Dosen Pengampu: Prof. Dr. Sukestiyarno, YL, MS, Ph.D/Prof. Dr. Kartono, M. Si
Oleh
Nurina Kurniasari Rahmawati
0401620004
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Matematika dalam dunia pendidikan merupakan mata pelajaran wajib yang
dikenalkan pada siswa. Matematika dipelajari mulai dari pendidikan tingkat dasar
bahkan sampai pendidikan tinggi. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya
mempelajari matematika. Belajar matematika dapat membuat seseorang mampu
memecahkan permasalahan yang sedang dihadapi. Belajar matematika juga
membuat seseorang lebih teliti, cermat dan tidak ceroboh. Selain itu, belajar
matematika juga dapat melatih cara berpikir dan melatih kesabaran seseorang.
Menyadari akan pentingnya matematika, telah banyak dilakukan upaya
peningkatan kualitas pembelajaran matematika di sekolah. Namun hasil belajar
yang diperoleh siswa belum menampakkan hasil yang sesuai dengan harapan
(Rahmawati, 2014).
Matematika dipelajari di perguruan tinggi, bahkan pada Program Studi
selain Matematika, seperti di PGSD, PKN, Prodi Bahasa Inggris, PAUD, dan
POR. Di prodi Pendidikan matematika sendiri, tidak banyak mahasiswa yang
memperoleh IPK memuaskan di setiap semesternya. Begitu juga dengan mata
kuliah kalkulus Integral, dalam satu kelas, hanya sekitar 20% yang memperoleh
nilai A, 80% yang lain memperoleh nilai B, C bahkan ada juga yang memperoleh
nilai D. Kalkulus merupakan mata kuliah dasar yang harus dipelajari dan
merupakan salah satu syarat untuk bias mempelajari mata kuliah selanjutnya di
semester atas. Jika mahasiswa ingin mempelajari mata kuliah di atasnya,
mahasiswa harus sudah menguasai kalkulus Integral, namun pada kenyataannya
kebanyakan mahasiswa masih sedikit kesulitan dalam mempelajari mata kuliah
kalkulus Integral tersebut. Kebanyakan mahasiswa mengalami kesulitan ketika
mengerjakan soal kalkulus integral terutama jika tidak disebutkan teknik apa yang
diminta. Dan kebanyakan mahasiswa sulit membedakan jenis integral substitusi,
parsial, integral fungsi rasional dan sebagainya. Dalam memecahkan masalah
kalkulus integral diperlukan ketelitian, kesabaran, dan semangat pantang
2
menyerah. Kemampuam pemecahan masalah mahasiswa harus terus diasah agar
diperoleh hasil belajar yang baik.
Dalam’Curriculum and Evaluation Standards for School Mathematics,
NCTM (2000) menempatkan problem solving (pemecahan masalah) sebagai visi
utama pendidikan matematika disamping penalaran, komunikasi, dan koneksi.
Problem Solving merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan beberapa
operasi kognitif seperti mengumpulkan dan menyeleksi informasi, strategi
heuristik dan metakognisi. Ada dua keterampilan metakognitif penting dalam
problem solving yaitu monitoring diri dan perencanaan. Yadnya dkk (2020)
menyatakan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa sangat diperlukan
dalam menyelesaikan pertanyaan yang berisi masalah, seperti permasalahan atau
soal-soal matematika. Soemarmo & Hendrina (2014) mengatakan bahwa
penugasan matematika dapat dikatakan sebagai masalah matematika jika tidak
dapat menemukan jalan keluarnya, tetapi melalui kegiatan lain yang relevan.
Kemampuan pemecahan masalah diperlukan agar dapat mencari solusi dari
suatu permasalahan matematika yang diberikan. Arwizet dan Saputra (2019)
menyatakan bahwa tantangan dalam dunia pendidikan di era ini adalah bagaimana
mempersiapkan sumber daya manusia yang tidak kelak diganti dengan mesin.
Saat ini, banyak pekerjaan rutin dan harian telah diambil alih oleh mesin. Di masa
depan, pekerjaan yang masih belum bisa diambil alih oleh mesin dan robot adalah
pekerjaan yang membutuhkan kemampuan menganalisis, membuat keputusan,
berkolaborasi, dan berkomunikasi untuk melakukannya.
Anwarudin (2019) mengatakan bahwa proses pembelajaran bertujuan untuk
memberikan pengaruh atau dampak pada tahap penerapan berupa pemecahan
masalah, penggabungan, pemisahan, dan persiapan antar konsep. Siswa di sekolah
dasar mampu menyelesaikan masalah dengan bimbingan atau dukungan orang
lain yang disebut scaffolding. Scaffolding bisa berupa pertanyaan, stimulus,
pengingat, dan langkah kecil. ArianaI M, HasbiM, dan Sukayasa (2016) berpendapat
bahwa “pengetahuan dan keterampilan yang terjadi dalam diri siswa dalam
kegiatan belajarnya dan mempengaruhi pencapaian aspek kognitif disebut
metakognisi. Pengetahuan yang berkaitan dengan penerjemahan makna dan
3
penerapan sesuatu, langkah-langkah dalam melakukan sesuatu, dan kombinasi
beberapa pengertian dan aplikasinya dalam menyelesaikan sesuatu merupakan
domain metakognisi.
