Anda di halaman 1dari 27

KOLELITIASIS

aspek patogenesis dan laboratoris


I G. Ayu Wiradari T / Leonita Anniwati
1. PENDAHULUAN
Kolelitiasis berasal dari bahasa Yunani, chole berarti empedu, lith berarti batu,
iasis berarti proses. Kolelitiasis ( Gallstone / batu empedu ) adalah adanya batu
atau material atau kristal di dalam kandung empedu1,2. Bentuk dan ukuran batu
empedu bermacam-macam, dari yang sebesar pasir sampai sebesar bola golf,
dengan jumlah satu yang besar atau kecil-kecil berjumlah banyak3.
Kolelitiasis merupakan salah satu penyakit gastrointestinal yang paling sering
terjadi pada sistem bilier dan menyebabkan pasien datang ke rumah sakit 4,5.
Adanya batu empedu di dalam kandung empedu dapat menyebabkan terjadinya
kolesistitis akut, inflamasi yang ditandai dengan retensi empedu yang ada di
dalam kandung empedu, dan infeksi sekunder yang disebabkan oleh
mikroorganisme usus, terutama Escherichia coli, Klebsiella, Enterobacter, dan
Bacteroides sp.1
Penyakit batu empedu awalnya sering ditemukan di negara Barat dan jarang
terjadi di negara berkembang. Seiring dengan berkembangnya jaman dan
perubahan diet mengikuti negara barat serta berkembangnya pemeriksaan
ultrasonografi ( USG ), prevalensi kejadian penyakit batu kandung empedu
meningkat di negara berkembang, termasuk Indonesia. Penyakit ini sering
ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan USG abdomen dengan keadaan
tanpa gejala6.
Ditemukan 10% - 20 % kasus pada orang dewasa, angka kejadian lebih tinggi
pada wanita, dua kali dibandingkan laki-laki. Prevalensi terjadinya batu empedu di
Asia sekitar 3%-15%, sedangkan di negara Barat dilaporkan sekitar 7,9% pada
laki-laki dan 16,6% pada wanita4 . Kejadian batu empedu juga tinggi pada etnis
tertentu seperti wanita Pima Indian, yaitu 73%, sedangkan pada wanita Meksikan
Amerika 26,7% dan 8,9% pada laki-laki 4,7.
Prevalensi di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSCM
Jakarta pada tahun 2009, dari 51 pasien di bagian hepatologi ditemukan 73%
pasien yang menderita penyakit batu empedu pigmen dan 27% batu empedu
kolesterol6.
Menurut penelitian yang sudah dilakukan, faktor risiko yang berperan pada
terjadinya batu empedu adalah faktor usia, jenis kelamin, kehamilan, obesitas,
1

faktor genetik, diet rendah serat, turunnya berat badan dengan cepat, penyakit
hemolitik kronis, reseksi ileum, nutrisi parenteral yang lama, pemberian obat (
Ceftriaxone ), investasi parasit seperti Ascaris lumbricoides2,45,8,9.
Tujuan penulisan tinjauan pustaka ini adalah menjelaskan patogenesis serta
pendekatan klinis dan

laboratoris dalam membantu menegakkan diagnosis

kolelitiasis.
2. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM BILIER
2.1 Anatomi
Kandung empedu merupakan sebuah kantung berbentuk seperti buah alpukat,
panjangnya 7-10 cm dengan kapasitas 30-50 ml, ketika terdistensi dapat mencapai
300 ml. Kandung empedu berlokasi di lekukan pada permukaan bawah hepar,
yang secara anatomi membagi hepar menjadi lobus kanan dan lobus kiri. Kandung
empedu dibagi menjadi empat area secara anatomi ; fundus, korpus,
infundibulum, dan leher

10

.Secara skematis, anatomi kandung empedu dapat

dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini.

Gambar 2.1. Anatomi kandung empedu

Duktus biliaris ekstra hepatik terdiri dari duktus hepatikus kanan dan kiri,
duktus hepatikus komunis, duktus sistikus, dan duktus koledokus. Duktus
koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vateri ( bagian
duktus yang melebar ) sebelum bermuara ke duodenum. Bagian akhir dari kedua
saluran dan ampula, dikelilingi oleh serabut otot sirkular yang dikenal sebagai
Sfingter Oddi.
2

Fungsi Sfingter Oddi adalah mencegah empedu memasuki duodenum kecuali


selama proses pencernaan makanan. Apabila sfingter tertutup, sebagian besar
empedu yang disekresikan hati akan dibawa ke kandung empedu.
Fungsi kandung empedu yang utama adalah menyimpan dan memekatkan
empedu. Empedu hati disimpan dalam kandung empedu sampai pada saat
diperlukan dalam proses pencernaan. Empedu hati sebelumnya dipekatkan melalui
absorbsi air dan garam-garam anorganik transmukosa, sehingga empedu dalam
kandung empedu lebih pekat 10 kali dibandingkan dengan empedu hati.
Secara berkala kandung empedu pada kondisi normal akan mengosongkan
isinya ke dalam duodenum melalui kontraksi simultan lapisan ototnya dan
relaksasi sfingter Oddi. Adanya lemak di dalam makanan merupakan rangsangan
terkuat untuk menimbulkan kontraksi kandung empedu 10,11.
Salah satu yang merangsang pengosongan kandung empedu adalah hormon
kolesistokinin ( CCK ), yang merupakan sel amine-precursor uptake ( APUD )
dari selaput lendir usus halus duodenum. CCK dilepaskan oleh mukosa duodenum
sebagai respon terhadap rangsangan makanan berlemak atau produk lipolitik
dalam lumen duodenum. Ketika terjadi stimulasi makanan, maka kandung
empedu akan mengosongkan isinya sekitar 50-70% dalam waktu 30-40 menit.
Dengan demikian CCK menyebabkan kontraksi kandung empedu setelah makan.
Kandung empedu akan terisi kembali setelah 60-90 menit, hal ini berkorelasi
dengan berkurangnya kadar CCK.
2.2 Fisiologi produksi dan aliran empedu.
Cairan empedu diproduksi oleh hepar sebanyak 500-600 mL setiap hari yang
kemudian dialirkan dan disimpan ke dalam kandung empedu. Fungsi cairan
empedu selain membawa dan membuang racun dalam tubuh, juga membantu
tubuh untuk mencerna lemak serta vitamin yang larut dalam lemak, yaitu vitamin
A, D, E, K. Cairan empedu hepar bersifat isotonik dan mengandung elektrolit
yang memiliki komposisi serupa dengan komposisi elektrolit plasma. Komposisi
elektrolit cairan empedu yang berada di dalam kandung empedu berbeda dengan
empedu di hepar karena anion inorganik dan air direabsorbsi melalui epitel
kandung empedu, sehingga konsentrasi cairan empedu meningkat di kandung
empedu 12.
Bahan utama yang terkandung dalam cairan empedu adalah asam empedu
(80%), fosfolipid dan kolesterol yang teresterifikasi (4%). Asam empedu dibentuk
dari kolesterol. Proses oksidasi dan hidroksilasi kolesterol dalam sel-sel hati,
membentuk asam empedu primer, yaitu asam kolat dan asam kenodeoksikolat.
3

Asam ini berkonjugasi dengan glisin dan taurin dan disekresikan ke dalam
empedu dalam bentuk garam natrium atau kalium. Garam empedu ini berfungsi
membentuk kompleks-kompleks kecil dengan lemak yang disebut misel ( micelles
) sehingga menjadi mudah larut dan dapat diabsorbsi mukosa usus.

