Anda di halaman 1dari 55

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Salah satu aktivitas utama di wilayah pesisir adalah aktivitas pelabuhan
sebagai sarana pendukung transportasi dan aktivitas lainnya. Secara prinsip
hubungan kegiatan pembangunan oleh manusia di laut tidak dapat dipisahkan
dengan di pantai bahkan di darat seluruhnya. Pada dasarnya laut sebagai area
eksploitasi dan di darat terjadi proses nilai tambahnya. Dalam konteks ekonomi
keruangan antara laut dan pantai bahkan kotakota pantai secara ekonomi menyatu,
bahkan bagi sektor pelabuhan akan tergantung tidak hanya kepada wilayah atau
ruang kelautan sebagai wahana transportasi saja, namun tergantung pula dengan
sistem kota-kota dan region yang mendukungnya, karena fungsi pelabuhan
tergantung kepada produk-produk yang akan diekspor dan diimport maupun
manusia yang akan melakukan perjalanan dari dan menuju suatu wilayah.
Pelabuhan Tanjung Emas Semarang sebagai pelabuhan utama di Jawa
Tengah mempunyai peran yang penting bagi perekonomian sehingga tuntutan
akan jasa pelabuhan semakin meningkat terus. Peningkatan permintaan akan jasa
pelabuhan mendorong aktivitas di pelabuhan semakin tinggi, sehingga harus
diimbangi sistem pengelolaan lingkungan di kawasan pelabuhan yang memadai.
Untuk menjaga kelestarian lingkungan di wilayah pelabuhan, maka Pelabuhan
Tanjung Emas Semarang masuk dalam Program Bandar Indah (dalam PT
Pelabuhan Indonesia III: Pelabuhan Tanjung Emas Berwawasan Lingkungan
Tahun 2002).
Pelabuhan Tanjung Emas Semarang merupakan sarana yang multifungsi,
selain sebagai sarana transportasi juga sebagai sarana perdagangan dan bisnis,
industri, rekreasi, cagar budaya dan permukiman. Disamping harus melaksanakan
program keselamatan dan kesehatan kerja untuk kegiatan operasionalnya, juga
harus menjaga kualitas lingkungannya, seperti kualitas air, kebersihan areal kerja
pelabuhan, kualitas udara dan kebisingan. Saat ini tidak satupun perusahaan yang
dapat mengabaikan masalah lingkungan termasuk perusahaan di lingkungan
Pelabuhan Tanjung Emas Semarang. Peraturan-peraturan baru, tekanan konsumen
dan etika berinvestasi, menyebabkan banyak perusahaan yang mengetahui bahwa
2

pengelolaan lingkungan dapat mengurangi limbah, meningkatkan efisiensi dan
reputasi perusahaan di lingkungan pelabuhan.

1.2. Tujuan dan Manfaat
1.2.1. Tujuan Rencana Kegiatan
Tujuan rencana kegiatan ini adalah :
1. Memberikan alternatif penanganan permasalahan air pasang yang terjadi di
lokasi Tambak lorok.
2. Merencanakan bangunan perpanjangan garis pantai Tanjung Mas yang
sesuai dengan kaidah pengelolaan lingkungan yang benar sebagai wujud
upaya menunjang konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan.
3. Memberikan informasi kepada instasni dan masyarakat tentang
pengelolaan dampak lingkungan sebagai akibat adanya kegiatan.
4. Memberikan rekomendasi mengenai hal-hal yang harus diperhatikan guna
mengoptimalkan dampak penting kegiatan terhadap lingkungan dan saran
tindak dalam pengeloalaan lingkungan.
1.2.2. Manfaat Rencana Kegiatan
Manfaat dari rencana kegiatan pepanjangan garis pantai Pelabuhan
Tanjung Mas Semarang adalah agar kegiatan-kegiatan di bidang kelautan dan
perikanan di sekitar pelabuhan Tanjung Mas Semarang terhindar dari Rob dan
segala kegiatannya dapat berjalan optimal. Disamping itu melatih mahasiswa
untuk dapat menyusun dokumen KA-ANDAL.

1.3. Peraturan
1.3.1. Undang-undang
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi
sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya.
2. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1997 tentang Jaminan Sosial
Tenaga Kerja.
3

Alasan : digunakan sebagai pedoman untuk memberikan jaminan
kepada para tenaga kerja, sehingga mendapatkan hak-haknya sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
3. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Bumi.
Alasan : digunakan sebagai dasar penggunaan bahan bakar.
4. Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
ketenagakerjaan.
5. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pemanfaatan sumberdaya
air.
6. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan otonomi
daerah.
7. Undang-undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan
pembangunan terhadap kondisi jalan.
8. Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Alasan : digunakan sebagai dasar penentuan kesesuaian lokasi
rencana kegiatan dengan tata ruang wilayah setempat.
9. Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalulintas dan
Angkutan Jalan.
Alasan : digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan
pembangunan terhadap kondisi lalulintas dan angkutan jalan.
10. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Alasan : digunakan sebagai dasar pelaksanaan kegiatan
ketenagalistrikan.
11. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4

Alasan : digunakan sebagai pedoman dalam melaksanakan
pembangunan yang berwawasan lingkungan.
12. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kegiatan konstruksi
terhadap kesehatan.

1.3.2. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999
tentang jenis Biota yang dilindungi.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan terhadap
jenis biota yang dilindungi.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pengendalian pencemaran
dan atau perusakan laut.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penentuan baku mutu
udara ambien.
4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 1999
tentang Angkutan di Perairan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam transportasi di perairan.
5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor18 Tahun 1999
junto Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 85 Tahun
1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penanganan limbah B3.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran
Air.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penentuan baku mutu
kualitas air.
5

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antar Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pembagian
kewarganegaraan antara pemerintah pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesi Nomor 26 Tahun 2008
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kesesuaian lokasi
kegiatan dengan tata ruang nasional.
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2009
tentang Kepelabuhan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kegiatan kepelabuhan.
10. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
tentang Kenavigasian.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kegiatan kenavigasian.
11. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2011
tentang Manajemen dan Rekayasa Analisis Dampak serta
Manajemen Kebutuhan Lalulintas.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kajian dampak lalulintas.
12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012
tentang Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penyediaan dan
pemanfaatan listrik.
13. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan.
Alasan : digunakan sebagai acuan didalam penyusunan Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan.
1.3.3. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah
1. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 20 Tahun 2003
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengelolaan Pencemaran Air
Lintas Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Tengah.
6

Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penentuan baku mutu
kualitas perairan di propinsi Jawa Tengah.
2. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2004
tentang Baku Mutu Air Limbah di Propinsi Jawa Tengah.
Alasan : digunakan sebagai acuan baku mutu air limbah di Propinsi
Jawa Tengah.
3. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 5 Tahun 2007
tentang Pengendalian Lingkungan Hidup di Propinsi Jawa Tengah.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pengendalian lingkungan
hidup di Propinsi Jawa Tengah.
4. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Jawa Tengah Tahun
2009-2029.
5. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 7 Tahun 2010
tentang Penanaman Modal di Propinsi Jawa Tengah.
Alasan : digunakan sebagai acuan investor dalam melakukan usaha
di Propinsi Jawa Tengah.
6. Peraturan Daerah Propinsi Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2012
tentang Ketenagalistrikan di Propinsi Jawa Tengah.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kegiatan ketenagalistrikan
di Propinsi Jawa Tengah.

1.3.4. Peraturan Daerah Kota Semarang
1. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 6 Tahun 1993 tentang
Kebersihan Wilayah Kota Semarang.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kebersihan untuk wilayah
Kota Semarang.
2. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Semarang Nomor
2 Tahun 1994 tentang Penanggulangan Bahaya Kebakaran dalam
Wilayah Kotamadya Daerah Dati II Semarang.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam menanggulangi bahaya
kebakaran.
7

3. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Pengendalian Lingkungan Hidup di Kota Semarang.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan lingkungan
hidup di Kota Semarang.
4. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 5 Tahun 2009 tentang
Bangunan Gedung.
Alasan : digunakan sebagai acuan pelaksanaan pembuatan
bangunan.
5. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 7 Tahun 2010 tentang
Penataan Ruang Terbuka Hijau.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penentuan ruang terbuka
hijau.
6. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Umum.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam analisis dokumen.
7. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2011 tentang
Retribusi Jasa Usaha.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam analisis dokumen
8. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 14 tahun 2011tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Semarang Tahun 2011-2031.
Alasan : digunakan sebagai dasar penentuan kesesuaian lokasi
kegiatan dengan tata ruang di Kota Semarang.

1.3.5. Peraturan Menteri
1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun
2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penyusunan Dokumen
KA-ANDAL, ANDAL, RKL, RPL, dan Ringkasan Eksekutif.
2. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2008
tentang Tata Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
8

Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penilaian Dokumen
AMDAL.
3. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2009
tentang Operator dan Petugas Pesawat Angkat Angkut.
Alasan : memuat ketentuan kualifikasi dan syarat-syarat operator
dan petugas pesawat angkat angkut.
4. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun
2012 tentang Jenis Rencana usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib
Memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Alasan : digunakan sebagai dasar penentuan wajib AMDAL.

1.3.6. Keputusan Presiden
1. Keputusan presiden No. 46 Tahun 1985 tentang pengesahan
Internasional Convention of the Prevention of Pollution from Ship
1973 and Protocol of 1978 Relating to the International
Convention fot the Prevention of Pollution from ships 1973,
(marpol).
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pencegahan pencemaran
dari kapal.
2. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi
Pengelolaan Tata Ruang Nasional.
Alasan : digunakan sebagai dasar penentuan kesesuaian lokasi
kegiatan dan tata ruang nasional.

1.3.7. Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah
1. Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah Nomor 25 Tahun 2000
tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam
Proses AMDAL.
Alasan : digunakan sebagai acuan keterlibatan masyarakat dan
keterbukaan informasi dalam proses AMDAL.
2. Keputusan Gubernur Provinsi Jawa Tengah Nomor 8 Tahun 2001
tentang Baku Mutu Udara Ambien Tingkat Provinsi Jawa Tengah.
9

Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penentuan baku mutu
udara ambien di Provinsi Jawa Tengah.

1.3.8. Keputusan Menteri
1. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.136/07.001/Phb-83
tentang Organisasi dan Tata Kerja Pelabuhan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kegiatan pelabuhan.
2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.215/AT.506/Phb-87
tentang Pengadaan Fasilitas Penampungan Limbah dari Kapal.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan limbah dari
kapal.
3. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor KEP.
48/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam analisis data tingkat
kebisingan.
4. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-
49/MENLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Getaran.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam analisis data tingkat
getaran.
5. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor Kep-
50/MENLH/11/1996 tentang Baku tingkat Kebauan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam analisis data tingkat
kebauan.
6. Keputusan Menaker No.KEP 51/MEN/1999 tentang Faktor Bising
di Lingkungan Kerja.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam kebisingan dilingkungan
kerja.
7. Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 02/1999
tentang izin Lokasi.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam perolehan ijin lokasi.
10

8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 42 Tahun
2003 tentang Pedoman mengenai syarat dan Tata Cara Perijinan
serta Pedoman Pembuangan Limbah ke Air.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penanganan limbah.
9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun
2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam analisis mutu kualitas air
laut.
10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 24 Tahun
2009 tentang Panduan Penilaian Dokumen AMDAL.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam penilaian Dokumen
AMDAL.

1.3.9. Keputusan Kepala BAPEDAL
1. Keputusan Kepala Bapedal Nomor Kep. KA Bapedal No 299/1996
tentang Pedoman Teknis Kajian Aspek Sosial dalam Penyusunan
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam mengkaji aspek sosial
dalam menyusun doumen AMDAL.
2. Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-124/12/1997 tentang
Panduan Kajian Aspek Kesehatan Masyarakat Dalam Penyusunan
AMDAL.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam mengkaji aspek kesehatan
masyarakat dalam menyusun dokumen AMDAL.
3. Keputusan Kepala BAPEDAL Nomor KEP-8 Tahun 2000 tentang
Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi Dalam Proses
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup.
Alasan : digunakan sebagai acuan dalam keterlibatan masyarakat
dan keterbukaa informasi dalam penyusunan AMDAL.



11

II. RUANG LINGKUP STUDI

2.1. Lingkup Rencana Kegiatan yang Akan Ditelaah
2.1.1. Status Studi AMDAL
Secara umum status studi AMDAL yang sedang dikerjakan ini
dilakukan setelah studi kelayakan ekonomi selesai dan dilakukan bersamaan
dengan studi kelayakan teknis. Sejauh ini Pelabuhan Tanjung Mas telah
melakukan sejumlah kajian atau penyelidikan dan aktivitas, termasuk:
Mengidentifikasi lokasi yang akan dijadikan lahan pelabuhan
Tanjung Mas dan mengidentifikasi lahan yang ada
Seleksi tanah yang diusulkan
Konsultasi Publik
Baseline study (pengumpulan data meteorologis, geologi,
kelautan dan lingkungan sosial ekonomi yang spesifik untuk
lokasi pemilihan pelabuhan)
Studi gempa bumi dan tsunami
Studi pemilihan material dan pemilihan teknologi, dan
Kajian Permulaan Pekerjaan Desain
Anggaran Biaya

2.1.2. Rencana Perpanjangan Garis Pantai Pelabuhan Tanjung Mas
Guna kepentingan studi AMDAL, semua kegiatan pembangunan
fisik diatas pada garis besar dapat dibagi dalam 3 tahap kegiatan, yaitu tahap
prakonstuksi, konstruksi dan pascakonstuksi.
2.1.2.1. Kegiatan Tahap Prakonstruksi
Kegiatan pada tahap prakonstuksi meliputi :
a) Survei
b) Perizinan Pembebasan Lahan, Pembangunan dan
c) Pengadaan tenaga kerja
d) Survei Bahan Material dan Peralatan
2.1.2.2. Kegiatan Tahap Konstruksi
Kegiatan pada tahap konstruksi meliputi :
12

a) Pembebasan lahan
b) Transportasi alat berat
c) Pengadaan peralatan pereklamasian pantai

2.1.2.3. Kegiatan Tahap Pasca Kontruksi
Kegiatan pada tahap prakonstruksi yang mungkin
berdampak terhadap lingkungan adalah pemanfaatan/penggunaan
TPI, Pelabuhan Tanjung Mas, dan Masyarakat Sekitar Dampak itu
timbul sebagai akibat :
a) Pemanfaatan fasilitas dan pengembangan pelabuhan, PPI
dan Masyarakat
b) Penanganan dan pembuangan limbah
c) Pengerukan lahan masyarakat

2.1.3. Tahap Pelaksanaan Pembangunan Pelabuhan
Dalam pembangunan Pelabuhan Tanjung Mas maka akan dibagi
menjadi 3 bagian :
a. Bagian 1 : Perluasan dermaga utama sebagai sarana paling
awal dari proyek perpanjangan garis pantai Pelabuhan Tanjung
Mas.
b. Bagian 2 : Pembangunan bangunan utama yang ada pada
Pelabuhan Tanjung Mas, yaitu Pembuatan tiketing kapal,
pembuatan tempat menaruh Peti Kemas, Pembuatan tempat tunggu
penumpang, pembuatan parkir, pembuatan menara komunikasi,
ruang kontrol, penataan taman, pembuatan kamar mandi, restoran,
pos keamanan dan loket masuk menuju lokasi, dll.
c. Bagian 3 : Perbaikan jalan dan akses menuju lokasi
Pelabuhan Tanjung Mas dilakukan setelah tahap pertama selesai.
Hal ini dilakukan karena pada saat konstruksi berjalan, pengadaan
bahan material menggunakan alat berat juga menyumbang
kerusakan jalan menuju lokasi.

13

2.1.4. Kesesuaian Rencana Lokasi Kegiatan dengan Tata Ruang
Kota Semarang

2.1.4.1. Profil Kota Semarang
Kota Semarang memiliki luas wilayah 373,7 km2. Kota
ini terbagi menjadi 16 kecamatan dan 177 kelurahan. Kecamatan
terluas adalh kecamatan Mijen, yang luas wilayahnya 57,55 km2.
Kecamatan terluas berikutnya adalah kecamatan Gunungpati yang
luas wilayahnya 54,11 km2. Kecamatan Mijen dan Gunungpati
terletak di wilayah selatan kota. Keduanya merupakan dartah
perbukitan yang potensial untuk dijadikan lahan pertanian dan
perkebunan. Adapun kecamatan terkecil dalam kecamatan
Semarang Selatan yang luasnya 5,93 km
2
dan kecamatan Semarang
Tengah yang luasnya 6,14 km
2
.
Struktur geografis kota Semarang terdiri atas daratan
tinggi dan dataran rendah. Dataan rendah berada sekitar 4 km dari
garis pantai. Sementara dataran tinggi kota ini berada di sebelah
selatan. Di sebelah barat, kota ini berbatasan dengan kabupaten
Kendal. Sementara itu di sebelah timur berbatasan dengan
kabupaten Demak dan sebelah selatan dengan kabupaten
Semarang. Adaputn di sebelah utara, kota ini berbatasan langsung
dengan Laut Jawa. Secara astronomis, kota ini terletak di antara
65 - 75 Lintang Selatan dan 10935 - 11050 Bujur Timur.
Kota Semarang terletak pada kedudukan 109 50' BT
hingga 110 35' BT dan antara 6 50' LS hingga 7 10' LS di bagian
utara berbatasan dengan laut Jawa serta bagian selatan volkan
gunung Ungaran. Aktivitas laut Jawa dan volkan Gunung Ungaran
tersebut banyak berpengaruh pada wilayah Pantai Semarang.
Perubahan garis Pantai Semarang dapat juga disebabkan
oleh proses deposisi yang mengakibatkan terjadinya perkembangan
pantai di daerah muara maupun sepanjang pantai yang mempunyai
daya dukung fisik terhadap proses deposisi seperti daerah teluk dan
14

pantai - pantai terlindung. Material yang mengendap di daerah ini
biasanya berasal dari hasil erosi di daerah hulu yang dibawa oleh
aliran Sungai Kaligarang, Sungai Banjir Kanal Barat, Kali Kreo,
dan Sungai Banjir Kanal Timur ke muara - muara dan material
marin yang terbawa oleh tenaga gelombang dan arus sepanjang
pantai.
Perubahan pantai secara rinci dan semi rinci dari masa ke
masa dapat diketahui bila tersedia peta dan data yang lengkap
secara periodik. Oleh karena itu foto udara sangat membantu dalam
mengidentifikasi faktor - faktor yang berpengaruh terhadap
perubahan garis pantai, dengan cara mengenali kenampakan bentuk
lahan pantai yang dapat di identifikasi dan di interpretasi dari foto
udara tersebut, antara lain mengenai bentuk lahan pantai dan
deposisi pantai. Interpretasi foto udara multi temporal untuk
identifikasi perubahan garis pantai dan faktor faktor yang
mempengaruhinya (Sutanto, 1986).

2.1.4.2. Data Penggunaan Lahan
Data penggunaan lahan (Land Use) daerah penelitian di
peroleh melalui interpretasi foto udara pankromatik hitam putih
skala 1 : 20.000 ; secara sistem blok didapat 9 (sembilan) bentuk
penggunaan lahan yaitu pemukiman, perkantoran / pergudangan,
sawah irigasi, sawah tadah hujan, kebun / perkebunan, hutan,
semak / belukar, tegalan / Iadang / tanah kosong, tambak, rataan
pasang surut. Masing-masing bagian dan bentuk penggunaan lahan
di daerah penelitian dapat diuraikan dan luas 36.426.268 Ha tidak
termasuk luas rataan pasang surut / marine yaitu 113,75 Ha.

2.1.4.3. Data Perubahan Garis Pantai
Garis pantai utara Semarang-Demak selalu mengalami
perubahan dari tahun ke tahun. Perubahan yang serius ini perlu
untuk dilakukan pemantauan terus menerus. Permasalahan yang
15

dihadapi di daerah pantai utara adalah bagaimana mengetahui
perubahan garis pantai, proses yang terjadi dan mengapa terjadi
perubahan garis pantai. Metode penelitian yang digunakann adalah
interpretasi citra satelit Landsat tahun 1998 dan citra Allos tahun
2006, dan pengujian lapangan. Dengan menumpang susunkan
(overlay) ke dua citra satelit melalui sistem informasi geografis
merupakan cara cepat untuk mengetahui perubahan yang terjadi di
pantai utara Semarang Demak. Hasil penelitian menunjukkan
berdasarkan survei tersebut didapatkan ketelitian sebesar 93% dan
dikatakan valid dari 28 titik pengamatan yang berupa garis pantai
maupun penggunaan lahannya. Garis pantai yang terjadi antara
tahun 1999 sampai tahun 2006 lebih banyak mengalami proses
abrasi jika dibandingkann dengan akresi. Abrasi yang terjadi
sebesar 771,424 ha, sedangkan akresi yang sebesar 177,931 ha.
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik suatu simpulan
yaitu citra satelit Landsat dan Allos dapat digunakan untuk
mengetahui perubahan garis garis pantai utara Semarang Demak
dengan tingkat kebenaran 93 %, perubahan garis pantai yang terjadi
berupa abrasi sebesar 771,424 ha dan akresi sebesar 177,931 ha,
perubahan garis pantai abrasi terjadi akibat adanya arus laut dan
ombak laut yang terus menerus menghantam bibir pantai serta
adanya pantai yang relatif datar. Sedangkan akresi pada pantai
disebabkan oleh penumpukan sedimen yang berasal dari dari
daratan dan terendapkan di pantai terutama melalui muara sungai.
Saran dari penelitian adalah untuk mempercepat mengetahui
perubahan garis pantai sebaiknya dengan menggunakan citra
penginderaan jauh, agar masyarakat ikut menjaga dengan
mencegah adanya abrasi pantai. Cara yang dapat dilakukan dengan
melalui penghijauan kawasan pantai, misalnya dengan penanaman
mangrove di tepi pantai.

