Anda di halaman 1dari 85

Latar Belakang Masalah satu mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah dasar hingga beberapa jurusan di perguruan

tinggi adalah pelajaran matematika. Sejalan dengan BSNP (2006:8) yang menyatakan bahwa mata pelajaran
pokok di Indonesia salah satunya adalah mata pelajaran matematika. Matematika wajib untuk dipelajari

karena matematika mempunyai peran penting dalam berbagai bidang kehidupan

terlebih dalam era teknologi moderen saat ini.

Matematika dipandang sebagai ilmu pengetahuan dengan pola pikir yang

sistematis, kritis, logis, cermat, dan konsisten (Sumantoro, 2007:19). Kemampuan

pola pikir yang sistematis, kritis, logis, cermat, dan konsisten yang ada dalam

Matematika menyebabkan mata pelajaran ini mempunyai struktur yang kokoh dan

harmonis antara suatu hasil dan lainnya (teori) sehingga keduanya tidak saling

bertentangan. Dengan pola pikir seperti itulah seringkali matematika dipandang

sebagai sekolah berpikir bagi para siswa yang mempelajarinya (Martono, Koko,

dkk, 2007:21).

Pentingnya matematika juga diungkapkan oleh Kline (2011: 67) yang

menyatakan bahwa keberadaan matematika salah satunya untuk membantu

memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi, dan alam dalam

kehidupan sehari-hari. Selain itu, Susanto (2013: 185) menyatakan bahwa

matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan

kemampuan logika berpikir berdasarkan akal dan nalar. Oleh karena itu,

matematika digunakan sebagai alat bantu (berkontribusi) untuk mengatasi masalah-masalah pada bidang lainnya, sehingga matematika mempunyai peranan

penting dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, penguasaan Matematika

secara baik perlu ditanamkan pada siswa sejak dini, sehingga konsep-konsep

dasar Matematika dapat diterapkan dengan tepat dalam kehidupan sehari-hari. Hal

ini sesuai dengan pernyataan bahwa matematika adalah pembelajaran sepanjang


hayat, artinya matematika merupakan bagian terintegrasi dengan kehidupan

manusia sehingga keduanya saling berkaitan satu sama lain dan berlaku seumur

hidup.

Penguasaan matematika yang baik pada siswa tidak terlepas dari besarnya

pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan materi ajar yang dimiliki oleh guru.

Materi pelajaran dalam matematika disusun secara beraturan, logis, berjenjang

dari yang paling mudah hingga yang paling rumit (Karno, 2010: 140). Dengan

demikian, pelajaran Matematika tersusun sedemikian rupa sehingga pengertian

terdahulu lebih mendasari pengertian berikutnya. National Council of Teacher

Mathematic (NCTM, 2009: 67) menetapkan ada lima keterampilan proses yang

harus dikuasai siswa melalui pembelajaran matematika, yaitu : (1) pemecahan

masalah (problem solving); (2) penalaran dan pembuktian (reasoning and proof);

(3) koneksi (connection); (4) komunikasi (communication); (5) representasi

(reprecentation). Berdasarkan hal tersebut, berarti kemampuan pemecahan

masalah merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk dikembangkan

dan harus dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu, guru diharapkan dapat

menciptakan kegiatan pembelajaran yang lebih memberikan kesempatan bagi

siswa untuk mengeksplorasi kemampuan berpikir dan mengembangkan

keterampilan pemecahan masalah pada siswa. Dengan kata lain, pembelajaran matematika lebih ditekankan pada proses pembentukan konsep daripada hasil atau

produk.

Pembelajaran matematika di SD juga harus disesuaikan dengan pola

perkembangan (tahapan) kognitif anak. Jean Piaget (dalam Fatimah, 2009: 8)


menyatakan bahwa anak-anak Sekolah Dasar (usia 7 – 11 tahun) berada pada

tahap operasional konkret sehingga secara natural cara belajar yang terbaik bagi

anak adalah secara nyata dengan melihat, merasakan, dan melakukan secara

langsung. Konsep sedapat mungkin diajarkan, dilihat, dipegang dan dimainkan,

digambar, diucapkan, dan ditulis. Pengalaman secara nyata ini sangat membantu

anak dalam memahami konsep materi yang diajarkan, sehingga siswa dapat

memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan baik. Hal ini dikarenakan

kemampuan pemecahan masalah matematis dalam matematika adalah bagian

yang sangat dasar dan penting. Dengan demikian, hasil belajar yang diperoleh

siswa pun dapat optimal.

Kenyataannya menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah anak

Indonesia terhadap mata pelajaran matematika masih rendah (Susanto, 2013:191).

Kegiatan pembelajaran matematika di sekolah lebih didominasi oleh guru

sehingga keaktifan dan partisipasi siswa dalam pembelajaran pun sangat minim.

Hal ini didukung dengan hasil observasi yang dilakukan pada hari Selasa, 05

September 2017 tepatnya pukul 08.30 – 09.30 di SD Negeri Nanggulan pada mata

pelajaran Matematika kelas V, dimana guru lebih banyak melakukan kegiatan

belajar mengajar dengan bentuk ceramah sedangkan siswa pada saat pembelajaran

atau mendengarkan ceramah sebatas memahami sembari membuat catatan (bagi

yang merasa memerlukannya). Latihan-latihan yang diberikan hanya mengikuti contoh yang diberikan oleh guru. meskipun bentuk soal tersebut diubah, siswa

masih kesulitan dalam proses penyelesaiannya. Siswa kurang menunjukkan

keaktifan dalam proses pembelajaran di kelas, baik dalam hal mengajukan


pertanyaan, menjawab pertanyaan yang dilontarkan guru atau pun merespon dan

menanggapi jawaban dari teman lainnya.

Selain itu, pada saat mencocokan hasil pengerjaan soal secara bersama

kemudian ada siswa mengerjakan dengan langkah yang berbeda dari guru, guru

langsung menyalahkan begitu saja. Suatu tindakan yang akan mempersempit

ruang berpikir siswa dalam berpartisipasi untuk menemukan sendiri pemecahan

masalah atau soal yang dihadapi. Hal ini menyebabkan siswa tidak terbiasa untuk

menyelesaikan soal secara tuntas sehingga kemampuan berpikir tingkat tinggi

seperti kemampuan pemecahan masalah matematis siswa tidak terlatih. Padahal

kemampuan ini diperlukan siswa untuk mengembangkan, memahami konsepkonsep, dan menyelesaikan masalah matematis. Dampak lain yang dapat terjadi

ialah munculnya pandangan bahwa seakan-akan gurulah satu-satunya sumber

ilmu yang benar dan terpercaya dalam diri siswa. Proses pembelajaran seperti ini

hanya akan menghasilkan siswa yang kurang mampu mengapresiasi ilmu

pengetahuan, takut berpendapat, tidak berani mencoba hingga akhirnya cenderung

menjadi pembelajaran yang pasif dan miskin kreativitas. Salah satu dampak yang

tidak dapat dipungkiri ialah hasil belajar yang didapat oleh siswa kurang optimal.

Hasil observasi tersebut diperkuat dengan hasil wawancara yang peneliti

lakukan terhadap guru kelas V SD Negeri Nanggulan. Wawancara dilakukan pada

hari Rabu, 06 September 2017 tepatnya pukul 10.00 - 10.30 di ruang kelas V.

Peneliti mendapatkan informasi mengenai kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki oleh siswa masih rendah dibuktikan dengan hasil atau nilai Ulangan

Harian Matematika siswa kelas VA dan VB yang dilaksanakan pada hari Jumat 24

Maret 2017. Berdasarkan hasil UH tersebut dapat diketahui bahwa dari 28 siswa
yang mengikuti Ulangan Harian hanya 9 siswa (kelas VA) dan 8 siswa (kelas

VB) yang dapat mencapai KKM (tuntas). Dari wawancara tersebut, peneliti juga

mendapatkan informasi bahwa siswa kelas V memiliki kemampuan pemahaman

materi dan kemampuan pemecahan masalah (soal) yang masih rendah, sehingga

mengakibatkan nilai Ulangan Harian yang didapat siswa tidak memuaskan. Selain

itu, dari segi penyelenggaraan pembelajaran biasanya dilakukan dengan cara

ceramah oleh guru dan pengadaan media pembelajaran dalam proses belajar

mengajar sangatlah minim.

Berdasarkan uraian hasil obeservasi dan wawancara di atas, terlihat bahwa

rendahnya kualitas pembelajaran matematika akan mempengaruhi kemampuan

pemecahan masalah matematis pada siswa. Selanjutnya dampak yang tidak dapat

dipungkiri ialah hasil belajar yang didapatkan oleh siswa akan rendah. Dengan

demikian dapat diketahui bahwa siswa memerlukan pembelajaran matematika

yang lebih mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi, yaitu

kemampuan pemecahan masalah sebagai keterampilan proses yang harus dikuasai

oleh siswa dalam pembelajaran matematika. Salah satu usaha yang dapat

dilakukan adalah melakukan perubahan pada model pembelajaran matematika

dari yang biasanya pembelajaran yang didominasi oleh guru beralih menjadi

pembelajaran yang menyenangkan dan pusat pada siswa sehingga siswa dapat

lebih aktif dalam menyelesaikan masalah matematis siswa. Selain itu, diperlukan

suatu model pembelajaran yang menyajikan tugas-tugas dalam bentuk masalah. Hal ini dikarena dengan adanya masalah, maka siswa akan berusaha untuk

mencari solusinya dengan berbagai ide dan representasi sehingga kemampuan


berpikir siswa benar-benar dioptimalkan melalui proses pemecahan masalah

tersebut.

Namun pembelajaran juga harus diselenggarakan sesuai dengan karakteristik

anak kelas V SD yaitu berada pada tingkat operasional konkret. Hal ini juga

berkaitan erat dengan ketepatan pemilihan model pembelajaran yang akan

digunakan dalam pembelajaran matematika. Menurut Masykur dan Abdul (2007:

55) model pembelajaran harus tepat dan sesuai dengan kondisi peserta didik baik

usia, waktu, maupun variabel lainnya sehingga diharapkan siswa dapat belajar

bermakna, yaitu belajar yang ditekankan pada proses pembentukkan konsep atau

lebih mengutamakan proses dari pada produk.

Latar belakang inilah yang mendorong peneliti untuk mengujicobakan suatu

model pembelajaran inovatif guna melihat pengaruhnya terhadap hasil belajar

siswa pada mata pelajaran matematika. Dalam hal ini, peneliti menggunakan suatu

model pembelajaran yang relevan yaitu model Problem Based Learning. Model

PBL merupakan model pembelajaran yang menyajikan masalah di awal

pembelajaran atau lingkungan belajar yang di dalamnya menggunakan masalah

untuk belajar. Masalah yang disajikan merupakan masalah dunia nyata sebagai

konteks bagi siswa untuk belajar. Hal ini sesuai dengan tahapan kognitif anak

yang berada pada tahapan operasional konkret karena siswa secara tidak langsung

telah melihat, merasakan atau bahkan mengalami sendiri. Pemecahan masalah

bersifat terbuka, artinya dapat dilakukan secara individu ataupun kelompok.

Melalui PBL, siswa mendapat pengalaman secara langsung seperti kerja sama, mencari penyelesaian dari permasalahan atau soal yang disajikan secara sendiri,
mengumpulkan data pendukung untuk solusi yang ditetapkan, mempresentasikan

solusi dari suatu masalah yang telah ditentukan, bertanya, menanggapi atau

merespon solusi atau pemecahan masalah yang dilakukan oleh teman. Keadaan

tersebut menunjukkan bahwa PBL benar-benar memberikan banyak pengalaman

nyata kepada siswa. Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa pengalaman

secara nyata akan membantu anak dalam mengembangkan kemampuan tingkat

tinggi, yaitu kemampuan pemecahan masalah pada siswa. Dengan demikian,

masalah rendahnya hasil belajar siswa pada muatan pelajaran matematika dapat

teratasi dengan baik.

Berhubung penelitian ini akan menggunakan PBL dalam pembelajaran

matematika, maka penelitian yang dilakukan ini berjudul “ Pengaruh Model

Pembelajaran Problem Based Learning terhadap Hasil Belajar Matematika Siswa

Kelas V SD Negeri Nanggulan”. Penelitian ini diterapkan pada materi yang

Pengukuran Jarak, Waktu, dan Kecepatan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada

penelitian ini, yaitu: apakah penerapan model pembelajaran Problem Based

Learning (PBL) berpengaruh terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V

SDN Nanggulan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari penerapan model

pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap hasil belajar matematika


siswa kelas V SDN Nanggulan. 1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat teoritis

Problem Based Learning (PBL) digunakan sebagai metode alternatif

dalam pelajaran Matematika yang berkaitan dengan materi “Pengukuran Jarak,

Waktu, dan Kecepatan” dan menambah wawasan baru mengenai pengembangan

materi Matematika menggunakan model pembelajaran Problem Based Learning

(PBL).

1.4.2 Manfaat praktis

1.4.2.1 Manfaat bagi siswa

Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) mendorong siswa

agar bisa memcahkan masalah atau persoalan yang dihadapi dalam kehidupan

sehari-hari yang berkaitan dengan mata pelajaran Matematika

1.4.2.2 Manfaat bagi guru

Penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

membantu guru dalam meningkatkan hasil belajar siswa di kelasnya terutama

pada mata pelajaran Matematika.

1.4.2.3 Manfaat bagi sekolah

Penerapan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL)

membantu sekolah untuk meningkatkan hasil belajar siswa khususnya untuk mata

pelajaran Matematika.

1.4.2.4 Manfaat bagi peneliti

Peneliti dapat menggunakan hasil penelitian sebagai acuan untuk


menerapkan pembelajaran dengan model pembelajaran Problem Based Learning

(PBL)

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Teori- teori yang mendukung

2.1.1.1 Model Pembelajaran

Soekamto (dalam Ngalimun, 2012:8) menyatakan bahwa model pembelajaran

adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam

mengorgaisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu dan

berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar

dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar. Hal ini sejalan dengan apa yang

dikemukakan oleh Eggen dan Kauchak (2012:56) yang menyatakan bahwa model

pembelajaran memberikan kerangka dan arah bagi guru untuk mengajar.

Pendapat yang senada juga diungkap oleh Rusman (2017:89) yang

menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan kerangka konseptual berupa

pola prosedur sistematik yang dikembangkan berdasarkan teori dan digunakan

dalam mengorganisasikan proses belajar megajar untuk mencapai tujuan belajar.

Model pembelajaran terkait dengan pemilihan strategi, metode, keterampilan dan

aktivias belajar siswa.

Pendapat di atas dipertegas oleh Trianto (2010:51) yang menyatakan bahwa

model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai

pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas. Hal ini berarti model

pembelajaran dapat dikatakan sebagai rencana mengajar yang memperlihatkan


pola pembelajaran tertentu (Suyanto, 2013: 134). Pola yang dimaksud adalah

terlihatnya kegiatan yang dilakukan guru, siswa serta bahan ajar yang mampu menciptakan siswa belajar, juga tersusun secara sistematis mengenai rentetan

peristiwa pembelajaran.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa model

pembelajaran adalah suatu rangkaian rencana atau prosedur yang digunakan guru

sebagai acuan atau pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran mulai dari

kegiatan awal, inti hingga penutup, sehingga tujuan dari pembelajaran tersebut

dapat dicapai secara maksimal.

2.1.1.2 Model Pembelajaran Problem Based Learning

1. Definisi model pembelajaran Problem Based Learning

Model Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) dirancang

untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan

pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan pendapat Silver (dalam Eggen dan

Kauchak, 2012: 307) yang menyatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah

adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus

untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan

diri. Hal serupa juga diungkapkan oleh Tung (2015: 228) bahwa Problem Based

Learning adalah model pembelajaran yang menekankan pada pemcahan masalah

autentik seperti masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Proses

pembelajarannya melibatkan siswa untuk memecahakan masalah sehingga siswa

mendapat kesempatan untuk mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan

masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memcahkan


masalah.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Supama (2015:45) yang menyatakan bahwa

model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu model pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi

siswa untuk belajar tentang tata cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan

masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari

materi pelajaran. Model ini dapat mengoptimalkan semua potensi yang ada pada

diri siswa secara aktif, baik aktif secara fisik maupun mental. Pembelajaran PBL

dapat melatih siswa aktif dan berpikir kritis, selain itu adanya kerjasama dalam

kelompok untuk mencapai tujuan pembelajaran yang sama dan siswa memperoleh

pengalaman sendiri untuk menyelesaikan suatu masalah.

