Anda di halaman 1dari 4

Pemanenan dalam Konteks Sustainable Forest Management

Kayu merupakan salah satu kebutuhan manusia dan seiring bertambahnya jumlah penduduk, eksploitrasi terhadap kayu pun meningkat. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu kegiatan pengelolaan terhadap hutan agar dapat terus memproduksi kayu. Pengelolaan hutan saat ini tidak hanya berbasis pada kelestarian hasil (sustained yield) saja tetapi juga memperhatikan kelestarian fungsi hutan lainnya, terutama kelestarian fungsi lingkungan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan public. System pengelolaan hutan lestari atau pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management) mencakup aspek yang lebih luas yaitu kelestarian perusahaan, sumberdaya, produksi, fungsi-fungsi lingkungan, dan fungsi-fungsi social. Kegiatan pengelolaan hutan terdiri dari perencanaan, pembukaan wilayah hutan, penanaman, pemeliharaan, perlindungan hutan, pemanenan dan pemasaran hasil hutan. Pemanenan merupakan salahsatu bagian dari kegiatan pengelolaan hutan yang yang penting. Pemanenan secara sederhana dapat diartikan sebagai kegiatan mengeluarkan hasil hutan dari dalam hutan ke konsumen atau ke industri pengolahan hasil hutan. Pemanenan dapat dipandang sebagai awal dari pemanfaatan hasil hutan karena dengan kegiatan pemanenan, hasil hutan yang semula berada di dalam hutan dikeluarkan sampai ke konsumen atau ke industri pengolahan hasil hutan. Pemanenan juga dapat di anggap sebagai kegiatan yang paling merusak hutan karena kegiatan pemanenan akan merubah kondisi ekosistem hutan tersebut terutama pada system pemanenan yang tidak memperhatikan kerusakan lingkungan yang dapat terjadi atau biasa disebut pemanenan konvensional. Ciri-ciri pemanenan konvensional menurut Supriyanto dan Becker (1998) tidak adanya rencana pemanenan yang memadai, dalam beberapa kasus bahkan tanpa adanya rencana kerja. Tingginya intensitas pemanenan yang umumnya mencapai lebih dari 10 batang/ ha. Pelaksanaan atau operasional dilakukan secara serampangan, dilaksanakan dengan coba-coba (try and error). Tidak adanya control dan supervise dalam pelaksanaan yang baik. Limbah pemanenan sangat tinggi sekitar 30% dari total volume yang dipanen. Kerusakan tegakan tinggal sangat tinggi dapat mencapai 56% dari tegakan sebelum penebangan. Kerusakan dan gangguan terhadap tanah hutan juga tinggi, tanah hutan yang terbuka dapat mencapai 40% dari total area yang dipanen. Dampak negative yang dapat terjadi akibat pemanenan konvensional berupa kerusakan terhadap flora dan fauna, kerusakan tanah hutan, gangguan terhadap tata air dan juga mencakup

dampak terhadap aspekaspek ekonomi dan sosio-kultural. Kegiatan penebangan dan penyaradan dengan menggunakan alat-alat berat akan menyebabkan berbagai kerusakan antara lain kerusakan vegetasi penutup tanah dan tanah lapis atas, perubahan sifat fisik tanah seperti pemadatan tanah, hilangnya bahan-bahan organic ataupun unsure hara akibat proses pencucian (leaching), meningkatnya aliran permukaan (run off), berkurangnya infiltrasi dan meningkatnya erosi yang pada akhirnya tanah menjadi miskin dan produktivitas lahan akan berkurang. Dampak negative besarnya bervariasi tergantung pada jenis tegakan, ukuran tegakan, kerapatan tegakan, kondisi topografi dan relief areal yang dipanen, intensitas tebangan, ada atau tidaknya perencanaan yang memadai sebelum pelaksanaan pemanenan, peralatan yang digunakan, dan ada atau tidaknya kegiatan supervise dan control selama kegiatan pemanenan. Pada pengelolaan hutan berkelanjutan atau sustainable forest management (SFM) yang memperhatikan fungsifungsi lingkungan, dampak dari pemanenan harus di minimalisir. Oleh karena itu muncul system pemanenan ramah lingkungan (reduce impact logging/RIL). Beberapa ahli memberikan pengertian dan tujuan pemanenan ramah ligkungan yang berbeda-beda namun memiliki saasaran yang sama. Sist et.al.(1998) menyatakan bahwa tujuan RIL adalah untuk mengurangi kerusakan tanah hutan, dmpak negative terhadap satwa liar, dan mengurangi kerusakan pada tegakan tinggal. RIL juga mencakup prosedur untuk mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya hutan melalui inventarisasi hutan dan perencanaan pemanenan. Menurut Amstrong dan Inglis (2000) RIL merupakan pendekatan sistematis pada kegiatan pemanenan hasil hutan, terutama pengembangan perencanaan pemanenan yang didasarkan pada data dan informasi yang memadai dan akurat. Tujuan akhir penerapan RIL adalah untuk mencapai efisiensi dalam kegiatan pemanenan hasil hutan (kayu) untuk mendukung pengelolaan hasil hutan yang berkelanjutan. Supriyanto (1995) mengemukakan bahwa efisiensi dalam pemanenan kayu akan mengarah pada tiga hal yaitu efisiensi dalam hal dampak lingkungan dengan menekan seminimal mungkin dampak degatif yang terjadi (low demage/ negative impact), efisiensi dalam biaya pemanenan menuju biaya pemanenan yang rendah (low cost) dan efisiensi dalam pemanfaatan kayu dengan meminimalkan limbah atau kehilangan kayu (low lost). Tujuan penetapan RIL di hutan alam produksi dengan system silvikultur tebang pilih adalah meminimalkan efek negative terhadap tegakan tinggal dan tanah hutan, meningkatkan pemanfaatan kayu dan kualitas kayu serta meminimalkan limbah, meningkatkan efisiensi dalam

biaya pemanenan kayu, dan meningkatkan keselamatan kerja dalam kegiatan pemanenan melalui penerapan prosedur dan cara kerja yang benar. Prinsip-prinsip dalam RIL mencakup planning, doing, controlling, action. Planning, perencanaan yang disusun sebelum kegiatan pemanenan secara terpadu. Doing, pelaksanaan kegiatan pemanenan oleh tenaga-tenaga yang kompeten dengan disertai prosedur pelaksanaan yang baku (standard operation procedure). Controlling, pengawasan dan supervise pada pelaksanaan kegiatan pemanenan. Action, pengambilan tindakan-tindakan yang diperlakukan sesuai hasil pengawasan dan pemantauan, termasuk tindakan pasca pemanenan. Ciri-ciri pemanenan ramah lingkugan menurut Supriyanto dan Becker (1998) adanya inventarisasi sebelum tebangan (pre-felling inventory) yang mencakup inventarisasi tegakan, permudaan, dan survey topografi. Penyusunan rencana pemanenan yang disusun berdasarkan hasil inventarisasi, mencakup intensitas tebangan, rencana pembukaan wilayah (jaringan jalan angkutan, tempat penimbunan kayu, dan jaringan jalan sarad) penentuan arah rebah dan urutan tebangan. Pemanenan dilaksanakan secara cermat, penebangan sesuai arah rebah yang ditentukan, menggunakan teknik winching. Intensitas pemanenan yang rendah dengan tujuan mengurangi kerusakan sekaligus mempertahankan kondisi tegakan tinggal ter baik. Adanya kontrol dan supervise teknis yang memadai pada saat pelaksanaan kegiatan pemanenan. Adanya pembatasan - pembatasan dalam operasi logging, sepertipenghentian kegiatan saaat hujan. Dilakukannya tindakan setelah pemanenan, seperti inventarisasi kerusakan dan pengambilan tindakan pencegahan erosi. Prinsip prinsip yang digunakan RIL sebetulnya telah lama ada, prinsip prinsip tersebut secara teoritis telah ada dalam pemanenan konvensional namun yang membedakan dengan RIL adalah adanya tindakan tindakan pasca pemanenan (post harvest treatmens). Namun pada penerapannya pemanenan konvensional tidak mengindahkan perinsip tersebut. Hasil hasil penelitian dan uji coba penerapan RIL menunjukkan bahwa kerusakan terhadap tegakan dan tanah dapat diminimalkan. Hail penelitian percobaan RIL di Indonesia menunjukkan kerusakan tegakan tinggal antara 6 18% bila diperhitungkan dari jumlah batang dan 6 17% bila diperhitungkan dari luas bidang dasar. Kerusakan dapat diminimalkan sampai dengan sekitar 50% dari total kerusakan pada system pemanenan konvensional. Kerusakan pada tanah hutan pada penelitian penerapan RIL berkisar antara 4 14%, bahkan beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa kerusakan pada tanah hutan dapat diminimalkan hingga kurang dari

10% area yang di penen, sedangkan pada pemanenan konvensional kerusakan pada tanah hutan mencapai sekitar 30%. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penerapan RIL mampu mengurangi kerusakan yang terjadi akibat kegiatan pemanenan. Pemanenan dengan menerapkan RIL lebih baik daripada pemanenan konvensional. Sedangkan dari segi biaya beberapa ahli memperkirakan dengan adanya tambahan kegiatan RIL akan mengakibatkan biaya RIL lebih mahal daripada biaya pemanenan konvensional. Namun hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa RIL lebih murah daripada pemanenan konvensional sehingga penerapan RIL lebih menguntungkan daripada pemanenan konvensional. Pemanenan dengan penerapan RIL meskipun tidak menghilangkan dampak akibat kegiatan pemanenan namun penerapan RIL dapat meminimalisir dampak yang terjadi. Adanya tambahan kegiatan RIL yang dimaksudkan untuk meminimalisir kerusakan dan efisiensi pemanfaatan kayu dengan meminimalkan limbah tidak menambah besar biaya pemanenan melainkan memperkecil biaya pemanenan itu sendiri. Dengan efisiensi pemanfaatan kayu penghasilan akan bertambah dan dengan kerusakan yang diminimalisir biaya untuk pembenahan lahanpun berkurang hal ini menunjukkan penerapan RIL tidak menambah besar biaya melainkan manambah keuntungan dari segi finansial dan juga lingkungan.

Afifah (08/269647/KT/06269)

Anda mungkin juga menyukai