Anda di halaman 1dari 6

Ilmu Kedokteran Forensik

Ilmu Kedokteran forensik adalah suatu cabang ilmu kedokteran yang


mempergunakan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran untuk kepentingan
penegakan hukum dan keadilan. Sasarannya adalah Korban luka, keracunan atau
mati karena tindak pidana (Pasal 133 KUHAP).
Peran profesi kedokteran forensik berkaitan dengan kepentingan peradilan
dengan melibatkan pengetahuan patologi forensik dan patologi klinik. Profesi
kedokteran forensik bisa juga mencakup ruang lingkup bukan peradilan yaitu
berperan dalam identifikasi, keterangan medis, uji kelayakan, dan pemeriksaan
barang bukti lainnya.
Pendekatan kedokteran forensik selain menjadi ahli klinik medikalisasi dan
terapi, ilmu forensik juga berperan dalam hal non-terapi , yaitu pembuktian. Ilmu
forensik sangat komprehensif mencakup psikososial, yuridis. Akan tetapi forensik
juga tidak bisa dikatakan hukum karena forensik tidak menentukan suata
peristiwa disebut pembunuhan, perkosaan atau mengatakan siapa pelaku.
Forensik hanya memberi petunjuk cara kematian atau pidana atau petunjuk siapa
pelaku.
Ilmu kedokteran forensik mengutamakan prinsip dasar etika kedokteran meliputi:
prinsip tidak merugikan (non maleficence), prinsip berbuat baik (beneficence),
prinsip menghormati otonomi pasien (autonomy), dan prinsip keadilan (justice).
Prinsip tidak merugikan (non maleficence), merupakan prinsip dasar menurut
tradisi Hipocrates, primum non nocere.

Jika kita tidak bisa berbuat baik kepada seseorang, paling tidak kita tidak
merugikan orang itu. Dalam bidang medis, seringkali kita menghadapi situasi
dimana tindakan medis yang dilakukan, baik untuk diagnosis atau terapi,
menimbulkan efek yang tidak menyenangkan. Prinsip berbuat baik (beneficence),
merupakan segi positif dari prinsip non maleficence. Prinsip menghormati
otonomi pasien (autonomy), merupakan suatu kebebasan bertindak dimana
seseorang mengambil keputusan sesuai dengan rencana yang ditentukannya
sendiri. Di sini terdapat 2 unsur yaitu: kemampuan untuk mengambil keputusan
tentang suatu rencana tertentu dan kemampuan mewujudkan rencananya menjadi
kenyataan. Dalam hubungan dokter-pasien ada otonomi klinik atau kebebasan
professional dari dokter dan kebebasan terapetik yang merupakan hak pasien
untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya, setelah mendapatkan informasi
selengkap-lengkapnya. Prinsip keadilan (justice), berupa perlakuan yang sama
untuk orang-orang dalam situasi yang sama, artinya menekankan persamaan dan
kebutuhan, bukannya kekayaan dan kedudukan sosial.
Peranan dari kedokteran forensik dalam penyelesaian perkara pidana di
Pengadilan adalah membantu hakim dalam menemukan dan membuktikan unsurunsur yang di dakwakan dalam pasal yang diajukan oleh penuntut. Serta
memberikan gambaran bagi hakim mengenai hubungan kausalitas antara korban
dan pelaku kejahatan dengan mengetahui laporan dalam visum et repertum.

Odontologi Forensik
Definisi
Ilmu kedokteran gigi forensik memiliki nama lain yaitu forensic dentistry dan
odontology forensic. Menurut Pederson, Forensik odontologi adalah suatu cabang
ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda
bukti gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk
kepentingan peradilan.
Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb:

Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan

pengaruh lingkungan yang ekstrim.

Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan

restorasi gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi.

Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan

medis gigi (dental record) dan data radiologis.

Gigi

geligi

merupakan

lengkungan

anatomis,

antropologis,

dan

morfologis, yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan
pipi, sehingga apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih
dahulu.

Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian

bahwa gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar.

Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400C.

Gigi geligi tahan terhadap asam keras.

Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:

Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan

kraniofasial.

Penentuan umur dari gigi.

Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark).


Penentuan ras dari gigi.
Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan
kekerasan.
Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli.
Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal.

Sejarah Forensik Odontologi


Forensik odontologi telah ada sejak jaman prasejarah, akan tetapi baru mulai
mendapatkan perhatian pada akhir abad 19 ketika banyak artikel tentang forensik
odontologi ditulis dalam jurnal kedokteran gigi pada saat itu.
Sejarah forensik odontologi sudah ada sejak sebelum masehi (SM) yaitu pada
masa pemerintahan Kaisar Roma Claudius pada tahun 49 SM, Agrippina ( yang
kelak akan menjadi ibu Kaisar Nero) membuat rencana untuk mengamankan
posisinya. Janda kaya Lollia Paulina merupakan saingannya dalam menarik
perhatian Kaisar, maka ia membujuk Kaisar untuk mengusir wanita tersebut dari
Roma.

Akan tetapi hal itu rupanya masih dianggapnya kurang dan ia menginginkan
kematian wanita tersebut. Tanpa setahu Kaisar, ia mengirim seorang serdadu
untuk membunuh wanita tersebut. Sebagai bukti telah melaksanakan perintahnya,
kepala Lollia dibawa dan ditunjukkan kepada Agrippina. Karena kepala tersebut
telah rusak parah mukanya, maka Agrippina tidak dapat mengenalinya lagi dari
bentuk mukanya. Untuk mengenalinya Agrippina menyingkap bibir mayat
tersebut dan memeriksa giginya yang mempunyai ciri khas, yaitu gigi depan yang
berwarna kehitaman. Adanya ciri tersebut pada gigi mayat membuat Agrippina
yakin bahwa kepala tersebut adalah benar kepala Lollia.
Pada tahun 1776, dalam suatu perang Bukker Hill terdapat korban Jenderal
Yoseph Warren, oleh drg. Paul Revere dapat dibuktikan bahwa melalui gigi palsu
yang dibuatnya yaitu berupa Bridge Work gigi depan dari taring kiri ke taring
kanan yang ia buat sehingga drg. Paul Revere dapat dikatakan dokter gigi
pertama yang menggunakan ilmu kedokteran gigi forensik dalam pembuktian.
Pada tahun 1887 Godon dari Paris merekomendasikan penggunaan gigi untuk
identifikasi orang yang hilang. Untuk itu ia menganjurkan agar para dokter gigi
menyimpan data gigi para pasiennya, untuk berjaga-jaga kalau-kalau kelak data
tersebut diperlukan sebagai data pembanding.
Kasus identifikasi personal yang terkenal adalah kasus pembunuhan Dr. George
Parkman, seorang dokter dari Aberdeen, oleh Professor JW Webster. Pada kasus
ini korban dibunuh, lalu tubuhnya dipotong-potong lalu dibakar di perapian.

Polisi mendapatkan satu blok gigi palsu dari porselin yang melekat pada
potongan tulang. Dr. Nathan Cooley Keep, seorang dokter bedah mulut
memberikan kesaksian bahwa gigi palsu itu adalah bagian dari gigi palsu
buatannya pada tahun 1846 untuk Dr. Parkman yang rahang bawahnya amat
protrusi.
Pada tanggal 4 Mei 1897, sejumlah 126 orang Farisi dibakar sampai meninggal di
Bazaar de la Charite. Para korban sulit diidentifikasi secara visual karena
umumnya dalam keadaan terbakar luas dan termutilasi. Berdasarkan pemeriksaan
Dr. Oscar Amoedo (dokter gigi Kuba yang berpraktek di Paris) dan dua orang
dokter gigi Perancis, Dr. Davenport dan Dr. Braul untuk melakukan pemeriksaan
gigi-geligi para korban kemudian ternyata mereka berhasil mengidentifikasi
korban-korban ini.
Pada tahun 1917 di dermaga Brooklyn ditemukan mayat yang kemudian
dipastikan sebagai seorang wanita yang telah menghilang 8 bulan sebelumnya.
Identifikasi pada kasus ini ditegakkan berdasarkan temuan bridge pada gigi
geliginya.
Sekitar tahun 1960 ketika program instruksional formal kedokteran gigi forensik
pertama dibuat oleh Armed Force Institute of Pathology, sejak saat itu banyak
kasus penerapan forensik odontologi dilaporkan dalam literatur sehingga forensik
odontologi mulai banyak dikenal bukan saja di kalangan dokter gigi, tetapi juga
di kalangan penegak hukum dan ahli-ahli forensik.

Anda mungkin juga menyukai