Pendapat di atas dipertegas oleh Nur (2011:32) yang menyatakan bahwa

Problem Based Learning adalah proses berpikir tentang masalah kehidupan riil di

sekitar siswa. Dalam mencapai tujuannya, PBL memiliki trik/cara. Salah satu trik

tersebut terletak pada permasalahan baik yang diberikan oleh guru maupun yang

ditemukan dan diselesaikan oleh siswa sendiri. Permasalahan ini tentunya

permasalahan dalam konteks riil”. Suatu pembelajaran yang berlangsung dalam

konteks riil berpeluang besar menjadi pembelajaran bermakna dan dalam

pembelajaran bermakna inilah kemampuan berpikir berpeluang besar untuk

diberdayakan” (Corebima, 2010:164). Permasalahan dalam konteks riil yaitu

permasalahan yang terjadi di sekitar siswa dan masih baru-baru terjadi/menimpa

masyarakat sekitar.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa model pembelajaran


Problem Based Learning adalah suatu model pembelajaran yang berorientasi pada

masalah atau proses belajar yang di dalamnya menggunakan masalah untuk

belajar sehingga memungkinkan siswa untuk melatih kemampuan berpikir dan

keterampilan pemecahan masalah. Permasalahan yang dimaksud di sini ialah permasalahan riil yang terjadi di sekitar siswa dan masih baru-baru terjadi/

menimpa masyarakat sekitar.

2. Karakteristik Model Pembelajaran Problem Based Learning

Model pembelajaran Problem Based Learning memiliki beberapa ciri atau

karakteristik yang dapat digunakan untuk membedakan dengan model

pembelajaran yang lainnya. Mulyasa, dkk (2016: 133) mengungkapkan bahwa

Problem Based Learning memiliki empat karakteristik yang juga menjadi prinsip

yang harus diperhatikan dalam Problem Based Learning, meliputi:

a. Konsep Dasar (basic concept)

Pada pembelajaran ini, fasilitator dapat memberikan konsep dasar, petunjuk,

referensi, atau link dan skill yang diperlukan dalam pembelajaran tersebut.

Hal ini dimaksudkan agar peserta didik lebih cepat mendapatkan “peta” yang

akurat tentang arah dan tujuan pembelajaran.

b. Pendefinisian Masalah (defining the problem)

Dalam hal ini, fasilitator menyampaikan permasalahan dan peserta didik

melakukan berbagai kegiatan di dalam kelompok.

c. Pembelajaran Mandiri (self learing)

Dalam tahap ini, peserta didik mencari sendiri berbagai sumber yang dapat

memperjelas isu/ masalah yang ingin dipecahkan atau sedang diinvestigasi,


misalnya melalui artikel tertulis di perpustakaan, halaman web, atau bahkan

pakar dalam bidang yang relevan. Tujuan utama tahap investigasi yaitu (1)

agar peserta didik mencari informasi dan megembangkan pemahaman yang

relevan dengan permasalahan yang telah didiskusikan di kelas, dan (2)informasi yang terkumpul kemudian untuk dipresentasikan di kelas agar

relevan dan mudah dipahami.

d. Pertukaran pengetahuan (exchange knowledge)

Pada tahap ini, peserta didik melakukan presentasi hasil dalam kelas dengan

mengakomodasi masukan dari pleno, menentukan kesimpulan akhir, dan

dokumentasi akhir.

Sedangkan menurut Tung ( 2015: 228), karakteristik Problem Based

Learning, meliputi:

a. Belajar dimulai dengan satu permasalahan.

b. Memastikan bahwa permasalahan tersebut berhubungan dengan dunia nyata

murid.

c. Mengorganisasikan pelajaran yang berkaitan dengan masalah tersebut dan

bukan terkait dengan disiplin ilmu tertentu.

d. Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan

menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri.

e. Menggunakan kelompok kecil.

f. Menuntut siswa untuk mendemonstrasikan yang telah dipelajari dalam bentuk

produk atau kinerja.

Wisudawati dan Sulistyowati (2014:89) mengungkapkan bahwa PBL


memiliki bentuk-bentuk khusus/ karakteristik, meliputi:

a. Pemberian pertanyaan/ masalah

PBL mengatur pola yang digunakan untuk pemberian pertanyaan dan

masalah yang disampaikan, agar dapat berguna bagi peserta didik itu sendiri

dan lingkungannya. Pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan diusahakan dapat menjawab masalah-masalah yang ada dalam dunia nyata. Masalah yang

disajikan harus memenuhi kriteria sebagai berikut, yaitu: (1) situasi masalah

harus autentik; (2) masalah harus tidak jelas/ tidak sederhana sehingga

mengundang teka-teki; (3) masalah harus bermakna bagi peserta didik; (4)

masalah harus mempunyai cakupan luas sehingga guru dapat memenuhi

tujuan instruksionalnya; (5) masalah yang baik harus mendapatkan manfaat

dari usaha kelompok, bukan justru dihalanginya.

b. Dikaji dalam berbagai disiplin ilmu

Meskipun PBL hanya berpusat pada satu masalah (misalkan, IPA,

Matematika, dan Sosial), tetapi dapat dihubungkan dengan masalah aktual

yang sedang terjadi karena hal tersebut dapat saling berkaitan.

c. Penyelidikan hal-hal nyata (autentik)

PBL diperlukan peserta didik untuk mendalami masalah secara benar dan

mendapatkan solusi yang tepat dalam penyelesaiannya. Peserta didik harus

dapat menganalisis, menemukan masalah, mengembangkan hipotesis dan

membuat prediksi, mengumpulkan informasi, melakukan percobaan,

mengajukan pendapat, dan membuat kesimpulan.

d. Menghasilkan sesuatu yang dapat dipublikasi


PBL menganjurkan peserta didik dapat menghasilkan sesuatu yang berbentuk

benda, data, yang dapat dipublikasikan yang merepresentasikan solusi dari

suatu masalah. Hasil dapat berupa laporan, model fisik, video atau program

komputer.e. Kolaborasi

Seperti halnya pada pembelajaran kooperatif, PBL menyarankan untuk

bekerja sama daam suatu kelompok, dapat berpasangan atau kelompok kecil,

bekerja kelompok berguna dalam menyelesaikan masalah yang kompleks

menjadi mudah, karena dalam bekerja bekelompok dapat menambah

motivasi, pengembangan berpikir, dan kemampuan sosial yang tinggi.

Eggen dan kouchak (2012:307) menyatakan bahwa pembelajaran berbasis

masalah memilki tiga karakteristik, yaitu:

a. Pelajaran berfokus pada memecahkan masalah

Pembelajaran berawal dari suatu masalah dan memecahkan masalah adalah

tujuan dari masing-masing pelajaran. Artinya, kegiatan pembelajaran berbasis

masalah bermula dari satu masalah dan memecahkannya adalah fokus

pelajarannya.

b. Tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada siswa

Siswa bertanggung jawab untuk menyusun strategi dan memecahkan

masalah. Kegiatan pembelajaran berrbasis masalah biasanya dilakukan secara

berkelompok yang cukup kecil (tidak lebih dari empat) sehingga semua siswa

terlibat dalam proses pembelajaran tersebut. Dengan demikian, siswa

bertanggung jawab pada tugasnya masing-masing.


c. Guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah

Guru menuntun upaya siswa dengan mengajukan pertanyaan dan memberikan

dukungan pengajaran lisan saat siswa berusaha memecahkan masalah.

Karakteristik ini penting dan menuntut keterampilan serta pertimbangan yang

sangat profesional untuk memastikan kesuksesan pelajaran Pembelajaran Berbasis Masalah. Di sinilah guru dituntut untuk memiliki kemampuan atau

keprofesionalan dalam menyelengggarakan kegiatan pembelajaran berbasis

masalah. Apabila guru tidak cukup memberikan bimbingan dan dukungan

maka siswa akan gagal, membuang waktu, dan mungkin miliki konsepsi yang

salah. Sedangkan, apabila guru memberikan terlalu berlebihan, siswa tidak

akan mendapatkan banyak pengalaman pemecahan masalah

Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa karakteristik

model pembelajaran Problem Based Learning dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut:

a. Proses pembelajarannya berfokus pada masalah.

b. Permasalahan yang digunakan adalah permasalahan yang terkait dengan

kehidupan nyata siswa.

c. Pembelajarannya menggunakan kelompok kecil atau pun secara mandiri

sehingga memungkinkan adanya pengembangan rasa tanggung jawab siswa

dalam pemecahan masalah.

d. Guru bertindak sebagai fasilitator dalam upaya siswa untuk memecahkan

masalah

e. Pembelajarannya mengahasilkan suatu karya atau produk


f. Adanya kesempatan siswa untuk bertukar pengetahuan sehingga dapat

melatih kemampuan berpikir siswa.

3. Langkah-langkah Problem Based Learning

Problem Based Learning memiliki langkah-langkah pembelajaran yang

tersusun secara sistematis. Endang (2011:221) menyebutkan ada 4 langkah dalam

proses pembelajaran berbasis masalah, yaitu : (1) guru menjelaskan tujuan pembelajaran kemudian memberi tugas atau masalah untuk dipecahkan. Masalah

yang dipecahkan adalah masalah yang memiliki jawaban kompleks atau luas, (2)

guru menjelaskan prosedur yang harus dilakukan dan memotivasi siswa agar

lebih aktif dalam pemecahan masalah, (3) guru membantu siswa menyusun

laporan hasil pemecahan masalah yang sistematis, (4) guru membatu siswa untuk

melakukan evalusai dan refleksi proses-proses yang dilakukan untuk

menyelesaikan masalah.

Sedangkan menurut Nur (dalam Rusman, 2011:243) menyebutkan ada 5

langkah dalam PBL, yaitu: (1) Orientasi siswa terhadap masalah, (2)

Mengorganisasi siswa untuk belajar, (3) Membimbing penyelidikan individual

dan kelompok, (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5)

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Kelima langkah

dalam PBL menuntun siswa untuk menemukan masalah, menganalisis,

memecahkannya, serta mengevaluasi sebuah permasalahan. Melalui langkah

tersebut siswa akan terlibat langsung dalam memecahkan masalah, pengalaman

dan konsep-konsep yang akan ditemukan pada pemecahan masalah yang

disajikan.
Kedua pendapat di atas dirincikan dan dipertegas oleh Huda (2013: 272-273)

yang juga menjelaskan tentang langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah,

yaitu sebagai berikut:

a. Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari

pengalaman siswa

b. Siswa melakukan diskusi kelompok kecil dan melakukan hal-hal sebagai

berikut:
1. Mengklarifikasi kasus permasalahan yang diberikan

2. Mendefinisikan masalah

3. Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang dimiliki

4. Menetapkan hal-hal yang diperlukan dalam menyelesaikan masalah

5. Menetapkan hal-hal yang harus dilakukan dalam menyeleaikan masalah

c. Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang

harus diselesaikan. Siswa dapat melakukannya dengan cara mencari sumber

di perpustakaan, database, internet, sumber personal atau melakukan

observasi.

d. Siswa kembali kepada kelompok PBM semula untuk melakukan tukar

informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerja sama dalam

menyelesaikan masalah.

e. Siswa menyajikan solusi yang telah ditemukan

f. Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh

kegiatan pembelajaran. Hal ini meliputi sejauh mana pengetahuan yang sudah

diperoleh siswa serta bagaimana peran masing-masing siswa dalam kelompok


Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa langkah-langkah

pembelajaran Problem Based Learning yang memungkinkan untuk dikembangkan

dalam pembelajaran Matematika yaitu: (1) Orientasi siswa pada masalah, (2)

Mengorganisasi siswa untuk belajar, (3) Membimbing pengalaman

individu/kelompok, (4) Mengembangkan dan menyajikan hasil karya, (5)

Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.4. Tujuan Model pembelajaran Problem Based Learning

Problem Based Learning memiliki beberapa tujuan yang diharapkan dapat

dicapai dalam pembelajaran. Daryanto (2014: 30) menyatakan Problem Based

Learning memiliki tujuan-tujuan yang ingin dicapai, diantaranya ialah:

a. Keterampilan berpikir dan memecahkan masalah

b. Belajar pengarahan sendiri (self directed learning). Problem Based

Learning berpusat pada siswa sehingga siswa harus menentukan sendiri apa

yang harus dipelajarai dan dari mana informasi harus diperoleh, di bawah

bimbingan guru

c. pemodelan peranan orang dewasa yakni Problem Based Learning menjadi

penengah antara pembelajaran di sekolah formal dan aktivitas-aktivitas

mental di luar sekolah yang dapat dikembangkan antara lain:

1. Problem Based Learning mendorong kerja sama menyelesaikan tugas

2. Problem Based Learning memiliki elemen-elemen magang yang

mendorong pengamatan dan dialog dengan siswa lain, sehingga secara

bertahap siswa dapat memiliki peran yang dapat diamati tersebut.

3. Problem Based Learning melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihan


sendiri yang memungkinkan siswa menginterpretasikan dan

menjelaskan fenomena dunia nyata.

Kaitannya dengan tujuan PBL ini, Sanjaya (2008:216) juga berpendapat

bahwa tujuan lain yang ingin dicapai dari Problem Based Learning adalah

kemampuan siswa berpikir kritis, analitis, sistematis, dan logis untuk menemukan

alternatif pemecahan masalah melalui eksplorasi data secara empiris dalam rangkamenumbuhkan sikap ilmiah. Kemudian Ibrahim dan Nur (dalam Rusman, 2011:

242) menambahkan tujuan Problem Based Learning, yaitu:

a. Megembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah

b. Belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan siswa dalam

pengalaman nyata

c. Menjadi para siswa yang otonom

Berdasarkan konsep yang telah dijelaskan di atas, peneliti menyimpulkan

bahwa tujuan Problem Based Learning yang sesuai untuk anak SD antara lain: (1)

Melatih kemampuan berpikir atas pemecahan masalah, (2) Membantu siswa untuk

mampu mengarahkan diri, (3) Membekali siswa untuk mampu memecahkan

masalah khususnya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari

5. Kelebihan Model Pembelajaran Problem Based Learning

Dalam pelaksanaannya, Pembelajaran Problem Based Learning tentunya

memiliki kelebihan seperti halnya dengan model pembelajaran yang lainnya.

