Anda di halaman 1dari 70

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UU RI No. 20 tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Lewat pendidikan bermutu,

bangsa dan negara akan terjunjung tinggi martabat di mata dunia (Sumantri,

2015 : 101). Jadi pendidikan adalah pilar pembangunan peradaban sebuah bangsa

dan salah satu aset untuk membangun Sumber Daya Manusia (SDM).

Pendidikan merupakan kebutuhan yang sangat penting dalam kehidupan

manusia, dimana prosesnya dinamis dan berkelanjutan. Pendidikan dilakukan

secara terencana dalam mewujudkan proses pembelajaran agar siswa aktif

mengembangkan potensi diri dan keterampilan yang dimiliki sebagai bekal

kehidupan bermasyarakat. Dengan demikian, pendidikan dapat membantu

mengarahkan siswa menjalani kehidupan sebagai mahluk yang beragama dan

mahluk sosial dengan baik. Sehingga dapat mewujudkan Sumber Daya Manusia

(SDM) yang cerdas dan bermartabat serta memiliki kemampuan dan daya saing

untuk kemajuan negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan

nasional yang tercantum dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 20

tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 ayat 2 : “Tujuan

1
2

Pendidikan Nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan

bangsa dan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab”.

Pembelajaran matematika sebagai salah satu mata pelajaran yang wajib

diikuti oleh siswa di sekolah dari jenjang pendidikan dasar. Hal ini dimaksudkan

untuk membekali mereka denga kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis,

kritis, kreatif, serta kemampuan bekerja sama (Daryanto, 2013: 411). Sebagian

siswa menganggapnya sebagai pelajaran yang sulit dan kurang diminati. Padahal

siswa seharusnya menyadari bahwa kemampuan berpikir logis, kritis, cermat,

efisien dan efektif adalah menjadi ciri pelajaran matematika yang sangat

dibutuhkan dalam menghadapi zaman yang semakin berkembang. Namun

anggapan yang berkembang di masyarakat tentang matematika merupakan

pelajaran yang sangat sulit tidak dapat disalahkan begitu saja karena anggapan itu

muncul dari pengalaman yang kurang menyenangkan terhadap pembelajaran

matematika.

Selama ini pembelajaran matematika yang digunakan masih paradigma

pembelajaran satu arah, yaitu umumnya dari guru ke siswa, maka guru akan lebih

mendominasi pembelajaran. Dengan demikian, pembelajaran cenderung monoton

sehingga mengakibatkan siswa merasa jenuh, tersiksa, dan siswa bersifat pasif

(Daryanto, 2013: 411). Pembelajaran yang masih berpusat pada guru


3

mengakibatkan siswa cenderung kurang mengerti, kurang paham tentang

matematika, karena siswa dalam belajar matematika belum merasa bermakna,

artinya siswa tidak terlibat langsung dalam pengaplikasian materi matematika ke

dalam dunia nyata atau kehidupan sehari-hari.

Tujuan dari pengajaran matematika menurut Soedjadi (Amaludin, 2012: 2)

adalah 1) mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dan

pola pikir dalam kehidupan dan dunia selalu berkembang, dan 2) mempersiapkan

siswa menggunakan matematika dalam kehidupan sehari dan dalam mempelajari

berbagai ilmu pengetahuan. Membantu siswa dalam menguasai matematika, perlu

usaha maksimal agar tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai. Hal ini

sesuai dengan menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM),

tujuan umum siswa belajar matematika pada poin keempat yaitu; belajar

berkomunikasi secara matematis, belajar tentang simbol, lambang dan kaedah

matematis (Bernard, 2015: 198).

Beberapa alasan pentingnya kemampuan komunikasi matematis siswa

dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Pertama, kemampuan

komunikasi diperlukan untuk mempelajari bahasa dan simbol-simbol matematika

serta mengeksplorasikan ide-ide matematis. Kedua, komunikasi juga bermanfaat

untuk melatih siswa dalam mengemukakan gagasan secara jujur berdasarkan

fakta, rasional, serta meyakinkan orang lain dalam rangka memperoleh

pemahaman bersama.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang peneliti lakukan

pada tanggal 19 Maret 2018 kepada salah satu guru matematika kelas VII
4

SMP Negeri 5 Kendari yaitu Ibu Yustin Alix, S.Pd, diperoleh informasi bahwa

kemampuan siswa menuliskan model matematika, membuat gambar atau

menyelesaikan soal berdasarkan gambar yang ada masih rendah. Kurangnya

kemampuan komunikasi matematis siswa itu dapat dilihat dari:

1) Siswa masih kurang paham terhadap suatu konsep matematis, hal ini tampak

bahwa sebagian besar siswa masih kesulitan dalam menjelaskan ide, situasi

dan relasi matematika.

2) Kurangnya ketepatan siswa dalam menyebutkan simbol atau notasi

matematika.

3) Adanya rasa enggan dan sikap ragu-ragu siswa untuk sesekali

mengungkapkan atau mengkomunikasikan gagasan matematika baik melalui

tulisan (gambar, tabel, grafik, atau diagram) maupun lisan.

Keadaan hasil belajar siswa kelas VII SMP Negeri 5 Kendari masih perlu

ditingkatkan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata nilai tes kemampuan kognitif

matematis yaitu nilai ulangan akhir semester ganjil tahun ajaran 2017/2018 dari

keseluruhan kelas VII SMP Negeri 5 Kendari dengan rata-rata 36,27 ≤ 75 adalah

kriteria ketuntasan minimal. Berdasarkan keterangan dari beberapa guru kelas VII

SMP Negeri 5 Kendari yaitu Bapak Asri Azis, S.Pd., Ibu Waode Ekadayanti,

S.Pd.,M.Pd. dan Ibu Yustin Alix, S.Pd., memberikan komentar yang maknanya

relatif sama bahwa siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal

matematika. Misalkan pada materi operasi bilangan bulat, siswa masih kurang

dalam mengoperasikan bilangan bulat positif dengan bilangan bulat negatif,

bilangan bulat negatif dengan bilangan bulat negatif. Selain itu, siswa masih
5

kesulitan dalam mengerjakan soal yang berbentuk cerita. Siswa kurang mampu

menerjemahkan soal cerita ke dalam bentuk kalimat matematika. Kendala lain

adalah siswa bergantung dengan teknologi modern yang dimilikinya seperti

handphone dengan segala kualitas akses internet yang ada sehingga dapat

memanjakan siswa dalam proses kegiatan belajar. Hal ini berdampak negatif

terhadap kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal matematika secara mandiri

dikarenakan siswa hanya mencari dan menyalin jawaban dari soal yang diberikan

menggunakan akses internet tanpa memahami apa yang ditulisnya, siswa

cenderung pasif dan tidak membiasakan untuk melatih kemampuan dalam

menyelesaikan soal matematika yang diberikan oleh guru.

Pengakuan guru diperkuat dengan lembar jawaban siswa terhadap soal

essay ujian tengah semester. Dari salah satu soal yang dapat diangkat menjadi soal

komunikasi matematis, hampir semua siswa dalam membuat model matematika

dari gambar atau tabel kurang lengkap dan penjelasan secara matematis tidak

tersusun secara logis. Bahasa atau simbol matematika yang digunakan kurang

sesuai dengan masalah yang diberikan.

Rendahnya kemampuan komunikasi matematis siswa disebabkan oleh

beberapa faktor seperti faktor siswa itu sendiri, guru, metode pembelajaran,

maupun lingkungan belajar yang saling berhubungan satu sama lain. Faktor dari

siswa itu sendiri adalah kurangnya pemahaman konsep siswa terhadap materi

yang diajarkan, kurangnya aktivitas siswa dalam berdiskusi atau menulis

matematis. Faktor dari guru adalah memfokuskan pembelajaran matematika pada

upaya penyampaian materi matematika sebanyak mungkin kepada siswa.


6

Sehingga menyebabkan siswa jenuh dalam menjalani proses belajar mengajar.

Jadi, kurangnya kemampuan komunikasi matematis siswa akan mempengaruhi

tinggi rendahnya hasil belajar yang diperoleh.

SMP Negeri 5 Kendari merupakan salah satu Sekolah Menengah Pertama

di Kota Kendari yang telah menerapkan Kurikulum 2013. Kurikulum 2013

merupakan kurikulum yang pembelajarannya dilaksanakan dengan menggunakan

pendekatan saintifik. Pendekatan saintifik merupakan pendekatan ilmiah yang

dianggap sesuai untuk kurikulum 2013 saat ini. Melalui pendekatan

saintifik/ilmiah, selain dapat menjadikan siswa lebih aktif dalam mengkonstruksi

pengetahuan dan keterampilannya. Mereka dilatih untuk mampu berpikir logis

dan sistematis, dengan menggunakan kapasitas berpikir tingkat tinggi.

Salah satu yang dapat dilakukan yaitu memberikan model pembelajaran

yang melibatkan siswa berperan secara aktif. Salah satu model pembelajaran yang

dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis adalah model

pembelajaran kooperatif tipe Think, Talk & Write (TTW).

Model pembelajaran TTW merupakan salah satu model pembelajaran

inovatif dalam Kurikulum 2013, dimana model TTW ini dapat mengembangkan

kemampuan komunikasi matematis siswa. Karena TTW memiliki salah satu

tahap, yaitu “talk” yaitu berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan

bahasa yang mereka pahami. Pada tahap talk siswa diberi kesempatan untuk

merefleksikan, menyusun, dan menguji ide-ide dalam kegiatan diskusi kelompok.

Menurut Huinker & Laughlin (1996: 81), “siswa yang diberikan kesempatan

untuk berdiskusi dapat : (1) mengkoneksikan bahasa yang mereka tahu dari
7

pengalaman dan latar belakang mereka sendiri dengan bahasa matematika, (2)

menganalisis dan mensintesis ide-ide matematika, (3) memelihara kolaborasi dan

membantu membangun komunitas pembelajaran di kelas”. Model pembelajaran

TTW ini diperkenalkan oleh Huinker & Laughlin (1996: 82) yang pada dasarnya

dibangun melalui berpikir, berbicara, dan menulis. Kelebihan model pembelajaran

TTW ini yaitu dapat mengembangkan pemecahan yang bermakna dalam

memahami materi ajar dan dengan berinteraksi dan berdiskusi dengan kelompok

akan melibatkan siswa secara aktif dalam belajar.

Indikator kemampuan komuniasi matematis menurut menurut NCTM

(Anasrudin, 2015: 27) dapat dilihat dari: (1) Kemampuan mengekspresikan ide-

ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta

menggambarkannya secara visual; (2) Kemampuan memahami,

menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan,

tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) Kemampuan dalam

menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktu-strukturnya

untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-

model situasi. Ketiga indikator tersebut tersebut dapat dipenuhi dengan

penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TTW terhadap kemampuan

komunikasi matematis siswa.

Berdasarkan uraian di atas maka penulis bermaksud untuk melakukan

penelitian berjudul “Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif

Tipe Think, Talk & Write Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematis

Siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari”.


8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana deskripsi pelaksanaan pembelajaran menggunakan Model

Pembelajaran Kooperatif tipe TTW pada siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari?

2. Bagaimana deskripsi kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII

SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan menggunakan Model

Pembelajaran Kooperatif tipe TTW?

3. Bagaimana deskripsi kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII

SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan menggunakan pembelajaran

langsung ?

4. Apakah ada pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe TTW terhadap

kemampuan komunikasi matematis siswa di Kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan yang akan dicapai dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh gambaran pembelajaran menggunakan model

Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW pada siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari;
9

2. Untuk memperoleh gambaran kemampuan komunikasi matematis siswa kelas

VIII SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan menggunakan Model

Pembelajaran Kooperatif tipe TTW;

3. Untuk memperoleh gambaran kemampuan komunikasi matematis siswa kelas

VIII SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan menggunakan Model

Pembelajaran langsung; dan

4. Untuk mengetahui ada pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TTW

terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa di Kelas VIII SMP Negeri

5 Kendari.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberi manfaat :

1. Bagi sekolah; dapat memberikan masukan yang berarti pada sekolah dalam

rangka perbaikan atau peningkatan pembelajaran.

2. Bagi guru matematika; sebagai bahan masukan guru dalam meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa menggunakan model pembelajaran

TTW.

3. Bagi siswa; dapat membuat siswa terbiasa mengkomunikasikan bahasa dan

simbol-simbol matematika serta mengeksplorasikan ide-ide matematis dan

komunikasi juga bermanfaat untuk melatih siswa dalam mengemukakan

gagasan secara jujur berdasarkan fakta dan rasional. Siswa semakin

termotivasi untuk aktif belajar karena berpartisipasi aktif dalam proses

pembelajaran dan suasana pembelajaran semakin variatif dan tidak monoton.


10

4. Bagi peneliti; dapat meningkatkan pemahaman dan penguasaan peneliti

tentang model-model pembelajaran.


11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Pembelajaran Matematika

Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk

memperoleh perubahan tingkah laku secara keseluruhan sebagai hasil pengalaman

sendiri dan interaksi dengan lingkungannya (Slameto, 1988: 2). Belajar dapat

dipandang sebagai hasil, di mana guru melihat bentuk terakhir dari berbagai

pengalaman interaksi edukatif. yang diperhatikan adalah menampaknya sifat dan

tanda-tanda tingkah laku yang dipelajari. Melihat pada kenyataan dapat dikatakan

bahwa melalui peristiwa belajar manusia memperoleh tingkah laku yang baru

(Daryanto, 2013: 66-67).

Kata Pembelajaran adalah terjemahan dari instruction, yang banyak

dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak

dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-wholistik, yang menempatkan siswa

sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh

perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah siswa

mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan

cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya. Dengan demikian,

semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan guru dalam mengelola

pembelajaran, dari guru sebagai sumber belajar menjadi guru sebagai fasilitator

dalam pembelajaran. Menurut Gagne (dalam Fathu rrohman, 2015: 15), mengajar

11
12

atau teaching merupakan bagian dari pembelajaran, di mana peran guru lebih

ditekankan kepada bagaimana merancang atau mengaransemen berbagai sumber

dan fasilitas yang tersedia untuk digunakan dalam pembelajaran.

Pembelajaran merupakan suatu proses yang terdiri dari kombinasi dua

aspek, yaitu : belajar tertuju kepada apa yang harus dilakukan oleh siswa,

mengajar berorientasi pada apa yang harus dilakukan oleh guru sebagai pemberi

pelajaran. Kedua aspek ini akan berkolaborasi secara terpadu menjadi suatu

kegiatan pada saat terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta antar siswa

dengan siswa disaat pembelajaran sedang berlangsung. Menurut (Suherman,

1992), pembelajaran pada hakikatnya merupakan proses komunikasi antara siswa

dengan guru serta antar siswa dalam rangka perubahan sikap. Karena itu baik

konseptual maupun operasional konsep-konsep komunikasi dan perubahan sikap

akan selalu melekat pada pembelajaran (Jihad dan Haris, 2013: 11).

Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar,

yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, di mana

perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu

yang relatif lama dan karena adanya usaha. Dengan demikian, dapat diketahui

bahwa kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa

komponen sebagai berikut :

1. Siswa : seseorang yang bertindak sebagai pencari, penerima, dan penyimpan

isi pelajaran.

2. Guru : seseorang yang bertindak sebagai pengelola, katalisator, yang

memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.


13

3. Tujuan : pernyataan tentang perubahan perilaku (kognitif, psikomotorik dan

afektif) yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan

pembelajaran.

4. Materi pelajaran : segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang

diperlukan untuk mencapai tujuan.

5. Metode : cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa

untuk mendapat informasi yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

6. Media : bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang digunakan

untuk menyajikan informasi kepada siswa.

7. Evaluasi : cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses dan

hasilnya (Fathurrohman, 2015: 20).

Salah satu mata pelajaran di sekolah adalah matematika. Mata pelajaran

matematika perlu diberikan kepada semua siswa mulai dari sekolah dasar. Hal ini

dimaksudkan untuk membekali mereka dengan kemampuan berpikir logis,

analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta kemampuan bekerja sama. Dalam

membelajarkan matematika kepada siswa, apabila guru masih menggunakan

paradigma pembelajaran satu arah, yaitu umumnya dari guru ke siswa, maka guru

akan lebih mendominasi pembelajaran. Oleh karena itu, dalam membelajarkan

matematika kepada siswa, guru hendaknya lebih memilih berbagai variasi

pendekatan, strategi, metode yang sesuai dengan situasi sehingga tujuan

pembelajaran yang direncanakan akan tercapai (Daryanto, 2013: 411 - 412).

Kecakapan atau kemahiran matematika yang diharapkan dalam

pembelajaran matematika mencakup : (a) Pemahaman konsep; (b) Prosedur; (c)


14

Penalaran dan komunikasi; (d) Pemecahan masalah; dan (e) Menghargai kegunaan

matematika. Demi kepraktisan dan kemudahan, maka aspek penilaian matematika

dikelompokkan menjadi 3 aspek yaitu : a) Pemahaman konsep, b) Penalaran dan

komunikasi, dan c) Pemecahan masalah (Jihad dan Haris, 2013: 148-149).

2. Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think-Talk-Write (TTW)

a. Pengertian Model Pembelajaran TTW

Model pembelajaran TTW yang diperkenalkan oleh Huinker & Laughlin

(1996) pada dasarnya dibangun melalui berfikir (think), berbicara (talk), dan

menulis (write). Alur model pembelajaran TTW dimulai dari keterlibatan siswa

dalam berfikir atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca,

selanjutnya berbicara (talk) dan membagi ide dengan temannya sebelum menulis.

Suasana seperti ini lebih efektif jika dilakukan dalam kelompok heterogen dengan

3-5 siswa. Dalam kelompok ini siswa diminta membaca, membuat catatan kecil,

menjelaskan, mendengarkan dan membagi ide bersama teman kemudian

mengungkapkannya melalui tulisan.

Menurut Ngalimun (2013: 170), pembelajaran TTW adalah pembelajaran

yang dimulai dengan berfikir melalui bahan bacaan (menyimak, mengkritisi, dan

alternatif solusi), hasil bacaannya dikomunikasikan dengan presentasi, diskusi,

dan kemudian buat laporan hasil presentasi.

Menurut Suseli (2010: 39), kelebihan dari penggunaan model

pembelajaran TTW yaitu sebagai berikut :

a) Mendidik siswa lebih mandiri

b) Membentuk kerjasama tim


15

c) Melatih berfikir, berbicara dan membuat catatan sendiri

d) Lebih memberikan pengalaman pribadi

e) Melatih siswa berani tampil

f) Bertukar informasi antar kelompok/siswa

g) Guru hanya sebagai pengarah dan pembimbing

h) Siswa menjadi lebih aktif

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, yang dimaksud model

pembelajaran TTW dalam penelitian ini adalah suatu model pembelajaran

dengan alur pembelajaran yang diawali dari keterlibatan siswa dalam berfikir

(think) atau berdialog dengan dirinya sendiri setelah proses membaca masalah,

selanjutnya berbicara (talk) dan membagi ide dengan temannya sebelum menulis

(write).

b. Langkah-langkah Model Pembelajaran TTW

Model pembelajaran TTW melibatkan tiga tahap penting yang harus

dikembangkan dan dilakukan dalam pembelajaran matematika, yaitu:

1) Think

Menurut Huinker & Laughlin (1996: 81), “Thinking and talking are

important steps in the process of bringing meaning into students writing”.

Artinya adalah berpikir dan berbicara/berdiskusi merupakan langkah penting

dalam proses membawa pemahaman ke dalam tulisan siswa.

Pada tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban

atau metode penyelesaian, membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat

pada bacaan, dan hal-hal yang tidak dipahaminya sesuai dengan bahasanya
16

sendiri. Menurut Yamin & Ansari (2008: 85), “Aktivitas berpikir dapat dilihat

dari proses membaca suatu teks matemtika atau berisi cerita matematika

kemudian membuat catatan tentang apa yang telah dibaca”. Dalam membuat atau

menulis catatan siswa membedakan dan mempersatukan ide yang disajikan

dalam teks bacaan, kemudian menerjemahkan kedalam bahasa mereka sendiri.

Menurut Wiederhold seperti yang dikutip oleh Yamin & Ansari (2008:

85), “Membuat catatan berarti menganalisiskan tujuan isi teks dan memeriksa

bahan-bahan yang ditulis”. Selain itu, belajar membuat/menulis catatan setelah

membaca merangsang aktivitas berpikir sebelum, selama, dan setelah membaca,

sehingga dapat mempertinggi pengetahuan bahkan meningkatkan keterampilan

berpikir dan menulis.

Menurut Satriawati (2003: 2-3), “Dalam pembelajaran matematika

berpikir secara matematika digolongkan dalam dua jenis, yaitu berpikir tingkat

rendah dan berpikir tingkat tinggi”. Contoh berpikir matematika tingkat rendah,

yaitu melaksanakan operasi hitung sederhana, menerapkan rumus matematika

secara langsung, dan mengikuti prosedur yang baku, sedangkan berpikir tingkat

tinggi ditandai dengan kemampuan memahami ide matematika secara lebih

mendalam, menggamati data dan mengenali ide yang tersirat, menyusun

konjektur, analogi, generalisasi, menalar secara logik menyelesaikan masalah,

berkomunikasi secara matemaik, dan mengkaitkan ide matematika dengan

kegiatan intelektual lainnya.

Pada tahap ini siswa akan membaca sejumlah masalah yang diberikan

pada Lembar Kegiatan Peserta Didik (LKPD), kemudian setelah membaca siswa
17

akan menuliskan hal-hal yang diketahui dan tidak diketahui mengenai masalah

tersebut (membuat catatan individu). Selanjutnya siswa diminta untuk

menyelesaikan masalah yang ada secara individu. Proses berpikir pada tahap ini

akan terlihat ketika siswa membaca masalah kemudian menuliskan kembali apa

yang diketahui dan tidak diketahui mengenai suatu masalah. Selain itu, proses

berpikir akan terjadi ketika siswa berusaha untuk menyelasaikan masalah dalam

LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik) secara individu.

2) Talk

Tahap selanjutnya adalah “talk” yaitu berkomunikasi dengan

menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Pada tahap talk siswa

diberi kesempatan untuk merefleksikan, menyusun, dan menguji ide-ide dalam

kegiatan diskusi kelompok. Menurut Huinker & Laughlin (1996: 81),

“Classroom opportunities for talk enable students to (1) connect the language

they know from their own personal experiences and backgrounds with the

language of mathematics, (2) analyzes and synthesizes mathematical ideas, & (3)

fosters collaboration and helps to build a learning community in the classroom”.

Artinya, siswa yang diberikan kesempatan untuk berdiskusi dapat : (1)

mengkoneksikan bahasa yang mereka tahu dari pengalaman dan latar belakang

mereka sendiri dengan bahasa matematika, (2) menganalisis dan mensintesis ide-

ide matematika, (3) memelihara kolaborasi dan membantu membangun

komunitas pembelajaran di kelas.

Selain itu, Huinker & Laughlin (1996: 88), juga menyebutkan bahwa

Talking encourages the exploration of words and the testing of ideas. Talking
18

promotes understanding. When students are given numerous opportunities to

talk, the meaning that is constructed finds its way into students writing, and the

writing further contributes to the construction of meaning. Artinya, berdiskusi

dapat meningkatkan eksplorasi kata dan menguji ide. Berdiskusi juga dapat

meningkatkan pemahaman. Ketika siswa diberikan kesempatan yang banyak

untuk berdiskusi, pemahaman akan terbangun dalam tulisan siswa, dan

selanjutnya menulis dapat memberikan kontribusi dalam membangun

pemahaman. Intinya, pada tahap ini siswa dapat mendiskusikan pengetahuan

mereka dan menguji ide-ide baru mereka, sehingga mereka mengetahui apa yang

sebenarnya mereka tahu dan apa yang sebenarnya mereka butuhkan untuk

dipelajari.

Menurut Yamin & Ansari (2008: 86), talk penting dalam matematika

karena sebagai cara utama untuk berkomunikasi dalam matematika,

pembentukan ide (forming ideas) melalui proses talking, meningkatkan dan

menilai kualitas berpikir karena talking dapat membantu mengetahui tingkat

pemahaman siswa dalam belajar matematika.

Pada tahap talk memungkinkan siswa untuk terampil berbicara. Pada

tahap ini siswa akan berlatih melakukan komunikasi matematika dengan anggota

kelompoknya secara lisan. Masalah yang akan didiskusikan merupakan masalah

yang telah siswa pikirkan sebelumnya pada tahap think. Pada umumnya siswa

menurut Huinker & Laughlin (1996: 82), talking dapat berlangsung secara

alamiah tetapi tidak menulis. Proses talking dipelajari siswa melalui

kehidupannya sebagai individu yang berinteraksi dengan lingkungan sosial.


19

Dengan berdiskusi dapat meningkatkan aktivitas siswa dalam kelas.

Berkomunikasi dalam diskusi menciptakan lingkungan belajar yang memacu

siswa berkomunikasi antar siswa dapat meningkatkan pemahaman siswa karena

ketika siswa berdiskusi, siswa mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan.

3) Write

Fase ”write” yaitu menuliskan hasil diskusi/pada lembar kerja yang

disediakan (Lembar Kerja Peserta Didik). Aktivitas menulis akan membantu

siswa dalam membuat kesimpulan. Sedangkan bagi guru untuk melihat bagaimana

langkah menyelesaikan soal matematika dan menyimpulkan solusi jawabannya.

Masingila & Wisniowska (1996: 95), mengemukakan bahwa writing can

help students make their tacit knowledge and thoughts more explicit so that they

can look at, and reflect on, their knowledge and thoughts. Artinya, menulis dapat

membantu siswa untuk mengekspresikan pengetahuan dan gagasan yang

tersimpan agar lebih terlihat dan merefleksikan pengetahuan dan gagasan mereka.

Writing in mathematics helps realize one of the major goals in teaching, namely,

that students understand the material being studied (Shield & Swinson, 1996: 35).

Artinya, menulis dalam matematika dapat merealisasikan tujuan utama dalam

pembelajaran, yaitu pemahaman siswa tentang materi yang telah diajarkan. Selain

itu melalui kegiatan menulis dalam pembelajaran matematika, siswa diharapkan

dapat memahami bahwa matematika dibangun melalui suatu proses berpikir yang

dinamis, dan diharapkan pula dapat memahami bahwa matematika merupakan

bahasa atau alat untuk mengungkapkan ide.


20

Masingila & Wisniowska (1996: 95), mengemukakan bahwa for teacher,

writing can elicit (a) direct communication from all members of a class, (b)

information about student’s errors, misconception, thought habits, and beliefs, (c)

various students’ conceptions of the same idea, and (d) tangible evidence of

students’ achievement. Artinya, manfaat tulisan siswa untuk guru adalah (1)

komunikasi langsung secara tertulis dari seluruh anggota kelas, (2) informasi

tentang kesalahan-kesalahan, miskonsepsi, kebiasaan berpikir, dan keyakinan dari

para siswa, (3) variansi konsep siswa dari ide yang sama, dan (4) bukti yang nyata

dari pencapaian atau prestasi siswa.

Aktivitas menulis siswa pada tahap ini meliputi: menulis solusi terhadap

masalah atau pertanyaan yang diberikan termasuk perhitungan,

mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah (baik

penyelesaiannya, ada yang menggunakan diagram, grafik, ataupun tabel agar

mudah dibaca dan ditindaklanjuti), mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin

tidak ada perkerjaan ataupun perhitungan yang ketinggalan, dan meyakini bahwa

pekerjaannya yang terbaik, yaitu lengkap, mudah dibaca dan terjamin keasliannya

(Yamin & Ansari, 2008: 88).

Menurut Yamin & Ansari (2008: 87-88), aktivitas siswa selama fase write

adalah:

1) Menulis solusi terhadap masalah yang diberikan termasuk melakukan

perhitungan.
21

2) Mengorganisasikan semua pekerjaan langkah demi langkah, baik

penyelesaiannya ada yang menggunakan diagram, grafik, ataupun tabel, agar

mudah dibaca dan ditindaklanjuti.

3) Mengoreksi semua pekerjaan sehingga yakin tidak ada pekerjaan ataupun

perhitungan yang salah atau kurang lengkap.

4) Meyakini bahwa pekerjaannya yang terbaik yaitu lengkap, mudah dibaca dan

terjamin keasliannya.

Sintaks model pembelajaran TTW menurut Lestari dan Yudhanegara

(2015: 55), dikelompokan menjadi 5 fase seperti pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Sintaks Model Pembelajaran


Kooperatif tipe Think, Talk & Write (TTW)

Fase Deskripsi
Teams Pembentukan kelompok yang terdiri atas 4-5 orang
Tahap berpikir dimana siswa membaca teks berupa
soal. Pada tahap ini, siswa secara individu memikirkan
kemungkinan jawaban (strategi penyelesaian),
Think
membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat
pada bacaan, atau hal-hal yang tidak dipahaminya
sesuai dengan bahasanya sendiri.
Pada tahap ini, siswa merefleksikan, menyusun, serta
Talk
menguji ide-ide dalam kegiatan diskusi kelompok.
Siswa secara individu merumuskan pengetahuan
berupa jawaban atas soal (berisi landasan dan
keterkaitan konsep strategi dan solusi) dalam bentuk
Write
tulisan dengan bahasanya sendiri. Pada tulisan itu,
siswa menghubungkan ide-ide yang diperolehnya
melalui diskusi.
22

3. Model Pembelajaran Langsung

Menurut Arnika dan Kusrini (2013) model pembelajaran langsung (Direct

Instruction) adalah model pembelajaran yang bertujuan membantu mengajarkan

kemampuan dasar siswa setahap demi setahap. Model pembelajaran langsung

dapat membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh

informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah. Model pembelajaran

langsung dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan

dengan pengetahuan prosedural dan pengetahuan deklaratif yang terstruktur

dengan baik. Yang dimaksud dengan pengetahuan deklaratif (dapat diungkapkan

dengan kata-kata) adalah pengetahuan tentang sesuatu, sedangkan pengetahuan

prosedural adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukan sesuatu.

Menurut Killen dalam Yulianto (2012: 6) menyatakan bahwa model

pembelajaran langsung adalah teknik pembelajaran ekspositori (pemindahan

pengetahuan dari guru kepada murid secara langsung, misalnya melalui ceramah,

demonstrasi, dan tanya jawab) yang melibatkan seluruh kelas.

Model pengajaran langsung (direct instruction) adalah merupakan suatu

pendekatan mengajar yang dapat membantu siswa dalam mempelajari

keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah

demi selangkah (Nur, 2005: 3).

Model Pembelajaran langsung tidak sama dengan metode ceramah, tetapi

metode ceramah merupakan bagian dari model pembelajaran langsung. Metode

ceramah merupakan cara penyampaian keterangan atau informasi secara lisan dari
23

guru kepada siswa. Model pembelajaran langsung sangat diperlukan dalam

membelajarkan materi mata pelajaran matematika terutama yang terkait dengan

membelajarkan operasi seperti aturan pengerjaan hitung, aljabar, matematika, dan

lain-lain (Widyantini, 2012 : 2).

Langkah-langkah pembelajaran model pengajaran langsung pada dasarnya

mengikuti pola-pola pembelajaran secara umum. Menurut Kardi dan Nur dalam

Yulianto (2012: 6) sintaks model pembelajaran langsung yang digunakan pula

dalam penelitian ini disajikan dalam 5 (lima) tahap, seperti ditunjukkan pada

Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Sintaks Model Pembelajaran Langsung

Fase Peran Guru


Fase 1 Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, informasi latar
Menyampaikan tujuan belakang pelajaran, pentingnya pelajaran,
dan menyiapkan siswa mempersiapkan siswa untuk belajar
Fase 2
Mendemontrasikan Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar,
pengetahuan dan atau menyajikan informasi tahap demi tahap
keterampilan
Fase 3 Guru merencanakan dan memberi bimbingan kepada
Membimbing siswa siswa
Fase 4
Mengecek pemahaman Mengecek apakah siswa telah berhasil
dan memberikan melakukan tugas dengan baik, memberi
umpan umpan balik
balik
Fase 5
Guru mempersiapkan kesempatan melakukan pelatihan
Memberikan
lanjutan, dengan pelatihan khusus pada penerapan
kesempatan untuk
kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-
bimbingan lanjutan
hari.
dan penerapan
24

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

langsung adalah model pembelajaran dimana guru menyampaikan informasi

berupa konsep atau keterampilan kepada sejumlah kelompok siswa menggunakan

pola-pola pembelajaran yang dapat mengarahkan siswa untuk memperoleh

pengetahuan tentang sesuatu.

4. Kemampuan Komunikasi Matematis

Menurut Sumantri (2015: 350) komunikasi secara etimologis berasal dari

perkataan latin “communicatio”. Istilah ini bersumber dari perkataan “communis”

yang berarti sama; sama di sini maksudnya sama makna atau sama arti.

Menurut Bernard (2015: 201) komunikasi adalah suatu proses

penyampaian informasi atau pesan kepada orang lain dan sebaliknya sehingga apa

yang diungkapkan tersebut dapat dipahami dan dimengerti dengan baik.

Komunikasi merupakan cara untuk berbagi gagasan dan mengklarifikasi

pemahaman baik secara lisan maupun tulisan. Melalui komunikasi, semua

gagasan atau masalah akan menjadi lebih jelas (Handayani, 2014: 50).

NCTM (Fahradina, Ansari, dan Saiman. 2014: 55) dijelaskan bahwa

komunikasi adalah bagian esensial dari matematika dan pendidikan matematika.

Pendapat ini mengisyaratkan pentingnya komunikasi dalam pembelajaran

matematika.

Suherman (Jihad dan Abdul Haris, 2013: 11) komunikasi didefenisikan

sebagai proses dimana para partisipan/ siswa menciptakan dan saling berbagi

informasi satu sama lain guna mencapai pengertian timbal balik. Proses

komunikasi dalam pembelajaran melibatkan dua pihak yakni pendidik dan peserta
25

didik. Pendidik memegang peranan utama sebagai komunikator dan peserta didik

memegang peran utama sebagai komunikan.

Pada setiap proses pembelajaran selalu terjadi komunikasi, proses

komunikasi terjadi antara guru yang memiliki sejumlah pesan yang ingin

disampaikan kepada siswa sebagai penerima pesan. Komunikasi yang dimaksud

adalah kemampuan siswa dalam menyampaikan atau menerima gagasan, sehingga

terjadi proses belajar. Komunikasi dalam pembelajaran matematika memiliki

peran yang cukup penting, pada dasarnya matematika merupakan suatu bahasa

smbolik dan belajar matematika merupakan aktivitas sosial. Pada pembelajaran

matematika yang berpusat pada siswa, pemberi pesan tidak terbatas dari guru saja

melainkan dapat dilakukan oleh siswa maupun orang lain. Pesan yang dimaksud

adalah konsep-konsep matematika, dan cara menyampaikan pesan dapat

dilakukan baik melalui lisan maupun tulisan.

Sumantri (2015: 371) komunikasi dalam pembelajaran merupakan proses

transformasi pesan berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dari pendidik kepada

peserta didik, dimana peserta didik mampu memahami maksud pesan sesuai

dengan tujuan yang telah ditentukan, sehingga menambah wawasan ilmu

pengetahuan dan teknologi serta menimbulkan perubahan tingkah laku menjadi

lebih baik.

Menurut Harold Lassewel (Sumantri, 2015: 355) komunikasi dinyatakan

dengan 5 unsur, yaitu : (1) Komunikator (source, sender); (2) Pesan (message);

(3) Media (chanel); (4) Komunikan (receiver); (5) Efek (effect, influence). Dalam

proses pembelajaran guru sebagai komunikator, materi pelajaran sebagai pesan,


26

perangkat pembelajaran sebagai media, siswa sebagai komunikan, dan

pengetahuan berupa hasil belajar sebagai efek. Komunikasi yang dimaksud

penulis ialah hubungan atau interaksi antara guru dengan siwa yang berlangsung

pada saat proses pembelajaran atau dalam istilah lain yaitu hubungan antara guru

dengan siswa dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan, dapat

disimpulkan bahwa kemampuan komunikasi adalah kemampuan penting dalam

pembelajaran karena dengan komunikasi, siswa dapat memperoleh pengetahuan,

mengungkapkan ide-ide atau pemikiran yang mereka miliki atau mengekspresikan

konsep-konsep yang dimilikinya untuk menyelesaikan suatu masalah serta guru

mampu mengetahui ketidakpahaman siswa mengenai suatu materi yang diajarkan.

Sumarmo (dalam Anggraini, 2016: 18) menyatakan bahwa komunikasi

matematis merupakan keterampilan menyampaikan ide atau gagasan dalam

bahasa sehari-hari atau dalam bahasa simbol matematika. Kegiatan yang

tergolong pada komunikasi matematis yaitu (1) menyatakan suatu situasi, gambar,

diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, ide, atau model matematik;

(2) menjelaskan ide, situasi, dan relasi matematis secara lisan atau tulisan; (3)

mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika; (4) membaca dengan

pemahaman suatu representasi matematis tertulis; (5) membuat konjektur,

menyusun argumen, merumuskan defenisi, dan generalisasi; (6) mengembangkan

kembali suatu uraian atau paragrap matematika dalam bahasa.


