Anda di halaman 1dari 15

TUGAS MAKALAH PENGOBATAN SENDIRI

ANTIALERGI

OLEH: KELOMPOK I Jumiati Nurmawati Khairuddin Akbar Awaluddin Noela Natalia Mangape Frengki Andi Abdul Haris A.S., Ahmar Zaky Y.Y.A Tjang Ricky Chandra Agustina Diena Rifaah Amaliah

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

ALERGI Penyakit alergi adalah suatu penyakit yang kompleks dengan gejala dan tanda-tanda dimana reaksi imunologik memegang peranan utama. Penyakit ini timbul setelah seorang individu kontak dengan benda asing. Sedangkan penyakit atropi adalah suatu penyakit yang tergolong dalam penyakit alergi fimana faktor keturunan ikut berperan. Pravelensi penyakit alergi dalam masyarakat berkisar antara 1020% dan kelihatannya akan terus meningkat. Contoh penyakit alergi yang banyak terdapat di masyarakat yaitu: asma ronchial, rinitis alergi, alergi mata, urtikaria, alergi makanan dan obat, alergi sengat serangga, dermatitis aopi, eksim, dan lain-lain.

ETIOLOGI PENYAKIT-PENYAKIT ALERGI Rekasi alergi terdiri dari berbagai macam reaksi terutama dimediatori oleh IgE (reaksi tipe E) yang merupakan kulminasi dari reaksi-reaksi terhadap: 1. paparan terhadap antigen (alergen) 2. timbulnya IgE antibodi 3. terikatnya igE dengan sel mastosit 4. paparan ulang dengan antigen sehingga menyebabkan reaksi antigen antibodi di permukaan sel mastosit 5. lepasnya mediator dari sel mastosit

6. aksi dari mediator-mediator tersebut terhadap bermacam-macam organ, sehingga menimbulkan gejala klinik seperi asma bronkhial, rinitis alergika, dan lain-lain. Faktor genetik yang memegang peranan penting pada penyakit alergi ini yaitu penderita dengan HLA-B8, HLA-DW3, dan HLA-DW2 Alergi tipe I diinduksi oleh beberapa tipe antigen yang berasal dari makanan, kutu debu, obat, kosmetik, jamur, spora, dan serbuk bunga. Antigen-antigen ini menginduksi produksi antibodi IgE antigen-spesifik yang berikatan dengan reseptor pada sel mast atau basofil. Perkembangan alergi ini merupakan reaksi biphasic (2 fase), yaitu fase awal dan fase akhir. Reaksi fase awal merupakan alergi tipe I dan terjadi dalam hitungan menit ketika sel sensor diaktivasi untuk memproduksi seperti histamin dan serotonin yang dilepaskan dari sel. Mediator ini menyebabkan terjadinya vasodilatsi, sekresi mukus dan bronkokonstriksi. -heksosaminidase terdapat pada granul sekretori sel mast di mana histamin disimpan, dan dilepaskan bersama histamin ketika sel mast teraktivasi secara imunologi. Oleh karena itu, -heksosaminidase diperkirakan dapat menjadi marker degranulasi, dan secara luas telah digunakan untuk studi biochemical dari alergi. Itu juga digunakan untuk menskrining agen antialergi. Reaksi fase akhir terjadi sekitar 4-6 jam setelah reaksi fase awal pada alergi tipe I. mediator seperti sitokin (TNF-, IL-4,dll) dari sel

termasuk dalam fase ini. Mediator ini meningkatkan adhesi sel endotel dan mengerahkan sel inflamasi ke daerah yang terpengaruh tadi. ANTIHISTAMIN DALAM PENANGANAN ALERGI Histamin merupakan messenger kimiawi yang memerantarai daerah respons selular yang luas, termasuk reaksi alergi dan peradangan, sekresi asam lambung dan kemungkinan neurotransmisi bagian otak. Histamin tidak mempunyai kegunaan klinik, tetapi obat yang dapat mempengaruhi efek histamin (antihistamin) penting pada penggunaan klinik. Lokasi, sintesis, dan pelepasan histamin 1. Lokasi : histamin terjadi secara praktis pada semua jaringan tetapi didistribusi tidak sama, jumlah besar terdapat di paru-paru, kulit, dan saluran cerna (tempat inside tubuh bertemu outside). Obat ini ditemukan dalam konsentrasi tinggi pada sel mast atau basofil. Histamin juga terjadi sebagai komponen bisa ular dan dalam sekresi sengat serangga. 2. Sintesis : histamin adalah suatu amin yang dibentuk oleh dekarboksilasi asam amino histidin. Proses ini terjadi terutama dalam sel mast, basofil, dan paru-paru, kulit dan mukosa saluran cerna jaringan yang sama tempat histamin disimpan. Pada sel mast, histamin disimpan dalam bentuk granul sebagai kompleks yang tidak aktif yang berisi histamin dan anion polisulfat, heparin, bersama dengan protein anion. Jika histamin tidak disimpan, cepat diinaktifkan oleh enzim amin oksidase.

3. Pelepasan histamin : pelepasan histamiin mungkin merupakan respons primer terhadap beberapa rangsangan, tetapi paling sering, histamin merupakan satu-satunya dari beberapa mediator kimiawi yang dilepaskan. Rangsangan yang menyebabkan pelepasan histamin dari jaringan termasuk destruksi sel akibat dingin, toksin bakteri, bisa sengatan lebah, atau trauma. Reaksi alergi dan anafilaksis dapat juga mencetuskan pelepasan histamin. Mekanisme kerja histamin Histamin yang dilepaskan pada respons terhadap rangsangan hanya dijelaskan efeknya oleh ikatan dua reseptor, ditandai dengan H 1 dan H2 yang berlokasi pada permukaan sel. Beberapa efek farmakologi histamin daerah luas diperantarai oleh reseptor H1 dan H2 sedangkan yang lain diperantarai hanya oleh satu kelas.( H1 saja atau H2 saja). Misalnya pada reseptor H1 penting pada produksi kontraksi otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Histamin menyebabkan vasodilatasi dengan menyebabkan

endotelium pembuluh darah melepaskan NO, sinyal kimiawi ini berdifusi ke dalam otot polos pembuluh darah tempat histamin merangsang produksi cGMP, yang menyebabkan vasodilasi. Reseptor H2

memerantarai sekresi asam lambung. Dua reseptor histamin ini berusaha memakai efeknya melalui jalan messenger kedua yang berbeda; misalnya pengikatan suatu agonis terhadap reseptor H1 merangsang jalan aktivitas

intraseluler polifosfatidilinositol, sedangkan reseptor H2 meningkatkan produksi cAMP oleh adenilil siklase. Peranan histamin pada alergi dan anafilaksis Peranan mediator : gejala-gejala yang berhubungan dengan alergi dan syok anafilaktik disebabkan oleh pelepasan mediator tertentu dari tempat simpanannya. Mediator seperti itu berupa histamin, serotonin, leukotrien dan faktor kemotaktik anafilaksis eosinofil. Pada beberapa kasus, ini menyebabkan reaksi alergi lokal, menghasilkan misalnya, efek terhadap kulit atau saluran pernapasan. Dalam kondisi lain, mediator-mediator ini dapat menyebabkan tiupanpenuh respons anafilaktik. Diperkirakan bahwa perbedaan antara kedua situasi ini mengakibatkan perbedaan pada tempat mediator dilepaskan dan derajat pelepasannya. Misalnya jika pelepasan histamin cukup lambat untuk menimbulkan inaktivasi sebelum memasuki aliran darah, terjadi reaksi lokal alergi. Namun jika histamin dilepaskan terlalu cepat untuk menimbulkan inaktivasi yang cukup efisien, terjadi tiupan-penuh reaksi anafilaktik.

TANAMAN DENGAN EFEK ANTIALERGI

1. LEGUNDI (Vitex trifolia L)

Tanaman

legundi

(Vitex

trifolia L., sinonim V. rotundifolia, Suku Verbenaceae, Makassar : Lanra) merupakan tanaman tropis asli Indonesia yang banyak

digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Berdasarkan penggunaan empirisnya, daun legundi berguna untuk mengurangi rasa nyeri, reumatik, asma, obat luka, peluruh air seni, penurun panas dan pembunuh serangga (Anonim, 1985; Perry, 1980). Ekstrak n-heksan dan etanol daun V. trifolia (dosis 0,25 dan 0,5 mg/ml) mampu menghambat kontraksi trakea marmut yang disebabkan oleh spasmogen histamin. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ekstrak nheksan dan etanol daun V. trifolia terdapat komponen aktif

trakeospasmolitik. Adanya efek penghambatan kontraksi trakea karena spasmogen histamin, telah membuktikan kebenaran khasiat daun V. trifolia sebagai salah satu bahan ramuan obat tradisional antiasma di Indonesia. Ekstrak n-heksan daun V. trifolia selajutnya dipartisi dengan aseton dan dilakukan fraksinasi kromatografi kolom hingga diperoleh beberapa fraksi. Fraksi aktif dipisahkan lebih lanjut hingga diperoleh

senyawa aktif murni. Semua tahapan-tahapan kerja ini termonitor komponen kimia dan aktivitas farmakologinya. Tahapan kerja seperti ini sering disebut Bioassay guided isolation. Senyawa aktif yang diperoleh kemudian ditentukan struktur kimianya dengan menggunakan berbagai instrumentasi modern seperti spektroskopi Infra merah, Resonansi magnetik inti (1H-NMR,
13

C-NMR, dan teknik dua dimensi NMR seperti

COSY, NOESY, HMBC dan HMQC) serta spektroskopi massa. Sebanyak tiga senyawa aktif trakeospasmolitik telah berhasil diisolasi dan ditentukan struktur kimianya dari ekstrak daun V. trifolia. Berdasarkan data spektroskopi senyawa dan dibandingkan dengan literatur, senyawa 1 telah diidentifikasi sebagai viteosin-A atau (8R, 10S)6-asetoksi-9-hidroksi-labda-13Z-en-15,16-olida, senyawa 2 diidentifikasi sebagai viteksikarpin atau 3,5-dihydroxy-3,4,6,7-tetrametoksiflavon dan senyawa 3 diidentifikasi sebagai vitetrifolin E atau (16, 7R, 8S, 9R)-6acetoksi-5(10),14-halimandien-7,13-diol (Alam et al., 2002; 2003). Senyawa viteosin-A dengan konsentrasi 1.3x10-4 M (n=3)

menghambat kontraksi trakea sebesar 18.5% [kontraksi trakea diinduksi oleh histamin (10-7 10-3 M)], bila konsetrasi dinaikkan tiga kali lipat menjadi 4.0x10-4 M (n=3), senyawa viteosin-A menghambat 50.5% kontraksi trakea. Senyawa viteksikarpin menghambat kontraksi trakea lebih baik dari pada senyawa viteosin-A, karena senyawa viteksikarpin mampu menghambat kontraksi trakea sebesar 61.2% pada konsentrasi 1.3 x 10-4 M namun pada konsentrasi yang lebih tinggi, efek

penghambatan kontraksi trakea juga meningkat mencapai 92,1%. Sedangkan senyawa vitetrifolin-E hanya mampu menghambat 20.9% kontraksi trakea pada konsentrasi 1.3x10-4 M (n=3), akan tetapi pada konsentrasi 4.0x10-4 M (n=3), senyawa ini menghambat kontraksi trakea sebesar 91,8%. Berdasarkan kurva log konsentrasi vs respons kontraksi atau CRC curve dari ketiga senyawa aktif tersebut diperoleh mekanisme efek antagonismenya, yaitu antagonisme non kompetitif terhadap agonis histamin.

Struktur senyawa viteksikarpin

Untuk mengetahui efek senyawa aktif terhadap hewan yang dikondisikan dalam kondisi alergi dilakukan uji trakeospasmolitik

menggunakan trakea marmot yang telah disensititasi dengan ovalbumin pada konsentrasi 5, 50 dan 500 ng/ml. Ketiga senyawa aktif hasil isolasi dari ekstrak V. trifolia pada konsentrasi 5 g/ml, menunjukkan senyawa viteksikarpin menghambat kontraksi lebih baik dibanding senyawa viteosin-A, dan vitetrifolin-E. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif V. trifolia mampu memberikan efek trakeospasmolitik pada organ trakea hewan normal maupun pada hewan alergi.

Selain

pada

hewan

normal

dan

tersensitisasi,

pendekatan

mekanisme aksi juga dilakukan terhadap penghambatan pelepasan histamin menggunakan sel RBL-2H3 (rat basophilic leukemia) suatu model sel mast mukosa yang diinduksi oleh DNP-BSA (Dinitrophenylated bovine serum albumin). DNP-BSA merupakan antigen spesifik antibody monoclonal IgE (Bottcher et al., 1980; Liu et al., 1980). Pada konsentrasi [(0.26-2.7) x 10-4 M], menunjukkan bahwa senyawa viteksikarpin menghambat pelepasan histamin (90%) lebih baik dari senyawa viteosin-A dan vitetrifolin-E (Wahyuono, 2009). Berdasarkan aktivitas farmakologis senyawa aktif ekstrak daun V. trifolia maka daun V. trifolia dapat digunakan sebagai kandidat bahan baku industri sediaan herbal terstandar atau fitofarmaka antiasma.

Standardisasi dan uji preklinis ekstrak daun V. trifolia Suatu calon bahan baku industri obat tradisional dibutuhkan keseragaman dan keajegan komponen kimia kandungannya agar dapat terjamin khasiat dan keamanan penggunaannya. Hal ini dapat dilakukan upaya standardisasi ekstrak sesuai persyaratan standard umum dan spesifik setiap tanaman. Menurut Pramono (2000), standardisasi bahan yang paling utama adalah menggunakan parameter kandungan bahan aktifnya jika kandungan yang ada dalam tanaman yang bersangkutan sudah diuji aktivitasnya, tetapi jika belum diuji aktivitasnya maka dapat digunakan suatu zat identitas.

Untuk melakukan standardisasi ekstrak daun V. trifolia dapat dilakukan terhadap senyawa aktif viteksikarpin. Senyawa ini selain dapat berfungsi sebagai senyawa aktif farmakologis juga dapat digunakan sebagai senyawa marker/zat identitas ekstrak V. trifolia. Berdasarkan struktur kimia viteksikarpin, secara analitik dapat ditentukan kadarnya pada jumlah yang kecil menggunakan metode-metode analitik sederhana. Hal ini sangat memungkinkan diterapkan oleh suatu indistri kecil obat tradisional, karena tidak membutuhkan instrumen penetapan kadar yang canggih. Metode ekstraksi dan cairan penyari yang tepat terhadap daun V, trifolia adalah menggunakan metode maserasi dengan cairan penyari etanol 70%. Hasil ini merupakan cara paling optimal berdasarkan kandungan senyawa aktifnya. Standardisasi ekstrak daun V. trifolia dari berbagai tempat tumbuh diperoleh kadar viteksikarpin berada pada kisaran 6,002 - 8,3552 g/mg ekstrak dan prosentase rendemen ekstrak sebanyak 25-28%. Untuk mengetahui batas keamanan penggunaan ekstrak etanolik daun V. trifolia yang telah distandardisasi, dilakukan uji toksisitas akut dan toksisitas subkronis pada binatang percobaan jenis pengerat dan bukan pengerat. Hasil uji menunjukkan bahwa ekstrak daun V. trifolia masuk dalam kategori praktis tidak toksik, baik pada penggunaan dosis tunggal maupun pada dosis berulang untuk pemakaian jangka panjang.

2. Dioscorea membranacea Ekstrak etanol dari Dioscorea membranacea menunjukkan aktivitas dengan nilai IC50 37,5 g/mL. dari ekstrak ini kemudian diperoleh 8 senyawa aktif yang berhasil diisolasi, yaitu: dua naphtofuranoxepin (1,2), satu phenanthraquinone (3), tiga steroid (4-6), dan dua steroidal saponin (7,8). Dari hasil uji diperoleh bahwa dioscorealide B (2) memiliki aktivitas tertinggi dengan nilai IC50 5,7 M. Dari hasil studi QSAR terhadap naphtofuranoxepin menunjukan bahwa hidroksilasi pada posisi 8

menunjukkan aktivitas lima kali lebih besar dibandingkan metilasi, seperti yang ditunjukkan oleh nilai IC50 dari 2 (IC50=5,7 M) sedangkan 1 (IC50=27,9 M). Lebih lanjut, diosgenin dan turunannya sebagai antialergi menunjukkan bahwa bentuk aglikon (9, IC50=29,9 M) memberikan aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan aktivitas dari bnetuk glikosolasi dengan diglukosoda (8, IC50=68 M) atau rhamnoglukosida (7, IC50> 100 M).

3. Jahe Merah

Rimpang jahe merah mengandung komponen senyawa kimia yang terdiri dari minyak menguap (volatile oil), minyak tidak menguap (nonvolatile oil) dan pati. Minyak atsiri (minyak

menguap) merupakan suatu komponen yang memberi khas, kandungan minyak atsiri jahe merah sekitar 2,58-2,72% dihitung berdasarkan berat kering. Minyak atsiri umumnya berwarna kuning, sedikit kental, dan merupakan senyawa yang memberikan aroma yang khas pada jahe. Kandungan minyak tidak menguap disebut oleoresin, yakni suatu komponen yang memberi rasa pahit dan pedas. Jahe merah rasa pedasnya tinggi disebabkan oleh kandungan oleoresin-nya tinggi.

Selain itu, rimpang jahe merah juga mengandung gingerol, 1,8cineole, 10- dehydrogingerdione, 6-gingerdione, arginic, -linolenic acid, aspartic, -sitosterol, caprylic acid, capsaicin, chlorogenis acid, farnesal, farnesene, farnesol, dan unsur pati seperti tepung kanji, serta serat-serat resin dalam jumlah sedikit. Jahe merah yang memiliki rasa yang panas dan pedas, terbukti memiliki beberapa berkhasiat, salah satunya dalam mengobati penyakit asma.

DAFTAR PUSTAKA

Madaka F dan Tewtrakul S. Anti-allergic activity of some selected plants in the genus Boesenbergia and Kaempferia. Songklanakarin J.Sci. Technol. Vol. 33(3). hal. 301-304. 2011. Mycek MJ., Harvey RA., Champe PC., editor: Hartanto H. Farmakologi Ulasan Bergambar, ed. 2. Widya Medika. 2003. Hal. 422-426. Tewtrakul S dan Itharat A. Anti-allergic substances from the rhizomes of Dioscorea membranacea. Bioorganic & Medicinal Chemistry. Vol. 14. hal. 8707-8711. 2006. Meilinda M. Optimasi Formula Tablet Hisap Jahe Merah (Zungiber officenale) dengan Kombinasi Laktosa Sorbitol sebagai Bahan Pengisi dengan Metode Simplex Lattice Design. 2008. Skripsi Fakultas Farmasi

Universitas Muhammadiyah Surakarta


http://geminialam.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai