Anda di halaman 1dari 18

1

A. JUDUL
Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis Peserta didik
Melalui Model Kooperatif Tipe Time Token (Penelitian Tindakan Kelas Pada Peserta
didik Kelas VII-A MTS Plus Darul Hufadz Kec.Jatinangor Kab.Sumedang pada Materi
Pokok Peluang)

B. LATAR BELAKANG MASALAH
Kemampuan berkomunikasi dengan orang lain merupakan salah satu kunci
kesuksesan dari seseorang. Orang yang tidak pernah menjalin komunikasi
dengan orang lain niscaya akan terisolasi dari masyarakatnya. Begitu pula dalam
proses pembelajaran, apabila peserta didik tidak mampu menjalin komunikasi
dengan sesama peserta didik ataupun dengan gurunya maka proses
pembelajaran kurang dapat berlangsung dengan baik. Hal ini menunjukkan
bahwa kemampuan untuk berkomunikasi merupakan komponen yang penting
dalam proses pembelajaran tak terkecuali dalam pembelajaran matematika.
Berdasarkan Principles & Standards for School Mathematics (NCTM, 2000: 29),
disebutkan bahwa standar proses dalam pembelajaran matematika meliputi
kemampuan pemecahan masalah (problem solving), kemampuan penalaran
(reasoning), kemampuan komunikasi (communication), kemampuan membuat
koneksi (connection), dan kemampuan representasi (representation). Saat
seorang peserta didik memperoleh informasi berupa konsep matematika yang
diberikan guru maupun yang diperoleh dari bacaan, maka saat itu terjadi
transformasi informasi matematika dari sumber kepada peserta didik tersebut.
Peserta didik akan memberikan respon berdasarkan interpretasinya terhadap
informasi tersebut. Namun, karena karakteristik matematika yang sarat dengan
istilah dan simbol, maka tidak jarang ada peserta didik yang mampu memahaminya
dengan baik tetapi tidak mengerti apa maksud dari informasi tersebut. Oleh
karenanya kemampuan komunikasi matematis perlu dikembangkan dalam diri
peserta didik. Komunikasi matematis merupakan kecakapan peserta didik dalam
2

mengungkapkan ide-ide matematika secara lisan, tertulis, gambar, diagram,
menggunakan benda nyata, atau menggunakan simbol matematika. Peserta didik
yang memiliki kemampuan untuk mengkomunikasikan ide atau gagasan
matematisnya dengan baik cenderung mempunyai pemahaman yang baik
terhadap konsep yang dipelajari dan mampu memecahkan permasalahan yang
berkaitan dengan konsep yang dipelajari. (NCTM, 2000: 61).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006
disebutkan bahwa pembelajaran matematika bertujuan agar peserta didik
memiliki kemampuan sebagai berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan
mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan
gagasan dan pernyataan matematika.
3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
4. Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain
untuk memperjelas keadaan atau masalah.
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu
memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Depdiknas (2006:
416-417)
Sesuai dengan tujuan pembelajaran matematika poin keempat, jelas
bahwa komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan penting yang
harus dikembangkan dalam diri peserta didik. Namun kenyataannya, data dari
Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) menunjukkan
bahwa penekanan pembelajaran matematika di Indonesia lebih banyak pada
3

penguasaan keterampilan dasar, hanya sedikit sekali penekanan penerapan
matematika dalam konteks kehidupan sehari-hari, berkomunikasi secara
matematis, dan bernalar secara matematis. Selanjutnya, hasil penelitian Tim
Pusat Pengembangan Penataran Guru Matematika juga mengungkapkan bahwa di
beberapa wilayah Indonesia yang berbeda, sebagian besar peserta didik kesulitan
dalam menyelesaikan soal-soal pemecahan masalah dan menerjemahkan soal
kehidupan sehari-hari ke dalam model matematika (Fadjar Shadiq, 2007: 2-3).
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah
matematis peserta didik Indonesia masih kurang baik.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis menentukan judul skripsi ini
sebagai berikut : Upaya Meningkatkan Kemampuan Komunikasi Matematis
Peserta didik Melalui Model Kooperatif Tipe Time Token
(Penelitian Tindakan Kelas Pada Peserta didik Kelas VII-A MTS Plus Darul Hufadz
Kec.Jatinangor Kab.Sumedang pada Materi Pokok Peluang).


