Anda di halaman 1dari 12

KAJIAN AL-IJAZ IKPM CABANG KAIRO

E D I S I

V I

R A M A D H A N

1 4 3 4

DAFTAR ISI
NADHRAH

NADHRAH

Memupuk Kebaikan di Bulan Penuh Keangungan

Memupuk Kebaikan di Bulan Penuh Keagungan

TAHNIAH

Selamat Datang, Ramadhan

Maulidatul Hifdhiyah Malik


lembah kebodohan melalui seorang manusia pilihan yang diutus kepada mereka, Muhammad SAW. Begitu pula halnya dengan alQuran sebagai pedoman hidup bagi mereka. Perintah membaca sebagai wahyu pertama yang diturunkan pada salah satu malam bulan ini, mengubah peradaban manusia di kemudian hari. Ramadhan berasal dari kata ramadha yang artinya menghapus; melebur; membakar. Disebut demikian sebab seorang hamba yang banyak beribadah di bulan ini akan dihapus dosa-dosanya. Selain itu, dalam sejarah Islam, bulan Ramadhan juga dicatat sebagai bulan kemenangan. Hal ini dikarenakan banyaknya peperangan yang berhasil dimenangkan oleh kaum Muslim di dalamnya, seperti perang Badar, penaklukan kota Makah (fathu Makkah), dan beberapa peperangan lainnya. Rasulullah SAW menegaskan kemuliaan bulan Ramadhan dalam beberapa Hadis. Salah satunya dalam sebuah Sunah yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi, Rasulullah bersabda, Ramadhan merupakan pemimpin bulanbulan lainnya. Keagungan kedudukan Ramadhan tersebut juga diperkuat dalam sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Allah berfirman kepada
Bersambung ke hlm 8

MABHATS

Komparasi Landasan Penentuan Awal Bulan Antara Rukyat dan Hisab

UDHAMA,

10

Thantawi Jauhari: Ulama Sederhana, Perintis Tafsir Saintis

MARJA

11

M U R S Y I D A L - A W A M F I A H K A M A L - S H I Y A M A L A A L - M A D Z A H I B A L - A R B A A H

SALAM
I KT IKA F

12

alam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Rasulullah bersabda, Umatku diberi lima keistimewaan di bulan Ramadhan, yang tidak diberikan kepada nabi-nabi sebelumku. (1) Allah memperhatikan nmereka pada malam pertama bulan ini. Barangsiapa yang diperhatikan oleh Allah, ia tidak akan disiksa. (2) Sesungguhnya bau mulut mereka ketika berpuasa lebih harum dibandingkan minyak wangi. (3) Malaikat memohonkan ampun bagi mereka sepanjang hari. (4) Allah memerintahkan surge untuk bersiap menyambut hamba-Nya yang mendekatkan diri kepada-Nya. (5) Allah mengampuni dosa-dosa mereka di penghujung malamnya. Apakah itu laila al-qadr, wahai Rasulullah? Tanya salah seorang di antara mereka. Rasulullah menjawab, Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang bekerja? Apabila selesai melakukan pekerjaannya, mereka diberi imbalan atas apa yang telah dikerjakan. Demikianlah salah satu penjelasan mengenai keistimewaan Ramadhan, bulan yang selalu dinantikan kehadirannya oleh umat Muslim. Di bulan ini, manusia dikeluarkan dari

DZIKRA
S E B A G A I

A L - Q U R A N

P E D O M A N

SAHUR

Jakfar Shodiq

alah satu ibadah unik d alam bulan Ramadhan adalah sahur. Ritual makan dini hari tersebut kemudian menjadi semakin menyenangkan kala ia bisa dinikmati bersama keluarga dan orang-orang terdekat lainnya. Terlepas dari kedua

keunikan tersebut, makan sahur juga mengandung banyak barakah. Pertama, makan sahur merupakan salah satu Sunah yang diajarkan Rasulullah S A W . O l e h k a r e n a it u , mengikuti Sunahnya sama dengan menaati perintahnya. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Ahzab: 71 yang artinya,

Dan barangsiapa yang menaati Allah dan Rasul -Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang agung. Selanjutnya, makan sahur m e r u p a k a n ib ad ah y an g membedakan puasa umat Islam dengan Ahli Kitab. Dalam sebuah riwayat dari Amru bin
Bersambung ke hlm 5

2 TAHNIAH

Selamat Datang, Ramadhan


amadhan merupakan bulan y a n g penuh dengan ampunan dan rahmat Allah SWT. Hal ini sebagaimana sabda baginda Nabi, Jika telah datang bulan Ramadhan, dibukalah pintu-pintu surga, ditutuplah pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu dan dibuka pintu-pintu rahmat. (HR.Muslim) Dari Hadis ini, banyak para Sahabat dan ulama terdahulu yang menyambutya dengan penuh persiapan, bahkan diantara mereka ada yang mempersiapkannya satu tahun penuh. Bahkan diantara mereka tidak ada yang mau menyia-nyiakan kedatangan bulan yang penuh berkah ini, karena setiap amal perbuatan yang dikerjakan di bulan ini dilipatgandakan tujuh puluh kali lipat. Rasulullah pun mengajarkan pada umatnya satu doa yang amat mulia, Ya Allah, berikanlah barakah pada kami di bulan Rajab dan Syaban, dan antarkan kami pada Ramadhan. Rasulullah meminta kita untuk memohon pada Allah agar diperkenankan menemui Ramadhan, bulan sejuta barakah dan hikmah. Kaum Muslimin di berbagai penjuru dunia pun menyambutnya dengan gegap gempita, dengan berbagai ritual yang tentu saja tak sama. Di India misalnya, para pria menghiasi mata mereka dengan kohl (sejenis celak mata) di malam pertama bulan ini. Adapun penduduk Albania, menggelar kesenian lodra, yang mirip dengan pukul bedug di Indonesia. Sedangkan di Indonesia, berbagai macam kegiatan keagamaan pun dilaksanakan tanpa henti, selama sebulan penuh. Meski demikian, Ramadhan tidak hanya membicarakan semarak dan persiapan dlahir belaka. Ada banyak hikmah dan pahala yang ditebarkan Allah kepada umat Muham-

Kuntum Afifah mad di bulan ini. Puasa diwajibkan, dan berbagai ibadah sunnah dianjurkan. Lantas, bagaimanakah kehadirannya harus dipersiapkan? Bukankah ia merupakan tamu agung yang hanya setahun sekali mampir menghampiri? Ada beberapa poin yang mungkin bisa dilakukan agar Ramadhan dapat dijalani dengan khusyuk dan sempurna. Pertama, bulan Ramadhan didahului oleh dua bulan hijriyah, Rajab dan Syaban. Kedua bulan tersebut hendaknya dijadikan sebagai garis start menuju Ramadhan, agar tidak terasa berat ketika berjumpa denganya. Kedua, membersihkan hati. Bulan Ramadhan adalah tamu istimewa yang telah lama dinantikan kehadirannya. Dengan begitu, kita tentu tidak ingin menyambutnya dalam keadaan belepotan. Oleh karena inilah, proses penyucian diri (tazkiyat al-nafs) dan juga muhasabah sangat diperlukan. Selain itu, meminta maaf kepada kedua orang tua, keluarga serta orang-orang terdekat lainnya mungkin juga membantu proses penyucian diri ini. Dengan demikian, ibadah yang dijalani ketika Ramadhan akan terasa lebih khusyuk, sebab dijalani dengan hati yang bersih. Ketiga, menentukan target amalan Ramadhan. Adanya target yang jelas akan membantu kita lebih giat dalam beribadah. Terakhir, evaluasi target-target dan pencapaian. Untuk itulah kami hadir dengan edisi spesial Ramadhan, yang akan membahas pernak-pernik Ramadhan dari segala sisi. Dimulai dari rubrik terdepan yang membahas keutamaan bulan Ramadhan. Disusul dengan rubrik Fikrah yang memperkenalkan asal-usul Ramadhan. Kemudian rubrik Qadhaya yang mengulas seputar salat Tarawih. Mabhats dengan permasalahan rukyat dan hilal. Syekh Tanthawi sebagai profil pada rubrik Udhama, buku karya Syekh Amin Kurdi di rubrik Marja, serta Iktikaf sebagai pembahasan rubrik penutup, Salam. Kini, Ramadhan telah menempuh hampir separuh dari perjalanannya, dan kami harus meminta maaf karena itu, sebab baru bisa menyuguhkan IQRA hari ini. Namun kami tetap berharap, semoga bacaan-bacaan yang ada di dalamnya mampu menambah wawasan, terlebih mengenai bulan Ramadhan, dan dicatat sebagai sedekah kami di bulan yang mulia ini. Akhir kata, selamat membaca!

Ya Allah, berikanlah barakah pada kami di bulan Rajab dan Syaban, dan antarkan kami pada Ramadhan.

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo Dewan Penasihat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Novan Hariansyah, Dede permana; Pemimpin Umum: Maulidatul Hifdhiyah Malik; Pemimpin Redaksi: Faiq Aziz; Editor: Saeful Luthfy; Layouter: Rusydiana Tsani; Kru: Hilmy Mubarak, Muhammad Hafif Handoyo, Jakfar Shodiq, Alfina Wildah, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul Mu'allamah, Nur Fitria Qorrotu Aini, Putri Rezeki Rahayu, Uswahtun Hasanah, Kuntum Afifah. Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206
B U L E T I N I Q R A , E D I S I V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

FIKRAH

Puasa, Syariat Istimewa Sarat Hikmah

Hilmy Mubarok
dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) (QS. Al-Baqarah: 185). Ayat ini mengubah (baca: menghapus) perintah puasa Ramadhan yang awalnya bersifat opsional, menjadi wajib ain bagi siapa saja yang bermukim di tempat. Begitu juga dengan adanya rukhshah (keringanan untuk tidak berpuasa) bagi orang sakit, musafir, orang-orang yang berusia lanjut, serta orang-orang yang berhalangan untuk berpuasa. Bagi mereka, diwajibkan untuk memberi makan kepada fakir miskin sebagai gantinya. Segala perintah Allah kepada hamba-Nya sama sekali tidak terdapat kesia-siaan, apalagi agar kita merasakan kesusahan, sama sekali tidak. Akan tetapi segala perintah tersebut pasti baik untuk kita, termasuk perintah untuk melaksanakan puasa Ramadhan. Banyak para ulama yang berijtihad dalam masalah ini, di antaranya Syekh Abu Syahbah dalam bukunya Al-Shaum fi al-Quran wa alSunnah, Raghib al-Sarjani dalam Ajmalu Ramadhan, Muhammad Amin Al-Kurdi dalam Mursyid alAwam li Ahkam al-Shiyam, dan ulama lainnya. Selain itu, mereka pun sepakat bahwa puasa bukan hanya ibadah jawarih anggota badan saja, tetapi juga ibadah batin. Adapun hikmah puasa secara umum, pertama, puasa mampu menyucikan jiwa dari perangai buruk, karena di dalam puasa ada proses penekanan terhadap syahwat dan pengekangan hawa nafsu. Tubuh perut yang kenyang - cenderung condong untuk melakukan keburukankeburukan. Berbeda ketika dalam keadaan lapar, cenderung lebih bisa membuat fokus dalam segala hal, termasuk ibadah. Kedua, puasa mengundang rahmat Allah. Ketika puasa, kita seakan-akan merasa sama dengan orang lain yang serba kekurangan. Dan ketika dalam keadaan susah, maka kita akan terus mendekatkan diri kepada Allah dengan berdoa meminta pertolongan-Nya. Ketiga, puasa membuat kita sehat. Banyak dari kalangan dokter yang membuktikannya, bahkan di sebagian negara Eropa, mereka menggunakan puasa sebagai terapi untuk menyembuhkan beberapa penyakit, salah satunya penyakit kencing manis. Terakhir, puasa mampu mencegah kita untuk menuruti godaan setan, seperti yang disabdakan Rasulullah, Setan berjalan di dalam tubuh manusia seperti mengalirnya darah, maka cegahlah langkah mereka dengan rasa lapar. (HR. Bukhari) Wallahu alam.
I Q R A , E D I S I V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

alah satu ibadah yang dilaksanakan di bulan Ramadhan adalah puasa. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 185, Salah satu mufasir mengartikan kata syahida dengan menyaksikan atau hadir (hidup) dalam bulan Ramadhan. Artinya, jika kita termasuk orang-orang yang dikarunai hidup di bulan Ramadhan, maka kita diperintahkan untuk berpuasa. Ibadah yang menjadi rukun Islam keempat ini pertama kali diperintahkan secara wajib di Madinah pada tahun ke-2 H. Syekh Saaduddin Hilaly, dalam salah satu diktat Fikih Perbandingan (Fiqh al-Muqaranah) menjelaskan bahwa ibadah ini mengalami perkembangan dalam segi perintah dan pelaksanaannya. Ini artinya, ibadah puasa tidak langsung bersifat fardhu ain bagi umat Islam, namun secara bertahap. Menurut sebagian ulama, puasa pada awalnya dilaksanakan sebagaimana dikerjakan oleh umat -umat sebelumnya, yaitu tiga hari di setiap bulan. Mengenai hal ini, Ibnu Katsir menyebutkan pendapat Muadz, Ibnu Masud dan Sahabat-sahabat lainnya yang berkata bahwa ibadah tersebut sudah berlaku semenjak zaman Nabi Nuh As, hingga akhirnya terhapus oleh perintah puasa di bulan Ramadhan. Puasa tiga hari di setiap bulan ini dilaksanakan oleh Nabi dan para Sahabatnya semenjak kedatangan beliau ke Madinah, termasuk juga puasa Asyura. Selanjutnya turun ayat al-Quran, Hai orangorang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang -orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. al-Baqarah: 183). Perintah ini bermakna khiyar, artinya barangsiapa yang mampu berpuasa: , maka diperintahkan untuk menjalankannya, namun apabila tidak mampu, maka diwajibkan untuk memberi makan kepada orang -orang miskin. Aisyah RA berkata, kami melaksanakan puasa Asyura sebelum adanya perintah puasa Ramadhan, dan ketika turun ayat perintah puasa Ramadhan, Rasulullah memerintahkan untuk berpuasa di bulan Ramadhan dengan cara khiyar. Perintah ini dikuatkan oleh ayat selanjutnya, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain, dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah (QS. al-Baqarah: 184). Setelah perintah ini berjalan, turun ayat selanjutnya, Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak

B U L E T I N

4 QADHAYA

Mengurai Benang Merah Rakaat Salat Tarawih


Muhammad Faiq Aziz

alat Tarawih merupakan salat sunah yang hanya ditemukan di bulan Ramadhan. Salat tersebut dikerjakan setelah shalat Isya dan sebelum salat Witir. Hukum mengerjakan salat ini adalah sunnah muakad bagi seluruh umat Islam, sebagaimana ditegaskan Rasulullah dalam sebuah Hadis, Barangsiapa yang melaksanakan ibadah (salat Tarawih) di bulan Ramadhan dengan mengharapkan ridha-Nya, maka baginya diampuni dosa-dosa yang telah lewat. (HR. Bukhari dan Muslim) Tarawih dikerjakan Nabi pertama kali pada tanggal 23 Ramadhan tahun kedua Hijriyah. Namun ketika itu, Nabi tidak mengerjakannya di masjid terus-menerus, sesekali beliau melaksanakannya di rumah. Aisyah RA berkata, Sesungguhnya Rasulullah pada suatu malam menunaikan salat Tarawih di masjid, lalu banyak orang yang mengikutinya, dan begitu seterusnya hingga hari ketiga dan keempat. Kemudian, di hari berikutnya mereka menunggu Rasulullah di masjid, namun beliau tidak hadir malam itu. Keesokan harinya, beliau bersabda, Sesungguhnya aku melihat apa yang kalian perbuat semalam, tapi aku tidak datang karena aku takut bila salat ini akan diwajibkan kepada kalian. Aisyah berkata, Peristiwa ini terjadi ketika bulan Ramadhan.(HR. Bukhari dan Muslim) Hadis tersebut menerangkan bahwa Nabi Muhammad SAW memang pernah melaksanakan salat Tarawih pada malam hari, dan tidak sedikit Sahabat yang begitu antusias mengikutinya. Hal ini menjadikan Rasulullah khawatir apabila sewaktu-waktu Allah mewajibkan salat tersebut kepada umatnya. Bila hal tersebut terjadi, tentu akan memberatkan umatnya, atau bisa jadi mereka akan menganggap salat tersebut sebagai salat fardhu. Oleh karena inilah, Rasulullah tidak hadir pada malam itu, dan hingga hari ini masih menjadi sunnah bagi umatnya di malam Ramadhan. Adapun mengenai bacaan dalam salat Tarawih, Imam Ahmad berkata, Imam pada salat Tarawih hendaknya membaca bacaan yang ringan, dan tidak memberatkan para makmumnya, terlebih di malam-malam yang waktunya pendek, itu semua juga tergantung pada keadaan masyarakat itu sendiri. Ibnu Qudamah, pengarang kitab al-Mughni berkata, Lebih utama jika melihat keadaan masyarakat, jikalau jamaah sepakat dan ridha dengan bacaan yang panjang dan mereka memang berkehendak demikian, itu lebih baik. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dzar, dia berkata Kami salat (Tarawih) bersama Nabi Muhammad sampai-sampai kami takut kehilangan waktu sahur. Selain itu, juga dianjurkan untuk mememulai Tarawih dengan membaca surat alAlaq, sebab surat ini adalah surat yang pertama kali diturunkan. Niat Tarawih diucapkan setiap dua rakaat dan dianjurkan melafalkannya dalam hati, Saya berniat salat sunah Tarawih dua rakaat. Nabi Muhammad SAW bersabda Sesungguhnya setiap pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Selain itu, juga diperbolehkan istirahat setiap selesai empat rakaat dengan diselingi sebuah jilsah (khutbah). Di setiap istirahat ini, tidak dianjurkan untuk berdoa, sebab salat Tarawih belum
B U L E T I N I Q R A , E D I S I V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

benar-benar usai dan tidak adanya nas yang menjelaskan hal ini. Namun, apabila salat Tarawih selesai dilaksanakan, maka diperbolehkan untuk berdoa. Hal ini dipahami dari QS. al-Insyirah: 7, Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan yang lain). Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini, salat Tarawih dilaksanakan usai salat Isya, dan tidak sah hukumnya bila dikerjakan sebelumnya. Barangsiapa yang mengerjakan Tarawih dan ingat bahwa ia belum salat Isya, maka ia harus mengulang Tarawih. Hal ini karena salat Tarawih adalah salat sunah yang hanya sah dilaksanakan usai salat fardhu (Isya). Tarawih juga lebih utama dikerjakan di masjid ketimbang di rumah. Diriwayatkan dari Abu Dzar, Rasulullah SAW bersabda, Baranngsiapa yang salat bersama imam sampai ia pulang, maka ia diberi pahala setara dengan pahala qiyam lail. (HR. Muslim) Jumlah Rakaat dan Penyatuan Jamaah Tarawih Pada mulanya, di zaman Nabi para Sahabat mengerjakan salat Tarawih secara berkelompok dan terpencar-pencar. Hal ini terus berlanjut hingga Abu Bakar alShiddiq RA menjadi khalifah. Pada masa ini, salat Tarawih dengan satu imam belum dilaksanakan, sehingga ketetapan mengenai rakaat salat Tarawih pun masih buram. Sebagian Sahabat mengerjakan delapan rakaat di masjid, dan menyempurnakan sisanya hingga dua puluh rakaat di rumah masing-masing. Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa Rasulullah keluar di malam bulan Ramadhan. Beliau melihat banyak orang mengerjakan salat Tarawih di sudut masjid. Lantas beliau bertanya, Siapa mereka? Kemudian dijawab, Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai al-Quran, dan Sahabat Ubay bin Kaab mengimami mereka. Nabi berkata, Yang mereka perbuat adalah benar, dan sebaik-baiknya perbuatan adalah yang mereka lakukan. (HR. Abu Daud) Dalam riwayat lain dijelaskan, Abdurrahman bin Abdul Qari berkata, Saya keluar bersama Umar bin Khattab RA ke masjid ketika Ramadhan. Di dalam masjid tersebut terdapat orang salat Tarawih dalam keadaan berbeda-beda. Ada yang salat sendiri-sendiri da ada juga yang berjamaah. Lalu Umar bin Khattab berkata, Bila mereka dikumpulkan dalam satu jamaah dengan seorang imam tentu lebih baik. Umar bin Khattab kemudian mengumpulkan mereka dan menunjuk Ubay bin Kaab untuk menjadi imam. Pada malam berikutnya, kami datang lagi, dan orang-orang salat dalam satu jamaah. Umar bin Khattab kemudian berkata, Sebaik-baiknya bidah adalah ini (salat Tarawih berjamaah). (HR. Bukhari) Ketika Umar bin Khattab RA mengumpulkan orang-orang dalam satu jamaah salat Tarawih, mereka berjamaah dengan dua puluh rakaat, sebagaimana diriwayatkan oleh Yazid bin Ruman, dia berkata: Manusia

QADHAYA
senantiasa melaksanakan salat Tarawih pada masa Umar RA di bulan Ramadhan sebanyak dua puluh tiga rakaat. (HR. Malik). Dua puluh tiga rakaat tersebut adalah melaksanakan salat Tarawih dua puluh rakaat dan tiga lagi salat Witir. Riwayat ini diperkuat oleh sebuah riwayat lainnya yang diriwayatkan Saib bin Yazid, Para Sahabat melaksanakan salat Tarawih pada masa Umar RA di bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat. (HR. Baihaqi) Dua dalil di atas sangat jelas menyatakan jumlah bilangan salat Tarawih sebanyak dua puluh rakaat. Dalil tersebut juga dikuatkan dengan perilaku para Sahabat yang mengerjakannya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ijmak Sahabat tersebut disetujui, karena tiada satu orangpun yang mengingkari atau menentang. Pendapat ini juga dikuatkan lagi oleh sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Bakar Abdul Aziz dalam kitabnya al-Syafi, Ibnu Abbas RA berkata, Sesungguhnya Nabi mengerjakan salat pada bulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat. Para ulama memiliki tiga pandangan berbeda dalam menentukan jumlah rakaat pada salat Tarawih, di mana sebagian besar mereka berpendapat bahwa salat Tarawih terdiri dari dua puluh rakaat dan hukumnya sunah. Hal itu dapat kita lihat sebagaimana yang telah dilakukan oleh kaum Muhajirin dan Anshar. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa salat Tarawih terdiri dari tiga puluh enam rakaat, sebagaimana ditemui pada zaman Umar bin Abdul Aziz. Sedangkan sebagian lainnya berpendapat bahwa salat Tarawih terdiri dari tiga belas rakaat, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah RA Sesungguhnya Nabi tidak pernah salat Tarawih pada bulan Ramadan lebih dari tiga belas rakaat. Sahur Sambungan dari hlm. 1 Ash, Rasulullah SAW bersabda: Perbedaan antara puasa kita dengan puasa Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) ada pada makan sahur. Selain itu, Imam Nawawi menegaskan bahwa salah satu barakah makan sahur adalah menjadikan fisik semakin sehat, sehingga orang yang menjalankan puasa merasa bersemangat dan tidak bermalas -malasan menjalankan aktifitas. Rasulullah SAW menganjurkan umatnya untuk selalu makan sahur apabila hendak berpuasa, sebab Allah serta malaikat-Nya bersalawat kepada mereka. Dari Abu Said al-Khudri, Rasulullah bersabda, Makan sahur adalah makan penuh berkah. Janganlah kalian meninggalkannya walau hanya dengan seteguk air, karena Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang -orang yang makan sahur . (HR. Ahmad) Dari sinilah dapat dipahami alasan mengapa waktu sahur merupakan waktu yang penuh berkah. Dalam Hadis lainnya, Rasulullah menjelaskan, Allah SWT turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Kemudian Allah berfirman: siapa saja yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, akan Aku penuhi permintaannya. Dan barangsiapa yang memohon ampunan pada-Ku, Aku akan mengampuninya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berpendapat, Yang benar adalah semuanya baik, sebagaimana Imam Ahmad juga berkata demikian, dan sesungguhnya tidak ditetapkan dalam salat Tarawih bilangan rakaat yang pasti, sesungguhnya Nabi belum mematenkan jumlah rakaatnya, maka dari itu memperbanyak rakaat atau pengurangannya, tergantung atau melihat panjang dan pendeknya malam. Syaukani berpendapat, Hadis-hadis tersebut menunjukan bahwa salat Tarawih telah disyariatkan, boleh dikerjakan secara berjamaah dan boleh juga sendiri-sendiri. Namun jika kita katakan bahwa salat Tarawih memiliki jumlah rakaat tersendiri, dan bacaan tersendiri ( harus menghabiskan satu juz tiap malamnya), maka yang demikian tidak terdapat dalam Sunah. Dari sini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa ibadah salat Tarawih, merupakan ibadah yang tidak kita temukan kecuali di bulan Ramadhan. Salat Tarawih juga tidak diwajibkan oleh syariat, melainkan sunah. Jumlah rakaat salat Tarawih pun tidak terbatas, karena hadis yang diriwatkan di atas bersifat umum. Meskipun banyak para ulama yang lebih mengambil jumlah dua puluh rakaat. Hal ini didasari atas apa yang dipahami dan dikerjakan oleh Umar bin Khattab dari hadis Rasulullah SAW. Kendati demikian, tidak ada yang menafikan bila seseorang mengerjakan salat Tarawih sedikit ataupun lebih dari dua puluh rakaat. Karena hal itu adalah sebuah keuatamaan, semakin banyak mengerjakan, semakin banyak pula pahala yang didapatkan. Wallahu Alam bi al-Shawab

