Anda di halaman 1dari 42

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 2.1.1 Gizi Pengertian Gizi Kata gizi berasal dari bahasa Arab, gizzah, yang artinya zat makanan sehat. Untuk jadi sehat, setiap orang mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda tergantung pada usia dan kondisi tubuhnya. Jadi, anak balita berbeda kebutuhan gizinya dengan anak usia 7 sampai 9 tahun. Orang yang kurus tidak sama kebutuhan gizinya dengan orang yang gemuk (Irianto, 2004:16). Gizi (nutrition) adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi. Penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Sedangkan keadaan gizi adalah akibat dari keseimbangan antara konsumsi dan penyerapan zat gizi dan penggunaan zat gizi tersebut, atau keadaan fisiologis akibat dari tersedianya zat gizi dalam seluler tubuh (Supariasa, 2001: 17-18). Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorbsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan

untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan dan fungsi normal dari organ-organ, serta menghasilkan energi (http://ajago.blogspot.com). Ilmu gizi (nutrition sceine) adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal. Disatu sisi ilmu gizi berkaitan dengan makanan dan disisi lain dengan tubuh manusia (Almatsier, 2003:1). Manusia diizinkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa untuk hidup di muka bumi ini melangsungkan kehidupannya. Untuk itu, manusia memerlukan bahan-bahan asupan yang bisa dimanfaatkan. Manusia memerlukan makanan, dengan makanan yang ia makan, manusia memperoleh energi dan tenaga. Bahan makanan yang dibakar dalam setiap sel hidup membangun tubuh kita. Pembakaran dalam tubuh kita disebut oksidasi biologi. Di dalam proses oksidasi ini, selain dihasilkan energi juga dihasilkan kalor untuk menjaga suhu tubuh agar tetap stabil (Irianto, 2004:16). Yang dimaksud dengan makanan ialah segala sesuatu yang dipakai atau yang dipergunakan oleh manusia supaya dapat hidup. Zat makanan yang diperlukan oleh tubuh manusia meliputi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral, dan air (Irianto, 2004:16). Makan makanan yang beranekaragam sangat bermanfaat bagi kesehatan. Makanan yang beranekaragam yaitu makanan yang mengandung unsur-unsur zat gizi yang diperlukan tubuh baik kualitas maupun kuantitasnya, dalam pelajaran ilmu gizi biasa disebut triguna makanan yaitu,

makanan yang mengandung zat tenaga, pembangun dan zat pengatur. Apabila terjadi kekurangan atas kelengkapan salah satu zat gizi tertentu pada satu jenis makanan, akan dilengkapi oleh zat gizi serupa dari makanan yang lain. Jadi makan makanan yang beraneka ragam akan menjamin terpenuhinya kecukupan sumber zat tenaga, zat pembangun dan zat pengatur (http://ajago.blogspot.com). Makanan sumber zat tenaga antara lain: beras, jagung, gandum, ubi kayu, ubi jalar, kentang, sagu, roti dan mi. Minyak, margarin dan santan yang mengandung lemak juga dapat menghasilkan tenaga. Makanan sumber zat tenaga menunjang aktivitas sehari-hari (http://ajago.blogspot.com). 2.1.2 Ruang Lingkup Gizi Bila dikaji pengertian ilmu gizi lebih mendalam, dapat disimpulkan bahwa ruang lingkupnya cukup luas. Pengertian ilmu gizi dimulai dari cara produksi pangan (agronomi dan peternakan); perubahan-perubahan yang terjadi pada tahap pasca panen dari mulai penyediaan pangan , distribusi dan pengelolaan pangan; konsumsi makanan; dan cara-cara pemanfaatan makanan oleh tubuh dalam keadaan sehat dan sakit. Oleh karena itu, ilmu gizi sangat erat kaitannya dengan ilmu-ilmu agronomi, peternakan, mikrobiologi, biokimia, faal, biologi molekular dan kedokteran. Karena konsumsi makanan dipengaruhi oleh kebiasaan makan, perilaku makan dan keadaan ekonomi maka ilmu gizi juga berkaitan dangan ilmu-ilmu sosial seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan ekonomi (Almatsier, 2003:04).

2.1.3

Perkembangan Ilmu Gizi Ilmu gizi merupakan ilmu yang relatif baru. Pengetahuan pertama ilmu gizi sebagai cabang ilmu yang berdiri sendiri terjadi pada tahun 1926 M ketika Mary Swartz Rose dikukuhkan sebagai Profesor Ilmu Gizi pertama di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Namun perhatian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan makanan sesungguhnya sudah terjadi sejak lama (Almatsier, 2003:04).

2.1.4

Penilaian Status Gizi Pada prinsipnya, penilaian status gizi anak serupa dengan penilaian pada periode kehidupan yang lain. Pemeriksaan yang perlu lebih diperhatikan tentu saja bergantung pada bentuk kelainan yang bertalian dengan kejadian penyakit tertentu. Kurang kalori protein, misalkan, lazim menjangkiti anak. Oleh karena itu, pemeriksaan terhadap tanda dan gejala ke arah sana termasuk pula kelainan lain yang menyertainya perlu dipertajam (Arisman, 2004:59). Pemeriksaan klinis diarahkan untuk mencari kemungkinan adanya bintik bitot, xerosis konjungtiva, anemia, pembesaran kelenjar parotis, kheilosis angular, fluorosis, karies, gondok, serta hepato dan splenomegali (Arisman, 2004:59). Penilaian antropometris yang penting dilakukan ialah penimbangan berat dan pengukuran tinggi badan, lingkar lengan, dan lipatan kulit triseps. Pemeriksaan ini penting, terutama pada anak prasekolah yang berkelas ekonomi dan sosial rendah. Pengamatan anak usia sekolah dipusatkan

