Anda di halaman 1dari 13

BAB I PENDAHULUAN

Penderita nyeri dibagian ulu hati harus lebih waspada. Gangguan yang sering dialami para penderita maag maupun hepatitis ini ternyata bisa menjadi indikasi masalah lain, yakni batu empedu. Batu empedu merupakan salah satu masalah kesehatan yang sebagian muncul tanpa gejala. Hampir 50% pasien batu empedu tidak merasakan gejala, 30% dengan gejala nyeri dan 20% pasien berkembang menjadi komplikasi. Lalu, nyeri seperti apa yang dirasakan penderita batu empedu ? Menurut Konsultan Internis-Gastroenterologis dari FKUI/RSCM Prof. Dr. L. A. Lesmana. FACP, PACG, keluhan yang dirasakan penderita batu empedu berupa sakit lambung karena pasien merasakan sakit di ulu hati. Akan tetapi, nyeri yang dirasakan bukan maag karena kelainan ada ada di empedu. Secara anatomi, empedu terletak di perut di sebelah kanan, tetapi nyeri dirasakan justri di ulu hati. Sebab itu, sebagian besar penderita batu empedu didiagnosa sebagai menderita maag. Ini karena merasakan nyeri di ulu hati sehingga tidak jarang mereka berkali-kali menderita maag, lama-kelamaan menjadi sakit kuning. Penyakit kuning ini sendiri akibat batu dari kantong yang jatuh ke saluran empedu sehingga menghambat saluran empedu. Lama-kelamaan akan menjadi kuning. Ahli penyakit dalam dari RS Mitra Keluarga dr. Indra Marki, SpPD menambahkan, nyeri yang dirasakan penderita empedu merupakan nyeri kolik. Artinya, nyeri tersebut kadang hilang dan timbul kembali dengan rata-rata waktu lebih dari 30 menit, serta kurang dari 12 jam. Kemudian, nyeri akan hilang sama sekali tanpa ada gejala. Kalau nyeri karena dyspepsia biasanya dipengaruhi factor makanan, berbeda dengan nyeri batu empedu, ujarnya. Sementara itu, Prof. lesmana mengungkapkan, nyeri batu empedu menyerang mendadak, sakit sekali dan berlangsung cukup lama. Uniknya, pada beberapa penderita dapat merasakan nyeri pada jam-jam tertentu dan berulang seperti saat sore hari atau malam. Walaupun ini masih menjadi bahan diskusi, papar Guru Besar FKUI itu.

Dia menambahkan, nyeri saat waktu malam diduga karena pengaruh posisi tidur. Dengan begiru, memudahkan batu yang kecil-kecil tersebut dapat bergerak dan jatuh kesaluran, serta menyebabkan nyeri. Ada beberapa jenis batu empedu, yaitu batu kolesterol, batu pigmen, dan batu pimen hitam. Untuk batu kolesterol ini biasa dialamai penderita batu empedu di luar negeri. sementara penderita batu pigmen di Indonesia kebanyakan disebabkan kalsium bilirubinat. Untuk batu pigmen hitam jarang terjadi karena ini merupakan kelainan khusus. Lesmana mengungkapkan, penelitian di luar negeri menunjukkan bahwa para wanita ( female), gemuk (faity), serta subur (fertility) memiliki resiko tinggi menderita batu empedu. Sedangkan di Indonesia kebanyakan mengalami batu empedu jenis batu pigmen. Pembentukan batu bisa terjadi akibat infeksi. Infeksi parasit yang diduga masuk lewat saluran empedu dapat berperan pembentukan batu, katanya. Jumlah penderita batu empedu di Tanah Air cenderung meningkat. Hal ini teritama disebabkan pengaruh perubahan gaya hidup. Misalnya, gaya hidup dengan banyak makanan cepat saji yang dapat menyebabkan prevelensi kegemukan. Kegemukan mempunyai resiko pelemahan hati yang dapat memudahkan pengendapan batu. Orang gemuk memang tidak langsung mengalami batu empedu, tapi ada factor lain yang ikut berpengaruh. Salah satunya dpengaruhi pola makanan yang mengandung minyak. Factor minyak dalam makanan menyebabkan hati tidak dapat bekerja secara baik. Factor kedua adalah mepedu bekerja kurang baik sehingga memudahkan empedu gampang mengendap. Ada juga orang yang reponsif atau empedunya mudah mengendap. Ketiga factor ini merupakan penyebab pengendapan batu empedu. Jika hanya salah satu, belum dapat memudahkan pengendapan batu.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


