Anda di halaman 1dari 2

Ekonomi Global

"Kokusaika" Jepang dan "Gaige Kaifang" China


Bob Widyahartono
Jepang, baik dalam strategi geopolitik maupun ekonomi, mendunia sudah sejak dasawarsa 1970-an,
dikenal dengan strategi kokusaika (internasionalisasi). China baru dua dasawarsa kemudian sejak
kepemimpinan Deng Xiaoping (1978) dengan menerapkan strategi intenasionalisasinya yang disebut
gaige kaifang, artinya membuka diri dan mereformasi struktural, termasuk menerapkan ekonomi pasar
sosialis yang bukan sentralistis dengan titik berat pada ekonomi pasar.
Pertanyaan yang sering menggelitik adalah, apakah terbentuk persaingan antara pelaku ekonomi
keduanya dalam memainkan peranan di Asia Timur? Atau justru melalui persaingan sehat mewujudkan
"daya tarik yang saling mempererat solidaritas, baik ekonomi maupun politik" (mutual attraction in
economics and politics within Asia?) Marilah kita menelusuri falsafah dasar (basic philosophy) keduanya
yang built in dalam elite politik maupun bisnis mereka.
Kokusaika secara harfiah artinya internasionalisasi. Secara lebih luas, dalam keseharian Jepang, artinya
suatu kesadaran sebagai anggota komunitas dunia dan bagaimana memberi makna pada kesadaran ini
dalam kehidupan sehari-hari. Kesadaran ini tidak hanya terbatas pada pertukaran material dan budaya,
tapi juga bertalian dengan interaksi antarmanusia sesama Jepang maupun warga bangsa lainnya. Jadi,
kokusaika-nya Jepang dalam bisnis lebih mendalam maknanya kalau ditelaah jangka panjangnya.
Gaige kaifang (membuka diri) China merupakan kebijakan yang diperkenalkan oleh Deng Xiaoping,
negarawan China, mulai tahun 1978. Sejak eranya Deng Xiaoping yang menggerakkan bangunnya China
hingga kini, kita semua di Asia dan bahkan di Eropa dan Amerika, menyaksikan pesatnya pertumbuhan
ekonomi China (rapid economic rise of China).
Meskipun dalam perjalanannya, bangsa China membutuhkan tekad bersama yang kadang-kadang
mengalami hambatan sebagai akibat budaya tradisional yang melekat pada bangsa China, terutama di
daerah yang dikenal sebagai kawasan pusat dan barat. Karena ketertutupan kawasan barat/pusat itu
belum sepenuhnya menyerap gerak gaige kaifang internasionalisasinya China. Tapi, mulai abad ke-21,
Hu Jintao dan kawan-kawan sebagai penerus Deng Xiaoping memiliki visi yang meyakinkan bahwa
manusia China kawasan pusat/barat akan makin mampu membuka diri dalam satu dua dasawarsa,
berarti mulai tahun 2020-an.
Pola pikir
Jangan lupa, pengaruh pola pikir (thinking) Sun Tzu dalam para strateg China sesungguhnya sudah
tertanam lama dalam karya sastra China kuno dan bukunya, bahkan sudah ditulisnya sekitar 400-320
SM, demikian antara lain Sun Tzu: War & Management, oleh Wee Chou Hou/Lee Khai Sheang/Bambang
Waluyo Hidayat (1991).
Dalam masyarakat Asia, Jepang menghayati kulturnya, sekalipun tidak menutup mata dan pikiran pada
hal-hal yang baik dari tetangga Asia dan dunia Barat. Penyerapan ini memperkuat dan memperkaya
bangsa Jepang dalam arti mereka menjadi modern tanpa kehilangan jati diri mereka. Demikian pula
dalam berstrategi memasuki pasaran internasional. Berbagai landasan budaya dan sikap pandang antara
lain Filsafat Zen Budhisme, Shintoisme, Konfusianisme, dan karya salah satu tokoh Samurai, yakni
Miyamoto Musashi dengan bukunya, Book of Five Rings, merupakan salah satu panduan yang tidak
secara eksplisit dianut oleh para pebisnis Jepang.
Umumnya, eksekutif bisnis Jepang senantiasa memerhatikan dinamika pasar yang makin meningkat
tuntutannya dalam memperoleh nilai (value) dalam arti co-creation of value. Sebagai pertimbangan untuk
memutuskan membeli adalah: mutu (quality), harga (price), penyerahan (delivery) , dan jasa pelayanan
(service). Dari keempat faktor itu, urutannya adalah mutu dalam arti sepadan dengan ekspektasi pasar
dalam membayar harga.
Walaupun kejaran bisnis China dalam menggapai pangsa pasar internasional belakangan ini, hendaknya
kita tidak menutup mata akan kehebatan bisnis Jepang sejak dasawarsa 1970-an hingga kini. Dalam
berbisnis, para pelaku Jepang sekalipun tidak eksplisit tidak melepaskan diri dari pengaruh filsafat yang
banyak melandasi sikap pandang mereka. Di sinilah perbedaan antara Jepang dan pelaku Barat,
khususnya Amerika, dan banyak di antara pebisnis kita yang ke-Barat-baratan.
Sikap pandang pebisnis Jepang dalam berinternasionalisasi (kokusaika), antara lain menerapkan filsafat
(terjemahan) Book of Five Rings oleh Miyamoto Musashi (1645) dan telah diterjemahkan dalam berbagai
bahasa selain bahasa Inggris. Walaupun terhitung kuno, sampai dewasa ini filsafat Musashi besar
pengaruhnya atas para eksekutif bisnis dalam menyusun strategi, dan pelaksanaannya seolah suasana
perang. Pengambilan inisiatif dan mendahului lawan dalam setiap situasi.
Penerapan strategi
Pemilihan momentum (timing) dalam berstrategi merupakan hal yang penting.
Dalam penerapan strategi, langkah-langkah yang diajarkan Musashi adalah: Janganlah berpikir tidak
jujur; Caranya adalah dengan melatih diri; kenalilah setiap seni; Pahami cara berbagai profesi. Bedakan
antara untung dan rugi dalam realitas keduniaan; kembangkan penilaian intuitif; seraplah hal-hal yang
tidak tampak; Perhatikan detail 9; Jangan mengerjakan hal yang tiada gunanya.
Dengan mencermati wawasan kedua strategi perang tersebut, dapat dikatakan bahwa petuah Miyamoto
Musashi bersumber pada karya aslinya Sun Tzu, The Art of War, yang penerapannya dalam bisnis ... The
business world is like a battle field… (Dunia bisnis laksana medan pertempuran) yang diperhalus dalam
strategi). Ajang pertempuran dalam bisnis artinya berdaya saing yang mampu mencirikan keunggulan
dalam memengaruhi pola pikir konsumen yang dijadikan segmen pasarnya (the battle for the consumer’s
mind). Artinya, bukan melalui kebijakan banting harga, membohongi dengan mutu dan menyesatkan
segmen pasar dengan kebijakan promosi yang penuh rayuan janji-janji yang tidak realistis.
Mengapa pemilihan momentum (timing) dalam berstrategi demikian pentingnya adalah karena "strategi
yang kurang matang merupakan sebab derita (immature strategy is the cause of grief). Dengan
memfokus pada kawasan kita yang juga disoroti oleh bangsa di kawasan lain, Asia tengah berkembang
dan merupakan kawasan yang paling dinamis dalam pertumbuhan perdagangan dan keluaran ekonomi
(economic output). Dengan interdependensi yang makin erat antarbangsa dan gelombang perubahan
perubahan serta inovasi, makin banyak perusahaan di dunia didesak untuk mencari strategi, struktur dan
sistem baru untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat dalam nilai-nilai sosial (social values)
juga dalam berbisnis.
Para eksekutif Jepang dewasa ini memanaje perusahaan mereka dalam suatu lingkungan yang
menyajikan lebih banyak peluang yang terhitung lebih kompleks dibandingkan yang pernah dialami para
pendahulu mereka satu generasi sebelumnya. Demikian juga para pebisnis China dalam era gaige
kaifang dua dasawarsa kemudian, yakni mulai 1980-an hingga kini.
Abad ke-21 ini menantang transformasi organisasi dan manajemen dengan cara pandang atau
paradigma baru. Dalam paradigma baru cara berpikir dan bertindak menjadi sinergi kerja sama dan
kompetisi (coopetition), gaya kepemimpinan organismik, partisipatif, berjaringan kerja dalam tim dan
koeksistensi.
Setiap pebisnis kita harus mau belajar secara kontinu mengembangkan kredibilitas dan kompetensi untuk
melompati hambatan kultural dan jarak komunikasi agar memahami dinamika kerja sama lintas kultural.
Artinya kemauan membangun jaringan kerja (networking) atas dasar saling percaya, dengan orientasi tim
dengan menghayati timing dalam strategi dan pelaksanaannya.

Anda mungkin juga menyukai