Anda di halaman 1dari 37

Studi Permasalahan Hutan Mangrove di Wilayah Pesisir Pantai

Rembang, Jawa Tengah


Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pantai Terpadu 2020

Disusun Oleh:
Muhammad Rifqi Nur Ramadani
01311740000013

DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN ANALITIKA DATA
INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER
SURABAYA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, bahwasanya telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini. Banyak hal yang masih menjadi
kekurangan dalam makalah ini dikarenakan ketidaksempurnaan kami yang merupakan
manusia biasa. Hal-hal yang menjadi aspek terselesaikan makalah yang menjadi pemenuhan
tugas ini adalah dukungan orang tua, teman, serta doa yang menyertai kami sebagai penulis.
Banyak hal yang ingin kami sampaikan lewat tulisan ini, terutama mengenai studi keadaan
ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Rembang serta bagaimana upaya restorasi
yang bisa dilakukan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dan membimbing selama proses penyusunan makalah ini baik
secara moril maupun materil, terutama kepada dosen pengampu mata kuliah Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pantai Terpadu, yaitu Bapak Dr. Mahmud Musta’in. Kami berharap,
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan menambah ilmu serta wawasan mengenai
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pantai.
Lasem, 28 Mei 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................................... iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 3
2.1 Wilayah Pesisir Kabupaten Rembang 3
2.2 Hutan Mangrove 4
2.3 Fungsi Hutan Mangrove 4
2.4 Karakteristik Hutan mangrove 5
2.5 Karakteristik Zonasi Hutan Mangrove 7
2.6 Karakteristik Zonasi Hutan Mangrove 9
2.7 Konsep Restorasi Hutan Mangrove 10
2.8 Pedoman Praktik Upaya Restorasi Hutan Mangrove 11
BAB III .................................................................................................................................... 14
METODOLOGI ....................................................................................................................... 14
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian 14
3.2 Metode yang Digunakan 14
BAB IV .................................................................................................................................... 16
HASIL DAN PEMBAHASAN................................................................................................ 16
4.1 Hasil Penelitian 16
4.2 Restorasi dan rehabilitasi ekositem mangrove 23
4.2 Peraturan-Peraturan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove 25
BAB V ..................................................................................................................................... 28
PENUTUP................................................................................................................................ 28
5.1 Kesimpulan 28
5.1 Saran 28
Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 29
Lampiran .................................................................................................................................. 32

ii
ABSTRAK
Keberadaan mangrove merupakan ciri khas dari wilayah pesisir yang ada di daerah tropis
dan sub tropis. Dari sekitar 16,9 juta hektar hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 %
berada di Indonesia. Di Kabupaten Rembang, wilayah ekosistem asli hutan mangrove sudah
tidak ada. Namun restorasi hutan mangrove telah dilakukan di beberapa titik asal ekosistem
hutan mangrove yaitu: Pecangakan Kaliori, Pasar Banggi, dan Lasem. Metode yang digunakan
adalah analisis data sekunder dari penelitian yang telah dilakukan mengenai analisis vegetasi,
wawancara dan observasi daerah pesisir Kabupaten Rembang. permasalahan ekosistem
mangrove yang terjadi di wilayah pesisir Kabupaten Rembang adalah pertambakan,
penebangan pepohonan, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Wilayah
ekosistem asli hutan mangrove telah rusak dan kini telah diganti dengan ekosistem buatan hasil
restorasi. Namun permasalahan yang sama masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh
Pemerintah Kabupaten. Upaya restorasi yang telah diupayakan oleh pemerintah Kabupaten
Rembang adalah dengan melakukan penanaman kembali wilayah ekosistem hutan mangrove.
Restorasi yang cukup berhasil adalah pada wilayah hutan mangrove Pasar Banggi Rembang.
Sedangkan pada wilayah Kaliori dan Lasem restorasi hutan mangrove masih menjadi problema
dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat.

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dikarenakan luasnya hanya 2% permukaan bumi, mangrove merupakan salah satu
ekosistem langka. Indonesia merupakan kawasan ekosistem mangrove terluas di dunia.
Ekosistem ini memiliki peranan ekologi, sosial-ekonomi, dan sosial-budaya yang sangat
penting; misalnya menjaga menjaga stabilitas pantai dari abrasi, sumber ikan, udang dan
keanekaragaman hayati lainnya, sumber kayu bakar dan kayu bangunan, serta memiliki fungsi
konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya. Kerusakan mangrove di dunia sangat
cepat, termasuk di indonesia akibat adanya aktivitas tambak, penebangan hutan mangrove,
sedimentasi, pertambangan, dan penyebab alam lain seperti badai atau tsunami. Karena nilai
sosial-ekonomi dari ekosistem mangrove dinilai tinggi, maka restorasi hutan mangrove
mendapat perhatian luas. Restorasi dapat menaikkan nilai sumber daya hayati mangrove,
memberi mata pencaharian penduduk, mencegah kerusakan pantai, menjaga biodiversitas, dan
produksi perikanan (Setyawan, 2002).
Sebagaimana pantai utara Jawa Tengah, ekosistem mangrove di pesisir Kabupaten
Rembang tidak hanya terbentuk di kawasan muara sungai, namun terbentuk di lokasi-lokasi
tertentu yang terlindung dari gelombang laut, di mana sedimen dari sungai dan laut terendapkan
dan membentuk tidal flat atau mud flat (dataran lumpur pasang surut). Laut jawa merupakan
laut pedalaman dengan jeluk yang dangkal dan arus gelombang yang relatif tenang, sehingga
sangat membantu dalam proses pembentukan ekosistem mangrove (Steenis, 1958; 1965).
Pantai utara jawa rata-rata berupa lumpur atau tanah lempung yang ditumbuhi mangrove,
pantai terbuka yang berpasir jarang dijumpai, dan gumuk pasir hampir tidak ada. Pantai
berkarang dan kadang-kadang bertanah karst hanya dijumpai di sebagian wilayah, seperti
bagian timur Rembang. Vegetasi berupa hutan primer dan sekunder sudah tidak ada lagi akibat
pengalihan lahan menjadi budidaya seperti tambak dan sawah (Steenis, 1965). Ekosistem
mangrove di masa lalu sangat melimpah di pantai utara Jawa mulai dari Banten hingga Jepara,
“Tanjung” antara Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang, serta Delta Solo-Brantas.
Sedangkan di pantai selatan jawa ekosistem ini tumbuh di Teluk Grajakan, Pulau Sempu,
Segara Anakan, dan Ujung Kulon (Whitten dkk., 2000). Keragaman bentuk geografi dan
fisiografi pantai mempengaruhi kondisi ekosistem mangrove, hal ini berdampak pada
kelestarian ekosisitem mengrove itu sendiri.

1
2

Penelitian berbasis data sekunder ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman hayati
tumbuhan mangrove, permasalahan ekosistem mangrove, dan upaya restorasi ekosistem
mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

1.2 Rumusan masalah


Rumusan masalah pada pelelitian ini adalah:
1. Bagaimana permasalahan yang terjadi di ekosistem mangrove di wilayah pesisir
Kabupaten Rembang?
2. Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk merestorasi ekosistem mangrove di
pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman hayati tumbuhan
mangrove, menganalisis permasalahan yang terjadi di ekosistem mangrove, dan memberikan
masukan dalam upaya restorasi ekosistem mangrove di Pesisir Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah.

1.4 Manfaat
Penelitian ini dapat digunakan sebagai rujukan, motivasi, studi awal, gambaran umum, dan
kajian tingkat awal untuk kemudian dilakukan proses restorasi yang sesungguhnya dari
pemerintah dan lembaga terkait. Selain itu, penelitian ini juga bisa digunakan untuk
pengetahuan umum masyarakat mengenai pentingnya ekosistem mangrove.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Wilayah Pesisir Kabupaten Rembang
Kabupaten Rembang yang ber-Semboyan: Rembang BANGKIT (Bahagia, Aman,
Nyaman, Gotong-royong, Kerja keras, Iman, Takwa), adalah sebuah kabupaten di Provinsi
Jawa Tengah yang berbatasan dengan Teluk Rembang (Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban
(Jawa Timur) di timur, Kabupaten Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat. Secara
geografis terletak di ujung timur laut Provinsi Jawa Tengah dan dilalui Jalan Pantai Utara Jawa
(Jalur Pantura), pada garis koordinat 111o 00′ – 111o 30′ Bujur Timur dan 6o 30′ – 7o 6′ Lintang
Selatan. Kabupaten Rembang berbatasan langsung dengan provinsi Jawa Timur, sehingga
menjadi gerbang sebelah timur Provinsi Jawa Tengah. Daerah perbatasan dengan Jawa Timur
(seperti di Kecamatan Sarang. Bagian selatan wilayah Kabupaten Rembang merupakan daerah
perbukitan, bagian dari Pegunungan Kapur Utara, dengan puncaknya Gunung Butak (679
meter). Sebagian wilayah utara, terdapat perbukitan dengan puncaknya Gunung Lasem
(ketinggian 806 meter). Kawasan tersebut kini dilindungi dalam Cagar Alam Gunung Butak.
Wilayah pesisir Kabupaten Rembang merupakan daerah teluk yang berada di kawasan
pesisir pantai utara Pulau Jawa dan termasuk dalam kategori perairan terbuka sehingga energi
gelombang yang menuju pantai berpengaruh terhadap dinamika proses pantai (Setiadi dan
Usman, 2008). Kabupaten Rembang juga menerima dampak dari perubahan fisik lingkungan
dengan adanya variasi bentuk lahan seperti variasi tipologi, kemiringan pantai, geomorfologi,
penggunaan lahan dan ekosistem mangrove.
Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh Departemen Kehutanan (2006) beberapa
kecamatan pesisir di Kabupaten Rembang sudah mengalami dampak dari perubahan lahan
yang kritis akibat dari pengikisan pantai atau erosi. Terdapat 6 kecamatan pesisir di Kabupaten
Rembang, yaitu Kecamatan Kaliori, Kecamatan Rembang, Kecamatan Lasem, Kecamatan
Sluke, Kecamatan Kragan dan Kecamatan Sarang.
Pesisir utara Kabupaten Rembang, secara geomorfologi terbagi dalam dua bentangan yang
sangat berbeda. Pada kaki Gunung Lasem ke arah timur terbentuk dataran bergelombang yang
tersusun atas batu kapur dan berbatasan langsung dengan laut Jawa, di antara kaki perbukitan
kapur tersebut terbentuk pantai-pantai berpasir, termasuk pantai pasir putih akibat pelapukan
koral di laut. Pada kawasan ini terdapat beberapa sungai kecil yang umumnya berhulu di
Pegunungan Kendeng, sehingga jarak alirannya cukup pendek, sebagian besar sungai-sungai
ini mengering atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau. Sebaliknya kawasan

3
4

di sebelah barat Gunung Lasem merupakan dataran lumpur/aluvial (tidal flat) sebagai akibat
sedimentasi. Kawasan ini dipengaruhi beberapa sungai yang umumnya berhulu di Pegunungan
Kendeng. Mengingat jarak alirannya yang pendek, sebagian besar sungai-sungai ini merupakan
sungai kecil yang kering atau alirannya tidak mencapai laut pada musim kemarau. Beberapa
sungai yang alirannya cukup besar dan berair sepanjang tahun adalah Sungai Delok, Sungai
Anyar, dan Sungai Lasem. Pada musim hujan, sungai-sungai besar ini dapat meluap dan
menyebabkan banjir, seperti di Kaliori dan Lasem (Darmawan dkk., 2003). Oleh karena itu,
tumbuhan mangrove hanya terkonsentrasi di sisi barat, mencakup Kecamatan Kaliori,
Rembang, dan Lasem.

2.2 Hutan Mangrove


Hutan mangrove secara umum merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang
surut pantai yang berlumpur. Hutan mangrove dapat didefinisikan secara luas sebagai jenis
vegetasi kayu yang berada di lingkungan laut dan payau yang terbatas pada daerah pasang surut
serta berada di garis lintang tropis dan sub tropis (Giesen, Wulffraat, Zieren, & Scholten, 2006).
Definisi hutan mangrove juga disebutkan oleh Soerianegara (1987) dalam Noor, Khazali, &
Suryadiputra (2006) bahwa hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah lumpur
aluvial di daerah pantai dan muara sungai dimana dipengaruhi pasang surut air laut, dan terdiri
atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Lumnitzera,
Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan Nypa.
Keberadaan mangrove merupakan ciri khas dari wilayah pesisir yang ada di daerah tropis
dan sub tropis. Dari sekitar 16,9 juta hektar hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 %
berada di Indonesia (Bengen, 2002). Umayah, Gunawan, & Isda (2016) menyebutkan bahwa
hutan mangrove ditemukan hampir di seluruh wilayah pesisir dan laut Indonesia yang memiliki
hubungan langsung dengan pasang surut air laut di sepanjang pesisir.

2.3 Fungsi Hutan Mangrove


Salah satu fungsi dari mangrove adalah melindungi garis pantai dari erosi. Akar-akarnya
yang kokoh dapat meredam pengaruh arus dan gelombang. Selain itu akar-akar mangrove
mampu menahan lumpur hingga lahan mangrove bisa semakin luas tumbuh keluar,
mempercepat terbentuknya “tanah timbul”. Air laut dan tawar dalam ekologi mangrove
dicampur menjadi air payau yang sangat jernih, dan merupakan reservoir alamiah yang ideal
untuk tambak udang, bandeng dan ikan di belakangnya. Secara fisik mangrove berfungsi dalam
5

peredam angin badai dan gelombang, pelindung dari abrasi, penahan lumpur, dan perangkap
sedimen. Ekosistem mangrove mampu menghasilkan zat-zat nutrient (organik dan anorganik)
yang mampu menyuburkan perairan laut dan pantai termasuk di kawasan tambak. Selain itupun
ekosisitem mangrove berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan sulfur.
Secara garis besar manfaat dan fungsi hutan mangrove secara fisik dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Penahan abrasi pantai.
2. Penahan intrusi (peresapan) air laut ke daratan.
3. Penahan badai dan angin yang bermuatan garam.
4. Menurunkan kandungan karbondioksida (CO2) di udara (pencemaran udara).
5. Penambat bahan-bahan pencemar (racun) diperairan pantai.
(Muharam, 2014)
Secara biologi fungsi dari pada hutan mangrove antara lain sebagai daerah asuhan (nursery
ground) bagi biota yang hidup pada ekosisitem mengrove, fungsi yang lain sebagai daerah
mencari makan (feeding ground) karena mangrove merupakan produsen primer yang mampu
menghasilkan sejumlah besar detritus dari daun dan dahan pohon mangrove dimana dari sana
tersedia banyak makanan bagi biota-biota yang mencari makan pada ekosistem mangrove
tersebut, dan fungsi yang ketiga adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground) bagi ikan-
ikan tertentu agar terlindungi dari ikan predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal
untuk memisah dan membesarkan anaknya. Selain itupun merupakan pemasok larva udang,
ikan dan biota lainnya. (Claridge dan Burnett,1993).

2.4 Karakteristik Hutan mangrove


Banyak tanaman bakau yang memiliki adaptasi khusus untuk mengatasi efek genangan,
salinitas tinggi, dan tanah yang tidak stabil. Sejumlah vegetasi mangrove memiliki mekanisme
untuk secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan mereka, atau memiliki akar yang berpijak
atau menopang untuk sokongan, dan pneumatophores (akar udara) untuk membantu oksigenasi
sistem akar. Banyak genus pohon bakau yang khas, seperti Avicennia, Bruguiera, Ceriops dan
Rhizophora, dicirikan oleh vivipary. Artinya, benih berkecambah saat masih melekat pada
tanaman induk, dan apa yang umumnya dianggap sebagai, misalnya, 'buah' Rhizophora yang
panjang, sebenarnya merupakan hipokotil (Batang utama) yang muncul dari buah (Giesen,
2006).
Vegetasi mangrove biasanya menampilkan pola zonasi seperti pita (Gambar 2.2), yang
disebabkan oleh berbagai faktor meliputi: tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), paparan aksi
6

gelombang, salinitas, aliran air tawar dari pedalaman dan pasang surut. Lebar zona bakau
jarang melebihi empat kilometer, dan biasanya jauh lebih sempit. Pada pantai yang curam,
lebarnya mungkin tidak sampai 50 meter, sementara di beberapa muara yang terlindungi dan
teluk dangkal mungkin dapat mencapai lebar 18 kilometer (Sungai Sembilang, Sumatra
Selatan; Danielsen & Verheugt, 1990) atau bahkan 30 kilometer (Teluk Bintuni), Papua;
Erftemeijer et al., 1989). Di sepanjang sungai pasang surut, pinggiran bakau dapat ditemukan
terjadi di hulu selama puluhan kilometer, tergantung pada intrusi air asin. Lebar hutan
ditentukan oleh amplitudo pasang surut, debit dan lereng sungai. Spesies pohon bakau sejati
terakhir yang menghilang di sepanjang sungai pasang surut sering kali adalah Bruguiera
parviflora (van Steenis, 1957, 1958) atau Sonneratia caseolaris, sedangkan pohon bakau Nypa
fruticans dapat tumbuh bahkan lebih jauh di bagian dalam.
7

Gambar 2.2 Zonasi lapisan hutan mangrove (Giesen et al., 2006)

2.5 Karakteristik Zonasi Hutan Mangrove


Bakau biasanya menampilkan zonasi, dan ketika dilihat dari udara atau dari menara
pengamatan, zona-zona jenis vegetasi yang berbeda dapat dengan mudah dilihat. Penyebab
zonasi ini telah dikaitkan dengan salinitas, ketinggian dan paparan aksi gelombang. Konsensus
umum, bagaimanapun, adalah bahwa pola-pola ini ditentukan oleh kombinasi dari faktor-faktor
ini, tetapi genangan pasang surut adalah faktor yang mendominasi (van Steenis, 1958).
Zona 1) -Highly exposed mangroves, terjadi di sisi laut sabuk mangrove dan dibanjiri oleh
semua air pasang. Menurut Watson (1928), van Steenis (1958) dan, jenis habitat ini tidak
memiliki spesies kecuali Rhizophora mucronata, dan spesies ini mengharuskan mahkotanya
tetap berada di atas air. Namun zona ini tidak selalu ada.
Zona 2) – Exposed mangroves, terjadi di sisi laut sabuk mangrove dan dibanjiri oleh air
pasang sedang. Menurut van Steenis (1958), ini adalah zona Sonneratias dan Avicennias, dan
yang paling umum Sonneratia alba dan Avicennia alba mendominasi di zona pantai yang
sangat terendam air ini. Dengan beberapa variasi kecil, pengamatan ini didukung oleh sebagian
besar penulis yang melaporkan bakau di Asia Tenggara, dan pengamatan serupa telah
dilakukan oleh Watson (1928) di Semenanjung Malaysia, Percival dan Womersley (1975) di
Papua New Guinea (di mana Avicennia marina menggantikan A. alba sebagai Avicennia paling
umum di habitat ini), Aragones et al. (1998) di Filipina dan Hong (2000) di Vietnam. Seringkali
salah satu dari dua genera dapat mendominasi. ditemukan di Halmahera (Maluku, Indonesia)
bahwa zona ini didominasi oleh Sonneratia alba, dan di Karang Agung (Sumatra Selatan,
8

Indonesia), Samingan (1980) menemukan bahwa zona ini didominasi oleh Avincennia alba,
yang terjadi pada hampir seluruh tegakan murni di sepanjang pantai di daerah yang dipengaruhi
laut.
Zona 3) – Central Mangroves, biasanya didominasi oleh spesies Rhizophora tetapi di
daerah Karang Agung (Sumatra Selatan, Indonesia), Samingan (1980) menemukan bahwa
hutan mangrove didominasi oleh Bruguiera cylindrica (B. caryophylloides). Spesies penting
lainnya yang ia temukan di zona ini di Karang Agung termasuk Bruguiera sexangula (B.
eriopetala), B. gymnorrhiza, Rhizophora mucronata, Xylocarpus granatum dan X.
moluccensis. Di hutan bakau di pantai utara New Britain, zona ini ditemukan didominasi oleh
pohon Bruguiera gymnorrhiza, B. sexangula dan Rhizophora apiculata yang tinggi, bersama
dengan Bruguiera parviflora dan Xylocarpus granatum dengan perawakan yang agak lebih
pendek. Pohon Bruguiera yang lebih tua ditemukan sangat kaya akan epifit.
Zona 4) – Rear Mangroves (bakau belakang, bakau ke arah darat) terjadi di zona darat di
belakang sabuk bakau sejati, dan hanya dibanjiri oleh pasang tertinggi saja. Tidak berarti bahwa
zona ini lebih sedikit salin daripada zona bakau lainnya, karena ini tergantung pada kondisi
iklim dan bentuk medan. Dalam iklim monsunal, zona ini bahkan bisa menjadi hipersalin,
karena selama musim kemarau, sebagian air laut yang memasuki zona tersebut saat air pasang
menguap, meninggalkan endapan garam yang tidak hanyut hingga musim semi berikutnya
beberapa minggu kemudian. Namun, di bagian yang lebih lembab di Asia Tenggara, zona ini
mungkin hampir menjadi air tawar sepanjang tahun. Spesies yang biasa ditemukan di zona ini
termasuk Excoecaria agallocha, Ficus microcarpa (sering salah dicatat sebagai Ficus retusa),
Intsia bijuga, Nypa fruticans, Lumnitzera racemosa, Pandanus tectorius dan Xylocarpus
moluccensis (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, 1993). Di Pulau Rambut, Jawa Barat,
Heritiera littoralis dan Xylocarpus moluccensis sangat umum di zona ini, tetapi di pulau karang
di Ujung Kulon, Jawa Barat, zona ini didominasi oleh Lumnitzera littorea. Ini adalah zona yang
paling kaya spesies, dan mungkin hampir tiga perempat dari semua spesies yang tercantum
ditemukan di zona ini.
Zona 5) - brackish stream mangroves, yang ditemukan di sepanjang payau hingga aliran
air tawar, biasanya didominasi oleh komunitas Nypa atau Sonneratia. Samingan (1980)
menemukan di daerah Karang Agung di Sumatra Selatan bahwa komunitas Nypa fruticans
terdapat di sabuk sempit di sepanjang sebagian besar sungai. Bentangan lapisan ini sering
terdiri dari tegakan murni Nypa fruticans, tetapi didukung oleh vegetasi yang mencakup spesies
Cerbera, Gluta velutina, Stenochlaena palustris dan Xylocarpus granatum. Lebih dekat ke
pantai Samingan menemukan bahwa komunitas campuran Sonneratia-Nypa sering terjadi.
9

Namun, di banyak daerah, Sonneratia caseolaris mungkin dominan, terutama di bagian-bagian


muara air tawar, misalnya di Pulau Kaget dan Pulau Kembang di muara sungai Barito
(Kalimantan Selatan, Indonesia), di muara sungai Singkil di Aceh Barat Daya (Sumatra,
Indonesia; Giesen & van Balen, 1991), atau di pulau-pulau sedimentasi yang baru terbentuk di
muara Sungai Cisadane di Banten, Jawa Barat.

2.6 Karakteristik Zonasi Hutan Mangrove


Di dunia, penyebab sumber daya bakau semakin menipis adalah karena pemanfaatan yang
tidak berkelanjutan dan konversi habitat (Snedaker, 1984). Sekitar tahun 1980, total luas hutan
bakau di Asia Tenggara mencapai 6,8 juta hektar, yang merupakan sekitar 34-42 persen dari
total dunia. Namun, pada tahun 1990, telah turun menjadi di bawah 5,7 juta hektar, mewakili
penurunan sekitar 15 persen atau lebih dari 110.000 hektar per tahun. Antara tahun 1990-2000,
kehilangan tahunan telah berkurang menjadi 79.000 hektar, tetapi karena total area juga
menurun, masih ada penurunan 13,8 persen.

Tabel 2.1 Perubahan luasan mangrove dan kecepatan pengurangan luasan wilayah (Giesen et
al., 2006).
Pembangunan yang berkontribusi terhadap penurunan hutan bakau di Asia Tenggara
adalah penebangan komersial, konversi ke tambak air payau, pertanian (terutama sawah dan
kelapa), produksi kayu bakar dan arang, dan konversi untuk perumahan. Dampak dari masing-
masing ini bervariasi di setiap negara. Di negara-negara dengan industri perikanan besar seperti
Thailand, Indonesia, Filipina dan Vietnam, konversi menjadi akuakultur air payau adalah
faktor penyebab utama. Di Singapura yang kecil dan berpenduduk padat, kebutuhan akan tanah
untuk perumahan dan industri telah mengarah pada faktor hilangnya hutan bakau. Myanmar
dan Papua Nugini memiliki industri perikanan yang kurang berkembang dan tidak ada
10

kekurangan lahan, sehingga hanya ada sedikit konversi selain untuk produksi bahan hutan dan
sebagai bahan bakar (Giesen et al., 2006).
Sementara di Indonesia konversi untuk akuakultur menyumbang sekitar 25 persen dari
hilangnya hutan bakau, 75 persen sisanya tampaknya berasal dari kombinasi: a) konversi ke
pertanian, b) pertumbuhan vegetasi sekunder (non-hutan) setelah eksploitasi berlebihan
oleh pantai masyarakat, c) kurangnya regenerasi hutan setelah penebangan komersial,
dan d) erosi pantai (kemungkinan merupakan faktor yang sangat kecil) (Giesen et al., 2006).
Penebangan bakau komersial yang sebelumnya berpusat di provinsi Riau, Sumatra
Selatan, Aceh, dan Kalimantan, tetapi kegiatan saat ini sebagian besar di Papua. Area di bawah
konsesi penebangan telah meningkat dari 455.000 hektar pada tahun 1978 (Burbridge &
Koesoebiomo, 1980) menjadi 877.200 hektar pada tahun 1985 (Menteri Kehutanan dan FAO,
1990), atau sekitar 35 persen dari area hutan bakau yang tersisa pada saat itu. Namun, sulit
untuk menilai dampak penebangan terhadap hilangnya mangrove. Nurkin (1979) menjelaskan
bagaimana bekas areal bakau di Sulawesi Selatan diserang oleh introduksi pakis Acrosticum
aureum setelah operasi penebangan, suatu proses yang sering mempengaruhi regenerasi bakau.
Namun, di daerah lain bakau membangun kembali diri mereka dengan mudah, misalnya di
provinsi Riau Tenggara, Sumatra (Giesen, 1991), dan di hutan bakau yang tersisa di Sungei
Kecil di Kalimantan Barat, Indonesia (Abdulhadi & Suhardjono, 1994).

2.7 Konsep Restorasi Hutan Mangrove


Regenerasi tidak selalu membuahkan pernyataan bahwa vegetasi yang sama tumbuh
kembali, seringkali spesies pohon yang kurang diinginkan menjadi dominan, seperti
Xylocarpus granatum (Pulau Bakung, Riau; Giesen, 1991), Excoecaria agallocha dan
Bruguiera parviflora (keduanya di Karang Gading Langkat) Timur Laut, Sumatera Utara;
Giesen & Sukotjo, 1991). Penebangan tak terkontrol terhadap hutan bakau tampaknya menjadi
suatu kemungkinan, karena regenerasi yang cepat, ketersediaan nutrisi yang cukup dan struktur
vegetasi yang relatif sederhana. Namun, pengelolaan hutan pada umumnya mengimplikasikan
penurunan spesies yang kurang diinginkan secara komersial, dan dengan demikian mengurangi
keanekaragaman hayati. Pohon-pohon tua ditebang untuk dimanfaatkan menyebabkan
penurunan organisme epifit, dan parasite yang signifikan.
Restorasi atau rehabilitasi hutan bakau sering direkomendasikan ketika ekosistem telah
diubah sedemikian rupa sehingga tidak dapat regenerasi secara alami. Namun, konsep tersebut
belum dianalisis atau dibahas banyak dalam literatur mangrove, dan sebagai hasilnya, mereka
yang mengelola restorasi mangrove sering menekankan penanaman bakau sebagai alat utama
11

dalam restorasi (Lewis & Streever, 2000). Habitat mangrove dapat beregenerasi secara alami
dalam 15-30 tahun jika: i) hidrologi pasang surut normal dan tidak terganggu, dan ii)
ketersediaan benih yang ditularkan melalui air atau pembibitan (propagul) mangrove dari
tegakan yang berdekatan tidak terganggu atau tersumbat. Jika hidologi normal, tetapi
masuknya benih atau bibit terganggu, maka restorasi bakau hanya dapat berhasil dilakukan
dengan penanaman (Lewis & Streever, 2000).
Untuk mencapai restorasi mangrove yang sukses, lima langkah penting berikut perlu
diambil:
a. Memahami autoekologi (yaitu ekologi spesies individu) dari spesies bakau di lokasi,
khususnya pola reproduksi, distribusi propagul, dan pembentukan bibit yang berhasil.
b. Memahami pola hidrologi normal yang mengontrol distribusi dan keberhasilan
pembentukan dan pertumbuhan spesies bakau yang ditargetkan.
c. Nilai modifikasi dari lingkungan bakau asli yang mencegah suksesi sekunder alami.
d. Rancang program restorasi untuk memulihkan hidrologi yang tepat dan, jika mungkin,
gunakan rekrutmen propagul bakau alami untuk pembangunan tanaman.
e. Hanya memanfaatkan penanaman propagul yang sebenarnya, benih yang dikumpulkan,
atau benih yang dibudidayakan ditanam setelah ditentukan bahwa restorasi alami tidak
akan memberikan jumlah bibit yang berhasil dibuat, laju stabilisasi, atau laju pertumbuhan
anakan yang ditetapkan sebagai tujuan restorasi (Lewis & Streever, 2000).

2.8 Pedoman Praktik Upaya Restorasi Hutan Mangrove


Penghijauan hutan bakau dapat dilakukan sebagai salah satu fase sistem kehutanan untuk
pengelolaan berkelanjutan, sebagai bagian dari proyek restorasi pantai atau hanya sekadar
untuk memulihkan ekosistem mangrove. Eksploitasi hutan bakau menghasilkan celah dan
kanopi terbuka. Secara umum, jika tambalan-tambalan terbuka ini tidak terlalu besar dan
tersedia cukup banyak pohon-benih, regenerasi akan terjadi secara alami. Dalam kasus yang
terkendali, komposisi spesies dapat dimanipulasi dengan menghilangkan pohon benih yang
tidak diinginkan, tetapi umumnya jumlah spesies di sekitar celah akan terbatas. Produktivitas
masing-masing pohon dapat diperbesar dengan melakukan penjarangan setelah 2-5 tahun, jika
tegakan muda sangat padat. Kontrol indikator pembukaan kanopi (terutama spesies Derris) dan
pakis bakau (Acrostichum aureum) sering diperlukan karena mereka sering tumbuh sangat kuat
di wilayah hutan yang terganggu. Di beberapa daerah Acanthus ebracteatus dapat membentuk
lapisan penutup tebal yang mencegah pertumbuhan Kembali vegetasi mangrove - ini adalah
12

kasus di Delta Tumpat, Kelantan di Semenanjung Malaysia, di mana Sulong et al. (2002)
menemukan bahwa 25 persen wilayah hutan bakau tertutup oleh spesies ini.
Reboisasi lumpur terbuka mungkin dilakukan dengan regenerasi alami jika ada pasokan
benih yang cukup dan dibawa oleh arus. Spesies yang muncul akan menjadi spesies perintis
umum yang secara alami terjadi di daerah itu. Jika persediaan benih tidak mencukupi, atau jika
diinginkan bahwa komposisi spesies menunjukkan lebih banyak varietas, menabur benih
(tambahan) adalah pilihan. Program penghijauan kadang-kadang diterapkan di daerah tambak,
yang melibatkan penanaman atau penanaman pohon bakau di sepanjang tanggul tambak.
Menanam pohon muda di tambak sendiri tidak berhasil karena mereka tidak bisa mentolerir
genangan permanen. Sayangnya, sangat sering spesies eksotik Acacia auriculiformis, yang
dapat menjadi hama berbahaya, ditanam dalam proyek semacam itu di Asia Tenggara. Daun
akasia auriculiformis membentuk lapisan serasah dengan karakteristik allelopathic, sehingga
pertumbuhan spesies tanaman lain terhambat (Giesen et al., 2006).
Penghijauan daerah tambak yang berhasil membutuhkan pemulihan kondisi tanah dan
hidrologi asli. Pekerjaan tanah perlu dilakukan dengan menghilangkan tanggul tambak dan
menutup tambak. Tanggul tambak biasanya dibangun dengan tanah yang berasal dari
penggalian tambak (Wulffraat, 1996b). Oleh karena itu, restorasi dapat dilakukan dengan
hanya membalikkan proses ini, dan mengisi kolam dengan bahan dari tanggul di sekitarnya.
Ini sebaiknya dilakukan dengan tangan, karena leveling oleh buldoser memerlukan
pengeringan hingga area cukup kering untuk masuk, dan ini sering memiliki dampak yang
sangat negatif pada komposisi kimia tanah (Giesen et al., 2006).
Penanaman adalah pilihan yang baik jika ketersediaan benih terbatas (sulit diperoleh atau
mahal) dan jika tingkat keberhasilan Teknik menabur benih dipertanyakan. Yang terakhir dapat
terjadi jika, misalnya, area tersebut sangat terbuka, dengan kondisi iklim yang tidak
menguntungkan atau gelombang yang kuat, dan jika kepiting pemakan biji (atau pembibitan)
berlimpah atau perkecambahan spesies tertentu sulit dilakukan. Untuk meningkatkan tingkat
keberhasilan, seseorang dapat memilih untuk membuat pembibitan bakau. Pembibitan
sebaiknya didirikan di daerah (bekas) bakau, di mana tanah bakau asli tersedia. Tanaman muda
kadang-kadang dapat dibanjiri oleh air laut, tetapi ini tidak perlu. Sumber air tawar (bukan air
laut) harus tersedia, karena tanaman muda membutuhkan penyiraman secara teratur pada tahap
pertama pertumbuhan (Giesen et al., 2006).
Tanaman bakau dapat ditanam dengan baik dalam kantong plastik (polybag, diameter 20
cm), karena ini memberikan kemungkinan terbaik untuk perkembangannya, dan dengan
kerusakan paling sedikit pada sistem akar mereka. Polybag harus diisi dengan tanah bakau asli.
13

Benih besar atau propagul dengan tingkat keberhasilan perkecambahan tinggi dapat
dimasukkan langsung ke dalam kantung, tetapi untuk semua benih lainnya, disarankan untuk
membiarkannya berkecambah terlebih dahulu dalam baki perkecambahan khusus. Baki
perkecambahan ini harus diisi dengan pasir murni, dengan kadar humus serendah mungkin,
untuk menghindari perkembangan jamur. Biji tidak membutuhkan nutrisi eksternal untuk
berkecambah. Beberapa biji memerlukan perawatan sebelum ditabur. Buah-buahan spesies
Sonneratia, misalnya, harus disimpan di pasir basah sampai busuk; kemudian biji dikeluarkan
dan dikeringkan selama beberapa jam, sebelum ditabur (Wulffraat, 1996).
Setelah bibit mulai mengembangkan pasangan daun keduanya, dapat dipindahkan ke
polybag. Bibit sebagian besar spesies lebih menyukai perlindungan dari sinar matahari
langsung untuk pertumbuhan optimal. Bibit siap untuk ditanam di lapangan segera setelah
mereka mengembangkan batang yang agak kuat, biasanya ketika tingginya 30-60 sentimeter.
Pengembangan akar khusus (akar udara, pneumatophores dll) dimulai segera setelah
penanaman di lapangan. Penanaman sebaiknya dilakukan pada periode ketika air surut rendah
terjadi (sebagian) pada siang hari dan air pasang sangat tinggi jarang terjadi (Wulffraat, 1996).
Sebagai aturan umum, bibit mangrove harus ditanam dengan jarak 1 meter, yaitu dengan
kepadatan 10.000 per hektar. Angka kematian awal yang tinggi adalah hal biasa, tetapi tingkat
kelangsungan hidup setidaknya 50 persen harus diharapkan. Kepadatan hutan bakau dewasa
yang khas adalah sekitar 1.000 pohon per hektar, sehingga kematian awal 50 persen dari anakan
yang ditanam seharusnya tidak mengarah pada hutan yang jarang ditemui (Lewis & Streever,
2000). Ritme penjarangan mungkin diperlukan pada tahun ke- 5-10 untuk mencegah
pembentukan 'hutan tiang', yaitu tegakan padat pohon-pohon tinggi dan tipis, karena hal
tersebut rentan terhadap kerusakan akibat badai.
Menurut Lewis (2001), biaya restorasi mangrove biasanya bervariasi dari US $ 225 per
hektar hingga US $ 216.000 per hektar, tergantung pada lokasi dan teknik yang digunakan.
Lewis mengakui tiga pendekatan untuk restorasi: i) penanaman sendiri, ii) restorasi hidrologi,
dengan atau tanpa penanaman, dan iii) penggalian atau pengisian, dengan atau tanpa
penanaman. Jenis pertama adalah murah, hanya berharga US $ 100-200 per hektar, tetapi
seringkali tidak berhasil karena aspek hidrologis tidak dihargai. Tipe kedua, ketika dilakukan
dengan perencanaan yang tepat, juga bisa murah dan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi.
Jenis ketiga biasanya mahal dan tersedia di negara maju saja (Giesen et al., 2006).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2020. Penelitian dilakukan dengan studi
literatur data sekunder pada tiga habitat mangrove di pantai utara Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah, yaitu: (i) Pecangakan, Kaliori, (ii) Pasar Bangi, Rembang, dan (iii) Lasem. Ekosistem
mangrove di lokasi tersebut terletak di lingkungan muara sungai (riverine environment).

Gambar 2.3 Kawasan muara sungai yang menjadi lokasi penelitian: 1. Pecangakan, Kaliori,
2. Pasar Bangi, Rembang, dan 3. Lasem.

3.2 Metode yang Digunakan


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur mengenai analisis
vegetasi mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Rembang. Dalam penelitian ini, batas terluar
ekosistem mangrove adalah jarak 100 m ke arah luar dari titik terluar habitat yang masih
ditumbuhi satu atau lebih tumbuhan mangrove mayor (dbh > 10 cm). Seluruh lahan yang
terletak di dalam garis batas tersebut dinyatakan sebagai kawasan di dalam ekosistem
mangrove; sedangkan lahan yang terletak di luar garis batas tersebut dinyatakan sebagai
kawasan di luar atau di sekitar ekosistem mangrove (Setyawan dan Winarno, 2006).

14
15

Pemetaan data untuk keanekaragaman tumbuhan dan analisis vegetasi. Koleksi jenis-jenis
tumbuhan mangrove dilakukan dengan metode survei (penjelajahan). Spesimen segar hasil
koleksi segera diidentifikasi dan dicatat sifat-sifat morfologinya. Sebagian diawetkan, difoto
penampakan umum, bunga, dan buah, serta dibuat deskripsinya. Identifikasi spesies mangrove
mayor, minor, dan tumbuhan asosiasi merujuk pada pustaka-pustaka: Backer dan Bakhuizen
van den Brink (1963; 1965; 1968), Kitamura dkk. (1997), Ng dan Sivasothi (2001), serta
Tomlison (1986). Pengambilan data vegetasi dilakukan dengan metode belt transect, yakni
dengan meletakkan belt transect ukuran 10 x 60 m2, dari bibir pantai ke arah daratan, yang di
dalamnya terdapat 6 plot kuadrat untuk setiap strata, dengan ukuran 10X10 m2 (pohon), 5x5
m2 (semak dan anak pohon), serta 1x1 m2 (herba, bibit semak, dan bibit pohon). Semua spesies
tumbuhan di dalam plot diidentifikasi. Diukur nilai penutupan dan frekuensi setiap spesies pada
setiap strata habitus. Data komposisi dan struktur vegetasi ditampilkan dalam bentuk nilai
penting yang merupakan penjumlahan nilai penutupan dan frekuensi relatif yang dibagi dua
(Odum, 1971; Barbour dkk., 1987). Cara ini menyebabkan tidak semua jenis tumbuhan
mangrove yang ditemukan melalui metode survei dapat tercakup dalam belt transect.
Untuk menganalisis permasalahan ekosistem mangrove dan restorasi. Kegiatan koleksi
data untuk mengetahui permasalahan ekosistem mangrove dan upaya restorasinya mencakup
pengamatan (survei) lapangan, wawancara (in-depth interview), serta kajian peta topografi dan
citra satelit. Alat dan bahan yang digunakan meliputi: daftar pertanyaan, alat perekam audio
dan video, kamera, dan alat tulis. Pengamatan langsung dilakukan dengan menjelajahi seluruh
area, baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan bermotor dan perahu. Wawancara
dilakukan dengan sekurang-kurangnya 10 orang penduduk dan/atau aparat pemerintah
setempat pada setiap lokasi. Di samping itu dilakukan pula kajian pustaka terhadap peta
topografi tahun 1963-1965 (US. Army Map Services, 1963-1965) dan citra satelit Landsat 7
TM. Data hasil penelitian ditabulasikan dalam satu kesatuan dan dipaparkan secara dekriptif
kualitatif. Metode yang digunakan mengacu pada Setyawan dan Winarno, (2005).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Keanekaragaman tumbuhan mangrove Di pesisir kabupaten Rembang, ditemukan 27
spesies tumbuhan mangrove, terdiri dari 12 spesies mangrove mayor, 2 spesies mangrove
minor, dan 13 spesies tumbuhan asosiasi mangrove. Tumbuhan mangrove yang ditemukan di
Pecangakan, Pasar Banggi, dan Lasem secara berturut-turut sebanyak 8, 18, dan 11 spesies
(Tabel 1). Spesies yang paling umum dijumpai adalah Rhizophora, Avicennia dan Sonneratia.
Tumbuhan mangrove di pesisir Lasem didominasi oleh Rhizophora, di Pecangakan didominasi
Avicennia, sedangkan di Pasar Bangi didominasi oleh Rhizophora, dengan beberapa tegakan
Sonneratia di arah laut dan Avicennia tumbuh di arah daratan (Tabel 2). Semua ekosistem
mangrove di ketiga lokasi tersebut sangat terpengaruh kegiatan manusia, dan umumnya
merupakan hasil penanaman program rehabilitasi dan restorasi, baik oleh pemerintah
kabupaten, maupun masyarakat setempat. Ekosistem mangrove di kawasan ini, tinggal berupa
segaris mangrove di tepi laut (mangrove fringe). Di Pasar Bangi lebarnya dapat mencapai 100-
300 m, sedangkan di kedua lokasi lainnya, umumnya kurang dari 100 m, bahkan sebagian
hanya berupa sebaris pohon mangrove yang memisahkan laut dengan area pertambakan rakyat
(Setyawan dan Winarno, 2005).
Rhizophora dan Avicennia merupakan tumbuhan yang sering dipilih untuk restorasi dan
rehabilitasi mangrove. Proyek rehabilitasi hutan mangrove yang didanai pemerintah kabupaten
hampir selalu memilih Rhizophora, seperti di Pasar Bangi. Adapun spesies Avicennia biasa
dipilih petambak untuk ditanam ditepian pantai untuk menjaga hempasan ombak laut.
Pemilihan Rhizophora tampaknya terkait dengan bentuk perakarannya yang khas, sehingga
secara awam diidentikkan dengan mangrove (bakau). Tumbuhan ini cenderung membutuhkan
area yang luas untuk pertumbuhannya. Sedangkan pemilihan Avicennia untuk restorasi oleh
masyarakat tampaknya terkait dengan ukurannya yang relatif lebih kecil sehingga untuk
pertumbuhan optimal tidak memerlukan ruangan yang luas dan tidak memakan ruang untuk
tambak, misalnya di Pecangakan. Di pesisir Rembang, Sonneratia hampir tidak pernah dipilih
untuk program restorasi, tampaknya karena pertumbuhannya yang cenderung lebih lambat.
Pemilihan spesies mangrove untuk restorasi juga sangat terkait dengan ketersediaan propagul.
Di Pasar Bangi, spesies Rhizophora yang dipilih adalah Rhizophora stylosa (bakau putih)
karena lebih mudah dijumpai dan pada awal program restorasi tahun 1980-an merupakan
spesies yang ditanam, sedangkan di Pecangakan dipilih Avicennia, karena banyak tumbuh di

16
17

lokasi tersebut.
Tabel 1. Jenis-jenis tumbuhan mangrove di pesisir Kabupaten Rembang (Setyawan dkk.,
2005a).
18

Tabel 2. Nilai penting jenis-jenis tumbuhan mangrove di pantai utara dan selatan Jawa
Tengah, termasuk di pesisir Kabupaten Rembang (data selengkapnya tidak
ditunjukkan)(Setyawan, 2005b).
19

Beberapa faktor yang menjadi penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove di


pesisir Kabupaten Rembang adalah: pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi dan
sedimentasi, serta pencemaran lingkungan (Setyawan dkk, 2006).

Pertambakan udang/ikan dan garam


Konversi ekosistem mangrove menjadi tambak merupakan faktor utama penyebab
hilangnya hutan mangrove dunia, begitupun di pesisir Kabupaten Rembang. Pemandangan
umum yang terlihat di sepanjang pesisir Kabupaten Rembang adalah pertambakan, baik
tambak udang dan bandeng, maupun tambak garam. Pada musim penghujan, tambak garam
yang bersalinitas tinggi diubah menjadi tambak bandeng, sehingga Kabupaten Rembang
menjadi pemasok ikan bandeng terbesar kedua di Jawa Tengah setelah Kabupaten Pati.
Konversi lahan ini juga menjadikan Kabupaten Rembang menjadi penghasil garam terbesar di
Jawa Tengah. Pertambakan yang paling intensif ditemukan dari mulai Pecangakan Kaliori
hingga Lasem (Setyawan dkk, 2006).
Tambak-tambak ikan dan udang di Kabupaten Rembang dikelola secara intensif hingga
jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi membentuk dataran
lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areak pertambakan (akuakultur),
meskipun beberapa areal tambak yang jauh dari bibir pantai tampaknya tidak lagi produktif
akibat perubahan kondisi hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran
lingkungan, sehingga tambak dan sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus.
Pertambakan rakyat secara nyata mempengaruhi keberadaan mangrove di sekitarnya. Pada saat
ini tidak lagi tersisa ekosistem mangrove alami. Ekosistem mangrove yang ada merupakan
ekosistem buatan yang diupayakan oleh pemerintah, masyarakat, dan pihak lain.

Gambar 3.1 Konversi lahan mangrove menjadi areal pertambakan rakyat (Dok Pribadi, 2020)
20

Penebangan vegetasi mangrove


Pembukaan lahan untuk tambak ikan memiliki andil besar bagi kerusakan mangrove di
luar hutan, sedangkan penebangan secara tidak lestari memberikan efek kerusakan di dalam
hutan mangrove. Dilansir dari NURFM Rembang 27/04/2016, terdapat insiden pembabatan
lahan mangrove yang baru direstorasi kurang dari 4 tahun. Pembabatan tersebut dilakukan
dengan motif membuka lahan untuk tembak ikan bandeng. Di pesisir kabupaten Rembang,
tidak ada lagi hutan alami mangrove, meskipun demikian tumbuhan mangrove hasil restorasi
di Pasar Banggi sudah menyerupai hutan kembali mengingat usianya sudah lebih dari 30 tahun,
waktu yang diperlukan ekositem mangrove yang rusak untuk menyembuhkan diri sebagaimana
kondisi asli. Ekosistem mangrove di kawasan ini relatif terjaga mengingat adanya perhatian
serius dari pemerintah kabupaten dan kelompok-kelompok tani yang memiliki hak
mengelolanya, yakni terdapat kesepakatan bahwa setiap luasan hutan yang dibuka harus
didahului dengan penanaman mangrove hingga kondisi mapan pada dataran lumpur dan pasir
di arah laut. Namun kawasan ini tidak bebas sama sekali dari ancaman penebangan, terdapat
pencurian kayu untuk bangunan rumah maupun kayu bakar, meskipun demikian besarnya
peran kelompok tani dapat meminimalkan ancaman tersebut. Salah satu kawasan yang dibabat
sisa-sisa ekosistem mangrove untuk pertambakan dapat dijumpai di Pecangakan, Kaliori
(Setyawan dan Winarno, 2006).

Gambar 3.2 Peninjauan lokasi pembabatan hutan mangrove di pesisir Kaliori, Rembang
(Nurfm Rembang, 2016).
21

Gambar 3.3 Kawasan restorasi hutan mangrove di desa Pasar Banggi Rembang (Dok.
Pribadi, 2020).
Reklamasi dan sedimentasi
Reklamasi pantai untuk kepentingan industri dan pelabuhan telah banyak dilakukan di
pantai utara Jawa. Sementara di Kabupaten Rembang, reklamasi pantai untuk kegiatan usaha
masih terbatas. Salah satu rencana reklamasi pantai yang nampaknya akan berdampak serius
adalah rencana pembangunan pelabuhan pendaratan ikan di pusat kota Rembang yang tidak
jauh dari kawasan mangrove Pasar Bangi. seperti yang dilansir oleh Suara Merdeka
(26/02/2018), kawasan Pandean Kecamatan Rembang, yang lokasinya tidak jauh dari Pasar
Bangi, terdapat praktik reklamasi pribadi yang dilakukan oleh PT BRTK. Reklamasi ini tidak
memiliki izin, namun pemerintah daerah tidak juga melarang diadakan reklamasi tersebut
sampai dilaksanakan. Selain itu, pembangunan reklamasi dermaga pendaratan ikan memang
dilakukan menjorok ke tengah laut untuk menghindari kawasan mangrove yang dangkal dan
berlumpur, namun aktivitas pelabuhan ikan yang besar dengan segala hiruk-pikuknya, diyakini
akan berdampak pada ekosistem mangrove. Besarnya volume kedatangan perahu nelayan
dapat menimbulkan riak di laut sehingga menghambat pemantapan bibit baru yang ditanam
serta menggerus aliran lumpur yang ada. Kegiatan ini dipastikan juga akan menghasilkan
limbah yang dapat mencemari ekosistem mangrove. Kawasan di sekitar lokasi pelabuhan,
merupakan kawasan akresi lumpur dari daratan dan pasir putih dari laut, sehingga umur kolam
pelabuhan diperkirakan akan pendek dan pemaksaan pembuatan pelabuhan ikan di kawasan ini
diyakini berbiaya mahal mengingat harus dilakukan pengerukan sedimen secara periodik,
sehingga tidak veasible (Setyawan dkk, 2006).
22

Sedimentasi merupakan faktor dinamis yang dapat mendorong terbentuknya ekosistem


mangrove, namun sedimentasi dalam skala besar dan luas dapat merusak ekosistem mangrove
karena tertutupnya akar nafas dan berubahnya kawasan rawa menjadi daratan. Sedimentasi di
pesisir Kabupaten Rembang memungkinkan terus bertambah luasnya daratan ke arah laut, dan
memungkinkan pertumbuhan ekosistem mangrove. Namun sesuai dengan pola masyarakat
yang terus membuka tambak ke arah laut mengikuti arah pertumbuhan mangrove, maka pada
dasarnya perluasan daratan ini tidak menyebabkan bertambah luasnya ekosistem mangrove,
kecuali di Pasar Bangi, yang hutan mangrovenya cenderung lebih sulit dibuka untuk tambak
karena adanya campur tangan kelompok-kelompok tani yang berusaha mempertahankannya.
Sebaliknya perluasan tambak ke arah laut menyebabkan tambak-tambak lama menjadi terletak
jauh dari bibir pantai dan terjadi perubahan pola hidrologi, air tidak lagi dapat menggenangi
tambak pada saat pasang surut harian, akibat buruknya manajemen drainase. Kawasan tambak
ini pada akhirnya banyak yang dipusokan akibat tingginya biaya operasional dan tidak lagi
ekonomis (Setyawan dkk, 2006).

Gambar 3.4 Pelabuhan reklamasi Tasik Agung Rembang (Dok. Pribadi, 2020).

Pencemaran lingkungan
Pencemaran yang terjadi baik di laut maupun di daratan dapat mencapai kawasan
mangrove, karena habitat ini merupakan ekoton antara laut dan daratan. Bahan pencemar
seperti minyak, sampah, dan limbah industri dapat menutupi akar mangrove sehingga
mengurangi kemampuan respirasi dan osmoregulasi tumbuhan mangrove, dan pada akhirnya
menyebabkan kematian. Di pesisir pantai Rembang bahan pencemar yang umum dijumpai di
kawasan mangrove adalah sampah domestik, seperti lembaran plastik, kantung plastik, sisa-
23

sisa tali dan jaring, botol, kaleng dan lain-lain. Secara khas di pesisir Pasar Bangi, terdapat
Ulva yang dapat mengapung dan menutupi bibit mangrove sehingga mengganggu upaya
restorasi. Menurut Setyawan dkk. (2004) pencemaran logam berat (Fe, Cd, Cr, dan Pb) belum
menjadi ancaman serius kawasan mangrove di pesisir Rembang, selanjutnya Setyawan dkk.
(2005c) juga menyatakan bahwa pupuk kimia (NO3-, NH4+) juga belum menjadi ancaman bagi
ekosistem ini, meskipun demikian perkembangan kota dan pertanian tetap berpotensi untuk
menyumbangkan bahan pencemar di masa depan, termasuk adanya upaya membangun
pelabuhan ikan di Pasar Banggi.

4.2 Restorasi dan rehabilitasi ekositem mangrove


Ekosistem mangrove di pulau jawa mengalami penurunan drastis diakibatkan oleh
pertambahan kegiatan pertambakan, penebangan hutan, reklamasi dan sedimentasi, serta
pencemaran lingkunagn. Hal ini merupakan bentuk implikasi dari pertambahan tingginya
penduduk di Pulau Jawa. Hal demikian perlu dilakukan restorasi untuk mengembalikan
karakteristik dan fungsi ekosistem mangrove. Sebenarnya, hutan mangrove yang rusak dapat
melakukan penyembuhan sendiri melalui suksesi sekunder dalam periode 15-30 tahun,
namundengan syarat pasang-surut sistem hidrologi tidak berubah dan tersedia biji (propagu)
atau bibit (Giessen et al., 2006). Tindakan sengaja dengan restorasi buatan seringkali
diperlukan untuk memastikan berhasilnya proses penyembuhan alami tersebut. Di Pulau Jawa,
sejarah restorasi ekosistem mangrove tidak banyak dicatat, namun berbagai individu dan
lembaga, baik pemerintah maupun swasta, diyakini terlibat dalam kegiatan ini meskipun
jumlahnya relatif terbatas. Salah satu contoh restorasi hutan mangrove yang dilakukan secara
kontinyu dan cukup berhasil adalah penanaman Rhizopora, di sepanjang besisir Pasar Bangi.
Pemerintah Kabupaten Rembang berupaya merestorasi ekosistem mangrove, khususnya
di Pasar Bangi, yang termasuk kecamatan kota dan berpenduduk padat. Pada tahun 1980-an,
pemerintah setempat bersama para pihak melakukan restorasi ekosistem mangrove pada area
dengan panjang 3000m, dan lebar antara 100-300 m. Kegiatan restorasi ini bertujuan selain
untuk menjaga garis pantai dari abrasi dan badai, juga untuk menjaga salah satu identitas
lanskap kabupaten Rembang, yakni ekosistem mangrove. Upaya ini telah menarik hidupan
alami. Seperti populasi burung-burung dan benij ikan (nener). Upaya kelestarian hasil restorasi,
dilibatkan masyarakat setempat diikutkan dalam kelompok-kelompok tani yang memiliki hak
memanen ekosistem yang ada, dengan tetap memperhatikan kelestariannya. Sementara itu,
pada akhirnya upaya restorasi ini membuahkan hasil dan bernilai konservasi karena menarik
berbagai kehidupan liar, khususnya spesies-spesies burung air. Selain itu terdapat juga nilai
24

pariwisata dan edukasi, dimana sering disinggahi pelancong di jalur pantura dan menjadi lokasi
praktium dan penelitian yang disajikan dalan tulisan ini (Setyawan dkk, 2006).
Penanaman mangrove yang dilakukan oleh petani tambak biasanya lebih khusus ditujukan
untuk menjaga garis pantai dan menjebak sedimen lumpur. Apabila lumpur yang dijebak sudah
cukup tinggi, area tersebut biasanya diubah menjadi areal tambak, dan terlebih dahulu
menanami mangrove pada batas daratan dengan laut, misalnya di daerah Pecangakan Kaliori,
di mana sejumlah mangrove dibabat untuk dijadikan pertambakan, setelah area baru mangrove
di arah laut mulai tumbuh subur dan berumur sekitar dua tahun. Namun, seringkali prakteknya
tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Perluasan ekosistem mangrove ke arah laut di pesisir
Rembang didukung dengan karakteristik Pesisir Kabupaten Rembang yang merupakan tidal
flat bagi sungai-sungai di sekitarnya, seperti Sungai Delok, Sungai Anyar, dan Sungai Lasem
(Setyawan dkk, 2006).
Program restorasi mangrove kegagalan dapat disebabkan oleh kesalahan pemahaman pola
hidrologi, perubahan arus laut, tipe tanah, pemilihan spesies, penggembalaan hewan ternak,
sampah, kelemahan manajemen, dan ketiadaan partisipasi masyarakat. Seperti di pesisir Pasar
Bangi, partisipasi kelompok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan mangrove sangat
menentukan keberhasilan restorasi mangrove. Masyarakat di daerah tersebut diwajibkan untuk
menjaga kelestarian mangrove, sebagai imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi
seperti perlindungan garis pantai, serta manfaat ekonomi secara langsung berupa produk kayu
Rhizopora dan bibit Rhizopora yang dijual untuk kepentingan program restorasi. Kawasan ini
ternyata merupakan salah satu pusat pembibitan Rhizopora terbesar di Jawa (Setyawan dkk,
2006).
Masalah sampah domestik seperti lembaran plastik, kantung plastik, tali dan lain-lain
menjadi perlu diperhatikan karenaa mempengaruhi program restorasi. Sampah tersebut
menutupi area penanaman sehingga anakan mangrove tidak dapat tumbuh sempurna, bahkan
dapat menyebabkan seedling yang perakarannya masih lemah ikut terhanyut ke laut. Di pesisir
Pasar Bangi, hal ini juga disebabkan oleh sejenis algae lembaran, Ulva, Spesies ini hidup
mengapung di tepi pantai dangkal terbuka, yang juga merupakan lokasi yang umum didatangi
propagul alami mangrove, dan dipilih dalam program restorasi dan rehabilitasi. Pada saat air
pasang, Ulva akan terangkat ke atas, dan ketika air surut akan tersangkut, melekat, dan mati
pada bibit mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan dan mematikan bibit tersebut (Nur
dkk, 2013). Kondisi ini menyebabkan kerugian yang cukup berarti pada program rehabilitasi
bakau di tepi pantai Pasar Banggi (Setyawan dkk, 2006).
25

4.2 Peraturan-Peraturan dalam Pengelolaan Ekosistem Mangrove


Dalam upaya perbaikan, pemeliharaan, restorasi, dan pengelolaan ekosistem mangrove,
yang paling mendasar untuk dipertimbangkan adalah dengan mengacu pada peraturan yang
berlaku di Indonesia. Adapun peraturan-peraturan mengenai tata cara rehabiliatsi ekosistem
Mangrove tersebut adalah sebagai berikut.
a. Menurut pasal 15 Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 24 Tahun 2016,
rehabilitasi mangrove dilakukan dengan cara: pengayaan sumber daya hayati,
perbaikan habitat, perlindungan mangrove agar tumbuh dan berkembang secara alami,
dan ramah lingkungan. Pengayaan sumber daya hayati mangrove dilakukan dengan
cara penanaman dan pembuatan habitat baru. Penanaman yang dimaksud dilakukan
dengan cara penanaman bibit mangrove yang berasal dari hasil penyemaian dan bibit
alami yang terdiri dari buah dan propagul. Bibit mangrove harus memperhatikan
substrat tanah, salinitas, dan pasang surut, serta diprioritaskan berasal dari sekitar lokasi
rehabilitasi. Sedangkan pembuatan habitat baru dilakukan dengan menyediakan
substrat tanah di pantai sehingga mengandung lumpur atau lumpur berpasir.
b. Perbaikan habitat Mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilakukan dengan
cara:
1) pencegahan dan/atau penghentian kegiatan yang dapat merusak habitat Mangrove;
2) menerapkan konstruksi bangunan pengaman pantai yang sesuai prinsip ekologi;
dan/atau
3) pembuatan habitat buatan dengan menyediakan substrat tanah di pantai sehingga
mengandung lumpur dan/atau lumpur berpasir
c. Pencegahan dan/atau penghentian kegiatan yang dapat merusak habitat sebagaimana
dimaksud pada dilakukan dengan cara:
1) mencegah dan/atau menghentikan kegiatan yang menyebabkan pencemaran;
2) mengendalikan alih fungsi lahan;
3) mencegah dan/atau menghentikan kegiatan pemanfaatan mangrove yang tidak
ramah lingkungan; dan/atau
4) mencegah dan/atau menghentikan kegiatan yang menyebabkan erosi pantai.
d. Perlindungan Mangrove agar tumbuh dan berkembang secara alami sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 15 huruf dilakukan dengan cara:
1) penyuluhan dan penyadaran tentang rehabilitasi ekosistem mangrove;
2) pengawasan terhadap ekosistem mangrove; dan/atau
3) penegakan hukum terhadap pelaku kerusakan mangrove.
26

e. Ramah lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 huruf d dilakukan dengan


cara:
1) penggunaan spesies Mangrove yang memiliki kekerabatan genetik (genetic pole)
yang sama;
2) pengutamaan bahan baku lokal yang tidak mencemari lingkungan hidup dalam
pembibitan dan penanaman Mangrove;
3) penggunaan teknologi yang selektif sesuai kebutuhan untuk Rehabilitasi
Mangrove;
4) penerapan teknologi pembibitan dan penanaman yang disesuaikan dengan musim
biologis dan pola hidrooceanografi; dan/atau
5) penyesuaian frekuensi, luas, dan volume Rehabilitasi Mangrove yang sesuai
dengan daya dukung lingkungan hidup.
Sedangkan peran serta wilayah Kabupaten/Kota dalam stratetegi untuk pengelolaan
ekosistem mangrove tertuang pada Peraturan Presiden No 73 Tahun 2012 Tentang Strategi
Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Adapun ringkasannya adalah sebagai berikut.
a. Strategi Nasional Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang selanjutnya disingkat
SNPEM adalah upaya dalam bentuk kebijakan dan program untuk mewujudkan
pengelolaan ekosistem mangrove lestari dan masyarakat sejahtera berkelanjutan
berdasarkan sumber daya yang tersedia sebagai bagian integral dari sistem perencanaan
pembangunan nasional.
b. Dalam melaksanakan SNPEM di Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota menetapkan
Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tingkat Kabupaten/Kota dan membentuk
Tim Koordinasi Strategi Pengelolaan Ekosistem Mangrove Tingkat Kabupaten/Kota.
c. Untuk mendukung pelaksanaan tugas Tim Koordinasi Strategi Pengelolaan Ekosistem
Mangrove Tingkat Kabupaten/Kota, Ketua Tim Koordinasi Strategi Pengelolaan
Ekosistem Mangrove Tingkat Kabupaten/Kota membentuk Kelompok Kerja Mangrove
Tingkat Kabupaten/Kota.
d. Pendanaan yang diperlukan untuk melaksanakan Strategi Nasional Pengelolaan
Ekosistem Mangrove dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara
dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah serta sumber lain yang sah dan tidak
mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Peraturan pidana yang dikenakan terhadap peseorangan atau pihak yang secara sengaja
maupun tidak sengaja merusak Ekosistem mangrove, melakukan konversi Ekosistem
mangrove, menebang mangrove untuk kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan
27

tanpa adanya izin khusus dapat dipidana. Adapun aturan mengenai hukuman pidana ini diatur
dalam Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil sebagai berikut.
a. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang
yang dengan sengaja: menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem
mangrove, melakukan konversi Ekosistem mangrove, menebang mangrove untuk
kegiatan industri dan permukiman, dan/atau kegiatan lain.
b. Dalam hal terjadi kerusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena kelalaian,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Di wilayah Kabupaten Rembang, peraturan hukuman mengenai pihak yang dengan
sengaja melakukan penbangan mangrove di kawasan panjang pantai dan kawasan pantai
berhutan mangrove diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Rembang No. 8 Tahun 2007.
Dengan ancaman pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta).
Dari banyaknya peraturan yang mengatur tentang kelestarian ekosistem mangrove,
pengrusakan yang terjadi tentunya lebih ditekankan ke permasalahan penegakan aturan yang
telah diberlakukan. Sudah tentu kiranya pemerintah dan masyarakat wajib untuk menaati
peraturan yang berlaku. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai
ekosistem mangrove dan kesepakatan yang terjalin antara pemerintah kabupaten dan
masyarakat merupakan kunci untuk menjaga kelestarian ekosistem mangrove di Wilayah
Kabupaten Rembang.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari ulasan yang telah dijabarkan, permasalahan ekosistem mangrove yang terjadi di
wilayah pesisir Kabupaten Rembang adalah pertambakan, penebangan pepohonan, reklamasi
dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Wilayah ekosistem asli hutan mangrove telah
rusak dan kini telah diganti dengan ekosistem buatan hasil restorasi. Namun permasalahan yang
sama masih menjadi persoalan yang dihadapi oleh Pemerintah Kabupaten. Upaya restorasi
yang telah diupayakan oleh pemerintah Kabupaten Rembang adalah dengan melakukan
penanaman kembali wilayah ekosistem hutan mangrove. Restorasi yang cukup berhasil adalah
pada wilayah hutan mangrove Pasar Banggi Rembang. Sedangkan pada wilayah Kaliori dan
Lasem restorasi hutan mangrove masih menjadi problema dikarenakan kurangnya kesadaran
masyarakat. Perlu upaya untuk menegakkan aturan mengenai pengelolaan wilayah hutan
mangrove, serta upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya
ekosistem hutan mangrove.

5.1 Saran
Penelitian ini berbasis data sekunder dan sedikit porsi data primer dikarenakan penulisan
ulasan ini dilakukan pada saat masa pandemi Covid-19, untuk lebih relevannya data yang
paling akurat, perlu diadakan penelitian secara nyata untuk mendapatkan data primer yang
lebih banyak.

28
29

Daftar Pustaka
Abdulhadi, R. & Suhardjono (1994) - The remnant mangroves of Sei Kecil, Simpang Hilir,
West Kalimantan, Indonesia. Hydrobiologia, 285: 249-255.
Aragones, E.G., J.P. Rojo & F.C. Pitargue (1998) – Botantical identification handbook on
Philippine mangrove trees. Forest Products Research and Development Institute,
Department of Science and Technology, Laguna, the Philippines, 127 pp.
Bengen, D. G. (2002). Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.nal –
Indonesia Programme.
C.A. and R.C. Bakhuizen van den Brink, Jr. 1965. Flora of Java. Vol. II. Groningen:
P.Noordhoff
Claridge D., and Burnett, J. 1993. Mangrove Ecology. Ashmare Qld, Wet Paper Publications.
Danielsen, F. & W. Verheugt (1990) - Inttegrating conservation with land-use planning in the
coastal region of South Sumatra. PHPA, AWB, PPLH-UNSRI and the Danish
Ornithological Society, Bogor,Indonesia,210 pp.
Darmawan, A., S.K. Purba, dan Hermawan. 2003. Pemetaan Geologi Teknik Kabupaten
Rembang, Jawa Tengah. Bandung: Direktorat Jendral Geologi dan Sumber Daya
Mineral.
Departemen Kehutanan. 2006. Inventarisasi dan Indentifikasi Mangrove Wilayah Balai
Pengelolaan DAS Pemali Jratun Provinsi Jawa Tengah.
Erftemeijer, P., G. Allen & Zuwendra (1989) - Preliminary resource inventory of Bintuni Bay
and recommendations for conservation and management. PHPA/AWB, Bogor,
Indonesia, 151 pp.
Giesen, W. & B. van Balen (1991) - Several short surveys of Sumatran Wetlands. Notes and
Observations. PHPA/AWB Sumatra Wetlands Project Report No. 26, 98 pp.
Giesen, W., Wulffraat, S., Zieren, M., & Scholten, L. (2006). Mangrove Guidebook for
Southeast Asia. Bangkok: FAO and Wetlands International,.
Hong, P.N. (2000) - Effects of Mangrove Restoration and Conservation on the Biodiversity
and Environment in Can Gio District, Ho Chi Minh City Phan Nguyen Hong,
International Workshop Asia-Pacific Cooperation on Research for Conservation of
Mangroves 26-30 March, 2000 - Okinawa, Japan, 14 pp.
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993) - Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove.
Proc. Workshopon: Pemantapan Strategi Pengelolaan Lingkungan Wilayah Pesisir
dan Lautan dalam pembangunan jangka panjang Tahap Kedua. Kapal Kerinci, 11-13
September 1993, 47 pp.
Lewis, R.R. and B. Streever (2000) – Restoration of mangrove habitat. WRP Technical Notes
Collection (EDRCTNWRP-VN-RS-3.2), US Army Engineer Research and
Development Centre, Vicksburg, MS.
Muharam, M., 2015. PENANAMAN MANGROVE SEBAGAI SALAH SATU UPAYA
REHABILITASI LAHAN DAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PESISIR PANTAI
UTARA KABUPATEN KARAWANG. Majalah Ilmiah SOLUSI, 1(01).
Noor, Y. R., Khazali, M., & Suryadiputra, I. N. (2006). Panduan Pengenalan Mangrove di
Indonesia. Bogor: Wetlands International
Nur, M. Nasruddin, & Wasiq, J.(2013). Penerapan teknologi plasma untuk mempercepat
persemaian mangrove sebagai upaya rehabilitasi green belt untuk mengatasi abrasi.
Jurnal Riptek, 7(1), 15-26.
30

NurFM Rembang. 2016. Pembabatan Magrove Diindikasikan Untuk Lahan Tambak.


nurfmrembang.com/berita/996
Pemerintah Kabupaten Rembang. 2020. Geografis. rembangkab.go.id/geografis
Peraturan Daerah Kabupaten Rembang No. 8 Tahun 2007 Pasal 19 dan 30.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No 24 tahun 2016, Tentang
Tata cara rehabilitasi wilayah pesisir dan pulai-pulau kecil.
Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 73 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional
Pengelolaan Ekosistem Mangrove.
Percival, M. & J.S. Womersley (1975) - Floristics and ecology of the mangrove vegetation of
Papua New Guinea. Botany Bulletin No. 8, Papua New Guines National Herbarium,
Department of Forests, Lae, 96 pp.
Samingan, M.T. (1980) - Notes on the vegetation of the tidal areas of South Sumatra, Indonesia,
with special reference to Karang Agung. In: J.I. Furtado (Ed.), Tropical Ecology &
Development, Int. Soc. Trop. Ecol., Kuala Lumpur, p.: 1107-1112.
Setyawan, A. D., & Winarno, K. (2006). Permasalahan konservasi ekosistem mangrove di
pesisir Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Biodiversitas, 7(2), 159-163.
Setyawan, A.D. 2002. Ekosistem Mangrove sebagai Kawasan Peralihan Ekosistem Perairan
Tawar dan Perairan Laut. Enviro 2 (1): 25-40.
Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2004. Pencemaran logam berat Fe,
Cd, Cr, dan Pb pada lingkungan mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 4 (2): 45-
49.
Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, dan K. Winarno. 2005c. Potensi eutrofikasi
kandungan nutrien pada sedimen tanah mangrove di Propinsi Jawa Tengah. Enviro 5
(1): 12-17.
Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005a. Tumbuhan
mangrove di pesisir Jawa Tengah: keanekaragaman jenis. Biodiversitas 6 (2): 90-94.
Setyawan, A.D. Indrowuryatno, Wiryanto, K. Winarno, dan A. Susilowati. 2005b. Tumbuhan
Mangrove di Pesisir Jawa Tengah: 2. Komposisi dan Struktur Vegetasi. Biodiversitas
6 (3): 194-198.
Steenis, C.G.G..J. van. 1958. Ecology of mangroves. In: Flora Malesiana. Djakarta:
Noordhoff-Kollf.
Steenis, C.G.G..J. van. 1965. Concise plant-geography of Java. In: Backer,
Suara Merdeka. 2018. Reklamasi Pribadi Jadi Tren di Pantai Rembang.
suaramerdeka.com/news/baca/25321/e-paper
Sulong, I., H.M. Lokman, K.M. Tarmizi and Y. Kamaruzzaman (2002) – Mangroves of
Tumpat Delta, Kelantan.In: A. Ali, C.S.M. Rawd, M. Mansor, R. Nakamura, S.
Ramakrishna and T. Mundkur (editors), The Asian Wetlands: bringing partnerships
into good wetland practices. Proceedings of the Symposium held at Penang, Malaysia,
on 27-30 August 2001, p:437-443.
Tomlison, P.B. 1986. The Botany of Mangrove. London: Cambridge University Press.
31

Umayah, S., Gunawan, H., & Isda, M. N. (2016). Tingkat Kerusakan Ekosistem Mangrove di
Desa Teluk Belitung Kecamatan Merbau Kabupaten Kepulauan Meranti. Riau
Biologia, 1(4), 24–30.
Undang-Undang Republik Indonesia No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil.
US. Army Map Services. 1963-1965. Sheets Map of Java. Washington, D.C.: Corps of
Engineers.
van Steenis, C.G.G.J. (1958) - Ecology of mangroves. Introduction to account of the
Rhizophoraceae by Ding Hou, Flora Malesiana, Ser. I, 5: 431- 441.
Watson, J.G. (1928) - Mangrove Forests of the Malay Peninsula. Malayan Forest Records No.
6, Federated Malay States Government, Singapore, 275 pp.
Whitten, T., R.E. Soeriaatmadja, and S.A. Afiff. 2000. The Ecology of Java and Bali.
Singapore: Periplus.
Wulffraat, S. (1996). Detailed design for the restoration of a mangrove ecosystem in West Java.
Nedeco/Witteveen + Bos, Jakarta.
32

Lampiran
Foto Dokumentasi

Gambar reklamasi pelabuhan


Pelelangan Ikan Tasik Agung,
Kecamatan Rembang.

Daerah Konservasi Hutan


Mangrove di Pasar Banggi,
Rembang.

Kawasan Hutan mangrove (bagian


dalam) Pasar Banggi, Rembang.
33

Kawasan Hutan mangrove (area


mendekati laut) Pasar Banggi,
Rembang.

Kawasan Hutan mangrove yang


dikonversi menjadi areal
pertambakan.

Anda mungkin juga menyukai