Berikut ini adalah kelebihan dari Problem Based Learning (Thobroni, 2016:231)

a. Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam

situasi nyata
b. Siswa memiliki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui

aktivitas belajar

c. pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada

hubungannya tidak perlu saat itu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi

beban siswa dengan menghafal atau menyimpan informasi

d. Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok


e. Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan baik dari

perpustakaan, internet, wawancara, dan observasi.

f. Siswa memiliki kemampuan menilai kemajuan belajarnya sendiri

g. Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam

kegiaan diskusi atau presnetasi hasil pekerjaan mereka

h. Kesulitan belajar siswa secara individu dapat diatasi melalui kerja

kelompok dalam bentuk peer teaching

Sukamto (2016:23) mengungkapkan bahwa Problem Based Learning

memiliki kelebihan, yaitu sebagai berikut.

a. Siswa lebih memahami konsep yang diajarkan sebab mereka sendiri yang

menemukan masalah tersebut

b. Guru dapat melibatkan siswa secara aktif memecahkan masalah dan

menuntut keterampilan berpikir siswa yang lebih tinggi

c. Pengetahuan tertanam berdasarkan skema yang dimiliki siswa, sehingga

pembelajaran lebih bermakna

d. Pembelajaran menjadikan siswa lebih mandiri dan lebih dewasa, mampu

memberi aspirasi dan menerima pendapat orang lain, menanamkan sikap


sosial yang positif di antara siswa

e. Siswa dapat merasakan manfaat pembelajaran sebab masalah yang

diselesaikan dikaitkan langsung dengan kehidupan sehari-hari

f. Pengkondisian siswa dalam belajar kelompok akan mempermudah

pencapaian ketuntasan belajar yang diharapkan


Ngalimun (2012:93) menyarankan bahwa Problem Based Learning sebaiknya

digunakan dalam pembelajaran karena memiliki beberapa kelebihan sebagai

berikut:

a. Pembelajaran pada Problem Based Learning memungkinkan terjadinya

pembelajaran yang bermakna. Siswa yang belajar memecahkan suatu

masalah maka akan terbiasa menerapkan pengetahuan yang dimilikinya

atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar

yang dialami oleh siswa ini adalah belajar mengenai konteks aplikasi

konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperlaus ketika siswa

berhadapan dengan situasi di mana konsep diterapkan.

b. Dalam situasi Problem Based Learning, siswa mengintegrasikan

pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya

dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang siswa lakukan sesuai

dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam

aplikasi suatu konsep akan ditemukan sekaligus selama pembelajaran

berlangsung.

c. Problem Based Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,

menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, motivasi internal untuk


belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja

kelompok.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa kelebihan model

pembelajaran Problem Based Learning, yaitu:

a. Problem Based Learning mampu meningkatkan aktivitas pembelajaran

siswa dalam suasana menyenangkan. Dalam kegiatan pembelajaran PBL siswa terlibat aktif baik dalam berpikir umaupun mencari sendiri sumbersumber untuk memecahkan masalah. Sehingga proses pembelajaan akan

meningkat dan tidak membosankan karena siswa sendiri yang menentukan

alur maupun bentuk pembelajarannya.

b. Mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis. Kegiatan

pemecahan masalah dalam PBL ini menuntut siswa untuk melatih

kemampuan berpikirnya yaiku kemampuan berpikir kritis karena

pemecahan masalah ini tidak bergantung pada satu pengetahuan pada satu

disiplin ilmu melainkan membutuhkan keterkaitan pengetahuan yang telah

dimiliki siswa sebelumnya dan pengetahuan pada lintas disiplin ilmu.

c. Mengaplikasikan pengetahuan yang siswa miliki dalam dunia nyata.

Karena permasalahan-permasalahan yang digunakan dalam PBL ini adalah

masalah yang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa (nyata), maka

siswa belajar memecahkan masalah tersebut sekaligus dalam proses

pembelajaran.

d. Mengarahkan siswa menjadi pembelajar yang mandiri. Dalam PBL siswa

terbiasa dihadapkan dengan suatu oermasalahan. Siswa yang belajar

memecahkan suatu masalah maka akan terbiasa menerapkan pengetahuan


yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan

secara mandiri.

6. Kekurangan Model pembelajaran Problem Based Learning

Pembelajaran berdasarkan masalah juga memiliki beberapa kelemahan.

Kelemahan dari pembelajaran berdasarkan masalah menurut Sanjaya (2009:221),

yaitu: (1) manakala siswa tidak memiliki minat atau mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan mereka akan merasa

enggan untuk mencoba; (2) keberhasilan pembelajaran melalui Problem Based

Learning ini membutuhkan waktu cukup lama untuk persiapan; serta (3) tanpa

pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang

dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin mereka pelajari.

Senada dengan Sanjaya, Trianto (2011: 96-97) juga mengungkapkan

beberapa hal terkait dengan kelemahan atau kekurangan dari model pembelajaran

problem based learning antara lain: (1) persiapan pembelajaran (alat, problem,

konsep) yang kompleks; (2) sulitnya memberikan problem yang relevan; (3)

sering terjadi miss-konsepsi; dan (4) membutuhkan waktu yang relatif lama dalam

proses penyelidikan.

Kedua pendapat di atas diperkuat oleh Lidinillah (2013: 5-6) yang

menyatakan bahwa ada beberapa kelemahan dari Problem Based Learning, yaitu

(1) Tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran karena ada bagian materi

yang mengharuskan guru berperan aktif dalam menyajikan materi; (2) Kesulitan

dalam pembagian tugas pada kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang

tinggi; (3) Membutuhkan waktu yang relatif lama (4) Membutuhkan kemampuan
guru yang dapat mendorong kerja siswa dalam kelompok secara efektif, artinya

guru harus memilki kemampuan memotivasi siswa dengan baik; dan (5)

Adakalanya sumber yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap.

Berdasarkan uraian teori di atas, maka peneliti membuat kesimpulan dengan

mengambil 9 kelemahan yang telah disampaian oleh beberapa ahli di atas.

Alasannya, karena ada beberapa kelemahan yang memiliki arti yang sama

sehingga di sini peneliti hanya mencantumkan satu kelamahan yang sama. Dengan demikian, kelemahan dari model pembelajaran problem based learning

ialah sebagai berikut:

a. Manakala siswa tidak memiliki minat atau mempunyai kepercayaan bahwa

masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan mereka akan merasa

enggan untuk mencoba; (teori Sanjaya)

b. Keberhasilan pembelajaran melalui Problem Based Learning ini

membutuhkan waktu cukup lama untuk persiapan; (teori Sanjaya)

c. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah

yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang ingin

mereka pelajari; (teori Sanjaya)

d. Persiapan pembelajaran (alat, prolem, konsep) yang kompleks; (teori

Trianto)

e. Sulitnya memberikan problem yang relevan; (teori Trianto)

f. Tidak dapat diterapkan untuk setiap materi pelajaran, ada bagian materi

yang mengharuskan guru berperan aktif dalam menyajikan materi; (teori

Lidinillah)
g. Kesulitan dalam pembagian tugas pada kelas yang memiliki tingkat

keragaman siswa yang tinggi; (teori Lidinillah)

h. Membutuhkan kemampuan guru yang dapat mendorong kerja siswa dalam

kelompok secara efektif, artinya guru harus memiliki kemampuan

memotivasi siswa dengan baik; (teori Lidinillah)

i. Adakalanya sumber yang dibutuhkan tidak tersedia dengan lengkap (teori

Lidinillah)2.1.1.3 Hasil Belajar

1. Definisi Hasil Belajar

Hasil belajar tidak dapat terpisah dari proses belajar itu sendiri. Hal ini

disebabkan hasil belajar muncul karena adanya aktivitas belajar. Manusia sejak

lahir telah memiliki bakat bawaan untuk belajar.Belajar adalah aktivitas manusia

yang vital dan secara terus menerus akan dilakukan selama manusia tersebut

masih hidup (Thobroni, 2016: 15). Hal ini senada dengan pendapat Pranowo

(2014: 32) yang menyatakan bahwa belajar merupakan proses terus menerus

dalam arti setiap menghadapi persoalan baru akan dikonstruk kembali

berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki agar terbentuk pengalaman baru

yang lain.Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa belajar akan membawa

perubahan pada setiap individu. Perubahan yang terjadi atau terbentuk selama

belajar ini yang kemudian disebut sebagai hasil belajar.

Berlandasan pada konsep belajar di atas, maka dapat diketahui bahwa hasil

belajar seseorang bergantung pada apa yang telah diketahui sebelumnya yang

diwujudkan menjadi pengetahuan baru. Hasil belajar yang dimaksudkan pada


pernyataan di atas ialah kemampuan yang diperoleh siswa setelah melalui

kegiatan belajar (Susanto, 2013: 5).Dengan kata lain, Soedijarto (dalam Purwanto,

2011: 46) menyatakan bahwa hasil belajar adalah tingkat penguasaan yang dicapai

oleh peserta didik dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan

pendidikan yang telah ditetapkan.

Hasil belajar yang diuraikan di atas dipertegas oleh, Hendrawan (2014: 87)

yang menyatakan bahwa hasil belajar merupakan perubahan-perubahan pada diri

siswa, baik yang menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotor sebagai hasil dari kegiatan belajar.Ranah kognitif berfokus pada perilaku yang menekankan

aspek intelektual, seperti pengetahuan dan keterampilan berpikir.Ranah afektif

mencakup perilaku yang terkait dengan dengan emosi, misalnya perasaan, nilai,

minat, motivasi, dan sikap.Sedangkan ranah psikomotorik mencakup perilaku

yang menekankan fungsi manipulatif dan keterampilan motorik/ kemampuan

fisik, berenang dan mengoperasikan mesin.

Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh Nawawi (dalam Ibrahim, 2007:

39) yang menyatakan bahwa hasil belajar diartikan sebagai tingkat keberhasilan

siswa dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam skor

yang diperoleh dari hasil tes mengenal sejumlah materi pelajaran tertentu.

Berdasarkan uraian pendapat di atas, peneliti menyimpulkan bahwa hasil

belajar adalah kemampuan-kemampuan (kognitif, afektif, dan psikomotorik) yang

dicapai siswa setelah mengikuti pengalaman belajar (KBM) sehingga membawa

perubahan dan pembentukan tingkah laku yang relatif menetap. Dalam penelitian

ini lebih difokuskan pada hasil belajar aspek kognitif saja. Peneliti mereduksi
kedua aspek yaitu aspek afektif dan psikomotor dikarenakan penelitian ini

berkaitan dengan kemampuan siswa dalam menguasai materi pelajaran. Selain itu,

waktu yang diberikan untuk melaksanakan penelitian ini terbilang singkat. Oleh

karena itu, apabila aspek afektif dan psikomotor turut diukur, maka penelitian

akan melebihi batas waktu yang diberikan dari pihak sekolah. Sehingga nantinya

akan berdampak pada hasil penelitian yang didapat kurang optimal.

2. Macam-macam Hasil Belajar

Hasil belajar menghasilkan suatu perubahan pada diri seseorang karena akibat

dari keikutsertaan seseorang dalam proses belajar. Hasil belajar diukur untuk mengatahui pencapaian tujuan pendidikan sehingga antara pembelajaran dengan

hasil belajar tidak akan melenceng dari tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Hasil belajar dibagi menjadi beberapa jenis. Purwanto (2011: 49) menyatakan

bahwa hasil belajar atau perubahan perilaku yang menimbulkan kemampuan dapat

berupa hasil utama pengajaran (instructional effect) maupun hasil sampingan

pengiring (nurturant effect). Hasil utama pengajaran adalah hasil belajar yang

memang direncanakan untuk diwujudkan dalam kurikulum dan tujuan

pembelajaran. Sedang hasil pengiring adalah hasil belajar yang dicapai namun

tidak direncanakan untuk dicapai.

Sementara Bloom (dalam Sudjana, 2011: 22) membagi hasil belajar menjadi

tiga ranah yakni ranah kognitif, afektif, dan psikomotoris. Ranah kognitif

berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu

pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi. Keenam aspek

tersebut dikenal dengan sebutan Taksonomi Bloom. Anderson dan Krathwohl


(dalam Kusaeri, 2014:36) merevisi Taksonomi Bloom yaitu dengan mengubah

urutan pada sintesis/mengkreasi dan evaluasi. Kusaeri (2014:36) menjelaskan

bahwa mengkreasi dipandang sebagai kategori yang paling kompleks. Artinya

penguasaan pada aspek tersebut mensyaratkan penguasaan semua kategori

dibawahnya yang kurang kompleks.Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan

nilai. Tipe hasil belajar afektiftampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah

laku seperti perhatian terhadappelajaran, disiplin, motivasi belajar, menghargai

pendidik dan teman sekelas,kebiasaan belajar, dan hubungan sosial. Sudjana

(2011:30) mengemukakan adabeberapa jenis kategori ranah afektif sebagai hasil

belajar, yaitu penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotor berkenaan dengan hasil belajar keterampilan

(skiil) dan kemampuan bertindak individu. Adapun ranah psikomotorik terbagi

menjadi enam aspek, yaitu: (1) gerakan refleks; (2) ketretampilan gerakan dasar;

(3) kemampuan perseptual; (4) keharmonisan dan ketepatan; (5) gerakan

keterampilan kompleks; dan (6) gerakan ekspresif dan interpretatif.

Gagne (dalam Suprijono, 2012: 6) juga berpendapat bahwa hasil belajar

berupa:

a. Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk

bahasan, baik lisan maupun tertulis.

b. Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dan

lambang.

c. Strategi kognitif yaitu kecakapan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas

kognitifnya sendiri.
d. Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak

jasmanidalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak

jasmani.

e. Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan

penilaian terhadap objek tersebut.

Berdasarkan pedapat beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

hasil belajar siswa terdiri atas beberapa macam yang kemudian digolongkan ke

dalam tiga ranah yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Hasil belajar yang

menjadi fokus dalam penelitian ini yaitu pada ranah kognitif saja karena yang

berkaitan dengan kemampuan para siswa dalam menguasai materi pelajaran.

Kemudian instrumen untuk mengukur hasil belajar siswa menggunakan tes3.Indikator Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan suatu akibat dari proses belajar. Menurut Darmadi

(2017: 252) yang menjadi indikator utama hasil belajar siswa adalah sebagai

berikut:

a. Ketercapaian daya serap terhadap bahan pembelajaran yang diajarkan, baik

secara individual maupun kelompok. Pengukuran ketercapaian daya serap ini

dilakukan dengan penetapan Kriteria Ketuntasan Belajar Minimal (KKM).

b. Perilaku yang digariskan dalam tujuan pembelajaran telah dicapai oleh siswa,

baik secara individual maupun kelompok.

Anak yang berhasil dalam belajar adalah anak yang mampu mencapai tujuantujuanpembelajaran atau tujuan instruksional sehingga dalam hasil belajar

dikehendaki adanya suatu perubahan (Susanto, 2013: 5)

Berdasarkan uraian teori di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa indikator


hasil belajar ialah terjadinya perubahan baik dalam diri seseorang dari segi

perilaku maupun kemampuan kognitifnya. Namun demikian, indikator hasil

belajar yang digunakan sebagai tolak ukur keberhasilan dalam penelitian ini

adalah daya serap, yaitu penentuan lulus atau tuntas tidaknya siswa dalam

memahami materi dengan berpatokan pada nilai KKM.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar sebagai salah satu indikator pencapaian tujuan pembelajaran di

kelas dan tidak terlepas dari faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar itu

sendiri. Darmadi (2017: 253) menyatakan bahwa secara umum hasil belajar

dipengaruhi oleh 3 hal atau faktor, yaitu:a. Faktor internal (faktor dalam diri)

Faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar adalah aspek fisiologis.

Dalam hal ini melibatkan kebugaran tubuh dan kondisi panca indera. Faktor

internal lainnya yang mempengaruhi hasil belajar siswa ialah aspek

psikologis. Aspek psikologis ini meliputi intelegensi, sikap, bakat, minat,

motivasi, dan kepribadian.

b. Faktor eksternal (faktordiluar diri)

Faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar meliputi faktor keluarga

(kondisi perekonomian keluarga, suasana dalam keluarga, relasi dengan

anggota keluarga, keharmonisan keluarga), faktor sekolah (metode mengajar,

kurikulum, hubungan siswa dengan guru, kondisi gedung), dan faktor

masyarakat (bentuk kehidupan masyarakat sekitar)

c. Faktor pendekatan belajar


Faktor pendekatan belajar yang mempengaruhi hasil belajar ini menyangkut

jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan

untuk menunjuang keefektifan dan efesiensi dalam proses pembelajaran.

Pendapat lain yang sejalan dengan pendapat di atas disampaikan Slameto

(2013: 54-72) yang menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi

keberhasilan belajar siswa dibedakan menjadi 2 golongan yaitu: 1) Faktor yang

ada pada diri individu sendiri (faktor intern), yang meliputi (a) faktor biologis,

meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran dan penglihatan; (b) faktor psikologis,

meliputi: inteligensi, minat, dan motivasi serta perhatian ingatan berpikir; (c)

faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani, 2) Faktor yang ada di

luar individu (faktor ekstern), yang meliputi (a) faktor keluarga. Keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan terutama, (b) faktor sekolah, meliputi:

metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa

dan disiplin sekolah, (c) faktor masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan

masyarakat sekitar dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.

Sugihartono, dkk (2012: 76-77) menyebutkan faktor-faktor yang

mempengaruhi hasil belajar, sebagai berikut:

a. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri individu yang sedang

belajar. Faktor internal meliputi: faktor jasmaniah dan faktor psikologis.

b. Faktor eksternal faktor yaang ada diluar individu. Faktor eksternal meliputi

faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor masyarakat.

Sementara Ahmadi, dkk (2011:68) mengemukakan tiga faktor utama yang

mempengaruhi hasil belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi, dan


kualitas pembelajaran.Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan

pembelajaran yang dilakukan dan inimeyangkut model pembelajaran yang

digunakan.

Berdasarkan uraian teori di atas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa

ada dua faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa yaitu faktor internal, yaitu

faktor yang ada di dalam diri individu/ siswa dan faktor eksternal, yaitu faktor

yang ada di luar individu/ siswa. Namun demikian, dalam penelitian ini peneliti

menggunakan faktor eksternal berupa penggunaan model pembelajaran Problem

Based Learning2.1.1.4 Matematika

1.Definisi Matematika

Kata matematika berasal dari bahasa Latin manthanein atau mathema yang

berarti “belajar atau hal yang dipelajari”, sedangkan dalam bahasa Belanda,

matematika dikenal dengan sebutan wiskunde atau ilmu pasti yang kesemuanya

berkaitan dengan penalaran (Susanto, 2015:184). Sumantoro (2007: 18)

menyatakan bahwa matematika adalah bahan kajian yang memiliki objek abstrak

dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran konsep

diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sehingga keterkaitan

antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Pernyataan tersebut

sesuai dengan Depdiknas (2006) yang menyatakan bahwa pembelajaran

matematika memiliki objek kejadian yang abstrak dan berpola pikir deduktif dan

konsisten.

Pendapat di atas dipertegas oleh Susanto (2013: 185) yang menyatakan


bahwa Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan

kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam

penyelesaian masalah sehari-hari dan dalam dunia kerja.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti menyimpulkan bawah Matematika adalah

suatu disiplin ilmu yang berkaitan erat dengan permasalahan di kehidupan seharihari dan membutuhkan pemecahan masalah yang bersifat deduktif.

2. Ruang Lingkup Pembelajaran Matematika di SD

Secara garis besar ruang lingkup materi pembahasan matematika di SD

meliputi lima unit yang tercantum dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006, yaitu:

a. Unit aritmatika (berhitung)Aritmatika dasar atau berhitung mendapat porsi dan penekanan utama.

Sebagian besar bahan kajian di SD adalah berhitung yaitu bagian dari

matematika yang membahas bilangan dengan operasinya beserta sifatsifatnya.

b. Unit pengantar aljabar

Unit pengantar aljabar adalah perluasan terbatas dari unit aritmatika dasar.

Dengan dasar pemahaman tentang bilangan, dilakukan perintisan pengenalan

aljabar.

c. Unit geometri

Unit geometri mengutamakan pengenalan bangun datar dan bangun ruang.

d. Unit pengukuran

Pengukuran diperkenalkan sejak kelas 1 sampai kelas VI dan diawali dengan

pengukuran tanpa menggunakan satuan baku. Adapun konsep-konsep

pengukuran yang dikenalkan mencakup pengukuran panjang, keliling, luas,

berat, volume, sudut, dan waktu dengan satuan ukurannya.


e. Unit pengolahan data

Unit ini mencakup pembahasan materi statistik secara sederhana di SD.

Dalam unit pengolahan data ini terdapat kegiatan pengumpulan data,

menyusun data, menyajikan data secara sederhana serta membaca data yang

telah disajikan dalam bentuk diagram.

Sejalan dengan pendapat di atas, Wakiman (2008: 5) menyebutkan lima

materi inti mata pelajaran matematika di tingkat Sekolah Dasar, yaitu Aritmatika,

pengantar aljabar, geometri, pengaturan, dan kajian data. Sementara menurut Depdiknas (2006:417) ruang lingkup matematika di satuan pendidikan SD

meliputi bilangan, geometri dan pengukuran, dan pengolahan data.

Berdasarkan uraian pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa

ruang lingkup mata pelajaran di tingkat Sekolah Dasar, meliputi : aritmatika,

pengantar aljabar, geometri, pengukuran dan kajian data. Dalam penelitian ini

menggunakan ruang lingkup matematika berupa pengukuran khususnya pada

materi pengukuran jarak, waktu, dan kecepatan.

3. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

Suatu pembelajaran harus diupayakan untuk mengembangkan potensi siswa

dengan cara melibatkan siswa secara aktif dalam kegiatan belajar mengajar.

Selain itu, pembelajaran harus diselenggarakan dengan melihat karakteristik dari

mata pelajaran yang akan di ajarkan, dalam hal ini ialah pelajaran matematika.

Susanto (2015:186) berpendapat bahwa pembelajaran matematika adalah suatu

proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan

kreativitas berpikir siswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa,


serta dapat meningkatkan kemampuan mengkonstruksi pengetahuan baru sebagai

upaya mengingkatkan penguasaan yang baik terhadap materi matematika.

Sementara, Heruman (2012:4-5) menjelaskan bahwa teori pembelajaran

matematika tingkat SDterdiri dari reinvention (penemuan kembali), belajar

bermakna, dan konstruktivisme. Penemuan kembali yang dimaksudkan dalam hal

ini adalah penemuan sederhana dan bukan hal baru bagi orang yang telah

mengetahui sebelumnya, namun bagi siswa SD merupakan sesuatu hal yang baru.

Pembelajaran matematika juga harus bermakna. Belajar bermakna terjadi apabila

siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka dalam setiap penyelesaian masalah. Kemudian dalam pembelajaran

konstruktivisme, siswa melakukan konstruksi pengetahuan secara mandiri

sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan menciptakan iklim yang

kondusif.

Ammil & Bavel (dalam Runtukahu & Kandou, 2014: 226) menambahkan

bahwa pembelajaran matematika di SD perlu mengikuti langkah-langkah

pembelajaran sesuai dengan konsep-konsep pada kurikulum matematika SD yang

dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar (penanaman

konsep), pemahaman konsep, dan pembinaan keterampilan, yang dijelaskan

sebagai berikut:

a. Penanaman konsep dasar (penanaman konsep), yaitu pembelajaran suatu

konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep

tersebut. Dalam pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga

diharapkan dapat digunakan untuk membantu kemampuan pola pikir siswa;


b. pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep yang

bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika; dan

c. pembinaan keterampilan, yaitu lanjutan dari penanaman konsep dan

pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar

siswa lebih terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti dapat menyimpulkan bahwa pembelajaran

matematika di tingkat SD dibangun untuk mengembangkan kreativitas berpikir

siswa dengan berorientasi pada reinvention (penemuan kembali), pembelajaran

bermakna dan pembelajaran konstruktivisme melalui aktivitas penanaman

konsep, pemahaman konsep, dan pembinaan keterampilan. 4. Tujuan Pembelajaran Matematika

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang penting diajarkan pada

siswa SD dan berhubungan erat dengan masalah dikehidupan sehari-hari.Oleh

karena itu, Susanto (2013: 189) menyatakan bahwa tujuan matematika pada

pendidikan sekolah dasar adalah mengupayakan siswa agar dapat menggunakan

matematika dikehidupannya. Dengan demikian, penguasaan metamatika secara

baik sejak dini perlu ditanamkan sehingga konsep-konsep dasar Matematika dapat

diterapkan dengan tepat dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara, Sumantoro (2007: 18) mengungkapkan tujuan pembelajaran

Matematika, yaitu melatih kemampuan berpikir secara sistematis, logis, kritis,

kreatif, dan konsisten. Selain itu, Ekawati (2011: 10) menjelaskan bahwa

pendidikan matematika mempunyai dua tujuan, yaitu bersifat formal dan material.

Pertama bersifat formal, menekankan pada penalaran dan pembelantukan


kepribadian. Kedua bersifat material, sifat ini menekankan pada penerapan

matematika dan keterampilan matematika.

Berdasarkan uraian dari beberapa ahli di atas, maka peneliti dapat

menyimpulkan bahwa tujuan diselenggarakan pembelajaran matematika di tingkat

Sekolah Dasar adalah membekali siswa untuk memiliki kemampuan memecahkan

masalah, sehingga siswa dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Karena permasalahan matematika sering muncul dalam kehidupan sehari,

sehingga penguasaan konsep matematika dengan baik dapat membantu siswa

dalam memecahkan masalah yang dihadapi dikehidupan sehari-hari. 5. Materi Pengukuran Jarak, Waktu, dan Kecepatan

Jarak, waktu, dan kecepatanadalah salah satu materi matematika di kelas V

SD.Menurut Mangelep dan Disnawati (2008:4), materi jarak, waktu dan

kecepatan merupakan salah satu topik yang menarik dalam pembelajaran. Karena

secara tidak langsung, siswa telah melakukan aktivitas sehari-hari yang

berhubungan langsung dengan jarak, waktu, dan kecepatan. Seperti halnya

peristiwa berjalan ke sekolah yang sering dilakukan siswa.

Berdasarkan Kurikulum 2013, pembelajaran mengenai jarak, waktu, dan

kecepatan terdapat di semester genap dengan Kompetensi Dasar (KD) 4.2

Mencatat jarak dan waktu tempuh berbagai benda yang bergerak ke dalam tabel

untuk memahami konsep kecepatan sebagai hasil bagi antara jarak dan waktu dan

menggunakannya dalam penyelesaian masalah. Namun, jika mengacu pada model

silabus kelas V kurikulum 2013 revisi 2017 materi kecepatan, jarak, dan waktu

masuk disemester ganjil dengan Kompetensi Dasar (KD) 3.3 Menentukan


perbandingan dua besaran yang berbeda (kecepatan sebagai perbandingan jarak

dengan waktu, debit sebagai perbandingan volume dengan waktu). Menurut

Pujiati (2008: 5), sebelum membhas materi tentang jarak, waktu, dan kecepatan,

sebaiknya dipahami terlebih dahulu mengenai satuan-satuan dari jarak dan

waktunya. Namun dalam penelitian ini, materi mengenal satuan waktu dan jarak

di ajarkan sendiri oleh guru kelas V, sehingga peneliti langsung mengajarkan

tentang materi jarak, waktu, dan kecepatan.

a. Kecepatan

Menurut Destiana (2009: 40), kecepatan adalah jarak yang ditempuh tiap

satuan waktu. Alat yang digunakan untuk mengukur besarnya kecepatan dissebut dengan speedometer.Spedometer biasa ditemui pada kendaraan bermotor atau

mobil. Satuan kecepatan pada speedometer adalah km/jam. Apabila jarum

speedometer menunjukkan angka 60, maka dapat ditulis langsung dengan 60

km/jam, artinya mobil tersebut menempuh jarak 60 km tiap jamnya.

Gambar 2.1 Speedometer

Kecepatan adalah besaran yang diperoleh dari jarak tempuh suatu benda

(orang) dibagi waktu yang diperlukan untuk menempuh jarak tersebut (Pujati,

2008: 12).Satuan kecepatannya yang paling umum digunakan dalam

km/jam.Apabila kecepatan dilambangkan dengan K, jarak tempuh =Jdanwaktu

tempuh = W, maka untuk memperoleh kecepatan yaitu :


Apabila jarak dinyatakan dalam km dan waktu dinyatakan dalam jam, maka

kecepatan dinyatakan dalam satuan km/jam.Berikut tabel daftar satuan yang

umumnya digunakan untuk kecepatan dan singkatannya.

Tabel 2.1
Satuan Kecepatan

No. Jarak

Waktu

Kecepatan

Singkatan

1.

Kilometer

Jam

Kilometer per jam

km/jam

2.

Meter

Jam

Meter per jam

m/jam

3.

Meter

Detik

Meter per jam

m/det

Contoh :

“ Sebuah kereta dari Jakarta menuju Bandung selama 2 jam. Jarak antara Jakarta
Bandung kurang lebih 180 km. Berapa km/jam kecepatan kereta tersebut?”

Jawab:

Diketahui : Jarak (J) = 180 km

Waktu (W) = 2 jam

Ditanyakan : Kecepatan (K)...?

Kecepatan = jarak : waktu

= 180 km : 2 jam

= 90 km/jam

Jadi, kereta tersebut melaju dengan kecepatan 90 km/jam.

b. Jarak

Jarak adalah ukuran panjang dari satu tempat ke tempat lain (Destiana, 2009:

45).Jarak suatu tempat dinyatakan dengan satuan ukuran baku meter (m). Satuan

lainya adalah hektometer (hm), dekameter (dam), desimeter (dm),

centimeter(cm), dan millimeter(mm). Berikut ini adalah tingkatan atau tangga

satuan jarak.Gambar 2.2. Tingkat Satuan Jarak

Seperti halnya dengan kecepatan, jika kecepatan dilambangkan dengan K,

jarak tempuh =Jdanwaktu tempuh = W, maka besarnya jarak dapat dihitung

dengan rumus:

Contoh :

“ Sebuah kendaraan motor melaju dari kota A menuju kota B selama 3 jam.

kendaraan tersebut melaju dengan kecepatan 90 km/jam. berapa km jarak antara

kota A dengan kota B?”


Jawab :

Diketahui : Kecepatan (K) = 90 km/jam

Waktu (W) = 3 jam

Ditanyakan : Jarak (J)...?

Jarak = kecepatan (K) x waktu (W)

Jarak = 90 km/jam x 3 jam

Jarak = 270 kmJadi, jarak antara kota A dengan kota B adalah 160 km.

c. Waktu

Waktu merupakan sarana yang paling dekat dengan kehidupan manusia

sehari-hari untuk dikenal dan diketahui oleh anak/siswa.

Gambar 2.3 Jam dinding

Menurut Abadiyaturohmah (2012: 2), Waktu tempuh adalah lama waktu yang

terpakai dalam perjalanan untuk menempuh suatu jarak tertentu. Satuan-satuan

waktu antara lain jam, menit, detik, hari, minggu, bulan, tahun, windu, abad, dan

lain-lain. Namun yang perlu dipahami dalam pokok bahasan ini adalah hubungan

antara jam, menit, dan detik. Hubungan antara jam, menit, dan detik adalah

kelipatan 60. Berikut ini adalah gambar hubungan jam, menit, dan detik.

Gambar 2.4 hubungan Jam, Menit, dan detikSeperti halnya kecepatan dan jarak, apabila kecepatan dilambangkan dengan

K, jarak tempuh =Jdanwaktu tempuh = W, maka maka untuk memperoleh waktu

menggunakan rumus :

Contoh :

“ Hari minggu, Rudi dan temannya bermain sepeda menuju pantai dengan
kecepatan 4 km/jam. Jarak rumah Rudi ke pantai adalah 8 km. Berapa jam waktu

yang dibutuhkan Rudi dan temannya untuk sampai ke pantai?

Jawab :

Diketahui : Jarak (J) = 8 km

Kecepatan (K) = 4 km/jam

Ditanyakan : Waktu tempuh (W) ...?

Waktu (W) = jarak (J) : Kecepatan (K)

Waktu = 8 km : 4 km/jam

Waktu = 2 jam

Jadi, Rudi dan temannnya membutuhkan waktu 2 jam untuk sampai ke pantai.

2.1.1.5 Karakteristik Anak Sekolah Dasar

Menurut Edi (2014:34),masa usia sekolah dasar sering disebut masa

intelektual atau masa keserasian bersekolah. Pada masa keserasian bersekolah ini

secara relatif, anak-anak lebih mudah dididik dari pada masa sebelum dan

sesudahnya. Masa ini dibagi menjadi dua fase, yaitu:

a. Masa kelas-kelas rendah sekolah dasar, kia-kira 6 atau 7 tahun sampai usia 9

atau 10 tahun. Beberapa sifat anak-anak pada masa ini antara lain:

Waktu = Jarak : Kecepatan

W = J : K 1. Ada hubungan positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi

(apabila jasmaninya sehat banyak prestasi yang diperoleh).