27

Menurut Baroody (dalam Reke, 2016: 22-23) ada lima aspek komunikasi

matematik, yaitu representasi (representating), mendengar (listening), membaca

(reading), diskusi (discussing) dan menulis (writing).

Sejalan dengan itu, Rahman (dalam Reke, 2016: 22-23) menguraikan

kelima aspek tersebut sebagai berikut.

a) Representasi (representation), membuat representasi berarti membuat bentuk

yang lain dari ide atau permasalahan, misalkan menyajikan cerita dalam

bentuk gambar, tabel, grafis, dan model matematik, dan demikian pula

sebaliknya. Representasi dapat membantu siswa menjelaskan konsep atau ide

dan memudahkan siswa mendapatkan strategi pemecahan.

b) Mendengar (listening), aspek mendengar merupakan salah satu aspek yang

sangat penting dalam diskusi. Kemampuan dalam mendengarkan topik-topik

yang sedang didiskusikan akan berpengaruh pada kemampuan siswa dalam

memberikan pendapat atau komentar.

c) Membaca (reading), proses membaca merupakan kegiatan yang kompleks,

karena didalamnya terkait aspek mengingat, memahami, membandingkan,

menganalisis, serta mengorganisasikan apa yang terkandung dalam bacaan.

Dengan membaca seseorang bisa memahami ide-ide yang sudah dikemukakan

orang lain lewat tulisan, sehingga dengan membaca ini terbentuklah satu

masyarakat ilmiah matematik dimana antara satu anggota dengan anggota

yang lain saling memberi dan menerima ide maupun gagasan matematik.

d) Diskusi (discussion), didalam diskusi siswa dapat mengungkapkan dan

merefleksikan pikiran-pikirannya berkaitan dengan materi yang sedang


28

dipelajari. Siswa juga bisa menanyakan hal-hal yang tidak diketahui atau

masih ragu-ragu.

e) Menulis (write), menulis merupakan kegiatan yang dilakukan dengan sadar

untuk mengungkapkan dan merefleksikan pikiran yang dituangkan dalam

media, baik kertas, komputer ataupun media lainnya. Menulis adalah alat yang

bermanfaat dari berpikir karena siswa memperoleh pengalaman matematika

sebagai suatu aktivitas yang kreatif. Dengan menulis siswa mentransfer

pengetahuan yang dimilikinya ke dalam bentuk tulisan.

Menurut NCTM (2017: 60), kemampuan komunikasi matematis perlu ada

dalam diri siswa agar mereka dapat: (a) memodelkan situasi dengan lisan, tertulis,

gambar, grafik, dan secara aljabar; (b) merefleksikan dan mengklarifikasi dalam

berfikir mengenai gagasan-gagasan matematika dalam berbagai situasi; (c)

mengembangkan pemahaman terhadap gagasan-gagasan matematika termasuk

peranan defenisi-defenisi dalam matematika; (d) menggunakan keterampilan

membaca, mendengar, dan melihat untuk menginterpretasikan dan mengevaluasi

gagasan matematika; (e) mengkaji gagasan matematika melalui konjektur dengan

alasan yang meyakinkan.

Menurut Yosmarniati, dkk (2012: 66) untuk mendukung terlaksananya

pembelajaran yang efektif, guru harus membangun komunikasi matematis di kelas

sehingga para siswa merasa bebas mengemukakan ide, gagasan, dan jawabannya.

Dengan adanya komunikasi matematis diharapkan tercapainya tujuan

pembelajaran matematika.
29

Indikator kemampuan komunikasi matematis menurut NCTM (dalam

Anasrudin, 2015: 27) dapat dilihat dari: (1) Kemampuan mengekspresikan ide-ide

matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta

menggambarkannya secara visual; (2) Kemampuan memahami,

menginterpretasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan,

tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya; (3) Kemampuan dalam

menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktu-strukturnya

untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan-hubungan dengan model-

model situasi. Sesuai dengan aspek-aspek tersebut kemampuan komunikasi

matematis siswa dapat terjadi jika siswa belajar dalam pembelajaran

berkelompok dan berdiskusi.

Ansari (dalam Anggraini, 2016: 18-19) menyebutkan indikator untuk

mengukur kemampuan komunikasi matematis siswa terbagi dalam tiga kelompok,

yaitu:

1) Menggambar/drawing , yaitu merefleksikan benda-benda nyata, gambar dan

diagram ke dalam ide-ide matematika. Atau sebaliknya, dari ide-ide

matematika ke dalam bentuk gambar atau diagram;

2) Ekspresi matematika/mathematical expression, yaitu mengekspresikan

konsep matematika dengan menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa

atau simbol matematika;

3) Menulis/written texts, yaitu memberi dengan memberi jawaban sendiri,

membuat model situasi atau persoalan menggunakan bahasa lisan, tulisan,

grafik, dan aljabar, menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika


30

yang telah dipelajari, mendengarkan, mendiskusikan, dan menulis tentang

matematika, membuat konjektur, menyusun argumen, dan generalisasi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa kemampuan

komunikasi matematis merupakan kemampuan siswa untuk mengungkapkan

pemikiran matematisnya dalam bentuk lisan, tulisan maupun gambar dengan

bahasa yang baik dan tepat, serta dapat memahami representasi matematis dengan

baik. Pada penelitian ini, kemampuan komunikasi matematis yang akan diteliti

adalah kemampuan menggambar (drawing), ekspresi matematika (mathematical

expression), dan menulis (written texts) dengan indikator sebagai berikut: (a)

merefleksikan gambar dan diagram ke dalam ide-ide matematika atau sebaliknya;

(b) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika; dan

(c) membuat model situasi atau masalah matematika ke dalam bentuk gambar,

tabel, dan grafik.

B. Penelitian Yang Relevan

Hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Della Anggraini pada tahun 2016 dapat

disimpulkan bahwa proporsi siswa yang memiliki kemampuan komunikasi

matematis terkategori baik pada siswa yang mengikuti PBL tidak mencapai

standar peneliti, yaitu lebih dari 60% siswa dari jumlah siswa, akan tetapi

peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mengikuti PBL

lebih tinggi daripada peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa

yang mengikuti pembelajaran konvensional.


31

2. Penelitian yang dilakukan Reke (2016) menyimpulkan bahwa hasil belajar

melalui kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajar dengan model

pembelajaran kooperatif tipe Think Pair Share (TPS) lebih tinggi daripada

hasil belajar melalui kemampuan komunikasi matematik siswa yang diajar

dengan model pembelajaran konvensional materi pokok segitiga dan

segiempat kelas VIII SMP Negeri 7 Kendari .

3. Penelitian yang dilakukan oleh Hasriani (2006), menyimpulkan bahwa Hasil

belajar matematika pokok bahasan kubus dan balok kelas VIII 7 SMA Negeri

10 Kendari dapat ditingkatkan melalui model pembelajaran kooperatif tipe

Think, Talk, Write.

C. Kerangka Berpikir

Kemampuan komunikasi matematis menunjang kemampuan-kemampuan

matematis yang lain, misalnya kemampuan pemecahan masalah. Dengan

kemampuan komunikasi yang baik maka suatu masalah akan lebih cepat bisa

direpresentasikan dengan benar dan hal ini akan mendukung untuk penyelesaian

masalah. Wijaya (2016) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis

merupakan syarat untuk memecahkan masalah, artinya jika siswa tidak dapat

berkomunikasi dengan baik memaknai permasalahan maupun konsep matematika

maka ia tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut dengan baik. Oleh karenanya

kemampuan komunikasi matematik perlu dikembangkan dalam diri siswa.

Tingkat keberhasilan suatu pembelajaran sangat dipengaruhi oleh model

pembelajaran yang digunakan. Pembelajaran yang efektif akan membawa kepada

keadaan dimana tujuan pembelajaran berhasil dicapai. Salah satu indikasi


32

keberhasilan pembelajaran adalah kemampuan komunikasi matematis siswa

sesuai dengan yang diharapkan.

Pembelajaran TTW merupakan pembelajaran yang berpusat pada siswa

(student centered). Sehingga siswa memiliki kesempatan untuk membangun

pengetahuannya sendiri. Hal ini dapat melatih kemampuan berpikir kritis dan

pengetahuan siswa serta meningkatkan daya serap siswa terhadap materi yang

diajarkan. Pada pembelajaran TTW, siswa dibagi dalam beberapa kelompok

belajar. Dengan memusatkan pembelajaran pada siswa, maka siswa dituntut untuk

dapat bekerjasama, berdiskusi dengan teman kelompoknya serta diberi

kesempatan untuk dapat mengekspresikan idenya dalam memecahkan masalah

matematika. Dengan cara ini pengetahuan yang diserap akan bertahan lebih lama

serta guru dapat mengetahui bagaimana cara belajar dan tingkat pemahaman

siswa.

Berbagai keunggulan dari pembelajaran TTW antara lain model

pembelajaran TTW adalah dapat meningkatkan motivasi siswa dalam belajar,

dapat meningkatkan prestasi belajar siswa dan dapat meningkatkan kreativitas

siswa. Sehingga dengan pembelajaran TTW diharapkan dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematis siswa. Diharapkan dari tahapan-tahapan dari

penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think, Talk & Write (TTW) dapat

berpengaruh secara signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa.

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka hipotesis dalam

penelitian ini yaitu “pembelajaran matematika dengan menggunakan model


33

pembelajaran kooperatif tipe Think, Talk & Write (TTW) berpengaruh secara

signifikan terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMP

Negeri 5 Kendari”. Secara statistik hipotesis ini dirumuskan sebagai berikut:

H0 : µ1 ¿ µ2 lawan H1 : µ1 ¿ µ2

Keterangan:

1 = Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diajar

dengan model pembelajaran TTW

2 = Rata-rata kemampuan pemecahan masalah matematis siswa yang diajar

dengan menggunakan pembelajaran langsung

H0 = Tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan model pembelajaran

kooperatif tipe TTW dan model pembelajaran langsung terhadap

Kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari.

H1 = Terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan model pembelajaran

kooperatif tipe TTW dan model pembelajaran langsung terhadap

Kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari.
34

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuasi eksperimen (eksperimen semu),

dengan perilaku pembelajaran matematika dengan model pembelajaran kooperatif

tipe Think, Talk & Write (TTW).

B. Tempat Dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas VIII SMPN 05 Kendari pada semester

I tahun ajaran 2018/2019.

C. Populasi Dan Sampel Penelitian

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMPN 05

Kendari yang terdaftar pada tahun ajaran 2018/2019 yang tersebar pada 11 kelas

pararel, yaitu dari kelas VIIIA sampai kelas VIIIK dengan jumlah siswa sebanyak

380 siswa.

2. Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara simple random

sampling. Hal ini berdasarkan informasi dari guru matematika di SMP Negeri 5

Kendari, bahwa dari keseluruhan kelas VIII memiliki kemampuan relatif sama

dan distribusi siswa perkelas dilakukan secara acak dengan tiap kelas berisi siswa

yang heterogen. Serta sampel yang diberikan hanya 3 kelas, yaitu VIIII, VIIIJ dan

VIIK dengan guru yang mengajar pada kelas tersebut sama. Dari teknik

pengambilan sampel tersebut, kemudian diperoleh kelas VIIII dan VIIIJ. Setelah

34
35

dalam pemilihan kelas eksperimen dan kelas kontrol dilakukan secara purposive

sampling dengan syarat kelas eksperimen yang memiliki rata-rata hasil belajar

yang terendah dari kelas kontrol. Sehingga terpilihlah kelas VIIIJ sebagai kelas

kontrol dengan rata-rata 70,36 dan kelas VIIII sebagai kelas kontrol dengan rata-

rata 80,86.

D. Variabel dan Definisi Operasional

1. Variabel Penelitian

a. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembelajaran matematika

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Think, Talk & Write (X1) dan

pembelajaran matematika dengan model pembelajaran langsung (X2).

b. Variabel Terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan komunikasi

matematis siswa yang diajar menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

Think, Talk & Write (Y1) dan kemampuan komunikasi matematis siswa yang

diajar menggunakan model pembelajaran langsung (Y2).

2. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan variabel-

variabel dalam penelitian, maka perlu diberikan definisi operasional sebagai

berikut :

a. Model pembelajaran tipe Think, Talk & Write (TTW) merupakan model

pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memulai

belajar secara aktif, komunikatif, berpikir kritis, siap mengemukakan


36

pendapat, menghargai pendapat orang lain, dan melatih siswa untuk

menuliskan hasil diskusinya ke dalam bentuk tulisan secara sistematis dengan

bahasa sendiri. Pembelajaran kooperatif tipe TTW membebaskan siswa untuk

memanipulasi ide-ide sebelum menuangkannya ke dalam bentuk tulisan. Hal

ini dapat membantu meningkatkan kemampuan komunikasi matematis siswa.

b. Kemampuan komunikasi matematis adalah nilai jawaban siswa dalam

menjawab tes kemampuan komunikasi matematis yang diukur dengan

menggunakan indikator : (1) merefleksikan benda – benda nyata, gambar, dan

diagram ke dalam ide matematika, (2) membuat model situasi atau masalah

matematika secara lisan atau tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan

aljabar, (3) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol

matematika, (4) Menjelaskan atau membuat pertanyaan atau cerita tentang

matematika yang telah dipelajari.

c. Model pembelajaran kooperatif tipe Think Talk Write (TTW) dikatakan

berpengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa, apabila rata-

rata kemampuan komunikasi matematis siswa setelah mengikuti

pembelajaran dengan model pembelajaran TTW lebih tinggi dari rata-rata

kemampuan komunikasi matematis siswa setelah mengikuti pembelajaran

dengan model pembelajaran langsung.

E. Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian Posttest-Only Control

Group Design, yaitu penelitian yang dimana dua kelas sampel ditetapkan secara

acak, kemudian diberikan perlakuan yang berbeda. Alur dari desain penelitian ini
37

adalah kelas yang digunakan untuk penelitian (kelas eksperimen) diberi

perlakuan, yaitu penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TTW setelah itu

diberi posttest. Berikut ini merupakan tabel desain penelitian one group pretest

posttest design.

Tabel 3.1
Desain Penelitian Posttest-Only Control Group Design

Kelas Perlakuan Posttest


E X1 T1
K X2 T2
(Sugiyono, 2015).

Keterangan :

E = Eksperimen

K = Kontrol

X1 = Pembelajaran matematika dengan menggunakan model TTW

X2 = Pembelajaran matematika dengan model pembelajaran langsung

T1 = Hasil posttest siswa pada kelas eksperimen

T2 = Hasil posttest siswa pada kelas kontrol

F. Instrumen Penelitian

1. Lembar Observasi

Untuk mengukur tingkat aktivitas atau partisipasi guru dan siswa dalam

proses pembelajaran matematika dengan menggunakan model pembelajaran

kooperatif tipe TTW. Dalam penelitian ini digunakan instrumen berupa lembar

observasi untuk guru dan untuk siswa yang digunakan pada setiap pertemuan,

yaitu sebanyak empat kali pertemuan. Lembar pengamatan yang dibuat terdiri dari

beberapa aspek observasi yang bertujuan untuk mengamati setiap


38

tindakan/aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam kelas, selama proses

pembelajaran berlangsung, persiapan materi pembelajaran, serta teknik yang

digunakan guru dalam menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe TTW.

Adapun kriteria lembar observasi keaktifan siswa pada pembelajaran

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW, sebagai berikut :

Tabel 3.2.
Kriteria Lembar Observasi Keaktifan Siswa
No Persentase Kategori

1. 25% < persentase ≤ 43,75% Tidak Baik

2. 43,75% < persentase ≤ 62,5% Cukup

3. 62,5% < persentase ≤ 81,26% Baik

4. 81,26% < persentase ≤ 100% Sangat Baik

2.

2. Tes Kemampuan Komunikasi Matematis

Pada penelitian ini untuk mengukur kemampuan komunikasi matematis

siswa, digunakan instrumen penelitian berupa tes tertulis dalam bentuk uraian

pada materi Sistem Koordinat Kartesius yang disusun oleh peneliti dan akan

dikonsultasikan serta disetujui terlebih dahulu oleh dosen pembimbing yang

diberikan kepada siswa setelah keseluruhan proses pembelajaran materi yang

diteliti selesai. Sebelum itu, penyusunan tes berdasarkan kisi – kisi instrumen

kemampuan komunikasi matematis yang disusun oleh peneliti dan akan


39

dikonsultasikan serta disetujui oleh Dosen Pembimbing. Adapun kisi – kisi

instrumen kemampuan komunikasi matematis sebagai berikut :

Tabel 3.3 Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Komunikasi Matematis

Aspek-Aspek Kemampuan Nomor


Indikator
Komunikasi Matematis Soal
Merefleksikan benda-benda
Siswa dapat menfasirkan gambar
nyata, gambar dan diagram ke 1
bidang koordinat kartesius
dalam ide matematika
Membuat model situasi atau
Siswa dapat membuat gambar dari
masalah matematika ke dalam 2
titik-titik koordinat yang diberikan
bentuk gambar, tabel dan grafik
Siswa dapat menetukan letak atau
Menyatakan peristiwa sehari- posisi titik koordinat terhadap titik
hari ke dalam bahasa dan simbol koordinat tertentu yang 3,4
matematika dihubungkan dengan masalah
kontekstual
Menjelaskan atau membuat Siswa dapat membuat pernyataan
pertanyaan atau cerita model ataupun menceritakan dari gambar
5
matematika dari grafis atau tabel bidang koordinat kartesius yang
yang diberikan diberikan.
Jumlah Soal 5

Adapun pemberian skor kemampuan komunikasi matematis menggunakan

metode penskoran holistik (holistic scoring rubrics). Pemberian skor

menggunakan metode penskoran holistik (holistic scoring rubrics) bertujuan

untuk menilai keluasan, kedalaman dan kualitas masing-masing unsur atau

langkah-langkah penyelesaian yang ada pada jawaban peserta tes dan memberi

skor sesuai dengan pedoman kriteria pemberian skor yang telah ditentukan.

Adapun pedoman pemberian skor instrumen tes kemampuan komunikasi

matematis siswa tercantum pada tabel berikut.


40

Tabel 3.4 Pedoman Pemberian Skor


Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa
Menggunakan Holistic Scoring Rubrics
Indikator Komunikasi
Respon Siswa Terhadap Soal Skor
Matematika
Merefleksikan benda- Tidak ada komunikasi (Tidak ada jawaban) 0
Jawaban tidak benar, upaya yang dibuat tidak benar 1
benda nyata, gambar
Hanya sedikit dari model matematika yang benar 2
dan diagram ke dalam Membuat model matematika dengan benar dan 3
ide matematika. melakukan perhitungan, namun sedikit kesalahan
dalam mendapatkan solusi
Membuat model matematika dengan benar, 4
melakukan perhitungan dan mendapatkan solusi
secara lengkap dan benar
Membuat model situasi Tidak ada komunikasi (Tidak ada jawaban) 0
Jawaban tidak benar, upaya yang dibuat tidak benar 1
atau masalah
Gambar, diagram atau tabel yang dibuat hanya sedikit 2
matematika ke dalam
yang benar
bentuk gambar, tabel Membuat gambar, diagram atau tabel dengan lengkap 3
dan grafik. dan benar namun penjelasannya masih ada sedikit
kesalahan
Membuat gambar, diagram atau tabel dengan lengkap 4
dan benar serta penjelasan secara matematik masuk
akal dan benar
Menyatakan peristiwa Tidak ada komunikasi (Tidak ada jawaban) 0
sehari-hari ke dalam Jawaban tidak benar, upaya yang dibuat tidak benar 1
bahasa dan simbol Penjelasan secara matematika masuk akal, namun 2

matematika. hanya sebagian lengkap dan benar


Penjelasan secara matematik masuk akal dan benar, 3
meskipun tidak tersusun secara logis dan masih ada
sedikit kesalahan
Penjelasan secara matematik masuk akal, benar dan 4
tersusun secara logis
41

Indikator Komunikasi
Respon Siswa Terhadap Soal Skor
Matematika
Menjelaskan atau Tidak ada komunikasi (Tidak ada jawaban) 0
Jawaban tidak benar, upaya yang dibuat tidak benar 1
membuat pertanyaan
Penjelasan secara matematik masuk akal, namun 2
atau cerita model
hanya sebagian lengkap dan benar
matematika dari grafis
Penjelasan secara matematik masuk akal dan benar, 3
atau tabel yang
meskipun tidak tersusun secara logis dan masih ada
diberikan
sedikit kesalahan
Penjelasan secara matematik masuk akal, benar dan 4
tersusun secara logis.
(Ansari, 2016: 112)

Kemudian skor hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa

dikonversi ke skala 100 dengan aturan :

skor perolehan
Nilai Siswa = × 100
skor maksimal

Sebelum instrumen penelitian digunakan, terlebih dahulu dilakukan uji

panelis berupa uji keterbacaan butir soal. Hasil uji panelis tersebut kemudian

dianalisis validitas dan reliabilitasnya. Jumlah soal yang digunakan saat

melakukan uji panelis adalah sebanyak 5 nomor.

3. Validitas dan Reliabilitas Penilaian Panelis

Uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan kesahihan atau

tingkat kevalidan suatu instrumen.

Analisis validitas penilaian panelis digunakan untuk mengetahui validitas

konsep instrumen melalui penilaian panelis dengan menggunakan rumus:

V=
∑ ni|i−l o|
[ N ( c−1 ) ]
42

(Aiken, 2012: 36)

dimana :

V : indeks validitas isi

ni : banyak nilai pada i

i : dari l 0 +1 sampai l 0 +c−1

l0 : skala terendah

N : ∑ ni
c : skala tertinggi

Nilai V terletak antara 0 dan 1 (valid ≥ 0,6).

Suatu tes dikatakan reliabel jika hasil pengukuran yang dilakukan dengan

menggunakan tes tersebut berulang kali terhadap subjek yang sama, senantiasa

menunjukkan hasil yang tetap sama atau sifatnya stabil atau konsisten. Reliabilitas

menunjukkan pada suatu pengertian bahwa suatu instrumen cukup dapat

dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data.

Untuk mengetahui reliabilitas tes uraian digunakan rumus Alpha

Cronbach sebagai berikut:


43

2
si
r α =
k

[ ]
k −1 1−

st
2

Keterangan:

rα = Koefisien reliabilitas alpha (reliabel ≥ 0,6)

k = Banyaknya butir tes

∑ s i= Jumlah variansi butir


st = Variansi total

(Ahiri, 2017: 49)

Untuk menentukan tinggi rendahnya reliabilitas sebuah tes menggunakan

ketentuan sebagai berikut:

rα≤ 0,20 Tingkat reliabilitas tes sangat rendah,

0,20 < rα ≤ 0,40 Tingkat reliabilitas tes rendah,

0,40 < rα ≤ 0,60 Tingkat reliabilitas tes sedang,

0,60 < rα ≤ 0,80 Tingkat reliabilitas tes tinggi,

0,80 < rα ≤ 1,00 Tingkat reliabilitas tes sangat tinggi.

Suatu soal dapat digunakan sebagai alat ukur hasil belajar apabila: (1)

telah diuji panelis dan valid., (2) Reliabilitasnya 0,60 < r α dengan tingkat

reliabilitas tes tinggi.

G. Teknik Pengumpulan Data


44

Pengumpulan data dilakukan pada setiap kegiatan siswa dan situasi yang

berkaitan dengan penelitian menggunakan berupa lembar observasi dan tes

kemampuan komunikasi matematis siswa berbentuk tes uraian. Pengumpulan data

dalam penelitian ini dilakukan dengan pengisian instrumen penelitian berupa

lembar observasi dan pemberian tes hasil belajar matematis berbentuk tes uraian.

Observasi dilakukan pada setiap pertemuan. Pada saat proses pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran TTW berlangsung di kelas, maka

dilakukan observasi. Hasilnya dipergunakan untuk memperoleh data tentang

aktivitas/partisipasi siswa. Untuk tes kemampuan komunikasi matematis

dilakukan sebanyak satu kali yaitu pada saat posttest. Setelah kegiatan

pembelajaran dengan model pembelajaran TTW dilakukan, maka diadakan

posttest pada kelas kontrol dan kelas eksperimen untuk mengetahui kemampuan

komunikasi matematis siswa yang diperoleh pada kedua kelas. Kemudian soal tes

tersebut dikerjakan oleh siswa, masing-masing soal yang telah dikerjakan

diberikan skor disesuaikan berdasarkan sistematika proses pengerjaaanya, serta

jenis aspek kemampuan komunikasi matematis yang diberikan dalam soal.

Selanjutnya, hasil pekerjaan siswa dikumpulkan oleh peneliti untuk diperiksa dan

dikoreksi serta diberi nilai. Nilai dari hasil pekerjaan siswa tersebut sebelumnya

telah dikonversi yang kemudian dijadikan data dalam penelitian ini.

