Anda di halaman 1dari 10

Proseding pada Seminar Nasional Manajemen Sumberdaya Air Partisipatif Guna Mengantisipasi Dampak Perubahan Iklim Global, 8 Agustus

2009

Mangrove dengan Alat Pemecah Ombak (APO) sebagai Perlindungan Garis Pantai Bambang Yulistiyanto Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan FT-UGM Jl. Grafika 2 Yogyakarta 55281; Phone: +62-274-545675; Fax.: +62-274-545676 E-mail: yulis@tsipil.ugm.ac.id dan bys_ugm@yahoo.com 1 ABSTRAKSI Kerusakan pantai di Kabupaten Kutai Kertanegara disebabkan oleh serangan gelombang besar dan semakin menipisnya areal hutan mangrove di sepanjang garis pantai. Dalam kurun waktu 8 tahun terakhir areal hutan mangrove menyusut sekitar 400 km2. Agar daya dukung lingkungan meningkat terutama fungsi mangrove sebagai penahan erosi pantai dan daratan delta serta sebagai biofilter alami limbah tambak, hutan mangrove yang telah rusak atau hilang perlu dikembalikan melalui program reboisasi bibit bakau. Usaha penanaman kembali hutan bakau telah dilaksanakan Dinas Kehutanan, namun keberhasilannya belum maksimal. Ketika pohon bakau masih kecil, banyak yang rusak karena serangan gelombang. Usaha perlindungan dan pengamanan pantai yang dilakukan dengan menggunakan perlindungan alami, yaitu dengan reboisasi mangrove, perlu didukung oleh struktur APO. Struktur APO diperlukan sampai tanaman mangrove tumbuh cukup besar sehingga mampu menahan serangan gelombang. Bahan APO dipilih dari material yang banyak tersedia di sekitar lokasi, yaitu berupa kayu atau bambu. Struktur APO dikaji kemampuannya dalam meredam energi gelombang yang datang. Bentuk APO yang digunakan ada dua macam yaitu bentuk lengkung dan lurus. Untuk memperkuat tiangtiang kayu maka ditambahkan perkuatan dengan batang miring sebagai penyangga, sehingga APO menjadi lebih stabil. Keywords: perlindungan pantai, mangrove, APO. 2 PENDAHULUAN Kabupaten Kutai Kartanegara dengan luas wilayah sekitar 27.263,10 Km2 terletak pada garis bujur antara 11526 Bujur Timur sampai dengan 11736 Bujur Timur serta terletak pada garis lintang dari 128 Lintang Utara sampai dengan 108 Lintang Selatan. Kabupaten Kutai Kartanegara pasca pemekaran wilayah, terbagi menjadi 18 Kecamatan (Anonim, 2006). Dari 18 kecamatan yang berada di Kabupaten Kutai Kartanegara, 6 kecamatan berada di daerah pesisir. Enam kecamatan tersebut meliputi: Kecamatan Samboja, Muara Jawa, Sanga-Sanga, Anggana, Muara Badak, dan Marang Kayu. Panjang garis pantai di 6 kecamatan tersebut sekitar 219 km, dimana di beberapa lokasi sudah mengalami kerusakan akibat gelombang dan alih fungsi lahan dari hutan mangrove menjadi pemanfaatan lahan untuk tambak ikan. Gambar 1 memberikan tata guna lahan di Kabupaten Kutai Kartanegara berdasarkan foto udara tahun 1999 (Gambar kiri) dan foto udara tahun 2003 yang diverifikasi dengan foto udara dari Google Earth (2007, Gambar kanan). Diperlihatkan dari gambar tersebut, telah terjadi alih fungsi lahan, dimana area hutan mangrove berkurang cukup signifikan, diantaranya berubah menjadi areal tambak. Luas areal hutan mangrove yang semula sekitar 1200 km2 pada tahun 1999 (Bappeda, 2005), menyusut drastis menjadi sekitar 800 km2 pada tahun 2007 (Bappeda, 2007).

Gambar 1 Perubahan fungsi lahan di Kabupaten Kutai Kartanegara Abrasi merupakan gejala kerusakan lingkungan yang sudah terjadi di beberapa pantai di Kabupaten Kutai Kertanegara. Kerusakan tersebut terutama adalah karena serangan gelombang yang pada bulan tertentu cukup besar dan karena rusaknya tanaman pelindung pantai seperti pohon bakau. Kerusakan hutan mangrove yang sebagian telah dikonversi ke lahan tambak menjadi fenomena yang harus ditangani untuk mencegah abrasi dan intrusi air laut. Kerusakan hutan mangrove ini juga akan berdampak pada terganggunya kehidupan flora dan fauna. Usaha perlindungan dan pengamanan pantai dilakukan dengan menggunakan perlindungan alami dengan mengaktifkan kembali pelindung alami yang telah rusak; yaitu dengan reboisasi hutan mangrove. Selain untuk menanggulangi kerusakan pantai, reboisasi hutan mangrove juga bertujuan untuk mengembalikan ekosistem lingkungan pantai pada fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi umat manusia dan meningkatkan produktivitas daerah lingkungan yang dilindungi oleh sabuk hijau (green belt) ekosistem mangrove yang lestari dan proporsi yang berimbang (http://www.beritabumi.or.id, 2006). 3 UPAYA PERLINDUNGAN PANTAI Pemilihan tipe bangunan pelindung pantai tergantung pada kondisi pantai, tanah dasar pantai yang dilindungi, ketersediaan material, dan peralatan untuk membuat bangunan. Di Kabupaten Kutai Kertanegara, ketersediaan batu dan pasir untuk bangunan sangat sulit. Bangunan pelindung pantai dari batu membutuhkan ukuran batu yang cukup besar (berat batu lebih dari 300 kg per butir) dalam jumlah yang sangat banyak. Untuk mendapatkan batu-batu tersebut di Kalimantan sangat sulit dan harus didatangkan dari Pulau Sulawesi. Selain itu jenis tanah di lokasi pekerjaan berupa lumpur pasiran yang mempunyai daya dukung rendah, sehingga apabila digunakan bangunan tumpukan batu atau bangunan masif dari beton memerlukan fondasi yang cukup kuat. Di Kabupaten Kutai Kertanegara ketersediaan kayu relatif lebih baik daripada batu, bangunan pelindung pantai, terutama terkait dengan perlindungan tanaman manrove yang masih muda menggunakan bangunan dari kayu.

Perlindungan yang saat ini mulai dikembangkan untuk melindungi bibit mangrove dari serangan gelombang yang lebih besar yaitu menggunakan alat pemecah ombak (untuk selanjutnya dalam tulisan ini disingkat dengan APO). Bangunan APO terbuat dari tiang-tiang kayu yang dipancang ke dalam tanah. Untuk menambah efektifitas bangunan tersebut terhadap perlindungan pantai dari serangan gelombang, ditambahkan kayu melintang pada tiang pancang. Selain untuk melindungi bibit mangrove, APO juga diharapkan dapat mengurangi laju erosi pantai dan menangkap sedimen di daerah yang dilindungi. Bangunan APO sebagai pelindung bibit mangrove terhadap serangan gelombang menuntut sebuah perencanaan yang memperhitungkan kekuatan struktur dan stabilitas bangunan. Faktor eksternal yang dominan dalam perencanaan tersebut adalah gaya gelombang. Reboisasi bertujuan untuk mengadakan penanaman pada bekas areal atau kawasan tegakan yang telah hilang atau mengalami kerusakan. Reboisasi mangrove dapat terjadi melalui dua cara, yaitu permudaan secara alami dan permudaan buatan. Permudaan secara alami merupakan proses pertumbuhan yang terjadi secara alami, berawal dari buah yang telah masak dan jatuh ke substrat. Permudaan buatan dilakukan oleh manusia dengan melakukan penanaman secara silvikultur, disesuaikan dengan kehidupan dari jenis mangrove dan syarat zonasi pertumbuhannya. Penanaman jenis bibit mangrove diusahakan sedemikian rupa sehingga mirip dengan kejadian di kawasan alaminya, misalnya masalah zonasi, pasang atau penggenangan, dan salinitas. Bibit mangrove perlu dilindungi terhadap serangan gelombang semasa pertumbuhannya. Ada beberapa cara perlindungan yang telah dilakukan saat ini. Cara yang umum yaitu dengan mengikat bibit pada ajir atau dengan menanam bibit dalam bambu bulat. Namun kedua cara tersebut hanya mampu melindungi tanaman terhadap serangan gelombang yang relatif kecil. Perlindungan yang saat ini mulai dikembangkan yaitu menggunakan alat pemecah ombak (APO). Fungsi alat ini adalah untuk melindungi tanaman bakau, mengurangi terjadinya erosi pantai serta menangkap sedimen di belakang bangunan. Bentuk APO dapat dilihat pada Gambar 2 dan 3. APO diletakkan di depan tanaman bakau yang akan dilindungi. Gelombang yang datang dari laut lepas menuju pantai mengalami difraksi dan refleksi setelah mcngenai APO. Gelombang yang terdifraksi ini diharapkan sebagai pembawa sedimen di daerah yang dilindungi. Gundukan pasir yang terbentuk pada akhirnya dapat ditanami bibit mangrove, sehingga luas areal mangrove yang terbentuk lebih besar. Terjadinya refleksi gelombang oleh APO menyebabkan berkurangnya energi gelombang menuju pantai. Dengan demikian tanaman bakau yang ada dapat terlindung dari gelombang yang relatif besar. Bentuk alat yang digunakan saat ini ada dua macam yaitu bentuk lengkung dan lurus. Penggunaan alat berbentuk lengkung diperlukan jika arah gelombang bervariasi pada daerah yang dilindungi, Selain itu alat ini diharapkan bisa lebih cepat membentuk endapan. Panjang alat ini sekitar 10 m dan diletakkan 20 m sampai 60 m dari garis pantai. Alat berbentuk lurus biasanya diletakkan sekitar 20 meter dari garis pantai atau di belakang dari alat yang pertama. Di beberapa lokasi, Dinas Kehutanan telah berusaha membuat perlindungan pantai dengan memancang tiang-tiang kayu yang berfungsi sebagai pemecah gelombang. Namun struktur tersebut tidak efektif. Kerusakan pantai masih terjadi. Struktur tersebut tidak berfungsi dengan baik karena tiang-tiang tidak cukup rapat untuk menahan gelombang yang datang. Untuk itu perlu dilakukan penyempurnaan terhadap tiang-tiang yang sudah dipancang, yaitu dengan menambah kayu atau papan melintang, sehingga struktur menjadi lebih rapat.

Gambar 2. Alat Pemecah Ombak (APO) Untuk memperkuat tiang-tiang kayu maka ditambahkan perkuatan dengan batang miring sebagai penyangga. Dengan batang penyangga maka APO menjadi lebih stabil. Gambar struktur APO diberikan dalam gambar-gambar berikut ini.

Gambar 3 APO kayu tipe lurus dengan papan melintang

4 PENEMPATAN BANGUNAN PANTAI Usaha perlindungan dan pengamanan pantai yang dilakukan dengan menggunakan perlindungan alami, yaitu dengan reboisasi mangrove, perlu didukung oleh struktur APO. Tanpa perlindungan tersebut mangrove sulit tumbuh, karena ketika

tanaman masih kecil kemudian datang gelombang besar, maka tanaman tersebut akan rusak. Struktur APO diperlukan sampai tanaman mangrove tumbuh cukup besar sehingga mampu menahan serangan gelombang. Agar daya dukung lingkungan meningkat terutama fungsi mangrove sebagai penahan erosi pantai dan daratan delta serta sebagai biofilter alami limbah tambak, hutan mangrove yang telah rusak atau hilang perlu dikembalikan melalui program reboisasi bibit bakau. Reboisasi hutan mangrove dilakukan pada daerah pantai yang telah mundur. Perlindungan pohon mangrove yang masih muda terhadap serangan gelombang dilakukan dengan melindunginya dengan menggunakan alat pemecah ombak APO. Gambar-gambar berikut ini adalah tata letak bangunan pelindung pantai di beberapa lokasi. a. Pantai Handil Muara Baru 1

Gambar 4. Tata Letak Bangunan Pelindung Pantai di Handil Muara Baru 1 Pantai Handil Muara Baru berada di Kecamatan Samboja, berada di tepi jalan lokal tersier dan keadaan jalannya kurang baik dan agak kotor. Terjadi kerusakan garis pantai oleh ombak, dimana sekitar 100 m dari garis pantai yang semula tumbuh pohon api-api (sejenis bakau), saat ini terkikis. Untuk perlindungan garis pantai, dinas kehutanan memasang pemecah ombak sederhana dari kayu-kayu yang dipancang. Akan tetapi

efektifitasnya kurang mampu menahan energi gelombang yang datang, sehingga diperlukan APO tambahan yang dilengkapi dengan kayu pancang miring. Penempatan APO diberikan pada Gambar 4, dimana di belakang APO dapat ditanami kembali dengan tanaman bakau api-api (Avicennia spp) atau bakau (Rhizophora spp).

b. Pantai Handil Muara Baru 2 Lokasi Handil Muara Baru II ini tidak jauh berbeda dari Handil Muara Baru I. Pada jarak 100 meter dari jalan sudah dipasang pemecah ombak dari kayu (sederhana) yang diprakarsai oleh dinas kehutanan. Dijumpai beberapa pohon api-api yang tumbang karena diterjang ombak, dan sudah ada usaha untuk meremajakan pohon-pohon pantai, yaitu dengan menanam (peremajaan) pohon api-api yang masih kecil-kecil serta telah disemai pembibitannya. Akan tetapi penanaman pohon api-api ini kurang berhasil, karena sebelum besar, pohon tersebut sudah rusak oleh hantaman ombak. Untuk itu perlu upaya

Gambar 5. Tata Letak Bangunan Pelindung Pantai di Handil Muara Baru 2 penanaman kembali bibit bakau yang dilindungi dengan sistem APO, dimana lokasinya diberikan pada Gambar 5.

c. Pantai Kresik Pantai Kersik berada di Kecamatan Merangkayu, dimana perumahan penduduk berada sekitar 200 m dari garis pantai. Informasi dari masyarakat setempat, selama kurun

waktu 36 tahun telah terjadi perubahan garis pantai, dimana garis pantai mundur sejauh sekitar 1 km dari pantai sekarang. Pada saat itu pantai banyak ditumbuhi pohon bakau, tetapi saat ini pohon tersebut sudah musnah karena serangan gelombang. Panjang pantai yang rusak sekitar 5 km. Gelombang besar terjadi pada bulan November-Desember, di mana tinggi gelombang mencapai 2 m. Sampai saat ini belum ada usaha untuk melakukan perlindungan terhadap abrasi pantai. Penduduk mengharapkan adanya perlindungan pantai dan penanaman kembali hutan bakau.

Gambar 6. Tata Letak Bangunan Pelindung Pantai di Pantai Kresik

d. Pantai Terusan Pantai Terusan berada di Desa Terusan Kecamatan Marangkayu. Masyarakat di daerah ini banyak melakukan budidaya tambak. Di areal pertambakan banyak ditanam pohon bakau. Pemukiman penduduk berada di dekat pantai, yang saat ini kondisinya sudah kritis. Rumah terdekat dengan garis pantai hanya berjarak sekitar 50 m. Beberapa tahun terakhir banyak tambak yang hancur, dan tercatat 2 rumah roboh karena serangan gelombang. Informasi penduduk, sejak tahun 1975 sampai sekarang, diperkirakan mundurnya garis pantai mencapai 200 m atau sekitar 5-7 meter per tahun. Di sepanjang pantai banyak pohon kelapa yang tumbang karena serangan gelombang. Untuk mencegah kerusakan pantai pernah dilakukan perlindungan dengan menanam pohon bakau, namun karena gelombang besar, ketika pohon bakau masih kecil banyak yang hancur. Untuk itu penanaman bakau perlu dilindungi dengan APO, yang penempatannya diskemakan pada Gambar 7.

Gambar 7. Tata Letak Bangunan Pelindung Pantai di Pantai Terusan e. Pulau Pangempang Untuk pantai Pulau Pangempang, erosi terjadi karena gelombang yang datang dengan membentuk sudut terhadap garis pantai sehingga menyebabkan terjadinya angkutan sedimen sepanjang pantai (littoral drift). Dengan adanya litoral drift ini pantai mundur 1-2 m/tahun sepanjang 3 km, sehingga dikhawatirkan beberapa tahun ke depan Pulau Pangempang terpisah dari daratan. Untuk mengendalikan mundurnya garis pantai, diperlukan satu seri groin yang dipasang di sepanjang pantai. Groin dibuat dari tiang kayu yang dipancang berderet. Dengan adanya groin ini maka arus sepanjang pantai akan terhambat sehingga angkutan sedimen sepanjang pantai akan berkurang/terhenti. Diharapkan bangunan ini akan menahan terangkutnya sedimen ke tempat lain.

Gambar 8. Tata Letak Bangunan Pelindung Pantai di Pantai Pangempang

5 KESIMPULAN Kerusakan pantai di Kabupaten Kutai Kertanegara disebabkan oleh serangan gelombang besar dan semakin menipisnya areal hutan mangrove di sepanjang garis pantai. Agar daya dukung lingkungan meningkat terutama fungsi mangrove sebagai penahan erosi pantai dan daratan delta serta sebagai biofilter alami limbah tambak, hutan mangrove yang telah rusak atau hilang perlu dikembalikan melalui program reboisasi bibit bakau. Dinas Kehutanan telah berusaha membuat perlindungan pantai dengan memancang tiangtiang kayu yang berfungsi sebagai pemecah gelombang. Namun struktur tersebut tidak efektif dan perlu disempurnakan dengan menambah kayu atau papan melintang, sehingga struktur menjadi lebih rapat. Untuk memperkuat tiang terhadap serangan gelombang, tiang-tiang tersebut disangga dengan tiang miring.

10

Perlindungan pohon mangrove yang masih muda terhadap serangan gelombang dilakukan dengan melindunginya dengan menggunakan alat pemecah ombak APO. Penempatan bangunan APO di beberapa lokasi pantai yang sudah mengalami kerusakan diupayakan untuk mempertahankan atau mengembalikan garis pantai ke kondisi sebelum terjadi kerusakan, yaitu di lokasi Pantai Handil Muara Baru, Pantai Kresik, dan Pantai Terusan. Di Pula Pangempang dimana terjadi abrasi oleh gelombang dan adanya arus sejajar pantai, perlu ditempatkan satu seri groin yang terbuat dari bahan kayu.

6 REFERENSI Anonim, 2006, Kabupaten Kutai Kartanegara Dalam Angka, Badan Pusat Statistik, Jakarta. Bappeda Kutai Kartanegara : Masterplan Pengamanan dan Perlindungan Daerah Pantai terhadap Erosi, 2007 Bappeda Kutai Kartanegara : ATLAS Sumberdaya Pesisir Kabupaten Kutai Kartanegara, 2005. http://www.beritabumi.or.id, 19 Oktober 2006

Anda mungkin juga menyukai