Anda di halaman 1dari 38

KEEFEKTIFAN PENGGUNAAN KARTU PECAHAN

TERHADAP AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR


MATERI PECAHAN PADASISWA KELAS IV
DI SEKOLAH DASAR NEGERI KEJAMBON 4 KOTA
TEGAL

Proposal Skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar

oleh
Zulfah Tahta Alfina
1401409203

JURUSAN PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013
1

A. Judul
“Keefektifan Penggunaan Kartu Pecahanterhadap Aktivitas dan Hasil
BelajarMateri Pecahan padaSiswa Kelas IVdi Sekolah Dasar Negeri
Kejambon 4 Kota Tegal”
B. Latar Belakang Masalah
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional menyebutkan bahwa:
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar


Nasionl Pendidikan untuk satuan pendidikan dasar dan menengah sudah
menetapkan kurikulum pada jenjang dasar (sekolah dasar). Kurikulum untuk
jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar
terdiri dari beberapa kelompok mata pelajaran.Salah satunya yakni kelompok
mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi yang mencakup mata
pelajaran matematika.
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang bersifat
eksak.Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan
teknologi modern, mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin dan
memajukan daya pikir manusia (Ibrahim dan Suparni 2012: 35). Melalui mata
pelajaran matematika, terbentuklah pola pikir yang sistematis, logis, dan
cermat yang akhirnya dapat digunakan untukmempelajari ilmu-ilmu yang
lain.Selain itu melaui matematika dapat menanamkan berperilaku ilmiah yang
kritis, kreatif, dan mandiri.
Tujuan pembelajaran matematika yang tercantum dalam
Permendiknas No. 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, yaitu (1) memahami
konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
2

mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan


tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan
sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi,
menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3)
memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel,
diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah; (5)
memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Agar
tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai dengan optimal tentu saja
harus melalui proses pembelajaran yang mendukung.
Dalam Permendiknas No. 41 tahun 2007 tentang Standar Proses,
proses pembelajaran pada setiap satuan pendidikan dasar dan menengah harus
interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, dan memotivasi peserta
didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Sebagai seorang pendidik
yang profesional, seorang guru seharusnya mampu mengupayakan hal
tersebut. Pada pembelajaran matematika seorang guru bertindak sebagai
perancang proses, siswa bertindak sebagai pelaksana kegiatan belajar.
Seorang guru yang membelajarkan matematikadi sekolah dasar harus
menguasai konsep-konsep matematika dengan benar dan mampu menyajikan
secara menarik.Karena menurut teori perkembangan kognitif Piaget, usia
siswa sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret yang artinya anak
pada usia tersebut belum mampu berpikir formal. Ciri-ciri anak pada tahap ini
dapat memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkret, belum
dapat berpikir deduktif, berpikir secara transitif, sedangkanmatematika adalah
ilmu deduktif, formal, hierarki dan konsep yang bersifat abstrak. Karena
3

adanya perbedaan karakteristik antara matematika dan anak usia SD, maka
matematika akan sulit dipahami oleh anak SD jika diajarkan tanpa
memperhatikan tahap berpikir anak SD. Proses pembelajaran yang masih
berpusat pada guru juga mengakibatkan matematika menjadisalah satu mata
pelajaran yang sulit dan hasil belajar yang diperoleh siswa menjadi kurang
maksimal, termasuk materi pecahan.
Pecahan dapat diartikan sebagai bagian dari sesuatu yang utuh. Materi
pecahan sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pusat Pengembangan
Kurikulum dan Sarana Pendidikan Badan Penelitian dan
Pengembanganmenyatakan bahwa pecahan merupakan salah satu topik yang
sulit diajarkan. Kesulitan tersebut terlihat dari sulitnya pengadaan media
pembelajaran. Akibatnya, guru biasanya langsung mengajarkan pengenalan
1
angka, seperti pecahan2, 1 disebut pembilang dan 2 disebut penyebut

(Heruman 2012: 43). Pembelajaran yang seperti ini masih berpusat pada guru,
siswa hanya mendengarkan penjelasan dari guru. Hal ini mengakibatkan
siswa pasif dan pembelajaran menjadi membosankan serta siswa kurang
antusias belajar sehingga berdampak pada hasil belajar yang kurang
maksimal.
Keadaan yang demikian juga terjadi dalam proses pembelajaran
matematika yang terjadi di kelas IV SD Negeri Kejambon 4 Kota Tegal.
Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 1 Februari 2013 dengan guru kelas
IV, diperoleh keterangan bahwa sebagian besar siswa masih susah menerima
konsep matematika yang abstrak. Kesulitan materi matematika yang abstrak
menyebabkan sebagian besar siswa tidak menyukai matematika. Selain itu
pada pembelajaran guru jarang menggunakan media dan metode
pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif sehingga pembelajaran
menjadi kurang menyenangkan.Berdasarkan nilai UAS semester 1 diperoleh
nilai rata-rata kelas sebesar 64,61 dengan KKM 66, dan keberhasilan
ketuntasan hasil belajar siswa sebesar 61, 5% atau 16 dari 26 siswa.
4

Agar pembelajaran matematika terlaksana dengan baik, peran guru


sedapat mungkin untuk membangkitkan minat belajar pada anak didiknya
menggunakan cara yang disukai siswa. Siswa pada usia sekolah dasar masih
senang bermain, bergerak, bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan/
memperagakan sesuatu secara langsung. Guru hendaknya merancang
pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat secara langsung dalam proses
pembelajaran.Penggunaan media pembelajaran yang menarik dan menunjang
menjadi salah satu cara yang dapat digunakan guru untuk membangkitkan
minat anak belajar matematika.
Pengertian media pembelajaran menurut Rifa’i dan Anni (2011: 196)
adalah “alat/wahana yang digunakan pendidik dalam proses pembelajaran
untuk membantu penyampaian pesan pembelajaran”. Menurut Hamalik
(Arsyad 2011: 15) pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar
mengajar dapat membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar,
dan bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa.Salah
satu cara pembelajaran yang membuat belajar menjadi menyenangkan dan
siswa dapat terlibat secara langsung adalah menggunakan permainan Kartu
Pecahan. Permainan ini menggunakan media kartu Pecahan yang berbasis
model pembelajaran Make a Match. Tujuan dari penggunaan permainan ini
adalah agar siswa terlibat aktif dalam pembelajaran dan memperoleh hasil
belajar yang memuaskan. Pada saat kelas IV siswa mengalami peralihan dari
kelas rendah ke kelas tinggi, sehingga pembelajaran yang mengandung unsur
permainan masih sangat membantu guru dalam memberi pemahaman suatu
konsep kepada siswa.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti berminat untuk
mengadakan penelitian dengan judul “Keefektifan Penggunaan Kartu Pecahan
terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Materi Pecahan padaSiswa Kelas IV di
Sekolah Dasar Negeri Kejambon 4 Kota Tegal”.
C. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan
5

beberapa masalah sebagai berikut:


