Anda di halaman 1dari 36

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting. Kualitas

pendidikan suatu bangsa mempengaruhi kemajuan bangsa tersebut. Tanpa

pendidikan, suatu bangsa tidak dapa mengalami perubahan dan kemajuan.

Pendidikan juga dapat membantu mengarahkan seseorang menjalani kehidupan

sebagai makhluk beragama dan makhluk sosial dengan baik. Kehidupan yang

demikian dapat mewujudkan perabadan bangsa yang cerdas dan bermartabat. Hal

tersebut sangat berpengaruh dalam kemajuan pendidikan di Indonesia. Undang-

Undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional Indonesia mencantumkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk

menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan

bagi peranannya di masa yang akan datang.

Namun, kualitas pendidikan di Indonesia khususnya pendidikan matematika masih

relatif rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang ada di dunia.

Salah satu indikator masih rendahnya kualitas pendidikan Indonesia dapat dilihat

dari hasil tes TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study)

yang diungkapkan Depdiknas (2007 : 3) menempatkan Indonesia pada posisi ke-34

dalam bidang matematika dari 38 negara peserta.


2

Salah satu penyebab masih rendahnya kemampuan siswa dalam bidang

matematika terjadi karena siswa kurang memahami yang mereka pelajari

sebagaimana yang diungkapkan oleh Depdiknas (2007) bahwa proses belajar

mengajar di sekolah sering kali membuat kecewa, apabila dikaitkan dengan

pemahaman siswa terhadap materi pelajaran, hal ini dapat dilihat dari:

1. Banyak siswa mampu menyajikan tingkat hafalan yang baik terhadap


materi ajar yang diterimanya, tetapi pada kenyataannya mereka tidak
memahami konsep dari bahan ajar tersebut.
2. Sebagian besar dari siswa tidak mampu menghubungkan antara apa yang
mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut digunakan atau
dimanfaatkan.
3. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik sebagaimana
mereka biasa diajarkan yaitu dengan menggun akan sesuatu yang abstrak
dan metode ceramah.

Berdasarkan hal tersebut, siswa masih berada pada kemampuan menghafal atau

berada pada tahap pemahaman instrumental sehingga apabila konteks soal dirubah

siswa mengalami kesulitan. Kemampuan menghafal saja tidak cukup, tetapi siswa

memiliki kemampuan lain sebagaimana dalam draf panduan KTSP mata pelajaran

matematika Depdiknas (2007 : 4), mata pelajaran matematika bertujuan agar

peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan


mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan
tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media
lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
3

Berdasarkan tujuan pembelajaran matematika yang telah diungkapkan di atas,

kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa adalah pemahaman konsep. Menurut

Rohana (dalam harja, 2011), dalam memahami konsep matematika diperlukan

kemampuan generalisasi serta abstraksi yang cukup tinggi. Saat ini penguasaan

peserta didik terhadap materi konsep-konsep matematika masih lemah bahkan

dipahami dengan keliru, sebagaimana yang dikemukakan Ruseffendi (dalam harja

: 2011) bahwa terdapat banyak peserta didik yang setelah belajar matematika,

tidak mampu memahami bahkan pada bagian yang paling sederhana sekalipun,

banyak konsep yang dipahami secara keliru sehingga matematika dianggap

sebagai ilmu yang sukar, ruwet, dan sulit. Padahal pemahaman konsep merupakan

bagian yang paling penting dalam pembelajaran matematika seperti yang

dinyatakan Zulkardi (dalam harja : 2011) bahwa ”mata pelajaran matematika

menekankan pada konsep”. Artinya dalam mempelajari matematika peserta didik

harus memahami konsep matematika terlebih dahulu agar dapat menyelesaikan

soal-soal dan mampu mengaplikasikan pembelajaran tersebut di dunia nyata.

Konsep-konsep dalam matematika terorganisasikan secara sistematis, logis, dan

hirarkis dari yang paling sederhana ke yang paling kompleks. Pemahaman

terhadap konsep-konsep matematika merupakan dasar untuk belajar matematika

secara bermakna

Secara global, banyak sekolah-sekolah yang memiliki pemahaman konsep

matematis yang masih rendah, terutama pada siswa setingkat SMP. Berdasarkan

data Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), yaitu suatu

organisasi internasional yang mengukur kemampuan matematika dan sains di


4

berbagai negara dan dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Ikatan Guru

Indonesia, beberapa matematikawan ITB menyatakan bahwa 76,6% siswa

setingkat SMP di Indonesia memiliki kemampuan matematika yang rendah. Hal

yang dikaji pada kemampuan matematika tersebut, salah satunya adalah

memahami konsep matematis. Pemahaman konsep matematis tersebut sangat

dibutuhkan oleh siswa SMP, misal dalam memecahkan suatu masalah matematika

dan sebagai bekal untuk melanjutkan ke pendidikan selanjutnya.

Rendahnya pemahaman konsep matematis siswa ini sebenarnya sudah hampir

dapat diatasi oleh guru dengan baik melalui pembelajaran secara konvensional.

Namun dengan pembelajaran konvensional ini siswa akan sulit berkembang,

dikarenakan proses pembelajaran yang bersifat monoton. Selain itu, pengetahuan

yang telah didapat oleh siswa akan mudah dilupakan oleh siswa. Akibatnya, selain

rendahnya pemahaman konsep matematis siswa, siswa juga tidak ter- motivasi

untuk mengikuti pembelajaran matematika.

Salah satu sekolah yang memiliki pemahaman konsep matematis yang masih

rendah adalah SMP Negeri 26 Bandar Lampung. Berdasarkan hasil wawancara

dengan guru matematika SMP Negeri 26 Bandar Lampung diperoleh informasi

bahwa tingkat pemahaman konsep mata pelajaran matematika siswa masih

rendah, terutama pada siswa kelas VII. Ini diketahui dari rata-rata nilai ujian

semester siswa kelas VII semester ganjil Tahun Pelajaran 2012/2013, kelas VII

hanya 44,67 dan hanya 52% siswa yang tuntas belajar dengan Kriteria Ketuntasan

Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah tersebut untuk mata pelajaran

matematika adalah 70. Selain itu, dari data nilai ulangan harian pada materi
5

himpunan pada Tahun Pelajaran 2011/2012 presentase siswa yang tuntas

sebanyak 49%. Ini menunjukkan bahwa pemahaman konsep khususnya pada

materi himpuan serta pembelajaran matematika pada umumnya belum tercapai

secara optimal. Hal ini bisa saja dikarenakan model pembelajaran yang diterapkan

guru di kelas sebelumnya kurang sesuai atau kurang efektif bagi siswa, sehingga

mengakibatkan rendahnya kemampuan siswa dalam memahami materi pelajaran.