Adapun pemberian skor kemampuan komunikasi matematis menggunakan

metode penskoran holistik (holistic scoring rubrics). Pemberian skor

menggunakan metode penskoran holistik (holistic scoring rubrics) bertujuan

untuk menilai keluasan, kedalaman dan kualitas masing-masing unsur atau


45

langkah-langkah penyelesaian yang ada pada jawaban peserta tes dan memberi

skor sesuai dengan pedoman kriteria pemberian skor yang telah ditentukan

(Tamur dalam Qomariyah, 2013: 51-52).

H. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan dua teknik analisis data yaitu analisis

deskriptif dan inferensial.

1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan data penelitian

yakni nilai posttest yang diperoleh siswa untuk masing-masing kelas eksperimen

dan kelas kontrol yang berupa perolehan nilai maksimum, nilai minimum, nilai

rata-rata, median, modus, standar deviasi, varians, skewness, grafik dan tabel.

Kemudian untuk menentukan kategori tingkat kemampuan komunikasi matematis

siswa, nilai hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa dikonversi ke

bentuk kualitatif dengan mempertimbangkan pedoman penilaian (Departemen

Pendidikan Nasional, 2006 dalam Septian, 2004: 31).

Tabel 3.5 Kategori Kemampuan Komunikasi Matematis


Interval Kategori
80 < x ≤ 100 Sangat Baik
60 < x ≤ 80 Baik
40 < x ≤ 60 Cukup

20 < x 40 Kurang
0 < x ≤ 20 Sangat Kurang
2. Analisis inferensial

Analisis inferensial dimaksudkan untuk menguji hipotesis r ata-rata hasil

belajar matematika siswa berpengaruh dengan model pembelajaran kooperatif tipe


46

TTW. Namun sebelum melakukan uji hipotesis, terlebih dahulu melalui tahapan

uji prasyarat untuk melakukan uji hipotesis, yaitu uji normalitas.

a. Uji Normalitas

Uji normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang

diperoleh berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Untuk

keperluan ini maka statistik yang digunakan adalah uji Kolmogorov-Smirnov.

Dalam penelitian ini uji Kolmogorov-Smirnov dilakukan dengan menggunakan

program IBM SPSS 21 dengan kriteria pengambilan keputusan sebagai berikut:

a) Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) > α = 0,05 maka data berasal dari populasi yang

berdistribusi normal.

b) Jika nilai Asymp. Sig (2-tailed) ≤ α = 0,05 maka data berasal dari populasi

yang tidak berdistribusi normal.

Pasangan hipotesis:

H0 : sampel berasal dari populasi berdistribusi normal

H1 : sampel berasal dari populasi berdistribusi tidak normal

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah kedua kelompok

memiliki varians yang sama atau tidak. Apabila kedua kelompok mempunyai

varians yang sama maka kedua kelompok tersebut homogen. Hipotesis

statistiknya sebagai berikut.

H0 : kedua kelas mempunyai varians sama.

H1 : kedua kelas mempunyai varians tidak sama.


47

Dalam pengujian ini untuk menguji apakah data mempunyai varians yang

sama atau tidak digunakan uji Levene dengan bantuan SPSS dengan kriteria

pengambilan keputusan sebagai berikut:

1) Jika nilai signifikan > ∝=0,05, maka kedua kolompok homogen.

2) Jika nilai signifikan ≤ ∝=0,05, maka kedua kolompok tidak homogen.

c. Uji Hipotesis

Setelah dilakukan pengujian populasi data dengan menggunakan

normalitas dan homogenitas, maka selanjutnya melakukan uji hipotesis dengan

menggunakan uji t pada taraf signifikan α = 0,05. Untuk mengetahui apakah

kemampuan komunikasi matematis siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari yang

diajar dengan model pembelajaran TTW lebih baik secara signifikan daripada

kemampuan komunikasi matematis siswa Kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari yang

diajar dengan model pembelajaran langsung, digunakan uji-t sampel independen

(Independent-Sample t Test) dengan bantuan SPSS.

Langkah-langkah dalam pengujian ini adalah sebagai berikut.

1) Masukkan data kemampuan komunikasi matematis siswa kelas eksperimen

dan kelas kontrol pada spreadsheet data view SPSS.

2) Klik Analyze kemudian pilih compare means, lalu pilih Independent Samples

T Test.

3) Selanjutnya terbuka kotak dialog Independent Samples T Test. Pindahkan

variabel nilai ke kolom Test Variable dan variable kelompok ke kolom

Grouping Variable.
48

4) Klik tombol Define Groups, pada Group 1, isikan angka 1 dan Group 2, isikan

angka 2. Selanjutnya klik tombol continue.

5) Lalu klik OK. Pada langkah ini pengujian menggunakan Independent Sample

T Test sudah selesai, selanjutnya adalah pengambilan keputusan.

sig .(2−tailed )
Kriteria pengambilan keputusan adalah jika nilai > ∝ =
2

0,05, maka H0 diterima. Artinya bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa

kelas VIII SMPN 5 Kendari yang diajar dengan model pembelajaran TTW secara

signifikan tidak lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematis siswa

Kelas VIII SMPN 5 Kendari yang diajar dengan model pembelajaran langsung.

sig .(2−tailed )
Jika nilai ≤ ∝ = 0,05, maka H0 ditolak. Artinya bahwa
2

kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMPN 5 Kendari yang diajar

dengan model pembelajaran TTW lebih baik secara signifikan daripada

kemampuan komunikasi matematis siswa Kelas VIII SMPN 5 Kendari yang diajar

dengan model pembelajaran langsung.


49

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Hasil Analisis Deskriptif

a. Deskripsi Hasil Observasi Pelaksanaan Pembelajaran dengan


Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW
Data yang diperolejh dari hasil observasi guru dalam pelaksanaan

pembelajaran matematika yang dilakukan selama empat kali pertemuan dengan

model pembeajaran kooeperati tipe TTW pada materi koordinat kartesius, dapat

dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1 Rekapitulasi Keterlaksanaan Skenario Pembelajaran


yang Dilakukan Oleh Guru Menggunakan
Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW
Aktivitas Guru Kriteria
Model
Skor Persentase
Pembelajaran Pertemuan
Total (%)
Pertama 14 82,35% Sangat Baik
Think Talk Kedua 15 88,23% Sangat Baik
Write (TTW) Ketiga 17 100% Sangat Baik
Keempat 17 100% Sangat Baik
Skor Maksimal : 17

Berdasarkan hasil observasi di atas diperoleh bahwa tingkat kemampuan

guru dalam melaksanakan pembelajaran kooperatif tipe TTW menunjukkan hasil

yang sangat baik. Pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan pertama mencapai

82,35%, pertemuan kedua mencapai 88,23%, dan pertemuan ketiga dan keempat

49
50

mencapai 100%. Persentasi rata-rata keterlaksanaan pembelajaran yang dilakukan

guru untuk seluruh pertemuan adalah 92,64%.

b. Deskripsi Hasil Observasi Aktivitas Siswa dalam Pelaksanaan


Pembelajaran Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe
TTW
Data yang diperoleh oleh observasi siswa dalam pelaksanaan pembelajaran

matematika yang dilakukan selama empat pertemuan dengan menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe TTW di kelas eksperimen pada materi koordinat

kartesius dapat dilihat pada Tabel 4.2

Tabel 4.2 Rekapitulasi Keterlaksanaan Skenario Aktivitas Siswa


Pada Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW
Aktivitas Siswa
Model Kriteria
Skor Persentase
Pembelajaran Pertemuan
Total (%)
Pertama 50 69,44% Baik
Think Talk Kedua 57 79,16% Baik
Write (TTW) Ketiga 68 91,66% Sangat Baik
Keempat 70 97,22% Sangat Baik
Skor Maksimal : 72

Hasil observasi aktivitas sisa dalam pelaksanaan pembelajaran matematika

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW pada materi koordinat

kartesius yang dilaksanakan sebanyak 4 pertemuan. Pertemuan pertama mencapai

69,44%, pertemuan kedua mencapai 79,16%, pertemuan ketiga mencapai 91,66%

dan pertemuan keempat mencapai 97,22%. Persentase rata-rata keterlaksanaan

pembelajaran aktivitas siswa untuk seluruh pertemuan adalah 83,12%

c. Analisis Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa


51

Data yang diperoleh dari nilai post test kemampuan komunikasi matematis

siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe

TTW pada kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional pada kelas

kontrol. Sola yang digunakan telah dianalisis validasi dan reliabilitas sehingga

diperoleh kemampuan komunikasi matematis siswa untuk melihat sejauh mana

pengaruh model pembelajaran kooperatif tipe TTW terhadap kemampuan

komunikasi matematis siswa.

Distribusi nilai post test merupakan distribusi nilai yang diperoleh siswa

yang diberi perlakuan berupa model pembelajaran kooperatif tipe TTW dan model

pembelajaran langsung. Adapun distribusi data post test kemampuan komunikasi

matematis siswa dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Distribusi Post Test Siswa dengan


Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TTW dan
Model Pembelajaran Langsung

Model Pembelajaran Pembelajaran


Rentang Nilai Kategori TTW Langsung
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
(%) (%)
80 < X≤ 100 Sangat Baik 14 46 13 44
60 < X ≤ 80 Baik 10 33 6 21
40 < X ≤ 60 Cukup 2 7 6 21
20 < X≤ 40 Kurang 4 14 3 11
0 < X ≤ 20 Sangat Kurang 0 0 1 3
Jumlah 30 100 29 100

Berdasarkan Tabel 4.3, maka dapat dibuat grafik distribusi post test

sebagai berikut.
52

16
14
14 13
12
10
10
8
6 6
6
4
4 3
2
2 1
0
0
Sangat Baik Baik Cukup Baik Kurang Sangat Kurang

Eksperimen Kontrol

Gambar 4.1 Grafik Distribusi Frekuensi Data Post Test

Berdasarkan Tabel 4.3 dan gambar 4.1 dapat disimpulkan bahwa secara

klasikal tingkat penguasaan materi pada siswa yang pembelajarannya


53

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TTW lebih baik dibandingkan

siswa yang pembelajarannya menggunakan model pembelajaran langsung.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif nilai post test siswa dengan

menggunakan SPSS diperoleh data kemampuan komunikasi matematis siswa

kelas eksperimen dan kelas kontrol yang disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Hasil Analisis Deskriptif Kemampuan Komunikasi Matematis


Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Nilai Statistik
Statistik
Eksperimen Kontrol
Mean 73,17 64,77
Median 78,00 66,00
Mode 81 88
Std. Deviation 20,64 27,72
Variance 425,87 768,45
Minimum 28 19
Maximum 100 97

Hasil analisis deskriptif pada kelas eksperimen sebagaimana disajikan

pada tabel diperoleh nilai terendah 28 dan nilai tertinggi 100, nilai rata-rata 73,17;

median atau nilai tengah 78; modus atau nilai yang sering muncul yaitu 81;

standar deviasi 20,64 dan varians 425,87. Hasil analisis deskriptif pada kelas

kontrol diperoleh nilai terendah 19 dan nilai tertinggi 97, nilai rata-rata 64,77;

median atau nilai tengah 66, modus atau nilai yang sering muncul yaitu 88,

standar deviasi 27,77; dan varians 768,45.

Deskripsi kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas eksperimen

dan kelas kontrol terlihat jelas kemampuan komunikasi matematis siswa kelas

eksperimen lebih baik jika dibandingkan kelas kontrol, baik dilihat dari nilai

maksimum, minimum, rata-rata, median, modus, standar deviasi dan variannya.


54

2. Hasil Analisis Inferensial

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui bahwa data yang diperoleh

berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Hal ini diperlukan

untuk menentukan jenis analisis data yang digunakan.

Hipotesis statistik yang digunakan :

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Kriteria pengambilan keputusan adalah jika Asymp. Sig. (2-tailed) > α =

0,05 maka terima H0, artinya data berasal dari populasi yang berdistribusi normal.

Jika Asymp. Sig. (2-tailed) < α = 0,05 maka tolak H 0, artinya data berasal dari

populasi yang tidak berdistribusi normal. Adapun hasil uji normalitas data

menggunakan SPSS yang berdasarkan nilai kemampuan komunikasi matematis

siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol, dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil Analisis Statistik Uji Normalitas Data Kemampuan


Komunikasi Matematis Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Nilai Statistik
Statistik
Eksperimen Kontrol
N 30 29
Rata-rata 73,17 64,77
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,561 0,296

Berdasarkan Tabel 4.5 dapat dilihat nilai Asymp. Sig. (2-tailed) untuk

kelas eksperimen adalah 0,561 > α (dengan α = 0,05), sehingga H 0 dapat diterima.

Hal ini dapat disimpulkan bahwa data kemampuan komunikasi matematis siswa

pada kelas eksperimen berdistribusi normal. Sedangkan untuk kelas kontrol

terlihat bahwa Asymp. Sig. (2-tailed) untuk kelas kontrol adalah 0,296 > α
55

(dengan α = 0,05), sehingga H0 dapat diterima. Hal ini dapat disimpulkan bahwa

data komunikasi matematis siswa pada kelas kontrol berdistribusi normal.

b. Uji Homogenitas Varians

Uji homogenitas data ini bertujuan untuk mengetahui apakah data hasil

belajar matematika kedua kelompok yang diteliti memiliki varians yang sama

(homogen) atau tidak.

Hipotesis statistik yang digunakan :

H0 : Data kedua kelompok memiliki varians yang homogen

H1 : Data kedua kelompok memiliki varians yang tidak homogen

Kriteria pengambilan keputusan adalah jika Asymp. Sig. (2-tailed) > α =

0,05 maka terima H0, artinya data kedua kelompok memiliki varians yang

homogen. Jika Asymp. Sig. (2-tailed) < α = 0,05 maka tolak H 0, artinya data

kedua kelompok memiliki varians yang tidak homogen. Adapun hasil uji

normalitas data menggunakan SPSS yang berdasarkan nilai kemampuan

komunikasi matematis siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol, dapat dilihat

pada tabel 4.5.

Tabel 4.6 Hasil Analisis Uji Homogenitas


Levene Statistic df1 df2 Sig.
3,415 1 0,59 0,07

Dari Tabel 4.6 di atas terlihat bahwa nilai signifikan statistik uji Levene

adalah 0,07. Nilai signifikan ini lebih besar dari taraf nyata signifikan 0,05 (nilai

sig.= 0,07> α=0,05) sehingga dapat disimpulkan terima H0, artinya bahwa varians

kedua kelompok mempunyai data yang homogen. Hal ini menunjukkan bahwa

data kemampuan komunikasi matematis siswa kedua kelompok yaitu yang diajar
56

dengan menggunakan model pembelajaran TTW dan pembelajaran konvensional

memiliki varians yang homogen.

c. Hasil Uji Hipotesis

Data yang diperoleh berdistribusi normal dan kedua kelompok memiliki

varians yang homogen, maka untuk menguji pengaruh model pembelajaran

kooperatif tipe TTW terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa,

digunakan uji-t sampel independen (Independent Sampel t Test). Adapun hipotesis

yang diuji dalam penelitian ini adalah :

H0 : µ1 ¿ µ2 lawan H1 : µ1 ¿ µ2

Keterangan:

1 = Rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar dengan

model pembelajaran TTW

2 = Rata-rata kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar dengan

menggunakan pembelajaran langsung

H0 = Kemampuan komunikasi matematik siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari yang diajar dengan model pembelajaran TTW secara signifikan

tidak lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematik siswa kelas

VIII SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan model pembelajaran

langsung.
57

H1 = Kemampuan komunikasi matematik siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari yang diajar dengan model pembelajaran TTW secara signifikan

lebih baik daripada kemampuan komunikasi matematik siswa kelas VIII

SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan model pembelajaran

langsung.

Pengujian hipotesis menggunakan uji-t sampel independen (Independent

Sample t-test) dilakukan dengan menggunakan bantuan SPSS. Adapun hasil

analisis uji hipotesis dapat dilihat pada Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Hasil Analisis Uji Hipotesis dengan SPSS


Levene's Test
for Equality t-test for Equality of Means
of Variances
Sig. Std. 95% Confidence
Mean
(2- Error Interval of the
F Sig. t df Differ
tailed Differ Difference
ence
) ence Lower Upper
Equal variances
3,415 0,07 1,338 59 0,186 8,392 6,274 -4,161 20,946
assumed
Nilai
Equal variances not
1,344 55,403 0,184 8,392 6,244 -4,118 20,903
assumed

Berdasarkan hasil analisis uji-t sampel independen (Independent Sample

Sig(2−tailed) 0.186
t-test) diperoleh nilai = = 0,093 > 0.05, maka H0 diterima.
2 2

Dengan diterimanya H0, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh
58

yang signifikan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TTW terhadap

kemampuan komunikasi matematis siswa.

B. Pembahasan

Pertemuan pertama pada kelas eksperimen, pertama-tama dilakukan

kegiatan pendahuluan yang meliputi: menyapa siswa dan memberi salam,

mengecek kehadiran siswa, meminta siswa menyiapkan peralatan yang diperlukan

dan bahan ajar, memotivasi siswa dengan menyampaikan manfaat bagi siswa

tentang koordinat kartesius dalam kehidupan sehari-hari, serta menyampaikan

tujuan/indikator pembelajaran. Berikutnya kegiatan inti, meliputi: membagi

siswa ke dalam beberapa kelompok, membagikan LKPD, memberikan

bimbingan/pengarahan kepada siswa, mengamati siswa, memberikan umpan balik

dan mendorong siswa mengumpulkan informasi yang terkait, menunjukkan

perwakilan siswa untuk presentasi, serta memandu jalannya diskusi. Terakhir

kegiatan penutup: membimbing siswa membuat kesimpulan dengan merangkum

materi, memberi tugas rumah dan menyampaikan materi yang akan dipelajari.

Berdasarkan hasil pengamatan, pada pertemuan pertama guru sebagai peneliti

masih perlu menyesuaikan diri dengan kondisi dan suasana kelas, dimana kelas

VIIIJ sebagai kelas eksperimen ini berisi siswa/siswi yang organisatoris dan juga

siswa yang sering bermasalah di sekolah tersebut. Begitupun siswa perlu

beradaptasi dengan proses pembelajaran yang mana sebelumnya model

pembelajarannya langsung, berganti menjadi model pembelajaran kooperatif tipe

TTW dan juga beradaptasi terhadap bergantinya guru, yaitu peneliti. Dalam

prosesnya banyak waktu terbuang saat mulai dari pembentukan kelompok hingga
59

proses pengerjaan LKPD, jadi peneliti sebagai guru meringkas waktu saat

kegiatan penutupan.

Aktivitas siswa dalam proses pembelajaran dengan model pembelajaran

kooperatif tipe TTW pada pertemuan pertama tentang materi koordinat kartesius,

berdasarkan hasil pengamatan diperoleh aktivitas siswa dalam proses

pembelajaran ketercapaiannya pada keseluruhan aspek yang diamati tergolong

baik. Meskipun tergolong baik, banyak hal yang membuat proses pembelajaran itu

terhambat, seperti siswa pada kelas tersebut banyak diantaranya memiliki

tanggungjawab organisasi yang mereka terlambat masuk ke kelas untuk belajar.

Pada pertemuan pertama ini, siswa masih beradaptasi terhadap model

pembelajaran kooperatif tipe TTW dimana mereka keseringan bertanya kepada

guru ketimbang teman kelompoknya, belum mampu dalam menggali informasi

pada LKPD, belum mampu dalam menemukan penyelesaian masalah, masih ragu

mengemukakan pendapat, serta dalam merangkum/membuat kesimpulan dari

materi koordinat kartesius.

Pelaksanaan pembelajaran pada pertemuan kedua pada kelas eksperimen,

berdasarkan pengamatan diperoleh tingkat keterlakasanaan aktivitas guru dari

seluruh aspek yang diamati tergolong sangat baik. Ini meningkat dari pertemuan

pertama diakibatkan oleh guru tidak memberikan contoh-contoh koordinat

kartesius pada kehidupan sehari-hari dan tidak menyampaikan tujuan indikator

pembelajaran dikarekan waktu hanya 2 jam pelajaran ditambah dengan lambatnya

peringatan (bel) untuk pergantian jam pelajaran.


60

Pada aktivitas siswa dalam pertemuan kedua ini, hasil pengamatan

menunjukkan tingkat ketercapaiannya tergolong baik. Ada beberapa kendala yang

menyebabkan jalannya proses pembelajaran terganggu, seperti pada penjelasan

sebelumnya bahwa siswa terlambat masuk jadi waktu berkurang. Siswa juga

belum terlalu ingat dengan proses pembelajaran menggunakan model

pembelajaran kooperatif tipe TTW, sehingga menyita waktu untuk

menjelaskannya kembali.

Pertemuan ketiga dan keempat pada kelas eksperimen, yaitu kelas VIII J,

berdasarkan pengamatan diperoleh tingkat keterlaksanaan aktivitas guru dari

seluruh aspek yang diamati tergolong sangat baik. Ini dikarenakan guru

melaksanakan seluruh aktivitasnya dan yang hanya menjadi kendala adalah waktu

yang kurang saat kegiatan inti berlangsung dan siswa masih kesulitan dalam

menggali informasi dan menemukan solusi penyelesaian dari LKPD yang

diberikan. Karena dalam prosesnya siswa diharuskan untuk membuat catatan pada

LKPD dan sumber lainnya seperti buku yang memakan waktu lama.

Pada pertemuan ketiga dan keempat, aktivitas siswa tergolong sangat baik.

Siswa mengalami peningkatan terutama pada kegiatan ini, meliputi: siswa sudah

paham dan terbiasa dengan alur model pembelajaran kooperatif tipe TTW, serta

ketika siswa menemukan permasalahan aktif bertanya kepada teman kelompok

ataupun guru. Juga pada kegiatan penutup, siswa dapat merangkum/membuat

kesimpulan dari materi koordinat kartesius berdasarkan informasi yang telah

dikumpulkan dan didiskusikan.


61

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa siswa memerlukan

waktu untuk beradaptasi terhadap suatu pembelajaran yang mereka anggap baru.

Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan persentase ketercapaian seluruh aspek

yang diamati pada setiap pertemuan.

Deskripsi hasil tes kemampuan komunikasi matematis siswa pada kelas

eksperimen dan kelas kontrol, mula-mula dimulai dari tahap persiapan instrument

tes. Soal-soal Posttest yang digunakan terlebih dahulu dilakukan uji telaah oleh 3

orang panelis ahli untuk mengetahui tingkat keterbacaan soal dan kesesuaiannya

dengan indikator. Selanjutnya diadakan pengolahan data untuk mengetahui soal

yang memenuhi kriteria valid dan reliabel. Berdasarkan hasil analisis validitas dan

reliabilitas, menunjukkan bahwa kelima soal tersebut valid dan reliabilitas tes

berada pada kategori tinggi, sehingga instrumen dapat digunakan dalam

penelitian.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif dari data yang diperoleh melalui tes

kemampuan komunikasi matematis siswa yang diujikan pada kelas eksperimen

diperoleh rata-rata 73,17 lebih tinggi dari nilai rata-rata yang diperoleh siswa pada

kelas kontrol, yaitu 64,77. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penggunaan

model pembelajaran kooperatif tipe TTW terhadap kemampuan komunikasi

matematis siswa pada materi koordinat kartesius.

Dari segi keragaman data (varians), kelas eksperimen memiliki varians

data 425,87 sedangkan kelas kontrol adalah 768,45, ini menunjukkan bahwa data

hasil post test kelas kontrol lebih beragam daripada kelas eksperimen. Nilai
62

tengah (median) dari kelas eksperimen adalah 78, sedangkan kelas kontrol dengan

66. Serta nilai yang paling sering muncul (modus) dari hasil post test kelas

eksperimen adalah 81 dan kelas kontrol nilai yang paling sering muncul adalah

88. Berdasarkan lampiran 14, dapat dilihat bahwa dari IV indikator kemampuan

komunikasi matematis siswa, tiga diantaranya yaitu indikator I, II, dan III kelas

eksperimen lebih baik dengan rata-rata berturut-turut 2,8, 3,2, dan 2,9, sedangkan

kelas kontrol lebih baik pada indikator IV dengan rata-rata 3. Ini menunjukkan

pada kelas eksperimen, siswa masih lemah dalam menjelaskan atau

mengkomunikasikan dari gambar bidang koordinat kartesius yang terdapat pada

instrumen post test dan rata-rata dari jawaban siswa penjelasan atau cara

mengkomunikasikan secara matematika sudah masuk akal dengan benar, namun

ada sedikit kesalahan.

Sig(2−tailed)
Berdasarkan hasil uji hipotesis, uji-t diperoleh nilai =
2

0.186
= 0,093 > 0.05, maka H0 diterima. Hal ini berarti bahwa kemampuan
2

komunikasi matematis siswa yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif

tipe TTW secara signifikan tidak lebih baik dari kemampuan komunikasi

matematis yang diajar dengan model pembelajaran langsung. Jadi, berdasarkan

hasil uji-t dengan menggunakan SPSS tersebut mengindikasikan bahwa tidak ada

pengaruh yang signifikan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TTW

terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari.
63

Padahal berdasarkan teori yang ada pada setiap fase model pembelajaran

kooperatif tipe TTW memiliki keutamaan, yaitu (1) fase berpikir (think) dapat

dilihat dari proses membaca suatu teks matematik kemudian membuat catatan dari

apa yang telah mereka baca krn menurut Wiederhold (1997) membuat catatan

berarti menganalisis tujuan isis teks dan memeriksa bahan-bahan yang ditulis; (2)

fase mengkomunikasikan (talk) dengan keterampilan ini siswa dapat mempercepat

kemampuannya mengungkapkan ide melalui tulisan dan mengkonstruksi ide-ide

tersebut; serta (3) fase menulis (write) dalam matematika membantu

merealisasikan saah satu tujuan pembelajaran, yaitu pemahaman siswa tentang

apa yang dia pelajari dalam hal ini materi koordinat kartesius. Sedangkan dari

penelitian yang relevan Banyak faktor yang mempengaruhi sehingga tidak

terdapat pengaruh terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa yang diajar

dengan model pembelajaran kooperatif tipe TTW.

Tetapi sejalan dengan itu, model pembelajaran langsung juga dapat

meningkatkan kemampuan komunikasi siswa. Karena menurut Arnik dan Kusrini

(2013) model pembelajaran langsung (Direct Instruction) dirancang khusus untuk

menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan

pengetahuan prosedural. Tahapan model pembelajaran kooperatif tipe TTW juga

ada pada model pembelajaran langsung. Pada model pembelajaran langsung,

siswa juga melakukan tahap think dimana diberikan latihan terstruktur ataupun

latihan mandiri sehingga siswa memikir jawaban dari latihan dan peran guru

adalah membimbing siswa. Tahap talk, Guru juga memberikan umpan balik dari

respon siswa dan menguatkan respon yang benar serta mengoreksi respon yang
64

salah. Dalam model pembelajaran langsung, juga dilakukan tahap write, yaitu

siswa juga menuliskan hasil jawaban dari latihan yang diberikan pada lembar

jawaban. Jadi, tahapan model pembelajaran kooperatif tipe TTW dan model

pembelajaran langsung tidak jauh berbeda. Inilah salah satu faktor yang

menyebabkan kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 5

Kendari yang diajar dengan model pembelajaran kooperatif tipe TTW secara

signifikan tidak lebih baik baik dari pada kemampuan komunikasi matematis

siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan model pembelajaran

langsung.

Ada beberapa faktor lainnya yang menyebabkan kemampuan komunikasi

matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari yang diajar dengan model

pembelajaran kooperatif tipe TTW secara signifikan tidak lebih baik baik dari

pada kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari

yang diajar dengan model pembelajaran langsung setelah dilakukan uji-t. Jam

pelajaran matematika ditempatkan pada jam setelah istirahat yang menyebabkan

siswa terlambat masuk ke kelas dari waktu yang seharusnya. Sehingga seringkali

terlambat masuk kedalam kelas saat proses pembelajaran yang menyebabkan

siswa ketinggalan informasi yang diberikan. Faktor penyebab berikutnya, jam

pelajaran yang tidak tercukupi yang memang model pembelajaran kooperatif tipe

TTW ini memang membutuhkan jam pelajaran lebih terlebih lagi siswa kesulitan

untuk menjelaskan/mengkomunikasikan LKPD yang diberikan pada materi

koordinat kartesius. Berdasarkan pada hasil belajar dari ulangan harian kelas

eksperimen dan kelas kontrol, kelas kontrol justru lebih tinggi dengan rata-rata
65

80,86, sedangkan kelas eksperimen memiliki rata-rata 71,36. Serta guru yang

masih kurang mengusai materi dengan baik sehingga kesulitan dalam

mengajarkan materi koordinat kartesius dengan baik.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka

dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif

TTW pada kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari terkategori sangat baik.

Secara keseluruhan persentase tingkat keterlaksanaan pembelajaran oleh

guru pada 4 kali pertemuan berturut-turut adalah 82,35%, 88,23%, 100%


66

dan 100%. Sedangkan persentase tingkat keaktifan siswa pada 4 kali

pertemuan berturut-turut adalah 69,44%, 79,16%, 91,66% dan 97,22%,

persentase ini terkategori sangat baik dengan rata-rata persentase keaktifan

siswa yang mengikuti pembelajaran dengan model pembelajaran

kooperatif TTW adalah 83,12% .

2. Gambaran kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIIIJ SMP

Negeri 5 Kendari yang diajar dengan menggunakan model pembelajaran

kooperatif TTW pada pokok bahasan koordinat kartesius diperoleh nilai

rata-rata 73,64; standar deviasi 21,56; varians 464,84; median 80, modus

80; nilai minimum 18,25; dan nilai maksimum 100.

3. Gambaran kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VIIII SMP

Negeri 5 Kendari yang diajar dengan menggunakan pembelajaran

langsung pada pokok bahasan koordinat kartesius diperoleh nilai rata-rata

70,02; standar deviasi 24,55; varians 602,87; median 75; modus 82,5;

65
nilai minimum 15; dan nilai maksimum 97,5.

4. Tidak terdapat pengaruh yang signifikan penggunaan model pembelajaran

kooperatif tipe TTW terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa di

1
kelas VIII SMP Negeri 5 Kendari. Hal ini didasarkan pada nilai
2

signifikansi uji independent sample t test yang lebih besar dari 0,05 yang

berarti H0 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

pengaruh yang signifikan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe


67

TTW terhadap kemampuan komunikasi matematis siswa di kelas VIII

SMP Negeri 5 Kendari.

B. Saran

Dari hasil penelitian ini dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut:

1. Kepada para guru yang mengajar mata pelajaran matematika sekiranya

dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif TTW sebagai salah

satu alternatif dalam pembelajaran matematika untuk mengoptimalkan

kemampuan komunikasi matematis siswa dan membuat proses

pembelajaran lebih variatif agar siswa tidak jenuh.

2. Bagi peneliti yang hendak mengembangkan penelitian ini dapat

melakukannya pada pokok bahasan lain.

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, R. L. 2012. Rating Scale & Checklist Evaluating Behaviour Personality


and Attitude. New York: John Wiley & Sons, Inc.

Amaludin, R. 2012. Perbandingan Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa


Yang Diajar Melalui Model Pembelajaran Pencapaian Konsep (Concept
Attaintment) dan Pembelajaran Konvesional. Kendari: UHO.

Amin, S. Z. 2017. Efektivitas Pendekatan Realistic Mathematic Education dan


Saintifik terhadap Kemampuan Pemahaman Konsep Matematis Siswa
Kelas VII SMPN 4 Kendari. Kendari: UHO.

Anasrudin. 2015. Efektivitas Pendekatan Realistic Mathematics Education (RME)


Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik Siswa Kelas VII SMP
Negeri 7 Kendari. Kendari: UHO.
68

Anggraini, D. 2016. Efektivitas Problem Based Learning Ditinjau dari


Kemampuan Komunikasi Matematis Siswa. Bandar Lampung:
Universitas Lampung.

Baroody, AJ. 1993. Problem Solving, Reasoning and Communicating, K-8


Helping Children Think Mathematically. New York: Macmillan
Publishing Company.

Bernard, M. 2015. Meningkatkan Kemampuan Komunikasi dan Penalaran serta


Disposisi Matematik Siswa SMK dengan Pendekatan Kontekstual
Melalui Game Adebe Flash Cs. 4.0. Jurnal Ilmiah Program Studi
Pendidikan Matematika. STKIP Siliwangi Bandung. Vol. 4, No. 2,
September 2015.

Daryanto. 2013. Inovasi Pembelajaran Efektif. Bandung: CV Yrama Widya.

Fahradina, N., Ansari, B. I., dan Saiman. 2014. Peningkatan Kemampuan


Komunikasi Matematis dan Kemandirian Belajar Siswa SMP dengan
Menggunakan Model Investigasi Kelompok. Jurnal Didaktik
Matematika. Program Studi Megister Pendidikan USK. Vol. 1, No. 1,
September 2014.

Fathurrohman. 2015. Model-Model Pembelajaran Inovatif. Yogyakarta: Parama


Publishing.

Handayani, L S. 2014. Pengaruh Metode Think Aloud Pair Poblem Solving


(TAPPS) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematika Siswa SMA.
Jurnal Pendidikan Matematika. FMIPA UNP. Vol. 3, No. 1, 2014.

Huinker, D. & Laughlin. 1996. Talk Your67 Way Into Writing. In P.C Elliot, and
M.J. Kenney (Eds.) 1996 Yearbook Communication in Mathematics, K-
12 and beyond. USA: NCTM.
Jihad, A. dan Abdul. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Pressindo.

Lestari, K.E. & Yudhanegara, M.R. 2015. Penelitian Pendidikan Matematika.


Bandung: PT. Refika Aditama.

Masingila, J.O. & Wisniowska, E.P. 1996. Developing and Assesing


Mathematical Understanding in Calculus Through Writing. Years book
1996 Ed. Elliot, Portia and Kenney, Margaret. Communication in
Mathematic K-12 and Beyond. USA: NCTM.

NCTM. 2017. Analysis Mathematical Communication Skills Students In The


Metter Algebra Based NCTM. IOSR Journal of Mathematic (IOSR-JM).
Vol. 13, Issue I Ver. V (Jan-Feb 2017).
69

Ngalimun. 2013. Strategi dan Model Pembelajaran. Yogyakarta: Aswaja


Pressindo.

Reke, Wa ode. 2016. Pengaruh Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe


Think Pair Share (TPS) Terhadap Kemampuan Komunikasi Matematik
Siswa Kelas VIII SMPN 7 Kendari. Kendari: UHO.

Rusman. 2014. Model-model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme


Guru. Jakarta: Rajawali Pers.

Satriawati, G. 2003. Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended Untuk


Meningkatkan Pemahaman dan Kemampuan Komunikasi Matematika
Siswa SMP Jakarta (studi eksperimen di SMP Bakti Mulya 400 Jakarta
Selatan) Abstrak, (Online), http://sps.upi.edu./v3.

Septian, C P. 2014. Efektivitas Pembelajaran Matematika Realistik Terhadap


Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Pada Siswa Kelas VIII
SMP Negeri 4 Kendari, Skripsi, FKIP, Universitas Halu Oleo, Kendari.

Shield, M & Swinson, K. 1996. The link sheet: A Communication Aid For
Clarifying And Developing Mathematical Ideas and Processes. Years
book 1996 Ed. Elliot, Portia and Kenney, Margaret. Communication in
Mathematic K-12 and Beyond. USA: NCTM.

Slameto. 1988. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT


Rineka Cipta.

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Sugiyono. 2016. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif


dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Suherman, H Erman. 1992. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Jakarta:


Universitas Terbuka.

Sumantri, M S. 2015. Strategi Pembelajaran Teori dan Praktik di Tingkat


Pendidikan Dasar. Jakarta: Rajawali Pers.

Suseli. 2010. Perbandingan Hasil Belajar Matematika Siswa yang Menggunakan


Think Talk Write (TTW) dengan Metode Ekspositori (Studi Eksperimen
Siswa Kelas VII SMP Negeri I Balongan Indramayu). IAIN Syekh
Nurjati Cirebon.

Wijaya, H. P. I. 2016, ‘Kemampuan Komunuikasi Matematis Siswa Sesuai


Dengan Gender Dalam Pemecahan Masalah Pada Materi Balok Dan
70

Kubus (Studi Kasus Pada Siswa Kelas VIII SMP ISLAM AL-AZHAR
29 SEMARANG)’, Jurnal Elektronik Pembelajaran Matematika Vol. 8
(9), 778-788, dilihat tanggal 5 Desember 2017,
<jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/s2math/article/view/9654>.

Widyantini, Theresia. 2012, Penerapam Model Pembelajaran Langsung Dalam


Mata Pelajaran Matematika SMP/MTs, dilihat tanggal 2 Januari 2018.
<p4kmatematika.org>.

Yamin, M. & Ansari, B.I. 2008. “Taktik Pengembangan Kemampuan Individual


Siswa”. Jakarta: gaung persada press.

Yosmarniati, Musdi, E., dan Rizal, Y. 2012. Upaya Meningkatkan Kemampuan


Komunikasi Matematika Siswa Melalui Pendekatan Matematika
Realistik. Jurnal Pendidikan Matematika. Vol. 1, No. 1, 2012.

Anda mungkin juga menyukai