Anda di halaman 1dari 14

SHIRO LUGHOWIYAH

BAHASA ARAB FUSHA DAN AMMIYAH DI JAZIRAH ARAB

Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
LINGUISTIK

Dosen Pengampu:
Dr. Nurul Hanani, M.Hi.

Oleh :
Lailatul Zuhriyah
932300317003

PASCA SARJANA PROGRAM STUDI


PENDIDIKAN BAHASA ARAB
JURUSAN TARBIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI KEDIRI 2016

0
BAB I
PENDAHULUAN

Manusia merupakan makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama


lainnya yaotu saling berkomunikasi. Dalam berkomunikasipun manusia membutuhkan
bahasa sebagai sarana untuk mendapatkan pesan dari lawan penutur.
Dalam bahasa terdapat beberapa ragam bahasa menurut Utorodow. 1 Yang
memaparkan bahwa ragam bahasa jika dilihat dari situasi pemakainnya yaitu, ragam
formal, dan ragam non formal. Begitupun juga dengan bahasa Arab terdapat bahasa
Fusha (formal) dan bahasa ammiyah (non formal).
Bahasa arab telah melalui banayak sejarah formatif dan perkembanagan yang
panjang. Masyarakat Arab pra islam terdiri dari beberapa kabilah/ suku dan memilki
sejumlah ragam dialek bahasa yang berbeda akibat perbedan dan kondisi yang ada di
masing-masing wilayah. Berbagai dialek ini secara umum dikelompokkan menjadi dua,
yaitu al-Arabiyat al-baidah (bahasa Arab yang telah punah) dan al-Arabiyat al-baqiyah
(bahasa Arab yang masih lestari). Al-Arabiyat al-baqiyah adalah dialek yang digunakan
dalam puisi-puisi arab jaman jahiliah atau pra-Islam, bahasa yang dipergunakan di
dalam al-Quran, dana bahasa Arab yang dikenal sampai hari ini yang biasa dikenal
dengan bahasa Arab Fusha.2
Mengenai bahasa Arab Fusha, bahasaFusha adalah ragam bahasa Firmal yang
biasa ditemukan dalam teks Al-Quran, hadist, syair-syair Arab. Bahasa Arab Fusha
merupakan bahasaresmi yang digunakan oleh negara-negara Arab. Adapaun bahasa
Ammiyah adalah ragam bahasa non formal yang biasa dipergunakan oleh masyarakat
umum. Bahasa yang lebih produktif tanpa memperhatikan kaidah-kaidah atau pola
dalam bunyi, tata bentuk dalam kalimat. Maka dari sini penulis membahas berkaitan
proses peresmian bahasa Fusha sebagai Bahasa Arab Baku dan munculnya bahasa
Amiyyah.

1
Utorodowo. Bahasa Indonesia Sebuah Oengantar Imiah, (Jakarta: 2009). Hal.3.
2
Achmad Tohe. Bahasa Arab Fusha dan Amiyah serta Problematikanya, Jurnal: Bahasa dan Seni,
Tahun 33, No. 2, Agustus 2005. Hal. 209 215.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Geografi Dunia Arab
Dunia Arab ini memiliki pengertian yang tidak terbatas pasa segala sesuatu
yang berkaitan dengan arab dalam lingkup wilayah Kerajaan Arab Saudi atas kawasan
semenanjung Arab saja, namun meliputi kawasan Al-Wathan Al- Araby, yang terletak di
dua benua, yaitu kawasan Asia sebelah barat dan kawasan Afrika sepanjang pantai utara.
Batas-batas Al-Wathan al-Araby sebagai berikut. Utara: Turki, laut putih tengah, selat
Gilbraltar dan Iran. Selatan: laut Arab. Selat Aden, kenya, Ethiopia, Uganda, Zaire,
Afrika Tengah, Chad, Niger, Mail dan Senegal. Secara geografis negara-negara dunia
Arab dibagi menjadi dua kelompok yaitu negara-negara benua Asia terdiri; Syam, Irak,
Syiria, Yordania, Palestina dan Libanon dan wilayah semenanjung Arab yang biasa
disebut dengan wilayah teluk terdiri Arab Saudi. Oman, Yaman, Unit Emirat Arab.3
Disetiap negara Arab diatas mempunyai macam-macam dialek yang berbeda-
beda. Perbedaan yang paling menonjol adalah bahasa Ammiyah karena hampir semua
negara di jazirah Arab memliki bahasa ammiyah masing-masing. Orang Arab
menggunakan bahasa ammiyah hanya dalam percakapan sehari-hari dan menggunakan
bahasa Fushah (formal) ketika khutbah, Pidato, mengajar dan menulis waktu. Perbedaan
dialek yang paling utama ialah Afrika Utra dan Bagian Timur Tengah (Hijaz). Faktor
yang menyebabkan perbedaan dialek bahasa Arab ialah pengaruh subtrasat (bahasa
yang digunakan sebelum bahasa arab datang). Seperti kata yakun (artinya itu), di irak
disebut iaku, dipalestina fih, dan di Magribi disebut ikayan.4
Sebagaimana bahasa-bahasa pada umumnya, bahasa Arab juga mempunyai
dialek-dialek geografis diluar bahasa Arab klasik atau Qurani dan Arab Baku. Dialek-
dialek ini tersebar dari Tepi Samudra Atlantik hingga pedalaman Balk, Afghanistan.

B. Diglosia dalam Masyarakat Arab


Diglosia (lughowiyah al-Mudzawiyah) adalah sebuah penamaan yang diberikan
pada gejala penggunaan dua ragam bahasa yang sebenarnya berasal dari satu bahasa

3
Ibid, 209-215.
4
Andi Harbi Tanriola, Signifikasi Bahasa Arab Fusha dan Amiyah bagi Tenaga Kerja Indonesia
di negara Timur Tengah, (Depok: UI, 2009), hal. 206-220.

2
induk dalam sebuah masyarakat pada waktu yang bersamaan. Maksudnya, bahwa
terdapat perbedaan antar ragam formal dan resmi dan tidak resmi dan non-formal. Ciri-
ciri diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam
bahasa. Ragam bahasa Tinggi khusus digunakan dalam situasi formal seperti kegiatan,
keagamaan, pidato, siaran berita, atau pada tajuk recana dalam surat kabar. Sebaliknya,
ragam bhasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan
sehari-hari dalam keluarga, teman atau dalam sastra rakyat.
Gejala diglosia dapat ditemukan dalam masyarakat bahasa jika dua dialek
dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyrakatan yang berbeda. Satu dialek,
yang dapat dilapiskan di atasdialek lainnya, merupakan sarana kepustakaan dan
kesusstraan, sedangkan dialek lainnya tumbuh menjadi dalam berbagai dialek rakyat.
Gejala diaglosia dunia Arab ditemukan pada masyarakat jahiliyah sampai pada
masa islam, maksudnya sampai bahasa Arab dipergunakan sebagai bahasa resmi. Kita
ketahui bahwa masyarakat Arab, meskipun berasal dari satu keturunan tetapi mereka
terpisah-pisah ke dalam kabilah-kabilah yang mendiami wilayah yang berbeda-beda
ditengah padang pasir. Kondisi inilah yang menimbulkan banyaknya dialek yang
muncul dikalnagan masyrakat arab sendiri, yang dipergunakan untuk kalangan sendiri
dalam satu kabilah. Selain kabilah memilki bahasa tersendiri disamping lughat
Musytarakah, sebuah bahasa pergaulan atau bahasa bersama yang dianut oleh berbagai
kabilah yang ada.5
Dari gejala diglosia muncul setelah masyarakat Arab terlibat dalam satu kontak
sosial yang sangat luas dan panjang hingga muncul suatu dialek yang dianggap sebagai
dialek tinggi dan dipergunakan dalam komunikasi bersama antar kabilah dan dlama
pembuatan puisi yang dipergunakan oleh masyarakat Arab.
Ada beberapa pendapat mengenai dialek Tinggi 6 . Brocklmen berpendapat
bahwa bahasa Arab dialek Tinggi terbentuk secara perlahan-lahan berkat hubungan
dagang yang muncul karena lalu listas peziarahan dan haji ke pusat-pusat keagamaan,
sementara pengkayaan kosa kata berasal dari sejumlah besar dialek-dialek yang ada.
Regis Blachare mengatakan bahwa dialek Tinggi yang dipergunakan dalam puisi-puisi

5
Khoiron Nahdliyin, pembakuan bahasa Arab, Jurnal Adabbiyat. Vol. 1. No. 2. Hal. 25-39.
6
Dialek yang sering digunakan dalam suasan resmi, atau acara-acara formal misala upcara, dan
bahasatersebut di ambil dari beberapa dialaek yang sering digunakan yakni dialek Quraisy.

3
atau karya lainnya tidapat diketahui asal-usulnya, tetapi yang jelas bahasa puisi tersebut
digunakan oleh masyarakat di luar jazirah arab pada masa sebelumnya.7
Sementara itu, para sarjana Muslim berpendapat mengenai munculnya bahasa
ragam tinggi ini, yang disebut dengan bahasa Fusha. Teori ini didasarkan pada
hegemoni 8 satu kabilah terhadap kabilah-kabilah lainnya dalam segala hal aspek
kehidupan, ekonomi, politik, kebudayaan, dan keagamaan. Dimana semua aspek
tersebut berpengaruh terhadap pemakaian bahasa mereka bagi kabilah-kabilah lainnya.
Kabilah tersebut kabilah Quraisy.
Bahasa Fusha menurut para sarjana muslim, bahwa bahasa Fusha berasal dari
dialek Quraisy. Di dukung dengan Kedudukan bahasa Quraisy ini semakin kukuh sejak
turunnya al-Quran. Dialek ini terus berkembang seiring meningkatnnya intesitas
interaksi masyarakat Arab dari berbagai kabilah melalui pasar-pasar mereka dijadikan
pasar festival seni dan sastra. Dominasi bahasa Quraisy terhadap bahasa-bahasa lainnya
terjadi seblum datangnya al-Quran setelah proses pergesekan antar dialek arab yang
ada dan di dukung dengan faktor hemegoni.
Apakah bahasa arab fusha berasal dari dari dialek Quraisy, atau berasal dari
perpaduan antara banyak dialek ataupun sudah jauh sebelum masa jahiliyah, kedua,
yang tidak dapat ditolak dalam hal ini adalah bahwa dalam masyarakat arab, sebelum
datangnya islam, telah ada gejala diglosia, terdapat dua dialek atau lebih yang
dipergunakan secara berdampingan dalam kehidupan bermasyarakat, dan satu diantara
dialek-dialek tersebut menempati kedudukan tinggi karena dipergunakan dalam
kegiatan kultural bersama diantara kabilah-kabilah yang ada. Sementara dialek-dialek
lainnya tetap hidup dan dipergunakan dalam komunikasi keseharian dalam kabilah
masing-masing. Gejala ini terus berlangsung sampai datangnya islam.
Dengan demikian pada masa islam dialek tinggi digunakan untuk kepentingan
kultural, seperti untuk bahasa puisi, prosa, disamping juga kepentingan formal politik,
seperti surat-surat resmi. Bahkan pada masa Bani Umayyah bahasa Arab dijadikan
sebagai bahasa resmi pemerintahan, baik ditingkat pusat maupun daerah-daerah yang
berda dibawah kawasan bani Umayyah pada saat ini. Bahasa Arab yang dijadikan
sebagai bahasa resmi tersebut adalah Bahasa Fusha yang dijadikan komunikasi bersama

7
Muhbib Abdul Wahab, Bahasa Arab dan Ilmu Peradaban Islam, Jurnal Arabiyyat. Vol. I. No.
1, Juni 2014. Hal. 1-20.
8
Pengaruh kepimpinan, dominasi, kekuasaan, dsb. Suatu negara lain (atau negara bagian).

4
antar kabilah arab pada zaman jahiliyah dan islam. Untuk pertama kalinya pada masa
Umayyah ini bahasa arab Fusha diberlakukan bagi masyarakat non-Arab yang
sebelumnya dipergunakan hanya terbatas pada orang Arab.
Sebagaimana, sejak kedatangan islam pula Bahasa Arab Fusha (yang
notabene dialek Quran) dijadikan sebagai bahasa lingua franca semakin kokoh. Al-
Quran sebagai bahasa agama, disamping keunggulan obyektif yang dimiliki, bahasa
Arab al-Quran dianggap lebih pantas untuk digunakan sejak saat itu, tampak
antusiasme yang besar dari masyarakat untuk mendalami dan mengkaji bahas Al-Quan,
bahasa yang dinisbatkan kepada suku Quraisy. Juga, penggunaan bahasa Arab Fusha/
Baku pemersatu pada masa jahiliyah.9
Seiring dengan waktu, bahasa Arab Al-Qur'an dijadikan bahasa baku bagi
seluruh kabilah di Jazirah Arab dan lebih 22 negara pemakai bahasa Arab dikawasan
Timur Tengah dan sebagian benua Afrika10, lalu menjadi bahasa resmi sekaligus bahasa
International yang digunakan sebagai bahasa kerja di PBB11. Ratifikasi tata bahasa Arab
didasarkan pada bahasa Al-Qur'an itu di samping fakta-fakta bahasa yang tersebar
diberbagai karya para sastrawan. Lambat laun muncul asumsi bahwa bahasa yang baik
adalah bahasa Al-Qur'an, dan yang berbeda darinya dianggap sebagai kelas dua, atau
bahkan menyimpang.

Bahasa Amiyah
Sadar atau tidak, pada gilirannya bahasa kabilab Quraisy menjadi patokan
kebakuan dan pembakuan bahasa. Upaya penggiringan untuk hanya menggunakan
bahasa Al-Qur'an yang nota bene adalah bahasa Quraisy memunculkan sejumlah
9
Pada masa Jahiliyah dikenal adanya Bursadan Lomba Syair di pasar Ukzh (Sq Ukzh),
SekitarMekkah. Di antara karya-karya sastra yang dinilaiterbaik kemudian digantung dan dipamerkan
pada dinding Kabah. Karena itu, karya-karya terbaik kemudian dihimpun dalam sebuah antologi syair
yang disebut dan hingga sekarang masih dijumpai al-Muallaqt al-Sab atau al-Muallaqt al-Asyr.
Lihat Mushthafa Inan dan al-Iskandar , al-Wasth i Trkh al-Adab al-Arab (Kairo: Dar al-Maarif,
tt);dan Ahmad Hasan al-Zayyat, Trkh al-Adab al-Arab,. Menarikdicermati bahwa pasar-pasar di masa
Jahiliyah hingga abad kedua hijriyyah dapat dianggap sebagaisumber baku materi bahasa Arab (mutun al-
Lughah al-Arabiyyah) yang kelak dirumuskan sebagai ilmu,mulai dari ilmu nahwu, sharaf, balaghah,
dan shinaat al-mujam (leksikografi Arab).
10
Diantara negara yang menggunakan bahasa Arab resmi adalah: Arab Saudi, Yaman, Oman,
Suriah, Palestina, Yordania, Iraq, Quawait, Qatar, Bahrain, Unit Emirat Arab, Lebanon, Mesir, al-Jazair,
Tunisia, Libia, Sudan, Marokko, Mali, Somalia, Nigeria, dan Mauritania. Beberapa negara lain yang
bahasanya banyak dipengaruhi bahasa arab, waaupun tidak menggunakan bahasa arab sebagai bahasa
resmi, adalah Iran (bahas Persia, Turki (bahasa Turki), pakistan (bahasa Urdu), dan tentu Indonesia
(bahasa Melayu.
11
Bahasa Arab ditetapkan menjadi bahasaresmi dan bahasa kerja PBB sejak tahun 1972, sejajar
bahasa PBB lainnya, seperti bahasa Inggris, Perancis,Rusia, Spanyol, dan Cina.

5
masalah. Masyarakat yang berasal dari kabilah selain Quraisy tidak seluruhnya
memiliki kesiapan dan kemampuan menggunakan bahasa Al-Qur'an secara baik dan
benar. Akibatnya, terjadi sejumlah kesalahan dan fenomena penyimpangan bahasa
ketika masyarakat mulai menggunakan bahasa Arab fusha. Praktik kesalahan dan
penyimpangan berbahasa itu disebut lahn.
Benih-benih lahn mulai muncul sejak jaman Nabi Muhammad Saw berupa
perbedaan luknah (logat, cara berbicara) di kalangan sahabat. Istilah lahn itu baru
muncul setelah kedatangan Islam dan setelah bahasa Quraisy yang digunakan Al-Qur'an
menjadi bahasa baku. Nabi Muhammad diceritakan pernah memberikan peringatan
keras terhadap orang yang melakukan lahn, yang diduga sebagai praktik lahn pertama.
Sejak dilakukan penaklukan ke luar jazirah Arab, seperti Romawi dan Persia,
praktik lahn makin tak terelakkan. Permasalahannya semakin kompleks ketika
masyarakat Arab mulai mencampuradukkan bahasa mereka dengan apa yang didengar
dari bahasa orang-orang yang terarabkan (muta'arrabin) di negeri-negeri taklukan.
Praktik lahn tidak hanya terjadi dalam bahasa lisan tetapi juga mulai merembet pada
bahasa tulis, terutama sejak masa Umar bin Khatthab. Fenomena lahn ini makin meluas
sejak dilakukannya penukilan buku-buku berbahasa Romawi dan Qibtiyah (Mesir) ke
dalam bahasa Arab, dalam surat menyurat, dan lain sebagainya. 12 Maraknya praktik
lahn tak pelak melahirkan kekhawatiran akan rusaknya kualitas dan orisinalitas bahasa
Arab baku.
Kemunculan bahasa amiyah ini telah melahirkan sejumlah problematika yang
mendasar di kalangan masyarakat Arab. Tulisan ini akan mengkaji sejarah munculnya
bahasa amiyah itu dan menjelaskan berbagai masalah yang menyertai dualisme bahasa -
antara fusha dan amiyah di kalangan masyarakat Arab.

Munculnya Bahasa Amiyah


Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahasa Arab baku adalah bahasa Quraisy
yang digunakan Al-Qur'an dan nabi Muhammad Saw. Bahasa ini selanjutnya disebut
sebagai bahasa Arab fusha. Hari ini bahasa Arab fusha adalah ragam bahasa yang
ditemukan di dalam Al-Qur'an, hadis Nabi dan warisan tradisi arab. Bahasa fusha hari
ini digunakan dalam kesempatankesempatan resmi dan untuk kepentingan kodifikasi

12
Al-Rafii. Tarikh Adab al-Arab. Juz. I. (Beirut: Dar-Al-Araby). Hal. 238.

6
karya-karya puisi, prosa dan penulisan pemikiran intelektual secara umum.13 Sedangkan
bahasa amiyah adalah ragam bahasa yang digunakan untuk urusan-urusan biasa sehari-
hari.
Di jaman pra-islam, masyarakat Arab mengenal stratifikasi kefasihan bahasa.
Kabilah yang dianggap paling fasih di banding yang lain adalah Quraisy yang dikenal
sebagai surat al-Arab (pusatnya masyarakat Arab). Kefasihan bahasa Quraisy ini
terutama ditunjang oleh tempat tinggal mereka yang secara geografis berjauhan dengan
negara-negara bangsa non-Arab dari segala penjuru. Di bawah kefasihan Quraisy adalah
bahasa kabilah Tsaqif Hudzail, Khuza'ah, Bani Kinanah, Ghathfan, bani Asad dan Bani
Tamim, menyusul kemudian kabilah Rabi'ah, lakhm, Judzam, Ghassan, Iyadh, Qadha'ah,
dan Arab Yaman, yang bertetangga dekat dengan Persia, Romawi dan Habasyah. 14
Kefasihan berbahasa itu terus terpelihara hingga meluasnya ekspansi Islam ke luar
jazirah dan masyarakat Arab mulai berinteraksi dengan masyarakat bangsa lain.
Dalam proses interaksi dan berbagai transaksi sosial lainnya itu terjadi
kesalingpengaruhan antarbahasa. Masyarakat `ajam belajar berbahasa Arab, dan
masyarakat Arab mulai mengenal bahasa mereka. Intensitas interaksi tersebut lambat
laun mulai berimbas pada penggunaan bahasa Arab yang mulai bercampur dengan
beberapa kosakata asing, baik dengan atau tanpa proses pengaraban (ta'rib). Pertukaran
pengetahuan antarmereka juga berpengaruh pada pertambahan khazanah bahasa Arab
khususnya menyangkut hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat Arab
ketika hidup terisolasi dari bangsa lain. Masyarakat non-Arab juga kerap melakukan
kesalahan dalam menggunakan bahasa Arab. Fenomena ini kemudian makin meluas
melalui transaksitransaksi sosial, misalnya dalam aktivitas ekonomi di pasar-pasar
terutama sejak abad ke-5 H.
Fenomena penyimpangan bahasa (lahn) adalah cikal bakal lahirnya bahasa
amiyah, bahkan ia disebut sebagai bahasa amiyah yang pertama. Berbeda dengan
dialek-dialek bahasa Arab yang digunakan di sejumlah tempat lokal, bahasa amiyah
dianggap sebagai suatu bentuk perluasan bahasa yang tidak alami.
Bahasa Arab amiyah adalah bahasa yang "menyalahi" kaidah-kaidah orisinil
bahasa fusha. Dengan kata lain, bahasa amiyah adalah "bahasa dalam penyimpangan
"(lughat fi: al-lahn) setelah sebelumnya merupakan fenomena penyimpangan dalam

13
Yakub, Fiqh al- lughat al-Arabiyah wa Khasha. (beirut al-Tsaqafah al-Islamiyah), hal. 144.
14
Al-Rafii. Tarikh Adab al-Arab.op. cit. 252-253.

7
(sebuah) bahasa. Secara perlahan tapi pasti bahasa amiyah terus berkembang hingga
menjelma sebagai bahasa yang otonom dengan kaidahkaidah dan ciri-cirinya sendiri.
Bahasa amiyah di negeri-negeri (taklukan) Islam awalnya adalah lahn yang sederhana
dan masih labil karena masyarakatnya masih memiliki watak bahasa Arab yang genuin.
Karena itu, di awal kemunculannya, bahasa amiyah di kalangan masyarakat masih
mempunyai rentangan antara yang lebih dekat dengan bahasa baku (fusha) sampai pada
yang jauh darinya.
Pada dasarnya semua dialek dapat dijadikan sebagai bahasa baku, namun perlu
adanya beberapa pertimbangan dam acuan pembakuan Bahasa Arab karena tidak semua
dialek dapat dijadikan bahasa baku karena berkenaan dengan kemurnian bahasa Arab
dan pemakaiannya dari lahn. Oleh karenanya, dialek yang dijadikan sebagai acuan
bahasa baku harus bebas dari lahn, baik bagi bahasa itu sendiri maupun pemakainya,
maka ada tiga kategori yang ditetapkan dalam menentukan apakah sebuah dialek dapat
dijadikan acuan atau tidak, yaitu:
a. Kategori waktu
Bahasa Arab yang dipergunakan oleh seluruh bangsa Arab tanpa terkecuali, pada
masa Jahiliyah dan Islam sampai pertengahaan abad ke-2 H, dapat dijadikan
sebagai acuan karena dalam rentang waktu tersebut naluri kebahsaan bangsa Arab
masih dianggap murni.
b. Kategori Tempat atau Kabilah
Tidal semua kabilah yang memilki dialek sendiri, dialeknya dapat dijadikan
sebagai acauan baku. Norma yang diberlakukan pada kabilah-kabilah tersebut
dalam kaitannya dengan acauan bahasa baku adalah dekat dan jauhnya suatu
kabilah dari bangsa-bangsa non-Arab. Semakin jauh suatu kabilah dari bangsa-
bangsa non-Arab akan semakin baik dialeknya untuk dijadikan sebagi bahasa
acuan bagi bahasa baku. Sebaliknya, semakin dekat dengan bangsa non-Arab,
maka semakin jelek dialeknya sehingga tidak dapat dijadikan sebagai acuan.
c. Kategori Kondisi Kehidupan
Norma yang diberlakukan disini adalah semakin baduai tingkat kehidupan sebuah
kabilah, maka semakin baik bahasanya untuk dijadikan sebagai acuan bahasa
baku.
Dapat disimpulkan dari pembagian tersebut diatas bahwa persoalan dialek mana
yang harus dijadikan acuan bagi bahasa baku didasarkan pada kemurnian sebauh dialek

8
dari pengaruh non-Arab. Dalam hal ini, Ibnu Jinni mengatakan: Alasan yang
menyebabkan bahasa masyarakat yang telah berperadaban tidak dijadikan sebagi
sumber acuan bagi bahasa baku adalah kerusakan dan kekacauan yang menimpa bahasa
mereka.
Norma-norma bagi dialek yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk bahasa baku
tampaknya dirumuskan dan ditetapkan para ulama Basrah, Abu Amr bin al-Ala
mengatakan: Apabila kami mengatakan: Orang Arab berkata, maka artinya orang Arab
yang tinggal diantara Najd dan gunung Hijaz, tempat kabilah Asad, Tamin dan
sebahagiaan kabilah Qais tinggal. Oleh karena norma-norma yang ditetapkan seperti itu,
maka sumber-sumber bahasa baku adalah al-Quran, puisi-puisi Jahiliyah dan Islam,
dan Kalam Arab yang diambil dari penelitian langsung ke lapangan.
Intensifikasi penduduk Arab dengna non-Arab membawa klimaks besar yang
melahirkan lahn, yang mengakibatkan percampuran juga dalam percakapan fusha dan
ammiyah. Dalam rangka tersebut Abu-1 Aswad al-Duali meletakkan dasar-dasar
sintaksis bahasa Arab (ushul Nahwu). Masyarakat umum yang peduli dengan kemurnian
bahasa, anak-anak mereka untuk sungguh-sungguh juga mempelajarinya.
Ilmu Nahwu mulai berkembang luas, dan diajarkan dimasjid-masjid. Tidak
terbatas pada orang asli, disiplin ilmu ini juga dipelajari oleh orang-orang non-Arab
yang tinggal dinegeri Arab. Keterbatasan ilmu ini, pada tingkat tertentu, telah
mengeleminir lahn dikalangan masyarakat rendahan, semisal pekerja dan orang-orang
pasar. Oleh karena itu, ilmu nahwu dikenal sebagai milik para budak.15
Inilah pemicu dari aktivitas ilmiah pertama nalarArab, sistematisasi dan
pembakuan bahasa yang bahan bakunya diambil dari kalangan pedalaman Badui 16 yang
otentisitas bahasanya dianggap masih terjaga.
Bahasa itu sendiri dalam wacana epistemologis mempunyai kaitan yang erat
dengan pengetahuan. Al-Jabiri mengutip pendapat Adam Schaff yang mengatakan
bahwa sebuah sistem bahasa punya pengaruh yang signifikan terhadap cara pandang
penuturnya terhadap dunia, yang pada gilirannya juga mempengaruhi cara dan metode

15
Ar-rafii, hal. 239.
16
Walaupun secara kuantitas populasi Badui tak lebih dari 10% dari total populasi Dunia Arab,
kebanyakan orang Arab lebih suka mengklaim dirinya sebagai keturunan Badui. Lebih penting dari hal
tersebut, mayoritas populasi masih menganggap ethos Badui sebagai idealisme yang seharusnya mereka
junjung. Tendensi ini diperkuat - selain penyandaran aspek philologi Arab pada praktek kebahasaan
Badui - menurut Lewis, penyandaran keputusankeputusan hukum (legal decisions) lebih banyak pada
preseden-preseden hukum Badui.

9
berpikir mereka. Ada satu ungkapan yang menarik dari al-Jabiri, bahwasanya bahasa
yang selama ini memberikan kemampuan kita dalam berbicara, pada saat yang sama
juga yang memberi dan memformat kemampuan kita dalam berpikir.17
Berkenaan hal tersebut, masyarakat Kuffah dan Basrah menjadikan orang-orang
Badui sebagai pemulihan bahasa, dimana mereka hidup kesusahn sebagai sumber utama
bagi pembakuan Bahasa. Dimana bahan baku bahasa yang diperoleh dari kalangan arab
Badui dengan alasan kemurnian bahasanya yang masih terjaga. Bahasa badui tersebut
mereflesikkan kehidupan materil dan pandangan dunia yang tertutup dan primitif.
Para ulama ketika itu banyak yang mengahabiskan waktunya bertahun-tahun
ditengah-tengah kehidupan masyarakat Badui. Mereka berbaur dengan mereka, makan
bersama, minum bersama dan bercengkrama bersama. Dari masyrakat baduilah inilah
mereka mencatat fakta-fakta bahasa yang dapat mereka catat. Selain itu para ahli bahasa,
kadang-kadang, juga memanfaatkan orang-orang badui yang datang ke kota, baik
karena datang dengan kemaun sendiri maupun tidak. Dari fakta-fakta inilah, bahasa
diciptakan dari ulama genarasi pertama uyang memperoleh fakta-fata bahasa dari
sumber bahasa secara langsung. Alhasil, dapat disimpulkan bahwa kaum Baduilah yang
menciptakan dunia Arab, duani yang tidak berkaitan dengan persoalan an-Sich, akan
tetapi juga mencakup pola pikir dan perasaan.
Padahal pengadopsian kemurnian bahasa Arab kalangan Badui (al-Arab) pada
sisi yang lain justru kontra-produktif bagi masa depan peradaban Islam-Arab,
khususnya peradaban fiqh. Karena menurut al-Ja biri, bahasa Arab Badui mempunyai
paling tidak dua karakter, yaitu a-historis dan physical. Berkarakter ahistoris, karena
dinamisasi internal bahasa Arab yang lebih mengandalkan pada derivasi kata
merupakan sebuah proteksi yang dimiliki bahasa ini dari perubahan dan perkembangan
sebagaimana dikehendaki oleh sejarah. Sejak masa al-Khalili, bahasa Arab praktis tidak
mengalami perkembangan yang berarti baik dari sisi gramatika, saraf, dan makna kata.
Bahasa Arab, menurutnya, telah mengalami stagnasi, pembekuan (konservasi) sejak
muncul aktivitas tadwin. 18 Karakter a-historis bahasa Arab, menurut Edward Atiyah,
juga ditandai dari karakteristik pola pikir Arab yang lebih banyak dikuasai oleh kata

17
Abid Rohmanu, Kritik Nalar Qiyasi Bayani ke Nalar Qiyasi Burhani, (Yogyakarta: STAIN Po
Press, 2014), hal. 39-41
18
Ar-Rafii, Tarikh Adab al-Arab. Juz. 1. (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1974), hal. 239.

10
dari pada ide, dan oleh ide dari pada fakta. 19 Bahasa Arab Badui juga berkarakter
physical, karena bahasa mereka merupakan refleksi dari kondisi kehidupan, pola pikir
dan persepsi yang bersifat fisik (inderawi). Menjadikan bahasa Arab Badui sebagai
rujukan kodifikasi berarti juga membatasi dunia bahasa Arab itu sendiri sebagaimana
terbatasnya dunia alArab.

Pendapat Penulis
Berhubung persolan bahasa yang melingkup luas, dimana ujung bahasa-lah yang
menciptakan berbagai ilmu, dan merebaknya pendapat dari pakar bahasa yang penulis
lihat hanya sekelubit saja, namun dapat mengambil kesimpulan kecil yang belum
mengadakan hipotesa bhwa faktor penyebab pendorong para ulama bahasa
melakakukan hal-hal yang sudah sebelumnya, merujuk pada kemurnian Bhasa Arab,
ada hubungan dengan antara Naturalisme 20 bahasa dan Konvensiolisme 21 bahasa
dalam artian bahasa sebagai tauqifi/ilhamii, dan ada kelompok yang berargumen bahasa
sebagai hasil kesepkatan masyarakat bahasa. Dimana adanya institusi tertentu yang
merupakana bahasa itu alami/natural, berati bahwa institusi memilki asal-usul secara
azali dan memilki prinsip yang abadi diluar manusia sendiri. Adapun bahasa
konvesional yakni bahasa yang dihasilkan dari unsur kebudayaan, adat istiadat kontak
sosial diantara anggota masyrakat, sebuah kontrak yang karena dibuat olah manusia
sendiri, maka ia dapat berupah oleh manusia sendiri.
Belum lagi, dengan polemiknya politik antar kabilah Quraisy dengna kabilah
lain dimana upaya pensamaran untuk melawan dominasi Quraisy. Faktor ini yang
menganngap penyebab Ulama bahasa kembali ke dialek-dialek Arab seluruhnya,
dengan asumsi bhwa ragam Tinggi yang berkembang zaman jahiliyah sampai
dibakukan bahasa Arab dari dialek Quraisy. Akibatnya, ada beberapa kelompok
mengadakn perlawanan budaya Quraisy dengan budaya kabilah lain, yang kebanyakan
bersal dari kabilah Badui yang tidak menyetuji dominasi politik hanya berda ditangan
orang Quraisy.
Pendapat dari penulis ini, hanya dilihat dan membaca dari beberapa jurnal ilmiah,
belum mengadakan hipotesis lebih lanjut.

19
Muhammad Al-Jabiri Abid. Al-Masalah al-Thaqofiyah fi al Watab al-Araby, (Libanon: Markaz
Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1999), hal. 86.
20
Usaha untuk menjaga kemurnian bahasa yang menggambarkan sebagaimana adanya.
21

11
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Di jaman
jahiliah atau pra-Islam masyarakat memiliki bermacam-macam dialek akibat perbedaan
tempat tinggal dan kebutuhan sosial-budaya masingmasing kabilah, Pada gilirannya,
dipelopori oleh kabilah Quraisy yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi dan agama,
seluruh kabilah Arab dapat merumuskan lingua franca yang dijadikan bahasa lintas
kabilah, Lingua franca antarkabilah Arab di jaman pra-Islam itu adalah bahasa fusha.
Meskipun demikian dialek-dialek kabilah masih diakui keberadaannya, dan tidak
disebut sebagai lahn atau penyimpangan bahasa, Setelah datangnya Islam, masyarakat
Arab lebih suka menggunakan bahasa fusha yang digunakan oleh Al-Qur'an dan hadis
Nabi, dalam rangka makin memperkokoh persatuan antarmereka.
Sejak dilakukannya ekspansi Islam ke luar jazirah Arab dan masyarakat Arab
mulai berinteraksi dengan orang ajam (non-Arab) maka terjadi penyimpangan bahasa
yang semakin meluas, tidak saja dalam bahasa lisan tetapi juga bahasa tulis maka
muncullah bahasa ammiyah dimana bahasa yang fleksibel tanpa mengikuiti kaida-
kaidah apapun. Maka dari itu, upaya untuk menjaga bahasa Arab baku adalah menjaga
fonologi, sintaksis Bahasa Arab dan juga perbaikan dalam hal pembelajaran bahasa
Arab secara umum, khususnya mengenai penyajian tata bahasa Arab fusha yang lebih
disederhanakan, memperbaiki strategi dan media pembelajarannya, memperbanyak
bukubuku bacaan sederhana untuk anak dalam berbagai bidang dalam bahasa fusha, dan
lain sebagainya. Wallahua'lam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abid, Muhammad Al-Jabiri. Al-Masalah al-Thaqofiyah fi al Watab al-Araby. Libanon:


Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyah, 1999.

Al-Rafii. Tarikh Adab al-Arab. Juz. I. Beirut: Dar-Al-Araby. 1974.

Nahdliyin, Khoiron. Pembakuan bahasa Arab, Jurnal Adabbiyat. Vol. 1. No. 2.

Rohmanu, Abid. Kritik Nalar Qiyasi Bayani ke Nalar Qiyasi Burhani. Yogyakarta:
STAIN Po Press, 2014.

Tanriola, Andi Harbi. Signifikasi Bahasa Arab Fusha dan Amiyah bagi Tenaga Kerja
Indonesia di negara Timur Tengah. Depok: UI, 2009.

Tohe, Achmad. Bahasa Arab Fusha dan Amiyah serta Problematikanya, Jurnal: Bahasa
dan Seni, Tahun 33, No. 2, Agustus 2005.

Utorodowo. Bahasa Indonesia Sebuah Oengantar Imiah. Jakarta: 2009.

Wahab, Muhbib Abdul. Bahasa Arab dan Ilmu Peradaban Islam, Jurnal Arabiyyat. Vol.
I. No. 1, Juni 2014.

Yakub, Fiqh al- lughat al-Arabiyah wa Khasha. Beirut al-Tsaqafah al-Islamiyah . 1982.

13

Anda mungkin juga menyukai