Al -Q u ran ju g a m e m u ji m e re ka yang memanfaatkan waktu sahur dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah. Salah satunya terdapat dalam surat Ali Imran: 17, (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur, dan juga dalam surat lain yang artinya, Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (QS. al-Dzariyat: 18) Terakhir, salah satu hikmah terpenting dari sahur adalah agar siapapun yang melaksanakannya tidak melewatkan waktu Shubuh dan bisa menjalankan salat Shubuh berjamaah. Sedangkan waktu sahur sendiri adalah pertengahan malam sampai munculnya fajar. Tetapi dianjurkan untuk mengakhirkan sahur, hal ini didasari Hadis Rasulullah SAW, Umatku akan tetap baik, selama masih mendahulukan berbuka dan mengakhirkan sahur. (HR. Baihaqi) Meski sahur hanyalah sebuah sunah, namun dengan banyaknya keutamaan di dalamnya, tentu menjadikan kita tidak ingin melewatkannya. Semoga istikamah. Wallahu alam.

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

V I ,

R A M A D H A N

1 4 3 4

6 MABHATS

Komparasi Landasan Penentuan Awal Bulan Antara Rukyat dan Hisab

enetapkan awal maup u n a k h ir bulan Ramadhan selalu menjadi suatu polemik di Indonesia hampir setiap tahunnya. Hal ini berdampak kepada tidak sedikit dari gologan masyarakat yang resah dengan keputusan pemerintah, dan sikap sebagian golongan yang berbeda dalam menentukan awal bulan Ramadhan maupun Syawal. Proses klarifikasi data yang ada, mutlak diperlukan untuk mengetahui hasil konkrit dari sebuah penelitian. Oleh karena itu, dalam hal penentuan awal bulan qamariah kita dapat menemukan golongan yang menetapkannya berdasarkan rukyat, dan juga golongan yang menggunakan hisab sebagai landasannya.

Dede Permana
yang menerangkan permasalahan ini. Apabila kita belum dapat melihatnya, maka kita dianjurkan untuk menggenapkan puasa menjadi tiga puluh hari, sebagaimana riwayat Abu Hurairah bahwa Nabi SAW bersabda: Apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya kembali, maka berbukalah. Namun apabila kalian belum dapat melihatnya, maka berpuasalah genap tiga puluh hari. (HR. Bukhari, Muslim, Nasai) Lebih dari itu, Ibnu Bazizah mengatakan bahwa menerima hisab adalah suatu mazhab yang batil. Kesimpulan ini diambil berdasarkan suasana yang terdapat pada zaman tersebut, di saat perkembangan ilmu hisab dan teknologi belum mendukung untuk memberikan kepastian dan dugaan kuat kepada penetapan awal bulan. Ilmu hisab atau ilmu perbintangan menurut beberapa ahli adalah ilmu yang spekulatif, belum memiliki kepastian dan hasilnya berbeda -beda. Perbedaan metodologi hisab menimbulkan pertikaian pada khayalak ramai, Ditambah dengan suasana peramalan, ahli nujum, dan pertenungan pada saat itu yang masih sering mewarnai ilmu hisab, sehingga rukyat menjadi sarana yang sangat efektif untuk ditetapkan sebagai landasan dalam penentuan awal bulan. Pendapat tentang hisab Sebagian ulama lainnya, seperti Imam Ibnu Asyur dalam tafsirnya, alTahrir wa al-Tanwir menyatakan bahwa penafsiran kata dalam surat al Baqarah : 185 tersebut tidak mutlak diartikan dengan melihat, tetapi lebih luas daripada itu. Kata tersebut dapat diartikan dengan mengetahui. Bagi yang telah mengetahui (melalui perhitungan maupun observasi) bahwa hilal dapat terlihat pada tanggal 29 Syaban, maka telah sah baginya untuk melaksanakan puasa Ramadhan pada keesokan harinya. Yusuf Qaradhawi, Muhammad Rasyid Ridha, dan beberapa ulama kontemporer lainnya, seperti Mustafa Ahmad alZarqa menyatakan bahwa hisab dapat dijadikan landasan dalam penentuan awal bulan. Hal ini berlandaskan pada pemahaman ayat dan Hadis yang berkaitan dengan masalah ini. Allah SWT berfirman dalam QS. Yasin 39-40, Dan telah Kami tetapkan bagi bulan fase-

Apabila kalian melihat bulan, maka berpuasalah. Dan apabila kalian melihatnya kembali, maka berbukalah. Namun apabila kalian belum dapat melihatnya, maka berpuasalah genap tiga puluh hari.

rukyat

Pendapat pendukung

Sebagian ulama, seperti alMaraghi, Ibnu Katsir dan juga Ibnu Taimiyah cenderung memilih rukyat. Hal tersebut sesuai dengan firman Allah, . Kata syahida dalam ayat ini cenderung diartikan sebagai menyaksikan ataupun melihat secara kasat mata. Dalam Lisan al-Arab, hakikat rukyat jika dikaitkan dengan suatu hal yang bersifat materi adalah melihatnya langsung dengan indera pengelihatan. Dikarenakan hilal adalah benda yang dapat dilihat oleh indra, maka cara penetapan awal bulan tersebut harus ditempuh dengan melihatnya, bukan melalui hisab. Hal ini dipertegas dengan Hadis yang melarang memulai berpuasa dan mengakhirinya dengan beridul fitri sebelum melihat hilal: Janganlah kalian berpuasa, hingga kalian melihat hilal, dan jangan pula mengakhirinya sebelum kalian melihat hilal kembali. Apabila tidak jelas, maka perkirakanlah. (HR. Muslim) Begitu juga dengan Hadis lain
V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

B U L E T I N

I Q R A , E D I S I

MABHATS
fase tertentu, sehingga (setelah bulan tersebut sampai pada fase terakhir), kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapati bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah telah memberikan posisi khusus pada semua benda di angkasa, di mana satu benda dengan yang lainnya sudah tertata rapi tanpa adanya perubahan dalam tatanan tersebut, sehingga membantu kita untuk dapat menentukan jumlah tahun dan sistem hisab. Dalam ayat lain kemudian juga dijelaskan bahwa matahari dan bulan beredar menurut perhitungan tertentu (QS. al-Rahman: 5). Kedua ayat tersebut secara tidak langsung merupakan isyarat bahwa penentuan awal bulan dapat dilakukan dengan hisab. Secara astronomis dapat disimpulkan bahwa kelahiran bulan baru terjadi ketika masa konjungsi (ijtimak), yaitu bulan berada pada titik terdekat kepada garis lurus antara pusat bumi dan matahari. Ayat-ayat tersebut memberikan isyarat bahwa penempatan hilal di titik konjungsi dapat dihitung dengan rumus astronomis, sehingga kita dapat menetapkan permulaan bulan Ramadhan maupun permulaan bulan Syawal, melalui perhitungan yang komprehensif menggunakan hisab jauh-jauh hari sebelum tanggal 29 di bulan Syaban maupun Ramadhan. Secara umum, kriteria yang dijadikan dasar untuk menetapkan awal bulan qamariah oleh metode ini adalah ijtimak terjadi sebelum terbenamnya matahari; awal bulan qamariah dimulai sejak matahari terbenam setelah ijtimak; hilal sudah berada di atas ufuk pada saat matahari terbenam. Dalam metode ini, Hadis -hadis tentang perintah untuk rukyat dipahami sebagai Hadis yang memerintahkan untuk mengetahui awal bulan melalui rukyat. Menurut golongan yang menguatkan sistem hisab, Hadis perintah rukyat adalah Hadis yang sesuai dengan kondisi di saat itu, yaitu tatkala buta huruf masih banyak dialami oleh mayoritas manusia, sebagaimana sabda Nabi, Kita adalah umat yang ummi, tidak bisa menulis dan juga berhitung. Satu bulan itu seperti ini, dan seperti ini (isyarat tiga puluh dan dua puluh Sembilan menggunakan jari) (HR. Bukhari dan Muslim). Hadis di atas dijadikan landasan untuk penerapan hisab, setelah memahami bahwa keadaan umat islam pada saat itu masih ummi. Ini berarti bahwa setelah umat terbebas dari keadaan ummi, maka hisab dapat dilakukan. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathu al-Bari menjelaskan bahwa maksud dengan hisab dalam Hadis tersebut adalah hisab perbintangan dan astrologi. Menurut Yusuf al-Qaradhawy, penggunaan hisab yang pasti pada zaman sekarang, haruslah diterima berdasarkan qiyas aulawi (argumentum afortiori). Artinya, sunah yang mensyariatkan bagi kita untuk menggunakan rukyat sebagai sarana yang lebih mudah, tidak mungkin menolak sarana yang lebih tinggi dan lebih sempurna. Hal ini membuat kita lebih mampu dalam merealisasikan tujuan dan membawa umat keluar dari pertikaian sengit dalam menentukan permulaan dan akhir dari ibadah puasa.

Pengambilan sikap dalam perbedaan sudut pandang Dalam diskursus rukyat dan hisab yang telah ramai dibicarakan oleh ulama klasik maupun kontemporer, kita perlu menggarisbawahi bahwa perbedaan seperti ini adalah perbedaan yang berada dalam ranah ijtihadiah, sebuah keluasan Islam dalam menolerir berbagai sekte dalam menjalankan perintah agama sebagaimana yang dipahami oleh tiap individu dengan landasan dan metodologi yang dimilikinya. Setiap konsep juga memiliki landasan dan argumen yang dapat dipertahankan sesuai daya tanggap dan sudut pandangnya terhadap teks dan konteks persoalan. Hal ini juga dipengaruhi dengan paradigma dan berbagai pengaruh yang melatarbelakangi tiap-tiap konsep. Oleh karena itu, komunikasi intens dan ilmiah dibutuhkan untuk dapat memahami dan berempati antara suatu golongan dengan golongan lainnya. Pemahaman dan empati ini dapat terwujud hanya dengan sejauh mana masing -masing dapat berkomunikasi, bukan dengan mengambil jarak yang akan berdampak kepada intellectual arrogance. Dikarenakan masing-masing konsep memiliki ciri -ciri, perbedaan, kelebihan, dan kekurangan, maka saling berkomunikasi dan saling mengembangkan hubungan asosiatif literal inderawi dan nalar rasional ilmiah antar individu maupun golongan merupakan suatu alternatif terbaik untuk menjembatani polemik yang kerap terjadi menjelang masuknya bulan Ramadhan dan Syawal. Wallahu alam bi al-Shawab

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

V I ,

R A M A D H A N

1 4 3 4

8 NADHRAH

Sambungan Memupuk Kebaikan... Nabi Musa AS: Aku berikan kepada umat Muhammad dua cahaya agar mereka tidak dibinasakan oleh dua kegelapan. Nabi Musa kemudian bertanya, Apakah dua cahaya tersebut, Tuhanku? Allah berfirman: Cahaya Ramadhan dan cahaya al-Quran. Nabi Musa kembali bertanya,Dan apakah dua kegelapan itu, Tuhanku? Allah berfirman: Kegelapan alam kubur dan kegelapan di Hari Akhir. Keistimewaan lainnya dijelaskan oleh Rasulullah dalam Hadis yang artinya, Bulan Ramadhan adalah bulan dengan rahmat di awalnya, ampunan pada pertengahannya, dan pembebasan dari api neraka sebagai akhirnya. (HR. Ibnu Abi Dunia) Keistimewaan tersebut semakin menguat tatkala al-Quran diturunkan di dalamnya. Hal ini diabadikan dalam QS. al-Baqarah: 185, Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan keteranganketerangan mengenai petunjuk tersebut, dan pembeda (hak dan batil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu Pada ayat lain kemudian juga dinyatakan bahwa malam ketika al-Quran diturunkan adalah malam yang penuh barakah. Demi Kitab yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi, dan sesungguhnya Kamilah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (QS. al-Dukhan: 2-4) Keterangan tentang malam yang diberkahi ini ternyata ditemukan pada QS. al-Qadr yang dengan gamblang menyatakan bahwa al-Quran diwahyukan kepada Rasulullah ketika malam lailat alQadr yang begitu agung, sebab pahala ibadah pada malam ini setara dengan ibadah selama seribu bulan. Makna Puasa Ayat tentang kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan diawali oleh ayat 183 surat alBaqarah yang artinya, Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. Ayat tersebut dengan tegas menyiratkan tujuan pokok puasa, takwa. Syekh Muhammad Abdul Majid Zaidan dalam majalah Minbar alIslam menegaskan bahwa takwa bermakna ketaatan dan hijrah seorang hamba dari keburukan menuju kebaikan untuk selamanya. Oleh karena itu, Abu Said al-Kharraz berujar, Langkah awal menuju Allah adalah taubat, kemudian diikuti dengan tumbuhnya rasa takut (khauf), dan diakhiri dengan sikap berharap (raja). Adapun puasa merupakan satu-satunya ritual ibadah yang menjadi rahasia antara Maha Pencipta dengan makhlukNya. Hal ini berbanding terbalik dengan ritualritual selain puasa, seperti shalat, zakat dan haji yang dapat diketahui oleh sesama. Lebih lanjut, Muhammad Abu Zahrah dalam Zahrah al-Tafasir mengatakan bahwa salah satu alasan di balik perintah puasa dalam bulan Ramadhan adalah peristiwa diturunkannya al -Quran (nuzul al-Quran) dan pengangkatan Muhammad SAW sebagai utusan Allah. Puasa merupakan salah satu cara untuk mengenang kedua momentum agung tersebut. Hal ini, menurut Abu Zahrah adalah bentuk syukur seorang hamba atas beberapa nikmat besar dalam hidupnya, yaitu nikmat hidayah, nikmat keluar dari lembah kebodohan menuju pelita iman, serta nikmat akan hadirnya seorang utusan agung. Di sini lain, puasa bertujuan memerdekakan jiwa seorang hamba, lahir maupun batin. Oleh sebab inilah, Allah menjadikan puasa sebagai ganti dari pembebasan budak dalam beberapa hukum. Misalnya terdapat dalam QS. alNisa: 92, ... Barang siapa yang tidak memperolehnya (budak), maka hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut, untuk bertaubat kepada Allah ... Hal yang sama ditemukan pada surat al-Mujadalah ayat 4, yang menjelaskan tentang kewajiban berpuasa selama dua bulan berturut-turut bagi mereka yang menzihar istrinya serta tidak menemukan budak sebagai sanksinya. Terakhir, kewajiban berpuasa dijelaskan dalam surat al-Baqarah: 196, ...Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban), maka wajib baginya berpuasa selama tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kalian telah kembali... Allah memerintahkan bagi para pelanggar hukum tersebut untuk membebaskan seorang hamba sahaya dari perbudakan. Namun apabila mereka tidak mampu memenuhi perintah tersebut, Allah meminta mereka untuk memerdekakan diri mereka dari nafsu dan syahwat melalui puasa. Hal ini tidak lain karena puasa merupakan sebuah ibadah yang membuat pelakunya akan berusaha untuk memerangi kedua hal tersebut karena Allah semata. Sementara itu, Imam Ghazali membagi puasa kedalam tiga tingkatan, yaitu umum (shaum al-umum), khusus (shaum al-khusus), dan istimewa (shaum khusus al-khusus). Puasa umum adalah

B U L E T I N

I Q R A ,

E D I S I

V I ,

R A M A D H A N

1 4 3 4

NADHRAH
menahan lapar dan mencegah diri mengikuti hawa nafsu. Adapun puasa khusus bermaksud mencegah telinga, mata, lisan, kaki dan tangan serta anggota tubuh lainnya terhadap perbuatan maksiat. Sedangkan puasa dalam kategori terakhir, adalah menjaga hati dari materi duniawi dan menyibukkannya dengan dzikir. Tentu saja tidak mudah untuk melalui ketiga tahapan tersebut, apalagi untuk bisa sampai di titik terakhir. Tapi, justru hal inilah pelajaran terpenting dari puasa yang disebut oleh Syekh Syarawi dalam tafsirnya sebagai sarana untuk belajar (al-shiyam, madrasah li al-tarbiyah), belajar melatih diri untuk mencegah nafsu mendekati hal-hal yang akan membatalkan puasa, lahir maupun batin. Hikmah Puasa Selain berbagai keistimewaan di atas, puasa juga memberikan banyak pelajaran berharga yang mungkin jarang disadari oleh banyak orang. Contoh yang paling sederhana adalah larangan untuk makan dan minum. Kedua hal tersebut merupakan perbuatan yang bersifat mubah, namun bila dilakukan akan mengakibatkan batalnya puasa. Ini artinya, kedua hal tersebut harus dihindari agar puasa tidak batal. Bila saja kedua hal sederhana tersebut harus dijauhi, maka bagaimana halnya dengan perbuatan-perbuatan maksiat? Berikutnya, puasa juga mengajarkan pelakunya untuk

menghargai dan berbuat baik kepada sesama. Dengan berpuasa, seseorang tentu akan merasa lapar. Hal ini secara tidak langsung memberitahukan kepadanya penderitaan yang dirasakan oleh kaum papa ketika mereka kelaparan, kehausan atau kesulitan mendapatkan makanan. Dengan demikian, hal tersebut akan menjadikannya lebih peduli kepada sesama. Pelajaran penting lainnya yang dapat dipetik dari ibadah puasa adalalah anjuran untuk tetap produktif dan bersabar dalam kesulitan. Seseorang yang berpuasa sudah pasti merasakan lapar dan dahaga. Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak memenuhi kewajiban, meski pada kenyataannya, banyak sekali ditemukan fakta kemalasan beraktifitas dengan puasa sebagai dalih utama. Tentu saja hal tersebut tidak bisa dibenarkan, sebab al-Quran memerintahkan umatnya untuk bekerja, Bekerjalah kalian, maka Allah dan Rasul-Nya serta orangorang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kalian akan dikembalikan kepada Zat yang mengetahui akan yang gaib dan nyata, lalu diberitakan kepada-Nya apa yang telah kalian kerjakan. (QS. al-Taubah: 105), juga pada ayat lain yang berbunyi: Dialah yang menjadikan bumi mudah bagi kalian, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya kalian kembali. (QS. al -Mulk: 15). Inilah mengapa puasa tidak bisa dijadikan tameng atas ketidakberesan suatu pekerjaan. Seandainya seorang kepala keluarga enggan bekerja ketika berpuasa, maka dari mana nafkah untuk keluarganya didapatkan? Fakta miris lainnya adalah banyaknya umat Islam yang memperpanjang waktu istirahat, melalui sebuah pemahaman bahwa istirahatnya seorang yang berpuasa merupakan ibadah. Wajdi Ghanaim dalam bukunya Kaifa Nastaqbilu Ramadhan? mengkritik keras

pemahaman tersebut. Menurutnya, seorang yang berpuasa dianjurkan untuk menyibukkan diri dengan ibadah dan hal-hal bermanfaat lainnya, bukan sebaliknya. Ia juga menyatakan bahwa mungkin saja istirahat tersebut baru akan bernilai ibadah jika dikerjakan oleh orang-orang yang banyak berbuat maksiat dan aniaya. Tidak hanya itu, Ramadhan juga menganjurkan kepada pelakunya untuk banyak berinfak dan bersedekah. Rasulullah bersabda, Barangsiapa yang memberikan makanan untuk berbuka kepada seseorang yang berpuasa, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang diberinya, tanpa mengurangi pahala milik orang itu. (HR. Tirmidzi). Bahkan, di penghujung Ramadhan umat Islam diwajibkan untuk menunaikan zakat, menyisihkan sebagian harta untuk mereka yang lebih berhak mendapatkannya. Ibnu Abbas mengatakan, Rasulullah mewajibkan zakat fitrah untuk menyucikan jiwa seorang yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, juga sebagai sarana untuk memberikan makanan kepada fakir miskin. Dari semua pelajaran tersebut, dapat dipahami bahwa puasa melahirkan banyak kebaikan-kebaikan kecil tak terduga, namun begitu bermanfaat. Kebaikankebaikan tersebut saling berhubungan dan tidak bisa dilepaskan satu sama lain. Ini berarti, salah satu dari pelajaran tersebut tidak akan bernilai jika pelajaran lainnya diabaikan. Dari hal-hal kecil inilah, umat Islam didirikan. Puasa tak ubahnya seorang tabib yang mengobati pasienpasiennya, secara lahir maupun batin. Dengan demikian, usai menjalani pengobatan tersebut, sang pasien diharapkan bisa menjaga kesehatannya dan memanfaatkannya untuk kebaikan diri sendiri, agama serta orang-orang di sekitarnya. Wallahu alam.
I Q R A , E D I S I V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

B U L E T I N

1 0 UDHAMA

Thantawi Jauhari: Ulama Sederhana, Perintis Tafsir Saintis Risky Maratul Muallamah
U s a i menempuh pendidikan di dua universitas tersebut, Thantawi memulai karirnya sebagai seorang pengajar. Awalnya, ia mengajar di beberapa madrasah, dan juga memberikan kuliah di Dar al-ulum. Hingga pada 1912, ia diangkat menjadi dosen tetap di universitas tersebut. Selain mengajar, ia juga aktif menulis di harian al-Liwa, untuk mengobarkan semangat kepada pergerakan-pergerakan umat Islam ketika itu. Tahun 1922, Syekh Thantawi mulai berhenti dari kegiatan mengajarnya, dan mulai menulis tafsirnya, al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim. Tafsir ini begitu unik, sebab Syekh Thantawi menggunakan metode penafsiran yang sama sekali berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Melalui keluasan dan kedalaman pengetahuannya dalam berbagai bidang, Syekh Thantawi berhasil menerapkan metode penafsiran saintis (tafsir ilmiy) dalam tafsir yang pada mulanya merupakan artikel bersambung di beberapa media ini. Artikel dengan judul al-Taj al-Murassha bi Jawahir al-Quran wa al-Ulum (mahkota dengan untaian mutiara al-Quran dan pengetahuan) ini, berhasil dirampungkan dalam kurun waktu tiga belas tahun. Syekh Thantawi menghabiskan waktunya dengan mengajar dan berkarya. Bahasa yang digunakan dalam karya-karyanya pun begitu mudah untuk dicerna. Karyakaryanya antara lain, al-Zahra fi al-alam wa al-Umam; alFaraid al-Jauhariyah fi al-Thuruq al-Nabawiyah; al-Madkhal fi Falsafah; al-Jawahir fi Tafsir al-Quran al-Karim, dan beberapa karya lainnya. Dalam beberapa karyanya, Syekh Thantawi selalu mengajak umat Islam untuk bersatu, dan menghindari perpecahan. Sosok Thantawi banyak menginspirasi banyak orang. Tidak heran banyak para murid yang berdatangan dan menimba ilmu kepada beliau. Lebih dari itu, banyak dari mereka yang menjadi seorang Politikus, Sastrawan dan Arsitektur, seperti Ibrahim Ramzy dan Muhammad Luthfy Jum'ah. Beberapa tahun setelah merampungkan tafsirnya, kesehatan Syekh Thantawi terus menurun. Bulan Dzulhijjah 1357 H, atau bertepatan dengan Januari 1940, Syekh Tanthawi kembali ke sisi-Nya. Wallahu alamu.

Ketika aku memikirkan keadaan umat Islam dan system pendidikannya, aku menulis surat kepada ilmuwan dan ulama-ulama tentang tanda-tanda kebesaran Allah di alam ini, yang sering dilupakan. Sangat sedikit di antara mereka yang memerhatikan kejadian alam dan keajaiban yang melingkupinya. Demikianlah kalimat pengantar yang ditulis oleh Syekh Thantawi Jauhari dalam tafsirnya, al-Jawahir fi Tafsir alQuran al-Karim. Thantawi Jauhari al-Mishri dilahirkan pada tahun 1862 M. Ia menghabiskan masa kecilnya di kampung kakeknya, Iwadhillah Hijazi. Thantawi dibesarkan di lingkungan keluarga yang sederhana dan agamis. Ayahnya, Syekh Jauhari, adalah seorang petani di kampungnya. Dari ayahnya inilah, rasa cinta akan ilmu dan al-Quran tumbuh pada diri Thantawi. Sejak lecil, Thantawi dididik untuk mencintai ilmu pengetahuan dan agamanya. Oleh sebab inilah, Thantawi telah menyelesaikan hafalan al-Quran di usia yang sangat belia, tiga belas tahun. Thantawi kemudian melanjutkan pendidikan menengah di kampungnya. Selain itu, Thantawi juga menimba ilmu kepada pamannya, Syekh Muhammad Syalabi. Kendati hidup dalam keadaan yang sangat sederhana, semangat untuk mencari ilmu dalam diri Thantawi tak pernah surut. Pada tahun 1877 M, Thantawi mulai belajar di Al-Azhar. Di sini, Thantawi bertemu dan berguru kepada ulama-ulama terkemuka di masa itu, salah satunya adalah Syekh Muhammad Abduh, yang kelak banyak mewarnai pemikirannya, terlebih dalam tafsirnya. Selain berguru kepada ulama-ulama besar, pada masa ini, Thantawi juga banyak menulis artikel pada berbagai media massa. Usai belajar di Al-Azhar, Thantawi tak lantas pulang ke kampung halamannya. Ia memperdalam keilmuan secara spesifik dalam beberapa bidang, seperti Fikih Syafii, Tauhid, Nahwu, Arudh dan Balaghah. Tak dinyana, di tengah perjalanan tersebut, Allah mengujinya. Thantawi didera sebuah penyakit yang membuatnya beristirahat sejenak di desa kelahiran, kembali dalam pangkuan sang ayah. Selama tiga tahun, sang ayah tanpa henti merawat, dan mendoakan agar putranya diberi kesembuhan. Sang ayah juga berharap, semoga putranya diberi kesempatan untuk kembali belajar. Harapan Syekh Jauhari tersebut terpenuhi. Tahun 1889, Thantawi sembuh dari sakit yang dideritanya. Pada tahun yang sama, ia juga belajar ke Dar al-Ulum. Di kampus ini, Thantawi mulai bersentuhan dengan ilmu-ilmu sains, seperti Biologi, Kimia, Meteorologi, dan juga Matematika. Lebih dari itu, pada masa ini, Thantawi juga menggemari Fisika. Melalui kecintaannya pada ilmu ini, Thantawi ingin menepis anggapan bahwa Islam tidak memerhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Di saat yang sama, Thantawi juga belajar Fikih Hanafi kepada Imam Nawawi. Empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1893, Thantawi berhasil menamatkan studinya.
B U L E T I N I Q R A , E D I S I V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

Mengenal Ramadhan

MARJA

11

Saeful Luthfy

i antara bulan-bulan Hijriyah lainnya, Ramadhan merupakan satusatunya bulan yang disebut secara langsung oleh al-Quran. Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk tersebut dan pembeda (antara yang hak dan bathil). (QS. al-Baqarah:185) Pembahasan mengenai bulan Ramadhan tidak pernah surut, bahkan semakin mencuat dan banyak bermunculan. Hal ini tidak lain karena para ulama masih terus menggali rahasia di balik pengkhususan bulan suci Ramadhan oleh Allah SWT. Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dikerjakan oleh umat Islam selama sebulan penuh. Kewajiban puasa selama sebulan penuh, masih meninggalkan rasa penasaran dan keingintahuan pada diri ulama. Terlebih, ia merupakan amalan yang dikerjakan untuk Allah, dan Allah sendiri yang memberi pahala, sebagaimana dijelaskan dalam Hadis qudsi, Setiap perbuatan anak Adam untuknya, kecuali puasa, sesungguhnya (puasa) untuk-Ku dan Aku yang memberinya pahala. (HR.Bukhari). Beranjak dari sini, para ulama tersebut mencoba mengkaji hakikat puasa dari berbagai aspek: jasmani, rohani, kedokteran dan sosial masyarakat. Adalah Mursyid al-Awam fi Ahkam al-Shiyam ala alMadzahib al-Arbaah, sebuah maha karya salah seorang ulama terkemuka abad ke-14 Hi-

jriah, Maulana Syekh Muhammad Amin Kurdi al-Irbily al-Syafiiy al-Naqsyabandy yang membahas secara eksplisit tentang hakikat Ramadhan dan keutamaan beribadah di dalamnya. Syekh Amin Kurdi mengklasifikasikan buku ini dalam beberapa bab. Di pendahuluan buku ini, beliau menjelaskan tentang keutamaan belajar dan mencari ilmu, terkhusus di bulan Ramadhan. Selanjutnya ia menjelaskan bab-bab yang terdapat dalam buku ini, seperti keutamaan bulan Ramadhan; keutamaan puasa Ramadhan; hikmah dan tingkatan puasa; hukum puasa; keharusan memperbanyak puasa sunah; salat Tarawih; khusyuk dalam salat; tadarus al-Quran di bulan Ramadhan; takwa; menjaga lima hal serta melawan godaan setan dan hawa nafsu; etika; mengasihi sesama Muslim; memperbaiki hawa nafsu dan hati; dzikir; doa; sedekah di bulan Ramadhan; malam Lailatul Qadr; zakat fitri; mengeluarkan zakat; dua hari raya; ziarah kubur dan terakhir, di penghujung buku ini, beliau menuliskan tentang keutamaan bermunajat kepada Allah SWT. Salah satu bab yang sangat menarik untuk dikaji adalah keistimewaan bulan Ramadhan. Syekh Amin Kurdi menjelaskan bahwa bulan Ramadhan adalah satu-satunya bulan yang disebut oleh Allah SWT dalam al-Quran. Hal ini menunjukkan bahwa bulan ini memiliki banyak keutamaan di antara bulan lainnya. Salah satunya adalah mengenai keadaan umatumat terdahulu sebelum diutusnya Muhammad SAW yang diberi Allah umur panjang, sehingga mereka juga memiliki amalan yang cukup

banyak. Namun tidak demikian halnya dengan umat Muhammad SAW yang Data Buku: umumnya tidak berumur panjang. Oleh karena itulah, Allah menganugerahkan Ram- Judul: Mursyid aladhan kepada umat ini, agar usia mereka yang tidak cukup lama tersebut bisa Awam fi Ahkam almenghasilkan amalan dan juga pahala yang Shiyam ala alsetara atau bahkan melebihi umat -umat Madzahibal-Arbaah sebelumnya Penulis: Maulana Dinamakan Ramadhan, karena ia membakar dosa-dosa manusia dengan ban- Syekh Muhammad yaknya ibadah. Keutamaan lainnya adalah Amin Kurdi alturunya al -Quran dan kitab -kitab suci Irbily al-Syafiiy allainnya di bulan Ramadhan. Rasulullah SAW Naqsyabandy juga menjelaskan tentang keutamaan bulan ini dalam sabdanya, Jika telah datang bulan Penerbit : Ramadhan, dibukalah pintu -pintu surga, di- Majmuah Zad altutuplah pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu Iqtishadiyah dan dibuka pintu-pintu rahmat. (HR.Muslim) Tahun: 2003 Dalam sabda lain Rasulullah SAW menjelaskan, Seandainya seorang hamba mengetahui kebaikan-kebaikan di bulan ini, niscaya umatku akan mengharapkan Ramadhan selama satu tahun penuh. (HR. Thabrani) Bab menarik lainnya adalah tentang hikmah puasa. Di antara hikmah tersebut antara lain: puasa mengajarkan manusia untuk sabar, mengontrol diri dan hawa nafsu. Puasa juga menjadikan orang selalu sehat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Puasalah, maka kamu akan sehat. Lebih dari semua itu, puasa menjadikan keadaan sosial masyarakat semakin baik, karena si Kaya merasakan kelaparan sebagimana si Miskin. Dengan demikian terwujudlah masyarakat yang saling berbagi dan tolong menolong, dan banyak lagi hikmah lainnya. Karya Maulana Syekh Amin Kurdi yang berjumlah 112 halaman ini, masih menyimpan banyak rahasia dan hakikat Ramadhan, begitu juga dengan bab-bab lain yang belum sempat terbahas.
B U L E T I N I Q R A , E D I S I V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

1 2 SALAM

IKTIKAF
Saeful Luthfy
Salat di masjidku ini lebih utama seribu kali dibandingkan salat di masjid lain, kecuali Masjid Haram. Janganlah kau menyegerakan berpergian kecuali di tiga masjid, masjid Haram, masjid Aqsha dan masjid Nabawi. (HR. Bukhari dan Muslim) Di antara pekerjaan yang dianjurkan dalam beriktikaf adalah mengerjakan ibadah-ibadah sunah, menyibukkan diri dengan salat; tilawah al-Quran; tasbih; tahmid; tahlil; takbir; istigfar; salawat kepada Rasulullah SAW; doa dan segala seuatu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal lain yang juga dianjurkan adalah belajar ilmu-ilmu agama, seperti Tafsir, Hadis, Sirah, Fikih dan lain sebagainya. Selain pekerjaan yang dianjurkan, terdapat hal-hal yang yang dibenci, seperti berbicara dan berbuat sesuatu yang tidak bermanfaat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, Salah satu dari kebaikan seorang muslim adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat. (HR. Tirmidzi). Selain pekerjaan yang diperbolehkan dan dibenci, ada hal-hal yang dapat membatalkan iktikaf, di antaranya; pertama, keluar dari masjid secara sengaja tanpa kebutuhan walaupun hanya sebentar, karena berdiam diri di masjid merupakan rukun iktikaf. Kedua, murtad, karena seorang yang murtad, segala perbuatan ibadahnya tidak diterima, Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan terhapuslah amalmu. (QS. al-Zumar: 65). Ketiga, gila, mabuk, haid dan nifas, karena kedua hal yang pertama penyebab hilangnya syarat tamyiz, dan dua unsur terakhir mengakibatkan hilangnya syarat kesucian. Keempat, bersetubuh, sebagaimana firman Allah SWT, Janganlah kamu campuri mereka (istri), sedangkan kamu beriktikaf dalam masjid. ( QS. al-Baqarah: 187). Bagi seorang yang beriktikaf, ia harus menetap di sebuah masjid, bahkan makan, minum dan tidur pun di masjid. Ia hanya diperbolehkan keluar atau berpergian dari tempat iktikaf apabila melakukan sesuatu yang mengharuskannya keluar, sepeti mengambil bekal untuk makan, membersihkan badan dan hal lain yang tidak membatalkan iktikaf. Dari penjelasan di atas, kita dapat mengambil pelajaran, bahwa iktikaf merupakan pekerjaan dan ibadah yang sering dilakukan Rasulullah SAW, para Sahabat dan ulama-ulama terdahulu, terkhusus di bulan Ramadhan, terlebih lagi di sepuluh malam terakhir Ramadhan. Bahkan diriwayatkan, ketika datang bulan Ramadhan, Imam Syafii memberhentikan majelis ilmu. Ketika ditanya oleh salah seorang murinya, beliau menjawab, bahwa di bulan ini beliau ingin beriktikaf dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini karena selama bulan-bulan lainnya, Imam Syafii menggunakan waktunya bersama manusia, sehingga di bulan Ramadhan beliau hanya ingin bersama Allah SWT. Wallahu alam.

ktikaf secara etimologi adalah menetap di suatu tempat, sedangkan secara terminologis adalah menetap di suatu masjid dengan niat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Para ulama telah sepakat bahwa iktikaf adalah pekerjaan yang disyariatkan. Hal ini didasari dengan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Rasulullah SAW beriktikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Pada tahun di mana beliau wafat, beliau beriktikaf selama dua puluh hari. Hal ini (iktikaf) juga diikuti oleh para Sahabat dan para generasi setelah mereka. Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya, Fikih Sunah, iktikaf dibagi menjadi dua, pertama sunah dan kedua wajib. Iktikaf sunah adalah mengerjakan iktikaf tersebut sebagai sunah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, mengharapkan pahala atas apa yang dikerjakan, serta mengikuti sunah Rasulullah SAW, terlebih pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Sedangkan Iktikaf wajib adalah mengerjakan iktikaf tersebut sebagai kewajiban, seperti bernazar untuk iktikaf setelah disembuhkan dari penyakit, dan lain sebagainya. Iktikaf seperti ini wajib hukumnya, sebagaimana hadis Rasulullah SAW, Barangsiapa bernazar untuk taat kepada Allah SWT, maka kerjakanlah. Umar bin Khatab juga pernah bernazar dan berkata kepada baginda Nabi, Ya Rasulullah, saya bernazzar untuk iktikaf di masjid Haram, Rasulullah pun menjawab, tepatilah nazarmu. (HR.Bukhari). Mengenai masa iktikaf, para ulama berpendapat tidak ada batas (banyak) yang wajib dalam beriktikaf, walaupun sebagian ulama sepakat memilih sepuluh terakhir bulan Ramadhan dan boleh juga satu tahun penuh. Sedangkan zaman (sedikit) dalam beriktikaf, para ulama berbeda pendapat. Menurut Syafii, Abu Hanifah dan sebagian ulama tidak ada batas dalam beriktikaf. Sedangkan dalam riwayat Malik, terdapat berberapa perbedaan, dikatakan tiga, sehari dan semalam. Sedangkan dalam riwayat lain dikatakan, berniat menetap di masjid walau hanya sebentar, itu merupakan Iktikaf. Para ulama juga berbeda pendapat tentang tempat beriktikaf. Menurut Ibnu Rusyd dalam Bidayah al -Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, para ulama seperti Hudzaifah dan Said bin Musayyab, berpendapat tidak ada iktikaf kecuali di tiga masjid; masjid Haram, Baitul Muqaddas dan masjid Nabawi. Sedangkan Imam Syafii, Abu Hanifah, Tsawri dan Malik berpendapat bahwa iktikaf boleh dikerjakan di masjid mana saja. Dari sini bisa ditarik sebuah kesimpulan, bahwa beriktikaf boleh di masjid mana saja, tetapi lebih utamanya adalah di tiga masjid yang disebutkan di atas. Hal ini sesuai dengan Hadis Nabi,
B U L E T I N I Q R A , E D I S I V I , R A M A D H A N 1 4 3 4

Anda mungkin juga menyukai