Editor :
Penulis :
2008
Editor :
iii
iv
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayahnya Buku Tentang Pohon-pohon di Sulawesi Tengah ini dapat terselesaikan dengan baik. Kehadiran buku ini merupakan salah satu dari hasil Tri Darma Perguruan Tinggi yang dilakukan di Universitas Tadulako dan merupakan bukti nyata bahwa kegiatan penelitian merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian utama di Universitas Tadulako, sehingga melalui pengembangan lembaga riset seperti Herbarium merupakan fasilitas utama penting dalam menunjang bidang keanekaragaman hayati Sulawesi yang terkenal dengan keunikan dan tingkat endemisitas yang tinggi. Potensi biodiversitas tumbuhan Sulawesi ini masih sangat tinggi, hal ini ditunjukan dengan banyaknya penemuan ilmiah baru oleh botanist dalam beberapa tahun terakhir baik yang bersifat New Record ataupun New Species. Tercatat beberapa jenis yang merupakan baru untuk ilmu pengetahuan seperti Allocasia megawatii (Araceae) dari C.A. Tinombala, Impatien punaensis (Balsaminaceae) dari Lore Lindu, Pinanga aurantiaca (Arecaceae) dan Nepenthes pitopangii (Nepenthaceae) dari Taman Nasional Lore Lindu. Kami merasa bangga dan menyambut baik kehadiran Buku ini yang kedepannya diharapkan muncul karya-karya dari civitas academica Universitas Tadulako untuk kemajuan Ibu Pertiwi yang tercinta.
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Sambutan Gubernur Sulawesi Tengah....iii Sambutan Rektor Universitas Tadulako.....iv Ucapan Terima Kasih......vii Daftar Isi.....vi Pendahuluan.....1 Tinjauan Pustaka.....3 Aleurites moluccana.....11 Alstonia scholaris.....12 Alstonia spectabilis......13 Annona muricata.....14 Annona reticulata.....15 Annona squamosa....16 Anthocephalus chinensis....17 Antidesma bunius.....18 Areca vestiaria.....19 Arenga pinnata.....20 Arenga undulatifolia.....21 Artocarpus heterophyllus.....22 Bischofia javanica.....23 Buchanania arborescens....24 Calophyllum inophyllum....25 Cananga odorata....26 Canarium hirsutum...27 Carallia brachiata....28 Cassia siamea....29 Castanopsis accuminatisima....30 Casuarina equisetifolia....31 Celtis phillipinensis...32 Cinnamomum porrectum....33 Cocos nucifera....34 Cynometra ramiflora.....36 Delonix regia....37 Deplanchea bencana....38 Dillenia serrata.....39 Diospyros celebica....40 Dracontamelon dao......42 Duabanga mollucana.....43 Durio zibethinus.....44 Dysoxylum nutans.....45 Elaeocarpus teijsmannii....46 Elmerillia ovalis.....47 Erythrina subumbrans.....48 Erythrina variegata.....49 Eucalyptus deglupta.....50 Ficus benjamina......51 Ficus minahassae.....52 Galbulimima belgraveana....53 Garuga floribunda....54 Gastonia serratifolia.....55 Gironniera subaequalis.....57
Gnetum gnemon....58 Heritieria littoralis....59 Hibiscus tiliaceus.....60 Homalanthus populneus....61 Hopea celebica....62 Horsfieldia costulata.....63 Kalappia celebica.....64 Kleinhovia hospita.....66 Knema celebica.....67 Koordersiodendron pinnatum....68 Leucaena leucocephala....69 Lithocarpus celebicus.....70 Lithocarpus havilandii.....71 Macadamia hildebrandii.....72 Macaranga hispida......73 Magnolia candollii.....74 Mangifera foetida.....75 Mangifera minor......76 Manilkara fasciculata....77 Meliosma sumatrana.....78 Morinda citrifolia.....79 Moringa oleifera.....80 Myristica fatua....81 Myristica fragrans.....82 Nageia wallichiana.....83 Octomeles sumatrana.....84 Palaquium quercifolium.....85 Pandanus tectorius......86 Paraserianthes falcataria.....87 Phylocladus hypophyllus.....88 Pigafeta elata.....89 Pinanga caesea.....90 Platea excelsa.....91 Podocarpus imbricatus.....92 Podocarpus neriifolius.....93 Polyalthia lateriflora.....94 Pometia pinnata.....95 Pterocarpus indicus.....96 Pterospermum javanicum.....97 Sarcotheca celebica.....98 Shorea assamica.....99 Streblus asper.....100 Syzygium aromaticum....101 Syzygium cumini.....102 Syzygium malaccensis.....103 Tectona grandis.....104 Terminalia catappa......105 Timonius minahassae.....106 Toona ciliata.....107 Trema orientalis.....109 Vernonia arborea.....110 Winmannia celebica....111 Wrigtia pubescens.....112 DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT PENULIS
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mendapat julukan sebagai Megabiodiversity Countries karena memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia ini tersebar di dalam wilayah nagara kesatuan Republik Indonesia. Sulawesi merupakan pulau terbesar dan penting di Indonesia, secara biogeografi pulau ini terletak dalam subregion biogeografi Wallacea yaitu suatu wilayah yang unik karena merupakan kawasan peralihan antara Benua Asia dan Australia dan memiliki keanekaragaman hayati dengan tingkat endemisitas yang tinggi. Diperkirakan 15% dari tumbuhan berbunga di Sulawesi adalah endemik (Whitten et al. 1987 : Ramadhanil Pitopang, 2006). V. Balgooy et al. (1996) melaporkan 933 tumbuhan asli dari Sulawesi yang dibahas dalam Flora Malesiana waktu itu, 112 adalah endemik Sulawesi. Endemisitas tumbuhan berbunga di Sulawesi sangat bervariasi diantara kelompok takson, Sebagai contoh pada Palm (Arecaceae) dan Anggrek (Orchidaceae) dari total 817 spesies anggrek dari Sulawesi dan Maluku (128 genera) 149 merupakan endemik (Thomas and Schuiteman 2002). Selain itu Sulawesi juga dikenal sebagai salah satu kawasan EBA (Endemic Bird Area) terpenting di Indonesia, dimana dari 328 jenis burungnya, 88% adalah jenis yang unik (White and Bruce, 1986). Dari 127 hewan menyusui asli, 79 (62%) bersifat endemik dan presentasinya meningkat sampai 98% jika kelelawar tidak dihitung (Whitten et al., 1987). Berdasarkan data base yang ada, diperkirakan di Sulawesi terdapat lebih dari 2100 jenis tumbuhan berkayu yang terdiri atas famili Meliaceae, Euphorbiaceae, Rubiaceae, Myrtaceae, Ebenaceae, Moraceae, Magnoliaceae, Burseraceae, Araucariaceae dan lain-lain (Kessler et al 2002). Diantaranya merupakan tumbuhan yang tergolong pohon (dbh > 10 cm) yang mempunyai nilai ekonomi, estetika dan konservasi yang sangat baik. Publikasi tentang flora Sulawesi terutama jenis tumbuhan berbunga masih sangat terbatas, sampai saat ini terbatas hanya berupa checklist dan cataloque (Kessler etal 2002; Gradstein et al.2005 ; Thomas and Schuiteman 2002). Di dalam buku ini diperkenalkan 100 jenis pohon yang beberapa diantaranya ditemukan secara alami di Sulawesi yang masing-masing dilengkapi dengan gambar, deskripsi, nama lokal, habitat dan ekologi serta kegunaan. Diharapkan kehadiran buku ini bermanfaat untuk berbagai pihak yang memerlukan terutama untuk keperluan pendidikan, pengusaha, konservasi dan pengambil kebijakan.