Agar tercapai kemampuan pemahaman konsep diperlukan suatu model

pembelajaran yang dapat melibatkan siswa aktif sepenuhnya pada saat

pembelajaran. Selain itu perasaan senang dan nyaman ketika siswa mempelajari

matematika harus dimiliki agar proses belajar terlaksana dengan optimal, karena

sebagaimana yan g diungkapkan oleh Ruseffendi (1991: 15), bahwa matematika

bagi anak-anak bukanlah pelajaran yang disenangi, melainkan pelajar an yang

ditakuti dan dibenci. Oleh karena itu proses belajar yang dibutuhkan siswa adalah

proses belajar yang melibatkan fisik dan psikis.

Banyak model maupun strategi pembelajaran yang sudah dikembangkan oleh para

ahli, salah satunya adalah model Two Stay Two Stray (TSTS). Model

pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray adalah salah satu strategi

pembelajaran yang memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagi hasil

dan informasi dengan kelompok lain, dimana dalam satu kelompok dibagi

menjadi dua bagian yang nantinya sebagian siswa bertugas sebagai pemberi

informasi dari tamunya, dan siswa lainnya bertamu ke kelompok yang lain secara

terpisah.
6

Pembelajaran kooperatif memberikan pengalaman bagi siswa untuk dapat belajar

dengan cara bekerja sama dengan teman. Teman yang lebih mampu dapat

menolong teman yang lemah. Lie (2008 : 61) menggungkapkan bahwa struktur

TSTS memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagi hasil dan informasi

dengan kelompok lain. Hal ini menunjukkan bahwa lima unsur proses belajar

kooperatif yang terdiri atas: saling ketergantungan positif, tanggung jawab

perseorangan, tatap muka, komunikasi antar kelompok dan evaluasi proses

kelompok dapat terlaksana. Pada saat anggota kelompok bertamu ke kelompok

lain maka akan terjadi proses pertukaran informasi yang bersifat saling

melengkapi, dan pada saat kegiatan dilaksanakan maka akan terjadi proses tatap

muka antar siswa dimana akan terjadi komunikasi baik dalam kelompok maupun

antar kelompok sehingga siswa tetap mempunyai tanggung jawab perseorangan.

Menurut Lie (2008 : 62), tahap-tahap dalam model TSTS:

1. Siswa bekerja sama dalam kelompok seperti biasa dan dalam satu kelompok

tersebut dibagi menjadi dua bagian.

2. Setelah selesai, sebagian siswa dari masing-masing kelompok akan

meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke kelompok lain.

3. Siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan

informasi mereka ke tamu mereka.

4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan

hasil temuan mereka dari kelompok lain.

5. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.


7

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui

efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray ditunjau dari

pemahaman konsep matematis siswa kelas VII SMP Negeri 26 Bandar Lampung

semester genap tahun pelajaran 2012/2013.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam peneli-

tian ini adalah “Apakah model pembelajaran Two Stay Two Stray efektif ditinjau

dari pemahaman konsep matematis siswa?”

Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat dijabarkan pertanyaan penelitian

secara rinci sebagai berikut:

1. Apakah rata-rata pemahaman konsep metematis siswa yang menggunakan

model pembelajaran Two Stay Two Stray lebih tinggi daripada rata-rata nilai

pemahaman konsep matematis siswa yang menggunakan model pembelajaran

konvensional?

2. Apakah 70% atau lebih siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS tuntas belajar?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dilakukannya penelitian ini untuk mengetahui efektivitas model

pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray ditinjau dari pemahaman konsep

matematis siswa SMP.


8

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian yang dilakukan antara lain,

1. Bagi guru, memberikan masukan tentang efektivitas model pembelajaran pada

mata pelajaran matematika khususnya materi pokok himpunan guna

meningkatkan pemahaman konsep siswa.

2. Bagi sekolah, menjadi informasi dan sumbangan pemikiran dalam upaya

meningkatkan mutu pembelajaran matematika di sekolah.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terjadi kesalahpahaman dan penafsiran yang berbeda-beda terhadap

masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini, maka ruang lingkup dalam

penelitian ini adalah,

1. Efektivitas Pembelajaran

Efektivitas pembelajaran adalah keefektifan dan tingkat keberhasilan suatu

(model) pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran yang diharapkan agar

tercapai. Efektivitas pembelajaran ditinjau dari aspek pemahaman konsep

matematis siswa. Penggunaan model pembelajaran dapat dikatakan efektif

apabila pemahaman konsep matematis siswa yang mengikuti model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih tinggi dibandingkan dengan

pemahaman konsep matematissiswa yang mengikuti pembelajaran

konvensional.

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray

Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray adalah salah satu

model pembelajaran kooperatif yang memberi kesempatan kepada kelompok


9

untuk membagi hasil dan informasi dengan kelompok lain, dimana dalam satu

kelompok terdiri dari empat atau lebih siswa yang nantinya sebagian siswa

bertugas sebagai pemberi informasi dari tamunya, dan siswa lainnya bertamu

ke kelompok yang lain secara terpisah.

3. Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh

guru seperti ceramah, tanya jawab, dan latihan soal.

4. Pemahaman Konsep Matematis

Pemahaman konsep matematis adalah kemampuan siswa dalam

menerjemahkan, menafsirkan, dan menyimpulkan suatu konsep matematika

berdasarkan pembentukan pengetahuannya sendiri bukan sekedar menghafal

dan sesuai dengan indikator-indikator pemahaman konsep. Pemahaman konsep

siswa harus mencapai indikator yang telah ditentukan. Indikator pemahaman

konsep tersebut adalah:

a. Menyatakan ulang suatu konsep.

b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu.

c. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika.

d. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep.

e. Menggunakan, memanfaatkan, dan memilih prosedur atau operasi ter-

tentu.

f. Mengaplikasikan konsep.
10

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Efektivitas Pembelajaran

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, efektivitas berasal dari kata efektif

yang berarti dapat membawa hasil atau berdaya guna. Atau bisa diartikan sebagai

kegiatan yang bisa memberikan hasil yang memuaskan. Efektivitas menunjukkan

derajat kesesuaian antara tujuan yang dinyatakan dengan hasil yang dicapai.

Menurut Starawaji (2009), efektivitas adalah pengaruh yang ditimbulkan atau

disebabkan oleh adanya suatu kegiatan tertentu untuk mengetahui sejauh mana

tingkat keberhasilan yang dicapai dalam setiap tindakan yang dilakukan.

Hamalik (2004 : 171) menyatakan bahwa “pengajaran yang efektif adalah

pengajaran yang menyediakan kesempatan belajar sendiri atau melakukan

aktivitas sendiri”. Hal ini berarti, dengan adanya penyediaan kesempatan belajar

sendiri dan melakukan aktivitas sendiri, diharapkan dapat membantu siswa dalam

pembelajaran agar siswa mudah memahami konsep yang diberikan.

Trianto (2011 : 20) menyatakan bahwa keefektifan pembelajaran adalah hasil

guna yang diperoleh setelah pelaksanaan proses belajar mengajar. Menurut Uno

(2011:29), pada dasarnya efektivitas ditunjukkan untuk menjawab pertanyaan

seberapa jauh tujuan pembelajaran telah dapat dicapai oleh peserta didik. Untuk
11

mengukur efektivitas dari suatu tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan

menentukan seberapa jauh konsep-konsep yang telah dipelajari dapat dipindahkan

ke dalam mata pelajaran selanjutnya atau penerapan secara praktis dalam

kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran menjadi efektif jika peserta didik dapat belajar dengan mudah,

menyenangkan, dan dapat mencapai tujuan pembelajaran sesuai dengan yang

diharapkan. Efektivitas pembelajaran dapat dilihat dari aktivitas siswa selama

pembelajaran berlangsung yang menyebabkan adanya peningkatan frekuensi

bertanya, menjawab dan menanggapi, serta hasil belajar siswa yang terukur dari

nilai tes.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa efektivitas berarti

membawa hasil atau berdaya guna, efektivitas yang dimaksud dalam penelitian ini

adalah efektivitas pembelajaran. Efektivitas pembelajaran adalah tingkat

keberhasilan suatu metode atau model pembelajaran dalam kegiatan pembelajaran

dalam mencapai tujuan dan sasarannya.

B. Pembelajaran Matematika

Slameto (2003: 2), mengungkapkan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang

dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru

secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan

lingkungannya. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang terjadi secara

sadar, bersifat kontinu dan fungsional, bersifat positif dan aktif, bukan bersifat

sementara, bertujuan dan terarah, dan mencakup seluruh aspek tingkah laku.
12

Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akibat dari hasil perbuatan belajar

seseorang dapat berupa kebiasaan-kebiasaan, kecakapan, atau dalam bentuk

pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Pembelajaran harus mempunyai tujuan

yang jelas untuk memberikan arah dan menuntun siswa dalam mencapai prestasi

yang diharapkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Sardiman (2007:26), tujuan

belajar ada tiga jenis, yaitu: a) untuk mendapatkan pengetahuan, b) penanaman

konsep keterampilan baru, c) pembentukan sikap.

Suyitno (2004:2), menyatakan bahwa pembelajaran matematika adalah suatu

proses atau kegiatan guru mata pelajaran matematika dalam mengajarkan

matematika kepada para peserta didik, yang di dalamnya terkandung upaya guru

untuk menciptakan iklim dan pelayanan terhadap kemampuan, potensi, minat,

bakat, dan kebutuhan peserta didik tentang matematika yang beragam agar terjadi

interaksi optimal antara guru dengan peserta didik serta antara peserta didik

dengan peserta didik dalam mempelajari matematika tersebut.

Matematika memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan disiplin ilmu

yang lain. Soedjadi (2000:13) mengemukakan karakteristik matematika yakni,

miliki objek kajian abstrak, bertumpu pada kesepakatan, berpola pikir deduktif,

memiliki simbol yang kosong dari arti, memperhatikan semesta pembicaraan, dan

konsisten dalam sistemnya.

Pemahaman akan karakteristik-karakteristik matematika dapat membantu siswa

dalam mempelajari matematika yang sedang dipelajari. Pemahaman ini

dimaksudkan untuk mencapai tujuan pembelajaran matematika yang diharapkan.


13

Dalam Garis-garis Besar Program Pengajaran (GBPP) matematika, tujuan

pengajaran matematika di sekolah lanjutan pertama (dalam Soedjadi, 2000: 44):

2. Memiliki kemampuan yang dapat dialihgunakan melalui


kegiatanmatematika.
3. Memiliki pengetahuan matematika sebagai bekal untuk melanjutkan
kependidikan menengah.
4. Memiliki keterampilan matematika sebagai peningkatan dan perluasan dari
matematika sekolah dasar untuk dapat digunakan dalam kehidupan sehari-
hari.
5. Mempunyai pandangan yang cukup luas dan memiliki sikap logis, kritis,
cermat, kreatif, dan disiplin serta menghargai kegunaan matematika.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, pada intinya pembelajaran matematika

adalah suatu proses guru mata pelajaran matematika dalam mengajarkan

matematika sehingga dapat melatih penalaran dan logika berpikir para siswa,

sehingga siswa memiliki pola pikir yang sistematis, rasional, logis, kritis, kreatif

dan inovatif dalam kehidupan sehari-hari.

C. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray

Menurut Eggen dan Kauchak (dalam Trianto, 2011:58) “pembelajaran kooperatif

adalah pembelajaran yang melibatkan siswa bekerja secara berkalaborasi untuk

mencapai tujuan bersama”. Pembelajaran kooperatif disusun dalam sebuah usaha

untuk meningkatkan partisipasi siswa, memfasilitasi siswa dengan pengalaman

sikap kepemimpinan dan membuat keputusan dalam kelompok, serta memberikan

kesempatan pada siswa untuk berinteraksi dan belajar bersama-sama yang berbeda

latar belakangnya. Dalam pembelajaran kooperatif siswa bekerja secara

kalaboratif untuk mencapai sebuah tujuan bersama dalam mengembangkan

ketrampilan berhubungan dengan sesama manusia yang bermanfaat bagi

kehidupan di luar sekolah.


14

Menurut Sanjaya (2006:249), manfaat pembelajaran kooperatif adalah sebagai

berikut:

a. Menambah kepercayaan siswa dalam kemampuan berfikir sendiri,

menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.

b. Mengembangkan kemampuan ide atau gagasan dengan kata-kata secara

verbal.

c. Membantu siswa untuk tanggap pada orang lain dan menyadari akan segala

keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.

d. Membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab

dalam belajar.

e. Meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk

mengembangkan hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, dan

mengembangkan keterampilan menggunakan waktu.

f. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahamannya

sendiri, serta menerima umpan balik.

g. Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan

belajar abstrak secara nyata.

h. Meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berfikir, dan hal

ini berguna untuk proses pendidikan jangka panjang.

Berdasarkan uraian di atas, pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran

yang dilakukan siswa secara berkelompok yang didasarkan atas kerjasama untuk

mencapai tujuan belajar yang optimal.


15

Menurut Lie (2008), pembelajaran dengan strategi kooperatif terbukti sangat

efektif dalam meningkatkan hubungan antar siswa. Dalam pembelajaran

kooperatif terdapat banyak macam model pembelajaran, diantaranya Two Stay

Two Stray (TSTS) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Dua

Tinggal Dua Tamu. Teknik ini dikembangkan oleh Spencer Kagan (1992), teknik

ini bisa digunakan dalam semua mata pelajaran dan untuk semua tingkatan usia

anak didik.

Pembelajaran kooperatif memberikan pengalaman bagi siswa untuk dapat belajar

dengan cara bekerja sama dengan teman. Teman yang lebih mampu dapat

menolong teman yang lemah. Lie (2008 : 61) menggungkapkan bahwa struktur

TSTS memberi kesempatan kepada kelompok untuk membagi hasil dan informasi

dengan kelompok lain. Hal ini menunjukkan bahwa lima unsur proses belajar

kooperatif yang terdiri atas: saling ketergantungan positif, tanggung jawab

perseorangan, tatap muka, komunikasi antar kelompok dan evaluasi proses

kelompok dapat terlaksana. Pada saat anggota kelompok bertamu ke kelompok

lain maka akan terjadi proses pertukaran informasi yang bersifat saling

melengkapi, dan pada saat kegiatan dilaksanakan maka akan terjadi proses tatap

muka antar siswa dimana akan terjadi komunikasi baik dalam kelompok maupun

antar kelompok sehingga siswa tetap mempunyai tanggung jawab perseorangan.

Menurut Lie (2008 : 62), tahap-tahap dalam model TSTS:

1. Siswa bekerja sama dalam kelompok seperti biasa dan dalam satu kelompok

tersebut dibagi menjadi dua bagian.


16

2. Setelah selesai, sebagian siswa dari masing-masing kelompok akan

meninggalkan kelompoknya dan masing-masing bertamu ke kelompok lain.

3. Siswa yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja dan

informasi mereka ke tamu mereka.

4. Tamu mohon diri dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan melaporkan

hasil temuan mereka dari kelompok lain.

5. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil-hasil kerja mereka.

Menurut Santoso (2011) model pembelajaran kooperatif tipe TSTS terdiri dari

beberapa tahapan sebagai berikut. (1) persiapan, (2) presentasi guru, (3) kegiatan

kelompok, (4) formalisasi, dan (5) evaluasi kelompok dan penghargaan.

Berikut disajikan gambar skema penerapan model pembelajaran TSTS

Kel I Kel IV

AB EF
GH

CD GH
CD

OP

Kel II Kel III

KL OP
IJ
IJ MN
Gambar 2.1 model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

Gambar 1. skema penerapan model pembelajaran TSTS

Keterangan:

: siswa yang bertamu ke kelompok lain

: siswa yang tinggal / tuan rumah dalam kelompok


17

Menurut Daryono (2011) manfaat model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

antara lain:

a. Siswa dalam setiap kelompok mendapatkan informasi sekaligus dari dua

kelompok yang berbeda.

b. Siswa belajar untuk mengungkapkan pendapat kepada siswa lain.

c. Siswa dapat meningkatkan prestasi dan daya ingatnya.

d. Siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis.

e. Siswa dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan siswa lainnya.

f. Siswa dapat meningkatkan hubungan persahabatan.

Adapun kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe TSTS antara lain:

1. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan konsep sendiri

dengan cara memecahkan masalah.

2. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk menciptakan kreatifitas dalam

melakukan komunikasi dengan teman sekelompoknya.

3. Membiasakan siswa untuk bersikap terbuka terhadap teman, menambah

kekompokan serta rasa percaya diri siswa.

4. Meningkatkan motivasi, minat dan prestasi belajar siswa.

5. Membantu guru dalam pencapaian pembelajaran, karena langkah

pembelajaran kooperatif mudah diterapkan di sekolah.

Berdasarkan uraian diatas, model pembelajaran kooperatif model Two Stay Two

Stray adalah salah satu model pembelajaran kooperatif yang memberi kesempatan

kepada kelompok untuk membagi hasil dan informasi dengan kelompok lain,

dimana dalam satu kelompok terdiri dari empat atau lebih siswa yang nantinya
18

sebagian siswa bertugas sebagai pemberi informasi dari tamunya, dan siswa

lainnya bertamu ke kelompok yang lain secara terpisah.

D. Pemahaman Konsep Matematis

Pemahaman berasal dari kata paham yang dalam kamus besar bahasa Indonesia

berarti mengerti atau mengetahui. Sedangkan konsep berarti rancangan atau ide

yang abstrak. Menurut Soedjadi (2000 : 13) dalam matematika, konsep

merupakan ide abstrak yang digunakan untuk menggolongkan atau

mengklasifikasikan sekumpulan objek yang biasanya dinyatakan dengan suatu

istilah atau rangkaian kata. Jadi, pemahaman konsep adalah cara untuk memahami

atau mengerti suatu rancangan atau ide abstrak.

Pemahaman merupakan aspek yang sangat penting dalam pembelajaran

matematika, karena dengan memahami konsep, siswa dapat mengembangkan

kemampuannya dalam pembelajaran matematika dan siswa dapat menerapkan

konsep yang telah dipelajari untuk menyelesaikan permasalahan sederhana sampai

dengan yang kompleks. Pemahaman konsep merupakan salah satu aspek dalam

ranah kognitif dari tujuan pembelajaran. Sesuai dengan yang dikemukakan Bloom

(dalam Uno, 2008 : 35), ranah kognitif ini meliputi pengetahuan (knowledge),

pemahaman (comprehension), penerapan (application), analisis (analysis),

sintesis (synthesis), dan penilaian (evaluation).

Pembelajaran matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak, dimana

konsep-konsep matematika tersusun secara hierarkis, terstruktur, logis, dan

sistematis, mulai dari konsep paling sederhana hingga konsep yang paling
19

kompleks. Menurut Syarifudin (2009) penjabaran pembelajaran yang ditekankan

pada konsep-konsep matematika adalah sebagai berikut:

1. Penanaman konsep dasar (penanaman konsep), yaitu pembelajaran suatu


konsep baru matematika.
2. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep
yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika.
3. Pembinaan ketrampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman
konsep dan pemahaman konsep yang bertujuan agar siswa lebih terampil
dalam menggunakan berbagai konsep matematika.

Skemp (dalam Muaddab, 2010) membedakan pemahaman menjadi dua.

Pemahaman yang pertama, yaitu pemahaman instruksional (instructional

understanding) dimana siswa hanya sekedar tahu mengenai suatu konsep namun

belum memahami mengapa hal itu bisa terjadi. Siswa pada tahapan ini belum bisa

menerapkan hal tersebut pada keadaan baru yang berkaitan. Pemahaman yang

kedua, yaitu pemahaman reliasional (relational understanding) dimana siswa

telah memahami mengapa hal tersebut bisa terjadi. Siswa pada tahapan ini sudah

dapat menggunakan konsep dalam memecahkan masalah-masalah sesuai dengan

kondisi yang ada.

Kemampuan pemahaman matematis adalah salah satu tujuan penting dalam

pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan

kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan

pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri.

Pemahaman matematis juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang

disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan pembimbing siswa untuk mencapai

konsep yang diharapkan.


20

Dalam penelitian ini, hasil belajar siswa diperoleh berdasarkan hasil tes evaluasi

pemahaman konsep. Menurut Peraturan Dirjen Dikdasmen Nomor

506/C/Kep/PP/2004 tanggal 11 November 2001 (dalam Wardhani 2008 : 10-11)

tentang indikator siswa memahami konsep matematika adalah:

a. Menyatakan ulang suatu konsep.


b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu.
c. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep.
d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika.
e. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep.
f. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu.
g. Mengaplikasikan konsepatau algoritma pemecahan masalah.

Berdasarkan uraian di atas, pemahaman konsep matematis adalah kemampuan

siswa dalam menerjemahkan, menafsirkan, dan menyimpulkan suatu konsep

matematika berdasarkan pembentukan pengetahuannya sendiri bukan sekedar

menghafal.

E. Pembelajaran Konvensional

Sistem pembelajaran yang selama ini dilakukan mayoritas masih menggunakan

sistem pembelajaran konvensional yang biasa disebut ceramah murni atau

ceramah dengan menggunakan alat bantu papan tulis, yang kental dengan suasana

instruksional dan dirasa kurang sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat.

Burrowes (dalam Juliantara, 2009 : 7) menyampaikan bahwa pembelajaran


konvensional menekankan pada resitasi konten, tanpa memberikan waktu
yang cukup kepada siswa untuk merefleksi materi-materi yang
dipresentasikan, menghubungkannya dengan pengetahuan sebelumnya, atau
mengaplikasikannya kepada situasi kehidupan nyata.Lebih lanjut dinyatakan
bahwa pembelajaran konvensional memiliki ciri-ciri, yaitu: (1) pembelajaran
berpusat pada guru, (2) terjadi passive learning, (3) interaksi di antara siswa
kurang, (4) tidak ada kelompok-kelompok kooperatif, dan (5) penilaian
bersifat sporadis.
21

Wallace (dalam Sunartombs 2009) mengemukakan bahwa pendekatan konservatif

memandang bahwa proses pembelajaran yang dilakukan guru yaitu mentransfer

ilmu pengetahuan kepada siswa, sedangkan siswa lebih banyak sebagai penerima.

Metode yang biasa digunakan dalam pembelajaran konvensional adalah metode

ekspositori. Menurut Suyitno (2004 : 2) metode ekspositori adalah cara penyam-

paian pelajaran dari seorang guru kepada siswa di dalam kelas dengan cara

berbicara di awal pelajaran, menerangkan materi dan contoh soal disertai tanya

jawab.

Pada pembelajaran di kelas dengan menggunakan pembelajaran konvensional,

kegiatan guru yang utama adalah menerangkan sehingga membuat siswa kurang

aktif karena siswa hanya mendengarkan penjelasan guru dan mecatatnya. Jadi,

pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh guru

seperti ceramah, tanya jawab, dan latihan soal.

F. Kerangka Pikir

Prinsip dasar proses pembelajaran adalah terpusat pada siswa, mengembangkan

kreativitas siswa, menciptakan kondisi menyenangkan, dan menyediakan

pengalaman belajar yang beragam bagi siswa sehingga memudahkan siswa dalam

memahami konsep-konsep pelajaran yang akan dicapai, sedangkan guru berperan

sebagai fasilitator dengan menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, serta

memberikan bimbingan agar siswa dapat belajar dengan mudah, aktif, dan

menyenangkan sehingga tujuan pembelajaran yang diinginkan dapat tercapai.

Salah satunya dengan memilih dan menerapkan model pembelajaran yang tepat
22

dan efektif. Salah satu model yang dapat diterapkan adalah model pembelajaran

kooperatif tipe TSTS.

Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS adalah suatu model pembelajaran yang

memberikan kesempatan kepada siswa dalam kelompok untuk membagi hasil

kerja kelompok kepada kelompok lain, dimana dalam satu kelompok terdiri dari

empat anggota yang nantinya dua anggota bertugas mencari informasi dari hasil

diskusi kelompok yang dikunjungi dan dua anggota lainya bertugas membagi

informasi kepada kelompok yang berkunjung. Pada saat anggota kelompok

bertamu ke kelompok lain maka akan terjadi proses pertukaran informasi yang

bersifat saling melengkapi. Model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini

mengarahkan siswa untuk terlibat aktif, baik dalam menggali dan berbagi

pengetahuan, tanya jawab, bertukar pikiran, mencari jawaban, menjelaskan dan

juga menyimak informasi yang dijelaskan oleh teman, serta menyampaikan

pendapat dan memberi tanggapan.

Selama proses pembelajaran tidak semua siswa aktif, salah satu penyebabnya

yaitu tidak semua siswa mendapat kesempatan. Padahal keterlibatan siswa sangat

dibutuhkan dalam suatu proses pembelajaran karena selain dapat menunjang

keberhasilan pembelajaran tersebut, juga memiliki banyak manfaat bagi siswa itu

sendiri, diantaranya membantu memudahkan siswa dalam rangka mencapai tujuan

belajar yang diharapkan. Dengan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS ini

seluruh siswa di kelas diarahkan untuk terlibat aktif dalam diskusi baik dengan

teman satu kelompok maupun dengan kelompok lain. Dengan demikian, model
23

pembelajaran kooperatif tipe TSTS efektif dalam proses pembelajaran matematika

untuk meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa.

Dalam pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif tipe TSTS, siswa diberi

kesempatan untuk menggali dan menemukan sendiri konsep-konsep matematika

melalui masalah-masalah yang disajikan melalui lembar kerja kelompok (LKK)

yang harus mereka kerjakan dengan cara bekerja sama dalam kelompok. Hal ini

dapat memotivasi siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan pembelajaran.

Meningkatnya aktivitas siswa dalam pembelajaran, memudahkan siswa

memperoleh pengetahuan, keterampilan belajar melalui penyajian informasi,dan

meningkatkan keterampilan berpikir siswa, sehingga akan berdampak pada

meningkatnya pemahaman konsep matematis siswa. Dengan demikian, model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS efektif pada pembelajaran matematikadalam

meningkatkan pemahaman konsep matematis siswa.

G. Hipotesis

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas maka dirumuskan suatu hipotesis

dalam penelitian ini, yaitu:

1. Hipotesis Umum

Model pembelajaran kooperatif tipe Two Stay Two Stray efektif ditinjau dari

pemahaman konsep matematis siswa.

2. Hipotesis Kerja

a. Rata- rata pemahaman konsep metematis siswa yang menggunakan

model Two Stay Two Stray lebih tinggi daripada rata-rata nilai
24

pemahaman konsep matematis siswa yang menggunakan model

pembelajaran konvensional.

b. Persentase ketuntasan belajar siswa pada kelas eksperimen, yaitu kelas

yang mengikuti model pembelajaran kooperatif tipe TSTS lebih dari atau

sama dengan 70% dari jumlah siswa.


25

III. METODE PENELITIAN

A. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 26

Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013 yang terdiri dari enam kelas dengan

kemampuan siswa merata dalam setiap kelas. Pengambilan sampel dalam

penelitian ini menggunakan teknik Purposive Sampling yaitu siswa dari populasi

yang ada diambil dua kelas yang memiliki kemampuan yang relatif sama. Pada

kelas eksperimen menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan

pada kelas kontrol menggunakan pembelajaran konvensional.

B. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan desain

Posttest Control Group. Desain ini melibatkan dua kelompok subjek, pada kelas

eksperimen diberikan perlakuan dengan menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe TSTS dan pada kelas kontrol diberikan perlakuan dengan

menggunakan pembelajaran konvensional Di akhir pembelajaran siswa diberi

posttest untuk mengetahui pemahaman konsep matematis siswa.

Tabel 3.1. Postes Kontrol Desain

Kelas Perlakuan Pos-tes


E X Y
K C Y
26

Keterangan:
E : kelas eksperimen
K : kelas kontrol
X :perlakuan pada kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TSTS
C: Perlakuan pada kelas kontrol yang mengikuti pembelajaran konvensional

Y: Nilai post-test

Adapun langkah-langkah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Orientasi sekolah, untuk melihat kondisi lapangan seperti berapa kelas yang

ada, jumlah siswanya, serta cara mengajar guru matematika selama

pembelajaran

2. Membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) untuk kelas eksperimen

dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan untuk

kelas kontrol dengan menggunakan pembelajaran konvensional.

3. Menyiapkan instrumen penelitian berupa tes pemahaman konsep sekaligus

aturan penskorannya.

4. Melakukan validasi instrumen.

5. Melakukan uji coba instrumen

6. Melakukan perbaikan instrumen

7. Melaksanakan perlakuan pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

8. Mengadakan post- tes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol

9. Menganalisis data

10. Membuat kesimpulan


27

C. Data Penelitian

Data dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu data berupa nilai yang

diperoleh dari tes pemahaman konsep matematis pada kelas yang menggunakan

model pembelajaran kooperatif tipe TSTS dan kelas yang menggunakan

pembelajaran konvensional. Pengumpulan data ini dilakukan setelah materi

selesai dengan diadakan posttest.

D. Teknik Pengumpulan Data

Mengumpulkan data merupakan kegiatan penting dalam suatu penelitian. Dengan

adanya data-data tersebut peneliti menganalisisnya untuk kemudian dibahas dan

disimpulkan dengan panduan serta referensi-referensi yang berhubungan dengan

penelitian tersebut.

Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah:

 Metode Tes

Metode tes adalah metode pengumpulan data yang bertujuan untuk

mengetahui hasil dari suatu perlakuan. Tes yang digunakan dalam penelitian

ini adalah tes pemahaman konsep berbentuk esai. Tes ini digunakan untuk

mengukur kemampuan siswa dalam memahami materi yang diberikan. Tes

diberikan sesudah pembelajaran (pos-tes) pada kelas eksperimen dan kelas

kontrol. Tes yang diberikan sesudah pembelajaran dimaksudkan untuk melihat

efektivitas model pembelajaran terhadap pemahaman konsep siswa.

E. Instrumen Penelitian
28

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes pemahaman konsep

matematis siswa. Tes pemahaman konsep berbentuk soal uraian pada pokok

bahasan himpunan. Tes yang diberikan bertujuan untuk mengetahui tingkat

pemahaman konsep siswa setelah mengikuti pembelajaran, baik pada kelas

eksperimen maupun kelas kontrol. Penyusunan soal tes diawali dengan kisi-kisi

soal. Kisi-kisi soal disusun dengan memperhatikan setiap indikator yang ingin

dicapai. Untuk mendapatkan data yang akurat, maka tes yang digunakan dalam

penelitian ini harus baik, diantaranya harus memenuhi validitas, tingkat

kesukaran, daya beda, dan reliabilitas tes.

Validitas instrumen adalah kemampuan instrumen untuk mengukur dan

menggambarkan keadaan suatu aspek sesuai dengan maksudnya, untuk apa

instrumen tersebut dibuat. Validasi terhadap perangkat tes pemahaman konsep

himpunan dilakukan dengan tujuan agar diperoleh perangkat tes yang memenuhi

validitas isi. Untuk mendapatkan perangkat tes yang valid dilakukan langkah-

langkah berikut.

a. Membuat kisi-kisi dengan indikator-indikator yang telah ditentukan.

b. Membuat soal berdasarkan kisi-kisi.

c. Meminta pertimbangan kepada guru mitra mengenai kesesuaian antara kisi-

kisi dengan soal.

1. Reliabilitas
29

Tes yang digunakan diuji cobakan diluar sampel, dimaksudkan untuk

mengetahui tingkat reliabilitas tes. Perhitungan reliabilitas tes ini didasarkan

pada pendapat Sudijono (2001 ; 207) yang menyatakan bahwa untuk

menghitung reliabilitas tes dapat digunakan rumus alpha, yaitu :

dimana: r 11=( )(n


n−1
∑ Si2
1− 2
Si )
r 11 = Koefisien reliabilitas tes
n = Banyaknya butir item yang dikeluarkan dalam tes
∑ Si2 = Jumlah varians skor dari tiap butir item
Si2 = Varian total

Harga r 11 yang diperoleh diimplementasikan dengan kriteria sebagai berikut:

Tabel 3.2 Interpretasi Nilai Koefisien Reliabilitas

Nilai Interpretasi
Antara 0,00 s.d 0,20 Reliabilitas sangat rendah
Antara 0,20 s.d 0,40 Reliabilitas rendah
Antara 0,40 s.d 0,70 Reliabilitas sedang
Antara 0,70 s.d 0,90 Reliabilitas tinggi
Antara 0,90 s.d 1,00 Reliabilitas sangat tinggi

2. Tingkat Kesukaran (TK)

Tingkat kesukaran digunakan untuk menentukan derajat kesukaran suatu butir

soal. Suatu tes dikatakan baik jika memiliki derajat kesukaran sedang, yaitu

tidak terlalu sukar, dan tidak terlalu mudah. Seperti yang dikemukakan

Sudijono (dalam Noer, 2010 : 23) untuk menghitung tingkat kesukaran suatu
JT
butir soal digunakan rumus : TK=
IT
Keterangan:
TK : tingkat kesukaran suatu butir soal
JT : jumlah skor yang diperoleh siswa pada butir soal yang diperoleh
IT : jumlah skor maksimum yang dapat diperoleh siswa pada suatu butir soal
30

Untuk menginterpretasi tingkat kesukaran suatu butir soal digunakan kriteria

indeks kesukaran sebagai berikut :

Tabel 3.2 Interpretasi Nilai Tingkat Kesukaran


Nilai Interpretasi
0.00≤TK≤0.15 Sangat Sukar
0.16≤TK≤0.30 Sukar
0.31≤TK≤0.70 Sedang
0.71≤TK≤0.85 Mudah
0.86≤TK ≤1.00 Sangat Mudah
Sudijono (dalam Noer, 2010:23)

3. Daya Pembeda (DP)

Analisis daya pembeda dilakukan untuk mengetahui apakah suatu butir soal

dapat membedakan siswa yang berkemampuam tinggi dan siswa yang

berkemampuan rendah. Untuk menhitung daya pembeda, terlebih dahulu

diurutkan dari siswa yang memperoleh nilai tertinggi sampai siswa yang

memperoleh nilai terendah. Kemudian diambil 27% siswa yang memperoleh

nilai tertinggi ( disebut kelompok atas ) dan 27% siswa yang memperoleh nilai

terendah ( disebut kelompok bawah ). Karno To (dalam Noer, 2010)

mengungkapkan menghitung daya pembeda ditentukan dengan rumus:


JA−JB
DP=
IA

Keterangan :
DP : indeks daya pembeda satu butri soal tertentu
JA : jumlah skor kelompok atas pada butir soal yang diolah
JB : jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah
IA : jumlah skor ideal kelompok (atas/bawah)

Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasi berdasarkan klasifikasi yang

tertera dalam tabel berikut :


31

Tabel 3.3. Interpretasi Nilai Daya Pembeda


Nilai Interpretasi
Negatif ≤DP≤0.10 Sangat Buruk
0 . 10 ≤ DP≤0 . 19
Buruk
0 . 20≤ DP≤0 . 29
Agak baik, perlu revisi
0 .30 ≤ DP≤0 . 49
Baik
DP≥0 . 50
Sangat Baik

To (dalam Noer, 2010)

F. Analisis Data

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data kuantitatif, yaitu nilai

kemampuan awal yang diperoleh dari nilai semester dan tes pemahaman konsep

yang diperoleh dari posttest. Pemberian skor ditentukan oleh jawaban yang benar,

sehingga diperoleh skor posttest. Analisis data dilakukan melalui langkah-langkah

sebagai berikut:

a. Uji Normalitas

Uji normalitas data dilakukan untuk melihat apakah kedua populasi

berdistribusi normal atau sebaliknya. Untuk uji normalitas yang digunakan

dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan uji Chi-Kuadrat menurut

Sudjana (2005 : 273). Berikut langkah-langkah uji normalitas.

a) Hipotesis

H0 : sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

b) Taraf Signifikansi

Taraf signifikansi yang digunakan α =5 %

c) Statistik Uji
2
k
( Oi −Ei )
x =∑
2

i=1 Ei
32

Keterangan :
2
x = harga Chi-Kuadrat
Oi = frekuensi pengamatan
Ei = frekuensi yang diharapkan
k = banyaknya kelas interval

d) Keputusan Uji

x 2≥x ( 1−α ) ( k −3 )
Tolak H0 jika dengan taraf  = taraf nyata untuk pengujian.

Dalam hal lainnya H0 diterima.

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas varians dilakukan antara dua kelompok data, yaitu kelompok

eksperimen dan kelompok kontrol. Masing-masing kelompok tersebut

dilakukan untuk variabel terikat pemahaman konsep matematis siswa. Uji

homogenitas varians yang dilakukan dalam penelitian ini adalah uji F.

menurut Sudjana (2005: 273). Berikut langkah-langkah uji homogenitas.

a) Hipotesis

H0 : σ12 = σ22 (Variansi kedua populasi homogen)

H1 : σ12 ≠ σ22 (Variansi kedua populasi tidak homogen)

b) Taraf Signifikansi

Taraf signifikansi yang digunakan α =5 %

c) Statistik Uji

Untuk menguji hipotesis digunakan statistik:

S 12 Varians terbesar
F= =
S2 2
Varians terkecil

d) Keputusan Uji
33

Terima H0 jika F (1−α )(n −1) < F< F 1 α(n −1 ,n −1) dan tolak H0 jika F ≥ F 1 α (v
1
1 2 1
,
, v 2)
2 2

dimana F 1 α (v , v )didapat dari daftar distribusi F dengan peluang 1/2α dan


1 2
2

derajat kebebasan masing-masing sesuai dengan dk pembilang dan

penyebut.

c. Uji Hipotesis

a. Uji Proporsi

Rumusan hipotesis untuk uji ini adalah sebagai berikut:

H0 : π < 0,70 (Persentase siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS tuntas belajar kurang dari

70%)

H1 : π ≥ 0,70 (Persentase siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model

pembelajaran kooperatif tipe TSTS tuntas belajar lebih besar

atau sama dengan 70%)

Statistik yang digunakan dalam uji ini adalah:

x/n − 0,70
z hitung =
√ 0,70 (1 − 0,70)/n
Keterangan:
X : banyaknya siswa yang tuntas belajar
n : jumlah sampel
0,70 : proporsi siswa tuntas belajar yang diharapkan

Menurut Sudjana (2005: 234), kriteria uji: tolak H0 jika


z hitung ≥ z 0,70 − α

z
dengan taraf signifikan α = 5%. Harga 0,70 − α diperoleh dari daftar normal

baku dengan peluang (0,70–α).


34

b. Uji Kesamaan Dua Rata-rata

Setelah melakukan uji normalitas dan uji homogenitas variansi, maka

dilakukan uji hipotesis, dalam hal ini uji kesamaan rata-rata skor posttest.

1) Data berdistribusi normal dan memiliki variansi yang sama, uji hipotesis

dilakukan dengan uji t.

a) Hipotesis uji:

H0 : μ1 ≤ μ2 (Rata-rata pemahaman konsep matematis dengan

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

kurang dari atau sama dengan rata-rata pemahaman konsep

matematis dengan pembelajaran konvensional).

H1: μ1 > μ2 (Rata-rata pemahaman konsep matematis dengan

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS

lebih dari rata-rata pemahaman konsep matematis dengan

pembelajaran konvensional).

b) Taraf signifikansi yang digunakan α =5 %

c) Statistika uji yang digunakan adalah:

x 1−x 2
thit =
Sp
√ 1 1
+
n1 n2

( n1−1 ) S21 + ( n 2 – 1 ) S22


Dengan: S2p =
n1 +n 2−2

Keterangan :
xi : rata-rata pemahaman konsep pada kelas eksperimen
x2 : rata-rata pemahaman konsep dari kelas kontrol
2
s1 : varians sampel kelas eksperimen
s 22 : varians sampel kelas control
35

n1 : banyaknya subjek kelas eksperimen


n2 : banyaknya subjek kelas kontrol

d) Kriteria uji:

−t <t<t t1− 1 α
1− 12 α 1
1− α
Terima H0 jika 2 , dimana 2 didapat dari daftar distribusi

t dengan dk = (n1 + n2 – 2) dan peluang (1 – 1/2). Untuk harga-harga t

lainnya H0 ditolak.

2) Data berdistribusi normal, tetapi memiliki variansi berbeda, maka uji hipotesis

dilakukan dengan uji t’. Rumus yang digunakan adalah:

X 1 −X 2
t '=


S S
12 22
+
n1 n2

kriteria pengujian sebagai mana yang dikemukakan oleh Sudjana terima Ho

jika:

W 1 t 1+W 2 t 2 W 1 t 1 +W 2 t 2
− <t '<
W 1+W 2 W 1 +W 2

S S
12 22
W 1= ;W 2=
dengan: n1 n2

t1= t(1-½α). (n1-1) ; t2 = t(1-½α).(n2-1)

3). Jika data tidak terdistribusi normal dan kedua kelompok data tidak homogen,

maka digunakan uji Mann-Whitney U atau uji-U.

U untuk sampel pertama:

n 1 ( n1 +1 )
U 1 =n1 −n2 + −∑ R1
2

U untuk sampel kedua:

n 2 ( n2 + 1)
U 2 =n1 −n2 + −∑ R2
2
36

Dari kedua nilai U tersebut yang digunakan ialah nilai U yang kecil, karena

sampel lebih dari 20, maka digunakan pendekatan kurva normal dengan mean:

n1 . n2
E(U )=
2

standar deviasi dalam bentuk:

σU =
√ n1 . n2 ( n1 +n 2 )+1
12

nilai standar dihitung dengan:

' U−E (U )
Z=
σU

kriteria pengambilan keputusan adalah:

−Z α ≤Z '≤Z α
H0 diterima apabila 2 2 , selain itu H0 ditolak.

Anda mungkin juga menyukai