Anda di halaman 1dari 111

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN 2006

KATA PENGANTAR

Dalam upaya memenuhi kebutuhan induk dan benih ikan yang berkualitas untuk mendukung program Percepatan Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Ekspor (PROPEKAN), Peningkatan Produksi Perikanan Budidaya untuk Konsumsi Masyarakat (PROKSIMAS) dan Perlindungan dan Rehabilitasi Sumberdaya Perikanan Budidaya (PROLINDA), maka diperlukan optimalisasi pemanfaatan sarana Balai-Balai benih ikan, yang telah dibangun, berupa Balai Benih Ikan Seal (BBIS), Balai Benih Ikan Lokal (BBIL), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) guna penyediaan benih bermutu untuk mendukung tercapainya sasaran pembangunan perikanan budidaya. Dalam rangka peningkatan kinerja Balai-Balai Benih tersebut untuk mencapai sasaran produksi yang diharapkan maka perlu disusun buku Petunjuk Pelaksanaan (Juklak). Petunjuk pelaksana ini diharapkan dapat memberikan gambaran serta pedoman dalam pembangunan dan operasional balai-balai benih ikan didaerah. Juklak Pembangunan ini juga mencakup tujuan pembangunan, deskripsi teknis, skala usaha, tata letak, konstruksi sarana prasarana, pembinaan SDM dan pedoman pembenihan, aspek manajemen dan organisasi UPTD, Standar sarana dan fasilitas fisik dan operasional. Disadari bahwa dalam penyusunan Juklak ini tentu masih banyak kekurangan, untuk itu saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan demi perbaikan Juklak BBIS, BBIL, BBU, BBUG dan BBIP di berbagai daerah. Akhirnya kami menyadari bahwa kondisi daerah dan kendala yang dihadapi pada umumnya berbeda dimasing-masing daerah. Oleh karena itu deskripsi teknis instalasi unit perbenihan ikan yang dibangun, dapat disesuaikan dengan kondisi daerah tanpa merubah prinsip dan pedoman yang telah digariskan.

Jakarta, Desember 2006 Direktur Jenderal Perikanan Budidaya

DR. Ir. Made L. Nurjana

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA NOMOR : 1106 /DPB.O/HK...../X/2006 TENTANG PETUNJUK TEKNIS BALAI BENIH IKAN (BBI), BALAI BENIH IKAN SENTRAL (BBIS), BALAI BENIH UDANG (BBU), BALAI BENIH UDANG GALAH (BBUG), DAN BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP) DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA, Menimbang : a. Bahwa dalam rangka meningkatkan kinerja Balai Benih Ikan (BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) untuk komoditas air tawar, Balai Benih Udang (BBU) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) untuk komoditas air payau dan laut dalam meningkatkan produktivitas dan produksi pembudidayaan ikan, perlu adanya petunjuk pelaksanaan Unit Pelaksana Teknis Dinas bidang perbenihan perikanan, standar sarana, standar fasilitas fisik dan operasional sebagai pedoman baku untuk melaksanakan kegiatan; b. bahwa untuk mencapai maksud diatas, dipandang perlu untuk menetapkan Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP). 1. 2. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1985; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1992; Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) 4. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005; 5. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005; 6. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006; 7. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan; 8. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor

Mengingat

PER.07/MEN/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kelautan dan Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.13/MEN/2006;

MEMUTUSKAN Menetapkan PERTAMA : :

KEDUA

KETIGA

KEEMPAT

KELIMA

KEENAM

KETUJUH

KEDELAPAN

Petunjuk Teknis Pembinaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD Perikanan Propinsi Bidang Perbenihan Perikanan, sebagaimana yang dimaksud dalam lampiran 1 Keputusan ini sebagai pedoman pembinaan perbenihan perikanan di daerah. Standar Sarana, Fasilitas Fisik, dan Operasional Balai Benih Ikan (BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) sebagaimana dalam lampiran 2 Keputusan ini sebagai pedoman pembinaan dan pengelolaan Balai Benih Ikan (BBI) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS). Standar Sarana, Fasilitas Fisik dan Operasional Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) sebagaimana dalam lampiran 3 keputusan ini sebagai pedoman pembinaan dan pengelolaan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) untuk komoditas air payau dan laut. Menyiapkan Balai Benih Ikan Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG), dan dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) sebagai unit pelaksana teknis Dinas Perikanan Propinsi bidang Perbenihan Perikanan. Melengkapi Balai Benih Ikan Sentral, Balai Benih Ikan Pantai, dengan struktur organisasi maupun tugas fungsi seperti dalam lampiran keputusan ini. Seluruh unit kerja Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan Dinas Perikanan Daerah wajib mempedomani dan melaksanakan Petunjuk Teknis Pembinaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perikanan Propinsi bidang Perbenihan Perikanan, Standar Sarana, Fasilitas Fisik, dan Operasional Balai Benih Ikan Sentral, serta Standar Sarana, Fasilitas Fisik dan Operasional Balai Benih Ikan Pantai. Sejak diberlakukannya Keputusan ini, maka Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Nomor: 12057/Kpts/IK.330/X/99 dinyatakan tidak berlaku lagi. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : Desember 2006 DIREKTUR JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

DR. Ir. MADE L. NURDJANA NIP 080.032.270


Tembusan Yth. : 1. Menteri Kelautan dan Perikanan; 2. Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan; 3. Inspektur Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan; 4. Direktur Jenderal Lingkup Departemen Kelautan dan Perikanan; 5. Para Gubernur seluruh Indonesia; 6. Para Kepala Dinas Perikanan Propinsi seluruh Indonesia; 7. Para Kepala Balai Unit Pelaksana Teknis Dirjen Perikanan Budidaya

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan usaha perikanan budidaya beberapa tahun terakhir telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan. Data pada periode 2000-2004, terjadi peningkatan luas areal 2,3 % per tahun, peningkatan produksi 10,4 % per tahun, dengan produksi mencapai 1.468.610 ton pada tahun 2004. Disamping peningkatan tersebut, ternyata berbagai permasalahan masih menjadi hambatan pada pengembangan usaha perikanan budidaya diantaranya tingkat produktivitas yang masih rendah, beberapa teknologi pembenihan belum sepenuhnya dikuasai, mutu benih yang masih rendah dan terbatas jumlahnya, adanya serangan hama dan penyakit, serta proses alih teknologi yang aplikatif adaptif belum berjalan dengan baik dan terasa lambat. Pengembangan usaha perikanan budidaya sangat tergantung pada ketersediaan induk dan benih unggul, karena induk dan benih merupakan salah satu sarana produksi yang mutlak dan akan menentukan keberhasilan usaha budidaya. Proses penyediaan dan distribusi benih unggul harus memenuhi kriteria 7 tepat seperti yang dipersyaratkan, yakni : tepat jenis, waktu, mutu, jumlah, tempat, ukuran dan tepat harga. Sehubungan dengan fungsi penyediaan induk dan benih tersebut, maka keberadaan Balai Benih Ikan Sentral, Balai Benih Udang, Balai Benih Udang Galah, dan Balai Benih Ikan Pantai selaku Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi/Kabupaten/Kota , menjadi sangat penting terkait dengan misi dan Tupoksi yang diembannya. Di samping fungsinya sebagai penghasil induk dan benih unggul untuk keperluan Unit Pembenihan Rakyat/Penangkar Benih dan pembudidaya ikan diwilayahnya, UPTD juga bertugas untuk melakukan pembinaan dan pemantauan penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih, pengendalian mutu benih, pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan, serta memberi kontribusi kepada PAD. Pelaksanaan Tupoksi UPTD tersebut akan lebih efisien dan efektif bila didukung dengan sarana dan prasarana yang cukup, kelembagaan yang mantap disertai sistem tata laksana yang memadai serta sumberdaya manusia yang memenuhi standar keahlian keterampilan yang didukung oleh dedikasi tinggi. Kenyataan saat ini belum semua UPTD yang ada di daerah mampu melaksanakan Tupoksi tersebut dengan baik. Karena itu guna meningkatkan kinerja serta menyatukan visi dan misi UPTD, khususnya guna mendukung dan menyukseskan program Revitalisasi Perikanan Budidaya, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menerbitkan buku Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP).

1.2. Maksud dan tujuan Petunjuk Teknis ini disusun dengan maksud agar dapat digunakan sebagai acuan dalam rangka mempersiapkan dan mengoperasionalkan BBI/BBU/BBUG/ dan BBIP sebagai UPTD, dengan tujuan utamanya adalah : a. Meningkatkan pembinaan dan kinerja balai-balai benih ikan dalam rangka mendukung pelaksanaan fungsi UPTD; b. Meningkatkan kelengkapan fasilitas fisik dan SDM di balai-balai benih ikan sehingga dapat mendukung tugas dan fungsinya sebagai UPTD ; c. Menyediakan wadah bagi pejabat fungsional didaerah; d. Membantu Dinas yang membidangi perikanan di daerah, dalam pendataan perikanan melalui UPTD untuk mendapatkan data dan informasi secara kontinyu, akurat dan tepat waktu.

II. KEBIJAKAN DAN KEGIATAN PENGEMBANGAN PERBENIHAN


2.1. Sistem Perbenihan Perikanan Kebijakan dan program pengembangan perbenihan perikanan dilaksanakan dengan mengacu pada sistem perbenihan perikanan. Sistem perbenihan perikanan adalah suatu tatanan strategis dalam pengembangan perbenihan perikanan untuk mendukung pembangunan perikanan dengan memanfaatkan IPTEK, modal, sumberdaya ikan dan sumberdaya lainnya. Sistem sumberdaya perikanan terdiri dari tiga subsistem yaitu subsistem penelitian, subsistem pengadaan, dan subsistem pengawasan. Subsistem penelitian merupakan rangkaian kegiatan penelitian dan pengembangan perbenihan untuk mendukung kegiatan subsistem pengadaan dan subsistem pengawasan. Dukungan penelitian dan pengembangan bagi subsistem pengadaan diperlukan terutama yang berkaitan dengan domestika, reproduksi, pemulian, biotek, dan sosial ekonomi. Sedangkan penelitian dan pengembangan bagi subsistem pengawasan diperlukan terutama yang berkaitan dengan pengembangan standarisasi dan metode pengujian mutu benih. Pembinaan penelitian dan pengembangan adalah menjadi tugas Lembaga Penelitian Pemerintah, sedangkan kegiatan pelaksanaanya dapat dilakukan oleh siapa saja baik lembaga pemerintah maupun swasta. Kegiatan penelitian terutama dilaksanakan atas dasar tuntutan kebutuhan dan dukungan untuk pengembangan. Penelitian yang bersifat mendasar dan berjangka panjang sebaiknya dirintis oleh Lembaga Litbang Pemerintah karena memerlukan biaya mahal dan hasilnya tidak langsung terpakai. Adapun penelitian praktis dan berjangka pendek serta tidak memerlukan biaya tinggi dapat dilakukan oleh pihak swasta atau pihak yang langsung memerlukan. Sedangkan kerjasama penelitian antar negara dan antar pemerintah dengan swasta sangat dimungkinkan untuk dilaksanakan demi kemajuan perbenihan perikanan. Pengakuan Hak Patent atau Hak Kekayaan Intelektual atas hasil penelitian perbenihan perlu diatur dalam peraturan perundangan. Lembaga Litbang Pemerintah dapat mambangun Bank Plasma Nutfah dalam rangka pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman sumberdaya hayati perikanan. 2.2. Kegiatan Pengembangan Perbenihan Perikanan 2.2.1. Tujuan Kegiatan pengembangan perbenihan adalah : a. b. c. Menunjang pengembangan budidaya ikan dalam rangka pembangunan perikanan; Tersedianya benih yang memenuhi tujuh (7) tepat yaitu tepat jenis, jumlah, ukuran , waktu, tempat, mutu dan harga; Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani pembudidaya dan nelayan pengumpul benih alam melalui pembinaan kegiatan usaha perbenihan yang berorientasi agribisnis;

d. e.

f.

Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha dibidang perbenihan; Menciptakan kegiatan perbenihan yang berwawasan lingkungan dalam upaya pelestarian sumberdaya ikan (termasuk plasma nuftah) dan lingkungan hidup; Meningkatkan devisa secara langsung atau tidak langsung melalui ekspor benih atau hasil perikanan budidaya.

2.2.2. Kegiatan Utama a. Kegiatan pembinaan produksi benih Pengadaan benih akan selau mengutamakan produksi dan pemanfaatan sumber benih dalam negeri. Impor benih hanya dilakukan apabila situasinya telah mendesak untuk dapat mempertahankan kelangsungan usaha budidaya didalam negeri. Pembinaan produksi benih diarahkan pada upaya meningkatkan kuantitas dan kualitas benih untuk kepentingan budidaya air tawar, payau maupun laut. Kegiatan ini dilaksanakan melalui peningkatan dukungan teknologi sarana dan prasarana perbenihan serta pemanfaatan benih alam. Sasaran pembinaan produksi dititik beratkan pada kelompok-kelompok pembenih/penangkar yang potensial namun lemah dalam permodalan dan ketinggalan dalam penerapan IPTEK sebagai contoh Unit Pembenihan Rakyat (UPR) dan Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT). Pola usaha selanjutnya diarahkan pada pola kemitraan dengan peningkatan peranan Dinas Perikanan Daerah, khususnya didalam penanganan komoditas andalan masing-masing daerah. b. Kegiatan pembinaan distribusi dan pemasaran Kegiatan pembinaan distribusi dan pemasaran ini diarahkan pada upaya memperlancar arus distribusi benih dari tingkat produsen ke konsumen melalui mekanisme pasar dan penanganan transportasi yang layak sehingga saling menguntungkan produsen maupun konsumen. Dengan adanya pembinaan distribusi dan pemasaran diharapkan pula dapat mengendalikan harga dan lebih mendorong pengembangan perbenihan maupun budidaya. c. Kegiatan pembinaan sumber daya manusia Kegiatan pembinaan ini diarahkan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan para pembenih/penangkar khususnya yang berorientasi agribisnis. Peningkatan keterampilan dapat dilaksanakan melalui pelatihan, magang, pembinaan kelompok serta studi banding kedaerah lain yang relatif lebih maju usaha pembenihannya. Disamping itu dilakukan pula peningkatan

kualitas SDM petugas pembina dan penyuluh melalui pendidikan dan latihan yang memadai. d. Kegiatan pengawasan mutu benih Kegiatan pengawasan benih diarahkan pada upaya terjaminnya kualitas benih sejak dari pembenih sebagai produsen sampai kepada pengguna benih sebagai konsumen (pembudidaya). Melalui mutu benih yang terjamin, maka kepercayaan konsumen terhadap benih akan meningkat dan pada gilirannya pendapatan pembenih akan meningkat. Pengawasan mutu benih mencakup pula kegiatan pengendalian lingkungan akibat kegiatan perbenihan. Karena didalam pengawasan mutu benih dipersyaratkan proses-proses kegiatan yang berwawasan lingkungan. e. Kegiatan Pengembangan Sistem Informasi Perbenihan Kegiatan pengembangan sistem informasi perbenihan ini dilaksanakan khususnya untuk mengembangkan sistem informasi perbenihan secara lebih baik, sekaligus meningkatkan ketersedian data dan informasi perbenihan yang akurat dan muktahir. Melalui program pengembangan ini maka pengguna data perbenihan akan dapat memperoleh data tersebut secara lebih baik, akurat dan tepat waktu. 2.2.3. Kegiatan Penunjang a. Kegiatan pengembangan teknik perbenihan Paket teknologi dan penemuan-penemuan teknologi baru dibidang perbenihan ada yang bersifat sederhana dan langsung bisa diadopsi atau diaplikasikan oleh kebanyakan penangkar benih atau pengusaha perbenihan lainnya. Namun adapula paket teknologi dan penemuan-penemuan teknologi baru dibidang perbenihan yang rumit sehingga memerlukan perekayasaan untuk dapat diaplikasikan secara tepat guna sesuai dengan komoditi daerah tertentu. Tugas pengembangan teknik perbenihan ini dapat dilaksanakan di Balai Benih Pusat (UPT Pusat) ataupun balai benih daerah (UPTD Propinsi).

b. Kegiatan peningkatan penerapan diseminasi teknologi Usaha pembenihan diupayakan dapat berkembang sebagai usaha agribisnis yang berbasis pedesaan. Dengan demikian usaha perbenihan dapat merupakan salah satu peluang usaha bagi masyarakat pedesaan. Keberhasilan usaha pembenihan tidak bisa terlepas dari penguasaan teknologi pembenihan. Oleh karena itu agar diseminasi teknologi pembenihan dapat segera mencapai wilayah pedesaan, maka diperlukan program percepatan diseminasi dengan sasaran utama pembenih pedesaan.

Pelaksanaan diseminasi akan dilakukan melalui pemanfaatan lembaga dan instansi yang sudah ada antara lain Balai Penelitian, Balai Pengembangan Budidaya, Balai Benih dan Lembaga Penyuluhan. c. Kegiatan pengkayaan ragam genetik budidaya ikan budidaya Beberapa jenis ikan exotic yang telah berkembang pembudidayaanya seperti ikan nila, nila merah, lele dumbo dll telah mengalami penurunan mutu genetik. Hal ini terjadi karena populasi species tersebut waktu pertama kali diimport jumlahnya sangat sedikit, sehingga dalam jangka beberapa tahun telah terjadi depresi inbreeding. Masalah tersebut dapat diatasi dengan mengimport kembali sejumlah parent stock untuk memperkaya ragam genetik dan memperlambat terjadinya depresi inbreeding ikan-ikan tersebut. d. Kegiatan pengembangan agribisnis perbenihan Dalam era globalisasi persaingan pada dunia usaha menjadi sedemikian ketatnya dan berdampak pada semua sektor termasuk sektor perikanan. Maka pengembangan perikanan yang berorientasi agribisnis merupakan strategi yang harus ditempuh pemerintah dalam mewujudkan sektor perikanan yang maju, tangguh dan efisien guna mensejahterahkan pembudidaya. Pengembangan perbenihan perikanan yang berorientasi agribisnis akan diarahkan pada segala aktivitas perbenihan dari mulai kegiatan penyedian sarana dan prasarana perbenihan, operasional produksi benih sampai dengan distribusi dan pemasaran benih.

e. Kegiatan pengembangan sentra produksi benih Kelangsungan usaha produksi benih sering dihadapkan pada kendala konflik kepentingan lahan dan kerusakan lingkungan disamping kendala pemasaran karena lokasi produksi yang terisolasi. Guna mengatasi kendala tersebut perlu direncanakan dan ditetapkan sntra-sentra produksi benih dengan pertimbangan lingkungan, kepentingan agribisnis, pembangunan daerah dan dengan mengantisipasi perkembangan sektor lain yang mempunyai dampak terhadap perkembangan perbenihan perikanan. Kegiatan ini perlu dilaksanakan dan sangat penting dalam kaitannya dengan pelaksanaan Pembangunan Perikanan Berbasis Pedesaan di daerah.

III. ORGANISASI UPT DAERAH


Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) adalah suatu unit kerja dibawah pengawasan dan pengelolaan Dinas Perikanan atau Dinas yang membidangi Perikanan baik di Propinsi/Kabupaten/Kota, yang melaksanakan tugas operasional teknis dalam menunjang keberhasilan pembangunan perikanan. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) bidang perbenihan perikanan dapat dikatagorikan atas dua (2) bidang tugas yaitu UPTD Perbenihan Air Tawar yang meliputi Balai Benih Ikan Lokal (BBI Lokal) dan Balai Benih Ikan Sentral (BBIS); dan UPTD Perbenihan Budidaya Pantai yang meliputi Balai Benih Udang/Balai Benih Udang Galah (BBU/BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) yang meliputi budidaya air payau dan laut. 3.1. Lokasi, Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi Secara umum UPTD Perbenihan Perikanan yang meliputi UPTD BBI dan UPTD BBIP adalah merupakan sarana bimbingan secara langsung kepada unit-unit Usaha Pembenihan Rakyat (UPR) serta Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) dalam rangka pengadaan dan pengendalian mutu benih. Maka UPTD Perbenihan Perikanan mempunyai tugas pokok melaksanakan bimbingan peningkatan produksi benih dalam jumlah dan mutu. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, UPTD Perbenihan Perikanan mempunyai fungsi sebagai berikut : 3.1.1. Lokasi UPTD Perbenihan Perikanan : a. UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau dan Budidaya Laut terdapat masing-masing satu (1) unit di setiap propinsi di Indonesia dengan wilayah kerja meliputi Propinsi dimana UPTD berada. b. UPTD Kabupaten/Kota Perbenihan Perikanan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau dan Budidaya Laut terdapat masing-masing satu (1) unit dengan fasilitas lengkap disetiap Kabupaten/Kota di Indonesia, dengan wilayah kerja meliputi Kabupaten/Kota tempat UPTD tersebut berada dan BBI lainnya merupakan Unit Instalasi dari BBI yang sudah mapan. 3.1.2. Kedudukan a. UPTD Perbenihan Perikanan adalah unit pelaksana teknis Dinas Perikanan Propinsi atau Kabupaten/Kota dibidang perbenihan air tawar, air payau dan laut, berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi atau Kabupaten/Kota. b. UPTD perbenihan air tawar, air payau, dan laut masing-masing dipimpin oleh seorang Kepala.

3.1.3. Tugas UPTD Perbenihan mempunyai tugas melaksanakan penerapan teknik perbenihan budidaya air tawar, budidaya air payau dan budidaya laut serta pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan di wilayah Propinsi untuk UPTD Propinsi dan Kabupaten. 3.1.4. Fungsi a. b. c. d. e. a. b. c. d. e. f. a. b. c. d. a. b. c. d. Dalam melaksanakan tugas UPTD Propinsi perbenihan budidaya air tawar menyelenggarakan fungsi : Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; Perbanyakan induk Grand Parent Stock (GPS) menjadi induk/calon induk Parent Stock dan distribusi induk; Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik pengendalian hama dan penyakit; Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih; Pengawasan mutu benih. Dalam melaksanakan tugas UPTD Propinsi perbenihan budidaya air payau/laut menyelenggaran fungsi : Perbanyakan induk ikan air payau; Pengadaan telur/nauplii; Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik pengendalian hama dan penyakit; Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih; Pengawasan mutu benih. Dalam melaksanakan tugas UPTD Kabupaten perbenihan budidaya air tawar menyelenggarakan fungsi : Pemeliharaan calon induk Parent Stock menjadi induk induk Parent Stock dan distribusi induk; Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik pengendalian hama dan penyakit; Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih. Dalam melaksanakan tugas UPTD Kabupaten perbenihan budidaya air payau/laut menyelenggarakan fungsi : Pengadaan induk, telur/nauplii; Penerapan teknik perbenihan dan distribusi benih; Penerapan teknik pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan serta teknik pengendalian hama dan penyakit; Pengendalian mutu benih melalui pelaksanaan sertifikasi sistem mutu benih.

3.1.4. Susunan Organisasi a. b. c. UPTD Perbenihan Budidaya Air Tawar, Budidaya Air Payau dan Budidaya Laut terdiri dari : Urusan Tata Usaha; Sub Seksi Pelayanan Teknik Produksi dan Sub Seksi Standarisasi dan Informasi; Kelompok Jabatan Fungsional. Susunan Struktur Organisasi UPTD sebagai berikut :

KEPALA

URUSAN TATA USAHA

SUB SEKSI PELAYANAN TEKNIK PRODUKSI

SUB SEKSI STANDARISASI DAN INFORMASI

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

Urusan Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan tata usaha UPTD Perbenihan. Dalam melaksanakan tugas urusan Tata Usaha mempunyai fungsi pelaksanaan urusan kepegawaian, surat menyurat, rumah tangga dan perlengkapan serta keuangan. Sub Seksi Pelayanan Teknis Produksi mempunyai tugas melakukan pelayanan dan publikasi teknis kegiatan penerapan teknik perbenihan, pelestarian sumberdaya ikan dan lingkungan, pengendalian hama penyakit serta melakukan pelaksanaan sertifikasi sistem mutu atau sertifikasi benih dan pengawasan mutu benih. Sub Seksi Standarisasi dan Informasi mempunyai tugas penyiapan perumusan kebijakan, standarisasi, norma, pedoman, kriteria, prosedur dan bimbingan teknis serta evaluasi dibidang standarisasi. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri dari jabatan fungsional, perekayasa dan jabatan fungsional lain xccyang diatur berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Kelompok Jabatan Fungsional tersebut dipimpin oleh seorang tenaga fungsional senior, yang ditunjuk oleh kepala UPTD. Jumlah tenaga fungsional tersebut ditentukan berdasarkan kebutuhan dan beban kerja. Jenis dan jenjang jabatan fungsional tersebut diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

IV. PEMBINAAN
4.1. Tata Hubungan Kerja Segenap kebijaksanaan pokok mengenai pembinaan perbenihan perikanan secara nasional ditetapkan oleh Diektur Jenderal Perikanan Budidaya. Pembinaan dan supervisi tentang perbenihan perikanan dari pusat dilaksanakan Direktorat Perbenihan perikanan beserta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya yaitu : BBBAP Jepara (Jawa Tengah), BBBAT Sukabumi (Jawa Barat), BBBL Lampung (Lampung), BBBAP Situbondo (Jawa Timur), BBAT Jambi (Jambi), BBAT Mandiangin (Kalimantan Selatan), BBAT Tatelu (Sulawesi Utara), BBAP Aceh (NAD), BBAP Takalar (Sulawesi Selatan), BBL Batam (Kepulauan Riau), BBL Lombok (NTB) dan BBL Ambon (Maluku). Kegiatan-kegiatan Pembinaan yang dilakukan meliputi : a. b. c. d. e. f. Memberikan petunjuk pelaksanaan pengelolaan dan petunjuk teknis kegiatan UPTD Perbenihan Perikanan. Mengadakan supervisi dan bimbingan teknis perbenihan pada unit kerja UPTD perbenihan perikanan di daerah. Memberikan penilaian kemampuan UPTD Perbenihan perikanan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Memberikan konsultasi pengadaan sarana produksi dan peningkatan kemampuan personil UPTD. Memberikan konsultasi dan persetujuan gambar detil dan desain konstruksi pembangunan atau rehabilitasi prasarana fisik bangunan UPTD. Memantau kegiatan dan perkembangan perbenihan ikan air tawar, laut dan air payau didaerah.

Disamping pelaksanaan kegiatan pembinaan dan supervisi tersebut diatas, UPT Pusat juga membantu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam melaksanakan pembinaan UPTD terutama yang berkaitan dengan bimbinan teknis, perekayasaan, teknologi perbenihan, penyebaran induk-induk ikan bermutu dan pelatihan keterampilan personil lapangan di masing-masing wilayah kerja pembinaannya. Dinas Perikanan Propinsi mengelola unit kerja UPTD Propinsi yaitu Balai Benih Ikan Sentral (BBIS) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP); sedangkan unit kerja UPTD Kabupaten yaitu Balai Benih Ikan Lokal (BBIL) berada dibawah pengelolaan Dinas Perikanan Kabupaten. Untuk melaksanakan pembinaan dan koordinasi kegiatan, Kepala Dinas Perikanan Propinsi Propinsi dibantu oleh Kepala Sub Dinas Produksi, sedangkan Kepala Dinas Perikanan Kabupaten/Kota dibantu oleh Kepala Sub Dinas Produksi. Untuk pembinaan mutu induk dan benih ikan akan dilakukan Sub Direktorat Standarisasi dan Sertifikasi Direktorat Perbenihan Departemen Kelautan dan Perikanan untuk merumuskan standar dan sistem sertifikasi mutu benih. Badan Litbang Kelautan Perikanan akan membantu merumuskan paket-paket teknologi perbenihan perikanan, produksi induk ikan varietas unggul dan diseminasi teknologi.

UPT Pusat setelah mendapatkan petunjuk dari Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dan masukan teknologi serta produk varietas unggul, selanjutnya akan membina UPTD Propinsi dalam bentuk masukan teknologi perbenihan, grand parent stock varietas induk unggul dan sertifikasi personil. Demikian selanjutnya UPTD Propinsi akan membina UPTD Kabupaten dalam teknologi, hasil induk unggul dan sertifikasi mutu benih. UPTD Kabupaten selanjutnya membina Unit Pembenihan Rakyat (UPR) Hatchery Skala Rumah Tangga (HSRT) didaerah yang akhirnya bermuara di Pembudidaya Ikan di daerah. Secara terinci alur pembinaan dapat dilihat pada skema tata hubungan kerja pembinaan perbenihan halaman 13.

4.2. Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan UPTD Perbenihan Perikanan dengan segala tugas dan fungsinya merupakan sarana pembinaan yang strategis dalam rangka perbenihan didaerah. Sehubungan dengan itu keberadaan dan peran UPTD akan tetap dipertahankan dan ditingkatkan kemampuannya agar dapat selalu memdukung pengembangan perbenihan perikanan didaerah. Oleh karena itu diperlukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan dan perkembangan perbenihan perikanan didaerah agar apabila terjadi penyimpangan dari tugas dan fungsi atau timbul permasalahan perbenihan lain maka akan dapat segera diketahui dan dicarikan pemecahan masalahnya. Monitoring di daerah Kabupaten dilakukan oleh Dinas Perikanan Kabupaten, Propinsi dilakukan oleh Dinas Perikanan Propinsi, dan secara Nasional dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q. Direktorat Perbenihan. 4.2.1. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Perikanan Propinsi Dinas Perikanan Kabupaten/Kota melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan setiap unit UPTD Lokal dan perkembangan perbenihan perikanan didaerahnya. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan maupun melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik, perkembangan UPR, produksi dan pemasaran benih Kabupaten. 4.2.2. Monitoring dan Evaluasi oleh Dinas Perikanan Kabupaten Dinas Perikanan Kabupaten melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan setiap unit UPTD Propinsi dan Kabupaten perbenihan perikanan didaerahnya. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan maupun melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik, perkembangan UPR, produksi dan pemasaran Propinsi. 4.2.3. Monitoring dan Evaluasi oleh Direktorat Jenderal Perikaan Budidaya Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kegiatan unit UPTD Propinsi dan Kabupaten perbenihan perikanan yang

dibiayai oleh APBN dan perkembangan perbenihan ikan air tawar diseluruh Indonesia. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung ke lapangan maupun melalui laporan. Monitoring dan evaluasi dilakukan terhadap kegiatan bimbingan teknik-teknik pembenihan, pembangunan/rehabilitasi fasilitas fisik, UPTD, perkembangan UPR, HSRT, produksi dan pemasaran benih. UPT Pusat yang ada di balai benih ikan air tawar membantu Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya memonitoring pelaksanaan uji lapangan di UPTD mengenai teknik pembenihan yang dilaksanakan dan kegiatan peningkatan mutu induk. Sedangkan UPT Pusat yang ada di balai benih ikan air payau/laut memonitoring pelaksanaan uji lapangan terhadap Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) dan Balai Benih Udang (BBU/BBUG) yang ada didaerah. Sejalan dengan kegiatan monitoring dan evaluasi ini maka secara periodik dua (2) tahun sekali akan dilakukan pula pemilihan UPTD terbaik dengan cara menilai seberapa jauh UPTD telah melaksanakan kegiatan perbenihan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Dalam penilaian ini kriteria yang akan digunakan antara lain: 1. Pencapaian target produksi benih. 2. Pembinaan yang dilakukan UPTD Propinsi terhadap UPTD Kabupaten baik dalam pengadaan induk bermutu maupun dalam penyampaian teknologi pembenihan. 3. Pembinaan yang dilakukan UPTD Kabupaten terhadap UPR atau HSRT dalam penyampaian teknologi pembenihan. 4. Kegiatan penebaran benih untuk perairan umum. 5. Keterlibatan dan dukungan UPTD terhadap program Budidaya di daerah. Penilaian terhadap UPTD ini akan dilaksanakan secara terpisah antara UPTD Propinsi perbenihan Perikanan dan UPTD Kabupaten perbenihan perikanan lokal. Laporan kegiatan UPTD dan perkembangan perbenihan dibuat secara berjenjang berdasaran hasil monitoring yang telah dilakukan baik oleh UPTD Dinas Perikanan Kabupaten, Dinas Perikanan Propinsi, maupun Direktorat jenderal Perikanan Budidaya yang meliputi segala aspek yang berkaitan dengan benih antara lain aspek produksi, distribusi pemasaran, teknologi penelitian dan peraturan perundangan. Laporan ini disusun dengan maksud agar semua kegiatan UPTD dan perkembangan perbenihan dapat dievaluasi sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan kebijakan perbenihan di Indonesia. a. Prosedur Pelaporan Laporan kegiatan UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya dibuat secara periodik bulanan, triwulan, dan tahunan berdasarkan tahun anggaran yang dimulai bulan April dan berakhir bulan Maret tahun berikuitnya. Laporan dibuat bertingkat yaitu :

Kepala UPTD Kabupaten Perikanan Budidaya berkewajiban menyampaikan laporan triwulan dan tahunan kegiatan unit kerja yang dipimpinnya kepada Kepala Dinas Perikanan Propinsi. Kepala UPTD Propinsi Perikanan Budidaya berkewajiban menyampaikan laporan triwulan dan tahunan kegiatan unit kerja yang dipimpinnya kepada Kepala Dinas Perikanan Kabupaten. Dinas Perikanan Kabupaten berkewajiban menyampaikan laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya yang ada di Kabupaten yang bersangkutan kepada Dinas Perikanan Propinsi. Disamping itu Dinas Perikanan Kabupaten menyampaikan laporan Triwulan dan Tahunan tentang perkembangan perbenihan di Kabupaten yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan perkembangan ikan adalah perkembangan semua aspek yang berkaitan dengan benih ikan air tawar antara lain : Perkembangan UPR, HSRT, harga benih, produksi dan distribusi benih dan sebagainya. Dinas perikanan Propinsi berkewajiban menyerahkan Laporan Triwulan dan Tahunan UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya dan UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya lain yang dibiayai oleh APBN ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q. Direktorat perbenihan. Disamping itu Dinas Perikanan Propinsi berkewajiban pula menyampaikan Laporan Triwulan dan Tahunan tentang perkembangan perbenihan perikanan di Propinsi yang bersangkutan. Semua Laporan Triwulan dan Tahunan dari Dinas Perikanan Propinsi akan dihimpun oleh Direktorat Perbenihan, Direktorat jenderal Perikanan Budidaya sebagai bahan Laporan Tahunan Perkembangan Perbenihan Ikan Perikanan di Indonesia. b. Materi Laporan Kepala UPTD Propinsi dan Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya membuat Laporan Triwulan dan Tahunan mengenai segala kegiatan unit kerja yang dipimpinnya baik yang menyangkut kegiatan yang kompleks maupun kegiatan perkembangan perbenihan disekitarnya atau kegiatan-kegiatan lain yang ditugaskan oleh Dinas Perikanan Daerah (contoh Laporan Triwulan dan Tahunan dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2. Kepala Dinas Perikanan Kabupaten menyusun Laporan Triwulan dan Tahunan UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan dan perkembangan perbenihan di Kabupaten yang bersangkutan. Laporan dari Dinas Perikanan Propinsi terdiri dari : 1) Laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya di Kabupaten dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2; 2) Laporan Triwulan dan Tahunan perkembangan Perbenihan Perikanan Budidaya di Kabupaten dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2.

Kepala Dinas perikanan Propinsi menyusun Laporan Triwulan dan Tahunan UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya dan perkembangan Perbenihan di Propinsi yang bersangkutan. Laporan Dinas Propinsi yang harus disampaikan ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan terdiri dari : 1) Laporan Triwulan dan Tahunan semua UPTD Propinsi Perbenihan Perikanan Budidaya di Kabupaten yang dibiayai APBN dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2; 2) Laporan Triwulan dan Tahunan perkembangan Perbenihan Perikanan Budidaya di Propinsi yang bersangkutan dengan materi seperti outline laporan pada lampiran 1 dan 2. c. Waktu Pelaporan Laporan Triwulan dari UPTD Kabupaten Perbenihan Perikanan Budidaya kepada Dinas Perikanan Kabupaten dikirim paling lambat satu (1) minggu setelah akhir triwulan. Laporan Triwulan dari Dinas Perikanan Kabupaten dikirimkan paling lambat dua (2) minggu setelah akhir Triwulan ke Dinas Perikanan Propinsi. Selanjutnya Laporan Triwulan dari Dinas Perikanan Propinsi dikirim ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan paling lambat satu (1) bulan setelah akhir triwulan. Laporan Tahunan dari Dinas Perikanan Kabupaten dikirimkan ke Dinas Perikanan Propinsi paling lambat dua (2) minggu setelah akhir tahun, sedangkan laporan tahunan dari Dinas Perikanan Propinsi dikirimkan ke Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya c.q Direktorat Perbenihan paling lambat satu (1) bulan setelah akhir tahun anggaran.

V. PENUTUP
Panduan pembinaan dan pengelolaan BBIS, BBU, dan BBUG untuk dipersiapkan sebagai UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya ini berisi pedoman pokok pelaksanaan pembinaan untuk meningkatkan pembinaan dan kinerja unit-unit kerja di daerah yang dipersiapkan sebagai UPTD. Diodalam penjabarannya menjadi kegiatan langsung dilapangan masih dimungkinkan untuk disesuaikan lebih lanjut sesuai situasi, kondisi, serta program pengembangan budidaya air tawar di daerah. Selain itu panduan ini dapat dijadikan acuan dalam penyusunan kegiatan atau program-program sebagai usulan kegiatan untuk mendapat bantuan anggaran APBD maupun APBN. Panduan ini akan ditindak lanjuti dengan Juknis kegiatan UPTD yang diterbitkan setiap tahun dan berisi antara lain : tentang penjelasan khusus pelaksanaan kegiatan setiap tahun anggaran. Berhasil tidaknya UPTD Perbenihan Perikanan Budidaya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya akan dapat dijadikan sebagai indikator dan tolak ukur keberhasilan pembangunan budidaya perikanan didaerah yang bersangkutan.

Lampiran 1 LAPORAN BULANAN/TAHUNAN PERKEMBANGAN PERBENIHAN DIMASING-MASING BALAI PROPINSI/KABUPATEN/KOTA : BULAN : TAHUN ANGGARAN : 1. Produksi Benih Tabel 1. Jumlah produksi benih menurut jenis dan sumbernya NO Jenis Ikan Sumber Benih BBI HSRT

BBIS

BBIP

Hatchery

Alam

2. Distribusi Benih Tabel 2. Jumlah benih yang masuk dan keluar daerah

No

Jenis Ikan

Keluar Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Nama Jumlah Nama Jumlah Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor)

Masuk Daerah Lain Luar Negeri Nama Jumlah Nama Jumlah Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor)

Catatan : Distribusi benih harus menyertakan dokumen kelayakan : 1. SK Asal 2. SK Uji Bebas Virus dan Bacteri

3. Produsen Benih Milik Propinsi/Kabupaten/Kota Tabel 3. Daftar Produsen Benih dan Produksinya
No Nama BBIP/BBIS/BBI Lokasi Luas (Ha) Tahun dibangun Sumber Dana Jenis Ikan Kapasitas Produksi (ekor) Produksi Benih (ekor)

4. Produksi Induk Tabel 4. Jumlah induk yang masuk dan keluar daerah
No Jenis Ikan Nama Daerah Daerah Lain Jantan
ekor kg

Keluar Betina
ekor kg

Masuk Nama Daerah Daerah Lain Jantan


ekor kg

Luar Negeri (eksport) Nama Jantan Betina ekor kg ekor kg Daerah

Betina
ekor kg

Luar Negeri (eksport) Nama Jantan Betina ekor kg ekor kg Negara

5. Pembenihan Swasta Tabel 5. Daftar Pembenihan Swasta yang berada di Propinsi/Kabupaten No Nama Lokasi Luas (Ha) Tahun berdiri Jenis Ikan Produksi/tahun (1.000 ekr) Kapasitas Produksi

6. Harga Induk Tabel 6. Harga induk per Bulan dalam Tahun berjalan No Jenis Ukuran (Kg) Jantan Betina Kisaran Harga Terendah (Rp) Tertinggi (Rp)

7. Distribusi/Pemasaran Tabel 7. Lalu Lintas Benih


Keluar dari Kabupaten/Kota Daerah Lain Luar Negeri (eksport) Nama Jumlah Nama Jumlah Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor) Masuk ke Kabupaten/Kota Daerah Lain Luar Negeri Nama Jumlah Nama Jumlah Daerah (1.000 ekor) Negara (1.000 ekor)

No

Jenis Ikan

8. Pembinaan Perbenihan Tabel 8. Kegiatan Pembinaan Perbenihan No 1. Uraian Kegiatan Contoh : Desiminasi teknologi Kakap Putih dalam rangka peningkatan produksi Waktu Pelaksanaan Penyelenggaraan Sumber Dana

9. Permasalahan Perbenihan 9.1. Produksi a. Teknologi b. Mutu c. Tenaga d. Sarana Produksi e. Wabah Penyakit f. Pencemaran g. dan lain-lain 9.2. Distribusi/Pemasaran a. Transportasi b. Pengepakan c. Harga d. Supplay Demand e. dan lain-lain 9.3. Pengaturan a. Hambatan b. dan lain lain 10. Pemecahan Masalah dan Saran Pengembangan Perbenihan

Lampiran 2 : Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor : 1106/DPB.0/HK.150/XII/2006

STANDAR SARANA, FASILITAS FISIK DAN OPERASIONAL BALAI BENIH IKAN (BBI) DAN BALAI BENIH IKAN SENTRAL (BBIS)

DIREKTORAT JENDERAL PERIKAAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN JAKARTA 2006

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN II. MAKSUD DAN TUJUAN

.............................................................. ..............................................................

1 1 2 2 5 6 6 8 11 12 12 12

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI ........................................ 3.1. Kriteria Teknik .............................................................. 3.2. Perkolaman .............................................................. IV. Sarana BBI 4.1. Bahan Bahan 4.2. Peralatan 4.3. Bangunan Gedung V. OPERASIONAL 5.1. Pengelolaan Induk 5.2. Pemijahan LAMPIRAN .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. .............................................................. ..............................................................

I. PENDAHULUAN
Benih ikan merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan produksi budidaya perikanan. Tersedianya benih ikan yang terjamin pengadaannya baik species, tempat, jumlah, mutu, ukuran, waktu dan harga yang tepat akan sangat mempengaruhi suksesnya usaha budidaya tersebut. Dari total produksi benih secara nasional, 97% dihasilkan oleh Usaha Pembenihan Rakyat (UPR) dan hanya 3% berasal dari produksi Balai Benih Ikan (BBI) milik pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa usaha pembenihan merupakan usaha komersial yang cuckup menarik minat masyarakat. Karena itu didalam upaya meningkatkan produksi benih nasional, kebijaksanaan Pemerintah terutama diarahkan pada pembinaan dan pengembangan usaha pembenihan rakyat. Semakin berkembangnya teknologi budidaya dikolam air deras, keramba dan sebagainya, serta perluasan areal budidaya membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan benih ikan yang bermutu tinggi. Dilain pihak, benih yang dihasilkan rakyat mutunya semakin menurun sebagai akibat langkanya induk-induk ikan yang unggul. BBI adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan induk dan benih ikan yang bermutu baik dalam jumlah yang memadai dan juga merupakan sarana untuk pengujian lapangan terhadap teknologi yang dihasilkan oleh Balai Budidaya Air Tawar. Karena itu BBI mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut : 1. Penghasil induk unggul dalam rangka menunjang Usaha Perbenihan Rakyat (UPR) dan pengendalian mutu benih; 2. Penghasil benih untuk keperluan penebaran diperairan umum dan bila perlu untuk mengisi kekurangan benih yang dihasilkan oleh rakyat; 3. Tempat melaksanakan adaptasi teknik pembenihan yang lebih baik; 4. Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dan Lembaga Sertifikasi Produk. Selain tugas dan fungsi tersebut diatas, BBI diharapkan dapat pula sebagai perintis pembangunan budidaya ikan air tawar didaerah baru.

II. MAKSUD, TUJUAN DAN PENGERTIAN


Maksud dan tujuan disusunnya buku standar ini iakah untuk mewujudkan keseragaman BBI dalam struktur, ruang lingkup, status, dan pola operasionalnya, sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsi serta melaksanakan sertifikasi sistem mutu dan produk. Pada buku standar ini dilampirkan pula gambar contoh konstruksi, komposisi pakan ikan dan beberapa petunjuk pengelolaan BBI. Yang dimaksud dengan standar fisik adalah standar rancang bangun, konstruksi dan sarana yang harus dimiliki/ada di Balai Benih Ikan (BBI). Yang

dimaksud standar operasional adalah standar pengelolaan pemijahan, pendederan ikan mas dan nila.

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI


3.1. Kriteria Teknik. (1). Prasarana Tahap Pembangunan balai Benih Ikan : Studi Kelayakan meliputi : Species dan jumlah ikan yang ingin diproduksi; Teknologi yang ingin diaplikasikan dan dikembangkan; Lokasi BBI tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan budidaya ikan danpasar benih; Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan BBI dan hasilhasil dari BBI; Fasilitas hatchery yang akan dibangun untuk memproduksi benih sesuai dengan permintaan pasar; Perkiraan dana untuk konstruksi; Jumlah dan kualifikasi SDM yang dibutuhkan; Perkiraan dana operasional yang dibutuhkan per tahun Analisa ekonomi.

Detail Desain : Gambar detail setiap penampang bangunan; Gambar teknis bangunan BBI; Spesifikasi teknis dan bahan bangunan yang digunakan; Rencana Angaran Biaya (RAB); Jadual pelaksanaan pembangunan fisik/konstruksi

Pelaksanaan Konstruksi : Prasarana pokok pembenihan perioritas pertama, baru prasarana lainnya; Pengawasan (konsultan pengawas + tim teknis) Semua fasilitas dipastikan berfungsi baik

Konsepsi Pengembangan Prasarana Budidaya : Konsep-konsep yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan pembangunan prasarana budidaya terutama kegiatan pembenihan antara lain:

Aspek operasional Aspek fungsi Aspek konstruksi Aspek pemeliharaan.

Dalam pengembangan dan perencanaan Prasarana perlu diperhatikan: Tujuan Tingkat pengembangan yang dilakukan Potensi Kendala (constrain) Prakondisi Sehingga prasarana yang dibangun tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal. Faktor-Faktor Yang Harus dipertimbangkan Pembangunan Prasarana Budidaya. A. Faktor Teknis Yang dimaksud dengan faktor teknis adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kegiatan budidaya antara lain: Ketersediaan lahan; Potensi lahan; Kesesuaian komoditas perikanan yang akan dikembangkan; Skala usaha yang akan dikembangkan (skala rumah tangga, skala sedang, skala lengkap) B. Faktor Non Teknis Yang dimaksud dengan faktor non teknis adlah faktor-faktor diluar teknis perikanan budidaya yang berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya : Aspek sosial; Aspek ekonomi; Aspek manfaat; Ketersediaan dana. Prioritas Pembangunan Prasarana Budidaya Untuk mendukung optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya maka dalam pembangunan prasarana budidaya harus dibuat skala prioritas pembangunan prasarana budidaya berdasarkan kebutuhan dan dana yang tersedia. Untuk menentukan skala prioritas maka prasarana budidaya dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) komponen bangunan yaitu : i. Bangunan pokok; ii. Bangunan pendukung; iii. Bangunan penunjang; Dalam Perencanaan

iv. Bangunan pengaman; v. Bangunan pelengkap. 1. Prasarana pokok adalah bangunan yang harus ada karena terkait langsung dalam proses produksi benih. Misalnya : kolam/bak induk, kolam/bak pemijahan, dll. Prasana pendukung adalah bangunan yang keberadaannya mempermudah, mempercepat, dan memperkecil biaya proses pembenihan. Misalnya : kantor, jaringan jalan dan tempat parkir, laboratorium, dll. 2. Prasarana penunjang adalah : bangunan yang keberadaannya bersifat melengkapi dan tidak mempengaruhi proses perbenihan. Misalnya : Gedung pertemuan, fasilitas olahraga, dll. Prasana Pengaman adalah : bangunan yang diperlukan untuk pengamanan fasilitas perbenihan. Misalnya : pagar keliling/lingkungan , pos jaga, dll. Prasana Pelengkap adalah : bangunan yang fungsinya melengkapi bangunan pendukung, bangunan penunjang dan bangunan pengaman sehingga bangunan perbenihan dimaksud beroperasi lebih optimal dan lebih berdaya guna. Misalnya : rumah pompa, rumah genset, garasi kendaraan, dll. Sehingga kedudukan prasarana dalam kegiatan budidaya perikanan yaitu : a. Merupakan unsur penunjang pokok yang sangat penting untuk mendukung kegiatan budidaya perikanan; b. Direncanakan terakhir dari seluruh kegiatan budidaya; c. Dilaksanakan pertama kali dari keseluruhan kegiatan usaha budidaya. (2). Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lahan. Ketinggian tempat sedapat mungkin tidak lebih dari 700 m diatas permukaan laut, sedangkan kemiringan tanah yang ideal berkisar antara 1 5% (3). Tanah. Tanah yang baik untuk BBI adalah tanah dengan struktur yang kuat, dapat menahan air (tidak poreus), subur dan tidak berbatu-batu, teksturnya terdiri dari tanah liat dan liat berpasir (4). Sifat Fisika dan Kimia Air; Sifat fisika yang harus diperhatikan adalah : Suhu air optimal berkisar antara 250 300C; Kekeruhan air 25 100 JTU; Muatan suspensi 25 400 ppm; Kecerahan lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan.

Sifat kimia air yang harus diperhatikan adalah : PH air berkisar antara 4 9, optimum 6,7 8,0; Kadmium (Cd) maksimum 0,01 ppm; Timbal (Pb) maksimum 0,02 ppm; Sulfida (S) maksimum 0,002 ppm; Ammoniak bebas (NH3) maksimum 0,01 ppm; Nitrit (NO2) maksimum 0,2 ppm; Phosphat maksimum 0,01 ppm; Alkalinitas produktif 50 500 ppm; Oksigen terlarut (DO) diisyaratkan > 3 ppm (5). Sistem Pengairan Untuk menjamin suplai air pada BBI secara kontinyu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan, maka diperlukan langkah-langkah lebih lanjut sebagai berikut : a. Sebaiknya air berasal dari sumber mata air, sumur artesis atau sumur bor yang sepenuhnya dikuasai BBI. Debit air mineral 20 liter/ha/detik untuk kolam induk, pembenihan, pembesaran dan terpadu, sedangkan untuk kolam air deras sebesar 250 liter/detik/100 m2. Untuk meningkatkan kualitas air (temperatur dan oksigen terlarut) mengurangi adanya gas terlarut, dan mengurangi pengendapan lumpur, maka perlu dibuat filter biologis dengan menggunakan tanaman air (Hidrilla sp). b. Terhadap BBI yang memperoleh suplai air dari sungai dan irigasi perlu perlakuan melalui sistem pengendapan dan filterisasi mekanik maupun biologis, utamanya untuk kolam-kolam pembenihan dan pendederan. Untuk itu perlu dilengkapi dengan bak pengendapan air dan bak-bak filter yang dapat berfungsi secara baik dengan luas minimal 10% dari luas kolam pendederan P1. c. Untuk menjamin kontinuitas suplai air yang berasal dari irigasi khususnya pada saat perbaikan saluran, maka Dinas Perikanan Daerah seyogyanya mengadakan pendekatan dengan pihak pengairan untuk mencari jalan pemecahannya. Dalam hubungan ini disarankan agar Dinas Perikanan Daerah menjadi anggota Panitia Irigasi Daerah. (6). Luas BBI Luas keseluruhan BBI Sentral minimal 5 Ha, sedangkan luas keseluruhan BBI Lokal minimal 2 Ha. 3.2. Perkolaman (1). Standar Perkolaman Jumlah kolam dan luas masing-masing kolam dalam BBI dperhitungkan seperti pada table 1 dan contoh tata letaknya dapat dilihat dalam lampiran 1 dan lampiran 2.

Tabel 1. Jumlah dan luas minimal masing-masing kolam di BBI : BBI Lokal Luas Jumlah Total (m2)
6 6 4 5 5 5 5 2 6 40 100 100 20 250 500 1000 1500 100 500 600 600 80 1250 2500 5000 7500 200 3000 20730

No
1 2 3

Macam Kolam
Kolam induk betina Kolam induk betina Kolam Pemijahan Kolam Pendederan I Kolam Pendederan II Kolam Pendederan III Kolam Pendederan IV Kolam Pembesaran Kolam calon induk Kolam makanan alami Jumlah

BBI Sentral Luas Jumlah (m2)


8 8 6 6 6 6 6 4 6 2 58 100 100 20 250 500 1000 1500 100 1000 500 -

Total
800 800 120 1500 3000 6000 9000 400 6000 1000 28620

4 5 6

(2). Konstruksi Kolam Kelandaian saluran yang baik adalah 0,5% dan pada pinggiran pematang dibuat peluncuran atau terjunan. Pada lampiran 18 dapat dilihat konstruksi saluran dan peluncuran. Saluran pembuangan haraus dihubungkan dengan jaringan drainase (selokan atau sungai) diluar komplek BBI harus dapat menyalurkan air buangan dengan lancar. Dasar saluran pembuangan minimal harus lebih rendah 25 cm dari dasar kolam dengan lebar 0,5 m. Setiap kolam harus dapat bebas memperoleh air langsung dari saluran pemasukan dan bebas pula melepaskan air kesaluran pembuangan. (3). Petunjuk Tata Air Sistem pengaturan air dengan bangunan-bangunan digambarkan dengan ikhtisar air pada lampiran 19. pengontrol air

IV. SARANA BBI Sarana BBI yang disediakan dalam pedoman BBI ini diperhitungkan pada kebutuhan minimal operasional BBI dan merupakan paket pembenihan ian mas dan nila di BBI. Jumlah paket yang disediakan untuk operasional BBI dapat diminta sesuai dengan rencana kerja dan operasional tahunan BBI. Dengan demikian tiap BBI akan mempunyai dana operasional yang berbeda. 4.1. Bahan-bahan (1). Induk Ikan Induk ikan yang dimaksud dalam pedoman BBI adalah induk ikan mas dan nila dengan kriteria ikan mas dengan deskripsi yang jelas. Ditinjau dari mutu induk ikan tersebut mempunyai criteria sebagai berikut :

Karakter morfometrik dan genetic sesuai dengan varietasnya, meliputi : bentuk tubuh, warna, bentuk sisik, cepat pertumbuhannya, respon terhadap pakan buatan dan relatif tahan terhadap penyakit. Deskripsi varietas jelas. Fekunditas ikan mas antara 80.000 120.000 butir/kg berat induk, dan untuk ikan nila rata-rata 900 butir per 300 gram berat induk. Tidak cacat. Sehat, tidak berpenyakit. Gerakan normal. Ratio panjang berat sesuai dengan deskripsi varitasnya. Jumlah induk yang dimiliki BBI didasarkan pada jumlah minimal induk yang akan digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan jumlah induk minimal yang harus dimiliki oleh BBI : Tabel 2. Jumlah minimal induk yang diperlukan BBI : Induk Ikan (ekor) Jenis Ikan Jantan Betina Ikan mas 100 100 Ikan nila 100 300 Keterangan : Berat rata-rata induk ikan mas betina Berat rata-rata induk ikan mas jantan Berat rata-rata induk ikan nila betina Barat rata-rata induk ikan nila jantan (2). Bahan baku makanan ikan (pellet). Pengadaan pakan dapat dilakukan dengan membeli pakan komersial didaerah daerah dimana terdapat penyalur pakan. Pakan ikan (pellet) yang dimaksud adalah pakan dengan kandungan protein minimal 26% dan atau pakan induk dengan kandungan protein 30 40%. Selain hal tersebut pakan dapat juga disediakan dengan membuat formulasi tersendiri dengan bahan seperti tersebut dibawah ini : a. Sumber protein, misalnya tepung ikan, cincangan bekicot, ampas tahu dan tepung banawa. b. Sumber karbohidrat dan lemak, misalnya bekatul, dedak, singkong, bungkil kacang dan kedelai. c. Sumber mineral misalnya: tepung tulang, darah dan cangkang kerangkerangan. d. Sumber serat, misalnya daun singkong, daun gamal dan daun petai cina. e. Sumber perekat, misalnya tepung kanji. f. Vitamin dan mineral. 3 Kg 1,5 kg = 0,3 0,4 kg = 0,4 0,5 kg

Keterangan 1:1 1:3

Contoh formulasi pakan seperti tertera dalam lampiran 3. Bahan makanan (pellet) yang dibutuhkan berdasarkan ransum 3 5% berat ikan tiap hari adalah dirinci sebagai berikut : Pakan induk ikan mas = 600 kg Pakan induk ikan nila = 600 kg Pakan benih = 900 kg Total kebutuhan pakan adalah 2.100 kg per tahun. (3). Pupuk Pupuk organic diperlukan untuk memperbaiki kesuburan dan struktur dasar kolam, berupa pupuk kotoran ayam, Pemberian pupuk anorganik tidak dianjurkan karena sering menyebabkan blooming algae. Kebutuhan pupuk organic di BBI adalah sebesar 250 500 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (4) Kapur Kapur tohor (CaO dipakai sebesar 50 100 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (5) Insektisida Insektisida sebanyak 2 liter per siklus. (6) Bahan Pereaksi Kimia/Tahun a. Bahan pereaksi kimia dan obat-obatan + 1 kg KmnO4; b. Aceton/alcohol sebanyak 2 liter; c. Hormon buatan (Ovaprim) sebanyak 15 ampul, methylestosteron 10 gram; d. Aquades + 20 liter; e. Antibiotik (tetramycine, kemicitine) 100 gram f. Metylane Blue 10 gram; g. Hormon HCg 500 IV h. Natrum Chlorida 90,9 %) sebagai pengencer sperma 4.2. Peralatan (1) Peralatan pembenihan yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam table 5. Tabel 3. Peralatan pembenihan di BBIS dan BBI No Peralatan BBI Sentral Jumlah 1 Timbangan - kapasitas 1 kg 2 buah - kapasitas 10 kg 2 buah

dan

17

alpha

BBI Lokal Jumlah 1 buah 1 buah

2 3 4 5 6 7

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

- Kapasitas 50 kg Mistar (Ukuran 50 cm) Fish bus (krembeng) Kreneng Aerator/Hyblower Kaca pembesar Alat hypophisa - jarum suntik - centifuge - centrifuge elektrik - mortar homogenezer - alat bedah - kain handuk - cawan porselin/email - pengaduk telur/bulu ayam - kelenjar hypophisa/hormon Gelas ukur (5,10,25 cc) Freezer Thermos es Happa (2x1x0,75 cm dan 2x4x0,75 cm) Kakaban Corong penetas ( 0,5 m; t 0,5 m) Pipet Slang plastik Counter Pisau bedah Gergaji/bor Aquarium (60 cm x 40 cm x 45 cm) Kateter Serok halus Serok kasar

2 buah 4 buah 2 buah 2 buah 4 buah 2 buah 4 buah 2 buah 1 buah 4 buah 4 buah 2 buah 4 buah Secukupnya Secukupnya 4 set 1 buah 2 buah 20 set 20 buah 50 buah 8 buah Secukupnya 2 buah 2 buah 2 buah 2 buah Minimal 40 buah 10 buah 5 buah 5 buah

1 buah 2 buah 2 buah 2 buah 2 buah 1 buah 2 buah 2 buah 2 buah 2 set 2 buah 2 buah Secukupnya Secukupnya 2 set 1 buah 2 buah 10 set 10 buah 25buah 4 buah Secukupnya 2 buah 2 set 1 buah 1 buah Minimal 40 buah 10 buah 5 buah 5 buah

(2) Peralatan perkolaman Peralatan perkolaman yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam lampiran 6. Tabel 4. Peralatan perkolaman di BBIS dan BBIL No 1 2 3 4 Peralatan Cangkul Sekop Garpu Bakul dan pikulan BBI Sentral Jumlah 6 buah 6 buah 6 buah 4 set BBI Lokal Jumlah 5 buah 3 buah 3 buah 2 set

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Parang/Grobak Ember Traktor kecil/penggaruk Waring Geser Cawan email Sabit Pakaian lapangan Hapa pemijahan Happa pematang gonad Baskom

6 buah 6 buah 1 buah 8 buah 6 buah 2 buah 3 buah 20 set 2 set 2 set 10 buah

3 buah 3 buah 1 buah 6 buah 4 buah 1 buah 1 buah 10 set 1 set 1 set 10 buah

(3). Peralatan distribusi benih/induk Peralatan distribusi benih/induk yang digunakan dalam kegiatan BBI diuraikan seperti dalam tabel 7. Tabel 5. Peralatan distribusi benih/induk : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peralatan Tabung oksigen (kap. 1 dan 2 m3) Kantong plastik Tali plastik dan karet Kotak karton/stroform Ember plastik tertutup Fish bus (kreneng) Aerator Kendaraan roda 4 (pick-up 0,75 ton) Buffer, es batu, dry ice BBI Sentral Jumlah 2 buah Secukupnya Secukupnya Secukupnya 15 buah 15 buah 2 buah secukupnya BBI Lokal Jumlah 2 buah Secukupnya Secukupnya Secukupnya 10 buah 10 buah 1 buah secukupnya

(4). Peralatan lainnya Selain peralatan untuk kegiatan pembenihan, perkolaman dandistribusi benih/induk, diperlukan peralatan lain yang diuraikan dalam tabel 8. Tabel 6. Peralatan lainnya :

No Peralatan
1 2 3

BBI Sentral Jumlah

BBI Lokal Jumlah 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 2 buah 2 buah

Pompa air diesel 10 PK 2 buah Hi-blow 3 buah Alat-alat pembuatan makanan ikan/pellet 2 buah : - Kompor 2 buah - Tapisan/saringan 2 buah - Ember 4 buah

4 5 6 7 8

9 10

11 12 13

- Nyiru - Timbangan 1kg, 50 kg - Mesin penggiling basah/berminyak - Mesin penyaring - Mesin pengaduk - Mesin pencetak pellet - Mesin peremah Generator 10 KVA atau PLN 5.000 Watt Generator 20 KVA atau PLN 10.000 Watt Mesin potong rumput Sepatu lapangan dan senter Alat transport - Mobil pick up - Sepeda motor Alat audiovisual Buku Petunjuk Pelaksanaan - Jenis ikan dan gambarnya - Teknik pembenihan ikan - Perawatan benih/induk - Pengangkutan dan distribusi -Teknik perkolaman - Pemupukan - Pemberantasan hama - Penyedian makanan hidup dan makanan buatan Meja tulis, lemari, kursi, kardek, peta dsb Mesin tik manual Komputer

4 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 8 setel 1 buah 3 buah 1 unit secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya 1 buah 2 buah

1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 4 buah 1 buah 2 buah 2 unit Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya

1 buah 1 buah

4.3. Bangunan gedung Tabel 7. Bangunan gedung di BBIS dan BBIL


BBI LOkal Macam Bangunan Jumlah Luas (m2) Satuan Jumlah BBI Sentral Jumlah Luas (m2) Satuan Jumlah

- Kantor - Garasi - Gudang - Rumah generator - Rumah mesin pellet dan gudang makanan - Rumah pimpinan - Rumah staf - Rumah pekerja tetap (Kopel) - Rumah jaga - Asrama - Aula Jumlah

1 1 1 1 1 1 3 6 1 1 1 18

50 20 15 9 30 45 36 36 36 100 100 477

50 20 15 9 30 45 103 216 36 100 100 724

1 1 1 1 1 1 4 6 2 1 1 20

75 40 30 9 50 70 45 36 36 200 100 691

75 40 30 9 50 70 180 216 170 200 100 1140

V. OPERASIONAL
5.1. Pengelolaan Induk 5.1.1. Ikan Mas Induk ikan betina dan pejantannya dipelihara dalam wadah secara terpisah. Induk-induk tersebut dipeliharadalam kolam air mengalir dengan debit air 1,5 liter air per 1.000 m2 luas kolam induk. Selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet dengan kandungan protein 26 30% dengan dosis 3 5% dari berat badan per hari yang diberikan 3 kali sehari. Kepadatan induk ikan dalam kolam adalah 1 kg/m2 luas kolam. Kondisi kimia fisika ideal untuk pemeliharaan induk adalah sebagai berikut :

Suhu air PH DO Ammoniak

: 25 320C : 6,5 8 : > 5ppm : < 1 ppm

5.1.2. Ikan Nila Kolam seluas 200 m2 dengan sistem air mengalir diperlukan untuk menyimpan induk ikan. Penyimpanan induk dilakukan dalam hapa berukuran 2 x 3 x 1,25 m3 yang ditempatkan dalam kolam seluas 200 m2 tersebut. Setiap hapa dapat menampung 30 ekor induk ikan betina atau 15 ekor ikan jantan. Dengan jumlah induk sebanyak 90 ekor betina dan 30 ekor jantan, diperlukan 5 buah hapa berukuran seperti tersebut diatas. Tiap hapa diberi tanda, misalnya hapa 1 untuk induk betina kelompok I, hapa 2 untuk induk betina kelompok II, hapa 3 untuk pejantan dan seterusnya. Penempatan hapa-hapa diupayakan sedemikian rupa sehingga induk ikan memperoleh air segar yang mengandung O2 jenuh. Selama pemeliharaan kolam diairi 24 jam terus-menerus, induk ikan diberi makan dengan pellet komersial 3% dari berat biomas per hari, diberikan 3 kali dala sehari. Dengan cara ini induk betina akan matang telur setiap 1 bulan sekali. 5.2. Pemijahan 5.2.1. Pemijahan Ikan Mas a. Wadah Pemijahan Induk ikan dipijahkan dalam wadah berupa bak tembok, atau hapa pemijahan berukuran 4x2x1 m3 atau tergantung fasilitas kolam pemijahan yang ada di BBI. Dalam kondisi normal, kepadatan induk dalam hapa/kolam pemijahan adalah 2 kg/m2. Dalam hapa seukuran tersebut dipijahkan 4 ekor induk ikan betina dengan berat rata-rata 2 kg per ekor. Kakaban dibuat dari ijuk berukuran panjang 100 cm

dengan lebar 20 cm yang diletakkan dalam wadah pemijahan, sehingga jumlah kakaban setiap pemijahan adalah 30 buah. b. Proses pemijahan Wadah pemijahan harus dijemur/dikeringkan terlebih dahulu. Pada wadah pemijahan berupa kolam tanah, pengeringan dilakukan hingga dasar kolam retakretak. Hapa kemudian dipasang tegak sehingga mampu menampung induk ikan yang akan dipijahkan. Setelah itu wadah pemijahan diairi hingga kedalaman air didalam hapa 80 100 cm. Sebelum induk dimasukan kedalam wadah pemijahan, kakabandipasang dalam wadah pemijahan. Pemasangan kakaban diusahakan sedemikian rupa sehingga kakaban tenggelam 5 cm dibawah permukaan air. Menjelang sore hari induk betina dan jantan yang telah matang telur dimasukan bersamaan kedalam wadah pemijahan. Padat tebar induk betina adalah 2 kg per m2 dalam wadah pemijahan, sehingga untuk wadah dengan luas 8 m2 diperlukan 4 ekor induk betina. Dengan perbandingan berat yang sama dengan induk betina, maka ikan jantan yang diperlukan adalah seberat 8 kg, dengan jumlah 8 ekor atau berat rata-rata per ekornya adlah 1 kg. Selama pemijahan berlangsung air dibiarkan mengalir masuk kedalam kolam dengan debit 2 liter/detik/200 m2 luas wadah pemijahan. Induk ikan yang telah memijah ditangkap untuk dikembalikan kekolam induk (kolam pematangan gonad). c. Teknik Pemanenan Larva Telur menetas dalam waktu 48 72 jam, tergantung dari suhu air media. Sekitar 7 hari dalam bak penetasan telur, larva dipanen untuk didederkan lebih lanjut. Setelah telur pada kakaban menetas, kakaban diangkat dan larva dibiarkan pada bak/hapa pemijahan sampai kuning telurnya habis. Setelah 7 hari dalam hapa/bak pemijahan, larva dipanen dan didederkan lebih lanjut. Dengan asumsi bahwa setiap induk ikan menghasilkan 100.000 butir telur, maka telur yang dihasilkan dari 8 kg induk adalah 800.000 butir telur. Selanjutnya diasumsikan pula bahwa tingkat penetasan telur adalah 50% sehingga telur yang menetas menjadi larva adalah 400.000 larva. 5.2.2. Pendederan Ikan Mas a. Wadah pendederan Sebelum larva ditebar, kolam pendederan seluas 1.000 m2 ( 2 kolam) harus dipersiapkan terlebih dahulu antara lain : kolam dikeringkan, pematang yang bocor diperbaiki, diberi kapur sebanyak 50 gram/m2 luas kolam dan untuk menumbuhkan pakan alami kolam perlu dipupuk dengan kotoran ayam dosis 250 gram per m2 luas kolam. Penebaran larva dilakukan setelah 2 3 hari sejak pengisian air. Benih lepas

hapa ditebar dengan padat penebaran 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan air dialirkan dengan kolam pendederan I dialiri air dengan debet 1,5 ltr/detik/1.000 m2. Pakan tambahan berbentuk tepung atau remahan pellet dengan kandungan protein 30% dan diberikan 10% dari total berat benih dengan frekuensi 3 kali sehari. Untuk menumbuhkan infusoria dan pakan phytoplankton lainnya, penyemprotan dengan insektisida jenis organophosphat dengan dosis 4 ppm dianjurkan. Dengan lama pemeliharaan 21 hari, benih ikan dipanen untuk pendederan di P2 (pendederan kedua). Tingkat kelulushidupan larva menjadi benih ditingkat P1 adalah 60%. Dengan demikian dari jumlah larva lepas hapa yang ditebar sebanyak 400.000 ekor akan dihasilkan benih sebanyak 240.000 ekor. b. Pola produksi Jumlah induk yang diperlukan untuk memproduksi benih minimal 32 kg induk betina. Tiap pemijahan diperlukan 8 kg induk. Jadi terdapat 4 kelompok induk, dimana tiap kelompok berjumlah 8 kg. Pola produksi benih ikan sampai pendederan 1 (P1) seperti terlihat dalam tabel berikut:

Bln M 1 KLP I Pi

I 2 LI 3 II BI 4 LII BI 1 III BII

II III 2 3 4 1 2 3 LIII IV LIV I LI II BII BIII BIII BIV BIV BI

4 LII BI

IV 1 2 3 4 III LIII IV LIV BII BII BIII BIII

Keterangan : Bln : Bulan M : Minggu KLP : Kelompok Induk

L B P1

: Larva Kelompok Induk : Benih Kelompok Induk : Pendederan 1

Pada gambar terlihat pemijahan pertama dilakukan pada minggu pertama dengan kelompok induk I (KLP I), penetasan telurnya pada minggu II (M2) dan perawatan larva/pendederan I dilakukan pada minggu III dan IV (M# dan M4), sehingga panen dilakukan pada M4 dan I. Sementara itu pada bulan I, minggu III (M3), kelompok induk II sudah dipijahkan lagi sehingga induk dari kelompok II akan dipanen pada minggu ke II bulan II. Untuk induk kelompok III benih dipanen pada M4 bulan I dan untuk induk kelompok IV benihnya dipanen pada M2 bulan III. Dengan memperkirakan kelompok induk I sudah matang gonad kembali dalam jangka waktu 2 bulan maka pada M1 bulan III, kelompok induk I sudah dipijahkan. Demikian seterusnya berlaku untuk kelompok induk II, III dan IV, sehingga dalam 1 tahun dapat diproduksi 23 siklus pemeijahan atau sekurangkurangnya20 siklus pemijahan dan pemeliharaan larva.

5.2.3. Pemijahan Ikan Nila a. Wadah Pemijahan Pemijahan dilakukan dalam kolam tanah seluas 400 m2 yang mempunyai sistem pemasukan dan pengeluaran air sistem monik. Ditengah kolam dipasang hapa pemijahan ukuran 4 x 8 x 1 m3 .

b. Persiapan Pemijahan Sebelum digunakan kolam pemijahan dikeringkan terlebih dahulu dengan tujuan selain membunuh bibit penyakit juga untuk memberikan rangsangan pada ikan untuk memijah. Setelah dasar kolam cukup kering ditandai dengan permukaannya yang retak-retak, air dialirkan kedalam kolam perlahan-lahan sampai ketinggian lebih kurang 80 cm, selanjutnya induk ikan betina (kelompok induk I) dan pejantan (kelompok pejantan I) dimasukan kedalam hapa pemijahan dengan jumlah masing-masing 30 ekor induk betina dan 15 ekor induk jantan. c. Proses Pemijahan Selang beberapa hari setelah induk betina dan jantannya dimasukan, sebagian ikan akan memijah. Diperkirakan sebanyak 60% induk betina atau 20 ekor akan memijah dalam hapa pemijahan. d. Pemanenan Benih 12 hari setelah induk-induk ikan dimasukan kedalam kolam pemijahan, benih ikan/larva ikan dapat dipanen dengan cara mengangkat hapa pemijahan sehingga induk dan benih ikan akan tertangkap. Produksi benih dari pemijahan ini diperkirakan 26.000 ekor larva persiklus (12 hari). e. Proses Pejantanan Benih Ikan Siapkan 5 liter air bersih yang dimasukan kedalam ember beraerasi. Masukan benih ikan yang baru ditangkap tersebut, lalu masukan serbuk hormone 17 alpha methyl testoeteron sebanyak 5 miligram kedalam 5 liter air di ember. Biarkan selama 6 10 jam agar proses sex reversal berlangsung. Dengan cara ini diharapkan benih ikan nila menjadi jantan semua. 5.2.4. Pendederan Ikan Nila a. Wadah Wadah pendederan ikan niladapat dilakukan dikolam. Luas kolam pendederan sekurang-kurangnya 500 m2, dengan rata-rata padat tebar benih 30 ekor per m2. Kolam tidak porus, dilengkapi dengan pintu pemasukan air dan pintu pengeluaran air berhadapan, artinya tidak dipasang pada satu garis pematang yang

sama. Kolam mini harus mampu menampung air hingga kedalaman 60 cm, sehingga tinggi kolam yang dibuat/rehab sekitar 80 cm. b. Kegiatan Pendederan Kegiatan pendederan ikan nila dilakukan dikolam dengan tahapan kegiatan sebagai berikut : Persiapan kolam : Kolam dikeringkan hingga dasar kolam retak-retak, pematang diperbaiki, lumpur dasar kolam dikeduk teplok dan diangkat ke pematang. Kemalir/saluran air diagonal diperbaiki. Kolamselanjutnya diberi kapur sebanyak 50 gr/m2 dan diberi pupuk kotoran ayam (organik) sebanyak 250 gr/m2. Setelah kolam dikapur dengan kapur tohor dan dipupuk, air dimasukan perlahan-lahan setinggi 20 cm kemudian kolam dibiarkan 2 hari tergenang untuk memberi kesempatan pakan alami tumbuh. Setelah atu air dinaikan lagi hingga air didalam kolam mencapai ketinggian 60 cm. Pengisia air dilakukan secara hatihati agar sampah tidak masuk kedalam kolam, sehubungan dengan hal itu pada saluran pemasukan harus dipasang saringan kasa. Penebaran benih : Benih berumur 30 hari ditebarkan dengan kepadatan 30 ekor per m2. Untuk mencegah kematian benih massal, penebaran dilakukan pada udara sejuk yaitu pada pagi atau sore hari. Benih ditebar dengan mengadaptasikannya terlebih dulu. Caranya adalah memasukan air kolam sedikit demi sedikit sehingga tercapai keseimbangan suhu air antara air dalam wadah transportasi dengan air kolam. Jika air diperkirakan telah mempunyai suhu yang sama maka benih ikan dapat ditebar kedalam kolam. Pemeliharaan benih : Setiap hari benih ikan diberi pakan tambahan berupa pakan buatan berbentuk tepung, dengan kandungan protein lebih kurang 30%. Jumlah pemberian pakan sebanyak 10% perharinya yang diberikan 3 kali sehari. Pengawasan terhadap air dan lingkungan perkolaman senantiasa diperhatikan setiap harinya. Air harus dijaga agar tetap mengalir dan pematang yang bocor diperbaiki. Pemanenan Benih : Setelah berumur satu bulan pemeliharaan, benih sudah dapat dipanen. Adapun cara pemanenannya adalah kolam disurutkan airnya secara perlahan-lahan, tetapi air tetap dibiarkan mengalir perlahan-lahan agar ikan mudah ditangkap sebab ikan akan menyongsong air baru. Penangkapan ikan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan waring dan seser. Benih ikan yang sudah ditangkap ditampung dalam wadah/hapa penampung benih yang ditempatan pada kolam ikan yang berair bersih dan mengalir. Seleksi benih dilakukan berdasarkan ukuran benih tertentu. Benih yang diperoleh dari hasil pendederan biasanya berukuran 3 5 cm dengan derajat kelangsungan hidup lebih kurang 90%, akan dihasilkan benih ikan untuk setiap 500 m2 luas kolam sebanyak 13.500 ekor.

5.2.5. Contoh Komposisi Makanan a. Remah untuk benih ikan Mas : dedak halus 35% tepung ikan 25% tepung kedelai 27% tepung daun 10% vitamin dan mineral 3% b. Pellet untuk ikan Mas ukuran konsumsi dan induk : dedak halus 30% tepung ikan 23% tepung kedelai 5% tepung tulang 5% silase ikan 10% tepung daun 10% bungkil kelapa 5% vitamin dan mineral 3% c. Makanan untuk ikan Tawes : tepung daun (petai cina) tepung ikan tepung kedelai tepung jagung bungkil kelapa silase ikan dedak halus vitamin dan mineral

30% 15% 10% 5% 5% 10% 23% 2%

5.2.6. Contoh Rencana Kerja BBI A. Alternatif tanrget produksi benih (ribuan ekor) tahun 20....
Jenis Tahun 20.... 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm Triwulan I 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm Triwulan II dst Keterangan Disesuaikan Dengan keButuhan Nyata di daerah

B. Target produksi induk (ekor/kg) tahun 20... (khusus BBI Sentral)


Jenis Tahun 20... Betina Jantan
ekor kg ekor kg

Jumlah
ekor kg

Triwulan I Betina
ekor kg

Jantan
ekor kg

Jumlah
ekor kg

Triwulan II dst

Keterangan Disesuaikan dengan keperluan semua BBI lokal dan UPR

C. Rencana Distribusi Benih, Tahun 20...


No Jenis Mas Ukuran 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm Jumlah (1000 ekor) Distribusi Maksud Daerah Penggunaan Tujuan Keterangan Diisesuaikan dengan keperluan perairan umum, bantuan proyek gizi, bantuan daerah transmigrasi, dsb

Tawes dst

1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

dst

dst

dst

dst

D. Rencana Distribusi Calon Induk dan Induk, Tahun 20...


No Jenis Mas Ukuran 1.calon induk 2.induk Jumlah (1000 ekor) Distribusi Maksud Daerah Penggunaan Tujuan Keterangan Diisesuaikan dengan keperluan BBI Lokal dan UPR

Tawes dst

1.calon induk 2.induk

dst

dst

dst

dst

I. PENDAHULUAN
Benih ikan merupakan salah satu faktor penentu dalam usaha peningkatan produksi budidaya perikanan. Tersedianya benih ikan yang terjamin pengadaannya baik species, tempat, jumlah, mutu, ukuran, waktu dan harga yang tepat akan sangat mempengaruhi suksesnya usaha budidaya tersebut. Dari total produksi benih secara nasional, 97% dihasilkan oleh Usaha Pembenihan Rakyat (UPR) dan hanya 3% berasal dari produksi Balai Benih Ikan (BBI) milik pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa usaha pembenihan merupakan usaha komersial yang cuckup menarik minat masyarakat. Karena itu didalam upaya meningkatkan produksi benih nasional, kebijaksanaan Pemerintah terutama diarahkan pada pembinaan dan pengembangan usaha pembenihan rakyat. Semakin berkembangnya teknologi budidaya dikolam air deras, keramba dan sebagainya, serta perluasan areal budidaya membawa konsekuensi meningkatnya kebutuhan benih ikan yang bermutu tinggi. Dilain pihak, benih yang dihasilkan rakyat mutunya semakin menurun sebagai akibat langkanya induk-induk ikan yang unggul. BBI adalah sarana pemerintah untuk menghasilkan induk dan benih ikan yang bermutu baik dalam jumlah yang memadai dan juga merupakan sarana untuk pengujian lapangan terhadap teknologi yang dihasilkan oleh Balai Budidaya Air Tawar. Karena itu BBI mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut : 5. Penghasil induk unggul dalam rangka menunjang Usaha Perbenihan Rakyat (UPR) dan pengendalian mutu benih; 6. Penghasil benih untuk keperluan penebaran diperairan umum dan bila perlu untuk mengisi kekurangan benih yang dihasilkan oleh rakyat; 7. Tempat melaksanakan adaptasi teknik pembenihan yang lebih baik; 8. Lembaga Sertifikasi Sistem Mutu dan Lembaga Sertifikasi Produk. Selain tugas dan fungsi tersebut diatas, BBI diharapkan dapat pula sebagai perintis pembangunan budidaya ikan air tawar didaerah baru.

II. MAKSUD, TUJUAN DAN PENGERTIAN


Maksud dan tujuan disusunnya buku standar ini iakah untuk mewujudkan keseragaman BBI dalam struktur, ruang lingkup, status, dan pola operasionalnya, sehingga mampu melaksanakan tugas dan fungsi serta melaksanakan sertifikasi sistem mutu dan produk. Pada buku standar ini dilampirkan pula gambar contoh konstruksi, komposisi pakan ikan dan beberapa petunjuk pengelolaan BBI. Yang dimaksud dengan standar fisik adalah standar rancang bangun, konstruksi dan sarana yang harus dimiliki/ada di Balai Benih Ikan (BBI). Yang

dimaksud standar operasional adalah standar pengelolaan pemijahan, pendederan ikan mas dan nila.

III. RANCANG BANGUN DAN KONSTRUKSI


3.1. Kriteria Teknik. (1). Prasarana Tahap Pembangunan balai Benih Ikan : Studi Kelayakan meliputi : Species dan jumlah ikan yang ingin diproduksi; Teknologi yang ingin diaplikasikan dan dikembangkan; Lokasi BBI tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan budidaya ikan danpasar benih; Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan BBI dan hasilhasil dari BBI; Fasilitas hatchery yang akan dibangun untuk memproduksi benih sesuai dengan permintaan pasar; Perkiraan dana untuk konstruksi; Jumlah dan kualifikasi SDM yang dibutuhkan; Perkiraan dana operasional yang dibutuhkan per tahun Analisa ekonomi.

Detail Desain : Gambar detail setiap penampang bangunan; Gambar teknis bangunan BBI; Spesifikasi teknis dan bahan bangunan yang digunakan; Rencana Angaran Biaya (RAB); Jadual pelaksanaan pembangunan fisik/konstruksi

Pelaksanaan Konstruksi : Prasarana pokok pembenihan perioritas pertama, baru prasarana lainnya; Pengawasan (konsultan pengawas + tim teknis) Semua fasilitas dipastikan berfungsi baik

Konsepsi Pengembangan Prasarana Budidaya : Konsep-konsep yang harus diperhatikan dalam pengembangan dan pembangunan prasarana budidaya terutama kegiatan pembenihan antara lain: Aspek operasional

Aspek fungsi Aspek konstruksi Aspek pemeliharaan. Dalam pengembangan dan perencanaan Prasarana perlu diperhatikan: Tujuan Tingkat pengembangan yang dilakukan Potensi Kendala (constrain) Prakondisi Sehingga prasarana yang dibangun tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal. Faktor-Faktor Yang Harus dipertimbangkan Pembangunan Prasarana Budidaya. C. Faktor Teknis Yang dimaksud dengan faktor teknis adalah faktor-faktor yang berkaitan dengan kegiatan budidaya antara lain: Ketersediaan lahan; Potensi lahan; Kesesuaian komoditas perikanan yang akan dikembangkan; Skala usaha yang akan dikembangkan (skala rumah tangga, skala sedang, skala lengkap) D. Faktor Non Teknis Yang dimaksud dengan faktor non teknis adlah faktor-faktor diluar teknis perikanan budidaya yang berpengaruh terhadap optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya : Aspek sosial; Aspek ekonomi; Aspek manfaat; Ketersediaan dana. Prioritas Pembangunan Prasarana Budidaya Untuk mendukung optimalisasi fungsi pembangunan prasarana budidaya maka dalam pembangunan prasarana budidaya harus dibuat skala prioritas pembangunan prasarana budidaya berdasarkan kebutuhan dan dana yang tersedia. Untuk menentukan skala prioritas maka prasarana budidaya dapat dikelompokan menjadi 4 (empat) komponen bangunan yaitu : i. Bangunan pokok; ii. Bangunan pendukung; iii. Bangunan penunjang; iv. Bangunan pengaman; Dalam Perencanaan

v. Bangunan pelengkap. 1. Prasarana pokok adalah bangunan yang harus ada karena terkait langsung dalam proses produksi benih. Misalnya : kolam/bak induk, kolam/bak pemijahan, dll. Prasana pendukung adalah bangunan yang keberadaannya mempermudah, mempercepat, dan memperkecil biaya proses pembenihan. Misalnya : kantor, jaringan jalan dan tempat parkir, laboratorium, dll. 2. Prasarana penunjang adalah : bangunan yang keberadaannya bersifat melengkapi dan tidak mempengaruhi proses perbenihan. Misalnya : Gedung pertemuan, fasilitas olahraga, dll. Prasana Pengaman adalah : bangunan yang diperlukan untuk pengamanan fasilitas perbenihan. Misalnya : pagar keliling/lingkungan , pos jaga, dll. Prasana Pelengkap adalah : bangunan yang fungsinya melengkapi bangunan pendukung, bangunan penunjang dan bangunan pengaman sehingga bangunan perbenihan dimaksud beroperasi lebih optimal dan lebih berdaya guna. Misalnya : rumah pompa, rumah genset, garasi kendaraan, dll. Sehingga kedudukan prasarana dalam kegiatan budidaya perikanan yaitu : a. Merupakan unsur penunjang pokok yang sangat penting untuk mendukung kegiatan budidaya perikanan; b. Direncanakan terakhir dari seluruh kegiatan budidaya; c. Dilaksanakan pertama kali dari keseluruhan kegiatan usaha budidaya. (2). Ketinggian Tempat dan Kemiringan Lahan. Ketinggian tempat sedapat mungkin tidak lebih dari 700 m diatas permukaan laut, sedangkan kemiringan tanah yang ideal berkisar antara 1 5% (3). Tanah. Tanah yang baik untuk BBI adalah tanah dengan struktur yang kuat, dapat menahan air (tidak poreus), subur dan tidak berbatu-batu, teksturnya terdiri dari tanah liat dan liat berpasir (4). Sifat Fisika dan Kimia Air; Sifat fisika yang harus diperhatikan adalah : Suhu air optimal berkisar antara 250 300C; Kekeruhan air 25 100 JTU; Muatan suspensi 25 400 ppm; Kecerahan lebih besar dari 10% penetrasi cahaya sampai dasar perairan.

Sifat kimia air yang harus diperhatikan adalah : PH air berkisar antara 4 9, optimum 6,7 8,0; Kadmium (Cd) maksimum 0,01 ppm; Timbal (Pb) maksimum 0,02 ppm; Sulfida (S) maksimum 0,002 ppm; Ammoniak bebas (NH3) maksimum 0,01 ppm; Nitrit (NO2) maksimum 0,2 ppm; Phosphat maksimum 0,01 ppm; Alkalinitas produktif 50 500 ppm; Oksigen terlarut (DO) diisyaratkan > 3 ppm (5). Sistem Pengairan Untuk menjamin suplai air pada BBI secara kontinyu dengan kualitas air yang memenuhi persyaratan, maka diperlukan langkah-langkah lebih lanjut sebagai berikut : d. Sebaiknya air berasal dari sumber mata air, sumur artesis atau sumur bor yang sepenuhnya dikuasai BBI. Debit air mineral 20 liter/ha/detik untuk kolam induk, pembenihan, pembesaran dan terpadu, sedangkan untuk kolam air deras sebesar 250 liter/detik/100 m2. Untuk meningkatkan kualitas air (temperatur dan oksigen terlarut) mengurangi adanya gas terlarut, dan mengurangi pengendapan lumpur, maka perlu dibuat filter biologis dengan menggunakan tanaman air (Hidrilla sp). e. Terhadap BBI yang memperoleh suplai air dari sungai dan irigasi perlu perlakuan melalui sistem pengendapan dan filterisasi mekanik maupun biologis, utamanya untuk kolam-kolam pembenihan dan pendederan. Untuk itu perlu dilengkapi dengan bak pengendapan air dan bak-bak filter yang dapat berfungsi secara baik dengan luas minimal 10% dari luas kolam pendederan P1. f. Untuk menjamin kontinuitas suplai air yang berasal dari irigasi khususnya pada saat perbaikan saluran, maka Dinas Perikanan Daerah seyogyanya mengadakan pendekatan dengan pihak pengairan untuk mencari jalan pemecahannya. Dalam hubungan ini disarankan agar Dinas Perikanan Daerah menjadi anggota Panitia Irigasi Daerah. (6). Luas BBI Luas keseluruhan BBI Sentral minimal 5 Ha, sedangkan luas keseluruhan BBI Lokal minimal 2 Ha. 3.2. Perkolaman (1). Standar Perkolaman Jumlah kolam dan luas masing-masing kolam dalam BBI dperhitungkan seperti pada table 1 dan contoh tata letaknya dapat dilihat dalam lampiran 1 dan lampiran 2. Tabel 1. Jumlah dan luas minimal masing-masing kolam di BBI :

No
1 2 3

Macam Kolam
Kolam induk betina Kolam induk betina Kolam Pemijahan Kolam Pendederan I Kolam Pendederan II Kolam Pendederan III Kolam Pendederan IV Kolam Pembesaran Kolam calon induk Kolam makanan alami Jumlah

BBI Lokal Luas Jumlah Total (m2)


6 6 4 5 5 5 5 2 6 40 100 100 20 250 500 1000 1500 100 500 600 600 80 1250 2500 5000 7500 200 3000 20730

BBI Sentral Luas Jumlah (m2)


8 8 6 6 6 6 6 4 6 2 58 100 100 20 250 500 1000 1500 100 1000 500 -

Total
800 800 120 1500 3000 6000 9000 400 6000 1000 28620

4 5 6

(2). Konstruksi Kolam Kelandaian saluran yang baik adalah 0,5% dan pada pinggiran pematang dibuat peluncuran atau terjunan. Pada lampiran 18 dapat dilihat konstruksi saluran dan peluncuran. Saluran pembuangan haraus dihubungkan dengan jaringan drainase (selokan atau sungai) diluar komplek BBI harus dapat menyalurkan air buangan dengan lancar. Dasar saluran pembuangan minimal harus lebih rendah 25 cm dari dasar kolam dengan lebar 0,5 m. Setiap kolam harus dapat bebas memperoleh air langsung dari saluran pemasukan dan bebas pula melepaskan air kesaluran pembuangan. (3). Petunjuk Tata Air Sistem pengaturan air dengan bangunan-bangunan digambarkan dengan ikhtisar air pada lampiran 19. pengontrol air

IV. SARANA BBI Sarana BBI yang disediakan dalam pedoman BBI ini diperhitungkan pada kebutuhan minimal operasional BBI dan merupakan paket pembenihan ian mas dan nila di BBI. Jumlah paket yang disediakan untuk operasional BBI dapat diminta sesuai dengan rencana kerja dan operasional tahunan BBI. Dengan demikian tiap BBI akan mempunyai dana operasional yang berbeda. 4.1. Bahan-bahan (1). Induk Ikan Induk ikan yang dimaksud dalam pedoman BBI adalah induk ikan mas dan nila dengan kriteria ikan mas dengan deskripsi yang jelas. Ditinjau dari mutu induk ikan tersebut mempunyai criteria sebagai berikut :

Karakter morfometrik dan genetic sesuai dengan varietasnya, meliputi : bentuk tubuh, warna, bentuk sisik, cepat pertumbuhannya, respon terhadap pakan buatan dan relatif tahan terhadap penyakit. Deskripsi varietas jelas. Fekunditas ikan mas antara 80.000 120.000 butir/kg berat induk, dan untuk ikan nila rata-rata 900 butir per 300 gram berat induk. Tidak cacat. Sehat, tidak berpenyakit. Gerakan normal. Ratio panjang berat sesuai dengan deskripsi varitasnya. Jumlah induk yang dimiliki BBI didasarkan pada jumlah minimal induk yang akan digunakan. Tabel dibawah ini menunjukkan jumlah induk minimal yang harus dimiliki oleh BBI : Tabel 2. Jumlah minimal induk yang diperlukan BBI : Induk Ikan (ekor) Jenis Ikan Jantan Betina Ikan mas 100 100 Ikan nila 100 300 Keterangan : Berat rata-rata induk ikan mas betina Berat rata-rata induk ikan mas jantan Berat rata-rata induk ikan nila betina Barat rata-rata induk ikan nila jantan (2). Bahan baku makanan ikan (pellet). Pengadaan pakan dapat dilakukan dengan membeli pakan komersial didaerah daerah dimana terdapat penyalur pakan. Pakan ikan (pellet) yang dimaksud adalah pakan dengan kandungan protein minimal 26% dan atau pakan induk dengan kandungan protein 30 40%. Selain hal tersebut pakan dapat juga disediakan dengan membuat formulasi tersendiri dengan bahan seperti tersebut dibawah ini : g. Sumber protein, misalnya tepung ikan, cincangan bekicot, ampas tahu dan tepung banawa. h. Sumber karbohidrat dan lemak, misalnya bekatul, dedak, singkong, bungkil kacang dan kedelai. i. Sumber mineral misalnya: tepung tulang, darah dan cangkang kerangkerangan. j. Sumber serat, misalnya daun singkong, daun gamal dan daun petai cina. k. Sumber perekat, misalnya tepung kanji. l. Vitamin dan mineral. 3 Kg 1,5 kg = 0,3 0,4 kg = 0,4 0,5 kg

Keterangan 1:1 1:3

Contoh formulasi pakan seperti tertera dalam lampiran 3. Bahan makanan (pellet) yang dibutuhkan berdasarkan ransum 3 5% berat ikan tiap hari adalah dirinci sebagai berikut : Pakan induk ikan mas = 600 kg Pakan induk ikan nila = 600 kg Pakan benih = 900 kg Total kebutuhan pakan adalah 2.100 kg per tahun. (3). Pupuk Pupuk organic diperlukan untuk memperbaiki kesuburan dan struktur dasar kolam, berupa pupuk kotoran ayam, Pemberian pupuk anorganik tidak dianjurkan karena sering menyebabkan blooming algae. Kebutuhan pupuk organic di BBI adalah sebesar 250 500 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (4) Kapur Kapur tohor (CaO dipakai sebesar 50 100 gr/m2 (tergantung kesuburan lahan) untuk kolam pendederan ikan mas/nila. (5) Insektisida Insektisida sebanyak 2 liter per siklus. (6) Bahan Pereaksi Kimia/Tahun i. Bahan pereaksi kimia dan obat-obatan + 1 kg KmnO4; j. Aceton/alcohol sebanyak 2 liter; k. Hormon buatan (Ovaprim) sebanyak 15 ampul, methylestosteron 10 gram; l. Aquades + 20 liter; m. Antibiotik (tetramycine, kemicitine) 100 gram n. Metylane Blue 10 gram; o. Hormon HCg 500 IV p. Natrum Chlorida 90,9 %) sebagai pengencer sperma 4.2. Peralatan (1) Peralatan pembenihan yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam table 5. Tabel 3. Peralatan pembenihan di BBIS dan BBI No Peralatan BBI Sentral Jumlah 1 Timbangan - kapasitas 1 kg 2 buah

dan

17

alpha

BBI Lokal Jumlah 1 buah

2 3 4 5 6 7

8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

- kapasitas 10 kg - Kapasitas 50 kg Mistar (Ukuran 50 cm) Fish bus (krembeng) Kreneng Aerator/Hyblower Kaca pembesar Alat hypophisa - jarum suntik - centifuge - centrifuge elektrik - mortar homogenezer - alat bedah - kain handuk - cawan porselin/email - pengaduk telur/bulu ayam - kelenjar hypophisa/hormon Gelas ukur (5,10,25 cc) Freezer Thermos es Happa (2x1x0,75 cm dan 2x4x0,75 cm) Kakaban Corong penetas ( 0,5 m; t 0,5 m) Pipet Slang plastik Counter Pisau bedah Gergaji/bor Aquarium (60 cm x 40 cm x 45 cm) Kateter Serok halus Serok kasar

2 buah 2 buah 4 buah 2 buah 2 buah 4 buah 2 buah 4 buah 2 buah 1 buah 4 buah 4 buah 2 buah 4 buah Secukupnya Secukupnya 4 set 1 buah 2 buah 20 set 20 buah 50 buah 8 buah Secukupnya 2 buah 2 buah 2 buah 2 buah Minimal 40 buah 10 buah 5 buah 5 buah

1 buah 1 buah 2 buah 2 buah 2 buah 2 buah 1 buah 2 buah 2 buah 2 buah 2 set 2 buah 2 buah Secukupnya Secukupnya 2 set 1 buah 2 buah 10 set 10 buah 25buah 4 buah Secukupnya 2 buah 2 set 1 buah 1 buah Minimal 40 buah 10 buah 5 buah 5 buah

(2) Peralatan perkolaman Peralatan perkolaman yang digunakan untuk kegiatan BBI diuraikan seperti dalam lampiran 6. Tabel 4. Peralatan perkolaman di BBIS dan BBIL No 1 2 3 Peralatan Cangkul Sekop Garpu BBI Sentral Jumlah 6 buah 6 buah 6 buah BBI Lokal Jumlah 5 buah 3 buah 3 buah

4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Bakul dan pikulan Parang/Grobak Ember Traktor kecil/penggaruk Waring Geser Cawan email Sabit Pakaian lapangan Hapa pemijahan Happa pematang gonad Baskom

4 set 6 buah 6 buah 1 buah 8 buah 6 buah 2 buah 3 buah 20 set 2 set 2 set 10 buah

2 set 3 buah 3 buah 1 buah 6 buah 4 buah 1 buah 1 buah 10 set 1 set 1 set 10 buah

(3). Peralatan distribusi benih/induk Peralatan distribusi benih/induk yang digunakan dalam kegiatan BBI diuraikan seperti dalam tabel 7. Tabel 5. Peralatan distribusi benih/induk : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Peralatan Tabung oksigen (kap. 1 dan 2 m3) Kantong plastik Tali plastik dan karet Kotak karton/stroform Ember plastik tertutup Fish bus (kreneng) Aerator Kendaraan roda 4 (pick-up 0,75 ton) Buffer, es batu, dry ice BBI Sentral Jumlah 2 buah Secukupnya Secukupnya Secukupnya 15 buah 15 buah 2 buah secukupnya BBI Lokal Jumlah 2 buah Secukupnya Secukupnya Secukupnya 10 buah 10 buah 1 buah secukupnya

(4). Peralatan lainnya Selain peralatan untuk kegiatan pembenihan, perkolaman dandistribusi benih/induk, diperlukan peralatan lain yang diuraikan dalam tabel 8. Tabel 6. Peralatan lainnya :

No Peralatan
1 2 3

BBI Sentral Jumlah

BBI Lokal Jumlah 1 buah 2 buah 1 buah 1 buah 2 buah

Pompa air diesel 10 PK 2 buah Hi-blow 3 buah Alat-alat pembuatan makanan ikan/pellet 2 buah : - Kompor 2 buah - Tapisan/saringan 2 buah

4 5 6 7 8

9 10

11 12 13

- Ember - Nyiru - Timbangan 1kg, 50 kg - Mesin penggiling basah/berminyak - Mesin penyaring - Mesin pengaduk - Mesin pencetak pellet - Mesin peremah Generator 10 KVA atau PLN 5.000 Watt Generator 20 KVA atau PLN 10.000 Watt Mesin potong rumput Sepatu lapangan dan senter Alat transport - Mobil pick up - Sepeda motor Alat audiovisual Buku Petunjuk Pelaksanaan - Jenis ikan dan gambarnya - Teknik pembenihan ikan - Perawatan benih/induk - Pengangkutan dan distribusi -Teknik perkolaman - Pemupukan - Pemberantasan hama - Penyedian makanan hidup dan makanan buatan Meja tulis, lemari, kursi, kardek, peta dsb Mesin tik manual Komputer

4 buah 4 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 8 setel 1 buah 3 buah 1 unit secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya secukupnya 1 buah 2 buah

2 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 4 buah 1 buah 2 buah 2 unit Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya Secukupnya

1 buah 1 buah

4.3. Bangunan gedung Tabel 7. Bangunan gedung di BBIS dan BBIL


BBI LOkal Macam Bangunan Jumlah Luas (m2) Satuan Jumlah BBI Sentral Jumlah Luas (m2) Satuan Jumlah

- Kantor - Garasi - Gudang - Rumah generator - Rumah mesin pellet dan gudang makanan - Rumah pimpinan - Rumah staf - Rumah pekerja tetap (Kopel) - Rumah jaga - Asrama

1 1 1 1 1 1 3 6 1 1

50 20 15 9 30 45 36 36 36 100

50 20 15 9 30 45 103 216 36 100

1 1 1 1 1 1 4 6 2 1

75 40 30 9 50 70 45 36 36 200

75 40 30 9 50 70 180 216 170 200

- Aula Jumlah

1 18

100 477

100 724

1 20

100 691

100 1140

V. OPERASIONAL
5.1. Pengelolaan Induk 5.1.1. Ikan Mas Induk ikan betina dan pejantannya dipelihara dalam wadah secara terpisah. Induk-induk tersebut dipeliharadalam kolam air mengalir dengan debit air 1,5 liter air per 1.000 m2 luas kolam induk. Selama pemeliharaan induk diberi pakan pellet dengan kandungan protein 26 30% dengan dosis 3 5% dari berat badan per hari yang diberikan 3 kali sehari. Kepadatan induk ikan dalam kolam adalah 1 kg/m2 luas kolam. Kondisi kimia fisika ideal untuk pemeliharaan induk adalah sebagai berikut :

Suhu air PH DO Ammoniak

: 25 320C : 6,5 8 : > 5ppm : < 1 ppm

5.1.2. Ikan Nila Kolam seluas 200 m2 dengan sistem air mengalir diperlukan untuk menyimpan induk ikan. Penyimpanan induk dilakukan dalam hapa berukuran 2 x 3 x 1,25 m3 yang ditempatkan dalam kolam seluas 200 m2 tersebut. Setiap hapa dapat menampung 30 ekor induk ikan betina atau 15 ekor ikan jantan. Dengan jumlah induk sebanyak 90 ekor betina dan 30 ekor jantan, diperlukan 5 buah hapa berukuran seperti tersebut diatas. Tiap hapa diberi tanda, misalnya hapa 1 untuk induk betina kelompok I, hapa 2 untuk induk betina kelompok II, hapa 3 untuk pejantan dan seterusnya. Penempatan hapa-hapa diupayakan sedemikian rupa sehingga induk ikan memperoleh air segar yang mengandung O2 jenuh. Selama pemeliharaan kolam diairi 24 jam terus-menerus, induk ikan diberi makan dengan pellet komersial 3%

dari berat biomas per hari, diberikan 3 kali dala sehari. Dengan cara ini induk betina akan matang telur setiap 1 bulan sekali. 5.2. Pemijahan 5.2.1. Pemijahan Ikan Mas c. Wadah Pemijahan Induk ikan dipijahkan dalam wadah berupa bak tembok, atau hapa pemijahan berukuran 4x2x1 m3 atau tergantung fasilitas kolam pemijahan yang ada di BBI. Dalam kondisi normal, kepadatan induk dalam hapa/kolam pemijahan adalah 2 kg/m2. Dalam hapa seukuran tersebut dipijahkan 4 ekor induk ikan betina dengan berat rata-rata 2 kg per ekor. Kakaban dibuat dari ijuk berukuran panjang 100 cm dengan lebar 20 cm yang diletakkan dalam wadah pemijahan, sehingga jumlah kakaban setiap pemijahan adalah 30 buah. d. Proses pemijahan Wadah pemijahan harus dijemur/dikeringkan terlebih dahulu. Pada wadah pemijahan berupa kolam tanah, pengeringan dilakukan hingga dasar kolam retakretak. Hapa kemudian dipasang tegak sehingga mampu menampung induk ikan yang akan dipijahkan. Setelah itu wadah pemijahan diairi hingga kedalaman air didalam hapa 80 100 cm. Sebelum induk dimasukan kedalam wadah pemijahan, kakabandipasang dalam wadah pemijahan. Pemasangan kakaban diusahakan sedemikian rupa sehingga kakaban tenggelam 5 cm dibawah permukaan air. Menjelang sore hari induk betina dan jantan yang telah matang telur dimasukan bersamaan kedalam wadah pemijahan. Padat tebar induk betina adalah 2 kg per m2 dalam wadah pemijahan, sehingga untuk wadah dengan luas 8 m2 diperlukan 4 ekor induk betina. Dengan perbandingan berat yang sama dengan induk betina, maka ikan jantan yang diperlukan adalah seberat 8 kg, dengan jumlah 8 ekor atau berat rata-rata per ekornya adlah 1 kg. Selama pemijahan berlangsung air dibiarkan mengalir masuk kedalam kolam dengan debit 2 liter/detik/200 m2 luas wadah pemijahan. Induk ikan yang telah memijah ditangkap untuk dikembalikan kekolam induk (kolam pematangan gonad). c. Teknik Pemanenan Larva Telur menetas dalam waktu 48 72 jam, tergantung dari suhu air media. Sekitar 7 hari dalam bak penetasan telur, larva dipanen untuk didederkan lebih lanjut. Setelah telur pada kakaban menetas, kakaban diangkat dan larva dibiarkan pada bak/hapa pemijahan sampai kuning telurnya habis. Setelah 7 hari dalam hapa/bak pemijahan, larva dipanen dan didederkan lebih lanjut. Dengan asumsi bahwa setiap induk ikan menghasilkan 100.000 butir telur, maka telur yang dihasilkan dari 8 kg induk adalah 800.000 butir telur. Selanjutnya diasumsikan pula

bahwa tingkat penetasan telur adalah 50% sehingga telur yang menetas menjadi larva adalah 400.000 larva. 5.2.2. Pendederan Ikan Mas c. Wadah pendederan Sebelum larva ditebar, kolam pendederan seluas 1.000 m2 ( 2 kolam) harus dipersiapkan terlebih dahulu antara lain : kolam dikeringkan, pematang yang bocor diperbaiki, diberi kapur sebanyak 50 gram/m2 luas kolam dan untuk menumbuhkan pakan alami kolam perlu dipupuk dengan kotoran ayam dosis 250 gram per m2 luas kolam. Penebaran larva dilakukan setelah 2 3 hari sejak pengisian air. Benih lepas hapa ditebar dengan padat penebaran 400 ekor/m2. Selama pemeliharaan air dialirkan dengan kolam pendederan I dialiri air dengan debet 1,5 ltr/detik/1.000 m2. Pakan tambahan berbentuk tepung atau remahan pellet dengan kandungan protein 30% dan diberikan 10% dari total berat benih dengan frekuensi 3 kali sehari. Untuk menumbuhkan infusoria dan pakan phytoplankton lainnya, penyemprotan dengan insektisida jenis organophosphat dengan dosis 4 ppm dianjurkan. Dengan lama pemeliharaan 21 hari, benih ikan dipanen untuk pendederan di P2 (pendederan kedua). Tingkat kelulushidupan larva menjadi benih ditingkat P1 adalah 60%. Dengan demikian dari jumlah larva lepas hapa yang ditebar sebanyak 400.000 ekor akan dihasilkan benih sebanyak 240.000 ekor. d. Pola produksi Jumlah induk yang diperlukan untuk memproduksi benih minimal 32 kg induk betina. Tiap pemijahan diperlukan 8 kg induk. Jadi terdapat 4 kelompok induk, dimana tiap kelompok berjumlah 8 kg. Pola produksi benih ikan sampai pendederan 1 (P1) seperti terlihat dalam tabel berikut:

Bln M 1 KLP I Pi

I 2 LI 3 II BI 4 LII BI 1 III BII

II III 2 3 4 1 2 3 LIII IV LIV I LI II BII BIII BIII BIV BIV BI

4 LII BI

IV 1 2 3 4 III LIII IV LIV BII BII BIII BIII

Keterangan : Bln : Bulan M : Minggu KLP : Kelompok Induk

L B P1

: Larva Kelompok Induk : Benih Kelompok Induk : Pendederan 1

Pada gambar terlihat pemijahan pertama dilakukan pada minggu pertama dengan kelompok induk I (KLP I), penetasan telurnya pada minggu II (M2) dan perawatan larva/pendederan I dilakukan pada minggu III dan IV (M# dan M4), sehingga panen dilakukan pada M4 dan I. Sementara itu pada bulan I, minggu III (M3), kelompok induk II sudah dipijahkan lagi sehingga induk dari kelompok II akan

dipanen pada minggu ke II bulan II. Untuk induk kelompok III benih dipanen pada M4 bulan I dan untuk induk kelompok IV benihnya dipanen pada M2 bulan III. Dengan memperkirakan kelompok induk I sudah matang gonad kembali dalam jangka waktu 2 bulan maka pada M1 bulan III, kelompok induk I sudah dipijahkan. Demikian seterusnya berlaku untuk kelompok induk II, III dan IV, sehingga dalam 1 tahun dapat diproduksi 23 siklus pemeijahan atau sekurangkurangnya20 siklus pemijahan dan pemeliharaan larva.

5.2.3. Pemijahan Ikan Nila f. Wadah Pemijahan Pemijahan dilakukan dalam kolam tanah seluas 400 m2 yang mempunyai sistem pemasukan dan pengeluaran air sistem monik. Ditengah kolam dipasang hapa pemijahan ukuran 4 x 8 x 1 m3 .

g. Persiapan Pemijahan Sebelum digunakan kolam pemijahan dikeringkan terlebih dahulu dengan tujuan selain membunuh bibit penyakit juga untuk memberikan rangsangan pada ikan untuk memijah. Setelah dasar kolam cukup kering ditandai dengan permukaannya yang retak-retak, air dialirkan kedalam kolam perlahan-lahan sampai ketinggian lebih kurang 80 cm, selanjutnya induk ikan betina (kelompok induk I) dan pejantan (kelompok pejantan I) dimasukan kedalam hapa pemijahan dengan jumlah masing-masing 30 ekor induk betina dan 15 ekor induk jantan. h. Proses Pemijahan Selang beberapa hari setelah induk betina dan jantannya dimasukan, sebagian ikan akan memijah. Diperkirakan sebanyak 60% induk betina atau 20 ekor akan memijah dalam hapa pemijahan. i. Pemanenan Benih 12 hari setelah induk-induk ikan dimasukan kedalam kolam pemijahan, benih ikan/larva ikan dapat dipanen dengan cara mengangkat hapa pemijahan sehingga induk dan benih ikan akan tertangkap. Produksi benih dari pemijahan ini diperkirakan 26.000 ekor larva persiklus (12 hari). j. Proses Pejantanan Benih Ikan

Siapkan 5 liter air bersih yang dimasukan kedalam ember beraerasi. Masukan benih ikan yang baru ditangkap tersebut, lalu masukan serbuk hormone 17 alpha methyl testoeteron sebanyak 5 miligram kedalam 5 liter air di ember. Biarkan selama 6 10 jam agar proses sex reversal berlangsung. Dengan cara ini diharapkan benih ikan nila menjadi jantan semua. 5.2.4. Pendederan Ikan Nila c. Wadah Wadah pendederan ikan niladapat dilakukan dikolam. Luas kolam pendederan sekurang-kurangnya 500 m2, dengan rata-rata padat tebar benih 30 ekor per m2. Kolam tidak porus, dilengkapi dengan pintu pemasukan air dan pintu pengeluaran air berhadapan, artinya tidak dipasang pada satu garis pematang yang sama. Kolam mini harus mampu menampung air hingga kedalaman 60 cm, sehingga tinggi kolam yang dibuat/rehab sekitar 80 cm. d. Kegiatan Pendederan Kegiatan pendederan ikan nila dilakukan dikolam dengan tahapan kegiatan sebagai berikut : Persiapan kolam : Kolam dikeringkan hingga dasar kolam retak-retak, pematang diperbaiki, lumpur dasar kolam dikeduk teplok dan diangkat ke pematang. Kemalir/saluran air diagonal diperbaiki. Kolamselanjutnya diberi kapur sebanyak 50 gr/m2 dan diberi pupuk kotoran ayam (organik) sebanyak 250 gr/m2. Setelah kolam dikapur dengan kapur tohor dan dipupuk, air dimasukan perlahan-lahan setinggi 20 cm kemudian kolam dibiarkan 2 hari tergenang untuk memberi kesempatan pakan alami tumbuh. Setelah atu air dinaikan lagi hingga air didalam kolam mencapai ketinggian 60 cm. Pengisia air dilakukan secara hatihati agar sampah tidak masuk kedalam kolam, sehubungan dengan hal itu pada saluran pemasukan harus dipasang saringan kasa. Penebaran benih : Benih berumur 30 hari ditebarkan dengan kepadatan 30 ekor per m2. Untuk mencegah kematian benih massal, penebaran dilakukan pada udara sejuk yaitu pada pagi atau sore hari. Benih ditebar dengan mengadaptasikannya terlebih dulu. Caranya adalah memasukan air kolam sedikit demi sedikit sehingga tercapai keseimbangan suhu air antara air dalam wadah transportasi dengan air kolam. Jika air diperkirakan telah mempunyai suhu yang sama maka benih ikan dapat ditebar kedalam kolam. Pemeliharaan benih : Setiap hari benih ikan diberi pakan tambahan berupa pakan buatan berbentuk tepung, dengan kandungan protein lebih kurang 30%. Jumlah pemberian pakan sebanyak 10% perharinya yang diberikan 3 kali sehari. Pengawasan terhadap

air dan lingkungan perkolaman senantiasa diperhatikan setiap harinya. Air harus dijaga agar tetap mengalir dan pematang yang bocor diperbaiki. Pemanenan Benih : Setelah berumur satu bulan pemeliharaan, benih sudah dapat dipanen. Adapun cara pemanenannya adalah kolam disurutkan airnya secara perlahan-lahan, tetapi air tetap dibiarkan mengalir perlahan-lahan agar ikan mudah ditangkap sebab ikan akan menyongsong air baru. Penangkapan ikan dilakukan pada pagi hari dengan menggunakan waring dan seser. Benih ikan yang sudah ditangkap ditampung dalam wadah/hapa penampung benih yang ditempatan pada kolam ikan yang berair bersih dan mengalir. Seleksi benih dilakukan berdasarkan ukuran benih tertentu. Benih yang diperoleh dari hasil pendederan biasanya berukuran 3 5 cm dengan derajat kelangsungan hidup lebih kurang 90%, akan dihasilkan benih ikan untuk setiap 500 m2 luas kolam sebanyak 13.500 ekor.

5.2.5. Contoh Komposisi Makanan c. Remah untuk benih ikan Mas : dedak halus 35% tepung ikan 25% tepung kedelai 27% tepung daun 10% vitamin dan mineral 3% d. Pellet untuk ikan Mas ukuran konsumsi dan induk : dedak halus 30% tepung ikan 23% tepung kedelai 5% tepung tulang 5% silase ikan 10% tepung daun 10% bungkil kelapa 5% vitamin dan mineral 3% c. Makanan untuk ikan Tawes : tepung daun (petai cina) tepung ikan tepung kedelai tepung jagung bungkil kelapa silase ikan dedak halus vitamin dan mineral

30% 15% 10% 5% 5% 10% 23% 2%

5.2.6. Contoh Rencana Kerja BBI A. Alternatif tanrget produksi benih (ribuan ekor) tahun 20....

Jenis

Tahun 20.... 1-3 cm >3-5 cm

>5-8 cm

Triwulan I 1-3 cm >3-5 cm

>5-8 cm

Triwulan II dst

Keterangan Disesuaikan Dengan keButuhan Nyata di daerah

B. Target produksi induk (ekor/kg) tahun 20... (khusus BBI Sentral)


Jenis Tahun 20... Betina Jantan
ekor kg ekor kg

Jumlah
ekor kg

Triwulan I Betina
ekor kg

Jantan
ekor kg

Jumlah
ekor kg

Triwulan II dst

Keterangan Disesuaikan dengan keperluan semua BBI lokal dan UPR

C. Rencana Distribusi Benih, Tahun 20...


No Jenis Mas Ukuran 1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm Jumlah (1000 ekor) Distribusi Maksud Daerah Penggunaan Tujuan Keterangan Diisesuaikan dengan keperluan perairan umum, bantuan proyek gizi, bantuan daerah transmigrasi, dsb

Tawes dst

1-3 cm >3-5 cm >5-8 cm

dst

dst

dst

dst

D. Rencana Distribusi Calon Induk dan Induk, Tahun 20...


No Jenis Ukuran Jumlah (1000 ekor) Distribusi Keterangan

Maksud Daerah Penggunaan Tujuan

Mas

1.calon induk 2.induk

Diisesuaikan dengan keperluan BBI Lokal dan UPR

Tawes dst

1.calon induk 2.induk

dst

dst

dst

dst

E. Rencana Pembenihan Triwulan ke : .................................. Kg Jenis Bulan ekor kg Dan frequensi seterusnya

ekor

kg

Keterangan Diperkirakan Dapat meghasilkan benih sesuai target

F. Rencana Kerja Bulan ........./ 20.....


No 1 Kegiatan Produksi Benih o persiapan kolam o pemijahan o pembiakan induk o pemijahan o penetasan/perawatan induk o pendederan I o pendederan II o pendederan III o pendederan IV o pendederan V o pemungutan hasil Produksi Induk o pendederan benih o seleksi I o seleksi II Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 dst Keterangan Diberi kode sikluspembenihan dan nomor kolam

o seleksi III o seleksi IV o pemeliharaan calon induk terpilih Perkolaman o pengeringan/perawatan o pengolahan dasar kolam o pemupukan o pemberantasan hama/penyakit o babat rumput o pengisian air o dst

Tiap kolam diberi nomor dan dibuatkan catatan khusus Pekerjaan mengatur air, perbaikan cocoran kecil dsb adalah pekerjaan rutin (tanpa perencanaan khusus

Penyaluran Benih o persiapan o pengepakan o pengiriman o dst Pembuatan pellet o pengumpulan bahanbahan o penepungan o pembuatan pellet o penjemuran o dst Perawatan Mesin dan Kendaraan o servis genset o servis mesin pellet o servis kendaraan o KIR kendaraan o STNK o dst

G. Rencana Pembenihan Triwulan ke : .................................. Kg Jenis Bulan ekor kg Dan frequensi seterusnya

ekor

kg

Keterangan Diperkirakan Dapat meghasilkan benih sesuai target

H. Rencana Kerja Bulan ........./ 20.....


No 1 Kegiatan Produksi Benih o persiapan kolam o pemijahan o pembiakan induk o pemijahan o penetasan/perawatan induk o pendederan I o pendederan II o pendederan III o pendederan IV o pendederan V o pemungutan hasil Produksi Induk o pendederan benih o seleksi I o seleksi II o seleksi III o seleksi IV o pemeliharaan calon induk terpilih Perkolaman o pengeringan/perawatan o pengolahan dasar kolam o pemupukan o pemberantasan hama/penyakit o babat rumput o pengisian air o dst Tanggal 1 2 3 4 5 6 7 dst Keterangan Diberi kode sikluspembenihan dan nomor kolam

Tiap kolam diberi nomor dan dibuatkan catatan khusus Pekerjaan mengatur air, perbaikan cocoran kecil dsb adalah pekerjaan rutin (tanpa perencanaan khusus

Penyaluran Benih o persiapan o pengepakan o pengiriman o dst Pembuatan pellet o pengumpulan bahanbahan o penepungan o pembuatan pellet o penjemuran o dst Perawatan Mesin dan

Kendaraan o servis genset o servis mesin pellet o servis kendaraan o KIR kendaraan o STNK o dst

Lampiran 3 : Keputusan Dirjen Perikanan Budidaya Nomor : 1106/DPB.0/HK.150/XII/2006

STANDAR SARANA, FASILITAS FISIK DAN OPERASIONAL BALAI BUDIDAYA UDANG (BBU), BALAI BUDIDAYA UDANG GALAH (BBUG) DAN BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP)

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA DIREKTORAT PERBENIHAN J AKARTA 2006

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN ....................................................................... 1.1. Latar Belakang ............................................................ 1.2. Maksud dan Tujuan ........................................................... PEDOMAN KERJA ........................................................... 2.1. Perencanaan ........................................................... 2.2. Penetapan Kapasitas produksi ...................................... PERSYARATAN LOKASI ........................................................... 3.1. Kriteria Teknis 3.2. Kriteria Non Teknis IV. ............................................................ ............................................................ 1 1 2 2 4 4 9 9 9 12 12 13 14 16 16 23

II.

III.

FASILITAS BALAI BENIH IKAN PANTAI (BBIP) ......................... 4.1. 4.2. 4.3. Lahan dan Bangunan ........................................................ Peralatan dan Mesin ....................................................... Tata Letak .......................................................

V.

PEDOMAN TEKNIK PEMBENIHAN ............................................ 5.1. Pedoman Teknik Pembenihan Udang Windu ...................... 5.2. Pedoman Teknik Pembenihan Ikan Bandeng ......................

LAMPIRAN - LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan wilayah lahan perairan laut yang sangat luas mencakup lebih dari 70 % total wilayah. Wajar apabila harapan peningkatan kesejahteraan masyarakat ditumpukan pada kemampuan pemanfaatan sumber daya alam laut terutama sumber daya ikan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan melalui perikanan tangkap telah menunjukkan ambang batas jenuh, kecuali melalui sistem pengelolaan yang optimal. Di lain pihak kebutuhan ikan sebagai sumber protein dunia menunjukkan peningkatan dan pada tahun 2010 diperkirakan akan mencapai 105 - 110 juta ton yang tidak mungkin dapat dipenuhi hanya dari hasil perikanan tangkap. Kecenderungan menunjukkan bahwa perikanan budidaya dapat menjadi alternatif penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan dunia yang sekaligus juga mampu menciptakan lapangan kerja baru dan menghasilkan devisa yang nyata. Permintaan negara-negara maju terhadap healthy and luxury seafood seperti ikan kerapu, kakap, teripang, rumput laut dan juga mutiara (ornament product) yang terus meningkat merupakan prospek cerah dan sekaligus menjadi tantangan bagi pengembangan usaha budidaya laut di Indonesia. Potensi lahan perairan laut yang mencapai 1.706.000 hektar, masih cukup besar bagi pengembangan usaha budidaya laut .

Penguasaan teknologi budidaya laut di Indonesia baru dirintis sejak tahun 1990, dan hingga saat ini telah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat. Berbagai jenis komoditi yang berhasil dibudidayakan diantaranya adalah udang windu, udang vanamei, udang galah, ikan bandeng, kakap putih, beberapa jenis kerapu, kekerangan termasuk tiram mutiara, teripang, kuda laut serta rumput laut. Namun demikian diseminasi teknologi ini ke daerah-daerah potensial belum terlaksana dengan baik. Diseminasi teknologi budidaya akan terlaksana dengan baik bila daerah tersebut memiliki fasilitas perbenihan. Keberadaan fasilitas pembenihan selain dimaksudkan sebagai tempat penyedia benih, juga akan mendorong berkembangnya usaha perbenihan dan pada akhirnya akan meningkatkan produksi benih didaerah. Saat ini sebagai unit pembenihan milik pemerintah dibidang perbenihan budidaya air payau/laut adalah Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP). Pembangunan Balai Benih Ikan Pantai di daerah tidak hanya akan memberikan kontribusi pemasokan benih, tetapi juga akan menjadi pendorong berkembangnya kawasan baru usaha budidaya serta mampu menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah yang nyata.

Sebagai sarana pemerintah balai-balai benih tersebut melaksanakan kegiatan sebagai berikut : 1. Menjamin ketersediaan benih ikan budidaya pantai terutama benur baik benurudang windu, udang galah dan udang vanamei yang memadai dalam rangka intensifikasi dan diversifikasi usaha budidaya tambak sekaligus meningkatkan pendapatan petambak. Sebagai tempat melaksanakan adaptasi teknologi pembenihan budidaya pantai yang aktual. Penyaluran benih ikan air payau/laut yang merata diwilayah potensial budidaya air payau/laut

2. 3.

Belajar dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, bahwa usaha budidaya udang windu sedang mengalami kelesuhan yang mengakibatkan permintaan benih udang windu menurun dengan tajam, sehingga banyak unit-unit perbenihan baik pemerintah maupun swasta tidak mampu berproduksi lagi. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu diambil kebijaksanaan untuk mengembangkan jenis-jenis ikan laut yang memiliki nilai ekonomis penting dan diunggulkan. Maka tidak menutup kemungkinan bahwa BBU/BBUG tidak hanya digunakan bagi kegiatan pembenihan udang windu dan udang galah saja, tetapi dapat digunakan untuk pembenihan ikan budidaya pantai seperti bandeng, kakap, kerapu atau komoditas lainnya. Dengan demikian sudah selayaknya sarana dan prasarana BBU/BBUG dipersiapkan untuk dapat mendukung kebijaksanaan dan program perbenihan dimasa mendatang dengan memanfaatkan BBU/BBUG menjadi Balai Budidaya Ikan Pantai. Artinya Balai Benih Ikan Pantai sebagai unit pelaksana teknis pemerintahan daerah yang dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya tidak terbatas pada pengembangan benih komoditas udang windu dan udang galah, melainkan ikut menjamin ketersediaan benih ikan atau komoditas budidaya air payau/laut dan unggulan lainnya serta pendistribusiannya sampai kepada adaptasi teknologi perbenihannya ditingkat pembudidaya. 1.2. Maksud dan Tujuan Buku Pedoman Petunjuk Teknis Balai Benih Ikan (BBI), Balai Benih Ikan Sentral (BBIS), Balai Benih Udang (BBU), Balai Benih Udang Galah (BBUG) dan Balai Benih Ikan Pantai (BBIP) adalah dimaksudkan untuk menyeragamkan kelengkapan fasilitas fisik dan operasional dalam rangka mempersiapkan keberadaan BBU/BBUG sebagai Balai Benih Ikan Pantai, baik dalam struktur, lingkup organisasi maupunstatus dan pola operasionalnya. Sehingga BBIP mampu melaksanakan fungsi dan tugas pokok yang telah ditetapkan sesuai dengan Pedoman yang telah ditetapkan. Oleh karena itu BBU/BBUG dan BBIP yang

beroperasional sebagai Unit Pelaksana Teknis Daerah dibidang perbenihan perikanan pantai, maka dalamperkembangannya perlu dilengkapi dengan : a. Komponen Teknis Penerapan teknologi pembenihan udang windu, udang galah dan ikan/komoditas laut lainnya yang lebih maju sesuai dengan komoditas laut lainnya yang lebih maju sesuai dengan komoditas yang berkembang didaerah/wilayah kerjanya pada saat itu. Penekanan mortalitas terutama pada stadia larva. Sistem pemeliharaan larva pada stadia lebih lanjut dan mampu menampung hasil pemijahan pada frekuensi tinggi, serta dapat menghasilkan benur dan larva sesuai dengankebutuhan dalam jumlah dan ukuran yang diperlukan. Penyediaan telur, benih udang dan ikan budidaya pantai yang unggul, sehat serta bebas hama bagi kepentingan pembenihan skala rumah tangga/pembenihan rakyat. b. Sarana Operasional Penyebaran jenis udang dan ikan budidaya pantai komoditas spesifik yang berkembang diwilayah kerjanya. Peningkatan produktifitas dengan alih teknologi hasil rekayasa teknologi perbenihan dari UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya. Kelengkapan sarana sebagai lembaga sertifikasi mutu dan sertifikasi uji laboratorium. Keadaan lingkungan dan tingkat kemajuan budidaya pantai (budidaya di tambak dan budidaya laut) dimasing-masing daerah diseluruh Indionesia tidak selalu sama, sehingga tuntutan terhadap Balai Benih Ikan Pantai dimasing-masing daerah juga berbeda. Oleh karena itu penerapan standar unit perbenihan ikan tersebut diharapkan dapat disesuaikan tanpa merubah prinsip dan pedoman yang telah digariskan.

BAB II PEDOMAN KERJA


2.1. Perencanaan Rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai, disusun menurut kegiatan dan jadwal yang disesuaikan dengan rencana produksi, distribusi dan penyaluran benih ikan yang tepat waktu. Penjadwalan yang menyangkut kegiatan produksi benih, distribusi dan penyaluran benih serta bimbingan teknis pada hakekatnya merupakan rangkaian kegiatan yang dirinci kedalam uraian pelaksanaan tugas bagi setiap petugas yang harus dilaksanakan. Kegiatan produksi benih, distribusi dan penyaluran benih, bimbingan teknis harus diwujudkan dalam satu kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satusama lain yang tertuang dalam perencanaan. Dengan demikian, penjadwalan dan rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai harus berpedoman kepada rencana operasional. Penjadwalan dan rencana kerja Balai Benih Ikan Pantai dapat berbentuk daftar atau ikhtisar kegiatan yang diperuntukkan untuk jangka pendek (bulanan dan tahunan) atau jangka menengah (triwulan atau semester). Setiap jadwal dan rencana kerja merupakan rincian kegiatan penjabaran dari rencana kerja jangka waktu menengah, dan terbagi habis kedalam rincian kegiatan tahunan dan bulanan. Rincian kegiatan itu, dapat digolongkan seperti dibawah : a. Kegiatan Bulanan merupakan uraian pelaksanaan tugas bagi pejabat struktural dan fungsional yang terdapat dalam lingkup struktur organisasi Balai Benih Ikan Pantai seperti contoh pada lampiran. b. Kegiatan Tahunan merupakan kegiatan yang menyangkut rencana berupa target dan pencapaian perencanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam rencana operasionaltugas pokok dan fungsi Balai Benih Ikan Pantai seperti contoh pada lampiran. 2.2. Penetapan Kapasitas Produksi Benih Perencanaan kapasitas produksi benih diperlukan dalam pembangunan suatu unit perbenihan. Perumusan kapasitas produksi benih merupakan rancangan usaha dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan, baik dalam rangka pemenuhan permintaan benih yang menjadi beban tugas di masing-masing unit pembenihan di wilayah kerjanya maupun merupakan salah satu bentu tanggung jawab operasioan dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Balai Benih Ikan Pantai. Sehingga dengan menentukan kapasitas produksi benih, maka dapat ditentukan target produksi benih yang diinginkan sesuai dengan kemampuan fisik suatu unit balai benih. Berikut ini diuraikan masing-masing pedoman penetapan kapasitas produksi benih Udang Windu dan ikan bersirip (Bandeng, Kakap Putih dll).

2.2.1. Penetapan Kapasitas Produksi Benih Udang Windu Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan harus disesuaikan dengan pencapaian potensi/target produksi benih tertentu yang kemudian akan menentukan ukuran unit pembenihan. Kapasitasnya berdasarkan atas perkiraan rasio antara bak untu menghasilkan pakan alami, bak pemeliharaan larva maupun bak induk. Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang dibutuhkan yang didasarkan atas jumlah induk yang dipijahkan. Berdasarkan teknik pemijahan udang windu yang telah dilakukan, baik mulai dari UPT Pusat Ditjen Perikanan, panti-panti benih swasta dan penti benih milik masyarakat, maka dalam merencanakan produksi nauplii dan benur dapat diperkirakan kebutuhan bak-bak dengan asumsi sebagai berikut: Setiap induk udang windu dapat dipijahkan 2 kali atau lebih melalui seleksi dan pengawasan yang ketat; Untuk memelihara nauplii hingga siap ditebarkan ketambak dibutuhkan waktu + 21(dua puluh satu) hari; Dalam 1 tahun unit pembenihan udang windu dapat melakukan pemeliharaan 8 (delapan) siklus. Dari keseluruhan induk yang matang telur diasumsikan yang bertelur sebanyak 80 %. Dari 1 ekor induk betina dalam 1 (satu) siklus pemijahan dapat dihasilkan + 500.000 nauplii. Padat tebar nauplii 75 150 ekor per liter air. Survival Rate (SR) sebesar 30 %. Sehingga dengan demikian produksi nauplii dapat diperkirakan sebagai berikut : Bak perkawinan induk sebesar 6 x 6 x 0,75 m sebanyak 4 unit; Induk yang dibutuhkan 576 ekor (padat tebar 4 ekor/m2); Perbandingan jantan dan betina 2 : 3; Induk betina yang dibutuhkan 345 ekor; Nauplii yang dihasilkan dapat diperkirakan sebesar 172,5 juta. Jumlah bak larva yang dimiliki 12 unit @ 10 ton; Jumlah nauplii yang dapat dipelihara dalam satu siklus sebesar 18 juta ekor, sedang sisanya dapat digunakan untuk memenuhi permintaan + 25 HSRT dengan perkiraan per unit HSRT memiliki bak pemeliharaan larva 40 ton. Produksi PL yang dapat dihasilkan diperkirakan 5,4 juta PL 12 per siklus, atau dalam 1 tahun diperkirakan dapat menghasilkan 65 juta PL 12. 2.2.2. Penetapan Kapasitas Produksi Benih Ikan Bersirip (Bandeng, Kakap Putih, dan lainnya) Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan harus disesuaikan dengan pencapaian potensi/target produksi benih tertentu yang kemudian akan menentukan ukuran unit pembenihan. Kapasitasnya berdasarkan atas perkiraan rasio antara bak untuk menghasilkan pakan alami, bak pemeliharaan

larva maupun bak induk. Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang dibutuhkan yang didasarkan atas jumlah induk yang dipijahkan. A. Bandeng Secara teknis, pemijahan ikan bandeng telah dilakukan di UPT maupun UPTD Ditjen Perikanan Budidaya, Balai Penelitian Perikanan Pantai Gondol Bali maupun pembenihan lengkap milik masyarakat. Kebutuhan fasilitas pembenihan ikan bandeng diasumsikan sebagai berikut : Setiap induk bandeng dipijahkan 8 (delapan) kali; Dalam pemeliharaan larva nener, siap ditebarkan ke pendederan dibutuhkan waktu + 20 hari; Selama 1 tahun pembenihanbandeng dapat dilakukan 8 (delapan) siklus; Jumlah induk dalam 1 bak ukuran 300 M3 adalah 50 ekor (25 ekor jantan dan 25 ekor betina); Dari 25 ekor induk betina, 80 % dapat memijah atau 20 ekor; Diperkirakan 1 ekor induk betina menghasilkan telur sejumlah 5 juta telur; Telur yang dihasilkan dalam 1 siklus : 20 ekor x 5 juta telur = 100 juta telur; Jumlah bak larva yang dimiliki 10 buah @ 5 ton; Padat tebar telur 30 telur per liter; Telur yang dapat dipelihara menjadi larva 50 ton x 1.000 x 30 telur = 1,5 juta telur; Sisa telur dapat dimanfaatkan oleh 197 HSRT, dengan perkiraan setiap unit HSRT memiliki bak pemeliharaan larva sebesar 20 ton; Tingkat penetasan (Hatching Rate) 80 %. Telur yang menetas 80% x 1,5 juta telur = 1,2 juta ekor nener; Survival Rate nener sampai pendederan 20 % Produksi nener yang dihasilkan 20% x 1,2 juta = 240.000 ekor nener.

B. Kakap Putih Berdasarkan teknik pemijahan yang pernah dilakukan dalam memproduksi benih kakap putih di UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya, maka perkiraanperkiraan berikut dapat digunakan dalam merencanakan kapasitas produksi benih, selanjutnya dipergunakan untuk memperkirakan kebutuhan bak-bak yang diperlukan. Asumsi-asumsi yang dipergunakan dalam penghitungannya adalah sebagai berikut : Induk kakap putih dalam lingkungan panti benih memijah secara bulanan untuk jangka waktu 8 bulan dalam 1 tahun (1 tahun 8 siklus); Tingkat kehidupan larva dari umur 1 45 hari adalah 15 %; Tingkat produksi larva umur 45 hari (D-45) pada bak pemeliharaan larva adalah 3 ekor/liter; Waktu pemeliharaan larva adalah 45 hari. Satu bak pemeliharaan larva hanya dapat dipakai 4 kali selama musim pemijahan, karena ikan memijah secara

bulanan/siklus, maka harus mempunyai 2 unit bak pemeliharaan larva untuk melayani produksi benih secara bulanan/siklus; Kapasitas bak untuk kultur pakan alami adalah sama seperti bak pemeliharaan larva. Perbandingan antara bak kultur algae dan bak kultur rotifer adalah 2 : 1. Berikut sebagi contoh perkiraan kapasitas produksi benih (asumsi menghasilkan D-45) beserta kapasitas bak yang dibutuhkan untuk kegiatan pemijahan, pemeliharaan larva dan kultur pakan alami untuk kakap putih sebagai berikut : Perkiraan produksi benih yang dapat dihasilkan per tahun Musim pemijahan Target produksi per-siklus Padat tebar benih Kebutuhan bak larva per-siklus Waktu pemeliharaan Kapasitas total bak larva produksi bulanan/siklus Kebutuhan bak kultur pakan alami Perbandingan bak kultur algae dan rotifer 2 : 1 Jumlah total larva baru menetas yang dibutuhkan Rata-rata tingkat penetasan (HR) Jumlah telur yang dibutuhkan Rata-rata telur per induk Jumlah induk betina dibutuhkan Ratio sex betina dan jantan Jumlah induk jantan dibutuhkan Tingkat penebaran induk Kebutuhan bak induk : 2.000.000 ekor umur 45 hari (D45) : 8 siklus dalam setahun : 2.000.000/8 = 250.000 ekor : 3 ekor/ltr atau 3.000 ekor/ton : 250.000/3.000 ekor/ton : 45 hari : 84 ton x 2 = 168 ton

: 168 ton : 112 : 56 ton (112 ton algae, 56 ton rotifer : 2.000.000/15% SR = 14.000.000 larva : 70 % : 14.000.000/70%= 20.000.000 telur : 1 juta telur (fekunditas 1,5 3,5 juta telur/16 kg yang : 20.000.000/1.000.000 = 20 induk betina : 1:1 yang : 20 ekor : 1 ekor induk per 5 ton air : 40 ekor x 5 ton = 200 ton

Rincian untuk standar bak, kebutuhan dan bentuk selanjutnya dijelaskan pada Bab 4.

BAB III PERSYARATAN LOKASI


3.1. Kriteria Teknis a. Lokasi Balai Benih Ikan Pantai harus terletak pada daerah terlindung, bebas banjir serta ombak yang kuat. Lokasi tersebut juga harus terdiri dari tanah yang padat/kompak. Karena akan dibangun bak-bak pemeliharaan larva yang bertonase cukup besar, maka tanah dasar harus dipilih yang cukup stabil misalnya menghindari bekas timbunan sampah, agar kekuatan bak terjamin. b. Lokasi berada didaerah pantai dimana suhu udara cukup tinggi, sehingga suhu air pemeliharaan dapat mencapai kisaran 26o 33 o C. Pada kisaran suhu tersebut akan sangat mendukung keberhasilan usaha pemeliharaan larva. c. Sumber air laut yang dipergunakan untuk pembenihan harus bersih dan jernih sepanjang tahun tidak tercemar baik limbah industri, limbah pertaniaan maupun limbah rumah tangga. Perubahan salinitas sebaiknya relatif kecil. Jumlah dan kualitas air laut yang digunakan harus cukup dan memenuhi persyaratan teknis kimia/fisika sebagai berikut : Salinitas/kadar garam pH Alkalinitas Bahan organik Suhu Amoniak Nitrit Kecerahan : : : : : : : : 28 35 ppt 7,8 8,3 33 60 ppm < 10 ppm 28 30 o C < 2 ppm < 1 ppm maksimum (cahaya matahari sampai kedasar pelataran)

d. Sumber air tawar yang dibutuhkan untuk menurunkan salinitas air laut yang diperlukan sesuai kebutuhan, selain itu air tawar juga digunakan untuk mencuci bak dan peralatan pembenihan lain. 3.2. Kriteria Non Teknis BBU/BBUG sebagai unit perbenihan ikan pantai disamping harus memnuhi persyaratan sesuai kriteria teknis seperti tersebut diatas, perlu memenuhi kriteria non teknis sebagai berikut : a. Daerah pengembangan budidaya pantai BBU/BBUG sebagai Balai Benih Ikan Pantai idealnya berlokasi didaerah sentra produksi benih dan didukung oleh akses kedaerah pengembangan budidaya tambak atau budidaya laut. Kapasitas produksi unit perbenihan budidaya pantai tersebut adalah seperti telah diuraikan pada Bab II.

b. Pemasaran Seperti yang telah dikatakan diatas, bahwa Tupoksi BBU?BBUG sebagai unit pembenihan ikan pantai selain menjamin ketersediaan benih dan penyaluran benih ikan pantai, maka tugas dan fungsi unit perbenihantersebut adalah juga menjamin ketersediaan benih ikan budidaya pantai serta penyalurannya, disamping tetap sebagai tempat pelaksanaan adaptasi dan perekayasaan teknologi perbenihan pantai diwilayah masing-masing. Oleh karena itu output yang diusahakan oleh unit perbenihan budidaya pantai tersebut memang dibutuhkan oleh masyarakat baik jumlah maupun jenis komoditasnya, dan mempunyai nilai ekonomis penting. c. Prasarana dan saran pengangkutan Hubungan lalu lintas dengan daerah sekitarnya lancar sehingga memudahkan pengangkutan bahan-bahan yang diperlukan dan dihasilkan oleh BBU/BBUG sebagai unit perbenihan ikan pantai. Disamping itu unit perbenihan tersebut tidak terlalu jauh dari lokasi kegiatan perikanan seperti kegiatan budidaya ikan dan pasar benih. Disamping itu adanya sarana pengangkutan sendiri agar segala keperluan dapat segera dikerjakan tanpa menunggu pihak lain. d. Prasarana dan sarana komunikasi Mengingat perkembangan pembangunan terutama dibidang komunikasi akhirakhir ini cukup pesat, maka sudah selayaknya suatu unit perbenihan ikan pantai milik pemerintah ini juga dilengkapi dengan sarana komunikasi seperti telepon dan faxcimili. e. Sumber listrik Suatu usaha perbenihan tidak dapat dioperasikan tanpa tenaga listrik, maka listrik sangat penting sebagai sumber tenaga untuk menjalankan peralatan pembenihan seperti blower, pompa air dan sistem penunjang lainnya. Pemasangan generator mutlak diperlukan terutama untuk daerah yang sering terjadi pemadaman aliran listrik. f. Perkembangan kota dan industri Lokasi unit pembenihan ikan pantai tidak terkena oleh pemekaran kota atau pengaruh yang kurang baik dari industri dalam jangka waktu minimal 10 tahun.

g. Luas lahan Luas lahan keseluruhan unit pembenihan ikan pantai minimal 5 Ha (hektar persegi), mengingat komoditas yang ditangani paling tidak terdapat 3 jenis yaitu udang windu, bandeng dan kakap putih atau komoditas ikan bersirip lainnya maka sarana, bak-bak pemijahan, pemeliharaan larva, pemeliharaan induk serta sarana penunjang lain yang perlu dibangun cukup banyak, sehingga dapat melebihi kebutuhan seluas 5 Ha lahan.

BAB IV FASILITAS BALAI BENIH IKAN PANTAI


4.1. Lahan Dan Bangunan Lahan yang diperlukan pada sebuah Balai Benih Ikan Pantai untuk meletakkan bangunan-bangunan, peralatan dan mesin keseluruhannya mempunyai luas minimum 2 Ha, termasuk untuk pengembangan hatchery dan fasilitas pendukung lainnya. Fasilitas minimum yang diperlukan untuk lahan dan bangunan Balai Benih Ikan Pantai dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Tabel 1. Lahan dan Bangunan Balai Benih Ikan Pantai No A Lahan B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Jenis Ukuran 2 Ha Jumlah -

12

Gedung dan Bangunan Kantor, perpustakaan dan ruang staf Bangsal kerja Rumah pimpinan Rumah karyawan Rumah jaga Asrama Rumah pompa Rumah blower Rumah genset Gudang Laboratorium (lab. Basah, kimia, algae, hama penyakit & pakan) Ruang pertemuan

200 m2 400 m 54 m2 36 m2 21 m2 150 m2 12 m2 12 m2 12 m2 20 m2 150 m2 100 m2


2

1 unit 1 unit 1 unit 4 unit 2 unit 1 unit 1 unit 1 unit 2 unit 1 unit 1 unit 1 unit

Dalam merancang dan membangun sebuah unit pembenihan ikan pantai perencanaannya harus disesuaikan dengan pencapaian target produksi tertentu yang kemudian akan menentukan ukuran suatu panti benih. Kapasitasnya berdasarkan atas perkiraan rasio antara bak untuk menghasilkan pakan alami dan bak pemeliharaan larva . Bak pemijahan tergantung pada jumlah larva yang ditargetkan berdasarkan jumlah induk yang akan dipijahkan.

Berdasarkan teknik pemijahan yang pernah dilakukan oleh UPT Pusat Ditjen Perikanan Budidaya misalnya dalam produksi benih ikan kakap putih, maka contoh perkiraan/asumsi-asumsi yang digunakan seperti pada sub Bab 2.2. Bak-bak pada Balai Benih Ikan Pantai dipergunakan untuk berbagai keperluaan seperti untuk pemeliharaan induk pada pemiahan berikutnya, penetasan, pemeliharaan larva dan pakan alami. Standar fasilitas fisik sarana Balai Benih Ikan Pantai dapat dilihat pada tabel 2 berikuit ini. Tabel 2. Standar fasilitas fisik sarana Balai Benih Ikan Pantai. Ukuran/ Kapasitas 4x4x1,5 m 1 ton 10 m, dalam 3 m 5x2x1,25 m 40 M3 40 M3 1 2 M3 500 liter Jumlah (Uni t) 2 2 3

No 1 2 3

Fasilitas Bak filter dan tower Bak reservoar air tawar Bak induk

Bentuk/Bahan Segi empat, semen Segi empat, semen Bulat, beton

4 5

Bak larva Bak algae : a. Algae massal : - phytoplankton - Rotifera b. Algae semi massal Penetasan artemia

18

Segi empat

6 3 10 5

Segi empat, semen Segi empat, semen persegi, fiberglas Konikel, fiberglas

4.2. Peralatan dan Mesin Peralatan dan mesin untuk operasional teknis Balai Benih Ikan Pantai untuk perbenihan udang dan ikan bersirip (bandeng, kakap putih dan ikan lainnya) terdiri dari peralatan untuk induk, peralatan pembenihan dan peralatan laboratorium minimum dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3. Peralatan dan Mesin Balai Benih Ikan Pantai. No A 1 Jenis Peralatan/Mesin Peralatan Umum : Genset 50 KVA 30 KVA Pompa air laut 4 inchi 2 inchi Pompa air tawar/deep wheel Pompa celup 1 inchi 2 inchi Blower 3,5 inchi dan instalasi Aerator listrik/high blower Peralatan laboratorium Kendaraan Roda 4 Roda 2 Jumlah Keterangan

2 buah Bila tidak ada PLN 1 buah Bila ada PLN 2 buah 2 buah 1 unit 2 buah 2 buah 4 unit 2 unit 1 paket 1 unit 2 unit

3 4

5 6 B C

4.3. Tata Letak Tata letak semua fasilitas Balai Benih Ikan Pantai harus diatur sedemikian rupa secara matang dan menunjukkan dimensi yang tepat sehingga lahan dan fasilitas yang tersedia dapat digunakan seefisien mungkin, yang pada gilirannya dapat memudahkan pekerjaan sehari-hari dan menekan biaya operasional. Salah satu contoh tata letak fasilitas unit Perbenihan Ikan Pantai seperti pada gambar 1.

Gambar 1. Contoh Desain/Tata Letak Fasilitas Fisik Sarana Balai Benih Ikan Pantai

A A A

C
Keterangan : A. Bak induk B. Bak filter & tower C. Bak larva D. Bak algae E. Bak

BAB V PEDOMAN TEKNIK PEMBENIHAN


5.1. Pedoman Teknik Pembenihan Udang Windu 5.1.1. Pengadaan dan Pematangan Induk Berat tubuh induk yang berasal dari laut 200 + 25 gr (induk betina) dan 125 + 25 gr (induk jantan). Sedang untuk induk tambak minimum 125 gr (betina) dan 80 gr (jantang. Anggota tubuh tidak ada yang cacat (lengkap), punggung tidak retak khususnya untuk induk betina serta organ kelaminnya tidak luka. Sebaiknya dihindari juga induk yang tubuhnya banyak ditempeli parasit. Bentuk punggung udang betina relatif mendatar dengan warna tubuh cerah atau kehijau-hijauan. Metode pematangan gonad udang dilaksanakan dengan ablasi mata bagi induk udang yang belum matang telur. Namun bila udang yang distok sudah matang telur, ablasi mata tidak diperlukan lagi, sehingga induk udang langsung dimasukan kedalam bak perkawinan. Ablasi dilakukan untuk dirangsang perkembangan telur yaitu dengan merusak sistem syaraf tertentu yang terdapat dalam tubuh udang. Tempat syaraf yang berpengaruh dalam proses perkembanganbiakan ada pada tangkai mata. Ablasi dilakukan setelah induk beradaptasi dengan lingkungan barunya (biasanya setelah 2-3 hari). Ablasi hanya dilakukan pada induk betina yang sehat dengan cara yang umum digunakan adalah dengan menjepit salah satu tangkai mata dengan gunting panas pada bagian pangkal matanya. Segera setelah dilakukan ablasi, induk betina dan induk jantan dimasukan dalam bak perkawinan/pemijahan. Proses pematangan gonad pada udang windu dapat dilihat pada gambar 2. Adaptasi penting artinya untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi lingkungan diperbenihan, baik terhadap kualitas air maupun lingkungan yang baru. Adaptasi sekaligus juga merupakan proses seleksi, dimana induk-induk yang ditempatkan pada bak berwarna terang warna kulit induk yang sehat akan jernih, sebaliknya induk yang tidak sehat warna kulitnya cenderung merah dan gelap. Selama dalam masa adaptasi induk udang tidak perlu diberi makan bila waktu yang diperlukan kurang dari 24 jam. Untuk waktu yang lebih lama, kepadatan harus dikurangi dan harus diberi makan. Proses penyesuaian lingkungan dilakukan secara pelan-pelan akan memberikan hasil yang lebih memuaskan. Sebelum dimasukan kedalam bak induk udang sebaiknya diberi disenfektan Methylen Blue 5 ppm selama 2 jam. Padat penebaran induk udang 2 ekor per m2 dengan perbendingan antara jantan dan betina adalah 2 berbanding 3. Selama pemeliharaan dilakukan pergantian air 200% perhari.

Gambar 2. Proses pematangan gonad pada udang windu

Rangsangan dari luar

Central Nervous system X-Organ Sinus Gland Gonad Inhibiting Hormone


perkembangan sperma

menghamb
Aktivitas bertelur

Androgenic Androgenic Gland Hormone


tingkah tak birahi

Fimale Hormone
tingkah laku birahi

Ovary

Y-Organ Gonad-Stimulatory Hormone Thoracic Ganglion Otak

Pada individu jantan

Pada individu batina

(air mengalir). Jenis makanan yang diberikan adalah cumi-cumi, kepiting, rajungan atau kerang-kerangan dengan jumlah 10 20 % dari berat badan udang setiap hari. Selama pemeliharaan desinfektan yang diberikan adalah Methylen Blue 5 ppm selama 2 minggu. Perkawinan akan terjadi pada saat induk betina ganti kulit dan biasanya terjadi pada malam hari. Selama dalam bak perkawinan/pemijahan pengelolaan rutin yang dilakukan meliputi pemberian pakan, pergantian air, pemeriksaaan kesehatan serta pemeriksaan terhadap perkembangan ovary. Pemeriksaaan perkembangan telur dilakukan 3 4 hari setelah ablasi. Waktu pemeriksaan sore hari bersamaan dengan waktu penggantian air dengan menggunakan senter dan diamati pada bagian punggungnya. Telur pada tingkat I kelihatan seperti garis berwarna hijau kehitam-hitaman dan pada akhir tingkat I garis

semakin jelas. Tingkat II ovary semakin jelas dan tampak berbentuk gelembung pada ruas tubuh kedua. Tingkat III berbentuk satu gelembung lagi sehingga ovary mempunyai dua gelembung pada ruas pertama membentuk cabang dibagian kiri dan kanan yang menyerupai setengah bulan sabit. Pada kondisi ini udang betina siap melepaskan telur induk betina yang telah mencapai matang telur tingkat III dipindahkan ke bak perkawinan/pemijahan. Induk akan melepaskan telur pada malam hari antara pukul 22.00 04.00. Pada saat melepaskan telurnya induk betina berenang dipermukaan air dan telur keluar dari lubang gonophornya yang diikuti pelepasan kantong sperma dari thelicum. Proses ini berjalan antara 3 5 menit. Pelepasan telur akan lebih sempurna apabila keadaan gelap. Keadaan terang menyebabkan telur hanya sebagian saja yang dikeluarkan, sedang sisanya kemungkinan akan diserap kembali oleh induk yang bersangkutan. Karena itu permukaan bak perlu ditutup dengan gedek bambu atau kain sehingga gelap. Induk yang selesai bertelur segera diambil dan dikembalikan kedalam bak induk. Jumlah telur yang dihasilkan sangat tergantung pada ukuran induk dan asal induk. Pada kondisi suhu air 300 310C dan salinitas 30 31 ppt telur akan menetas menjadi nauplius dalam waktu 12 15 jam setelah dilepaskan. Telur diberi aerasi 1 batu/m2 dengan kekuatan 1,5 liter/menit/batu. Pengadukan dasar bak 3 kali selama proses penetasan, dan desinfektan telur dengan menggunakan Methylene Blue 1 ppm sampai dengan menetas. Segera setelah yelur menetas menjadi nauplius, aerasi diperbesar menjadi sekitar 10 liter/menit, dan sebaiknya menggunakan batu aerasi yang dapat menghasilkan gelembung-gelembung halus. Batu aerasi sebaiknya ditempatkan tidak terlalu dekat dengan dinding, kurang lebih 50 cm dari dinding, karena jika penempatan batu aerasi terlalu dekat dengan dinding akan meyebabkan larva membentur dinding bak sehingga dapat mengakibatkan kematian. Pada stadia nauplius bak tetap ditutup untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk. Cara ini juga dapat mengurangi angka kematian, disamping mencegah kemungkinan blooming plankton. Penutupan permukaan bak dimaksudkan juga agar fluktuasi suhu dukendalikan supaya tetap pada batas yang sesuai bentuk kehidupan larva. Pemanenan dilakukan saat stadia nauplius-5. Panen dilakukan dengan mengeluarkan nauplius melalui pipa pembuangan yang sebelumnya pada tempat penampungan telah dipasang saringan. Nauplius akan keluar bersama air dan terkumpul dalam kain sarng. Cara lain panen nauplius dapat dilakukan dengan memanfaatkan sifat nauplius yang tertarik pada sinar. Bak yang sebelumnya ditutup, dibuka sedikit pada salah satu sisinya dan dipasang lampu. Pada saat aerasi dimatikan nauplius akan naik kepermukaan air dan mengumpul kearah sinar. Pengambilan dilakukan dengan menyedot memakai selang dan ditampung dalam wadah tertentu. Pemanenan dengan cara ini sekaligus merupakan cara seleksi kualitas nauplius, dimana nauplius yang berda dipermukaan air adalah nauplius yang sehat. Perhitungan nauplius dilakukan dengan cara sampling, yaitu dengan menghitung jumlah nauplius dalam wadah kecil yang volumenya sudah diketahui, kemudian dibandingkan dengan wadah besar tempat nauplius ditampung. Pengambilan nauplius untuk dihitung harus secara acak dan rapi tetapi merata.

5.1.2. Pemeliharaan Larva Persiapan Bak

Bak-bak sebelum digunakan harus dibersihkan atau dicuci dan disikat, lalu dikeringkan 2 3 hari sampai betul-betul kering. Pengeringan ini dimaksudkan untuk mematikan organisme yang menempel dalam bak serta mencegah timbulnya penyakit. Disamping itu pembersihan bak dapat juga dilakukan dengan cara membasuh bagian dalam bak dengan kain yang diselupkan kedalam chlorine 150 ppm (150 ml larutan chlorine 10% dalam 1 m3 air), kemudian didiamkan selama 1- 2 jam dan dinetralisir dengan larutan Natrium thiosulfat dengan dosis 40 ppm yang berguna untuk menghilangkan chlor yang bersifat racun bagi larva udang maupun alga. Desinfektan lain yang dapat digunakan yaitu Formalin 50 ppm. Air media pemeliharaan larva dapat langsung diambil dari laut dengan menggunakan pompa air maupun menggunakan air tambak yang jernih dan tidak tercemar. Air laut dimasuknan kebak pemeliharaan larva manggunakan kain saringan ukuran 100 mikron dan diaerasi. Pemberian aerasi bertujuan untuk meningkatkan kandungan oksigen terlarut dalam air dan menciptakan sirkulasi air dalam media pemeliharaan serta mempercepat penguapan gas beracun sebagai proses pembusukan sisa-sisa makanan dan kotoran. Jumlah batu aerasi yang diperlukan 2 5 buah/m2 permukaan air. Batu aerasi yang digunakan dipilih yang menimbulkan gelembung halus, hal ini untuk memperbesar diffusi oksigen dalam air media. Batu aerasi dipasang menggantung pada jarak + 15 cm dari dasar bak. Sehari sebelum nauplius ditebarkan ke bak, air diberi EDTA sebanyak 2 ppm (untuk volume + 20 ton dibutuhkan 40 gram EDTA) yang berfungsi mengendapkan logam-logam berat. Penebaran Naplius

Nauplius dapat diperolehdengan menetaskan telur yang dibeli dari penampungan indik atau membeli nauplius langsung dari pembenihan skala besar. Pada saat pembelian nauplius, harus dipilih yang betul-betul sehat yang dicirikan dengan aktivitas berenang yang khas danmemberikan reaksi lebih cepat terhadap cahaya. Pengangkutan nauplius dapat dilakukan dengan 2 cara : a. Tertutup : menggunakan kantong plastik dengan penambahan oksigen. b. Terbuka : mengunakan jerigen yang dilengkapi aerasi. Penebaran nauplius dilakukan setelah salinitas dan suhu air dibak pemeliharaan larva sama dengan salinitas dan suhu air pengangkutan larva. Padat penebaran nauplius ini antara 75 150 ekor/liter. Setelah nauplius mencapai sub stadia nauplius enam (N6) atau + 2 hari setelah dilakukan penebaran, kedalam air media pemeliharaan larva diberi antibiotik Erithromycin 1,33 ppm dan treflan 0,05 ppm.

Pemberian Pakan

Makanan yang diberikan pada larva udang selama pemeliha ada 2 jenis yaitu makanan alami (phytoplankton dan zooplankton) dan makan buatan. Masing-masing jenis makanan tersebut diberikan dengan jumlah dan frekuensi tertentu sesuai dengan stadia larva. Makanan alami yang dapat digunakan untuk makanan larva dan mudah dikultur adalah Tetraselmis chui, Skeletoma costatum, Chaeteceros calcitrans dan nauplii Artemia sp. Sebagai makanan larva, plakton (alga) terlebih dahulu dikultur dibak kultur alga. Bibit yang digunakan untuk kultur dapat dibeli dari pembenihan skala besar atau UPT Budidaya milik Pemerintah. Untuk mempercepat pertumbuhan alga, maka perlu pemupukan air media kultur sebelum dilakukan penebaran bibit. Pemanenan alga dilakukan pada saat mencapai puncak populasi, dimana untuk setiap species berbeda berkisar antara 24 jam sampai 1 minggu. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada saat puncak populasi ini akan terjadi : 1) unsur hara dalam bak alga sudah terserap habis oleh alga, sehingga kekhawatiran adanya sisa pupuk yang terbawa kedalam bak dapat dihindari; 2) jumlah populasi adalah yang terbesar selama daur hidupnya. Ada 2 cara pemanenan alga yaitu : a. Pemanenan alga bersama-sama dengan air media kultur, khususnya untuk jenis Tetraselmis dan Chaetoceros. b. Pemanenan alga dengan cara kering atau pemanenan alga tanpa masa air yaitu dengan cara menyaring menggunakan plankton net, untuk jenis Skeletonema. Makanan alami ini mulai diberikan setelah nauplius berubah menjadi Zoea 1. Jenis alga yang baik dan sering digunakan untuk makanan larva udang adalah Skeletonema, Tetraselmis dan Chaetoceros. Jumlah alga yang diberikan pada larva + 30.000 sel/ml air media, jumlah alga ini dalam bak larva perlu dipertahankan. Untuk menghitung kepadatan alga dapat digunakan Haemacytometer. Bila belum mempunyai haemacytometer, jumlah makanan yang harus diberikan dapat dilihat dengan mengamati dibawah mikroskop apakah dalam alat pencernaan (perut) larva terdapat makanan. Kalau perut larva kosong, maka perlu pemberian makanan secukupnya. Frekuensi pemberian makanan alami ini 2 kali perhari, masing-masing pada pukul 08.00 pagi dan 20.00 malam. Disamping makanan alami, pada stadia zoea juga diberi makanan buatan atau tahu. Hal penting yang harus diperhatikan dan mempersiapkan makanan buatan antara lain : Nilai gizi, kandungan protein + 60%; Ukuran disesuaikan dengan bukaan mulut pada stadia udang tersebut; Kualitas fisik bahan baik artinya tidak menyebabkan penurunan kualitas air. Frekuensi pemberian makanan buatan ini dalam 24 jam minimal 5 kali, dimana dalam setiap kali pemberian makanan jumlah yang diberikan tidak boleh berlebih. Dengan kata lain 0,5 1 ppm makanan yang diberikan harus tepat jumlah dan waktu pemberiannya.

Setelah larva mencapai stadia mysis, disamping diberi makanan buatan dan alga juga diberi makanan alami nauplii artemia. Artemia yang digunakan untuk makanan larva udang ini sebelum ditetaskan terlebih dahulu didekapsulasi (penghilangan lapisan yang keras dengan menggunakan kaporit dan chlorin) untuk mempertinggi daya tetas. Disamping itu dengan penggunaan kaporit atau chlorin nauplii artemia yang digunakan dapat terbebas dari hama dan tidak meninggalkan kulit-kulit bekas dalam media pemeliharaan. Penetasan telur artemia biasanya memerlukan waktu + 24 jam. Perawatan Larva

Perawatan larva selama pemeliharaan ini sangat penting, karena larva udang sangat sensitif perubahan kondisi lingkungan yang sewaktu-waktu dapat terjadi. Untuk itu penanganan larva selama pemeliharaan mulai dari stadia nauplius sampai post larva harus benar-benar diperhatikan. Pada stadia nauplius, zoea dan mysis dimana pada ketiga stadia ini merupakan stadia yang sangat rawan, maka perlu dihindari hal-hal yang dapat menimbulkan stress pada larva tersebut. Misalnya pada waktu pengambilan sampling untuk perkembangan pertumbuhan larva dan pengamatan menghitung kepadatan dalam bak, harus dilakukan dengan cermat. Memasuki stadia Post Larva 1 (PL1), larva udang sudah mulai sering menempel (bersifat benthic) dan pada dasar atau dinding bak. Untuk memperluas permukaan tempat menempel larva dan mengurangi sifat kanibal larva, maka didalam bak pemeliharaan bisa dimasukan jaring atau daun kelapa kering yang berfungsi sebagai substrat untuk menempel larva dan tempat berlindung larva. Pengelolaan Kualitas Air

Kualitas air didalam bak pemeliharaan larva harus dipertahankan sebaik mungkin. Kualitas air ini meliputi aspek fisik, kimia dan biologi. Beberapa parameter yang dapat diamati secara langsung dengan mata dan peralatan yang sederhana yaitu suhu, salinitas, kekeruhan, blooming alga, warna dan gelembung-gelembung kecil dipermukaan air sebagai akibat kelebihan alga. Pada pembenihan udang dimungkinkan untuk tidak dilakukan pengganti air, maka pengamatan kualitas air dan jumlah makanan yang ada dalam bak pemeliharaan larva harus benar-benar mendapatkan perhatian khusus. Monitoring kualitas air dilakukan setiap hari pada pagi, siang dan sore hari. Jika terdapat makanan dilakukan secara hati-hati. Pengendalian Penyakit

Timbulnya penyakit pada larva udang yang dipelihara biasanya sebagai akibat kondisi lingkungan yang tidak stabil, misalnya pada waktu musim penghujan dimana suhu dan salinitas labil serta sering berfluktuasi. Keadaan ini akan membuat larva menjadi lemah dan mudah terserang penyakit.

Untuk mencegah timbulnya penyakit ini, dapat ditempuh beberapa cara yaitu : Peningkatan salinitas lingkungan; Mengoptimalkan lingkungan hidup larva misalnya dengan pemberian pakan yang tepat guna sehingga dapat meningkatkan ketahanan tubuh; Optimalisasi : kadar garam (28%-32%), suhu (300-320C) dan oksigen (6-9 ppm); Pemberian obat-obatan. Panen

Pemanenan dilakukan setelah larva mencapai PL 12 15 dan dilakukan secara serentak untuk satu bak. Cara panen benur adalah sebagai berikut : Cara I : Pertama-tama dilakukan pengurangan air, kemudian benur diambil dengan seser yang selanjutnya benur dituang secara hati-hati kedalam wadah berisi air yang dilengkapi dengan aerasi. Cara II : Air dibuang lewat lubang pembuangan air yang ada dibagian bawah larva kedalam saluran pembuangan yang dilengkapi dengan kotak kain saringan untuk menahan benur yang dipanen. Kemudian benur diciduk dan dipindah kedalam wadah berisi air yang dilengkapi dengan aerasi. Selama pemanenan air tetap menggenang. 5.2. Pedoman Teknik Pembenihan Ikan Bandeng 5.2.1. Pengadaan dan Pematangan Induk Pemeliharaan Induk

Pemeliharaan induk dilakukan dengan menggunakan bak semen dengan konstruksi bulat berdiameter 10 meter serta kedalaman bak 3 meter ( kapasitas air bak + 225 ton). Bak ditempatkan diudara terbuka, air laut dipompakan kedalam bak sampai penuh dan air dialirkan terus menerus dengan tingkat pengantian 200 300% per hari. Aerasi dengan menggunakan sistem water lift (AWL) sehingga memungkinkan air selalu dalam kondisi berputar sekaligus berfungsi untuk mensuplai oksigen kedalam bak, untuk itu pemeliharaan induk perlu dilengkapi dengan selang aerasi disekeliling bibir bak. Induk bandeng dengan ukuran berat rata-rata 4 5 kg/ekor sejumlah 56 ekor dapat distok kedalam bak (kepadatan 1 ekor/4 m3). Selama masa pemeliharaan induk diberikan pakan pellet komersial 2% 3 % dari total berat badan perhari, diberikan dua kali sehari pada pagi dan sore hari. Pematangan Gonad

Pematangan gonad dengan menggunakan hormon kronik dilakukan dengan cara implantasi (penanaman) secara intramuskular pada otot punggung sekitar 5 cm dibawah sirip punggung. Penggunaan hormon kronik dalam bentuk pellet atau tube silastik ini lebih efektif karena hormon tersebut dapat larut dalam darah secara

perlahan-lahan dan berkesinambungan dalam jangka waktu yang relatif lama 3 4 minggu. Penyiapan hormon dan cara implantasi dijelaskan pada bagian akhir dari pedoman ini. 5.2.2. Pemijahan Induk dan Penanganan Telur Pemijahan induk bandeng yang telah matang gonad (dengan implantasi hormon) terjadi secara spontan dalam lingkungan bak terkontrol. Panen Telur

Bak pemijahan dilengkapi dengan saringan pengumpulan telur (egg collector) dengan mesh size 850 micron. Untuk menjaga agar telur yang terkumpul tidak kekeringan maka egg collektor dipasang pada sebuah bak kecil yang diletakkan dibawah saluran pembuangan air permukaan, sehingga telur yang terkumpul selalu terendam air. Inkubasi Telur

Telur yang terkumpul dipindahkan secara hati-hati kedalam ember yang telah diisi air kurang lebih sepertiga sampai setengah volume ember, kemudian dipindahkan kedalam bak inkubasi (akuarium kaca). Bak inkubasi diisi air laut dan dilengkapi dengan aerasi yang cukup kuat. Tingkat pembuahan (fertilasi) dihitung dengan cara menghitung100 butir contoh telur dibawah mikroskop. Telur yang dibuahi transparan dengan bintik kekuningan pada dasarnya, sedangkan telur yang tidak dibuahi berwarna putih opak. Tingkat pembuahan telur dapat dihitung sebagai berikut : Tingkat Fertilasi = Telur yang dibuahi X 100 % 100 Pengumpulan telur dari bak inkubasi dilakukan dengan penambahan garam dapur kedalam medium agar salinitas air mencapai 40 ppt, sehingga sebagian besar telur yang dibuahi (fertilized eggs) terapung dan memudahkan untuk melakukan penyeseran. Sebelum dilakukan penyeseran aerasi dimatikan dan dibiarkan + 10 menit sehingga telur yang baik terpisah dari telur yang tidak dibuahi (non fertilized eggs) dan kotoran-kotoran lain. Telur yang baik (dibuahi) dipindahkan kedalam bak yang telah diisi air laut dengan kapasitas 8 ton dan diberi aerasi secukupnya. Jumlah total telur dalam bak tersebut dihitung dengan metoda scooping. Jumlah Total Telur = contoh telur X Volume bak Volume contoh

Penetasan Telur

Telur yang telah dihitung dipindahkan kedalam bak pemeliharaan laeva yang telah dicuci air tawar dan diisi air laut yang telah disaring dengan saringan 20 micron. Pemindahan telur dilakukan dengan hati-hati. Kepadatan telur yang ideal sekitar 25 30 butir per liter dengan perkiraan persentase penetasan sekitar 80% 90%. Telur menetas dalam waktu 24 35 jam setelah pemijahan pada suhu 280 320C, dan dianggap sebagai larva hari ke 0 (D-0). Cangkang telur dan telur yang tidak dibuahi akan mengendap didasar bak dan segera disifon agar tidak merusak kualitas air. Daya tetas telur (hatching rate) dihitung dengancara menghitung cangkang telur atau telur yang tidak menetas (telur mati) dari hasil penyifonan dengan menggunakan metode scooping.

5.2.3. Teknik Pemeliharaan Larva Kepadatan larva yang ideal adalah 10 20 ekor per liter. Aerasi diatur sedemikian rupa (cukup agar larva dapat terus terlarut) karena kondisi larva masih lemah. Pemberian Pakan

Pemberian pakan dimulai pada hari ke-2 karena pada saat tersebut persedian pakan dari kantong kuning telur (yolk sac) mulai habis. Pakan yang diberikan berupa fitoplankton Chlorella sp dengan kepadatan 200.000 500.000 sel/ml atau Tetraselmis chuii dengan kepadatan 10.000 20.000 sel/ml. Pemberian pakan fitoplankton ini berlangsung terus sampai dengan pemeliharaan hari ke-21. Fungsi pakan fitoplankton ini disamping sebagai stabilisator kualitas air juga diperlukan sebagai pakan rotifera (Brachionus plicatilis) yang merupakan pakan langsung larva bandeng. Pemberian pakan rotifera dengan kepadatan 20 30 individu/ml dimulai pada hari ke-2 sampai dengan hari ke-10 dan mulai hari ke-11 sampai hari ke-21 kepadatan rotifera diturunkan menjadi 10 20 individu/ml. Penghitungan kepadatan pakan berfungsi untuk memaksimumkan kesempatan pakan termakan oleh larva, mencegah over feeding, dan memanfaatkan pakan secara efisien. Sejak hari ke-10 sudah dapat diberikan pakan tambahan berupa pakan komersial (flake dengan dosis 0,5 1 ppm atau dengan jumlah awal yang sedikit, tergantung kepada respon larva terhadap pakan tersebut, dengan maksud agar tidak terjadi kelebihan pakan buatan dalam medium yang dapat merusak kualitas air. Mulai hari ke-15 dapat diberikan pakan nauplii artemia (instar I-II) dengan kepadatan 0,3 individu per ml air. Pemberian pakan artemia tidak mutlak diberikan pada umur larva tersebut hal ini tergantung kepada ukuran dan respon larva terhadap pakan nauplii artemia. Nauplii artemia penting diberikan sebagai pakan

larva pada tahap-tahap akhir pemeliharaan ketika larva membutuhkan organisme pakan dengan ukuran yang lebih besar. Larva pada umur ke-21 sudah cukup kuat untuk dipanen, namun kadangkadang pemeliharaan larva dapat diteruskan sampai hari ke-28 bila pada hari ke-21 kondisi larva masih lemah. Pengelolaan Air

Sejak hari ke-0 hingga ke-8 pemeliharan larva dilakukan dengan sisitem air diam (stagnan). Mulai hari ke-10 air sudah dapat dialirkan dengan tingkat pergantian 25% perhari. Tingkat pergantian air ini ditambah setiap hari sehingga mulai hari ke21 sudah dapat mencapai 100% perhari. Penyifonan dasar bak yang disebabkan oleh akumulasi kotoran dari sisa-sisa hasil metabolisme atau sisa pakan perlu dilakukan untuk menjaga agar kualitas air tetap baik. Pemanenan

Pemanenan dilakukan dengan cara mengurangi volume air dibak emeliharaan larva secara perlahan-lahan. Setelah tinggi air kira-kira mencapai 25 cm dari dasar bak baru dipanen dengan menggunakan waring, yaitu dengan menggiring nener ke sudut bak. Setelah itu nener dipindahkan kedalam bak penampungan dari fibreglass volume 1 ton yang sebelumnya sudah diisi air dengan salinitas 15 ppt. Penurunan salinitas hingga 15 ppt berfungsi untuk mengadaptasi nener dengan air di tambak apabila nener ditebar di tambak. Untuk menentukan tingkat kelangsungan hidup (survival Rate) nener yang baru dipanen dilakukan dengan metode sampling. Survival Rate = Larva saat panen X 100 % Larva awal

5.2.4. Pembuatan Pellet Hormon LHRH-a, Pellet Cholesterol dan Silastik Hormon 17 Alpha Methyl Testosteron untuk Implantasi Induk Bandeng. Secara umum sistem reproduksi dalam tubuh ikan dimulai dengan adanya rangsangan dari luar, yaitu pertama karena pengaruh faktor lingkungan (temperatur, fotoperiod, salinitas dan sebagainya). Pengaruh lingkungan akan menyebakan sistem endokrinologi dalam tubuh ikan berjalan secara normal dan ikan akan bertelur secara alami. Pengeruh lingkungan ini dapat terjadi secara alami, dapat pula secara buatan. Pengaruh kedua adalah adanya pengaruh hormonal yang diinduksian kedalam tubuh ikan. Faktor-faktor tersebut secara sendiri-sendiri ataupu bersamaan dapat merangsangbatau memacu perkembangan gonad dalam proses reproduksi ikan seperti terlihat dalam skema pada gambar 3 berikut.

Hormon

CNS Hypothalam

Enviromenta

Gth-RH Pituitar Gth Ovary Ovulation Spawning

Gambar 3. Skema Umum Proses Reproduksi Ikan

Penyuntikan ikan dengan hormon Gonadotropin berfungsi untuk mempercepat pemijahan ikan, dalam hal ini bisa digunakan jenis hormon yang mempunyai sifat acute hormon. Sedangkan dalam proses maturation/pematangangonad diperlukan hormon yang sifatnya dapat melepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormon). Suatu bahan potensial yang dapat menggantikan fungsi Gonadotropin Releasing Hormon adalah Leutenizing Hormon. Releasing Hormon atau suatu bahan superaktif tiruan yang berfungsi dalam proses endocrine yaitu LHRH-analog). LHRH-a adalah hormon pemacu/perangsang perkembangan gamet yang sifatnya dapat melepaskan gonadotropin. Hal tersebut dapat dibuat dalam bentuk pellet.

Tabel 4. Pembuatan Pellet LHRH-a dan pellet Cholesterol : Peralatan : 1. Lempengan plastik 60X60X5 mm 2. Alat pelobang lempengan pastik 3. Bor 3/32 inchi 4. Bor 9/64 inchi 5. Alat pemanas 6. Beaker glass 50 ml+air 7. Test tube 8. Timbangan matler 9. Kertas timbang 10. Spatula 11. Alkohol 50 % 12. Pipet volume 1 ml 13. Cawan pengaduk (mortal) 14. Incubator (suhu 370C) 15. Paku tumpul (3/32 inchi) 16. Pemukul Bahan-bahan : 1. LHRH des GLY-10 (D-ala6) 2. Cholesterol (C27H460) 3. Cocoa Butter Cara pembuatan : 1. Membuat cetakan pellet atau paku pencetak : a. Buat lobang ukuran 3/32 inchi pada lempengan plastik; b. Bagian lobang teratsa dibesarkan sedikit dengan bor ukuran 9/64 inchi agar mempunyai bentuk yang mudah untuk memasukan bahan hormon; c. Potong pada ukuran 3/32 inchi pada bagian yang lancip, ratakan. 2. Membuat pellet Cholesterol untuk kontrol a. Ambil sedikit cocoa butter dalam test tube, masukan kedalam beaker glass 50 ml yang berisi air dan panaskan dengan alat pemanas; b. Timbang sejumlah 190 mg cholesterol powder dengan timbangan analitik; c. Masukan kedalam mortal, tambahkan 0,2 ml alkohol 50%, ratakan dengan pengaduk dan lumatkan; d. Inkubasi selama satu jam atau lebih pada suhu 370C; e. Setelah kering, keruk dan kumpulkan bahan dengan spatula; f. Tambahkan satu tetes cocoa butter yang sudah mencair, aduk berkali-kali sampai rata (homogen) kemudian tutup dengan plastik Fungsi : Membuat lubang cetakan pellet sda sda sda Mencairkan Cocoa Butter sda sda Timbangan Cholesterol sda Melarutkan LHRH-1 sda sda Melarutkan LHRH-a dan Cholesterol Pengering campuran Packing pellet sda Fungsi : Hormon Pengantar Hormon Binder (pengikat)

Tabel 5. Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Sepenggal; No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sarana Bak larva Bak kultur pakan hidup Bak stater pakan hidup Bak filter Bak penetasan artemia Mini blower Pompa air laut Jaringan air laut Jaringan aerasi Peralatan kerja Ukuran 2x5x1x1,25 m 2x5x1x1,25 m 500 liter 2x5x1x1,25 m 250 liter 80 watt 2 inchi Jumlah 2 buah 4 buah 3 buah 1 buah 4 buah 4 buah 1 buah 1 paket 1 paket 1 paket

Tabel 6.Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Lengkap Skala Sedang; No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Tanah Bak induk Bak larva Bangsal bak larva (indoor) Bak pendederan Bangsal bak pendederan Bak pakan hidup Bak stater pakan hidup Bak penetasan artemia Aquarium Lab,kantor, gudang Mess karyawan Rumah pimpinan Rumah pompa Rumah genset Rumah blower Bak tandon air laut Filter air laut Instalasi air laut (laut&darat) Instalansi aerasi Instalansi air tawar Pompa air laut Pompa air tawar Blower (vortex) Generator set Peralatan laboratorium Peralatan kerja Sarana Ukuran 0,5 ha d: 7m, t: 2,5m d: 3m, t: 2 m 5x2x1,25 m 19x13 m 2x1x0,8 m 15x8 m 5x4x1,5 m 1 ton 500 liter 100 liter 50 m2 150 m2 36 m2 12 m2 30 m2 12 m2 5x10x2 m 500 m 400 m 300 m 3 inchi 1,5 inchi 2 inchi 40 KVA Jumlah 1 buah 2 buah 12 buah 1 buah 20 buah 1 buah 5 buah 6 buah 6 buah 6 buah 1 unit 1 unit 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 paket 1 paket 1 paket 4 buah 1 buah 4 buah 2 buah 1 paket 1 paket

No 28 29 30 31

Sarana Meja, kursi, dll Freezer Refrigerator Pemasangan PLN

Ukuran 40 KVA

Jumlah 1 paket 1 buah 2 buah 1 paket

Tabel 7.Kebutuhan Sarana dan Fasilitas Pembenihan Lengkap Skala Besar; No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Tanah Bak induk Bak larva Bangsal bak larva (indoor) Bak pendederan Bangsal bak pendederan Bak pakan hidup Bak stater pakan hidup Bak penetasan artemia Aquarium Lab,kantor, gudang Mess karyawan Rumah pimpinan Rumah pompa Rumah genset Rumah blower Bak tandon air laut Filter air laut Instalasi air laut (laut&darat) Instalansi aerasi Instalansi air tawar Pompa air laut Pompa air tawar Blower (vortex) Generator set Peralatan laboratorium Peralatan kerja Meja, kursi, dll Freezer Refrigerator Pemasangan PLN Sarana Ukuran 0,5 ha d: 7m, t: 2,5m d: 3m, t: 2 m 5x2x1,25 m 26x13 m 2x1x0,8 m 29x8 m 5x4x1,5 m 1 ton 500 liter 100 liter 50 m2 150 m2 36 m2 12 m2 30 m2 12 m2 5x10x2 m 500 m 400 m 300 m 1 inchi 1,5 inchi 2,5 inchi 60 KVA 60 KVA Jumlah 1 buah 2 buah 20 buah 1 buah 40 buah 1 buah 8 buah 10 buah 10 buah 12 buah 1 unit 1 unit 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 2 buah 1 buah 1 paket 1 paket 1 paket 4 buah 1 buah 4 buah 2 buah 1 paket 1 paket 1 paket 1 buah 2 buah 1 paket

Gambar 4. Tata Letak Balai Benih Ikan Pantai Tata Letak Unit Pembenihan Skala Lengkap

Gambar 5. Tata Letak Unit Pembenihan Sepenggal (HSRT)

D B C C C E

Keterangan : A. B. C. D. E. Bak Penetasan Artemia; Bak Penampungan Air; Bak Pemeliharaan Larva; Bak Kultur Phytoplankton; Bak Kultur Rotifer/Zooplankton;

2. Contoh Tata Letak Kolam BBI Sentral (5 Ha)

F F F

J J J J

Keterangan : A B
A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K. L.
F F F F F F F

G
F F

K K
C
E E E E E E

F F F F

G G G G

G G G

G G G

Bak Pengendapan Bak Filter Reservoar Bangsal Perbenihan Kolam Pemijahan Kolam Induk Kolam Pendederan Kolam Donor Kolam Calon Induk Kolam Air Deras Kolam Makanan Alami Areal untuk Kantor dan Bangunan Lainnya Saluran Pemasukan dengan Pintu Pemasukan

Saluran Pengeluaran dengan Pintu Pengeluaran Parit Kolam

1. Contoh Tata Letak Kolam BBI Lokal (2 Ha)


Keterangan :
A.

F H F G G G G F H F
E E E E

J
B

B. C. D. E. F. G. H. I.

C
100

J.

Bak Pengendapan Bak Filter Reservoar Bangsal Perbenihan Kolam Pemijahan Kolam Induk Kolam Pendederan Kolam Donor Areal untuk Kantor dan Bangunan Lainnya Kolam Makanan Alami Saluran Pemasukan dengan Pintu Pemasukan

F G G G G F
200

G G

Saluran Pengeluaran dengan Pintu Pengeluaran Parit Kolam

14. Contoh Tata Letak Bak di Bangsal Pembenihan BBI Lokal

A
14.2

H F F E E E D D

G G G G
18.4

Keterangan :
A. B. C. D. E. F. G. H. I. Bak makanan alami Bak pendederan intensif Bak pemijahan Bak penetasan Bak penampungan benih Bak pengobatan Bak sortasi Meja Hipofisa Ruang Pengepakan Saluran pemasukan

Saluran pengeluaran

19. Ikhtisar Tata Air di BBI

A B C
Untuk pengurasan

Batas areal BBI

E F G

D
Untuk penyaluran air yang melimpah

H I

Keterangan :
A. B. C. D. E. F. Dam Bak Pengendapan Bak Filter Reservoar Kolam Makanan Alami Kolam induk, calon induk, dengan air deras dan kolam donor G. Bangsal Pembebenihan dan kolam/bak pemberokan H. Kolam pendederan I I. Kolam Pendederan II,III dst Saluran pemasukan Saluran pembuangan

15. Contoh Tata Letak Bak di Bangsal Pembenihan BBI Sentral

Filter

B B

C H C C

A B A B B

E E E E E E

D D D D

C C
G G G G G G

F F

Keterangan : A. Bak makanan alami B. Bak pendederan intensif C. Bak pemijahan D. Bak penetasan E. Bak penampungan benih F. Bak pengobatan G. Bak sortasi

H. Meja Hipofisa I. Bak pematangan gonad induk ikan dengan sistem resurkulasi J. Ruang pengepakan
Saluran pemasukan

Saluran pengeluaran

19. Ikhtisar Tata Air di Balai Benih Ikan A

F1

F2

F3

G1

G2

Keterangan : A. DAM B. Bak Pengendapan C. Bak Reservoir D. Bak Induk

E. F. G.

Bangsal Bak Pendederan Bak Pembesaran Saluran pemasukan air Saluran pengeluaran air

Anda mungkin juga menyukai