2. Sikap tunduk pada peraturan-peraturan yan tradisional

3. Adanya kecenderungan memuji diri sendiri (menyebut nama sendiri)


4. Suka membanding-bandingkan dirinya dengan anak yang lain.

5. Apabila tidak dapat menyelesikan suatu soal, maka soal itu dianggap

tidak penting.

6. Pada masa ini (terutama 6,0 – 8,0 tahun) anak mengehendaki nilai (angka

rapor) yang baik tanpa mengingat apakah prestasinya memang pantas

diberi nilai baik atau tidak.

b. Masa kelas-kelas tinggi sekolah dasar, kira-kira umur 9,0 atau 10,0 sampai

umur 12,0 atau 13,0 tahun. Beberapa sifat khas anak-anak pada usia ini

adalah:

1. Adanya minat terhadap kehidupan praktis sehari-hari yang konkret. Hal

ini menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan

pekerjaan-pekerjaan yang praktis.

2. Amat reslistik, ingin mengethui, ingin belajar.

3. Menjelang akhir masa ini telah ada minat kepada hal-hal dan mata

pelajaran khusus. Demikian ini menurut para ahli yang mengikuti teori

faktor diafsirkan sebagai mulai menonjolnya faktor-faktor (bakat-bakat

khusus).

4. Sampai kira-kira umur 11tahun anak membutuhkan guru atau orang

dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugas dan memenuhi keinginannya. Selepas umur ini pada umumnya anak menghadapi tugas-tugasnya

dengan bebas dan berusaha untuk menyelesaikannya.

Menurut Edi (2014:45) pada masa ini kemampuan kognitif siawa sudah

cukup mampu untuk berhitung membaca, menulis, dan mengeja atau melakukan
bermacam-macam tugas.

Sementara, Izzaty, dkk (2008:103-104) berpendapat bahwa masa usia sekolah

atau masa sekolah dasar sering disebut dengan masa kanak-kanak akhir. . masa ini

dialami anak pada usia 6 tahun sampai masuk kemasa pubertas dan masa remaja

awal yang berkisar usia 11-13 tahun. Pada masa ini anak sudah matang bersekolah

dan sudah siap masuk sekolah dasar. Perkembangan masa kanak-kanak akhir

meliputi:

a. Perkembangan fisik, yaitu pertumbuhan fisik cenderung lebih stabil dan masa

ini diperlukan anak untuk belajar berbagai kemampuan akademik.

b. Perkembangan kognitif, menurut Piaget (dalam Izzaty:2008), masa kanakkanak akhir berada dalam tahapoperasional konkret dalam berpikir (usia 7-12

tahun) dimana anak berpikir logis terhadap objek yang konkrit.

c. Perkembangan bahasa, adanya perubahan perbendaharaan kata dan tata

bahasa, anak belajar cara berbicara yang baik, materi bacaan semakin luas.

d. Perkembangan moral, ditandai dengan kemampuan anak untuk memahami

aturan, norma, dan etika yang berlaku di masyarakat.

e. Perkembangan emosi, emosi anak berlangsung relatif lebih singkat, kuat atau

hebat, mudah berubah, nampak berulang-ulang, berbeda-beda, dapat

diketahui atau dideteksidari gejala tingkah lakunya, dan mengalami

perubahan dalam ungkapan-ungkapan emosional. Hurlock menyatakan bahwa ungkapan emosi yang muncul pada tahap ini masih sama dengan tahap

sebelumnya, seperti: mamarah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira,

sedih, dan kasih sayang.

f. Perkembangan sosial, dunia sosio-emosional anak semakin kompleks,


interaksi dengan keluarga dan teman sebaya, sekolah dan hubungan dengan

guru memiliki peran yang penting

Sejalan dengan Edi, Izzaty (2008:116), membagi masa kanak-kanak akhir

menjadi dua fase, yaitu:

a. Masa kelas-kelas rendah Sekolah Dasar yang berlangsung antara usia 6/7

tahun hingga 9/10 tahun, biasanya mereka duduk di kelas 1, 2, dan 3 Sekolah

Dasar. Adapun ciri-cirinya, yaitu (1) ada hubungan yang kuat antara keadaan

jasmani dengan prestasi sekolah; (2) suka memuji diri sendiri; (3) kalau tidak

dapat menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan, tugas atau pekerjaan tersebut

dianggap sulit; (4) suka membandingkan dirinya dengan anak lain, jika hal itu

menguntungkan dirinya; (5) suka meremehkan orang lain.

b. Masa kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar, yang berlangsung antara 9/10 tahun

hingga 12/13 tahun, biasanya mereka duduk di kelas 4, 5, dan 6 Sekolah

Dasar. Adapun ciri-cirinya, yaitu: (1) perhatiannya tertuju pada kehidupn

prakti sehari-hari; (2) ingin tahu, ingin, belajar, dan realistis; (3) timbul minat

pada pelajaran-pelajaran khusus, (4) anak memandang nilai sebagai ukuran

yang tepat prestasi belajarnya di sekolah; (5) anak-anak suka membentuk

kelompok sebaya atau peergroup untuk bermain bersama, mereka membuat

peraturan sendiri dalam kelompoknya.


Sementara, Hidayati (2008: 29) menyebutkan karakteristik siswa pada kelas

V SD adalah :1) Perhatiannya tertuju pada kehidupan praktis sehari-hari; 2) Ingin

tahu, ingin belajar, dan realistis; 3)timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus;

dan 4) Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi
belajarnya di sekolah.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan bahwa

karakteristik siswa Sekolah Dasar khususnya siswa kelas V SD, meliputi: (1)

mengalami perkembangan disegala aspek baik psikologis, fisik, kognitif, maupun

sosialnya; (2) masuk pada tahap operasional konkrit, sehinga belum bisa berpikir

secara abstrak; (3) perhatiannya tertuju pada kehidupan sehari-hari, ingin tahu,

ingin belajar, dan realistik, timbul minat pada pelajaran-pelajaran khusus dan

memandang nilai sebagai ukuran yang tepatmengenai prestasi belajarnya di

sekolah.

2.2 Hasil Penelitian yang Relevan

Beberapa peneliti telah melaksanakan penelitian terkait dengan permasalahan

dalam penelitian ini. Peneliti yang telah mengadakan peelitian ini diantaranya

Mazidah, dkk(2013); Nuari, Asran, dan Sugiyono (2014); dan Darsna (2013)

Mazidah, dkk (2013) meneliti pembelajaran IPA pokok bahasan sumber

dayaalam menggunakan model Problem Based Learning(PBL) dengan populasi

seluruh siswa kelas IV SDN Sidokerto Kabupaten Sidoarjo dan sampelnya ialah

siswa-siswi kelas IVA yang berjumlah 42 siswa serta kelas IVB yang berjumlah

42 siswa. Hasil penelitian ini adalah penerapan model Based Learning(PBL) pada

mata pelajaran IPA dengan pokok bahasan sumber dayaalam berpengaruh

terhadap hasil belajar siswa kelas siswa kelas IV SDN Sidokerto Kabupaten
Sidoarjopada semester genap tahun ajaran 2012/2013. Hal ini terlihat dari nilai

thitung> ttabel, yaitu 3,647 > 1,99, maka H0 ditolak dan Hi diterima. Artinya ada

pengaruh yang signifikan dalam penerapan model Problem Based


Learningterhadap hasil belajar IPAsiswa kelas IV SDN Sidokerto Kabupaten

Sidoarjo pokok pahasan sumber daya alam.

Keterkaitan atau relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti

lakukan adalah dalam penelitian ini menggunakan model pembelajaran Problem

Based Learningdan variabelyang dipengaruhi yaitu hasil belajar. Perbedaan

penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah terletak

pada mata pelajaran, materi ajar, dan subyek penelitian yang digunakan. Dalam

penelitian ini mata pelajaran yang digunakan ialah IPA dengan materi ajar

“Sumber Daya Alam”, sedangan penelitian yang akan peneiti lakukan

menggunakan mata pelajaran Matematika dengan pokok bahasan “Pengukuran

Jarak, Waktu,dan Kecepatan”. Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari subyek

penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Subyek penelitian yang digunakan

adalah siswa kelas VI, sedangkan subyek yang digunakan pada penelitian yang

akan dilakukan oleh peneliti adalah siswa kelas V. Namun, hal ini tidak menjadi

masalah karena pada dasarnya siswa kelas V dan VI merupakan siswa kelas atas

yang memiliki karakteristik yang hampir sama.

Nuari, Asran, dan Sugiyono (2014) melakukan penelitian tentang pengaruh

model pembelajaran Problem Based Learning(PBL) terhadap hasil belajar IPS

siswa SDN 04 Rasau Jaya. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa siswa sebagai kelompok eksperimen. Hasil penelitian ini adalah penerapan model

Based Learning (PBL) pada mata pelajaran IPS berpengaruh terhadap hasil

belajar siswa kelas V SDN 04 Rasu Jaya. Hal ini dapat dilihat hasil Zhitung < -

Ztabelatau -2,04 < -1,96. Sehingga Ho ditolak dan Ha diterima. Artinya terdapat
perbedaan hasil belajar mata pelajaran ilmu pengetahuan sosial antara siswa yang

diberi pengajaran dengan menerapkan model pembelajaran problem based

learning dengan siswa yang diberi pengajaran tanpa menerapkan model

pembelajaran problem based learning pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri

04 Rasau jaya. Selain itu, nilai effect size yang diperoleh dalam penelitian ini

adalah sebesar 0,76 yang artinya memberikan pengaruh sedang terhadap hasil

belajar siswa.

Keterkaitan atau relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti

lakukan adalah Keduanya sama-sama menyoroti tentang pengaruh model

pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap hasil belajar siswa dan

menggunakan subyek penelitian siswa kelas V. Perbedaan penelitian ini dengan

penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti terletak pada mata pelajaran, materi

ajar, dan subyek penelitian yang digunakan. Dalam penelitian ini mata pelajaran

yang digunakan ialah IPS dengan materi ajar “Kegiatan Ekonomi di Indonesia”,

sedangan penelitian yang akan peneiti lakukan menggunakan mata pelajaran

Matematika dengan pokok bahasan “Pengukuran Jarak, Waktu, dan Kecepatan”.

Darsna (2013) melakukan penelitian tentang pengaruh penerapan model

pembelajaran Problem Based Learningterhadap hasil belajar IPA pada siswa kelas

V SDN Gugus 1 Sedimen Karangasem. Sampel dan populasi dalam penelitian ini

adalah siswa kelas V SD Negeri 2 Sidemen dan SD Negeri 3 Sinduwati.Hasil

klelas V SDN 04 Rasu Jaya dan sampel yang digunakan adalah kelas VA yang

berjumlah 20 siswa sebagai kelompok kontrol serata kelas VB yang berjumlah 29 penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan secara signifikan hasil
belajarsiswa yang dibelajarkan dengan menggunakan model pembelajaran

Problem Based Learningdengan siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan

pembelajaran konvensional (thitung = 3,52>ttabel = 2,000). Dengan demikian, model

pembelajaran Problem Based Learningberpengaruh terhadap hasil belajar IPA

siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Gugus 1 Kecamatan Sidemen Karangasem.

Keterkaitan atau relevansi penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti

lakukan adalah keduanya sama-sama menyoroti tentang pengaruh model

pembelajaran Problem Based Learning (PBL) terhadap hasil belajar siswa. Selain

itu, subyek yang digunakan dalam penelitian ini dengan penelitian yang akan

digunakan peneliti ialah sama yaitu siswa kelas V yang tentunya memiliki usia

dan karakteristik yang sama. Perbedaan antar keduanya dapat dilihat dari mata

pelajaran yang digunakan. Penelitian ini menggunakan mata pelajaran IPA

sedangkan penelitian yang akan dilakukan peneliti menggunakan Matematika

sebagai mata pelajarannya dan tentunya juga memiliki perbedaan pokok bahasan

yang menjadi fokus masalah.2.3 Literature Map

Gambar 2.5 Literature Map Penelitian yang Relevan

Secara keseluruhan ketiga penelitian di atas memiliki ruang lingkup dan

sasaran yang sama yaitu mengetahui adanya pengaruh model PBL terhadap hasil

belajar siswa. Selain itu,hasil ketiga penelitian diatas menunjukan adanya

pengaruh yang positif pada penerapan model PBL terhadap hasil belajar siswa.

Oleh sebab itu, ketiga penelitian di atas peneliti jadikan sebagai acuan dalam

penelitian yang akan peneliti lakukan karena terdapat kesamaan dalam variabel penelitian dan menunjukkan adanya pengaruh yang positif dari penerapan model
PBL terhadap hasil belajar siswa.

2.4 Kerangka Berpikir

Penelitian ini berangkat dari suatu masalah yang sering terjadi atau terlihat

pada proses pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar, yaitu kemampuan

pemecahan masalah yang dimiliki oleh siswa masih rendah. Kemampuan

pemecahan masalah ini termasuk keterampilan proses yang harus dikuasai oleh

siswa dalam pembelajaran matematika karena diperlukan siswa untuk

mengembangkan, memahami konsep-konsep, dan menyelesaikan masalah

matematis dalam matematika. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah pada

siswa kemudian berdampak pada hasil belajar yang didapat oleh siswa juga

rendah.

Hal di atas merupakan permasalahan yang harus diatasi. Mengingat bahwa

matematika merupakan disiplin ilmu yang erat kaitannya dengan permasalahan di

kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, penguasaan yang baik terhadap konsep

matematika akan menjadi dasar bagi siswa untuk mengatasi atau menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi di kehidupan sehari-hari dengan baik pula. Hal ini

tidak terlepas dari tujuan pembelajaran matematika itu sendiri, yaitu membekali

siswa untuk memecahkan permasalahan di kehidupan sehari-harinya.

Salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan ini

ialah dengan melakukan perubahan pada model pembelajaran matematika dari

yang biasanya pembelajaran didominasi oleh guru beralih menjadi pembelajaran

yang menyenangkan dan pusat pada siswa sehingga siswa dapat lebih aktif dalam
menyelesaikan masalah matematis siswa.Selain itu, diperlukan suatu modelpembelajaran yang menyajikan tugas-tugas dalam bentuk masalah. Hal ini

dikarenakan dengan adanya masalah, maka siswa akan berusaha untuk mencari

solusinya dengan berbagai ide dan representasi sehingga kemampuan berpikir

siswa benar-benar dioptimalkan melalui proses pemecahan masalah tersebut.

Model pembelajaran harus tepat dan sesuai dengan kondisi tersebut ialah

model pembelajaran Problem Based LearningModel PBLini merupakan model

pembelajaran yang menyajikan masalah di awal pembelajaran atau lingkungan

belajar yang didalamnya menggunakan masalah untuk belajar. Masalah yang

disajikan merupakan masalah dunia nyata sebagai konteks bagi siswa untuk

belajar. Hal ini sesuai dengan tahapan kognitif anak yang berada pada tahapan

operasional konkret karena siswa secara tidak langsung telah melihat, merasakan

atau bahkan mengalami sendiri. Selain itu, dalam PBL siswa akan terlibat aktif

dalam pembelajaran khususnya pada proses pemecahan masalah. Keterlibatan

siswa ini akan memberikan banyak pengalaman nyata kepada siswa. Seperti pada

pembahasan sebelumnya bahwa pengalaman secara nyata akan membantu anak

dalam mengembangkan kemampuan tingkat tinggi, yaitu kemampuan pemecahan

masalah pada siswa.Dengan demikian, masalah rendahnya hasil belajar siswa

pada muatan pelajaran matematika dapat teratasi dengan baik.

2.5 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, maka hipotesis dalam

penelitian ini adalah model pembelajaran Problem Based Learning berpengaruh

terhadap hasil belajar Matematika siswa kelas V SDN Nanggulan.BAB III


METODE PENELITIAN

Bab III ini akan membahas mengenai jenis penelitian yng digunakan,

populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, teknik pengumpulan data,

instrumen penelitian, teknik pengujian instrumen, dan teknik analisis data.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tipe penelitian

ekperimen. Penelitian kuantitatif yaitu metode yang menguji teori-teori tertentu

dengan cara meneliti hubungan antar variabel, variabel biasanya diukur dengan

instrumen-instrumen penelitian sehingga data yang berupa angka-angka dapat

dianalisis berdasarkan prosedur statistik (Creswell, 2012:5). Sedangkan penelitian

eksperimen adalah metode penelitian yang digunakan untuk mencari pengaruh

perlakuan tertentu terhadap yang lain dalam kondisi yang terkendalikan

(Sugiyono, 2013:109). Pendapat tersebut sesuai dengan penelitian yang akan

dilakukan peneliti yaitu mencari pengaruh penerapan model pembelajaran

Problem Based Learning(bertindak sebagai “perlakuan tertentu”) terhadap hasil

belajar Matematika siswa kelas V (bertindak sebagai “terhadap yang lain”). Oleh

karena itu, penelitian ini benar menggunakan pendekatan kuantitatif tipe

eksperimen.

Penelitian eksperimen mempunyai empat jenis penelitian yaitu (1) Preeksperimental, (2) True- eksperimental, (3) Factorial Eksperimental, (4) Quasi

eksperimental (Sugiyono, 2013:111). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan

jenis penelitian eksperimen dengan tipe Quasi eksperimental. Hal ini dikarenakan

subyek sebagai anggota sampel diambil dari kelas-kelas yang sudah terbentuk sebelumnya. Sehingga peneliti tidak memiliki wewenang untuk mengacak
kembali kelompok siswa yang ada di kelas tersebut. Alasan tersebut sesuai dengan

pendapat Creswell (2012:232) yang menyatakan bahwa Quasi eksperimental

design adalah jenis penelitian yang masing-masing subyek tidak dipilih secara

acak, melainkan menggunakan kelompok yang sudah terbentuk secara alamiah

seperti kelas, organisasi, atau keluarga.Meskipun demikian, penentuan kelas mana

yang akan menjadi sampel kelompok eksperimen dan kelompok kontrol

ditentukan secara acak/undi. Penelitian ini mengguanakan kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen. Kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak diberikan

perlakuan sedangkan kelompok eksperimen adalah kelompok yang diberikan

perlakuan. Kelompok didapatkan dari dua kelas yang dapat mewakili populasi dan

dapat digunakan sebagai kelompok kontrol dan eksperimen.

Ketiadaan wewenang bagi peneliti untuk melakukan pengacakan pada

masing-masing kelas ini menjadi alasan untuk menggunakan desain penelitian

berupa non equivalent control group design.Fathnur (2016: 11) menyatakan

bahwa non equivalent control group design adalah jenis rancangan penelitian

yang dilakukan pada dua kelompok (eksperimen dan kontrol) tanpa adanya proses

randomisasi yang kemudian diberikan sebuah tes di awal (pre-test) dan diakhiri

dengan sebuah tes akhir (post-test). Menurut Sugiyono (2010:114), non equivalent

control group design memiliki dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Kedua kelompok ini diberi soal pre-test pada tahap awal

dengan tujuan untuk mengetahui kondisi awal dari masing-masing kelompok serta

untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan dari kedua kelompok tersebut. Jika
hasil pre-test kedua kelompok tidak berbeda secara signifikan, maka keduakelompok memiliki kemampuan awal yang sama. Kelompok eksperimen diberi

perlakuan atau treatment yaitu dengan menggunakan model Problem Based

Learning selama pembelajaran berlangsung, sedangkan kelompok kontrol tidak

diberi perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran Problem Based

Learning (proses pembelajaran dilakukan seperti biasa). Setalah diberi perlakuan

atau treatment, kemudian masing-masing kelompok diberi post-test. Pemberian

post-test ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari perlakuan atau treatment

yang telah dilakukan pada kelompok eksperimen. Pengaruh perlakuan dapat

dihitung dengan cara : (O2 – O1)–(O4 – O3)

A O1 X O2

B O1 O2

(Creswell, 2012: 242)

Gambar 3.1 Non-equivalent Control Group Design

Keterangan :

Garis lurus = kelompok kontrol dan eksperimen jelas terpisah

A = Kelompok eksperimen

B = Kelompok Kontrol

O1 = Skor hasil pretest

O2 = Skor hasil posttest

X = perlakuan atau treatment model pembelajaran problem based learning

3.2 Setting Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Nanggulan, yang beralamatkan di

Dusun Nanggulan, Desa Maguwoharjo, Kec. Depok, Kab.Sleman, Prop. DIY. SD

Negeri Nanggulan terletak di pinggir jalan yang cukup ramai dan dekat denganSD Negeri Maguwoharjo 1 serta puskesmas Depok 1, sehingga mudah untuk

ditemui dan dijangkau. Selain itu, Sekolah ini merupakan sekolah yang memiliki

2 kelas paralel di setiap kelasnya (A dan B), sehingga seluruh kelas di sekolah

tersebut adalah 12 kelas. Inilah salah satu alasan pemilihan SD Negeri Nanggulan

sebagai tempat penelitian karena pada dasarnya dalam penelitian ini juga

membutuhkan 2 kelas yang masing-masing bertidak sebagai kelompok kontrol

dan kelompok eksperimen. Selain sebagai tempat penelitian, SD Negeri

Nanggulan ini juga sebagai tempat pelaksanaan PPL. Hal ini menjadi keuntungan

tersendiri bagi peneliti karena sembari melakukan PPL sekaligus dapat melakukan

penelitian.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 1minggu.Surat penelitian terlampir

dalam lampiran 1. Proses pengambilan data didasarkan pada keputuskan guru

kelas dan jadwal matematika pada masing-masing kelas yang akan diteliti.

Pengambilan data dimulai pada tanggal 07 Oktober 2017 sampai 14 Oktober

2017. Krathwohl (2009: 545) menyatakan bahwa pengambilan data eksperimental

dianjurkan dilakukan dalam waktu yang sesingkat mungkin untuk mengurangi

bias. Perlakukan pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dilakukan

secara bergantian dalam minggu yang samauntuk mengantisipasi terjadinya bias

dalam penelitian. Bias terjadi apabila rentang waktu penelitian kelompok kontrol
dan eksperimen terpaut terlalu lama yang mengakibatkan siswa dalam kedua

kelompok bercerita mengenai kegiatan yang terjadi di dalam kelas. Melalui cerita

tersebut akan mempengaruhi minat siswa dalam belajar, misalnya timbul perasaan iri ketika salah satu kelompok menggunakan media dan kegiatan pembelajarannya

berbeda.

Tabel 3.1

Waktu Pengambilan Data

Tabel 3.1 menunjukkan bahwa waktu pengambilan data pada penelitian.

Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol masing-masing berlangsung

sebanyak 4 pertemuan dengan alokasi waktu total 12 jam pelajaran. Pertemuan

pertama digunakan untuk melakukan pre-test sedangkan pertemuan terakhir

digunakan untuk melakukan post-test. Pembelajaran dilakukan masing-masing

kelompok sebanyak dua pertemuan (pertemuan ke-2 dan ke- 3) atau selama 4 jam

pelajaran. Peneliti mengambil jadwal tersebut berdasarkan jadwal yang ada di sekolah dasar. Jadwal disesuaikan dengan penyampaian materi pengukuaran jarak,

waktu, dan kecepatan di kelas VA dan VB SD Negeri Nanggulan.

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk

dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2013: 119). Populasi

bukan hanya orang dan tidak hanya menekankan pada jumlah namum juga

seluruh obyek atau benda maupun ciri/ sifat yang dimiliki benda tersebut.

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kela V SD

Negeri Nanggulan yang berjumlah 56 siswa. Kelas VA ada 28 siswa yang terdiri

dari 20 siswa perempuan dan 8 siswa laki-laki sedangkan kelas VB ada 28 siswa
yang terdiri dari 19 siswa perempuan dan 9 siswa laki-laki.

Sampel merupakan bagian dari populasi ( Margono, 2007: 121). Pendapat

serupa juga diungkapkan oleh Sugiyono (2013: 120) yang menyatakan bahwa

sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut, maka dapat diketahui bahwa apa yang

dihasilkan atau dipelajari dari sampel, kesimpulanya dapat diberlakukan untuk

populasi. Oleh karena itu, pengambilan sampel harus benar-benar representatif

(mewakili). Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah siswa kelas V

Bsebagai kelompok kontrol (tidak diberi perlakuan) dan siswa kelas V A sebagai

kelompok eksperimen (diberi perlakuan dengan model pembelajaran problem

based learning). Pemilihan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen

dilakukan secaraundian. Kegiatan pembelajaran pada kedua kelas tersebut dilakukan oleh guru yang sama. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi bias

dalam penelitian.

Teknik yang digunakan untuk memilih sampel dalam penelitian ini adalah

simple random sampling terlihat saat pengambilan kelas yang akan digunakan

sebagai kelompok kontrol dan eksperimen dilakukan secara acak, yaitu dengan

mengundi. Dikatakan simple (sederhana) karena pengambilan sampel dari

populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam

populasi (Sudaryono, 2016: 123).

3.4 Variabel Penelitian

Menurut Sarwono dan Jonathan (2012: 33), variabel adalah sesuatu yang

berbeda atau bervariasi. Kata “sesuatu” diperjelas dalam definisi kedua yaitu
simbol atau konsep yang diasumsikan sebagai seperangkat nilai-nilai. Terdapat 2

macam variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Variabel Independen

Variabel ini lebih dikenal dengan sebutan variabel bebas. Variabel bebas

adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab adanya perubahan

pada variabel dependen (Noor, 2011: 49). Variabel independen dalam penelitian

ini adalah model pembelajaran problem based learning (model pembelajaran yang

berpusat pada siswa dan proses pembelajarannya berorientasi pada masalah

dimana siswa dituntut untuk belajar berpikir sendiri dalam mencari solusi untuk

memecahkan masalah dengan mengaitkannya di kehidupan nyata) yang terdiri

dari 5 langkah, yaitu orientasi masalah pada siswa, mengorganisasi siswa untuk

belajar, membimbing pengalaman individu/kelompok, mengembangkan dan

menyajikan hasil karya, dan menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Model pembelajaran problem based learning menjadi variabel bebas

karena dipandang dapat mempengaruhi hasil belajar siswa.

b. Variabel Dependen

Variabel ini lebih dikenal dengan sebutan variabel terikat. Variabel terikat

adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya pengaruh dari

variabel bebas (Noor, 2011: 49). Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

hasil belajar. Aspek hasil belajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah

kemampuan kognitif siswa. Hasil belajar siswa menjadi variabel terikat karena

dipandang hasil belajar siswa dapat dipengaruhi atau berubah karena adanya

proses pembelajaran yang menerapkan model pembelajaran problem based


learning.

c. Variabel Kontrol

Variabel kontrol adalah variabel yang dikendalikan atau dibuat konstan

(Sugiyono, 2013:66).Hal ini dimaksudkan agar pengaruh yang diberikan dari

variabel independen terhadap variabel dependen tidak mendapat pengaruh dari

faktor luar yang tidak diteliti. Variabel kontrol dalam penelitian ini, meliputi

jumlah pertemuan, materi pembelajaran, dan guru. Jumlah pertemuan pada

masing-masing kelompok penelitian dibuat sama, yaitu sebanyak 4 kali

pertemuan. Dengan rincian sebagai berikut: Pertemuan I melakukan pre-test,

Pertemuan II adalah penyampaian materi pengukuran kecepatan, Pertemuan II

adalah penyampaian materi pengukuran jarak dan waktu, dan Pertemuan IV

melakukan post-test. Pembelajaran dilaksanakan 2 kali pertemuan dengan alokasi

waktu 4 jam pelajaran atau 140 menit. Materi pembelajaran yang digunakan oleh

kedua kelompok adalah sama, yaitu pengukuran jarak, waktu, dan kecepatan. Guru yang mengajar pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen juga

dibuat sama, yaitu peneliti sendiri. Peneliti berusaha meminimalisir hal-hal yang

dapat mengakibatkan bias dalam penelitian, sehingga data hasil penelitian dapat

diperoleh secara tepat dan akurat.

Variabel Independen

Variabel Dependen

Variabel Kontrol

Gambar 3.2 Variabel Penelitian

3.5 Teknik Pengumpulan Data


Teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

meliputi :

3.5.1 Tes

Menurut Arikunto (2012: 67) tes adalah alat atau prosedur yang digunakan

untuk mengetahui dan mengukur sesuatu dengan cara dan aturan tertentu. Ahli

lain mengatakan tes merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur tingkat

pengetahuan yang dimiliki individu dari satu bahan pelajaran yang terbatas pada

tingkat tertentu (Sudaryono, 2016: 89). Tes digunakan untuk mengukur hasil

belajar siswa yang berupa kemampuan kognitif. Sehingga tes yang digunakan

lebih mengarah pada Kompetensi Dasar ranah pengetahuan (kemampuan

kognitif). Tes dalam penelitian ini ditempatkan sebagai teknik pengumpulan data

yang utama. Jenis tes yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitianini adalah tes tertulis. Sedangkan bentuk instrumen dari tes tersebut ialah berupa

soal uraian. Menurut Siregar (2011: 147) kelebihan tes uraian yaitu dapat

digunakan untuk mengukur hasil belajar yang kompleks. Pemilihan soal uraian

dalam penelitian ini didasarkan pada saran dan pertimbangan dari guru kelas V

SD Negeri Nanggulan. Soal uraian sangat cocok digunakan untuk kelas V karena

siswa sudah lancar menulis. Selain itu juga sangat cocok untuk penelitian model

pembelajaran problem based learning karena soal tersebut dapat mengukur

kemampuan siswa kelas V dalam memecahkan masalah (soal/pertanyaan) secara

mendalam.

Teknik tes dalam penelitian ini digunakan untuk mengetahui hasil belajar

siswa dalam mata pelajaran matematika. Tes dilakukan dengan cara memberikan
pre-test dan post-test untuk kelompok eksperimen dan kontrol. Pre-test

dilakukan sebelum adanya pembelajaran dengan tujuan untuk mengatahui

keadaan awal setiap kelompok. Setelah ada proses pembelajaran kemudian

dilakukan post-test pada masing-masing kelompok untuk mengetahui perbedaan

kemampuan sebelum dan sesudah pembelajaran.

3.5.2 Non Tes

3.5.2.1 Observasi

Menurut Bungin (2011: 143) observasi adalah kemampuan orang untuk

menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja panca indera mata serta bantuan

dengan panca indera lainnya. observasi dalam penelitian ini dilakukan untuk

melihat aktivitas belajar siswa selama mengukuti proses pembelajaran di kelas.

Data hasil observasi ini bukan meruoakan data utama, melainkan digunakan sebagai data pendukung ketika melakukan pembahasan hasil penelitian. Observasi

dilakukan oleh guru kelas saat pembelajaran berlangsung.

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi non

partisipan dengan tipe observasi tak terstruktur. Observasi tak terstruktur adalah

pengamatan yang tidak dipersiapkan secara sistematis tentang apa yang akan

diobservasi (Sugiyono, 2013: 198). Teknik observasi tak terstruktur ini dipilih

oleh peneliti karena peneliti tidak menggunakan lembar pengamatan yang telah

dipersiapkan sebelumnya, melainkan peneliti hanya mencatat tentang apa pun

yang terjadi di dalam kelas selama proses pembelajaran berlangsung. Oleh ksrena

itu, dalam penelitian ini peneliti tidak menyusun kisi-kisi lembar observasi yang

mana harus teruji validitas dan reliabilitasnya terlebih dahulu. Namun demikian
peneliti hanya membuat rambu-rambu pengamatan saja.

3.5.2.2 Wawancara

Menurut Sudjana (2014: 167), wawancara adalah alat penelitian yang

digunakan untuk mengetahui pendapat, harapan, aspirasi, prestasi, keinginan,

keyakinan, dan lain-lain sebagai hasil belajar siswa. dalam penelitian ini,

wawancara dilakukan kepada guru kelas V SD Negeri Nanggulan. Wawancara

dilakukan sebelum dan seteleh pelaksanaan pembelajaran matematika pokok

bahasan pengukuran jarak, waktu, dan kecepatan melalui model pembelajaran

Problem Based Learning.