terutama pada percepatan tumbuh. Uji pertumbuhan pada usia golongan ini setidaknya diselenggarakan setahun sekali, karena laju pertumbuhan pada fase ini relatif lambat. Sebagai patokan, pertambahan berat anak usia 5-10 tahun berkisar sampai 10%-nya, sementara tinggi badan hanya bertambah sekitar 2 cm setahun (Arisman, 2004:59). Uji biokimiawi yang penting ialah pemeriksaan kadar hemoglobin, serta pemeriksaan apusan darah untuk malaria. Pemeriksaan tinja cukup hanya pemeriksaan occult blood dan telur cacing saja (Arisman, 2004:59). Berdasarkan penilaian status gizi tersebut maka dikelompokan menjadi gizi baik, gizi kurang, gizi lebih, dan gizi buruk. Gizi buruk adalah kondisi kurang gizi yang disebabkan rendahnya konsumsi energi dan protein dalam asupan makanan sehari-hari. Seorang penderita gizi buruk tidak mendapatkan minimum Angka Kecukupan Gizi (AKG) (http:www.kompasmobile.com). 2.1.5 Makanan untuk Balita Anak balita adalah kelompok 1-5 tahun. Dan kelompok ini dipisahkan antara kelompok 1-3 tahun dan kelompok usia 3-5 tahun (Irianto, 2004:71). Makanan anak usia 1-3 tahun banyak tergantung pada orang tua atau pengasuhnya, karena anak-anak ini belum dapat menyebutkan nama masakan yang dia inginkan. Orang tuanyalah yang memilihkan untuk anak. Jadi, dapat dikatakan bahwa tumbuh kembang anak usia 1-3 tahun sangat tergantung pada bagaimana orang tuanya mengatur makanan anaknya (Irianto, 2004:71).

Berbeda dengan anak kelompok usia 3-5 tahun, mereka sudah mulai dapat memilih apa yang disukai, dapat menyebutkan nama masakan yang pernah ia dengar namanya. Yang penting disini, orang tua harus bijaksana tentang makanan apa yang sebaiknya diperkenalkan pada mereka (Irianto, 2004:71). Bimbinglah mereka agar menyukai makanan lengkap 4 sehat 5 sempurna. Makanan yang mengandung semua zat gizi sesuai kebutuhan (mencakup karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral). Nutrisi yang baik membantu pertumbuhan yang optimal. Perlu disadari, bahwa pada masa balita terjadi pertumbuhan fisik maupun mental yang sangat cepat. Simaklah tumbuh kembang mereka, tinggi dan berat badannya yang begitu cepat bertambah. Kepandaiannya dan kelincahannya yang makin jelas tampak. Ini semua akan gagal bila orang tua keliru memberi makanannya sehari-hari (Irianto, 2004:71).

2.1.6

Zat Gizi yang dibutuhkan Oleh Balita

2.1.6.1 Energi Zat gizi yang mengandung energi adalah terdiri dari protein, lemak dan karbohidrat. Tiap gram protein dan karbohidrat memberi energi

sebanyak 4 kilo kalori, sedangkan tiap gram lemak 9 kilo kalori. Energi

yang diperlukan adalah 50-60% lemak dan 10-15% protein (Erna Francin Paath Et, All, 2005:108). 2.1.6.2 Protein Dianjurkan untuk memberi 2,5-3 gram tiap kilo gram berat badan balita. Protein yang mengandung kualitas adalah protein hewani (Erna Francin Paath Et, All, 2005:108). 2.1.6.3 Mineral dan Vitamin Sumber yang baik untuk mineral dan vitamin adalah susu sapi. Tiap 500-600 ml susu sapi mengandung lebih 0,7-0,8 gram kalsium dan posfor yang berguna untuk membentuk tulang dan gigi (Erna Francin Paath Et, All, 2005:108). 2.1.6.4 Cairan Pada umumnya anak sehat memerlukan 1000-1500 ml air setiap harinya. Pada keadaan sakit seperti infeksi dengan suhu tubuh tinggi, diare atau muntah masukan cairan haruslah ditingkatkan untuk menghindari kekurangan cairan (Erna Francin Paath Et, All, 2005:108). Adapun zat-zat yang baik yang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Harus cukup memberikan kalori 2. Harus ada perbandingan yang baik antara zat makanan pokok, yakni karbohidrat, protein, dan lemak 3. Protein yang masuk harus cukup banyak dan mengandung asam amino 4. Harus cukup mengandung vitamin

5. Harus cukup mengandung garam mineral 6. Harus mudah dicerna oleh alat pencernaan 7. Harus bersifat higienis. (Irianto, dkk, 2004:17) 2.1.7 Gangguan Gizi Akibat Kekurangan Kalori dan Protein (KKP) Kurang Kalori Protein (KKP) akan terjadi manakala kebutuhan tubuh akan kalori, protein, atau keduanya tidak tercukupi oleh diet. Kedua bentuk defisiensi ini tidak jarang berjalan bersisian, meskipun salah satu lebih dominan ketimbang yang lain (Arisman, 2004:92). Kurang energi protein dikelompokkan menjadi KKP primer dan sekunder. Ketiadaan pangan melatarbelakangi KKP primer yang

mengakibatkan berkurangnya asupan. Penyakit yang menyebabkan pengurangan asupan, gangguan serapan dan utilisasi pangan serta peningkatan kebutuhan (dan atau kehilangan) akan zat gizi, dikategorikan sebagai KKP sekunder (Arisman, 2004:92). Keparahan KKP berkisar dari hanya penyusutan berat badan, atau terlambat tumbuh, sampai ke sindrom klinis yang nyata, dan tidak jarang berkaitan dengan defisiensi vitamin serta mineral (Arisman, 2004:92). Istilah KKP digunakan untuk menggambarkan berbagai tindakan klinis dari gangguan gizi yang telah terjadi. Berdasarkan berat ringan gejala klinis yang terjadi, KKP dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu KKP ringan, KKP sedang dan KKP berat (Sjahmin, 2002:80). 1. KKP Derajat Ringan dan Sedang

Gambaran klinis KKP ringan sampai sedang ialah penyusutan berat badan yang disertai dengan penipisan jaringan lemak bawah kulit. Jika KKP berlangsung menahun, pertumbuhan memanjang akan terhenti sehingga anak akan bertubuh pendek. Kegiatan fisik dan keluaran energi anak berkurang, disamping itu berlangsung pula perubahan pada fungsi kekebalan, saluran pencernaan, dan kebiasaan (Arisman, 2004:101). 2. KKP Berat Ada dua bentuk KKP berat yaitu marasmus dan kwashiorkor 1) Kwashiorkor disebabkan karena kekurangan protein. Tanda-tanda utama: a. Adanya oedema terutama pada kaki b. Wajah yang memelas c. Muka bundar bak bulan purnama d. Warna rambut pirang dan mudah lepas e. Otot tubuh tidak berkembang dengan baik 2) Marasmus disebabkan oleh kekurangan karbohidrat. Tanda-tanda utama: a. Otot-otot mengecil b. Hampir tidak ada lapisan lemak di bawah kulit c. Wajah tampak tua d. Berat badan sangat kurang 2.1.7.1 Langkah-langkah Pencegahan Terjadinya KKP Pada Usia Balita.