Garam

empedu di lumen kolon diubah oleh bakteri menjadi asam empedu sekunder
( asam deoksikolat dan asam litokolat ). Asam deoksikolat akan diserap dan
kembali ke hati melalui vena porta ( siklus enterohepatik ), sedangkan asam
litokolat sebagian besar dibuang melalui feses dan sebagian diubah oleh bakteri
usus menjadi ursodeoksikolat dan diserap kembali. Asam empedu di hati akan
mengalami konjugasi kembali dengan glisin atau taurin dan selanjutnya kembali
mengikuti siklus enterohepatik ( gambar 2.2 ). Asam litokolat

hampir tidak

ditemukan dalam cairan empedu, karena asam ini tidak masuk ke dalam siklus
entero-hepatik12.
Kelarutan kolesterol dalam cairan empedu tergantung pada konsentrasi
kolesterol sendiri dan perbandingan antara asam empedu dan lesitin. Lesitin
merupakan fosfolipid utama yang terdapat dalam cairan empedu. Hubungan
kolesterol, asam empedu dan lesitin dapat digambarkan dengan suatu segitiga
yang dikenal dengan Triangular Coordinats yang menggambarkan konsentrasi
kelarutan kolesterol dalam suatu campuran dengan lesitin dan asam empedu
( gambar 2.3). The maximum equilibrium solubility dari kolesterol ditentukan oleh
rasio kolesterol, lesitin dan asam empedu, yang dinyatakan dalam indeks saturasi
koleterol. Misel terbentuk jika titik potong konsentrasi relatif dari ketiga
komponen terletak pada area micellar. Keadaan ini dalam kondisi stabil untuk
mencegah terbentuknya batu. Jika titik potong konsentrasi empedu terletak di luar
area tersebut, maka empedu bersifat litogenik 2,11.

Gambar 2.2 Siklus enterohepatik asam empedu (http://www.mithattosun.com )

Gambar 2.3. Triangular coordinat2

3. KLASIFIKASI BATU EMPEDU


5

Beberapa penelitian mengenai analisis batu empedu telah dilakukan sejak awal
abad ke 20. Maka dibuat beberapa klasifikasi untuk membedakan jenis dari batu
empedu. Naunyn, tahun 1896, mengklasifikasikan batu empedu berdasarkan
faktor penyebabnya, yaitu batu empedu karena stasis atau karena infeksi.
Klasifikasi

ini

menambahkan

digunakan

sampai

pada

tahun

1924, dimana Aschoff

klasifikasi penyebab dengan berdasarkan penyakit metabolik

(tabel 3.1). The 1st National Institutes of Health (NIH) International Workshop
on Pigment Gallstone Disease yang diadakan pada bulan Mei 1981 di Universitas
Pennsylvania, dimana pada workshop tersebut, klasifikasi batu empedu dibuat
menjadi batu empedu kolesterol dan batu empedu pigmen, yang kemudian
dibedakan lagi menjadi batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat.
Gallstone Research Committee dari the Japanese Society of Gastroenterology
tahun 1986 membuat klasifikasi yang lain, dikenal dengan Japanese
classification, dimana batu empedu dibagi menjadi 3 kelompok yaitu batu
empedu kolesterol, batu empedu pigmen dan batu empedu yang jarang. Batu
empedu kolesterol dan batu empedu pigmen dibagi lagi berdasarkan komposisi di
dalamnya ( tabel 3.2 ).
Tabel 3.1. Klasifikasi penyebab batu empedu menurut Aschoff

1. Peradangan
2. Metabolik
a. Pigmen murni
b. Kalsium bilirubinat ( raspberry )
c. Kolesterin murni ( solitaire )
3. Batu kombinasi
Peradangan metabolik primer ( central nidus ) dan sekunder ( peripheral
encrustations )
4. Batu stasis
Primary in common duct ( Earthy )

Tabel 3.2. Klasifikasi batu empedu menurut Japanese Society of Gastroenterology

1. Batu kolesterol
a. Batu kolesterol murni
6

b. Batu kombinasi
c. Batu campuran
2. Batu pigmen
a. Batu pigmen hitam
b. Batu kalsium bilirubinat
3. Batu yang jarang
Klasifikasi yang banyak digunakan saat ini adalah klasifikasi batu empedu
berdasarkan komposisi utamanya, sesuai dengan klasifikasi dari NIH.
Berdasarkan hal tersebut, batu empedu dibagi menjadi batu empedu kolesterol
dan batu empedu pigmen. Batu empedu kolesterol mengandung kolesterol lebih
dari 70 %, sedangkan pada batu empedu pigmen, kandungan kolesterol tidak
lebih dari 30%. Perbedaan batu empedu kolesterol dan batu empedu pigmen
( hitam dan coklat dapat dilihat pada tabel 3.3.
Klasifikasi batu empedu berdasarkan morfologinya, sesuai klasifikasi
Japanese Society of Gastroenterology, batu empedu dibedakan menjadi gambaran
luar ( warna dan bentuk ), struktur dalamnya ( cross sectional shape ). Batu
kolesterol murni pada potongan melintang, tampak struktur radial dari pusat ke
perifer. Kebanyakan batu empedu kolesterol memiliki pigmen di pusat dan kristal
kolesterol tampak nyata. Gambaran luar biasanya berbentuk

oval sampai

lingkaran, warna bisa putih sampai kuning, secara khusus dikenal dengan
bentukan mulberry.
Batu empedu campuran dan kombinasi berbeda pada sebaran kolesterol dan
komposisi lainnya. Potongan melintang batu kombinasi terbagi menjadi dua
bagian yaitu pada potongan luar mengandung pigmen, sedangkan bagian tengah
mengandung kolesterol. Bentuk luar batu empedu kombinasi adalah oval atau
lingkaran dengan warna kecoklatan atau coklat gelap karena mengandung
pigmen. Potongan permukaan batu empedu campuran adalah campuran bentuk
konsentris dan radial karena komponen utamanya kolesterol dan pigmen. Bentuk
permukaan batu empedu campuran bervariasi dari lingkaran sampai persegi,
dengan variasi warna putih kekuningan, coklat kekuningan, coklat kehijauan atau
coklat hitam.
Batu pigmen menurut klasifikasi Japanese Society of Gastroenterology,
dibedakan menjadi kalsium bilirubinat dan batu hitam berdasarkan potongan
permukaannya. Potongan melintang batu kalsium bilirubinat memiliki bentuk

konsentris , sedangkan batu empedu hitam memiliki bentuk amorf. Potongan


permukaan batu pigmen memperlihatkan struktur yang bertingkat ( lamelar ) atau
amorf tanpa struktur kristal radial yang terdapat pada batu kolesterol (gambar
3.1)13.
Tabel 3.3 Perbedaan batu kolesterol, batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat 2,5.