16

2.1.4.4. Pelabuhan Tanjung Mas
Pelabuhan Tanjung Emas yang dahulu disebut Pelabuhan
Semarang, pada mulanya merupakan Pelabuhan Rede yang
dibangun pada tahun 1874 ditandai dengan berdirinya Menara
Suar. Karena letaknya yang strategis, Pelabuhan Semarang tidak
hanya berkembang sebagai pelabuhan perdagangan tapi juga
sebagai pelabuhan militer. Pada tahun 1963 mulai dibangun
Pelabuhan Coaster atau Pelabuhan Nusantara yang dapat
menampung kapal-kapal yang berukuran lebih kurang 2.000 DWT.
Sedangkan kapal-kapal yang berukuran lebih besar, masih harus
berlabuh dan melakukan aktivitas bongkar muat di Rede yang
jaraknya lebih kurang 3 mil dari pelabuhan3 dengan memakai
tongkang. Seiring kemajuan perekonomian maka pada Pelabuhan
Tanjung Emas dibangunlah beberapa fasilitas pendukung. Proyek
pembangunan tahap I telah selesai dan diresmikan oleh Presiden
Soeharto pada tanggal 23 November 1985 serta diberi nama
Pelabuhan Tanjung Emas.

2.1.4.5. Karakteristik Ruang Kota Semarang
Sebagian besar wilayah kota Semarang merupakan daerah
dataran rendah yang terletak sekitar 4 kilometer dari garis pantai.
Dataran rendah kota Semarang yang lebih dikenal dengan sebutan
Kota Semarang Bawah ini seringkali dilanda banjir sebagai
akibat luapan air laut (rob). Sedangkan, di sebelah selatan Kota
Semarang merupakan dataran tinggi, yang lebih dikenal dengan
sebutan Kota Semarang Atas.

2.1.4.5.1. Ruang Kota Semarang Bawah
Dengan berkembangnya kota Semarang tentunya
membawa konsekuensi akan kebutuhan lahan ke arah dataran
pesisir pantai, hal yang menjadi penting adalah daya dukung
kawasan bertumpu pada dataran alluvial hasil perkembangan
17

garis pantai atau hasil proses sedimentasi. Masalah yang
berkembang selama ini berkaitan dengan kawasan kota
Semarang, terutama di Semarang Bawah yang berdekatan
dengan Pantura adalah terjadinya penurunan pada kawasan kota
sehingga terjadinya banjir tahunan (rob) yang tentunya dapat
dibuktikan dari pengukuran geodetik terhadap rata-rata
permukaan laut.
Secara fisiografi kota Semarang terletak pada dataran
alluvial merupakan hasil endapan yang berasal dari daratan
ditransport melalui sungai-sungai besar dan hasil proses
sedimentasi di wilayah pantai. Dataran alluvial ini
dilatarbelakangi oleh jajaran pegunungan Serayu Utara di bagian
selatan, perbukitan kendeng di sebelah timur dan langsung
berhadapan dengan laut jawa di bagian utaranya.

2.1.4.5.2. Ruang Kota Semarang Atas
Menyadari akan masalah rob dan banjir yang selalu
menghantui kota Semarang Bawah, maka terlihat
kecenderungan yang cukup kuat mayarakat untuk berpindah ke
kawasan perbukitan kota Semarang. Sehingga tidak
mengherankan jika para pengembang mulai melirik wilayah
Semarang atas sebagai lokasi yang strategis untuk membangun
perumahan. Konsekuensi logis yang melekat adalah, daerah
yang seyogianya menjadi resapan air atau setidak-tidaknya
memiliki fungsi hidrologis, kini sudah banyak yang beralih rupa
menjadi deretan bangunan berpenghuni.
Keadaan yang demikian secara kausalitas akan
menjadi ancaman terhadap kota Semarang Bawah. Hal ini
dikarenakan daerah yang seharusnya menjadi resapan air justru
akan mengalirkan air ke daerah yang lebih rendah. Sehingga ke
depan diharapkan pemerintah lebih selektif dalam melakukan
18

pengembangan kota Semarang Atas, dengan tetap
memperhatikan asas keseimbangan pembangunan.

2.1.5. Struktur Tata Ruang
Kegiatan penentuan struktur tata ruang digunakan untuk
menentukan arah jalur mobilitas, inventarisasi lahan tanaman, dan bangunan
yang terkena proyek, maupun berbagai analisis tentang penataan secara
keruangan dan kelayakan teknis terhadap bangunan.
Pelaksanaan kegiatan ini tentu akan bersentuhan langsung dengan
masyarakat dan atau melibatkan masyarakat sekitar lokasi proyek yang akan
dikembangkan . kondisi tersebut potensial menimbulkan dampak sosial, baik
berupa keresahan masyarakat yang terkena proyek maupun timbulnya
spekulasi masyarakat terhadap ganti rugi pemebebasan tanah.
Hasil dari kegiatan penentuan struktur tata ruang tentang rencana
pembangunan dermaga baru di pelabuhan Tanjung Mas Semarang dilakukan
secara terperinci dan terjadwal sesuai dengan apa yang telah dirumuskan. Dan
diinformasikan kepada masyarakat , baik dalam bentuk sosialisasi media cetak
dan elektronik, sosialisasi secara instansional, maupun sosialisasi secara
langsung kepada masyarakat sekitar lokasi . sasialisai tersebut yaitu
memberitahukan kepada masyarakat dampak yang akan diakibatkan dengan
adanya proyek yang akan merubah sistem tata ruang di daerah sekitar Tanjung
Mas Semarang .

2.1.6. Uraian Singkat Rencana Kegiatan
Pelabuhan Tanjung Mas Semarang merupakan pelabuhan yang
dikelola oleh PT. PELABUHAN INDONESIA III (PERSERO). Pelabuhan ini
melayani Kapal angkut barang untuk kepentingan perdagangan ekspor dan
impor serta perdagangan di dalam negeri serta Pelabuhan pelayanan
penumpang yang hendak bertujuan ke pulau Kalimantan, Sulawesi, Sumatera
dsb.

19

Rencana kegiatan perpanjangan garis pantai pelabuhan tanjung
Mas Semarang yang terletak di Kecamatan Semarang Utara, tepatnya di Jl. No
10A Semarang.

Gambar 1. Wilayah Pelabuhan Tanjung Mas Semarang


Gambar 2. Wilayah Pelabuhan Tanjung Mas Semarang
Rencana perpanjangan garis pantai pelabuhan Tanjung Mas
Semarang dengan dilakukannya kegiatan reklamasi (penimbunan pasir kearah laut
sejauh 100 m) didasari oleh adanya abrasi yang menerjang melalui banjir Rob
sehingga mengganggu aktivitas kepelabuhanan di wilayah sekitar pelabuhan.
Adanya banjir Rob juga menyebabkan terjadinya perubahan garis pantai dengan
tergenangnya wilayah sekitar pelabuhan secara bertahap.
Lingkup Kerja yang akan dilaksanakan adalah :

20

1. Mobilisasi Alat Berat (Kapal penimbun pasir, Escavator, Truck, Grider,
dll).
Masuknya alat-alat berat ke wilayah pelabuhan Tanjung Mas
diprediksi akan menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitar seperti
lingkungan sosial dan lingkungan alam. Maka, mobilisasai alat berat harus
dirancang dengan teliti dan cermat agar tidak menimbulkan dampak yang
terlalu besar.

2. Survey Kelautan (Bathimetri, Aktivitas Biologi, Geologi, Kimiawi
Oseanografi).
Pengukuran aktivitas pesisir dan laut di wilayah pelabuhan
Tanjung Mas semarang perlu dilakukan untuk memperoleh data yang akan
dijadikan sebagai bahan acuan atau pertimbangan atas penyelenggaran
kegiatan perpanjangan garis penatai pelabuhan Tanjung Mas Semarang.
Kegiatan tersebut seperti Survey Bathimetri (Pengukuran kedalaman laut serta
pengumpulan data sekunder pada kondisi terakhir). Survey aktivitas Biologi
meliputi pengumpulan data jenis spesies flora dan fauna (laut dan darat) ,
jumlah biomassa, dan ekosistem pendukung wilayah pesisir. Survey aktivitas
kimiawi meliputi pengukuran kadar pencemaran laut yang terjadi di Sekitar
Wilayah pelabuhan dan penentuan jenis bahan /zat kimiawi yang terkandung
di wilayah pesisir dan laut. Survey oseanografi meliputi kajian aktivitas arus,
pasang surut,geologi pesisir laut, dan Gelombang yang dibentuk dalam sebuah
pemodelan untuk kepetingan prediksi.

3. Pembuatan Jalan Akses Sementara ke Pelabuhan untuk Mobilisasi Alat
Berat.
Pembuatan akses sementaara perlu dilakukan karena adanya
pertimbangan mobilisasi masyarakat sekitar yang tinggi tidak bisa dibarengi
dengan aktivitas mobilisasi alat berat pada jalan yang sama, karena
dikhawatirkan akan menggaggu kenyamanan dan keselamatan masyarakat
sekitar, serta tidak sesuainya spesifikasi jalan di sekitar pelabuhan yang telah
tersedia untuk kepetingan alat berat.
21

4. Menambah Navigation Light (Lampu Navigasi).
Kegiatan ini dilakukan untuk antisipasi jalur pelayaran kapal yang
hendak masuk wilayah pelabuhan agar tidak kehilangan navigasi
(penunjukkan arah) bagi kapal yang masuk atau keluar dari wilayah
pelabuhan.

5. Reklamasi Wilayah Pelabuhan (Penimbunan Pasir untuk Perpanjangan
Wilayah Pantai ke Arah Laut).
Reklamasi pantai dengan melakukan penimbunan pasir sejauh 100
m kearah laut dengan menggunakan kapal khusus penimbun pasir. Pasir yang
diperoleh dapat berasal dari wilayah di luar Kota Semarang (untuk jenis pasir
tertentu) dan Pasir yang berasal dari hasil pengerukan dari sedimentasi di
sekitar wilayah Pesisir Semarang.