TINJAUAN PUSTAKA
Biogeografi , Sejarah Alam dan Keanekaragaman Hayati Sulawesi ulawesi merupakan salah satu pulau besar dan penting di Indonesia, karena secara biogeografi termasuk dalam kawasan Wallacea, suatu kawasan yang terdiri atas pulau Sulawesi, sebagian Maluku, kepulauan Banda, dan kepulauan Nusa Tenggara Barat, dengan luas keseluruhan sekitar 346.782 km2. Wilayah ini sangat unik karena merupakan tempat bercampurnya tumbuhan, hewan, dan hidupan lain dari Asia dan Australia, serta merupakan kawasan peralihan ekologi (ekoton) antara kedua benua tersebut (Mittermeier et al., 1999). Kawasan ini dinamakan Wallacea, merujuk nama Alfred Russel Wallace, seorang penjelajah alam dari Inggris yang pada tahun 1850-an melakukan ekspedisi di kawasan ini. Hasil penelitiannya dipublikasikan dalam buku The Malay Archipelago yang menyimpulkan bahwa flora dan fauna di kawasan ini banyak yang unik dan spesifik, serta mempunyai biogeografi tersendiri yang berbeda dengan bagian barat dan timur Indonesia. Karena hasil pemikirannya ini, Alfred Russel Wallacea dikenal sebagai Bapak Biogeografi, studi tentang persebaran geografi tumbuhan dan hewan (Whitten et al., 1987; Kinnaird, 1997; Mittermeier et al., 1999). Whitmore (1989) dan Mittermeier et al. (1999) menyatakan bahwa kondisi biogeografi pulau Sulawesi yang spesifik merupakan akibat proses pembentukan pulau ini sejak masa purba. Menurut Kinnaird (1997), kawasan ini memiliki sejarah geologi yang komplek, meliputi pergeseran lempeng bumi, perbenturan antar lempeng bumi, pergolakan dalam perut bumi, dan kegiatan gunung api yang memuntahkan isi perut bumi, hingga menjadikan bentuk pulau Sulawesi unik dan tidak beraturan seperti saat ini (Gambar 3).
Pembentukan pulau Sulawesi dimulai sekitar 200 juta tahun yang lalu, ketika benua besar purba Gondwana (sebelumnya Pangea) terpecah-pecah karena pergerakan lempeng bumi di bawahnya. Di antara pecahan-pecahan benua tersebut ada sebagian yang bergabung kembali membentuk pulau-pulau baru (Gambar 2.3). Salah satu penggabungan yang penting secara biogeografi adalah pertemuan sebagian benua Asia dan Australia yang memungkinkan perpindahan dan percampuran flora dan fauna yang sedang berevolusi. Salah satu pecahan daratan Asia bergerak ke arah timur dan kelak membentuk Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi barat. Selanjutnya sekitar 100 juta tahun yang lalu, Australia bersama dengan Irian (Papua) dan Sulawesi timur, memisahkan diri dari Antartika dan bergerak ke utara dengan membawa serta mamalia, burung dan tumbuhan berbunga. Kemudian sekitar 60-70 juta tahun yang lalu, Sulawesi barat terpisah dari Kalimantan, lalu sekitar 15 juta tahun yang lalu Sulawesi timur memisahkan diri dari Irian, serta bergerak ke barat menabrak fragmen Sulawesi barat, sehingga pecahan tersebut membelok dan semenanjung utaranya berputar hampir 90 derajat ke posisinya yang sekarang. (Moss and Wilson, 1998). Aktifitas geologi ini menyebabkan pulau Sulawesi secara biogeografi terisolasi dari pulau-pulau di sebelah barat (Asiatis), maupun di sebelah timur (Australis). Isolasi geografi pulau Sulawesi dan kondisi lingkungannya, seperti variasi topografi, gradien elevasi, dan variasi jenis tanah menyebabkan flora dan fauna di bioregion ini berkembang secara khas (Siebert, 2000). Struktur dan komposisi biota pulau ini sangat unik, walaupun jumlah jenisnya relatif sedikit, dimana jumlah jenis tumbuhan tinggi diperkirakan hanya 5000 spesies, termasuk 2100 tumbuhan berkayu (Whitten et al., 1987; Keler et al., 2002). Di pulau ini hanya didapatkan 7 spesies anggota familia Dipterocarpaceae, kelompok tumbuhan berhabitus pohon yang bernilai ekonomi tinggi dan mendominasi hutan-hutan di Kalimantan (267 spesies) dan Sumatera (104 spesies). Fagaceae menunjukan pola yang sama dimana 6 spesies Lithocarpus dan 2 Castanopsis dari Sulawesi, dibandingkan dengan 60 dan 21 tercatat dari Kalimantan masing-masingnya (Keler 2002). Kemolekan fisik pulau Sulawesi dengan pegunungan berselimut hutan dan terumbu karang yang mengagumkan menyimpan pesona kehidupan biologi, berupa flora dan fauna yang unik dan spesifik (Kinnaird, 1998; Yuzammi dan Hidayat, 2002). Keanekaragaman hewan di kawasan meliputi sekitar 289 spesies burung, 114 spesies mamalia, dan 117 spesies reptilia (Ministry of Population and Environment Republic of Indonesia, 1992). Di pulau ini dikenal beberapa fauna endemik seperti anoa (Buballus depresicornis dan B. quarlesii), tarsius (Tarsius spectrum, T. pumillus, dan T. diannae), maleo (Macrocephalon maleo), burung alo (Rhyticeros cassidix dan Phanelopides exerhatus), babirusa (Babyrousa babyrusa), musang raksasa (Macrogalidia muschen-broekii), kuskus (Ailurops ursinus dan Strigocuccus celebensis), jalak sulawesi (Scisirostrum dubium) dan Latimeria sp salah satu species ikan purba (ikan fosil) yang ditemukan beberapa tahun yang lalu dari perairan Sulawesi Utara.
50 50
40
30
20
10
Gambar 3. Rekontruksi Asia Tenggara sejak 50 juta tahun lalu. (Hall 1995)
Yuzammi dan Hidayat (2002) melaporkan 67 spesies anggrek dan 67 spesies flora non anggrek yang bersifat endemik dan unik dari Sulawesi yang disusun berdasarkan pada hasil ekspedisi botani yang dilakukan di beberapa kawasan konservasi di Sulawesi. Jenis flora tersebut antara lain: Cymbidium finlaysonianum, Coelogyne celebica, Abdominiea minimiflora, Goodyera reticulata, Phalaenopsis celebensis Sweet, Vanda celebica J.J. Smith, Allocasia suhirmaniana Yuzammi & A.Hay, Alocasia megawatii Yuzammi, Alpinia abendanoni Val., Alocasia balgooyii Hay, Diospyros celebica Bakh., Orophea celebica Miq., Agathis celebica, dan lainlain.
Gambar 4. Nepenthes spec.nov, jenis baru dari TN. Lore Lindu dan Macadamia hildebrandii (Proteaceae) species endemik Sulawesi.
Menurut Mogea (2002) Sulawesi memiliki tingkat endemisitas palem yang tinggi (72%), dimana 68% spesies dan 58% genus palem yang tumbuh di bioregion ini adalah asli Sulawesi. Di antara jenis-jenis palem yang ada dua di antaranya endemik untuk Sulawesi Tengah, yaitu Gronophyllum sarasinorum dan Pinanga sp. nov (longirachilla). Beberapa spesies palem Sulawesi lainnya yang endemik adalah Pigafetta elata Becc., Licuala celebica Miq., serta beberapa spesies rotan seperti taimanu (Korthalsia celebica), tohiti (Calamus inops Becc. var. celebicus Becc.), Calamus minahassae, Calamus koordersianus Becc., Calamus symphisipus Mart. dan lain-lain.
11
12
13
14
15
16
17
RUBIACEAE
Deskripsi Pohon berukuran besar, Tinggi hingga 40 m, DBH hingga 60 cm. Batang lurus. Banir jika ada, curam, tinggi hingga 2 m. Kulit batang halus hingga bersisik, berwarna coklat abu-abu hingga coklat tua. Kulit batang bagian dalam berwarna kuning pucat, kayu berwarna kuning pucat. Cabang mendatar. Daun penumpu segi tiga sempit, panjang 1-2 cm, bertumpang tindih dan memeluk kuncup ujung. Daun menjorong hingga membundar telur sungsang, panjang 12- 30 cm, lebar 5-16 cm, pangkal membundar hingga menjantung, ujung melancip, gundul di permukaan bawah, tulang daun sekunder 11-17 pasang, susunan tulang daun tersier mirip tangga. Tangkai daun panjang 1-4 cm. Perbungaan di ujung, berbentuk sebuah bongkol soliter, membulat, garis tengah 2-4 cm, tanpa daun gagang antar bunga, berkelamin ganda, berkelipatan 5, hampir tanpa tangkai, mahkota berwarna kuning, gundul, panjang hingga 9 mm, terpilin dalam kuncup, bakal buah beruang 2, bakal biji banyak. Bongkol berbuah membulat, berwarna jingga, buah muda garis tengah hingga 3 mm, tidak merekah, biji garis tengah 0.2 mm, tidak bersayap. Di Sulawesi terdapat 2 jenis Anthocephalus yaitu : A. chinensis dan A. macrophyllus (Roxb) Havil. yang merupakan jenis endemik untuk Wallacea.
Distribusi India hingga New Guinea. Malesia : Sumatra, Kalimantan, Semenanjung Malaysia, Jawa, Sulawesi, NTT, NTB, Maluku, PNG, Filipina. Habitat dan Ekologi Merupakan jenis pohon pionir penting dalam hutan sekunder, terutama di tanah alluvial. Pada ketinggian 70 m. Nama Lokal Jabon, kelempayan (Melayu). Sulawesi : Kokabo (Poso, Baree, Tojo), Bekawa/Bekava (Besoa, Napu, Kulawi). Kegunaan Buah dapat dimakan, di Jawa Barat digunakan sebagai bahan pembuatan rujak, kadang-kadang difermentasi menjadi wine. Dimasak bersama-sama ikan.
18
19
20
21
22
MORACEAE
Deskripsi Pohon berumah satu, tinggi 10-25m. Memiliki getah perekat. Daun tunggal, biasanya tidak berlekuk, hanya daun pada pohon muda dan tunas air dengan lekuk besar 3-5; tangkai 1-4 cm; helaian daun memanjang atau bulat telur terbalik, 10-25 X 4,5-10 cm, dengan pangkal menyempit demi sedikit, tepi rata, serupa kulit, dari atas mengkilat hijau tua. Daun penumpu segitiga bulat telur. Karangan bunga jantan atau betina. Bulir betina berbentuk gada silendris, anak bunga tenggelam dalam poros, bagian yang bebas panjangnya lebih kurang 0,5 cm, pada ujung berpori, di mana muncul kepala putik yang tunggal, pipih pada sisinya. Bulir jantan bentuk gada atau spul, kerapkali bengkok, hijau tua; anak bunga sangat kecil, dan tenda bunga bertaju 2, dan 1 benang sari. Buah semu menggantung pada ranting yang p endek dari batang atau cabang utama, bentuk telur, memanjang, atau + bentuk ginjal, dengan duri tempel pendek yang runcing segi 3-6, berbau manis yang keras; berdaging ketat di sekeliling biji. Biji 3,5 cm panjangnya. Terdapat jenis lain yang umumnya tumbuh secara alami di hutan yaitu Artocarpus integra Merr. (cempedak hutan) yang buahnya harum dan berasa enak, pada musimnya biasanya diperjualbelikan di pasar.
Distribusi Tanaman ini berasal dari India. Di Indonesia umumnya ditanam untuk diambil buahnya. Dapat tumbuh pada ketinggian 50-1200 m dpl. Di Sulawesi, terutama tumbuh baik di sekitar lembah Palu. Nama Lokal Nongko (Jawa), Cubadak (Minangkabau), Nangka (Indonesia). Sulawesi : ganaga (Kaili, Muma), Sulawesi Tengah; panasa (Bugis), nanaka (Bungku, nanaka (Sulawesi Tenggara). Kegunaan Buah muda disayur, biasanya digulai (kari), sedangkan buah yang sudah masak, daging buah yang meyelimuti biji berwarna kuning, harum dapat dimakan. Biji kadangkala direbus dan dimakan. Salah satu buah utama dari Kota Palu. Kayunya berwarna kuning digunakan sebagai bahan ukiran Toraja, getahnya digunakan untuk perekat penangkap burung.
23
Batang
Buah
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
LAURACEAE
Deskripsi Pohon berukuran sedang, hingga 30 m tinggi, DBH hingga 25 cm. Kulit batang bagian luar berlenti sel, aromatik. Daun : Tunggal, berhadapan, atau suboposite, oblong, dasar daun meruncing, atau bulat, ujung secara gradual meruncing, berwarna hijau pucat, keputih-putihan pada bagian bawah. Bunga : kuning kehijau-hijauan, dalam panikel pada ujung, yang panjangnya hingga 15 cm.
Distribusi Afrika tropis hingga Madagaskar, India, Myanmar, Indo-China, China Selatan, Hongkong, Taiwan, Thailand dan diseluruh Malesia yang meliputi Malaysia, Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, PNG, Filipina, Kepulauan Salomon dan Australia Timur Laut. Biasanya pada hutan dataran rendah hingga 600 m dpl. Nama Lokal Selasihan, Kayu gadis, Kayu lada, Medang resah, Medang lesah, Medang Selaroh (Indonesia), Selasihan (Jawa), Huru pedes, Ki sereh, Ki lada, Sintok badak (Sunda), Sassafras des Indes, Bois de camphre (Perancis), Martaban camphor tree, Tree Galanga ( Inggeris), Sulawesi : Pakanangi, kanangi (Kulawi, Napu, Besoa, Uma) Kegunaan Kayu digunakan sebagai bahan bangunan. Kulit batang dan kayu mengandung minyak atsiri, aromatik dapat digunakan sebagai parfum.
34
35
Kegunaan Kelapa adalah pohon serba guna bagi masyarakat tropika. Hampir semua bagiannya dapat dimanfaatkan orang. Akar kelapa menginspirasi penemuan teknologi penyangga bangunan Cakar Ayam (dipakai misalnya pada Bandar Udara Soekarno Hatta) oleh Sedyatmo. Batangnya, yang disebut glugu dipakai orang sebagai kayu dengan mutu menengah, dan dapat dipakai sebagai papan untuk rumah. Daunnya dipakai sebagai atap rumah setelah dikeringkan. Daun muda kelapa, disebut janur, dipakai sebagai bahan anyaman dalam pembuatan ketupat atau berbagai bentuk hiasan yang sangat menarik, terutama oleh masyarakat Jawa dan Bali dalam berbagai upacara, dan menjadi bentuk kerajinan tangan yang berdiri sendiri (seni merangkai janur). Tangkai anak daun yang sudah dikeringkan, disebut lidi, dihimpun menjadi satu menjadi sapu. Tandan bunganya, yang disebut mayang (sebetulnya nama ini umum bagi semua bunga palma), dipakai orang untuk hiasan dalam upacara perkawinan dengan simbol tertentu. Bunga betinanya, disebut bluluk (bahasa Jawa), dapat dimakan. Cairan manis yang keluar dari tangkai bunga, disebut (air) nira atau legn (bhs. Jawa), dapat diminum sebagai penyegar atau difermentasi menjadi tuak. kelapa adalah bagian paling bernilai ekonomi. Sabut, bagian mesokarp yang berupa serat-serat kasar, diperdagangkan sebagai bahan bakar, pengisi jok kursi, anyaman tali, , serta media tanam bagi anggrek. Tempurung atau batok, yang sebetulnya adalah bagian endokarp, dipakai sebagai bahan bakar, pengganti gayung, wadah minuman, dan bahan baku berbagai bentuk kerajinan tangan. Endosperma buah kelapa yang berupa cairan serta endapannya yang melekat di dinding dalam batok ("daging buah kelapa") adalah sumber penyegar populer. Daging buah muda berwarna putih dan lunak serta biasa disajikan sebagai es kelapa muda atau es degan. Cairan ini mengandung beraneka enzim dan memilki khasiat penetral racun dan efek penyegar/penenang. Beberapa kelapa bermutasi sehingga endapannya tidak melekat pada dinding batok melainkan tercampur dengan cairan endosperma. Mutasi ini disebut (kelapa) kopyor. Daging buah tua kelapa berwarna putih dan mengeras. Sarinya diperas dan cairannya dinamakan santan. Daging buah tua ini juga dapat diambil dan dikeringkan serta menjadi komoditi perdagangan bernilai, disebut kopra. Kopra adalah bahan baku pembuatan minyak kelapa dan turunannya. Cairan buah tua kelapa biasanya tidak menjadi bahan minuman penyegar dan merupakan limbah industri kopra. Namun demikian dapat dimanfaatkan lagi untuk dibuat menjadi bahan semacam jelly yang disebut nata de coco dan merupakan bahan campuran minuman penyegar.
36
37
38
39
40
41
Kegunaan Species asli Sulawesi ini termasuk kayu mewah yang harganya mahal yang dapat digunakan sebagai perabot, mebel, perkakas rumah tangga, barang kerajinan dan bahan bangunan dengan ornamen yang sangat indah dan lux. Jenis ini sacara alami sudah tergolong langka dan termasuk sebagai salah satu flora yang dilindungi dan merupakan maskot flora Sulawesi Tengah. Permintaan kayu jenis ini masih tinggi di luar negeri sehingga jenis ini populasinya menipis di alam akibat dieksploitasi terus menerus. Dengan adanya peraturan pembatasan dan pelarangan eksploitasi kayu ini mendorong konsumen kayu menggunakan bagian dari eboni seperti akar, batang dan cabang-cabangnya.
42
43
44
45
46
ELAEOCARPACEAE
Deskripsi Pohon kecil atau sedang. Banir tidak ada. Duri tidak ada. Daun berseling, atau dua-berselingan; tunggal; semua daun bentuknya seragam; Pertulangan tulang daun menjulur dari tulang tengah. Tangkai daun pendek tidak bersayap; ujung membengkak; membengkak pada ujung tangkai (top). Daun penumpu ada, cerutu; tersebar di sepanjang tulang daun utama. Dua buah kelenjar pada dasar helaian tidak ada. Bulu pada daun yang tua tidak ada. Daun yang masih muda berwarna merah muda. Perbungaan berkelompok; di ketiak, atau dekat daun, tetapi tidak di ketiak Bunga berkelamin dua, (hermaprodit); bertangkai; kecil, atau sedang; beraturan; tidak ada bagian yang tegak diatas tangkai. Perhiasan bunga ada; ada daun kelopak dan daun mahkota. Daun kelopak (3-)4-5(-6); bebas tidak ditemukan lagi pada buah. Benang sari 8-20 warna biru; ada tangkai; tidak berkelompok; Buah drupe; berdaging, atau tidak berdaging; tidak terpecah; ; tidak bersayap. Biji 2-5 biji per buah; kecil.
Distribusi Sulawesi dan Maluku. Banyak terdapat di Taman Nasional Lore Lindu, dan lokasi pertambangan PT. INCO Soroako. Nama Lokal Sulawesi ; kapung (Toraja), dalen-dalen (Makassar), dira lai (Bugis). Kegunaan Disarankan sebagai tanaman hias.
47
48
49
50
51
Ficus benjamina L.
Sinonim : Ficus cuspidato-caudata Hayata, Ficus parvifolia Oken., Ficus umbrina Elmer.
MORACEAE
Deskripsi Pohon berukuran kecil hingga besar, berumah satu, memiliki akar nafas (gantung). Memiliki getah putih susu. Daun tunggal, berseling, oblong, 6-10 X 4-7 cm, berdaging, dasar membulat, ujung runcing atau meruncing, pertulangan menyirip, banyak, subparalel, tangkai daun 1-1,5 cm. Buah Fig, bulat, 1 cm diameter.
Distribusi Dari India hingga Burma (Myanmar), Indo-China, China selatan dan Thailand, menyebar di kawasan Malesia, timur dari Kepulauan Salomon, Australia bagian utara. Nama Lokal Indonesia ; beringin (umum), caringin (Sunda), waringin (Jawa), baringin (Minangkabau). Sulawesi ; nunu (Kaili), baranarombe (Toraja), apoli takao (Tobela). Malaysia ; beringin . Filipina ; salising-haong, salising-hubad (Filipino), salisi (Isinai). Laos (oox ng. Burma ; kyetkadut. Golden fig (Inggris). Kegunaan Tanaman ini banyak ditanam sebagai tanaman peneduh pinggir jalan, hutan kota, karena pohon ini serba guna dan dapat menjadi sebuah falsafah hidup maka digunakan sebagai lambang dari salah satu dari sila dari Pancasila yaitu sila ke III (Persatuan Indonesia).
52
53
54
55
ARALIACEAE
Distribusi Deskripsi Sulawesi,filipina,Kalimantan,Sulawesi. Pohon kecil hingga perdu. Banir tidak ada. Duri tidak ada. Kulit abu-abu; tidak terkelupas dalam Nama Lokal jalur. Getah tidak ada. Ujung kuncup tidak tertutup Indonesia ; Tirontasi (Kaili, Sulawesi), oleh kuncup daun. Daun berseling; majemuk; lampo paa (Bungku, Sulawesi). Bajur talang ekoaho (Enggano, Bengkulu), raka dengan lebih dari tiga anak daun; ada satu anak (Sumba), kre, wangka (Flores). Filipina ; daun pada bagian terujung sehingga jumlah anak bungio (Palawan), lantora (kepulauan daun menjadi ganjil; anak daun berhadapan; semua Talaud ). daun bentuknya seragam; daun simetris; halus atau rata, atau bergelombang, atau bergerigi kecil sampai Kegunaan Tanaman pelindung. besar. rachis terdapat pembesaran pada nodus. Pertulangan tulang daun menjulur dari tulang tengah. Tulang daun kedua jauh; tidak jelas tetapi masih dapat dilihat.. Tangkai daun pendek; tidak bersayap; menempel di bawah daun; ujung tidak membengkak. Daun penumpu tidak ada. Perbungaan berkelompok; di ujung ranting, atau di ketiak. Bunga berkelamin dua; bertangkai; Hypanthium tidak ada. Cakram ada; di dalam lingkaran benang sari. Perhiasan bunga ada; ada daun kelopak dan daun mahkota. Daun kelopak 513; bertautan sedikit atau bertautan semua. Benang sari 5-100; ada tangkai; tersebar; tidak melekat pada perhiasan bunga; ukuran sama; berseling dengan daun kelopak. Kepala sari 2 rongga; melekat pada bagian dorsal; tidak bertangkai di atas; berbekas oleh celah yang panjang. Kelamin betina di bawah. Daun buah semua bersatu. 7-22(-100) rongga. Tangkai putik bebas; 7-22. Putik 1 cuping; tidak ada ukuran khas. Buah drupe; berdaging; tidak majemuk; tidak terpecah; ; tidak bersayap. Biji 1-100 biji per buah; kecil; tidak bersayap; tidak ada garis di dalam; ada endosperma.
56
57
58
59
60
61
62
DIPTEROCARPACEAE
Deskripsi Pohon berukuran sedang, ranting meruncing. Daun ovatus lanseolatus, berukuran (5,5-) 822 X (2,2-) 2,5-8 cm, seperti kulit, dasar daun tidak sama, urat daun secara jelas kelihatan pada bagian atas, pertulangan daun sekunder 8-11 pasang, bersudut 45-55 kecuali pada dasar, bunga memiliki 2 sepal terluar, 3 bagian dalam, stamen 15, stilus pendek tapi sangat jelas, Buah bersayap.
Distribusi Endemik Sulawesi, terutama di bagian tengah dan lengan Sulawesi bagian tenggara. Nama Lokal Balau mata kucing, dama dere itam, hulo dereh (Sulawesi) Kegunaan Kayu diperdagangkan dengan nama dagang balau atau giam, dan digunakan untuk kontruksi rumah, jembatan, kapal, bantalan kereta api, tiang telefon dan perabot.
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
Nama Lokal Pala (Indonesia, Jawa, Sunda), Nutmeg (Inggris), Nootmuskaatboom (Belanda), Palo (Minangkabau). Kegunaan Kulit buah dibuah dibuat asianan atau manisan, kadang-kadang dibuat juice. Biji digunakan sebagai rempah-rempah. Selubung biji (arilus) digunakan untuk masakan yang harbanya sangat mahal di Eropa.
83
ARAUCARIACEAE
Deskripsi Pohon berukuran besar, tinggi hingga 54 m, tinggi bebas cabang hingga 30 m, dbh 100 cm. Daun tunggal, berhadapan, elip hingga oval, 6-14 (-23) X 2-5 (-9) cm, memiliki pertulangan daun sekunder; ujung ranting memiliki tunas, pollen berkelompok pada sebuah pedunkel, biji tunggal. Jenis ini sangat mirip dengan jenis dari marga Agathis. Pada Nageia kuncup runcing sedangkan pada Agathis kuncup bulat.
Distribusi India selatan, Burma, Indo-China, Thailand, seluruh Malesia kecuali Jawa bagian Tengah dan Timur, di NTT hanya ditemukan di Flores. Sering ditemukan pada hutan primer mulai dari ketinggian 5 -2100 m dpl. Di Sumatra dan Kalimantan juga pernah dikoleksi dari lahan gambut, dataran rendah. Nama Lokal Brown podocarp (Inggeris), bali (Kalimantan), kayu cina (Sumatra, Sulawesi), ki bima (Jawa); podo kebal, musang gunong (Semenanjung Malaysia), mengilan (Sabah), manggilan (Dusun, Serawak); malaamaciga (Tagalog/ Filipina), almaciga nga lalaki (Sibuyan, Filipina), Burma (Myanmar); thitmin (Thailand). Kegunaan Salah satu kayu penting dari kelompok Podocarpaceae, kayu digunakan untuk kontruksi bangunan, finishing interior, perabot, venir kadang-kadang untuk perahu kecil.
84
85
86
87
FABACEAE
Deskripsi Pohon, berukuran sedang hingga besar yang tingginya hingga 40 m, batang bebas cabang kadang hingga 20 m, DBH hingga 100 cm kadang-kadang lebih. Daun majemuk ganda yang panjangnya hingga 40 cm dengan 8-15 pasang tangkai daun yang berhadapan, tiap anak tangkai daun majemuk terdiri atas 15-25 anak daun, lembaran anak daun berbentuk oblong, 3-6 mm lebar. Inflorescentia berbentuk panikel, biji bersayap sepanjang ventral.
Distribusi Maluku, Papua New Guinea, kepulauan Bismarck dan kepulauan Solomon. P. falcataria memiliki 3 subspecies yaitu Subsp falcataria yang terdapat di Maluku dan Papua New Guinea (PNG), subsp solomonensis Nielsen terdapat di Kepulauan Salomon dan subsp fulca (Lane-Poole) Nielsen (synonim : Albizia fulca dan Albizia eymae Fosberg) terdapat di pegunungan PNG. P. falcataria sangat luas ditanam di daerah tropik. Secara alami hidup pada hutan primer tapi lebih sering pada hutan sekunder dan pinggiran sungai, kadangkadang pada hutan pantai, tersebar dari pinggir pantai hingga 2300 m dpl. Nama Lokal Puah (Brunei), sika (Maluku), batai (Semenanjung Malaysia), kayu machis (Serawak), white albizia (PNG), moluccan sau (Filipina), Jeungjing (Indonesia : Sunda/ Jawa Barat), sengon laut (Jawa), sengon, albizia (Sulawesi). Kegunaan Kayu digunakan sebagai bahan kontruksi tapi kualitas kurang bagus, kadang sebagai pohon pelindung, tanaman reboisasi (reforestasi) terutama di daerahdaerah bekas tambang`, kayu bakar. Kulit batang mengandung tanin, daun untuk pakan ternak ayam dan domba.
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
DIPTEROCARPACEAE
Deskripsi Pohon berukuran besar, tinggi hingga 55 m dengan dbh hingga 150 cm. Daun ovatus, elip jarang yang obovatus, berukuran 5-9 X 2-4 cm , dengan 13-18 pasang pertulangan sekunder, permukaan bawah kadangkala berbulu halus, tangkai daun 5-7 mm panjangnya, stipula hingga 15 mm panjangnya. Stamen 15 mm. Tangkai buah kira-kira 2 mm panjangnya. Buah masih memiliki kelopak bunga (seperti sayap) yang panjangnya 11 X 2 cm, tiga kelopak besar dan dua kelopak kecil.
Distribusi India, Semenanjung Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatra, Kalimantan, Filipina, Sulawesi dan Maluku bagian selatan. Dipterocarpaceae adalah salah satu famili tumbuhan berbunga yang penting sebagai penghasil kayu berkualitas bagus. Di daerah malesia terdapat 550 jenis dan memiliki 10 genus diantaranya Shorea (meranti), Anisoptera (mersawa), Cotylelobium (resak), Dipterocarpus (keruing), Dryobalanops (kapur), Hopea (merawan), Neobalanocarpus (chengal), Parashorea (meranti), Upuna (upun) dan Vatica (resak). Shorea adalah salah satu genus yang memiliki jenis 160 anggota. Di Sulawesi hingga saat dilaporkan baru terdapat 6 jenis anggota Dipterocarpaceae yaitu : Shorea assamica var. Forma koordersii, Hopea celebica, Vatica rassak, Vatica sunaptera flavovirens, Anisoptera thurifera dan Hopea gregaria. Umumnya tumbuh pada hutan dataran rendah di Sulawesi pada ketinggian 0-500 m dpl. Nama Lokal Indonesia : damar masegar (nama umum), piniti boti pien (Maluku), damar larieh (Sulawesi), sogar baringin nabotar (Tapanuli, Sumatra). Malaysia ; lemsa kulat, meranti pipit (semenanjung). Filipina ; danlig (Tagalog), manggasinoro (umum). Thailand ; saya khao. Kegunaan Kayu merupakan sumber utama meranti putih. Berkualitas bagus dengan kerapatan kayu 420-680 kg/m3 pada kandungan air 15%. Resin dinamakan juga damar tenang dikoleksi dan diperdagangkan pada skala komersil di Sulawesi Utara.
100
101
MYRTACEAE
Deskripsi Pohon, tinggi hingga 12 m. Daun bulat telur atau memanjang, dengan pangkal yang sangat runcing, serupa kulit, 6-13,5 X 2,5-5 cm, bagian atas mengkilat. Malai rata hanya terminal, kadangkadang berbunga sedikit. Tabung kelopak sedikit memanjang di atas bakal buah, hijau kuning, kemerahan, tinggi 1-1,5 cm ; pinggiran taju bulat telur sampai segitiga. Daun mahkota berbentuk tudung, bulat lingkaran, kemerahan, panjang 4-5 mm, rontok awal. Lempeng benang sari tumbuh dengan baik. Benang sari lebih-kurang 0,5 cm panjangnya. Tangkai putik pendek. Buah buni memanjang sampai bentuk telur terbalik, panjang 2-2,5 cm.
Distribusi Tumbuhan ini asli dari Maluku. Di Maluku Utara masih ditemukan pohon cengkeh yang berumur ratusan tahun dengan diameter batang lebih dari 150 cm. Di wilayah Indonesia lainnya banyak dibudidayakan. Di Sulawesi banyak ditanam di Propinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, terutama di Kabupaten Buol dan Toli-toli. Nama Lokal Kruidnagelboom (Nederland), clove (Inggris), cengkeh (Indonesia : Sumatra, Jawa, Sunda, Sulawesi, Madura). Kegunaan Tunas muda bunga dikeringkan digunakan untuk bahan pembuatan rokok kretek, atau diambil minyaknya sebagai obat sakit gigi, eugenol digunakan sebagai atraktan dalam pengendalian serangga hama, buah (bunga) digunakan sebagai bumbu masak.
102
MYRTACEAE
Deskripsi Pohon, sedang, tinggi hingga 30 m, umumnya 12-20 m; percabangan cenderung dekat permukaan tanah. Daun berhadapan, bulat telur yang melebar, tangkai daun panjang. Perbungaan malai seperti piramid yang muncul pada cabang-cabang yang tidak berdaun. Buah buni, bulat telur memanjang, kadang-kadang bengkok, merah tua keungu-unguan, jarang putih. Tumbuhan ini tumbuh baik di dataran rendah di bawah 500 m dpl, mempunyai daya adaptasi tinggi terhadap berbagai jenis tanah, termasuk tanah tandus, berkapur dan berawa-rawa.
Distribusi Tersebar dari India, Myanmar, Srilanka, Malaysia sampai Indonesia Australia. Sekarang telah menyebar sepanjang daerah tropis dan subtropis yang hangat. Di Indonesia umumnya ditanam sebagai tanaman peneduh jalan. Di Kota Palu banyak ditanam sebagai peneduh jalan atau di pekarangan. Nama Lokal Duwet, juwet, jamblang (Jawa), jambe kleng (Aceh), jambu kaliang (Minangkabau), rapo-rapo jawa (Makassar), jambolan (Manado, Ternate), jambolan (Kaili- Palu). Kegunaan Buah untuk buah segar, kadang-kadang ditaburi garam untuk membuatnya menjadi lunak, bisa diolah menjadi sari buah, jeli, atau anggur. Tanaman ini sering ditanam untuk budidaya lebah madu karena bunganya banyak mengandung madu. Kulit kayu untuk bahan pewarna. Bubuk dari biji jambolan berkhasiat dalam pengobatan penyakit kencing manis dan disentri.
103
104
VERBENACEAE
Deskripsi Pohon, berukuran sedang hingga besar yang tingginya hingga 50 m, batang bebas cabang kadang hingga 20-25 m, DBH hingga 150-250 cm, kadang-kadang terdapat banir, permukaan kulit batang berwarna keabu-abuan-coklat, kulit batang bagian dalam warna merah dengan bergetah melengket. Daun tunggal, berbentuk membulat, (11-)20-55 cm X (6-)15-37 cm ( tapi lebih besar pada sucker, terdapat bulu halus. Inflorescent kirakira 40 cm X 35 cm ; bunga 3-6 mm panjangnya, kelopak bunga campanulate, perhiasan (corolla) berwarna putih hingga ungu, buah terbungkus oleh calyx .
Distribusi Asal dari India sampai Thailand, secara umum terdapat pada hutan yang menggugurkan daun pada tanah subur berdraenase baik hingga 1000 m dpl. Di Indonesia terutama di pulau Jawa banyak ditanam sejak zaman kolonial Belanda. Di Sulawesi juga dibudidayakan sebagai sumber kayu seperti di wilayah Sulawesi Tenggara. Akhir-akhir ini di Sulawesi telah diintroduksi pula jenis jati emas yang merupakan hasil pemuliaan yang banyak ditanam di daerah kebun dan pedesaan. Nama Lokal Teak (Filipina), bunglas (Panay Bisaya), malapangit (Tagalog), Jati ( Nama umum Indonesia). Kegunaan Kayu digunakan sebagai bahan kontruksi dengan kualitas sangat bagus. Bahan pembuatan perabot seperti kursi, lemari, dan untuk ukiran terutama di pulau Jawa, bahan perabot yang diukir terbuat dari kayu ini.
105
Terminalia catappa L
Sinonim : Terminalia moluccana Lamk. (1783), Terminalia procera Roxb. (1832), Terminalia mauritiana Blanco (1845)
COMBRETACEAE
Deskripsi Pohon, berukuran sedang, tinggi hingga 25 (-40) m, DBH 150 cm, sering memiliki akar banir yang tingginya hingga 3 m, permukaan kulit batang warna abu-abu hingga coklat, kulit bagian dalam keunguancoklat. Daun tunggal, biasanya berbentuk obovatus, berukuran 8-25 cm panjang X 5-14 cm lebar. Dasar daun subcordatus, kadangkala memiliki bulu dibagian bawah, memiliki (6-) 8-12 pasang tulang sekunder, tangkai daun 4-15 (-20) mm panjangnya, bunga dalam bentuk spike 8-16 cm panjang, pada ketiak daun. Terminalia memiliki arsitektur pohon yang unik seperti payung. Di Asia Tenggara terdapat banyak jenis pohon dari marga Terminalia, beberapa diantaranya adalah Terminalia canaliculata, T. calamansanai, T. citrina, T. chebula, T. copelandii, T. complanata, T. darlingii, T. eddowesii, T. foetissima, T. longspicata, T. macadamia, T. megalocarpa, T. microcarpa dan lain-lain. Di Sulawesi ditemukan juga beberapa jenis endemik seperti Terminalia supitiana yang banyak ditemukan pada tanah ultrabasa seperti pada areal tambang PT. INCO dan Cagar Alam Morowali.
Distribusi Secara alami menyebar dari India, IndoChina, dan Thailand, kawasan Malesia termasuk pulau-pulau di Indonesia, Filipina, Australia bagian Utara dan Polinesia. Di kawasan tropika jenis ini sangat banyak ditanam sebagai tanaman pelindung. Kegunaan Kayu digunakan sebagai bahan kontruksi untuk rumah, perahu, perabot. Kulit batang dan daun sebagai sumber tanin yang digunakan untuk penyamakan kulit. Biji mengandung minyak dan dapat dimakan. Jenis ini sangat banyak ditanam sebagai tanaman pelindung baik dalam taman ataupun di pinggir jalan raya. Nama Lokal Indian almond (Inggeris), ketapang (nama umum di Indonesia), telisai (SarawakSabah), talisai (Filipina), almendras (Spanyol), hou kouang (Laos), hukwang (Thailand), b(af)ng (Vietnam), Talise (Kaili, Sulawesi Tengah).
106
107
108
Toona ciliata M. Roem
109
110
111
112
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1992. Indonesia Country Study on Biological Diversity. Jakarta: Ministry of State for Population and Environmental Republic Indonesia. Prepared for UNEP under The work Programme for Environment Cooperation between The Republic of Indonesia and The Kingdom of Norway. BAPPENAS. 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia. Ministry of National Development Planning/National PlaningAgancy. Jakarta Gradstein SR, Tan B, King C, Zhu RL, Drubert C & Pitopang R. 2005. Catalogue of the Bryophytes of Sulawesi, Indonesia. Journal of the Hattori Botanical Laboratory 98. 213-257 Hall R. 1995. The plate tectonics of Cenozoic SEAsia and the distribution of land and sea. Pages 99- 131 in Biogeography and geological evolution of SEAsia (R. Hall, and J. D. Holloway, eds.). Backhuys,Leiden. Keler, P.J.A., M. Bos, S.E.C. Sierra Daza, L.P.M. Willemse, R. Pitopang, and S.R. Gradstein. 2002b. Checklist of Woody plants of Sulawesi, Indonesia. Blumea Suplement 14: 1-160. Keler, P.J.A., R. Pitopang, M. Bos, and S.R. Gradstein. 2002a; Tree diversity of different land use systems at Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Indonesia. 14.Jahrestagung Gesell fur Tropenokolie, Goetingen, 21-24 Febr. 2002 Kinnaird M.F. 1997. Sulawesi Utara: Sebuah Panduan Sejarah Alam. Jakarta: Yayasan Pengembangan Wallacea Mittermeier, R.A., Myers, N., Gil., P.R dan C.G. Mittermeier. 1999. Hotspot. Earth's Biologically Richest and Most Endangered Terresterial Ecoregions, CEMEX, S.A. Mexico City. Printed in Japan. By Toppan Company. Mabberley, D.J., C.M. Pannel and A.M. Sing. 1995. Flora Malesiana. Series ISpermatophyta. Vol 12-part 1-1995. MacKinnon, K. 1992. The Wildlife of Indonesia. Nature's Treasurehouse. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Mogea, J.P. 2002. Preliminary Studi On the Palm Flora of the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia, Biotropia No. 18 : 1-20 Moss SJ, Wilson EJ. 1998. Biogeographic implication of the Tertiary paleogeographic evolution of Sulawesi and Borneo. Biogeoraphic and Geological Evolution of SE.Asia.pp. 133-163. Edited by R. Hall and J.D. Holloway. Backhuys Publishers, Leiden. The Netherlands
Ramadanil Pitopang, 2002. Herbarium sebagai salah satu bentuk konservasi eksitu. Lokakarya penyusunan IBSAB bioregion Sulawesi. Makassar. Juli 2002 Ramadanil Pitopang, S.R. Gradstein, E. Guhardja, dan P.J.A. Keler. 2002. Tree composition in secondary forest of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi Indonesia. Abstract, International Symposium on Land Use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia, Bogor, 29 September 3 October 2002. Ramadanil Pitopang, R. Kessler P., Gradstein, S.R, Mogea, J.P, Guhardja. E. and Tjitrosudirdjo, S.S. 2004. Four years Herbarium Celebense (CEB). 6th Flora Malesiana Symposium Proceedings. Los Banos, Philiphines. Ramadanil Pitopang 2006. Structure and Composition of Six Land Use Types Differing in Use Intensity in the Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, Indonesia. PhD Disertation. Post Graduate Program. BogorAgricultural University. Bogor. Siebert, S.F. 1998. Rattan Use, Economics, Ecology and Management in the Southern Lore Lindu National Park Region of Sulawesi Indonesia. School of Forestry. University Montana, Missoula. United State ofAmerica. Soepadmo, E. 1972. Flora Malesiana. Series I- Spermatophyta. Flowering Plants. Vol.7, part 2 Steenis, C.G.G.J.1988. Flora untuk Sekolah di Indonesia. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Thomas, S dan A. Schuiteman, 2002. Orchids of Sulawesi And maluku: A Preliminary Cataloque. Linleyana 17(1): 1-72.2002 Van Balgooy MMJ, Hovenkamp PH, Welzen PC. 1996. Phytogeography of the PasificFloristic and historical distribution pattern in plant. In The origin and evolution of Pasific island biotas. New Guinea to eastern Polynesia ; pattern and process. Pp. 191-213. edited by Keast A, Miller SA. SPB academic Publishing bv. Amsterdam. Whitmore ,T.C.,I.G.M. Tantra. 1989. Tree Flora of Indonesia, Checklist For Sulawesi. Published By Agency for Research and Development Forest Research and Development Center Bogor Indonesia Whitten A.J.,M. Mustafa and G.S. Henderson. 1987. The Ecology of Sulawesi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Witono, J.R., A. Suhatman, N. Suryana, R.S. Purwantoro. 2000. Koleksi Palem Kebun Raya Cibodas. Seri Koleksi Kebun Raya LIPI. Vol.II, No.1. Cabang Balai Kebun Raya Cibodas. UPT Balai Pengembangan Kebun Raya LIPI. Yuzammi and Hidayat. 2002. The Unique, Endemic and Rare Flora of Sulawesi. Bogor: Bogor Botanical Garden.
Tentang Editor
Dr. Max M.J. Van Balgooy
Merupakan salah seorang botanist terbaik dunia yang memiliki pengetahuan yang sangat baik terhadap pemahaman Flora Asia Tenggara,Malesia dan Kepulauan Pasifik. Lahir di Purbalingga (Jawa Tengah, Indonesia), 14 Agustus 1932. Botanist yang fasih berbahasa Indonesia (ataupun bahasa Jawa dan Sunda) ini memiliki Ibu orang Indonesia (Jawa) sedangkan ayah berkebangsaan Belanda. Masa kecilnya dihabiskan di peternakan dan daerah pertanian yang dekat dengan hutan alam di Jawa Tengah. Dia telah memulai mengamati tumbuhan dan hewan sejak masa kanak-kanak. Selama mengikuti pendidikan di Bandung (Jawa Barat) dia habiskan sebagian waktunya untuk mengamati burung dan satwa liar lainnya. Setelah mengikuti pendidikan di Jurusan Biologi ITB Bandung kemudian beliau pindah ke Leiden Belanda pada tahun 1958 dan menyelesaikan sebuah academic training, setelah itu beliau memulai studi Doktornya dengan fokus Plant geography of Pacific di bawah bimbingan Prof. Van Steenis. Beliau berpartisipasi aktif dalam melakukan identifikasi koleksi speciemen yang ada di National Herbarium of Netherlands, Leiden. Sebagai hobi, hingga saat ini Dr. Van Balgooy telah menghasilkan berbagai publikasi ilmiah baik berupa artikel penelitian, CD Rom untuk identifikasi Tumbuhan dan Buku referensi seperti Malesian Seed Plants Spot Characters ( Volume 1), Portraits of tree families (Volume 2) dan Portraits of non tree families (Volume 3).
Tentang Penulis
Prof. Dr. Ramadanil Pitopang
Lahir di Payakumbuh Sumatra Barat 13 September 1964. Anak Minangkabau yang bersuku Pitopang bergelar Sutan Rajo Deli ini menyelesaikan studi Sarjana Biologi (Drs) pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas tahun 1989. Pada tahun 1994 menyelesaikan studi Magister Sains (MSi) spesialisasi Biologi Lingkungan di Institut Teknologi Bandung. Pada tahun 2006 memperoleh gelar Phylosophy of Doctor (DR) dari Institut Pertanian Bogor pada program studi Biologi dengan spesialiasasi Eko-Taksonomi Tumbuhan (Botani). Sejak 1 April 2009 diangkat sebagai Profesor dalam bidang Taksonomi Tumbuhan di Universitas Tadulako Palu.
Riwayat kerja : 1990-2007 bekerja sebagai dosen pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako sebagai pengasuh mata kuliah Biologi Umum, Botani, Mikrobiologi, Dendrologi, Konservasi Biodiversitas, dan Keanekaragaman hayati terutama di Jurusan manajemen Hutan. Sejak tahun 2008 menjadi dosen tetap pada jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam Universitas Tadulako dalam jabatan fungsional Lektor Kepala pada kuliah Dendrologi/ Taksonomi Tumbuhan. Tahun 1995-1999 Pengelola Laboratorium Ilmu Alamiah Dasar Unit Biologi. Aktif pada berbagai proyek kerjasama penelitian dengan dalam dan luar negeri seperti Join Research STORMA (Stability of Rain Forest Margin in Indonesia), kerjasama penelitian antara Universitas Tadulako, Institut Pertanian Bogor (Indonesia) dengan Georg August University of Gottingen dan Kassel University (Jerman). Tahun 2000 bersama dengan koleganya Prof. Dr. Stephan Rob Gradstein (Univ. of Gottingen, Jerman), Dr. Paul J. A. Kessler ( National Herbarium of Netherland, Director of Hortus Botanicus Leiden, Netherland), Dr. Michael Kessler (Univ.of Gottingen), Prof. Dr. H. Edi Guhardja (IPB) mendirikan Herbarium Celebense di Universitas Tadulako yang sekarang telah terdaftar pada international Indek Herbariorum New York dengan acronym CEB. Sejak 2000 menjadi Direktur Herbarium Celebense (CEB) sekaligus Laboratorium Ekotaksonomi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Tadulako. Sejak 2008-Sekarang sebagai Scientific Coordinator pada The Nature Conservancy (TNC) Palu office , Sulawesi. Aktif di berbagai organisasi ilmiah seperti PTTI (Penggalang Taksonomi Tumbuhan Indonesia) dan Persatuan Biologi Indonesia (Koordinator Cabang Sulawesi Tengah), International Society of Tropical Forestry, International Bryophytes Society and Flora Malesiana Foundation (member). Penulis aktif mengikuti berbagai pelatihan baik pada skala nasional ataupun Internasional. Mendapat pendidikan tambahan Internship Program Herbarium Management di Herbarium Bogoriense LIPI (6 bulan) dan Short Training in Plant taxonomy and Herbarium Management di National Herbarium of Netherland, Leiden Belanda selama 3 bulan dengan supervisor Prof. Pieter Baas dan DR. Paul J. A. Kessler. Pada tahun yang sama mengunjungi Herbarium Univ. of Gottingen, Jerman Department Systematic Botany untuk pelatihan Statistical Analyses for Biodiversity . Pada tahun 2008 mengikuti Research Fellow di Department of Vegetation Analyses, University of Gottingen, Jerman selama 1 bulan. Penulis juga aktif sebagai pemakalah di berbagai simposium baik nasional ataupun Internasional seperti : Land use, Nature Conservation and the Stability of Rainforest Margins in Southeast Asia Bogor, Indonesia (2002), The Sixth Flora Malesiana Symposium di Los Banos, Filipina (2004), International Symposium of STORMA Gottingen-Jerman (2005). Penulis telah mempublikasikan hasil penelitiannya diberbagai journal seperti : Checklist of Woody Plant of Sulawesi (Blumea, 2002), Catalogue of Bryophytes of Sulawesi ( Journal Hattory, 2005), Tree Diversity in Primary Forest and different land use System in Central Sulawesi, Indonesia (Biodiversity and Conservation, 2005), Biodiversity indicator taxa of tropical land-use systems: comparing plants, birds and insects. (Ecological Applications, 2005), Understory Plant Assemblages of Six land use Types in Central Sulawesi, Indonesia (Bangladesh Journal of Plant Taxonomy, 2008), Pengenalan Famili-famili Tumbuhan di Sulawesi (UNTAD Press) dan lain-lain.
DR. Ismet Khaeruddin. Lahir 27 September 1967. Menyelesaikan studi Sarjana Pertanian pada Universitas Tadulako Palu Indonesia tahun 1991. Pada tahun 1997, memperoleh Master of Management dari University of the Philippines at Los Banos, Los Banos, pada bidang Development Management. Pada bulan Juni tahun 2005. memperoleh gelar Doctor of Philosophy, dalam bidang Ilmu lingkungan (Environmental Science) khususnya pada Pengelolaan Sumberdaya alam dari University of the Philippines at Los Banos, Los Banos, the Philippines. Memperoleh pendidikan tambahan berupa pelatihan seperti : Training Conservation Training Week (CTW). The Nature Conservancy. Miami, Florida, USA (2001), Training on Economic Tools for Ecosystem Conservation. Conservation Strategy Fund, San Francisco, USA (2003), Resources Person. National Symposium on Participative Method of Natural Resources Management in Indonesia. CIDA, CARE and WWF. Jakarta. (2004) dan Training on Declining Frogs in Western Australia. The Earthwatch Institute and University of New Castle, Australia (2005) Pada tahun 1991. Manejer project pada Organic Farming System Development. PACTUSAID di Enklav Lindu Taman Nasional Lore Lindu . Pada tahun 1991 1995 menjadi Direktur Yayasan Ngata Anata (YANGATA), sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat Lokal yang bergerak dalam bidang konservasi dan pengembangan masyarakat khususnya pada pertanian organic dan pertanian lahan kering. Tahun 1992 menjadi asisten Professor di Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Pada tahun yang sama (1992) menjadi staf pengajar tetap pada Fakultas Pertanian Universitas Tadulako Palu sampai sekarang. Disamping sebagai dosen di Universitas Tadulako juga aktif dalam kegiatan konservasi Keanekaragaman Hayati, dimana sejak 2002-2007 bekerja sebagai Lore Lindu Program Manager pada The Nature Conservancy (TNC) dan sejak 2007 sampai sekarang bertindak sebagai Sulawesi Protected Area Manager. Aktif pada berbagai pertemuan ilmiah terutama dalam bidang konservasi Keanekaragaman hayati dan lingkungan sebagai resources person seperti : Conservation Partnership and Leadership (CPAL) workshop in Guilin, China. The Nature Conservancy China Country Program (2007), Conservation Action Planning Coach Training and Workshop. Di Port Douglas Australia (2007), Conservation Action Planning - Coach Training and Workshop. The Nature Conservancy. Bali Indonesia (2006), Lesson Learned Lore Lindu National Park Partnership Program and Strategy. First Asia Pacific Exchange Learning Program (APEX) The Nature Conservancy. Balikpapan, Indonesia (2007), National Seminar and Workshop on Biodiversity Conservation and Stability of Rain Forest Margin. Indonesian Sciences Institute (LIPI), Jakarta (2008) dan sebagai Resource Person. National Seminar on Protected Areas Management. Tadulako University - Palu, Central Sulawesi.
DR. Aiyen Tjoa. Lahir di Jambi, tanggal 01 Januari 1968. Gelar Doktornya (PhD) diperoleh dari Hohenheim University, Germany pada bidang Nutrisi Tanaman. Dr. Tjoa sebelumnya merupakan staf dosen pada Fakultas Pertanian di Universitas Jambi Sumatra, dan sejak tahun 1998 pindah ke Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Dalam program Post Doctoral yang dibiayai oleh KNAW- Netherlands sejak tahun 2007 melakukan identifikasi dan karakterisasi spesies tumbuhan lokal Sulawesi yang berpotensi menyerap logam Nikel dengan konsentrasi tinggi (Nickel Hyperaccumulating plant), dibawah supervisi Dr. Max Aarts dari grup molekular genetik Wageningen. Penulis juga tercatat memiliki kerjasama penelitian internasional dengan beragam universitas internasional terutama di Eropa pada bidang nutrisi tanaman dan kimia tanah. Selain aktif melakukan Tridarma Perguruan Tinggi terutama perkuliahan dan penelitian, beliau merupakan Staf Ahli Rektor Universitas Tadulako untuk bidang kerjasama domestik ataupun internasional, dibawah koordinasi Pembantu Rektor IV Universitas Tadulako. Memiliki hubungan kerjasama internasional dan aktif menulis proposal memungkinkan UNTAD menerima proyek bergengsi European Commission seperti Asia Link dan Erasmus External Window Cooperation dengan tujuan pengembangan kapasitas staf UNTAD. Lebih lanjut, Dr. Tjoa selain aktif melakukan penelitian dan publikasi memiliki keinginan besar untuk memajukan Universitas Tadulako dengan meningkatkan kapasitas staf melalui peningkatan jenjang sekolah terutama ke luar negeri dengan beasiswa yang diadakan melalui bidang kerjasama dan hibah bersaing.
Inam Fathoni Burhanuddin, S.Si. Lahir di Madiun, 11 Desember 1975, menyelesaikan pendidikan di Jurusan Botani Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada(UGM) pada tahun 1999. Selama kuliah aktif terlibat dalam kegiatan penelitian dan survey vegetasi baik dari lingkungan kampus Biologi UGM maupun dari luar kampus. Gelar sarjana diperoleh setelah melakukan studi pollen yang terendap di sedimen dasar danau Ranu Bedali Lumajang Jawa Timur. Tertarik dalam kegiatan alam bebas dan menjadi anggota kelompok pecinta alam Matalabiogama Fak Biologi UGM. Setelah menyelesaikan studi kemudian aktif di Yayasan Kanopi Indonesia Jogjakarta untuk pelestarian kehati. Saat ini aktif di NGO The Nature Conservancy kantor Palu Sulawesi Tengah untuk kampanye dan pendidikan konservasi serta penelitian keanekaragaman hayati di Taman Nasional Lore Lindu serta Cagar Alam Morowali Sulawesi Tengah.