Sebelum pembelajaran, wawancara terhadap guru dilakukan untuk

mengetahui model, metode, dan media pembelajaran yang selama ini digunakan

oleh guru, aktivitas dan hasil belajar siswa, serta kendala yang dihadapi ketika

pembelajaran matematika kelas V. Di mana data yang diperoleh nantinya akan dijadikan sebagai data pendukung dalam melakukan pembahasan di Bab I atau

sebagai pijakan awal dalam melakukan penelitian.Setelah pembelajaran,

wawancara terhadap guru dilakukan untuk mengetahui tanggapan mengenai

pembelajaran matematika dengan model pembelajaran Problem Based Learning.

Data ini digunakan sebagai pendukung dalam melakukan pembahasan hasil

penelitian di Bab IV.

3.5.2.3 Kuesioner

Kuesioner yang diberikan kepada siswa untuk mengetahui tingkat

keterbacaan dari instrumen tes uraian yang digunakan dalam penelitian. Kuesioner

tingkat keterbacaan ini diperlukan untuk mengetahui seberapa jauh kualitas soal
yang dibuat olah peneliti untuk dapat di pahami dan diselesaikan oleh siswa.

Kuesioner ini diberikan pda siswa kelas IV tepatnya setelah melaksanakan uji

coba instrumen. Siswa dipilih secara acak sebayak 5 orang untuk dijadikan

sebagai sampel dalam uji keterbacaan istrumen soal ini.

3.5.2.4 Dokumentasi

Dokumentasi merupakan instrumen pengumpulan data untuk membantu

peneliti dalam menjaring data yang bersumber dari dokumentasi (Masyhud, 2014:

227). Pada penelitian ini, data yang diambil yaitu berupa daftar nama siswa kelas

V (A-B) tahun ajaran 2017/2018 dan rekapan nilai Ulangan Harian siswa kelas V

(A – B). Dokumen ini digunakan peneliti sebagai titik awal dalam melakukan

penelitian di kelas V SDN Nanggulan.

3.6 Instrumen Penelitian

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian biasa

dikenal dengan instrumen penelitian. Sugiyono (2012:102) menyatakan bahwainstrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengukur aspek-aspek

yang akan diteliti. Berikut ini adalah instrumen-instrumen yang digunakan peneliti

dalam mengumpulkan data, yaitu:

3.6.1 Soal Tes (Pre-test – Post-test)

Soal tes menjadi instrumen yang utama dalam penelitian ini. Soal tes yang

digunakan dalam penelitian ini adalah soal uraian pre-test dan post-test. Kedua

tes tersebut dibuat berdasarkan Kompetensi Dasar (KD) 3.3 “Menentukan

perbandingan dua besaran yang berbeda (kecepatan sebagai perbandingan jarak

dengan waktu, debit sebagai perbandingan volume dan waktu)”. Instrumen yang
digunakan yaitu tes tertulis berupa 7 soal uraian yang digunakan untuk mengukur

hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika. Masing-masing nomor soal

akan mendapatkan skor maksimal 5 apabila jawaban benar dan lengkap. Berikut

ini adalah kisi-kisi soal.

Tabel 3.2

Kisi-kisi soal Pre-Test MatematikaTabel 3.2 dan 3.3 merupakan kisi-kisi dari soal pre-test dan post-test yang

berisi KD, indikator, dan contoh soal tes hasil belajar. Soal terdiri dari 7 soal

uraian. Soal tersebut mencakup 3 indikator. Masing-masing indikator diwakili

oleh 2 soal uraian, kecuali indikator 3.3.1 yaitu berjumlah 3 soal. Soal disusun

dari yang mudah ke yang sulit. Tingkat kesulitan ini disesuaikan berdasarkan

saran dari guru kelas V SDN Nanggulan yang jauh lebih mengerti tingkat

kemampuan siswanya.

3.6.2 Lembar kuesioner

Lembar kuesioner ini berisi beberapa variabel terkait dengan penilaian

kualitas soal uraian yang akan digunakan untuk mengukur hasil belajar siswa

khususnya pada mata pelajaran matematika dengan materi pengukuran jarak,

waktu dan kecepatan. Tabel 3.4 adalah contoh lembar kuesioner yang digunakan

dalam penelitian ini.

Tabel 3.4

Kisi-kisi Lembar Kuesioner Uji Keterbacaan Soal3.6.3 Lembar Pedoman Wawancara

Lembar pedoman wawancara ini berisi beberapa pertanyaan yang akan

diajukan kepada guru kelas V SD Negeri Nanggulan. Lima pertanyaan diberikan


sebelum pembelajaran menggunakan model pembelajaran Problem Based

Learning untuk mengetahui metode, aktivitas, dan hasil belajar siswa selama

ini.Tiga pertanyaan diberikan setelah pembelajaran menggunakan model

pembelajaran Problem Based Learning untuk mengetahui tanggapan guru

mengenai model pembelajaran Problem Based Learning. Berikut ini adalah kisikisi pedoman wawancara pada guru kelas V SDN Nanggulan.

Tabel 3.5

Kisi-kisi Pedoman Wawancara Guru Kelas V3.6.4 Instrumen Perangkat Pembelajaran

Perangkat pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah

silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Instrumen perangkat

pembelajaran digunakan untuk proses pembelajaran pada kelompok kontrol dan

kelompok eksperimen. Perangkat pembelajaran untuk kelompok eksperimen

menggunakan langkah-langkah model pembelajaran Problem Based Learning,

sedangkan kelompok kontrol dengan ceramah seperti pembelajaran biasanya.

Instrumen perangkat pembelajaran dapat dilihat pada lampiran 2.

3.7 Teknik Pengujian Instrumen

Bagian ini membahas tentang teknik pengujian instrumen penelitian dan

instrumen pembelajaran yang meliputi validitas dan reliabilitas instrumen. Uji

validitas digunakan untuk menguji instrumen pembelajaran (silabus dan RPP) dan

instrumen penelitian (soal tes hasil belajar) yang menerangkan mengenai jenisjenis validitas apa saja yang digunakan pada penelitian. Uji reliabilitas

menjelaskan tentang keajegan aitem yang dinyatakan valid.

3.7.1 Validitas Instrumen

Validitas berasal dari kata validity yaitu ketepatan dan kecermatan


instrumen dalam melakukan fungsinya (Azwar, 2013: 173). Menurut Trihendradi

(2013: 195), Instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut mampu mengukur apa yang seharusnya diukur. Margono (2013:12) mengungkapkan

bahwa validitas dibagimenjadi 3 macam, yaitu validitas isi, validitas konstruksi,

dan validitas kriteria. Validitas isi yaitu suatu validitas yang menunjukkan sampai

di mana isi suatu tes atau alat pengukur mencerminkan hal- hal yang ingin diukur.

Validitas konstruksi dapat disebut juga dengan validitas konsep, yaitu validitas

yang menunjukkan sampai di mana isi suatu tes atau alat pengukur sesuai dengan

konsep yang seharusnya menjadi isi tes tersebut. Validitas kriteria yaitu suatu

validitas yang dilakukan dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan)

antara kriteria yang ada pada instrumen dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di

lapangan.Dalam penelitian ini, peneliti hanyamenggunakan 2 jenis validitas, yaitu

validitas isi dan konstruksi. Menurut Sugiyono (2013: 170), validitas instrumen

yang berupa tes harus memenuhi construct validity (validitas konstruksi) dan

content validity (validitas isi). Validitas ini digunakan untuk menguji instrumen

baik tes maupun non tes.

3.7.1.1Validitas Isi

Validitas isi menunjukkan seberapa jauh aitem-aitem mencakup kawasan

isi yang akan dibahas (Azwar, 2012: 175). Validitas isi dalam penelitian ini

dilaksanakan dengan expert judgement, yaitu melakukan penilaian instrumen

pembelajaran (silabus dan RPP) dan instrumen penelitian (soal tes hasil belajar)

yang diperoleh dari pendapat 3 ahli materi, yaitu satu dosen yang berkompeten

dalam bidang Matematika dan guru kelas VA serta V B SDNegeri Nanggulan.


Validasi yang dilakukan para ahli dengan memberikan skor dengan rentang antara

1 samapi 4 untuk melakukan revisi. Skor 1 berarti “kurang sekali”, skor 2 berarti

“kurang”, skor 3 berarti “baik”, skor 4 berarti “baik sekali”. Kriteria skor yangdipilih dalam penelitian ini adalah 3. Angka 3 dipilih karena angka tersebut sudah

melampaui nilai tengah pada rentang skor bukan nilai tertinggi. Penilaian dengan

bobot 3 pada panduan skroing expert judgement juga sudah bermakna “baik”.

Keputusan untuk mengadakan perbaikan atau tidaknya instrumen yang digunakan

untuk penelitian berpedoman dari rata-rata skor dan komentar yang diberikan

penguji. Tabel 3.6 berikut dalah kriteria hasil validitas isi yang dibuat oleh

penelitiuntuk menentukan ada atau tidaknya revisi instrumen yang divalidasi.

Tabel 3.6

Kriteria Hasil Validasi

Rata-rata

Kuantitatif

Penilaian Kualitatif

Keputusan

≥3

Positif

Tidak revisi

≥3

Negatif

Revisi

<3
Positif

Revisi

<3

Negatif

Revisi

Tabel 3.6 menunjukkan nilai rata-rata dan jenis komentar dalam

mengambil keputusan untuk melakukan perbaikan atau tidak pada instrumen

pembelajaran dan instrumen tes hasil belajar. Kriteria pertama, jika memperoleh

skor lebih dari atau sama dengan 3 dengan komentar positif, maka instrumen tidak

akan direvisi. Kriteria kedua, jika memperoleh skor lebih dari atau sama dengan 3

dengan komentar negatif, maka instrumen akan direvisi. Kriteria ketiga, jika

memperoleh skor kurang dari 3 dengan komentar positif, maka instrumen akan

direvisi. Kriteria keempat, jika memperoleh skor kurang dari 3 dengan komentar

negatif, maka instrumen akan direvisi.

1. Validasi Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)

Instrumen yang pertama divalidasi adalah perangkat pembelajaran yaitu

silabus dan RPP. Skor hasil validasi dianalisis kemudian untuk dicari rata-rata

skor pada setiap komponen penilaiannya. Validator yang pertama ialah guru kelas V A. Peneliti memilih beliau karena sudah berpengalaman dalam mengajar, selain

itu beliau juga ahli yang bertanggung jawab dibidang perangkat pembelajaran.

Validator yang kedua adalah guru kelas VB, karena beliau kreatif khususnya

dalam mengajar dan juga memiliki pengetahuan dibidang matematika yang baik.

Validator atau ahli ketiga adalah dosen matematika, dengan pertimbangan bahwa
beliau memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang materi pelajaran

matematika khususnya pada materi pengukuran jarak, waktu dan kecepatan. Hasil

validasi silabus oleh tiga ahli yang dipilih oleh peneliti dapat dilihat pada tabel

3.7dan 3.8 di bawah ini :

Tabel 3.7

Hasil Validasi Silabus Kelompok EksperimenTabel 3.7 dan 3.8 adalah skor hasil validasi silabus untuk kedua kelompok

(kelompok esperimen dan kelompok kontrol) yang terdiri dari 7 komponen

penilaian dari para ahli. Skor rata-rata yang diperoleh dari ahli 1 sampai 3 sudah

lebih dari kriteria penilaian. Ahli 1, 2, 3 tidak memberikan komentar pada kolom

“komentar”. Oleh karena itu, dapat diputuskan bahwa instrumen silabus pada

kedua kelompok tidak akan direvisi atau mengalami perbaikan, sehingga silabus

bisa langsung digunakan dalam penelitian.

Seperti halnya instrumen silabus, intrumen RPP juga divalidasi kepada 3

ahli yang sama dengan validator silabus. Hasil validasi RPP juga dianalisis untuk

mencari rata-rata dari setiap komponen yang dinilai. Tabel 3.8 Berikut adalah

hasil validasi RPP dari ketiga ahli.

Tabel 3.9

Hasil validasi RPP Kelompok EksperimenTabel 3.9adalah skor hasil validasi RPP yang terdiri dari 11 komponen

penilaian dari para ahli. Skor rata-rata yang diperoleh dari ahli 1 sampai 3 sudah

lebih dari kriteria penilaian. Ahli 1, 2, 3 tidak memberikan komentar pada kolom

“rekomendasi validator untuk dokumen RPP yang dibuat oleh peneliti”, namun

ahli 2 melingkari angka 3 pada rumusan tujuan pembelajaran, menulis “...menit ?”


pada kolom alokasi waktu, melingkari kata yang dirasa tidak perlu“mm mmmm”

dan memberikan catatan pada RPP, yaitu “K-13 subyek = siswa. Begitu pun ahli 3

juga memberikan catatan pada RPP, yaitu: “tambahkan alokasi waktu”.Oleh

karena itu dapat diputuskan bahwa instrumen RPP akan direvisi mengenai alokasi

waktu dan penulisan yang dianggap kurang sesuai dengan himbauan ahli 2.

Validasi RPP juga dilakukan pada RPP kelompok kontrol. Berikut ini adalah hasil

validasi dari 3 ahli untuk RPP kelompok kontrol.

Tabel 3.10

Hasil validasi RPP Kelompok KontrolTabel 3.10 adalah skor hasil validasi RPP yang terdiri dari 11 komponen

penilaian dari para ahli. Skor rata-rata yang diperoleh dari ahli 1 sampai 3 sudah

lebih dari kriteria penilaian. Ahli 1, 2, 3 tidak memberikan komentar pada kolom

“rekomendasi validator untuk dokumen RPP yang dibuat oleh peneliti”. Oleh

karena itu, dapat diputuskan bahwa instrumen RPP untuk kelompok kontrol tidak

akan direvisi atau mengalami perbaikan, sehingga RPP bisa langsung digunakan

dalam penelitian.

2. Validasi soal tes hasil belajar

Validasi untuk soal tes hasil belajar dianalisis untuk dicari kategorinya

berdasarkan kriteria pada tabel 3.4. Validasi terdiri dari 8 komponen (aspek yang

diamati) dengan rentang skor 1 – 4. Validasi soal tes hasil belajar ini dilakukan

oleh 3 ahli yang dipilih oleh peneliti, yaitu dosen yang berkompeten dibidang

matematika dan dua guru kelas V SD Negeri Nanggulan yang tentunya mengenali

tingkat kemampuan siswa-siswi di kelas V, sehingga diharapkan soal dapat


disusun sesuai dengan tingkat kemampuan siswa. Hasil validasi soal tes hasil

belajar oleh tiga ahli yang dipilih oleh peneliti dapat dilihat pada tabel 3.11 di

bawah ini :

Tabel 3.11

Hasil Validasi soal Tes Hasil BelajarTabel 3.11menunjukkan skor rata-rata semua komponen penilaian yang

diperoleh dari 3 ahli. Skor rata-rata yang diperoleh dari ahli 1 sampai 3 sudah

lebih dari kriteria penilaian. Ahli 1 dan 2 tidak memberikan komentar, namun ahli

1 melakukan pembenaran tulisan pada kata “apotik” menjadi “apotek” dan ahli 2

memberikan tanda centang (√) pada soal nomor 3. Ahli 3 memberikan komentar

pada pada kolom saran, sebagai berikut “Perhatikan kalimat soal nomor 1 (sudah

diberi contoh)” dan juga melakukan perbaikan pada rumusan kalimat nomor 1.

Oleh karena itu, dapat diputuskan bahwa instrumen soal tes hasil belajar akan

direvisi mengenai penulisan kata “apotik” dan mengubah rumusan kalimat soal

nomor 1 sesuai yang dicontohkan oleh ahli 3.