C. PERUMUSAN MASALAH DAN PEMBATASAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dikemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
- Adakah peningkatan Kemampuan Komunikasi Matematis Peserta didik Kelas VII-A
MTs Plus Darul Hufadz Kec.Jatinangor Kab.Sumedang Tahun Ajaran 2014/2015
pada Materi Pokok Peluang Melalui Model Kooperatif Tipe Time Token?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan dari penelitian
ini adalah untuk mengetahui apakah proses pelaksanaan Model Kooperatif Tipe
Time Token dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik
4

kelas Kelas VII-A MTS Plus Darul Hufadz Kec.Jatinangor Kab.Sumedang Tahun
Ajaran 2014/2015 pada Materi Pokok Peluang.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Mengembangkan kemampuan komunikasi matematis peserta didik.
b. Meningkatkan peran aktif peserta didik dalam proses pembelajaran.
c. Mensosialisasikan salah satu model pembelajaran kooperatif yaitu Time Token
yang dapat digunakan guru sebagai salah satu alternatif untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi matematis peserta didik.
d. Memberikan pengalaman bagi peneliti dan guru mengenai hasil dari
pelaksanaan model pembelajaran Time Token untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi matematis peserta didik.
e. Memberikan kesempatan bagi peneliti untuk melihat secara langsung masalah-
masalah yang dihadapi peserta didik dalam proses pembelajaran matematika.

E. ANGGAPAN DASAR
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti mempunyai anggapan
dasar sebagai berikut.
1. Guru mampu mengimplementasikan penggunaan model kooperatif tipe Time Token
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematis pada peserta didik.
2. Model kooperatif tipe Time Token cocok digunakan untuk meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis pada peserta didik.

F. TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Belajar
Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau
potensi perilaku sebagai hasil dari pengalaman atau latihan yang diperkuat. Belajar
merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon.
[1]
Seseorang
5

dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya.
Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus
dan output yang berupa respon.
Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada pelajar, sedangkan respons
berupa reaksi atau tanggapan pelajar terhadap stimulus yang diberikan oleh guru
tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk
diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur, yang dapat diamati
adalah stimulus dan respons, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru
(stimulus) dan apa yang diterima oleh pelajar (respons) harus dapat diamati dan
diukur.

2. Komunikasi Matematis
Kemampuan berkomunikasi dengan baik merupakan unsur penting dalam
meraih kesuksesan. Tidak dapat dipungkiri bahwa komunikasi menyentuh
hampir setiap aspek kehidupan kita misalnya komunikasi di tempat kerja, di
rumah, dalam dunia politik, perniagaan, olahraga, hiburan, dan tentu saja
pendidikan. Richard Denny (2006: 6) mengungkapkan bahwa pendidikan pada
hakikatnya adalah komunikasi, bukan hanya mengenai fakta, tapi juga mengenai
pikiran dan usulan yang dapat menjadi dasar diskusi dan perdebatan. Komunikasi
memegang peranan penting dalam dunia pendidikan termasuk pendidikan
matematika. Eileen Depka (2007: 165) menyatakan bahwa komunikasi
merupakan unsur penting dalam matematika dan pembelajaran matematika,
karena komunikasi merupakan cara untuk menyalurkan ide-ide dan
merefleksikan pemahaman tentang matematika. Siswa yang memperoleh
kesempatan dan dorongan untuk berbicara, menulis, membaca, dan mendengarkan
dalam pembelajaran matematika mendapatkan dua hal sekaligus, yaitu
berkomunikasi untuk mempelajari matematika (communicate to learn
mathematics) dan belajar untuk berkomunikasi secara matematis (learn to
communicate mathematically) (NCTM, 2000: 60). Komunikasi matematis
6

