Anda di halaman 1dari 9

OLEG TAMULILINGAN

Oleg dapat berarti gerakan yang lemah gemulai, sedangkan tambulilingan berarti kumbang pengisap madu bunga. Tari Oleg Tambulilingan melukiskan gerak-gerik seekor kumbang, yang sedang bermain-main dan bermesra-mesraan dengan sekuntum bunga di sebuah taman. Tarian ini sangat indah. Tari Oleg Tambulilingan, yang semula dinamakan Tambulilingan Mangisep Sari, merupakan ciptaan I Ketut Mario dari Tabanan pada tahun 1952 atas permintaan John Coast (dari Amerika). Terpujilah I Mario. Tari Oleg Tambulilingan yang diraciknya pada tahun 1951 hingga kini senantiasa abadi. Remaja putra dan putri selalu bermimpi untuk bisa menarikannya dengan sempurna. Selain sebagai simbol romantisme laki-perempuan, gerak tari Oleg juga mengandung karakter keindahan yang khas Bali. Foto-foto Oleg selalu menghiasi majalah, iklan penerbangan, iklan bank, billboard pinggir jalan dan media lain yang ingin melukiskan khasnya keindahan Bali. Namun tidak banyak yang tahu awal mula koreografer I Mario menciptakan tari ini, apalagi mengetahui stil gerakannya yang asli. Untuk mengenal Mario, Disbudpar Tabanan menggelar Lomba Tari Oleg Tambulilingan dan Kebyar Terompong seBali, 25-27 Maret lalu, di Gedung Mario Tabanan. I Mario lahir dengan nama I Ketut Maria. Hanya peneliti-peneliti dari Eropa dan AS dengan lidah Barat, tentunya menyebutnya dengan nama I Mario. Nama itu kemudian lebih populer dari nama sesungguhnya. Nama I Mario abadi, karena nilai pemberontakannya yang kental terhadap gerak-gerak tari Bali. Ia dianggap pencipta karakter gerak yang khas, keras sekaligus romantis. Maka tidaklah salah, jika Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Tabanan punya niat baik menyelenggarakan Lomba Tari Oleg Tambulilingan dan Kebyar Terompong beberapa waktu lalu, untuk melestarikan sekaligus meneladani karakter kesenimanan koreografer tradisional asal Tabanan itu. Niat baik Dsbudpar Tabanan ini dapat sambutan besar dari remaja putra dan putri di seluruh Bali. Dalam catatan panitia, ratusan remaja peserta mendaftarkan diri, namun panitia hanya menyediakan tempat bagi 40 pasang penari Oleg dan 16 penari Kebyar Terompong. Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang lomba yang digelar tahun lalu yang hanya diikuti belasan peserta. Kenapa generasi muda begitu antusias mengikuti lomba ini? Tentu banyak alasannya. Selain jumlah hadiahnya cukup spektakuler (total Rp 37 juta), mereka punya mental kompetitif tinggi untuk membuktikan dialah penari Oleg terbaik di Bali. Tari Oleg itu lembut namun punya tingkat kesulitan tinggi, sehingga saya sangat ingin jadi yang terbaik dari seluruh penari Oleg di Bali, begitu pengakuan Wiwik, seorang peserta yang datang jauh-jauh dari Karangasem. Niat lebih luhur dari Disbudpar yang patut dihargai adalah keinginannya mempertahankan stil koreografi I Mario yang memang khas. Masalahnya, dalam perkembangan tari Oleg dan Kebyar Terompong belakangan ini terdapat semacam rasa waswas bahwa Oleg yang asli Mario bakal punah digerus gelombang kreativitas yang tak tentu arah. Kecemasan itu datang

dari salah seorang murid I Mario, I Gusti Agung Ngurah Supartha, yang saat lomba juga bertindak sebagai juri. Mantan Kepala Taman Budaya Denpasar ini menuturkan, dalam perkembangan tari Oleg dan Kebyar Terompong memang terdapat perubahan-perubahan gerak yang baik. Namun jika diamati dengan cermat, perubahan itu lebih banyak buruknya. Misalnya banyak terjadi penyederhanaan. Satu contoh dalam gerak tulak angsul. Menurutnya, dalam gerak ngrangrang menjadi ngelung kiri dan pacak gulu terdapat unsur gerak tulak angsul. Jika dihitung, kata Supartha, dalam rangkaian ini sesungguhnya terdapat enam gerakan, namun biasa disederhanakan menjadi dua gerak, yakni gerakan tangan tulak dan angsul saja. Padahal di sana terdapat juga unsur ngeleog, ngelier dan sebagainya, ujarnya. Dari properti, katanya, kini penari laki-laki Oleg dan Kebyar Terompong banyak menggunakan kancut yang pendek. Padahal Mario sengaja menciptakan kancut sepanjang 5 meter untuk menciptakan kesempurnaan keindahan tari. Dulu, kenangnya, seorang penari belajar hingga berbulan-bulan hanya untuk ngampigan kancut. Begitu pula dengan kipas. Kipas, dalam stil Mario, biasa diputar dengan kesempurnaan gerak jari yang rumit. Namun kini kipas biasa hanya gejer-gejer saja, ungkapnya. Pengenalan stil Mario, menurut konsultan seni budaya di KBRI Washinton DC ini, bukan untuk memasung kreativitas. Tetapi justru sebagai pemicu kreativitas dengan memperkenalkan kepada generasi muda bentuk-bentuk pemberontakan koreografi yang dilakukan Mario pada masanya. Dalam Oleg Tambulilingan, katanya, bisa dilihat simbolsimbol pemberontakan gerak yang dilakukan Mario dalam seni tari Bali. Seorang pengamat seni muda Tabanan, Putu Arista Dewi, mengakui stil asli Mario memang seharusnya dikenal secara cermat. Banyak puncak pencapaian gerak dari Mario yang sulit ditandingi seniman masa kini. Misalnya dari segi properti; kipas, panggul terompong, kancut dan sebagainya, dalam gerak tari ciptaan Mario bukan hanya berfungsi sebagai alat semata. Namun properti itu menyatu, saling mendukung dengan gerak tubuh si penari. Makanya, pemilik Sanggar Tari Taman Budaya ini menilai lomba yang digelar Disbudpar bisa dijadikan salah satu pemicu pengenalan stil Mario kepada generasi muda. Meski begitu, Arista berharap pihak Disbudpar atau siapa pun yang bertanggung jawab terhadap seni-budaya di Bali agar menggelar pembinaan secara terus-menerus. Tak cukup hanya dengan lomba, juga memberikan workshop kepada pembina-pembina sanggar di Bali. Harapan serupa diungkapkan Ayu Trisna Dewi Prihatini. Pemilik Sanggar Tari Ayu ini berharap stil Mario ini dilestarikan agar tak keburu punah dan tak terlacak asal-usulnya. Caranya, seperti kata Arista, Ayu menyarankan workshop terus-menerus dilakukan, tiap bulan, bahkan tiap minggu. Harapan ini mendapat dukungan dari dosen karawitan STSI asal Tunjuk, Tabanan, I Made Arnawa, SSKar. Menurutnya, lomba ini amat baik untuk membuktikan sejauh mana ciptaan Mario ini telah direvisi dan diaplikasikan lagi oleh koreografer penerusnya. Dari sini, katanya, bisa dikenalkan kembali stil-stil gerak Mario yang sesungguhnya. Dan, ini menjadi tantangan tersendiri bagi penanggung jawab kesenian di Bali. Caranya, bukan hanya menggelar lomba, juga menggelar workshop secara rutin. Dengan cara itu, kisah unik terciptanya tari Oleg sekaligus semangat berkesenian Mario juga bisa dikenal secara luas, ujarnya. Dari Sleeping Beauty

Kisah terciptanya tari Oleg Tambulilingan memang berbelit sekaligus unik. Dalam orasi ilmiah yang disampaikan saat pembukaan lomba, Senin (25/3) lalu, Rektor ISI Yogyakarta Prof. Dr. I Made Bandem menceritakan, pada tahun 1950 datanglah seorang impresario Inggris Jhon Coast. Mantan staf Kedutaan Inggris di Jakarta ini bersama istrinya menetap di Kaliungu, Denpasar, selama dua tahun. Untuk mewujudkan suatu diplomasi kebudayaan, ia berhasrat membawa sebuah misi kesenian besar ke Eropa dan AS. Ia pun menghadap Presiden Soekarno, dan niatnya itu disetujui. Jhon Coast menyiapkan misi keseniannya dari Bali. Dari buku-buku laporan peneliti asing yang menetap di Bali pada tahun 1920-an dan 1930-an, Coast akhirnya mengetahui tentang penari terkenal I Mario dan muridnya I Sampih dari Peliatan, Ubud. Coast bersahabat baik dengan pemain kendang dan Ketua Sekaa Gong Peliatan Anak Agung Gde Mandera, sehingga melalui Mandera, I Mario akhirnya bisa ditemukannya. Mandera mengutus I Sampih mencari I Mario ke Banjar Lebah, Tabanan. Awalnya I Mario menolak bergabung kembali ke Sekaa Gong Peliatan karena merasa tua dan sakit-sakitan. Saat itu umur Mario diperkirakan lebih dari 50 tahun. Namun, atas desakan bertubi-tubi dari I Sampih, penggemar sabungan ayam itu akhirnya mau ke Peliatan. Pada April 1951, ketika Jhon Coast memiliki kepastian untuk membawa misi kesenian ke Eropa dan AS, ia meminta I Mario bersama Anak Agung Gde Mandera menciptakan tari baru untuk melengkapi repertori gong Peliatan yang saat itu hanya memiliki tari Janger dan Legong Keraton. Coast menawarkan I Mario menciptakan tari baru dengan menggunakan penari Legong Keraton, Ni Gusti Ayu Raka Rasmin, dan penari Kebyar Duduk, I Sampih. Maestro yang lahir di Belaluan, Denpasar, pada 1899 ini menyanggupinya, namun dalam waktu cukup lama ia merenung dan tak memiliki gagasan untuk menciptakan tari yang dimaksud Coast. John Coast merangsang I Mario dengan memperlihatkan buku-buku tari klasik Ballet yang dilengkapi foto-foto tari duet Sleeping Beauty, kisah tentang percintaan Putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming. Imajinasi Mario pun bangkit. Dari foto-foto itu ia mendapat inspirasi untuk menciptakan tari Oleg Tambulilingan. Ia langsung mengajar I Sampih tabuh lagu-lagu sederhana agar bisa memulai latihan dengan Ni Gusti Ayu Raka Rasmin. Sesudah batang-tubuh tari terwujud secara kasar, giliran Sekaa Gong Peliatan diajarkan tabuh lagu. Lagu yang diajarkan sebuah lagu kebyar untuk tari laki-laki. Dari kisah itu akhirnya terciptalah tari duet yang hingga kini monumental. Dari uniknya kisah penciptaan Oleg ini, menurut Arista, bisa dilacak karakter kesenimanan Mario yang keras, kental dan kompromis. Ia mengambil inspirasi dari Barat (tari Ballet), juga mempertahankan gerak klasik Legong Keraton dan sedikit nuansa Janger. Dalam hal pemberontakan gerak, Mario bahkan telah dikenal sebelumnya ketika untuk pertama kali menciptakan tari kekebyaran yang gesit, agresif dan atraktif, sehingga banyak yang sepakat Mario itu seniman sejati. Ia memang seorang maestro. I Gusti Ayu Raka, Penari Pertama Oleg Tamulilingan Tari Oleg Tambulilingan hidup dalam keabadian. Remaja Pulau Dewata senantiasa berangan-angan bisa menguasai tari romantis itu secara sempurna. Namun untuk dapat menari Oleg Tambulilingan secara paripurna, memang tidak mudah.

Oleg Tambulilingan adalah tari yang mengandalkan kelincahan olah tubuh diiringi instrumen gamelan hasil racikan (alm) I Ketut Maria, seniman asal Tabanan. Koreografer yang lebih dikenal dengan panggilan Mario menjadikan Tamulilingan sebagai ikon yang amat kesohor hingga ke mancanegara. Adalah I Gusti Ayu Raka (68), wanita yang beruntung didaulat I Ketut Maria menjadi penari perdana tari romantisme itu. Lewat gemulai tubuh perempuan kelahiran Gianyar, 31 Desember 1939 itu, Oleg Tamulilingan menjadi termasyhur. Ibu dari empat putra-putri yang masih enerjik pada usia senjanya itu memang mengabdikan hidupnya untuk menari. Bila tak menari, tubuh terasa kelu. Saya senang mewariskan Legong dan Oleg Tamulilingan kepada generasi penerus sebagai pengorbanan suci (nyadnya), tutur istri (almarhum) Anak Agung Gede Djelantik itu. Berkat kharisma, kepiawaian dan kelincahan yang dimilikinya, Ayu Raka terbang ke berbagai negara untuk menari Oleg Tamulilingan. Sosok wanita yang masih menyimpan sisa-sisa wajah menawan itu, pertama kali melawat ke Paris, lantas ke Eropa dan Amerika Serikat pada 1953. Ketika menginjak umur 12 tahun, Ayu Raka bergabung dengan Sekaha Gong Peliatan, perkampungan seniman Ubud. Lawatan tim kesenian Indonesia tersebut meraih sukses yang luar biasa dan Ayu Raka cilik saat itu dielu-elukan sebagai penari bintang. Seorang impresario asal Inggris, John Coast menobatkan Ayu Raka sebagai penari bintang, berkat penampilannya yang memukau saat menari Condong Legong, Garuda dan Oleg Tamulilingan. Bahkan Ayu Raka menjadi cover buku Dancing Out of Bali karya John Coast. Ayu Raka juga pernah mengadakan lawatan ke China (1959), Pakistan (1964), Jepang (1968), Australia (1971), Eropa (1973), Amerika (1982) dan Singapura (1996). Ayu Raka, putri sulung dari lima bersaudara pasangan I Gusti Putu Pageh-Ni Gusti Putu Kompyang itu sejak usia dini sangat menyenangi tari Bali. Ia diasuh seniman andal Gusti Made Sengog, selain mendapat motivasi kuat dari kedua orang tuanya. Wanita itu kerap memperkuat tim kesenian Bali melanglang buana. Sampai kini Ayu Raka masih tetap aktif menularkan tari Legong dan Oleg Tambuliling kepada generasi penerus. Usia boleh senja, tapi semangat tidak boleh sirna, ujarnya.

Tidak terhitung entah berapa ribu seniman terlahir dari hasil binaannya, termasuk seniman andal yang terhimpun dalam sanggar Cudo Mani Ubud, yang secara periodik mempunyai jadual manggung di luar negeri. Pengalaman Berat Ayu Raka tidak serta merta menjadi bintang. Untuk menjadi maestro Oleg Tamulilingan ia harus menempuh laku berat. Pada jamannya, untuk mendapatkan agem yang kuat tubuh harus tengkurap di lantai, kemudian diinjak-indak dan di bawah kedua ketiak diikat stagen. Untuk melatihan gerakan `ngelayak`, ia harus bersandar di atas meja atau tembok, katanya. Tubuh betul-betul terasa sakit setelah seharian latihan. Selama belajar tari Oleg dari I Ketut Maria, Ayu Raka digembleng dengan berbagai gerakan sulit. Mario, menurut Ayu Raka sering berlaku galak, jika murid-murid binaannya melakukan agem dan tanjek yang tidak benar serta kurang senyum. Kisah terciptanya Tari Oleg Tambulilingan memang unik dan berbelit-belit. Menurut gurubesar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Made Bandem, pada tahun 1950 datanglah seorang impresario Inggris, Jhon Coast. Mantan Staf Kedutaan Inggris di Jakarta bersama istrinya menetap di Kaliungu, Denpasar, selama dua tahun.

Oleg Tamulilingan, Tari Cinta Kasih Bali


Kiriman Kadek Suartaya, Dosen PS Seni Karawitan ISI Denpasar Dua istilah dalam bahasa Bali, oleg (goyang) dan tamulilingan (kumbang), digabungkan untuk menyebut sebuah cipta seni tari yang lahir pada tahun 1952. Tak disangka, tari yang bertutur tentang sepasang kumbang, jantan dan betina, yang sedang menjalin asmara di sebuah taman bunga itu, masih mempesona hingga hari ini. Oleg Tamulilingan, tari duet buah kreasi dan inovasi I Ketut Marya tersebut, dalam perjalanannya, menjadi karya seni pertunjukan monumental yang belum tertandingi hingga kini. Masyarakat Bali seakan tak pernah bosan mengaguminya. Pun, tidak sedikit para gadis Bali yang dengan bangga membawakan gemulai anggun, lenggok si kumbang betina nan ayu ini. Tengoklah pada Kamis (25/11) malam lalu di Gedung Mario, Tabanan. Beberapa pasang penari Oleg Tamulilingan, sarat antusias adu keperigelan dalam sebuah kompetisi. Luh Kade Pebria Satyani (18 tahun), misalnya, tampak menunjukkan totalitasnya mensinergikan wiraga-wirama-wirasa, bersama pasangannya (kumbang jantan), tampil dengan aura dan gairah berbinar. Begitu juga para penari Oleg yang lainnya, semuanya pentas dengan semangat membuncah. Gereget tersebut, selain digedor oleh motivasi lomba, tampaknya juga digelorakan oleh stimulasi cinta seni budaya luhur bangsa sendiri. Lebih-lebih bagi masyarakat Tabanan, tari Oleg Tamulilingan dan Ketut Marya diusung sebagai salah satu ikon dearahnya. Patung Oleg Tamulilingan dipajang di depan Gedung Mario (diabadikan dari nama Marya yang oleh orang barat disebut Mario). Tari Oleg Tamulilingan dan Mario telah menyatu dan melegenda. Sejatinya, tari Oleg diciptakan melalui proses berliku oleh pribadi seorang Ketut Marya yang unik. Ekspresi

artistik yang terakumulasi dalam tari Oleg, memang sepenuhnya merupakan formulasi estetik Ketut Marya. Tetapi iringannya yang merupakan kerangka konseptual dalam sebuah koreografi, Marya disokong pengerawit tangguh yaitu Wayan Sukra asal Marga, Tabanan dan disempurnakan oleh Anak Agung Gde Mandera, Gusti Kompyang, dan Wayan Lebah dari Peliatan, Gianyar. Sedangkan dari aspek gagasan, tari Oleg terinspirasi oleh foto-foto ballet klasik duet Sleeping Beauty yaitu tentang kisah percintaan putri Aurora dengan kekasihnya Pangeran Charming, yang ditunjukkan kepada Marya oleh seorang budayawan Barat yang menetap di Kaliungu, Denpasar, John Coast. Tari Oleg Tamulilingan diciptakan Marya ketika usianya menapak lebih dari 50 tahun. Di usia senjanya, Marya asyik memanjakan kegemarannya berjudi sabungan ayam. Ketika ada ajakan kepadanya untuk bergabung dengan sekaa gong Peliatan, Ubud, Gianyar, Marya tak menggubrisnya dengan alasan dirinya sudah tua. Baru ketika salah satu muridnya, I Sampih, yang memintanya dengan segala bujuk rayu menciptakan sebuah tari baru untuk sekaa gong Peliatan yang akan melawat ke luar negeri, ia tertarik. Sebagai seorang seniman tulen, ketika berkesempatan melawat ke Eropa, Kanada, dan Amerika serikat pada tahun 1957 dan 1962, Marya tampil dengan taksu berbinar memukau penonton dengan membawakan tari ciptaannya, Kebyar Terompong. KETIKA tari Oleg Tamulilingan tercipta pada 1952, tak begitu banyak masyarakat Bali mengetahuinya. Sebaliknya, justru tari yang bertutur tentang sepasang kumbang jantan dan betina itu terlebih dulu dikenal oleh penonton di luar negeri. Sebuah tim kesenian dari Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, dalam lawatan internasionalnya pada tahun itu, secara khusus, menyuguhkannya pada masyarakat Eropa dan Amerika. Setelah sukses mempesona penonton di dua benua itu, tari duet yang didahului oleh penampilan tunggal penari wanita ini, baru kemudian melejit di tengah masyarakat Bali dan masih eksis hingga hari ini. Tengoklah pesonanya belum lama ini di Auditorium Undiknas, Denpasar. Penampilan sekian pasang tari Oleg Tamulilingan dalam lomba tari Bali itu disimak tekun penonton. Pasangan Ni Kadek Diah Kartini (15) dan I Gede Radiana Putra (16) yang dinyatakan tim juri sebagai juara I memang mengundang decak. Gemulai liukan tubuh langsing Kadek Diah dan kelincahan nan tangkas gerakan Gede Radiana tampak begitu padu dan memukau. Variasi ekspresi senyum dan estetika gerakan mata yang terlatih dari dua penari remaja itu memperlengkap totalitas sajian seni tari yang umumnya ditafsirkan sebagai kisah cinta asmara sepasang kekasih ini. Oleg Tamulilingan yang berdurasi sekitar 10 menit ini, dilihat dari konstruksi estetiknya memang kental dengan aroma gelegak asmara. Interpretasi ini khususnya mengemuka pada koreografi bagian akhirnya, ketika kedua penari larut dan berinteraksi dengan simbol-simbol hasrat asmara insan pria dan wanita yang memadu kasih. Bagaimana gelora percintaan itu dapat disimak pada bagian kemesraan kejar mengejar dalam ungkapan penari wanita bergelinjang lincah sementara penari pria mengitari berjinjit-jinjit untuk mencari-cari kesempatan mendaratkan ciumannya. Stilisasi sekelebat ciuman itu mengukuhkan Oleh Tamulilingan sebagai tari monumental yang sulit dicari tandingannya.

Tari Bali berikutnya adalah Oleg Tamulilingan, sebuah tarian tentang sepasang kumbang (jantan dan betina) yang sedang berterbangan di taman bunga. Tari itu dibawakan secara memikat oleh dua penari, lelaki dan wanita (Wardoyo dan Kadek Yuli). Penari wanita muncul dalam gerakan lincah. Selendang kuning yang diikatkan pada pinggangnya, digerak-gerakkan serupa sayap. Dia bergerak mengitari panggung, sebelum si penari laki-laki muncul dan melakukan duet tarian yang dinamis. Tak sekadar soal sepasang kumbang, ada interpretasi lainnya sebagai tari persekasihan. Oleg Tamulilingan, menggambarkan kisah percintaan pria-wanita yang biasanya dimanifestasikan dengan gerakan berkasih-kasihan.

Tari dengan konsep artistik dan bangun estetik seperti Oleg Tamulilingan belum begitu banyak diciptakan. Untuk genre seni kebyar -- seni pertunjukan yang menguak di Bali sejak tahun 1915 -- mungkin tari ciptaan I Ketut Marya ini adalah satu-satunya. Sejarah lahirnya tari ini bermula ketika sebuah rombongan kesenian Desa Peliatan akan pentas keliling Eropa dan Amerika pada 1952 itu. John Coast, seorang impresario asal Inggris yang memimpin misi kesenian itu, selain berencana menampilkan beberapa tari Bali yang sudah ada, juga ingin membawa tari baru. Marya yang telah tersohor sebagai pencipta tari Kebyar Duduk (1920) didaulat untuk berkreasi. Proses kreatif yang konon cukup jelimet itu melahirkan tari, sebelum bernama Oleg Tamulilingan, disebut Tamulilingan Mangisep Sari. Penari pertamanya adalah I Gusti Ayu Raka Rasmin dan I Sampih. Gamelan pengiring tari ini adalah Gong Kebyar. Dalam perjalanannya, tari bertema percintaan ini kemudian dicintai masyarakat Bali. Didukung oleh semaraknya perkembangan Gong Kebyar yang bertumbuhan di setiap desa, Oleg Tamulilingan sering ditampilkan, baik yang disajikan khusus dalam pementasan seni kebyar maupun sebagai tari lepas mengawali pementasan Drama Gong, Sendratari, dan Prembon. Selanjutnya, lewat para penari lulusan Kokar dan ASTI, tari Oleg Tamulilingan dikenal luas. Para penari cantik yang piawai membawakan tari Oleg jadi idola. Sementara para seniman Peliatan tetap berusaha mempertahankan style-nya sendiri, sedangkan Kokar dan ASTI hadir dengan reinterpretasi estetiknya namun tetap anut dengan karakter estetik original tari itu, khususnya kandungan pesan universal kasih sayangnya.

Rama dan Arjuna Digeser para Selebritis


Rama dan Sinta adalah sepasang kekasih panutan dalam cerita Ramayana. Rama adalah ksatria berbudi luhur yang mengabdikan hidupnya demi tegaknya dharma. Sinta adalah wanita pujaan berhati mulia yang menjunjung tinggi kesetiaan. Cinta sejati kedua tokoh ini telah mengharu biru masyarakat dunia lewat beragam ekspresi seni. Di Bali, kisah Rama dan Sinta banyak dicerap melalui media seni pertunjukan. Tetapi masihkah dua tokoh ideal itu dijadikan idola masyarakat kekinian?

DULU, tokoh-tokoh dalam cerita Ramayana dan Mahabharata seperti Arjuna, Bima, Kresna, Bisma dan lain-lainnya merupakan tokoh panutan dan idola masyarakat. Demikian pula keteladanan Rama, kesetiaan Sinta atau kepatuhan Laksamana dalam hikayat Ramayana begitu nikmat dikunyahkunyah para penikmat seni sastra dan penonton seni pertunjukan. Kini, tokoh-tokoh idola itu mungkin tak begitu populer lagi. Tokoh-tokoh kedua wira carita itu sudah berbaur atau malahan telah digeser oleh tokoh-tokoh modern fiktif atau nyata masa kini. Anak-anak Bali masa kini tak hirau lagi dengan keperkasaan Gatotkaca atau ketangguhan Anoman. Mereka telah dilenakan oleh pahlawan-pahlawan asing dengan senjata super canggih yang ramai dikobarkan di televisi. Demikian pula para remaja atau kaum muda, tak berorientasi lagi dengan kecakapan dan ketampanan Arjuna atau Salya misalnya, namun lebih terpesona dengan bintang-bintang sinetron atau selebritis dunia tarik suara. Karena itu, sebuah pementasan sendratari Ramayana yang digelar pertengahan Oktober lalu di halaman SLTP Negeri Sukawati, Kabupaten Gianyar, terasa menarik disimak bila dihadapkan dengan fenomena kian tidak intimnya generasi muda Bali masa kini dengan tokoh-tokoh idola generasi orangtua dan kakek-nenek mereka. Pementasan sendratari untuk memeriahkan serangkaian ritual keagamaan di sekolah itu bergulir sepanjang satu setengah jam itu dibawakan sekelompok siswa sekolah itu dan disaksikan oleh teman-teman dan guru-guru mereka sendiri serta masyarakat sekitarnya. Bentuk seni pentas yang muncul di Bali pada tahun 1960-an itu mampu mereka tampilkan cukup prima. Berawal dari kisah perjalanan Rama, Sinta, dan Laksamana di tengah hutan Nandaka. Ketika Rama dan Laksmana lengah, Sinta berhasil diculik oleh raja Alengka, Rahwana. Klimaksnya, Rama bersama tentara kera yang dipimpin Anoman, memerangi Alengka, membunuh Rahwana. Kendati disajikan dengan cukup memukau, namun tampak adanya kegelisahan pada sebagian besar penonton. Penonton, khususnya para remaja, terlihat kurang mengikuti jalan ceritanya. Mereka terlihat kurang peduli dengan pesan moral yang disampaikan pentas seni tersebut. Adegan kezaliman Rahwana ditumpas oleh Rama tak menarik perhatian anak-anak muda itu. Yang paling mendapat aplaus justru tari aras-arasan yaitu ketika Rama dan Sinta melakukan adegan romantis. Mereka bersorak-sorak riang. Rupanya kesenjangan generasi muda kita tak hanya terbatas pada tokoh-tokoh dan nilai-nilai moral cerita Ramayana (dan Mahabharata), namun ada indikasi kian gamangnya apresiasi mereka terhadap jagat seni itu sendiri. Nilai-nilai estetik tari dari musik yang disajikan sendratari itu tak mampu menggelitik dan menggetarkan sukmawi mereka. Padahal afmosfir Sukawati dan sekitarnya sarat dengan nuansa beragam seni. Namun demikian, dengan keberhasilan SLTP Negeri 1 Sukawati kini menyemai bakat dan menggali potensi seni para siswanya seperti yang terlihat lewat pementasan sendratari Ramayana tersebut, harus dan patut disyukuri pula, walaupun prestasi ini telah pernah diukir oleh para alumnus sekolah ini 30 tahun yang lampau. Saat itu, di bawah guru kesenian I Nyoman Sumertha dibantu pelatih tabuh dan tari I Gusti Ngurah Arjawa dan I Wayan Nabdha Armada dari ASTI (kini ISI) Denpasar, tim sendratari Ramayana sekolah ini selain sering pentas di Bali juga pernah diundang menunjukkan kebolehannya di Australia. Menanamkan nilai-nilai spiritual dan moral lewat media seni adalah salah satu pengejawantahan kesungguhan kita untuk membangun manusia-manusia untuk generasi penerus. Krisis moral yang menggerogoti bangsa ini salah satu penyebabnya adalah karena keringnya nurani, kurang dihayatinya budi pekerti sebagai landasan berpikir, berperilaku, dan bermasyarakat. Oleh karena

itu jagat seni yang beresensi kasih dan bersemangat damai patut diakrabi sejak dini oleh generasi muda. Pesan-pesan moral yang dilontarkan dunia sastra dan seni patut dikaji dan dikontekstualisasikan dengan semangat zaman kekinian. Realitas transformasi budaya yang membawa perubahan-perubahan yang cepat kini sedang menggelinding dahsyat mengepung kita dengan amat gencarnya. Masyarakat kita sedang bergulat memilah dan menyeleksi berbagai nilai, termasuk mengkritisi tokoh-tokoh panutan lama dari cerita epos, legenda, mitologi, dan sejarah. Nilai-nilai moral tentang kearifan Yudistira sebagai negarawan sejati atau kepiawaian Kresna sebagai politikus ulung mungkin tak banyak mengilhami para pemimpin atau politisi bangsa ini. Popularitas Yudistira atau Kresna bisa jadi kalah jauh dengan Amien Rais, Akbar Tandjung, Gus Dur, George W. Bush, Saddam Husein, Mahathir Muhamad, dan entah siapa lagi . * kadek suartaya

Anda mungkin juga menyukai