Penyebab utama terjadinya KKP yaitu tidak sesuainya zat gizi yang diperoleh dari makanan dengan kebutuhan tubuh. Akan tetapi biasanya kejadiaan KKP bukanlah akibat satu sebab saja, melainkan ada penyebabpenyebab lain yang mendorong terjadinya KKP. Adanya berbagai penyakit infeksi pada anak seperti campak, diare yang hebat akan mendorong anak menjadi KKP (Sjahmin M, 2002). Oleh karena itu, langkah-langkah untuk mencegah terjadinya KKP pada anak usia balita (bawah 5 tahun) menurut Sjahmin M merupakan gabungan dari beberapa tindakan pencegahan. Seperti berikut: 1. Pemberian air susu ibu (ASI) secara baik dan tetap disertai pengawasan berat badan bayi secara teratur dan terus menerus. 2. Menghindari pemberian makanan buatan kepada anak untuk mengganti air susu sepanjang ibu masih mampu menghasilkan ASI terutama di bawah usia enam bulan. 3. Dimulainya pemberian makanan tambahan mengandung berbagai macam zat gizi (kalori, protein, vitamin, dan mineral) secara lengkap sesuai dengan kebutuhan, juga menambah ASI mulai bayi mencapai usia 6 bulan. 4. Pemberian kekebalan melalui imunisasi guna melindungi anak dari kemungkinan anak menderita infeksi tertentu seperti tuberkulosa, difteri, polio, tetanus, batuk rejan, campak, dan sebagainya. 5. Melindungi anak dari kemungkinan menderita diare (muntaber) dan kekurangan cairan (dehidrasi) dengan jalan menjaga kebersihan,

menggunakan air masak untuk minum, dan mencuci alat pembuat susu dan makan bayi serta penyediaan oralit. 6. Mengatur jarak kehamilan agar ibu cukup waktu untuk merawat dan mengatur makanan bayinya terutama pemberian ASI, yang apabila ibu mulai hamil produksi ASI akan berhenti. 2.1.7.2 Cara Penanganan KKP Berat Pasien yang menderita KKP tanpa penyulit sangat dianjurkan untuk dirawat di rumah saja. Menginap di rumah sakit justru meningkatkan resiko infeksi silang, sementara suasana yang berlainan dengan keadaan rumah menyebabkan anak merasa diasingkan; kondisi tersebut menyuburkan suasana apatis sekaligus memperburuk anoreksia yang pernah ada. Penjerumusan ke rumah sakit tidak bisa dihindarkan lagi jika keadaan penderita dapat mengancam jiwanya. Kondisi demikian hanya berlangsung pada KKP yang parah (Arisman, 2004:105). Secara garis besar, penanganan KKP berat dikelompokan menjadi pengobatan awal, dan rehabilitasi. Pengobatan awal ditujukan untuk mengatasi keadaan yang mengancam jiwa, sementara fase rehabilitasi diarahkan untuk memulihkan keadaan gizi. Yang pertama dimulai sejak pasien tiba di rumah sakit hingga kondisi anak stabil dan nafsu makan pulih. Fase ini biasanya berlangsung selama 2-7 hari. Jika lebih dari 10 hari keadaan pasien tidak juga pulih, berarti diperlukan upaya tambahan (Arisman, 2004:105). Upaya pengobatan awal meliputi:

1. Pengobatan atau pencegahan terhadap hipoglikemia, hipotermia, dehidrasi, dan pemulihan ketidakseimbangan elektrolit. 2. Pencegahan jika ada ancaman atau perkembangan renjatan septik. 3. Pengobatan infeksi 4. Pemberian makanan. 5. Pengidentifikasian dan pengobatan masalah lain seperti kekurangan vitamin, anemia berat, dan payah jantung. Penilaian dehidrasi sulit dilaksanakan karena tanda klasik dehidrasi (bola mata cekung, dan turgor kulit berkurang) kerap ada pada pasien yang keadaan hidrasinya tidak terganggu, sementara hipovolemia tidak jarang terjadi bersamaan dengan edema bawah kulit (Arisman, 2004:105-106). 2.1.8 Akibat Gangguan Gizi Pada Balita Konsumsi makanan sangatlah berpengaruh terhadap status gizi. Status gizi yang baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan perilaku baik (Almatsier, 2003:11). Pengaruh gangguan gizi yang terjadi pada proses dalam tubuh, diantaranya sebagai berikut: 2.1.8.1 Akibat Gizi Kurang Pada Proses Tubuh Akibat kurang gizi terhadap tubuh bergantung pada zat-zat apa yang kurang. Kekurangan gizi secara umum (makanan kurang dalam kualitas dan kuantitas) menyebabkan gangguan pada proses pertumbuhan (Almatsier, 2003:11).

1.

Pertumbuhan Anak-anak tidak tumbuh menurut potensialnya. Protein

digunakan sebagai pembakar, sehingga otot-otot menjadi lembek dan rambut mudah rontok (Almatsier, 2003:11). 2. Produksi Tenaga Kekurangan energi berasal dari makanan menyebabkan seseorang kekurangan tenaga untuk bergerak, bekerja dan melakukan aktivitas. Orang menjadi malas, merasa lemah, dan produktivitasnya menurun (Almatsier, 2003:11). 3. Pertahanan Tubuh Daya tahan terhadap tekanan atau stress menurun. Sistem imunitas dan antibodi berkurang, sehingga orang mudah terserang infeksi seperti filek, batuk, dan diare. Pada anak-anak hal ini dapat menimbulkan kematian (Almatsier, 2003:11). 4. Struktur dan Fungsi Otak Kurang gizi pada usia muda dapat berpengaruh terhadap perkembangan mental, dengan demikian kemampuan berpikir otak mencapai bentuk maksimal pada usia dua tahun. Kekurangan gizi dapat berakibat terganggunya fungsi otak secara permanen (Almatsier, 2003:11). 5. Perilaku

Bagi anak-anak maupun orang dewasa yang kurang gizi menunjukkan perilaku tidak tenang, mereka mudah tersinggung, cengeng dan apatis (Almatsier, 2003:11). Dengan keterangan di atas tampak bahwa gizi yang baik merupakan modal bagi perkembangan sumber daya manusia

(Almatsier, 2003:11). 2.1.8.2 Akibat Gizi Lebih Pada Proses Tubuh Gizi lebih menyebabkan kegemukan atau obesitas. Kelebihan energi yang dikonsumsi disimpan di dalam jaringan dalam bentuk lemak. Kegemukan merupakan salah satu faktor resiko dalam terjadinya berbagai penyakit degeneratif, seperti hipertensi atau tekanan darah tinggi, penyakitpenyakit diabetes, jantung koroner, hati dan kandung empedu (Almatsier, 2003:11). 2.1.9 Langkah-langkah Membuat Status Gizi Balita Meningkat Puslitbang Gizi Departemen Kesehatan menemukan sebuah konsep bagaimana mengulangi masalah kekurangan gizi pada balita. Trintin (Ketua Puslitbang Bogor) menjelaskan ada 6 langkah dalam meningkatkan status gizi balita, yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. Pengorganisasian Pelatihan Penimbangan balita Penyuluhan gizi Pemberian makanan tambahan (PMT)

6.

Penggalangan dana untuk pengadaan PMT Tujuan dari langkah-langkah tersebut adalah diperolehnya suatu modal pemberdayaan masyarakat untuk KEP (Kurang Energi Protein) pada balita (http://www.kompasmobile.com). 2.1 Balita 2.2.1 Pengertian Balita Bawah Lima Tahun atau sering disingkat sebagai Balita merupakan salah satu periode usia manusia setelah bayi sebelum anak awal. Rentang usia balita dimulai dari dua sampai dengan lima tahun, atau biasa digunakan perhitungan bulan yaitu usia 24-60 bulan. Periode usia ini disebut juga sebagai usia prasekolah (http://id.wikipedia.org/wiki/Balita). Pertumbuhan balita dapat diamati secara cermat dengan menggunakan kartu menuju sehat (KMS) balita. Kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan menilai status gizi. Berbeda dengan KMS yang diedarkan Depkes RI sebelum tahun 2000, garis merah pada KMS versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda gizi buruk, melainkan garis kewaspadaan. Manakala berat badan balita tergelincir di bawah garis ini, petugas kesehatan harus melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap indikator antropometrik lain (Irianto, 2004:16). Ada beberapa faktor yang menimbulkan keperluan gizi untuk bayi dan balita yaitu memelihara dan mempertahankan jaringan tubuh, perbaikan jaringan baru, variasi individual dan aktivitas tubuh. Setiap ada sel atau jaringan yang rusak ini diperlukan gizi yang baik dan seimbang, di mana

adanya pembentukan jaringan baru maka terjadilah proses tumbuh kembang anak, pembentukan jaringan ini juga yang tampak sebagai kenaikan berat badan anak ( Depkes RI, 1993 ). Anak yang berumur 1-3 tahun akan mengalami pertambahan berat sebanyak 2-2,5 kg, dan tinggi sebesar rata-rata 12 cm setahun (tahun kedua 12 cm, ketiga 8-9 cm). Berat badan baku dapat pula mengacu pada baku berat badan dan tinggi badan dari WHO/NCHS, atau rumus perkiraan berat badan anak: berat badan anak usia 1-6 tahun = [usia x 2 + 8]. Dengan demikian, berat badan anak 1 sampai 3 tahun masing-masing 10, 12, dan 14 kg (Arisman, 2004:55). Dengan baku WHO-NCHS, rata-rata berat anak usia 1, 2, dan 3 tahun berturut-turut 10,2; 12,6; dan 14,7 kg untuk anak pria, sementara wanita 9,5; 11,9; dan 13,9 kg. Tinggi badan pria masing-masing 76,1; 87,6; dan 96,5 cm. Tinggi badan wanita berturut-turut 74,3; 86,5; dan 95,6 cm. Jika dibandingkan dengan tinggi badan yang dihitung dengan rumus, hasilnya tidak jauh berbeda (Arisman, 2004:55). Pertambahan berat anak usia prasekolah berkisar antara 0,7-2,3 kg dan tinggi 0,9-1,2 cm/tahun sehingga menyebabkan tubuh mereka tampak kurus. Berat pada usia 7-10 tahun bertambah sekitar 2 kg dan tinggi badan 5-6 cm setiap tahun. Menjelang puber pertambahan berat dapat mencapai 44,5 kg setahun (Arisman, 2004:55). Perkembangan mental anak dapat dilihat dari kemampuannya mengatakan tidak terhadap makanan yang ditawarkan. Penolakan itu

tentu saja tidak boleh dijadikan alasan oleh para orang tua untuk memulai perang di meja makan, karena ketegangan justru akan memicu dan memacu sikap yang lebih defensif. Ada baiknya diadakan kompromi, anak diberi pilihan satu atau dua macam makanan (Arisman, 2004:55). Pada banyak penelitian dilaporkan bahwa pada usia ini kebanyakan anak hanya mau makan satu jenis makanan selama satu minggu (food jag). Orang tua tidak perlu gusar, asal makanan tersebut dapat memenuhi kebutuhan gizi anak. Sementara itu, orang tua (atau pengasuh anak) tidak boleh jera menawarkan kembali jenis makanan lain setiap kali makan (Arisman, 2004:55). 2.2.2 Pemantauan Pertumbuhan Balita Pertumbuhan balita dapat diamati secara cermat dengan menggunakan kartu menuju sehat (KMS) balita. Kartu menuju sehat berfungsi sebagai alat bantu pemantauan gerak pertumbuhan, bukan menilai status gizi. Berbeda dengan KMS yang diedarkan Depkes RI sebelum tahun 2000, garis merah pada KMS versi tahun 2000 bukan merupakan pertanda gizi buruk, melainkan garis kewaspadaan. Manakala berat badan balita tergelincir di bawah garis ini, petugas kesehatan harus melakukan pemeriksaan lanjutan terhadap indikator antropometrik lain (Irianto, 2004:16). 2.3 2.3.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kasus Gizi Buruk pada Balita Pengetahuan

2.3.1.1 Pengertian Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu (Notoatmodjo, 2003:121). Pengetahuan disini adalah tentang gizi pada balita dimana pengetahuan ibu yang baik dapat menurunkan angka gizi buruk pada balita (Tarwota dan Wartonah, 2006:78). Dengan demikian yang dimaksud dengan pengetahuan disini adalah pengetahuan ibu tentang gizi buruk, sehingga angka kejadian gizi buruk dapat dihindari. 2.3.1.2 Enam Tingkatan Pengetahuan:
1. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan dan menyatakan (Notoatmodjo, 2003:121).
2. Memahami (comprehensif)

Memahami

diartikan

sebagai

suatu

kesimpulan

untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui (Notoatmodjo, 2003: 21). 3. Aplikasi Diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi real (Notoatmodjo, 2003:121).

4. Analisis (Analysis)

Dapat diartikan suatu kemampuan untuk menyebarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam suatu organisasi dan masih ada kaitannya (Notoatmodjo, 2003:121).
5. Sintesis (Syntesis)

Sintesis menunjukan kepada suatu kemampuan untuk meletakan atau menghubungkan bagian-bagian dari dalam suatu bentuk

keseluruhan yang baru (Notoatmodjo, 2003:121).


6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penelitian terhadap suatu objek atau materi

(Notoatmodjo, 2003:121). 3.2.1.3 Ketidaktahuan Orang Tua akan Hubungan Makanan dan Kesehatan Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari sering terlihat keluarga yang sungguhpun berpenghasilan cukup akan tetapi makanan yang dihidangkan seadanya saja. Dengan demikian, kejadian gangguan gizi tidak hanya ditemukan pada keluarga yang berpenghasilan kurang akan tetapi juga pada keluarga yang berpenghasilan relatif baik (cukup). Penelitian yang dilakukan oleh Freedman di Kelurahan Hutan Kayu, Jakarta menunjukan bahwa makanan keluarga yang berpenghasilan relatif baik, tidak banyak berbeda mutunya jika dibandingkan dengan makanan keluarga yang

berpenghasilan rendah. Keadaan ini menunjukan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh merupakan sebab buruknya mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan anak Balita (Sjahmin M, 2002).

2.3.2

Pendidikan

2.3.2.1 Pengertian Pendidikan Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan dalam bidang kesehatan (Notoatmodjo, 2003:16). Seseorang dapat dikatakan belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan. Bertitik tolak dari konsep pendidikan kesehatan itu juga proses pendidikan dan proses belajar pada individu, kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu dan mampu mengatasi masalah-masalah

kesehatannya sendiri (Notoatmodjo, 2003:121). Dengan demikian pemahaman seseorang terhadap suatu masalah dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang. Artinya semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin kecil kemungkinan balitanya menderita gizi buruk (Tarwota dan Wartonah, 2006:78-79).

2.3.3

Sosial Ekonomi

2.3.3.1 Pengertian Sosial Ekonomi Adalah penghasilan keluarga dalam satu bulan yang didapat dari bekerja dalam bentuk nominal dan dikelompokan dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Kemiskinan merupakan bagian dari status sosial ekonomi yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (http://www.kompasmobile.com). 2.3.3.2 Akibat Sosial Ekonomi Rendah Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah gizi buruk. Data di Indonesia dan di negara lain menunjukan adanya hubungan antara kurang gizi dan kemiskinan. Proporsi anak yang bergizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi presentase anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin kecil presentasenya (http://www.kompasmobile.com). Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan. Sungguhpun demikian, hendaklah di kesampingkan anggapan bahwa makanan yang memenuhi persyaratan gizi hanya mungkin disajikan di lingkungan keluarga yang berpenghasilan

cukup saja. Pengetahuan tentang kadar zat gizi dalam berbagai bahan makanan, kegunaan makanan bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Sjahmin M, 2002). Disamping itu kemanfaatan sumber daya keluarga secara baik dan berdaya guna akan dapat membantu keluarga sehingga memungkinkan keluarga yang berpenghasilan terbatas pun mampu menghilangkan makanan yang cukup memenuhi syarat gizi bagi anggota keluarganya. Usaha-usaha praktis yang dapat dilakukan di lingkungan keluarga, seperti pemanfaatan tanah pekarangan untuk ditanami sayur mayur atau beternak unggas, atau membuat kolam ikan kecil-kecilan akan dapat membantu mencukupi kebutuhan bahan makanan bagi keluarga. Baik di kota maupun pedesaan, kegiatan-kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok PKK (Perkumpulan Kesejahteraan Keluarga) adalah bertujuan untuk mendaya gunakan berbagai sumber daya yang dimiliki keluarga (Sjahmin M., 2002).

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN METODE PENELITIAN


3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian merupakan pola pikir yang

dikembangkan berdasarkan materi pengetahuan pada kerangka teori untuk penyelesaian permasalahan penelitian (Notoatmodjo, 2002:70). Kerangka konsep penelitian ini menggambarkan hubungan antara variabel bebas yang meliputi pengetahuan, pendidikan, dan sosial ekonomi terhadap variabel terikat yaitu status gizi (Notoatmodjo, 2002:70). 3.1.1 Visualisasi Kerangka Konsep Dengan demikian variabel-variabel yang akan penulis teliti digambarkan dalam kerangka konsep sebagai berikut :

Variabel Bebas (Independen) Variabel Terikat (Dependen) Pengetahuan Pendidikan Sosial Ekonomi Status Gizi

3.1

Kerangka Konsep faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo Tahun 2010

3.1.2

Hipotesis Berdasarkan kerangka konsep di atas, maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut:

3.1.2.1 Ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010. 3.1.2.2 Ada hubungan antara pendidikan ibu dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010. 3.1.2.3 Ada hubungan antara sosial ekonomi dengan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010. 3.1.3 Variabel Penelitian Varibel penelitian mengandung pengertian yaitu ukuran atau ciri-ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki kelompok lain (Notoatmodjo, 2002:70). Variabel dibedakan menjadi 2 bagian yaitu variabel dependen (variabel yang dipengaruhi variabel lain), dan variabel independen (variabel yang mempengaruhi variabel lain). Dalam penelitian ini variabel yang dapat digunakan adalah dependen dan independen. Variabel independen adalah pengetahuan, pendidikan, dan sosial ekonomi, sedangkan variabel dependen ialah status gizi.

3.2 Definisi Operasional Untuk memperjelas dari sikap penetapan variabel perlu diberikan definisi operasional tentang variabel. Yang dimaksud definisi operasional adalah batasan pada variabel-variabel yang diamati dan diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamatan terhadap variabelvariabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat ukur (Notoatmodjo, 2002:46). Tabel 3.1. Definisi Operasional
No 1. Variabel Status gizi Definisi Operasional Status kesehatan yang dihasilkan oleh keseimbangan antara kebutuhan dan masukan nutrien Cara Ukur Membandingkan berat badan balita dengan standar rujukan WHO/NC 2. Pengetahuan Pemahaman ibu tentang masalah gizi yang diukur berdasarkan nilai jawaban HS Penyebaran kuesioner Alat Ukur Standar rujukan WHO/NC HS Hasil Ukur 0. Status gizi buruk: jika berat badan balita < -3SD 1. Status gizi baik: jika berat badan balita - 2 SD sampai + 2 SD Kuesioner 0. Kurang, jika nilai pengetahuannya < median 1. Baik, jika nilai pengetahuannya median Ordinal Skala Ukur Ordinal

3.

Pendidikan

Jenjang atau tingkat pendidikan formal yang telah diselesaikan oleh ibu

Penyebaran kuesioner

Kuesioner 0. Pendidikan rendah: tidak sekolah, SD atau sederajat, SLTP atau sederajat. 1. Pendidikan tinggi: SMA atau sederajat, perguruan tinggi.

Ordinal

4.

Sosial Ekonomi

Penghasilan keluarga dalam satu bulan yang didapat dari bekerja dalam bentuk nominal berdasarkan UMR Kabupaten Kecamatan Mejobo tahun 2010.

Penyebaran kuesioner

Kuesioner 0. Penghasilan rendah, jika pendapatan < Rp. 684.000.-

Ordinal

1. Penghasilan
tinggi, jika pendapatan Rp. 684.000.-

3.3 Metode Penelitian 3.3.1 Desain Penelitian Desain penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan cross sectional dimana variabel-variabel yang termasuk faktor resiko dan variabel-variabel yang termasuk efek diobservasi sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2002 : 145-146).

3.3.2

Populasi dan Sampel

3.3.2.1 Populasi Populasi penilitian adalah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik pelajaran (Sugiyono, 2004:55). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010. 3.3.2.2 Sampel Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2002:79). Besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut: Z [ P (1 P1 ) + P2 (1 P2 )] n = 1 a / 2 1 d2
2

Keterangan : n Z 1 a / 2 P1 P2 d
2

= Besar sampel = Derajat kepercayaan 95% (1,96) = Diasumsikan 10% = Diasumsikan 50% = Presisi mutlak 5%

n=

Z 1 a / 2 [ P1 (1 P1 ) + P2 (1 P2 )] d2
2

n=

1,96 2 [ 0,1(1 0,1) + 0,5(1 0,5)] 0,05 2 3,84 ( 0,1 0,9 ) + 0,5(0,5) 0,0025 3,84.0,09 + 0,25 0,0025 0,3456 + 0,25 0,0025 0,5956 0,0025

n = 238.24 238 Data hasil perhitungan penentuan jumlah sampel di atas, maka diambil sampel sebanyak 238 orang. 3.3.2.3 Teknik Pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Accidental Sampling. Pengambilan sampel secara aksidental (accidental) ini dilakukan dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia. Bedanya dengan porposive sampling adalah kalau sampel yang diambil secara porposive berarti dengan sengaja mengambil atau memilih kasus atau responden. Sedangkan sampel yang diambil secara aksidental berarti sampel diambil dari reponden atau kasus yang kebetulan ada (Notoatmodjo, 2002 : 89).

Teknik pengambilan data ini menggunakan data primer yaitu data yang didapat langsung melalui penyebaran kuesioner. 3.4 3.4.1 Metode Pengolahan Data dan Analisa Data Metode pengolahan Data Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut. 3.4.1.1 Editing Date Dalam tahap editing ini dilakukan pemeriksaan, antara lain kelengkapan, konsistensi dan kesesuaian jawaban responden. Dalam editing dilakukan penggantian atau penaksiran atas jawaban responden. 3.4.1.2 Codding Pemberian tanda atau kode sesuai jawaban yang diberikan oleh responden. Kode tersebut disusun kembali dalam lembaran-lembaran ke dalam kode tersendiri untuk pedoman dalam analisis data dan penulisan laporan. 3.4.1.3 Scoring Penilaian data dengan memberikan skor pada setiap pertanyaan dan tahap ini meliputi nilai untuk masing-masing pertanyaan dan penjumlahan hasil scoring dan semua pertanyaan. 3.4.1.4 Entry Date Memasukan data baik melalui manual atau komputer. 3.4.1.5 Cleaning Date Pembersihan data dilakukan bertujuan menghilangkan data yang tidak perlu dan mengganggu proses analisis. 3.4.2 Analisis Data

Data yang diperoleh kemudian dianalisa dengan melakukan penyelesaian data sesuai dengan kriteria yang ada, analisa data untuk penelitian dengan menggunakan perangkat lunak statistik dengan program SPSS. Langkah-langkah analisis data yang akan dilakukan penelitian adalah: 3.4.2.1 Analisis Bivariat Analisis ini bertujuan untuk melihat hubungan dua variabel, yaitu variabel independen dengan dependen, dalam hal ini variabel independen adalah pengetahuan, pendidikan, dan sosial ekonomi. Sedangkan variabel dependen adalah status gizi. Analisis bivariat dalam penelitian ini dengan menggunakan uji chisquare dengan menggunakan rumus : X2 = Keterangan : X = Chi kuadrat O = Observasi E = Nilai ekspektasi = Jumlah (O E ) 2 E

Keputusan uji dengan menggunakan (0,05) dalam kepercayaan 99%

a.

Apakah p value < (0,05) maka Ho ditolak artinya ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

b.

Apakah p value > (0,05) maka Ho gagal tolak artinya tidak ada hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat.

3.5

Waktu dan Tempat Penelitian Tempat penelitian yaitu di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo. Waktu penelitian yaitu bulan Maret 2010 sampai dengan bulan Mei 2010.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Penelitian Penelitian dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo sebanyak 238 orang dan jumlah sampel yang didapat sebanyak 198 orang. 4.2 4.2.1 Analisis Bivariat Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010 Hasil analisis bivariat variabel pengetahuan ibu dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo Tahun 2010, dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.1 Hubungan Pengetahuan Ibu dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010
Status Gizi Pengetahuan Gizi Buruk n Kurang Baik Jumlah 23 16 39 % 59.0 41.0 100 Gizi Baik n 46 113 159 % 28.9 71.1 100 Jumlah n 69 129 198 % 34.8 65.2 100 0.001 value Ket OR 3.53
CI 95% 1.177.28

37

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, dapat dilihat bahwa ibu pengetahuan kurang dengan balita gizi buruk sebesar 23 orang (59,0), sedangkan ibu pengetahuan baik dengan balita gizi buruk sebesar 16 orang (41,0%). Hal tersebut menunjukkan proporsi ibu balita pengetahuan kurang dan balita gizi buruk lebih besar dibandingkan dengan ibu balita pengetahuan baik dan balita gizi buruk. Hasil analisa penghitungan statistik dengan uji chi-square diperoleh value = 0,001 dengan nilai = 0,05 ( < ) yang berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima dengan demikian terdapat hubungan antara pengetahuan dengan status gizi pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010. Dari hasil analisis statistik diperoleh nilai OR = 3,53 dengan demikian ibu dengan pengetahuan kurang memiliki resiko terjadinya gizi buruk pada balita lebih besar 3,53 kali dibandingkan ibu pengetahuan baik. 4.2.2 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010 Hasil analisis bivariat variabel pendidikan ibu dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo Tahun 2010, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 4.2 Hubungan Pendidikan Ibu dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010
Status Gizi Pendidikan Gizi Buruk n Rendah Tinggi Jumlah 34 5 39 % 87.2 12.8 100 Gizi Baik n 100 59 159 % 62.9 37.1 100 Jumlah N 134 64 189 % 67.7 32.3 100 0.007 value Ket OR 4.01
CI 95% 1.4810.82

Berdasarkan Tabel 4.2 di atas, dapat dilihat ibu pendidikan rendah dengan balita gizi buruk sebesar 34 orang (87,2%), sedangkan ibu pendidikan tinggi dengan balita gizi buruk sebesar 5 orang (12,8%). Hal tersebut menunjukkan proporsi ibu balita pendidikan rendah dan balita gizi buruk lebih besar dibandingkan dengan ibu balita pendidikan tinggi dan balita gizi buruk. Hasil analisa penghitungan statistik dengan uji chi-square diperoleh value = 0,007 dengan nilai = 0,05 ( < ) yang berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima dengan demikian terdapat hubungan antara pendidikan dengan status gizi pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010. Dari hasil analisis statistik diperoleh nilai OR = 4,01 dengan demikian ibu dengan pendidikan rendah memiliki resiko terjadinya gizi buruk pada balita lebih besar 4,01 kali dibandingkan ibu dengan pendidikan baik.

4.2.3

Hubungan Sosial Ekonomi dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010 Hasil analisis bivariat variabel sosial ekonomi dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo Tahun 2010, dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.3 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010
Status Gizi Sosial Ekonomi Penghasilan Rendah Penghasilan Tinggi Jumlah Gizi Buruk n 26 13 39 % 66.7 33.3 100 Gizi Baik n 66 93 159 % 41.5 58.5 100 Jumlah n 92 106 189 % 46.5 53.5 100 0.008 value Ket OR 2.81
CI 95% 1.345.88

Berdasarkan Tabel 4.3 di atas, dapat dilihat ibu penghasilan rendah dengan balita gizi buruk sebesar 26 (66,7%), sedangkan pada ibu penghasilan tinggi dengan gizi buruk sebsar 13 (33,3%). menunjukkan proporsi ibu balita penghasilan rendah dan balita gizi buruk lebih besar dibandingkan dengan ibu balita penghasilan tinggi dan balita gizi buruk. Hasil analisa penghitungan statistik dengan uji chi-square diperoleh value = 0,008 dengan nilai = 0,05 ( < ) yang berarti hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima dengan demikian terdapat hubungan antara sosial ekonomi dengan status gizi pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010.

Dari hasil analisis statistik diperoleh nilai OR = 2,81 dengan demikian ibu dengan penghasilan rendah memiliki resiko terjadinya gizi buruk pada balita lebih besar 2,81 kali dibandingkan ibu dengan penghasilan tinggi. 4.3 4.3.1 Pembahasan Hubungan Pengetahuan dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010 Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010, hal ini dibuktikan dengan hasil penghitungan statistik diperoleh nilai value = 0,001 (p < ). Dalam penelitian ini pula berdasarkan hasil statistik diperoleh nilai OR = 3,53 dengan demikian ibu dengan pengetahuan kurang akan memiliki resiko terjadinya gizi buruk pada balita lebih besar 3,53 kali dibandingkan ibu pengetahuan baik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Freedman di Kelurahan Hutan Kayu, Jakarta menunjukan bahwa makanan keluarga yang berpenghasilan relatif baik, tidak banyak berbeda mutunya jika dibandingkan dengan makanan keluarga yang berpenghasilan rendah. Keadaan ini menunjukan bahwa ketidaktahuan akan faedah makanan bagi kesehatan tubuh merupakan sebab buruknya mutu gizi makanan keluarga, khususnya makanan anak Balita (Sjahmin M, 2002). Ilmu gizi (nutrition sceine) merupakan ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam hubungannya dengan kesehatan optimal.

Disatu sisi ilmu gizi berkaitan dengan makanan dan disisi lain dengan tubuh manusia (Almatsier, 2003:1). Konsumsi makanan sangatlah berpengaruh terhadap status gizi. Status gizi yang baik terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat yang digunakan secara efisien sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak dan perilaku baik (Almatsier, 2003:11). Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang menyatakan bahwa pengetahuan tentang gizi pada balita dimana pengetahuan ibu yang baik dapat menurunkan angka gizi buruk pada balita (Tarwota dan Wartonah, 2006 : 78). Dengan demikian hasil penelitian ini relevan dengan penelitian lain, pengetahuan ibu yang kurang akan mempengaruhi status gizi pada balita. 4.3.2 Hubungan Pendidikan dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010 Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010, hal ini dibuktikan dengan hasil penghitungan statistik diperoleh nilai value = 0,007 (p < ). Dalam penelitian ini pula berdasarkan hasil statistik diperoleh nilai OR = 4,01 dengan demikian ibu dengan pendidikan rendah akan memiliki resiko terjadinya gizi buruk pada balita lebih besar 4,01 kali dibandingkan ibu pendidikan tinggi.

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tri Hastuti mengenai Hubungan status sosial ekonomi ibu dengan status gizi balita Di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar bahwa terdapat pengaruh positif dan signifikan antara faktor tingkat pendidikan ibu, status pekerjaan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang kesehatan, pengeluaran pangan keluarga, sanitasi dan penggunaan air minum terhadap status gizi balita di Kecamatan Karanganyar Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Susianto tahun 2008 mengenai Status Gizi Balita Vegetarian dan Non Vegetarian menunjukkan faktor yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi adalah penghasilan keluarga dan pendidikan

(http:bayivegetarian.com). Pemahaman seseorang terhadap suatu masalah dipengaruhi oleh tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pendidikan ibu maka semakin kecil kemungkinan balitanya menderita gizi buruk (Tarwota dan Wartonah, 2006: 78-79). Pendidikan kesehatan adalah suatu penerapan konsep pendidikan dalam bidang kesehatan (Notoatmodjo, 2003:16). Seseorang dapat dikatakan belajar apabila dalam dirinya terjadi perubahan. Bertitik tolak dari konsep pendidikan kesehatan itu juga proses pendidikan dan proses belajar pada individu, kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu dan mampu mengatasi masalah-masalah

kesehatannya sendiri (Notoatmodjo, 2003:121).

Bertitik tolak dari konsep pendidikan kesehatan itu juga proses pendidikan dan proses belajar pada individu, kelompok, atau masyarakat dari tidak tahu tentang nilai-nilai kesehatan menjadi tahu dan mampu mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri (Notoatmodjo, 2003: 121). Dengan demikian, hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian lain bahwa status gizi balita dapat dipengaruhi oleh pendidikan ibu. 4.3.3 Hubungan Sosial Ekonomi dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010 Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan dengan Status Gizi pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010, hal ini dibuktikan dengan hasil penghitungan statistik diperoleh nilai value = 0,008 (p < ). Dalam penelitian ini pula berdasarkan hasil statistik diperoleh nilai OR = 2,81 dengan demikian ibu dengan penghasilan rendah akan memiliki resiko terjadinya gizi buruk pada balita lebih besar 2,81 kali dibandingkan ibu dengan penghasilan tinggi. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Susianto tahun 2008 mengenai Status Gizi Balita Vegetarian dan Non Vegetarian

menunjukkan faktor yang mempunyai hubungan yang bermakna dengan status gizi adalah penghasilan keluarga dan pendidikan

(http:bayivegetarian.com).

Proporsi anak yang bergizi kurang dan gizi buruk berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi presentase anak yang kekurangan gizi, makin tinggi pendapatan makin kecil presentasenya (http://www.kompasmobile.com). Sosial ekonomi adalah penghasilan keluarga dalam satu bulan yang didapat dari bekerja dalam bentuk nominal dan dikelompokan dengan kategori rendah, sedang dan tinggi. Kemiskinan merupakan bagian dari status sosial ekonomi yang dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental, maupun fisiknya dalam kelompok tersebut (http://www.kompasmobile.com). Tidak dapat disangkal bahwa penghasilan keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas maupun jumlah makanan. Pengetahuan tentang kadar zat gizi dalam berbagai bahan makanan, kegunaan makanan bagi kesehatan keluarga dapat membantu ibu memilih bahan makanan yang harganya tidak begitu mahal akan tetapi nilai gizinya tinggi (Sjahmin M, 2002). Dengan demikian, hasil penelitian ini relevan dengan hasil penelitian lain bahwa sosial ekonomi akan mempengaruhi status gizi balita.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan Hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo tahun 2010 dapat disimpulkan sebagai berikut:

5.1.1

Ada hubungan pengetahuan dengan status gizi pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo Tahun 2010, dibuktikan dengan value = 0,001 (p < ), OR = 3,51 - CI : 1,71-7,28.

5.1.2

Ada hubungan pendidikan dengan status gizi pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo Tahun 2010, dibuktikan dengan value = 0,007 (p < ), OR = 4,01 - CI : 1,48-10,82.

5.1.3

Ada hubungan sosial ekonomi dengan status gizi pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Mejobo Tahun 2010, dibuktikan dengan value = 0,008 (p < ), OR = 2,81 - CI : 1,34-5,88.

5.2 5.2.1

Saran Bagi Peneliti Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi penelitian mengenai gizi berikutnya dan dapat menggunakan metoda yang lain sehingga hasil penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi hasilnya dapat lebih memuaskan.

5.2.2

Bagi Puskesmas Diharapkan sebagai sarana pelayanan kesehatan agar memberikan informasi dan penyuluhan kepada masyarakat khususnya ibu balita mengenai pentignya memperhatikan gizi balita termasuk gizi ibu balita yang sangat berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan balita.

5.2.3

Bagi institusi pendidikan Semoga hasil penelitian ini dapat menambah pembendaharaan kepustakaan yang dapat dijadikan informasi bagi mahasiswa khususnya yang mencari informasi mengenai gizi dan ruang lingkupnya.

Anda mungkin juga menyukai