3.7.1.2 Validitas Konstruk

Instrumen yang telah diujicobakan melalui validitas isi kemudian akan

diujicobakan menggunakan uji empiris atau konstruk. Validitas konstruksi

digunakan untuk mengukur kesesuaian setiap butir soal dengan indikator

(Arikunto, 2012: 83). Validitas konstruk dilakukan melalui uji empiris atau

pengalaman. Validitas konstruk dilakukan kepada siswa kelas VI( A – B) SD

Negeri Nanggulan. Hal ini dilakukan karena penelitian ini masuk dalam tahun

ajaran baru sehingga materi pengukuran jarak, waktu, dan kecepatan sudah pernah
dipelajari siswa kelas V yang secara otomatis sekarang berada di kelas VI.

Sehingga diasumsikan bahwa siswa telah memiliki pengetahuan mengenai materi

ini dan dapat mengerjakan soal tersebut.Instrumen soal tes hasil belajar terdiri dari

7 soal uraian yang diturunkan dari 3 indikator tentang materi pengukuran jarak, waktu, dan kecepatan. Setelah diujikan, soal dihitung validitasnya dengan

menggunakan rumus korelasi dari Pearson (Arikunto, 2012: 85). Uji validitas

konstruksidalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan program komputer IBM

SPSS Statistics 23 for windowsdengan tingkat kepercayaan 95%. Penggunaan

program ini dimaksudkan agar lebih efektif dan efisein serta meminimalisir

human eror. Penentuan valid atau tidaknya aitem dengan menggunakan kriteria:

bila harga rhitung> rtabel atau jika harga Sig. (2-tailed)< 0,05 maka instrumen

dikatakan valid. Jika harga Sig. (2-tailed)> 0,05 maka instrumen dikatakan tidak

valid (Sugiyono, 2011: 174). Menurut Sugiyono (2008: 373), rtabel untuk jumlah

responden 31 dengan taraf signifikansi 5% adalah 0,355. Hasil perbandingan rhitung

dengan rtabeldapat dilihat pada tabel 3.12.

Tabel 3.12

Hasil validitas konstruk menggunakan SPSS untuk soal pre-testTabel 3.12 menunjukkan bahwa semua soal pre-test termasuk dalam kategori

valid. Hal ini dapat dilihat dari 7 soal yang diujikan memiliki nilai rhitung lebih dari

rtabel(0,355). Pada uji validitas ini tidak ada aitem soal yang tereleminasi, sehingga

semua aitem soal dapat digunakan untuk penelitian terkait hasil belajar siswa.

sedangkan, hasil validitas soal post-test dapat dilihat pada tabel 3.13 di bawah ini:Tabel 3.13

Hasil validitas konstruk menggunakan SPSS untuk soal post-test

No.
Item

rhitung

rtabel

Keterangan

0,420

0,355

Valid

0,515

0,355

Valid

0,374

0,355

Valid

0,548

0,355

Valid

0,680
0,355

Valid

0,756

0,355

Valid

0,554

0,355

Valid

Tabel 3.13 menunjukkan bahwa semua soal post-test termasuk dalam kategori

valid. Hal ini dapat dilihat dari 7 soal yang diujikan memiliki nilai rhitung lebih dari

rtabel(0,355). Pada uji validitas ini tidak ada aitem soal yang tereleminasi, sehingga

semua aitem soal dapat digunakan untuk penelitian terkait hasil belajar siswa.

3.7.2 Reliabilitas

Suatu tes dikatakan reliabel atau memiliki tingkat kepercayaan jika

memberikan ketetapan hasil (Arikunto, 2012: 100). Sedangkan, Setyosari (2010:

180) mengungkapkan bahwa reliabilitas instrumen menunjukkan berapa kali pun

data tersebut diambil, maka akan memberikan hasil yang sama atau konsisten dan

adanya keterandalan suatu tes.

Dalam penelitian ini, setelah peneliti menghitung nilai validitas maka

selanjutnya peneliti akan menghitung reliabilitas menggunakan rumus alpha


Cronbach (dalam Ghozali, 2009: 46). Pengujian reliabilitas dilakukan pada

seluruh aitem soal (7 butir) karena ketujuh aitem soal tersebut telah lolos uji

validitas. Peneliti menggunakan rumus ini karena insrumen tes yang digunakan

dalam penelitian ini berupa soal uraian. Dalam melakukan pengujian ini, peneliti

menggunakan program kompter IBM SPSS Statistics 23 forWindowsuntuk

efektifitas dan efesiensi perhitungan serta meminimalisir human eror. Di mana reliabilitas soal dapat diketahui dengan melihat rumus Cronbach’s Alpha dalam

output SPSS 23. Instrumen dikatakan reliabel jika nilai Alpha Cronbach > 0,60

(Trihendradi, 2013: 195). Berikut ini perhitungan reliabilitas dengan

menggunakan IBM SPSS Statistics 23 for Windows dengan rumus Alpha

Cronbachuntuk 7 soal valid.

Tabel 3.14

Hasil Perhitungan Reliabilitas Soal Pre-test

Reliability Statistics

Cronbach's Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items

N of Items

,827

,841

Tabel 3.14 memperlihatkan hasil uji reliabilitas untuk soal uraian (pre-test)

adalah sebesar 0,827. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa instrumen


soal uraian masuk dalam kategori reliabel, karena 0,827 > 0,60 sehingga layak

digunakan sebagai instrumen untuk pengumpulan data.

Tabel 3.15

Hasil Perhitungan Reliabilitas Soal Post-test

Reliability Statistics

Cronbach's

Alpha

Cronbach's Alpha Based on

Standardized Items

N of Items

,810

,809

Tabel 3.15 memperlihatkankan hasil uji reliabilitas untuk soal uraian (posttest) adalah sebesar 0,810. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa

instrumen soal uraian masuk dalam kategori reliabel karena 0,810 > 0,60 sehingga

layak digunakan sebagai instrumen untuk pengumpulan data.

3.8 Teknik Analisis Data

Seluruh analisis statistik pada penelitian ini menggunakan program komputer

IBM SPSS Statistics 23 for Windows dengan tingkat kepercayaan 95%. Analisis

data ini digunakan untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan penelitian ini, yaitu mengetahui pengaruh model pembelajaran Problem Based Learning

terhadap hasil belajar matematika siswa kelas V SD Negeri Nanggulan. Analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi beberapa langkah, yaitu:
3.8.1 Uji Asumsi

3.8.1.1 Uji Normalitas Data

Uji normalitas data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

analisis statistik non-parametrik yaitu dengan uji Kolmogorov-Smirnov.

Penggunaan teknik ini bertujuan untuk mengetahui data dalam penelitian

memiliki distribusi normal atau tidak. Hasil uji ini dapat digunakan sebagai acuan

untuk menentukan jenis statistik yang akan digunakan untuk menganalisis data

selanjutnya (Priyatno: 2012: 132). Berikut adalah kriteria dalam KolmogorovSmirnov (Margono, 2003: 195):

a. Jika harga Sig. (2-tailed) atau P ˃ 0,05, maka distribusi data normal. Jika data

normal, maka teknik statistik yang digunakan adalah statistik parametrik uji t

(t-test) atau One-Way ANOVA.

b. Jika harga Sig. (2-tailed) atau P < 0,05, maka distribusi data tidak normal.

Jika data tidak normal, maka teknik statistik yang digunakan adalah statistik

non-parametrik Mann-Whitney, Wilcoxom, atau Kruskal-Wallis.

3.8.1.2 Uji Homogenitas

Data pre-test yang diperoleh dari penelitian kemudian dianalisis dan diuji

homogenitas menggunakan Lavene’s test. Uji homogenitas adalah pengujian

mengenai varian dan dilakukan untuk mengetahui apakah antara kedua kelompok

sampel memiliki variansi yang sama atau tidak (heterogen) (Nisfiannoor, 2009: 92). Data yang diharapkan adalah homogen. Hipotesis untuk uji homogenitas skor

pre-test adalah:

H0 : Tidak ada perbedaan varian antara skor pre-test kelompok kontrol dan skor

pre-test kelompok eksperimen atau skor pre-test kedua kelompok homogen.


Hi : Ada perbedaan varian antara skor pre-test kelompok kontrol dan skor pre-test

kelompok eksperimen atau skor pre-test kedua kelompok tidak homogen.

Adapun dasar pengambilan keputusan dalam uji homogenitas adalah (Hamdi

& Bahruddin, 2014: 119):

a. Jika nilai signifikansi > 0,05, maka H0 diterima dan Hi ditolak, artinya tidak

ada perbedaan varian antara skor pre-test kelompok kontrol dan skor pre-test

kelompok eksperimen.

b. Jika nilai signifikansi < 0,05, maka H0 ditolak dan Hi diterima, artinya ada

perbedaan varian antara skor pre-test kelompok kontrol dan skor pre-test

kelompok eksperimen.

3.8.1.3 Uji perbedaan Kemampuan Awal

Uji perbedaan kemampuan awal (uji perbandingan skor pre-test) dilakukan

dengan menganalisis skor pre-test dari kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol. Uji perbandingan skor pre-test ini dilakukan untuk mengetahui apakah

kedua kelompok memiliki kemampuan dasar yang sama, sehingga dimungkinkan

dapat dilakukan pembandingan. Langkah ini juga digunakan untuk memastikan

bahwa kedua kelompok memiliki kemampuan sama atau setara pada kondisi awal

yaitu sebelum diadakan perlakuan (treatment). Teknik analisi data yang

digunakan adalah statistik parametrik Independent sampel t-test untuk distribusi

normal dan statistik non-parametrik Mann-Whitney U test untuk distribusi data tidak normal. Analisis data dilakukan dengan tingkat kepercayaan 95% dan

analisis data menggunakan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Tidak ada perbedaan rata-rata skor pre-test antara kelompok kontrol dengan
kelompok eksperimen. Dengan kata lain kemampuan kedua kelompok

tersebut ialah sama.

Hi

: Ada perbedaan rata-rata skor pre-test antara kelompok kontrol dengan

kelompok eksperimen. Dengan kata lain kemampuan kedua kelompok

tersebut ialah tidak sama.

Berikut ini adalah kriteria yang digunakan dalam penelitian ini (Sarwono dan

Suhayati, 2010: 78):

a. Jika harga Sig. (2-tailed) ˃ 0,05, maka H0 diterima dan Hi ditolak. Artinya

tidak ada perbedaan rata-rata skor pre-test antara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Dengan kata lain kedua kelompok (eksperimen dan

kontrol) memiliki kemampuan awal yang sama.

b. Jika harga Sig. (2-tailed) < 0,05, maka H0 ditolak dan Hi diterima. Artinya

ada perbedaan rata-rata skor pre-test antara kelompok eksperimen dan

kelompok kontrol. Dengan kata lain kedua kelompok (eksperimen dan

kontrol) memiliki kemampuan awal yang berbeda.

Kondisi yang diharapkan ialah apabila tidak ada perbedaan rata-rata skor pretest (perbedaan kemampuan awal) yang signifikan dari kedua kelompok, yaitu

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Sehingga kedua kelompok tersebut

dapat dibandingkan (compareable).3.8.2 Uji Pengaruh Perlakuan

3.8.2.1 Uji Selisih Skor Pre-test dan Post-test

Perhitungan selisih skor dilakukan dengan cara mengurangkan hasil skor

post-test dengan pre-test pada masing-masing kelompok , secara rumus yaitu: (O2
– O1) – (O4 – O3). Kemudian selisih skor dari kedua kelompok tersebut diuji

statistik. Apabila data yang diperoleh merupakan data yang berdistribusi normal,

maka analisis datanya menggunakan parametrik uji t atau t – test. Sedangkan

apabila datanya tidak berdistribusi normal, maka analisis datanya menggunakan

analisis non parametrik Mann-Whitney. Hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : Tidak ada perbedaan yang signifikan antara selisih skor pre-test – post-test

pada kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dengan kata

lain,penggunaan model pembelajaran problem based learning tidak

berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar siswa.

Hi : Ada perbedaan yang signifikan antara selisih skor pre-test – post-testpada

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dengan kata lain,penggunaan

model pembelajaran problem based learning berpengaruh secara signifikan

terhadap hasil belajar siswa.

Kriteria yang digunakan untuk menarik kesimpulan yaitu:

a. Jika harga Sig. (2-tailed) ˃ 0,05, H0 diterima dan Hiditolak.Artinya tidak ada

perbedaan yang signifikan antara selisih skor pre-test – post-test di kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan kata lain, penggunaan model

pembelajaran problem based learning tidak berpengaruh secara signifikan

terhadap hasil belajar siswa. b. Jika harga Sig. (2-tailed) <0,05, H0 ditolak dan Hiditerima.Artinya ada

perbedaan yang signifikan antara selisih skor pre-test – post-test di kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Dengan kata lain, penggunaan model

pembelajaran problem based learning berpengaruh secara signifikan terhadap


hasil belajar siswa.

Hasil analisi ini digunakan untuk menarik kesimpulan berdasarkan hipotesis

sehingga dapat diketahui apakah hasil tersebut menyetujui atau menolak hipotesis.

3.8.3 Analisis Lebih Lanjut

3.8.3.1 Uji Peningkatanskor Pre-test ke Post-test

Uji peningkatan pre-test ke post-test digunakan untuk memastikan apakah

ada kenaikan skor yang signifikan atau tidak pada kelompok kontrol dan

eksperimen dengan membandingkan hasil skor pre-test ke post-test dimasingmasing kelas. Teknik analisis data yang digunakan adalah statistik parametrik

paired sampel t-test untuk distribusi normal dan statistik non-parametrik Wilcoxon

untuk distribusi data tidak normal. Pengujian ini dengan menggunakan tingkat

signifikansi 95% (Prayitno, 2008:101). Hipotesis statistik yang digunakan:

H0 : Tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor pre-test dan post-test pada

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dengan kata lain tidak ada

kenaikan yang signifikan antara skor pre-test ke post- test.

Hi

: Ada perbedaan yang signifikan antara skor pre-test dan post-test pada

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen. Dengan kata lain ada

kenaikan yang signifikan antara skor pre-test ke post- test.

Kriteria yang digunakan untuk menarik kesimpulan adalah sebagi berikut

(Yulius, 2010:82):a. Jika harga Sig. (2-tailed) ˃ 0,05, maka H0 diterima dan Hi ditolak. Artinya

tidak ada perbedaan yang signifikan antara skor pre-test dan post-test pada

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.


b. Jika harga Sig. (2-tailed) < 0,05, maka H0 ditolak dan Hi diterima. Artinya

ada perbedaan yang signifikan antara skor pre-test dan post-test pada

kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

Perhitungan presentase (%) peningkatan skor pre-test ke post- test

menggunakan rumus sebagai berikut:

Gambar 3.3 rumus mencari % peningkatan

3.8.3.2 Uji Besarnya Pengaruh Perlakuan (effect size)

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh model

pembelajaran yang digunakan pada kelompok kontrol dengan kelompok

eksperimen. Berikut ini adalah rumus yang digunakan untuk menemukan

besarnya pengaruh model pembelajaran PBL dengan distribusi data normal (Field,

2009:57):

Gambar 3.4 Rumus mencari effect size data normal

Keterangan:
r = effect size dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson

t = harga uji t

df = harga drajad kebebasanJika distribusi data tidak normal, maka menggunakan rumus (Field, 2009:550)

Gambar 3.5 rumus mencari effect size data tidak normal

Keterangan:

r = effect size dengan menggunakan koefisien korelasi Pearson

Z = Harga konversi dari standar deviasi (dari SPSS uji Wilcxon)

N = Jumlah total observasi (2x jumlah siswa)

Untuk menghitung presentase pengaruh digunakan koefisien determinasi (R2

dengan rumus:

Gambar 3.6 Rumus mencari presentase pengaruh

Kriteria yang digunakan :

a. Jika r = ≤ 0,10, maka dapat dikatakan efek yang dimiliki kecil atau setara

dengan 1% pengaruh yang diakibatkan oleh variabel indepenen (PBL).

b. Jika r = ≤ 0,30, maka dapat dikatakan efek yang dimiliki menegah atau

setara dengan 9% pengaruh yang diakibatkan oleh variabel indepenen

(PBL).

c. Jika r = ≤ 0,50, maka dapat dikatakan efek yang dimiliki besar atau

setaradengan 25% pengaruh yang diakibatkan oleh variabel indepenen


(PBL).

Anda mungkin juga menyukai