Anda di halaman 1dari 14

PENGARUH MANAJEMEN LABA TERHADAP KUALITAS AUDITOR

TARI APRIANI C1C010131

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan bukti empiris pengaruh manajemen laba terhadap kualitas auditor. Adanya asimetri informasi mememotivasi manajemen untuk melakukan manipulasi terhadap kinerjanya dengan melakukan manajemen laba. Kualitas auditor dalam penelitian diproksikan dengan auditor spesialis industri dan auditor big four. Modifikasi Jones model digunakan untuk menghitung discretionary accruals (proksi dari manajemen laba). Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari laporan keuangan perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008-2009. Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling dan didapat 128 observasi. Metode regresi linier berganda digunakan untuk menganalisis data dan mengembangkan model teori. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa auditor spesialis industri dan auditor big four terbukti tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

1. Latar Belakang Kegagalan audit akhir-akhir ini telah mendorong penelitian internasional yang berkaitan dengan sifat dasar manajemen laba, hambatan, dan faktor-faktor yang mungkin

mempengaruhinya (Arya et al., 2003; Imhoff, 2003; dalam Rusmin (2010). Terjadinya kasus kegagalan audit ini seringkali menimbulkan skeptisisme masyarakat mengenai ketidakmampuan perilaku auditor dalam berhadapan dengan klien yang dipersepsikan gagal menjalankan perannya sebagai auditor (Sulistyanto, 2008). Keberhasilan dan kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan banyak ditentukan oleh tingkat kompetensi, profesionalisme dan komitmennya terhadap bidang yang ditekuninya.

Bentuk kegagalan audit tersebut terjadi pada sejumlah perusahaan terkemuka seperti Enron, Worldcom, dan Xerox yang melibatkan banyak pihak dan berdampak luas. Sebagai contoh kasus Enron yang terjadi pada tahun 2000, melibatkan Chief Executive Officer (CEO), komisaris, komite audit, auditor internal sampai dengan auditor eksternal. Auditor seringkali bekerja dalam keterbatasan waktu. Setiap KAP perlu untuk mengestimasi waktu yang dibutuhkan (membuat anggaran waktu) dalam kegiatan pengauditan. waktu ini dibutuhkan guna menentukan kos audit dan mengukur efektifitas kinerja auditor (Waggoner dan Cashell 1991). Namun seringkali anggaran waktu tidak realistis dengan pekerjaan yang harus dilakukan, akibatnya muncul perilaku perilaku Kontra produktif yang menyebabkan kualitas audit menjadi lebih rendah. Anggaran waktu yang sangat terbatas ini salah satunya disebabkan oleh tingkat persaingan yang semakin tinggi antar kantor akuntan publik (KAP) (Irene,2007). Alokasi waktu yang lama seringkali tidak menguntungkan karena akan menyebabkan kos audit yang semakin tinggi. Klien bisa jadi berpindah ke KAP lain yang menawarkan fee audit yang lebih kompetitif (Waggoner dan Cashell 1991). Tuntutan laporan yang berkualitas dengan anggaran waktu terbatas tentu saja merupakan tekanan tersendiri bagi auditor. Dalam studinya, Azad (1994) menemukan bahwa kondisi yang tertekan (secara waktu), auditor cenderung berperilaku disfungsional. Riset Coram dkk (2003) menunjukkan terdapat penurunan kualitas audit pada auditor yang mengalami tekanan dikarenakan anggaran waktu yang sangat ketat. Situasi seperti ini merupakan tantangan tersendiri bagi auditor, karena dalam kompleksitas tugas yang semakin tinggi dan anggaran waktu yang terbatas, mereka dituntut untuk menghasilkan laporan audit yang berkualitas. Manajemen tanpa bantuan auditor Kantor Akuntan Publik tidak dapat meyakinkan pihak luar perusahaan bahwa laporan keuangan yang disajikan dapat dipercaya dan diandalkan dalam pengambilan keputusan karena pihak eksternal perusahaan menganggap bahwa manajemen memiliki kepentingan terhadap perusahaan tersebut, bentuk-bentuk kepentingan dalam perilaku negatif seperti: Perilaku tidak etis dalam perusahaan terdiri dari perilaku yang menyalahgunakan kedudukan/posisi (abuse potition), perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan (abuse power), perilaku yang menyalahgunakan sumber daya organisasi (abuse resourses), serta perilaku yang tidak berbuat apa-apa (no action) (Wilopo, 2006:349). Kegiatan audit yang dilakukan harus oleh auditor yang profesional, karena Profesi akuntan Indonesia di masa akan datang akan

menghadapi tantangan yang semakin berat, untuk itu kesiapan yang menyangkut profesionalisme profesi mutlak diperlukan.(Machfoeedz dalam Reyowijoyo 2005:66-67), serta memiliki kualitas yang tinngi Secara makro, manajemen laba telah membuat dunia usaha seolah berubah menjadi sarang pelaku korupsi, kolusi, dan berbagai penyelewengan lain yang merugikan publik (Sulistyanto, 2008). Publik menganggap apa yang diinformasikan dunia usaha hanya merupakan akal-akalan pelakunya untuk memaksimalkan keuntungan pribadi dan kelompok tertentu, tanpa memperhatikan kepentingan pihak lain. Itu sebabnya mengapa publik meragukan

informasiinformasi yang disajikan dalam laporan keuangan.

2. Pembahasan Kualitas Audit Kualitas audit sulit diukur secara obyektif, sehingga para peneliti sebelumnya menggunakan berbagai dimensi kualitas audit. Mock dan Samet (1982) menyimpulkan 5 karakteristik kualitas audit yaitu perencanaan, administrasi, prosedur, evaluasi dan perlakuan. Peneliti lain, Schoeder (1986) menyimpulkan 5 faktor penting penentu kualitas audit yaitu perhatian partner dan manajer KAP dalam audit, perencanaan dan pelaksanaan, komunikasi tim audit dengan manajemen klien, independensi anggota tim dan menjaga kemutakhiran audit. Bila dikaitkan dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), independensi yang dimaksud adalah independensi senyatanya (independence in fact). Yang dimaksud dengan independensi senyatanya adalah bahwa seorang auditor harus bersifat obyektif, mempunyai kejujuran yang tinggi atau dengan kata lain auditor harus jujur mengungkapkan fakta apa adanya (Halim, 2004). Kualitas audit terkait dengan adanya jaminan auditor bahwa laporan keuangan tidak menyajikan kesalahan yang material atau memuat kecurangan (Wooten 2003). De Angelo sebagaimana dikutip Coram dkk (2003) menyatakan bahwa kualitas audit dapat dilihat dari tingkat kepatuhan auditor dalam melaksanakan berbagai tahapan yang seharusnya dilaksanakan dalam sebuah kegiatan pengauditan. Dari gambaran dua definisi tersebut paling tidak dapat disimpulkan bahwa kualitas audit menyangkut kepatuhan auditor dalam memenuhi hal yang bersifat prosedural untuk memastikan keyakinan terhadap keterandalan laporan keuangan.

Lebih lanjut, Carcello (1992) melakukan penelitian serupa yang menyimpulkan faktor pengalaman, pemahaman industri klien, respon atas kebutuhan klien dan ketaatan pada standar umum audit adalah faktor-faktor penentu kualitas audit (Halim, 2004). Sedangkan menurut Panduan Manajemen Pemeriksaan (BPK, 2002) standar kualitas audit terdiri dari : (1) kualitas strategis yang berarti hasil pemeriksaan harus memberikan informasi kepada pengguna laporan secara tepat waktu; (2) kualitas teknis berkaitan dengan penyajian temuan, simpulan dan opini atau saran pemeriksaan yaitu penyajiannya harus jelas, konsisten, accessible dan obyektif; (3) kualitas proses yang mengacu kepada proses kegiatan pemeriksaan sejak perencanaan, pelaksanaan, pelaporan sampai dengan tindak lanjut pemeriksaan. Kualitas Hasil Kerja Kualitas hasil kerja adalah jumlah respon yang benar yang diberikan seseorang dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan yang dibandingkan dengan standar hasil kerja atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. (Diani Mardisar dan Nia Nelly Sari 2007:11). Sedangkan Kualitas kerja dari auditor dapat diketahui dari seberapa jauh auditor menjalankan prosedurprosedur audit yang tercantum dalam program audit. (Suryanita Weningtyas, dkk. 2007:4) Prosedur audit meliputi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh auditor dalam melakukan audit. Prosedur audit ini sangat diperlukan bagi asisten agar tidak melakukan penyimpangan dan dapat bekerja secara efisien dan efektif. (Malone dan Roberts dalam Suryanita Weningtyas, dkk 2007:4) Prosedurprosedur audit yang mudah untuk dilakukan praktik penghentian prematur adalah: pemahaman bisnis (PSA No. 5 2001), pertimbangan pengendalian internal (PSA No. 69 2001), internal auditor klien (PSA No. 33 2001), informasi asersi manajemen (PSA No. 7 2001), prosedur analitik (PSA No. 22 2001), Konfirmasi (PSA No. 7 2001), representasi manajemen (PSA No. 17 2001), pengujian pengendalian teknik berbantuan komputer (PSA No. 59 2001), sampling audit (PSA No. 26 2001), dan perhitungan fisik (PSA No. 7 2001) (Herningsih dalam Suryanita Weningtyas, dkk. 2007:4). Sedangkan kualitas hasil kerja dapat diukur dengan instrumen berikut ini: Mutu (baik/buruk) hasil pekerjaan yang diselesaikan pegawai atas pekerjaan yang diberikan atasan. Hubungan Antara Kompleksitas Audit Dengan Kualitas Audit Kompleksitas audit didasarkan pada persepsi individu tentang kesulitan suatu tugas audit. Persepsi ini menimbulkan kemungkinan bahwa suatu tugas audit sulit bagi seseorang, namun mungkin juga mudah bagi orang lain (Restu dan Indriantoro, 2000). Lebih lanjut, Restu dan

Indriantoro (2000) menyatakan bahwa kompleksitas muncul dari ambiguitas dan struktur yang lemah, baik dalam tugas-tugas utama maupun tugas-tugas lain. Pada tugas-tugas yang membingungkan (ambigous) dan tidak terstruktur, alternatifalternatif yang ada tidak dapat diidentifikasi, sehingga data tidak dapat diperoleh dan outputnya tidak dapat diprediksi. Auditor seringkali berada dalam situasi dilematis, di satu sisi auditor harus bersikap independen dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan yang memenuhi kepentingan berbagai pihak, akan tetapi di sisi lain auditor juga harus bisa memenuhi tuntutan yang diinginkan oleh klien agar klien puas dengan pekerjaannya dan tetap menggunakan jasa auditor yang sama di waktu yang akan datang. Audit menjadi semakin kompleks dikarenakan tingkat kesulitan (task difficulity) dan variabilitas tugas (task variability) audit yang semakin tinggi2. Profesi akuntan publik sendiri saat ini mendapat sorotan yang sangat tajam. Akuntan publik (baca : Auditor) sering dicap sebagai biang terjadinya masalah besar dalam perekonomian negara. KAP dianggap tidak becus dalam melaksanakan kegiatan pemeriksaan dan lebih mementingkan kepentingan klien.. Auditor menghadapi situasi dilematis dikarenakan beragamnya kepentingan yang harus dipenuhi. Berbagai kasus yang terjadi mengidikasikan kegagalan auditor dalam mengatasi kompleksitas pengauditan. Auditor tidak mampu mengakomodasi berbagai kepentingan konstituen, auditor lebih berpihak kepada klien yang dinilai lebih menjamin eksistensinya (dikarenakan klien merupakan sumber pendanaan) Hubungan Antara Anggaran Waktu Dengan Kualitas Audit De zoort (2002) mendefinisikan tekanan anggaran waktu sebagai bentuk tekanan yang muncul dari keterbatasan sumber daya yang dapat diberikan untuk melaksanakan tugas. Sumber daya dapat diartikan sebagai waktu yang digunakan auditor dalam pelaksanaan tugasnya. Tekanan anggaran waktu adalah keadaan yang menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun atau terdapat pembatasan waktu dan anggaran yang sangat ketat dan kaku (Sososutikno, 2003). Tekanan anggaran waktu merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja seorang (Ahituv dan Igbaria, 1998). Bagi KAP sendiri tekanan waktu merupakan kondisi yang tidak dapat dihindari dalam menghadapi iklim persaingan antar KAP. KAP harus mampu mengalokasikan waktu secara tepat dalam menentukan besarnya kos audit. Alokasi waktu yang terlalu lama dapat berarti kos audit yang semakin besar, akibatnya klien akan menanggung fee audit yang besar pula. Hal ini bisa menjadi

kontraproduktif mengingat ada kemungkinan klien memilih menggunakan KAP lain yang lebih kompetitif. Waktu pengauditan harus dialokasikan secara realistis, tidak terlalu lama atau terlalu cepat. Waggoner dan Cashell (1991) menyatakan bahwa alokasi waktu yang terlalu lama justru membuat auditor lebih banyak melamun/berangan-angan dan tidak termotivasi untuk lebih giat dalam bekerja. Sebaliknya apabila alokasi waktu yang diberikan terlalu sempit, maka dapat menyebabkan perilaku yang kontraproduktif, dikarenakan adanya tugas-tugas yang diabaikan. Dalam risetnya ini, Waggoner dan Cashell (1991) menemukan bahwa makin sedikit waktu yang disediakan (tekanan anggaran waktu semakin tinggi), maka makin besar transaksi yang tidak diuji oleh auditor. Anggaran waktu dianggap sebagai faktor timbulnya kerja audit dibawah standar dan mendorong terjadinya pelanggaran terhadap standar audit dan perilaku-perilaku yang tidak etis (Azad 1994). McDaniel (1990) menemukan bahwa tekanan anggaran waktu menyebabkan menurunnya efektifitas dan efisiensi kegiatan pengauditan. Pada program terstruktur penurunan efektifitas ini semakin besar, sementara pada program yang tidak terstruktur efisiensi audit akan mengalami penurunan yang signifikan. Dari paparan ini tampak bahwa tekanan anggaran waktu akan menghasilkan kinerja buruk auditor. Kualitas audit bisa menjadi semakin buruk, bila alokasi waktu yang dianggaran tidak realistis dengan kompleksitas audit yang diembannya. Coram dkk (2003) menghasilkan temuan terkait yang menunjukkan semakin menurunnya kualitas audit dikarenakan anggaran waktu yang sangat ketat. Teori Agensi Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami hubungan antara manajer dan pemegang saham. Teori Agensi pertama kali dicetuskan oleh Jensen dan Meckling pada tahun 1976. Menurut Jensen dan Meckling (dalam Ningsaptiti, 2010) agency theory adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan pemilik (principal). Pada perusahaan yang modalnya terdiri atas saham, pemegang saham bertindak sebagai prinsipal, dan CEO (Chief Executive Officer) sebagai agen mereka. Prinsipal mempekerjakan agen untuk melakukan tugas sesuai dengan kepentingan prinsipal, termasuk pendelegasian otorisasi pengambilan keputusan dari prinsipal kepada agen (Anthony dan Govindarajan, 2005) Jensen dan Meckling (dalam Rusmin, 2010) mengidentifikasi adanya dua hubungan agensi. Pertama, hubungan antara manajer dengan pemegang saham (misalnya rencana bonus), dimana manajer

bertindak sebagai agen untuk para pemegang saham yang dianggap sebagai pemilik. Kedua, hubungan antara pemegang saham dengan kreditur (misalnya kontrak utang) di mana manajer diasumsikan bertindak atas nama pemegang saham sehingga manajer adalah agen, sedangkan kreditur sebagai prinsipal. Scott (dalam Ujiyantho, 2007) menyatakan bahwa perusahaan mempunyai banyak kontrak, misalnya kontrak kerja antara perusahaan dengan para manajernya. Bukti empiris dari teori agensi melaporkan bahwa manajemen memiliki preferensi untuk mengelola laba dalam rangka memperoleh manfaat dari proses kontrak kerja tersebut (Holthausen et al. dalam Rusmin 2010). Kondisi ini disebabkan karena adanya asimetri informasi antara agen dan prinsipal. Beberapa penelitian membuktikan bahwa keberadaan asimetri informasi antara manajer dan pemegang saham adalah kondisi yang diperlukan untuk melakukan manajemen laba (Dye, dalam Rusmin 2010). Asimetri informasi (information asymmetry) yaitu suatu kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi antara pihak manajemen dan pemegang saham. Manajer memiliki informasi yang lebih banyak (full information) dibanding dengan pemegang saham karena sebagai pengelola, manajer lebih mengetahui keadaan yang ada dalam perusahaan. Informasi yang lebih sedikit yang dimiliki oleh pemegang saham dapat memicu manajer menggunakan posisinya dalam perusahaan untuk mengelola laba yang dilaporkan (Lobo dan Zhou dalam Rusmin 2010). Kondisi ini menyebabkan munculnya konflik kepentingan antara pemegang saham (prinsipal) dengan manajer (agen). Di mana antara agen dan prinsipal ingin memaksimumkan kesejahteraan masingmasing dengan informasi yang dimiliki. Untuk meminimalisasi adanya asimetri informasi diperlukan adanya pihak ketiga yang independen sebagai mediator hubungan antara prinsipal dan agen. Pihak ketiga ini berfungsi untuk memonitor perilaku manajer agar bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal. Auditor merupakan pihak yang dianggap mampu menjembatani kepentingan pihak prinsipal (shareholder) dan pihak manajer (agent) dalam mengelola keuangan perusahaan. Auditor dapat menjadi mekanisme pengendalian terhadap manajemen agar menajemen manyajikan informasi keuangan secara andal, dan terbebas dari praktik kecurangan akuntansi (Nuryaman, 2008). Tugas auditor adalah memberikan penilaian secara independen dan professional atas kehandalan dan kewajaran penyajian laporan keuangan perusahaan. Terdapat dua proksi yang dapat digunakan untuk menggambarkan variabel kualitas auditor, yaitu ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP) dan spesialisasi industri KAP.

Auditor yang spesialis dalam suatu industri umumnya menghasilkan audit dengan kualitas yang lebih tinggi (Salomo et al 1999, Hogan dan Jeter 1999, dalam Lou dan Vasvari, 2009). Bedard dan Biggs (dalam Krishnan, 2003) menemukan bahwa auditor yang berpengalaman dalam industri manufaktur lebih memiliki kemampuan dalam mengenali kesalahan data perusahaan manufaktur klien dibandingkan dengan auditor yang memiliki sedikit pengalaman dalam industri manufaktur. Oleh karena itu, auditor yang berpengalaman dala industri tertentu lebih memiliki kemampuan dalam mendeteksi adanya praktik manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan. Ukuran KAP akan berpengaruh terhadap kualitas audit yang dihasilkan. KAP big four menghasilkan kualitas audit yang lebih tinggi dibandingkan dengan KAP non big four (Meutia, 2004; Rusmin 2010). Auditor big four memiliki keahlian dan reputasi yang tinggi dibandingkan dengan auditor non big four. Oleh karena itu, auditor big four akan berusaha sungguh-sungguh dalam mempertahankan pangsa pasar, kepercayaan masyarakat, dan reputasinya dengan cara memberi perlindungan kepada publik. Jika auditor ini tidak dapat mempertahankan reputasinya, maka akan menimbulkan skeptisisme masyarakat terhadap kemampuan auditor dalam mendeteksi adanya praktik manajemen laba (Sanjaya, 2008). Manajemen Laba Pengertian laba (earnings) yang dianut oleh struktur akuntansi didefinisikan sebagai perbedaan antara pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan pendapatan tersebut (Ghozali dan Chariri, 2007). Belkaoui (1993) yang dikutip dalam Ghozali dan Chariri (2007) menyebutkan bahwa laba akuntansi memiliki lima karakteristik sebagai berikut : 1. Laba akuntansi didasarkan pada transaksi aktual terutama yang berasal dari penjualan barang atau jasa. 2. Laba akuntansi didasarkan atas postulat periodisasi dan mengacu pada kinerja perusahaan selama satu periode tertentu. 3. Laba akuntansi didasarkan pada prinsip pendapatan yang memerlukan pemahaman khusus tentang definisi, pengukuran dan pengakuan pendapatan. 4. Laba akuntansi memerlukan pengukuran tentang biaya (expenses) dalam bentuk cost history.

5. Laba akuntansi menghendaki adanya penandingan (matching) antara pendapatan dengan biaya yang relevan dan berkaitan dengan pendapatan tersebut. Informasi laba sebagai bagian dari laporan keuangan, sering menjadi target rekayasa melalui tindakan oportunis manajemen untuk memaksimumkan kepuasannya, tetapi dapat merugikan pemegang saham atau investor. Tindakan oportunis tersebut dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba perusahaan dapat diatur, dinaikkan atau diturunkan sesuai dengan keinginannya (Nuryaman, 2008). Perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya tersebut dikenal dengan istilah manajemen laba. Levitt Jr (dalam Rusmin 2010), mantan ketua Securities and Exchang Commission (SEC) Singapura menyatakan bahwa praktik manajemen laba memiliki dampak negatif terhadap kehandalan dan kredibilitas laporan keuangan. Manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan dan menambah bias dalam laporan keuangan, serta dapat mengganggu para pemakai laporan keuangan dalam mempercayai angka-angka dalam laporan keuangan tersebut (Setiawati dan Naim dalam Indriani, 2010). Sanjaya (2008) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat memotivasi manajer dalam melakukan manajemen laba, yaitu:
1. Motivasi bonus

Para manajer yang bekerja pada perusahaan yang menerapkan rencana bonus akan berusaha mengatur laba yang dilaporkannya dengan tujuan agar dapat memaksimalkan jumlah bonus yang akan diterimanya.
2. Motivasi kontraktual lainnya

Manajer suatu perusahaan yang memiliki rasio debt/equity besar cenderung akan memilih prosedur-prosedur akuntansi yang dapat memindahkan laba periode mendatang ke periode berjalan. Manajer melakukan manajemen laba untuk memenuhi perjanjian utangnya.
3. Motivasi politik Perusahaan besar cenderung menggunakan metode akuntansi yang dapat

mengurangi laba periodiknya dibanding perusahaan kecil. Hal ini dilakukan untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah.
4. Motivasi Pajak

Manajer termotivasi melakukan manajemen laba karena income taxation. Manajer melakukan manajemen laba untuk mengurangi besarnya pajak karena semakin tinggi laba perusahaan maka akan semakin besar pula pajak yang akan dikenakan.

