Anda di halaman 1dari 38

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti
oleh siswa mulai dari tingkat sekolah dasar sampai tingkat sekolah menengah
bahkan sampai ke perguruan tinggi. Hal ini disebabkan matematika sangat
dibutuhkan dan berguna dalam kehidupan sehari-hari bagi sains, perdagangan
dan industri. Di samping matematika menyediakan suatu daya, alat
komunikasi yang singkat dan tidak ambigius serta berfungsi sebagai alat untuk
mendeskripsikan dan memprediksi (Jailani dalam Hamzah, 2008: 129) .
Mengingat begitu penting peranan matematika, telah banyak usaha
yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan
matematika.

Usaha

yang

telah

dilakukan

diantaranya

mengadakan

Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), seminar, pelatihan guru,


penyempurnaan kurikulum dan lain-lain. Namun usaha ini belum memberikan
hasil yang memuaskan, karena jika dilihat di lapangan hasil belajar
matematika masih rendah jika dibandingkan dengan hasil belajar mata
pelajaran lain.
Depdiknas (2003:1) merumuskan bahwa tujuan dari pembelajaran
matematika adalah sebagai berikut
1. Melatih cara berfikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan.
2. Mengembangkan aktifitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan
penemuan dengan mengembangkan pemikiran yang divergen, orisinil, rasa
ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba.
3. Mengembangkan

kemampuan

penyampaian

informasi

atau

mengkomunikasikan gagasan.
Pencapaian tujuan tersebut diuraikan dalam bentuk kompetensi dasar yang
berupa

pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam kebiasaan berfikir dan

bertindak.

Untuk membantu siswa dalam menguasai matematika, perlu usaha


maksimal agar tujuan pembelajaran matematika dapat tercapai seperti yang
diharapkan. Salah satu yang dapat dilakukan dalam pembelajaran matematika
adalah guru seharusnya dapat memilih dan menggunakan

metode

pembelajaran yang tepat, sehingga siswa dapat memahami konsep matematik


dengan baik

dan mampu mengembangkan kemampuan menyampaikan

informasi atau mengkomunikasikan gagasan dari konsep matematika tersebut.


Terdapat beberapa alasan pentingnya kemampuan komunikasi
matematika siswa dikembangkan dalam pembelajaran matematika. Pertama,
kemampuan komunikasi diperlukan untuk mempelajari bahasa dan simbolsimbol matematika serta mengekspresikan ide-ide matematis. Disamping itu
komunikasi juga bermanfaat untuk melatih siswa untuk mengemukakan
gagasan secara jujur berdasarkan fakta , rasional, serta meyakinkan orang lain
dalam rangka memperoleh pemahaman bersama.
Hasil pengamatan penulis dan wawancara dengan guru SD
Percobaaan Padang, diketahui bahwa kemampuan siswa dalam meyelesaikan
soal-soal komunikasi masih rendah. Hal ini ditandai dengan siswa belum
mampu untuk memberikan argumentasi yang benar dan jelas tentang soalsoal yang mereka jawab pada soal berbentuk cerita.

Keberanian untuk

menyampaikan ide-ide dan argumentasi yang benar dan jelas masih kurang
pada waktu proses pembelajaran. Hal ini ditandai dengan siswa belum
mampu untuk membuat langkah langkah dalam menjawab soal-soal latihan.
Kondisi di atas terjadi karena dalam pembelajaran matematika
konvensional siswa jarang sekali diminta untuk mengkomunikasikan ideidenya. Seperti yang dikemukakan Marpaung (2000 : 264) bahwa problem
yang muncul pada pembelajaran konvensional adalah apabila ditanya suatu
konsep atau proses siswa tidak menjawab dengan penuh keyakinan atau malah
diam. Ini dapat diartikan bahwa pembelajaran konvensional membuat siswa
menjadi pasif sehingga kemampuan komunikasi matematika siswa rendah.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa kemampuan komunikasi
matematik siswa perlu mendapat perhatian untuk lebih dikembangkan. Hal ini
sesuai dengan harapan pemerintah seperti yang tercantum pada kurikulum

bahwa

dalam belajar matematika ada 4 kemampuan matematik yang

diharapkan dapat tercapai, kemampuan tersebut adalah

kemampuan

pemahaman konsep matematika, komunikasi matematik, penalaran matematik,


dan

koneksi

matematik

(Depdiknas,2003:3).

Dengan

memperhatikan

kemampuan yang dituntut tersebut, jelaslah bahwa siswa dituntut memiliki


kemampuan berpikir matematik. Kemampuan berpikir matematik tersebut
memandang matematika sebagai proses aktif, dinamik, generatif, dan
eksploratif.
Kondisi pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek
pasif, jelas tidak menguntungkan terhadap hasil belajarnya. Untuk itu perlu
usaha guru agar siswa belajar secara aktif.
dilakukan dalam pelaksanaan pembelajaran,

Salah satu usaha yang dapat


guru dapat mengakomodasi dan

memfasilitasi ide siswa sehingga siswa dapat

mengilustrasikan dan

menginterprestasikan berbagai masalah dalam bahasa dan pernyataanpernyataan matematika serta dapat menyelesaikan masalah tersebut menurut
aturan atau kaedah matematika.
Kemampuan siswa mengilustrasikan dan menginterprestasikan
berbagai masalah dalam bahasa dan pernyataan-pernyataan matematika serta
dapat menyelesaikan masalah tersebut menurut aturan atau kaedah
matematika, merupakan karakteristik siswa yang mempunyai kemampuan
komunikasi matematik. Selanjutnya

Sumarmo (2002: 15)

merinci

karakteristik kemampuan komunikasi matematik ke dalam beberapa indikator,


sebagai berikut; (a) membuat hubungan benda nyata, gambar dan diagram ke
dalam ide matematika; (b) menjelaskan ide, situasi dan relasi matematik
secara lisan maupun tulisan dengan benda nyata, gambar, grafik dan aljabar;
(c) menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa atau simbol matematika;
(d) mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematik, membaca
dengan pemahaman suatu presentasi matematika tertulis; (e) membuat
konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan generalisasi dan (f)
menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang telah
dipelajari.

Untuk menyikapi masalah komunikasi

matematika di atas, guru

sudah mencoba mengatasi permasalahan dengan menerapkan pembelajaran


berkelompok, tetapi hanya sebagian kecil anggota kelompok yang aktif
belajar dan mengerjakan latihan yang diberikan sehingga peningkatan hasil
belajarnya kurang tampak.
Dengan demikian perlu dicari beberapa alternatif untuk mengatasi
hal teesebut. Salah satu alternatif dengan menerapkan pendekatan Realistic
Mathematic Educations (RME). RME merupakan teori pembelajaran
matematika yang dikembangkan di Belanda. Teori ini berangkat dari pendapat
Fruedenthal bahwa matematika merupakan aktivitas insani dan harus
dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak dapat dipisahkan
dari sifat matematika seseorang memecahkan masalah, mencari masalah, dan
mengorganisasi atau matematisasi materi pelajaran (Gravemeijer 2003: 1).
Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat dipandang sebagai penerima
pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan matematika harus diarahkan
pada penggunaan berbagai situasi dan kesempatan yang memungkinkan siswa
menemukan kembali (reinvention) matematika berdasarkan usaha mereka
sendiri.
Selanjutnya,

Fauzan

(2002:35)

menjelaskan

bahwa,

proses

pengembangan konsep dan ide matematika dimulai dari kehidupan nyata, dan
menghubungkan solusi yang didapatkan, kembali kepada kehidupan nyata.
Sehingga dapat dikatakan bahwa yang dilakukan dalam pembelajaran
matematika adalah mengambil suatu permasalahan berdasarkan kenyataan,
menjadikannya sebagai proses matematika, dan membawakannya lagi kepada
kenyataan. Semua proses ini menuntun kepada pengertian matematika secara
konseptual (conceptual matematization).
Dalam RME dunia nyata digunakan sebagai titik awal untuk
pengembangan ide dan konsep matematika. Dunia nyata adalah segala sesuatu
di luar matematika, seperti mata pelajaran lain selain matematika, atau
kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita (Blum & Niss dalam Sutarto
Hadi, 2005:19)

Pembelajaran dengan RME memiliki beberapa kelemahan antara


lain: (a) Siswa

selama ini belum terbiasa dengan hal yang berhubungan

pembelajaran matematika realistic

(b) diperlukan kemampuan guru yang

handal untuk merancang perangkat pembelajaran yang dapat direalisasikan


melalui kegiatan workshop PMRI (c) memerlukan biaya yang cukup besar
dan belum waktu yang cukup panjang
Mencermati keunggulan dan kelemahan pendekatan pembelajaran
RME

seperti yang telah diuraikan di atas, penulis menduga bahwa

pembelajaran RME tersebut dapat dijadikan suatu pembelajaran alternatif di


Sekolah Dasar (SD). Hal tersebut mendorong penulis melakukan penelitian
tentang perbandingan kemampuan komunikasi matematik siswa antara yang
memperoleh pembelajaran RME
konvensional. Apakah
memperoleh

dan pembelajaran matematika secara

kemampuan komunikasi matematik siswa yang

pembelajaran RME lebih tinggi daripada

kemampuan

komunikasi matematik siswa yang memperoleh pembelajaran secara


konvensional?
Berdasarkan

uraian

di

atas

maka

penulis

bermaksud

untuk

mengadakan penelitian berjudul Pengaruh Penerapan pembelajaran RME


terhadap kemampuan komunikasi matematik siswa kelas 2 SD Percobaan
Padang.
B. Identifikasi Masalah
Dari uraian di atas dapat diidentifikasi

beberapa masalah sebagai

penyebab rendahnya hasil belajar matematika antara lain:


1. Kemampuan siswa dalam meyelesaikan soal-soal komunikasi masih
rendah.
2. Keberanian siswa untuk menyampaikan ide-ide dan argumentasi yang
benar dan jelas masih kurang pada waktu proses pembelajaran.
3. Kondisi pembelajaran siswa yang pasif.
4. Kemampuan komunikasi matematika siswa masih rendah.
5. Metode pembelajaran yang digunakan guru selama ini
menempatkan
pembelajaran.

siswa

sebagais

subjek

yang

aktif

dalam

belum
proses

C. Batasan Masalah
Dari masalah-masalah yang telah diidentifikasi, maka permasalahan
yang akan dikaji dibatasi pada pengembangan kemampuan komunikasi
matematik melalui pembelajaran dengan pendekatan RME.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
dapat diidentifikasi masalah yang akan diteliti adalah
1. Apakah kemampuan komunikasi matematika siswa yang belajar dengan
pembelajaran RME lebih tinggi

dari siswa yang belajar dengan

pembelajaran konvensional?
2. Bagaimana perkembangan kemampuan komunikasi matematika siswa
setelah pembelajaran RME?
3. Bagaimana usaha guru untuk meningkatkan komunikasi matematika siswa
dengan pembelajaran RME?
E. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi
objektif mengenai kemampuan

komunikasi matematik siswa SD melalui

pembelajaran RME.
Secara rinci tujuan penelitian ini adalah untuk :
1. Mengetahui perbedaan kemampuan komunikasi matematik siswa melalui
pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran RME dan pembelajaran
konvensional.
2. Mengetahui perkembangan kemampuan komunikasi matematik siswa
setelah pembelajaran RME
3. Memperoleh informasi mengenai

upaya

guru untuk meningkatkan

kemampuan komunikasi matematika melalui pembelajaran RME.


F. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bagi siswa, pembelajaran RME berpeluang merangsang siswa melakukan


eksplorasi berbagai kemampuan berpikir dan mengkonstruksi kemampuan
komunikasi matematik.
2. Bagi guru, dapat menambah khasanah pembelajaran yang sangat mungkin
dijadikan sebagai salah satu alternatif dalam pelaksanaan tugas mengajar
guru di sekolah.
3. Bagi masyarakat sekolah umumnya, dengan berbagai penyesuaian
rancangan

pembelajaran ini sangat mungkin diimplementasikan untuk

mengembangkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi lainnya dalam

matematika dan atau mata pelajaran lainnya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1.

Komunikasi matematik
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PRRI) nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (2005:28) pada bab VI, Standar
Pendidik dan Tenaga Kependidikan pada pasal 28 ayat 3 menjelaskan
kompetensi sebagai agen pembelajar pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah serta pendidikan anak usia dini meliputi:a) kompetensi pedagogic;
b) kompetensi kepribadian ; c) kompetensi profesionalis; dan kompetensi
sosial. Pada bagian ini penjelasan dari pasal ini menyatakan bahwa yang
dimaksud kompetensi sosial adalah kemampuan berkomunikasi dan bergaul
secara efektif dengan peserta didik, semua pendidik dan masyarakat sekitar.
Secara umum komunikasi dipahami sebagai suatu bentuk aktivitas
penyampaian informasi dalam suatu komunitas tertentu. Komunikasi dapat
terjadi dalam satu arah, yaitu dari penyampai pesan kepada penerima pesan.
Pada aktivitas komunikasi seperti ini bisa terdapat banyak penyampai dan
penerima pesan, sehingga komunikasi ini merupakan aktivitas berbagi ide
dan gagasan, curah pendapat, sumbang saran dan kerjasama dalam kelompok.
Aktivitas semacam ini dapat mengasah kemampuan berkomunikasi atau
kemampuan menyampaikan pemikiran tentang sesuatu hal bagi para
pesertanya. Khususnya komunikasi dalam matematika adalah suatu aktivitas
penyampaian dan atau penerimaan gagasan-gagasan matematika dalam
bahasa matematika.
Romberg chair dalam Sumarmo (2002) mengatakan bahwa, salah
satu aspek berpikir tingkat tinggi dalam matematika adalah komunikasi
dalam matematika atau komunikasi matematik yang menghubungkan benda
nyata, gambar dan diagram ke dalam ide matematika; menjelaskan ide,
situasi dan relasi matematika secara lisan atau tulisan dengan benda nyata,
gambar, grafik dan aljabar ; menyatakan peristiwa sehari-hari dalam bahasa
8

symbol matematik ;

mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang

matematika; mencoba

dengan pemahaman suatu presentasi matematika

secara tertulis, membuat argument, membuat konjektur, merumuskan definisi


generalisasi; menjelaskan dan membuat pertanyaan tentang matematika yang
dipelajari.
Dari uraian tentang komunikasi matematik siswa di atas tampak
bahwa, komunikasi matematik terjadi jika siswa belajar aktif baik secara
lisan maupun secara tertulis. Kemampuan komunikasi matematika siswa
dapat dikembangkan jika siswa mampu menghubungkan benda nyata, gamba,
diagram dan peristiwa kehidupan sehari-hari kedalam ide dan symbol
matematika. Hal ini sesuai dengan prinsip dari pembelajaran Realistic
Mhatematic Education.
Selanjutnya siswa dikatakan telah memiliki kemampuan komunikasi
matematik bilamana siswa telah menguasai indicatorparadigma yang
direkomendasikan NCTM (2000, standars . nctm) sebagai berikut:
(1) dapat menyatakan ide matematik dengan lisan, tulisan,
mendemonstrasikan dan menggambarkan dalam bentuk visual, (2)
dapat memahami, menginterpretasikan dan menilai ide matematik
yang disajikan dalam bentuk tulisan atau visual, (3) dapat
menggunakan bahasa,

notasi

dan struktur matematik untuk

menyajikan ide, menggambarkan hubungan pembuatan model.


Berdasarkan kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa kemampuan
komunikasi matematika merupakan kemampuan menyatakan ide matematika
melalui lisan dan tulisan. Kemampuan komunikasi matematika lisan siswa
dapat diukur saat siswa tersebut mengemukakan pengetahuan matematika
mereka. Kemampuan komunikasi matematika tulisan dapat diukur melalui
tulisan siswa mengenai matematika.
Indicator komunikasi matematika menurut john (2008:5) adalah
sebagai berikut:
a. Mengatur dan mengembangkan pemikiran matematika melalui
komunikasi.

10

b. Mengkomunikasikan pemikiran matematika secara koheren dan jelas.


c. Menganalisis dan menilai pemikiran dan strategi matematika orang
lain.
d. Menggunakan bahasa matematika untuk menyampaikan ide dengan
tepat.
Berkaitan dengan komunikasi matematik atau komunikasi dalam
matematika ini, Rahman (2008:684) menyatakan kemampuan yang
tergolong pada komunikasi matematika di antaranya adalah :
a) Menyatakan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam
bahasa, symbol, idea, atau model matematik,
b) Menjelaskan idea, situasi, dan relasi matematika secara lisan atau
tulisan.
c) Mendengarkan, berdiskusi dan menulis tentang matematika.
d) Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis
e) Membuat konjetur, menyusun argument, merumuskan definisi, dan
generalisasi,
f) Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraph matematika
dalam bahasa sendiri.
Dari beberapa penjelsan di atas, dapat diambil suatu kesimpulan
bahwa, siswa memiliki kemampuan komunikasi matematik jika memiliki
kemampuan-kemampuan sebagai berikut:
a. Kemampuan ekspresi matematika, yaitu kemampuan membuat model
matematika.
b. Kemampuan

menulis,

yaitu

berupa

kemampuan

memberikan

penjelasan dan alasan secara matematika dengan bahasa yang benar


dan mudah dipahami.
2. Pembelajaran Matematika
Menurut Slameto (1995: 2) Belajar adalah suatu proses yang
dilakukan seseorang untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan. Perubahan ini meliputi perubahan sikap, keterampilan,

11

pengetahuan, dan sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam berinteraksi


dengan lingkungannya.
Berdasarkan pendapat di atas belajar khususnya belajar matematika,
dapat terjadi apabila siswa dan guru saling berinteraksi dan berkomunikasi
mengenai materi matematika yang sedang dipelajari. Menurut Erman (2001:
3) Belajar matematika tidak sekedar learning to know, melainkan harus
ditingkatkan meliputi learning to do, learning to be, dan learning to live
together. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika, kegiatan
pengajaran diubah menjadi kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran

matematika

lebih

utama

dibandingkan

dengan

pengajaran matematika, karena pembelajaran matematika mengoptimalkan


keberadaan dan peran siswa sebagai pembelajar. Pembelajaran matematika
diharapkan berakhir dengan sebuah pemahaman siswa yang komprehensif
dan holistik tentang materi yang telah disajikan. Pemahaman yang dimaksud
tidak sekedar memenuhi tuntutan pembelajaran matematika secara substantif
saja, namun dapat memberikan manfaat kepada siswa, yaitu:

Lebih memahami keterkaitan antara satu topik matematika dengan topik


matematika yang lainnya

Lebih menyadari akan penting dan strategisnya matematika bagi bidang


lain

Lebih memahami peranan matematika dalam kehidupan manusia

Lebih mampu berfikir logis, kritis dan sistematis

Lebih kreatif dan inovatif dalam mencari solusi pemecahan sebuah


masalah

Lebih peduli pada lingkungan sekitarnya.


Dalam pembelajaran matematika, seorang guru tidak saja harus

menguasai materi ajar, melainkan juga harus menguasai metode dan


pendekatan pembelajaran yang terintegrasi, komprehensif, dan holistik. Agar
pembelajaran matematika dapat berjalan dengan baik maka guru haruslah
menggunakan suatu model pembelajaran yang tepat.

12

Salah satu pendekatan pembelajaran yang sesuai dan sejalan dengan


ide yang dikemukakan di atas adalah pendekatan pembelajaran pendidikan
matematika realistik.
3. Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional merupakan proses pembelajaran yang
banyak dilakukan. Pembelajaran ini berpusat pada guru atau teacher sentered
dan metode caramah menjadi pilihan utama guru dalam menyampaikan
materi. Menurut Djafar (2001:86) yaitu :pembelajaran konvensional
dilakukan dengan komunikasi satu arah. Cirri lain dari pembelajaran ini
peserta didik sekaligus mengerjakan dua kegiatan yaitu mendengarkan dan
mencatat. Jadi pembelajaran konvensianal diawali dengan pemberian
informasi atau ceramah dalam penjelasan satu konsep pelajaran yang diikuti
dengan pemberian contoh-contoh soal.
Pembelajaran konvensional ini juga memberi kesempatan kepada
siswa untuk bertanya mengenai hal yang belum dimengerti dan menyelin
kedalam buku catatan. Kegiatan pembelajaran dilanjutkan dengan pemberian
sola-soal latihan yang dikerjakan dalam buku latihan. Soal-soal latihan yang
tidak dipahami siswa dibahas secara klasikal dengan mneyuruh satu atau dua
orang siswa untuk menjawab di papan tulis.setelah selesai satu pokok bahasan
dberikan tes hasil belajar kapada siswa mengenai materi yang terdapat
didalam pokok bahasan tersebut.
Berdasarkan uraian tentang pembelajaran konvensional dapat dibuat
karakteristik

pembelajaran

dengan

pendekatan

konvensional

dengan

pembelajaran dengan pendekatan PMRI, untuk melihat perbedaan antara


keduanya seperti dalam Tabel 1 berikut:

13

Tabel 1. Perbandingan karakteristik pembelajaran matematika dengan


pendekatan PMRI dengan pembelajaran matematika dengan
konvensional
Pembelajaran Dengan Pendekatan PMRI
1. Pembelajaran diawali dengan
masalah realistik sehingga siswa
termotivasi dan terbantu belajar
matematika.
2. Memecahkan masalah dengan
berbekal pengetahuan informal
menuju formal (menemukan konsep
melalui bimbingan guru).
3. Proses belajar berlangsung secara
interaktif.
4. Matematika dipandang sebagai suatu
aktivitas dan belajar matematika
merupakan bekerja dengan
matematika (doing mathematic)

Pembelajaran Konvensional
1. Pembelajaran dimulai dari
hal yang abstrak (definisi,
teorema, aksioma)
2. Memecahkan masalah
dengan berbekal
pengetahuan secara formal.
3. Proses pembelajaran
berlangsung satu arah yaitu
guru ke siswa
4. Matematika dianggap
sebagai barang yang sudah
jadi, sehingga penalaran
siswa tidak berkembang.

Dari Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa penekanan pembelajaran


matematika melalui pendekatan PMRI berpusat pada siswa (student
centered). Sedangkan pembelajaran konvensional berpusat pada guru
(Teacher centered).
4. Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
a. Landasan Filosofi PMRI
Landasan filosofi Pendidikan Matematika Realistik Indonesia
(PMRI) adalah Realistic Mathematics Education (RME). RME merupakan
teori pembelajaran matematika yang dikembangkan di Belanda. Teori ini
berangkat dari pendapat Fruedenthal bahwa matematika merupakan aktivitas
insani dan harus dikaitkan dengan realitas. Pembelajaran matematika tidak
dapat dipisahkan dari sifat matematika seseorang memecahkan masalah,
mencari masalah, dan mengorganisasi atau matematisasi materi pelajaran
(Gravemeijer 2003: 1). Freudenthal berpendapat bahwa siswa tidak dapat
dipandang sebagai penerima pasif matematika yang sudah jadi. Pendidikan
matematika harus diarahkan pada penggunaan berbagai situasi dan

14

kesempatan yang memungkinkan siswa menemukan kembali (reinvention)


matematika berdasarkan usaha mereka sendiri.
Fauzan (2002:35) menjelaskan bahwa, proses pengembangan
konsep

dan

ide

matematika

dimulai

dari

kehidupan

nyata,

dan

menghubungkan solusi yang didapatkan, kembali kepada kehidupan nyata.


Sehingga dapat dikatakan bahwa yang dilakukan dalam pembelajaran
matematika adalah mengambil suatu permasalahan berdasarkan kenyataan,
menjadikannya sebagai proses matematika, dan membawakannya lagi kepada
kenyataan. Semua proses ini menuntun kepada pengertian matematika secara
konseptual (conceptual matematization).
Dalam RME dunia nyata digunakan sebagai titik awal untuk
pengembangan ide dan konsep matematika. Menurut Blum & Niss, dunia
nyata adalah segala sesuatu di luar matematika, seperti mata pelajaran lain
selain matematika, atau kehidupan sehari-hari dan lingkungan sekitar kita.
Sementara itu, De Lange mendefinisikan dunia nyata sebagai suatu dunia
nyata yang kongkret, yang disampaikan kepada siswa melalui aplikasi
matematika (Sutarto, 2005:19). Gravemeijer (1994: 84) menggambarkan
kedua proses matematisasi sebagai berikut:

15

berikut.

Sistem Matematika Formal

Bahasa

Algoritma

Matematika

Diselesaikan

Diuraikan

Soal-soal Kontekstual
Gambar 1. Matematisasi Horisontal dan Vertikal
Dalam

matematisasi

horisontal,

siswa

mulai

dari

soal-soal

kontekstual, mencoba menguraikan dengan bahasa dan simbol yang dibuat


sendiri, kemudian menyelesaikan soal tersebut. Dalam proses ini, setiap orang
dapat menggunakan cara mereka sendiri yang mungkin berbeda dengan orang
lain. Dalam matematisasi vertikal, kita juga mulai dari soal-soal kontekstual,
tetapi dalam jangka panjang kita dapat menyusun prosedur tertentu yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan soal-soal sejenis secara langsung, tanpa
bantuan konteks.
b. Definisi PMRI
Secara garis besar PMRI atau RME adalah suatu teori pembelajaran
yang telah dikembangkan khusus untuk matematika. Konsep matematika
realistik ini sejalan dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan
matematika di Indonesia yang didominasi oleh persoalan bagaimana

16

meningkatkan pemahaman siswa tentang matematika dan mengembangkan


daya nalar.
c. Ciri-Ciri PMRI
Pendidikan Matematika Realistik Indonesia adalah pendekatan
pembelajaran yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Menggunakan masalah kontekstual, yaitu matematika dipandang sebagai
kegiatan sehari-hari manusia, sehingga memecahkan masalah kehidupan
yang dihadapi atau dialami oleh siswa (masalah kontekstual yang realistik
bagi siswa) merupakan bagian yang sangat penting.
2) Menggunakan model, yaitu belajar matematika berarti bekerja dengan
matematika (alat matematis hasil matematisasi horisontal).
3) Menggunakan hasil dan konstruksi siswa sendiri, yaitu siswa diberi
kesempatan untuk menemukan konsep-konsep matematis, di bawah
bimbingan guru.
4) Pembelajaran terfokus pada siswa.
5) Terjadi interaksi antara murid dan guru, yaitu aktivitas belajar meliputi
kegiatan

memecahkan

masalah

kontekstual

yang

realistik,

mengorganisasikan pengalaman matematis, dan mendiskusikan hasil-hasil


pemecahan masalah tersebut (Suryanto & Sugiman dalam Supinah, 2008:
16).
d. Pelaksanaan PMRI
Untuk dapat melaksanakan PMRI kita harus tahu prinsip-prinip yang
digunakan PMRI. PMRI menggunakan prinsip-prinsip RME, untuk itu
karakteristik RME ada dalam PMRI. Ada tiga prinsip kunci RME (Gravemeijer
dalam Fauzan, 2008: 24-32), yaitu:
1)

Penemuan (kembali) secara terbimbing (guided reinvention)


Melalui topik-topik matematika yang disajikan, siswa harus diberi

kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses yang dilalui
oleh para pakar matematika ketika menemukan konsep-konsep matematika.

17

2)

Fenomena didaktik (didactical phenomenology)


Topik-topik matematika yang diajarkan mesti dikaitkan dengan

fenomena sehari-hari. Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan yaitu


aplikasinya dan kontribusinya untuk perkembangan matematika lanjut.
3)

Pemodelan (emerging models)


Melalui

pembelajaran

dengan

pendekatan

RME,

siswa

mengembangkan model mereka sendiri sewaktu memecahkan soal-soal


kontekstual. Pada awalnya, siswa akan menggunakan model pemecahan yang
informal (model of). Setelah terjadi interaksi dan diskusi dikelas, salah satu
pemecahan yang dikemukakan siswa akan berkembang menjadi model yang
formal (model for).
e. Karakteristik PMRI
Karakteristik RME merupakan karakteristik PMRI. (Van den
HeuvelPanhuizen dalam Supinah, 2008: 19-20), merumuskan karakteristik
RME sebagai berikut:
1) Prinsip aktivitas, yaitu matematika adalah aktivitas manusia. Si pembelajar
harus aktif baik secara mental maupun fisik dalam pembelajaran
matematika.
2) Prinsip realitas, yaitu pembelajaran seyogyanya dimulai dengan masalahmasalah yang realistik atau dapat dibayangkan oleh siswa.
3) Prinsip berjenjang, artinya dalam belajar matematika siswa melewati
berbagai jenjang pemahaman, yaitu dari mampu menemukan solusi suatu
masalah kontekstual atau realistik secara informal, melalui skematisasi
memperoleh pengetahuan tentang hal-hal yang mendasar sampai mampu
menemukan solusi suatu masalah matematis secara formal.
4) Prinsip jalinan, artinya berbagai aspek atau topik dalam matematika jangan
dipandang dan dipelajari sebagai bagian-bagian yang terpisah, tetapi
terjalin satu sama lain sehingga siswa dapat melihat hubungan
antaramateri-materi itu secara lebih baik.

18

5) Prinsip interaksi, yaitu matematika dipandang sebagai aktivitas sosial.


Siswa perlu dan harus diberikan kesempatan menyampaikan strateginya
menyelesaikan suatu masalah kepada yang lain untuk ditanggapi, dan
menyimak apa yang ditemukan orang lain dan strateginya menemukan itu
serta menanggapinya.
6) Prinsip bimbingan, yaitu siswa perlu diberi kesempatan terbimbing untuk
menemukan (re-invent) pengetahuan matematika.
f. Konsepsi PMRI
Dikemukakan oleh Sutarto Hadi (2003: 2) bahwa teori PMRI sejalan
dengan teori belajar yang berkembang saat ini, seperti konstruktivisme dan
pembelajaran kontekstual (CTL). Namun baik konstruktivisme maupun
pembelajaran kontekstual mewakili teori belajar secara umum, sedangkan
PMRI suatu teori pembelajaran yang dikembangkan khusus untuk matematika.
Juga telah disebutkan terdahulu, bahwa konsep matematika realistik ini sejalan
dengan kebutuhan untuk memperbaiki pendidikan matematika di Indonesia
yang didominasi oleh persoalan bagaimana meningkatkan pemahaman siswa
tentang matematika dan mengembangkan daya nalar. Lebih lanjut berkaitan
dengan konsepsi PMRI ini, Sutarto Hadi mengemukakan beberapa konsepsi
PMRI tentang siswa, guru dan pembelajaran yang mempertegas bahwa PMRI
sejalan dengan paradigma baru pendidikan, sehingga PMRI pantas untuk
dikembangkan di Indonesia.
1)

Konsepsi PMRI tentang siswa adalah sebagai berikut:

a. Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika


yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
b. Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu
untuk dirinya sendiri.
c. Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi
penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali dan
penolakan.

19

d. Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal
dari seperangkat ragam pengalaman.
e. Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu
memahami dan mengerjakan matematik.
2)

Konsepsi PMRI tentang guru adalah sebagai berikut:

a. Guru hanya sebagai fasilitator dalam pembelajaran.


b. Guru harus mampu membangun pembelajaran yang interaktif.
c. Guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif
terlibat pada proses pembelajaran dan secara aktif membantu siswa dalam
menafsirkan persoalan real.
d. Guru tidak terfokus pada materi yang ada di dalam kurikulum, tetapi aktif
mengaitkan kurikulum dengan dunia real, baik fisik maupun sosial.
3)

Konsepsi PMRI tentang pembelajaran Matematika meliputi aspek-aspek

berikut:
a. Memulai pembelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang real bagi
siswa sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga
siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna.
b. Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai dalam pembelajaran tersebut.
c. Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara
informal terhadap persoalan atau permasalahan yang diajukan.
d. Pembelajaran berlangsung secara interaktif, siswa menjelaskan dan
memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami
jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya,
menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain,
dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau
terhadap hasil pembelajaran.

20

B. Penelitian Relevan

Darto (2008) dalam penelitiannya tentang Meningkatkan kemampuan


komunikasi dan pemecahan masalah

matematis siswa melalui pendekatan

Realistic Mathematics Education di SMP negeri


disimpulkan bahwa kemampuan

3 pangkalan Kuras,

komunikasi matematik siswa

dengan

metode RME lebih baik daripada yang diajar dengan metode konvensional.
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bahwa pendekatan Realistic Mathematics
Education salah satu

pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan

kemampuan komunikasi matematika siswa.


C. Kerangka Konseptual

Perbedaaan kemampuan komunikasi matematika siswa dengan metode


pembelajaran RME dan metode konvensional : RME adalah teori belajar
yang termasuk kedalam pendekatan kontekstual. Teori ini berdasarkan pada
ide bahwa

matematika adalah

aktivitas manusia dan matematika harus

dihubungkan secara nyata terhadap konteks kehidupan sehari-hari sebagai


pengembangan dan sebagai area aplikasi. Sehingga memotivasi siswa untuk
belajar matematika secara nyata dan dapat mudah mengkomunikasikannya
baik daam bentuk tulisan, gambar maupun melaui lisan. Sedangkan yang
diajar dengan metode konvensional semua materi tersaji oleh guru. Siswa
beranggapan guru adalah orang yang paling tahu.. Dalam metode ini
komunikasi yng terjadi hanyalah satu arah, yaitu komunikasi guru kepada
siswa sehingga dalam belajar siswa menjadi pasif dan tidak mampu
beragumentasi.
Dari uraian di atas dapat diduga bahwa kemampuan komunikasi
matematik siswa yang diajar dengan pendekatan pembelajaran RME lebih
tinggi dari kemampuan komunikasi siswa yang diajar dengan dengan metode
konvensional.

21

D. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan


konseptual di atas,

penelitian serta kerangka

maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai

berikut: apakah kemampuan komunikasi matematik siswa yang belajar dengan


pembelajaran RME lebih tinggi dari siswa yang belajar dengan pembelajaran
konvensional.

22

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.

Jenis Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, maka
penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif (Mixing
Method). Pendekatan kuantitatif dilakukan dalam bentuk Quasi Eksperiment
untuk membandingkan kemampuan komunikasi matematik siswa yaitu
membandingkan model Pembelajaran RME dengan model konvensional.
Pendekatan kualitatif dilakukan dalam bentuk observasi, wawancara dan
dokumentasi

untuk

melihat

perkembangan

kemampuan

komunikasi

matematik siswa setelah pembelajaran RME dan upaya guru untuk


meningkatkan

kemampuan komunikasi

matematika siswa dengan

pembelajaran RME.
B.

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 2 tahun pelajaran
2010/2011 di SD Percobaan Padang yang terdiri dari 2 kelas . Teknik
pengambilan sampel yang digunakan adalah Porposive Sampling karena
sampel pada penelitian ini adalah kelas yang diajar oleh guru yang ikut
workshop RME. Penelitian Kualitatif, subjek penelitiannya adalah satu orang
guru dan siswa kelas 2 tahun pelajaran 2010/2011 di SD Percobaan Padang
yang diberi perlakuan di kelas eksperimen. Karena keterbatasan peneliti
maka peneliti mengambil 3 orang siswa di kelompok tinggi , 3 orang siswa
di kelompok sedang dan 3 orang siswa di kelompok rendah.

C.

Definisi Operasional
Untuk menggambarkan ruang lingkup yang menjadi batasan penelitian
maka dikemukakan definisi operasional sebagai berikut :
1. Metode RME adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami
siswa untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga
mencapai tujuan pendidikan matematika yang lebih baik dari pada masa
lalu. Realita yang dimaksud adalah
22 hal-hal yang nyata atau konkrit yang

23

dapat diamati dan dipahami siswa dengan membayangkan, sedangkan


lingkungan adalah tempat siswa berada.
2. Metode konvensional merupakan metode pembelajaran yang berpola
teacher-centered atau berpusat pada guru.

Proses pembelajaran

didominasi oleh guru dengan metode ceramah.


3. Hasil belajar kognitif merupakan skor yang diperoleh siswa dari tes
berbentuk essai yang diberikan setelah

untuk mengukur kemampuan

komunikasi matematik pada materi matematika kelas II SD.


D.

Instrumen Penelitian
a. Tes kemampuan komunikasi matematik
Tes kemampuan komunikasi matematik bertujuan untuk memperoleh
data kuantitatif berupa skor kemampuan komunikasi matematik yang
disusun berdasarkan indicator kemampuan komunikasi matematika.
Soal tes berupa soa essai yang disusun berdasarkan indicator
pembelajaran yang terdapat pada RPP.
b. Lembar observasi
Lembar observasi ditujukan sebagai pedoman untuk melakukan
observasi aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran
dengan pendekatan

pembelajaran RME berlangsung. Observasi

terhadap aktivitas siswa difokuskan terhadap aspek matematika


realisitik, sedangkan observasi terhadap aktivitas guru difokuskan
kepada

keterlaksanaan

pembelajaran

RME

dalam

proses

pembelajaran matematika di kelas. Untuk melengkapi data observasi


aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran berlangsung
didokumentasikan dalam benntuk video dengan Handicam.

c. Pedoman Wawacara
Pedoman wawancara digunakan untuk memperoleh informasi tentang
tanggapan

guru

dan

siswa

berkenaan

pembelajaran RME. Data hasil wawancara

dengan

pendekatan

digunakan untuk

24

melengkapi data yang diperoleh melalui observasi dan direkam


dengan bantuan alat perekam.
E.

Pengembangan Instrumen
Instrumen yang akan digunakan pada penelitian ini adalah tes
kemampuan matematika yang meliputi tes kemampuan

komunikasi

matematik, lembar observasi dan pedoman wawancara yang akan diberikan


setelah proses pembelajaran. Instrumen tes kemampuan komunikasi
dikembangkan melalui tes uji coba dan validasi yang dilakukan oleh
validator. Untuk lembar observasi dan pedoman wawancara hanya divalidasi
saja.
1. Tes kemampuan komunikasi matematik
Tes komunikasi matematik digunakan untuk memperoleh data
kuantitatif berupa skor kemampuan komunikasi siswa yang disusun
berdasarkan

indikator

kemampuan

komunikasi

matematika.

Tes

komunikasi matematika adalah suatu tes untuk mengungkap kemampuan


siswa dalam mengkomunikasikan gagasan-gagasan matematika, dan
memberi penjelasan atau alasan dan strategi bagaimana cara penyelesaian
masalah matematis dengan bahasa yan benar . Kemampuan komunikasi
matematika siswa tersebut adalah kemampuan secara menyeluruh
terhadap materi yang telah disampaikan setelah kedua kelompok
mendapatkan perlakuan. Tes kemampuan komunikasi matematika
diberikan sesudah perlakuan untuk kelompok eksperimen dan kelompok
control. Penilaaian untuk setiap butir soal tes kemampuan komunikasi
matematika adalah sebagai berikut pada table berikut:

Tabel : Pemberian Skor dalam Tes komunikasi matematika


KRITERIA
1. Membuat model dari situasi melaui tulisan
2. Mengembangkan pemahaman dasar matematika termasuk

SKOR
3 2

25

aturan-aturan definisi matematika


3.
Menggunakan
kemampuan membaca,menyimak,dan
mengamati untuk menginterpretasi dan mengevaluasi suatu ide
matematika
4. Mengepresikan nilai-nilai dari suatu notasi matematis
termasuk

aturan-aturannya

dalam

mengembangkan

ide

matematika
5. Membuat konjektur menyusun argument, meumuskan definisi
dan generalisasi
Ket : a. Skor 3 jika kriteria yang diminta lengkap,
b. Skor 2 jika kriteria yang diminta hampir lengkap,
c.

Skor 1 jika kriteria yang diminta kurang lengkap,

d. Skor 0 jika tidak ada jawaban / salah memahami dan menerapkan


konsep.
Sebelum soal tes digunakan dalam penelitian ini, terlebih dahulu
dilakukan uji validitas isi dan konstruksi. Untuk menguji validitas konstruksi
dikoreksi oleh validator dan dikonsultasikan dengan dosen pembimbing,
Validitas isi digunakan untuk menentukan seberapa jauh instrumen itu telah
menggambarkan isi yang diinginkan untuk itu perlu dilakukan validator.
Setelah validasi isi terpenuhi, selanjutnya dilakukan uji coba soal tes ini
kepada siswa yang kemampuannya setaraf dengan kemampuan siswa
kelompok penelitian. Uji coba instrumen dilakukan untuk melihat validitas
butir tes, reliabilitas tes, daya pembeda butir tes, dan tingkat kesukaran butir
tes.
Untuk melihat validitas, reliabilitas, daya pembeda dan tingkat
kesukaran butir tes, maka akan dilakukan analisis sebagai berikut :
1. Validitas butir soal
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat
kesahihan suatu instrumen. Sebuah butir soal dikatakan valid jika
mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total atau terdapat
kesesuaian antara bagian-bagian instrumen dengan instrumen secara
keseluruhan. Dengan kata lain sebuah butir soal dikatakan memiliki

26

validitas yang baik apabila setiap bagian instrumen mendukung


misi instrumen secara keseluruhan yaitu mengungkap data dari
variabel yang dimaksud. Pada penelitian ini variabel yang dimaksud
yaitu kemampuan komunikasi matematik.
Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus korelasi
product moment pearsons sebagai berikut :
r xy =

N XY X Y

N X X N Y Y
2

Keterangan :
r xy

= Koefisien korelasi antara X dan Y

= Jumlah peserta tes

= Skor siswa pada tiap butir soal

= Skor total

Interpretasi besarnya koefisien korelasi dilakukan berdasarkan


patokan sebagai berikut :
Tabel 4 : Interpretasi Koefisien Korelasi
Koefisien Korelasi (r)

Interpretasi

0,80 < r 1,00

Sangat tinggi

0,60 < r 0,80

Tinggi

0,40 < r 0,60

Cukup

0,20 < r 0,40

Rendah

r 0,20
Sangat rendah
Untuk mengetahui signifikansi korelasi diuji dengan uji-t dengan
rumus sebagai berikut :

t = rxy
Ket :

N 2
1 rxy2

= daya pembeda dari uji t

N = jumlah subjek
r xy =

koefisien korelasi

27

Hipotesis

H1 : r

H0 : r = 0
Jika t

tabel

< t

hitung

maka tolak H0, artinya butir soal tersebut

signifikan untuk derajat kebebasan dk = n 2 dengan taraf signifikansi 5


%.
Butir soal tes kemampuan komunikasi matematika yang memiliki
nilai validitas yang sangat rendah tidak dipakai, karena hal ini
menunjukkan bahwa skor yang dicapai siswa pada soal tersebut tidak
memberi dukungan terhadap skor total atau dengan kata lain skor item tes
tidak memiliki kesejajaran dengan skor total.
2. Reliabilitas butir soal
Reliabilitas berkenaan dengan keajegan hasil tes, artinya soal
dapat memberikan hasil relatif sama jika diberikan pada subjek yang
sama meskipun dilakukan pada waktu dan tempat yang berbeda.
Untuk menghitung reliabilitas digunakan rumus alpha berikut :
r 11

n
=
n 1

2
1 b

t2

Dimana :
r 11

= Reliabilitas yang dicari

n = Banyak soal
t2

= Varians total
2
b

= Jumlah varians skor tiap-tiap item

Untuk mencari variansi digunakan rumus :


=
2

Dengan kriteria:

atau

x
N

28

0,80< r 11 1,00 : korelasi sangat tinggi


0,60< r 11 0,80 : korelasi tinggi
0,40< r 11 0,60 : korelasi cukup
0,20< r 11 0,40 : korelasi rendah
0,00< r 11 0,20 : korelasi sangat rendah
3). Indeks Kesukaran Soal
Agar tes dapat digunakan secara luas, maka setiap soal tes diteliti
tingkat kesukarannya, yaitu apakah soal tersebut termasuk soal yang
mudah, sedang atau sukar. Dalam hal ini digunakan rumus yang
dikemukakan Departemen Pendidikan Nasional (2001:13) adalah:
Mean =

IK

Jumlah skor siswa pada suatu soal


Jumlah siswa yang mengikuti tes

Mean

= Skor maksimum yang ditetapkan

Dengan klasifikasi indeks kesukaran soal:


IK=1,00

sangat mudah

0,70<IK 1,00

mudah

0,30<IK 0,70

sedang

0,00<IK 0,30

sukar

IK=0,00

sangat sukar

4). Daya Pembeda Soal


Indeks pembeda

soal adalah kemampuan soal untuk dapat

membedakan antara siswa yang berkemampuan tinggi dengan siswa


yang berkemampuan rendah. Untuk menentukan daya pembeda soal
digunakan rumus yang dikemukakan oleh Departemen Pendidikan
Nasional (2001:28) adalah:

29

IP =

Mt Mr
M

Dimana :
IP = Indeks pembeda soal
M t = Rata-rata skor kelompok tinggi
M r = Rata-rata skor kelompok rendah
M = Skor maksimum setiap soal
Dengan klasifikasi daya pembeda:
IP = 0,00

sangat jelek

0,00< IP 0,20

: jelek

0,20< IP 0,40

: cukup

0,40< IP 0,70

: baik

0,70< IP 1,00

: sangat baik

Setelah dihitung indeks kesukaran dan daya pembeda soal, selanjutnya


diklasifikasikan atas soal yang terpakai, diperbaiki, atau dibuang.
Pengklasifikasian didasarkan atas kriteria pada tabel 6 berikut:
Tabel 5. Kriteria Penerimaan Item
Besarnya IK
IK=0,00

Besarnya IP
IP=0,00

Interpretasi
Dibuang

0,00<IK 0,30

0,00<IP 0,2

Diperbaiki

0,30<IK 1,00

Dipakai

0,20<IP 1,0
0
Sumber : Departemen Pendidikan Nasional (2001:28)

F.

Prosedur Penelitian
1. Tahap Persiapan
a. Menentukan jadwal penelitian
Penentuan jadwal penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapan
waktu yang tepat melakukan penelitian. Penelitian ini direncanakan

30

akan dilaksanakan pada materi

semester 1 Tahun Pelajaran

2010/2011 kelas 2 SD Percobaan Padang .


b. Mempersiapkan instrumen pengumpulan data
Instrumen yang dipersiapkan antara lain lembaran kegiatan siswa, tes
hasil belajar yang akan diberikan 8 kali perlakuan setelah diterapkan
dengan pendekatan RME.
2. Tahap pelaksanaan
Pada kelas eksperimen dilakukan pembelajaran dengan pendekatan
RME. Pada kelas kontrol dilakukan pembelajaran dengan metode
konvensional.
3. Tahap penilaian
Pada pertemuan terakhir diadakan posttest hasil belajar untuk mengukur
kemampuan komunikasi matematika.
G. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
untuk data kuntitatif berupa tes kemampuan komunikasi matematis dengan
pembelajaran RME. Tes disusun sesuai dengan indikator kemampuan
komunikasi. Sedangkan untuk data kualitatif berupa:
1. Observasi
Untuk mengetahui kesiapan guru dalam melaksanakan pembelajaran
dengan pendekatan RME setelah mengikuti WorkShop RME, maka
dilakukan pengamatan/observasi dikelas dengan handicam dalam
bentuk video. Saat penelitian berlangsung penulis terlibat langsung
dalam pelaksanaan pembelajaran dengan cara ikut masuk kelas
bersama guru hanya untuk ikut pengamatan saat pembelajaran.
Sedangkan untuk siswa dilakukankan observasi dengan memberikan
penilaian terhadap indikator-indikator kemampuan komuniksi.
2. Wawancara
Instrument
yang
digunakan
untuk
mengumpulkan
pandangan/tanggapan guru terhadap pelaksanaan pembelajaran RME
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi matematik. Adapun
aspek-aspek yang ingin digali dari guru adalah:
1) Aspek kemampuan dalam mengatur dan menggabungkan
pemikiran matematika melalui komunikasi

31

2) Aspek kemampuan mengkomunikasikan pemikiran matematika


secara koheren dan jelas
3) Aspek kemampuan dalam menganalisa dan menilai strategi
matematika orang lain
4) Aspek kemampuan menggunakan bahasa matematika untuk
menyampaikan ide dengan tepat
Wawancara juga dialakukan kepada siswa untuk mengetahui
kemampuan komunikasi matematis siswa. Aspek yang digali dari
siswa adalah:
1) Aspek kemampuan ekspresi matematika yaitu kemampuan
membuat model matematika
2) Aspek kemampuan menulis yaitu kemampuan memberikan
penjelasan dan alasan secara matematka dengan bahasa yang
benar dan mudah dipahami
3. Dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan dalam penelitian ini untuk melengkapi
informasi yang diperoleh pada teknik observasi dan wawancara.
Adapun

informasi

yang

didapatkan

pada

studi

dokumentasi

diantaranya data tentang kesiapan guru, tes kemampuan komunikasi


matematik, rencana pembelajaran matematika, dan alat bantu dalam
kegiatan dalam proses pembelajaran. Alat dokumenasi yang digunakan
adalah alat perekam yaitu berupa Handicam dan catatan lapangan.
Teknik Menjamin Keabsahan Data

H.

Keabsahan data yang diperoleh di lapangan diperiksa dengan teknikteknik sebagai berikut sebagaimana yang dikemukakan oleh Suginoyo
(2005:121) bahwa: uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi
uji

credibility

(validitas internal), transferability (validitas eksternal),

dependability (reliabilitas), dan confirmability (objektivitas).


a. Uji kredibilitas
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian
kualitatif antara lain dilakukan pengamatan, peningkatan ketekunan
dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis
kasus negatif, dan member check.
b. Pengujian Transferability

32

Transferability menunjukkan derajat ketepatan atau dapat diterapkannya


hasil penelitian ke populasi di mana sampel itu diambil. Nilai transfer
ini berkenaan dengan pertanyaan, hingga hasil penelitian dapat
diterapkan atau digunakan dalam situasi sosial lain.
c. Pengujian dependability
Uji dependability dilakukan dengan melakukan audit terhadap
keseluruhan proses penelitian. Menurut Sanafiah faisal dalam Sugiyono
(2005: 131)jika peneliti tak mempunyai dan tak dapat menunjukkan
jejak aktivitas lapangannya, maka dependabilitas penelitian patut
diragukan.
d. Pengujian Konfirmability
Menguji konfirmability berarti menguji hasil penelitian, dikaitkan
dengan proses yang dilakukan. Bila hasil penelitian merupakan fungsi
dari penelitian yang dilkukan, maka penelitian tersebut telah memenuhi
standar konfirmability.

I.

Teknik Analisis Data


Analisis data dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah
dirumuskan. Untuk menentukan uji statistik yang digunakan, terlebih dahulu
ditentukan normalitas data dan homogenitas variansi. Apabila hasil pengujian
menunjukkan bahwa sebaran data tidak berdistribusi normal maka untuk
menguji kesamaan dua rata-rata digunakan statistik nonparametrik dan
apabila hasil pengujian menunjukkan tidak homogen maka untuk uji
kesamaan dua rata-rata digunakan uji t (apabila berdistribusi normal) dan
tidak digunakan varians gabungan. Sebelum itu ditentukan rata-rata skor dan
simpangan bakunya. Langkah-langkahnya sebagai berikut :
1. Menghitung rata-rata skor hasil tes akhir dengan menggunakan rumus :

33

x
i 1

n
2. Menghitung standar deviasi skor hasil tes akhir dengan menggunakan
rumus :
s=

i 1

x
n

3. Menguji normalitas data skor tes akhir, dengan uji Lilifors dengan
langkah-langkah yang dikemukakan oleh Sudjana (1996 : 466) yaitu:
a) Menyusun skor masing-masing galat dalam suatu tabel dengan
mengurutkan dari skor yang terendah ke skor yang tertinggi
(e1, e2, ...., en).
b) Nilai-nilai e1, e2,....., en dijadikan nilai baku Z1, Z2, ...., Zn dengan
menggunakan rumus:
dengan
e

= setelah disubsitusikan dengan nilai X

Dengan :
e = Skor Galat
= Skor Rata-rata sampel
= Simpangan baku galat sampel
c) Menghitung peluang F(Zi) = P(Z Zi) dengan menggunakan table
distribusi normal baku
d) Menghitung nilai proporsi Z1, Z2, ...., Zn yang lebih kecil sama dengan
Zi jika proporsinya dinyatakan oleh S(Zi) maka:

e) Menghitung selisih F(Zi) S(Zi) kemudian ditentukan harga


mutlaknya

34

f) Mengambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak


selisih tersebut. Sebutlah harga itu dengan Lo = max

g) Membandingkan harga Lo ini dengan nilai kritis L yang diambil dari


tabel Lilifors. Tolak hipotesis berdistribusi normal, jika Lo yang
diperoleh dari data pengamatan melewati harga Ltabel. Dalam hal
lainnya hipotesis ditolak.
4. Menguji homogenitas varians dengan menggunakan rumus :

st2
Fmaks = 2
sc
Keterangan :
= varians kelompok eksperimen
= varians kelompok kontrol
Kriteria uji homogenitas adalah :
H0 : ditolak jika Fhitung > Ftabel
5. Jika sebaran data normal dan homogen, menguji signifikansi dengan
statistik uji t berikut :
xe xk

t=

1
1 , dengan df = nx + ny 2 , dan

x ny

s x2 y

varians s x y =

s x2 n x 1 s 2y n y 1
nx n y 2

Keterangan :
= rata rata kelas eksperimen

35

= rata rata kelas kontrol


= simpangan baku kelas eksperimen
= simpangan baku kelas kontrol
= jumlah siswa kelas eksperimen
= jumlah siswa kelas kontrol
Kriteria pengujiannya adalah tolah H 0 jika thitung >

dengan

df = (n1 n2 2) selain itu H0 diterima (Sudjana, 1992:239)

Apabila sebaran data tidak berdistribusi normal maka untuk


menguji kesamaan dua rata-rata digunakan statistik uji nonparametrik yaitu
uji Mann Whitney (statistik U). Rumus statistik uji yang digunakan (Siegel,
1985) adalah sebagai berikut: U n1 n 2

n1 (n1 1)
R1
2

dimana,
U

: Statistik uji Mann Whitney

n1, n2 : Ukuran sampel pada kelompok 1 dan kelompok 2


R1

: Jumlah ranking yang diberikan pada kelompok yang ukuran


sampelnya n1
Untuk sampel berukuran besar (n > 20), Siegel (1985)

menyarankan untuk menggunakan pendekatan ke distribusi normal dengan

bentuk statistik sebagai berikut:

n1 n2
2
n1 n2 (n1 n2 1)
12
U

Dimana,
z : statistik uji z yang berdistribusi normal N(0,1).

36

Data kualitatif analisis data yang digunakan yaitu :


1. Reduksi data
Reduksi data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk proses
pemilihan, pengeditan, pemusatan perhatian dan penyederhanaan.
2. Penyajian data
Data yang telah disederhanakan selanjutnya disajikan dalam bentuk tulisan
yang masih menggambarkan pengertian umum dari apa yang diperoleh
dilapangan, selanjutnya data disusun kemudian ditarik kesimpulan sebagai
upaya untuk mengambil tindakan apa yang dilakukan di SD Percobaan
Padang. Yang disajikan dalam bentuk matriks dan narasi. Format matriks
merupakan abstraksi atau penyederhanaan dari data kasar yang diperoleh
dari catatan lapangan. Penyusunan matriks beserta penentuan data kasar
yang harus dimasukkan

didalamnya serta pengkodean dilakukan

berdasarkan kasus atau pokok bahasan kemudian data yang terdapat


didalam matrik dideskripsikan secara naratif.

37

3. Verifikasi
Berdasarkan cara kerja dalam teknik analisis yang dilakukan model miles
dan hubermen dari reduksi data, penyajian data kemudian diverivikasi,
dilakukan selama dan sesudah penelitian berlangsung. Selanjutnya apabila
terjadi kekurangan data atau kesalahan sehingga kesimpulan yang diambil
kurang sesuai dapat dilakukan proses ulang dengan tahapan yang sama.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Fauzan. 2002. Applying Realistic Mathematics Education (RME) in
Teaching Geometry in Indonesian Primary Schools. Enschede: Print Partners
Ipskamp.
Darto. 2008. Meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa melalui
pendekatan

Realistic Mathematic Education di SMPN 3 Pangkalan

Kuras.Tesis tidak diterbitkan. Universitas Negeri padang.


Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kompetensi Dasar Mata Pelajaran
Matematika Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2001. Penyusunan butir soal dan istrumen penelitian. Jakarta :
Dikdasmen.

38

Graveneijer Koeno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education.


Neterland: Freundenthal Institude.
John A. 2008 . Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Jakarta : Erlangga.
Marpaung, Y . 2000 . Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Maatematika di SD.
Proceding Konperensi Nasional X Matematika. ITB, 17-20 Juli 2000.
National Council of Teachers of Mathematics (NCTM). (1989). Curriculum and
Evaluation Standards for School Mathematics. Reston. Virginia.
Rahman Nata Wijaya . 2008 . Rujukan Filsafat, Teori, da Praktis ilmu pendidikan.
Bandung: UPI Press.
Slameto. 1995. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suherman, Erman, dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematikan Kontemporer.
Bandung : FMIPA UPI
Strefland Leen. 1991. Realistic Mathemaics Education in Prymary School.
Neterland: Freudenthal Instiude.
Sudjana.1996. Metode Statistika . Bandung : Tarsito.
Sutarto

Hadi.

2005.

Pendidikan

Matematika

Realisitk

dan

Implementasinya.Banjarmsin: Tulip.
Sugiyono.2005. Metode Penelitian Kualitatif. Alfabedi: Bandung.
Utari Sumarno. 2002. Pengukuran evalua si dalam pendidikan. UPI Bandung.
Universitas Negeri Padang. 2009. Panduan Penulisan Tesis dan Disertasi.
Padang : Pps UNP
Supinah .2008. Pembelajaran Matematika SD Dengan Pendekatan Kontekstual
Dalam Melaksanakan KTSP.

Yogyakarta: Pusat Pengembangan dan

Pemberdayaan Pendidik Tenaga Kependidikan Matematika.

Anda mungkin juga menyukai