Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS KEMAMPUAN LITERASI NUMERIS

DALAM PEMECAHAN MASALAH KALKULUS


INTEGRAL DITINJAU DARI GAYA BELAJAR DAN
KEMANDIRIAN BELAJAR MAHASISWA

Tugas Matakuliah Metodologi Penelitian

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Sukestiyarno, YL, MS, Ph.D/Prof. Dr. Kartono, M. Si

Oleh
Nurina Kurniasari Rahmawati
0401620004

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA


PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Matematika dalam dunia pendidikan merupakan mata pelajaran wajib yang
dikenalkan pada siswa. Matematika dipelajari mulai dari pendidikan tingkat dasar
bahkan sampai pendidikan tinggi. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya
mempelajari matematika. Belajar matematika dapat membuat seseorang mampu
memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi. Belajar matematika juga
membuat seseorang lebih teliti, cermat dan tidak ceroboh. Selain itu, belajar
matematika juga dapat melatih cara berpikir dan melatih kesabaran seseorang.
Menyadari akan pentingnya matematika, telah banyak dilakukan upaya
peningkatan kualitas pembelajaran matematika di sekolah. Namun hasil belajar
yang diperoleh siswa belum menampakkan hasil yang sesuai dengan harapan
(Rahmawati, 2014).
Matematika dipelajari di perguruan tinggi, bahkan pada Program Studi
selain Matematika, seperti di PGSD, PKN, Prodi Bahasa Inggris, PAUD, dan
POR. Di prodi Pendidikan matematika sendiri, tidak banyak mahasiswa yang
memperoleh IPK memuaskan di setiap semesternya. Begitu juga dengan mata
kuliah kalkulus Integral, dalam satu kelas, hanya sekitar 20% yang memperoleh
nilai A, 80% yang lain memperoleh nilai B, C bahkan ada juga yang memperoleh
nilai D. Kalkulus merupakan mata kuliah dasar yang harus dipelajari dan
merupakan salah satu syarat untuk bias mempelajari mata kuliah selanjutnya di
semester atas. Jika mahasiswa ingin mempelajari mata kuliah di atasnya,
mahasiswa harus sudah menguasai kalkulus Integral, namun pada kenyataannya
kebanyakan mahasiswa masih sedikit kesulitan dalam mempelajari mata kuliah
kalkulus Integral tersebut. Kebanyakan mahasiswa mengalami kesulitan ketika
mengerjakan soal kalkulus integral terutama jika tidak disebutkan teknik apa yang
diminta. Dan kebanyakan mahasiswa sulit membedakan jenis integral substitusi,
parsial, integral fungsi rasional dan sebagainya. Dalam memecahkan masalah
kalkulus integral diperlukan ketelitian, kesabaran, dan semangat pantang

2
menyerah. Kemampuam pemecahan masalah mahasiswa harus terus diasah agar
diperoleh hasil belajar yang baik.
Dalam’Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics,
NCTM (2000) menempatkan problem solving (pemecahan masalah) sebagai visi
utama pendidikan matematika disamping penalaran, komunikasi, dan koneksi.
Problem Solving merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan beberapa
operasi kognitif seperti mengumpulkan dan menyeleksi informasi, strategi
heuristik dan metakognisi. Ada dua keterampilan metakognitif penting dalam
problem solving yaitu monitoring diri dan perencanaan. Yadnya dkk (2020)
menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa sangat diperlukan
dalam menyelesaikan pertanyaan yang berisi masalah, seperti permasalahan atau
soal-soal matematika. Soemarmo & Hendrina (2014) mengatakan bahwa
penugasan matematika dapat dikatakan sebagai masalah matematika jika tidak
dapat menemukan jalan keluarnya, tetapi melalui kegiatan lain yang relevan.
Kemampuan pemecahan masalah diperlukan agar dapat mencari solusi dari
suatu permasalahan matematika yang diberikan. Arwizet dan Saputra (2019)
menyatakan bahwa tantangan dalam dunia pendidikan di era ini adalah bagaimana
mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak kelak diganti dengan mesin.
Saat ini, banyak pekerjaan rutin dan harian telah diambil alih oleh mesin. Di masa
depan, pekerjaan yang masih belum bisa diambil alih oleh mesin dan robot adalah
pekerjaan yang membutuhkan kemampuan menganalisis, membuat keputusan,
berkolaborasi, dan berkomunikasi untuk melakukannya.
Anwarudin (2019) mengatakan bahwa proses pembelajaran bertujuan untuk
memberikan pengaruh atau dampak pada tahap penerapan berupa pemecahan
masalah, penggabungan, pemisahan, dan persiapan antar konsep. Siswa di sekolah
dasar mampu menyelesaikan masalah dengan bimbingan atau dukungan orang
lain yang disebut scaffolding. Scaffolding bisa berupa pertanyaan, stimulus,
pengingat, dan langkah kecil. ArianaI M, HasbiM, dan Sukayasa (2016) berpendapat
bahwa “pengetahuan dan keterampilan yang terjadi dalam diri siswa dalam
kegiatan belajarnya dan mempengaruhi pencapaian aspek kognitif disebut
metakognisi. Pengetahuan yang berkaitan dengan penerjemahan makna dan

3
penerapan sesuatu, langkah-langkah dalam melakukan sesuatu, dan kombinasi
beberapa pengertian dan aplikasinya dalam menyelesaikan sesuatu merupakan
domain metakognisi.
Polya (2014) menyarankan empat langkah pemecahan masalah yakni
memahami masalah, merencanakan pemecahan, melaksanakan rencana, dan
melihat kembali. Menurut National Council of Teachers of Mathematics (1989)
indikator kemampuan pemecahan masalah adalah sebagai, (a) mengidentifikasi
unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan; (b) merumuskan masalah matematik atau menyusun model
matematika; (c) menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah
(sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika; (c) menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; (d) menggunakan matematika
secara bermakna. Hasil sintesis indikator pemecahan masalah yang digunakan
dalam penelitian ini dapat disajikan sebagai; (a) memahami masalah; (b) memilih
rencana strategi pemecahan masalah secara tepat; (c) menyelesaikan masalah
menggunakan konsep matematika yang benar; (d) verifikasi dan intepretasi hasil
dengan tepat.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah mahasiswa disebabkan oleh
faktor kesulitan dalam memahami kalimat-kalimat dalam soal, mahasiswa tidak
dapat membedakan informasi yang diketahui dan permintaan soal, mengalami
kesulitan dalam menggunakan pengetahuan yang diketahui, lemahnya strategi
dalam mengubah kalimat cerita menjadi kalimat metematika, dan menggunakan
cara-cara yang berbeda-beda dalam merencanakan penyelesaian suatu masalah.
Salah satu keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam pembelajaran
matematika adalah kemampuan literasi numeris gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas hal atau masalah. Soal matematika
yang dihadapi mahasiswa seringkali tidak mudah dicari solusinya, sedangkan
mahasiswa diharapkan untuk dapat menyelesaikan soal tersebut. Oleh sebab itu
mahasiswa perlu memiliki keterampilan berpikir agar dapat menemukan cara yang
tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

4
Untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa bisa dengan meningkatkan
kemampuan literasi mahasiswa. Salah satu literasi yang berperan terhadap
peningkatan pengetahuan matematika mahasiswa itu adalah kemampuan literasi
numerasi. Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a) bisa
memperoleh, menginterpretasikan, menggunakan, dan mengomunikasikan
berbagai macam angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah
praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari; (b) bisa
menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel,
bagan, dsb.) untuk mengambil keputusan (Atmazaki, dkk, 2017).
Setiap mahasiswa memiliki keunikan pribadi yang berbeda dengan
mahasiswa yang lainnya. Setiap mahasiswa berbeda dalam tingkat kinerja,
kecepatan belajar, dan gaya belajar. Perbedaan cara belajar ini menunjukkan cara
termudah mahasiswa untuk menyerap informasi selama belajar. Cara termudah
dan tercepat seseorang dalam belajar dikenal sebagai gaya belajar (Hamzah,
2010). Prashign (2007) mengatakan bahwa kunci menuju keberhasilan dalam
belajar dan bekerja adalah mengetahui gaya belajar atau bekerja yang unik dari
setiap orang, menerima kekuatan sekaligus kelemahan diri sendiri dan sebanyak
mungkin menyesuaikan preferensi pribadi dalam setiap situasi pembelajaran,
pengkajian maupun pekerjaan. Dengan demikian, gaya belajar merupakan kunci
keberhasilan siswa dalam belajar. Di dalam mengikuti proses pembelajaran, setiap
mahasiswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda antara mahasiswa yang satu
dengan yang lainnya. Dosen dalam mengajar harus memperhatikan gaya belajar
mahasiswa. Ini dikarenakan dalam setiap mengajar efektifitasnya akan sangat
bergantung pada cara atau gaya belajar mahasiswa, disamping sifat pribadi dan
kemampuan intelektualnya.
Gaya belajar dari mahasiswa bisa diamati dari kecerdasan majemuk yang
mereka miliki dan setiap mahasiswa memiliki kecerdasan masing-masing yang
lebih dominan. Pentingnya dosen mengetahui gaya belajar seluruh mahasiswanya
didasarkan pada kurang efektifnya pembelajaran di kelas. Musrofi (dalam Pratiwi,
2014) mengatakan hanya 30% mahasiswa yang berhasil mengikuti pembelajaran
di kelas karena mereka mempunyai gaya belajar yang sesuai dengan gaya

5
mengajar yang diterapkan dosen di dalam kelas. Sisanya, sebanyak 70%
mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran di kelas karena
mereka memiliki gaya belajar lain, yang tidak sesuai dengan gaya mengajar yang
diterapkan di dalam kelas. Artinya, 70% gaya mahasiswa tidak terakomodasi oleh
gaya mengajar dosen dalam pembelajaran. Kekurang pahaman dosen terhadap
gaya belajar mahasiswa berdampak merugikan mahasiswa. Hal ini akan
mengakibatkan prestasi belajar mahasiswa tidak sesuai dengan taraf kemampuan
inteligensi mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu, dosen harus mengetahui dan
mengenal gaya belajar setiap mahasiswa sehingga bisa mempermudah proses
pembelajaran.
Penelitian yang dilakukan Buali, Balaha & Muhaidab (2013) menghasilkan
ada perbedaan yang signifikan gaya belajar antara siswa laki-laki dan siswa
perempuan. Siswa laki-laki lebih cenderung gaya belajar konvergen, sedangkan
siswa perempuan lebih cenderung gaya belajar divergen. Selain itu, Yazici (2005)
dalam penelitiannya tentang bagaimana gaya belajar siswa dalam belajar dalam
kinerja tim belajar menemukan bahwa gaya belajar dipengaruhi oleh pengalaman
belajar, jenis kelamin, dan bidang studi yang diminatinya. Hasil penelitian lain
yang dilakukan oleh Johnson & Miller (2010) yaitu gaya belajar mahasiswa
ditentukan oleh karakteristik bidang ilmu yang diambilnya. Mahasiswa yang
belajar di disiplin ilmu fisika, matematika, dan kimia lebih cenderung untuk
memiliki gaya belajar visual. Gaya belajar merupakan cara yang dipilih seseorang
untuk menggunakan kemampuannya (Santrock, 2010). Keefe (dalam Sugihartono,
dkk, 2007) menyatakan bahwa gaya belajar berhubungan dengan cara anak
belajar, serta cara belajar yang disukai. Sebagai cara yang disukai, maka
mahasiswa akan sering menggunakan dan merasa mudah ketika belajar dengan
gaya tersebut. Masing-masing mahasiswa akan merasakan gaya belajar mudah
yang berbeda-beda.
Setiap mahasiswa memiliki gaya belajar yang berbeda seperti yang dikatakan
oleh Hamzah (2010) bahwa apa pun cara yang dipilih, perbedaan gaya belajar
menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap individu untuk bisa menyerap
sebuah informasi dari luar dirinya. Menurut De Poter & Hernacki (1999),

6
menjelaskan secara umum gaya belajar manusia dibedakan ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar
kinestetik. Gaya belajar visual adalah gaya belajar dengan cara melihat,
mengamati, memandang, dan sejenisnya. Kekuatan gaya belajar ini terletak pada
indera penglihatan. Bagi orang yang memiliki gaya ini, mata adalah alat yang
paling peka untuk menangkap setiap gejala atau stimulus (rangsangan) belajar.
Ciri-Ciri individu yang memiliki tipe gaya belajar visual yaitu menyukai kerapian
dan ketrampilan, jika berbicara cenderung lebih cepat, suka membuat perencanaan
yang matang untuk jangka panjang, sangat teliti sampai ke hal-hal yang detail
sifatnya, mementingkan penampilan baik dalam berpakaian maupun presentasi,
lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar, mengingat
sesuatu dengan penggambaran (asosiasi) visual, tidak mudah terganggu dengan
keributan saat belajar, pembaca yang cepat dan tekun, lebih suka membaca sendiri
dari pada dibacakan orang lain, tidak mudah yakin atau percaya terhadap setiap
masalah sebelum secara mental merasa pasti, suka mencoret-coret tanpa arti
selama berbicara di telepon atau dalam rapat, lebih suka melakukan pertunjukan
(demonstrasi) daripada berpidato, lebih menyukai seni daripada musik, seringkali
mengetahui apa yang harus dikatakanakan tetapi tidak pandai memilih kata-kata,
serta kadang-kadang suka kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin
memperhatikan.
Gaya belajar auditorial adalah gaya belajar dengan cara mendengar. Individu
dengan gaya belajar ini, lebih dominan dalam menggunakan indera pendengaran
untuk melakukan aktivitas belajar. Individu mudah belajar, mudah menangkap
stimulus atau rangsangan apabila melalui alat indera pendengaran (telinga).
Individu dengan gaya belajar auditorial memiliki kekuatan pada kemampuannya
untuk mendengar. Ciri-Ciri individu yang memiliki tipe gaya belajar audiotorial
yaitu saat bekerja sering berbicara pada diri sendiri, mudah terganggu oleh
keributan atau hiruk pikuk disekitarnya, sering menggerakkan bibir dan
mengucapkan tulisan dibuku ketika membaca, senang membaca dengan keras dan
mendengarkan sesuatu, dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama,
dan warna suara dengan mudah, merasa kesulitan untuk menulis tetapi mudah

7
dalam bercerita, pembicara yang fasih, lebih suka musik daripada seni yang
lainnya, lebih mudah belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusikan daripada yang dilihat, suka berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan
sesuatu dengan panjang lebar, dan lebih pandai mengeja dengan keras daripada
menuliskannya.
Gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar dengan cara bergerak, bekerja,
dan menyentuh. Maksudnya ialah belajar dengan mengutamakan indera perasa
dan gerakan-gerakan fisik. Individu dengan gaya belajar ini lebih mudah
menangkap pelajaran apabila bergerak, meraba, atau mengambil tindakan. Ciri-
ciri individu yang memiliki tipe gaya belajar kinestetik yaitu berbicara dengan
perlahan, menyentuh untuk mendapatkan perhatian, berdiri dekat ketika berbicara
dengan orang, selalu berorientasi dengan fisik dan banyak bergerak, menghafal
dengan cara berjalan dan melihat, menggunakan jari sebagai penunjuk ketika
membaca, banyak menggunakan isyarat tubuh, tidak dapat duduk diam untuk
waktu lama, memungkinkan tulisannya jelek, ingin melakukan segala sesuatu, dan
menyukai permainan yang menyibukkan.
Berkaitan dengan kemandirian belajar dalam matematika, pada umumnya
peserta didik masih memiliki kemandirian belajar yang rendah. Dari hasil studi
yang dilakukan (Runisah, 2015) yang melibatkan 150 orang peserta didik kelas
VIII dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar dalam matematika masih
rendah. Skor rata-rata peserta didik hanya mencapai 112 dari skor maksimal ideal
200 dan skor tertinggi hanya mencapai 146. Dengan demikian rata-rata skor
kemandirian belajar peserta didik hanya 56,2% dari skor maksimal ideal yang
masih tergolong rendah. Kemandirian belajar dapat diartikan sebagai pengaturan
diri dalam memonitor pemahamannya terhadap informasi dan bahan yang
diperoleh sehingga dapat merancang tujuan serta memilih strategi yang tepat. Hal
senada diungkapkan oleh Schunk dan Zimmerman (dalam arslan, 2014) yaitu
kemandirian belajar digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami dan
mengendalikan lingkungan belajar, dalam hal ini pribadi harus menentukan tujuan
dari pembelajaran, memilih strategi yang akan membantu tercapainya tujuan,
menerapkan startegi dan memantau kemajuan sehingga tercapaianya tujuan

8
tersebut. (Lyn, Cuskelly, O’Callaghan dan Grey, 2011) mendefenisikan
kemandirian belajar merupakan pengaturan kognisi dan perilaku yang merupakan
aspek penting dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik yang memiliki
kemandirian belajar pada proses pembelajarannya akan mempengaruhi
keberhasilan akademis. (Montelvo dan Torres, 2008) memberikan pengertian
kemandirian belajar yaitu gabungan antara keterampilan dan kemauan.
Berdasarkan laporan dari kegiatan pembelajaran selama ini diperoleh bahwa
pasifnya peserta didik pada saat proses pembelajaran, selalu bertanya kepada
pendidik/teman dalam menyelesaikan soal-soal matematika tanpa mencoba
menyelesaikan sendiri terlebih dahulu, tidak terlihat adanya keinginan
mendiskusikan materi matematika yang sukar dipahami, kurangnya keberanian
dan percaya diri menyelesaikan soal matematika di depan kelas.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah, berikut adalah identifikasi masalahnya.
1. Hasil belajar mahasiswa masih tergolong rendah, terutama pada mata kuliah
kalkulus integral
2. Mahasiswa kesulitan dalam menentukan jenis-jenis integral
3. Mahasiswa kesulitan dalam menentukan teknik penyelesaian masalah integral
4. Pentingnya kemampuan literasi numeris mahasiswa dalam belajar matematika
5. Tingkat kemampuan pemecahan masalah mahasiswa dalam pembelajaran
matematika yang masih rendah
6. Bervariasinya gaya belajar mahasiswa

1.3 Cakupan Masalah


Cakupan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Aspek kognitif yang diteliti adalah kemampuan literasi numeris mahasiswa
dalam memecahkan masalah kalkulus integral
2. Aspek afektif yang diteliti adalah gaya belajar dan kemandirian belajar
mahaiswa
3. Penelitian ini dilakukan pada mahasiswa semester III, STKIP Kusuma
Negara Jakarta

9
4. Mata kuliah yang diteliti adalah kalkulus integral

1.4 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah proses
kemampuan literasi numeris mahasiswa dalam pemecahan masalah kalkulus
integral ditinjau dari gaya belajar dan kemandirian mahasiswa?

1.5 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah proses
kemampuan literasi numeris dalam pemecahan masalah kalkulus integral ditinjau
dari gaya belajar dan kemandirian belajar mahasiswa

1.6 Manfaat Penelitian


Dalam penelitian ini terdapat dua manfaat, yaitu secara teoritis dan secara
praktis. Berikut adalah penjabaran dari masing-masing manfaat tersebut.
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat melengkapi khasanah pada proses
pembelajaran matematika terutama yang berkaitan dengan kemampuan literasi
numeris dalam pemecahan masalah kalkulus integral ditinjau dari gaya belajar
dan kemandirian belajar mahasiswa.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Mahasiswa
Melalui penelitian ini diharapkan mahasiswa dapat memperluas
wawasan tentang bagaimana proses kemampuan literasi numeris dalam
pemecahan masalah kalkulus integral ditinjau dari gaya belajar dan
kemandirian belajar mahasiswa.
b. Bagi Dosen
Melalui penelitian ini diharapkan dosen dapat membuka
pengetahuannya untuk menyikapi proses kemampuan literasi numeris dalam
pemecahan masalah kalkulus integral ditinjau dari gaya belajar dan
kemandirian belajar mahasiswa.

10
c. Bagi Kampus
Melalui penelitian ini diharapkan kampus dalam hal ini ketua Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan pemegang otoritas di kampus
dapat memperoleh informasi atau kajian baru sebagai masukan atau bahan
pertimbangan dalam memberikan fasilitas atau penyediaan pelayanan
terhadap mahasiswa terkait pada proses kemampuan literasi numeris dalam
pemecahan masalah kalkulus integral ditinjau dari gaya belajar dan
kemandirian belajar mahasiswa.

11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Teori

2.1.1 Literasi Numeris

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa konsep "bilangan" relatif tidak


bergantung pada keterampilan linguistik, meskipun semakin banyak penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan bahasa mungkin memainkan peran penting
dalam pengembangan keterampilan aritmatika. Kondisi bilingualisme dapat
menawarkan perspektif yang unik tentang peran kompetensi linguistik dalam
perkembangan numerik. Bahasa memainkan peran setidaknya dalam beberapa
aspek kognisi numerik; Secara khusus, tampaknya pemrosesan verbal adalah
kondisi yang diperlukan untuk representasi kognitif yang tepat dari sejumlah
besar pengaruh keterampilan fonologis mungkin dimediasi oleh usia anak-anak,
yang menunjukkan bahwa itu tidak konstan sepanjang perkembangan. Salah satu
faktor non-matematika lain yang mungkin berperan dalam perkembangan
matematika adalah amplitudo leksikal (kosakata), yang diperlukan untuk
memahami istilah bahasa tertentu yang digunakan dalam instruksi khusus, dan
sangat terlibat dalam pemecahan.

Pemahaman instruksi dan pemecahan masalah juga melibatkan pemahaman


morfosintaktik, yang mendapat sedikit perhatian dalam analisis hubungan antara
bahasa dan matematika. Literasi numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan
individu untuk mengolah maupun mencerna informasi numeric. Jika dilihat dari
arti kata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, literasi memiliki arti yaitu
kemampuan untuk menulis dan membaca. Literasi merupakan satu di antara
kompetensi utama yang sangat dibutuhkan dalam melakukan kegiatan sehari-
hari. Pentingnya literasi, terungkap dari pendapat Muhammad Nuh (2014) yang
menyatakan bahwa literasi adalah pisau yang dapat memotong rantai
kemiskinan, ketidaktahuan dan keterbelakangan peradaban. Gagasan umum dari

12
literasi tersebut diserap dalam bidang-bidang yang lain, dan satu di antara bidang
yang menyerapnya adalah bidang matematika, sehingga muncul istilah literasi
matematis. Literasi matematis memiliki beberapa dimensi seperti spatial literacy
(literasi spasial), numerical literacy (literasi numerik), dan quantitative literacy
(literasi kuantitatif) (Otanrio education, 2004: 24).

Secara formal definisi literasi matematika dalam kerangka PISA matematika


2012 disampaikan oleh OECD dan Stacey setidaknya ada tiga hal utama yang
menjadi pokok pikiran dari konsep literasi matematika, yaitu: a. Kemampuan
merumuskan, menerapkan, dan menafsirkan matematika dalam berbagai konteks
yang selanjutnya disebut sebagai proses matematika. b. Pelibatan penalaran
matematis dan penggunaan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk
mendeskripsikan, menjelaskan, dan memprediksi fenomena. c. Manfaat dari
kemampuan literasi matematis yaitu dapat membantu seseorang dalam
menerapkan matematika ke dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud dari
keterlibatan masyarakat yang konstruktif dan reflektif. Pengertian literasi
matematika yang disampaikan PISA merujuk pada kemampuan pemodelan
matematika, yang pada kerangka-kerangka PISA sebelumnya juga digunakan
sebagai batu pijakan dalam mendefinisikan konsep literasi.

Literasi matematis sebelum dikenalkan melalui PISA telah dicetuskan oleh


NCTM sebagai salah satu visi pendidikan matematika yaitu menjadi
melek/literate matematika. Pengertian ini mencakup 4 komponen utama literasi
matematika dalam pemecahan masalah yaitu mengekplorsi, menghubungkan dan
menalar secara logis serta menggunakan metode matematis yang beragam.
Komponen utama ini digunakan untuk memudahkan pemecahan masalah sehari-
hari yang sekaligus dapat mengembangkan kemampuan matematikanya.

Literasi numerasi didefinisikan sebagai pengetahuan dan kecakapan dalam


dua hal, yaitu 1) menggunakan berbagai macam angka serta simbol yang
berhubungan dengan matematika dasar yang nantinya dapat diimplementasikan
dalam pemecahan masalah praktis dalam berbagai konteks kehidupan sehari-

13
hari, serta 2) menganalisis informasi yang disediakan dalam berbagai bentuk,
mulai dari grafik sampai dengan bagan, dan lalu menjadikan hasil analisis
tersebut sebagai alat untuk mengambil keputusan (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 2017).

Literasi numerasi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam


menggunakan penalaran. Penalaran berarti meganalisis dan memahami suatu
pernyataan melalui aktivitas dalam memanipulasi symbol atau bahsa matematika
yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, dan mengungkapkan pernyataan
tersebut melalui tulisan maupun lisan (Abidin, dkk 2017: 107). Literasi numerasi
merupakan bagian dari matematika. Sehingga, komponen-komponen dalam
pelaksanaan literasi numeris tidak lepas dari materi cakupan yang ada dalam
matematika. Matematika merupakan ilmu yang berkaitan dengan pengetahuan
eksak yang telah terorganisir secara sistematik meliputi aturan-aturan, ide-ide,
penalaran logik serta struktur-struktur yang logik (Yuliana, 2017: 9).

Literasi numerik (atau berhitung) adalah kemampuan seseorang untuk


memahami dan bekerja dengan informasi matematika. Orang yang memiliki
kemampuan literasi numerik tinggi sangat mampu dan mudah memahami
informasi kuantitatif, sedangkan orang dengan literasi numerik rendah
mengalami kesulitan dalam memahami informasi numerik dan tidak mudah
menerima informasi tersebut (sering disebut "tidak berhitung" analog dengan
buta huruf dalam membaca; Paulos,1988). Konsep literasi numerik termasuk
beberapa masalah definisi konsep, yang menerima banyak perhatian baru-baru
ini (dalam, Reyna, Nelson, Han, & Dieckmann, 2009). Studi baru-baru ini telah
berhasil menemukan hasil yang bertentangan mengenai apakah individu dengan
numerik rendah versus tinggi lebih terpengaruh oleh "efek frekuensi". Ini tidak
hanya bermasalah dalam hal konsistensi sederhana dalam literatur, tetapi juga
perubahan dalam efek frekuensi tingkat literasi numerik yang berbeda implikasi
untuk penjelasan teoretis yang berbeda. Penelitian kedua Peters et al. (2006) dan
Chapman dan Liu (2009) menemukan bahwa partisipan merespons secara
berbeda tergantung pada level mereka berhitung. Namun, variabilitasnya dalam

14
angka tinggi dan rendah berlawanan arah antara Peters et al. dan Chapman dan
Liu. Secara khusus, Peters et al. menemukan bahwa individu dengan numeris
rendah lebih dipengaruhi oleh tugas dengan format frekuensi. Penelitian ini
menggunakan paradigma yang diadaptasi dari Slovic, Monahan, dan Mac
Gregor (2000) dimana seorang pasien psikiatri akan melukai orang lain dalam
beberapa bulan pertama.

Literasi numerik diperlukan agar siswa dapat berkomunikasi pada era digital
yang cenderung serba abstrak, sehingga penguasaan dasar-dasar matematis
seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian mutlak dibutuhkan
oleh generasi mendatang.

2.1.2 Pemecahan Masalah Kalkulus Integral

Setiap manusia memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam mengatasi


suatu permasalahan. Kemampuan untuk memberikan ide yang bersifat solutif
diperlukan dalam kehidupan ini. Kemampuan mahasiswa dalam memecahkan
permasalahan harus dimiliki agar mampu mengatasi persoalan yang berkaitan
dengan materi sekolah. James (Sariningsih & Purwasih, 2017) mengungkapkan
bahwa matematika merupakan ilmu dasar tentang logika mengenai bentuk,
susunan, besaran dan konsep-konsep yang salaing berhubungan satu dengan
lainnya dan terbagi ke dalam 3 bidang yaitu: aljabar, analisis, dan geometri. Oleh
karena itu, mahasiswa diharapkan memiliki kognitif untuk memecahkan
permasalahan yang baik untuk melatih mereka berpikir.

Dalam pembelajaran matematika pemecahan masalah merupakan inti


pembelajaran yang merupakan kemampuan dasar dalam proses pembelajaran.
Untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah perlu dikembangkan
keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan
masalah dan menafsirkan solusinya. Kemampuan pemecahan masalah
matematika mendukung potensi mahasiswa untuk dapat memberikan solusi
terhadap masalah. Pemecahan masalah memuat empat langkah penyelesaiannya
yaitu memahami masalah, merencanakan masalah, menyelesaikan masalah

15
sesuai rencana dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah
yang dikerjakan. Satu tahap ke tahap berikutnya dalam pemecahan masalah
saling mendukung untuk menghasilkan pemecahan masalah yang termuat dalam
soal. Mahasiswa berperan dalam memahami setiap langkah dalam pemecahan
masalah agar proses berpikir berjalan dengan baik. Dalam proses pembelajaran
diperlukan suatu pola pikir yang menghasilkan solusi terhadap persoalan.

Proses pemecahan masalah matematik berbeda dengan proses menyelesaikan


soal matematika. Apabila suatu soal matematika dapat segera ditemukan cara
menyelesaikannya, maka soal tersebut tergolong pada soal rutin dan bukan
merupakan suatu masalah. Karena menyelesaikan masalah bagi mahasiswa itu
dapat bermakna proses untuk menerima tantangan, sebagaimana dikatakan
Hudoyo (Widjajanti, 2009). Pemecahan masalah merupakan salah satu tipe
keterampilan intelektual yang menurut Gagne, dkk (1992) lebih tinggi
derajatnya dan lebih kompleks dari tipe keterampilan intelektual lainnya. Gagne,
dkk (1992) berpendapat bahwa dalam menyelesaikan pemecahan masalah
diperlukan aturan kompleks atau aturan tingkat tinggi dan aturan tingkat tinggi
dapat dicapai setelah menguasai aturan dan konsep terdefinisi. Demikian pula
aturan dan konsep terdefinisi dapat dikuasai jika ditunjang oleh pemahaman
konsep konkrit. Setelah itu untuk memahami konsep konkrit diperlukan
keterampilan dalam membedakan.

Pandangan pemecahan masalah sebagai proses inti dan utama dalam


kurikulum matematika, berarti pembelajaran pemecahan masalah lebih
mengutamakan proses dan strategi yang dilakukan mahasiswa dalam
menyelesaikannya daripada hanya sekedar hasil. Sehingga keterampilan proses
dan strategi dalam memecahkan masalah tersebut menjadi kemampuan dasar
dalam belajar matematika. Memecahkan suatu masalah merupakan suatu
aktivitas dasar bagi manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa sebagian besar
kehidupan manusia berhadapan dengan masalah-masalah. Oleh sebab itu kita
perlu mencari penyelesaiannya. Jika gagal dengan satu cara dalam
menyelesaikan masalah maka harus mencoba dengan cara lain untuk

16
menyelesaikan masalah tersebut dan harus berani menghadapi masalah untuk
menyelesaikannya.

Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan Gagne bahwa keterampilan


intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah.
Pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi dari delapan tipe
belajar yang dikemukakan Gagne, yaitu: belajar, isyarat, stimulus respon,
rangkaian gerak, rangkaian verbal, membedakan, pembentukan konsep,
pembentukan aturan, dan pemecahan masalah (Tim MKPBM, 2001: 83).

Indikator kemampuan pemecahan masalah matematik dalam penelitian ini


adalah menerapkan strategi menyelesaikan masalah diluar atau didalam
matematika; menyelesaikan model matematika dan masalah nyata; menjelaskan
dan menginterferensikan hasil; mengidentifikasi unsur yang diketahui,
ditanyakan dan kecukupan unsur; membuat model matematika. Kemampuan
pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah kegiatan memahami masalah;
kegiatan merencanakan atau merancang strategi pemecahan masalah; kegiatan
melaksanakan perhitugan dan kegiatan memeriksa kembali kebenaran hasil atau
solusi.

Kalkulus integral merupakan salah satu cabang ilmu dalam bidang


matematika. Garis besar mata kuliah ini membicarakan tentang masalah luas
daerah dan jarak, jumlah Riemann, teorema dasar kalkulus 1 dan 2, teknik
integrasi, bentuk tak tentu dan tak wajar, serta penggunaan integral. Pengetahuan
tentang sistem bilangan, notasi sigma, kekontinuan, dan pendiferensialan,
semuanya dibicarakan dalam lingkup fungsi rill menjadi dasar untuk
mempelajari mata kuliah ini. Melalui perkuliahan ini mahasiswa diharapkan
dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, memecahkan masalah, dan
kemampuan dalam memahami konsep integral. Mahasiswa diharapkan mampu
memahami mata kuliah ini secara keseluruhan tidak hanya secara parsial dengan
menggunakan pengetahuan awal mereka yang sudah pernah mereka dapat pada
perkuliahan sebelumnya, seperti Kalkulus Differensial. Pemahaman terhadap

17
mata kuliah bisa didapatkan dari proses belajar mandiri untuk menemukan
sendiri konsep materi dengan bimbingan dosen, tidak hanya mengharapkan
transfer materi secara keseluruhan dari dosen. Pada dasarnya, proses perkuliahan
di Perguruan Tinggi dituntut usaha mandiri dari mahasiswa. Proses perkuliahan
seperti ini yang membedakan pola belajar siswa dengan mahasiswa, dosen hanya
sebagai mediator dan fasilitator. Dengan adanya kemandirian tersebut,
diharapkan konsep akan tertanam dengan baik sehingga hasil belajar
memuaskan.

Kalkulus merupakan salah satu mata kuliah yang menjadi momok


permasalahan bagi mahasiswa. Padahal mata kuliah ini berisi materi-materi
dasar sebagai prasyarat mata kuliah lain, seperti sistem persamaan garis, fungsi
dan limit, turunan (diferensial), serta integral. Secara khusus materi integral
ditempuh dalam mata kuliah kalkulus integral. Bagi mahasiswa program studi
pendidikan matematika, sebagai calon guru, selain sebagai materi dasar, mata
kuliah ini juga digunakan sebagai materi ajar untuk siswa SMA nantinya. Selain
menjadi mata kuliah wajib bagi program studi pendidikan matematika, mata
kuliah ini juga wajib untuk mahasiswa program studi matematika dan beberapa
program studi bidang teknik, seperti teknik mesin, teknik elektro dan teknik
sipil. Berdasarkan hasil dokumentasi yang dilakukan Shodikin (2016) di salah
satu perguruan tinggi swasta di Kabupaten Lamongan dalam dua tahun terakhir
menunjukkan bahwa rata-rata skor hasil belajar mahasiswa pendidikan
matematika pada mata kuliah kalkulus integral baru mencapai 42%. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa terutama mata kuliah kalkulus
integral masih rendah. Hasil dokumentasi nilai ujian tengah semester dan ujian
akhir semester mahasiswa yang dilakukan oleh peneliti (Shodikin, 2016) di
program studi matematika juga menunjukkan hasil belajar yang masih rendah,
yakni hanya mencapai 48%. Hasil studi yang dilakukan oleh Ramdani (2012)
juga menyatakan hasil yang sama.

18
2.1.3 Gaya Belajar

Hasil belajar seseorang ditentukan oleh berbagai macam faktor yang


mempengaruhinya. Gaya belajar atau learning style adalah suatu karakteristik
kognitif, afektif dan perilaku psikomotoris, sebagai indikator yang bertindak
stabil untuk mahasiswa merasa saling berhubungan dan bereaksi terhadap
lingkungan belajar. Dengan mengenal pasti gaya hal ini akan memudahkan bagi
mahasiswa untuk belajar maupun pengajar untuk mengajar dalam proses
pembelajaran.

Mahasiswa akan dapat belajar dengan baik dan hasil belajarnya baik, apabila
ia mengerti gaya belajarnya. Hal tersebut memudahkan mahasiswa dapat
menerapkan pembelajaran dengan mudah dan tepat. Dengan mengenal gaya
belajar masing-masing maka pembelajaran dapat dilakukan dengan mudah dan
tepat. Keberhasilan dalam menggunakan gaya belajar akan membawa dampak
yang positif dalam meningkatkan prestasi belajar.

Gaya belajar dapat didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan individu untuk
mencapai tujuan belajarnya. Sebagai langkah awal pengalaman belajar adalah
mengenal gaya belajar. Menurut Bobbi De Porter dan Mike Hirarcky dalam
Quantum Learning (2002: 123) ada 3 macam gaya belajar yaitu: gaya belajar
visual, auditorial dan kinestetik. a. Gaya belajar visual b. Gaya belajar auditorial.
c. Gaya belajar kinestetik. Meskipun kebanyakan orang mempunyai ketiga gaya
belajar itu tetapi hampir semua cenderung pada salah satu gaya belajar saja,
seperti pendapat yang dikemukakan oleh Rose dan Nicholl: "dalam
kenyataannya kita mempunyai ketiga gaya belajar itu, hanya saja satu gaya yang
mendominasi" (Bobbi D, Mark R, Sarah S, 2005: 165). Ada banyak cara untuk
bisa mengenali gaya belajar seperti yang dituliskan Bobbi D dan Mike H (2002:
162-120) yang salah satunya dengan mengetahui ciri-cirinya, yaitu:

a. Gaya belajar visual

Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh individu dengan gaya visual, antara lain: 1)
Rapi dan teratur. 2) Berbicara dengan cepat. 3) Berencana dan mengatur

19
jangka waktu yang baik. 4) Teliti dan detail. 5) Mementingkan penampilan,
baik dalam hal pakaian maupun presentasi. 6) Pengeja yang baik dan dapat
mengeja kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka. 7) Mengingat apa
yang dilihat daripada didengar. 8) Mengingat dengan asosiasi visual. 9)
Biasanya tidak terganggu dengan keributan. 10) Mempunyai masalah untuk
mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis dan seringkali minta bantuan
orang lain untuk menghalanginya. 11) Pembaca cepat dan tekun. 12) Lebih
suka membaca daripada dibacakan. 13) Membutuhkan pandangan dan tujuan
yang menyeluruh serta bersikap waspada sebelum secara mental, merasa pasti
tentang suatu masalah atau proyek. 14) Mencoret-coret tanpa arti selama
berbicara di telepon dan dalam rapat. 15) Lupa menyampaikan pesan verbal
kepada orang lain. 16) Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat
"ya atau tidak". 17) Lebih suka melakukan demontrasi daripada pidato. 18)
Lebih suka seni daripada musik. 19) Seringkali mengetahui apa yang harus
dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata. 20) Kadang-kadang
kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.

b. Gaya belajar auditorial

Ciri yang ditampilkan oleh pelajar auditorial antara lain: 1) Mudah terganggu
oleh keributan. 2) Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku
ketika membaca. 3) Senang membaca keras dan mendengarkan. 4) Dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, irama dan warna suara. 5) Berbicara
dalam irama yang berpola. 6) Biasanya pembicara yang fasih. 7) Lebih suka
musik daripada seni. 8) Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusikan daripada yang dilihat. 9) Suka berbicara, berdiskusi dan
menjelaskan tentang sesuatu panjang lebar. 10) Mempunyai masalah-masalah
dengan pekerjaan yang melibatkan visualisasi seperti memotong-motong bagian-
bagian hingga sesuai satu sama lain. 11) Lebih pandai mengeja dengan keras
daripada menuliskannya. 12) Lebih suka gurauan daripada membaca komik.

c. Gaya belajar kinestetik

20
Ciri yang ditampilkan oleh pelajar kinestetik antara lain: 1) Berbicara dengan
pelan. 2) Menanggapi perhatian fisik. 3) Menyentuh orang untuk mendapatkan
perhatian mereka. 4) Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang lain. 5) Selalu
berorientasi pada fisik dan banyak bergerak. 6) Mempunyai perkembangan awal
otot yang benar. 7) Belajar melalui manipulasi dan praktek. 8) Menghafal
dengan cara berjalan dan melihat. 9) Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika
membaca. 10) Banyak menggunakan isyarat tubuh. 11) Tidak dapat duduk diam
dalam jangka waktu lama. 12) Tidak dapat mengingat geografis kecuali jika
mereka memang telah pernah berada di tempat itu. 13) Menggunakan kata-kata
yang mengandung aksi. 14) Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot,
mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca. 15)
Kemungkinan tulisannya jelek. 16) Ingin melakukan sesuatu. 17) Menyukai
permainan yang menyibukkan.

Setelah mengetahui gaya belajar yang dimiliki baik itu visual, auditorial,
kinestetik, mahasiswa dapat menggunakan cara-cara untuk memaksimalkan gaya
belajarnya. Menurut Bobbi D dan Mike H (2002: 85-86) untuk memaksimalkan
gaya belajar dapat digunakan: a. Gaya belajar visual 1) Gunakan kertas tulis
dengan tulisan berwarna. 2) Buatlah diagram, peta dan warnai untuk
menggambarkan informasi yang ada. 3) Pahami konsep secara keseluruhan
sebelum terjun ke bagian detailnya. 4) Berikan kode warna untuk bahan
pelajaran dan perlengkapan kemudian susun pelajaran dengan aneka warna. 5)
Gunakan simbol-simbol untuk mewakili konsep.

b. Gaya belajar auditorial

1) Gunakan variasi vocal (perubahan nada, kecepatan dan volume). 2) Gunakan


pengulangan dan sebutkan kembali konsep-konsep tersebut serta kuncinya. 3)
Buatlah suatu konsep menjadi nyanyian yang mudah dipahami atau dihafalkan.
4) Gunakan musik sebagai bagian dari kegiatan rutin anda.

c. Gaya belajar kinestetik

21
1) Gunakan alat bantu dalam belajar untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan
untuk menekan konsep-konsep atau kunci. 2) Lakukan stimulasi konsep agar
mudah dipahami. 3) Bila diberikan bimbingan oleh dosen duduklah didekatnya
atau disebelahnya. 4) Peragaan konsep untuk mempelajari langkah demi
langkah. 5) Lakukan gerakan-gerakan saat belajar untuk mempermudah
mengingat. Hubungan Gaya Belajar Dengan Prestasi Belajar Sebagaimana kita
ketahui, belajar membutuhkan konsentrasi. Situasi dan kondisi untuk
berkonsentrasi sangat berhubungan dengan gaya belajar. Jika mengenali gaya
belajar, maka dapat mengelola pembelajaran pada kondisi apa, dimana, kapan
dan bagaimana cara pembelajaran yang baik dan efektif. Gaya belajar setiap
orang dipengaruhi oleh faktor alamiah (pembawaan) dan faktor lingkungan.
Mengenali gaya belajar sendiri, belum tentu membuat menjadi lebih pandai.
Tapi dengan mengenali gaya belajar akan dapat menentukan cara belajar yang
lebih efektif.

2.1.4 Kemandirian Belajar

Kemandirian yaitu sikap penting yang harus dimiliki seseorang supaya


mereka tidak selalu bergantung dengan orang lain. Sikap tersebut bisa
tertanam pada diri individu sejak kecil. Di sekolah kemandirian penting untuk
seorang siswa dalam proses pembelajaran. Pada bidang pendidikan sering
disebut dengan kemandirian belajar. Sikap ini diperlukan setiap siswa agar
mereka mampu mendisiplinkan dirinya dan mempunyai tanggung jawab.
Menurut Mohammad Ali dan Mohammad (Asrori, 2005: 114) kemandirian
diartikan sebagai suatu kekuatan internal individu dan diperoleh melalui
proses individuasi, yang berupa proses realisasi kedirian dan proses menuju
kesempurnaan. Tokoh lain seperti (Hamzah B. Uno, 2006: 77) mengartikan
kemandirian sebagai kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri
dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain

22
secara emosional. Pada intinya, orang yang mandiri itu mampu bekerja
sendiri, tanggung jawab, percaya diri, dan tidak bergantung pada orang lain.

Menurut (Umar Tirta Rahardja dan La Sulo, 2000: 50) kemandirian


dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih
didorong oleh kemauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri
dari pembelajar. Kemandirian disini, berarti lebih ditekankan pada individu
yang belajar dan kewajibannya dalam belajar dilakukan secara sendiri dan
sepenuhnya dikontrol sendiri. Pengertian belajar mandiri menurut (Hamzah
B.Uno, 2011: 51) yaitu metode belajar dengan kecepatan sendiri, tanggung
jawab sendiri, dan belajar yang berhasil. Jadi, berhasil tidaknya dalam belajar
semuanya ditentukan oleh pribadi tersebut.

Menurut (Haris Mujiman, 2011: 1-2) belajar mandiri merupakan kegiatan


belajar aktif, yang didorong oleh motif untuk menguasai sesuatu kompetensi,
dan dibangun dengan bekal pengetahuan atau kompetensi yang telah dimiliki.
Dalam penetepan kompetensi sebagai tujuan belajar dan cara pencapaiannya
baik penetapan waktu belajar, tempat belajar, irama belajar, tempo belajar,
cara belajar, sumber belajar, maupun evaluasi hasil belajar dilakukan sendiri.

Dari beberapa definisi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa


kemandirian belajar merupakan sikap individu khususnya peserta didik dalam
pembelajaran yang mampu secara individu untuk menguasai kompetensi,
tanpa tergantung dengan orang lain dan tanggung jawab. Peserta didik
tersebut secara individu memiliki sikap tanggung jawab, tidak tergantung
orang lain, percaya diri dan mampu mengontrol dirinya sendiri. Kemandirian
belajar ini sangat diperlukan siswa agar pencapaian prestasi belajar dapat
optimal.

Pada hakikatnya, kemandirian belajar lebih menekankan pada cara


individu untuk belajar tanpa tergantung orang lain, tanggung jawab dan
mampu mengontrol dirinya sendiri. Belajar mandiri menurut Haris
(Mudjiman, 2011: 14) juga disebut sebagai belajarnya orang dewasa, karena

23
cara belajarnya secara mandiri. Adapun ciri-ciri kemandirian belajar menurut
Laird (dalam Haris Mujiman, 2011: 9-10) diantaranya terdiri dari kegiatan
belajar mengarahkan diri sendiri atau tidak tergantung pada orang lain,
mampu menjawab pertanyaan saat pembelajaran bukan karena bantuan
pendidik atau lainnya, lebih suka aktif daripada pasif, memiliki kesadaran apa
yang harus dilakukan, evaluasi belajar dilaksanakan bersama-sama, belajar
dengan mengaplikasikan (action), pembelajaran yang berkolaborasi artinya
memanfaatkan pengalaman dan bertukar pengalaman, pembelajaran yang
berbasis masalah, dan selalu mengharapkan manfaat yang dapat diaplikasikan
dalam kehidupan.

Selain itu, belajar pendidikan orang dewasa juga disebutkan oleh


(Endang Poerwanti dan Nur Widodo, 2005: 176) dimana inti ciri-cirinya
hampir sama dengan apa yang dikatakan oleh Haris Mujiman. Adapun ciri-
ciri tersebut yaitu, bahwa belajar merupakan kumpulan dari orang yang aktif
berkegiatan, terdapatnya rasa saling menghormati dan mengahargai adanya
perbedaan, percaya diri, suasana belajar yang kondusif dan adanya
keterbukaan, memperbolehkan berbuat kesalahan, serta adanya evaluasi
bersama dan sendiri.

Menurut (Martinis Yamin dan Bansu I. Ansari, 2009: 18) menyebutkan


bahwa, belajar mandiri dalam proses pembelajarannya, perlu memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan semangat
berkompetensi sehat untuk memperoleh penghargaan, bekerjasama, dan
solidaritas. Belajar mandiri juga bisa diartikan belajar yang tidak bergantung
pada orang lain, percaya diri dan tanggung jawab. Selain dari pada itu,
disebutkan juga bahwa dalam belajar mandiri perlu adanya tugas-tugas yang
memungkinkan peserta didik bekerja secara mandiri. Belajar mandiri dapat
diperoleh melalui sumber-sumber, tempat, sarana, dan lingkungan lainnya.

Tokoh lain seperti (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2005: 117)
membagi kemandirian dalam perkembangannya menjadi 4 tingkatan, yaitu

24
tingkat sadar diri, tingkat saksama, individualitas, dan mandiri. Adapun yang
menjadi ciri pada tingkat mandiri menurut (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2005: 118) yaitu memiliki pandangan hidup, bersikap objektif dan
realistis, mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan, mampu
menyelesaikan konflik, memiliki kesadaran untuk menghargai dan mengakui
saling ketergantungan pada orang lain, serta memiliki keyakinan dan
keceriaan untuk mengungkapkan perasaannya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan peserta didik dengan kemandirian


belajar memiliki indikator diantaranya, tidak bergantung pada orang lain,
memiliki sikap tanggung jawab, percaya diri, mampu mengontrol dirinya
sendiri, mengevaluasi sendiri dan mempunyai kesadaran untuk belajar
mandiri. Kemandirian belajar penting guna tercapainya prestasi belajar
peserta didik yang optimal. Peserta didik yang memiliki indikator
kemandirian belajar tersebut akan lebih baik dalam proses belajarnya.

2.2 Kerangka Berpikir

Kemandirian belajar, merupakan salah satu aspek sikap atau disposisi yang
akan dikembangkan dalam pembelajaran. Rasa kemandirian belajar ini tidak
muncul dengan sendirinya namun perlu diasah dan dilatih sehingga tumbuh
dengan baik. Cara melatih kemandirian belajar adalah dengan memberikan
masalah yang menantang dan membingungkan sehingga muncul rasa
tanggung jawab dalam diri sehingga dirinya dapat menyelesaikan
permasalahan dan tidak tergantung pada orang lain dalam diri peserta didik
tersebut.

25
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

3.2 Desain Penelitian

3.3 Fokus Penelitian

3.4 Data dan Sumber Data Penelitian

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.6 Teknik Keabsahan Data

3.7 Teknik Analisis Data

Abidin, Yunus, Tita Mulyati, Hana Yunansah. 2017. Pembelajaran Literasi


Strategi Meningkatkan Kemampuan Literasi Matematika, Sains, Membaca dan
Menulis. Jakarta: Bumi Aksara.

Ariandani, Ardelia Pratista. "Analisis Hubungan antara Literasi Numerasi,


Kecemasan Finansial, Indeks Prestasi Kumulatif dan Uang Saku Bulanan dengan
Literasi Keuangan Mahasiswa Universitas Brawijaya Ardelia Pratista
Ariandani." Jurnal Ilmiah Mahasiswa FEB 8.1 (2019).

Firnanda, Putri, and Asep Nursangaj. "LITERASI KUANTITATIF SISWA


DIKAJI DARI ASPE CONTENT CHANGE AND RELATIONSHIP DALAM
ALJABAR DI SMP." Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa 4.12
(2015).

Koesoema, Doni, Sutjipto, Diyon Iskandar, Nur Hanifah, Miftahussururi, Meyda


Noorthertya dan Qori Syahriana. 2017. Pedoman Penilaian dan Evaluasi Gerakan
Literasi Nasional. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

NCTM, Currriculum and evaluation standars for school mathematics, (Reston:


CTM, 1989).

OECD, PISA 2012 Assesment and Analytical Framework: Mathematics, Reading,


Science, Problem Solving and Financial Literacy (Paris: OECD Publisher, 2013).

Pemecahan Masalah:

26
Pemecahan masalah matematika merupakan keterampilan siswa mengerjakan
soal-soal pemecahan masalah.

Soemarmo & Hendrina mengatakan bahwa tugas matematika dapat dikatakan


sebagai masalah matematika jika tidak dapat menemukan cara pemecahannya,
tetapi melalui kegiatan lain yang relevan.

Polya menyarankan empat langkah pemecahan masalah, yaitu pemahaman


masalah, penyelesaian perencanaan, rencana pelaksanaan, dan tinjauan.

Krakas & Baki menyatakan bahwa “Pemecahan masalah dikenal sebagai


kecakapan hidup yang penting yang melibatkan berbagai proses termasuk
menganalisis, menafsirkan, menalar, memprediksi, mengevaluasi dan
merefleksikan”

Guru perlu memiliki pengetahuan tentang pemecahan masalah matematika untuk


diri mereka sendiri sebagai pemecah masalah dan untuk membantu siswa menjadi
pemecah masalah yang lebih baik.

Mayer dan Wittrock (2006), siswa membutuhkan lima jenis pengetahuan agar
menjadi pemecah masalah yang berhasil: fakta (pengetahuan tentang karakteristik
elemen, misalnya 100cm dalam satu meter), konsep (pengetahuan tentang
kategori, prinsip, atau model). , misalnya apa arti nilai tempat), strategi
(pengetahuan tentang metode umum), prosedur (pengetahuan tentang prosedur
khusus), keyakinan (kognisi tentang kompetensi PS seseorang atau tentang sifat
PS), pengetahuan meta-kognitif (kesadaran dan kendali diri sendiri) pemrosesan
kognitif dan termasuk keyakinan).

Metacognitive Awareness

. Selain kemampuan pemecahan masalah, kemampuan metakognisi juga berkaitan


dengan belajar dan berpikir serta kompetensi pemecahan masalah. 2. Aljaberi dan
Geith (2015) mengatakan bahwa kemampuan metakognisi yang diartikan sebagai
kompetensi berhubungan dengan pembelajaran dan pemikiran, dan terdiri dari
banyak kemampuan yang dibutuhkan untuk pembelajaran yang efektif, berpikir
kritis, penilaian reflektif, pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan.

3. Kazemi dkk. (2010) mengatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah


dikenali sebagai interaksi kompleks antara kognisi dan metakognisi.

4. Hal senada juga dikemukakan oleh Sengul dan Katranci (2012) bahwa individu
dapat lebih berhasil dalam pemecahan masalah dengan memiliki pengalaman
metakognisi. Oleh karena itu, metakognisi memiliki hubungan yang erat dengan

27
pemecahan masalah dalam pembelajaran, dimana dalam memecahkan masalah
diperlukan proses metakognisi.  

5. NCREL (2007) memaparkan tiga elemen dasar metakognisi khusus dalam


menghadapi tugas yaitu: (a) mengembangkan rencana tindakan, (b) mengatur atau
memantau tindakan dan (c) mengevaluasi tindakan. Kemampuan metakognitif
siswa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah proses kesadaran siswa terhadap
pemikiran kognitifnya sendiri dalam pemecahan masalah yang dihadapinya untuk
meningkatkan pembelajaran dan berpotensi besar dalam meningkatkan
signifikansi belajar siswa di kelas (Smith, 2013; Gul dan Shehzad, 2012 ; Jaafar &
Job, 2010)

Melibatkan dan mendukung siswa dalam proses menulis dapat meningkatkan


kesadaran metakognitif mereka. Studi ini menyelidiki efek dari pendekatan
pembelajaran berbasis masalah pada kesadaran pengetahuan metakognitif
mahasiswa Nigeria secara tertulis.

2. Berbagai faktor yang mempengaruhi keterampilan menulis siswa telah


diidentifikasi oleh para ahli yang berbeda (Mu, 2005; Xiao, 2007). Salah satu
faktor penyebabnya adalah kesadaran akan pengetahuan metakognitif.

3. Dalam proses penulisan, kesadaran akan pengetahuan metakognitif


memungkinkan penulis untuk menyadari atribut, struktur dan tuntutan dari genre
yang berbeda

. Metakognisi adalah kemampuan individu untuk mengatur dan memantau


masukan, serta untuk menyimpan, mencari, dan mengambilnya dari isi memori
(Flavell, 1971). Ia diaktifkan melalui empat komponen aksi dan interaksi, yaitu
(1) pengetahuan metakognisi; (2) pengalaman metakognisi; (3) tujuan atau tugas;
dan (4) tindakan atau strategi (Flavell, 1979).

2. Selain itu, metakognisi adalah aktivitas berpikir tentang pikiran sendiri dan
orang lain, memantau dan mengatur cara berpikir sendiri.

3. Weinert dan Kluwe (1987) menjelaskan bahwa sementara kognisi berfokus


pada penyelesaian masalah, metakognisi lebih berfokus pada proses pemecahan
masalah, pengetahuan tentang bagaimana menggunakan pikiran dan strategi,
pengetahuan tentang kapasitas belajar seseorang (dalam hal ukuran), dan jenis
strategi yang akan digunakan.

4. Implikasinya, keterampilan metakognisi yang memadai dapat berdampak


positif terhadap rendahnya kemampuan kognitifnya

28
1. Keterampilan metakognitif dianggap memainkan peran penting dalam berbagai
jenis aktivitas kognitif, termasuk pemahaman.
2. Aktivasi keterampilan metakognitif dapat menciptakan pembelajar yang
mengatur diri sendiri dan dapat mempengaruhi peningkatan hasil belajar.
Keterampilan metakognitif merupakan salah satu aspek dimensi pengetahuan
dan merupakan keterampilan yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
3. Metakognisi adalah istilah yang diperkenalkan oleh Flavell (1976) dan
diartikan sebagai pengetahuan tentang proses kognitif. Metakognisi sangat erat
kaitannya dengan hasil belajar kognitif.
4. metakognisi adalah suatu bentuk kognisi atau proses berpikir tingkat kedua
atau lebih yang mencakup pengendalian aktivitas kognitif.
5. Dengan demikian, metakognisi dapat dikatakan sebagai pemikiran seseorang
tentang pemikiran-diri atau kognisi kesadaran-diri seseorang. Selain itu,
metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran individu tentang aktivitas
kognitifnya yang terkait dengan aktivitas kognitif
6. Metakognisi adalah kesadaran berpikir orang tentang proses berpikirnya, baik
yang dia ketahui maupun yang tidak dia ketahui. Metakognisi memiliki dua
komponen yaitu: (1) pengetahuan metakognitif dan (2) keterampilan
metakognitif.
7. Pengetahuan metakognitif sangat terkait dengan pengetahuan deklaratif,
prosedural, dan kondisional seseorang dalam memecahkan masalah),
sedangkan keterampilan metakognitif sangat terkait dengan keterampilan
prediksi, keterampilan perencanaan, keterampilan pemantauan, dan
keterampilan evaluasi
8. Metakognisi adalah pemikiran tentang berpikir dalam arti membangun strategi
tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Metakognisi mengacu pada
keterampilan siswa untuk memantau proses belajarnya secara sadar
9. Pengetahuan metakognitif adalah kognisi tentang kognisi, yang secara umum
mirip dengan kesadaran dan kognisi tentang kognisi diri seseorang. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa metakognisi adalah kesadaran akan apa
yang diketahui dan tidak diketahui. Sedangkan strategi metakognitif mengacu
pada bagaimana orang meningkatkan kesadaran berpikir dan proses belajar
sehingga orang dapat merencanakan, memantau, dan mengevaluasi apa yang
dipelajari.
10.(1) metakognisi memegang peranan penting dalam aktivitas pemecahan
masalah; (2) siswa cenderung lebih terampil dalam memecahkan masalah jika
memiliki pengetahuan metakognitif; (3) dalam kerangka pemecahan masalah,
guru sering menekankan strategi tertentu untuk memecahkan suatu masalah
daripada memperhatikan aspek penting lainnya dari kegiatan pemecahan
masalah; (4) guru cenderung mengungkapkan beberapa pencapaian tingkat
sedang, yang penting dalam penalaran dan strategi pengajuan masalah.
11.metakognisi memungkinkan orang untuk bertanggung jawab atas pembelajaran
mereka sendiri. Ini melibatkan kesadaran tentang bagaimana mereka belajar,

29
evaluasi kebutuhan belajar mereka, menghasilkan strategi untuk memenuhi
kebutuhan ini dan kemudian menerapkan strategi tersebut.
12.Metakognisi mengarah pada kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
melibatkan kontrol aktif dari proses kognitif tertentu dalam pembelajaran.
Beberapa aktivitas seperti merencanakan bagaimana menyelesaikan tugas yang
diberikan, memantau pemahaman, dan mengevaluasi perkembangan kognitif
termasuk dalam aktivitas metakognitif dalam kehidupan sehari-hari.
Keterampilan metakognitif membantu siswa membuat rencana, mengikuti
kemajuan tertentu, dan memantau proses pembelajaran mereka sendiri.

Berpikir Kritis

Keterampilan berpikir dominan yang sangat dibutuhkan pada abad ke-21 ini
adalah keterampilan berpikir kritis.

Berpikir kritis berarti berpikir reflektif yang berfokus pada memutuskan tindakan
yang diyakini atau sesuatu yang dilakukan

Gagasan lain yang dikemukakan adalah bahwa berpikir kritis adalah keterampilan
dalam memeriksa asumsi, membedakan nilai-nilai yang tersembunyi,
mengevaluasi bukti, dan menilai kesimpulan.

Sementara pemikiran analitik memungkinkan siswa untuk menentukan persamaan


dan perbedaan dalam variabel dan kecenderungan dalam data, berpikir kritis
membantu mereka untuk menentukan penyebab perubahan dalam variabel dan
pengaruh satu variabel pada variabel lainnya. Melalui pemikiran kritis, siswa
dapat memanfaatkan banyak sumber daya yang berbeda untuk menjelaskan
peristiwa dan memprediksi hasil

Keterampilan berpikir kritis tergantung pada kemampuan seseorang (dapat


melakukan), motivasi (akan melakukan), dan kesempatan

Pre-test (efek priming) meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa, dengan


atau tanpa intervensi ('' kesempatan “)

Berpikir kritis adalah proses yang didisiplinkan secara intelektual dari secara aktif
dan terampil mengkonseptualisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis,
dan / atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh,
observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, sebagai panduan
untuk keyakinan dan tindakan

Berpikir kritis mengacu pada pemikiran tingkat tinggi yang mempertanyakan


asumsi dan telah digambarkan sebagai '' berpikir tentang berpikir ''

30
Sejumlah keterampilan belajar perlu diberdayakan dalam pendidikan abad ke-21,
salah satunya adalah keterampilan berpikir kritis yang termasuk dalam
keterampilan berpikir tingkat tinggi

Keterampilan berpikir kritis merupakan kemampuan unggul yang berperan


penting dalam semua aspek kehidupan manusia, pemecahan masalah dan
pengambilan keputusan.

Keterampilan berpikir kritis diperlukan untuk terus diterapkan dalam proses


pembelajaran.

Penekanannya adalah pada generasi emas yang melanjutkan kehidupan masa


depannya di sekolah dasar hingga tingkat universitas. Tujuannya untuk
menghasilkan peserta didik yang kompeten dan terampil dalam memecahkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari

Literasi Numeris

Bagian berikut menguraikan konsep literasi grafis dan numerik serta kerangka
analisis kami yang menerapkan tiga atribut pemahaman, representasi, dan nilai.
Kami kemudian beralih ke garis besar rinci dari metodologi kami sebelum
mempresentasikan hasil studi. Terakhir, kami kembali ke diskusi tentang hasil ini
terkait relevansinya dengan sistem informasi perikanan.

2. Menilai grafik dan numerasi dalam perikanan. Literasi grafis, atau grafik,
mengacu pada kemampuan untuk menafsirkan informasi yang disajikan dalam
bentuk grafik, termasuk kemampuan individu untuk mengekstrak informasi dan
membuat kesimpulan dari format grafik yang berbeda; termasuk diagram, grafik,
bagan, peta atau bahkan foto dan sketsa .

Literasi grafis melampaui pengetahuan yang diperoleh dari berbagai jenis


tampilan informasi, dengan memasukkan fitur visual dari grafik, serta bagaimana
pengalaman dan pengetahuan sebelumnya dari seorang individu mempengaruhi
interpretasi dari apa yang disajikan secara visual.

1. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa konsep "bilangan" relatif tidak


bergantung pada keterampilan linguistik, meskipun semakin banyak penelitian
menunjukkan bahwa kemampuan bahasa mungkin memainkan peran penting
dalam pengembangan keterampilan aritmatika. Kondisi bilingualisme dapat
menawarkan perspektif yang unik tentang peran kompetensi linguistik dalam
perkembangan numerik.
2. Bahasa memainkan peran setidaknya dalam beberapa aspek kognisi numerik;
Secara khusus, tampaknya pemrosesan verbal adalah kondisi yang diperlukan
untuk representasi kognitif yang tepat dari sejumlah besar

31
3. pengaruh keterampilan fonologis mungkin dimediasi oleh usia anak-anak, yang
menunjukkan bahwa itu tidak konstan sepanjang perkembangan. Salah satu
faktor non-matematika lain yang mungkin berperan dalam perkembangan
matematika adalah amplitudo leksikal (kosakata), yang diperlukan untuk
memahami istilah bahasa tertentu yang digunakan dalam instruksi khusus, dan
sangat terlibat dalam pemecahan.
Pemahaman instruksi dan pemecahan masalah juga melibatkan pemahaman
morfosintaktik, yang mendapat sedikit perhatian dalam analisis hubungan antara
bahasa dan matematika

SOAL LITERASI MATEMATIKA

SOAL 1

SOAL 2

Soal 2

Suatu permainan mempunyai aturan sebagai berikut: Pertama pemain harus melempar
dadu. Jika diperoleh bilangan ganjil, maka permainan berakhir. Jika diperoleh bilangan
genap maka pemain harus mengambil satu bola pada kantong. Pemain akan mendapat
hadiah jika dia berhasil mendapatkan bola hitam, jika dia memperoleh bola selain hitam,

32
maka dia tidak mendapatkan hadiah. Jika Sifa bermain satu kali, maka kemungkinan dia
mendapatkan hadiah adalah….

33

Anda mungkin juga menyukai