merupakan suatu cara siswa untuk mengungkapkan ide-ide matematis baik
secara lisan, tertulis, gambar, diagram, menggunakan benda, menyajikan dalam
bentuk aljabar, atau menggunakan simbol matematika (NCTM, 2000: 60).
Dalam (Depdiknas, 2004: 24) juga disebutkan bahwa komunikasi matematis
merupakan kesanggupan/kecakapan siswa untuk menyatakan dan menafsirkan
gagasan matematis secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada
dalam persoalan matematika. Demikian pentingnya komunikasi matematis
dalam pembelajaran matematika ini, sehingga dalam Principles and Standards
for School Mathematics dari NCTM tahun 2000 disebutkan bahwa program-
program pembelajaran matematika dari pra-TK hingga kelas 12 hendaklah
memberikan kesempatan kepada seluruh siswa untuk:
a. Mengatur dan menggabungkan pemikiran matematis mereka
melalui komunikasi. Mengomunikasikan pemikiran matematis
mereka secara logis dan jelas kepada teman-teman, guru, dan
orang lain.
b. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran serta strategi-strategi
matematika orang lain.
c. Menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide-ide
matematis dengan tepat (Djamilah Bondan Widjajanti, 2010: 113-
114).
Jadi dapat disimpulkan bahwa komunikasi matematis merupakan
kecakapan siswa dalam menyampaikan ide-ide matematisnya baik secara lisan,
tertulis, gambar, diagram, menggunakan benda, menyajikan dalam bentuk
aljabar, atau menggunakan simbol matematika. Dengan memiliki kemampuan
komunikasi matematis matematis yang baik, siswa akan lebih mudah dalam
memahami konsep dan memecahkan permasalahan matematika. Untuk
mengetahui dan menilai kemampuan komunikasi matematis matematis dapat
dilihat dari beberapa aspek atau kegiatan siswa. Berdasarkan Principles and
Standards for School Mathematics dari NCTM tahun 2000 (Yonandi, 2010: 276)
7

kemampuan komunikasi matematis matematis siswa dapat dilihat dari beberapa
aspek berikut:
a. Kemampuan menyatakan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan,
serta menggambarkan secara visual. Kemampuan ini menekankan pada
kemampuan siswa dalam menjelaskan, menulis, maupun membuat
sketsa atau gambar tentang ide-ide matematis yang dimiliki untuk
menyelesaikan masalah. Siswa hendaknya diberi kesempatan untuk
berdiskusi bersama siswa lain untuk berbicara tentang matematika. Hal
ini sesuai dengan pendapat John A. Van de alle (2008: 4-5) yang
mengatakan bahwa diskusi antarsiswa akan dapat mengeksplorasi
ide-ide matematis dari berbagai sudut pandang siswa sehingga dapat
menambah pemahaman matematika mereka. Selain itu, mengubah
satu penyajian ke dalam bentuk penyajian lain seperti gambar
merupakan cara penting untuk menambah pemahaman terhadap suatu
ide karena dapat memperluas interpretasi nyata dari suatu soal.
b. Kemampuan menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide
matematis baik secara lisan maupun tertulis. Dalam Principles and
Standards for School Mathematics (NCTM, 2000: 271) disebutkan bahwa
Teachers should identify and use tasks that afford students
opportunities to interpret and justify mathematical ideas. Jadi
untuk aspek yang kedua ini meliputi dua kemampuan yaitu:
1) Kemampuan siswa dalam menginterpretasikan
(menafsirkan) ide-ide matematis yang terdapat dalam
persoalan matematika. Artinya siswa harus dapat
memahami dengan baik apa yang dimaksudkan dari suatu
soal dan dapat merumuskan kesimpulan dari masalah yang
diberikan. Siswa dapat saling bertukar ide mengenai
pokok permasalahan yang dimaksudkan dalam soal.
siswa juga dapat menuliskan informasi- informasi yang
8

terdapat dalam soal untuk memperjelas masalah dan
selanjutnya siswa akan dapat membuat kesimpulan yang
benar di akhir jawabannya.
2) Kemampuan siswa dalam mengevaluasi ide-ide
matematis tercantum dalam Principles and Standards for
School Mathematics (NCTM, 2000: 349) yaitu High
school students should be good critics and good self-
critics. Lebih lanjut Yackel dan Cobb (1996) dalam NCTM
(2000: 268) juga menyatakan bahwa Explanations
should include mathematical arguments and rationales,
not just procedural descriptions or summaries. Jadi
kemampuan ini menekankan pada kemampuan siswa
dalam menjelaskan dan memberikan alasan tentang benar
tidaknya suatu penyelesaian. Siswa harus dapat
mengungkapkan alasan untuk mempertahankan
penyelesaian yang dianggapnya benar, maupun dalam
menanggapi atau menyanggah penyelesaian yang
disampaikan orang lain.
c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, simbol-simbol
matematika, dan struktur-strukturnya untuk memodelkan situasi
atau permasalahan matematika. Menurut Widiarti dan Pamuntjak (1999:
1) pemodelan matematis adalah suatu cara untuk mendeskripsikan
beberapa fenomena kehidupan nyata dalam istilah matematika (secara
matematika). Selanjutnya dalam (NCTM, 2000: 349) disebutkan the
students should use mathematical language and symbols correctly and
appropriately. Jadi kemampuan ini menekankan pada kemampuan
siswa dalam melafalkan maupun menuliskan istilah-istilah, simbol-
simbol matematika, dan struktur -strukturnya dengan tepat untuk
memodelkan permasalahan matematika.
9

Pendapat lain yang hampir senada diungkapkan oleh Utari Sumarmo (2003:
A19-4) yang menyatakan bahwa indikator yang dapat mengungkapkan kemampuan
komunikasi matematis matematis antara lain:
a. Merefleksikan benda-benda nyata, gambar, dan diagram ke dalam ide
matematis.
b. Membuat model situasi atau persoalan menggunakan metode lisan,
tertulis, konkrit, grafik, dan aljabar.
c. Menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol
matematika.
d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.
e. Membaca dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis.
f. Membuat konjektur (dugaan), menyusun argumen, dan membuat
generalisasi.
Sementara itu Bansu Irianto Ansari (2003: A42-2) menelaah kemampuan
komunikasi matematis dari dua aspek yaitu komunikasi lisan (talking) dan
komunikasi tulisan (writing). Komunikasi lisan diungkap melalui intensitas
keterlibatan siswa dalam kelompok kecil selama berlangsungnya proses
pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan komunikasi tulisan (writing)
adalah kemampuan siswa menggunakan kosa kata (vocabulary), notasi, dan
struktur matematika untuk menyatakan hubungan dan gagasan serta
memahaminya dalam memecahkan masalah. Kemampuan komunikasi
matematis secara tertulis dapat diungkap melalui representasi matematis.
Representasi matematis siswa menurut Cai Jakabscin (Bansu Irianto Ansari, 2003)
diklasifikasikan dalam tiga kategori yaitu:
a. Pemunculan model konseptual, seperti gambar, diagram, tabel, dan
grafik (aspek drawing).
b. Membentuk model matematika (aspek mathematical expression).
c. Argumentasi verbal yang didasari pada analisis terhadap gambar
dan konsep-konsep formal (aspek written text).
10

Dari beberapa pendapat ahli di atas peneliti menyimpulkan bahwa
kemampuan komunikasi matematis siswa pada dasarnya dapat ditinjau dari
kemampuan komunikasi isan dan tulisan. Dalam penelitian ini aspek yang
digunakan untuk mengungkap kemampuan komunikasi matematis mengacu
pada pendapat NCTM karena dianggap lebih jelas dalam mendeskripsikan
setiap aspek-aspeknya. Aspek kemampuan komunikasi matematis matematis yang
akan diukur dalam penelitian ini meliputi:
a. Kemampuan menyatakan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, serta
menggambarkan secara visual.
b. Kemampuan menginterpretasikan dan mengevaluasi ide-ide matematis
baik secara lisan maupun tertulis.
c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, simbol-simbol
matematika, dan struktur-strukturnya untuk memodelkan situasi atau
permasalahan matematika.