1. Pembelajaran yang tidak menggunakan media pembelajaran
manipulatifmenyebabkan siswa cenderung pasif, mudah bosan, tidak
memperhatikan guru mengajar, dan pembelajarannya berpusat pada guru.
2. Guru masih menerapkan pembelajaran konvensional, yaitu model
pembelajaran yang dominan menggunakan metode ceramah dan
pemberian tugas.
3. Siswa kesulitan memahami seluruh materi pelajaran matematika yang
bersifat abstrak.
D. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang diteliti tidak meluas, maka berdasarkan
identifikasi masalah di atas, penulis membatasi permasalahan sebagai berikut:
1. Kartu Pecahan adalah modifikasi dari kartu domino. Kartu pecahan pada
salah satu sisinya terdapat soal dan jawaban yang sudah diacak.
2. Materi pecahan yang akan diteliti adalah penjumlahan dan pengurangan
pecahan. Penjumlahan dan pengurangan pecahan yang akan diajarkan
yaitu pecahan berpenyebut sama dan tidak sama.
3. Penggunaan model pembelajaran konvensional yang dimaksud dalam
penelitian ini merupakan pembelajaran yang biasa dilaksanakan oleh guru
kelas IV SD Negeri Kejambon 4, biasanya hanya menggunakan metode
ceramah dan pemberian tugasserta belum menggunakan media
pembelajaran yang memadai selama pembelajaran terutama bila materi
yang akan diajarkan bersifat teoritis.
E. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di
atas, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakahterdapat perbedaan aktivitas dan hasilbelajar antara siswa yang
memperoleh pembelajaran pada materi Pecahan dengan penggunaanKartu
Pecahandantanpa menggunakan Kartu Pecahan?
2. Apakah aktivitas dan hasil belajar siswa yang memperoleh pembelajaran
6

pada materi Pecahan dengan penggunaan Kartu Pecahan lebih baik


daripada tanpa menggunakan Kartu Pecahan?
F. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk menguji keefektifan
penggunaan Kartu Pecahan terhadap aktivitas dan hasil belajar
Matematika siswa kelas IV pada materi pokok Pecahan di SD Negeri
Kejambon 4 kota Tegal.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui perbedaan aktivitas dan hasilbelajar antara siswa yang
memperoleh pembelajaran pada materi Pecahan dengan penggunaan
Kartu Pecahandan tanpa menggunakan Kartu Pecahan.
b. Mengetahui apakahaktivitas dan hasil belajar siswa yang memperoleh
pembelajaran pada materi Pecahan dengan penggunaan Kartu Pecahan
lebih baik daripada tanpa menggunakan Kartu Pecahan.
G. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
konstribusi khasanah ilmu pendidikan khususnya pendidikan sekolah
dasar.
b. Selain itu, dapat memberikan informasi mengenai media pembelajaran
Kartu Pecahanyang dapat digunakan pada pembelajaran matematika
materi pecahan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi guru
1) Memberikan informasi kepada guru-guru di sekolah dasar tentang
penggunaan media pembelajaran Kartu Pecahan dalam pembelajaran
matematika materi pecahan pada siswa kelas IV Sekolah Dasar.
2) Sebagai bahan masukan dan informasi kepada para guru dalam
upaya meningkatkan mutu pembelajaran.
7

3) Memberikan semangat kepada para guru untuk menggunakan media


pembelajaran sebagai alternatif dalam meningkatkan kualitas
pembelajaran matematika.
b. Bagi Peneliti
1) Meningkatkan daya pikir dan keterampilan dalam menggunakan
media pembelajaran dalam pembelajaran matematika materi pecahan
pada kelas IV sekolah dasar.
2) Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan untuk
mengadakan penelitian lanjutan yang berhubungan dengan
penggunaan mediapembelajaran Kartu Pecahan dalam pembelajaran
matematika materi pecahan pada siswa sekolah dasar kelas IV.
c. Bagi Sekolah
Penelitian ini akan memberikan sumbangan yang baik dalam
mengembangkan pembelajaran matematika materi pecahan.
H. Landasan Teori dan Hipotesis
1. Landasan Teori
a. Pendidikan
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Bab 1 Pasal 1 menyebutkan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Berdasarkan pengertian tersebut nampakbahwa pendidikan tidak


hanya mencerdaskan secara kognitif (pengetahuan) tetapi juga secara
afektif (sikap) yang membentuk kepribadian serta psikomotor
(keterampilan) yang diperlukan dalam hidup siswa.
Sementara menurut Crow dan Crow dalam Munib (2009: 31),
“pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang
8

cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu


meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke
generasi”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa
pendidikan di sekolah merupakan kegiatan yang membantu peserta
didik mengembangkan kemampuan yang dimilikinya dan
mengembangkan kualitas kehidupan sosialnya. Selain itu juga
meneruskan adat dan budaya yang disalurkan melalui guru kepada
siswa.
Langveld dalam Munib dkk, (2009: 26) menyatakan bahwa
pendidikan adalah suatu bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa
kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu
kedewasaan. Driyakarya (Munib dkk, 2009: 33) menyatakan bahwa
pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia muda.Menurut John
Dewey (Munib dkk, 2009: 33) menyebutkan bahwa pendidikan adalah
proses yang berupa pengajaran dan bimbingan, bukan paksaan, yang
terjadi karena interaksi dengan masyarakat. Dalam GBHN tahun 1973
(Munib dkk, 2009: 33) menyatakan bahwa:
pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan peserta didik di dalam dan
di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Dengan
demikian, pendidikan adalah suatu usaha yang
dilakukan secara sadar dan sistematis. Pendidikan
membutuhkan adanya perencanaan dan
pengorganisasian agar dapat mencapai tujuan yang
diinginkan.

Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, sebab


pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat, sekolah, dan pemerintah. Orang tua dan masyarakat juga
berperan dalam membimbing anak menuju kedewasaan dan menjadi
manusia seutuhnya.

b. Belajar, Mengajar, dan Pembelajaran


9

Menurut Gagne dan Berliner dalam Rifa’i dan Anni (2011: 82)
belajar merupakan proses dimana suatu organisme mengubah
perilakunya karena hasil dari pengalaman. Sementara Slameto (2012:
2) menyatakan,“belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan
seseorang untuk memperolah suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam
interaksi dengan lingkungannya”.Menurut Çubukçu (2012), “learning
is a dynamic process during which individuals make internal
adjustments individually and develop necessary skills”. Pendapat
Çubukçu dapat diartikan bahwa belajar adalah sebuah proses dinamis
yang terjadi selama seseorang membuat penyesuaian internal dalam
dirinya dan mengembangkan kecakapan-kecakapan yang diperlukan.
Jadi, belajar pada hakikatnya merupakan salah satu proses usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan perilaku baru yang
relatif permanen dalam aspek kognitif, afektif, maupun psikomotorik,
yang diperolehnya melalui interaksi individu dengan lingkungannya.
Berdasar pada pendapat para ahli dalam Rifa’i dan Anni
(2011), belajar mempunyai tiga unsur utama, yaitu:
1) Belajar berkaitan dengan perubahan perilaku
Untuk mengukur apakah seseorang telah belajar atau
belum belajar diperlukan adanya perbandingan antara perilaku
sebelum dan sesudah mengalami kegiatan belajar. Perubahan
perilaku yang dimaksud adalah perubahan perilaku yang mengacu
pada penguasaan kemampuan yang dirumuskan dalam tujuan
pembelajaran.
2) Perubahan perilaku itu terjadi karena didahului oleh proses
pengalaman
Perubahan perilaku yang diperoleh karena pertumbuhan
dan kematangan fisik tidak dapat dianggap sebagai hasil belajar.
3) Perubahan perilaku karena belajar bersifat relatif permanen
10

Apabila seseorang mampu memahami proses belajar dan


menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari belajar pada
kehidupan nyata, maka ia akan mampu menjelaskan segala
sesuatu yang ada di lingkungannya.
Menurut Rifa’i dan Anni (2011) unsur-unsur yang terkait
dalam kegiatan belajar adalah peserta didik, rangsangan (stimulus),
memori, dan respon. Selama belajar, peserta didik memperoleh
rangsangan dari luar. Peserta didik menggunakan seluruh indera yang
dimilikinya untuk menangkap rangsangan. Rangsangan yang sudah
diterima akan disimpan dalam memori otak. Kemudian memori
tersebut akan diterjemahkan ke dalam tindakan yang dapat diamati.
Kegiatan belajar akan terjadi pada diri peserta didik apabila terdapat
interaksi antara rangsangan dengan isi memori, sehingga perilakunya
berubah dari waktu sebelum dan setelah stimulus tersebut. Apabila
terjadi perubahan perilaku, maka perubahan perilaku itu menjadi
bahwa peserta didik telah melakukan kegiatan belajar.
Mengajar menurut Howard (Slameto 2012: 32)adalah suatu
aktivitas untuk mencoba menolong, membimbing seseorang untuk
mendapatkan, mengubah atau mengembangkan skill, attitude, ideals
(cita-cita), appreciations (penghargaan) dan knowledge. Menurut
Dequeliy dan Gazali dalam Slameto (2010: 32) mengajar adalah
menanamkan pengetahuan pada seseorang dengan cara paling singkat
dan tepat. Sementara menurut Mursell dalam Slameto (2012: 33)
mengajar digambarkan sebagai mengorganisasikan belajar sehingga
dengan mengorganisasikan itu belajar menjadi berarti atau bermakna
bagi siswa. Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa mengajar merupakan suatu aktivitas yang
dilakukan oleh seseorang untuk membantu orang lain
mengembangkan pengetahuan, sikap, dan ketrampilan.
Mengajar berbeda dengan mendidik. Menurut Ki Hajar
11

Dewantara dalam Munib dkk, (2009: 31) mendidik adalah menuntun


segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar mereka sebagai
manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan setinggi-tingginya, sedangkan menurut Langveld
dalam Munib dkk, (2009: 31) mendidik adalah mempengaruhi anak
dalam usaha membimbingnya supaya menjadi dewasa. Sementara
menurut Hoogveld dalam Munib dkk, (2009: 31) mendidik adalah
membantu anak supaya ia cukup cakap menyelenggarakan tugas
hidupnya atas tanggung jawabnya sendiri. Dari ketiga pengertian
mendidik tersebut dapat disimpulkan bahwa mendidik adalah suatu
usaha yang bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya guru, untuk
membimbing seseorang menjadi manusia yang dewasa.
Pembelajaran sangat erat kaitannya dengan belajar dan
mengajar. Menurut Siddiq dkk, (2008: 1.9) “pembelajaran adalah
suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang (guru atau yang lain)
untuk membelajarkan siswa yang belajar”. Menurut Briggs
(1992)dalam Rifa’i dan Anni (2011: 191), pembelajaran adalah
seperangkat peristiwa (events) yang mempengaruhi peserta didik
sedemikian rupa sehingga peserta didik itu memperoleh kemudahan.
Gagne (1981) dalam Rifa’i dan Anni (2011: 192) menyatakan bahwa
pembelajaran merupakan serangkaian peristiwa eksternal peserta didik
yang dirancang untuk mendukung proses internal belajar. Berdasarkan
beberapa pengertian pembelajaran dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh guru untuk
memudahkan siswa belajar.
Dalam proses pembelajaran terjadi komunikasi yang
dilakukan secara verbal (lisan) dan nonverbal, seperti penggunaan
media pembelajaran. Komunikasi yang terjadi dalam pembelajaran
memudahkan proses belajar siswa. Komunikasi tersebut memberikan
sejumlah informasi yang diperlukan siswa dalam belajar yang
12

selanjutnya dapat menyebabkan adanya hasil belajar dalam bentuk


ingatan jangka panjang.
Rifa’i dan Anni (2011: 194) menjelaskan bahwa dalam proses
pembelajaran melibatkan berbagai komponen. Komponen-komponen
tersebut, antara lain: (1) tujuan, (2) subjek belajar, (3) materi
pelajaran, (4) strategi pembelajaran, (5) media pembelajaran, (6)
penunjang, dan (7) evaluasi. Komponen-komponen tersebut
membentuk satu sistem dalam pembelajaran. Dalam pembelajaran
siswa sebagai subjek belajar sekaligus objek belajar mendapat
bimbingan dari guru. Pembelajaran ini harus mempunyai tujuan yang
jelas, sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan tujuan kurikulum
sekolah.
Pembelajaran memerlukan perencanaan sebelum
dilaksanakannya pembelajaran. Perencanaan pembelajaran itu
meliputi tujuan yang hendak dicapai, materi pelajaran yang akan
disampaikan, strategi pembelajaran yang tepat agar tujuan dapat
tercapai, media pembelajaran yang diperlukan dalam proses belajar
mengajar, dan penunjang pembelajaran berupa fasilitas belajar yang
berfungsi sebagai pelengkap serta mempermudah proses
pembelajaran. Pemilihan alat evaluasi yang tepat juga menjadi hal
penting dalam pembelajaran. Evaluasi dapat diberikan selama proses
pembelajaran masih berlangsung untuk mengevaluasi proses
pembelajaran maupun pada akhir pembelajaran untuk mengevaluasi
hasil pembelajaran.
c. Aktivitas Belajar
Di dalam belajar diperlukan suatu aktivitas. Menurut Siddiq
dkk, (2008: 1.4) belajar adalah proses mental dan emosional atau
proses berpikir dan merasakan. Proses aktivitas pembelajaran harus
melibatkan seluruh aspek psikofisis peserta didik, baik jasmani
maupun rohani sehingga akselerasi perubahan perilakunya dapat
13

terjadi secara cepat, tepat, mudah, dan benar, baik berkaitan dengan
aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor (Hanafiah dan Suhana
2009: 23).
Aktivitas rohani yang berupa pikiran dan perasaan tidak dapat
diamati orang lain melainkan hanya dapat dirasakan oleh individu
yang bersangkutan. Aktivitas yang dapat diamati oleh orang lain
adalah aktivitas jasmani. Guru dapat melihat kegiatan siswa sebagai
akibat dari adanya pikiran dan perasaan, seperti siswa bertanya,
mencatat, menyusun kertas kerja, dan sebagainya. Semua itu adalah
gejala yang tampak dari aktivitas rohani (mental dan emosional)
siswa.
Menurut Sudjana (2009: 61), penilaian proses belajar-mengajar
yang utama adalah melihat sejauh mana keaktifan siswa dalam
mengikuti proses belajar-mengajar. Keaktifan siswa dapat dilihat
dalam hal:
1) turut serta dalam melaksanakan tugas belajarnya,
2) terlibat dalam pemecahan masalah,
3) bertanya kepada siswa lain atau kepad guru apabila tidak
memahami persoalan yang dihadapinya,
4) berusaha mencari berbagai informasi yang diperlukan untuk
pemecahan masalah,
5) melaksanakan diskusi kelompok sesuai dengan petunjuk guru,
6) menilai kemampuan dirinya dan hasil-hasil yang diperolehnya,
7) melatih diri dalam memecahkan soal atau masalah yang sejenis,
8) kesempatan menggunakan atau menerapkan apa yang telah
diperolehnya dalam menyelesaikan tugas atau persoalan yang
dihadapinya.
d. Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki
siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya (Sudjana 2009: 22).
14

Menurut Rifa’i dan Anni (2011: 85), hasil belajar merupakan


perubahan perilaku yang diperoleh peserta didik setelah mengalami
kegiatan belajar. Berdasarkan taksonomi Bloom dalam Sudjana (2009:
22), hasil belajar mencakup tiga ranah, antara lain ranah kognitif,
afektif, dan psikomotorik.
Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang
terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman,
aplikasi, analisis, sintetis, dan evaluasi. Ranah afektif berkenaan
dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban
atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah
psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan
kemampuan bertindak yang terdiri dari enam aspek, yakni gerakan
refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual,
keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, dan
gerakan ekspresif dan interpretatif.
Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di
antara ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai
oleh para guru di sekolah karena berkaiatan dengan kemampuan para
siswa dalam menguasai isi bahan.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan
bahwa hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh seseorang setelah
mengalami proses belajar dalam bentuk tiga ranah, yaitu kognitif,
afektif,dan psikomotor.
e. Karakteristik Siswa SD
Menurut Piaget, setiap individu melewati tahap-tahap
perkembangan kognisi dalam hidupnya, tahap perkembangan kognisi
tersebut antara lain: (1) tahap sensomotorik/institingtif (0-2 tahun)
dimana segala tindakan bergantung melalui inderawi; (2) tahap pra-
operasional/intuitif (2-7 tahun) dimana individu tidak ditentukan oleh
pengamatan inderawi saja tetapi juga oleh intuisi, tahap ini disebut
15

juga sebagai tahap collective monolog, umumnya pada tahap ini


individu bersikap self centered; (3) tahap konkret operasional (7-11
tahun) dimana individu sudah memahami hubungan fungsional karena
merek sudah mengujicoba suatu permasalahan, cara berpikir individu
dalam tahap ini masih konkret belum menangkap abstrak; (4) tahap
formal operasional (11 tahun ke atas) dimana individu
mengembangkan pikiran formalnya, mereka bisa mencapai logika dan
rasio serta dapat menggunakan abstraksi (Soeparwoto, 2006: 85).
Siswa sekolah dasar pada umumnya berada pada tahap akhir
periode pra-operasional hingga tahap konkret operasional. Mereka
belum mampu berpikir secara abstrak dan juga masih bersikap self
centered. Selain itu, siswa sekolah dasar juga masih senang bermain,
senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang
merasakan atau melakukan/memeragakan sesuatu secara langsung.
Oleh sebab itu, guru harus bisa merancang pembelajaran yang dapat
melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran yang telah dirancang pun
diusahakan menarik dan sesuai dengan karakteristik dan tahap
perkembangan anak.
f. Matematika di Sekolah Dasar
Kata matematika berasal dari bahasa Yunani, mathein atau
mantheneinyang berarti mempelajari. Beberapa pandangan para ahli
terhadap hakekat matematika dalam Ibarahim dan Suparni (2012),
yaitu:
1) Matematika sebagai Ilmu Deduktif
Matematika disebut ilmu deduktif, sebab dalam
matematika tidak menerima generalisasi yang berdasarkan pede
observasi, eksperimen, coba-coba (induktif) seperti halnya ilmu
pengetahuan alam dan ilmu-ilmu pengetahuan umumnya.
Kebenaran generalisasi matematika harus dapat dibuktikan secara
deduktif.
16

2) Matematika sebagai Ilmu tentang Pola dan Hubungan


Matematika adalah ilmu tentang pola dan hubungan, sebab
dalam matematika sering dicari keseragaman seperti keturutan
dan keterkaitan pola dari sekumpulan konsep-konsep tertentu atau
model-model yang merupakan representasinya, sehingga dapat
dibuat generalisasinya untuk selanjutnya dibuktikan
kebenarannya secara deduktif.
3) Matematika sebagai Bahasa
Bahasa merupakan suatu sistem yang terdiri dari lambang-
lambang, kata-kata, dan kalimat-kalimat yang disusun menurut
aturan tertentu dan digunakan sekelompok orang untuk
berkomunikasi. Dengan demikian matematika adalah bahasa,
sebab matematika merupakan sekumpulan simbol yang meiliki
makna atau dikatakan sebagai bahasa simbol. Bahasa simbol ini
bahkan berlaku secara universal dan sangat padat makna dari
pernyataan yang ingin disampaikan.
4) Matematika sebagai Ilmu tentang Struktur yang Terorganisasikan
Matematika berkemabang mulai dari unsur yang tidak
didefinisikan, ke postulat/ aksioma, ke teorema. Sebagai sebuah
struktur matematika terdiri dari beberapa komponen yang
membentuk sistem yang saling berhubungan dan terorganisir
dengan baik.
5) Matematika sebagai Aktivitas Manusia
Menurut Susilo, matematika dipandang dari aspek metode,
cara penalaran, bahasa, dan obyek penyelidikannya memiliki
kekhasan, yang keseluruhannya itu merupakan bagian dari
kebudayaan manusia yang bersifat universal.
Menurut Muhsetyo, dkk (2009: 1.26), pembelajaran
matematika adalah proses pemberian pengalaman belajar kepada
peserta didik melalui serangkaian kegiatan yang terencana sehingga
17

peserta didik memperoleh kompetensi tentang bahan matematika yang


dipelajari. Menurut Ediger (2012), “to teach effectively, the
mathematics theacher needs to be well versed in subject matter
content. He/she must explain facts, concepts, and procedures clearly
and in an appropiate order”. Pendapat Ediger tersebut dapat diartikan
bahwa untuk mengajar secara efektif, guru matematika harus benar-
benar mengetahui isi pokok materi. Guru tersebut harus menjelaskan
fakta, konsep, dan prosedur secara jelas dan tepat di dalam
pelaksanaannya. Berdasarkan hal tersebut, seorang guru matematika
memerlukan penguasaan materi matematika secara jelas sehingga
peserta didik memeroleh kompetensi yang dipelajari.
g. Teori Belajar Matematika
Menurut Orton (1992) dalam Pitajeng (2006: 27), untuk
mengajar matematika diperlukan teori, yang digunakan antara lain
untuk membuat keputusan di kelas. teori belajar matematika
diperlukan sebagai dasar mengamati tingkah laku peserta didik dalam
belajar. Hal ini menjadi salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi
keberhasilan guru dalam menentukan pendekatan pembelajaran
matematika yang tepat, sehingga pembelajaran menjadi efektif,
bermakna, dan menyenangkan.
Beberapa teori belajar dalam pembelajaran matematika antara
lain:
1) Teori Belajar Piaget
Menurut Piaget dalam Rifa’i dan Anni (2011: 26-30),
tahap-tahap perkembangan kognitif siswa mencakup:
a) Tahap sensorimotorik (0-2 tahun)
Pada tahap ini, pengetahuan bayi tentang dunia adalah
terbatas pada persepsi yang diperoleh dari penginderaannya
dan kegiatan motoriknya. Perilaku yang dimiliki anak masih
terbatas pada respon motorik sederhana yang disebabkan oleh
18

rangsangan penginderaan. Anak menggunakan keterampilan


dan kemampuannya yang dibawa sejak lahir, seperti melihat,
menggenggam, dan mendengar untuk mempelajari
lingkungannya.
b) Tahap praoperasional (2-7 tahun)
Pada tahap ini lebih bersifat simbolis, egosentris, dan
intuitif, sehingga tidak melibatkan pemikiran operasional.
c) Tahap operasional konkret (7-11 tahun)
Pada tahap ini anak mampu mengoperasionalkan
berbagai logika, namun masih dalam bentuk benda konkret.
Penalaran logika menggantikan penalaran intuitif, namun
hanya pada situasi konkret dan kemampuan untuk
menggolong-golongkan sudah ada namun belum bisa
memecahkan masalah abstrak.
d) Tahap operasionalformal (11-15 tahun)
Pada tahap ini anak sudah mampu berpikir abstrak,
idealis, dan logis. Pemikiran operasional formal tampak lebih
jelas dalam pemecahan masalah verbal.
2) Teori Belajar Bruner
Menurut Brunner dalam Pitajeng (2006: 29), “belajar
matematika adalah belajar tentang konsep-konsep dan struktur-
struktur matematika yang terdapat di dalam materi yang dipelajari
serta mencari hubungan-hubungan antara konsep-konsep dan
struktur-struktur matematika”.
Pada teori belajar Brunner, anak-anak berkembang melaui
tiga tahap perkembangan mental, yaitu:
a) Tahap enaktif
Pada tahap ini, anak didik belajar menggunakan atau
memanipulasi objek-objek konkret secara langsung.
b) Tahap ikonik
19

Pada tahap ini kegiatan anak didik mulai menyangkut


mental yang merupakan gambaran-gambaran dari objek-
objek konkret. Anak tidak memanipulasi langsung objek-
objek konkret seperti pada tahap enaktif, melainkan sudah
dapat memanipulasi dengan memakai gambaran dari objek-
objek yang dimaksud.
c) Tahap simbolik
Tahap ini merupakan tahap memanipulasi simbol-
simbol secara langsung dan tidak lagi ada kaitannya dengan
objek-objek.
3) Teori Belajar Dienes
Perkembangan konsep matematika menurut Dienes dalam
Pitajeng (2006: 32), dapat dicapai melalui pola berkelanjutan,
yang setiap seri dalam rangkaian kegiatan belajarnya berjalan dari
konkret ke simbolik. Menurut Dienes, permainan matematika
sangat penting sebab operasi matematika dalam permainan
tersebut menunjukkan aturan secara konkret dan lebih
membimbing dan menajamkan pengertian matematika pada anak
didik.
Pada teori belajar Dienes, belajar dibagi dalam 6 tahap,
yaitu:
a) Permainan bebas (free play)
Tahap ini merupakan tahap belajar konsep yang
aktivitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Dalam
tahap ini anak mulai belajar membentuk struktur mental dan
struktur sikap dalam mempersiapkan diri untuk memahami
konsep. Guru dapat mengarahkan pengetahuan dan
mempertajam konsep yang sedang dipelajari.
b) Permainan yang disertai aturan (games)
Pada tahap ini, anak didik mulai meneliti pola-pola
20

dan keteraturan yang terdapat atau tidak terdapat dalam


konsep matematika tertentu, serta anak didik juga sudah
mulai mengabstraksikan konsep.
c) Permainan kesamaan sifat (searching for comunities)
Dalam permainan untuk mencari kesamaan sifat, anak
mulai diarahkan dalam kegiatan untuk mencari sifat-sifat
yang sama dari permainan yang sedang diikuti. Untuk itu
perlu diarahkan pada penerjemahan kesamaan struktur dari
bentuk permainan lain.
d) Representasi (representation)
Representasi adalah tahap pengambilan kesamaan
sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Siswa menentukan
representasi dari konsep-konsep tertentu. Representasi yang
diperoleh ini bersifat abstrak. Dengan melakukan
representasi, siswa telah mengarah pada pengertian struktur
matematika yang bersifat abstrak pada topik-topik yang
sedang dipelajari.
e) Simbolisasi (symbolization)
Simbolisasi adalah tahap belajar konsep yang
membutuhkan kemampuan representasi dari setiap konsep-
konsep dengan menggunakan simbol matematika atau
melalui perumusan verbal.
f) Formalisasi (formalization)
Dalam tahap ini, siswa dituntut untuk menurunkan
sifat-sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat-sifat baru
rumus tersebut.
h. Model Pembelajaran Kooperatif
Menurut Suprijono (2012: 54), “pembelajaran kooperatif
adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok
termasuk bentuk-bentuk yang lebih dipimpin oleh guru atau diarahkan
21

oleh guru”. Pembelajaran kooperatif tidak sama dengan sekedar


belajar dalam kelompok. Ada beberapa unsur dasar dari pembelajaran
kooperatif yang membedakannya dari kerja kelompok yang
pembagian kelompoknya dilakukan asal-asalan.
Menurut Roger dan David Johnson ada lima unsur dalam
model pembelajaran kooperatif yang harus diterapkan untuk mencapai
hasil yang maksimal. Lima unsur tersebut adalah: (1) positive
interdependence (saling ketergantungan positif) dimana dalam
pembelajaran kooperatif ada dua pertanggungjawaban kelompok,
yaitu mempelajari bahan yang ditugaskan dan menjamin semua
anggota kelompok secara individu mempelajari bahan yang
ditugaskan; (2) personal responsibility (tanggung jawab perseorangan)
dimana dalam pembelajaran kooperatif setiap siswa akan merasa
bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik; (3) face to face
promotive interaction (interaksi promotif) dimana unsur ini penting
karena dapat menghasilkan saling ketergantungan positif; (4)
interpersonal skill (komunikasi antaranggota) dimana unsur ini
mengoordinasikan kegiatan peserta didik dalam pencapaian tujuan
peserta didik; (5) group processing (pemrosesan kelompok) dimana
pada unsur ini setiap anggota menilai kontribusi yang diberikan setiap
anggota dalam kelompok (Suprijono 2012: 58-61).
i. Metode Pembelajaran Make a Match
Metode pembelajaran ini dikembangkan oleh Lorna Curran
pada tahun 1994. Keunggulan dari metode pembelajaran ini adalah
siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau
topik dalam suasana yang menyenangkan. Metode ini bisa digunakan
untuk semua mata pelajaran dan semua tingkatan usia anak didik.
Suprijono (2012: 94) menyebutkan bahwa hal-hal yang perlu
disiapkan dalam pembelajaran yang menggunakan metode make a
match adalah kartu-kartu, yang terdiri dari kartu soal dan kartu
22

jawaban.
Prosedur pelaksanaan metode pembelajaran make a match
dalam Lie (2012: 135), yaitu:
1) guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa topik yang
mungkin cocok untuk sesi review (persiapan menjelang tes atau
ujian)
2) setiap siswa mendapatkan satu buah kartu
3) setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok
dengan kartunya. Misalnya pemegang kartu PERSEBAYA
berpasangan dengan kartu SURABAYA
4) siswa bisa juga bergabung dengan 2 atau 3 siswa lain yang
memegang kartu berhubungan, misalnya pemegang kartu 3+3
membentuk kelompok dengan pemegang kartu 2x3 dan 12:2.
j. Media Pembelajaran
Kata media berasal dari bahasa Latin medius yang secara
harfiah berarti ‘tengah’, ‘perantara’, atau ‘pengantar’ (Arsyad 2011:
3). Bila dikaitkan dengan pembelajaran, media pembelajaran adalah
alat perantara yang digunakan oleh guru untuk menyampaikan
informasi atau pesan pembelajaran kepada siswa dalam proses belajar.
Menurut Gagne dan Briggs dalam Arsyad (2011: 4) secara implisit
mengatakan bahwa media pembelajaran meliputi alat yang secara fisik
digunakan untuk menyampaikan isi materi pengajaran, yang terdiri
dari antara lain buku, tape recorder, kaset, video recorder, film, slide
(gambar bingkai), foto, gambat, grafik, televisi, dan komputer.
Menurut Brunner ada tiga tingkatan utama modus belajar, yaitu
enactive atau pengalaman langsung, iconic atau pengalaman piktorial/
gambar, dan symbolic pengalaman abstrak (Arsyad 2011: 7). Dalam
proses belajarnya, anak sebaiknya menggunakan alat-alat peraga atau
benda yang dibuat khusus untuk membantu siswa memahami konsep
pembelajaran yang masih abstrak. Menurut Hamalik (Arsyad 2011:
23

15) pemakaian media pembelajaran dalam proses belajar mengajar


dapat membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar, dan
bahkan membawa pengaruh-pengaruh psikologis terhadap siswa. Jadi,
media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran dapat
memudahkan siswa memahami pengetahuan yang masih abstrak serta
dapat membangkitkan motivasi belajar siswa.
k. Media Pembelajaran Kartu Pecahan
Media pembelajaran kartu pecahan terinspirasi dari permainan
kartu domino. Menurut Kurniawati dalam W, Murti A. (Jurnal
Oktadika 2011), kartu Domino yang umum dikenal sebagai alat
permainan yang menggunakan kartu dan satu sisinya terdapat bulatan
yang menyatakan nilainya dari 1 sampai dengan 6. Jumlah kartu
Domino secara keseluruhan adalah 28 kartu. Permainan Domino
umumnya dilakukan oleh 4 orang tetapi dapat juga kurang atau lebih.
Dalam pembelajaran, kartu Pecahan membuat pembelajaran
menjadi menyenangkan. Kartu Pecahan yang digunakan dalam
pembelajaran sudah dimodifikasi, kartu tersebut berisi soal dan
jawaban yang sudah diacak.
Langkah-langkah pembelajaran menggunakan media kartu
Pecahan sebagai berikut:
1) guru menyiapkan satu set kartu yang berisi 28 kartu dengan
ukuran 4x6 cm yang sudah diisi dengan soal dan jawaban yang
masih acak, semua soal dan jawaban tersebut berkaitan dengan
materi pembelajaran
2) siswa dibagi dalam kelompok diskusi yang terdiri dari 3 atau 4
orang
3) siswa diminta mengacak satu set kartu Pecahan tersebut dan tiap
siswa menerima 3 atau 4 kartu , sisanya ditumpuk dalam keadaan
tertutup
4) permainan dimulai dengan mengambil sebuah kartu dari
24

tumpukan kartu
5) secara bergilir pemain (siswa) memasangkan soal dan jawaban
sesuai dengan kartu yang dibuka dari kartu yang dipegang
6) pemain pertama serta arah putaran ditentukan dengan undian atau
kesepakatan
7) jika kartu pemain yang sedang mendapat giliran tidak ada yang
cocok, dia harus mengambil satu kartu dari tumpukan yang msih
tertutup (selama kartu yang tertutup masih ada)
8) jika kartu yang diambil tersebut tidak cocok juga, maka disimpan
menjadi miliknya dan dilanjutkan giliran pemain berikutnya
9) demikian seterusnya sampai semua kartu habis dipasangkan atau
sudah tidak ada lagi kartu yang dapat dipasangkan
10) pemenangnya adalah pemain yang paling dulu habis kartunya
atau paling sedikit sisanya, sedangkan pemain yang paling akhir
membuang kartu atau paling banyak sisanya adalah yang kalah.
2. Kajian Empiris
Beberapa hasil penelitian yang mendukung pada penelitian ini
diantaranya adalah:
a. Penelitian yang dilakukan oleh Sari (2011) dengan judul “Efektivitas
Penggunaan Kartu Domiro dalam Pembelajaran Bilangan Romawi
terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV di SD Negeri
Dabin Barat Bantarkawung Brebes”. Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa kelas IV SD Negeri Jipang 01 dan SD Negeri Jipang 02
tahun ajaran 2010/2011 dengan jemlah seluruhnya 70 siswa. Sampel
penelitian ini sebanyak 64 siswa yang terbagi ke dalam kelompok
eksperimen sebanyak 28 siswa dan kelompok kontrol sebanyak 28
siswa. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Posttest-
Only Control Design.

Pengujian hipotesis yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian


25

tersebut menggunakan uji Mann-Whitney. Berdasarkan hasil uji


Mann-Whitney menggunakan SPSS 17 nilai signifikasi diperoleh α =
0,001. Nilai signifiksi yang diperoleh 0,001 < 0,05, maka H0 ditolak.
Dari hasil tersebut dapat disimpulakn bahwa ada perbedaan rerata
hasil belajar antara siswa yang menggunakan media kartu Domiro
dengan siswa yang menerapkan pembelajaran konvensional. Rerata
hasil belajar siswa yang menggunakan media permainan kartu Domiro
adalah 91,14, sedangkan rerata hasil belajar siswa yang menggunakan
pembelajaran konvensional adalah 81,83. Rerata aktivitas belajar
siswa sebelum penelitian adalah 53,75%, sedangkan setelah penelitian
reratanya menjadi 70,1%. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas
belajar siswa yang menggunakan media pembelajaran kartu Domiro
meningkat.
b. Penelitian yang dilakukan oleh Hestuaji, Suwarto WA, Riyadi (2012)
dengan judul “Pengaruh Media Kartu Domino terhadap Pemahaman
Konsep Pecahan”. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
perbedaan hasil belajar Matematika materi pecahan antara yang
menggunakan media kartu domino dengan media gambar diam.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimental semu (Quasi
experimental research). Teknik pengambilan sampel dilakukan secara
Cluster Random Sampling. Sampel pada penelitian ini berjumlah 77
siswa, 22 siswa sebagai kelompok uji coba instrumen, 22 siswa
sebagai kelompok eksperimen yang diajar dengan media kartu
domino, 33 siswa sebagai kelompok kontrol yang diajar dengan media
gambar diam.Berdasarkan analisis data hasil penelitian diperoleh skor
thitung > ttabel (4,535 > 1.675), sehingga H0 ditolak. Hal ini berarti ada
perbedaan hasil belajar yang diajar dengan menggunakan media kartu
domino dan media gambar diam. Simpulan penelitian ini adalah hasil
belajar matematika siswa dengan menggunakan media kartu domino
lebih baik dibanding menggunakan media gambar diam.
26

3. Kerangka Berpikir

Guru dituntut
Pelajaran Matematika Aktivitas dan hasil meningkatkan aktivitas
adalah salah satu belajar siswa rendah dan hasil belajar
pelajaran yang sulit matematika siswa

Aktivitas dan hasil Penggunaan Media Perlunya sarana yang


belajar dalam Kartu Pecahan mendukung
pembelajaran peningkatan aktivitas
matematika meningkat dan hasil belajar siswa

Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di


sekolah dasar. Bagi siswa SD, matematika dikategorikan sebagai pelajaran
yang membingungkan dan menakutkan. Guru dalam hal ini dituntut untuk
menyampaikan pelajaran matematika yang dapat dengan mudah dipahami
siswa. Selain itu guru juga dituntut membuat pelajaran matematika
menjadi meyenangkan dan tidak lagi menjadi hal yang menakutkan untuk
siswa.
Dalam usaha meningkatkan keberhasilan pembelajaran matematika
perlu dukungan dari semua komponen pembelajaran yang ada. Guru harus
menguasai materi, strategi/metode pembelajaran yang tepat, pengelolaan
kelas, penggunaan media pembelajaran yang relevan dan adanya sarana
prasarana sekolah yang menunjang.
Siswa usia sekolah dasar pada umumnya masih senang bermain
dan berkelompok. Penggunaan Kartu Pecahan dapat digunakan dalam
pembelajaran matematika materi pecahan dapat membantu siswa belajar
matematika dengan lebih menyenangkan. Hal ini juga dapat membantu
meningkatkan hasil belajar matematika.
4. Hipotesis
Rumusan hipotesis yang diajukan yaitu :
a. Hipotesis Tindakan
Dengan menggunakanKartu Pecahan dalam pembelajaran Matematika
materi pokok Pecahan, akan terjadi peningkataan aktivitas belajar
27

siswa.
b. Hipotesis Penelitian
H0 : Tidak terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada kelas yang
menggunakan KartuPecahandengan kelas yang tidak.
H0:µ1 = µ2 (tidak ada beda)

Ha : Terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada kelas yang


menggunakan Kartu Pecahandengan kelas yang tidak.
H0:µ1 ≠µ2 (berbeda)

G. Metodologi Penelitian
1. Populasi dan Sampel
a. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas:
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2012: 119). Populasi bukan hanya orang
tetapi bisa juga berupa benda atau objek yang lainnya. Populasi juga
bukan sekedar jumlah yang ada pada subyek/obyek yang dipelajari
tetapi juga meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh
subyek/obyek itu.
Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas IV SD Negeri
Kejambon 4 Kota Tegal yang berjumlah 26 siswa sebagai kelas
eksperimen dan siswa kelas IV SD Negeri Kejmbon 10 Kota Tegal
yang berjumlah 35 siswa sebagai kelas kontrol atau kelas pembanding.
b. Sampel
Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2012: 120). Dalam
penelitian ini, sampel diambil dengan menggunakan teknik sampling
jenuh. Sampling jenuh ialah teknik penentuan sampel bila semua
28

anggota populasi digunakan sebagai sampel dan dikenal dengan istilah


sensus (Sugiyono, 2012: 126). Oleh karena itu, seluruh siswa kelas IV
akan dijadikan sebagai sampel penelitian.
2. Variabel Penelitian
Variabel penelitian merupakan suatu atribut atau sifat atau nilai dari
orang, obyek, atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono 2012: 64). Variabel-variabel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Variabel Terikat
Variabel terikat merupakan variabel yang dipengaruhi oleh variabel
lain. Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu hasil belajar siswa dan
aktivitas belajar siswa kelas IV SD Negeri Kejambon 4 Kota Tegal
setelah digunakan media pembelajaran Kartu Pecahan.
b. Variabel Bebas
Variabel bebas merupakan variabel yang tidak dipengaruhi oleh
variabel lain. Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu media
pembelajaran Kartu Pecahanyang digunakan dalam mengajarkan
materi pokok Pecahan.
3. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara Tidak Terstruktur (Wawancara Terbuka)
Wawancara tidak terstruktur merupakan jenis wawancara
bebas yang dilaksanakan tanpa menggunakan pedoman yang sudah
tersusun secara sistematis. Pedoman dari wawancara ini hanya garis
besar permasalahan yang akan ditanyakan. Dalam wawancara tidak
terstruktur ini, responden bebas memberikan jawaban. Melalui
wawancara ini, peneliti mendapatkan berbagai informasi sehingga
dapat menentukan permasalahan atau variabel apa yang harus
diteliti.Selain itu wawancara ini dapat digunakan bila peneliti ingin
mengetahui penyebab hambatan yang terjadi selama penelitian dan
29

akan mencari solusinya.


b. Dokumentasi
Dokumentasi ditunjukkan untuk memperoleh data langsung
dari tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan, peraturan-
peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, film dokumenter, dan data
penelitian yang relevan (Riduwan 2008: 77).Peneliti melengkapi data
dengan foto, video, surat izin penelitian, dan lain-lain, untuk
membuktikan bahwa penelitian ini benar-benar dilaksanakan oleh
peneliti.
c. Tes
Teknik tes digunakan untuk mengetahui data hasil belajar
siswa kelas IV SD Negeri Kejambon 4 pada materi pokok Pecahan.
Tes tersebut dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
Prosedur tes : pretes dan postes
Jenis tes : tertulis
Bentuk tes : pilihan ganda
d. Observasi
Observasi yaitu melakukan pengamatan secara langsung ke
objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan
(Riduwan 2008: 76).Observasi akan dilaksanakan ketika pembelajaran
sedang berlangsung. Pada penelitian ini, peneliti meggunakan
observasi nonpartisipan. Menurut Sugiyono (2012: 197), kalau dalam
observasi partisipan, peneliti terlibat langsung dengan aktivitas orang-
orang yang sedang diamati, maka dalam observasi nonpartisipan,
peneliti tidak terlibat dan hanya sebagai pengamat.
Observasi dilakukan oleh guru kelas IV dan peneliti yang
mengamati aktivitas belajar siswa dalam pembelajaran matematika
materi pecahan menggunakan Kartu Pecahan. Selain itu, aktivitas
peneliti dalam pembelajaran juga akan diamati oleh guru kelas
IV.Lembar observasi digunakan untuk mengetahui aktivitas guru dan
30

belajar siswa pada kelompok eksperimen.


4. Instrumen Penelitian
Menurut Sugiyono (2009: 148) instrumen penelitian adalah “suatu
alat yang digunakan mengukur fenomena alam maupun sosial yang
diamati”. Instrumen penelitian yang akan digunakan oleh peneliti adalah
instumen tes dan nontes.
a. Validitas Tes
Validitas berkenaan dengan ketetapan alat penilaian tehadap
konsep yang dinilai sehingga benar-benar menilai apa yang
seharusnya dinilai (Sudjana, 2009: 12). Untuk mengukur validitas soal
tes yang nantinya akan digunakan dalam penelitian, penulis
menggunakan rumus korelasi momen produk (product moment) atau
metode “Pearson”. Rumus yang digunakan (Sudjana, 2009: 144):

∑ XY − ∑ N∑
( X )( Y )
r=
(∑ X ) (∑ Y )
[∑ ][∑ ]
2 2

X 2− Y−
N N

b. Reliabilitas Tes
Untuk mengetahui reliabilitas perangkat tes soal pilihan ganda,
digunakan rumus KR-21 sebagai berikut:
̅)
Kσx 2 -X (K-X
rxx =
σx 2 (K-1)
Keterangan :
rxx = reabilitas tes secara keseluruhan
K = jumlah butir soal dalam tes
σx2 = variasi skor
𝑋̅ = skor rata-rata (mean score)
(Sudjana 2010: 19)
Besar rxx dikonsultasikan dengan harga kritik product moment dengan
menggunakan taraf signifikansi (α) = 5%. Jika rxx> rtabel, maka
31

perangkat tes dapat dikatakan reliabel.


c. Taraf Kesukaran
Untuk mengetahui taraf kesukaran soal digunakan rumus:
B
I=
N

I =indeks/taraf kesukaran untuk tiap soal


B = banyaknya siswa yang menjawab benar setiap butir soal
N = banyaknya siswa yang memberikan jawaban pada soal yang
dimaksud
Kriteria yang digunakan adalah semakin kecil indeks yang
diperoleh, makin sulit soal tersebut, dan sebaliknya. Kriteria indeks
kesulitan soal yakni sebagai berikut:
0 - 0,30 = soal kategori sukar
0,31 - 0,70 = soal kategori sedang
0,71 - 1,00 = soal kategori mudah
(Sudjana, 2009: 137)
d. Daya Pembeda
Daya pembeda soal menurut Arikunto (2012) adalah
kemampuan sesuatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai
(berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan
rendah). Rumus yang digunakan yaitu:
BA BB
D= − = PA − PB
JA JB
Keterangan:
J = jumlah peserta tes
JA = banyaknya peserta kelompok atas
JB = banyaknya peserta kelompok bawah
BA = banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan
benar
BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu
32

dengan benar
PA = proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
PB = proporsi peserta kelompok bawah yang menajwab benar
5. Desain Penelitian
Bentuk penelitian yang akan dilaksanakan adalah Quasi
Experimental. Menurut Sugiyono (2012: 116) bentuk desain eksperimen
ini mempunyai kelompok kontrol tetapi tidak dapat berfungsi sepenuhnya
untuk mengontrol variabel-variabel luar yang mempengaruhi pelaksanaan
eksperimen. Bentuk desain penelitian dari Quasi Experimental yang akan
digunakan peneliti adalah Nonequivalent Control Group Design dengan
paradigma sebagai berikut:
O1X O2

O3 O4

Pada desain ini kelompok eksperimen (yang diberi perlakuan) dan


kontrol (yang tidak diberi perlakuan) tidak dipilih secara random. Kedua
kelompok tersebut diberi pretest untuk mengetahui ada atau tidaknya
perbedaan antara kelompok eksperimen dan kontrol dalam keadaan awal.
6. Metode Analisis Data
a. Deskripsi Data
Penelitian yang dilaksanakan merupakan penelitian
eksperimen untuk menguji apakahKartu Pecahandapat meningkatkan
aktivitas dan hasil belajar siswa. Data yang digunakan yaitu data hasil
belajar IV SD Negeri Kejambon 4 sebagai kelas eksperimen dan siswa
kelas IV SD Negeri Kejambon 10 sebagai kelas kontrol pada materi
pokok Pecahan Senilai.
b. Uji Prasyarat Analisis
Uji prasyarat analisis data dalam penelitian ini, baik untuk
menguji normalitas data dan homogenitas data akan diolah
menggunakan program SPSS versi 19. Normalitas data akan diuji
33

melalui uji Liliefors, sedangkan uji homogenitas data akan diuji


menggunakan metode uji independent sample t test.
c. Analisis Akhir (Pengujian Hipotesis)
Analisis akhir merupakan analisis yang digunakan untuk
menyimpulkan hasil penelitian. Berdasarkan rumusan hipotesis di atas,
disebutkan bahwa ada atau tidak adanya perbedaan hasil belajar antara
kelas eksperimen dan kelas kontrol setelah adanya perlakuan
penggunaan Kartu Pecahan pada kelas eksperimen. Oleh sebab itu,
analisis untuk menguji hipotesis tersebut yaitu analisis komparatif. Jika
data hasil belajar siswa kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
berdistribusi normal, komparatif dua sampel, serta bentuk datanya
interval/rasio maka dalam menguji hipotesisnya menggunakan uji
statistik independent sample t tes. Jika data hasil belajar siswa
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol berdistribusi tidak
normal, maka uji tesnya yaitu U Mann Whitney Test (U test).
Untuk hipotesistindakan, akan dilakukan dengan
membandingkan data hasil observasi terhadap akivitas siswa pada
kelas eksperimen dengan indikator yang telah ditetapkan.
Sistematika Skripsi
Skripsi ini terdiri dari tiga bagian, meliputi:
a. Bagian Awal
Bagian awal skripsi terdiri dari: motto penulis, persembahan,
pengesahan, kata pengantar, dan daftar isi.
b. Bagian Isi
Bagian isi terdiri dari lima bab, Bab I meliputi pendahuluan, latar
belakang, identifikasi masalah, pembatas;an masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian.
Bab II berisi landasan teori, kerangka berpikir, dan
hipotesis.Landasan teori memuat tentang pendidikan; belajar,
mengajar, dan pembelajaran; aktivitas belajar; hasil belajar;
34

karakteristik siswa sekolah dasar; matematika di sekolah dasar; teori


belajar matematika; model kooperatif; metode make a match;media
pembelajaran; dan media pembelajaran Kartu Pecahan.
Bab III berisi tentang metodologi peneltian yang meliputi variabel
penelitian, populasi, sampel, dan analisis data. Bab IV berisi hasil
penelitian dan pembahasan sedangkan bab V berisi penutup, simpulan,
dan saran.
c. Bagian Akhir
Bagian akhir berisi daftar pustaka dan lampiran data-data
penelitian.
35

DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Nyimas, dkk. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika. Jakarta:


Depdiknas.

Arikunto, Suharsimi. 2012. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan: Edisi 2. Jakarta:


Bumi Aksara.

Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press.

Badan Standar Nasional Pendidikan.2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan


Dasar dan Menengah. Jakarta: Depdiknas.

_____. 2007. Peraturan Menteri Pendidikan Republik Indonesia Nomor 41 tahun


2007 tentang Standar Proses. Jakarta: Depdiknas.

Çubukçu, Zühal. 2012. Teachers’ Evaluation of Student-Centered Learning


Environments. Gale Education, Religion and Humanities Lite Package.
133/1: 49-66.

Ediger, Marlow. 2012. Quality Teaching in Mathematics. Gale Education,


Religion and Humanities Lite Package. 133/2: 235-38.

Fathani, Abdul Halim. 2009. Matematika: Hakikat & Logika. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media

Hanafiah dan Cucu Suhana. 2010. Konsep Strategi Pembelajaran.Bandung:


Refika Aditama.

Heruman. 2012. Media Pembelajaran Matematika. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya

Hestuaji, Y., Suwarto WA, dan Riyadi.2012. Pengaruh Media Kartu Domino
terhadap Pemahaman Konsep Pecahan. Online:
http://jurnal.fkip.uns.ac.id/index.php/pgsdsolo/article/download/602/292
(diakses 19/2/12)

Ibrahim dan Suparni. 2012. Pembelajaran Matematika: Teori dan Aplikasinya.


Yogyakarta: SUKA-Press.

Kurnia, Inggridwati, dkk. 2007. Perkembangan Belajar Peserta Didik. Jarata:


Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Lie, Anita. 2012. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning


di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: PT. Gramedia.
36

Muhsetyo, Gatot, dkk. 2010. Pembelajaran Matematika SD. Jakarta: Universitas


Terbuka.

Munib, Achmad, dkk. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: UNNES


Press.

Peratutan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar


Nasional Pendidikan.

Pitajeng. 2006. Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan. Jakarta:


Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan Departemen
Pendidikan Nasional.

Prihandoko, Antonius Cahya. 2006. Pemahaman dan Penyajian Konsep


Matematika Secara Benar dan Menarik. Jakarta: Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan Departemen Pendidikan Nasional.

Qudsy, Saifuddin Zuhri dan Achmad Fawaid. 2012. Cooperative Learning:


Metode, Teknik, Struktur dan Model Penerapan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Riduwan.2008. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan, dan Peneliti


Pemula. Bandung: Alfabeta.

Riduwan. 2010. Dasar-dasar Statistika. Bandung: Alfabeta.

Rifa’i, Achmad dan Cahatarina Tri Anni. 2011. Psikologi Pendidikan. Semarang:
UNNES Press.

Sari, Panitia. 2011. Efektivitas Penggunaan Kartu Domiro dalam Pembelajaran


Bilangan Romawi terhadap Aktivitas dan Hasil Belajar Siswa Kelas IV di
SD Negeri Dabin Barat Bantarkawung Brebes. Skripsi Universitas Negeri
Semarang.

Siddiq, M Jouhar, dkk.2008. Pengembangan Bahan Pembelajaran SD. Direktorat


Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Slameto. 2010. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi. Jakarta: Rineka


Cipta.

Soeparwoto, dkk. 2006. Psikologi Perkembangan. Semarang: UNNES Press.

Sudjana, Nana. 2009. Penilaian dan Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung:


37

Alfabeta.

Sumantri, Mulyani dan Nana Syaodih. 2009. Perkembangan Peserta Didik.


Jakarta: Universitas Terbuka.

Suprijono, Agus. 2012. Cooperative Learning: Teori & Aplikasi PAIKEM.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem


Pendidikan Nasional.

W., Murti A. 2011. Penggunaan Model Make a Match Domino (Makado)


Meningkatkan Aktivitas dan Hasil Belajar. Oktadika, 2. 17-22.

Anda mungkin juga menyukai