Anda di halaman 1dari 39

ANALISIS KESALAHAN SISWA DALAM MENYELESAIKAN

MASALAH MATEMATIKA BERDASARKAN NEWMAN’S ERROR


ANALYSIS (NEA) DAN SCAFFOLDING-NYA

PROPOSAL TESIS

Dosen Pembimbing I : Dr. Sudirman, M.Si


Dosen Pembimbing II : Prof. Dr. Toto Nusantara, M.Si

Oleh:
Yayuk Kuswanti
150311806320

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
Februari 2017

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan merupakan hal penting yang harus dimiliki setiap manusia. Hal

ini karena pendidikan memiliki peran dan pengaruh yang positif terhadap segala

bidang kehidupan dan perkembangan manusia dengan berbagai aspek

kepribadiannya (Mulyasa, 2015:3). Selain berperan dan berpengaruh terhadap

kepentingan individu, pendidikan juga dapat mempengaruhi perkembangan serta

kehidupan masyarakat dan kelompok. Sehingga, diperlukan perhatian khusus dari

berbagai pihak untuk meningkatkan mutu pendidikan agar dapat menciptakan

masyarakat yang cerdas, mandiri dan kreatif.

Salah satu perhatian khusus yang harus diberikan dapat dimulai pada

pendidikan formal yang diterima anak-anak di sekolah. Sekolah merupakan suatu

lembaga formal tempat berlangsungnya proses belajar mengajar yang sangat

mempengaruhi perkembangan pendidikan suatu negara. Anak-anak akan terlibat

dalam suatu kegiatan belajar yang sangat bervariasi macamnya, seperti membaca,

menganalisa masalah, menikmati suatu karya, bermain dan sebagainya di sekolah

(Gagne, 1975: 13). Kegiatan yang diikuti tersebut dapat digunakan sebagai bekal

untuk terjun di kehidupan bermasyarakat. Di indonesia, pendidikan yang

dilaksanakan terbagi menjadi beberapa jenjang. Jenjang pendidikan tersebut

dibagi berdasarkan tingkatan usia dan kemampuan peserta didik.

1
2

Matematika merupakan salah satu bidang studi yang diberikan pada setiap

jenjang pendidikan. Matematika memegang peranan penting terhadap

perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta menunjang perkembangan

dan kemajuan ilmu-ilmu lain, seperti: ilmu kimia, fisika, dan komputer.

Pentingnya matematika dalam pendidikan ini dapat dilihat dari jam sekolah yang

lebih banyak jika dibandingkan dengan pelajaran lain. Menurut Abdurrahman

(2003: 252), matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk

mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan, sedangkan

fungsi teoritisnya untuk memudahkan pola berpikir. Melalui pendidikan

matematika, siswa diharapkan dapat memiliki kemampuan memahami konsep

matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikannya

(secara luwes, akurat, efisien, dan tepat) dalam pemecahan masalah, serta

menumbuhkan kemampuan berpikir (kritis, logis, sistematis, dan cermat) dalam

memecahkan masalah (Depdiknas, 2006:346).

Tercapai atau tidaknya tujuan diberikannya pendidikan matematika salah

satunya dapat dinilai dari keberhasilan siswa dalam memahami dan menerapkan

konsep matematika. Namun pada kenyataannya, berdasarkan hasil penelitian

Trends In International Mathematics and Science Study (TIMSS) sejak pertama kali

Indonesia mengikutinya (tahun 1999-2012), Programme for International Student

Assessment (PISA) sejak pertama Indonesia ikut serta (tahun 2003-2012), The

Political and Economic Risck Consultancy (PERC) dan penelitian lainnya

menunjukkan bahwa kemampuan siswa di Indonesia berada pada kategori rendah

dalam bidang matematika. Hal ini tentu akan berdampak terhadap pendidikan dan

pembelajaran matematika di Indonesia.


3

Pembelajaran matematika di sekolah seharusnya tidak hanya sekedar

tentang menghitung dan menghafalkan rumus-rumus saja, namun juga harus

berkaitan dengan pengaplikasian matematika dalam menyelesaikan masalah yang

berupa teori maupun masalah dalam kehidupan sehari-hari. Karena dengan

menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari, siswa akan terbantu dalam

mendapatkan kemampuan dan kecakapan dalam memecahkan masalah secara

lugas, rasional, dan tuntas. Masalah matematika ini biasanya dapat berupa

pertanyaan atau soal. Menurut Cahya (2006: 201) soal yang dikategorikan sebagai

masalah memiliki sifat (1) tergantung situasi dan kondisi orang yang

menghadapinya, (2) tidak dapat dikerjakan langsung dengan prosedur rutin,

sehingga membutuhkan seleksi terhadap informasi yang diperoleh dan pengaturan

konsep yang dimiliki, serta (3) sesuai dengan bidang yang dipelajari. Masalah

matematika yang sering dijumpai adalah soal tidak rutin yang berupa soal cerita.

Namun, tidak semua soal cerita dapat dikatakan sebagai masalah matematika.

Kenyataan yang ditemukan dalam pembelajaran matematika adalah masih

ditemukannya siswa yang mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah

matematika. Salah satu masalah yang sering dianggap sulit oleh siswa adalah soal

cerita. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang telah dilakukan Hasan (2014).

Pada penelitiannya, ia menyatakan bahwa kesulitan yang dialami siswa dalam

menyelesaikan soal cerita diantaranya adalah (1) tidak mampu merumuskan apa

yang diketahui dan ditanyakan secara tertulis; (2) tidak mampu mampu

merencanakan langkah penyelesaian; (3) tidak mampu menggunakan konsep

matematika dengan baik pada proses perhitungan; dan (4) tidak melakukan

pengecekan kembali hasil pekerjaannya. Selain itu, Rodiwarsito (2012) juga


4

menyatakan bahwa siswa mengalami kesulitan dalam menyelesaikan soal cerita.

Kesulitan tersebut diantaranya adalah siswa kesulitan dalam memahami masalah,

menyatakan fakta dengan kalimat matematika, menggunakan dan mengaitkan

konsep-konsep matematika dengan pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya,

dan mengomunikasikan jawabannya.

Salah satu materi yang dianggap sulit dan sering ditemukan kesalahan

siswa saat menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan materi tersebut adalah

Trigonometri. Berdasarkan studi pendahuluan yang peneliti lakukan terhadap

siswa sebanyak .., di kelas X-.. ditemukan kesulitan siswa dalam menyelesaikan

masalah matematika khususnya soal cerita pada materi Trigonometri. Pkesulitan

tersebut ditunjukkan dari rata-rata nilai kelas untuk metari Trigonometri yaitu ….

Selain ditunjukkan dari nilai yang diperoleh, kesulitan siswa juga ditunjukkan

pula saat siswa diberikan soal cerita yang berkaitan dengan Trigonometri. Siswa

melakukan kesalahan seperti berikut.

Menurut Sukirman (1985: 16), kesalahan merupakan penyimpangan

terhadap hal-hal yang bersifat sistematis dan konsisten (disebabkan oleh

kurangnya tingkat penguasaan siswa), maupun insidental pada daerah tertentu

(disebabkan oleh kekurangtelitian siswa dalam menyelesaikan masalah). Ada

bermacam-macam kesalahan yang dilakukan siswa saat menyelesaikan masalah

matematika khususnya soal cerita. Menurut Newman (1983) kesalahan yang

dilakukan siswa tersebut banyak ditemukan pada struktur semantik, kosa kata, dan

simbol-simbol matematika daripada dengan algoritma dasar. Selain itu juga

ditemukan bahwa sekitar 70% dari kesalahan yang dilakukan siswa tahun ke-7

ada di tingkat pemahaman dan transformasi dan kurang dari 5% kesalahan


5

ditemukan pada tingkat membaca (decoding) dan keterampilan proses (Ellerton

dan Clarkson, 1996 dalam White, 2010:133). Sedangkan menurut Sutopo (2005),

penyebab terjadinya kesalahan siswa saat menyelesaikan soal cerita berkaitan

dengan kemampuan pemahaman verbal terhadap soal, kemampuan memanipulasi

model matematika, dan siswa langsung menetapkan nilai akhir namun tidak teliti

dalam membaca soal.