3. Penelitian Tindakan Kelas
Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian praktis yang dimaksudkan
untuk memperbaiki pembelajaran di kelas. Penelitian ini merupakan salah satu
upaya guru atau praktisi dalam bentuk berbagai kegiatan yang dilakukan untuk
memperbaiki dan atau meningkatkan mutu pembelajaran di kelas.
Penelitian Tindakan Kelas (PTK) berkembang dari istilah penelitian
tindakan (action research) (Sanjaya, hal. 24). Oleh karena itu, untuk memahami
pengertian PTK perlu ditelusuri pengertian penelitian tindakan terlebih dahulu.
Penelitian tindakan mulai berkembang di Amerika dan berbagai negara di Eropa,
khususnya dikembangkan oleh mereka yang bergerak di bidang ilmu sosial dan
humaniora (Basrowi & Suwandi, hal. 24-25). Orang-orang yang bergerak di bidang
itu dituntut untuk terjun mempraktikkan suatu tindakan atau perlakuan di
lapangan. Mereka berarti langsung mempraktikkan tindakan yang telah
direncanakan dan mengukur kelayakan tindakan yang diberikan tersebut. Menurut
11

Kemmis (1988), penelitian tindakan adalah suatu bentuk penelitian reflektif dan
kolektif yang dilakukan peneliti dalam situasi sosial untuk meningkatkan penalaran
praktik sosial mereka (Sanjaya, hal. 24). Dalam hal ini, penelitian tindakan memiliki
kawasan yang lebih luas daripada PTK. Penelitian tindakan diterapkan di berbagai
bidang ilmu di luar pendidikan, misalnya dalam kegiatan praktik bidang kedokteran,
manajemen, dan industri (Basrowi & Suwandi, hal. 25). Bila penelitian tindakan
yang berkaitan pada bidang pendidikan dilaksanakan dalam kawasan sebuah kelas,
maka penelitian tindakan tindakan ini disebut PTK.
Tujuan PTK adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas
pembelajaran serta membantu memberdayakan guru dalam memecahkan masalah
pembelajaran di sekolah (Muslich, hal. 10). Menurut Suyanto (1997), tujuan PTK
adalah meningkatkan dan/atau memperbaiki praktik pembelajaran di sekolah,
meningkatkan relevansi pendidikan, meningkatkan mutu pendidikan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan (Basrowi & Suwandi, hal. 54).

4. Pengertian Model Kooperatif Tipe Time Token
Strategi pembelajaran Time Token merupakan salah satu contoh kecil dari
penerapan pembelajaran demokratis di sekolah (Arends, 1998). Proses
pembelajaran yang demokratis adalah proses belajar yang menempatkan siswa
sebagai subjek. Sepanjang proses belajar, aktivitas siswa menjadi titik perhatian
utama. Dengan kata lain mereka selalu dilibatkan secara aktif. Guru berperan
mengajak siswa mencari solusi bersama terhadap permasalahan yang ditemui.
Model ini digunakan untuk melatih dan mengembangkan keterampilan
sosial agar siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali. Guru
member sejumlah kupon berbicara dengan waktu 30 detik per kupon pada tiap
siswa. Sebelum berbicara, siswa menyerahkan kupon terlebih dahulu pada guru.
Satu kupon adalah untuk satu kesempatan berbicara. Siswa dapat tampil lagi
setelah bergiliran dengan siswa lainnya. Siswa yang telah habis kuponnya tak boleh
12

bicara lagi. Siswa yang masih memegang kupon harus bicara sampai semua
kuponnya habis.


5. Langkah-langkah Model Kooperatif Tipe Time Token
Adapun sintak dari strategi pembelajaran Time Token ini adalah sebagai
berikut.
Guru menjelaskan tujuan pembelajaran atau kompetensi dasar.
Guru mengondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi klasikal.
Guru member tugas pada siswa
Guru member sejumlah kupon berbicara dengan waktu 30 detik per kupon
pada tiap siswa.
Guru meminta siswa menyerahkan kupon terlebih dahulu sebelum berbicara
atau member komentar. Satu kupon untuk satu kesempatan berbicara. Siswa
dapat tampil lagi setelah bergiliran dengan siswa lainnya. Siswa yang telah habis
kuponnya tak boleh bicara lagi. Siswa yang masih memegang kupon harus
bicara sampai semua kuponnya habis. Demikian seterusnya hingga semua anak
berbicara.
Guru member sejumlah nilai berdasarkan waktu yang digunakan tiap siswa
dalam berbicara.


