Anda di halaman 1dari 11

DIGLOSIA DALAM BAHASA ARAB

(BAHASA ARAB FUSHA & ‘AMIYYAH)1

Oleh:

Dr. Wildan Taufiq, M.Hum

A. PENDAHULUAN

Dalam kajian Sosiolinguistik (sosiologi bahasa), diglosia didefinisikan sebagai suatu


situasi di mana dua dialek atau lebih bisa dipakai. Kemudian Charles Ferguson dalam
Alwasilah (1985: 136) secara gamblang mendefinisikan diglosia sebagai berikut:

“Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-
dialek utama satu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa-
bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat
terkodifikasikan (sering kali secara gramatikal lebih kompleks) dan lebih tinggi,
sebagai wahana dalam keseluruhan kesusastraan tertulis yang luas dan dihormati,
baik dalam kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak
dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan
tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apapun dalam
pembicaraan-pembicaraan biasa.”

Hartmann dan Strok (1972) dalam Alwasilah (Ibid:136-137) memberi batasan pada
diglosia sebagai berikut:

“Diglossia is the presence in a language of two standarsds, a ‘high’ language used for formal
occassional and in written texts, and a ‘low’ language used in colloquial conversation, e.g. in
Swiss German, Greek, Arabic etc. In certain situations, a middle language between the high
and low standard may be appropriate.”

(Diglosia adalah hadirnya dua bahasa baku dalam satu bahasa, bahasa tinggi dipakai dalam
suasana-suasana resmi dan dalam wacan-wacana tertulis, dan bahasa rendah yang dipakai
untuk percakapan sehari-hari, misalnya dalam bahasa Jerman Swiss, Yunani dan Arab dan

1
Diambil dari buku FIQIH LUGHAH (Pengantar Linguistik Arab) karya Wildan Taufiq, Penerbit Nuansa Aulia,
2015, h. 82-96.

1
sebagainya. Dalam situasi-situasi tertentu, bahasa pertengahan antara bahasa tinggi dan
bahasa rendah mungkin sesuai)

Komunikasi antar anggota suku-suku pada masyarakat Arab dilakukan dengan bahasa
suku mereka. Namun ketika salah satu anggota suku berceramah, menggubah puisi, atau
berbicara dengan anggota suku lain, mereka menggunakan bahasa Arab fusha sebagai lingua
franca. Diglosia ini terus berlanjut hingga Islam datang.

Fenomena diglosia dalam bahasa Arab ini, menurut Emil badi’ Ya’qub diduga kuat telah
timbul sejak penaklukan-penaklukan umat Islam pertama setelah berbaurnya masyarakat
Arab dengan masyarakat luar. Namun perbedaan antara bahasa ‘amiyyah dengan fusha pada
masa itu,tidak begitu jelas, kecuali pada masa selanjutknya, baik dari aspek bunyi,
pembentukan kata, struktur kalimat, kaidah-kaidah nahwu, materi kebahasaan, metode-
metode peredaksian. Jahid telah menunjukan bahwa bahasa ‘amiyyah telah ada seperti ketika
berbicara dengan bahasa kaum muwallidin (keturunan) dan masyarakat penjelalah negeri-
negeri.

Perlu diperhatikan bahwa diglosia fusha dan ‘amiyah tidak hanya ada pada bahasa Arab
saja, tapi juga ditemukan di negara-negara lain, seperti Prancis, Swiss dan Yunani,
sebagaimana diungkapkan Hartmann dan Strok di atas. Menurut Kamal Hajj diglosia berasal
dari dualisme dalam pemikiran dan perasaan manusia. Kamal Hajj menegaskan bahwa
diglosia tidak hanya ada pada bahasa Arab saja, namun setiap bahasa yang terdapat bahasa
fusha dan ‘amiyyah pasti ada diglosia.

Bahasa Fusha (al-lughah al-fusha) adalah bahasa yang dipergunakan kitab suci AL-Qur’an,
serta pada umumnya sebagai bahasa budaya warisan (turats) bangsa Arab, yang sekarang ini
dipergunakan dalam berinteraksi resmi, dan karang-mengarang baik puisi (syi’r) maupun
prosa (natsr). Adapun bahasa ‘amiyyah (al-lughah al-‘amiyyah) adalah bahasa yang
dipergunakan dalam situasi-situasi biasa dalam percakapan sehari-hari. Sejumlah sarjana
bahasa Arab menyebut beberapa istilah bahasa ‘amiyyah dengan al-syakl al-lughawiy al-darij,
al-lahjaat al-syaai’ah, al-lughah al-mahkiyyah, al-lahjah al’arabiyyah ‘amiyyah, al-lahjah al-
darijah, al-lahjah al-‘amiyyah, al-‘arabiyyah al-‘amiyyah, al-lughah al-darijah, al-kalam al-
darij, al-kalaam al-‘amiyy, lughah al-sya’by dan sebagainya (Ya’qub, 1982:144-145).

2
Sebagaimana definisi diglosia di atas menegaskan bahwa diglosia terjadi antara dua
dialek (lahjah), dengan demikian, penamaan bahasa (lughah) terhadap ragam bahasa Arab
fusha dan ‘amiyyah kurang tepat. Hal ini juga ditegaskan oleh Emil Badi’ Ya’qub. Dia
menegaskan bahwa fusha dan ‘amiyyah buakanlah dua bahasa, tetapi hanya dua dialek. Hal
itu karena kedua-duanya merupakan cabang dari bahasa asal yaitu bahasa Arab. Hal ini
didasarkan pada perbedaan antara keduanya yang bersifat cabang (far’iyy), bukan bersifat
pokok (judzriyy).

Diglosia atau dalam bahasa arab dsebut dengan tsunaiyyah lughawiyyah diduga kuat
telah ada sejak zaman pra-Islam (jahiliyah). Karena ketika itu setiap suku (qabilah) telah
memiliki dialek masing-masing, di samping dialek yang dianut bersama-sama (lingua franca).
Kaakteristis dialek bersama (bahasa Arab fusha) telah tersebar di seluruh penjuru
semenanjung jazirah Arab yang telah melahirkan banyak dialek karena pengaruh
perdagangan, haji, dsb.

B. SIKAP PARA PENELITI TERHADAPA DIGLOSIA DALAM BAHASA ARAB

Terhadap masalah diglosia dalam bahasa Arab, para peneliti bersilang pendapat.
Pendapat pertama memandang bahwa diglosia merupakan indikator peradaban manusia.
Pendapat kedua memandang diglosia sebagai “bencana” besar. ,misalnya bahasa yang
dipergunakan siswa di sekolah, berbeda dengan di luar sekolah. Mereka merasa tidak enjoy
ketika membaca dengan bahasa fusha. Tambah pula mempelajari bahasa fusha memerlukan
waktu cukup lama. Dengan demikian diglosia merupakan penyebab kemunduran manusia
dan kelabilan psikis kita.

Oleh karena itu para penganut pandapat pertama mengajukan beberapa usulan untuk
hal ini:

1. Menaikan status bahasa ‘amiyah menjadi bahasa fusha. Kemudian diterapkan di semua
media, sehingga masyarakat Arab menggunakan bahasa fusha dalam setiap kondisi.
Dengan demikian bahasa fusha menjadi bahasa yang alami (thabi’iyyah) yang diwariskan
dari nenek moyang (salaf) kepada generasi berikutnya (khalaf) secara tradisional turun-

3
temurun. Dengan demikian untuk mempelajarinya, para siswa tidak memerlukan waktu
banyak. Sehingga mempercepat mereka mempelajari ilmu pengetahuan dan kehidupan.
2. Menuntut mengosongkan bahasa Arab dari masalah fusha dan ‘amiyyah, kemudian diisi
oleh bahasa asing yang dapat menghidupkan masyarakat Arab dalam aspek ilmu
pengetahuan, budaya, dan ekonomi. Karena bahasa Arab dalam pandangan ini berjalan
menuju “kematian”.
3. Menggabungkan antara fusha dan ‘amiyyah, sebanyak mungkin aspek-aspek yang bisa
digabungkan dari keduanya.
4. Menyatukan semua bahasa Arab di bawah bendera yang disebut dengan Al-Lahjah al-
‘Arabiyyah al-Mahkiyyah al-Musytarakah (Dailek bahasa Arab bersama). Beberapa nama
lain yang disematkan pada dialek bersama ini, seperti Lughah al-Mutaaddibiin fii Jamii
al-Aqthaar al-‘Arabiyyah (Bahasa para sarjana di seantero Arab), Lughah Mutsaqqafy al-
‘Arab (Bahasa kaum intelektual Arab) dan Lughah ‘Arabiyyah Shirf Musytarakah baina al-
Syu’ub al-‘Arabiyyah (Bahasa Arab murni, gabungan antara bangsa-bangsa Arab). Bahasa
Arab ini lahir dari budaya, sosial dan politik Arab sejak 30 tahun terakhir ini. Bahasa Arab
ini dipakai di forum-forum intelektual Mesir, Irak, Suriah, Libanon, dan Palestina. Bahasa
ini juga sering kita dengar di lingkungan universitas-universitas Arab, seperti Mesir,
Damaskus, Bagdad, dan Beirut. Bahasa ini pula yng dipakai di forum-forum (nadiy) dan
salon-salon sastra2. Bahasa ini merupakan bahasa masyarakat Arab terpelajar, yang
dibentuk oleh faktor politik, jurnalistik, penyiaran, parawisata, liburan musim panas,
perdagangan, dan kerjasama politik dan sosial. Menurut Anis Farihah, bahasa Arab ini
adalah salah satu rangkaian yang akan menjadi bahasa Arab sastra. Salah satu
karakteristik bahasa ini adalah mengabaikan I’rab, dan memakai norma-norma bersama,
namun tetap berpegang pada bahasa fusha.
5. Menganjurkan penggunaan bahasa ‘amiyyah dalam kegaiatan penulisan ilmiah dan sastra.
Di mana dalam beberapa keadaan/konteks (ilmiah dan sastra) kita biasa menggunakan
bahasa fusha.

2
Salon sastra (al-Shalun) adalah semacam balai sastra atau galeri seni tempat diselenggarakannya pertemuan
para sastrawan dan seniman terkemuka. Pertemuan tersebut diselenggarkan secara berkala, di mana dibahas
tema-tema seputar sastra. Para pemilik salon sastra biasanya para wanita pintar dan cerdas, seperti salon Mey
Ziyadah dan Aisyah al-Taimuriyyah (Wahba, 1994 :495)

4
C. REPOSISI BAHASA AMIYAH

Menurut Anis Farihah dalam Ya’qub (1982: 154-155) terdapat beberapa dasar pemikiran
yang mendorong untuk mempertimbangkan bahasa ‘amiyyah sebagai bahasa yang sejajar
dengan bahasa fusha, yaitu:

1. Bahasa Fusha adalah bahasa zaman dahulu (jadul), yang tidak mampu mengungkapkan
tentang kehidupan. Selanjutnya kesulitan dalam proses belajar dan pembelajaran karena
gramatika (nahwu dan sharaf) bahasa fusha. Berbeda denga bahasa ‘amiyyah yang
merupakan bahasa yang mudah, mengalir dalam pengucapannya, tanpa dibuat-buat. Hal
tersebut karena bahasa ‘amiyyah tidak menggunakan kaidah I’rab. Bahasa ‘amiyyah juga
tidak menggunakan kosakata yang asing yang hampir hilang dari masyarakat, seperti
penggunaan sinonim-sinonim dan antonim-antonim yang banyak. Bahasa ‘amiyah juga
sangat Fiqih Lughaheksibel dalam menerima situasi-situasi asing serta kosakatanya yang
non-Arab (‘ajmy). Bahasa ‘amiyyah juga lebih banyak menggunakan qiyas untuk kata-kata
derivatif (isytiqaq) agar bahasa berkembang dan lebih luas.
2. Banyak umat Islam yang tidak menggunakan bahasa Arab untuk komunikasi baik lisan
maupun tulisan. Dengan demikian bahasa Arab (fusha) tidak identik dengan bahasa umat
Islam. Karena bahasa Arab (fusha) hanya identik dengan bahasa Al-Qur’an, para ahli
agama (ulama) serta orang-orang spesialis bidang bahasa Arab.
3. Menggunkan bahasa ‘amiyah jauh lebih efisien, dari pada mempelajari bahasa fusha yang
memerlukan waktu lama. Hanya akan membuang-buang waktu saja.
4. Faktor utama yang membuat bangsa Arab ketinggalan dari bangsa lain adalah adanya
perbedaan antara bahasa lisan (‘amiyyah) dan bahasa tulisan (fusha). Oleh karena itu
dengan mempergunakan bahasa ‘amiyyah maka bisa mengejar ketertinggalan tersebut,
juga terhadap diglosia fusha-‘amiyyah.

Berangkat dari dasar pemikiran di atas, terdapat sejumlah ide tentang ajakan untuk
menyejajarkan bahasa ‘amiyyah dengan bahasa fusha. Bahasa ‘amiyyah bukan hanya bahasa
pelengkap (komplemen), tetapi sebagai bahasa alternatif, selain bahasa fusha. Bahkan bahasa
‘amiyyah sebagai pengganti (substitusi) bagi bahasa fusha. Berikut ini beberapak tokoh yang
mengajukan ide tersebut.

5
1. Pada tahun 1880, seorang direktur Dar al-Kutub al-Mishriyyah berkebangsaan Jerman, Dr.
Wilhelm Spitta, menganjurkan penggunaan bahasa ‘amiyyah. Ia menulis buku tentang
gramatika bahasa Arab ‘amiyyah. Karena ditulis dalam bahasa Jerman, anjurannya tidak
begitu berpengaruh pada pemikiran bangsa Arab.
2. Pada tahun 1881, majalah al-Muqtathaf mengulas tentang bahasa ‘amiyyah. Di sana
disebutkan bahwa faktor penyebab keterbelakangan bangsa Arab adalah adanya
perbedaan antara bahasa lisan dan tulisan. Di sana, sejumlah tokoh pemikiran Arab
mengajak untuk membahas masalah ini. Kemudian ajakan tersebut direspon oleh
sejumlah peneliti di bidang bahasa.
3. Pada tahun 1893, seorang insinyur pengairan asal Inggris William Willocks,
menyampaikan ceramah di Kelompok kajian “Al-Azbakiyyah” di Mesir dengan judul
“Mengapa Orang-orang Mesir sekarang tidak Kreatif”. Ia mengaitkan penyebab keadaan
tersebut pada kelemahan orang Mesir untuk menggunakan bahasa fushha untuk menulis
dan membaca. Ia menyarankan untuk membuang bahasa tersebut, karena menyulitkan
dan tidak berkembang. Ia menyarankan bahasa ‘amiyyah untuk penulisan karya sastra.
4. Pada tahun 1901, seorang hakim bekebangsaan Inggris, J. Seldon Wilmore menulsi buku
dalam bahasa Inggris yang berjudul “Bahasa Arab Rendah di Mesir”. Di dalamnya berisi
ajakan untuk menggunakan bahasa ‘amiyyah saja sebagai bahasa lisan dan tulisan.
5. Pada tahun 1902, Iskandar al-Ma’luf menulis dalam “al-Hilal” bahwa ia sudah cukup intens
dalam menggeluti bahasa ‘amiyyah. Sehingga ia meyakini akan keabsahannnya. Ia
berpandangan bahwa bahasa tersebut harus didukung dan mendapatkan tempat yang
layak. Ia bercita-cita media cetak Arab menggunakan bahasa ‘amiyyah mengantikan
bahasa fusha, terutama majalah “al-Hilal”.
6. Pada tahun 1913, Ahmad Luthfy al-Sayyid, menulis tujuh artikel di sejumlah koran dengan
tema:”Membumikan Bahasa Arab di Mesir”. Dalam artikelnya itu, Luthfy al-Sayyid
berpandangan bahasa satu-satunya cara untuk menghidupkan bahasa Arab adalah
dengan menghidupkan bahasa ‘amiyyah di satu sisi, dan membiarkan bahasa (fusha)
hanya untuk AL-Qur’an saja. Ia menyarankan untuk menggunakan bahasa ‘amiyyah juga
dalam komunikasi tulisan.
7. Pada tahun 1925, Pendeta Marun Ghashni menerbitkan sebuah buku dengan judul Dars
wa Muthala’ah (Suatu Wacana Reflektif). Di dalamnya terdapat satu pasal yang berjudul
Hayaat al-Lughah wa Mautihaa – al-Lughah al-‘Amiyyah (Hidup dan Matinya Suatu

6
Bahasa – Bahasa ‘Amiyyah). Di pasal tersebut ia memperingatkan akan kematian bahasa
fusha. Hal ini ia analogikan dengan nasib bahasa Yunani dan Latin. Ia menganjurkan untuk
menulis dengan bahasa ‘amiyyah Suriah.
8. Pada tahun 1955, Anis Farihah menerbitkan sebuah buku yang berjudul Nahwa Arabiyyah
Muyassarah (Ke Arah Bahasa Arab Mudah). Di dalamnya ia mengajak untuk membentuk
satu bahasa persatuan, yaitu bahasa kehidupan. Bahasa kehidupan menurutnya adalah
bahasa ‘amiyyah, karena ia adalah bahasa yang dinamis yang khas dan mudah
dipergunakan sebagai alat komunikasi serta mengekpresikan perasaan penuturnya.
Sedangkan bahasa fusha menurutnya meru8pakan bahasa generasi masa lalu serta
kurang mampu mengungkapkan tentang kehidupan.

D. Implikasi-Implikasi Diglosia dalam Bahasa Arab

Ibrahim Anis berpandangan bahwa diglosia dalam bahasa Arab memiliki implikasi
dalam aspek kehidupan masyarakat Arab, yaitu dalam aspek pemikiran, pendidikan,
kepribadian, etika, dan seni. Berikut ini uraian tentang aspek-aspek tersebut sebagaimana
dikutif Ya’qub (1982: 155-157).

1. Pemikiran, Anis Farihah mencatat bahwa si pemakai bahasa fusha akan lebih
mementingkan bahasa pikirannya dari pada ia memikirkan dirinya sendiri. Mereka ini
adalah para pemikir, ilmuwan dan filosof. Contohnya ketika mereka menganalisis
masalah-masalah ilmu, filsafat dan sosial, mereka terkadang cenderung mengorbankan
(perasaannya) dengan pemikirannya, demi keajegan struktur bahasanya. Hal ini
sebagaimana para penyiar berita, para penceramah (muballigh), dan motivator yang
mencurahkan segenap tenaganya pada bentuk bahasa yang disesuaikan dengan
maksudnya, ketika mereka melakukan secara mendadak.
2. Pendidikan, Anis Farihah berpandangan bahwa masyarakat Arab memerlukan waktu
lebih lama untuk mempelajari bahasanya sendiri, dibanding orang asing yang
mempelajari bahasa mereka. Keengganan masyarakat Arab untuk membaca bahasa
fusha, keengganan para siswa mengungkapkan maksud dengan tulisan bahasa baku.
Sehingga seakan-akan mereka pada melarikan diri dari bahasa Arab ini. Ini harus kita

7
kembalikan akar permasalahannya pada adanya perbedaan antara bahasa fusha dan
‘amiyyah. Secara faktual, penggunaan bahasa fusha sangat berat bagi anak-anak Arab.
3. Kepribadian, Anis Farihah memandang bahwa para orang tua di Arab merasa bahwa
bahasa ‘amiyyah bukanlah bahasa rendah yang perlu dakuasai anak-anak mereka pada
masa pertumbuhan. Kemudian para orang tua menitipkan anak-anak mereka di sekolah,
yang di sana mereka dicekoki dengan bahasa asing yang jauh dari kehidupan mereka.
Dengan demikian, anak-anak mereka akan split personality (pecah kepribadian).
Pertama, kepribadian yang disukai dan alamiah ketika mereka berbicara dengan bahasa
sehari-hari mereka (‘amiyyah). Kedua, kepribadian yang dibuat-buat ketika mereka
berbicara dengan bahasa fusha pada situasi-situasi resmi.
4. Etika, Anis Farihah mencatat bahwa bahasa sangat mempengaruhi perilaku manusia. Lalu
ia memandang bahwa kedwibahasaan (izdiwajiyyah) merupakan dasar bagi kekasaran
karakter (thiba’) dan etika (akhlak) masyarakat Arab. Masyarakat Arab hanya
menggunakan bahsa Arab fusha dalam situasi-situasi resmi. Padahal dalam kehidupan
sehari-hari, mereka menggunakan bahasa ‘amiyyah yang dianggap kasar dan lemah itu.
Karena bahasa ‘amiyyah untuk masyarakat umum dan awam, maka wajar saja bahasa itu
kasar dan kaya dengan cacian.
5. Seni, Anis Farihah menduga bahwa yang menyebabkan seni drama Arab menjadi
“peceklik” (kurang tidak produktif) adalah bahasa fusha. Kontradiksi antara misi drama
dengan bahasa fusha sudah sangat jelas. Drama dengan berbagai ceritanya bertujuan
sebagai representasi kehidupan. Sedangkan bahasa Arab fusha tidak dapat
mengungkapkan kehidupan. Karena ia merupakan bahasa masa lalu.

E. Respon terhadap Usaha Penghapusan Diglosia

Di atas telah dijelaskan sikap para peneliti terhadap diglosia dalam bahasa Arab.
Mereka terpecah menjadi dua kubu; pertama memandang diglosia adalah indikator
peradaban manusia; kedua memandang diglosia adalah bencana besar yang harus
dilenyapkan, dengan mengajukan usulan-usulan dengan lima orientasi. Berikut ini respon Emil
Badi’ Ya’qub (1982: 157-160) terhadap lima orientasi yang diusulkan oleh para peneliti.

8
1. Ajakan agar masyarakat menggunakan bahasa fusha dalam setiap kesempatan, seperti
bahasa yang alamiah (mengalir). Kemudian mewariskan tradisi tersebut ke generasi
berikutnya secara turun-temurun. Hal ini saya anggap mustahil. Karena memerlukan
kesiapan masyarakat sebagai penutur untuk menerima dengan sepenuh hati bahwa
bahasa Arab adalah satu-satunya bahasa nasional mereka. Faktanya mereka sangat sulit
untuk meninggalkan bahasa ‘amiyyah. Karena memang bahasa ‘amiyyah lebih mudah
daripada bahasa fusha. Bahasa yang memerlukan waktu lama untuk menguasainya.
Seandainya ada satu pemerintahan (negeri) yang mengharuskan tiap warganya berbahasa
Arab fusha, dengan menyebar mata-mata untuk mencari para pelanggarnya. Maka
niscaya -sejarah akan mencatatnya- bahasa fusha akan luntur. Kemudian satu generasi
atau beberapa generasi selanjutnya mereka beralih lagi ke bahasa ‘amiyyah mereka
secara total.
2. Anjuran untuk menghilangkan bahasa Arab fusha karena ketidak mampuan pemakainya,
serta keadaanya yang sedang berjalan menuju ke kematian. Para penganjur lupa bahwa
bahasa Arab fusha telah kokoh posisinya sebagai warisan budaya Arab serta spirit (ruh)
nasionalisme Arab dan telah menjadi alat pemersatu masyarakat Arab. Kenyataan lain
adalah bahwa ketika banyak bahasa-bahasa lain mulai punah, justru bahasa Arab fusha
tetap terjaga sejak kemunculannya haingga hari ini. Ketika banyak bahasa mengalami
perubahan drastis, baik isi (makna) ataupun bentuknya, bahasa Arab fusha ketika
kemunculannya pada syair-syair jahiliy, hanya terdapat sedikit kesulitan pada makna serta
kosakatanya saja. Lagi-lagi mereka lupa bahwa suatu bahasa itu lemah karena kelemahan
penuturnya, dan suatu bahasa berkembang karena berkembang penuturnya. Tidak ada
suatu bahasa tidak mampu membantu manusia untuk mengungkapkan pikirannya. Jika
itu merupakan keadaan umum bahasa, maka bahasa Arab jauh dari tidak mampu untuk
melakukan tugas itu. Sejarah telah membuktikan dalam rentang waktu yang cukup lama,
bahasa Arab tampil sebagai bahasa peradaban dunia. Juga kita tahu bahwa bahasa Arab
telah menjadi bahasa kitab suci AL-Qur’an dan Hadits, di mana terkandung makna yang
tinggi, serta ungkapan-ungkapan keagamaan, sosial, hukum syari’at. Makna-makna
tersebut tidak ditehaui oleh masyarakat Arab sebelum Islam (zaman jahiliyyah).
3. Menanggapi anjuran menggunakan dialek Arab (lahjah Arabiyyah al-mahkiyyah al-
musytarakah) yang digunakan kaum intelektual Arab, kami tidak menemukan seorang
intelektual Arab ketika berbicara menggunakan bahasa selain bahasa fusha. Kecuali

9
beberapa kesalahan I’rab serta kosakata asing yang berbeda dari kosakata biasa. Hal ini
karena memang perbendaharaan kosakata seorang intelektual lebih kaya dari masyarakat
biasa. Perbedaan kedua hal ini, tidak membuat bahasa kaum intelektual berbeda dengan
masyarakat umum. Anis Farihah menegaskan bahwa struktur bahasa fusha adalah satu,
dan bahasa secara otomatis datang bersama strukturnya. Contohnya jika seorang intelek
Libanon ingin berkomunikasi dengan intelek al-Jazair, maka ia berbicara dengan bahasa
fusha atau bahasa yang mendekati bahasa fusha, baik dari aspek struktur, kosakata,
semantik (dilalah), bunyi, dan kesalahan dalam menggunakan I’rab. Jika terdapat sifat
yang sama pada beberapa bahasa ‘amiyyah, maka cakupannya lebih luas dan lebih
universal dari pada kesamaan di antara mereka. Contohnya ungkapan pertanyaan
keadaan dalam bahasa Libanon adalah ‫(كيف حالك‬bagaimana keadaanmu?), dalam bahasa

Suriah: ‫شلونك‬, dalam bahasa Mesir: ‫إزيَّك‬, dalam bahasa Marakasyi: ‫ال بأس عليك‬. Jika orang

Libanon ingin meminta tolong bukunya diambilkan sekarang, maka ia berkata: ‫بترجاك ْعطني‬

ّ ‫كتابي ه لَّق (أو‬. Untuk maksud ini, orang Mesir berkata: ‫من فضلك أدِّيْني كتابي دلوقتي‬. Untuk
)‫إسا‬

maksud ini, orang al-Jazair berkata: ‫ اعطيني كتاب اتباعي دورك‬. Untuk maksud ini, orang

Tunisia berkata: ‫تحبّك اعطني كتابي ّتوا‬. Dari kasus ini, maka norma mana yang dipakai untuk

mengukur perbedaan antara kaum intelek dan bukan kaum intelek?


4. Jika kita perdebatkan antara bahasa intelektual Arab berbeda dengan bahasa bukan
intelektual. Dengan kata lain, jika dialek Arab rendah bersama berbeda dengan bahasa
‘amiyyah yang sudah akrab di telinga kita, maka kita tidak bisa berasumsi seperti apa
bahasa ini jika dipakai untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Karena masyarakat yang
tinggal di jazirah Arab, niscaya memiliki bahasa ‘amiyah dan dialek Arab mereka. Hal itu
karena bahasa ‘amiyyah pada bahasa apa saja, lebih mudah bagi penuturnya. Maka jika
kita membuat dialek bahasa rendah (baru) untuk tulisan kita saja, maka problek diglosia
bahasa bisa dipahami. Dengan demikian kita memiliki tiga bahasa, bahasa ‘amiyyah yang
dipergunakan dalam kedupan sehari-hari, bahasa yang digunakan untuk penulisan, dan
bahasa fusha yang kita pelajari untuk memahami warisan budaya kita (Arab). Dengan
demikian, kita terjebak pada masalah yang sebetulnya kita sedang perangi. Kita ingin

10
melepaskan dari diglosia bahasa, dan dengan adanya bahasa kaum intelektual ini, kita jadi
terjebak pada tiga bahasa.

F. Respon terhadap Anjuran Penggunaan Bahasa ‘Amiyyah

Tidak bisa disangkal lagi bahwa bahasa ‘amiyah dalam pemakaiannya sehari lebih
praktis dan ekonomis. Salah satu contohnya adalah penggunaan satu isim maushul, yaitu ‫ال لّي‬

sebagai pengganti bagi semua isim maushul dalam bahasa fusha. Namun demikian, ajakan
penggunaan bahasa ‘amiyah menggantikan bahasa fusha tidak serta merta bisa diterima
begitu saja. Karena jika kita mempertimbangkan aspek lain, seperti dinamika antara bahasa
fusha, struktur ideologi dan kehidupan, di mana bahasa memiliki peran penting dalam
kehidupan sosial, maka anjuran penggunaa bahasa ‘amiyyah ini menimbulkan efek samping
yang sangat berbahaya. Berikut ini beberapa efek samping yang dilontarkan para pendukung
bahasa fusha sebagai alasan menolak anjuran penggunaan bahasa ‘amiyyah.

1. Jika bahasa ‘amiyyah menggantikan bahasa fusha, maka hal itu akan menghancurkan
struktur semua karya-karya dalam bahasa Arab. Sikap ini telah menyia-nyiakan jerih
payah ulama-ulama terdahulu yang telah menyusun karya-karya mereka dalam bahasa
fusha.
2. Masyarakat Arab akan terpakan menerjemahkan kitab suciAl-Qur’an ke dalam bahasa
‘amiyyah. Di mana dengan menggunakan bahasa ‘amiyyah aspek magis, kemukjizatan,
serta efek psikologis Al-Qur’an akan hilang.
3. Kenyataan bahwa bahasa ‘amiyah (dialek ‘amiyah) itu banyak ragamanya sesuai tempat,
maka jika diharuskan menggunakan bahasa ‘amiyyah, maka bahasa ‘amiyah mana yang
harus diguanakan. Dan jika dalam sistem tulisan menggunakan salah satu bahasa ‘amiyah
maka diglosia akan masih ada.

Jika setiap wilayah di jazirah Arab memegang teguh untuk menggunakan bahasa ‘amiyyah
mereka, maka hal ini akan melemahkan komunikasi antar negara-negara Arab. Karena fakta
sejarah membuktikan bahwa kesatuan berbahasa di antara negara-negara Arab lebih kuat
dibanding kesatuan politik mereka.

11

Anda mungkin juga menyukai