Kesalahan-kesalahan yang dilakukan siswa tidak semuanya dapat

dikaitkan dengan kemampuan yang dimiliki siswa. Misalnya, kesalahan yang

terjadi karena kecerobohan siswa. Kesalahan tersebut dapat dengan mudah

diperbaiki jika siswa menyadari letak kesalahannya. Hal inilah yang

mengakibatkan perlunya ada analisis terhadap kesalahan siswa. Analisis kesalahan

merupakan studi yang dilakukan terhadap pekerjaan siswa dengan tujuan untuk

mencari alasan terjadinya kesalahan yang dilakukan (Herholdt, 2014:43). Analisis

kesalahan ini dilakukan bukan hanya untuk menganalisis langkah pekerjaan siswa

yang benar, sebagian benar, atau yang salah dalam mencari solusi. Namun, juga

merupakan alat terbaik yang dapat digunakan untuk memperbaiki pembelajaran

yang dilakukan (Borasi, 1987:2). Salah satu metode yang dapat digunakan untuk

menganalisa kesalahan siswa adalah dengan menggunakan Newman’s Error

Analysis (Muksar dkk, 2009). Metode analisis Newman diperkenalkan oleh Anne

Newman pada tahun 1977 dan pertama kali dipromosikan oleh Clement pada

tahun 1980 di Australia. Dalam metodenya, Newman menyarankan lima tahapan

yang dapat membantu menemukan kesalahan yang terjadi pada pekerjaan siswa

ketika menyelesaikan soal cerita. Adapun kelima tahapan tersebut yaitu membaca

(reading or decoding), memahami (comprehension), transformasi


6

(transformation), keterampilan proses (process skill), dan penulisan jawaban akhir

(encoding).

Menurut White (2005), kesalahan pada tahap reading or decoding terjadi

karena siswa tidak dapat mengenali atau membaca kata kunci atau simbol yang

diberikan, sehingga menghambat langkah selanjutnya. Pada tahap comprehension,

kesalahan terjadi karena siswa tidak memahami atau mengerti arti dari

keseluruhan kata kunci atau simbol yang telah dibaca yang mengakibatkan siswa

memilih pemecahan masalah yang tidak tepat. Pada tahap transformation,

kesalahan terjadi karena siswa tidak mampu mengidentifikasi operasi atau

serangkaian operasi. Kesalahan pada tahap process skill terjadi karena siswa tidak

tahu langkah-langkah yang diperlukan untuk mengaplikasikan operasi dengan

sempurna. Pada tahap yang terakhir yaitu encoding, kesalahan terjadi karena

siswa telah mengetahui solusi untuk permasalahan yang diberikan namun tidak

dapat menuliskan solusi tersebut dalam bentuk tertulis. Penggunaan metode

Newman ini telah terbukti ampuh sebagai alat menilai, menganalisis, dan

menyediakan solusi untuk mengatasi siswa yang mengalami kesulitan dalam

menyelesaikan soal cerita (White, 2010).

Setelah mengetahui kesalahan yang dilakukan siswa, maka langkah

selanjutnya yang perlu dilakukan yaitu membantu siswa agar ia tidak melakukan

kesalahan yang sama dalam menyelesaikan masalah matematika. Salah satu

metode yang dapat digunakan adalah dengan pemberian scaffolding. Chairani

(2015) menyatakan bahwa scaffolding merupakan suatu cara yang dapat

digunakan untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar

matematika. Bruner (1983: 60) menyebutkan bahwa scaffolding merupakan suatu


7

proses yang dirancang untuk membantu siswa dalam belajar, kemudian secara

bertahap mengurangi bantuan tersebut saat siswa menjadi cukup terampil untuk

mengelolanya. Menurut Hardjito (2010:130), scaffolding merupakan pemberian

bantuan sementara yang dilakukan guru untuk membantu siswa dalam mengatasi

kesulitan yang dialaminya dalam belajar. Pemberian bantuan dapat berupa

petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah

pembelajaran, memberikan contoh sehinggga memungkinkan siswa tumbuh

mandiri. Karena sifatnya yang sementara, sehingga bantuan yang diberikan akan

berangsur-angsur dihilangkan sampai siswa tidak membutuhkan bantuan lagi.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan Rodiwarsito (2013) dan

Sutopo (2005), pemberian scaffolding kepada siswa yang mengalami kesulitan

belajar dapat membantu mereka mengurangi kesalahan saat menyelesaikan

masalah matematika khususnya soal cerita. Hal itu ditunjukkan dengan siswa yang

awalnya melakukan kesalahan saat menyelesaikan soal cerita setelah diberikan

scaffolding dapat menyelesaikan soal cerita tersebut dengan benar dan tepat.

Scaffolding dapat menumbuhkan kemampuan berfikir kreatif siswa, meningkatkan

kemandiriannya, dan meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam mengerjakan

matematika. Selain dapat menguntungkan siswa, scaffolding juga dapat

menguntungkan guru. Karena dengan scaffolding, guru dapat mengetahui

keinginan siswa sehingga dapat merancang suatu pembelajaran yang tepat

(McCrosker, 2009). Adapun keuntungan lainnya dari penerapan scaffolding yang

disebutkan Northern Illinois University adalah melibatkan siswa dalam diskusi

bermakna dan dinamis di kelas kecil dan besar, memotivasi peserta didik untuk

menjadi siswa yang lebih baik, meningkatkan kemungkinan bagi siswa untuk
8

memenuhi tujuan instruksional, memberikan kesempatan siswa untuk belajar dan

mengajar, scaffolding dapat "didaur ulang" untuk situasi belajar lainnya,

menyediakan lingkungan belajar yang ramah dan peduli.

Hogan dan Pressley (1997) merangkum delapan elemen penting yang

dapat digunakan guru sebagai pedoman dalam melaksanakan scaffolding. Delapan

elemen tersebut yaitu memilih tugas yang sesuai dengan tujuan kurikulum,

memberikan kesempatan pada siswa untuk berkonstribusi dalam menentukan

tujuan instruksional, aktif mendiagnosa kebutuhan dan pemahaman siswa,

memberikan bantuan yang sesuai, membantu siswa fokus pada tujuan

pembelajaran, memberikan tanggapan, menciptakan pembelajaran yang terbuka,

serta membantu menghayati, mandiri, dan membuat generalisasi ke konteks lain.

Selain itu, Larkin (2001) menambahkan beberapa pedoman yang dapat dilakukan

guru dalam pelaksanaan scaffolding, yaitu: (1) guru memulai dengan apa yang

dapat dilakukan siswa; (2) guru membantu siswa mencapai sukses dengan cepat;

(3) guru membantu siswa untuk "menjadi" seperti orang lain; (4) guru membantu

siswa untuk tahu kapan saatnya berhenti; dan (5) guru membantu siswa untuk

mandiri.

Anghileri (2006) menyampaikan bahwa terdapat 3 tingkatan dalam

penerapan metode scaffolding yaitu environmental provisions (tingkat pertama),

explaining, reviewing, and restructuring (tingkat kedua), dan conceptual

development (tingkat ketiga). Pada scaffolding tingkat pertama, bantuan guru

adalah menyiapkan lingkungan belajar di kelas sebelum tatap muka dengan siswa.

Jadi, praktik scaffolding pada tingkat ini tidak menunjukkan interaksi langsung

siswa dan guru. Pada scaffolding tingkat kedua, terjadi interaksi langsung antara
9

guru dan siswa. Interaksi tersebut berupa guru memberikan penjelasan, peninjauan

kembali oleh siswa, dan penguatan pemahaman pada siswa. Pada scaffolding

tingkat ketiga, mengembangkan konsep yang sebelumnya sudah dikuasai siswa.

Jadi, pada tahap ini siswa didukung untuk membuat koneksi dan mengembangkan

alat-alat representasinya dari konsep yang telah dipelajari.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud mengadakan penelitian

yang berjudul “Analisis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah

Matematika Berdasarkan Newman’s Error Analysis (NEA) dan Scaffolding-nya”.

Peneliti berharap dengan melakukan penelitian ini, kesalahan yang dilakukan

siswa saat menyelesaikan masalah matematika khususnya soal cerita dapat

dikelompokkan berdasarkan Newman’s Error Analysis (NEA). Pengelompokkan

kesalahan tersebut dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan scaffolding yang

tepat untuk membantu siswa mengurangi kesalahannya.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, rumusan masalah pada

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Apa saja kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika materi

trigonometri berdasarkan Newman’s Error Analysis (NEA)?

2. Bagaimana scaffolding untuk mengurangi kesalahan siswa dalam

menyelesaikan masalah matematika materi trigonometri?


10

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang digunakan, adapun tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika

materi trigonometri berdasarkan Newman’s Error Analysis (NEA).

2. Mendeskripsikan scaffolding untuk mengurangi kesalahan siswa dalam

meyelesaikan masalah matematika materi trigonometri.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut.

1. Bagi guru, memberikan gambaran tentang kesalahan yang dilakukan siswa

dalam menyelesaikan masalah matematika, sehingga guru dapat memberikan

scaffolding yang tepat untuk membantu siswa mengurangi kesalahan yang

dilakukan.

2. Bagi sekolah, memberikan bantuan untuk mengoptimalkan pembelajaran

matematika terutama dalam menyelesaikan masalah matematika.

1.5 Definisi Istilah

Definisi istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Masalah matematika adalah suatu soal yang berupa soal cerita matematika,

memiliki sifat menantang dan tidak dapat diselesaikan secara langsung

menggunakan prosedur rutin.


11

2. Kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika adalah kesalahan

yang dilakukan siswa dalam membaca masalah materi trigonometri,

kesalahan dalam memahami masalah materi trigonometri, kesalahan dalam

transformasi masalah materi trigonometri, kesalahan dalam proses

penyelesaian masalah materi trigonometri, kesalahan dalam penulisan

jawaban masalah materi trigonometri, dan kesalahan yang terjadi karena

kecerobohan siswa.

3. Newman’s Error Analysis (NEA) merupakan prosedur yang akan digunakan

peneliti untuk mengelompokkan kesalahan siswa saat menyelesaikan masalah

matematika materi trigonometri sehingga selanjutnya peneliti dapat

menentukan scaffolding yang tepat.

4. Scaffolding merupakan bantuan sementara yang diberikan guru pada siswa

untuk mengurangi kesalahan dalam menyelesaikan masalah matematika

materi trigonometri.

5. Trigonomeri adalah salah satu materi yang diajarkan untuk siswa kelas X di

semester genap dan merupakan nilai perbandingan pada koordinat kartesius

maupun segitiga siku-siku.


BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Masalah Matematika

2.1.1 Pengertian Masalah Matematika

Setiap manusia yang hidup pasti pernah mengalami masalah. Masalah

yang dihadapi akan beragam jenisnya tergantung orang yang mengalaminya.

Masalah tersebut dapat berasal dari diri sendiri maupun lingkungan. Menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia, masalah merupakan sesuatu yang harus

diselesaikan. Sementara menurut Helgenson (1992:2), masalah merupakan

kesenjangan yang terjadi antara apa yang diharapkan dengan kenyataan, antara

apa yang dimiliki dan apa yang dibutuhkan, antara apa yang telah diketahui

dengan apa yang ingin diketahui.

Masalah yang berkaitan dengan konsep matematika biasanya disebut

sebagai masalah matematika. Masalah matematika dapat disajikan dalam bentuk

pertanyaan atau soal. Akan tetapi, tidak semua soal dapat disebut sebagai masalah.

Soal atau pertanyaan tersebut akan menjadi suatu masalah atau bukan tergantung

pada orang yang mendapatkannya. Hal ini karena masalah bersifat individual.

Bahkan soal atau pertanyaan yang menjadi masalah bagi seseorang pada suatu

waktu tertentu dapat menjadi bukan masalah di waktu lainnya. Ruseffendi (2006)

menyatakan bahwa suatu soal akan menjadi masalah apabila orang yang

mendapatkan soal tersebut tidak mengenali atau belum mengetahui cara yang

tepat untuk menyelesaikannya.

12
13

Suatu soal atau pertanyaan akan menjadi masalah dalam pembelajaran

matematika jika soal tersebut menantang dan tidak dapat diselesaikan dengan

prosedur rutin yang biasa dilakukan. Menurut Hudoyo (1997: 191) terdapat empat

jenis masalah dalam pembelajaran matematika, yaitu masalah translasi, masalah

aplikasi, masalah proses, dan masalah teka-teki. Berikut penjelasan dari keempat

masalah tersebut.

(1) Masalah translasi, masalah kehidupan sehari-hari yang penyelesaiannya

membutuhkan translasi dari bentuk verbal ke bentuk matematika.

(2) Masalah aplikasi, masalah yang akan memberikan kesempatan pada siswa

untuk menyelesaikannya menggunakan berbagai macam keterampilan dan

prosedur matematika yang diketahuinya.

(3) Masalah proses, masalah yang akan melatih keterampilan siswa dalam

menyusun langkah-langkah dan strategi khusus untuk menyelesaikan

masalah.

(4) Masalah teka-teki, masalah yang sering digunakan untuk menciptakan

suasana menyenangkan dalam pembelajaran matematika.

2.1.2 Penyelesaian Masalah Matematika

Menyelesaikan masalah merupakan kegiatan yang dilakukan untuk

menjawab masalah yang diberikan. Menurut Muhkal (1999: 6), menyelesaikan

masalah merupakan suatu bentuk kegiatan belajar yang penting dalam proses

belajar mengajar matematika di sekolah karena dapat digunakan untuk

menyelesaikan masalah baru pada situasi lain. Sedangkan menurut Slameto (1986:

13), menyelesaikan masalah merupakan proses dan keterampilan intelektual dasar


14

penting yang harus diperhatikan oleh para guru matematika. Beberapa penjelasan

tersebut dapat menunjukkan bahwa siswa perlu memiliki kemampuan yang dapat

digunakan untuk menyelesaikan masalah matematika.

Kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika ini

dianggap penting karena melalui penyelesaian masalah, siswa dapat berlatih untuk

memproses data atau informasi untuk menjawab masalah yang diberikan dengan

tepat. Melalui penyelesaian masalah pula, siswa dapat mengintegrasikan konsep-

konsep, teorema-teorema, serta keterampilan yang telah dipelajarinya. Menurut

Hudojo (2003) pemberian masalah matematika pada siswa dapat memberikan

motivasi mereka untuk mempelajari matematika. Selain itu, dengan

menyelesaikan masalah siswa dapat menjadi lebih analitis dalam mengambil

keputusan dalam kehidupan (Cooney, 1985).

Agar dapat menyelesaikan masalah, seseorang harus dapat menggunakan

pengetahuan yang telah dipelajari sebelumnya untuk menyelesaikan masalah

dalam situasi baru. Sehingga, dibutuhkan masalah yang sesuai dengan

kemampuan dan kesiapan orang tersebut. Penyelesaian masalah juga menuntut

penggalian informasi sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan solusi. Solusi yang

didapat tersebyt tidak mutlak memberikan satu jawaban saja. Untuk mendapatkan

solusi yang dimaksud, dibutuhkanlah langkah-langkah yang benar dan logis

(Jonassen, 2004:8).

Menurut Abdurrahman (2001) terdapat empat hal penting yang harus

dikuasai siswa agar dapat menyelesaikan masalah matematika. Empat hal tersebut

adalah kemampuan membuat model matematika, penguasaan konsep dan prosedur

matematika, penguasaan tentang berbagai strategi pemecahan masalah, dan


15

kemampuan memverifikasi penyelesaian. Selain itu, Barwell (2011) menyatakan

bahwa untuk dapat menyelesaikan soal cerita, siswa perlu belajar bagaimana

membaca suatu masalah. Artinya, siswa tidak hanya cukup menemukan kalimat

penting atau mengubahnya ke dalam operasi aritmatika, tapi siswa harus belajar

untuk membaca tiap kalimatnya dan memahami apa yang diharapkan soal secara

matematis. Sehingga dapat dikatakan bahwa menyelesaikan soal cerita bukan

hanya sekedar tentang memperoleh jawaban dari hal yang ditanyakan. Namun,

berkaitan juga dengan proses berfikir atau langkah-langkah yang digunakan untuk

memperoleh jawaban tersebut.

Langkah-langkah yang digunakan selama proses menyelesaikan masalah

matematika memiliki peran penting dalam mengetahui pemahaman siswa

terhadap masalah yan diberikan. Menurut Dewey terdapat 6 tahap dalam

penyelesaian masalah, yaitu (1) merumuskan masalah, (2) menelaah masalah, (3)

merumuskan hipotesis, (4) mengumpulkan dan mengelompokkan data sebagai

bahan pembuktian hipotesis, (5) pembuktian hipotesis, dan (6) menentukan

pilihan penyelesaian. Sedangkan menurut Johnson dan Johnson (dalam Gulo,

2002:117) penyelesaian masalah dapat dilakukan melalui kelompok dengan

prosedur penyelesainya terdiri dari mendefinisikan masalah, mendiagnosis

masalah, merumuskan alternatif strategi, menentukan dan menerapkan strategi,

serta mengevaluasi keberhasilan strategi.

Secara umum langkah penyelesaian masalah yang digunakan adalah yang

dikemukakan Polya. Menurut Polya (1973:5), terdapat empat langkah yang harus

dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah, yaitu memahami masalah,

merencanakan penyelesaian masalah, melaksanakan penyelesaian masalah sesuai


16

dengan rencana yang telah dibuat, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh

dalam penyelesaian masalah. Pada penelitian ini, langkah-langkah yang

digunakan dalam penyelesaian masalah matematika adalah sebagai berikut.

Tabel 2.1 Langkah dan Indikator Penyelesaian Masalah Matematika


No. Langkah-langkah Penyelesaian Masalah Indikator Penyelesaian Masalah
Matematika Matematika
1 Membaca masalah - Siswa membaca masalah dengan teliti
- Siswa dapat menyebutkan informasi penting
yang ada pada masalah yang diberikan
- siswa dapat menyatakan masalah dengan
bahasanya sendiri
2 Memahami masalah - Siswa dapat menentukan apa yang diketahui
pada masalah yang diberikan
- Siswa dapat menentukan apa yang
ditanyakan pada masalah yang diberikan
- Siswa dapat mencari hubungan antara
masalah lain dengan masalah yang dihadapi
3 Mentransformasi masalah - Siswa dapat membuat gambar yang sesuai
dengan masalah yang diberikan
- Siswa dapat menggunakan perbandingan
Trigonometri
- Siswa dapat menentukan ukuran-ukuran
yang sesuai dengan informasi yang
diberikan
- Siswa dapat membuat model matematika
yang sesuai dengan masalah
4 Melakukan perhitungan - Siswa dapat melakukan perhitungan sesuai
dengan rencana yang dibuat
5 Menuliskan jawaban akhir - Siswa memeriksa kembali perhitungan yang
telah dilakukan
- Siswa memeriksa kecocokan antara apa
yang telah ditemukan dengan apa yang
ditanyakan
- Siswa dapat membuat kesimpulan dari apa
yang sudah dikerjakan

2.2 Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah Matematika

Pelajaran matematika di sekolah sampai saat ini masih dianggap sebagai

hal yang menakutkan oleh beberapa siswa. Selain menakutkan, tak sedikit pula

siswa yang menganggap bahwa pelajaran matematika sulit dan membosankan.

Kesulitan yang dialami siswa dalam menyelesaikan masalah matematika

khususnya soal cerita dapat diketahui dari kesalahan yang dilakukannya. Menurut

Sukirman (1985: 16), kesalahan merupakan penyimpangan terhadap hal-hal yang


17

bersifat sistematis dan konsisten (disebabkan oleh kurangnya tingkat penguasaan

siswa), maupun insidental pada daerah tertentu (disebabkan oleh kekurang telitian

siswa dalam menyelesaikan masalah). Sedangkan menurut Britannica

ensiklopedia (2015) kesalahan dalam pengaplikasian matematika merupakan

perbedaan antara nilai yang sesungguhnya dengan dugaannya atau perkiraan dari

nilai tersebut.

Terdapat banyak faktor yang menyebabkan siswa melakukan kesalahan

dalam menyelesaikan masalah matematika. Faktor-faktor tersebut dapat berasal

dari objek dasar matematika yang belum sepenuhnya dikuasai siswa. Objek dasar

tersebut di antaranya adalah fakta, konsep, operasi, dan prinsip (Soedjadi, 2000).

Sementara itu, Sigit (2011) menyatakan bahwa penyebab siswa melakukan

kesalahan dalam mengerjakan soal matematika khususnya soal cerita adalah

berkaitan dengan bahasa, kesalahan dalam penguasaan konsep-konsep dan fakta-

fakta dalam matematika, dan kesalahan dalam menggunakan rumus atau sifat-sifat

dalam matematika. Sedangkan menurut Sutopo (2005), penyebab terjadinya

kesalahan siswa saat menyelesaikan soal cerita berkaitan dengan kemampuan

pemahaman verbal terhadap soal, kemampuan memanipulasi model matematika,

dan siswa langsung menetapkan nilai akhir namun tidak teliti membaca soal.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat banyak

faktor yang mempengaruhi siswa melakukan kesalahan dalam menyelesaikan

masalah matematika. Kesalahan siswa dalam menyelesaikan masalah matematika

berasal dari diri siswa sendiri yang belum sepenuhnya menguasai materi tertentu

dan belum menguasai konsep-konsepnya. Oleh karena itu, untuk dapat

menyelesaikan masalah matematika khususnya soal cerita, siswa harus dapat


18

terlebih dahulu menafsirkan makna dari masalah matematika yang diberikan

sebelum mengubahnya ke dalam prosedur matematis untuk memperoleh jawaban

yang benar.

Pada penelitian ini, kesalahan siswa yang akan dianalisis adalah kesalahan

siswa pada tahap membaca masalah, memahami masalah matematika,

mentransformasi masalah matematika, melakukan proses perhitungan, dan

menuliskan jawaban akhir. Kesalahan yang dianalisis adalah kesalahan yang

dilakukan saat menyelesaikan masalah pada materi Trigonometri.

2.3 Newman’s Error Analysis (NEA)

Salah satu alat yang dapat digunakan untuk menganalisis kesalahan siswa

dalam menyelesaikan masalah matematika khususnya soal cerita adalah dengan

Newman’s Error Analysis (NEA). Analisis ini pertama kali diperkenalkan oleh

Anne Newman pada tahun 1977. Ia adalah seorang guru bidang studi matematika

di Australia. Menurut Newman (1983), NEA merupakan kerangka kerja yang

menggunakan prosedur diagnostik sederhana yang meliputi: (1) membaca

(reading or decoding), (2) memahami (comprehension), (3) transformasi

(transformation), (4) kemampuan proses (process skills), dan (5) penulisan

jawaban akhir (encoding). Metode ini dikembangkan Newman untuk

mengidentifikasi kategori kesalahan terhadap jawaban dari sebuah masalah

matematika berbentuk soal cerita.

Klasifikasi kesalahan yang dikembangkan Newman menurut White (2005)

adalah sebagai berikut.


19

1) Kesalahan membaca (reading or decoding)

Kesalahan siswa pada tahap ini terjadi karena ia tidak dapat mengenali atau

membaca kata-kata penting pada masalah yang diberikan, sehingga informasi

yang ada tidak dapat dimanfaatkan siswa untuk menyelesaikan masalah yang

diberikan.

2) Kesalahan memahami masalah (comprehension)

Kesalahan yang diklasifikasikan ke dalam kesalahan ini terjadi karena siswa

tidak memahami atau mengerti arti dari keseluruhan kata kunci atau simbol

yang telah dibaca yang mengakibatkan siswa memilih pemecahan masalah

yang tidak tepat. Jadi, kesalahan ini akan terjadi jika siswa tidak dapat

menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan oleh masalah yang diberikan.

3) Kesalahan transformasi (transformation)

Pada tahap ini kesalahan terjadi karena siswa tidak dapat mengubah masalah

dalam bahasa matematis

4) Kesalahan proses perhitungan (process skill)

Kesalahan terjadi karena siswa tidak mengetahui langkah-langkah yang

diperlukan untuk mengaplikasikan operasi dengan sempurna.

5) Kesalahan menuliskan jawaban akhir (encoding)

Kesalahan terjadi karena siswa telah mengetahui solusi untuk permasalahan

yang diberikan namun tidak dapat menuliskan solusi tersebut dalam bentuk

tertulis. Hal ini dapat diartikan juga dengan siswa gagal dalam menuliskan

kesimpulan akhir sesuai dengan yang ditanyakan soal.


20

6) Kesalahan karena kecerobohan (careless error)

Kesalahan yang diakibatkan karena kecerobohan siswa atau biasa disebut.

Sebenarnya siswa telah menyelesaikan masalah yang diberikan. Namun,

karena kecerobohan yang dilakukan, ia memberikan jawaban yang kurang

tepat.

Berikut akan dijabarkan indikator kesalahan menurut Newman (Clement,

1980).

2.2 Tabel indikator tipe kesalahan menurut Newman


Tipe Kesalahan Indikator
Reading - Siswa melakukan kesalahan dalam membaca
kata-kata penting pada masalah yang diberikan
- Siswa salah membaca informasi utama dalam
masalah yang diberikan
- Siswa tidak dapat menggunakan informasi yang
ada untuk menyelesaikan masalah yang diberikan
Comprehension - Siswa sebenarnya sudah dapat memahami
masalah yang diberikan, namun belum berhasil
menangkap informasi yang terkandung dalam
masalah yang diberikan
- Siswa tidak dapat melanjutkan proses dalam
mencari solusi dari masalah yang diberikan
Transformation - Siswa gagal dalam memahami masalah untuk
diubah ke dalam kalimat matematika yang benar
Process Skill - Siswa melakukan kesalahan dalam melakukan
perhitungan atau komputasi
Encoding - Siswa tidak dapat membuat kesimpulan yang
tepat
Carelles - Siswa melakukan kesalahan karena kurang teliti
dalam menyelesaikan masalah yang diberikan

Untuk mengetahui kesalahan siswa, Newman (dalam Suyitno, 2015)

menawarkan beberapa pertanyaan yang dapat diajukan pada siswa. Adapun

pertanyaan itu adalah sebagai berikut.

1. Bacakan pertanyaan tersebut. Jika terdapat kata yang tidak kamu mengerti

berilah tanda.

2. Apa yang ditanyaan dalam soal?

3. Bagaimana caramu mendapatkan jawabannya?


21

4. Tunjukkan padaku apa yang kamu lakukan untuk mendapatkan jawaban

tersebut. Katakan dengan keras sesuai dengan apa yang kamu lakukan agar

aku dapat mengerti apa yang kamu pikirkan.

5. Sekarang, tulislah jawabanmu.

2.4 Scaffolding

Terdapat lima prinsip teori konstruktivisme menurut Vygotsky (dalam

Setyanigsih, 2010). Kelima prinsip itu adalah pembelajaran yang ditekankan pada

hakikat sosiokultural, daerah/zona perkembangan proksimal (ZPD), pemagangan

kognitif, scaffolding, dan pengungkapan secara lisan. Dari kelima prinsip tersebut,

dua di antaranya merupakan prinsip penting dalam konstruktivisme menurut

Vygotsky. Kedua prinsip tersebut adalah zona perkembangan proksimal (ZPD)

dan scaffolding.

Vygotsky berpendapat bahwa zona perkembangan proksimal merupakan

jarak antara tingkat perkembangan aktual yang ditentukan melalui pemecahan

masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan

melalui pemecahan masalah dengan bimbingan orang dewasa atau kerja sama

dengan teman-teman yang lebih mampu (Vygotsky, 1978:86). Pendapat mengenai

konsep zona perkembangan proksimal menurut Vygotsky tersebut dapat

diilustrasikan seperti berikut (Ibrahim, 2012.91).


Zona perkembangan proksimal

Perkembangan potensial

Perkembangan aktual

Pengetahuan siswa

Gambar 2.1 Ilustrasi konsep ZPD Vygotsky


22

Daerah yang diarsir menggambarkan daerah perkembangan yang diperoleh

seseorang tanpa bantuan orang lain. Daerah tersebut akan selalu berkembang

meskipun ada keterbatasannya. Zona perkembangan proksimal ini bersifat

individu. Hal ini akan mengakibatkan adanya variasi zona perkembangan

proksimal dalam suatu kelas. Variasi tersebut disebabkan oleh perbedaan

kemampuan peserta didik.

Prinsip penting yang diungkapkan Vygotsky selanjutnya adalah

scaffolding. Teori scaffolding dikenalkan oleh Wood, Bruner dan Ross pada tahun

1976. Mereka menyatakan (dalam Anghileri, 2006: 33) bahwa scaffolding

merupakan proses yang digunakan untuk membantu siswa dalam menuntaskan

masalah tertentu yang melebihi kemampuannya. Sedangkan menurut Hardjito

(2010:130), scaffolding merupakan pemberian bantuan sementara. Pemberian

bantuan tersebut dilakukan guru untuk membantu siswa dalam mengatasi

kesulitan yang dialaminya dalam belajar. Pemberian bantuan dapat berupa

petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah

pembelajaran, memberikan contoh ataupun yang lain sehinggga memungkinkan

siswa tumbuh mandiri. Karena sifatnya yang sementara, sehingga bantuan yang

diberikan akan berangsur-angsur dihilangkan sampai siswa tidak membutuhkan

bantuan lagi. Jadi, seseorang akan dapat menyelesaikan masalah yang tingkat

kesulitannya melebihi kemampuan dasarnya setelah diberi bantuan orang yang

lebih mampu.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa scaffolding

merupakan pemberian bantuan oleh guru atau orang yang lebih mampu pada

siswa yang merasa kesulitan dalam belajar. Pemberian bantuan tersebut bersifat
23

sementara, dan lama-kelamaan akan dihilangkan saat siswa tersebut telah merasa

mampu atau tidak membutuhkan bantuan lagi. Anghileri (2006) menyebutkan

bahwa terdapat tiga tingkatan dalam penerapan metode scaffolding, yaitu tingkat

pertama environmental provisions, tingkat kedua explaining, reviewing, and

restructuring, dan tingkat ketiga conceptual development.

Pada scaffolding tingkat pertama, siswa dilatih untuk belajar mandiri. Guru

hanya memberikan bantuan dalam menyiapkan lingkungan belajar di kelas

sebelum tatap muka dengan siswa. Persiapan tersebut seperti pemilihan alat yang

dapat mendukung pembelajaran (lembar kerja siswa, alat peraga, pajangan

dinding), pengaturan kelompok, bahkan sampai pengaturan tempat duduk. Jadi,

pada tingkat ini interaksi guru dan siswa tidak dapat diamati secara langsung.

Adapun gambaran scaffolding tingkat pertama ini dapat dilihat pada Gambar 2.2

berikut.

Gambar 2.2 Scaffolding tingkat pertama (Anghileri, 2006:39)

Pada scaffolding tingkat kedua, pemberian bantuan melibatkan interaksi

langsung antara guru dan siswa. Interaksi tersebut berupa explaining, reviewing,

dan restructuring. Pada tahap explaining, guru menjelaskan ide/konsep yang

dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan yang diberikan. Pada tahap


24

reviewing, interaksi yang terjadi dapat diklasifikasikan menjadi lima tipe. Tipe

pertama, meminta siswa menyatakan secara lisan apa yang mereka lihat dan

pikirkan. Tipe kedua, meminta siswa menjelaskan dan menjustifikasi. Tipe ketiga,

meminta siswa menginterpretasikan tidakan dan ucapannya. Tipe keempat,

menggunakan pertanyaan yang menyarankan dan menyelidiki. Tipe kelima,

pemodelan paralel. Pada tahap restructuring, interaksi yang terjadi seperti

penyediaan konteks yang bermakna untuk situasi abstrak, menyederhanakan

masalah dengan membatasi masalah, mengungkapkan kembali pernyataan siswa,

dan mendiskusikan makna. Jadi, melalui restructuring guru berniat untuk

memperkenalkan modifikasi yang dapat memudahkan dalam membuat ide-ide

yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah. Adapun gambaran scaffolding

tingkat kedua ini dapat dilhat pada Gambar 2.3 berikut.

Gambar 2.3 Scaffolding tingkat kedua (Anghileri, 2006:39)

Pada scaffolding tingkat ketiga ini memuat interaksi yang diarahkan pada

pengembangan pemikiran konseptual siswa. Pengembangan tersebut melalui

pemberian kesempatan untuk mengungkapkan pemahaman siswa. Pada tingkat


25

ini, bantuan yang diberikan dapat mendukung siswa untuk membuat koneksi dan

mengembangkan alat-alat representasi. Selain itu, siswa juga dilibatkan dalam

wacana konseptual yang dapat meningkatkan daya pikir mereka. Adapun

gambaran scaffolding pada tingkat ini dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut.

Gambar 2.4 Scaffolding tingkat ketiga (Anghileri, 2006:39)

Pemberian scaffolding dilakukan secara langsung dengan siswa yang

melakukan kesalahan satu persatu. Hal ini dikarenakan setiap siswa melakukan

kesalahan yang berbeda-beda. Sehingga bantuan yang dibutuhkan pun berbeda-

beda pula. Adapun gambaran praktik scaffolding yang akan dilakukan dalam

penelitian ini seperti yang tercantum dalam Tabel 2.3 berikut.

Tabel 2.3 Rencana Praktik Scaffolding yang akan dilakukan


Newman’s Error Kesalahan Siswa Scaffolding yang dilakukan
Analysis (NEA)
Reading - Belum benar dalam membaca - Meminta siswa membaca kembali
kata-kata penting atau soal cerita yang diberikan
informasi utama pada masalah - Bertanya kata-kata penting atau
yang diberikan informasi utama apa saja yang
- Tidak dapat mengenali kata ada dalam soal cerita
atau simbol sederhana pada
masalah yang diberikan
Comprehension - Tidak dapat menafsirkan apa - Meminta siswa menuliskan apa
yang harus dilakukan saja yang diketahui dari masalah
- Tidak mampu menafsirkan yang diberikan
kata kunci yang diberikan, - Meminta siswa menuliskan apa
yang biasanya merupakan yang ditanyakan dari masalah
istilah matematika yang diberikan
- Tidak dapat membedakan
antara informasi yang relevan
dan tidak relevan atau tidak
mampu untuk mengumpulkan
informasi yang diperlukan
Transformation - Tidak mampu memilih - Bertanya pada siswa konsep apa
prosedur matematika yang yang tepat digunakan untuk
diperlukan
26

Newman’s Error Kesalahan Siswa Scaffolding yang dilakukan


Analysis (NEA)
- Gagal dalam mengubah menyelesaikan masalah yang
informasi yang didapat ke diberikan
dalam bentuk kalimat - Meminta siswa
matematika yang benar merepresentasikan masalah yang
diberikan secara matematik
- Meminta siswa menjelaskan
idenya untuk menyelesaikan
masalah yang diberikan
- Meminta siswa membentuk
informasi yang diperoleh ke
dalam kalimat matematika
Process Skill - Belum benar dalam - Meminta siswa memeriksa
menggunakan kaidah atau kembali jawabannya
aturan dalam matematika - Meminta siswa menceritakan
- Belum benar dalam melakukan proses pengerjaan soal yang
perhitungan atau komputasi dilakukan dari awal sampai akhir
- Tidak mampu
menginterpretasikan gambar
- Tidak melakukan perhitungan
sampai selesai
Encoding - Tidak mampu menuliskan - Bertanya pada siswa operasi apa
kembali apa yang telah saja yang telah dilakukan
dikerjakan - Bertanya pada siswa apa yang
- Tidak dapat membuat dapat disimpulkan dari masalah
kesimpulan yang tepat yang telah dikerjakan

2.5 Kajian Materi Trigonometri

Pada pembelajaran matematika SMA/SMK khususnya untuk kelas X,

materi-materi yang akan dipelajari meliputi (1) Persamaan dan Pertidaksamaan

Mutlak Linear Satu variabel, (2) Sistem Persamaan Linear Tiga Variabel, (3)

Fungsi, dan (4) Trigonometri. Pada penelitian ini materi yang akan digunakan

untuk menganalisis kesalahan siswa adalah materi Trigonometri. Trigonometri

berasal dari bahasa Yunani, trigonon yang artinya tiga sudut, dan metro artinya

mengukur. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2002: 1211),

Trigonometri diartikan sebagai bagian dari matematika yang mempelajari tentang

ilmu ukur sudut dan batasa-batasan dalam segitiga. Aplikasi trigonometri dalam

kehidupan sehari-hari mencakup segala bidang, seperti Kimia, Fisika, Astronomi,

Geografi, Medis, dan sebagainya. Pemberian materi trigonometri di tingkat


27

SMA/SMK ini memiliki tujuan agar siswa dapat memperoleh bekal untuk

melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi.

Berdasarkan buku siswa kurikulum 2013 edisi revisi 2016, diketahui

bahwa selama siswa membahas trigonometri mereka akan mempelajari tentang

sudut, perbandingan trigonometri pada segitiga siku-siku, nilai perbandingan

trigonometri untuk sudut istemewa, relasi sudut, identitas trigonometri, aturan

sinus dan cosinus, serta grafik fungsi trigonometri.

a) Sudut dan pengukurannya

Dalam materi ini sudut merupakan materi prasyarat yang harus dikuasi

siswa sebelum mempelajari materi trigonometri. Pada umumnya, ada dua ukuran

yang digunakan untuk menentukan besar sudut yaitu derajat dan radian.

Hubungan satuan derajat dengan satuan radian, bahwa satu putaran penuh sama

dengan 2𝜋 𝑟𝑎𝑑.

b) Perbandingan trigonometri
y
B
c
a

 x
A b C

Sisi a disebut sisi yang berhadapan dengan sudut .

Sisi b disebut sisi yang berdekatan dengan sudut .

Sisi c disebut sisi yang miring atau hipotenusa.

Berdasarkan gambar di atas, diperoleh:

𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛 𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑖𝑛𝑔


𝑠𝑖𝑛 𝛼 = 𝑐𝑜𝑠 𝛼 =
𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔 𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑚𝑖𝑟𝑖𝑛𝑔

𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑑𝑒𝑝𝑎𝑛
𝑡𝑎𝑛 𝛼 =
𝑠𝑖𝑠𝑖 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑖𝑛𝑔
28

Selain itu, dengan menggunakan teorema pythagoras dan penggunaan sinus

(sin), cosinus (cos), dan tangen (tan) didapatkan nilai-nilai perbandingan

trigonometri pada sudut-sudut istemewa berikut.

c) Hubungan nilai perbandingan trigonometri

Jika pada posisi standar, salah satu kaki sudut berada di kuadran II maka

sudut tersebut dinamakan sudut di kuadran II. Pengertian yang sama untuk

konsep sudut di kuadran II, dan sudut di kuadran IV.

Menurut definisi perbandingan trigonometri berdasarkan absis, ordinat dan

jari-jari maka nilai perbandingan trigonometri untuk sudut-sudut di kuadran II, III,

dan IV sebagai berikut.

1) Pada kuadran II hanya nilai sinus yang positif,

2) Pada kuadran III hanya nilai tangen yang positif, dan

3) Pada kuadran IV hanya nilai kosinus yang positif.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kesalahan yang dialami

siswa dalam menyelesaikan soal cerita materi trigonometri. Deskripsi kesalahan

yang dialami siswa tersebut akan dikelompokkan berdasarkan Newman’s Error

Analysis (NEA). Kemudian, dalam upaya mengatasi kesalahan yang dilakukan

siswa tersebut, penelitian ini akan menggunakan scaffolding. Dengan demikian,

pendekatan yang sesuai untuk penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.

Penelitian kualitatif menurut Moleong (2007: 6) adalah penelitian yang

bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek

penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll., secara holistik, dan

dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks

khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Adapun jenis penelitian ini adalah deskriptif, karena data yang diperoleh berupa

data deskriptif. Menurut Nazir (2005: 54), metode deskriptif adalah suatu metode

dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu

sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian merupakan subjek darimana data diperoleh (Arikunto,

2006: 28). Dalam penelitian ini, peneliti akan mengambil 6 siswa untuk dijadikan

29
30

subjek penelitian dengan catatan siswa tersebut melakukan kesalahan dalam

menyelesaikan masalah matematika. Keenam siswa tersebut dipilih berdasarkan

kemampuannya, yaitu 2 siswa kemampuan tinggi, 2 siswa kemampuan sedang,

dan 2 siswa kemampuan rendah. Penentuan kemampuan siswa didasarkan dari

pertimbangan dari guru dan nilai yang diperoleh saat pembelajaran materi

trigonometri. Adapun pemilihan subjek penelitian tersebut dilakukan dengan cara

berdasarkan Gambar 3.1 berikut.

Peneliti memberikan tes pada siswa secara


klasikal

Siswa mengerjakannya secara individu sesuai dengan petunjuk


pengerjaan pada soal

Apakah jawaban Ya Tidak


siswa semuanya
dipilih
benar?

Tidak
Dipertimbangkan untuk dipilih sebagai
subjek penelitian

Apakah siswa dapat


mengungkapkan
Tidak dipilih Tidak Ya Dipilih sebagai
bagaimana ia
subjek peneltian
menyelesaikan soal
cerita?

Gambar 3.1 Tahap pemilihan subjek penelitian


31

3.3 Instrumen Penelitian

Menurut Arikunto (2000: 134), instrumen pengumpulan data adalah alat

bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya mengumpulkan

agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan dipermudah olehnya. Adapun

instrumen pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Peneliti

Pada penelitian ini, peneliti merupakan instrumen utama. Hal ini dikarenakan

peneliti berperan sebagai perencana, pengumpul data, penafsir data, dan

pelapor hasil penelitian.

2. Pedoman wawancara

Pedoman ini berisi pertanyaan-pertanyaan umum yang mengarah pada

penggalian informasi yang berkaitan dengan bagaimana langkah-langkah

pemecahan masalah siswa. Pedoman wawancara dibuat untuk membantu

peneliti mengetahui proses pemecahan masalah yang dilakukan siswa.

Sebelum digunakan, instrumen ini terlebih dulu akan divalidasi oleh dosen.

Adapun alur dari pengembangan pedoman wawancara dapat dilihat pada

Gambar 3.2 berikut.

3. Tes pemecahan masalah

Tes ini terdiri dari beberapa soal cerita yang disusun peneliti yang

sebelumnya telah divalidasi oleh beberapa ahli. Tes ini dilakukan untuk

mengetahui kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita materi

trigonometri.
32

4. Pedoman scaffolding

Pedoman ini berisi langkah-langkah yang akan dilakukan peneliti dalam

memberikan scaffolding dan disusun berdasarkan pengelompokan kesalahan

siswa dalam pemecahan masalah materi trigonometri berdasarkan Newman’s

Error Analysis (NEA).

3.4 Sumber Data

Pada penelitian ini, data berupa hasil validasi soal tes, hasil validasi

pedoman wawancara, hasil validasi pedoman scaffolding, deskripsi kesalahan

siswa berdasarkan Newman’s Error Analysis (NEA), dan deskripsi pemberian

scaffolding pada siswa yang menjadi subjek penelitian. Deskripsi didasarkan

pada pekerjaan tertulis maupun ungkapan verbal subjek penelitian dari wawancara

yang dilakukan dengan peneliti pada saat pemberian scaffolding.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah sebagai berikut.

1. Tes

Tes diberikan pada siswa untuk mengetahui kesalahan yang dilakukan siswa

dalam menyelesaikan soal cerita materi trigonometri.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk memperkuat data yang diperoleh. Dengan

wawancara, diharapkan data yang tidak terungkap melalui tes dapat

terungkap. Wawancara dilakukan setelah siswa mengerjakan soal tes.


33

3.6 Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bognan & Biklen (1982) sebagaimana dikutip

Moleong (2007: 248), adalah upaya yang bekaitan dengan data, mengumpulkan data,

memilih data yang dapat digunakan sebagai pendukung, mensintesiskannya, mencari

dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan

memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain. Pada penelitian ini,

analisis data yang digunakan adalah analisis data model Miles dan Huermen yang

terdiri dari mereduksi data, menyajikan data, dan menarik kesimpulan. Adapun

deskripsi analisis data pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mereduksi data

Mereduksi data dapat diartikan sebagai proses menyeleksi, menajamkan,

memfokuskan dan menyederhanakan data yang diperoleh. Menurut Arikunto

(2013: 29), terdapat lima langkah yang harus diperhatikan saat mereduksi,

yaitu memilih-milih data melalui pemusatan perhatian, menyederhanakan,

melakukan pengkodean, pengkategorisasian, dan pembuatan memo. Dalam

penelitian ini mereduksi data dilakukan setelah melakukan tes, yaitu saat

menentukan subjek penelitian. Sebelum subjek penelitian ditentukan dari

pertimbangan dan masukan guru, terlebih dahulu peneliti melakukan

pengkategorisasian kesalahan siswa berdasarkan Newman’s Error Analysis

(NEA). Setelah subjek penelitian telah ditentukan, kemudian dilanjutkan

dengan tahap selanjutnya yaitu wawancara. Wawancara dilakukan pada

subjek penelitian yang telah ditentukan untuk mengetahui bagaimana subjek

penelitian menyelesaikan soal cerita yang diberikan.


34

2. Menyajikan data

Menyajikan data diarahkan agar hasil dari mereduksi data dapat terorganisir

dan tersusun dengan baik, sehingga mudah untuk dipahami. Miles and

Hubermen (1984) menyatakan bahwa hal yang paling sering digunakan untuk

menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat

naratif. Selain dengan teks naratif, penyajian data juga dapat berupa bagan,

hubungan antar kategori, diagram alur, pictogram dan sebagainya. Penyajian

data dalam penelitian ini merupakan penyajian dari data-data yang diperoleh

saat penelitian. Penyajian data dilakukan setelah semua data yang diperoleh

selesai direduksi.

3. Menarik kesimpulan

Penarikan kesimpulan dilakukan setelah semua data terkumpul. Kesimpulan

ini mengenai kesalahan siswa dalam menyelesaikan soal cerita berdasarkan

Newman’s Error Analysis (NEA) dan scaffolding untuk membantu siswa

mengurangi kesalahannya dalam menyelesaikan soal cerita.

3.7 Tahap-tahap Penelitian

Adapun tahapan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Tahap persiapan

a. Pencarian sekolah dan meminta izin kepala sekolah.

b. Penyusunan instrumen penelitian.

c. Membuat kesepakatan dengan guru mata pelajaran matematika mengenai

waktu dan kelas yang akan digunakan untuk penelitian.


35

d. Validasi instrumen penelitian yang berupa soal tes, pedoman wawancara,

dan pedoman scaffolding.

2. Tahap pelaksanaan

a. Melakukan tes.

b. Memeriksa hasil pekerjaan siswa, kemudian mengelompokkan

kesalahannya berdasarkan Newman’s Error Analysis (NEA).

c. Memilih beberapa siswa sebagai subjek penelitian dengan pertimbangan

dan masukan guru mata pelajaran matematika yang bersangkutan.

d. Melakukan wawancara dengan subjek penelitian yang telah ditentukan

untuk mengetahui bagaimana siswa mengerjakan soal cerita yang

diberikan.

e. Memberikan scaffolding pada subjek penelitian yang dipilih.

f. Melakukan tes dengan jenis yang sama dengan soal pada tes awal untuk

mengetahui keefektifan dari pemberian scaffolding.

3. Tahap analisis data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini selanjutnya dianalisis sesuai dengan

teknik analisis data.


DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, M. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:


Rineka Cipta.
Anghileri, J. 2006. Scaffolding Practices that Enhance Mathematics Learning. In
Journal of Mathematics Teacher Education. Vol. 9: 33-52.
Arikunto, S. 2000a. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Arikunto, S. 2006b. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT
Asdi Mahasatya.
Arikunto, S. 2013c. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:
Rineka Cipta.
Bell. 1981. Teaching and Learning Mathematichs. Dubuque Lowo: Win.C.
Broom Company Publisher.
Borasi, R. 1987. Exploring Mathematics Through the Analysis of Errors. Journal
For the Learning of Mathematics in Canada. Vol.7: No.3, 2-8.
Cahya, A. 2006. Pemahaman Dan Penyajian Konsep Matematika Secara
Benar dan Menarik. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional.
Chairani, Z. 2015. Scaffolding dalam Pembelajaran Matematika. Jurnal
Pendidikan Matematika 2015. Vol. 1: No. 1, 39-44.
Cooney, T. J. 1985. A beginning teacher’s view of problem solving. Journal for
research in mathematics education. Vol. 5: No. 16, 324-336.
Depdiknas. 2003a. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, Tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas. 2006 b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2006, Tentang Standar Isi.
Jakarta: Depdiknas.
Gagne, R. M. 1975. Prinsip-prinsip Belajar untuk Pengajaran (Essential of
Learning for Instruction). Surabaya: Usaha Nasional.
Gulo, W. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : PT. Grasindo
Hamalik, O. 1983. Metoda Belajar dan Kesulitan-kesulitan Belajar. Bandung:
TARSITO.
Hasan, B. 2014. Diagnosis Kesalahan Siswa dalam Menyelesaikan Masalah
Matematika dan Upaya Mengatasinya Menggunakan Scaffolding. Tesis.
Tidak Diterbitkan. Malang: PPs UM.
Hawa, S. 1999. Pembelajaran Soal Cerita Matematika dengan Model Polya pada
Kelas II Sekolah Dasar. Tesis tidak diterbitkan. PPS IKIP MALANG

36
37

Herholdt, R. et al. 2014. An Error Analysis in The Early Grades Mathematics-A


Learning Opportunity?. South African Journal of Childhood Education.
Vol 4(1): 42-60.
Hogan, K., & Pressley, M. (Eds.). 1997. Scaffolding Student Learning:
Instructional Approaches And Issues. Cambridge, MA: Brookline Books.
Hudojo, H. 1977. Belajar Mengajar Matematika. Jakarta: Dirjen Dikti PPLPTK.
Jonassen, D. H. 2004. Learning to Solve Problem. An Intsructional Design Guide.
San Fransisco USA: John Wiley & Sons, Inc.
Larkin, M. J. 2001. Providing support for student independence through
scaffolded instruction. TEACHING Exceptional Children, 34(1), 30-34.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Bogor: Ghalia Indonesia
McCosker, N. & Diezmann, C. M. 2009. Scaffolding students’ thinking in
mathematical investigations. Australian Primary Mathematics Classroom,
14(3). pp. 27-32.
Muksar, dkk. 2009. Peningkatan Kemampuan Bahasa Inggris dan Hasil Belajar
Matematika Dasar 1 Mahasiswa Bilingual melalui Penerapan Metode
Analisis Kesalahan Newmann. Penelitian tidak diterbitkan. Malang:
FMIPA Universitas Negeri Malang
Mulyasa, E. 2015. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif
dan Menyenangkan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Moleong. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya
Polya, G. 1973. How To Solve It- A New Aspect of Mathematical Method (Second
edition). New Jersey: Princeton University Press.
Rodiwarsito, H. 2013. Diagnosis dan Scaffolding Kesulitan Siswa dalam Aplikasi
Turunan Fungsi pada Penyelesaian Soal Cerita. Tesis. Tidak Diterbitkan.
Malang: PPs UM.
Sigit. 2011. Kesalahan-kesalahan dalam Menyelesaikan Soal-soal Matematika.
http://masesigit.blogspot.co.id/2011/02/kesalahan-kesalahan-dalam-
penyelesaian.html?m=1 [Diakses tanggal 3 Desember 2015]
Soedjadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia: Konstatasi Keadaan
Masa Kini Menuju Harapan Masa Depan. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi
Soejono. 1984. Diagnosis Kesulitan Belajar dan Pengajaran Remedial. Jakarta:
Proyek P3G.
Solichan, A. dkk. 2000. Materi Pembinaan Guru SD di Daerah. Yogyakarta:
PPPG Matematika.
Sukirman. 1985. Identifikasi Kesalahan-kesalahan yang Diperbuat Siswa Kelas
III SMP Pada Setiap Aspek Penguasaan Bahan Pelajaran Matematika.
Tesis. Tidak Diterbitkan. Malang: PPs UM
38

Sutopo. 2005. Analisis Kesalahan Menyelesaikan Soal Cerita Sistem Persamaan


Linier Dua Variabel Siswa Kelas II SMP PGRI 06 Malang. Tesis. Tidak
Diterbitkan. Malang: PPs UM
Suyitno, A. 2015. Learning Therapy For Students In Mathematics Communication
Correctly Based-On Application Of Newman Procedure (A Case Of
Indonesian Student). International Journal of Education and Research.
Vol. 3: 529-538.
Syafri, A. 2001. Mengatasi kesulitan Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita
Satu Langkah di Kelas II Sekolah Dasar. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid
8:171
White, A. L. 2005a. Active Mathematics In Classrooms: Finding Out Why
Children Make Mistakes–And Then Doing Something To Help Them. In
Journal Square One. Vol. 15: 15-19.
White, A. L. 2010b. Numeracy, Literacy and Newman’s Error Analysis. Journal
of Science and Mathematics Education in Southeast Asia. Vol. 33: No.2,
129-148

Anda mungkin juga menyukai