II. 1. DEFINISI Kolesistitis adalah terdapatnya batu di dalam kandung empedu,duktus koledokus atau keduanya. II. 2. FISIOLOGI PRODUKSI DAN ALIRAN EMPEDU Kandung Empedu merupakan kantong berongga berbentuk pir yang terletak tepat dibawah hati. Empedu yang disekresi secara terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil di dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang segera bersatu membentuk duktus hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula vateri (bagian duktus yang melebar pada tempat menyatu) sebelum brmuara ke usus halus. Bagian terminal dari kedua saluran dan ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular yang dikenal sebagai sfingter odi. Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Empedu hati tidak dapat segera masuk ke duodenum, tapi setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan ke kandung empedu. Dalam kandung empedu, pembuluh limfe dan pembuluh darah mengabsorpsi air dan garam-garam anorganik, sehingga empedu dalam kandung empedu 5 kali lebih pekat dibandingkan dengan empedu hati. Secara berkala, kandung empedu mengosongkan isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan relaksasi sfingter odi. Hormon kolesistokinin (CCK) dilepakan dari sel duodenal akibat hasil pencernaan dari protein dan lipid, dan hal ini merangsang terjadinya kontraksi kandung empedu.

II. 3. BATU EMPEDU Etiologi Batu Empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang dibentuk pada bagian saluran empedu lain. Etiologi batu empedu masih belum diketahui. Satu teori menyatakan bahwa kolesterol dapat menyebabkan supersaturasi empedu di kandung empedu. Setelah beberapa lama, empedu yang telah mengalami supersaturasi menjadi mengkristal dan mulai membentuk batu. Akan tetapi, tampaknya faktor predisposisi terpenting adalah gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, stasis empedu, dan infeksi kandung empedu. Berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan batu empedu, di antaranya: 1. Eksresi garam empedu Setiap faktor yang menurunkan konsentrasi berbagai garam empedu atau fosfolipid dalam empedu. Asam empedu dihidroksi atau dihydroxy bile acids adalah kurang polar dari pada asam trihidroksi. Jadi dengan bertambahnya kadar asam empedu dihidroksi mungkin menyebabkan terbentuknya batu empedu.

2. Kholestrol empedu Apabila binatang percobaan di beri diet tinggi kolestrol, sehingga kadar kolesrtol dalam vesika vellea sangat tinggi, dapatlah terjadi batu empedu kolestrol yang ringan. Kenaikan kholestrol empedu dapat di jumpai pada orang gemuk, dan diet kaya lemak. 3. Substansia mukus Perubahan dalam banyaknya dan komposisi substansia mukus dalam empedu mungkin penting dalam pembentukan batu empedu. 4. Pigmen empedu Pada anak muda terjadinya batu empedu mungkin di sebabkan karena bertambahya pigmen empedu. Kenaikan pigmen empedu dapat terjadi karena hemolisis yang kronis. Eksresi bilirubin adalah berupa larutan bilirubin glukorunid. 5. Infeksi Adanya infeksi dapat menyebabkan krusakan dinding kandung empedu, sehinggamenyebabkan terjadinya stasis dan dengan demikian menaikan pembentukan batu.

Patogenesis Hepatolitiasis adalah batu empedu yang terdapat di dalam saluran empedu dari awal percabangan duktus hepatikus kanan dan kiri. Batu tersebut umunya berupa batu pigmen yang berwarna cokelat, lunak, berbentuk seperti lumpur dan rapuh. Batu kandung empedu dapat berpindah ke dalam duktus koledokus melalui duktus sistikus, yang dalam perjalanannya dapat menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet, sehingga menimbulkan gejala kolik empedu. Pasase batu empedu berulang melalui duktus sistikus yang sempit dapat menimbulkan iritasi dan perlukaan sehingga dapat menimbulkan peradangan dinding dktus sistikus dan striktur. Jika batu berhenti di dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada di sana sebagai batu duktus sistikus.

Kolelitiasis asimptomatik biasanya diketahui secara kebetulan saat pemerikaan USG, BOF, atau perabaan saat operasi. Pada pemeriksaan fisik dan laboratorium tidak ditemukan kelainan. Jenis batu empedu : 1. Batu kolesterol Mengandung 70% Kristal kolesterol, ca carbonat, dan ca palmitat. Terbentuk di kandung empedu berupa batu soliter atau batu multiple. Permukaan licin, bulat berduri menyerupai buah murbei. Peningkatan ekskresi kolesterol empedu terjadi pada : a. Obesitas b. Diet tinggi kalori dan kolesterol c. Konsumsi obat yang mengandung estrogen dan klofibrat Puasa lama dapat menimbulkan empedu yang litogenik akibat stasis tadi. 2. Batu bilirubin Disebut juga batu pigmen,batu lumpur. Bentuknya tidak teratur,kecil berwarna coklat, kemerahan sampai hitam, bentuknya menyerupai lumpur dan rapuh. Berhubungan dengan bertambahnya usia dan infeksi. Bakteri E.coli sering terdapat pada biakan empedu. Pada pemeriksaan, konsentrai bilirubin tidak terkonjugasi meningkat di dalam kadung empedu / hati.

II.4. GEJALA KLINIS Kurang lebih 10% penderita bersifat asimptomatik. Gejala-gejala yang dapat timbul : 1. Nyeri : bersifat kolik, mulai daerah epigastrium atau hipokondrium dextra

dan menjalar ke punggung, atau bahu kanan. Nyeri sering timul karena

rangsangan makanan berlemak. Nyeri dapat terus menerus jika terjadi penyumbatan atau keradangan. 2. Dyspepsia dan intoleansi makanan berlemak 3. Mual muntah (+) 4. Demam menggigil. 5. Ikterus : ikterus obstruksi terjadi bila batu menyumbat saluran empedu utama : bila terjadi keradangan (kolesistitis / kolangitis), sering disertai

(duktus hepatikus /koledokus). 6. Pemeriksaan fisik : nyeri tekan pada hipokondrium dextra terutama saat pasien menarik napas (Murphys Sign) II.5. PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS 1. Laboratorium Pada ikterus obstruksi terjadi : a. Peningkatan kadar bilirubin direk, kolesterol, alkali fosfatase, gamma glukoronil transferase dalam darah. b. Bilirubinuria c. Tinja akolis 2. Ultrasonografi Mempunyai derajat spesifitas dan sensitivitas yang tinggi untuk mendeteksi kolelitiasis dan pelebaran saluran empedu intrahepatik maupun ekstrahepatik. Dengan USG dapat dilihat dinding kandung empedu yang menebal karena fibrosis atau odem karena peradangan ataupun sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledokus distal kadang sulit dideteksi karena terhalang udara di dalam usus. Dengan USG, lumpur empedu dapat diketahui karena bergerak sesuai gaya gravitasi. Punktum maksimum rasa nyeri pada batu empedu yang gangrene lebih jelas daripada dengan palpasi biasa.

3. Foto polos abdomen Tidak memberikan gambaran yang khas, karena hanya 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat dilihat pada foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar di fleksura hepatica. 4. Kolesistografi oral Kolesistografi oral dengan kontras yang diberikan per os cukup baik karena relative murah, sederhana dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen, sehingga dapat dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral gagal pada keadaan ileus paralitik, muntah, kadar bilirubin serum >2 mg/dl, obstruksi pylorus dan hepatitis, karena kontras tidak dapat mencapai hati. Pemeriksaan ini lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung empedu. 5. CT- scan Tidak lebih unggul dibandingkan USG untuk mendiagnosis batu kandung empedu. Cara ini berguna untuk membantu diagnosis keganasan pada kandung empedu yang mengandung batu, dengan ketepatan sekitar 70-90%. 6. Foto Rontgen Dengan kolangiopankreatikografi endoskopi retrograde (ERCP) di papilla vater atau melalui kolangiografi transhepatik perkutan (PTC) berguna untuk pemeriksaan batu di duktus koledokus. Indikasinya adalah batu kandung empedu dengan gangguan fungsi hati yang tidak dapat dideteksi dengan USG dan kolesistografi oral, mislanya karena batu kecil. Kelemahan ECRP adalah bahaya timbulnya komplikasi pancreatitis.

II.6. DIAGNOSA BANDING 1. Gastritis 2. Tukak peptic 3. Pancreatitis Pada ikterus obstruksi: 1. Kolangio karsinoma 2. Karsinoma pancreas II.7 KOMPLIKASI Komplikasi kolelitiasis dapat berupa kolesistitis akut yang dapat menimbulkan perforasi dan peritonitis, kolesistitis kronik, ikterus obstruktif, kolangitis, kolangiolitis piogenik, fistel bilioenterik, ileus batu empedu, pancreatitis, dan perubahan keganasan. Batu empedu dari duktus koledokus dapat masuk ke dalam duodenum melalui papilla vater dan menimbulkan kolik, iritasi, perlukaan mukosa, peradangan, odem dan striktur papilla vater. II.8. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan perioperaktif Terapi Antibiotik Profilaksis antibiotik tidak penting dalam pasien yang menjalani kolesistektomi elektif rutin, kecuali jika ada faktor resiko khusus. Ada bukti infeksi, kolesitisis akut, ikterus, sebelumnya atau pada saat ini, atau batu duktus koledokus, prankreatis, dan usia yang lebih dari 65 tahun. Pewarnaan gram dari empedu dan kultur harus dilakukan pada semua pasien yang akan menjalani kolesisitektomi. Antibiotik dapat dipilih berdasarkan basis empiris, dengan mengetahui organism apa yang paling mungkin dan kemudian dimodifikasi bila perlu, berdasarkan hasil kultur sebenarnya. Dekompresi Biliaris

Meskipun laporan retrospektif awal memberi harapan, data dari penelitian terkontrol acak perspektif memastikan bahwa dekompresi biliaris praoperasi rutin tidak memberikan perbaikan hasil secara bermakna. Tetapi tidak dapat dipungkiri, bahwa intubasi biliaris dan dekompresi jangka pendek, yang dilakukan secara tanshepatik atau endoskopik, dapat memberikan manfaat yang bermakna dalam pasien-pasien tertentu dengan obstruksi biliaris sebagai persiapan terhadap operasi dan dalam melakukan operasi. Kolesistektomi terbuka Dibutuhkan identifikasi teliti dan isolasi dari duktus kistikus dan arteri. Strukturstruktur ini dapat diamankan dengan pengikatan menggunakan benang sutera, tetapi tidak dapat dipisah sampai semua struktur telah diketahui. Kandung empedu kemudian dikeluarkan dari bantalan hepatic, dimulai dari fundus. Setelah kandungan empedu didiseksi bebas, perlu dilakukan kolangiogram. Sfingtoroplasti Transduodenum Harus dilakukan perasat kocher luas. Permukaan dari duktus koledokus harus dipanjangkan sehingga koledokotomi dapat dilakukan. Melalui insisi longitudinal, dinding anterior dari duodenum sfingter harus diinsisi dan jahitan dilakukan disekitar mokusa duodenum sampai duktus biliaris distal. Insisi pada sfingter paling baik dilakukan pada posisi jam 11. Ini mengurangi cedera duktus pankreatikus dan/ atau pankreatis. Duodenotomi harus ditutup dengan teliti dalam arah horizontal. Pemasangan pipa-T dalam duktus biliaris merupakan bagian standar dari prosedur ini. Kolesistektomi Laparoskopik Meskipun insisi subkosta dihindari, operasi-operasi ini harus dipandang dari sisi yang sama untuk prinsip bedah, demikian juga prosedur terbuka. Trokar dimasukkan sertelah instilasi pneumoperitoneum, dan kandung empedu serta hati diretraksi untuk menyediakan visualisasi yang optimal. Mutlak perlu bahwa struktur duktus harus diketahui dengan cermat sebelum dipisah. Seperti pada kolesistektomi terbuka, cedera duktus biliaris dan pendarahan merupakan komplikasi yang potensial.

Post op laparoskopi cholecystectomy

BAB III KESIMPULAN

Koleletiasis adalah terdapatnya batu didalam kantong empedu dan atau dalam saluran empedu. Batu empedu adalah struktur Kristal yang terbentuk dari pembekuan dan pertumbuhan konstituen empedu normal dan abnormal. Batu ini terdiri dari tiga jenis utama,batu kolesterol yang membentuk sekitar 80 persen dari total dan batu pigmen menyusun 20 persen sisanya. Batu kolesrerol dan campuran biasanya mengandung kolesterol monohidrat lebih dari 70 persen ditambah campuran garma kalsium, dan asam pigmen empedu, protein, asam lemak, dan fosfolifid. Batu pigmen terutama terbentuk dari kalsium bilirubinat, batu ini mengandung kolesterol kurang dari 10 persen. Diagnosis batu empedu dapat diketahui melalui foto polos abdomen, ultrasonografi, kolesistografi oral (KSO), bahan kimia radioaktif. Penatalaksanaan pada batu empedu antara lain terapi antibiotic,

dekompresibiliaris, kolesistektomi terbuka, kolesistektomi laproskopik, operasi pada duktus biliaris, sfingteroplasti transduodenum, kolesistosomi, rekonstruksi biliaris enteric.

Daftar pustaka

1. Asdie Ahmad H., Editor : Harrison Prinsi-Prionsip Ilmu Penyakit Dalam. Ed ke 13., Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2. Hafid, A., Abdurrahman, Sjukur, A., Hamami, A. H., Sjarwani, Santosa, A., dkk. 2008. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Lab/Upf Ilmu Bedah. Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo, Surabaya. 3. Jong de. 2011. Editor : sjamsuhidajat, R., Karnadihardja warko., Prasetyono, Theddeus O.H., Rudiman, Reno. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 4. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Edisi 6, volume 1., Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai