perhitungan dimana siswa tidak dapat menggunakan aturan operasi atau

perhitungan dengan benar.

4
4. Kesalahan tidak menjawab soal yang telah diberikan.

Berdasarkan pemaparan diatas, penulis menduga bahwa adanya learning

obstacles yang menyebabkan kesalahan-kesalahan tersebut dapat terjadi saat

siswa menyelesaikan soal persamaan dan pertidaksamaan linear satu variabel.

Dalam jurnal penelitiannya, Siti Maryam Rohimah (2017) mengemukakan

bahwa pada proses pengerjaan soal Tes Kemampuan Responden (TKR) materi

Persamaan dan Pertidaksamaan linear satu variabel, kesulitan yang paling banyak

ditemukan termasuk dalam epistemological obstacle. Kebanyakan siswa sudah

mampu mengerjakan soal-soal sederhana Persamaan Linear Satu Variabel (PLSV)

maupun Pertidaksamaan Linear Satu Variabel (PtLSV), namun tidak bisa

menggunakannya pada konteks soal yang lebih kompleks terutama dalam soal

cerita

Keterbatasan konteks tersebut disebabkan bahan ajar ataupun LKS yang

digunakan siswa tidak memberikan penyajian soal secara variatif. Dalam modul

guru dan LKS siswa, materi disajikan dalam rangkuman yang selanjutnya diikuti

dengan contoh soal dan soal latihan yang tidak jauh berbeda dengan contoh. Hal

ini yang menyebabkan siswa memiliki keterbasan konteks dalam pemahaman

beberapa soal. Jenis kesalahan yang dilakukan siswa yang menjadi

epistemological obstacle yaitu kesalahan mengubah soal cerita ke dalam bentuk

PLSV dan kesalahan membuat penalaran terhadap permasalahan yang diberikan.

Arum (2017) mengungkapkan permasalahan yang seringkali terjadi adalah

guru menyusun RPP tidak secara mandiri. Banyak guru yang mengambil jalan

5
pintas dengan tidak membuat persiapan ketika hendak melakukan pembelajaran.

Sehingga guru mengajar tanpa persiapan.

Penanganan yang salah dalam proses pembelajaran akan membuat

hambatan epistimologis ini akan terus berulang dan menimbulkan kesalahan-

kesalahan yang akan berdampak buruk bagi siswa. Antisipasi terhadap learning

obstacles ini dapat dilakukan dengan membuat sebuah desain didaktis yang sesuai

dengan respon siswa terkait dengan hambatan epistimologis yang muncul.

Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang

berjudul “Desain Didaktis Mengantisipasi Learning Obstacles pada Konsep

Persamaan Linear Satu Variabel Dalam Pembelajaran Matematika Sekolah

Menengah Pertama Kelas VII”

C. Rumusan Masalah

Berikut adalah rumusan masalah yang telah disesuaikan berdasarkan latar

belakang yang dipaparkan sebelumnya.

1. Bagaimana karakteristik learning obstacles yang muncul pada proses

penyelesaian permasalahan yang diajukan terkait dengan konsep persamaan

linear satu variabel?

2. Bagaimana desain didaktis tentang konsep persamaan linear satu variabel

yang mampu mengatasi learning obstacles yang teridentifikasi sesuai dengan

karakteristik siswa Kelas VII?

3. Bagaimana implementasi desain didaktis dalam mengatasi learning obstacles

siswa terkait konsep persamaan linear satu variabel?

D. Tujuan Penelitian

6
Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan penulisan penelitian ini adalah

sebagai berikut.

1. Mengetahui karakteristik learning obstacles pada proses penyelesaian

permasalahan yang diajukan terkait dengan konsep persamaan linear satu

variabel.

2. Mengetahui desain didaktis tentang konsep persamaan linear satu variabel

yang mampu mengatasi learning obstacles yang teridentifikasi sesuai dengan

karakteristik siswa Kelas VII.

3. Mengetahui implementasi desain didaktis dalam mengatasi learning obstacles

siswa terkait konsep persamaan linear satu variabel

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah

1. Bagi Siswa, diharapkan dapat membantu dalam memahami konsep

persamaan linear satu variabel agar tidak terjadi kesalahan yang sama dalam

pembelajaran matematika berikutnya.

2. Bagi Guru, penelitian ini diharapkan dapat menciptakan pembelajaran

berdasarkan karakteristik siswa melalui penelitian didaktis, khususnya pada

pokok bahasan persamaan linear satu variabel

3. Bagi Peneliti, dapat mengetahui desain didaktis konsep persamaan linear satu

variabel serta implementasinya

F. Definisi Operasional

1. Learning obstacles merupakan hambatan yang terjadi dalam proses

pembelajaran. Dalam tulisan ini, learning obstacles yang dikaji adalah

hambatan epistimologis.

7
2. Hambatan epistimologis merupakan hambatan belajar dimana pengetahuan

seseorang hanya terbatas dalam konteks tertentu.

3. Desain didaktis merupakan sebuah rancangan pembelajaran yang dibuat

dengan menciptakan relasi antara siswa dan materi sehingga guru dapat

menciptakan situasi didaktis yang ideal bagi siswa. Desain didaktis

dikembangkan berdasarkan learning obstacles yang muncul dalam

pembelajaran konsep persamaan linear satu variabel sehingga diharapkan

dapat mengurangi learning obstacles tersebut.

4. Analisis efektivitas desain didaktis diukur melalui identifikasi learning

obstacles setelah implementasi desain didaktis dan analisis kuantitatif.

Adapun analisis efektivitas desain didaktis ini dilakukan untuk mengetahui

apakah desain didaktis efektif sebagai salah satu alternatif bahan ajar yang

dapat digunakan dalam proses pembelajaran.

5. Persamaan Linear Satu Variabel

a. Pengertian Persamaan Linear Satu Variabel

Persamaan Linier Satu Variabel adalah kalimat terbuka yang dihubungkan

tanda sama dengan ( “=”) dan hanya mempunyai satu variable berpangkat 1.

Bentuk umum persamaan linier satu variable adalah ax + b = 0

contoh :

a. x – 3 = 7

b. 4a + 5 = 25

Pada contoh diatas x, a, b adalah variable (peubah) yang dapat diganti

dengan sembarang bilangan yang memenuhi 

b. Menyelesaikan Persamaan Linear Satu Variabel

8
Himpunan Penyelesaian (HP) adalah himpunan semua pengganti dari

variabel-variabel pada kalimat terbuka sehingga kalimat tersebut bernilai

benar.

Ada dua cara untuk menentukan penyelesaian dan himpunan penyelesaian

dari suatu persamaan linier satu variable , yaitu :

(1) Subtitusi

(2) Mencari persamaan-persamaan yang ekuivalen.

Suatu persamaan dapat dinyatakan ke dalam persamaan yang

ekuivalen, dengan cara :

1. Menambah atau mengurangi kedua ruas dengan bilangan yang

sama.

2. Mengalikan atau membagi kedua ruas dengan bilangan bukan

nol yang sama.

Persamaan yang ekuivalen.

Persamaan yang ekuivalen adalah persamaan-persamaan yang memiliki

himpunan penyelesaian sama jika pada persamaan tersebut dilakukan

operasi tertentu suatu persamaan yang  ekuivalen dinotasikan dengan tanda.

Contoh Soal :

Tentukan himpunan penyelesaian dari persamaan 2x – 1 = 5

Penyelesaian :

2 x−1=5

⟺ 2 x −1+ 1=5+1

9
⟺ 2 x =6

2x 6
⟺ =
2 2

⟺ x=3

Jadi, himpunan penyelesaiannya adalah x={3}

G. Tinjauan Pustaka

1. Didactical Design Research (DDR)

The Theory of Didactical Situation (TDS) dicetuskan oleh Guy Brousseau

asal Prancis (Winslow, 2010: 46). TDS memperkenalkan istilah kontrak didaktis

(didactical contract). Dalam kontrak tersebut, peran guru adalah untuk

menciptakan lingkungan bagi siswa di mana mereka dapat mempelajari subjek

yang ditentukan oleh guru dan peran siswa adalah terlibat dan bekerja untuk

mendapatkan pengetahuan yang sudah dimiliki guru. Dalam kontrak ini, karya

guru disebut sebagai situasi didaktis (didactical situation) dan karya siswa disebut

sebagai situasi adidactical (addidactical situation) (Winslow, 2010: 47).

“Adidactical” situations are learning situations in which the teacher has

successfully hidden her will and intervention as a determinant of what the student

has to do; they are those which function without the intervention of the teacher at

the level of knowledge (Brousseau, 2002: 236). Situasi adidactical adalah situasi

belajar dimana guru tidak ikut campur dalam menentukan apa yang harus

dilakukan oleh siswa, siswa menentukan sendiri apa yang harus dilakukannya.

Proses pengembangan situasi didaktis, analisis situasi belajar yang terjadi

sebagai respon atas situasi didaktis yang dikembangkan, serta keputusan-

10
keputusan yang diambil guru selama proses pembelajaran berlangsung,

menggambarkan bahwa proses berpikir guru yang terjadi selama pembelajaran

tidaklah sederhana. Agar proses tersebut dapat mendorong terjadinya situasi

belajar yang lebih optimal, maka diperlukan suatu upaya maksimal yang harus

dilakukan sebelum pembelajaran. Upaya tersebut telah digambarkan di atas

sebagai Antisipasi Didaktik dan Pedagogis (ADP). ADP pada hakekatnya

merupakan sintesis hasil pemikiran guru berdasarkan berbagai kemungkinan yang

diprediksi akan terjadi pada peristiwa pembelajaran (Suryadi, 2013: 11).

Proses pengembangan situasi didaktis, analisis prediksi respon siswa atas

situasi didaktis yang dikembangkan, serta pengembangan ADP, menunjukkan

pengembangan rencana pembelajaran sebenarnya tidak hanya terkait dengan

masalah teknis yang berujung pada terbentuknya RPP. Hal tersebut lebih

menggambarkan suatu proses berpikir sangat mendalam dan komprehensif

tentang apa yang akan disajikan, bagaimana kemungkinan respon siswa, serta

bagaimana kemungkinan antisipasinya. Proses berpikir yang dilakukan guru tidak

hanya terbatas pada fase sebelum pembelajaran, melainkan juga pada saat

pembelajaran dan setelah pembelajaran terjadi.

Aktivitas Lesson Study yang meliputi tiga langkah Plan, Do, dan See

sebenarnya dapat dikaitkan dengan proses berpikir guru pada tiga fase yaitu

sebelum, pada saat, dan setelah pembelajaran. Proses berpikir sebelum

pembelajaran dapat difokuskan pada pengembangan desain didaktis yang

merupakan suatu rangkaian situasi didaktis. Analisis terhadap desain tersebut akan

menghasilkan ADP. Proses berpikir pada saat pembelajaran pada hakekatnya

merupakan analisis metapedadidaktik yakni analisis terhadap rangkaian situasi

11
didaktis yang berkembang di kelas, analisis situasi belajar sebagai respon siswa

atas situasi didaktis yang dikembangkan, serta analisis interaksi yang berdampak

terhadap terjadinya perubahan situasi didaktis maupun belajar. Refleksi yang

dilakukan setelah pembelajaran, menggambarkan pikiran guru tentang apa yang

terjadi pada proses pembelajaran serta kaitannya dengan apa yang dipikirkan

sebelum pembelajaran terjadi. Menyadari bahwa proses berpikir yang dilakukan

guru terjadi pada tiga fase, dan hasil analisis dari proses tersebut berpotensi

menghasilkan desain didaktis inovatif, maka ketiga proses tersebut sebenarnya

dapat diformulasikan sebagai rangkaian langkah untuk menghasilkan suatu desain

didaktis baru. Dengan demikian, rangkaian aktivitas tersebut selanjutnya dapat

diformulasikan sebagai Penelitian Desain Didaktis atau Didactical Design

Research (DDR) (Suryadi, 2013: 12).

Dalam Lidinillah (2011: 17) tertulis ada dua model pengembangan dan

penerapan Didactical Design Research, yaitu yang dikembangkan oleh Hudson

(2008) dan Suryadi (2010). Menurut Hudson, analisis didaktis sebelum

pembelajaran difokuskan pada hubungan tiga serangkai antara guru, siswa dan

materi sehingga dapat menjadi arahan dalam pelaksanaan pembelajaran. Dalam

pengembangan desain didaktis, aktivitas guru dirancang untuk berfokus bukan

kepada siswa maupun materi pembelajaran tetapi pada hubungan antara siswa

dengan materi pembelajaran. Proses desain didaktis (didactical design)

mengadaptasi dari model perancangan pembelajaran (instructional design), yaitu

yang meliputi tahap : (1) analisis; (2) perancangan (design); (3) pengembangan;

(4) interaksi dan (5) evaluasi. Sebelum menjelaskan model penelitian Didactical

Design Research Suryadi (2010) terlebih dahulu menjelaskan teori tentang

12
pembelajaran matematika yang beliau kembangkan yaitu Metapedadidaktik.

Suryadi (2010) menjelaskan dalam proses pembelajaran terjadi hubungan tiga

serangkai (segitiga) antara guru, siswa dan materi. Segitiga didaktis yang

menggambarkan hubungan pedagogis (HP) antara guru dengan siswa serta

hubungan didaktis (HD) antara siswa dengan materi merupakan aspek penting

dalam pembelajaran. Aktivitas guru dalam pembelajaran difokuskan bukan pada

siswa dan materi secara terpisah tetapi difokuskan terhadap hubungan antara

siswa dan materi pada saat pembelajaran berlangsung.

Menurut Suryadi (2010a: 13) Penelitian Desain Didaktis atau Didactical

Design Research (DDR) pada dasarnya terdiri atas tiga tahapan yaitu : (1) analisis

situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa Desain Didaktis

Hipotesis termasuk ADP, (2) analisis metapedadidaktik, dan (3) analisis

retrosfektif yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis

dengan hasil analisis metapedadidaktik. Dari ketiga tahapan ini akan diperoleh

Desain Didaktik Empirik yang tidak tertutup kemungkinan untuk terus

disempurnakan melalui tiga tahapan DDR tersebut.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka desain didaktis dirancang untuk

menciptakan hubungan siswa dengan materi (HD) yang sesuai dengan situasi

didaktis, menciptakan hubungan guru dan materi (ADP) sesuai dengan didaktis

dan pedagogis.

2. Metapedadidaktik

Menurut Brousseau dalam Suryadi (2013: 8) untuk menciptakan situasi

didaktis maupun pedagogis yang sesuai, dalam menyusun rencana pembelajaran

guru perlu memandang situasi pembelajaran secara utuh sebagai suatu obyek.

13
Menyadari bahwa situasi didaktis dan pedagogis yang terjadi dalam suatu

pembelajran merupakan peristiwa yang sangat kompleks, maka guru perlu

mengembangkan kemampuan untuk bisa memandang peritiwa tersebut secara

komprehensif, mengidentifikasi dan menganalisis hal-hal penting yang terjadi,

serta melakukan tindakan tepat sehingga tahapan pembelajaran berjalan lancar dan

sebagai hasilnya siswa belajar dengan optimal. Kemampuan yang perlu dimiliki

guru tersebut selanjutnya akan disebut sebagai metapedadidaktik (Suryadi, 2013:

8).

Metapedadidaktik dapat diartikan sebagai kemampuan guru untuk: (1)

memandang komponen-komponen segitiga didaktis yang dimodifikasi yaitu ADP,

HD, dan HP sebagai suatu kesatuan yang utuh, (2) mengembangkan tindakan

sehingga tercipta situasi didaktis dan pedagogis yang sesuai kebutuhan siswa, (3)

mengidentifikasi serta menganalisis respon siswa sebagai akibat tindakan didaktis

maupun pedagogis yang dilakukan, (4) melakukan tindakan didaktis dan

pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respon siswa menuju pencapaian

target pembelajaran. Metapedadidaktik meliputi tiga komponen yang terintegrasi

yaitu kesatuan, fleksibiitas, dan koherensi (Suryadi, 2013: 9).

Komponen kesatuan berkenaan dengan kemampuan guru untuk

memandang sisi-sisi segitiga didaktis yang dimodifikasi sebagai sesuatu yang

utuh dan saling berkaitan erat. Sebelum peristiwa pembelajaran terjadi, guru tentu

melakukan proses berpikir tentang skenario pembelajaran yang akan

dilaksanakan. Hal terpenting yang dilakukan dalam proses tersebut adalah

berkaitan dengan prediksi respon siswa sebagai akibat tindakan didaktis maupun

pedagogis yang akan dilakukan. Dalam suatu peristiwa pembelajaran, guru tentu

14
saja akan memulai aktivitas sesuai skenario yang memuat antisipasi didaktis dan

pedagogis. Pada saat guru menciptakan sebuah situasi didaktis, terdapat tiga

kemungkinan yang bisa terjadi terkait respon siswa atas situasi tersebut yaitu

seluruhnya sesuai prediksi guru, sebagian sesuai prediksi, atau tidak ada satupun

yang sesuai prediksi. Walaupun secara keseluruhan hanya ada tiga kemungkinan

seperti itu, akan tetapi pada kenyataannya respon siswa tersebut tidak mungkin

muncul seragam untuk setiap siswa. Artinya apabila respon siswa seluruhnya

sesuai dengan prediksi guru, bukan berarti setiap siswa memberikan respon yang

sama melainkan secara akumulasi respon yang diberikan siswa sesuai prediksi.

Dengan demikian, selama proses pembelajaran berjalan guru akan senantiasa

berpikir tentang keterkaitan antara tiga hal yaitu antisipasi didaktis-pedagogis,

hubungan didaktis siswa-materi, dan hubungan pedagogis guru-siswa.

Komponen kedua adalah fleksibilitas. Skenario, prediksi renspon siswa,

serta antisipasinya yang sudah dipikirkan sebelum peristiwa pembelajaran terjadi

pada hakekatnya hanyalah sebuah rencana yang belum tentu sesuai kenyataan.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, respon siswa tidak selalu sesuai prediksi

guru sehingga berbagai antisipasi yang sudah disiapkan perlu dimodifikasi

sepanjang perjalanan pembelajaran sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini

sangat penting untuk dilakukan sebagai konsekuensi logis dari pandangan bahwa

pada hakekatnya siswa memiliki otoritas untuk mencapai suatu memampuan

sesuai kapasitasnya sendiri. Sementara guru sebagai fasilitator, hanya bisa

melakukan tindakan didaktis atau pedagogis pada saat siswa benar-benar

membutuhkan yaitu ketika berusaha mencapai kemampuan potensialnya. Dengan

15
demikian, antisipasi yang sudah disiapkan perlu senantiasa disesuaikan dengan

situasi didaktis maupun pedagogis yang terjadi.

Komponen ketiga adalah koherensi atau pertalian logis. Situasi didaktis

yang diciptakan guru sejak awal pembelajaran tidaklah bersifat statis karena pada

saat respon siswa muncul yang dilanjutkan dengan tindakan didaktis atau

pedagogis yang diperlukan, maka akan terjadi situasi didaktis dan pedagogis baru.

Karena kejadian tersebut berkembang sepanjang proses pembelajaran dan sasaran

tindakan yang diambil guru bisa bersifat individual, kelompok, atau kelas, maka

milieu (lingkungan) yang terbentuk pastilah akan sangat bervariasi. Dengan

demikian, situasi didaktispun akan berkembang pada tiap milieu sehingga muncul

situasi yang berbeda-beda. Namun demikian, perbedaan-perbedaan situasi yang

terjadi harus dikelola sedemikian rupa sehingga perubahan situasi sepanjang

proses pembelajaran dapat berjalan secara lancar mengarah pada pencapaian

tujuan. Untuk mencapai hal tersebut, maka guru harus memperhatikan aspek

pertalian logis atau koherensi dari tiap situasi sehingga proses pembelajaran dapat

mendorong serta memfasilitasi aktivitas belajar siswa secara kondusif mengarah

pada pencapaian hasil belajar yang optimal. (Suryadi, 2013)

3. Hambatan Belajar atau Learning Obstacles

Menurut Liew dan Wan Muhammad dalam Setiawati (2011: 789)

penguasaan pengetahuan dasar matematika, sangat penting dalam pengembangan

konsep selanjutnya. Tanpa pemahaman yang jelas tentang konsep dasar dan

kompetensi yang dipelajari pada tahap awal, akan menghasilkan proses belajar

menjadi lebih sulit pada tahap berikutnya. Kenyataannya, banyak siswa

16
mengalami kesulitan dalam memahami konsep awal. Hal ini disebabkan adanya

hambatan belajar (learning obstacles).

Brousseau (2002: 243) menyatakan bahwa siswa menggunakan

pengetahuan yang berbeda dari guru yang akan mengajari mereka. Siswa

menggunakan pemikiran “alami” yang sudah sangat mereka kenal. Hal ini lah

yang membuat mereka membuat kesalahan yang bisa diamati dan dicatat secara

teratur. Pengetahuan mereka ini yang menimbulkan hambatan (didaktis, ontogeni,

epistimologis) dan menimbulkan konflik kognitif.

Fundamentally cognitive obstacles seem able to be ontogenetic,

epistemological, didactical and even cultural, according to their origin and the

way in which they evolve (Brousseau, 2002: 100). Hambatan kognitif pada

dasarnya dapat bersifat ontogeni, epistimologis, didaktis dan bahkan budaya,

sesuai dengan asal usul dan cara mereka berkembang.

Hambatan ontogeni adalah hambatan yang disebabkan oleh kesiapan

mental belajar siswa dalam menghadapi proses pembelajaran yang kurang.

Hambatan didaktis adalah hambatan yang disebabkan oleh pengajaran guru atau

kesiapan guru dalam menghadapi proses pembelajaran. Hambatan epistimologis

adalah hambatan yang disebabkan oleh pengetahuan siswa yang memiliki konteks

aplikasi terbatas. Menurut Suryadi (2013: 11) salah satu aspek yang perlu menjadi

pertimbangan guru dalam mengembangkan anitisipasi didaktik dan pedagogis

adalah adanya learning obstacles khususnya yang bersifat epistimologis

(epistimoligical obstacles). Menurut Doroux (dalam Suryadi, 2013),

epistimological obstacles pada hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang

yang hanya terbatas pada konteks tertentu. Jika orang tersebut dihadapkan pada

17
konteks berbeda, maka pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan

atau dia mengalami kesulitan untuk menggunakannya.

4. Teori Pendukung

Berikut teori yang mendukung pembuatan desain didaktis berdasarkan

Didactical Design Research (DDR)

a. Teori Bruner

Bruner berpandangan bahwa belajar, merefleksikan suatu proses sosial

yang didalamnya anak terlibat dalam dialog dan diskusi baik dengan diri

mereka sendiri maupun orang lain termasuk guru sehingga mereka

berkembang secara intelektual. Bruner mengemukakan bahwa

perkembangan intelektual anak itu mencakup tiga tahapan yaitu enaktif,

ikonik dan simbolik. Pada tahap enaktif, anak biasanya sudah bisa

melakukan manipulasi, konstruksi, serta penyusunan dengan

memanfaatkan benda-benda konkrit. Pada tahap ikonik, anak sudah

mampu berfikir representatif yakni dengan menggunakan gambar atau

turus. Pada tahap ini mereka sudah bisa berpikir verbal yang didasarkan

pada representasi benda-benda kongkrit. Pada tahap simbolik, anak sudah

memiliki kemampuan untuk berfikir atau melakukan manipulasi dengan

menggunakan simbol-simbol. (Suryadi, 2010b: 2)

b. Teori Vygotsky

Menurut Vygotsky proses peningkatan pemahaman pada diri siswa

terjadi sebagai akibat adanya pembelajaran. Diskusi yang dilakukan antara

guru-siswa dalam pembelajaran, mengilustrasikan bahwa interaksi sosial

yang berupa diskusi ternyata mampu memberikan kesempatan pada siswa

18
untuk berbagi dan memodifikasi cara berfikir masing-masing. Proses yang

mampu menjembatani siswa pada tahapan belajar yang lebih tinggi disebut

sebagai zone of proximal development (ZPD). Pengembangan kemampuan

yang diperoleh melalui proses belajar sendiri pada saat melakukan

pemecahan masalah disebut actual development, sedangkan perkembangan

yang terjadi sebagai akibat adanya interaksi dengan guru atau siswa lain

yang mempunyai kemampuan lebih tinggi disebut potential development.

Zone of proximal development selanjutnya diartikan sebagai jarak antara

actual development dan potential development.

Vygotsky menjelaskan bahwa proses belajar terjadi pada dua tahap:

tahap pertama terjadi pada saat berkolaborasi dengan orang lain, dan tahap

berikutnya dilakukan secara individual yang didalamnya terjadi proses

internalisasi. Selama proses interaksi terjadi baik antara guru-siswa

maupun antar siswa, kemampuan berikut ini perlu dikembangkan: saling

menghargai, menguji kebenaran pernyataan pihak lain, bernegosiasi, dan

saling mengadopsi pendapat yang berkembang.

Berdasarkan teori Vygotsky, diperoleh tiga hal utama yang berkaitan

dengan pembelajaran, yakni: (1) pembelajaran efektif mengarah pada

perkembangan, (2) pembelajaran efektif akan berhasil dikembangkan

melalui setting pemecahan masalah, dan (3) pembelajaran efektif berfokus

pada upaya membantu siswa untuk mencapai potential development

mereka (Suryadi, 2010b: 2).

c. Teori Piaget

19
Menurut Piaget, perkembangan intelektual anak mencakup empat

tahapan yaitu, sensori motor, preoperasi, operasi kongkrit, dan operasi

formal. Piaget menyatakan bahwa perkembangan intelektual anak

merupakan suatu proses asimilasi dan akomodasi ke dalam struktur

mental. Asimilasi adalah suatu proses dimana informasi atau pengalaman

yang diperoleh seseorang masuk ke dalam struktur mentalnya, sedangkan

akomodasi adalah terjadinya restrukturasi dalam otak sebagai akibat

adanya informasi atau pengalaman baru. Perkembangan mental seseorang

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni, kematangan, pengalaman

fisik, pengalaman matematis-logis, transmisi sosial (interaksi sosial) dan

keseimbangan (Suryadi, 2010b: 2)

d. Teori APOS

APOS Theory adalah sebuah teori konstruktivis tentang bagaimana

seseorang belajar suatu konsep matematika. Teori tersebut pada dasarnya

berlandaskan pada hipotesis tentang hakekat pengetahuan matematik

(mathematical knowledge) dan bagaimana pengetahuan tersebut

berkembang. Pandangan teoritik tersebut dikemukakan oleh Dubinsky

yang menyatakan,

An individual's mathematical knowledge is her or his tendency to


respond to perceived mathematical problem situations by reflecting
on problems and their solutions in a social context and by
constructing mathematical actions, processes, and objects and
organizing these in schemas to use in dealing with the situations.

Istilah-istilah aksi (action), proses (process), obyek (object) dan

skema (schema) pada hakekatnya merupakan suatu konstruksi mental

seseorang dalam upaya memahami sebuah ide matematik. Menurut teori

20
tersebut, manakala seseorang berusaha memahami suatu ide matematik

maka prosesnya akan dimulai dari suatu aksi mental terhadap ide

matematik tersebut, dan pada akhirnya akan sampai pada konstruksi suatu

skema tentang konsep matematik tertentu yang tercakup dalam masalah

yang diberikan.

Aksi adalah suatu transformasi obyek-obyek mental untuk

memperoleh obyek mental lainnya. Hal tersebut dialami oleh seseorang

pada saat menghadapi suatu permasalahan serta berusaha

menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya.

Berbeda dengan aksi, yang mungkin terjadi melalui bantuan

manipulasi benda atau sesuatu yang bersifat kongkrit, proses terjadi secara

internal di bawah kontrol individu yang melakukannya. Seseorang

dikatakan mengalami suatu proses tentang sebuah konsep yang tercakup

dalam masalah yang dihadapi, apabila berpikirnya terbatas pada ide

matematik yang dihadapi serta ditandai dengan munculnya kemampuan

utuk membicarakan (to describe) atau melakukan refleksi atas ide

matematik tersebut. Proses-proses baru dapat dikonstruksi dari proses

lainnya melalui suatu koordinasi serta pengaitan antar proses.

Jika seseorang melakukan refleksi atas operasi yang digunakan dalam

proses tertentu, menjadi sadar tentang proses tersebut sebagai suatu

totalitas, menyadari bahwa transformasi-transformasi tertentu dapat

berlaku pada proses tersebut, serta mampu untuk melakukan transformasi

yang dimaksud, maka dapat dinyatakan bahwa individu tersebut telah

melakukan konstruksi proses menjadi sebuah obyek kognitif.

21
Seseorang dapat dikatakan telah memiliki sebuah konsepsi obyek dari

suatu konsep matematik manakala dia telah mampu memperlakukan ide

atau konsep tersebut sebagai sebuah obyek kognitif yang mencakup

kemampuan untuk melakukan aksi atas obyek tersebut serta memberikan

alasan atau penjelasan tentang sifat-sifatnya. Selain itu, individu tersebut

juga telah mampu melakukan penguraian kembali (de-encapsulate) suatu

obyek menjadi proses sebagaimana asalnya pada saat sifat-sifat dari obyek

yang dimaksud akan digunakan.

Sebuah skema dari suatu materi matematik tertentu adalah suatu

koleksi aksi, proses, obyek, dan skema lainnya yang saling terhubung

sehingga membentuk suatu kerangka kerja saling terkait didalam pikiran

atau otak seseorang (Suryadi, 2010b: 5).

5. Materi Persamaan Linear Satu Variabel

a. Mengenal Kalimat Terbuka

Perhatikan contoh-contoh berikut ini.

1.    9 dikurangi suatu bilangan hasilnya adalah 5

2.    2x – 3 = 7

3.     y adalah bilangan ganjil yang kurang dari 5

Ketiga  kalimat diatas  belum dapat ditentukan  sebagai kalimat benar atau

salah karena masih tergantung pada kalimat tertentu. Kalimat (1)

bergantung pada  kalimat (2) pada x, dan kalimat (3) pada y.

Kalimat-kalimat tersebut disebut kalimat terbuka. Unsur tertentu dari

masing-masing kalimat terbuka disebut peubah atau variabel.

22
1. Kalimat terbuka adalah kalimat yang belum diketahui nilai

kebenarannya (benar atau salah).

2. Variabel adalah lambang atau simbol  yang dapat diganti oleh

sembarang  anggota dari himpunan semesta.

3. Konstanta adalah pengganti dari suatu variabel.

Himpunan penyelesaian  suatu kalimat terbuka. Contoh :

1.         x – 2 = 6, pengganti x  yang benar adalah 8.

Penyelesaiannya  adalah  x = 8 dan himpunan penyelesaiannya

adalah  {8}.

2.         T adalah bilangan genap, t  { 2, 4, 5, 7, 8, 9, 10 }. Pengganti t

yang benar adalah 2, 4, 8, dan 10. Himpunan penyelesaiaan adalah {2,

4, 8,10}.

3.         2r + 1 = 3 dengan r  {2, 3, 4, 5}. Pengganti r  yang benar tidak

ada. Himpunan penyelesaiannya adalah  atau { }.

b. Mengenal Persamaan Linear Satu Variabel (PLSV)

1. Pengertian Persamaan dan Himpunan Penyelesaian Persamaan Linear

Satu Variabel

Perhatikan kalimat terbuka x + 1 = 5.

Kalimat terbuka tersebut dihubungkan oleh tanda sama dengan (=).

Selanjutnya, kalimat terbuka yang dihubungkan oleh tanda sama

dengan (=) disebut persamaan.

Persamaan dengan satu variabel berpangkat satu atau berderajat satu

disebut persamaan linear satu variabel.

23
Jika x pada persamaan x + 1 = 5 diganti dengan x = 4 maka persamaan

tersebut bernilai benar. Adapun jika x diganti bilangan selain 4 maka

persamaan x + 1 = 5 bernilai salah. Dalam hal ini,nilai x = 4 disebut

penyelesaian dari persamaan linear x + 1 = 5. Selanjutnya, himpunan

penyelesaian dari persamaan x + 1 = 5 adalah {4}.

Pengganti variabel x yang mengakibatkan persamaan bernilai benar

disebu tpenyelesaian persamaan linear. Himpunan semua penyelesaian

persamaan linear disebut himpunan penyelesaian persamaan linear.

Persamaan linear satu variabel adalah kalimat terbuka yang

dihubungkan oleh tanda sama dengan (=) dan hanya mempunyai satu

variabel berpangkat satu. Bentuk umum persamaan linear satu

variabel adalah ax + b = 0 dengan a ≠0.

2. Persamaan yang Ekuivalen

Perhatikan persamaan berikut :

1.      x + 6 = 18, maka himpunan penyelesaian adalah {12}

2.      x – 2 = 10, maka himpunan penyelesaian adalah {12}

3.      3x – 6 = 30, maka himpunan penyelesaian adalah {12}

Ketiga persamaan diatas memiliki himpunan penyelesaian yang sama.

Persamaan-persamaan tersebut disebut ekuivalen atau setara. Suatu

persamaan dapat dinyatakan ke dalam persamaan yang ekuivalen

dengan cara

a. menambah atau mengurangi kedua ruas dengan bilangan yang

sama;

b. mengalikan atau membagi kedua ruas dengan bilangan yang sama.

24
3. Himpunan Penyelesaian Persamaan Linear Satu Variabel dengan

Substitusi

Penyelesaian persamaan linear satu variabel dapat diperoleh dengan

cara substitusi, yaitu mengganti variabel dengan bilangan yang sesuai

sehingga persamaan tersebut menjadi kalimat yang bernilai benar.

Contoh : Tentukan himpunan penyelesaian dari persamaan x + 4 = 7,

jika x variabel pada himpunan bilangan cacah.

Jawaban : Jika x diganti bilangan cacah, diperoleh

substitusi x = 0, maka 0 + 4 = 7 (kalimat salah).

substitusi x = 1, maka 1 + 4 = 7 (kalimat salah).

substitusi x = 2, maka 2 + 4 = 7 (kalimat salah).

substitusi x = 3, maka 3 + 4 = 7 (kalimat benar).

substitusi x = 4, maka 4 + 4 = 8 (kalimat salah).

Ternyata untuk x = 3, persamaan x + 4 = 7 menjadi kalimat yang

benar.

Jadi, himpunan penyelesaian persamaan x + 4 = 7 adalah {3}.

H. Kesimpulan

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya konsep dasar siswa dalam

mengerjakan soal – soal persamaan linear satu variabel yang mengakibatkan

munculnya suatu hambatan belajar (learning obstacle). Tujuan dari penelitian

ini adalah untuk merumuskan suatu alternatif desain pembelajaran terkait

konsep persamaan linear satu variabel yang dilatarbelakangi oleh adanya

learning obstacle khususnya hambatan epistimologis pada konsep tersebut.

25
DAFTAR PUSTAKA

Brahier, D.J. (2010). Teaching Secondary and Middle School Mathematics Fourth
Edition. Ohio: Pearson.

Brousseau G. (2002). Theory of Didactical Situation in Mathematics. Dordrecht:


Kluwer Academic Publishers.

Febrianti, R. (2014). Identifikasi Kesalahan Siswa Kelas VII SMP Muhammadyah


Terpadu Dalam Menyelesaikan Soal-Soal Persamaan dan Pertidaksamaan
Linear Satu Variabel. (Skripsi). FKIP, Universitas Bengkulu, Bengkulu.

Kinasih, Arum Mawar. (2017). Problematika Guru Dalam Penyusunan


Perangkat Pembelajaran di SD Muhhamadyah 14 Surakarta. (Skripsi). FKIP,
Universitas Muhhamadyah, Surakarta.

Lidinillah, D. A. M. (20110. Educational Design Research : a Theoretical


Framework for Action. [Online]. Tersedia: http://file.upi.edu?Direktori/KD-
TASIKMALAYA/DINDIN_ABDUL_MUIZ_LIDINILLAH_(KD-
TASIKMALAYA).pdf.

Maulana, A. S. (2013). Penerapan Strategi React Untuk Meningkatkan


Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMP. (Skripsi). FPMIPA, Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung.

Miyakawa, T & Carl W. (2009). Didactical Designs For Students’ Proportional


Reasoning: An “Open Approach” Lesson And A “Fundamental Situation”.
[Online]. Tersedia: http://link.springer.com/article/10.1007/s10649-009-9188-y

Rohimah, Siti Maryam. (2017). Analisis Learning Obstacles Pada Materi


Persamaan dan Pertidaksamaan Linear Satu Variabel. (Skripsi). FKIP,
Universitas Pasundan, Pasundan.

Setiawati, E. (2011). Hambatan Epistemologi (Epistemological Obstacles) Dalam


Persamaan Kuadrat Pada Siswa Madrasah Aliyah.Intenational Seminar and
The Forth National Conference On Mathematics Education 2011. Yogyakarta,
FPMIPA, Universitas Negeri Yogyakarta.

26
Suryadi,D. (2010a). Penelitian Pembelajaran Matematika Untuk Pembentukan
Karakter Bangsa. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika
dengan tema “Peningkatan Kontribusi Penelitian dan Pembelajaran
Matematika Dalam Upaya Pembentukan Karakter Bangsa”. Universitas
Negeri Yogyakarta, Yogyakarta.

Suryadi, D. (2010b). Menciptakan Proses Belajar Aktif: Kajian Dari Sudut


Pandang Teori Belajar dan Teori Didaktik. Seminar Nasional Pendidikan
Matematika. Universitas Negeri Padang, Padang.

Suryadi, D. (2013). Didactical Design Research (DDR) Dalam Pengembangan


Pembelajaran Matematika. Seminar Universitas Ekasakti (UNES), Padang.

Syah, M. (2014). Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.


Winslow, C. & Robert Evans. (2010). Didactics As Design Science. Kobenhavns
Universitet.

27
CATATAN PERBAIKAN

1. Berikan bukti bahwa guru dalam membuat RPP tidak mengandung


antisipasi didaktis. Agar tidak seperti common sense (tuduhan).

 Penulis menambahkan hasil penelitian Arum (2017) pada latar


belakang. Berdasarkan hasil penelitiannnya, Arum menemukan
permasalahan yang seringkali terjadi adalah guru menyusun RPP tidak
secara mandiri. Banyak guru yang mengambil jalan pintas dengan
tidak membuat persiapan ketika hendak melakukan pembelajaran.
Sehingga guru mengajar tanpa persiapan.

2. Hambatan belajar dan kesalahan belajar merupakan hal yang berbeda.


Identifikasi hambatan belajar apa yang dialami siswa saat mempelajari
materi persamaan linear satu variabel.
 Penulis menambahkan hasil penelitian Siti (2017) pada latar belakang.
Siti mengemukakan bahwa pada proses pengerjaan soal Tes
Kemampuan Responden (TKR) materi Persamaan dan
Pertidaksamaan linear satu variabel, kesulitan yang paling banyak
ditemukan termasuk dalam epistemological obstacle. Kebanyakan
siswa sudah mampu mengerjakan soal-soal sederhana Persamaan
Linear Satu Variabel (PLSV) maupun Pertidaksamaan Linear Satu
Variabel (PtLSV), namun tidak bisa menggunakannya pada konteks
soal yang lebih kompleks terutama dalam soal cerita.
Keterbatasan konteks tersebut disebabkan bahan ajar ataupun LKS
yang digunakan siswa tidak memberikan penyajian soal secara
variatif. Dalam modul guru dan LKS siswa, materi disajikan dalam
rangkuman yang selanjutnya diikuti dengan contoh soal dan soal

28
latihan yang tidak jauh berbeda dengan contoh. Hal ini yang
menyebabkan siswa memiliki keterbasan konteks dalam pemahaman
beberapa soal. Jenis kesalahan yang dilakukan siswa yang menjadi
epistemological obstacle yaitu kesalahan mengubah soal cerita ke
dalam bentuk PLSV dan kesalahan membuat penalaran terhadap
permasalahan yang diberikan.

29

Anda mungkin juga menyukai