5. Pergantian CEO

Motivasi manajemen laba ada di sekitar waktu pergantian CEO. Biasanya CEO yang akan pensiun atau masa kontraknya menjelang berakhir akan melakukan strategi memaksimalkan jumlah pelaporan laba guna meningkatkan jumlah bonus yang akan mereka terima.
6. Motivasi pasar modal

Motivasi ini muncul karena informasi akuntansi digunakan secara luas oleh investor dan para analis keuangan untuk menilai saham. Dengan demikian, kondisi ini memberikan kesempatan bagi manajer untuk memanipulasi laba dengan cara mempengaruhi performa harga saham jangka pendek. Discretionary Accruals Manajemen laba dapat terjadi karena penyusunan laporan keuangan menggunakan dasar akrual. Akuntansi berbasis akrual menggunakan prosedur akrual, deferral, pengalokasian yang bertujuan untuk menghubungkan pendapatan, biaya, keuntungan (gains), dan kerugian (losses) untuk menggambarkan kinerja perusahaan selama periode berjalan, meski kas belum diterima dan dikeluarkan (Sulistyanto, 2008). Hal ini sesuai dengan definisi akutansi berbasis akrual yang dikeluarkan oleh Financial Accounting Board Standard (FASB), yaitu Accrual accounting attempts to record the financial effects on an entity of transactions and other events and circumstances have the cash consequences for the entity in the periods in which those transactions, events, and sircumstances occur rather than only in the periods in which cash is received or paid by the entity (SFAC No. 6 paragraf 139). Prinsip akuntansi memberikan kebebasan kepada manajer untuk melakukan perubahan judgement, metode akuntansi, serta penggeseran biaya dan pendapatan. Namun, jika hal itu dilakukan manajer perusahaan untuk mengoptimalkan kesejahteraan dan kepentingan pribadi dan bukan karena kondisi perusahaan yang menghendaki perubahan, maka hal ini disebut manajemen laba. Salah satu cara untuk mengukur manajemen laba adalah dengan menggunakan proksi Discretionary Accruals (DAC). Menurut Healy (1985) dan De Angelo (1986) yang dikutip dalam Gumanti (2001) konsep model akrual memiliki dua komponen, yaitu discretionary accruals dan non discretionary accruals. Discretionary accruals merupakan komponen akrual yang dapat diatur dan direkayasa sesuai dengan kebijakan (discretion) manajerial, sementara non discretionary accruals merupakan komponen akrual yang tidak dapat diatur dan direkayasa

sesuai dengan kebijakan manajer perusahaan. Manajer akan melakukan manajemen laba dengan memanipulasi akrual-akrual tersebut untuk mencapai tingkat pendapatan yang diinginkan.

3. Penutup Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menguji pengaruh akuntabilitas terhadap kualitas hasil kerja auditor. Kualitas hasil kerja dalam penelitian ini menggunakan ketepatan waktu, mutu pekerjaan, kerjasama team, kepuasan pemberi kerja, dan kompleksitas pekerjaan tinggi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil pengujian menunjukkan bahwa akuntabilitas yang dilakukan kantor akuntan publik dikota Bandung telah mencapai kriteria yang baik. Penerapan akuntabilitas dari segi motivasi memiliki tingkatan tertinggi dengan kriteria sangat baik diikuti keyakinan bahwa pekerjaan akan diperiksa oleh atasan dan terakhir adalah usaha/daya pikir. 2. Hasil pengujian kedua menunjukkan bahwa kualitas hasil kerja auditor pada kantor akuntan publik di kota Bandung telah mencapai kriteria yang baik. Tingkat kualitas hasil kerja auditor pada kantor akuntan publik di kota Bandung dari segi kerjasama team menempati posisi tertinggi dengan kriteria baik diikuti mutu pekerjaan, ketepatan waktu, kepuasan pemberi kerja, dan terakhir kompleksitas pekerjaan tinggi. 3. Berdasarkan hasil analisis yang penulis lakukan dengan menggunakan metode korelasi spareman rank didapat adanya pengaruh yang signifikan antara akuntabilitas dengan kualitas hasil kerja auditor pada kantor akuntan publik di kota Bandung, artinya jika tingkat akuntabilitas naik maka kualitas hasil kerja auditor juga akan naik, begitu pula sebaliknya jika akuntabilitas menurun maka kualitas hasil kerja auditor juga akan. Hasil perhitungan dari pengaruh akuntabilitas terhadap kualitas hasil kerja auditor adalah sebesar 35% dan sisanya adalah 100% - 35% = 65% dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti etika auditor, independensi auditor, kompetensi auditor. Hal ini sejalan dengan yang dilakukan oleh Nia Nelly Sari dan Diani Mardisar, Tan dan Alison. Saran Berdasarkan penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis menyampaikan beberapa saran bagi kantor akuntan publik di kota bandung, mudah-mudahan bermanfaat dan dapat dijadikan sebagai

bahan masukan untuk kemajuan kantor akuntan publik di Indonesia khususnya di kota Bandung. Adapun saran-saran yang penulis maksudkan adalah sebagai berikut:
1. Bahwa pimpinan KAP harus lebih memberikan perhatian terhadap tingkat usaha/daya

pikir sebagai wujud untuk meningkatkan akuntabilitas kantor akuntan publik di kota Bandung.
2. Bahwa pimpinan KAP harus lebih memperhatikan supervisi tingkat kompleksitas

pekerjaan yang dilakukan oleh staf

4. Daftar Pustaka Kamus Besar Akuntansi, 2004. Jakarta : Citra Harta Prima Mardiasmo, 2002. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta:Andi. Edisi II Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES. Edisi revisi Muindro Renyowijoyo, 2005. Persepsi Masyarakat dan Akuntan Tehadap Etika Profesi Akuntan. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 7 No. 1. April 2005 hal 66-83 Slamet Sugiri dan Nasuhi Hidayat, 2003. Persepsi Auditor dan Users Terhadap Laporan Audit dan Laporan Review. Jurnal Bisnis dan Akuntansi. Vol. 5, No. 3. Desember 2005 hal 301-321 Suryanita Weningtyas, dkk., 2007. Penghentian Prematur atas Prosedur Audit. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.10, No.1. Januari 2007 Hal. 1-9 Susiana Arleen Herawaty, 2007. Analisis Pengaruh Independensi, Mekanisme Corporate Governance, dan Kualitas Audit Terhadap Integritas Laporan Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi X Unhas Makassar 26 28 Juli 2007 Wilopo, 2006. Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi Pada Perusahaan Publik dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Arens, Elder, Beasley. 2001. Auditing dan Pelayanan Verifikasi. Edisi Terjemahan kesembilan. Jilid 1. Jakarta: Gramedia Assih, Prihati, Parawiyati, Ambar. 2005. Pengaruh Manajemn Laba pada Nilai dan Kinerja Perusahaan. Fakultas Ekonomi Trisakti: Konferensi Nasional Akuntansi. Belkoui, Ahmed R. 2000. Accounting Theory. Business Press. Cooper, Donald R. dan C. William Emory.1997. Metode Penelitian Bisnis. Edise kelima. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Gumanti. 2000. Earning Management Suatu Telaah Pustaka. Jurnal Akuntansi dan Keuangan vol 2 no 2, Nopember 2000, 104-115. Gumanti. 2001. Earning Management dalam Penawaran Saham Perdana di BEJ. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia vol. 4 no 2, 165-183. Healy, P.M. and Wahlen. 1999. A Review of the Earning Management and An Instrumental Variables Approach. Journal of Accounting Research, 33, 353-368. Ikatan Akuntan Indonesia. 2002. Standar Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba Empat. Indriantoro dan Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi Manajemen. Yogyakarta: BPFE. Jones, Charles P. 2000. Investment Analysis and Management. John Willeys Sons 7

Anda mungkin juga menyukai