Anda di halaman 1dari 5

.

hukum itu perilaku kita sendiri Menurut satjipto rahardjo dalam buku ini tentang carut marutnya kehidupan hukum dewasa ini bukan sekedar pembenahan sisi perundang-undangan tapi dari berbagai aspek lain sangat penting bukan hanya sekedar peraturan tapi juga harus berwujud perilaku manusia sebagai subjek hukum. Maka, dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia, kita perlu menaruh perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa. Sebenarnya ada contoh yang dekat dengan diri kita, yaitu UUD sekarng ini. Selama ini kita hampir selalu mengabaikan perilaku orang-orang yang menjalankannya. Kita melewatkan perhatian terhadap kultur konstitusi. Sekalipun dibuat UUD yang bersifat perseorangan, maka UUD tidak ada gunanya, demikian kata-kata yang tertera dalam penjelasan UUD. Ini satu isyarat untuk memberi perhatian terhadap aspek perilaku dan kultur konstitusi. Dengan membicarakan ihwal perilaku, sampailah jadinya kita pada pembicaraan mengenai aspek human capital (HC). Pertanyaanya, apakah kita memiliki HC untuk bangun dari keterpurukan sekarang ini? Jawabannya, kita punya. Kendati demikian, jumlah mereka terlalu sedikit dan tenggelam dalam potret buruk hukum kita. Lebih daripada itu, mereka biasanya tersingkir dari medan hukum, karena dirasakan mengganjal praktik yang lazim. Selain itu menurut satjipto perlu juga social capital untuk memperbaiki hukum kita, nilai-nilai seperti kekeluargaan, kebersamaan , dan semacamnya harus juga sampai tembus ke kultur hukum kita. 2. hukum hendaknya membuat bahagia Dalam buku ini satjipto mengkritik tujuan sebenarnya hukum itu sendiri untuk apa? Apakah hukum itu semata-mata untuk mengatur masyarakat atau mempunyai suatu tujuan yang lebih besar? Karakteristik hukum modern yang dipakai di negeri ini dan dunia pada umumnya, salah satu yang menonjol adalah sifat rasional (dan formal) hukum modern. Rasionalitas berkembang sampai tingkat rasionalitas diatas segala-galanya. Tujuan yang lebih besar itu keadilan dan kebahagiaan. Bukan rasionalitas, namun kebahagiaanlah yang hendaknya ditampatkan diatas segal-galanya. Para penyelenggara hukum di negeri ini hendaknya senantiasa merasa gelisah apabila hukum belum bisa membikin rakyat bahagia. Inilah yang juga disebut sebagai penyelenggaraan hukum progresif. 3. menjalankan hukum dengan kecerdasan spiritual Sejak abad ke-20, muncul model berpikir yang memasuki dimensi kedalaman, yaitu mencari makna dan nilai yang tersembunyi dalam obyek yang sedang ditelaah. Ini disebut berpikir spiritual atau kecerdasan spiritual. Kecerdasan spiritual amat menarik untuk dikaitkan kepada cara-cara berpikir dalam hukum, yang pada gilirannya mempengaruhi tindakan kita dalam menjalankan hukum.

Kecerdasan intelektual memang cerdas, tetapi amat terikat patokan dan amat melekat pada program yang telah dibuat sehingga menjadi deterministik. Berpikir menjadi suatu finite game. Berpikir dengan perasaan sedikit lebih maju, karena tidak semata-mata menggunakan logika tetapi bersifat kontekstual. Berbeda dengan keduanya, kecerdasan spiritual tidak ingin dibatasi patokan, juga tidak hanya bersifat kontekstual, tetapi ingin keluar dari situasi yang ada dalam usaha untuk mencari kebenaran, makna, atau nilai yang lebih dalam. Dengan demikian, berpikir menjadi suatu infinite game. Ia tidak ingin diikat dan dibatasi patokan yang ada, tetapi ingin melampaui dan menembus situasi yang ada. 4. mengangkat orang-orang baik Jumlah orang-orang baik dalam kultur premanisme di negeri ini tidak sedikit, namun umumnya mereka tidak muncul atau tidak bisa muncul. Penelitian mahasiswa mendukung temuan masih hadirnya orang-orang biasa yang baik di negeri ini. Mereka hadir tanpa mencolok yang dalam bahasa jawa disebut kesampar-kesandung, ada di manamana. Dalam kehidupan sehari-hari mereka terlindas dan terinjak oleh orang lain tanpa mengetahui bahwa mereka sebenarnya memiliki mentalitas yang mulia dan terpuji. Satu dua usaha telah dilakukan, seperti mensyaratkan bahwa presiden harus seorang sarjana. Tetapi, sebagian menolaknya karena keserjanaan bukan jaminan, bahwa ia akan menjadi pemimpin yang baik. Hal itu ada benarnya karena kita mempunyai pengalaman tentang adanya pemimpin pemimpin yang tidak mempunyai gelar kesarjanaan, seperti agus salim, sutan sjahrir, dan soedjatmoko. Meski tidak bergelar formalmereka telah menunjukkan diri sebagai seorang yang berkualitas. Agus salim dengan penguasaan bahasa-bahasa asing yang prima, sjahrir dengan karya-karya intelektualseperti indonesische overpeinzigen (renungan indonesia), begitu pula dengan soedjatmoko yang sampai mendapat kepercayaan internasional untuk menjadi rector universitas PBB. 5. bernegara dengan makna Bernegara secar spasial atau territorial kita sudah lakukan. Lebih setengah abad sejak RI berdiri, terus saja Negara ini mengalami gejolak dan pergolakan kendati diterima oleh komunitas Negara-negara di dunia. Suasana social yang demikian itu, kendati tidak merupakan kerisauan bagi Negara-negara lain di luar Indonesia tetapi beagi bangsa Indonesia sendiri ia dirasakan sebagia kegalauan besar. Eksistensi RI secara spasial-teritorial, dan berpuas diri sampai disitu, menjadi penghalang bagi bangsa ini utnuk mendapatkan kebahagiaan. Seharusnya negeri ini tidak hanya mengejar persyaratan wilayah, penduduk, dan pemerintahan efektif saja, tetapi di atas juga menambahkan persaratan (teradap diri sendiri) : rakyat yang bahagia. Bagian kedua 1. kediktatoran pengadilan

Pengadilan yang terisolasi dinyatakan pengadilan sebagai corong undang-undang, tidak lebih dan kurang. Memang semangat liberal dan legalisme positivistic yang sangat kuat di abad ke-19 itu memberikan landasan teori bagi munculnya pengadilan yang terisolasi dari dinamika masyarakat di mana pengadilan berada dari dinamika masyarakat di mana pengadilan berada. Isolasi tersebut juga mengundang asosiasi ke arah kediktatoran pengadilan, oleh karena ia memutus semat-mata dengan mengingat apa yang menurut tafsirannya dikehendaki oleh hukum tanpa harus melibatkan ke dalam atau mendengarkan dinamika masyarakat tersebut. Itulah sebabnya secara sosiologis pengadilan menjadi terisolasi dari keseluruhan dinamika masyarakatnya dan menjadi benda asing dalam tubuh masyarakat itu. 2. mulai bertindak otentik Dalam buku ini satjipto rahardjo mengkritik perilaku bangsa ini yang sekarang hanya pandai beretorika dalam menyelesaikan masalah yang ada, bukannya melakukan tindakan nyata atau otentik. Dalam contoh pemberantasan korupsi banyak diselesaikan dengan retorika. Kita lebih banyak melihat statement dan sebangsanya daripada adanya korupsi yang diadili dan koruptor yang dihukum. Kita lebih banyak omong besar mengenai korupsi daripada berkeringat dan memeras tenaga untuk mengadili korupsi dan menghukum koruptor.korupsi tidak ditangani secara otentik.

3. 58 tahun Negara hukum Indonesia Negara hukum, proyek yang belum selesai Kalau pada 17 agustus 1945 kita memproklamasikan kelahiran Negara hukum republic Indonesia, maka yang ada dalam pikiran kita waktu itu adalah, sejak hari pertama itu kita sudah menjadi Negara hukum secara tuntas sempurna. Ini bagus, namun terlalu bagus sehingga sebetulnya kita bermimpi. Secara formal memang begitu, tetapi substansi perjalanan masih jauh.membangun Negara hukum adalah proyek yang amat besar. Negara hukum tidak instan, tetapi harus dibangun. Negara hukum adalah konsep modern yang tidak tumbuh dari dalam masyarakat Indonesia sendiri, tetapi barang impor. Proses menjadi Negara hukum bukan merupakan bagian dari sejarah sosio-politik bangsa kita di masa lalu, seperti terjadi di eropa. Negara hukum adalah bangunan yang dipaksakan dari luar. Dengan demikian, membangun Negara hukum adalah membangun perilaku bernegara hukum, membangun peradaban baru. Ia adalah proyek raksasa.

4. pengadilan progresif dan kasasi

Jika gagasan pengadilan progresif itu dikaitkan dengan masalah kasasi. Sebagaimana diketahui, kasasi adalah upaya banding terakhir di pengadilan bagi pihak yang merasa tidak puas dengan putusan pengadilan negeri (PN) dan pengadilan tinggi(PT). Bagaimana bila ide pengadilan progresif dikaitkan dengan kasasi?kita tahu, pada tingkat kasasi pengadilan tidak lagi melihat dan membicarakan fakta. Yang dilakukan adalah memeriksa apakah hukum telah dijalankan dengan benar oleh pengadilan di tingkat bawah. Membaca sepintas, orang bisa berkesilmpulan, yang diperlukan MA hanya membaca teks undangundang (UU) dan menggunakan logika hukum (baca:logika peraturan). Berdasarkan hal-hal yang terungkap dalam tingkat-tingkat persidangan sebelumnya, MA akan memeriksa apakah peraturan yang digunakan hakim di PN dan PT untuk menjatuhkan putusan sudah benar. Bila benar demikian, tidak akan ada pintu masuk bagi pengadilan progresif. Pengadilan progresif adalah proses yang sarat dengan compassion (jawa:gereget)yang memuat empati, determinasi,nurani dan sebagainya. 5. siapa bilang jaksa tak butuh keberanian? Tidak benar kalau dikatakan bahwa penegakan hukum itu merupakan aksi atau kegiatan yang dadtardatar saja. Memang benar, bahwa di abad 19 jurisprudence (inggris) atau rechtdogmatiek (belanda) penegakan hukum itu dirumuskan sebagai subsumsi otomat. Itu memang pikiran hukum yang dominan abad itu, sehingga hakim itu hanya boleh menjadi mulut undang-undang (labouche de la loi), tidak boleh lebih dan kurang daripada itu. Penegakan hukum diibaratkan menarik garis lurus dari dua titik. Apabila dikatakan bahwa penegakan hukum bukan soal keberanian, sebetulnya itu masih merujuk pada pikiran hukum di abad ke 19 yang amat positivistic, legalistik, dan dogmatis. 6. formal dan nonformal dalam ketatanegaraan Perbedaan antara formal dan nonformal tidak hanya menjadi milik dari ketatangaraan, tetapi menjadi milik pikiran hukum umumnya. Dengan demikian, perbedaan itu bisa terjadi di bidang hukum mana saja. Pertentangan itu tidak pernah dapat diselesaikan dengan kemenangan di satu pihak dan kekalahan di pihak lain. Keduanya senantiasa akan mewarnai wacana dalam hukum sepanjang masa. Perbedaan yang kokoh (persistent) itu terjadi karena bertumpu pada sikap atau kecenderungan (inclination) pribadi. Yang satu kaku (rigid), yang lain lentur, luwes. mungkin ini berkaitan dengan watak atau psikologi.

7. para penegak hukum pukullah genderang perang Indonesia menghadapi krisis besar, termasuk (penegakan) hukum. Secara umum , tanpa penelitian, pandangan terhadap hukum kian merosot. Kita tak dapat mengabaikan kesan masyarakat ini. Secara sosiologis, pendapat dan pandangan masyarakat (public opinion) tak dapat diabaiakan. Ingat, lembaga publik selalu mengalami dan menjalani rererendum.

Karena itu, bila ada usaha untuk mengatasi krisis itu, seyogyanya dilakukan secara habis-habisan. Maka, bila pembentukan forum kita masukkan ke dalam usaha yang demikian itu, ia juga harus lebih berwatak perjuangan. Disampaikan dalam diskusi rutin Farabi Institute pada 2 Januari 2011

Anda mungkin juga menyukai