Anda di halaman 1dari 4

REVIEW MATA KULIAH PERBANDINGAN POLITIK REZIM OTORITER SEBAGAI MANIFESTO DARI SISTEM POLITIK NON DEMOKRATIS

DISUSUN OLEH: ADIL SAADILAH NIM: 105120413111001 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2011

SISTEM POLITIK NON DEMOKRASI: MANIFESTASI REZIM OTORITER Sistem politik non demokrasi sangat erat kaitanya dengan manifestasi sistem otoriter, dimana sistem otoriter merupakan sistem yang terbentuk melalui monopoli kekuasaan suatu pemerintahan. Dalam bergam konteks, sistem otoriter memiliki keterhubungan degan istilah diktator. Istilah ini merujuk pada suatu pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dengan cara memonopoli kekuasaan negara1. Secara historis, perkembangan rezim otoriter dipionerisasi dalam bentuk kediktatoran militer personal, dimana bentuk ini menjadi sokongan dalam pembentukan rezim non demokratis modern. Kediktatoran militer sangat erat kaitanya dengan coup(perebutan kekuasaan), dimana coup tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yakni:The Corporate Coup, The Factional Coup, dan The Counter Coup2. Dalam perkembangan selanjutnya, kediktatoran militer berkembang menjadi personal dictatorship, atau yang lebih dikenal dengan presidential monarchy dengan sifatnya yang self coup, seperti kediktatoran Presiden Louis Napolian di Perancis, dan Presiden Vargas di Brazil. Perkembangan rezim otoriter modern dinilai banyak bermunculan pada abad 20, hal tersebut dapat direfleksikan dari beberapa gerakan revolusioner yang terjadi pada abad ini, antara lain: The Russian Revolution pada tahun 1917 yang dilakukan oleh Partai Bolshevik; The Chinese Civil War pada tahun 1946-1949 yang mengantar keberhasilan China dalam mendirikan Rezim Komunis; Serta The Iranian Islamic Revolution pada tahun 1978-1979 yang mengantar Iran menjadi negara republik islam3. Bicaara mengenai aktor yang mengampu jalanya proses pemerintahan dalam sistem otoriter, dapat digambarkan melalui tiga dimensi, yakni melalui personal rule, military rule, dan one party rule. Dalam dimensi personal rule, konteks rezim otoriter digambarkan melalui dua wajah: monarch dan dictator, dimana keduanya memiliki perbedaan yang signifikan, berkaitan dengan waktu dan sifat pemerintahan.Dari waktu kemunculanya, monarch sudah ada sejak ribuan tahun lalu, sementara dictator muncul dalam kondisi kekinian. Sifat pemerintahan dari monarch turun
1 2 3

Perbandingan Politik edisi ,hlm.183 Karamani,hlm 134 Kar.135

temurun, lain halnya dengan dictator yang belum tentu terikat pada ikatan keluarga. Ditengah perbedaan tersebut, keduanya memiliki kesamaan yang terletak pada tingkatan personal rulen-ya yang beragam, dari yang terbatas hingga absolutis. Sehingga, dua wajah personal rule ini menghasilkan dua konsep, yakni dictatorial monarchies dan monarchical ditators4. Dictatoral monarch merujuk pada ruling monarch dan reigning monarch yang di-cover oleh kekuatan kerajaan dengan sifat organisatoris. Ruling monarch meggambarkan kesamaan kekuasaan sebagai personal dictator, sementara reigning monarch merupakan pimpinan negara dibidang konstitusi dan seremonia. Moncarchical Dictators memiliki inti focus pada aktor personal yang biasanya dipegang oleh unit militer atau pimpinan partai, dengan lebih mengerahkan sifat personal daripada organizational dictatorship. Dalam Monarchical Dictator, terdapat konsep lain yang berbeda, yakni sultanisme yang banyak diaplikasikan oleh para personal dictator, dimana sultanisme tidak digerakan oleh ideology atau institusional tertentu, melainkan oleh aturan kesultananya sendiri. Selain konsep ini, dikenal juga konsep Presidential Monarchy yang terkenal di negara dunia ke-3, misal Jendral Suharto di Indonesia, Jendral Pinoche di Chili, Jendral Asad di Syiria, dan lain sebagainya. Dalam dimensi military rule, sistem otoriter ditujukan secara khusus melalui kediktatoran yang dipimpin oleh organisasi resmi yang memiliki seragam, bara, struktur karir, dan sistem legal yang konkrit. Dalam dimensi one party rule, sistem otoriter ditujukan melalui orientasi kebijakan dan ideologisnya, apakah diarahkan pada fasisme, komunisme, atau fokus pada negara dunia ke-3. Alasan diktator memerintah dalam sistem otoriter dapat diklasifikasikan kedalam beberapa ragam alasan yang berkaitan dengan klaim atas legitimasi secara agamis, ideologis, dan atas demokrasi Secara agamis, alasan diktator memerintah dalam sistem otoriter sebenarnya telah muncul sejak abad pertengahan dalam bentuk monarkisme Eropa dengan kepemimpinan sentral berada langsung dibawah gereja. Pada konteks kekinian, legitimasi sistem otoriter atas alasan agama kembali muncul pada tahun 1978-1979 melalui revolusi iran dengan proklamasinya sebagai negara republic islam. Dalam konstitusinya, legitimasi secara agamis memiliki bebarapa
4

Karamani 137

instrument agama, yakni council of guardians sebagai aktor yang menjalankan fungsi legislatoris, publice office of supreme religious judge, dan leader of revolution. Secara ideologis, klaim legitimasi atas sistem otoriter dipandang melalui 3 sudut. Dari personal sense legitimasi dipandang sebagai alokasi kekuasaan pemimpin suatu unit pemerintahan dalam mengklaim legitimasinya sebagai suatu acuan ideologis.Dari sudut organizational parties/militaries, legitimasi dipandang sebagai hak ideologis untuk memerintah, dan dari sudut visionary programmatic sense of a regime, menyatakan legitimasi sebagai prinsip mengabadikan ideology sebagai prinsip aturan. Klaim legitimasi atas demokrasi dalam sistem otoriter ditjukan untuk menggalang dukungna public dalam rangka memepertahankan otoritarianisme yang dibangunya. Klaim tersebut misal dengan slogan proletarian democracy dari sudut negara komunis, African democracy dari one partys state, serta german democracy dari negara fasis. Dalam menjalankan operasional pemerintahanya, rezim otoriter dijalankan melalui dua cara, yakni: Totalitarianisme dan Otoritarianisme. Totalitarianisme merupakan bentuk paling ekstrim dari kediktatoran dalam rezim otoriter, dimana kekuasaan sepenuhnya dipegang oleh si penguasa tanpa adanya celah kesempatan bagi pihak lain untuk menggantikan kekuasaanya. Sementara, Otoritarianisme bersifat agak lebih terbuka,, karena dibatasi oleh kehadiran pluralism politik yang terbatas, kehadiran elaborasi ideology yang dapat menjadi petunjuk rezim, kehadiran mobilisasi politik intensif dan ekstensif, serta keterbatasan. predictable daripada arbitrary atau discretionary leadership oleh grup kecil atau individu.

Anda mungkin juga menyukai