G. HIPOTESIS TINDAKAN
Hipotesis dalam penelitian tindakan ini adalah :
Dengan menerapkan Model Kooperatif Tipe Time Token dapat meningkatkan
kemampuan komunikasi matematis peserta didik Kelas VII-A MTS Plus Darul Hufadz
Kec.Jatinangor Kab.Sumedang Tahun Ajaran 2014/2015 pada materi pokok
Peluang

13

H. PENDEKATAN PENELITIAN
a. Pendekatan Kualitatif
1) Untuk mengetahui respon peserta didik terhadap strategi yang
diterapkan.
b. Pendekatan Kuantitatif
1) Tes untuk mengukur kemampuan peserta didik setelah dilakukan penelitian.

I. METODA PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Penelitian
Tindakan Kelas (PTK). Didalam bukunya hidayah ( 2013:6 ) Penelitian Tindakan Kelas
( PTK ) dikenal dengan istilah Classroom Actian Research.

J. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian adalah seluruh peserta didik VII-A MTS Plus Darul Hufadz
Kec.Jatinangor Kab.Sumedang tahun ajaran 2014/ 2015. Peneliti dibantu mitra guru
matematika sebagai observer.

K. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah observasi dan tes.
Instrumen yang digunakan adalah:
Observasi guru bertujuan untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran agar sesuai
dengan rencana pembelajaran yang telah dirumuskan.
Observasi peserta didik bertujuan untuk mengetahui aktivitas peserta didik pada
proses pembelajaran.
Hasil Observasi kemampuan komunikasi matematis peserta didik secara lisan
diperoleh dari lembar observasi aktivitas belajar matematika peserta didik yang di
isi oleh observer pada setiap pertemuan.
Jurnal harian peserta didik digunakan untuk mengetahui respon peserta didik
terhadap pembelajaran matematika dengan model pembelajaran tipe Inside
14

Outside Circle (IOC). Jurnal harian peserta didik ditulis peserta didik pada akhir
pertemuan.
Angket, penyebaran angket yang berisi beberapa pertanyaan tertulis untuk
mengetahui responden dengan alternatif jawaban yang telah disediakan.

L. TEKNIK PENGOLAHAN DATA
Hasil pengamatan observer digunakan untuk mengetahui aktivitas peserta
didik selama pelaksanaan kegiatan belajar mengajar dengan model pembelajaran
kooperatif tipe Time Token. Pada perhitungan aktivitas peserta didik mengunakan
skala Guttman. Skala Guttman ialah skala yang digunakan untuk jawaban yang
bersifat jelas (tegas) dan konsisten terhadap suatu permasalahan yang ditanyakan.
Skala Guttman dapat dibuat dalam bentuk pilihan ganda dan bisa juga
dibuat dalam bentuk checklist. Jawaban responden dapat berupa skor tertinggi
bernilai (1) dan skor terendah (0). Misalnya untuk jawaban Benar (1) dan Salah
(0) (Riduwan, 2010: 91). Ketentuan dalam memberi checklist pada setiap butir soal
yang terdapat dalam lembar observasi aktivitas peserta didik adalah sebagai
berikut:
(a) Untuk jawaban yang diberi checklist mendapat skor 1; dan
(b) Untuk jawaban yang tidak diberi checklist skor 0.
Tabel 3.1 Hasil observasi aktifitas peserta didik
Skala
Guttman
Bobot
Penilaian
Jumlah Item
Instrument
yang
Dinilai
Jumlah
Seluruh
Peserta
didik
Hasil
Perkalian
(Skor)
Aktif 1 10 21 210
Tidak Aktif 0 10 21 0

Kualifikasi aktivitas peserta didik menggunakan Skala Guttman terdekat,
dengan skor total aktivitas peserta didik yang berada pada interval antara dua Skala
15

Guttman, maka kualifikasinya adalah Skala Guttman terdekat. Interval Skala
Guttman dibuat berdasarkan kelipatan jumlah peserta didik. Secara kontinum
interval Skala Guttman dapat dilihat sebagai berikut:
Tidak Aktif Aktif

0 21 42 63 84 105 126 147 168 189 210
Gambar 3.2. Interval skala Guttman
Keterangan: Kriteria Interpretasi Skor
Angka 0 105 = Tidak Aktif
Angka 105 = Netral
Angka 105 210 = Aktif

M. PROSEDUR PENELITIAN

1. Tahapan Penelitian Siklus I
a. Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan silabus, rencana pelaksanaan
pembelajaran, Hand Out, Lembar Kerja Peserta didik, lembar observasi keaktifan,
16

lembar angket respon peserta didik, lembar observasi pelaksanaan pembelajaran
Learning Circle dan pedoman wawancara yang kemudian dikonsultasikan dengan
dosen pembimbing.
b. Tindakan
Pelaksanaan tindakan pada siklus I dilakukan dalam tiga kali pertemuan.
Tahap tindakan dilakukan oleh guru dengan menerapkan Model Kooperatif Tipe
Time Token. Proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan jadwal pelajaran
matematika Kelas VII-A MTS Plus Darul Hufadz Kec.Jatinangor Kab.Sumedang
Tahun Ajaran 2014/2015 pada Materi Pokok Peluang.
c. Observasi
Dilakukan selama proses pembelajaran dengan menggunaka lembar
observasi yang telah disiapkan dan mencatat kejadian-kejadian yang tidak terdapat
dalam lembar observasi dengan membuat lembar catatan lapangan. Hal hal yang
diamati selama proses pembelajaran adalah kegiatan pembelajaran dan aktivitas
guru maupun peserta didik selama pelaksanaan pembelajaran.
d. Refleksi
Pada tahap ini peneliti bersama guru melakukan evaluasi dari pelaksanaan
tindakan dari siklus I yang digunakan sebagai bahan pertimbangan perencanaan
pembelajaran siklus berikutnya. Jika hasil yang diharapkan belum tercapai maka
dilakukan perbaikan yang dilaksanakan pada siklus II dan seterusnya.

2. Tahapan penelitian Siklus II dan III
Rencana tindakan sikus II dimaksudkan sebagai hasil refleksi dan perbaikan
terhadap pelaksanaan pembelajaran pada siklus I. sedangkan kegiatan pada siklus
III dimaksudkan sebagai hasil refleksi dan perbaikan terhadap hasil pembelajaran
pada siklus II. Tahapan tindakan siklus II dan III mengikuti tahapan tindakan siklus I.



17

N. JADWAL KEGIATAN
No
Waktu
Kegiatan
Tahun 2014-2015


O
k
t
o
b
e
r


N
o
v
e
m
b
e
r


D
e
s
e
m
b
e
r


J
a
n
u
a
r
i


F
e
b
r
u
a
r
i


M
a
r
e
t


A
p
r
i
l


1
Penyusunan
proposal
penelitian

2
Pembuatan
instrument
penelitian

4
Pelaksanaan
penelitian

5
Penyusunan
hasil penelitian
dan
pembahasan



6
Ujian sidang
skripsi










18

O. DAFTAR PUSTAKA

1. Depdiknas. (2003). Kegiatan Belajar Mengajar Yang Efektif. Jakarta: Depdiknas.
2. http://repository.upi.edu/5769/4/S_KOM_0904055_Chapter1.pdf
3. http://math.sps.upi.edu/?page_id=527
4. http://jurnalbidandiah.blogspot.com/2012/04/pembelajaran-time-token.html
5. http://pendidikanuntukindonesiaku.blogspot.com/2013/11/model-pembelajaran-
time-token.html
6. Nurhidayah, 2013. Panduan Praktis Penyusunan dan Pelaporan PTK.Jakarta: Prestasi
Pustakarya.
7. Pupuh Fathurrohman.2007.Strategi Belajar Mengajar.Bandung: Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai