Oleh
PAZIRA SUKMA PUTRI SUWANDI
NIM 11308505210091
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan bisa meningkatkan kemampuan
pemahaman numerasi siswa dengan menggunakan metode
Collaborative Learning.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk Peneliti
Menambah pengetahuan dan wawasan penggunaan metode
collborative learning terhadap kemampuan pemahaman numerasi
pada peserta didik.
b. Untuk Siswa
Bisa membuat hasil belajar peserta didik lebih meningkat,
khususnya meningkatkan kemampuan pemahaman numerasi dan
semangat peserta didik dalam pemahaman numerasi melalui
menyelesaikan soal-soal berbasis numerasi dengan menggunakan
metode collaboorative learning.
c. Untuk Guru
Sebagai bahan acuan guru dalam memilih metode
pembelajaran dalam meningkatkan kemampuan pemahaman
numerasi peserta didik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Kemampuan Numerasi
a. Numerasi
Literasi numerasi adalah kecakapan dan pengetahuan dalam
menggunakan berbagai jenis simbol dan angka yang berkaitan
dengan matematika dasar untuk membantu peserta didik dalam
menyelesaikan permasalahan dalam konteks sehari-hari, serta
menganalisis berbagai data atau informasi yang ditampilkan
melalui bentuk tabel, grafik dan bagan sebagai acuan peserta didik
dalam menentukan jawaban dari permasalahan yang diberikan.
(Kemendikbud, 2017:3). Numerasi adalah kemampuan berpikir
menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk
memecahkan masalah kontekstual pada kehidupan sehari - hari
yang sesuai untuk individu sebagai warga yang baik
(Kemendikbud 2020).
Numerasi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk
mengaplikasikan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung
dikehidupan sehari-hari seperti di rumah, pekerjaan, dan partisipasi
dalam kehidupan masyarakat sebagai warga negara dan
kemampuan untuk menginterpretasikan informasi kuantitatif yang
terdapat di sekeliling. Kemampuan tersebut terlihat dari
pemahaman informasi yang disampaikan secara matematis seperti
grafik, bagan dan tabel.
Pernyataan tersebut sejalan dengan pendapat Ekowati dan
Suwandayani (2019:139) mengemukakan bahwa literasi numerasi
adalah kemampuan dan pengetahuan untuk menggunakan berbagai
jenis angka dan simbol yang berkaitan dengan matematika dasar.
Bentuk kemampuan ini digunakan untuk menganalisis data
informasi berupa tabel, grafik, bagan dan hasil interpretasi data
analisis sehingga data tersebut dapat digunakan sebagai estimasi
dalam mengambil keputusan.
b. Kemampuan Numerasi
Kemampuan numerasi adalah kemampuan berpikir
menggunakan konsep, prosedur, fakta, dan alat matematika untuk
menyelesaikan masalah sehari-hari pada berbagai jenis konteks
yang relevan untuk individu sebagai warga negara Indonesia dan
dunia. Numerasi dimaknai sebagai kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang dalam menggunakan pengetahuan matematika yang
dimilikinya dalam menjelaskan kejadian, memecahkan masalah,
atau mengambil keputusan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini
dapat membantu peserta didik mengenali peran matematika dalam
kehidupan nyata sehingga dapat membuat penilaian dan keputusan
yang diperlukan serta menjadi manusia bertanggung jawab yang
mampu bernalar/berpikir logis (Pusmenjar, 2020).
Menurut Cockroft (dalam Goos, at all 2011), kemampuan
numerasi merupakan sebuah keahlian dalam menyelesaikan
masalah secara praktis dengan menggunakan angka. Kemampuan
numerasi merupakan kemampuan menerapkan konsep bilangan,
keterampilan operasi hitung dan kemampuan menjelaskan suatu
informasi yang terdapat di sekitar kita (Han dkk, 2017). Secara
ringkas kemampuan numerasi disebut sebagai kemampuan dalam
memahami dan menggunakan matematika pada berbagai konteks
dengan tujuan untuk dapat menyelesaikan masalah dan mampu
menjelaskan suatu informasi kepada orang lain menggunakan
matematika.
Merujuk pada (Han dkk, 2017), indikator kemampuan
numerasi adalah menggunakan berbagai macam angka dan simbol
yang terkait dengan matematika dasar untuk memecahkan masalah
dalam berbagai macam konteks kehidupan sehari-hari,
menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk
(grafik, tabel, bagan, diagram dan lain sebagainya) dan
menafsirkan hasil analisis tersebut untuk memprediksi dan
mengambil keputusan. Kemampuan numerasi dapat dijadikan
modal bagi siswa dalam menguasai mata pelajaran lainnya (Nehru,
2019).
Kemampuan numerasi merupakan kemampuan untuk
menerapkan konsep bilangan dan keterampilan operasi hitung di
dalam kehidupan sehari- hari, misalnya, dirumah, pekerjaan dalam
kehidupan masyarakat, dan kemampuan untuk menjelaskan suatu
informasi yang terdapat di sekitar kita (Han, Susanto, & dkk,
2017 : 3). (Abidin, dkk 2017: 107) mengemukakakan bahwa
literasi numerasi diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
menggunakan penalaran. Penalaran berarti menganalisis dan
memahami suatu pernyataan, melalui aktivitas dalam
memanipulasi simbol atau bahasa matematika yang ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari, dan mengungkapkan pernyataan
tersebut melalui tulisan maupun lisan.
Selaras dengan pendapat sebelumnya, (Purwasih dkk,
2018:69) menyatakan bahwa kemampuan literasi numerasi
merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan,
menafsirkan, dan merumuskan matematika dalam berbagai
konteks, termasuk kemampuan penalaran matematis dan
kemampuan menggunakan konsep, prosedur, dan fakta untuk
menggambarkan, menjelaskan, dan memperkirakan suatu kejadian
yang dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan permasalahan
sehari-hari. Kemampuan numerasi membutuhkan pengetahuan
matematika yang dimiliki tetapi pembelajaran matematika belum
tentu bisa menumbuhkan kemampuan tersebut jika tidak
dipersiapkan sebelumnya.
Untuk mengetahui kemampuan numerasi siswa, berikut ini
adalah indikator pengukuran kemampuan numerasi siswa: 1)
Mampu menggunakan berbagai macam angka atau simbol yang
terkait dengan matematika dasar dalam menyelesaikan masalah
kehidupan sehari-hari; 2) mampu menganalisis informasi yang
ditampilkan dalam berbagai bentuk (grafik, tabel, bagan, diagram
dan lain sebagainya) dan 3) menafsirkan hasil analisis tersebut
untuk memprediksi dan mengambil keputusan.
2. Metode Collaborative Learning
a. Metode Pembelajaran
Istilah metode berasal dari bahasaYunani “metodos”. Kata
ini berasal dari dua kata: “metha” berarti melalui atau melewati,
dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Dalam bahasa Arab
metode disebut “ Thariqat ”, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk
mencapai maksud, sehingga dilalui untuk menyajikan bahan
pelajaran agar tercapai tujuan pengajaran. Sudjana (2005:76),
berpendapat bahwa metode merupakan perencanaan secara
menyeluruh untuk menyajikan materi pembelajaran bahasa secara
teratur, tidak ada satu bagian yang bertentangan, dan semuanya
berdasarkan pada suatu pendekatan tertentu
Roestiyah (1991: 1) mendefinisikan metode mengajar atau
teknik penyajian pelajaran yaitu, “Suatu pengetahuan tentang cara-
cara mengajar yang digunakan untuk guru/instruktur. Pengertian
lain adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk
mengajar/menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas
agar pelajaran tersebut dapat diungkap, dipahami, dan digunakan
oleh siswa dengan baik”. Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya
(2015:52), menyatakan bahwa metode pembelajaran yaitu
metode yang dikuasai oleh guru untuk menyajikan materi
pembelajaran kepada siswa di kelas baik secara individu atau
kelompok dapat diserap dengan baik dan dimanfaatkan oleh
peserta didik.
Metode pembelajaran adalah langkah operasional atau
implementatif dari strategi pembelajaran yang dipilih dalam
mencapai tujuan belajar. Ketepatan penggunaan suatu metode
akan menunjukkan berfungsinya suatu strategi pembelajaran.
Strategi pembelajaran masih bersifat konseptual dan untuk
mengimplementasikannya digunakan berbagai metode
pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi merupakan “a
plan of operation achieving something” sedangkan metode
adalah “a way in achieving something” (Sanjaya, 2010).
b. Pembelajaran Kolaboratif (Collaborative Learning)
Menurut Bruffee (1999), collaborative learning memiliki
sejarah yang cukup panjang. Sejarah collaborative learning
dimulai
ketika pada abad ke- 18 Benjamin Franklin, yang pada saat itu
masih muda, mengemukakan idenya tentang strategi pembelajaran
bernama autonomous learning untuk mem-promosikan
pembelajaran informal. Autonomous learning sering disebut
dengan student-centred learning, dimana fokus dari proses
pembelajaran adalah peserta didik (Masouleh dan Jooneghani,
2012). Oleh karena itu, student-centred learning diartikan sebagai
teacher-less learning atau pembelajaran tanpa guru.
Setelah strategi pembelajaran yang dikemukakan oleh
Benjamin Franklin mulai mendapat sorotan, ada ketertarikan yang
berlanjut pada pengaruh teman sebaya dalam proses pembelajaran.
Namun, sampai pada tahun 1930-an, perhatian pada pengaruh
teman dalam proses pembelajaran mulai menghilang dan muncul
kembali pada tahun 1960-an (Rae dkk, 2006).
Seiring dengan berkembangnya zaman, hasil dari
penelitian-penelitian modern menunjukkan pentingnya peer-group
dalam proses pembelajaran (Rae dkk, 2006). Pengaruh teman dan
persahabatan dalam proses pembelajaran membawa dampak yang
besar bagi peserta didik, terutama dalam hal kepuasan. Hal ini
didukung oleh Astin (dalam Rae dkk, 2006) yang menyatakan
bahwa kepuasan siswa dalam proses pembelajaran akan meningkat
jika persahabatan dilibatkan.
Kolaborasi adalah filsafat interaksi dan gaya hidup yang
menjadikan kerja sama sebagai suatu struktur interaksi yang
dirancang sedemikian rupa guna memudahkan usaha kolektif untuk
mencapai tujuan bersama (Ted Panitz, 1996). Siswa menunjukkan
perkembangan yang lebih pesat dan mau belajar mengenai materi
pembelajaran lebih dalam jika mereka terlibat lebih aktif dalam
proses pembelajaran dengan cara membantu dan bertukar pikiran
dengan temannya (Rae dkk, 2006). Oleh karena itu, peroses
pembelajaran yang didasarkan pada peer-group dianggap dapat
membantu peserta didik secara efektif untuk mengembangkan diri.
Pembelajaran secara peer-group didasarkan pada pemikiran
bahwa seseorang dapat berpikir dengan baik jika tedapat lawan
bicara (Mann, 2005). Artinya, komunikasi dan interaksi sangat
berperan penting dalam proses pembelajaran. Dasar pemikiran ini
lah yang memunculkan metode collaborative learning yang
bermula dari pandangan secara fisiologis tentang konsep
pembelajaran dimana untuk belajar, seseorang harus memiliki
pasangan atau teman.
Collaborative learning adalah metode belajar dimana
terdapat dua orang atau lebih yang saling berinteraksi dan saling
bergantung satu sama lain serta memiliki tujuan yang sama
(Marsh-Piirainen and Tainio, 2009). Collaborative learning
memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk mengevaluasi,
memperbaiki, dan me-nambah pengetahuan serta informasi yang
mereka miliki ketika mereka bertemu dan berinteraksi dengan
orang lain yang memiliki pemikiran yang berbeda. Pembelajaran
dengan metode ini juga memungkinkan peserta didik untuk saling
bekerja sama dalam mencari pemahaman atas suatu topik.
c. Ciri-ciri Collaborative Learning
Terdapat beberapa ciri-ciri dari collaborative learning yang
dikemukan oleh Nelson (1999), yaitu :
1) Pada proses pembelajaran peserta didik diberikan kesempatan
untuk terlibat secara langsung dalam proses pertukaran ide-ide
dan informasi mengenai suatu topik.
2) Proses pembelajaran memberikan kesempat-an kepada peserta
didik untuk menyelidiki lebih jauh tentang suatu hal atau topik
dan meng-implementasikan berbagai cara atau solusi untuk
memecahkan suatu masalah.
3) Peserta didik diberikan kesempatan untuk melakukan
penyesuaian lingkungan tempat belajar yang dapat mendukung
proses belajar secara berkelompok.
4) Proses pembelajaran dapat disebut sebagai collaborative
learning apabila dapat memberikan waktu atau kesempatan
yang cukup, ruang, dan juga sumber-sumber agar pembelajaran
secara berkelompok dapat terlaksana.
5) Kegiatan pembelajaran banyak mengimplementasikan kegiatan
seperti pemecahan masalah dan penyelesaian suatu proyek.
Ciri-ciri yang dikemukakan oleh Nelson menjelaskan
bahwa collaborative learning ini mendukung terciptanya
pembelajaran berbasis student-centered learning, dimana metode
ini dapat membangun keaktifan peserta didik di dalam kelas karena
pembelajaran berfokus pada peran peserta didik, bukan pada
pengajar. Metode ini tidak hanya membantu peserta didik untuk
aktif mencari tau lebih dalam tentang suatu topik, namun juga
memberikan kesempatan pada mereka untuk menciptakan sendiri
suasana dan lingkungan yang dapat mendukung terjadinya
kerjasama dan diskusi dalam kelompok sehingga akan membantu
masing-masing dari peserta didik untuk membangun sebuah makna
lebih dalam.
Selain itu, peserta didik juga dapat mengembangkan dirinya
lebih baik dengan membantu mereka untuk berpikir kritis
mengenai suatu permasalahan. Dengan diimplementasikannya
collaborative learning, akan melatih peserta didik untuk saling
menghargai satu sama lain dan juga di antara peserta didik dengan
pengajar serta melatih menghargai setiap kontribusi yang diberikan
oleh masing-masing individu.
d. Unsur-unsur Collaborative Learning
Johnsons (1974) berpendapat bahwa terdapat lima unsur
dasar agar dalam suatu kelompok terjadi pembelajaran kolaboratif,
yaitu:
1) Saling ketergantungan positif; dalam pembelajaran ini setiap
siswa harus merasa bahwa ia bergantung secara positif dan
terikat dengan antar sesama anggota kelompoknya dengan
tanggung jawab, menguasai bahan pelajaran dan memastikan
bahwa semua anggota kelompoknya pun menguasainya.
Mereka merasa tidak akan sukses bila siswa lain juga tidak
sukses
2) Interaksi langsung antarsiswa. Hasil belajar yang terbaik dapat
diperoleh dengan adanya komunikasi verbal antarsiswa yang
didukung oleh saling ketergantungan positif. Siswa harus saling
berhadapan dan saling membantu dalam pencapaian tujuan
belajar.
3) Pertanggungajawaban individu. Agar dalam suatu kelompok
siswa dapat menyumbang, mendukung dan membantu satu
sama lain, setiap siswa dituntut harus menguasai materi yang
dijadikan pokok bahasan. Dengan demikian setiap anggota
kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari pokok
bahasan dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar
kelompok
4) Keterampilan berkolaborasi. Keterampilan sosial siswa sangat
penting dalam pembelajaran. Siswa dituntut mempunyai
keterampilan berkolaborasi, sehingga dalam kelompok tercipta
interaksi yang dinamis untuk saling belajar dan membelajarkan
sebagai bagian dari proses belajar kolaboratif.
5) Keefektifan proses kelompok. Siswa memproses keefektifan
kelompok belajarnya dengan cara menjelaskan tindakan mana
yang dapat menyumbang belajar dan mana yang tidak serta
membuat keputusan-keputusan tindakan yang dapat dilanjutkan
atau yang perlu diubah.
e. Langkah-langkah Collaborative Learning
Ada beberapa pendapat tentang bagaimana
mengimplementasikan collaborative learning di dalam kelas untuk
meningkatkan keaktifan mahasiswa. Salah satunya adalah yang
dikemukakan oleh Barkley. Menurut Barkley (2005), ada 5 langkah
untuk mengimplementasikan collaborative learning di dalam kelas,
yaitu:
1) Orientasi Siswa
Orientasi siswa memberi kesempatan yang luas bagi maha-
siswa untuk mendapatkan pengalaman belajar yang berbeda
dari apa yang diekpektasikan. Pada langkah ini, mahasiswa
diberikan waktu yang cukup untuk lebih saling mengenal
dengan mahasiswa lain, membangun kepercayaan, memahami
dan menerima perbedaan yang ada, membangun komunikasi
dan solidaritas, serta membentuk aturan-aturan yang akan
berlaku agar collaborative learning dapat berjalan dengan baik.
Langkah orientasi siswa merupakan langkah awal sekaligus
sebagai cara untuk memecah kecanggungan dan ketegangan
antar mahasiswa.
Selain itu, pada tahap ini mahasiswa diberikan kesempaan
untuk bersama-sama mempelajari dan memahami kebijakan
serta prosedur pembelajaran dalam kelompok, seperti silabus
pembelajaran, kontrak belajar kelompok, dan peraturan dasar
dalam kelompok. Pada dasarnya, setiap peserta didik memiliki
latar belakang dan kemampuan yang berbeda. Untuk itu,
pengajar harus memberikan pengertian dan menanamkan pada
setiap maha-siswa apa manfaat dari metode collaborative
learning. Dengan menyampaikan manfaat, maka peserta didik
akan mengerti tindakan apa yang perlu dilakukan selama proses
pembelajaran.
2) Pembentukan Kelompok
Dalam metode collaborative learning, pembentukan
kelompok dilakukan melalui beragam cara. Artinya, kelompok
dibentuk secara acak dan mengalami perubahan demi
tercapainya tujuan dari metode ini, yaitu setiap mahasiswa atau
peserta didik melakukan interaksi sosial, bekerja sama, dan
berkolaborasi untuk menyelesai-kan tugas. Ada tiga tipe
kelompok yang dapat dibentuk, yaitu: (1) Informal, tipe
kelompok ini memiliki tipe waktu yang singkat dan hanya
melakukan satu atau beberapa kali pertemuan; (2) Formal, tipe
kelompok ini lebih panjang dari tipe informal dan
berkelanjutan untuk suatu proyek; (3) Dasar, tipe kelompok ini
dibentuk selama proses pembelajaran untuk satu semester.
Ukuran kelompok dalam metode collaborative learning
yang efektif biasanya berjumlah dua sampai enam orang
peserta didik. Jumlah anggota disesuaikan dengan jenis
kelompok, tugas yang diberikan, dan durasi pengerjaan tugas
yang diberikan. Penentuan jumlah anggota sebaikanya jangan
terlalu besar agar setiap peserta dapat berperan aktif, namun
juga jangan terlalu sedikit untuk menciptakan keberagaman
dalam kelompok. Sedangkan untuk penentuan anggota
kelompok, dapat dilakukan dengan pemilihan secara acak,
dipilih oleh pengajar, atau peserta didik dapat memilih sendiri
anggotanya disesuaikan dengan kemampuan dan ke-terampilan.
3) Pengaturan Tugas Belajar
Collaborative learning merupakan metode pembelajaran
yang memberikan kesempatan pada peserta didik untuk
berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran. Oleh
karena itu, pengaturan tugas sangat peting demi tercapainya
tujuan metode ini. Peran dari pengajar di sini adalah bagaimana
merancang tugas yang sesuai untuk melibat-kan semua anggota
kelompok secara aktif. Tugas harus di-rancang berdasarkan
tujuan program pembelajaran, kemampuan peserta didik, yang
dapat membangun interaksi, kebergantungan antar anggota, dan
yang dapat membangun rasa tanggung jawab.
Dalam merancang dan me-nyusun tugas, pengajar juga
harus mengetahui harapan apa yang ingin didapat dari
partisipasi setiap anggota kelompok, tujuan dari pembelajaran,
dan penyelidikan apa yang dapat memicu pembelajaran.
Walaupun collaborative learning disebut sebagai teacher-less
learning, pengajar tetap harus memiliki kontrol agar proses
pembelajaran tidak melenceng dari tujuan pembelajaran. Selain
itu, karena dalam konteks implementasi pada perguruan tinggi,
perlu juga diperhatikan enam tingkat taksonomi kognitif Bloom
ketika merancang tugas.
4) Memfasilitasi Kolaborasi Siswa
Dalam memfasilitasi kolaborasi siswa, pengajar harus
memperhatikan dan berinteraksi dengan setiap kelompok.
Pengajar perlu mengarahkan setiap kelompok, bukannya
memberikan perintah. Pada langkah ini, pengajar dapat
memperkenalkan tugas yang harus setiap kelompok selesaikan,
seperti menginformasikan prosedur, tujuan, menetapkan batas
waktu, dan memberikan kesempatan bagi mahasiswa atau
peserta didik yang ingin bertanya. Pada bagian penutup,
pengajar juga bisa memberikan koreksi apabila ada hal yang
kurang tepat, tambahan, sintesis, dan implikasi.
5) Memberikan Nilai dan Mengevaluasi
Pada metode collaborative learning, peserta didik dapat
melakukan evaluasi hasil pekerjaan dirinya sendiri dan juga
hasil pekerjaan orang lain. Peran dari pengajar dalam hal
evaluasi adalah dapat memberikan nilai secara individu dan
juga secara kelompok pada proyek kerja. Karena dalam metode
collaborative learning pembelajaran dilakukan secara bersama
dan bukan kompetitif, maka dalam menilai dan mengevaluasi
pengajar harus berhati-hati. Setiap anggota juga memiliki
kemampuan dan juga cara menunjukkan kemampuan yang
bebeda-beda.
Oleh karena itu, pengajar perlu membuat daftar nilai yang
dapat mencakup seluruh tujuan dan kegiatan pembelajaran.
Selain itu, nilai mata kuliah juga mem-perhatikan timbangan
relatif dari setiap komponen kegiatan. Gillies (2007)
mengatakan bahwa, ada beberapa pendekatan untuk
mengimplementasikan metode collaborative learning di dalam
kelas, yaitu:
a) Proyek tim, yang dapat membangun interaksi sosial,
komunitas, pemikiran dan pendapat yang menantang,
hubungan antar anggota kelompok, dan kerja tim virtual.
b) Kerja kelompok kecil.
c) Peer review, dimana setiap siswa menilai teman
sekelompoknya dalam beberapa aspek yang sesuai dengan
kompetensi pembelajaran.
d) Tim debat, merupakan pembelajaran eksplorasi yang
mebuat peserta didik memiliki pemikiran kritis,
argumentasi, dan keterampilan presentasi.
e) Diskusi, yang dapat mendorong terjadinya pembelajaran
aktif, interaksi, dan pemikiran kritis terhadap beberapa
alternatif pemecahan masalah.
f. Manfaat Collborative Learning
Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman pendidikan
yang aktif, sosial, kontekstual, menarik, dan dimiliki peserta didik
mengarah pada pembelajaran yang lebih dalam. Beberapa manfaat
pembelajaran kolaboratif meliputi pengembangan pemikiran
tingkat tinggi, komunikasi lisan,manajemen diri, dan keterampilan
kepemimpinan, promosi interaksi mahasiswa, peningkatan retensi
peserta didik, harga diri, dan tanggungjawab. Paparan dan
peningkatan pemahaman tentang berbagai perspektif, persiapan
untuk situasi sosial dan pekerjaan kehidupan nyata, bekerja
dalamkelompok kecil memungkinkan peserta didik meningkatkan
minat kognitif dan sikap positif mereka terhadap keseluruhan
proses pembelajaran.
Beberapa manfaat dari pembelajaran kolaboratif:
1) Peserta didik belajar untuk bekerja dalam tim dan mencapai
kesepakatan meskipun berbeda pandangan, budaya atau ciri
kepribadian.
2) Peserta didik diberi kesempatan untuk menghargai berbagai
sudut pandang dan memiliki pandangan kritis terhadap
pemahaman mereka sendiri tentang masalah.
3) Peserta didik memiliki kesempatan untuk memecahkan
masalah dan melakukan tugas belajar secara secara
berkelompok.
Berikut manfaat pembelajaran kelompok kecil dalam
lingkungan kolaboratif meliputi:
1) Perayaan keberagaman
Peserta didik belajar bekerja dengan semua jenis orang.
Selama interaksi kelompok kecil, mereka menemukan banyak
kesempatan untuk merefleksikan dan menjawab beragam
tanggapan yang diberikan oleh sesama peserta didik atas
pertanyaan yang diajukan. Kelompok kecil juga
memungkinkan peserta didik untuk menambahkan perspektif
mereka pada suatu masalah berdasarkan perbedaan budaya dan
nilai mereka. Pertukaran ini membantu peserta didik untuk
lebih memahami budaya dan sudut pandang orang lain.
2) Pengakuan atas perbedaan individu.
Peserta didik yang berbeda nilai/budaya akan memberikan
tanggapan yangberagam. Masing-masing dapat membantu
kelompok membuat produk yang mencerminkan berbagai
perspektif dan dengan demikian menjadi lebih lengkap dan
komprehensif.
3) Perkembangan interpersonal.
Peserta didik belajar untuk berhubungan dengan teman
sebaya dan peserta lain saat mereka bekerja bersama dalam
usaha kelompok. Hal ini dapat membantu peserta didik yang
memiliki kesulitan dengan keterampilan sosial. Mereka bisa
mendapatkan keuntungan dari interaksi terstruktur dengan
orang lain yang secara aktif melibatkan peserta didik dalam
pembelajaran. Setiap anggota memiliki kesempatan untuk
berkontribusi dalam kelompok kecil.
Peserta didik cenderung lebih memiliki kepemilikan atas
materi mereka dan berpikir kritis tentang masalah terkait saat
mereka bekerja sebagai sebuah tim. Lebih banyak kesempatan
untuk umpan balik pribadi. Karena ada lebih banyak pertukaran
di antara peserta didik dalam kelompok kecil, mereka
menerima lebih banyak umpan balik pribadi tentang ide dan
tanggapan mereka. Umpan balik ini sering kali tidak mungkin
dalam pengajaran kelompok besar, di mana satu atau dua
peserta bertukar ide dan seluruh kelas mendengarkan (Tatiana
Yu. Dkk, 2018).
Pembelajaran kolaboratif juga memberi banyak pola
interaksi yang dapat digunakan peserta didik untuk memperoleh
pengetahuan baru. Interaksi yang banyak digunakan adalah:
1) Debat dalam proses membahas suatu masalah atau masalah
dengan teman sebaya.
2) Mengajar peserta didik lain, ketika seorang peserta didik
memperoleh pengetahuan, mempresentasikan materi baru
kepada teman satu kelompoknya.
3) Diajar oleh peserta lain, ketika seorang peserta memperoleh
pengetahuan ketika diajar oleh teman satu kelompoknya.
4) Observasi, ketika perolehan pengetahuan dihasilkan dari
pengamatan rekan-rekan yang menjalani proses penguasaan
materi baru.
5) Ekspresi diri, ketika pengetahuan baru diperoleh dalam proses
menyajikan dan menjelaskan materi baru kepada peserta didik
lain.
6) Refleksi dan rekomendasi, ketika materi baru tercakup dalam
refleksi rekan atau koreksi kesalahan.
g. Tujuan Collaborative Learning
Elizabert E. Barkley dkk mengatakan bahwa tujuan dari
pembelajaran kolaboratif adalah membangun pribadi yang otonom
dan pandai mengaktualisasikan pemikirannya. Sedangkan menurut
Sukasmo kolaborasi bertujuan agar siswa dapat membangun
pengetahuannya melalui dialog, saling membagi informasi sesama
siswa dan guru, sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan
mental pada tingkat tinggi. Model ini bisa digunakan pada setiap
mata pelajaran terutama yang mungkin berkembang sharing of
information di antara siswa.
Belajar kolaborasi digambarkan sebagai suatu model
pengajaran yang mana para siswa bekerja sama dalam kelompok-
kelompok kecil untuk mencapai tujuan yang sama. Adapun tujuan
dari pembelajaran kolaboratif menurut Kurniawan Budi Raharjo
adalah sebagai berikut :
1) Memaksimalkan proses kerjasama yang berlangsung secara
alamiah di antara para siswa.
2) Menciptakan lingkungan pembelajaran yang berpusat pada
siswa, kontekstual, terintegrasi, dan bersuasana kerjasama.
3) Menghargai pentingnya keaslian, kontribusi, dan pengalaman
siswa dalam kaitannya dengan bahan pelajaran dan proses
belajar.
4) Memberi kesempatan kepada siswa menjadi partisipan aktif
dalam proses belajar.
5) Mengembangkan berpikir kritis dan ketrampilan pemecahan
masalah.
6) Mendorong eksplorasi bahan pelajaran yang melibatkan
bermacam-macam sudut pandang.
7) Menghargai pentingnya konteks sosial bagi proses belajar.
8) Menumbuhkan hubungan yang saling mendukung dan saling
menghargai di antara para siswa, dan di antara siswa dan guru.
9) Membangun semangat belajar sepanjang hayat.
h. Keunggulan dan Keterbatasan Collaborative Learning
Ada beberapa keunggulan yang dapat diperoleh melalui
pembelajaran kolaborasi. Keunggulan-keunggulan pembelajaran
kolaborasi tersebut menurut Hill & Hill (1993) berkenaan dengan:
1) Prestasi belajar lebih tinggi
2) Pemahaman lebih mendalam
3) Belajar lebih menyenangkan
4) Mengembangkan keterampilan kepemimpinan
5) Meningkatkan sikap positif
6) Meningkatkan harga diri
7) Belajar secara inklusif
8) Merasa saling memiliki
9) Mengembangkan keterampilan masa depan.
Kegiatan pembelajaran kolaborasi diarahkan untuk
menanamkan kebiasaan (habits) untuk memahami apa yang
dipelajari, sikap ingin melakukan sesuatu, dan keterampilan
bagaimana melakukan sesuatu. Hal ini sejalan dengan pandangan
Covey (dalam Medsker & Holdsworth, 2001) yang menyatakan
bahwa sikap mencakup tiga hal pokok, yakni pengetahuan (the
what, where, when, dan why), sikap (the want to), dan keterampilan
(the how to). Pembelajaran kolaborasi dan kooperatif merupakan
suatu prosedur pembelajaran dalam hal ini para pelajar belajar
bersama secara berkelompok dan diarahkan untuk mencapai tujuan
secara kolektif (Cruickshank, Jenkins, & Metcalf, 2006).
Pembelajaran kolaboratif atau kooperatif memang memiliki
sejumlah keunggulan, tetapi pembelajaran ini bukan berarti tidak
memiliki keterbatasan. Kita sadar bahwa keberhasilan
pembelajaran kolaborasi sangat tergantung pada sejumlah kondisi.
Cruickshank, Jenkins, & Metcalf (2006) mengidentifikasi ada tiga
kondisi pendukung keberhasilan pembelajaran kolaborasi.
1) Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa agar suatu
aktivitas pembelajaran kooperatif berhasil, para anggota tidak
cukup hanya memberikan jawaban secara sederhana tentang
tugas, tetapi yang paling penting mereka harus menjelaskan
bagaimana mereka memperoleh jawaban dan mengapa jawaban
tersebut benar (Slavin, 2002). Apabila langkah ini diabaikan,
para pelajar tidak akan mampu mengaplikasikan atau
menggunakan pengetahuannya di kemudian hari.
2) Setiap individu anggota kelompok memiliki tanggung jawab
terhadap kelompoknya. Adanya suatu ekspresi bahwa harapan
satu untuk semua tidak atau belum terbiasa dimiliki oleh
pelajar. Yang biasa bagi mereka adalah kompetisi secara
individual.
3) Agar supaya terjadi kerja kelompok atau situasi belajar
kooperatif, setiap anggota harus setia pada tugas (stay on task),
karena waktu yang dicurahkan untuk menunaikan tugas-tugas
tersebut secara konsisten berkaitan dengan hasil belajar pelajar.
Sebaliknya, para pelajar cenderung mengabaikan tugas-tugas
manakala pembelajar tidak hadir dalam proses pembelajaran.
B. Kajian Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan pertama adalah penelitian yang dilakukan
oleh Syahriani Sirait, Anim, Rina Hayati dan Saputri Widya pada tahun
2022 tentang “Praktik Cooperative Learning Berbasis Kearifan Lokal
dalam Meningkatkan Literasi Numerasi di Sekolah Dasar”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa berhasilnya melaksanakan serangkaian
kegiatan pembelajaran, pelatihan dan pendampingan untuk siswa di
sekolah MIS Islamiyah Desa Sei Kamah II untuk mengimplementasikan
model pembelajaran cooperative learning berbasis kearifan lokal dalam
meningkatkan literasi numerasi di sekolah dasar. Rangkaian kegiatan ini
dapat berjalan lancar karena apresiasi yang sangat baik dari para siswa di
sekolah MIS Islamiyah Desa Sei Kamah II. Siswa mendapatkan tambahan
ilmu dalam melakukan pembelajaran dengan menggunakan model
pembelajaran cooperative learning yang dapat meningkatkan literasi
numerasi mereka. Pembelajaran ini diharapkan agar siswa menjadi pribadi
yang lebih aktif, percaya diri dan kritis dalam menghadapi kehidupannya.
Penelitian yang relevan kedua adalah penelitian yang dilakukan
oleh Ni Komang Ari Damayanti, I Made Suarsana dan I Putu Pasek
Suryawan pada tahun 2017 tentang “Peningkatan Literasi Matematika
Siswa Melalui Penerapan Collaborative Learning Model”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penerapan CLM dapat meningkatkan kemampuan
literasi matematika level 3 siswa. Kemampuan literasi matematika level 3
siswa kelas VIII E SMP Negeri 5 Singaraja setelah diterapkannya CLM
tergolong pada kategori “tinggi”. Hal ini dapat dilihat secara klasikal
melalui melalui persentase ketuntasan kemampuan literasi matematika
level 3 siswa. Pada siklus I, persentase ketuntasan siswa sebesar 13,33%
dan tergolong dalam kategori sangat kurang. Pada akhir siklus III,
persentase ketuntasan siswa yaitu 60% (tingkat kategori cukup).
Peningkatan kemampuan literasi matematika level 3 siswa dapat terjadi
dengan pemberian soal Jumping yaitu soal yang memiliki tingkat kesulitan
yang lebih tinggi daripada soal yang terdapat pada buku paket siswa.
Dengan pemberian soal jumping siswa menjadi lebih terlatih untuk
mengerjakan soal-soal yang memerlukan analisa dalam menjawab, tidak
hanya langsung menggunakan rumus yang ada, sehingga kemampuan
literasi matematika level 3 siswa dalam penelitian ini mengalami
peningkatan dan memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan.
Penelitian yang relevan ketiga adalah penelitian yang dilakukan
oleh Livia Mutiara Shabrina pada tahun 2022 tentang “Kegiatan Kampus
Mengajar dalam Meningkatkan Keterampilan Literasi dan Numerasi
Siswa Sekolah Dasar”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program
kampus mengajar angkatan I membantu siswa sekolah dasar khususnya
kelas II dalam meningkatkan kemampuan literasi dan numerasi. Dengan
pembelajaran literasi dan numerasi yang menggunakan bahan ajar modul
dan pendekatan cooperative learning membantu siswa untuk memiliki
keterampilan tersebut. Pemeroleh pengetahuan dan keterampilan tidak
hanya bersumber dari guru di sekolah, namun juga dari lingkungan rumah
dan lingkungan bermain siswa. Saat pandemi, siswa menghabiskan banyak
waktu di rumah, maka bimbingan dari orang tua akan sangat membantu
siswa dalam mengasah dan meningkatkan keterampilan dasar yang harus
dimiliki siswa, seperti keterampilan calistung atau dalam program kampus
mengajar difokuskan dengan istilah literasi dan numerasi. Seorang guru
yang disebut sebagai sumber transfer ilmu, memiliki tanggung jawab yang
besar dalam keberhasilan keterampilan belajar siswa. Untuk memudahkan
guru melaksanakan pembelajaran yang dimengerti oleh siswa, guru harus
inovatif mengembangkan media pembelajaran, agar siswa tidak suntuk
dan lebih memahami tujuan pembelajaran. Terlebih dalam keterampilan
literasi dan numerasi, bimbingan guru sangat berarti bagi siswa utuk
menumbuhkan motivasi semangat belajar. Tumbuhkan motivasi internal
dan eksternal siswa dalam belajar.
Penelitian relevan yang keempat adalah penelitian yang dilakukan
oleh Fitriani Lestari, Agung Muttaqien dan Fauziyatul Hamamy pada
tahun 2023 tentang “Upaya Guru dalam Meningkatkan Kemampuan
Literasi Numerasi pada Siswa Kelas V di Lebaksari Sukabumi”. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kemampuan Literasi Numerasi Siswa
Kelas V di SDN Lebaksari Sukabumi 7% siswa berkemampuan literasi
numerasi dalam kategori tinggi, 86% siswa berkemampuan literasi
numerasi sedang dan 7% siswa berkemampuan literasi numerasi rendah.
Sehingga untuk kemampuan literasi numerasi siswa kelas V dikategori
sedang. Upaya guru meningkatkan kemampuan literasi numerasi yaitu
dengan memberi motivasi dan dukungan kepada siswa, melakukan
kerjasama dengan orangtua/wali murid, mengatasi kecemasan siswa,
penerapan konsep dalam pembelajaran, penerapan strategi penguatan
numerasi, mendesain pembelajaran berbasis proyek, game work dan
kompetisi, meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dengan diskusi
dan mengaitkan unsur numerasi pada mata pelajaran lain. Faktor
pendukung guru dalam meningkatkan kemampuan siswa yaitu dukungan
kepala sekolah, dukungan orang tua dan fasilitas. Faktor penghambat guru
dalam meningkatkan kemampuan literasi numerasi siswa yaitu belum
siapnya media/tools yang akan digunakan, kurangnya buku bacaan non
pelajaran dan belum adanya pelatihan dari dinas pendidikan daerah
maupun kabupaten.
Penelitian yang relevan kelima adalah penelitian yang dilakukan
oleh Siti Samsiyah pada tahun 2022 tentang “Analisis Pelaksanaan
Pembelajaran Berdiferensiasi untuk Meningkatkan Literasi Numerasi
Siswa di Sekolah Dasar”. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pembelajaran berdiferensiasi melalui STAR dapat menjadi strategi baru
penguatan kegiatan literasi baik pada fase pembiasaan, perkembangan
maupun pembelajaran, yang bertujuan untuk meningkatkan literasi dan
numerasi siswa. Hal ini terlihat sebelum penggunaan pembelajaran
berdiferensiasi melalui STAR hanya sedikit siswa yang dapat memahami
isi bacaan maupun angka, namun setelah diterapkannya strategi
pembelajaran berdiferensiasi yaitu pemetaan, pemilihan dan pemilahan
bahan bacaan dan angka-angka sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
membaca siswa. Dengan demikian, kemampuan literasi dan numerasi
siswa di SDN Kleco II Surakarta dapat ditingkatkan dan disempurnakan.
Berdasarkan lima penelitian diatas terdapat beberapa kesamaan
yaitu menggunakan metode atau model pembelajaran dan penelitian di atas
dilakukan untuk meningkatkan numerasi siswa. Selain memiliki
persamaan, penelitian di atas juga memiliki perbedaan yaitu subjek
penelitiannya berbeda, tempat penelitian yang berbeda dan metode atau
model pembelajaran yang digunakan berbeda.
C. Kerangka Pikir (Rancangan Pemecahan Masalah)
Numerasi merupakan kemampuan mengaplikasikan konsep
bilangan di dalam konteks kehidupan sehari-hari. Kemampuan numerasi
penting dalam kehidupan sehari-hari, banyak hal atau kegiatan yang dapat
dikaitkan dengan numerasi. Kemampuan numerasi dapat juga diartikan
sebagai kemampuan seseorang bernalar dan berpikir kritis. Kemampuan
numerasi tidak hanya tentang berhitung, tetapi juga tentang pemahaman
konsep matematika dan kemampuan menerapkannya dalam kegiatan atau
situasi nyata .
Rendahnya numerasi disebabkan oleh kurangnya pembiasaan dari
guru mengaplikasikan matematika ke dalam konteks kehidupan sehari-
hari. Guru juga biasanya lebih sering menggunakan metode ceramah atau
menggunakan rumus-rumus dasar tanpa pengaplikasian dalam konteks
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut akan berdampak pada kemampuan
numerasi dan pemahaman konsep peserta didik. Dengan hal itu, perlunya
upaya untuk meningkatkan kemampuan numerasi peserta didik dengan
penerapan metode collaborative learning.
Penerapan metode collaborative learning mendorong peserta didik
untuk berinteraksi, seperti pembentukan kelompok diskusi untuk
pemecahan suatu masalah dan dalam pembelajaran ini peserta didik lebih
banyak berperan dalam proses pembelajaran. Melalui penerapan metode
collaborative learning ini diharapkan dapat meningkatkan numerasi siswa
di SDN 82 Singkawang. Berdasarkan paparan di atas, maka kerangka
berpikir penelitian tindakan kelas ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Siklus 1 Siklus 2
1. Perencanaan 5. Perencanaan Hasil dari penerapan
Kemampuan numerasi metode collaborative
2. Pelaksanaan 6. Pelaksanaan
siswa rendah learning dapat
3. Pengamatan 7. Pengamatan
4. Refleksi 8. Refleksi meningkatkan
kemampuan
numerasi siswa
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kerangka berpikir di atas maka hipotesis dalam
penelitian tindakan kelas ini adalah metode collaborative learning dapat
meningkatkan kemampuan numerasi siswa kelas V SDN 82 Singkawang.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian Kelas
1. Jenis Penelitian Kelas
Jenis penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas atau
(Classroom Action Research). Suharsimi Arikunto dkk (2007: 3)
menjelaskan bahwa penelitian tindakan kelas adalah suatu
pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa sebuah tindakan yang
sengaja dimunculkan dan terjadi dalam sebuah kelas secara bersama.
Penelitian tindakan kelas menurut Sutama (2010: 15-21) merupakan
upaya untuk memperbaiki praktik pembelajaran agar menjadi efektif.
Oleh karena itu peneliti memilih penelitian tindakan kelas dengan
alasan bahwa melalui pendekatan scientific dengan strategi Numbered
Heads Together pada pembelajaran matematika dalam siklus penelitian
pada akhirnya dapat mencapai tujuan yang direncanakan.
Penelitian tindakan kelas merupakan suatu cara memperbaiki
dan meningkatan profesionallisme guru karena guru merupakan orang
yang paling tahu segala sesuatu yang terjadi dalam pembelajaran
(Mulyasa, 20:88). Hopkins (2011:87) menyatakan bahwa penelitian
ini merupakan tindakan terdisiplin yang terkontrol oleh penyelidikan,
usaha seseorang untuk memahami problem tertentu seraya terlibat aktif
dalam proses pengembangan dan pemberdayaan. Menurut Bahri
(2012), penelitian tindakan kelas merupakan sebuah kegiatan yang
dilaksanakan untuk mengamati kejadian-kejadian dalam kelas untuk
memperbaiki praktek dalam pembelajaran agar lebih berkualitas dalam
proses sehingga hasil belajar pun menjadi lebih baik.
2. Desain Penelitian Kelas
Penelitian tindakan kelas memiliki prosedur atau aturan yang
perlu diperhatikan. Prosedur tersebut berguna bagi para guru yang
akan melaksanakan penelitian tindakan kelas. Arikunto (2013:17)
dalam Iskandar (2015:23) menjelaskan bahwa satu siklus penelitian
tindakan kelas terdiri dari empat langkah, yaitu: (1) perencanaan, (2)
pelaksanaan, (3) pengamatan, dan (4) refleksi.
Dari alur di atas, bahwa pelaksanaan penelitian tindakan kelas
dimulai dari tahap perencanaan, kegiatan/tindakan, pengamatan dan
refleksi. Keempat tahapan tersebut saling berhubungan satu sama lain
karena setiap tindakan dimulai dengan tahap perencanaan (planning)
dimana peneliti menyusun rencana pembelajaran, menyediakan lembar
kegiatan dan membuat instrument penelitian yang digunakan dalam
tahap pelaksanaan. Setelah itu, dilakukan observasi terhadap guru dan
siswa sebagai subjek penelitian. Kemudian pada tahap refleksi, peneliti
dan observer mengemukakan kegiatan yang telah dilakukan dalam
proses pembelajaran dan mendiskusikan rancangan tindakan
selanjutnya.
Skor
No Kegiatan Pembelajaran
1 2 3 4 5
A Kegiatan Pendahuluan
1 Guru memulai pembelajaran dengan
berdoa terlebih dahulu
2 Guru memotivasi siswa untuk siap belajar
3 Guru memperkenalkan konsep numerasi
kepada siswa pada awal pembelajaran
4 Guru menggunakan strategi atau metode
khusus untuk menarik perhatian siswa
terhadap topik numerasi
5 Guru mengevaluasi pemahaman awal
siswa terhadap konsep numerasi sebelum
memulai kegiatan inti
B Kegiatan Inti
Mengamati
1 Siswa mengamati dan memahami soal
berbasis numerasi
2 Siswa melakukan identifikasi hasil
memahami soal berbasis numerasi
3 Siswa mencatat hasil pengamatan
Menanya
4 Siswa mengajukan pertanyaan terkait
aktivitas awal
5 Siswa diarahkan dan dibimbing agar
pertanyaannya terarah
Mengumpulkan informasi
6 Siswa berdiskusi untuk mengumpulkan
data dan informasi untuk menjawab
pertanyaan
7 Mengumpulakn informasi mendalam
tentang materi yang dipelajari
Mengasosiasi
8 Siswa menganalisis hasil pembelajaran
9 Siswa berdiskusi untuk mengambil
kesimpuan
10 Siswa merumuskan hasil analisis terhadap
pembelajaran
Mengomunikasikan
11 Siswa mempresentasikan hasil
pembelajaran di depan kelompok
12 Siswa memberi tanggapan
13 Siswa dan guru mengambil kesimpulan
C Kegiatan Penutup
14 Guru memberi kesempatan pada siswa
untuk bertanya
15 Guru memberikan penjelasan terhadap
pertanyaan siswa
16 Guru meminta siswa untuk melakukan
refleksi
B. Lampiran 2
LEMBAR WAWANCARA GURU
Identitas Guru
Jenis kelamin : …………………………
Sekolah : …………………………
Guru Mapel : …………………………
Pertanyaan: Guru
1. Apakah sudah ada gerakan numerasi di sekolah?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
2. Bagaimana Bapak/Ibu menerapkan pembelajaran berbasis numerasi dalam
pembelajaran matematika?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
3. Apa saja manfaat pembelajaran berbasis numerasi?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
4. Apa saja tantangan yang Bapak/Ibu hadapi dalam menerapkan
pembelajaran berbasis numerasi?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
5. Apa saran Bapak/Ibu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis
numerasi?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
C. Lampiran 3
LEMBAR WAWANCARA SISWA
Identitas Siswa
Jenis kelamin : …………………………
Sekolah : …………………………
Kelas : …………………………
Pertanyaan: Siswa
1. Apa yang kamu ketahui tentang pembelajaran berbasis numerasi?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
2. Bagaimana kamu merasakan pembelajaran berbasis numerasi?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
3. Apa saja manfaat pembelajaran berbasis numerasi menurut kamu?
………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………….
4. Apa saja tantangan yang kamu hadapi dalam mengikuti pembelajaran
berbasis numerasi?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………..
5. Apa saran kamu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran berbasis
numerasi?
………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………....
D. Lampiran 4
LEMBAR KISI-KISI SOAL NUMERASI
Bentuk Nomor
No Indikator Sub
soal soal
indikator
(pictogram), menyajikan 4
diagram batang, data dalam
bentuk diagram
atau diagram batang.
garis. 4. Disajikan soal
dalam bentuk
diagram batang,
5
siswa diminta
untuk
mengerjakan soal
dengan
memahami isi
dari diagram
batang tersebut
5. Disajikan soal
dalam bentuk
tabel, siswa
diminta untuk
menyajikannya
dalam bentuk
diagram garis.
Jumlah soal 5 soal
E. Lampiran 5
LEMBAR VALIDASI WAWANCARA
Komponen : Wawancara Model
Sasaran : Siswa SD Kelas V
Peneliti : Pazira Sukma Putri Suwandi
Judul Penelitian : Upaya Meningkatkan Numerasi Siswa melalui Metode
Collaborative Learning
a Tujuan
Lembar validasi ini bertujuan untuk mengetahui pendapat ahli tentang
validasi Instrumen Wawancara Model yang dikembangkan.
b Petunjuk Penilaian
Mohon kesediaan ahli untuk menilai instrumen wawancara model dengan
cara memberikan tanda centang (√) pada kolom yang ada dengan kriteria
berikut:
4 : Sangat Setuju
3 : Setuju
2 : Kurang Setuju
1 : Tidak Setuju
c Penilaian
Pernyataan
Aspek Aspek Penilaian
SS S KS TS
Substansi Isi 1. Tujuan wawancara terlihat
dengan jelas
2. Pertanyaan disampaikan secara
sistematis
3. Butir pertanyaan
menggambarkan arah tujuan
yang diinginkan peneliti
4. Butir pertanyaan
menggambarkan arah tujuan
yang dilakukan peneliti
5. Butir pertanyaan mendorong
responden untuk memberikan
jawaban tanpa paksaan
6. Butir pertanyaan tidak
mendorong atau mengarahkan
responden pada suatu
kesimpulan
Bahasa dan 1. Butir pertanyaan menggunakan
Penulisan kalimat yang mudah dipahami
2. Butir pertanyaan tidak bermakna
ganda
3. Butir pertanyaan sesuai dengan
EYD
4. Butir pertanyaan sesuai dengan
tingkat kebahasaan responden
e Kesimpulan Umum
Berdasarkan penilaian terhadap instrumen wawancara model maka dengan
ini dinyatakan bahwa:
1. Layak digunakan dalam pembelajaran Matematika berbasis numerasi
kelas V SD tanpa revisi
2. Layak digunakan dalam pembelajaran Matematika berbasis numerasi
kelas V SDrevisi sesuai saran
3. Tidak layak digunakan dalam pembelajaran Matematika berbasis
numerasi kelas V SD
……………, ……………………
Validator
(_____________________)
F. Lampiran 6
LEMBAR VALIDASI TES
……………, ……………………
Validator
(_____________________)