Anda di halaman 1dari 4

Komunikasi merupakan bagian penting dalam kegiatan manusia.

Permendikbud Nomor 21
tahun 2016 tentang standar isi kurikulum 2013 menyatakan bahwa kompetensi yang ditagih dalam
kegiatan belajar mengajar meliputi tiga ranah yaitu sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Salah
satu kegiatan belajar mengajar yang harus dimiliki siswa adalah mampu menguasai keterampilan
komunikasi dengan baik. Sehubungan dengan itu, kurikulum 2013 juga menjelaskan bahwa untuk
menghadapi tantangan era globalisasi dimasa yang akan datang dan masalah lainnya dibutuhkan
beberapa kompetensi, satu diantaranya yaitu kemampuan komunikasi.
Dalam dunia pendidikan, komunikasi adalah hal yang sangat penting, khususnya dalam
pembelajaran matematika. Pelajaran matematika tidak hanya menjadi alat berfikir yang membantu
siswa untuk mengembangkan pola, menyelesaikan masalah dan menarik kesimpulan, tetapi juga
sebagai alat untuk mengomunikasikan pikiran, ide dan gagasan secara jelas, tepat dan singkat.
Berdasarkan Kurikulum 2013 Lampiran 3 Permendikbud No. 58 (Kemendikbud, 2014),
salah satu tujuan yang akan dicapai melalui pembelajaran matematika yaitu agar siswa dapat
mengomunikasikan gagasan, penalaran dan mampu menyusun bukti matematika dengan
menggunakan kalimat yang lengkap, simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah.
Menurut New York State Board (NYS Board, 2005) bahwa komunikasi matematika siswa
dalam pembelajaran matematika akan mendapatkan pemahaman matematika yang lebih baik dan
memiliki ingatan yang lebih lama tentang pengetahuan matematika saat mereka memecahkan
masalah, memberikan alasan matematika, membuktikan hubungan matematika, berpartisipasi
dalam wacana matematika (komunikasi matematis), membuat koneksi matematika, dan model
yang mewakili ide-ide dan matematika dalam berbagai cara. Oleh karena itu, guru harus
mengarahkan siswa untuk mengomunikasikan ide matematikanya. Untuk mengetahui komunikasi
matematika, maka diperlukan petunjuk atau indikator yang dapat menentukan apakah informasi
yang diberikan akurat, lengkap, dan lancar.
Terdapat dua komunikasi matematika yang diungkapkan Dewi (2009, 21) yaitu
komunikasi matematika lisan dan komunikasi matematika tulis. Komunikasi matematika lisan
adalah proses penyampaian ide atau pikiran matematika yang diwujudkan dalam bentuk kata-kata,
sedangkan komunikasi matematika tulis adalah proses penyampaian ide atau pikiran matematika
yang diwujudkan dalam bentuk tulisan. Terdapat beberapa perbedaan antara komunikasi tulis dan
komunikasi lisan, salah satunya adalah seseorang apabila melakukan kesalahan dalam berbicara,
hal tersebut dalam bahasa lisan dianggap biasa saja. Akan tetapi apabila dalam komunikasi tulis
terjadi kesalahan maka tulisan tersebut dianggap jelek. Selain itu, seseorang dapat memilih kata
yang akan diucapkan secara tepat dalam komunikasi lisan. Sedangkan komunikasi tulis, seseorang
menyusun kalimat setelah melalui beberapa pertimbangan bahkan mungkin saja setelah
melakukan koreksi terhadap kata atau kalimat yang digunakan.
Menurut American Education Reaches Out (AERO, 2011) kemampuan untuk
mengungkapkan pikiran dan menjelaskan suatu solusi secara tertulis harus menjadi fokus utama
dalam kurikulum matematika. Dalam matematika menulis dapat meningkatkan pemahaman
matematika siswa dalam merefleksikan pengetahuan dan pikiran mereka (Hayyih, 2006). Dalam
penelitian ini komunikasi matematika tulis adalah proses penyampaian pesan atau informasi yang
jelas dan mudah dipahami oleh orang lain dalam bentuk tulis.
Ozdemir dan Reis (2013) mengatakan bahwa salah satu alat matematika yang paling
penting adalah pemecahan masalah. Tanpa adanya pemecahan masalah dalam matematika,
kegunaan dan kekuatan ide-ide matematika, pengetahuan, dan keterampilan sangat terbatas.
Keterkaitan antara komunikasi matematika dengan pemecahan masalah menurut Scheidear dan
Saunder (dalam Dewi, 2009) adalah siswa menyelesaikan masalah yang diberikan kemudian
mengomunikasikan hasil pemikirannya kepada orang lain. Jadi untuk mengomunikasikan
pemecahan masalah dengan baik, maka diperlukan komunikasi matematika yang baik.
Polya (1973) menyatakan bahwa langkah-langkah dalam pemecahan masalah terdiri dari 4
(empat) langkah, yaitu: (1) Understanding the problem/memahami masalah, (2) Devising a
plane/membuat rencana penyelesaian, (3) Carrying out the plane/menyelesaikan rencana
penyelesain, dan (4) Looking back/memeriksa kembali. Dari beberapa pendapat diatas maka
menurut peneliti pemecahan masalah matematika adalah proses menemukan solusi untuk
mengatasi masalah matematika dalam mencapai tujuan dengan menggunakan pengetahuan dan
keterampilan yang dimilikinya.
Adapun indikator komunikasi matematika tulis dalam pemecahan masalah yang diteliti
dalam penelitian ini adalah keakuratan, kelengkapan, dan kelancaran yang diadaptasi dari
penelitian Dewi (2009).
Setiap siswa pasti memiliki perbedaan dalam cara mengomunikasikan informasi yang
didapat selama proses pembelajaran matematika. Perbedaan tersebut memperlihatkan suatu ciri
khas atau karakteristik. Menurut Rahyubi (2012) untuk meraih tujuan yang akan dicapai dalam
suatu pembelajaran, guru perlu mempertimbangkan karakteristik siswa yang khas, beragam, dan
unik. Hal tersebut difokuskan agar dapat membantu guru dan siswa dalam perbaikan dan
pengembangan pembelajaran matematika. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan
munculnya karakteristik siswa, salah satunya adalah gaya kognitif. Selain itu, dalam pemecahan
masalah siswa juga mempunyai cara yang khas yang tidak lepas dari bagaimana cara siswa belajar.
Cara siswa belajar yang khas baik berkaitan dengan cara penerimaan dan pengetahuan informasi,
sikap terhadap informasi maupun kebiasaan yang berkaitan dengan lingkungan belajar disebut
gaya kognitif (Uno, 2008). Dalam hal ini, Susan & Collinson (2005) berpendapat bahwa strategi
dalam memecahkan masalah dipengaruhi oleh gaya kognitif.
Permasalahan yang terjadi adalah guru masih menganggap siswa memiliki kemampuan
yang sama dalam memecahkan masalah dan menerima pelajaran matematika. Dalam pembelajaran
matematika guru belum memperhatikan gaya kognitif siswa. Rostampour dan Niroomand
(2014:52) menyatakan bahwa “guru harus memahami perbedaan individu sebagai pertimbangan
sehingga dapat mengadopsi dan menerapkan metode pembelajaran yang sesuai dengan gaya
kognitif yang dimiliki siswa”.
Menurut Witkin (1977) gaya kognitif sebagai respon yang dimunculkan seseorang yang
berhubungan dengan perbedaan pendekatan karakteristik persepsi dan intelektual seseorang yang
membawanya untuk merespon situasi yang dihadapi. Gaya kognitif dapat dibedakan menjadi
beberapa cara, salah satunya yaitu mengidentifikasi dan mengelompokkan berdasarkan kontinum
global analitik (Witkin, 1977). Berdasarkan hal tersebut, gaya kognitif dibagi menjadi gaya
kognitif field dependent dan gaya kognitif field independent.
Gaya kognitif yang digunakan dalam penelitian ini adalah gaya kognitif field dependent
dan gaya kognitif field independent. Wooldridge (2006) berpendapat bahwa individu yang
memiliki gaya kognitif field independent dalam menanggapi stimulus memiliki kecenderungan
menggunakan persepsi yang dimilikinya sendiri dan lebih analisis. Individu yang memiliki gaya
kognitif field dependent dalam menanggapi stimulus memiliki kecenderungan memandang suatu
pola sebagai suatu keseluruhan atau global dan cenderung menggunakan isyarat lingkungan
sebagai dasar dalam persepsinya, serta tidak memisahkan bagian-bagiannya. Jika mengerjakan
tugas atau menyelesaikan suatu soal, maka individu yang memiliki gaya kognitif field independent
akan bekerja lebih baik jika diberikan kebebasan. Sedangkan individu yang memiliki gaya kognitif
field dependent akan bekerja lebih baik jika diberikan petunjuk atau bimbingan secara ekstra.
Berdasarkan penelitian Arifin et al. (2015) menunjukkan bahwa “siswa dengan gaya
kognitif FI memiliki respon pemecahan masalah matematika yang lebih kompleks dibandingkan
dengan siswa yang gaya kognitif FD yang cara pengerjaannya lebih umum”. Adapun penelitian
relevan selanjutnya oleh Achir, dkk (2017) memperoleh kesimpulan bahwa siswa dengan gaya
kognitif FD memiliki kemampuan komunikasi matematika tulis termasuk dalam kategori rendah-
sedang, sedangkan siswa dengan gaya kognitif FI memiliki kemampuan komunikasi matematika
tulis termasuk dalam kategori tinggi-sangat tinggi.
Dari uraian di atas, maka dimungkinkan adanya perbedaan komunikasi matematis dalam
menyelesaikan soal dengan gaya kognitif masing-masing siswa. Maka dari itu, peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Profil Komunikasi Matematika Tulis Siswa dalam
Pemecahan Masalah Matematika Berdasarkan Gaya Kognitif Field Dependent dan Field
Independent”.

Anda mungkin juga menyukai