6. Pembangunan Breakwater dan Sea Wall
Breakwater atau dalam hal ini pemecah gelombang lepas pantai
dan seawall atau tanggul laut yang dirancang untuk mengurangi gelombang
rencananya dibangun sepanjang wilayah pelabuhan Tanjung Mas Semarang
untuk mengantisipasi terjadinya abrasi (pengurangan panjang garis pantai)
oleh aktivitas laut seperti banjir rob yang dikhawatirkan menjadikan hasil
reklamasi akan menjadi kurang optimal.

2.1.7. Kegiatan yang Ada di Sekitar Rencana Lokasi Kegiatan dan
Dampaknya
A. Pembangunan Dermaga
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan yang dimaksud pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari
daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai
tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi yang dipergunakan
sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, naik turun penumpang dan atau
bongkar muat barang yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan
22

pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat
perpindahan intra dan antar moda transportasi (Anonim, 2013).
Dermaga adalah tempat kapal ditambatkan di pelabuhan. Pada
dermaga dilakukan berbagai kegiatan bongkar muat barang dan orang dari
dan ke atas kapal. Di dermaga juga dilakukan kegiatan untuk mengisi
bahan bakar untuk kapal, air minum, air bersih, saluran untuk air
kotor/limbah yang akan diproses lebih lanjut di pelabuhan (Wikipedia,
2013).
Dalam perencanaan suatu pekerjaan kontruksi dibutuhkan dasar-
dasar perencanaan agar dapat diketahui spesifikasi yang menjadi acuan
dalam perhitungan dan pelaksanaan pekerjaan dilapangan. Dasar-dasar
perencanaan dibutuhkan juga untuk mengetahui faktor-faktor yang
mempengaruhi perencanaan tersebut, masalah-masalah yang akan dihadapi
dan cara penyelesaiannya. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan dituntut adanya perencanaan yang matang
dengan dasar-dasar perencanaan yang baik (Anonim, 2013).
Pemilihan lokasi untuk membangun dermaga meliputi daerah
pantai dan daratan. Pemilihan lokasi tergantung pada bebrapa faktor
seperti kondisi tanah dan geologi, kedalaman dan luas daerah perairan,
perlindungan pelabuhan terhadap gelombang, arus dan sedimentasi.
Tinjauan daerah peraiaran menyangkut luas perairan yang diperlukan
untuk alur pelayaran, kolam putar (turning basin), penambatan dan tempat
berlabuh, dan kemungkinan pengembangan dermaga di masa mendatang.
Berbagai faktor yang mempengaruhi penentuan lokasi dermaga adalah
sebagai berikut :

1. Topografi dan Geologi
Keadaan topografi daratan dan bawah laut harus memungkinkan
untuk membangun pelabuhan dan kemungkinan untuk pengembangan di
masa mendatang. Daerah daratan harus cukup luas untuk membangun
fasilitas pelabuhan seperti dermaga, jalan dan sebagainya. Apabila daerah
daratan sempit maka pantai harus cukup luas dan dangkal untuk
23

memungkinkan perluasan daratan dengan melakukan penimbunan pantai
tersebut. Daerah yang akan digunakan untuk perairan pelabuhan harus
mempunyai kedalaman yang cukup sehingga kapal-kapal bisa masuk ke
pelabuhan.
2. Tinjauan Pelayaran
Dermaga yang akan dibangun harus mudah dilalui kapal-kapal
yang akan menggunakannya. Kapal yang berlayar dipengaruhi oleh faktor-
faktor alam seperti angin, gelombang dan arus yang dapat menimbulkan
gaya-gaya yang bekerja pada badan kapal. Faktor tersebut semakin besar
apabila pelabuhan terletak di pantai yang terbuka ke laut, dan sebaliknya
pengaruhnya berkurang pada pelabuhan yang terletak di daerah yang
terlindungi secara alam. Pada umumnya angin dan arus mempunyai arah
tertentu yang dominan. Diharapkan bahwa kapal-kapal yang sedang
memasuki pelabuhan tidak mengalami dorongan arus pada arah tegak
lurus sisi kapal. Demikian juga, sedapat mungkin kapal-kapal harus
memasuki pelabuhan pada arah sejajar dengan arah angin dominan.
Gelombang yang mempunyai amplitudo besar akan menyebabkan
diperlukannya kedalaman saluran pengantar yang lebih besar, karena pada
keadaan tersebut kapal-kapal berisolasi (bergoyang naik turun dengan
fluktuasi muka air).

3. Tinjauan Sedimentasi
Pengerukan untuk mendapatkan kedalaman yang cukup bagi
pelayaran di daerah perairan pelabuhan memerlukan biaya yang cukup
besar. Pengerukan ini dapat dilakukan pada waktu membangun pelabuhan
maupun selama perawatan. Pengerukan selama perawatan harus sedikit
mungkin.
Pelabuhan harus dibuat sedemikian rupa sehingga sedimentasi
yang terjadi harus sedikit mungkin (kalau bisa tidak ada). Untuk itu di
dalam perencanaan pelabuhan harus ditinjau permasalahan sedimentasi.
Proses erosi dan sedimentasi tergantung pada sedimen dasar dan pengaruh
hidrodinamika gelombang dan arus. Jika dasar laut terdiri dari material
24

yang mudah bergerak, maka arus dan gelombang akan mengerosi sedimen
dan membawanya searah dengan arus. Sedimen yang ditranspor tersebut
bisa berupa bed load (menggelinding, menggeser di dasar laut) seperti
misalnya pasir atau melayang untuk sedimen suspensi (lumpur, lempung).
Apabila kecepatan arus berkurang (misalnya di perairan
pelabuhan) maka arus tidak lagi mengangkut sedimen sehingga akan
terjadi sedimentasi di daerah tersebut. Proses sedimentasi ini sulit untuk
ditanggulangi, oleh karena itu masalah ini harus diteliti dengan baik untuk
dapat memprediksi resiko pengendapan. Sedimen yang ada di daerah
pantai bisa berupa pasir atau sedimen suspensi. Sedimen suspensi biasanya
berasal dari sungai-sungai yang bermuara di pantai.

4. Tinjauan Gelombang dan Arus
Gelombang menimbulkan gaya-gaya yang bekerja pada kapal dan
bangunan pelabuhan. Unutk menghindari gangguan gelombang terhadap
kapal yang berlabuh maka dinuat bangunan pelindung yang disebut
pemecah gelombang (breakwater).
Di dalam tinjauan pelayaran, diharapkan bahwa kapal-kapal dapat
masuk ke pelabuhan menurut alur pelayaran lurus (tanpa membelok) dan
alur tersebut harus searah dengan arah penjalaran gelombang terbesar dan
arah arus. Suatu mulut pelabuhan yang besar akan besar akan
memudahkan kapal memasuki pelabuhan.
Akan tetapi pada umumnya persyaratan-persyaratan untuk
kemudahan pelayaran tidak bisa semuanya terpenuhi. Mulut pelabuhan
yang besar dan menghadap arah datangnya gelombang akan menyebabkan
masuknya energi gelombang yang besar ke pelabuhan, sehingga
menggangu kapal yang sedang berlabuh. Demikian juga mulut pelabuhan
yang menghadap arah arus juga akan menyebabkan sedimentasi di
pelabuhan. Oleh karena itu harus diambil kompromi sehingga di dapat
pelabuhan yang andal dan memungkinkan kapal-kapal dapat berlabuh
dengan mudah.

25

5. Tinjauan Kedalaman Air
Kedalaman laut sangat berpengaruh pada perencanaan pelabuhan.
Di laut yang mengalami pasang surut variasi muka air kadang-kadang
cukup besar. Menurut pengalaman, tinggi pasang surut yang kurang dari 5
meter masih dapat dibuat pelabuhan terbuka. Bila pasang surut lebih dari 5
meter, maka terpaksa dibuat suatu pelabuhan tertutup yang dilengkapi
dengan pintu air untuk memasukkan dan mengeluarkan kapal. Di sebagian
besar perairan Indonesia, tinggi pasang surut tidak lebih dari 2 meter
sehingga digunakan pelabuhan terbuka.
Untuk pelayaran, kapal-kapal memerlukan kedalaman air yang
sama dengan sarat (draft) kapal ditambah dengan suatu kedalaman
tambahan. Kedalaman air untuk pelabuhan didasarkan pada frekuensi
kapal-kapal dengan ukuran tertentu yang masuk ke dalam pelabuhan. Jika
kapal-kapal terbesar masuk ke pelabuhan hana satu kali dalam beberapa
hari, maka kapal tersebut hanya boleh masuk pada waktu air pasang.
Sedang kapal-kapal kecil harus dapat masuk ke pelabuhan pada setiap
saat.

B. Dampak Pembangunan Dermaga dan Upaya Penanganannya
AMDAL merupakan kajian dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, dibuat pada tahap perencanaan, dan digunakan untuk
pengambilan keputusan. Hal-hal yang dikaji dalam proses AMDAL: aspek
fisik-kimia, ekologi, sosial-ekonomi, sosial-budaya, dan kesehatan
masyarakat sebagai pelengkap studi kelayakan suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan (MenLH, 2013).
Dampak pembangunan dermaga ini dapat digolongkan pada
dampak pra kontruksi, kontruksi, dan pasca kontruksi.
I. Tahap Pra Konstruksi
1. Komponen Lingkungan Geo Fisik Kimia.
Kegiatan pada tahap pra konstruksi tidak menimbulkan dampak penting
pada komponen lingkungan geo fisik kimia.

26

2. Komponen Lingkungan Biologi.
Kegiatan pada tahaap pra konstruksi tidak menimbulkan dampak besar
dan penting pada komponen lingkungan biologi.

3. Komponen Social Ekonomi Budaya
Keresahan Masyarakat
Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat

4. Komponen Lingkungan Dan Kesehatan Masyarakat
Kegiatan pada tahaap pra konstruksi tidak menimbulkan dampak besar
dan penting pada komponen lingkungan kesehatan lingkungan dan
masyarakat.

II. Tahap Konstruksi
1. Komponen Lingkungan Geo Fisik Kimia
Penurunan Kualitas Air
Penurunan Kualitas Udara
Peningkatan Kebisingan
Gangguan Lalu Lintas

2. Komponen Lingkungan Biologi
Gangguan Terhadap Biota Perairan

3. Komponen Social Ekonomi Budaya
Kesempatan Kerja Dan Peluang Berusaha
Peningkatan Pendapatan Penduduk
Perubahan Sikap Dan Persepsi Masyarakat

4. Komponen Lingkungan Dan Kesehatan Masyarakat
Gangguan Kesehatan Dan Keselamatan Kerja


27

III. Tahap Pasca Kontruksi
1. Komponen Lingkungan Geo Fisik Kimia
Dampak Penurunan Kualitas Air Laut
Dampak Penurunan Kualitas Udara, Peningkatan Kebauan Dan
Kebisingan
Gangguan Lalu Lintas
Dampak terjadinya Rob

2. Komponen Lingkungan Biologi
Gangguan terhadap biota perairan

3. Komponen Social Ekonomi Budaya
Dampak Terbukanya Kesempatan Kerja dan Peluang Usaha
Peningkatan Aktifitas Pekerjaan
Dampak Peningkatan Pendapatan Penduduk
Dampak Peningkatan Pendapatan Daerah
Dampak Perubahan Sikap dan Persepsi Masyarakat

4. Komonen Lingkungan Kesehatan Lingkungan Dan Masyarakat
Dampak Penurunan Estetika

Problematika rob yang melanda Pelabuhan Tanjung Emas Semarang
masih menjadi momok bagi pengguna jasa ke pelabuhanan. Rob bisa terjadi
tanpa mengenal musim, meskipun pada musim kemarau, dan apabila terjadi air
pasang mengakibatkan terjadinya rob yang menutup dermaga bahkan jalan-
jalan di pelabuhan. Hal ini mengakibatkan terganggunya proses stevedoring
(bongkar muat) maupun aktivitas kepelabuhan yang lain. Rob terjadi akibat
dampak dari terjadinya penurunan deletasi tanah dan air laut juga mengalami
peningkatan volume dan ketinggian dari tahun ke tahun. Guna menangani
permasalahan banjir dan rob tersebut, PT Pelindo III membuat program
penanganan rob yang disebut dengan polder sistem (Anonim, 2013).
28

Dalam pembangunan polder sistem di Pelabuhan Tanjung Emas
tersebut dibagi menjadi empat cluster, masing-masing cluster dibuat tanggul
keliling dan dipasang pompa untuk mengeluarkan air yang ditampung dalam
kolam retensi. Adapun luasan polder sistem pada cluster I seluas 591.027m
2
,
cluster II seluas 487.504 m
2
, cluster III seluas 544.693 m
2
dan cluster IV seluas
292.797 m
2
. (Anonim, 2013).
Proses pembangunan polder sistem sendiri mulai dilakukan pada
cluster III, agar dermaga dalam Pelabuhan Tanjung Emas dapat segera
digunakan untuk kegiatan stevedoring (bongkar muat) secara optimal dan tidak
terganggu adanya genangan rob. Saat ini proses pembangunan yang telah
dilakukan adalah sedang menyelesaikan cluster III dengan alokasi anggaran
sedikitnya Rp 33 miliar dan progress pekerjaan hingga minggu ketiga Oktober
2012 telah mencapai 60 persen (Anonim, 2013).
Masalah banjir rob ini kerap menimbulkan masalah baru. Salah
satunya tambatan kapal tidak terlihat antara dermaga dengan batas air laut.
Banjir di dermaga ini pula yang menyebabkan proses bongkar muat tertunda
(Anonim, 2013).
Tri Suhardi, GM Pelindo III Cabang Tanjung Emas, dalam siaran
persnya, menyebutkan saat ini sudah terbangun 280 meter dari 500 meter total
folder yang harus dibangun untuk mengatasi banjir. Sementara Semarang saat
ini sudah memasuki musim hujan. Sementara folder yang sudah terbangun
butuh uji kemampuan untuk mengatasi banjir (Anonim, 2013).
Ini memang kondisi alam yang tidak mudah dilawan. Sementara saat
ini sedikitnya sudah lebih dari setengah Polder yang sudah terbangun, ungkap
Tri Suhardi. Pembangunan polder ini pula diharapkan bisa mendukung
program PT Kereta Api Indoesia (KAI) yang tengah mengembangkan bisnis
angkutan logistik. Tri Suhardi menyebutkan sebelumnya PT KAI telah
memiliki fasilitas rel kereta dari lingkungan Pelabuhan Tanjung Emas
(Anonim, 2013).
Tetapi masalah rob yang terjadi, menyebabkan rel kereta turun dan
terendam air. Setiap tahunnya kita meninggikan tanah hampir disemua lahan
29

milik Pelindo. Hal ini berimbas dengan terpendamnya rel kereta hingga
mencapai 1,5 meter, lanjutnya (Anonim, 2013).
Sebelumnya Pelindo III sudah memiliki nota kesepahaman dengan PT
KAI tentang angkutan logistik melalui kereta. Itu sudah kita pikirkan dan nanti
akan kita komunikaskan dengan PT KAI. Kebetulan tahun 2014 double track
lintas utara dan Terminal Multipurpose Teluk Lamong sudah beroperasi penuh.
Program ini yang akan kita bahas kembali, tutupnya Di tempat terpisah, Kepala
Humas PT Pelindo III Edi Priyanto, mengemukakan bahwa Pelabuhan Tanjung
Emas memang saat ini sedang getol melakukan pembangunan sarana fisik pada
pelabuhan terbesar di Propinsi Jawa Tengah (Anonim, 2013).
Dermaga yang semula terendam rob sudah mulai ditinggikan dan
terlihat bersih, sistem polder penanganan rob juga tengah dalam proses
penyelesaian serta saluran air dan jalan akses ke pelabuhan sedikit demi sedikit
mulai dilakukan perbaikan. Seandainya masih ada sedikit kekurangan tentunya
hal tersebut masih wajar, karena dalam kegiatan pembangunan memerlukan
proses dan perencanaan yang matang (Anonim, 2013).
Edi juga menjelaskan bahwa sistem polder bukanlah penghilangan
banjir yang semata-mata hanya menjaga satu kawasan terbebas dan banjir.
Sejarah polder dimulai dari Negeri Belanda dan telah memiliki riwayat
panjang. Keberhasilannya juga sudah teruji. Saat ini sekitar 65 % dari Negeri
Belanda akan banjir jika tidak ada sistem polder. Jika sekarang kita melihat
sistem polder di Negeri Belanda maka kita melihat suatu sistem yang tertata
dan teratur (Anonim, 2013).
Polder sendiri merupakan suatu daerah tertutup (dengan bantuan
tanggul) yang tinggi muka airnya sengaja dikontrol dengan menggunakan
pompa. Dengan menggunakan sistem ini suatu kawasan akan terjaga jumlah
airnya meskipun di musim hujan. Kondisi seperti ini sekaligus membebaskan
wilayah tersebut dari ancaman banjir rob (Anonim, 2013).

2.1.8. Alternatif-alternatif yang Akan Dikaji dalam Amdal
Penentuan faktor-faktor yang dipertimbangkan dalam mengkaji
alternatif, cara identifikasi, prakiraan dan dasar pemikiran yang digunakan
30

untuk memberikan pembobotan, skala atau peringkat serta cara-cara untuk
mengintepretasikan hasilnya, alternatif-alternatif yang telah dipilih yang akan
dikaji lebih lanjut dalam ANDAL, pustaka-pustaka yang digunakan sebagai
sumber informasi dalam pemilihan alternative.
Studi AMDAL pembangunan pelabuhan Tanjung Emas ini, telah
dilakukan pembahasan dalam perencanaan kegiatan pembangunan pelabuhan
semarang tersebut oleh pihak DKP selaku pihak pemrakarsa secara matang,
sehingga tidak memiliki alternatif lokasi lainnya. Studi AMDAL ini berjalan
paralel dengan perencanaan penyelesaian DED. Dimana gambar perencanaan
teknis tersebut merupakan hasil pemilihan dari beberapa alternatif desain,
berdasarkan hasil studi kelayakan teknis dan didasarkan atas masukan Dinas
Instansi terkait pada saat pembahasan rencana desain. Meskipun demikian,
apabila diperlukan koreksi terhadap desain dan tata letak bangunan atas dasar
pertimbangan kajian aspek lingkungan hidup, maka hal tersebut masih
dimungkinkan untuk dilakukan revisi desain.
Aspek-aspek yang diteliti dalam studi ini adalah dampak besar dan
penting yang akan timbul akibat rencana kegiatan pembangunan Pelabuhan
Tanjung Emas, serta dampak lingkungan yang terjadi terhadap kelancaran
rencana ini. Dampak tersebut didasarkan pada hasil pelingkupan dampak besar
dan penting sesuai dengan yang telah ada pada Kerangka Acuan dan
digambarkan dalam bentuk bagan alir.
Evaluasi dampak besar dan penting dilakukan dengan cara
menelaah secara holistik berbagai komponen lingkungan hidup yang akan
mengalami perubahan mendasar dan menelaah berbagai dasar pengelolaan.
Beragam komponen lingkungan hidup yang terkena dampak besar
dan penting tersebut (baik positip maupun negatip) ditelaah sebagai satu
kesatuan saling terkait dan saling mempengaruhi, sehingga diketahui sejauh
mana pertimbangan dampak besar dan penting yang bersifat positif dan bersifat
negatif. Metode yang digunakan untuk telaahan holisitic (antara lain : matrik,
bagan alir dan overlay), yang menjadi dasar untuk menelaah kelayakan
lingkungan hidup dari berbagai alternatif usaha dan/atau kegiatan.
31

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, terdapat lahan-lahan
yang telah disiapkan (telah dibebaskan). Adapun lahan yang langsung akan
digunakan untuk rencana lanjutan pembangunan jalan Widang-Gresik menjadi
4 lajur dapat dilihat pada Tabel. Alternatif ini untuk menjadi alternatif dari
rencana pembangunan pelabuhan Tanjung Emas.



Tabel 1. Proses Pelingkupan Amdal


Tabel 2. Hasil Proses Pelingkupan Rencana Pembangunan Pelabuhan
Tanjung Mas

32




2.2. Lingkup Rona Lingkungan Hidup Awal
2.2.1. Rona Lingkungan Fisik Kimia
Rona Lingkungan Fisik meliputi Kebauan, Sampah, Kecerahan,
Arus, Kedalaman dan suhu. Menurut hasil survey rona lingkungan awal di
Tambak Lorok, Semarang pada daerah lepas pantai dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Nilai Parameter Fisik Kimia
No Parameter I II III Satua
n
Nilai rata-rata
1. Suhu 30 30,8 30,4
o
C 30,4
2. Kecerahan 71 80 74 Cm 75
3. Kedalaman 1,6 1,8 1,4 m 1,6
4. Sampah - SEDANG
5. Kebauan - BAU
33


2.2.2. Rona Lingkungan Biologi
Untuk komponen biologi terdapat flora dan fauna. Beberapa jenis
flora seperti vegetasi darat kebanyakan merupakan tanaman liar seperti rumput
dan beberapa jenis tanaman buah. Sedangkan untuk fauna hanya ditemukan
kambing dan kucing yang merupakan hewan ternak atau peliharaan masyarakat
sekitar TPI Tambak Lorok.

2.2.3. Rona Lingkungan Sosial, Ekonomi, Budaya
Secara umum, kegiatan ekonomi masyarakat TPI Tambak Lorok
adalah bekerja sebagai pedagang dan nelayan.

2.3. Pelingkupan
2.3.1. Identifikasi Dampak Potensial
Dampak potensial adalah dampak yang berpotensi terjadi akibat
adanya rencana kegiatan di lokasi yang diusulkan. Inti dari langkah ini adalah
mengidentifikasi interaksi antara komponen rencana kegiatan dengan
komponen lingkungan di lokasinya. Langkah ini dilakukan oleh tim pelaksana
kajian dengan membayangkan suatu situasi di mana semua dampak mungkin
saja terjadi atau situasi terburuk. Dengan demikian, segala macam dampak
yang terpikir akan dicatat. Beberapa alat bantu yang dapat digunakan untuk
melakukan identifikasi dampak potensial di antaranya adalah sebagai berikut :
Cheklist
Menggunakan daftar uji kategori dampak lingkungan dari
mulai pra, opreasional dan pasca proyek
Matriks
Memberikan pembobotan nilai dari dampak lingkungan
yang terjadi

6. Salinitas 27 29 28 ppm 28
7. pH 8 6 9 - 7,9
8. DO 2 4 2 Mg/l 2,5
34



Bagan Alir
Mengggunakan diagram alir untuk menganalisa dampak
dengan input proses dan aktivitas dan ouput besaran
dampak
Alat bantu yang paling mudah dan sering digunakan adalah
matriks. Matriks digunakan untuk menunjukkan interaksi antara komponen
kegiatan dengan komponen lingkungan hidup di lokasi kegiatan. Hal ini
dikembangkan dari informasi yang diperoleh dari tahap identifikasi rona
lingkungan awal dan deskripsi rencana kegiatan. Matriks disusun dengan
menempatkan komponen kegiatan dan komponen lingkungan, masing-masing,
pada satu sisi pada matriks. Untuk mengisi ruang dalam matriks, isi masing-
masing baris disandingkan dengan isi masing-masing kolom. Jika diperkirakan
terjadi interaksi antara kedua komponen tersebut, maka sel akan diisi dengan
suatu tanda. Sedangkan jika tidak terdapat interaksi, maka sel dibiarkan
kosong.

Tabel 4. Identifikasi Dampak Potensial di TPI Tambak Lorok, Semarang
No Identifikasi Dampak Potensial Positif Negatif
1. Sungai Tercemar (Sampah dan Air
Limbah)



2. Air Laut Tercemar (Sampah dan Air
Limbah)



3. Biota Laut terganggu


4. Penurunan Air Tanah dan Intrusi air
laut



5. Kekurangan Air bersih


6. Nelayan dan Petambak tergusur


35


2.3.2. Evaluasi Dampak Potensial
Dampak potensial yang diakibatkan oleh perpanjangan garis pantai
pelabuhan Tanjung Mas Semarang berupa penurunan tanah. Dampak dari
penurunan tanah yang terus berlangsung menyebabkan semakin banyaknya
resapan air laut. Ini mencemari air sumur yang semula digunakan warga untuk
minum. Tercemarnya sumur ini menyebabkan masyarakat mengebor sumurnya
makin dalam untuk mendapatkan air tanah, sehingga semakin tinggi potensi
dampak penurunan tanah.
Selain itu perpanjangan pelabuhan Tanjung Mas berpengaruh
terhadap pencemaran perairan di sekitar pelabuhan. Pencemaran ini terlihat
dari jarangnya biota yang terdapat di daerah dekat pelabuhan, hanya ada
beberapa ikan dan kepiting yang ada di pesisir. Kecerahan air di daerah pesisir
dekat pemukiman warga juga sangat keruh.

2.3.3. Klasifikasi dan Prioritas Dampak
2.3.3.1. Prakonstruksi:
1. Perubahan pola kepemilikan lahan
2. Perubahan sikap dan persepsi masyarakat

2.3.3.2. Konstruksi:
1. Terjadi kebisingan
2. Terjadi erosi tanah
3. Gangguan sistem drainase dan Irigasi
4. Gangguan transportasi Darat
5. Gangguan vegetasi
6. Peningkatan kuantitas aliran permukaan
7. Penurunan debit air sungai
8. Gangguan satwa liar
9. Peningkatan pendapatan masyarakat
10. Adanya kesempatan berusaha
11. Gangguan proses sosial
36

12. Perubahan sikap dan persepsi masyarakat
13. Penurunan sanitasi lingkungan

2.3.3.3. Operasi:
1. Perubahan kualitas udara ambien (debu dan gas)
2. Terjadi kebisingan
3. Penurunan kualitas air permukaan
4. Penurunan kualitas air laut
5. Gangguan transportasi darat
6. Gangguan biota air tawar
7. Gangguan biota air laut
8. Perubahan kependudukan
9. Peningkatan pendapatan masyarakat
10. Adanya kesempatan berusaha
11. Gangguan proses sosial
12. Perubahan sikap dan persepsi masyarakat
13. Penurunan sanitasi lingkungan
14. Penurunan tingkat kesehatan masyarakat

2.3.3.4. Pasca Operasi:
1. Terjadi kebisingan
2. Peningkatan kualitas air permukaan
3. Peningkatan kualitas air laut
4. Gangguan transportasi darat
5. Hilangnya kesempatan berusaha
6. Perubahan sikap dan persepsi masyarakat






37


2.4. Lingkup Wilayah Studi dan Batas Waktu Kajian
2.4.1. Batas Proyek

Gambar 3. Peta Batas Proyek
Peta di atas merupakan peta batas proyek dari pemanjangan
dermaga Pelabuhan Tanjung Mas Semarang. Daerah tersebut meliputi Tambak
Lorok Semarang hingga Morosari Demak. Pemanjangan dermaga pelabuhan
Tanjung Mas. Ini rencananya dibangun untuk menambah daya tampung dari
pelabuhan Tanjung Mas itu sendiri. Daerah yang ada di peta merupakan daerah
yang terkena dampak baik dampak langsung maupun dampak tidak langsung
dari adanya pembangunan proyek ini.

38

Gambar 4. Panjang Garis Pantai Yang Terkena Dampak Proyek

Peta di atas merupakan panjang garis pantai yang akan terkena
dampak dari pembangunan pemanjangan dermaga dari pelabuhan Tanjung Mas
Semarang. Peta di atas juga menjelaskan batas dari tapak proyek pembangunan
pemanjangan dermaga dari pelabuhan Tanjung Mas Semarang.

2.4.2. Batas Administrasi

Gambar 5. Peta Kota Semarang

Kota Semarang yang merupakan ibu kota Provinsi Jawa Tengah
adalah satu-satunya kota di Provinsi Jawa Tengah yang dapat digolongkan
sebagai kota metropolitan. Sebagai ibu kota provinsi, Kota Semarang menjadi
parameter kemajuan kota-kota lain di Propinsi Jawa Tengah. Kemajuan
pembangunan Kota Semarang tidak dapat terlepas dari dukungan daerah-
daerah di sekitarnya, seperti Kota Ungaran, Kabupaten Demak, Kota Salatiga
dan Kabupaten Kendal.
39

Secara geografis wilayah Kota Semarang beradaa ntara 650-710
LS dan 10935-11050 BT dengan luaswilayah 373,70 km
2
dengan batas-
batas sebagai berikut :
Batas Utara : LautJawa
Batas Selatan : Kabupaten Semarang
Batas Timur : KabupatenDemak
Batas Barat : Kabupaten Kendal
Kota Semarang terdiri dari 16 kecamatandan 177 kelurahan dengan
luas wilayah keseluruhan 373,7 km
2
dengan jumlah penduduk sebanyak
1.351.246 jiwa. Kecamatan yang mempunyai wilayah paling luas yaitu
kecamatan Mijen (62,15 km
2
) sedangkan kecamatan dengan luas wilayah
paling kecil adalah kecamatan Candisari (5,56 km
2
). Ketinggian Kota
Semarang bervariasi, terletak antara 0,75 sampai dengan 348,00 di atas garis
pantai.

2.4.3. Batas Ekologis
Batas ekologis meliputi cakupan daerah yang terkena dampak
ekologi dari pembangunan perpanjangan pelabuhan Tanjung Mas. Batas
batas ekologis harus dapat dijelaskan secara ilmiah mengapa garis batas
tersebut dipilih. Penentuan batas ekologis agar mempertimbangkan keberadaan
badan air (DAS) di sekitar lokasi pelabuhan yang terkena dampak ekologis.
Batas ekologis juga agar mempertimbangkan sifat hidro osenaografi (arus,
gelombang, angkutan sedimen) mempengaruhi penyebaran dampak dari
kegiatan kontruksi dan operasioal pelabuhan.








40

2.4.4. Peta Batas Sosial

Gambar 6. Peta Batas Sosial
Batas sosial merupakan ruang di sekitar proyek pembangunan
perpanjangan pelabuhan Tanjung Mas, Semarang yang merupakan tempat
berlangsungnya berbagai interaksi sosial. Batas sosial dalam proyek ini
meliputi wilayah pesisir dari Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara
hingga Kecamatan Sayung, Demak yang masih berbatasan dengan Laut
Jawa.

2.4.5. Batas Waktu Kajian
Batas waktu kajian pada Proyek Perpanjangan pelabuhan Tanjung
Mas ini meliputi waktu prakonstruksi, konstruksi hingga pasca konstruksi yang
di dalamnya terdiri dari banyak aspek yang mempengaruhinya.Yang di
dalamnya ada yang member dampak negative juga dampak positif baik dalam
aspek fisika , kimia , biologis maupun masyarakat.
Pada sesi prakonstruksi ini meliputi proses perencanaan, survey
lingkungan, perekrutan tenaga kerja, juga mobililasi bahan bangunan dan alat-
alat berat, di sini proses survey lingkungan memakanwakti 1,5 bulan
dikarenakan proses pengurusan perizinan di badan badan daerah sekitar
Tanjung Mas , dan proses survey yang meliputi proses sampling juga survey
41

kelayakan daerah dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan, vegetasi,
biota dan keadaan masyarakat di sekitar daerah atau tapak proyek , pada
perektutan tenaga kerja juga dibutuhkan waktu sekitar satu minggu dengan
mengambil sumber daya manusia di masyarakat sekitar tanjung Mas, dan yang
terakhir adalah mobilisasi bahan baku pembangunan, di sini diperlukan waktu
sekitar 1 bulan dikarenakan mendatangkan bahan baku semen dari luar daerah
juga luar pulau menggunakan kendaraan darat dan juga kapal besar. Jadi total
waktu untuk tahap praproyek atau prakonstruksi adalah 2 bulan lebih satu
minggu
Pada sesi konstruksi meliputi proses pengerukan pantai,
penyemenan, pengecoran, dll hingga sampai pada tahapoperasi. Pada tahap ini
memakan waktu yang lama yaitu sekitar 2 tahun, mengingat daerah yang
dikeruk dan dibangun luas dan banyaknya pertimbangan pertimbangan
khusus dalam proses pembangunannya.
Pada sesi prakonstruksi meluputi proses operasi hingga proses
perbaikan dan rehabilitasi bagi vegetasi atau biota yang mengalami penurunan
kualitas selama proses konstruksi, di sini memakan waktu 1 tahun mengingat
dilakukannya evaluasi, pengawasan dan penanaman kembali vegetasi
mangrove di sekitar daerah atau tapak proyek Tanjung Mas. Jadi total waktu
pembangunan proyek ini atau batas waktu kajiannya adalah sekitar 3 tahun 2
bulan, itu sudah meliputi sesi prakonstruksi, konstruksi hingga
prakonstruksinya.










42

III. METODE STUDI

3.1. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan Data
a. Pengumpulan data dilakukan dengan cara menandai suatu tempat dengan
menggunakan gps
b. Pengambilan beberapa titik yang sudah di tentukan sebelumnya
c. Titik yang di ambil merupakan titik yang mewakili dan mempunyai
pengaruh terhadap lokasi yang di teliti.
d. Tempat yang di ambil titik nya di catat nama lokasi.
Analisa data
a. Data di olah dengan menggunakan software arcgis
b. Ambil peta pelabuhan semarang di google earth
c. Masukkan peta ke dalam arcgis
d. Rektifikasi peta terlebih dahulu
e. Setelah itu masukkan koordinat lokasi ke dalam peta

Tabel 5. Tracking Arah Laut Tambak Lorok



TRACKING ARAH LAUT
TAMBAK LOROK
NO
S 657'00.979"
E 11026'23.212"
S 656'55.689"
E 11026'22.031"
S 656'50.587"
E 11026'20.438"
S 656'49.571"
E 11026'23.569"
S 656'44.289"
E 11026'18.653"
S 656'41.829"
E 11026'17.939"
S 656'34.710"
E 11026'15.934"
7
TRACKING
1
2
3
4
5
6
43

Tabel 6.


Tabel 7. Tracking Arah Laut Sriwulan






TRACKING ARAH LAUT
KAWASAN INDUSTRI TERBOYO
NO ELEVASI
S 657'15.9"
E 11028'19.8"
S 656'51.5"
E 11028'09.8"
S 656'46.7"
E 11028'03.1"
S 656'37.8"
E 11027'52.5"
S 656'27.6"
E 11027'44.8"
S 656'24.4"
E 11027'42.3"
S 656'17.5"
E 11027'36.6"
TRACKING
1
2
3
4
6
7
40 M
27 M
27 M
27 M
28 M
29 M
28 M
5
TRACKING ARAH LAUT
SRIWULAN
NO ELEVASI
S 656'49.5"
E 11029'31.6"
S 656'47.5"
E 11029'30.2"
S 656'45.4"
E 11029'29.5"
S 656'44.9"
E 11029'28.6"
S 656'44.3"
E 11029'26.7"
S 656'44.4"
E 11029'25.1"
S 656'43.6"
E 11029'22.8"
3 26 M
TRACKING
1 28 M
2 27 M
7 27 M
4 26 M
5 26 M
6 27 M
44

Tabel 8. Tracking Arah Laut Morosari


3.2. Metode Prakiraan Dampak Penting
Fokus pembahasan yang akan dibicarakan dalam metode prakiraan
dampak penting komponen lingkungan dapat dikelompokkan kedalam hal-hal
sebagai berikut:
1. Dampak lingkungan
2. Metode prakiraan besaran dampak
3. Metode prakiraan tingkat kepentingan dampak
4. Ketidakpastian (uncertainty)

1. Dampak Lingkungan
Munculnya perubahan terhadap kondisi lingkungan yang disebabkan oleh
suatu aktivtas manusia dapat terjadi pada komponen geofisik, kimia, biotis, sosial
ekonomi, sosial budaya dan kesehatan masyarakat. Dalam kajian Amdal,
prakirakaan dampak lingkungan dilakukan karena adanya rencana
aktivitas/kegiatan manusia dalam pembangunan yang diprakirakan akan
mengubah kualitas lingkungan Terjadinya dampak lingkungan akibat suatu
kegiatan pada komponen lingkungan tersebut dapat berupa dampak primer,
dampak sekunder, tersier dan seterusnya. Selain itu dampak lingkungan tersebut
dapat berisifat permanen sepanjang masa maupun sementara.Untuk dapat melihat
TRACKING ARAH LAUT
MOROSARI
NO ELEVASI
S 656'31.7"
E 11030'21.1"
S 656'31.4"
E 11030'20.1"
S 656'30.2"
E 11030'18.0"
S 656'30.1"
E 11030'16.7"
S 656'29.0"
E 11030'14.0"
S 656'26.0"
E 11030'10.7"
S 656'22.8"
E 11030'08.2"
3 27 M
TRACKING
1 27 M
2 28 M
7 27 M
4 27 M
5 27 M
6 27 M
45

bahwa suatu dampak lingkungan atau suatu perubahan komponen lingkungan
telah terjadi, harus mempunyai bahan pembanding sebagai acuan yang digunakan
yaitu kualitas/ kondisi lingkungan sebelum ada kegiatan. Tanpa acuan tersebut
tidak akan dapat diketahui seberapa besar perubahan kualitas terhadap komponen
lingkungan yang telah/akan terjadi.
2. Metode Prakiraan Besaran Dampak
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian dampak yang saling berbeda
satu dengan yang lain. Clark, 1978 dalam Otto Sumarwoto, 1992 menjelaskan
bahwa dampak pembangunan terhadap lingkungan merupakan perbedaan antara
kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan akan ada
setelah ada pembangunan. Pakar lain yaitu Munn 1979 dalam Otto Sumarwoto,
1989 menjelaskan bahwa dampak pembangunan terhadap lingkungan ialah
perbedaan antara kondisi yang diperkirakan akan ada tanpa adanya pembangunan
dan yang diperkirakan akan ada dengan adanya pembangunan tersebut. Dari
kedua pengertian tersebut diatas jelas bahwa pendapat Clark berpendapat sifat
lingkungan adalah tetap stabil selama tidak ada kegiatan ata aktivitas manusia,
sedangkan Munn berpendapat bahwa sifat kondisi lingkungan tidak stabil diwaktu
mendatang meskipun tidak ada kegiatan pembangunan. Pendapat Munn adalah
realistis bahwa sebagian besar sifat lingkungan memang tidak statis, melainkan
dinamis. Sehingga muncullah ketidakpastian terhadap dampak-dampak yang
diprakirakan akan terjadi diwaktu yang akan dating pada saat ada atau setelah ada
kegiatan.
Berikut penjelasan dampak lingkungan yang dimaksud oleh Munn adalah
selisih perubahanlingkungan yang akan datang apabila tanpa proyek (E
1tp
) dan
kondisi parameter lingkungan yang sama diwaktu yang datang apabila dengan
proyek ((E
2dp
):
(a) Tanpa Proyek
Kondisi Lingkungan saat ini (E
o
)
Kondisi Lingkungan yang akan datang apabila tanpa proyek (E
1tp
)
(b) Dengan Proyek
Kondisi Lingkungan saat ini (E
o
)
Kondisi Lingkungan yang akan datang apabila dengan proyek (E
2dp
)

46


(c) Dampak Lingkungan
Dampak = E
2dp
- E
1tp
(Munn,1979).

Namun pada kenyataan yang kebanyakan saat sekarang oleh para
penyususn dokumen AMDAL gunakan adalah E
2dp -
E
o

Metode prakiraan dampak penting dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
1. Metode formal, meliputi: model matematis, model fisik, model
eksperimen, dan model prakiraan cepat.
2. Motode non-formal seperti metode institusional, pengalaman
(professional judgment), dan metode analog.
Prakiraan besaran dampak model matematis banyak digunakan
dalam memprakirakan besarnya perubahan kualitas lingkungan dalam studi
AMDAL , dengan menggunakan rumus- rumus matematik sesuai dengan
parameter dari komponen lingkungan terkena dampak. Sedangkan pada medel
non formal yang sering digunakan adalah mdel analog dan profesional judment.
Adapun tahapan dalam prakiraan besaran dan tingkat kepentingan
dampak lingkungan akibat suatu kegiatan/usaha terhadap komponen lingkungan
tertentu:
1. Buat/tentukan Rentang Skor Kualitas Lingkungan.
2. Ukur kualitas lingkungan awal ( dlm hal iniparameter geofisik).
3. Konversi kualitas lingkungan awal ke dalam nilai skor (no.1).
4. Hitung/prakirakan kualitas lingkungan yang akan datang apabila rencana
kegiatan dilaksanakan (setiap tahap secara terpisah).
5. Konversi kualitas lingkungan awal ke dalam nilai skor (no. 1).
6. Prakirakan besar dampak yakni selisih skor kualitas lingkungan antara
butir no. dan butir no. 3).
7. Tentukan tingkat kepentingan dampak.


47

Tabel 9. Nilai prakiraan besaran dampak yang diperoleh berkisar antara 1 s/d 4,
dengan kriteria besaran dampak sebagai berikut:
No Besaran Dampak (M) Kriteria
1 0 Tidak ada dampak
2 1 Kecil
3 2 Sedang
4 3 Besar
5 4 Sangat Besar

3. Metode Prakiraan Tingkat Kepentingan Dampak
Prakiraan nilai besaran dampak (Magnitude = M) merupakan kegiatan
sebelum dilakukannya evaluai terhadap dampak besar dan penting dalam
pengambilan keputusan apakah dampak tersebut akan dikelola dan dipantau
dalam dokumen RKL dan RPL. Dalam evaluasi dampak nantinya dilakukan
secara berama-sama (integrtad) antara besaran dampak dengan nilai
kepentingan dampak (Importancy = I ).
Dampak besar dan penting merupakan satu kesatuan makna dampak
penting.Hal ini berarti bahwa tidak selalu yang hanya mempunyai dampak
besar saja yang bersifat penting, tetapi dampak yang kecil juga dimungkinkan
bersifat penting. Tingkat kepentingan dampak dilakukan untuk setiap dampak
hipotesis dengan mengacu pada kriteria penentu dampak penting sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL), yaitu:
1. Jumlah manusia yang terkena dampak
2. Luas wilayah persebaran dampak
3. Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
4. Banyaknya komponen lain yang akan terkena dampak
5. Sifat kumulatif dampak
6. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
48

Penetapan tingkat kepentingan dampak dari masing-masing faktor penentu
tingkat kepentingan dampak dikelompokkan kedalam kriteria penting (P) dan
tidak penting (TP).
Berikut Pedoman Kriteria Penentuan Ukuran Penting (P) dan Tidak
Penting (TP) Dampak masing-masing parameter penentu tingkat kepentingan
dampak menurut Kep. Ka. BAPEPDAL, Nomor: Kep-056 Tahun 1994 tentang
Pedoman Mengenai Ukuran dampak Penting, dengan usulan perubahan.

a.) Jumlah manusia yang terkena dampak
Kriteria jumlah manusia terkena dampak dikatakan sebagai dampak penting
(P) apabila terdapat > 25% manusia yang terkena dampak dan tidak
mendapatkan manfaat dari proyek.

b.) Luas wilayah persebaran dampak
Kriteria Luas wilayah persebaran dampak dikatagorikan kedalam dampak
penting (P) apabila luas dampak > 0,25 kali luas wilayah studi, karena setidak-
tidaknya dalam luasan 0,25 di wilayah studi pemanfaatan ruang cukup beragam
sehingga dampaknya sudah mengenai banyk komponen lingkungan.

c.) Intensitas dan lamanya dampak berlangsung
Intensitas dan lamanya dampak berlangsung dikatagorikaan sebagai dampak
penting (P) apabila intensitasnya sama atau lebih besar daripada ambang batas
baku mutu, dan atau dampak berlangsung tidak hanya sesaat.

d.) Banyaknya komponen lain yang akan terkena dampak
Banyaknya komponen lain yang akan terkena dampak dikatagorikan kedalam
kriteria penting (P) apabila ada komponen lain yang terkena dampak (sekunder,
tersier dst).




49

e.) Sifat kumulatif dampak
Dikatagorikan penting (P) apabila dampak yang diprakirakan terjadi akan
mengalami penumpukan (terakumulasi) dalam satu ruang tertentu, dan dampak
lingkungan dari berbagai sumber kegiatan menimbulkan efek saling
memperkuat.
f.) Berbalik atau tidak berbaliknya dampak
Dikatagorikan penting (P) apabila dampak yang diprakirakan terjadi tidak
dapat pulih kembali (tidak berbalik) seperti kondisi semula, baik dipulihkan
kembali oleh alam maupun dengan intervensi manusia.

Meskipun akhir dari hasil pembangunan adalah untuk kepentingan
manusia, namun ke enam parameter penentu tingkat kepentingan dampak
tersebut masing-masing diberi bobot sama yaitu bernilai 1. sehingga seluruh
bobot parameter penentu kepentingan lingkungannya adalah 6. Apabila jumlah
bobot hasil prakiraan suatu dampak lingkungan yang masuk katagori penting
(P) berjumlah X, maka prosentase tingkat kepentingannya adalah:
Catatan:
I = tingkat kepentingan dampak
X = jumlah bobot dampak berdasarkan jumlah nilai parameter yang
masuk katagori penting (P)
6 = jumlah bobot seluruh parameter penentu dampak penting
Hasil nilai perhitungan tersebut kemudian digunakan untuk menetapkan
skor atau tingkat kepentingan dampaknya dengan menggunakan skor tingkat
kepentingan dampak.

4. Ketidakpastian Dampak
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa sebagian besar sifat kondisi
lingkungan tidaklah stabil.Oleh karena disaat memprakirakan dampak yang
diduga terjadi pada waktu mendatang harus dipertimbangkan adanya
ketidakpastian (uncertainty).Untuk menjamin presisi pendugaan besaran
dampak dan menanggulangi ketidakpastian ini maka perlu diketahui adanya
kesesatan atau kesalahan yang berasal dari beberapa sumber
50

ketidakpastian.Sumber kesalahan dimungkinkan dapat berasal dari salah satu
sumber-sumber ketidakpastian berikut ini.

(1) Type of One Error atau Alpha Error
Tipe Alpha Error adalah tipe kesalahan yang terjadi pada saat dilakukan
penarikan kesimpulan. Dari pendugaan terhadap dampak seluruh komponen
lingkungan yang telah dilakukan harus disimpulkan komponen apa saja yang
terkena dampak yang cukup besar.

(2) Type of Two Errors atau Betha Error
Tipe kesalahan ini terjadi pada saat menentukan hipotesis yang diajukan.
Dalam pemikiran setiap pakar mengenai suatu komponen lingkungan tertentu
pasti telah ada hipotesis tentang dampak yang mungkin akan timbul. Dalam
memutuskan dampak yang sesuai dengan hipotesis, biasanya akan terjadi
kesalahan.
(3) Type of S Error atau Subject Error
Kesalahan dalam pendugaan dampak tipe ini, disebabkan oleh karena tidak
baiknya dalam menentukan unit cuplikan (unit sampel).Dengan unit cuplikan
yang salah maka data dan informasi tentang kondisi lingkungan dan deskripsi
tentang rona lingkungan juga salah.Akibatnya dalam pendugaan dampak, juga
terjadi kesalahan.

(4) Type G Error atau Group Error
Tipe kesalahan ini biasanya pada pendugaan dampak sosial ekonomi.Pada
hakekatnya pendapat suatu kelompok masyarakat sering berbeda dengan
pendapat individu.Apabila dilaksanakan pengamatan dalam kelompok saja,
kemungkinan terjadi kesalahan karena sifat-sifat individual tidak diketahui.
Sementara itu apabila diamatai sifat dan persepsi individual seringkali tidak
sesuai dengan persepsi berdasarkan kelompok. Oleh karena itu perlu
didapatkan informasi secara kelompok dan informasi individual. Setelah data
dan informasi ini dinilai telah memenuhi syarat kemudian baru dilakukan
prakiraan dampak.
51

(5) Type of R Error atau Replication Error
Tipe kesalahan ini terjadi karena keterangan atau data diperoleh
berdasarkan pada pengamatan yang ulangan cuplikannya tidak memenuhi
syarat. Pada studi Amdal hal ini sering terjadi, karena metode penelitian secara
ilmiah diabaikan.
Perlu dikemukakan disini bahwa dalam prakiraan dampak lingkungan bagi
parameter komponen lingkungan tertentu yang mungkin terjadi diwaktu yang
akan datang perlu kiranya masalah ketidakpastian mendapat perhatian dan
pertimbangan,. Pada Lampiran I diberikan contoh metode Formal (matematis)
dan Non Formal (Analog Dengan Kegiatan lain yang sama/mirip) untuk
memprakirakan besaran dan tingkat kepentingan dampak lingkungan).

3.3. Metode Evaluasi Dampak Penting
Evaluasi dampak merupakan kajian holistik, telaah secara totalitas dari
semua dampak. Dampak lingkungan positif maupun negatif ditelaah menjadi satu
kesatuan. Sesuasi PERMEN LH No. 8 tahun 2004 menggunakan metode Matriks
Fisher and Davies. Penelaahan akan digunakan sebagai dasar untuk meneelaah
kelayakan lingkungan dan identifikasi serta perumusan arah pengelolaan dampak
besar.
Pengambilan keputusan kelayakan lingkungan hidup dilakukan dengan
metode membuat matrik keputusan yaitu :
1. Menentukan kondisi lingkungan hidup tanpa proyek, sekarang maupun masa
mendatang.
2. Mengestimasi kondisi lingkungan hidup dengan mengasumsikan adanya
kegiatan yang tengah direncanakan.
3. Dampak holistik akan ditentukan dengan menghitung selisih dari kondisi
lingkungan yang akan datang dengan ataupun tanpa proyek.
Dengan metode itu, akan ditentukan seberapa besar perubahan kondisi
dampak lingkungan yang terjadi, baik tanpa maupun ada proyek dalam bentuk
skala. Jika dampak masih bersifat positif, maka kegiatan tersebut dapat dinyatakan
layak dari segi lingkungan dan sebaliknya jika dampak lebih bersifat negatif maka
kegiatan dinyatakan tidak layak dari tinjauan lingkungan hidup.
52

IV. PELAKSANA STUDI

4.1. Pemrakarsa
Identitas Pemrakarsa
a) Nama Instansi : PT Pelabuhan Indonesia III (Persero)
b) Alamat : Jl. Coaster No 10A Semarang
c) Penanggungjawab : Iwan Sabatini
d) Jabatan : General Manager Terminal Petikemas
Semarang (TPKS)

4.2. Pelaksana Studi
Peserta : Mahasiswa/i peserta kuliah AMDAL
Fakultas : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Jurusan : Jurusan Ilmu Kelautan
Program Studi : Oseanografi dan Ilmu Kelautan
Universitas : Universitas Diponegoro

4.3.1. Biaya dan Waktu Studi
4.3.1. Biaya Studi
4.3.2. Waktu Studi
Praktikum Lapangan dilaksanakan pada:
Hari/Tanggal : Senin, 17 Juni 2013
Waktu : 08.00 13.00 WIB
Lokasi : Kawasan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tambak
Lorok, Semarang






53

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1997. Undang-Undang Republik Indonesia No 23 tahun 1997, tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 86; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699)
Anonim, 1999. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999, tentang Analisis
Mengenai Dampak lingkungan, (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838).
Anonim, 1994. Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Republik Indoensia, Nomor: Kep-056 Tahun 1994, tentang Pedoman
Mengenai Ukuran dampak Penting
Anonim, 2006. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Nomor: 08 Tahun
2006, tentang Pedoman Penyusunan Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan.
Arsyad, S., 1989. Konservasi Tanah dan Air, Penerbit IPB Bandung.
Canter, L.W., 1977. Environmental Impact Assesment. Ms.Graw Hill Book
Company, New York.
Chafid Fandeli, 1997. Analisis Mengenai dampak Lingkungan, Gadjah Mada
Penerbit Liberty, Yogyakarta.
Erickon, P.A., 1979. Environmental Impact Assessment, Principles and
Application.Academic Press. New york.
Otto Sumarwoto, 1992. Analisis Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta
Sarwono Hardjowigeno dan Soleh Sukmana, 1995, Menentukan Tingkat Bahaya
Erosi. Laporan Teknis, No.16, Versi 1,0. Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat, Bogor.
Sutikno, 1989.Fisografi Dalam AMDAL, Bahan Kursus AMDAL B, Pusat
Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.



54













LAMPIRAN








55

Dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai