Anda di halaman 1dari 17

ARABIYATUL QURAN

BARANGKALI karena lazimnya, jarang sekali kita memperhatikan bahasa yang kita
gunakan. Bahasa sudah kita anggap sebagai hal yang biasa, seperti makan, minum, dan
bernafas. Tetapi sebenarnya, bahasa memainkan peranan yang sangat penting dalam
kehidupan kita. Bahkan hal paling penting yang membedakan antara manusia dengan
binatang adalah kemampuan berbahasa. Seperti dikatakan oleh Quintilian, "Tuhan, Sang
Pencipta Alam Yang Maha Kuasa serta Arsitek Dunia, telah memberikan kepada manusia
suatu sifat yang sangat tepat untuk membedakannya daripada hewan, yakni daya bicara."
(Mario Pei, 1970)
Mayoritas umat Islam di seluruh dunia sepakat, bahwa bahasa al-Qur'an adalah
bahasa Arab dan Nabi Muhammad juga bangsa (orang) Arab, maka banyak orang yang
menyamaratakan (termasuk para orientalis), bahwa semua yang berbau Arab (Timur Tengah)
adalah Islam. Namun bila kita cermati lebih dalam lagi, wajar bila timbul pertanyaan, kalau
memang benar bahwa bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arab dan Nabi Muhammaad adalah
bangsa (orang) Arab, maka Arab manakah yang dimaksudkan? Apakah Arab Badui, Arab
Palestina, Arab Yaman, Arab Mesir, Arab Himyar, Arab Quraiys atau Arab Hadramaut?
Ditinjau dari sejarahnya, sekurang-kurangnya ada dua jenis klan besar Arab yang
mendiami daerah Hijaz (jazirah Arab). Yang pertama adalah Arab asli (True Arabs) atau
Arab al-'Ariba dan yang kedua adalah Arab pendatang (Arabized Arabs) atau Arab al-
Musta'riba. Arab asli adalah keraturunan dari Qathan, sedangkan Arab pendatang merupakan
keturunan dari Ismail, yang datang dari Babylonia (Mesopotamia).
Pada masa menjelang lahirnya Muhammad, Makkah sebagai pusat kota yang
terpenting pada saat itu. Praktis dikuasai oleh orang Arab pendatang yang populer dengan
sebutan suku bangsa Quraisy. Didukung oleh persekutuan antar kabilah yang kuat dalam
perjanjian hilfufudhul, maka bahasa Arab Quraisy secara de facto telah menjadi lingua france
(bahasa utama) di seluruh jazirah Arab pada masa itu.
Berdasarkan data sejarah dan bukti dari berbagai ayat al-Qur'an dapat disimpulkan bahwa,
bahasa al-Qur'an adalah bahasa Arabs Quraisy. Singkatnya disebut dengan bahasa Araby.
Kemudian, mengapa kita memakai istilah Araby? Apakah karena kata Araby berbeda dengan
kata Arab? Istilah Araby berasal dari kata Arab yang ditambah dengan huruf "ya nisbah",
yaitu huruf "ya" di akhir kata yang berfungsi sebagai penghubung dari kata itu. Dalam
konteks bahasa, "ya nisbah" berfungsi untuk merumpunkan suatu bahasa dengan
kelompoknya. Seperti halnya bahasa Indonesia adalah serumpun dengan bahasa Malaysia,
yakni termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Jadi, yang kita maksud bahasa al-Qur'an
sebagai bahasa Araby, adalah karena bahasa Arab Quraiys yang dipakai al-Qur'an tersebut
serumpun dengan bahasa Arab seumumnya.
Yang penting digarisbawahi di sini adalah, dari dua bahasa yang serumpun seringkali tidak
sama persis antara yang satu dengan yang lainnya. Ada banyak hal yang sama, tetapi ada
beberapa hal lain yang berbeda.
Perbedaan antara bahasa Arab dengan bahasa al-Qur'an, adalah:
1. Bahasa Arab adalah bahasa kontemporer yang masih mengalami proses perubahan
dan perkembangan (bisa bertambah dan berkurang). Sedang bahasa al-Qur'an adalah
bahasa klasik yang sudah baku.
2. Secara struktur, bahasa Arab tersusun dari kalimat, kata dan huruf tanpa ada ikatan
yang kuat. Sedang bahasa al-Qur'an terikat dalam kitab, surat, ayat, kalimat, kata, dan
huruf.

Bahasa Arab sebagai Bahasa Asli
Asal-usul bahasa sampai kini masih menjadi perdebatan para peneliti. Salah satu pendapat
menyatakan, bahasa mempunyai rumpun atau keluarga. Di dunia ini ada empat rumpun
bahasa. Rumpun Semit, Indo Eropa, Arya, dan Mongol. Bahasa Melayu, termasuk bahasa
Indonesia adalah keluarga dari rumpun Mongol.
Apabila kita perhatikan kata "ardl" dalam al-Qur'an kemudian kita bandingkan
dengan earth (Inggris), terra (italia), terre (Perancis), tierra (Spanyol), erde (Jerman), aarde
(Belanda), rat (Jawa, bumi - Indonesia), maka dari ketujuh bahasa tersebut ada kemiripan
dalam bunyi ucapan (lafadz) dan kesinoniman dalam makna yang dikandungnya. Bila ada
pertanyaan, bahasa manakah yang paling tua umurnya? Untuk menjawab pertanyaan ini
memang tidak mudah.
Ada seorang dosen linguistik di sebuah universitas terkemuka di Inggris, Prof. Dr.
Tahiyya Abdul Aziz yang menulis buku berjudul Arabic Language The Origin of
Languages. Dalam bukunya, Prof. Tahiyya berani menyimpulkan, bahasa Arab merupakan
sumber dan asal-usul dari semua bahasa yang ada di muka bumi ini. Sungguh pun bahasa
Arab itu dipandang dari sudut literatur adalah bahasa yang termuda di antara kumpulan
bahasa-bahasa Samyah (Semite), tetapia bahasa ini lebih banyak mewarisi sifat-sifat asli
bahasa induknya, yaitu bahasa Samyaha daripada bahasa Ibrani dan lain-lain bahasa yang
bersaudara dengan itu (Philip K. Hitti, Dunia Arab, Sejarah Ringkas, hal. 11). Dan tanah
Arablah negeri asal dari cikal-bakal suku-suku bangsa bani Samyah, yaitu, bangsa Babylonia,
Assyiria, Chaldea, Amorayah, Aram, Phunisia, Ibrani, Arab, dan Abessinia (hal. 12).
Dalam Kitab Perjanjian Lama (The Old Testament) dikatakan, "Adapun seluruh bumi,
satu bahasanya dan satu logatnya." (Kejadian 11: 1). Kemudian dalam The Story of
Language, Mario Pei mengutip pernyataan Cowper, "Para sarjana filologi, yang memburu
sebuah suku-kata terengah-engah lewat ruang dan waktu, mulai darii rumah, mengejarnya
dalam gelap-gulita ke Gallia, ke Yunani, ke Bahtera Nabi Nuh juga." Dalam beberapa
pernyataan yang kita kutip tersebut, bila kemudian dihubungkan dengan Surat ash-Shaaffaat
ayat 83 yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar pendukung dan
pelanjut dari Nuh. Lalu disambung dengan Surat al-Alaa ayat 18 dan 19, yang secara tegas
menyebutkan, al-Qur'an hingga sampai kepada Nabi Nuh.
Bila sudah sampai pada Nabi Nuh, maka untuk menghubungkannya hingga Nabi
Adam as, ibaratnya, tinggal selangkah lagi. Yakni, tinggal menghubungkannya melalui Nabi
Idris. Inilah yang disebut sebagai Arabic language oleh Prof. Tahiyya sebagai asal-usul
semua bahasa di dunia ini. Bahasa wahyu, bahasa para Nabi. Sejak Adam hingga
Muhammad. Dalam kait-hubungan dengan bangsa Arab, bukan berarti wahyu al-Qur'an yang
mengikuti bangsa Arab, tatapi bahasa dan budaya bangsa Arablah yang mengikuti bahasa dan
budaya para Nabi (al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur, Shukhur Ula, al-Asma dll).
Apabila sejarah timbulnya bahasa dirunut sejak Nabi Adam as., sebenarnya
kemampuan manusia dalam berbahasa tidak bisa lepas dari pengajaran yang diberikan oleh
Allah. Karena Adam itu satu dan Allah Maha Esa, maka bahasa pun pada awal mula
kelahirannya, semestinya, hanya satu juga. Bila dikatakan bahwa bahasa itu adalah ciptaan
manusia, kemungkinan besar yang dicitakan manusia hanyalah berupa bentuk tulisannya saja.
Bahasa dalam bentuk aslinya yang pertama adalah berupa suara atau rangkaian bunyi (ujaran)
yang mengandung makna tertentu. Bentuk bahasa ucap atau percakapan ini pastilah bukan
ciptaan manusia, tetapi pemberian dari Allah.

Bentuk Bahasa al-Qur'an
Bahasa ucap atau bahasa lidah merupakan landasan bagi semua bahasa. Bahasa wahyu yang
didokumentasikan dalam al-Qur'an disebut sebagai qaulan atau lisaanan yang artinya ucapan
atau perkataan lisan. Hal ini perlu kita tandaskan karena perbedaan bentuk bahasa akan
sangat berpengaruh pada makna yang dikandungnya.
Sebagai perbandingan antara bentuk bahasa ucap dan bahasa tulis antara lain:
1. Bahasa tulis sangat terikat oleh tata bahasa, sedangkan bahasa ucap lebih longgar
dalam.
2. Dalam bahasa ucap, intonasi atau tinggi rendah tekanan (nada) suara sangat
mempengaruhi makna yang dikandungnya, sementara dalam bahasa tulis tidak ada
persoalan dalam hal intonasi.
3. Pihak-pihak yang berbicara biasanya saling bertemu secara langsung dalam ruang dan
waktu yang sama secara dialogis dan interaktif (dalam bahasa ucap), sedangkan dalam
bahasa tulis tidak demikian.
4. Yang paling tahu dari suatu ucapan adalah si pengucap itu sendiri. Bila objek (lawan
bicara) tidak mengerti, bisa langsung ditanyakan kepada yang bersangkutan saat itu
juga. Sedang dalam bahasa tulis, biasanya banyak sekali pemahaman, tafsiran, dan
interpretasi yang berbeda-beda. Bahkan kadang-kadang bertolak-belakang dengan
maksud si penulis, akan tetapi tidak bisa langsung dikonfirmasikan saat itu juga.
Dengan memahami bahwa bahasa al-Qur'an sebenarnya adalah bahasa ucap atau bahasa lisan
yang ditulis (diabadikan) dalam mushaf, maka kita bisa lebih berhati-hati, terutama dalam
upaya melagukan atau menyanyikan al-Qur'an. Jangan sampai sebuah kisah yang heroik di
dalam al-Qur'an (misalnya Surat al-Kafirun) menjadi terdengar lucu, karena keliru
melagukannya, yakni dengan nada meratap misalnya. Atau sebaliknya, yang seharusnya
meratap menadahkan harapan dalam suasana syahdu, tetapi malah dilagukan dengan
semangat berapi-api.
Di samping itu, walaupun mempelajari tata bahasa itu penting, tetapi al-Qur'an sebagai
bentuk bahasa ucap atau lisan mempunyai teori gramatika (tata bahasa) tersendiri. Tidak
cukup hanya dengan sekadar belajar Nahwu Sharaf (tata bahasa Arab biasa). Jadi, untuk
belajar bahasa al-Qur'an memang harus mempelajari tata bahasa al-Qur'an itu sendiri.
Dalam al-Qur'an Surat al-Haaqqaah ayat 42-43 diterangkan, bahasa al-Qur'an adalah bahasa
percakapan dari Tuhan Pencipta alam semesta kepada utusan-Nya, yang dari segi bentuk
maupun kandungannya mempunyai nilai yang sangat mulia (qaulu arasuulin kariimin). Al-
Qur'an bukan termasuk bahasa semodel bahasa para sastrawan atau penyair (syaa'irin) yang
terlalu berorientasi pada keindahan lahiriahnya saja. Bahasa al-Qur'an juga bukan bahasa
seperti bahasa para manterawan (kaahinin) atau peramal atau dukun, karena bentuk bahasa
model ini seringkali sulit dinalar dan tidak komunikatif. Biasanya, bahasa jenis ini
memerlukan juru tafsir khusus.
Dari semua bentuk bahasa tersebut, baik yang syaa'irin maupun kaahinin, yang tahu hanya
para tokoh dan juru tafsirnya. Semakin sulit dipahami oleh orang awam akan terasa semakin
hebat, dan tentu saja semakian mahal harganya.
Paradoks Bahasa
Dalam al-Itqan, as-Suyuthi mengatakan, "Barangsiapa menyatakan telah memahami rahasi-
rahasia yang tersimpan dalam al-Qur'an, tetapi tidak menguasai makna lahiriahnya (tekstual),
maka ibaratnya sama dengan orang yang mengatakan bahwa dia telah sampai (masuk) di
tengah sebuah rumah, tetapi tidak melewati pintunya." Dari pendapat as-Suyuthi ini bisa
disimpulkan bahwa seseorang tidak mungkian bisa memahami makna suatu bahsa tanpa
mempelajari bahasa yang bersangkutan.
Akan tetapi, pengalaman kita dalam belajar bahasa membuktikan, bahasa sebagai alat untuk
menyampaikan makna sama sekali tidak menentukan makna yang dikandungnya. Misalnya
kata "bisa" mempunyai makna "dapat" atau "racun". Dalam kasus ini sebuah lambang bahasa
mempunyai kandungan makna lebih dari satu. Kadang-akadang dalam kasus yang lain, satu
makna yang sama tetapi diungkapkan dengan lambang bahasa yang berbeda-beda, contoh
kata "ibarat", "umpama", "misal", "bagaikan", "seperti", "penaka", dsb, walaupun kata ini
diungkapkan dengan istilah yang berbeda-beda, tetapi maksudnya tetap sama. Inilah paradoks
bahasa yang dimasudkan, di satu segi kita harus melalui bahasa untuk mempelajari makna
yang dikandungnya, di segi lain kita tidak boleh terjebak pada bahasa sebagai alat penyampai
makna yang secara prinsip sama sekali tidak menentukan makna.
Bahasa sebagai alat ibaratnya seperti sebuah keranjang (wadah/tempat). Apakah isi keranjang
itu batu, buah-buahan atau pakaian, tidak ditentukan oleh keranjang itu sendiri. Paling-paling
orang hanya bisa menduga berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kebiasaannya.
Misalnya, andai keranjangnya model seperti begini, maka biasanya untuk tempat buah-
buahan, kalau bentuknya begitu, biasanya untuk tempat pakaian, dan seterusnya.
Begitulah cara kita dalam berusaha belajar bahasa al-Qur'an (bahasa ucap/wahyu
Allah), yang harus kita sikapi dengan penuh kehati-hatian untuk bisa lebih cermat dalam
menyimak, menangkap, dan memahami makna yang dikandungnya, baik secara lahiriah
maupun substansinya. Lebih-lebih sebagaimana kita tahu bahwa al-Qur'an adalah satu-
satunya Kitab Suci (wahyu Allah) bagi umat Islam yang masih utuh dan asli, tidak tercampuri
atau terkotori oleh tangan-tangan manusia yang dapat merobah dan mengurangi serta
mengkaburkan isi dan makna yang dikandungnya, dibandingkan dengan Kitab-kitab Suci
lain.
Orang Arab mempunyai aneka ragam lahjah (dialek) yang timbul dari fitrah
mereka dalam langgam, suara dan huruf-huruf sebagaimana diterangkan secara komprehensip
dalam kitab-kitab sastra. Setiap kabilah mempunyai irama sendiri dalam mengucapkan kata-
kata yang tidak dimiliki oleh kabilah-kabilah lain.
Namun kaum quraisy mempunyai faktor-faktor yang menyebabkan bahasa mereka
lebih unggul daiantara cabang-cabang bahasa arab lainnya. Yang antara lain karena tugas
mereka menjaga Baitullah, menjamu para jema'ah haji, memakmurkan masjidil Haram dan
menguasai perdagangan. Oleh sebab itu, semua suku bangsa arab menjadikan bahasa quraisy
sebagai bahasa induk bagi bahasa-bahasa mereka karena adanya karak teristik-karakteristik
tersebut. Dengan demikian wajarlah jika Qur'an diturunkan dalam logat quraisy, kepada
Rasullah yang quraisy pula untuk mempersatukan bangsa arab dan mewujudkan
kemukjizatan Qur'an ketika mereka gagal mendatangkan satu surah yang seperti Qur'an.
Apa bila orang arab berbeda lahjah dalam pengungkapan sesuatu makna dengan
perbedaan tertentu, maka Qur'an yang diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad ,
menyempurnakan makna kemukjizatannya karena ia mencakup semua huruf dan wajah
qiraah pilihan diantara lahjah-lahjah itu. Dan ini merupakan salah satu sebab yang
memudahkan mereka untuk membaca , menghafal dan memahaminya.
Serapan Dari Satu Bahasa ke Bahasa Lain
Serapan dari bahasa lain adalah hal yang sangat lumrah dan pasti terjadi pada semua bahasa.
Karena toh sebenarnya menurut para ahli bahasa, antara satu bahasa dengan bahasa lain
saling terkait secara historis. Bahkan sebenarnya, menurut mereka, tiap-tiap bahasa punya
induk dan tiap-tiap induk sebenarnya berasal dari satu sumber.
Maka bila dalam bahasa yang digunakan oleh orang Arab, ada terdapat satu dua kosa kata
yang merupakan serapan dari bahasa lain, sangat logis dan masuk akal.
Malahan, boleh dibilang tidak ada satu pun bahasa di dunia ini yang tidak punya unsur
serapan dari bahasa lain. Di dalam bahasa arab, ada beberapa unsur serapan dari bahasa lain
termasuk bahasa Inggris. Dan sebaliknya, di dalam bahasa Inggris pasti terdapat begitu
banyak serapan dari bahasa Arab.
Al-Quran Berbahasa Arab
Adanya fenomena unusr serapan dari bahasa lain, sebenanya sama sekali tidak mengganggu
identitas suatu bahasa. Al-Quran tetap saja dikatakan berbahasa Arab, meski ada beberapa
istilah yang oleh para ahli sejarah bahasa dikatakan bukan sebagai asli dari bahasa Arab.
Masalahnya, orang-orang Arab saat di mana Al-Quran diturunkan memang sudah
menganggapnya bagian dari bahasa Arab. Walau para ahli sejarah bahasa bilang bahwa kata
tersebut berasal dari unsur serapan dari bahasa lain.
Mungkin nanti perdebatan akan bergeser menjadi perdebatan sejarah bahasa. Misalnya
pertanyaannya begini: Kapankah sebuahkata serapandianggap telah menjadi bahasa tertentu,
karena seringkali digunakan oleh orang-orang yang menggunakan bahasa itu?
Kata Qirthas seperti yang anda sebutkan boleh saja oleh para ahli bahasa dianggap sebagai
unsur serapan dari bahasa lain. Tapi masalahnya, apakah orang Arab pada saat Al-Quran
diturunkan tidak tahu maknanya?
Analisa yang sederhana, mereka tahu maknanya, sehingga Al-Quran pun menggunakan
istilah itu, walau dituduh bukan asli dari bahasa Arab.
Perdebatan berikutnya, apakah kalau kita bilang bahwa Al-Quran berbahasa Arab, lantas kita
haramkan Al-Quran dari unsur serapan bahasa yang sudah menjadi fenomena tiap bahasa?
Tentu diskusi ini akan menjadi sangat panjang dan penuh dengan berbagai argumen.
Tiga Pandangan Berbeda
Dan sejak dahulu para ulama ternyata sudah banyak mendiskusikan hal ini. Kita menangkap
setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang, pendapat pertama dan kedua saling berbeda
dan pendapat ketiga agaknya ingin menyatukannya.
1. Pendapat Pertama: Quran Seluruhnya Bahasa Arab
Pendapat pertama mengatakan bahwa Al-Quran 100% berbahasa arab, tidak ada unsur serapa
dari bahasa lain. Hal itu karena di dalam Al-Quran disebutkan secara tegas dan lebih dari satu
kali tentang hal itu. Maka tidak pada tempatnya kalau kita mengatakan bahwa di dalam Al-
Quran ada bahasa selain bahasa Arab.
.^^) +OE4^4O^ ^47O~
1)4O4N 7^UE- ]OUu> ^g
Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya. (QS. Yusuf: 2)
O4 +OE4UEE_ ^-47O~
=OgE_'C W-O7- O
;eU_ +O+-4C-47 W
OgE_'C+-47 O).4O4N4 ~ 4O-
-g~--g W-ONL4`-47 O1-
E7.Eg-4 W -g~-.-4
]ON4g`uNC EO) )_g^-O-47 EO^~4
4O-4 )_^1U4 O4N _ Cj^q
]uE14LNC }g` p~E` lOg4 ^jj
Dan jikalau Kami jadikan Al-Quraan itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah
mereka mengatakan, "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" Apakah dalam bahasa asing
sedang Arab? Katakanlah, "Al-Quraan itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang
mu'min.(QS. Fushshilat: 44)
Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Al-Imam As-Suyuthi, Ibnu Jarir At-
Thabari, Abu Ubaidah, Al-Qadhi Abu Bakar, Ibnu Faris dan juga Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahumullah
Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan, "Di antara point penting dalam ilmu Al-Quran adalah
bahwa seluruh kitabullah ini diturunkan dalam bahasa arab. Memang ada sementara kalangan
yang berpendapat bahwa ada serapan bahasa lain selain bahasa arab di dalam Al-Quran,
namun hal itu bertentangan dengan keterangan di dalam Al-Quran sendiri."
Asy-syafi'i menambahkan kalau ada ahli bahasa yang mengatakan bahwa di dalam Al-Quran
ada lafadz selain arab, sebenarnya bukan demikian kejadiannya. Yang benar adalah bahwa
ada sebagian orang Arab yang tidak tahu kalau ada lafadz bahasa arab yang demikian, lantas
dia beranggapan lafadz itu bukan arab.
Padahal bahasa arab sangat banyak kosa katanya dan teramat luas cakupannya, dan tidak
berarti kalau ada orang arab yang tidak mengenal satu istilah arab di dalam Al-Quran, boleh
dianggap sebagai bukan dari bahasa Arab. Yang bisa menguasai dan mengenal bahasa arab
secara keseluruhannya hanyalah Nabi SAW.
Atau apa yang dianggap oleh ahli bahasa sebagai lafadz bukan arab, sebenarnya secara
kebetulan memang ada di dalam bahasa lain. Namun lafadz itu tetap ada dalam bahasa arab.
Dan kesamaa lafadz pada dua bahasa yang berbeda bukan hal yang aneh atau mustahil.
Jadi kalau lah ahli bahasa itu bilang bahwa ada lafadz non arab di dalam Al-Quran,
sebenarnya yang terjadi adalah kebetulan ada lafadz dalam Al-Quran yang ada juga di dalam
bahasa lain. Padahal lafadz itu dikenal dan ada dalam bahasa Arab.
Kalau ada yang mengatakan bahwa boleh Al-Quran mengandung bahasa lain karena memang
diturunkan bukan hanya untuk orang arab, Asy-Syafi'i menjawab sebaliknya. Justru
diturunkannya Al-Quran dalam bahasa arab meski untuk semua manusia, tujuannya agar
semua umat manusia belajar bahasa Arab. Bukan Al-Quran yang harus berisi berbagai
bahasa, tetapi berbagai bangsa itulah yang harus belajar bahasa arab sebagai bahasa yang
digunakan oleh Al-Quran.
Hal itu persis seperti keterangan di dalam Al-Quran sendiri:
ElgEOE4 .4L^1EOu El^O)
^-47O~ =O)4O4N 4OO4+-g
Eq O4O^- ;}4`4 EOOEO
4OOL>4 4O4C ;7;O_^- =UuC4O
gO1g _ -C@O O) gOE4O_^- -C@O4
O) )OOgOO- ^_

Demikianlah Kami wahyukan kepadamu Al-Qur'an dalam bahasa Arab, supaya kamu
memberi peringatan kepada ummul Qura dan penduduk sekelilingnya serta memberi
peringatan tentang hari berkumpul yang tidak ada keraguan padanya. Segolongan masuk
surga, dan segolongan masuk Jahannam.(QS. Asy-Syura: 7)
^-47O~ C1)4O4N 4OOEN OgO
4OgN _^UE- 4pO+-4C ^gg
Al-Quraan dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan supaya mereka bertakwa.(QS.
Az-Zumar: 28)
Al-Imam Asy-Syafi'i mengatakan bahwa Allah menegaskan bahwa kitab-Nya itu berbahasa
arab, di semua ayat yang dibacakannya. Bahkan Allah menafikan semua bahasa yang bukan
arad di dalam kitab suci-Nya itu dalam 2 ayat yang lain:
;4 NUu4^ _^^ ]O7O4C
E^^) +OggUENC EO4=E
C]=Og Og~-.- ]UNC gO^1)
OgE;N -EOE-4 Np=Og
>).4O4N +--)lG` ^@
Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, "Sesungguhnya Al-Qur'an itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya." Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan
Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al-Qur'an adalah dalam bahasa Arab
yang terang.(QS. An-Nahl: 103)

Ibnu Faris mengatakan tidak ada di dalam kitabullah lafadz selain bahasa arab. Sebab
seandainya ada, pastilah akan ada tuduhan bahwa bahasa arab terlalu lemah dan tidak mampu
menampung pesan yang banyak, sampai harus menggunakan bahasa lain untuk
membantunya.
Dan tuduhan itu ternyata sudah dilemparkan oleh para orientalis, serta sudah dijadikan
jenjang untuk sampai kepada tuduhan kelemahan Al-Quran.
Ulama Kontemporer
Ulama di zaman sekarang yang berpendapat seperti ini antara lain adalah As-Syeikh Ahmad
Syakir, muhaqqiq kitab Al-Mu'arrab minal Kalamil A'jami yang ditulis oleh Al-Jawaliqi. Al-
Jawaliqi dalam kitabnya itu cenderung mengatakan keberadaan serapan bahasa non arab
dalam Al-Quran, namun dibantah oleh Ahmad Syakir.
Ahmad Syakir mengatakan bahwa anggapan adanya lafadz selain arab dalam Al-Quran
sebenarnya hanyalah perkiraan saja. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa para ahli bahasa
itu pun tidak tahu asal muasal kata-kata itu.
Padahal harus diketahui bahwa bangsa arab adalah bangsa yang sudah ada sejak zaman
dahulu sebelum sejarah ditulis. Jauh sebelum zaman Ibrahim dan Ismail. Sudah ada sebelum
masa keberadaan bahasa Kaldaniyah, bahasa Ibrani, bahasa Suryaniyah dan bahasa Persia.
Jadi tidak ada istilah bahasa-bahasa yang lebih muda diserap ke dalam bahasa arab.
Yang ada sebenarnya lafadz-lafadz itu asli dari bahasa arab sejak dahulu, kemudian diserap
oleh bahasa lain yang lebih muda, lalu datanglah orang-orang kemudian dan beranggapan
bahwa lafadz itu serapan dari bahasa lain ke bahasa arab.
Sependapat dengan logika ini Dr. Hasan Dhiyauddin 'Ithr, di mana beliau menulis dalam
makalah yang berjudul "Kesucian Al-Quran dari bahasa ajam (non arab)."
2. Pendapat Kedua: Dimungkinkan Adanya Bahasa Selain Arab dalam Al-Quran
Di antara yang berpendapat seperti ini adalah Abu Ubaid Al-Qasim bin Salam, Al-Khuwayyi,
Ibnu An-Naqib dan Al-Imam Asy-Syukani.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ibnu Ikrimah, Atha' dan lainnya dari ahli ilmu
bahwa mereka telah menyatakan terdapat banyak bahasa ajam (non-arab) di dalam Al-Quran.
Di antaranya lafadz: thaha, al-yammu, at-thuur, ar-rabbaniyyuun, semuanya adalah bahasa
Suryaniyah. Lafadz misykat serta kiflaini berasal dari serapan bahasa Romawi. Sedangkan
lafadz shirath, qisthas, firdaus dan sejenisnya berasal dari serapan bahasa Habasyah. Semua
ini adalah pendapat Abu Ubaid yang dianggap sebagai ahli ilmu dari kalangan fuqaha'.
Para ahli Nahwu (nuhat) telah bersepakat bahwa di dalam Al-Quran ada begitu banyak lafadz
yang mamnu' minas-sharf, baik karena merupakan al-'alam (nama) atau karena kenon-araban
('ajam), seperti lafadz Ibrahim.
Dan kalau disepakati adanya begitu banyak nama asing non arab dalam Al-Quran, maka tidak
ada alasan untuk menolak adanya lafafz nijsi yang juga bukan arab.
Hikmah Non Arab
Di antara hikmah adanya lafadz non-arab dalam Al-Quran bahwa Al-Quran mencakup ilmu
terdahulu dan kemudian, serta mengabarkan segala sesuatu. Maka di dalamnya harus ada
petunjuk kepada bermacam bahasa dan ragam lidah manusia, agar cakupannya menjadi
sempurna. Maka dipilihlah dari berbagai macam bahasa itu beberapa kata yang paling baik,
mudah serta paling banyak dilafadzkan oleh orang Arab.
Ibnu An-Naqib misalnya, beliau mengatakan bahwa merupakan karakteristik Al-Quran
adalah diturunkan dengan bahasa kaum yang memang kepada mereka Al-Quran ini
diturunkan. Dan Al-Quran memang diturunkan bukan hanya untuk orang arab saja, tetapi
untuk seluruh manusia. Maka tidak ada salahnya kalau di dalam Al-Quran ada bahasa selain
bahasa arab, seperti bahasa Romawi, Persia, Habasyah dan lainnya.
Di antara ulama zaman sekarang yang berpendapat seperti ini adalah Dr. Ramadhan
Abduttawwab dan Muhammad As-Sayyid Ali Al-Balasi.
Dr. Ramadhan Abduttawwab telah menuliskan pendapatnya dalam kitab berjudul Fushulun
fi Fiqhil Arabiyah. Salah satu ungkapan beliau di dalamnya adalah merupakan sebuah
kesalahan mengingkari adanya unsur serapan bahasa asing di bahasa arab fusha dan juga di
dalam Al-Quran.
Muhammad As-Sayyid Ali Al-Balasi dalam kritiknya atas kitab Al-Muhazzab mengatakan
bahwa para ulama telah sepakat mengatakan adanya kalimat ajam (non arab) di dalam Al-
Quran, yang telah diarabkan oleh bangsa Arab sebelumnya.
Sehingga biar bagaimana pun tidak ada perbedaan di antara para ulama itu untuk
menggunakan kalimat yang diarabkan. Dan dengan demikian juga tidak ada masalah bila
kalimat yang asalnya bukan arab di terdapat di dalam Al-Quran.
3. Pendapat Ketiga: Pertengahan
Pendapat ketiga memandang bahwa hujjah yang mewakili pendapat pertama dan kedua sama-
sama kuat, tidak bisa dipatahkan begitu saja. Jadi pendapat ketiga ini agaknya ingin
mengkompromikan kedua pendapat yang saling berbeda.
Misalnya, mereka katakan bahwa meski suatu lafadz awalnya dianggap bukan dari bahasa
arab, namun kemudian berubah menjadi bahasa arab. Sehingga ketika Al-Quran turun, lafadz
itu sudah dikenal oleh bangsa arab dan sudah dianggap menjadi bagian dari bahasa arab.
Maka kedua pendapat itu tidak salah dan tidak bertentangan secara hakikatnya.
Yang mengatakan bahwa lafadz itu bukan bahasa arab, tidak bisa disalahkan karena mereka
bisa dari asal muasal sejarah lafadz itu yang memang bukan arab. Tapi yang mengatakan
bahwa lafadz itu adalah lafadz bahasa arab juga benar, sebab pada saat Al-Quran diturunkan
lafadz itu sudah menjadi bagian dari bahasa arab.
Yang termasuk berpendapat seperti ini dari kalangan ulama masa kini antara lain Dr. Thahir
Hamudah.
Penutup dan Kesimpulan
Memang tidak mudah untuk memilih salah satu dari ketiga pendapat itu. Tapi rasanya yang
paling mudah dan moderat sekaligus bisa menyatukan semua pendapat adalah pendapa yang
ketiga. Kalau boleh memilih, kami barangkali termasuk yang agak cenderung kepada
pendapat ketiga.
Pendapat ketiga ini prinsipnya tidak menyalahkan pendapat pertama atau kedua, tetapi
menggabungkan semua hujjah untuk menjadi kesimpulan yang bisa disepakati bersama.

Anda mungkin juga menyukai