Polya (2014) menyarankan empat langkah pemecahan masalah yakni
memahami masalah, merencanakan pemecahan, melaksanakan rencana, dan
melihat kembali. Menurut National Council of Teachers of Mathematics (1989)
indikator kemampuan pemecahan masalah adalah sebagai, (a) mengidentifikasi
unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan; (b) merumuskan masalah matematik atau menyusun model
matematika; (c) menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah
(sejenis dan masalah baru) dalam atau di luar matematika; (c) menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal; (d) menggunakan matematika
secara bermakna. Hasil sintesis indikator pemecahan masalah yang digunakan
dalam penelitian ini dapat disajikan sebagai; (a) memahami masalah; (b) memilih
rencana strategi pemecahan masalah secara tepat; (c) menyelesaikan masalah
menggunakan konsep matematika yang benar; (d) verifikasi dan intepretasi hasil
dengan tepat.
Rendahnya kemampuan pemecahan masalah mahasiswa disebabkan oleh
faktor kesulitan dalam memahami kalimat-kalimat dalam soal, mahasiswa tidak
dapat membedakan informasi yang diketahui dan permintaan soal, mengalami
kesulitan dalam menggunakan pengetahuan yang diketahui, lemahnya strategi
dalam mengubah kalimat cerita menjadi kalimat metematika, dan menggunakan
cara-cara yang berbeda-beda dalam merencanakan penyelesaian suatu masalah.
Salah satu keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam pembelajaran
matematika adalah kemampuan literasi numeris gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas hal atau masalah. Soal matematika
yang dihadapi mahasiswa seringkali tidak mudah dicari solusinya, sedangkan
mahasiswa diharapkan untuk dapat menyelesaikan soal tersebut. Oleh sebab itu
mahasiswa perlu memiliki keterampilan berpikir agar dapat menemukan cara yang
tepat untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
4
Untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa bisa dengan meningkatkan
kemampuan literasi mahasiswa. Salah satu literasi yang berperan terhadap
peningkatan pengetahuan matematika mahasiswa itu adalah kemampuan literasi
numerasi. Literasi numerasi adalah pengetahuan dan kecakapan untuk (a) bisa
memperoleh, menginterpretasikan, menggunakan, dan mengomunikasikan
berbagai macam angka dan simbol matematika untuk memecahkan masalah
praktis dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari; (b) bisa
menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel,
bagan, dsb.) untuk mengambil keputusan (Atmazaki, dkk, 2017).
Setiap mahasiswa memiliki keunikan pribadi yang berbeda dengan
mahasiswa yang lainnya. Setiap mahasiswa berbeda dalam tingkat kinerja,
kecepatan belajar, dan gaya belajar. Perbedaan cara belajar ini menunjukkan cara
termudah mahasiswa untuk menyerap informasi selama belajar. Cara termudah
dan tercepat seseorang dalam belajar dikenal sebagai gaya belajar (Hamzah,
2010). Prashign (2007) mengatakan bahwa kunci menuju keberhasilan dalam
belajar dan bekerja adalah mengetahui gaya belajar atau bekerja yang unik dari
setiap orang, menerima kekuatan sekaligus kelemahan diri sendiri dan sebanyak
mungkin menyesuaikan preferensi pribadi dalam setiap situasi pembelajaran,
pengkajian maupun pekerjaan. Dengan demikian, gaya belajar merupakan kunci
keberhasilan siswa dalam belajar. Di dalam mengikuti proses pembelajaran, setiap
mahasiswa memiliki gaya belajar yang berbeda-beda antara mahasiswa yang satu
dengan yang lainnya. Dosen dalam mengajar harus memperhatikan gaya belajar
mahasiswa. Ini dikarenakan dalam setiap mengajar efektifitasnya akan sangat
bergantung pada cara atau gaya belajar mahasiswa, disamping sifat pribadi dan
kemampuan intelektualnya.
Gaya belajar dari mahasiswa bisa diamati dari kecerdasan majemuk yang
mereka miliki dan setiap mahasiswa memiliki kecerdasan masing-masing yang
lebih dominan. Pentingnya dosen mengetahui gaya belajar seluruh mahasiswanya
didasarkan pada kurang efektifnya pembelajaran di kelas. Musrofi (dalam Pratiwi,
2014) mengatakan hanya 30% mahasiswa yang berhasil mengikuti pembelajaran
di kelas karena mereka mempunyai gaya belajar yang sesuai dengan gaya
5
mengajar yang diterapkan dosen di dalam kelas. Sisanya, sebanyak 70%
mahasiswa mengalami kesulitan dalam mengikuti pembelajaran di kelas karena
mereka memiliki gaya belajar lain, yang tidak sesuai dengan gaya mengajar yang
diterapkan di dalam kelas. Artinya, 70% gaya mahasiswa tidak terakomodasi oleh
gaya mengajar dosen dalam pembelajaran. Kekurang pahaman dosen terhadap
gaya belajar mahasiswa berdampak merugikan mahasiswa. Hal ini akan
mengakibatkan prestasi belajar mahasiswa tidak sesuai dengan taraf kemampuan
inteligensi mahasiswa tersebut. Oleh sebab itu, dosen harus mengetahui dan
mengenal gaya belajar setiap mahasiswa sehingga bisa mempermudah proses
pembelajaran.
Penelitian yang dilakukan Buali, Balaha & Muhaidab (2013) menghasilkan
ada perbedaan yang signifikan gaya belajar antara siswa laki-laki dan siswa
perempuan. Siswa laki-laki lebih cenderung gaya belajar konvergen, sedangkan
siswa perempuan lebih cenderung gaya belajar divergen. Selain itu, Yazici (2005)
dalam penelitiannya tentang bagaimana gaya belajar siswa dalam belajar dalam
kinerja tim belajar menemukan bahwa gaya belajar dipengaruhi oleh pengalaman
belajar, jenis kelamin, dan bidang studi yang diminatinya. Hasil penelitian lain
yang dilakukan oleh Johnson & Miller (2010) yaitu gaya belajar mahasiswa
ditentukan oleh karakteristik bidang ilmu yang diambilnya. Mahasiswa yang
belajar di disiplin ilmu fisika, matematika, dan kimia lebih cenderung untuk
memiliki gaya belajar visual. Gaya belajar merupakan cara yang dipilih seseorang
untuk menggunakan kemampuannya (Santrock, 2010). Keefe (dalam Sugihartono,
dkk, 2007) menyatakan bahwa gaya belajar berhubungan dengan cara anak
belajar, serta cara belajar yang disukai. Sebagai cara yang disukai, maka
mahasiswa akan sering menggunakan dan merasa mudah ketika belajar dengan
gaya tersebut. Masing-masing mahasiswa akan merasakan gaya belajar mudah
yang berbeda-beda.
Setiap mahasiswa memiliki gaya belajar yang berbeda seperti yang dikatakan
oleh Hamzah (2010) bahwa apa pun cara yang dipilih, perbedaan gaya belajar
menunjukkan cara tercepat dan terbaik bagi setiap individu untuk bisa menyerap
sebuah informasi dari luar dirinya. Menurut De Poter & Hernacki (1999),
6
menjelaskan secara umum gaya belajar manusia dibedakan ke dalam tiga
kelompok besar, yaitu gaya belajar visual, gaya belajar auditorial dan gaya belajar
kinestetik. Gaya belajar visual adalah gaya belajar dengan cara melihat,
mengamati, memandang, dan sejenisnya. Kekuatan gaya belajar ini terletak pada
indera penglihatan. Bagi orang yang memiliki gaya ini, mata adalah alat yang
paling peka untuk menangkap setiap gejala atau stimulus (rangsangan) belajar.
Ciri-Ciri individu yang memiliki tipe gaya belajar visual yaitu menyukai kerapian
dan ketrampilan, jika berbicara cenderung lebih cepat, suka membuat perencanaan
yang matang untuk jangka panjang, sangat teliti sampai ke hal-hal yang detail
sifatnya, mementingkan penampilan baik dalam berpakaian maupun presentasi,
lebih mudah mengingat apa yang dilihat daripada yang didengar, mengingat
sesuatu dengan penggambaran (asosiasi) visual, tidak mudah terganggu dengan
keributan saat belajar, pembaca yang cepat dan tekun, lebih suka membaca sendiri
dari pada dibacakan orang lain, tidak mudah yakin atau percaya terhadap setiap
masalah sebelum secara mental merasa pasti, suka mencoret-coret tanpa arti
selama berbicara di telepon atau dalam rapat, lebih suka melakukan pertunjukan
(demonstrasi) daripada berpidato, lebih menyukai seni daripada musik, seringkali
mengetahui apa yang harus dikatakanakan tetapi tidak pandai memilih kata-kata,
serta kadang-kadang suka kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin
memperhatikan.
Gaya belajar auditorial adalah gaya belajar dengan cara mendengar. Individu
dengan gaya belajar ini, lebih dominan dalam menggunakan indera pendengaran
untuk melakukan aktivitas belajar. Individu mudah belajar, mudah menangkap
stimulus atau rangsangan apabila melalui alat indera pendengaran (telinga).
Individu dengan gaya belajar auditorial memiliki kekuatan pada kemampuannya
untuk mendengar. Ciri-Ciri individu yang memiliki tipe gaya belajar audiotorial
yaitu saat bekerja sering berbicara pada diri sendiri, mudah terganggu oleh
keributan atau hiruk pikuk disekitarnya, sering menggerakkan bibir dan
mengucapkan tulisan dibuku ketika membaca, senang membaca dengan keras dan
mendengarkan sesuatu, dapat mengulangi kembali dan menirukan nada, birama,
dan warna suara dengan mudah, merasa kesulitan untuk menulis tetapi mudah
7
dalam bercerita, pembicara yang fasih, lebih suka musik daripada seni yang
lainnya, lebih mudah belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusikan daripada yang dilihat, suka berbicara, berdiskusi, dan menjelaskan
sesuatu dengan panjang lebar, dan lebih pandai mengeja dengan keras daripada
menuliskannya.
Gaya belajar kinestetik adalah gaya belajar dengan cara bergerak, bekerja,
dan menyentuh. Maksudnya ialah belajar dengan mengutamakan indera perasa
dan gerakan-gerakan fisik. Individu dengan gaya belajar ini lebih mudah
menangkap pelajaran apabila bergerak, meraba, atau mengambil tindakan. Ciri-
ciri individu yang memiliki tipe gaya belajar kinestetik yaitu berbicara dengan
perlahan, menyentuh untuk mendapatkan perhatian, berdiri dekat ketika berbicara
dengan orang, selalu berorientasi dengan fisik dan banyak bergerak, menghafal
dengan cara berjalan dan melihat, menggunakan jari sebagai penunjuk ketika
membaca, banyak menggunakan isyarat tubuh, tidak dapat duduk diam untuk
waktu lama, memungkinkan tulisannya jelek, ingin melakukan segala sesuatu, dan
menyukai permainan yang menyibukkan.
Berkaitan dengan kemandirian belajar dalam matematika, pada umumnya
peserta didik masih memiliki kemandirian belajar yang rendah. Dari hasil studi
yang dilakukan (Runisah, 2015) yang melibatkan 150 orang peserta didik kelas
VIII dapat disimpulkan bahwa kemandirian belajar dalam matematika masih
rendah. Skor rata-rata peserta didik hanya mencapai 112 dari skor maksimal ideal
200 dan skor tertinggi hanya mencapai 146. Dengan demikian rata-rata skor
kemandirian belajar peserta didik hanya 56,2% dari skor maksimal ideal yang
masih tergolong rendah. Kemandirian belajar dapat diartikan sebagai pengaturan
diri dalam memonitor pemahamannya terhadap informasi dan bahan yang
diperoleh sehingga dapat merancang tujuan serta memilih strategi yang tepat. Hal
senada diungkapkan oleh Schunk dan Zimmerman (dalam arslan, 2014) yaitu
kemandirian belajar digambarkan sebagai kemampuan untuk memahami dan
mengendalikan lingkungan belajar, dalam hal ini pribadi harus menentukan tujuan
dari pembelajaran, memilih strategi yang akan membantu tercapainya tujuan,
menerapkan startegi dan memantau kemajuan sehingga tercapaianya tujuan
8
tersebut. (Lyn, Cuskelly, O’Callaghan dan Grey, 2011) mendefenisikan
kemandirian belajar merupakan pengaturan kognisi dan perilaku yang merupakan
aspek penting dalam proses pembelajaran sehingga peserta didik yang memiliki
kemandirian belajar pada proses pembelajarannya akan mempengaruhi
keberhasilan akademis. (Montelvo dan Torres, 2008) memberikan pengertian
kemandirian belajar yaitu gabungan antara keterampilan dan kemauan.
Berdasarkan laporan dari kegiatan pembelajaran selama ini diperoleh bahwa
pasifnya peserta didik pada saat proses pembelajaran, selalu bertanya kepada
pendidik/teman dalam menyelesaikan soal-soal matematika tanpa mencoba
menyelesaikan sendiri terlebih dahulu, tidak terlihat adanya keinginan
mendiskusikan materi matematika yang sukar dipahami, kurangnya keberanian
dan percaya diri menyelesaikan soal matematika di depan kelas.
9
4. Mata kuliah yang diteliti adalah kalkulus integral
10
c. Bagi Kampus
Melalui penelitian ini diharapkan kampus dalam hal ini ketua Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan dan pemegang otoritas di kampus
dapat memperoleh informasi atau kajian baru sebagai masukan atau bahan
pertimbangan dalam memberikan fasilitas atau penyediaan pelayanan
terhadap mahasiswa terkait pada proses kemampuan literasi numeris dalam
pemecahan masalah kalkulus integral ditinjau dari gaya belajar dan
kemandirian belajar mahasiswa.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, KERANGKA BERPIKIR,
DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Kajian Teori
12
literasi tersebut diserap dalam bidang-bidang yang lain, dan satu di antara bidang
yang menyerapnya adalah bidang matematika, sehingga muncul istilah literasi
matematis. Literasi matematis memiliki beberapa dimensi seperti spatial literacy
(literasi spasial), numerical literacy (literasi numerik), dan quantitative literacy
(literasi kuantitatif) (Otanrio education, 2004: 24).
13
hari, serta 2) menganalisis informasi yang disediakan dalam berbagai bentuk,
mulai dari grafik sampai dengan bagan, dan lalu menjadikan hasil analisis
tersebut sebagai alat untuk mengambil keputusan (Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI, 2017).
14
angka tinggi dan rendah berlawanan arah antara Peters et al. dan Chapman dan
Liu. Secara khusus, Peters et al. menemukan bahwa individu dengan numeris
rendah lebih dipengaruhi oleh tugas dengan format frekuensi. Penelitian ini
menggunakan paradigma yang diadaptasi dari Slovic, Monahan, dan Mac
Gregor (2000) dimana seorang pasien psikiatri akan melukai orang lain dalam
beberapa bulan pertama.
Literasi numerik diperlukan agar siswa dapat berkomunikasi pada era digital
yang cenderung serba abstrak, sehingga penguasaan dasar-dasar matematis
seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian mutlak dibutuhkan
oleh generasi mendatang.
15
sesuai rencana dan melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah
yang dikerjakan. Satu tahap ke tahap berikutnya dalam pemecahan masalah
saling mendukung untuk menghasilkan pemecahan masalah yang termuat dalam
soal. Mahasiswa berperan dalam memahami setiap langkah dalam pemecahan
masalah agar proses berpikir berjalan dengan baik. Dalam proses pembelajaran
diperlukan suatu pola pikir yang menghasilkan solusi terhadap persoalan.
16
menyelesaikan masalah tersebut dan harus berani menghadapi masalah untuk
menyelesaikannya.
17
mata kuliah bisa didapatkan dari proses belajar mandiri untuk menemukan
sendiri konsep materi dengan bimbingan dosen, tidak hanya mengharapkan
transfer materi secara keseluruhan dari dosen. Pada dasarnya, proses perkuliahan
di Perguruan Tinggi dituntut usaha mandiri dari mahasiswa. Proses perkuliahan
seperti ini yang membedakan pola belajar siswa dengan mahasiswa, dosen hanya
sebagai mediator dan fasilitator. Dengan adanya kemandirian tersebut,
diharapkan konsep akan tertanam dengan baik sehingga hasil belajar
memuaskan.
18
2.1.3 Gaya Belajar
Mahasiswa akan dapat belajar dengan baik dan hasil belajarnya baik, apabila
ia mengerti gaya belajarnya. Hal tersebut memudahkan mahasiswa dapat
menerapkan pembelajaran dengan mudah dan tepat. Dengan mengenal gaya
belajar masing-masing maka pembelajaran dapat dilakukan dengan mudah dan
tepat. Keberhasilan dalam menggunakan gaya belajar akan membawa dampak
yang positif dalam meningkatkan prestasi belajar.
Gaya belajar dapat didefinisikan sebagai usaha yang dilakukan individu untuk
mencapai tujuan belajarnya. Sebagai langkah awal pengalaman belajar adalah
mengenal gaya belajar. Menurut Bobbi De Porter dan Mike Hirarcky dalam
Quantum Learning (2002: 123) ada 3 macam gaya belajar yaitu: gaya belajar
visual, auditorial dan kinestetik. a. Gaya belajar visual b. Gaya belajar auditorial.
c. Gaya belajar kinestetik. Meskipun kebanyakan orang mempunyai ketiga gaya
belajar itu tetapi hampir semua cenderung pada salah satu gaya belajar saja,
seperti pendapat yang dikemukakan oleh Rose dan Nicholl: "dalam
kenyataannya kita mempunyai ketiga gaya belajar itu, hanya saja satu gaya yang
mendominasi" (Bobbi D, Mark R, Sarah S, 2005: 165). Ada banyak cara untuk
bisa mengenali gaya belajar seperti yang dituliskan Bobbi D dan Mike H (2002:
162-120) yang salah satunya dengan mengetahui ciri-cirinya, yaitu:
Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh individu dengan gaya visual, antara lain: 1)
Rapi dan teratur. 2) Berbicara dengan cepat. 3) Berencana dan mengatur
19
jangka waktu yang baik. 4) Teliti dan detail. 5) Mementingkan penampilan,
baik dalam hal pakaian maupun presentasi. 6) Pengeja yang baik dan dapat
mengeja kata-kata yang sebenarnya dalam pikiran mereka. 7) Mengingat apa
yang dilihat daripada didengar. 8) Mengingat dengan asosiasi visual. 9)
Biasanya tidak terganggu dengan keributan. 10) Mempunyai masalah untuk
mengingat instruksi verbal kecuali jika ditulis dan seringkali minta bantuan
orang lain untuk menghalanginya. 11) Pembaca cepat dan tekun. 12) Lebih
suka membaca daripada dibacakan. 13) Membutuhkan pandangan dan tujuan
yang menyeluruh serta bersikap waspada sebelum secara mental, merasa pasti
tentang suatu masalah atau proyek. 14) Mencoret-coret tanpa arti selama
berbicara di telepon dan dalam rapat. 15) Lupa menyampaikan pesan verbal
kepada orang lain. 16) Sering menjawab pertanyaan dengan jawaban singkat
"ya atau tidak". 17) Lebih suka melakukan demontrasi daripada pidato. 18)
Lebih suka seni daripada musik. 19) Seringkali mengetahui apa yang harus
dikatakan, tetapi tidak pandai memilih kata-kata. 20) Kadang-kadang
kehilangan konsentrasi ketika mereka ingin memperhatikan.
Ciri yang ditampilkan oleh pelajar auditorial antara lain: 1) Mudah terganggu
oleh keributan. 2) Menggerakkan bibir mereka dan mengucapkan tulisan di buku
ketika membaca. 3) Senang membaca keras dan mendengarkan. 4) Dapat
mengulangi kembali dan menirukan nada, irama dan warna suara. 5) Berbicara
dalam irama yang berpola. 6) Biasanya pembicara yang fasih. 7) Lebih suka
musik daripada seni. 8) Belajar dengan mendengarkan dan mengingat apa yang
didiskusikan daripada yang dilihat. 9) Suka berbicara, berdiskusi dan
menjelaskan tentang sesuatu panjang lebar. 10) Mempunyai masalah-masalah
dengan pekerjaan yang melibatkan visualisasi seperti memotong-motong bagian-
bagian hingga sesuai satu sama lain. 11) Lebih pandai mengeja dengan keras
daripada menuliskannya. 12) Lebih suka gurauan daripada membaca komik.
20
Ciri yang ditampilkan oleh pelajar kinestetik antara lain: 1) Berbicara dengan
pelan. 2) Menanggapi perhatian fisik. 3) Menyentuh orang untuk mendapatkan
perhatian mereka. 4) Berdiri dekat ketika berbicara dengan orang lain. 5) Selalu
berorientasi pada fisik dan banyak bergerak. 6) Mempunyai perkembangan awal
otot yang benar. 7) Belajar melalui manipulasi dan praktek. 8) Menghafal
dengan cara berjalan dan melihat. 9) Menggunakan jari sebagai penunjuk ketika
membaca. 10) Banyak menggunakan isyarat tubuh. 11) Tidak dapat duduk diam
dalam jangka waktu lama. 12) Tidak dapat mengingat geografis kecuali jika
mereka memang telah pernah berada di tempat itu. 13) Menggunakan kata-kata
yang mengandung aksi. 14) Menyukai buku-buku yang berorientasi pada plot,
mereka mencerminkan aksi dengan gerakan tubuh saat membaca. 15)
Kemungkinan tulisannya jelek. 16) Ingin melakukan sesuatu. 17) Menyukai
permainan yang menyibukkan.
Setelah mengetahui gaya belajar yang dimiliki baik itu visual, auditorial,
kinestetik, mahasiswa dapat menggunakan cara-cara untuk memaksimalkan gaya
belajarnya. Menurut Bobbi D dan Mike H (2002: 85-86) untuk memaksimalkan
gaya belajar dapat digunakan: a. Gaya belajar visual 1) Gunakan kertas tulis
dengan tulisan berwarna. 2) Buatlah diagram, peta dan warnai untuk
menggambarkan informasi yang ada. 3) Pahami konsep secara keseluruhan
sebelum terjun ke bagian detailnya. 4) Berikan kode warna untuk bahan
pelajaran dan perlengkapan kemudian susun pelajaran dengan aneka warna. 5)
Gunakan simbol-simbol untuk mewakili konsep.
21
1) Gunakan alat bantu dalam belajar untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan
untuk menekan konsep-konsep atau kunci. 2) Lakukan stimulasi konsep agar
mudah dipahami. 3) Bila diberikan bimbingan oleh dosen duduklah didekatnya
atau disebelahnya. 4) Peragaan konsep untuk mempelajari langkah demi
langkah. 5) Lakukan gerakan-gerakan saat belajar untuk mempermudah
mengingat. Hubungan Gaya Belajar Dengan Prestasi Belajar Sebagaimana kita
ketahui, belajar membutuhkan konsentrasi. Situasi dan kondisi untuk
berkonsentrasi sangat berhubungan dengan gaya belajar. Jika mengenali gaya
belajar, maka dapat mengelola pembelajaran pada kondisi apa, dimana, kapan
dan bagaimana cara pembelajaran yang baik dan efektif. Gaya belajar setiap
orang dipengaruhi oleh faktor alamiah (pembawaan) dan faktor lingkungan.
Mengenali gaya belajar sendiri, belum tentu membuat menjadi lebih pandai.
Tapi dengan mengenali gaya belajar akan dapat menentukan cara belajar yang
lebih efektif.
22
secara emosional. Pada intinya, orang yang mandiri itu mampu bekerja
sendiri, tanggung jawab, percaya diri, dan tidak bergantung pada orang lain.
23
cara belajarnya secara mandiri. Adapun ciri-ciri kemandirian belajar menurut
Laird (dalam Haris Mujiman, 2011: 9-10) diantaranya terdiri dari kegiatan
belajar mengarahkan diri sendiri atau tidak tergantung pada orang lain,
mampu menjawab pertanyaan saat pembelajaran bukan karena bantuan
pendidik atau lainnya, lebih suka aktif daripada pasif, memiliki kesadaran apa
yang harus dilakukan, evaluasi belajar dilaksanakan bersama-sama, belajar
dengan mengaplikasikan (action), pembelajaran yang berkolaborasi artinya
memanfaatkan pengalaman dan bertukar pengalaman, pembelajaran yang
berbasis masalah, dan selalu mengharapkan manfaat yang dapat diaplikasikan
dalam kehidupan.
Tokoh lain seperti (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori, 2005: 117)
membagi kemandirian dalam perkembangannya menjadi 4 tingkatan, yaitu
24
tingkat sadar diri, tingkat saksama, individualitas, dan mandiri. Adapun yang
menjadi ciri pada tingkat mandiri menurut (Mohammad Ali dan Mohammad
Asrori, 2005: 118) yaitu memiliki pandangan hidup, bersikap objektif dan
realistis, mengintegrasikan nilai-nilai yang bertentangan, mampu
menyelesaikan konflik, memiliki kesadaran untuk menghargai dan mengakui
saling ketergantungan pada orang lain, serta memiliki keyakinan dan
keceriaan untuk mengungkapkan perasaannya.
Kemandirian belajar, merupakan salah satu aspek sikap atau disposisi yang
akan dikembangkan dalam pembelajaran. Rasa kemandirian belajar ini tidak
muncul dengan sendirinya namun perlu diasah dan dilatih sehingga tumbuh
dengan baik. Cara melatih kemandirian belajar adalah dengan memberikan
masalah yang menantang dan membingungkan sehingga muncul rasa
tanggung jawab dalam diri sehingga dirinya dapat menyelesaikan
permasalahan dan tidak tergantung pada orang lain dalam diri peserta didik
tersebut.
25
BAB III
METODE PENELITIAN
Pemecahan Masalah:
26
Pemecahan masalah matematika merupakan keterampilan siswa mengerjakan
soal-soal pemecahan masalah.
Mayer dan Wittrock (2006), siswa membutuhkan lima jenis pengetahuan agar
menjadi pemecah masalah yang berhasil: fakta (pengetahuan tentang karakteristik
elemen, misalnya 100cm dalam satu meter), konsep (pengetahuan tentang
kategori, prinsip, atau model). , misalnya apa arti nilai tempat), strategi
(pengetahuan tentang metode umum), prosedur (pengetahuan tentang prosedur
khusus), keyakinan (kognisi tentang kompetensi PS seseorang atau tentang sifat
PS), pengetahuan meta-kognitif (kesadaran dan kendali diri sendiri) pemrosesan
kognitif dan termasuk keyakinan).
Metacognitive Awareness
4. Hal senada juga dikemukakan oleh Sengul dan Katranci (2012) bahwa individu
dapat lebih berhasil dalam pemecahan masalah dengan memiliki pengalaman
metakognisi. Oleh karena itu, metakognisi memiliki hubungan yang erat dengan
27
pemecahan masalah dalam pembelajaran, dimana dalam memecahkan masalah
diperlukan proses metakognisi.
2. Selain itu, metakognisi adalah aktivitas berpikir tentang pikiran sendiri dan
orang lain, memantau dan mengatur cara berpikir sendiri.
28
1. Keterampilan metakognitif dianggap memainkan peran penting dalam berbagai
jenis aktivitas kognitif, termasuk pemahaman.
2. Aktivasi keterampilan metakognitif dapat menciptakan pembelajar yang
mengatur diri sendiri dan dapat mempengaruhi peningkatan hasil belajar.
Keterampilan metakognitif merupakan salah satu aspek dimensi pengetahuan
dan merupakan keterampilan yang menarik untuk dipelajari lebih lanjut.
3. Metakognisi adalah istilah yang diperkenalkan oleh Flavell (1976) dan
diartikan sebagai pengetahuan tentang proses kognitif. Metakognisi sangat erat
kaitannya dengan hasil belajar kognitif.
4. metakognisi adalah suatu bentuk kognisi atau proses berpikir tingkat kedua
atau lebih yang mencakup pengendalian aktivitas kognitif.
5. Dengan demikian, metakognisi dapat dikatakan sebagai pemikiran seseorang
tentang pemikiran-diri atau kognisi kesadaran-diri seseorang. Selain itu,
metakognisi melibatkan pengetahuan dan kesadaran individu tentang aktivitas
kognitifnya yang terkait dengan aktivitas kognitif
6. Metakognisi adalah kesadaran berpikir orang tentang proses berpikirnya, baik
yang dia ketahui maupun yang tidak dia ketahui. Metakognisi memiliki dua
komponen yaitu: (1) pengetahuan metakognitif dan (2) keterampilan
metakognitif.
7. Pengetahuan metakognitif sangat terkait dengan pengetahuan deklaratif,
prosedural, dan kondisional seseorang dalam memecahkan masalah),
sedangkan keterampilan metakognitif sangat terkait dengan keterampilan
prediksi, keterampilan perencanaan, keterampilan pemantauan, dan
keterampilan evaluasi
8. Metakognisi adalah pemikiran tentang berpikir dalam arti membangun strategi
tertentu untuk memecahkan suatu masalah. Metakognisi mengacu pada
keterampilan siswa untuk memantau proses belajarnya secara sadar
9. Pengetahuan metakognitif adalah kognisi tentang kognisi, yang secara umum
mirip dengan kesadaran dan kognisi tentang kognisi diri seseorang. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa metakognisi adalah kesadaran akan apa
yang diketahui dan tidak diketahui. Sedangkan strategi metakognitif mengacu
pada bagaimana orang meningkatkan kesadaran berpikir dan proses belajar
sehingga orang dapat merencanakan, memantau, dan mengevaluasi apa yang
dipelajari.
10.(1) metakognisi memegang peranan penting dalam aktivitas pemecahan
masalah; (2) siswa cenderung lebih terampil dalam memecahkan masalah jika
memiliki pengetahuan metakognitif; (3) dalam kerangka pemecahan masalah,
guru sering menekankan strategi tertentu untuk memecahkan suatu masalah
daripada memperhatikan aspek penting lainnya dari kegiatan pemecahan
masalah; (4) guru cenderung mengungkapkan beberapa pencapaian tingkat
sedang, yang penting dalam penalaran dan strategi pengajuan masalah.
11.metakognisi memungkinkan orang untuk bertanggung jawab atas pembelajaran
mereka sendiri. Ini melibatkan kesadaran tentang bagaimana mereka belajar,
29
evaluasi kebutuhan belajar mereka, menghasilkan strategi untuk memenuhi
kebutuhan ini dan kemudian menerapkan strategi tersebut.
12.Metakognisi mengarah pada kemampuan berpikir tingkat tinggi yang
melibatkan kontrol aktif dari proses kognitif tertentu dalam pembelajaran.
Beberapa aktivitas seperti merencanakan bagaimana menyelesaikan tugas yang
diberikan, memantau pemahaman, dan mengevaluasi perkembangan kognitif
termasuk dalam aktivitas metakognitif dalam kehidupan sehari-hari.
Keterampilan metakognitif membantu siswa membuat rencana, mengikuti
kemajuan tertentu, dan memantau proses pembelajaran mereka sendiri.
Berpikir Kritis
Keterampilan berpikir dominan yang sangat dibutuhkan pada abad ke-21 ini
adalah keterampilan berpikir kritis.
Berpikir kritis berarti berpikir reflektif yang berfokus pada memutuskan tindakan
yang diyakini atau sesuatu yang dilakukan
Gagasan lain yang dikemukakan adalah bahwa berpikir kritis adalah keterampilan
dalam memeriksa asumsi, membedakan nilai-nilai yang tersembunyi,
mengevaluasi bukti, dan menilai kesimpulan.
Berpikir kritis adalah proses yang didisiplinkan secara intelektual dari secara aktif
dan terampil mengkonseptualisasikan, menerapkan, menganalisis, mensintesis,
dan / atau mengevaluasi informasi yang dikumpulkan dari, atau dihasilkan oleh,
observasi, pengalaman, refleksi, penalaran, atau komunikasi, sebagai panduan
untuk keyakinan dan tindakan
30
Sejumlah keterampilan belajar perlu diberdayakan dalam pendidikan abad ke-21,
salah satunya adalah keterampilan berpikir kritis yang termasuk dalam
keterampilan berpikir tingkat tinggi
Literasi Numeris
Bagian berikut menguraikan konsep literasi grafis dan numerik serta kerangka
analisis kami yang menerapkan tiga atribut pemahaman, representasi, dan nilai.
Kami kemudian beralih ke garis besar rinci dari metodologi kami sebelum
mempresentasikan hasil studi. Terakhir, kami kembali ke diskusi tentang hasil ini
terkait relevansinya dengan sistem informasi perikanan.
2. Menilai grafik dan numerasi dalam perikanan. Literasi grafis, atau grafik,
mengacu pada kemampuan untuk menafsirkan informasi yang disajikan dalam
bentuk grafik, termasuk kemampuan individu untuk mengekstrak informasi dan
membuat kesimpulan dari format grafik yang berbeda; termasuk diagram, grafik,
bagan, peta atau bahkan foto dan sketsa .
31
3. pengaruh keterampilan fonologis mungkin dimediasi oleh usia anak-anak, yang
menunjukkan bahwa itu tidak konstan sepanjang perkembangan. Salah satu
faktor non-matematika lain yang mungkin berperan dalam perkembangan
matematika adalah amplitudo leksikal (kosakata), yang diperlukan untuk
memahami istilah bahasa tertentu yang digunakan dalam instruksi khusus, dan
sangat terlibat dalam pemecahan.
Pemahaman instruksi dan pemecahan masalah juga melibatkan pemahaman
morfosintaktik, yang mendapat sedikit perhatian dalam analisis hubungan antara
bahasa dan matematika
SOAL 1
SOAL 2
Soal 2
Suatu permainan mempunyai aturan sebagai berikut: Pertama pemain harus melempar
dadu. Jika diperoleh bilangan ganjil, maka permainan berakhir. Jika diperoleh bilangan
genap maka pemain harus mengambil satu bola pada kantong. Pemain akan mendapat
hadiah jika dia berhasil mendapatkan bola hitam, jika dia memperoleh bola selain hitam,
32
maka dia tidak mendapatkan hadiah. Jika Sifa bermain satu kali, maka kemungkinan dia
mendapatkan hadiah adalah….
33