Karakteristik

Batu Kolesterol

Batu pigmen hitam

Warna

Kuning coklat, putih Hitam

Coklat-oranye

Konsistensi

kecoklatan
Keras

Lembek

Jumlah,

Multipel : 2-25 mm Multipel

ukuran,

halus

ketajaman

Soliter : 2-4 cm, bulat

Komposisi

halus
Kolesterol

Keras
:<5

mm Multipel : 10-30 mm

tidak teratur, halus

Polimer

Batu pigmen coklat

bulat, halus

pigmen Kalsium

bilirubinat

monohidrat

>50%, (40%),

garam (60%), calcium fatty

glikoprotein,

garam kalsium ( karbonat, acid soaps palmitat

kalsium

fosfat

Lusen

(2%),
50% Opak

(15%)
Lusen

s
Lokasi dalam Kandung empedu

Kandung empedu

Duktus

sistem bilier
Asosiasi

Duktus
Sindrom metabolik

Duktus intrahepatik
Hemolisis

Infeksi

klinik

Tidak ada infeksi

Sirosis

Inflamasi

Tidak ada inflamasi

Nutrisis parenteral

( Stasis ,striktur )

( sekresi kolesterol

( ekskresi bilirubin

berlebihan )

berlebihan )

Radiodensita

),

kolesterol (15%),

kolesterol

Potongan permukaan batu kolesterol murni


dengan struktur radial dari pusat ke perifer

Potongan melintang batu pigmen coklat


dengan lapisan konsentris

Potongan melintang batu empedu


kombinasi. Terdapat dua lapisan dengan
bagian luar mengandung pigmen, lapisan
dalam mengandung kolesterol

Potongan melintang batu empedu


pigmen hitam dengan bentukan amorf

Potongan permukaan batu empedu


campuran dengan pola konsentris dan radial

Gambar 3.1. Batu empedu berdasarkan morfologi dengan potongan melintang13

4. PATOGENESIS
Terbentuknya batu empedu tergantung pada komposisi yang terkandung
didalamnya. Waktu yang diperlukan untuk timbulnya batu bervariasi rata-rata 3-5
mm pertahun dan pada keadaan tertentu dapat lebih cepat4. Pasien dengan nutrisi
parenteral total atau pada obesitas dengan penurunan berat badan yang cepat,
interval terjadinya batu dapat dalam hitungan minggu2.
Berdasarkan gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu empedu
dapat dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. batu kolesterol, mengandung lebih dari 70% kolesterol
2. batu pigmen ( pigmen hitam dan coklat )
9

3. batu empedu tipe yang lain2,4,14.


4.1 Patogenesis terbentuknya batu kolesterol
Teori klasik menyatakan bahwa batu kolesterol umumnya terdapat pada
perempuan ( female ), gemuk ( fatty ), yang dalam masa subur ( fertile ), dan yang
berusia diatas 40 tahun ( forty )12. Jenis batu ini banyak ditemukan di negara
barat,yaitu sekitar 70%6,9,.
Terbentuknya batu kolesterol ditentukan oleh tiga faktor utama , yaitu
supersaturasi kolesterol, nukleasi kolesterol, dan disfungsi kandung empedu
2,5,12,14,15

4.1.1 Supersaturasi kolesterol


Kolesterol disekresi dalam bentuk unilamellar phospholipid vesicle. Vesikel
ini larut dalam misel yang permukaan luarnya bersifat hidrofilik pada cairan
empedu normal. Bagian dalam misel bersifat hidrofobik dan kolesterol ada di
dalam misel. Cairan empedu yang jenuh kolesterol atau konsentrasi asam empedu
rendah maka kelebihan kolesterol tidak dapat ditranspor oleh misel, sehingga
terjadi peningkatan kolesterol dalam vesikel. Vesikel unilamelar yang jenuh
kolesterol membentuk kolesterol multilamelar dan beragregasi membentuk inti
kristal kolesterol. Kristal kolesterol akan terus tumbuh dan menggumpal dengan
musin membentuk batu.
Batu kolesterol terbentuk ketika konsentrasi kolesterol dalam saluran empedu
melebihi kemampuan empedu untuk mengikatnya dalam suatu pelarut. Proses
supersaturasi terjadi akibat peningkatan sekresi kolesterol, penurunan sekresi
asam empedu atau keduanya2,12.
4.1.2

Nukleasi kolesterol

Terbentuknya inti kristal kolesterol monohidrat penting dalam terbentuknya


batu kolesterol. Nukleasi kristal kolesterol lebih berperan dibandingkan
supersaturasi kolesterol, karena tidak semua kandung empedu dengan
supersaturasi kolesterol ditemukan batu kolesterol.
Vesikel kolesterol yang mempunyai rasio kolesterol-fosfolipid yang tinggi
beragregasi dan membentuk kristal dengan cepat. Vesikel ini terdapat di dalam
kandung empedu. Vesikel kolesterol dalam cairan empedu hepar lebih stabil dan
tahan terhadap nukleasi karena perbandingan kolesterol dan fosfolipid yang
rendah.
Protein yang berperan dalam nukleasi kolesterol, antara lain musin, 1-acid
glycoprotein, 1-antichymotripsin, dan fosfolipase C. Musin adalah protein yang
10

mempercepat kristalisasi kolesterol dengan membentuk vesikel kolesterol


multilamelar yang mempunyai kecenderungan lebih besar untuk mengkristal.
Protein tersebut kadarnya meninggi secara signifikan pada kandung empedu
dengan batu dibandingkan kandung empedu dengan supersaturasi kolesterol tanpa
batu kandung empedu4,12.
4.1.3

Disfungsi kandung empedu.

Disfungsi mencakup perubahan pada epitel mukosa kandung empedu dan


dismotilitas kandung empedu. Kontraksi kandung empedu yang tidak baik
menyebabkan stasis empedu. Stasis empedu merupakan salah satu faktor risiko
terbentuknya batu empedu karena musin akan terakumulasi seiring dengan
lamanya cairan empedu tertampung di dalam kandung empedu. Musin yang
semakin kental akan mengganggu pengosongan kandung empedu. Pergerakan
kandung empedu dapat menghambat pembentukan batu4,12. Dismotilitas kandung
empedu dan pembentukan musin yang berupa gel, mempermudah terjadinya
agregasi kristal monohidrat kolesterol yang menyerupai lempengan yang
menumpuk yang bertambah besar sehingga menjadi batu kolesterol ( gambar 4.1).

Gambar 4.1 Proses terbentukan batu kolesterol

Pembentukan kristal kolesterol dapat dipicu dan dihambat oleh suatu zat
tertentu. Diperkirakan bahwa pemicu ( promoter ) dan penghambat ( inhibitor ) ini
berperan saat pembentukan inti kolesterol. Protein dapat bertindak sebagai
promoter dan inhibitor. Protein bilier merupakan suatu promoter, sedangkan
protein empedu suatu inhibitor. Faktor antinukleasi ( Apolipoprotein A-I dan
Apolipoprotein A-II ) dari protein tersebut menjaga kestabilan vesikel kolesterol
fosfolipid dalam empedu normal dan menghambat proses kristalisasi. Musin dari
11

kandung empedu juga mempercepat pembentukan kristal kolesterol. Kecepatan


pembentukan kristal ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara faktor pro dan
antinukleasi2.
Pigmen yang terdapat di dalam inti batu kolesterol berhubungan dengan
lumpur bilier pada stadium awal pembentukan batu 14. Lumpur bilier merupakan
suatu suspensi yang terbentuk dari presipitat kalsium bilirubinat, kristal-kristal
kolesterol dan mukus. Lumpur bilier menandakan adanya ketidakseimbangan
antara sekresi dan eliminasi musin yang terganggu dan adanya nukleasi bahan
terlarut dalam cairan empedu. Lumpur bilier sering dijumpai pada keadaan yang
menyebabkan hipomotilitas kandung empedu dan adanya nukleasi bahan terlarut
dalam cairan empedu12.
4.2 Patogenesis terbentuknya Batu Pigmen
Batu pigmen mengandung komponen utama yaitu kalsium bilirubinat dan
mengandung kurang dari 20% kolesterol. Batu pigmen merupakan jenis batu yang
banyak ditemukan di negara Timur, terutama batu pigmen coklat 14,15. Terdapat dua
macam batu pigmen, yaitu batu pigmen hitam dan batu pigmen coklat.
4.2.1 Batu pigmen hitam.
Batu pigmen hitam terbentuk di dalam empedu steril pada kandung empedu.
Batu pigmen hitam tersusun oleh 80% kalsium bilirubinat, kalsium karbonat,
kalsium fosfat, glikoprotein musin dan sedikit kolesterol. Bilirubin tak
terkonjugasi dalam pigmen empedu normal terdapat dalam jumlah yang sedikit
( 1% ), namun sangat sensitif mengalami presipitasi oleh ion kalsium. Proses awal
terbentuknya batu diduga akibat terjadinya proses polimerisasi

sehingga

terbentuk polimers of cross-linked bilirubin tetrapyrroles2.


Mekanisme pembentukan batu pigmen hitam belum diketahui secara pasti,
namun diduga disebabkan karena empedu mengalami supersaturasi oleh bilirubin
indirek, perubahan pH dan kalsium serta produksi yang berlebihan dari
glikoprotein ( gambar 4.2 ). Hal ini disebabkan oleh karena peningkatan sekresi
bilirubin akibat hemolisis, proses konjugasi bilirubin tidak sempurna ( penyakit
sirosis hati ) dan proses dekonjugasi2,4,8.

12

Gambar 4.2 . Proses terbentuknya batu pigmen hitam2

4.2.2

Batu pigmen coklat.

Batu pigmen coklat berbeda dengan batu pigmen hitam. Kelainan hemolitik
bukan merupakan faktor predisposisi batu pigmen coklat. Faktor predisposisi
terbentuknya batu coklat adalah infeksi dan kelainan anatomis saluran empedu
yang mengakibatkan stasis. Infeksi kronis pada duktus biliaris oleh karena bakteri
seperti Escherichia coli, Bacteroides spp, dan Clostridium spp, parasit
Opisthorchis veverrini, Clonorchis sinensis, dan Ascaris lumbricoides dikaitkan
dengan terjadinya batu pigmen coklat4,14,15.
Komposisi batu pigmen coklat didominasi oleh asam lemak bebas, terutama
palmitat dan stearat. Palmitat dan stearat tidak dijumpai bebas pada empedu
normal, dan biasanya diproduksi oleh bakteri. Keadaan kronis dan stasis empedu
dalam saluran empedu mengakibatkan bakteri memproduksi enzim glukuronidase yang kemudian memecah bilirubin direk menjadi bilirubin indirek.
Bakteri juga memproduksi phospholipase A-1 dan enzim hidrolase garam
empedu. Phospholipase A-1 mengubah lesitin menjadi asam lemak jenuh,
sedangkan enzim hidrolase garam empedu mengubah garam empedu menjadi
asam empedu bebas. Produk-produk tersebut akan mengadakan ikatan dengan
kalsium membentuk garam kalsium. Garam kalsium bilirubinat, garam kalsium
dari asam lemak ( palmitat dan stearat ) dan kolesterol membentuk suatu batu
13

lunak ( gambar 4.3 )

2,15

. Peran bakteri adalah dalam proses adhesi pigmen

empedu.

Gambar 4.3 . Proses terbentuknya batu pigmen coklat2

4.3 Batu empedu tipe lain


Jenis batu ini jarang terjadi. Contoh batu tipe ini adalah akibat konsumsi
antibiotika Ceftriaxone jangka lama. Ceftriaxone ditemukan dalam kandung
empedu pada konsentrasi tinggi dan dalam keadaan utuh, kemudian bergabung
dengan kalsium dalam empedu menjadi bahan yang tidak larut. Batu empedu ini
bersifat reversible, akan hilang setelah konsumsi Ceftriaxone dihentikan2.
5. GEJALA KLINIS
Gambaran klinis pada pasien dengan kolelitiasis dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu asimptomatik, simptomatik, dan dengan komplikasi. Batu di kandung
empedu umumnya tidak menunjukkan gejala klinis kecuali bila batu tersebut
bermigrasi ke leher kandung empedu atau ke dalam saluran empedu, yang disebut
koledokolitiasis ( gambar 5.1 ). Diperkirakan 60%-80% adalah asimptomatik,
terutama apabila batu empedu menetap di dalam kandung empedu. Batu empedu
pada keadaan ini dapat terdiagnosis melalui pemeriksaan USG abdomen pada
pemeriksaan dengan alasan yang lain, seperti pemeriksaan berkala. Batu empedu

14

yang asimptomatis ini hanya 10% akan timbul gejala dalam 5 tahun, dan 5% yang
memerlukan tindakan bedah5,12.

Gambar 5.1. Letak batu empedu ( www.mdguidelines.com )

Migrasi batu empedu ke dalam leher kandung empedu akan menyebabkan


obstruksi dari duktus sistikus yang mengakibatkan iritasi mukosa kandung
empedu oleh cairan empedu yang tertinggal, diikuti invasi bakteri sehingga
terjadi kolesisititis akut atau kronis12.
Sekitar 70-80% batu empedu yang simptomatis menunjukkan gejala kolik
bilier yang khas, seperti nyeri yang dirasakan menetap, nyeri yang sangat pada
perut bagian kanan atas dan waktunya lebih dari 30 menit. Gejala yang timbul
akibat obstruksi atau inflamasi karena batu tersebut bermigrasi ke leher kandung
empedu dan menyumbat duktus sistikus atau duktus koledokus sehingga timbul
rasa nyeri akibat spasme di sekitar duktus sistikus. Kolik dirasakan di kuadran
kanan atas abdomen atau epigastrium yang dapat menjalar ke punggung bagian
kanan atau bahu kanan2,12,14.
Kolik bilier dimulai secara tiba-tiba dan intensitasnya meningkat tajam dalam
interval 15 menit dan menetap selama tiga sampai lima jam. Episode nyeri bilier
sering disertai mual dan muntah, sering dicetuskan oleh makanan berlemak atau
dapat timbul tanpa pencetus dan sering timbul malam hari, penderita biasanya
gelisah dan tidak mendapatkan posisi yang nyaman. Interval serangan tidak dapat
diprediksi dan dapat berlangsung mingguan, bulanan atau tahunan2,12.
Demam atau menggigil dengan nyeri bilier biasanya menunjukkan suatu
penyulit atau komplikasi seperti kolesistitis, pankreatitis atau kolangitis12.
6. DIAGNOSIS
Sebelum dikembangkannya pencitraan mutakhir seperti USG, penyakit batu
empedu sering salah didiagnosis sebagai gastritis atau hepatitis berulang. Dewasa
ini USG merupakan pencitraan pilihan pertama untuk mendiagnosis batu kandung
15

empedu dengan sensitivitas tinggi melebihi 95% sedangkan untuk deteksi batu
saluran empedu sensitivitasnya relatif rendah berkisar 18-74%14.
6.1 Anamnesis
Gejala nyeri kolik bilier yang khas, kadang disertai mual muntah atau demam
( infeksi ), kuning pada mata dan kulit sering disertai gatal, kencing berwarna
seperti teh dan feses berwarna pucat dapat ditemukan pada anamnesis12,14.
6.2 Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda kolestasis yang ditemukan pada pemeriksaan fisik diantaranya
ikterus, yaitu pigmentasi berwarna kuning atau kehijauan pada kulit karena kadar
bilirubin di dalam plasma lebih dari 2,5 3 mg/dL. Nyeri di kuadran kanan atas
abdomen yang sering meluas hingga ke daerah epigastrium, berupa tanda klasik
dari Murphy yang menunjukkan nyeri yang nyata dan inspirasi yang terbatas pada
palpasi yang dalam di bawah arkus kosta kanan. Massa kandung empedu dapat
teraba pada 30% - 40% kasus12.
6.3 Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan diantaranya :
a. Enzim hati seperti SGOT dan SGPT, pada obstruksi saluran empedu
ekstrahepatik akut, kadar SGPT meningkat lebih tinggi dibandingkan SGOT.
b. Alkaline Phosphatase ( ALP ) adalah enzym yang berasal dari jaringan, seperti
tulang, usus halus, hati dan plasenta. Obstruksi saluran empedu mengakibatkan
peningkatan dalam darah karena terjadi gangguan ekskresi. Peningkatan nilai ALP
> 4 kali normal kemungkinan disebabkan oleh kolestasis, kanker hati dan penyakit
Pagets.
c. -Glutamyltransferase ( GGT ) terutama terdapat di hati, ginjal, dan pankreas.
Aktivitas GGT meningkat pada semua bentuk penyakit hati. Tes ini lebih sensitif
daripada ALP, ALT maupun AST dalam mendeteksi ikterus obstruktif, kolangitis,
dan kolesistitis.
d. 5Nucleotidase ( 5NT ), enzim ini dihasilkan oleh bermacam-macam jaringan
dan peningkatan enzim ini dikaitkan dengan penyakit hepatobilier.
e. Lecithin-cholesterol acyltransferase ( LCAT ) adalah enzim yang berguna
untuk mengubah kolesterol bebas menjadi bentuk kolesterol ester. Penurunan
produksi LCAT, menyebabkan peningkatan kolesterol bebas dan fosfolipid dan
juga menyebabkan abnormalitas LDL yang dinamakan lipoprotein X ( LP-X).
16

LP-X mengandung kolesterol bebas dan fosfolipid yang tinggi. Peningkatan LP-X
menjadi indikator spesifik untuk keadaan obstruksi traktus bilier.
f. Kolesterol. Kolestasis intra ataupun ekstrahepatik akan mengakibatkan
peningkatan kadar kolesterol bebas, low density lipoprotein ( LDL ), serta
penurunan high density lipoprotein ( HDL ).
g. Asam empedu. Sel hati memproduksi asam empedu dari kolesterol untuk
menyerap lemak dari usus. Pemeriksaan asam empedu dipengaruhi oleh makanan
sehingga dianjurkan puasa sebelum dilakukan pemeriksaan. Asam empedu
sekunder ( litokolat, deoksikolat ) tidak terbentuk pada kolestasis, sehingga rasio
asam empedu primer ( asam kolat dan asam kenodioksikolat ) terhadap sekunder
sangat meningkat.
h. Bilirubin merupakan komponen dari cairan empedu yang dihasilkan oleh hati.
Bilirubin terkonjugasi meningkat karena adanya sumbatan pada saluran empedu
dan kerusakan hati.
i. Amilase dan atau lipase abnormalitasnya tidak dapat digunakan untuk diagnosis
batu empedu. Peningkatan kadar amilase dan atau lipase, dapat diduga ada
masalah pada hepar, duktus biliaris atau pankreas dan batu empedu, khususnya
obstruksi yang mendadak pada duktus pankreatikus.
j. Leucin Aminopeptidase ( LAP ) yaitu enzim intraseluler yang terdapat dalam
sistem hepatobilier dan dalam jumlah kecil pada pankreas dan usus halus. LAP
merupakan indikator sensitif terhadap adanya kolestasis. LAP juga dapat
digunakan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit tulang pada penderita
kolestasis dengan ALP yang meningkat7,12,16.
k. Analisis batu empedu dilakukan untuk mengetahui kandungan kimia yang
terdapat di dalamnya sehingga dapat diketahui penyebab dan faktor risiko sebagai
predisposisi terbentuknya batu empedu 13,17,18,19.
Spesimen batu empedu diperiksa bentuk, ukuran, berat dan warna masingmasing. Batu empedu yang ditemukan dalam jumlah yang banyak pada satu
pasien, maka batu yang dianalisis adalah yang ukurannya paling besar kemudian
diidentifikasi sebagai batu empedu kolesterol, batu empedu pigmen hitam atau
batu empedu pigmen coklat, secara makroskopis20.
Cara analisis batu empedu :
1. Batu empedu yang didapat setelah pembedahan ditempatkan pada wadah
yang steril dibiarkan di udara kering kemudian dicuci perlahan dengan
17

menggunakan deionised water ( untuk melepaskan empedu dan kotoran ),


kemudian dikeringkan. Setelah menilai bentuk, ukuran, jumlah, dan warna,
batu dipotong menjadi empat bagian, satu bagian dihaluskan dengan
mortar selama 5 menit sampai menjadi serbuk. Satu sampai 2 mg serbuk
dicampur dengan 300 mg potasium bromide (KBr). Campuran ini
kemudian ditekan dengan tekanan 8-9 ton sampai berbentuk lempengan
dengan diameter 13 mm. Lempengan sampel diperiksa dengan Fourier
Transform Infrared ( FTIR ) spektrometer dengan panjang gelombang
400-4000 cm-1 dengan resolusi 4 cm-1. Kontrol spektra digunakan untuk
analisis derajat kolesterol, bilirubin, kalsium dan magnesium bilirubinat.
Komposisi batu ditentukan berdasarkan FTIR-spectra sesudah dianalisis
dengan Biorad Win IR software ( version 2.04).
Batu diklasifikasikan sebagai batu kolesterol atau bilirubinat, tergantung
komposisi yang lebih dominan. Klasifikasi semikuantitatif :
a. Main , jika komponennya > 30% batu empedu ( berat/berat ),
b. Intermediate, komponen antara 10-30% batu empedu ( berat/berat ) ,
c. Trace komponen < 10% dari batu empedu ( berat/berat ).
Keterbatasan klasifikasi ini karena ada pengaruh faktor interaksi
komponen dengan KBr, perbedaan dalam hidrasi, reaksi perubahan ion,
derajat dispersi antara KBr dan batu empedu20,21,22.
2. Metode lain untuk menentukan kadar kolesterol total dan bilirubin total,
sejumlah 30 mg batu empedu yang sudah dihaluskan dilarutkan ke dalam
tabung yang berisi 3 ml kloroform. Tabung tersebut kemudian dimasukkan
ke dalam water bath pada suhu 100C selama 2 menit. Kadar kolesterol
total dan bilirubin total didapat dengan menganalisis aliquot menggunakan
metode kolorimetri.
Kandungan kalsium, oksalat, fosfat inorganik, magnesium, klorida,
protein, trigliserida, besi, tembaga, natrium dan kalium, diukur dengan
cara 30 mg batu yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam tabung
dengan volume 10 mL yang berisi larutan 3 mL 1N HCl kemudian
ditambahkan air suling sampai volume 10 mL. Tabung dimasukkan ke
dalam water bath dengan air mendidih selama satu jam.
Fosfolipid dianalisis dengan cara 20 mg serbuk batu dilarutkan dalam
15 mL campuran kloroform dan methanol yang mengandung 1N HCl
dengan perbandingan 2:1.

18

Analisis asam empedu dan asam lemak dilakukan dengan cara serbuk
batu dilarutkan dalam campuran kloroform-metanol ( 2:1 ) dan larutan etil
alkohol eter ( 3:1 ). Larutan dimasukkan ke dalam suhu 4C sampai siap
untuk dianalisis.
Kolesterol diestimasi dengan metode kolorimetrik enzimatik, total
bilirubin dengan Accurex Biomedical Pvt.Ltd, trigliserida dengan metode
kolorimetrik enzimatik, oksalat dengan metode kolorimetrik enzimatik,
kalsium dengan o-cresolphtalein complexone ( OCPC ), fosfolipid dan
fosfat

inorganik, magnesium, klorida

dengan

metode kolorimetrik,

kalium dan natrium dengan flame fotometric dan asam empedu dengan
metode kolorimetri17,18.
3. Analisis batu empedu di Laboratorium Patologi Klinik RS Dr. Soetomo
Surabaya.
Prinsip pemeriksaan : batu empedu direaksikan dengan reagen tertentu
akan menghasilkan warna, endapan, atau gas.
Cara pemeriksaan :
Batu ginjal/empedu yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam
tabung yang beratnya masing-masing 0,1 g. Pemeriksaan pH dilakukan
dengan cara menambahkan 1 mL aquadest kemudian dipanaskan sampai
mendidih. pH ditentukan dengan menggunakan pH indikator.
Kandungan karbonat dianalisis dengan menambahkan 1 mL HCl 10%,
bila terdapat karbonat, maka reaksi akan menghasilkan gas.
Kandungan oksalat dianalisis dengan menambahkan 1 mL HCl 10%,
kemudian dipanaskan sampai mendidih, kemudian menambahkan 0,1 g
MnO2. Apabila

terdapat

kandungan

oksalat,

maka

reaksi

akan

menghasilkan gas.
Kalsium dianalisis dengan cara menambahkan 1 mL 1N HCl,
kemudian dipanaskan sampai mendidih. Hasil reaksi akan terbentuk
kekeruhan setelah menambahkan 2 tetes ammonium oksalat jenuh.
Kandungan fosfat dianalisis dengan menambahkan 1mL HNO2 pekat
kemudian dipanaskan sampai mendidih, setelah itu menambahkan 2 tetes
ammonium molibdat 10% dan 2 tetes amoniak. Hasil reaksi akan
memperlihatkan warna coklat sampai kuning apabila terdapat kandungan
fosfat.
Kandungan

ammonium dianalisis dengan menambahkan

0,5 mL

Nessler, hasil reaksi akan terbentuk warna coklat.

19

Kandungan Uric Acid dianalisis dengan menambahkan 0,5 mL reagen


uric acid, kemudian dipanaskan sampai mendidih, menambahkan 2 tetes
NaCN 12%. Reaksi akan menghasilkan

warna biru apabila terdapat

kandungan uric acid.


Kandungan kolesterol dianalisis dengan menambahkan 0,5 mL
Chloroform,

kemudian

dipanaskan

sampai

mendidih,

kemudian

menambahkan 2 tetes asam asetat anhydrid dan 2 tetes H 2SO4 pekat,maka


reaksi akan menhasilkan warna hijau apabila terdapat kandungan
kolesterol23.
6.4 Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang dapat dilakukan adalah foto polos abdomen ,
ultrasonografi ( USG ) atau Magnetic Resonance Cholangiopancreatography
( MRCP ), Endoscopic Retrograde Cholangiopancreatography ( ERCP ).
a. Foto polos abdomen dapat mengidentifikasi batu ( 13%-17% ) jika batu tersebut
radioopak atau mengandung kalsium dengan kadar yang tinggi.
b. USG abdomen merupakan tindakan non invasif, tanpa penggunaan radiasi dan
memiliki sensitivitas sampai 96% untuk mendeteksi batu kandung empedu, tetapi
relatif rendah mendeteksi batu saluran empedu5.

Khasnya didapatkan fokus

ekogenik disertai bayangan akustik, penebalan dinding, gas intramural, dan


pengumpulan cairan perikolesistik. Cairan perikolesistik dan gas intramural sangat
spesifik untuk kolesistitis akut. Lumpur bilier ditemukan biasanya pada obstruksi
bilier ekstrahepatik. USG abdomen dapat digunakan sebagai pemeriksaan
penyaring, terutama pada pasien yang asimptomatik sehingga dapat diberikan
terapi lebih awal dan mencegah terjadinya akibat yang lebih buruk 4,12,24.
c. Cholescintigraphy yaitu pemeriksaan dengan menggunakan zat radioaktif,
biasanya imidoacetic acid, yang dimasukkan ke dalam tubuh secara intravena. Zat
ini akan diabsorpsi hati dan diekskresikan ke dalam empedu. Scan secara serial
menunjukkan radioaktivitas di dalam kandung empedu, duktus koledokus, dan
usus halus dalam 30-60 menit. Pemeriksaan ini dapat memberikan keterangan
adanya sumbatan pada duktus sistikus. Sensitivitasnya 95% untuk pasien dengan
kolesistitis akut, tetapi mempunyai nilai positif palsu 30%-40% pada pasien yang
telah dirawat beberapa minggu dan mendapat nutrisi parenteral.

20

d. Oral Cholecystography merupakan pemeriksaan non invasif lainnya.


Pemeriksaan ini memerlukan persiapan 48 jam sebelumnya terlebih dahulu, yaitu
pasien harus menelan sejumlah zat kontras oral yang mengandung iodine sehari
sebelum dilakukan pemeriksaan. Zat kontras tersebut akan diabsorpsi dan
disekskresikan ke dalam empedu. Iodine di dalam zat kontras akan menghasilkan
opasifikasi dari lumen kandung empedu pada foto polos abdomen. Pemeriksaan
ini digunakan untuk keutuhan duktus sistikus yang dilakukan untuk melakukan
litotripsy atau metode lain untuk menghancurkan batu empedu. Saat ini
pemeriksaan sudah jarang dilakukan.
e. MRCP merupakan pilihan terbaik apabila terdapat kecurigaan adanya batu pada
saluran empedu, dan memiliki sensitivitas antara 92% sampai 100%. Nilai
diagnostik yang tinggi membuat teknik ini sering dikerjakan untuk diagnosis atau
eksklusi batu saluran empedu khususnya pada pasien dengan kemungkinan kecil
mengandung batu. Keunggulan MRCP adalah pencitraan saluran empedu tanpa
risiko yang berhubungan dengan instrumentasi, zat kontras, dan radiasi.
f. ERCP dilakukan bila diperlukan gambaran yang definitif dari sistem bilier dan
saluran pankreas. ERCP adalah suatu prosedur yang dilakukan dengan cara
kolangiografi dan pankreatografi langsung secara retrograd. Indikasi utama ERCP
adalah adanya ikterus obstruktif, misalnya karena batu empedu. Keunggulan
ERCP selain berfungsi sebagai sarana diagnostik juga sekaligus dapat sebagai
terapi pada saat yang sama12,14.

7. DIAGNOSIS BANDING
Rasa nyeri pada kuadran kanan atas perlu dipikirkan adanya penyakit lain
seperti pankreatitis akut, appendisitis retrosekal, perforasi tukak peptik, obstruksi
intestinal, abses hati dan karsinoma hepatoselular. Pleuritis diafragmatik dapat
juga disertai dengan nyeri pada daerah kandung empedu. Infark miokard, nyeri
alih dari lesi otot dan lesi di radiks spinalis dapat menyebabkan nyeri yang
serupa12.
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksaan pasien dengan batu empedu yang simptomatis bertujuan untuk
menghilangkan batu dari kandung empedu dan duktus biliaris dan mencegah
terjadinya komplikasi di kemudian hari4,12.
21

Batu kandung empedu tanpa gejala yang ditemukan secara tidak sengaja
melalui USG abdomen, umumnya dibiarkan saja. Sekitar 10% dari batu empedu
yang asimptomatik akan menimbulkan gejala dalam 5 tahun dan hanya 5% yang
memerlukan tindakan bedah12. Kolesistektomi profilaktif untuk batu asimptomatik
dengan alasan mencegah kanker kandung empedu tidak dianjurkan.
8.1 Pengobatan
8.1.1 Litolisis dengan asam empedu peroral
Dua asam empedu, asam kenodeoksikolat (AKDK) dan asam ursodeoksikolat
(AUDK) digunakan untuk pelarut batu empedu. Kedua obat ini dapat menekan
sintesis kolesterol di hati dengan menghambat hidroksi metil glutaril CoA (HMGCoA) reduktase dan meningkatkan aktivitas dari 7- hidroksilase sehingga
meningkatkan sintesis asam empedu. AUDK juga menurunkan absorbsi atau
resorbsi kolesterol di usus dan memperpanjang waktu nukleasi dari empedu.
Pelarutan sempurna terjadi dalam 6-12 bulan, dan dapat terjadi batu empedu
berulang pada 50% pasien dalam 5 tahun4,12.
Pemberian AUDK dapat menghilangkan

defisiensi

asam

empedu,

menghambat sintesis kolesterol di hepar, dan sekresi kolesterol ke kandung


empedu, begitu juga absorbsi dari saluran cerna sehingga didapatkan konsentrasi
kolesterol empedu akan berkurang dan batu dapat terlarut. Dosis pemberian
AUDK 8-1 2mg/kgBB/hari selama 6 -24 bulan4,12.
Kriteria pasien yang sebaiknya dipenuhi untuk mendapatkan keberhasilan
terapi disolusi adalah :
1. Batu yang terbentuk adalah batu kolesterol atau batu campuran
2. Ukuran batu tidak lebih dari 1,5 cm
3. Kandung empedu masih berfungsi dengan pemeriksaan kolesistografi oral dan
duktus sistikus masih paten pada pemeriksaan scan hepatobilier4,12.
8.1.2 Extracorpeal Shock Wave Lithotripsy ( ESWL )
ESWL merupakan pilihan alternatif tindakan tanpa pembedahan. Metode ini
mengkombinasikan dua cara yaitu terapi oral asam empedu dan fragmentasi batu
empedu. Menggunakan gelombang suara tingkat tinggi yang ditransmisikan
melewati air dan jaringan serta memiliki kemampuan menghasilkan tekanan dan
tegangan gelombang. Penghancuran dan pemecahan batu terjadi akibat kekuatan
yang cukup kuat untuk memecahkan batu. Fragmen yang tersisa di kandung
empedu dilarutkan oleh AUDK. AUDK diberikan beberapa minggu sebelum dan
bersama dengan ESWL, dilanjutkan beberapa bulan sampai batu tidak tampak
lagi4,12.
22

Angka kekambuhan jangka panjang terapi dengan ESWL cukup tinggi yaitu
15% pada tahun pertama dan 60% pada tahun ke lima14.
8.2 Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography ( ERCP )
ERCP terapeutik dengan melakukan sfingterotomi endoskopik untuk
mengeluarkan batu saluran empedu tanpa operasi. Batu dalam saluran empedu
selanjutnya dikeluarkan dengan balon-ekstraksi melalui muara yang sudah besar
menuju lumen duodenum sehingga batu dikeluarkan bersama feses14.
8.3 Terapi pembedahan
Beberapa rumah sakit saat ini sudah melakukan tindakan kolesistektomi
laparoskopik sebagai tindakan baku emas pada pasien kolelitiasis yang bergejala.
Kolesistektomi laparoskopik merupakan teknik pembedahan invasif minimal
dalam rongga peritonium yang memiliki keunggulan rasa nyeri yang minimal,
masa pulih yang cepat, masa rawat yang pendek, dan luka parut yang minimal
dibandingkan teknik bedah konvensional 8,14.
Alur diagnosis dan penatalaksanaan dapat dilihat pada gambar 8.12.

Gambar 6.1. Bagan alur diagnosis dan penatalaksaan kolelitiasis2

23

9. PROGNOSIS
Penderita yang memiliki ukuran batu yang kecil, pemeriksaan serial USG
diperlukan untuk mengetahui perkembangan dari batu tersebut. Batu bisa
menghilang secara spontan. Batu yang besar dapat berisiko terjadi karsinoma
kandung empedu ( ukuran lebih dari 3 cm )5.
Pasien yang ditangani secara medik dan mengalami remisi dari gejala akut
dalam kurun waktu 2 sampai 7 hari perawatan rumah sakit dilaporkan sekitar
75%. Kasus penyulit seperti empiema dan hidrops, gangren dan perforasi,
pembentukan fistula dan ileus batu empedu ditemukan pada 25% kasus, dimana
diperlukan penanganan tindakan bedah12.
10. KOMPLIKASI
Komplikasi batu empedu adalah :
a. Kolesistitis
Kolesistitis adalah peradangan pada kandung empedu dan saluran empedu
akibat adanya batu empedu yang menyebabkan infeksi. Migrasi batu ke dalam
leher kandung empedu akan menyebabkan obstruksi duktus sistikus yang akan
mengakibatkan iritasi kimiawi mukosa kandung empedu oleh cairan empedu
yang tertinggal, diikuti invasi bakteri.
b. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena infeksi
yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah terhalang oleh
adanya batu empedu
c. Hidrops
Obstruksi kronis dari saluran empedu dapat menimbulkan hidrops kandung
empedu. Hidrops biasanya disebabkan karena adanya obstruksi duktus sistikus
yang lama, biasanya oleh batu soliter yang besar.
d. Empiema
Kandung empedu berisi nanah yang diakibatkan oleh progresi kolesistitis akut
dengan obstruksi duktus sistikus persisten dan superinfeksi cairan empedu
yang stagnan dengan disertai pembentukan pus2,12.
11. PENCEGAHAN
Kolelitiasis dapat dicegah dengan mengubah gaya hidup, seperti pola dan
jenis makanan yang dikonsumsi. Makan yang banyak mengandung serat dapat
menurunkan risiko terbentuknya batu empedu. Menghindari penurunan berat
badan dalam waktu singkat karena meningkatkan rasio kolesterol dengan asam
24

empedu di kandung empedu serta stasis empedu sehingga mengganggu kontraksi


kandung empedu. Dari beberapa penelitian, ursodiol efektif digunakan untuk
mencegah terbentuknya batu empedu8,9,25.
Usaha untuk mencegah terbentuknya kembali batu empedu, dapat melakukan
latihan fisik dengan berjalan kaki kurang lebih 1 kilometer setiap hari, menjaga
pola makan dengan makanan rendah lemak, menghindari obesitas, menghindari
keadaan puasa yang lama serta mengkonsumsi obat yang meningkatkan sintesis
kolesterol dan melakukan pemeriksaan USG abdomen paling sedikit sekali
selama satu tahun4,25.
RINGKASAN
Kolelitiasis ( Gallstone / batu empedu ) adalah adanya batu atau material atau
kristal di dalam kandung empedu. Angka kejadian kolelitiasis pada orang dewasa
sekitar 10% - 20 %, dimana angka kejadian pada wanita dua kali lebih tinggi
dibandingkan pria. Terdapat beberapa faktor risiko terjadinya kolelitiasis
diantaranya faktor usia, jenis kelamin, kehamilan, obesitas, faktor genetik, diet
rendah serat, turunnya berat badan dengan cepat, penyakit hemolitik kronis,
resesksi ileum, nutrisi parenteral yang lama, pemberian obat ( Ceftriaxone ),
investasi parasit seperti Ascaris lumbricoides.
Terdapat beberapa klasifikasi batu empedu. Berdasarkan kandungan material
di dalamnya, batu empedu dibedakan menjadi batu kolesterol, batu pigmen ( batu
pigmen hitam dan batu pigmen coklat ). Terjadinya batu kolesterol dipengaruhi
tiga faktor, yaitu supersaturasi kolesterol, nukleasi empedu dan motilitas kandung
empedu. Batu pigmen hitam terjadi sebagai akibat hipersekresi dari bilirubin yang
tidak terkonjugasi, sedangkan batu empedu coklat sebagai akibat dari infeksi atau
inflamasi kronis bakteri di dalam kandung empedu.
Gejala klinis kolelitiasis mulai dari asimptomatik ( 70%-80% ) sampai
simptomatik serta yang mengalami komplikasi. Gejala dengan nyeri hebat ( kolik
bilier ) apabila batu empedu menyumbat saluran empedu.
USG abdomen merupakan pemeriksaan non invasif yang dapat mendeteksi
batu kandung empedu asimptomatik. Pemeriksaan laboratorium dapat menunjang
diagnosis terutama bila ditemukan adanya komplikasi serta untuk menyingkirkan
kemungkinan penyakit lainnya dan juga dapat dilakukan analisis batu untuk
mengetahui penyebab berdasarkan komposisinya.

25

Penatalaksaan kolelitiasis dibedakan menjadi dua, yaitu tanpa pembedahan


dan pembedahan. Tindakan laparoskopik kolesistektomi merupakan tindakan baku
emas kasus kolelitiasis yang bergejala.
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengubah pola makan dan gaya hidup
serta melakukan USG abdomen secara rutin terutama pasien yang pernah
mempunyai riwayat batu empedu sebelumnya.

Daftar Pustaka
1. Anonym. Gallstones. www.wikipedia.com . Dunduh pada tanggal 10 Mei 2015
2. Gustawan, I W. Aryasa, K.Nomor,et al. Kolelitiasis pada anak. Dalam majalah
Kedokteran Indonesia. Vol : 57 (10).Oktober 2007.pp. 354-363
3. Anonym. Gallstone. www.digestive.niddk.nih.gov . Diunduh pada tanggal 3 Juni
2015.
4. Reshetnyak,Vasiliy I. Concept of the pathogenesis and treatment of cholelithiasis.
World Journal of Hepatology. February 2012. Volume 4(2). pp.18-34
5. Shaffer, Eldon A. et al. Review : Epidemiologi of Gallbladder disease : Cholelithiasis
and cancer. Gut and liver. April 2012, volume 6(2), pp. 172-187
6. Ginting, Setiamenda. A Description Characteristic Risk Factor ot the Cholelithiasis
Disease in the Colombia Asia Medan Hospital 2011. Jurnal Darma Agung. 2011.pp.
38-45
7. Habib,Lubna, Masoom Rasa Mirza, et al. Role of liver function test in symptomatic
cholelithiasis. J. Ayub Med Coll Abbottabad. 2009.Vol : 21(2). pp. 117-119
8. Wittenberg, Henning MD, Senior Physician. Hereditary liver disease : Gallstones.
Best Practise and Research Clinical Gastroenterology. Elsevier. 2010. Vol: 24. pp.
747-756
9. Volzke , Henry, Sebastian E. Baumeister, et al. Independent Risk Factor for Gallstone
Formation in a Region with High Cholelithiasis Prevalence. Maret 2005. Vol : 71. pp.
97-105
10. Toouli James, Bhandari Mayank. Anatomy and Physiology of the Billiary tree and
Gallbladder and Bile Ducts. Diagnosis and Treatment Blackwell.2006. Second edition
chapter I.pp. 3-20.
11. Nusi, Iswan A. Sekresi Empedu dan Kolestasis dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati.
Edisi pertama. Jayabadi. 2007. Bab : 3. pp.9-15
12. Nurman A. Batu Empedu dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati. Edisi pertama.
Jayabadi. 2007. Bab :18. pp. 161-177

26

13. Kim, In Sook, Seung-Jae, et al. Review: Classification and Nomenclature of


Gallstones Revisited. Yonsei Medical Journal. 2003.Vol:44(4). pp. 561-570
14. Lesmana, Laurentius A. Penyakit Batu Empedu dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi IV. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia2006. Bab : 112. pp. 481- 483
15. Venneman , Niels Gerrard, Karel Johannes van Erpecum. Pathogenesis of Gallstones.
Gastroenterol Clin N. Am. Elsevier. 2010. Vol : 39.pp 171-183
16. Gaw, Allan et al. Tes Fungsi hati dalam Biokimia Klinis.ECG. Jakarta. 2012.pp. 54-55
17. P. Chandran, N.K Kuchhal,et al. An Extended Chemical Analysis of Gallstone. Indian
Journal of Clinical Biochemistry. 2007. Volume 22(2). pp. 145-150
18. Jarrar , Bashir M., Meshref A Al-Rowaili. Chemical Composition of Gallstones from
Al-Jouf Province of Saudi Arabia. Malaysia J Med Sci. April 2011. Volume 18 (2).
pp.47-52
19. Hussain, Saad Muhmood. Quantitative Analysis of Chemical Composition of
Gallbladder Stones among Cholecystectomy of Iraqi Patients. American Journal of
Research Communication. 2013.Vol : 1(7).pp. 26-32
20. Schafmayer, Clemens et al. Predictors of Gallstones composition in 1025
Symptomatic Gallstones from Northern Germany. BMC Gastroenterology.2006. Vol :
6 (36).pp. 1-9
21. Channa, Naseem A., Fateh D. Khand, et al. Analysis of Human Gallstones by FTIR.
The Malaysian Journal of Analysis Sciences. 2008.Vol : 12(3) . pp. 552-560
22. A.A Baravkar, R. N. Kale. Review : FTIR Spectroscopy : Principle, Technique and
Mathematics. International Journal of Pharma and Bio Sciences. Januari 2011. Vol :
2(1). pp. 513-519
23. Prosedur Pemeriksaan Analisa Batu Laboratorium Patologi Klinik RSUD Dr.
Soetomo Surabaya
24. Pinto, Antonio, Alfonso Reginelli, et al. Accuracy of Ultrasonogaphy in the Diagnosis
of Acute Calculous Cholecystitis.riv. Critical Ultrasound Journal.2013.Vol : 5(1). pp.
1-4
25. Gaby ,Alan R.,MD. Review : Nutritional Approaches to Prevention and Treatment of
Gallstones. Alternative Medicine Review. 2009.Vol : 14(3). pp.258-267

27

Anda mungkin juga menyukai