Anda di halaman 1dari 5

ARTIKEL KEWARGANEGARAAN Menjadi Gigolo, Antara Profesi Dan Trend

Oleh : Ni Komang Sri Wahyudi Winda Yudiari Kusuma Yogi Antara Dewa Gede Oka Sudewa (1106205111) (1106205130) (1106205138) (1106305089)

Fakultas Ekonomi Universitas Udayana Bukit Jimbaran 2012

Menjadi Gigolo, Antara Profesi Dan Trend


Gigolo atau laki-laki pemuas nafsu wanita/perempuan yang butuh kenikmatan seksual diluar jalur pernikahan. Menjadi teman selingkuh bagi wanita yang ingin mencoba seks berbeda di belakang suaminya. Itu mungkin pengertian dan definisi sederhana dari Gigolo. Dan faktanya, Gigolo bukan sebuah dongeng tapi memang nyata adanya. Gigolo bisa disebut juga PSK Pria atau pria/lelaki pelacur. Seiring perkembangannya, ternyata Gigolo tidak hanya memperuntukan dirinya untuk wanita/perempuan tapi juga untuk laki-laki (om-om) penyuka sesama jenis. Seperti pelacuran perempuan, profesi gigolo adalah praktek melakukan tindakan seksual untuk mendapatkan uang. Dibandingkan dengan pekerja seks perempuan, profesi gigolo jauh lebih sedikit dipelajari oleh para peneliti, dan sementara studi menunjukkan bahwa ada perbedaan antara cara kedua kelompok ini melihat pekerjaan mereka, penelitian lebih lanjut diperlukan. Gigolo dikenal dengan berbagai nama dan eufemisme termasuk laki-laki pendamping, pelacur laki-laki, anak laki-laki sewaan, model, pemijat dan preman. Istilah "anak laki-laki sewaan" berasal dari fakta bahwa anak-anak menyewakan diri mereka sendiri kepada orang lain. Seorang pria yang tidak menganggap dirinya sebagai gay, namun yang bersedia berhubungan seks dengan klien pria untuk uang, kadang-kadang disebut "gay untuk bayaran" atau "perdagangan kasar". Sedangkan gigolo adalah pelacur pria yang menawarkan dirinya kepada para wanita. Fakta terdekat yang bisa kita jadikan rujukan adalah Film Dokumenter Cowboys In Paradise Kuta Bali yang menghebohkan beberapa waktu lalu. Salah seorang tokoh masyarakat Kuta, Asana Viebeke Lengkong, mengemukakan, penertiban gigolo di Pantai Kuta, Kabupaten Badung, Bali, sebetulnya tidak perlu, kecuali hanya pada mereka yang membahayakan. Ia mengemukakan, keberadaan gigolo di Kuta sulit diberantas. Hal itu disebabkan selain sudah ada sejak puluhan tahun lalu, mereka juga memiliki komunitas layaknya komunitas lainnya, seperti gay, yang selalu tumbuh seiring dinamika masyarakat. Menurut wanita yang mengenal banyak komunitas masyarakat di Bali ini, komunitas gigolo lahir dalam kehidupan masyarakat Kuta sejak puluhan tahun lalu sehingga tidak mudah untuk dihilangkan begitu saja. Ia mengemukakan, sebenarnya tidak semua gigolo membahayakan. Ada tiga kategori yang bisa secara tepat menggambarkan sosok gigolo di kawasan internasional Pantai Kuta.

Pertama, gigolo yang merupakan profesi permanen sehingga mereka menjadikan gigolo sebagai profesi untuk semata mendapatkan uang. Jadi, mereka ini bekerja profesional untuk memenuhi hasrat para turis," ujarnya. Kategori kedua adalah gigolo kontemporer, di mana mereka awalnya masuk ke dunia gigolo hanya untuk mencoba-coba. Mereka ini nantinya ada yang menekuni gigolo sebagai profesi, tetapi ada juga yang sebaliknya. Yang berbahaya dan patut diwaspadai adalah mereka yang masuk kategori ketiga, yakni gigolo musiman, di mana mereka semata-mata mencari uang dan bukan sebagai profesi. Jadi jangan disamaratakan, kata Viebeke.Mereka yang menjadikan gigolo untuk lahan mencari uang ketika menemukan pasangan kerap berbuat nekat dan membahayakan, seperti serangkaian kasus terbunuhnya wanita Jepang di Kuta beberapa waktu terakhir. Selain itu, tayangan atau liputan (deep reporting) media massa baik cetak maupun elektronik pun sudah banyak yang menguak keberadaan Gigolo terutama di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surbaya, Malang dl. Salah satunya adalah pada liputan mendalam SCTV SIGI. Atau bisa juga disimak pada film Arisan Brondong dan Quickie Express, dua Film Indonesia yang mengangkat kehidupan para Gigolo kelas atas. Jika dilihat pada kasus yang terungkap pada sumber-sumber diatas, maka motif uang atau faktor ekonomi menjadi alasan utama yang dikedepankan para Gigolo untuk merelakan dirinya menjadi pemuas nasfsu tante girang maupun om girang. Seperti yang pernah diungkap pada Acara SIGI SCTV, umumnya para Gigola ini memasang tarif antara Rp. 500 rebu hingga jutaan rupiah. Mereka memiliki jaringan yang rapi dan broker (germo) yang lihai dalam mencari mangsanya. Para Gigolo ini ada yang berstatus cowok panggilan dan ada juga yang bergerilya secara mandiri mencari mangsa di tempat fitnes atau kebugaran, hotel, klub malam, cafe dan tempat strategis lainnya bagi mereka yang tentunya aman. Dibalik motif ekonomi, tidak menutup kemungkinan bahwa motif birahi dan petualangan seks juga menjadi alasan bagi mereka yang berprofesi sebagai Gigolo atau yang coba-coba ingin menjadi Gigolo. Fakta menarik tampak pada postingan Tante Girang di blog Goyang Karawang ini atau blog-blog lain, banyak pria yang mengumbar nomer ponsel dan mengundang tante girang untuk menghubungi dengan ajakan kencan bahkan tanpa bayaran. Disisi lain, perkembangbiakan Gigolo juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh media massa, seperti koran, tv, radio, majalah, blog, situs dan jenis media lainnya yang disadari atau tidak telah ikut mempopulerkan profesi ini, dengan liputannya maupun ulasannya mengenai Gigolo. Jika tanpa peran media, maka Gigolo tidak akan berkembang pesat seperti sekarang.

Namun hakekatnya kemudian, budaya instan yang berkembang pesat di masyarakatlah yang menjadi kuncinya. Mendapatkan uang secara instan dan kenimatan sesaat dengan modal tubuh atau body yang gagah dengan otot dan (mungking) penis besar dan panjang serta secara adalah salah jalan yang ditempuh para Gigolo.

Analisa
Dalam kesimpulan sederhana kami, berdarkan uraian diatas, Fenomena Gigolo menurut kami bukan hanya fenomena sosial, bukan hanya juga fenomena ekonomi dan kemerosotan moral, tapi sudah menjadi bagian dari budaya atau lebih spesifiknya Counter-culture. Sebuah budaya yang lahir dari pertentangan budaya besar. Gigolo lahir atas ketidakpuasan terhadap budaya induknya yang dianggapnya terlalu mengurung kebebasan mereka. Mereka hanya orang-orang yang mencari uang dengan cara menjajakan dirinya. Gigolo itu sendiri sebenarnya tidak selalu membahayakan tergantung dari tipe gigolo itu sendiri. Tapi dari segia medis mreka bisa membahayakan, karena membantu penularan HIV/AIDS dari hubungan seks bebas. Gigolo merupakan simbol dari sebuah pemberontakan norma. Mereka (kaum Gigolo) memiliki nilai sendiri yang dijadikannya seakan benar dibalik ketidak mampuannya secara ekonomi, serta ketidakberdayaan untuk keluar dari masalah ekonomi dan moral yang menimpanya. Sebagai entitas budaya dan kaum minoritas, mereka punya aturan dan konvensi sendiri, punya norma dan nilai sendiri, mereka hidup secara tertutup, sendiri maupun berkelompok, memiliki cara dan perilaku yang sama dengan tujuan yang sama, dan yang pasti mereka memiliki pembenaran dalam tindakannya.

Anda mungkin juga menyukai