Prosiding MIPA 2012 PDF
Prosiding MIPA 2012 PDF
SEMINAR NASIONAL
MIPA DAN PEMBELAJARAN 2012
PROSIDING
JILID 1
SEMINAR NASIONAL
PROSIDING
PROSIDING
ISBN 978-602-97895-6-0
JILID 1
Halaman 1-433
Tim Editor:
Dr. Subanji (Pendidikan Matematika)
Santi Irawati, Ph.D. (Matematika)
Dr. Lia Yuliati (Pendidikan Fisika)
Nandang Mufti, Ph.D. (Fisika)
Muntholib, M.Si. (Pendidikan Kimia)
Suryani Wonorahardjo, Ph.D. (Kimia)
Prof. Dr. Mimien H.I. Al-Muhdhar (Pendidikan Biologi)
Dr. Umie Lestari (Biologi)
Prayitno, M.Pd. (Pendidikan IPA)
Sri Rahayu, Ph.D. (Lesson Study)
Layout:
Muntholib
Eli Hendrik Sanjaya
Endang Pratiwi
Putut Widjanarko
Diterbitkan Oleh:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Malang
ISBN 978-602-97895-6-0
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
PENDAHULUAN
PERSONALIA
SEMINAR NASIONAL MIPA DAN PEMBELAJARAN 2012
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
13 Oktober 2012
Steering Committee:
Prof. Dr. Suparno, Rektor Universitas Negeri Malang
Prof. Dr. Arif Hidayat, Dekan FMIPA Universitas Negeri Malang
Prof. Dr. Subandi, Wakil Dekan I FMIPA Universitas Negeri Malang
Dr. Makbul Muhsar, Ketua Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang
Dr. Markus Diantoro, Ketua Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang
Dr. Sutrisno, Ketua Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang
Dr. Abdul Gafur, Ketua Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang
Dra. Sri Rahayu, M.Ed., Ph.D., Koordinator Prodi Pendidikan IPA FMIPA Universitas Negeri Malang
Organizing Committee:
Ketua
Sekretaris
Bendahara
Sie Kesekretariatan
Sie Makalah dan Prosiding
Sie Persidangan
Sie Perlengkapan
Sie Konsumsi
PENDAHULUAN
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT bahwa Prosiding
hasil-hasil SEMINAR NASIONAL MIPA DAN PEMBELAJARAN 2012 dengan thema Peran
MIPA dan Pembelajaran Menuju Revitalisasi Karakter Bangsa di Era Globalisasi dapat
diselesaikan dengan baik. Seminar ini merupakan fusi dari dua seminar nasional yang sudah rutin
diselenggarakan oleh Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Malang, yaitu Seminar Nasional MIPA dan Pembelajarannya dan Seminar Nasional Lesson Study.
Dengan demikian seminar ini merupakan babak baru kegiatan akademik rutin FMIPA UM pada
tahun-tahun yang akan datang.
Telah mafhum bahwa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri
Malang merupakkan perintis pengembangan Lesson Study di Indonesia bersama dua FMIPA
LPTK yang lain, yaitu FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia Bandung dan FMIPA Universitas
Negeri Yogyakarta. Dan telah diketahui pula bahwa implementasi Lesson Study di lembaga
pendidikan telah meningkatkan kualitas pembelajaran, melahirkan keterbukaan sesama civitas
academica serta melahirkan rasa saling asah, asih dan asuh. Kondisi ini sangat penting untuk
memacu prestasi belajar siswa dan menumbuhkan rasa kasih sayang civitas academica yang dapat
mencegah terjadinya perkelahihan antar pelajar.
Di samping sumbangan positif meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pesatnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya bidang matematika, fisika, kimia,
biologi dan bidang sains lainya di era global ini juga memberikatan implikasi negatif yang
mengkhawatirkan. Pada kondisi ini para saintis dan para pembelajar matematika dan sain memiliki
tanggungjawab moral untuk meminimalkan kekhawatiran itu. Ilmuwan matematika-sains dan
ilmuwan pendidikan matematika-sain diharapkan terus-menerus mengarahkan pengembangan
keilmuwannya dengan mengedepankan perilaku berkarakter peserta didik dan bertanggung jawab
terhadap ketercapaian kompetensi ditinjau dari sudut perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, sosiokultural, moral, agama, dan lingkungan. Dengan demikian, pembelajar matematika
dan sains juga perlu dan harus terus-menerus belajar untuk memperluas wawasan ilmiahnya.
Bersama dengan para pengajar bidang yang lain, para pembelajar bidang matematika dan sains
dituntut untuk menyiapkan generasi masa depan yang kritis, kreatif dan inovatif, mandiri,
bertanggung jawab serta memiliki karakter yang tangguh dan berdaya saing tinggi. Hal ini dapat
dicapai melalui pengembangan keilmuan secara berkelanjutan dan implementasi pembelajarannya
secara tepat dan berhasil guna.
Prosiding ini merupakan wahana interaksi akademis dan pertukaran informasi dari hasil
penelitian, pengalaman dan gagasan di bidang MIPA dan pembelajarannya serta bidang
kependidikan lainnya dalam semangat saling asah, asih dan asuh dalam wadah lesson study untuk
menyikapi tantangan masa depan. Selain itu, juga untuk mewadahi hasil-hasil program PG-MIPABI (Pendidikan Guru MIPA Bertaraf Internasional) yang pada tahun ini memasuki tahun ke-4 yang
sumbangsihnya banyak diharapkan oleh pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah mendukung terlaksananya
seminar ini, baik langsung maupun tidak, seperti Ditjen PMPTK, JICA-PELITA, dan jajaran
pimpinan Universitas Negeri Malang.
Akhirnya, semoga hasil-hasil yang dirumuskan dalam prosiding ini dapat memberi inspirasi
dan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pembangunan insan Indonesia yang
berkarakter dalam menghadapi lajunya perkembangan arus globalisasi...
Salam,
Ketua Panitia
PENDAHULUAN
iii
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
i
ii
iii
iv
1
2
2
7
7
18
19
19
29
29
38
38
46
46
62
62
69
69
78
78
82
82
iv
PENDAHULUAN
86
86
94
94
104
104
112
112
120
121
121
128
128
140
140
150
150
156
156
167
167
174
174
180
180
187
187
25.
26.
27.
28.
29.
193
193
201
Markus Diantoro, Nurul Dzakiya, Nasikhudin, Ahmad Taufiq, dan Abdulloh Fuad ..........
201
214
Nandang Mufti, Feni Aqidatul Ilmi, An Nafiqi Frandicha W., Yudyanto, dan
Markus Diantoro ..................................................................................................................
214
221
221
227
227
235
Sulur.....................................................................................................................................
235
PENDAHULUAN
241
241
251
251
260
260
269
270
270
279
279
285
285
294
294
vi
PENGARUH PENERAPAN STRATEGI PEMBELAJARAN DAUR BELAJAR 6FPEMBENTUKAN SOAL TERHADAP HASIL BELAJAR PADA MATERI HIDROLISIS
GARAM ..............................................................................................................................
Reny Eka Evi Susanti1, Srini M Iskandar2, dan Siti Marfuah2 ...........................................
38. PEMANFAATAN MEDIA INTERAKTIF LABORATORIUM VIRTUAL SEBAGAI
ALTERNATIF WAHANA PENGEMBANGAN BERFIKIR KRITIS MENUJU GREEN
CHEMISTRY ........................................................................................................................
Ririn Eva Hidayati ...............................................................................................................
39. PENERAPAN PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAI (TEAM ASSISTED
INDIVIDUALIZATION) UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN KOMUNIKASI
SISWA .................................................................................................................................
Sri Mulyani ..........................................................................................................................
40. KAJIAN FENOMENOGRAFI: PEMAHAMAN SISWA SMA TENTANG KONSEP
IKATAN IONIK dan Ikatan Kovalen .................................................................................
Sri Rahayu, Iffatul Muna dan Prayitno ................................................................................
41. PEMBUATAN DAN KARAKTERISASI EDIBLE FILM DARI PATI UBI KAYU
ADIRA-4 DENGAN PLASTICIZER SORBITOL DAN GLISEROL ...............................
1)
Sumari, 2)Erliana Ginting, dan Dayu Senoaji ANP ...........................................................
42. FORMULASI BIOINSEKTISIDA DAN UJI EFIKASI SEMILAPANG DARI EKSTRAK
KLOROFORM KULIT BATANG TUMBUHAN BAKAU DAUN BESAR (Bruguiera
gymnorrhiza Lamk.) (RHIZHOPORACEAE) ....................................................................
Uni Nur Madinah dan Tukiran ............................................................................................
43. SINTESIS DAN KARAKTERISASI SENYAWA KOMPLEKS DARI GARAM
KOBALT(II) KLORIDA DENGAN LIGAN KUINOLINA (QUIN) DAN 8HIDROKSIKUINOLINA (OXINE) ....................................................................................
I Wayan Dasna dan Eny Dian Puspitasari ...........................................................................
44. SPEKTRA VIBRASI DAN SIFAT-SIFAT TERMODINAMIKA KOMPLEKS Mn+-12C4....
Yahmin ................................................................................................................................
SESI PARALEL BIOLOGI ....................................................................................................
45. VARIASI GENETIK KERBAU LOKAL (BUBALUS BUBALIS) LOMBOK TENGAH,
NUSA TENGGARA BARAT BERBASIS MIKROSATELIT ..........................................
Akhmad Sukri1, Moh. Amin2, Aris Winaya3, Siti Imroatul Maslikah2 ................................
46. ISOLASI DAN KARAKTERISASI BAKTERI SELULOLITIK PADA SERASAH
TUMBUHAN DI KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA R. SOERJO KOTA BATU, DAN
PROSPEKNYA SEBAGAI BIOKOMPOSER ...................................................................
Azzara Hanie, Sitoresmi Prabaningtyas, dan Endang Suarsini............................................
47. AKTIVITAS ANTIOKSIDAN SENYAWA BIOAKTIF DARI EKSTRAK TEMUGIRING
(Curcuma Heyneana VAL & VAN ZIJP) ...........................................................................
Betty Lukiati ........................................................................................................................
48. SEL GERMINAL TUBULUS SEMINIFERUS TESTIS TIKUS PUTIH (RATTUS
NORVEGICUS) YANG DIINDUKSI STREPTOZOTOCIN .............................................
Cicilia Novi Primiani ...........................................................................................................
49. IDENTIFIKASI SPESIES KATAK DI UNIVERSITAS NEGERI MALANG
BERDASARKAN MORFOLOGI DAN DNA BARCODING ............................................
Dian Ratri Wulandari, Ibrohim, dan Dwi Listyorini ...........................................................
37.
PENDAHULUAN
303
303
308
308
317
317
323
323
337
337
346
346
352
352
359
359
364
365
365
374
374
382
382
388
388
395
395
vii
402
402
410
410
PENDAHULUAN
viii
418
418
423
423
SESI PLENO
SESI PLENO
Submicro
level
Ex. One Au atom
Au1
Mesoscopic level
nano clusters (1-100nm)
cluster of many Au atoms
Macro
level
golden ring
Au(infinitiv)
Fig. 2: Au-nanocluster between the submicro level and the macroscopic level [3]
SESI PLENO
If we start with a single gold atom (figure 2) we know that it is built up of a nucleus and a
special number of electrons: the gold atom has no properties of a gold crystal (submicro level). The
well known properties of gold appear when we take an arrangement of about 1018 Au atoms: the
visible crystal has the cubic face-centered crystal structure and the properties of gold (macro level).
Between the crystal and the single atom there exist special clusters of 13 Au atoms and 55 Au
atoms [4]: Au13 und Au55. They have other properties than the gold crystal, we can call this level of
reflection the mesoscopic level (figure 2). It is impossible to explain these properties they are
mostly optical and magnetical phenomena which can be interpreted only by quantum mechanic
effects.
Therefore nanotechnology cannot be introduced in chemical education as a new topic. But
we may take a common topic of the chemistry curriculum and may connect that topic with
examples of nano chemistry. It is possible to take the catalysis which is an important content of
every chemistry curriculum and to introduce the catalytic converter for purifying the exhaust gases
of cars. Even though the converter is known in Europe since the eighties nearly no one knows that
there are platinum nano particles for catalyzing the reaction of exhaust gases into harmless
substances. They have the function like all nano particles to deliver a big surface: the smaller the
particles the bigger the total surface. On this surface of platinum nano particles CO molecules and
NO molecules react to CO2 molecules and N2 molecules.
Goals of empirical research
We planned a three-week topic according to the catalytic converter with the introduction of
platinum nano clusters. The lectures have been conducted in different classes of grade 9, 10 and 11.
Before the instruction we constructed a questionnaire and asked students of grade 11 about their
knowledge and misconceptions [5] according to nanotechnology and nano phenomena. The sample
consisted of 116 students, 70 boys and 46 girls.
The first results prove that many students know nanotechnology as a new science, that they
connect nano products with microchips and computer chips, with very tiny objects of physics and
chemistry. 75 % of the students marked no to the question whether nano particles are to be seen
with the naked eye, 5 % have the opinion that they must be visible because if you work with nano
particles you have to see them. The question concerning their self assessment 43 % oft the
students point out that they know nothing about nanotechnology, only 1 % knows something about
it. The question concerning the surface-to-volume ratio by the comparison of sugar crystals and
icing sugar is answered positively by 84 %.
Lectures according to the nano-catalytic converter
For this topic, students of the 9th or 10th grade must have enough knowledge about the
properties of air, the different gases and their percentage in air, the role of oxygen for the
combustion and about the gaseous combustion products like water vapor and carbon dioxide.
The harmful gases like carbon monoxide and nitrogen oxides will be in the center of the
topic and students should get information concerning the role oft the catalytic converter to reduce
the poisonous gases in the exhaust fumes (figure 3). A questionnaire relating to the function of the
converter shows that most students have the misconception that the converter is like a filter, or the
converter collects and stores the harmful gases. For conducting a successful conceptual change, we
took a real car converter from the Mercedes company and let the students look through the tiny
pipes which are necessary to let the exhaust gases pass to the air outside the car. Now the students
asked how the poisonous gases can be changed into harmless gases and are motivated to follow
the lessons.
So we demonstrated how hydrogen is reacting with small platinum crystals on the surface of
quartz wool: hydrogen gas ignites and reacts with oxygen of the air. For explanation we pointed out
that H2 molecules are separated into H atoms on the surface of platinum, and these H atoms react
with O2 molecules to form H2O molecules. Platinum works as a catalyst.
SESI PLENO
We even took a Doebereiner fire lighter, showed how it works with zinc and sulfuric acid
to produce hydrogen, which reacts with platinum on quartz and ignites a wooden splint (figure 4).
We told the story of the year 1820 when the German chemist DOEBEREINER offered this new
lighter to the famous German poet GOETHE, who was very pleased to avoid standing up to pick up
fire from the chimney to ignite his cigar.
For visualization we created model drawings which show the reaction on the surface of platinum
crystals, students even built related molecular models (figure 5).
2 CO2
SESI PLENO
ratio by taking smaller and smaller particles, by taking platinum nano clusters. Some students did
not give up their filter-function imagination of the car converter.
Concerning their interest with regard to the nano-experimental sets students answered very
different: some like to see the phenomena, others dont care about. Mostly students have not much
to do by these kind of experiments: they see a drop running from the Lotus-leave surface, they take
a magnet and observe the attraction of the ferrofluids, etc.
In comparison with the mixed interest related to nano experiments the interest for the
function of catalytic converters of our cars was very high: students felt that they learn for their life
and grabbed the idea of nano particles by the way!
LITERATURE
[1] A. H. Johnstone, Teaching of chemistry - logical or psychological? CERAPIE 1 (2000), 9.
[2] H.-D. Barke, G. Harsch, S. Schmid: Essentials of Chemical Education. Berlin, Heidelberg
2012 (Springer)
[3] E. Daoutsali: Der Nano-Autoabgaskatalysator im Chemieun-terricht. Dissertation. Muenster
2011 (Schueling)
[4] G. A. Ozin, A. C. Arsenault, L. Cademartiri: Nanochemistry: a chemical approach to
nanomaterials, RSC Publishing, 2009
[5] H.-D. Barke, A. Hazari, S. Yitbarek: Misconceptions in Chemistry. Berlin, Heidelberg 2009
(Springer)
[6] G. Ertl (Nobelprize 2007): Heterogeneous catalysis on atomic scale. J. Molecular Catalysis
2002, 5-16
[7] USA Patent 7 605 108 B2 (Oct. 20, 2009).
[8] NanoSchoolBox, Conatex (Rombachstr. 65, 66539 Neuenkirchen, Germany), 2008.
SESI PLENO
dan terbaik, namun, dalam penyediaan dan pemilihan menu makanan sehari-hari kurang
memperdulikan makanan yang seimbangempat sehat lima sempurna itu. Begitu banyak
developer-developer bangunan dan orang-orang terpelajar pembangun rumah/kantor dll yang
mempelajari Fisika mengetahui hukum gravitasi bahwa jika benda tidak disangga atau jika ada
material mletik maka akan jatuh dan dapat menjatuhi orang-orang disekitar bangunan itu, namun,
mereka kurang memperdulikan pentingnya rajut pengaman agar orang-orang disekitarnya tidak
terancam-kecelakaan. Begitu banyak juga kaum terpelajar yang mempelajari Matematika
namun kurang menghargai pentingnya berfikir dan berlaku dengan tepat, cermat, hati-hati,
rasional, sistematis, jujur, dan kurang menghargai aturan dan keteraturan. Begitu banyak kaum
terpelajar yang mempelajari MIPA tetapi kurang menggunakan pola pikir secara ilmiah dalam
mengatasi berbagai persoalan hidupnya padahal dalam praktik pembelajaran MIPA begitu lekat
dengan proses-proses berpikir ilmiah.
Dalam perspektif yang lebih luas, lahirnya perilaku-perilaku yang digambarkan di atas dapat
berakibat pada lemahnya karakter bangsa dengan gejala-gejala: ceroboh, kurang patuh pada
peraturan, jorok, sembrono, kurang amanah, korup, mekanik-mudah terpengaruh dengan kekuatan
eksternal, menganiaya diri sendiri, dan sebagainya. Lemahnya karakter bangsa tersebut tentunya
disebabkan oleh banyak faktor yang sangat kompleks, tidak semata-semata kesalahan pembelajaran
MIPA, tetapi kegagalan pembelajaran MIPA diduga ikut mempengaruhi lemahnya karakter bangsa
itu. Pembelajaran MIPA diduga ikut andil karena Pendidik MIPA (tidak semua lah) secara
langsung (content) kurang mampu menghadirkan (menginternalisasikan) nilai-nilai empirik (teoriteori MIPA) pada diri murid-murid nya, dan secara tidak langsung (metodologis) kurang
menerapkan prinsip-prinsip pembelajaran nilai dan karakter dalam proses pembelajarannya.
Terkait dengan persoalan di atas, dipandang perlu untuk menyajikan persoalan-persoalan: (1)
Landasan Filosofis Revitalisasi Pendidikan Karakter melalui MIPA; (2) Hakekat, Paradigma, dan
Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter; (3) Strategi Implementasi Pendidikan Karakter dalam Satuan
Pendidikan; (4) Pembelajaran Karakter melalui Pembelajaran MIPA di Kelasyang didalamnya
mencakup bagaimana guru-guru MIPA memandang murid-muridnya, perumusan tujuan
pembelajaran MIPA yang berorientasi pada pendidikan karakter, pengelolaan kelas MIPA yang
berorientasi pada pendidikan karakter, prinsip-prinsip metodologis pembelajaran MIPA untuk
pendidikan karakter, pemanfaatan sumber dan media pembelajaran MIPA untuk pendidikan
karakter, dan asesesmen dan evaluasi pembelajaran MIPA bermuatan pendidikan karakter.
LANDASAN FILOSOFIS
REVITALISASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MIPA
Revitalisasi pendidikan karakter melalui MIPA adalah upaya yang dilakukan untuk
menghidupkan kembali praktik pendidikan karakter melalui Matematika dan IPA. Sebelum ada
gerakan pendidikan karakter belakangan ini (2010-an) di berbagai lembaga pendidikan termasuk di
sekolah-sekolah di negeri ini, sebenarnya, sudah melakukan pendidikan karakter dalam praktik
pendidikan sehari-hari di berbagai lembaga pendidikan. Dengan semakin melemahnya karakter
bangsa sebagaimana diuraikan pada persoalan karakter bangsa di atas, maka tumbuh kesadaran
baru bahwa jangan-jangan ada yang salah dalam praktik pembelajaran yang terjadi pada lembagalembaga pendidikan selama ini termasuk pembelajaran MIPA. Karena adanya dugaan terjadinya
kesalahan dalam praktik pendidikan dan pembelajaran, maka, akhir-akhir ini Kemendiknas
melakukan Revitalisasi (menghidupkan dan memperkuat kembali) praktik pendidikan dan
pembelajaran yang berorientasi pada pendidikan karakter bangsa, agar generasi (bangsa) Indonesia
di masa depan berkarakter lebih baik dan menjadi warga negara yang baik.
Secara filosofis, pendidikan merupakan bantuan dari seorang pendidik pada murid-mutidnya
agar mereka tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang sesungguhnya yang berkepribadian
secara utuh. Kepribadian utuh dapat dinyatakan dengan pribadi yang seimbang antara aspek
rokhaniah dan jasmaniahnya, seimbang antara pikiran dan hatinya, seimbang antara aspek-aspek
kognisi, konasi, afeksi, dan psikomotoriknya; Phenix (1964) memandang pribadi utuh adalah
SESI PLENO
pribadi yang pada dirinya hadir (terinternalisasi) nilai-nilai simbolik, empirik, estetik, etik,
sinnoetik, dan sinoptik. Pribadih utuh dinyatakan dengan satunya keyakinan dengan kelakuannya
(pribadi yang kaffah).
Pandangan Philip Phenix bahwa pribadi utuh adalah pribadi yang hadir (terinternalisasi)
pada dirinya nilai-nilai simbolik, empirik, estetik, etik, sinnoetik, dan sinoptik, yang diterbitkan
dalam sebuah buku dengan Judul Realms of Meaning (1964) itulah yang cenderung dijadikan
landasan praktik pendidikan umum (general education) di seluruh dunia, dimana pendidikan MIPA
berada di dalamnya.
Nilai simbolik sihadirkan melalui ritual-ritual keagamaan, bahasa, dan matematika. Bahasa
dan Matematika termasuk dalam dunia simbolis. Core value yang dapat dihadirkan melalui bahasa
adalah penghargaan pada pentingnya berkomunikasi baik secara lisan, tulis, membaca, gerakisyarat-bahasa tubuh, dengan komunikasi yang baik. Dengan pelajaran Bahasa murid-murid dan
kaum terpelajar diharapkan dapat berkomunikasi dengan baiksantun dalam hidupnya. Melalui
mata pelajaran Matematika diharapkan pembelajaran matematika, murid-murid dan kaum terpelajar
diharapkan mampu berpikir secara sistematis, rasionallogis, dan menghargai pentinnya presisi
dalam menjalani hidupnya.
Nilai Empirik dihadirkan melalui pembelajaran Ilmu-ilmu pengetahuan yang bersifat empirik
seperti IPAfisika, biologi, kimia; IPSekonomi, geografi, politik, sejarah, sosiologi, dll. Core
value yang dihadirkan melalui disiplin ilmu kealaman (IPA) dan ilmu-ilmu sosial adalah
penghargaan teori dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan empirik yang disajikan dalam berbagai
mata pelajaran ilmu pengetahuan. Pembelajaran ilmu pengetahuan empirik diupayakan agar
mudrid-murid dan kaum terpelajar menghargai pentingnya teori dari berbagai disiplin ilmu
pengetahuan empirik itu dalam menjaladi kehidupannya.
Melalui pembelajaran Matematika misalnya, dengan dikenalkan berbagai simbul-simbul
(angka dan rumus dalam matematika) murid-murid dan kaum terpelajar diharapkan mampu
menghargai bahasa-bahasa simbolik dalam matematika untuk digunakan dalam kehidupannya.
Melalui logikamatematik misalnya murid-murid dan kaum terpelajar dapat memecahkan
berbagai persoalan hidupnya dengan berpikir secara logis, berpikir rasional dengan konsistensi
logis, dan sistematik. Dengan klaim bahwa matematika sebagai ilmu pasti (meskipun sebenarnya
nggak pasti-pasti amat) dan dengan kebiasaan murid-murid dan kaum terpelajar dilatih
menyelesaikan persoalan-persoalan matematika secara objektif maka diharapkan mereka mampu
memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupannya secara objektif, jujur, dengan presisi
yang tinggi.
Matematika mempunyai banyak kegunaan. Ia mempunyai nilai praktis yang dapat
diaplikasikan secara luas dalam berbagai ilmu pengetahuan dan teknologi, juga terkait dengan
disiplin intelektual. Rutherford (1990) menyatakan bahwa matematika menghamparkan penalaran
secara kreatif. Ia dapat dimanfaatkan untuk berbagai tujuan praktis. Banyak ilmuwan yang
memanfaatkan matematika pada berbagai pekerjaannya. Matematika memainkan peran utama
dalam budaya masyarakat modern. Matematika dapat menjadi bahasa/alat bantu dalam berbagai
ilmu pengetahuan, matematika juga sangat erat kaitannya dengan teknologi. Melalui bahasa
matematika murid-murid dan terpelajar dikembangkan kemampuannya untuk menalar secara
deduktif. Mereka dilatih untuk bernalar dengan menggunakan dalil (rumus-rumus) yang bersifat
umum untuk memecahkan masalah-msalah yang bersifat khusus dalam kehidupannya.
Dengan pembelajaran tentang latar fisik melalui Fisika tentang alam raya, transformasi
energi, pergerakan benda-benda, kekuatan alam dan lainnya murid-murid dan terpelajar
menghargai berbagai teori yang dihadirkan melalui disiplin Fisika. Mereka dapat memanfaatkan
berbagai teori fisika dalam hidupnya sehingga mereka dapat melakukan adaptasi secara aktif dalam
menghadapi berbagai gejala fisikal dalam hidupnya. Semua orang menjadi perlu berpartisipasi
dalam mengatasi berbagai persoalan yang diakibatkan terjadinya berbagai gejala fisikal yang
mengancam kehidupan.
SESI PLENO
SESI PLENO
10
murid itulah yang dapat menjadikan karakter baik. Tujuan pendidikan karakter adalah menjadikan
karakter baik.
Nilai-nilai kebaikan itu tidak bisa dibatasi jumlahnya, nilai-nilai itu tersebar dalam berbagai
dunia nilai (simbolik, empiric, estetik, etik, sinnoetik, dan sinoptik) dan nilai-nilai Pancasila
tentunya sudah terangkum dalam berbagai dunia nilai tersebut. Keterkandungan nilai-nilai pada
dunia nilai tersebut yang dijadikan landasan bahwa pendidikan karakter perlu dimasukkan melalui
berbagai mata pelajaran), dan penulis berpendapat jumlah nilai nya tidak bisa dibatasi. Karena
kesulitan membatasi nilai-nilai apa saja yang perlu diajarkan itulah diperlukan pemfokusan pada
nilai-nilai inti (core value) tertentu atau nilai yang diprioritaskan, dimana dari nilai-nilai inti inilah
dapat dikembangkan nilai-nilai kebaikan yang lain yang sifatnya lebih luas. Bagi bangsa
Indonesia, saya berpendapat, core value ini hendaknya terpusat pada nilai-nilai Pancasila (nilainilai: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial).
Namun demikian, Kemendiknas misalnya, melalui Tim pengembang pendidikan karakter di
Pusat Kurikulum, mengindikasikan bahwa keberhasilan program pendidikan karakter bangsa dapat
diketahui terutama melalui pencapaian butir-butir Standar Kompetensi Lulusan oleh peserta didik
yang meliputi antara lain (Pedoman Diklat Pendidikan Karakter Bangsa, Direktorat PMPTK, 2011)
dideskripsikan sebagai berikut:
1) Mengamalkan ajaran agama yang dianut sesuai dengan tahap perkembangan;
2) Memahami kekurangan dan kelebihan diri sendiri;
3) Menunjukkan sikap percaya diri;
4) Mematuhi aturan-aturan sosial yang berlaku dalam lingkungan yang lebih luas;
5) Menghargai keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan golongan sosial ekonomi dalam
lingkup nasional;
6) Mencari dan menerapkan informasi dari lingkungan sekitar dan sumber-sumber lain secara
logis, kritis, dan kreatif;
7) Menunjukkan kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif;
8) Menunjukkan kemampuan belajar secara mandiri sesuai potensi yang dimilikinya;
9) Kemampuan menganalisis dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari;
10) Mendeskripsikan gejala alam dan sosial;
11) Memanfaatkan lingkungan secara bertanggung jawab;
12) Menerapkan nilai-nilai kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara demi terwujudnya persatuan dalam negara kesatuan RI.
13) Menghargai karya seni dan budaya nasional;
14) Menghargai tugas pekerjaan dan memiliki kemampuan untuk berkarya;
15) Hidup bersih, sehat, bugar, aman, dan memanfaatkan waktu luang dengan baik;
16) Berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan santun;
17) Memahami hak dan kewajiban diri dan orang lain dalam pergaulan di masyarakat; Menghargai
adanya perbedaan pendapat;
18) Menunjukkan kegemaran membaca dan menulis;
19) Menunjukkan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional;
20) Menguasai pengetahuan yang diperlukan untuk mengikuti pendidikan lanjutan;
21) Memiliki jiwa kewirausahaan.
Disamping indikasi diatas, Kemendiknas misalnya, melalui tim pengembang pendidikan
karakter di Pusat Kurikulum (2010) mengidentifikasi nilai-nilai yang diajarkan dalam pendidikan
karakter (diutamakan) adalah nilai-nilai, secara umum sbb:
SESI PLENO
11
Religius : patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
Jujur: perilaku yang didasarkan pada kebenaran, menghindari perilaku yang salah, dan
menjadikan dirinya orang yang dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
Toleransi: suatu tindakan dan sikap yang menghargai pendapat, sikap dan tindakan orang lain
yang berbeda dari pendapat, sikap, dan tindakan dirinya.
Disiplin: tertib dan aptuh pada ketentuan dan peraturan yang harus dilaksanakannya.
Kerja keras: selalu menggunakan waktu yang tersedia untuk suatu pekerjaan dengan sebaikbaiknya sehingga pekerjaan yang dilakukan selesai pada waktunya
Kreatif: berpikir untuk menghasilkan suatu cara atau produk baru dari apa yang telah dimiliki
Mandiri: melakukan pekerjaan sendiri dengan kemampuan yang telah dimilikinya
Demokratis: sikap dan tindakan yang menilai tinggi hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
dalam kedudukan yang sama
Rasa ingin tahu: suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui apa yang
dipelajarinya secara lebih mendalam dan meluas dalam berbagai aspek terkait.
Semangat kebangsaan: suatu cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
Cinta tanah air: suatu sikap yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang
tinggi terhadap lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
Menghargai prestasi: suatu sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan
sesuatu yang berguna bagi masyarakat, mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
Bersahabat/komunikatif: suatu tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara,
bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
Cinta damai: suatu sikap dan tindakan yang selalu menyebabkan orang lain senang dan
dirinya diterima dengan baik oleh orang lain, masyarakat dan bangsa
Senang membaca: suatu kebiasaan yang selalu menyediakan waktu untuk membaca bahan
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Peduli sosial: suatu sikap dan tindakan yang selalu ingin memberikan bantuan untuk
membantu orang lain dan masyarakat dalam meringankan kesulitan yang mereka hadapi.
Peduli lingkungan: suatu sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
Secara khusus dalam pembelajaran MIPA, core value yang diupayakan dihadirkan pada diri
murid-murid dan terpelajar MIPA adalah nilai Simbolik (melalui Matematika) dan nilai Empirik
(melalui mata pelajaran rumpun IPA).
Unsur-unsur Karakter
Persoalan yang sangat mendasar yang diperlukan perancang pembelajaran nilai untuk
pendidikan karakter adalah cakupan unsure-unsur karakter yang perlu dipedulikan dalam praktik
pembelajaran. Ki Hajar Dewantoro (1937) mengidentifikasi unsur-unsur karakter, yang penulis
modelkan sebagai berikut.
Ki Hajar Dewantoro menyatakan bahwa unsur karakter itu adalah Ngerti, Ngroso, dan
Nglakoni. Nah mengacu pada unsur-unsur karakter tersebut, maka upayakan dalam mendesain
pengalaman belajar peserta didik dalam RPP, atau dalam proses pembelajaran, atau dalam langkahlangkah pembelajaran dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan Ngerti, Ngroso, dan
Nglakoni di atas.
Thomas Lickona (1992) menerbitkan buku dengan judul Value and Character Education
mengidentifikasi unsure-unsur karakter terdiri atas moral knowing, moral feeling dan moral
action. Abdullah Gymnastiar (Akbar, 2000) menyatakan unsure karakter terdiri atas pikir,
dzikir, ikhtiar.
SESI PLENO
12
Disamping mencacu kepada pandangan Ki Hajar Dewantoro di atas, perancang RPP perlu
juga mempertimbangkan prinsip-prinsip dalam proses internalisasi nilai sebagaimana dipolakan
oleh (Bohlin, 2001), dan telah diuji oleh Akbar 2002, 2010, 2011) bahwa untuk membantu
terjadinya proses internalisasi nilai-nilai melalui proses siklus sbb:
Mengacu kepada proses siklus diatas, maka, dalam menyusun RPP, upayakan dalam
memfasilitasi dan mengarahkan pengalaman belajar peserta didik, atau dalam pemilihan modelmodel pembelajarannya melibatkan proses-proses melalui: understanding (membangun pengertian
dan pemahaman), action (melakoni nilai-nilai yang diinternalisasikan), dan Reflection (refleksi)
atas pengalaman pelakonan nilai-nilai yang diinternalisasikan tersebut.
Strategi dalam Konteks Pendidikan Karakter
Kegiatan Pembelajaran dalam konteks pendidikan karakter, menurut grand desain
kemendiknas dimodelkan sebagai berikut:
Pembelajaran karakter dilakukan secara terintegrasi dalam Kegiatan belajar mengajar,
budaya sekolah, ekstra kurikuler, dan kegiatan keseharian di rumah dan masyarakat.
Pada makalah ini penyaji memfokuskan revitalisasi pendidikan karakter melalui
pembelajaran MIPA di kelas (berarti dalam lingkup Kegiatan Belajar Mengajar).
PEMBELAJARAN MIPA DI KELAS
DALAM KONTEKS PENDIDIKAN KARAKTER
Pembelajaran adalah upaya vasilitasi yang dilakukan pendidik (guruustadz ustazah,
instruktur, pendamping, dll) bagi murid agar mereka dapat belajar sendiri dengan mudah. Kelas
dapat diartikan sebagai ruang kelas tempat peserta didik belajar. Kelas dapat juga dimaknai sebagai
rombongan belajar. Pengelolaan kelas dengan demikian tidak sekedar pengelolaan tempat belajar
(baik di dalam ruang kelas) melainkan juga pengelolaan murid-murid yang belajar.
Agar para peserta didik dapat belajar dengan mudah maka seorang pendidik perlu
menempatkan unsure-unsur pembelajaran secara tepat. Unsur-unsur pembelajaran yang dimaksud
adalah: (1) pebelajarpeserta didik; (2) pembelajar--guru; (3) tujuan pembelajaran; (4) penataan
situasi pembelajaranpengelolaan kelas; (5) pendekatan, model, metode pembelajaran, dan (6)
penilaian proses dan hasil belajar.
Untuk dapat mengimplementasi pendidikan karakter secara efektif dalam pembelajaran di
kelas, perlu dibahas bagaimana seharusnya pandangan guru tentang murid-muridnya, guru
pendidikan karakter yang bermartabat, penataan situasi pendidikan untuk pembelajaran nilai dan
karakter, prinsip-prinsip pembelajaran karakter, dan pengembangan rencana pembelajaran yang
berorientasi pada pendidikan karakter.
SESI PLENO
13
SESI PLENO
14
SESI PLENO
15
Ketiga, terapkan kepemimpinan moral dalam pembelajaran di kelas. Guru bermartabat menerapkan
kepemimpinan moral dalam pembelajaran di kelas. Pemimpin moral ditandai dengan satunya
keyakinan dengan ucapan, sikap, dan perbuatan. Guru yang bisa tampil sebagai pemimpin moral
akan tampak konsisten, dengan pribadi yang konsisten, seorang guru akan memperolah
kepercayaan dari murid-muridnya. Dengan kepercayaan/dapat dipercaya akan menjadikan
seorang guru yang kharismatik (beraura psitif yang sangat kuat). Guru yang dapat menerapkan
kepemimpinan moral akan menjadi guru-guru yang kharismatik karena perilakunya patut diteladani
oleh murid-muridnya sehingga mereka menjadi guru yang efektif. Guru yang efektif ditandai
dengan perilaku guru yang mampu mengelola kelas, ketika tampil di kelas dengan penampilan
yang menarik, simpatik, empatik, membantu, mengarahkan, ngemong, memimpin moral, dan patut
diteladani bagi peserta didiknya.
Keempat, secara psikologis ciptakan suasana psikologis yang mampu menumbuhkan kesadaran diri
secara mendalam dengan prinsip-prinsip pembelajaran sebagaimana mutiara hikmah sebagaimana
dikemukakan Dorothi, sbb:
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi diri.
Jika anak dibesarkan dengan penuh kasih sayang, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
Guru tampil di kelas dengan penampilan yang menarik, simpatik, empatik, membantu,
mengarahkan, ngemong, memimpin moral, pemaaf, sehingga patut diteladani oleh murid-muridnya.
Kelima, Integrasikan pemanfaatan sumber/materi pembelajaran yang mampu mencerdaskan
dimensi pikir dengan dimensi hati. Cara mengintegrasikan adalah dengan mengkaitkan antara
ilmu-ilmu empirik--rasional (MIPA ada di dalamnya) misalnya, dengan ajaran agama-agama
kawasan rasional. Ajaran agama itu ada yang rasional dan ada pula yang non-rasional. Ilmu-ilmu
empirik digunakan untuk mempertajam kemampuan berpikir, sedangkan ajaran agama-agama
(dzikiringat Tuhan) digunakan untuk mempertajam mata hati. Pentingnya memadukan ilmu
dengan agama karena agama-agama hingga kini tetap diakui para pakar pendidikan karakter
sebagai sumber nilai terbesar diantara sumber nilai yang lain. Satukan pikiran dengan hati muridmurid kita sehingga dapat melahirkan perilaku berakal (perilaku baik). Terpadunya ilmu dengan
agama akan mempercepat dan memperkuat terjadinya internalisasi nili-nilai pengendali kelakuan
seseorang. Gunakan situasi kehidupan riil sebagai sumber dan media pembelajaran nilai dan
karakter.
Keenam, gunakan pendekatan, strategi, model, metode, dan teknik-teknik pembelajaran MIPA
yang berorientasi pada pendidikan nilai dan karakter. Model pembelajaran adalah pola
pembelajaran yang di sekenariokan dalam rancangan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pembelajaran tertentu. Atau, langkah-langkah pembelajaran dan perangkatnya untuk mencapai
tujuan pembelajaran tertentu. Banyak sekali model-model pembelajaran aktif yang bisa digunakan
misalnya model-model: cooperative, group investigation, simulasi, jurisprudential inquiry, inquiry,
SESI PLENO
16
problem solving, VCT, diskusi dilemma moral, laporan diri, dll. Tekankan proses internalisasi nilai
melalui proses understanding, action, dan Reflection.
Kembangkan model-model pembelajaran yang dengan satu pengalaman belajar mampu
mengembangkan seluruh unsur karakter (Ngerti, Ngroso, dan Nglakoni), Moral Knowing, Moral
Feeling, dan Moral Action; pengembangkan aspek piker, dzikir, dan ikhtiar secara terpadu. Pilih
pendekatan, model, dan metode pembelajaran yang sesuai dengan nilai dan karakter yang akan
dikembangkan. Terapkan proses pembelajaran yang berorientasi pada proses terjadinya
internalisasi nilai (understanding, action, dan reflection).
Ketujuh, lakukan asesmen, evaluasi, dan penilaian proses dan hasil belajar secara otentik. Penilaian
dalam pembelajaran nilai dan karakter tidak untuk menjastifikasi atau memberi cap pada karakter
murid-murid, apakah seorang murid termasuk berkarakter baik atau berkarakter buruk. Asesmen
dan penilaian secara otentik dalam proses pembelajaran nilai dan karakter adalah dalam kerangka
untuk mengetahui posisi kualitas nilai dan karakter murid, kemudian dengan diketahuinya posisi
kualitas karakter tersebut kemudian diupayakan peningkatan kualitas posisi nilai dan karakter
tersebut ke arah tingkatan yang lebih tinggi.
DAFTAR RUJUKAN
Akbar, 2011. Revitalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah Dasar, Pidato Pengukuhan Guru Besar ,
Malang: UM.
Baker, Jefrey JW, Garland E Allen, 1974. Matter, Energy, and Life, Canada: Addison-Wesley
Publishing Company, Inc.
Bohlin, Karen E, dkk, 2011. Building Character in Schools Resource Guide, Sanfrancisco: John
Willey Son.
Bloom S., 1956. Taxonomy of Educational Objective: The Curriculum of Educational Goal, Hand
Book I, Cognitive Domain, Toronto: Longman Green.
Degeng, I Nyoman Sudana, 2003. Pembelajaran yang Mendidik, Makalah: PPS UM.
Dewantoro, Ki Hadjar, 1962. Bagian I: Pendidikan. Yogyakarta: Taman Siswa.
Hendrajaya, 2012. Makalah: Paradigma Kemandirian Perguruan Tinggi
Lickona, Thomas, 1992. Character and Value Education, New York: Bantam Book.
Phenix, Philip, 1954. Realms of Meaning: Philoshophy of The Curriculum of General Education,
New York: Mc-Graww Hill Book Company.
Rutherford, F James dan Andrew Ahlgren, 1990. Science for All American: Scientific Literacy,
New York: Oxford University Press.
Tim Nasional Implementasi KTSP, 2009. Panduan Implementasi Standard Proses untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah, Jakarta: Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Kemendiknas RI.
SESI PLENO
17
18
PENDAHULUAN
Pembahasan tentang pembelajaran matematika tentu terkait langsung dengan matematika
sekolah. Dalam setiap penyempurnaan kurikulun selalu ada perubahan materi yang harus
disampaikan di masing-masing tingkat atau jenjang satuan pendidikan. Menurut Suherman (2001),
setiap upaya penyusunan kembali atau penyempurnaan kurikulum matematika di sekolah perlu
selalu mempertimbangkan kedudukan matematika sebagai salah satu ilmu dasar. Lebih lanjut
dinyatakan, sebagai ilmu dasar matematika telah dan akan terus berkembang sehingga dalam
pengajarannya di sekolah perlu memperhatikan perkembangan-perkembangan yang terjadi.
Kemampuan matematika merupakan hal yang sangat bermanfaat bagi siswa untuk mengikuti
pembelajaran pada jenjang selanjutnya ataupun untuk mengatasi masalah dalam kehidupan seharihari. Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting
karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya memungkinkan siswa untuk
memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang sudah dimiliki untuk
diterapkan pada masalah baru yang dihadapi.
Menurut Hudojo (2003), pemecahan masalah secara sederhana, merupakan proses
penerimaan masalah sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Mengajarkan
pemecahan masalah kepada siswa merupakan kegiatan dari seorang guru di mana guru tersebut
memotivasi siswa-siswanya agar menerima dan merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
olehnya dan kemudian ia membimbing siswa-siswanya untuk sampai kepada penyelesaian masalah
yang diberikannya. Bagi siswa, pemecahan masalah merupakan salah satu kemampuan yang harus
dipelajarinya. Vygotsky (Lambas 2004:21) menyatakan, bahwa seseorang akan dapat
19
menyelesaikan masalah yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya apabila
mendapat bantuan dari orang yang lebih mampu (lebih kompeten). Vygotsky menyebut bantuan
yang demikian ini dengan dukungan dinamis atau scaffolding.
Sudah menjadi suatu keharusan guru (pengajar matematika) untuk mengarahkan
pembelajaran agar siswa terampil dalam pemecahan masalah. Dalam hal pemberian scaffolding
hendaknya guru memperhatikan proses berpikir yang telah dilakukan siswa, sehingga bantuan yang
diberikan sesuai dengan yang diperlukan siswa.
Perkembangan Proses Berpikir Siswa dengan Pemberian Scaffolding
Proses berpikir siswa dimaksudkan sebagai aktivitas kognitif siswa ketika menyelesaikan
masalah matematika. Masalah matematika dimaksudkan sebagai soal matematika yang menarik
siswa untuk menyelesaikannya, bersifat tidak rutin dan menuntut siswa untuk menggunakan
gabungan beberapa konsep matematika yang telah dipelajari sebelumnya. Sedangkan pemberian
scaffolding dimaksudkan sebagai upaya pemberian bantuan seminimal mungkin dari guru kepada
siswa ketika siswa tersebut mengalami kesulitan dalam menyelesaikan masalah.
Sebelum proses pembelajaran berlangsung tentunya masing-masing siswa sudah memiliki
struktur berpikir. Proses berpikir siswa bersifat unik, dan secara umum proses berpikir tersebut
dapat berkembang dengan pemberian scaffolding yang sesuai. Keunikan serta perkembangan
proses berpikir siswa dengan pemberian Scaffolding dapat dicontohkan sebagai berikut:
Masalah yang diberikan adalah:
QRS QPR 60 0
PQ 16 cm dan QR 30 cm
Totok menyampaikan pada temannya bahwa ia ingin membuat sebuah layang-layang
dengan desain sebagai berikut!
Totok juga menyatakan bahwa luas daerah layang-layang yang dibuatnya adalah
480cm2. Bagas mengatakan bahwa desain yang dibuat Totok tidak dapat diwujudkan.
Bagaimana dengan pendapatmu? Berikan saran kepada Totok agar keinginannya dapat
diwujudkan.
Dari masalah tersebut dapat digambarkan struktur masalahnya sebagai berikut:
Arti kode
20
Sd1
QRS 60 0
Sd2
QPR 60 0
PQ 16 cm
QR 30 cm
L
F1
F2
Sd3
Dapat menentukan
R1
R2
PQR 90 0
1
Luas daerah PQRS 2 PQ QR
2
1
Luas daerah PQRS PR QS
2
B1
B2
Memperoleh panjang QS =
Teorema Pythagoras
TP
d1
d2
B3
Ms1
Ms2
S
= 28.235cm
PR 34
Dapat menentukan panjang QS 30
Menemukan panjang
Struktur berpikir Siswa 1 (S1) sebelum pemberian scaffolding dibandingkan dengan struktur
masalah dapat digambarkan sebagai berikut:
Arti kode
21
Dapat menilai desain Totok tidak dapat diwujudkan dengan alasan yang
kurang tepat.
Memberi saran Totok namun belum benar
Selesai namun belum benar
Dari Gambar 2 tampak bahwa struktur bepikir S1 sebelum pemberian scaffolding belum
sesuai dengan struktur masalah.
Setelah mendapatkan scaffolding struktur berpikir S1 dapat digambarkan sebagai berikut:
Arti kode
Pemberian scaffolding 1, meminta S1 untuk mencermati kembali fakta
ukuran QRS 60
Pemberian scaffolding 2, meminta S1 untuk melengkapi sketsa
gambarnya yaitu menamai perpotongan PR dan QS dengan O agar siswa
menemukan adanya pertentangan fakta.
Memberi saran Totok agar menganti luas daerah layang-layang menjadi
510 cm2
Pemberian scaffolding 3, meminta S1 untuk tidak berfokus pada
pasangan Triple Pythagoras
Pemberian scaffolding 4, meminta S1 untuk berfokus pada sudut yang
diketahui.
0
Sf 2
(Ms2)2
Sf 3
Sf 4
Dari Gambar 3 tampak bahwa struktur bepikir S1 dapat berkembang hingga sesuai dengan
struktur masalah dengan pemberian scaffolding yang sesuai. Untuk mencapai struktur berpikir yang
sesuai dengan struktur masalah yang diharapkan S1 memerlukan empat kali pemberian scaffolding
dari struktur berpikir yang dimiliki sebelumnya.
Untuk melihat keunikkan proses berpikir siswa, berikut juga disajikan struktur berpikir dua
siswa lain yaitu Siswa 2 (S2) dan Siswa 3 (S3).
Struktur berpikir Siswa 2 (S2) sebelum pemberian scaffolding dibandingkan dengan struktur
masalah dapat digambarkan sebagai berikut:
22
PQR 90 0
Memperoleh panjang PR benar, tanpa memperhatikan PQR 90
Menggunakan rumus luas daerah layang-layang yang salah, yaitu: Luas
daerah PQRS d1 d 2
0
(d1)1
(R2)1
(B2)1
(Ms2)
S1
Arti kode
Menggunakan Teorema Pythagoras tanpa memperhatikan
Arti kode
Pemberian scaffolding 1, meminta S2 untuk mengingat kembali rumus
luas daerah layang-layang.
Pemberian scaffolding 2, meminta S2 untuk memandang PQRS dapat
23
Sf 3
Sf 4
Sf 5
Sf 6
Berbeda dengan S1, struktur berpikir S2 belum dapat berkembang hingga sesuai dengan
struktur masalah yang diharapkan setelah mendapatkan enam kali scaffolding. Namun demikian
struktur berpikir S2 mengalami perkembangan yang cukup berarti.
Struktur berpikir Siswa 3 (S3) sebelum pemberian scaffolding dibandingkan dengan struktur
masalah dapat digambarkan sebagai berikut:
Arti kode
Menilai desain Totok benar dengan alasan yang kurang tepat
Selesai namun belum benar
Arti kode
Pemberian scaffolding 1, meminta S3 untuk meninjau diagonal-diagonal
24
Sf 2
Sf 3
Sf 4
layang-layang PQRS
Pemberian scaffolding 2, meminta S3 untuk menghubungkan panjang
diagonal PR dengan luas daerah PQRS
Pemberian scaffolding 3, meminta S3 untuk memperhatikan kembali
fakta besar QRS QPR 60
Pemberian scaffolding 4, meminta S3 untuk memikirkan saran untuk
Totok dengan tinjauan sudutnya
0
Sama dengan Siswa 1 (S1) struktur berpikir Siswa 2 (S2) dapat berkembang hingga sesuai
dengan struktur masalah yang diharapkan setelah mendapatkan pemberian scaffolding yang sesuai.
Kebetulan S2 juga memerlukan empat kali pemberian scaffolding dari struktur berpikir yang
dimiliki sebelumnya untuk mencapai struktur masalah yang diharapkan, namun struktur berpikir S2
sangat berbeda dengan struktur berpikir S1.
Contoh Pembejalaram Matematika dengan Pemberian Scaffolding Berdasarkan Proses
Berpikir Siswa
Sebagai contoh penerapan pemberian scaffolding dalam pembelajaran matematika yang
mengacu pada proses berpikir siswa berikut disajikan pembelajaran kesebangunan segitiga dengan
pemberian scaffolding berdasarkan proses berpikir siswa. Dalam pembelajaran kesebagungan
segitiga, konsep dasar yang perlu diingatkan adalah konsep bangun datar secara umum, yaitu dua
bangun datar dikatakan sebangun apabila semua sudut-sudut bersesuaiannya sama besar dan
perbandingan sisi-sisi yang bersesuaian senilai. Dalam hal ini mungkin perlu diingatkan kembali
tentang dua kondisi yang bertentangan, misalkan dengan memberi pertanyaan sebagai berikut:
15 cm
8 cm
6 cm
5 cm
II
9 cm
3 cm
A
Look at the figures! Are rectangles I and II similar? Explain your answer!
How about rhombuses A and B?
Konsep dasar yang pertama perlu ditanamkan kepada siswa adalah pemahaman bahwa dua
segitiga yang sudut-sudut bersesuaiannya sama besar berakibat perbandingan sisi-sisi
bersesuaiannya senilai atau sebaliknya. Penanaman konsep ini sebaiknya dilakukan secara dengan
pemodelan, misalnya dengan cara mengajak siswa melakukan pengamatan terhadap gambargambar segitiga sebagai berikut:
25
Selanjutnya siswa diarahkan untuk dapat menyimpulkan bahwa jika ada dua segitiga yang
memenuhi salah satu syarat sudut-sudut bersesuaiannya sama besar atau perbandingan sisi-sisi
bersesuaiannya senilai maka dua segitiga tersebut adalah sebangun.
Given two triangles,
If the corresponding angles are of the same measure, then the two triangles are similar
If the corresponding sides are proportional, then the two triangles are similar
Setelah siswa memahami konsep kesebangunan segitiga, latihkan siswa untuk menerapkan
pemahamannya dalam menghadapi masalah atau soal-soal metematika. Misalkan ketika
menghadapi soal berikut:
Check whether PQR and MNO are similar or not. What the consequences?
Beri kesempatan siswa untuk menuliskan apa yang dipikirkannya, dan arahkan mereka ketika
menemui kesulitan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya.
Ketika menjumpai siswa yang bias menjawab yes similar dan ia tidak dapat menuliskan
konsequensinya, maka kita mereka untuk tidak sekedar menjawab yes similar saja (kita minta
mereka untuk menuliskan dasar ia menyawab yes similar tadi). Harapan kita siswa dapat
memperbaiki jawabnya sebagai berikut:
PR 15 1
MO 45 3
PQ 10 1
MN 30 3
QR 7 1
NO 21 3
PQR MNO
26
Jika siswa sudah dapat menuliskan dan memahami arti dari penulisan , maka
siswa akan dapat melanjutkan proses berpikirnya sampai struktur masalah yang diharapkan yaitu
dapat melanjutkan menulis The consequences: , = , =
Demikian juga dalam hal-hal yang sifatnya hanya merupakan dampak atau konsekuensi dari
konsep dasar kesebangunan segitiga sebaik-nya siswa tidak langsung diberikan rumus-rumus saja
namun jadikanlah itu sebagai suatu problem bagi siswa agar kemampuan problem solving mereka
meningkat. Disinilah kesempatan kita untuk melatih mereka berpikir dengan menggunakan konsepkonsep yang telah dimiliki sekaligus memberikan scaffolding sesuai dengan yang mereka perlukan.
Contoh beberapa hal yang tidak seharusnya langsung diberikan rumus-rumus saja namun dapat
dijadikan sebagai suatu problem bagi siswa:
Dalam kondisi berikut:
We will find all possible pairs of similar triangles from the figure.
Suppose = then = ( )
= , =
Perlu diingat dalam hal memberikan bantuan adalah bantuan seminimal mungkin sesuai dengan apa
yang diperlukan dan telah dipikirkan siswa.
Jika siswa hanya diberikan rumus secara langsung siswa cenderung tidak dapat mengerjakan soal
dengan model sebagai berikut:
Perhatikan gambar berikut!
27
Jangan ragu untuk memberikan soal berikut tanpa harus memberikan rumus =
+
+
Perhatikan gambar berikut! Jika PMNO adalah trapezium sama kaki, tentukan kelilingnya!
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika perlu
dilakukan perubahan dari hanya memberikan rumus-rumus ke pemberian kesempatan siswa untuk
mengembangkan proses berpikirnya dengan pemberian scaffolding sesuai dengan yang mereka
perlukan.
Daftar Pustaka
Hudojo, Herman. 2003. Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Malang:
Universitas Negeri Malang.
International Standard School Mathematics for Junior High School Grade IX Dept. of Math EDU
DGM of PSE
Lambas. 2004. Materi Pelatihan Terintegrasi. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah,
Departemen Pendidikan Nasional.
Suherman. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: UPI
Sujiati, Anik. 2011. Proses Berpikir Siswa Dalam Pemecahan Masalah Dengan Pemberian
Scaffolding. Tesis tidak dipublikasikan, Malang: Program Pascasarjana UM
28
PENDAHULUAN
Mengembangkan kemampuan berfikir kreatif di kalangan peserta didik merupakan hal yang
sangat penting dalam era persaingan global, karena tingkat kompleksitas permasalahan dalam
segala aspek kehidupan modern saat ini semakin tinggi. Seperti yang disampaikan Treffinger
(dalam Semiawan, 1990) bahwa belajar kreatif membantu siswa berhasil dalam menyelesaikan
masalah dan mengarahkan diri sendiri walaupun kita tidak bersama mereka.
Haylock (1997) mengatakan bahwa berpikir kreatif selalu tampak menunjukkan fleksibilitas
(keluwesan). Bahkan Krutetskii (1976) menjelaskan bahwa fleksibilitas merupakan komponen
kunci kemampuan kreatif matematika sekolah. Selanjutnya Haylock (1997) menunjukkan kriteria
kreatifitas sesuai tipe Tes Torrance, yaitu kefasihan (banyaknya respon-respon yang diterima),
fleksibilitas (banyaknya berbagai macam respon yang berbeda), dan keaslian (kejarangan responrespon dalam kaitan dengan sebuah kelompok pasangannya). Dalam konteks matematika, menurut
Siswono (2005), kriteria kelancaran tampak kurang berguna dibanding dengan fleksibilitas.
Kemampuan berpikir dasar dalam pembelajaran matematika biasanya dibentuk melalui
aktivitas yang bersifat konvergen, yaitu proses berfikir mencari jawaban tunggal yang paling tepat.
Aktivitas ini umumnya cenderung berupa latihan-latihan matematika yang bersifat algoritmik,
mekanistik, dan rutin. Sedangkan kemampuan berfikir kreatif bersifat divergen yaitu proses ke
macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternatif penyelesaian (Semiawan, 1990).
Hasil tes pendahuluan pada 28 siswa kelas VIIC SMPN 1 Singosari menunjukkan 26 siswa
pada tingkat kurang kreatif, 1 siswa tidak kreatif, dan hanya 1 siswa kreatif, dan lebih dari 70%
siswa tidak fleksibel dalam memecahkan dan mengajukan masalah. Walaupun hal ini tidak
29
sepenuhnya salah, dalam era persaingan bebas ini pembelajaran matematika yang bertumpu pada
pencapaian ketrampilan dasar saja tidaklah memadai. Dengan demikian pembelajaran matematika
hendaknya tidak hanya berhenti pada pencapaian ketrampilan dasar, tetapi sebaliknya harus
dirancang untuk mencapai kompetensi tingkat tinggi yaitu mampu berpikir kritis dan kreatif.
Sudiarta (2006) menyampaikan bahwa pemecahan masalah matematika terbuka akan
memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan investigasi masalah matematika secara
mendalam, sehingga dapat mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya secara divergen,
kritis, kreatif, dan produktif. Selain pemecahan masalah, Siswono (2005) dalam penelitiannya
menemukan bahwa kegiatan pengajuan masalah juga dapat meningkatkan aspek berpikir kreatif.
Selain aktivitas kognitif, untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa juga harus
diperhatikan aktivitas afektif dan psikomotorik (Semiawan, 1990).
Dari beberapa pendapat di atas, maka salah satu model pembelajaran kreatif yang memiliki
sifat dan karakter tersebut adalah pembelajaran kreatif model Treffinger, yaitu suatu model
pembelajaran kreatif yang tidak hanya memperhatikan aktifitas kognitif, tetapi juga memperhatikan
aktifitas afektif. Pembelajaran model Treffinger terdiri dari tiga tahap dan setiap tahap mencakup
segi kognitif dan segi afektif yang prosesnya berlangsung secara terpadu (Semiawan,1990). Tahap
pertama disebut fungsi divergen, yaitu suatu tahap yang menekankan pada keterbukaan dan
kemungkinan-kemungkinan. Teknik-teknik yang digunakan adalah pemansan, pemikiran dan
perasaan berakhir terbuka, sumbang saran, daftar penulisan gagasan, penyusunan sifat dan
hubungan yang dipaksakan. Tahap kedua adalah proses pemikiran dan perasaan yang majemuk,
yaitu suatu tahap dimana faktor-faktor kognitif dan afektif dari tahap pertama diperluas. Teknik
yang digunakan analisa morfologi, bermain peran dan synectics.Tahap ketiga adalah keterlibatan
dalam tantangan-tantangan nyata. Teknik yang digunakan adalah Creative Problem Solving
Selain meningkatnya perilaku kreatif yang diamati selama proses pembelajaran, acuan yang
digunakan untuk menilai kemampuan berpikir kreatif adalah acuan dari Silver (1997) yaitu TTCT
(The Torrance Tests of Creative Thinking) yaitu suatu tes untuk menilai kemampuan berpikir
kreatif anak-anak dan orang dewasa yang meliputi kelancaran (fluency), kelenturan (flexibility), dan
kebaruan (novelty).
Sedangkan penjenjangan tingkat berfikir kreatif pada siswa digunakan penjenjangan berfikir
kreatif dari Siswono (2009) yaitu (1) Tingkat Kemampuan Berpikir Sangat Kreatif (2) Tingkat
Kemampuan Berpikir Kreatif (3) Tingkat Kemampuan Berpikir Cukup Kreatif (4) Tingkat
Kemampuan Berpikir Kurang Kreatif (5) Tingkat Kemampuan Berpikir Tidak Kreatif
Berdasar pada penjelasan di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana langkah-langkah pembelajaran model Treffinger yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kreatif matematika siswa kelas VII SMPN 1 Singosari?
2. Bagaimana deskripsi peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematika siswa kelas VII
SMPN 1 Singosari setelah mengikuti pembelajaran model Treffinger?
Agar tidak menimbulkan penafsiran ganda, maka diperlukan beberapa batasan istilah sebagai
berikut:
1. Berpikir kreatif merupakan suatu proses mental yang digunakan seseorang untuk memunculkan
suatu ide atau gagasan baru secara lancar dan fleksibel.
2. Berpikir kreatif matematika merupakan suatu proses mental yang digunakan seseorang untuk
memunculkan suatu ide baru dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika secara
lancar dan fleksibel.
3. Meningkatkan kemampuan berpikir kreatif adalah meningkatkan kemampuan berpikir siswa
dari tingkat berpikir kreatif lebih rendah ke tingkat berpikir kreatif yang lebih tinggi misalnya
dari tidak kreatif menjadi kurang kreatif atau cukup kreatif, dari kreatif menjadi sangat kreatif,
dan seterusnya, dan meningkatkan perilaku kreatif sesuai dengan indikator kreatifitas
pembelajaran model Treffinger baik aspek kognitif maupun aspek afektif.
4. Pembelajaran adalah suatu kegiatan yang menjadikan siswa belajar
30
Tes
Tugas
Mandiri
Kualitatifdsekriptif
Aktivitas siswa
Lembar
Pengamatan
Kualitatifdeskriptif
Instrumen
Metode Analisis
Indikator
Meningkat jika jenjang kemampuan
berpikir siswa meningkat dari tingkat
lebih rendah ke tingkat yang lebih
tinggi, misal dari tidak kreatif menjadi
kurang kreatif, kurang kreatif menjadi
kreatif, dst.
Meningkat jika aspek-aspek
pengamatan pembelajaran Treffinger
tingkat I-III meningkat minimal pada
kriteria baik.
31
a. Buatlah bangun datar sebarang yang luasnya sama dengan luas bangun jajargenjang di atas
b. Gambarlah paling sedikit dua bangun datar sebarang selain yang sudah kamu buat pada poin a
c.
d.
e.
f.
yang luasnya sama dengan luas bangun jajargenjang di atas dan tunjukkan juga ukuranukurannya.
Perhatikan satu bangun datar yang telah kamu buat pada bagian b, bagaimana prosesnya
sehingga kamu bisa menggambar bangun tersebut sehingga mempunyai luas yang sama dengan
jajargenjang di atas? Tunjukkan cara/ proses yang berbeda untuk menemukan atau membuat
bangun datar itu.
Buatlah paling sedikit dua soal berbeda tentang jajargenjang dan berikan penyelesaian dari
soal yang kamu buat tersebut.
Dari soal yang telah kamu buat, adakah soal yang dapat diselesaikan dengan lebih dari satu
cara? Jika ada, tunjukkan cara penyelesaian yang berbeda dari soal itu. Jika tidak, buatlah soal
lain yang penyelesaiannya lebih dari satu cara.
Tuliskan pendapatmu, mana yang lebih sulit antara menyelesaikan soal
Tabel 2. Langkah-langkah Pembelajaran Siklus I dan Siklus II
Tingkat
Model
Treffinger
Tingkat I
Langkah-langkah Pembelajaran
Siklus I
Siklus II
Warming up yaitu memberikan
- Warming up yaitu memberikan
pertanyaan yang menarik tentang
pertanyaan yang menarik tentang
cara memenangkan lomba lari
berapa jumlah uang kertas yang
mengelilingi lapangan
dibutuhkan untuk menutup tembok
Gabungan teknik pemikiran dan
kelas
perasaan berakhir terbuka, teknik
- Teknik pemikiran dan persaan
daftar penulisan gagasan, dan
berakhir terbuka untuk menyelesaikan
teknik sumbang saran, dalam
masalah terbuka yang berkaitan
menyelesaiakan masalah terbuka
dengan trapesium dengan beberapa
yang berkaitan dengan keliling dan
alternatif penyelesaian
luas persegipanjang dengan
beberapa alternatif penyelesaian
32
Model
Treffinger
Tingkat III
Indikator
Kebenaran jawaban
tugasmemecahkan
masalah (btr a)
Kefasihan
memecahkan masalah
(btr b)
Hasil
Benar
Penjelasan
Bangun yang dibuat mempunyai luas yang sama dengan
jajargenjang yang diketahui
Fasih
Kebaruan
memecahkan masalah
(btr b)
Baru
Fleksibilitas
memecahkan masalah
(btr c)
Kebenaran membuat
soal dan menyelesaikannya (btr d)
Kefasihan membuat
soal (btr d)
Belum
jelas
Kebaruan membuat
soal (btr d)
Fleksibilitas membuat
soal (btr e)
Tidak baru
(perlu
wawancar
a)
Belum
jelas (perlu
wwncra)
Benar
Fasih
Tabel 4. Contoh Analisa Tes Berdasarkan Hasil Jawaban Siswa yang Menunjukkan Kelancaran dan
Kebaruan dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah
Variabel
Kefasihan
Fleksibilitas
Memecahkan masalah
Mengajukan masalah
Kesimpulan
: kreatif (setelah diadakan wawancara)
SESI PARALEL MATEMATIKA
Kebaruan
33
Secara rata-rata, aspek kognitif dan afektif tiap tahap pembelajaran model Treffinger
mengalami peningkatan, hal ini berarti bahwa kemampuan dan perilaku yang menjadi indikator
kemampuan berpikir kreatif juga meningkat.
Gambar 1. Contoh Jawaban Kreatif Siswa dalam Menyelesaikan Tes Akhir Siklus I yang
Menunjukkan Kelancaran dan Kebaruan dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah
Komentar:
Membuat dan mengerjakan soal itu tergantung bobotnya, jika soal itu hasilnya sulit, otomatis cara
membuat dan mengerjakannya sulit begitu pula sebaliknya
Pembelajaran Matematika melalui Model Treffinger
Di awal tindakan, peneliti memberikan pemanasan terlebih dahulu kepada siswa dengan
cara memberikan pertanyaan yang menantang yang berkaitan dengan bangun datar. Karena
menurut Semiawan dkk (1990) belajar kreatif tidak dapat langsung dilaksanakan seperti
menyalakan dan mematikan lampu.
Selanjutnya untuk mendorong perilaku divergen yang merupakan karakteristik pembelajaran
model Treffinger tingkat I, peneliti memberikan masalah terbuka dengan teknik pemikiran dan
perasaan berakhir terbuka. Menurut Schoenfield (dalam Sudiarta, 2004) pemberian masalah
terbuka akan memberikan kesempatan pada siswa experience in finding something new in the
process. Sudiarta (2004) juga menyampaikan bahwa pemecahan masalah terbuka akan
memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan investigasi masalah matematika secara
mendalam, sehingga dapat mengkonstruksi segala kemungkinan pemecahannya secara kritis,
kreatif, divergen, dan produktif. Lindgren (dalam Jamridafrizal, 2011) menyatakan bahwa
kreatifitas siswa dapat ditingkatkan dengan cara menyediakan kesempatan kepada siswa untuk
berpikir divergen. Pemecahan masalah terbuka dilakukan secara berkelompok dengan menerapkan
teknik daftar penulisan gagasan dan teknik sumbang saran. Karena sumbang saran dalam kerja
kelompok merupakan cara yang paling popular untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran
kreatif (Davis, dalam Jamridafrizal, 2011). Gagasan untuk menyelesaikan masalah yang sudah
ditulis masing-masing siswa disampaikan pada saat diskusi kelompok. Untuk lebih meningkatkan
34
kemampuan berpikir kreatif matematika, pembelajaran dilanjutkan ke tingkat kedua belajar kreatif
yang mencakup belajar untuk menggunakan proses pemikiran dan perasaan majemuk. Teknik yang
dikembangkan merupakan perluasan dari pembelajaran model Treffinger tingkat I. Setelah
dilakukan pemanasan, peneliti mengajak siswa untuk lebih berperan dalam kegiatan yang lebih
menantang dan majemuk. Pada tahap ini teknik yang sesuai untuk matematika adalah teknik analisa
morfologis, yaitu suatu teknik untuk memecahkan masalah dengan mengkaji secara cermat bentuk
dan struktur masalahnya. Karena menurut Ruseffendi (1980), matematika adalah ilmu yang
mempelajari tentang pola keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan. Konsep-konsep
matematika tersusun secara hirarkis, terstruktur, logis, dan sistematis mulai dari konsep yang paling
sederhana sampai dengan konsep yang paling kompleks.
Pada tahap akhir, sesuai dengan karakteristik model Treffinger yang ketiga yaitu siswa
diajak untuk terlibat secara kreatif dalam masalah dan tantangan nyata. Siswa terlibat dalam
pengajuan pertanyaan-pertanyaan secara mandiri yang berkaitan dengan masalah yang diberikan.
Teknik yang digunakan oleh peneliti adalah gabungan problem possing dan creative problem
solving. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian Siswono ( 2004) yang menyimpulkan bahwa
pengajuan masalah dapat meningkatkan kemampuan menyelesaikan masalah dan kemampuan
berpikir kritis sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa.
Peningkatan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa setelah Mengikuti Pembelajaran Model
Treffinger
Berdasarkan hasil observasi selama pembelajaran dapat diketahui bahwa terdapat
peningkatan variabel kreatifitas aspek kognitif dari siklus I ke siklus II sebesar 10% dan variabel
kreatifitas aspek afektif sebesar 15%. Hal ini berarti terdapat peningkatan perilaku kreatif kreatif
pada siswa. Berdasarkan hasil tes awal dan tes akhir siklus II dapat disimpulkan bahwa
kemampuan berpikir kreatif siswa dalam memecahkan dan mengajukan masalah matematika
mengalami peningkatan. Namun terdapat 2 siswa yang mengalami penurunan kemampuan berpikir
kreatif. Menurut Semiawan (1988) belajar kreatif yaitu belajar yang mengasyikan, yang
menggerakkan potensi kreatifitas, dan menimbulkan berbagai getaran penemuan terhadap hal-hal
yang sebelumnya belum diketahui, akan banyak memberi peluang untuk mencegah penurunan
kreatifitas. Pada penelitian ini jadwal pembelajaran matematika yang padat membuat beberapa
siswa merasa kurang asyik dalam belajar dan berakibat turunnya kemampuan kreatif beberapa
siswa. Hal ini dapat dilihat pada jurnal siswa yang disajikan pada gambar 4.27. Sedangkan
berdasarkan tabel tentang perubahan aspek kreatifitas dari tes awal, tes akhir siklus I, dan tes akhir
siklus II, dapat dilihat bahwa sampai siklus II, hanya 2 siswa yang mampu memenuhi kriteria
fleksibilitas dalam memecahkan dan mengajukan masalah. Hal ini menunjukkan bahwa aspek
fleksibilitas merupakan aspek yang sulit dan penting dalam kreatifitas seperti yang disampaikan
Haylock (dalam Siswono, 1997) bahwa berpikir kreatif selalu menunjukkan fleksibilitas atau
kelenturan. Bahkan Krutetskii (1977) menjelaskan bahwa fleksibilitas merupakan komponen kunci
kemampuan kreatif matematika sekolah.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setelah mengikuti pembelajaran
matematika dengan model Treffinger, kemampuan berpikir kreatif matematika siswa mengalami
peningkatan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haryono (2009) yang
berhasil menumbuhkan kreatifitas siswa kelas V SD Bani Hasyim dalam memecahkan masalah
yang berkaitan dengan operasi hitung pecahan.
KESIMPULAN
Berdasar hasil hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Langkah-langkah pembelajaran model Treffinger yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kreatif siswa kelas VII SMP Negeri 1 Singosari dalam belajar matematika adalah
sebagai berikut.
a. Model Treffinger tingkat I
35
1.
2.
3.
4.
5.
Daftar Pustaka
Haryono, Ary Dwi. 2009. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Menumbuhkan Kreativitas Dalam
Pemecahan Masalah Operasi Hitung Pecahan Siswa Kelas V SD Islam Bani Hasyim
Singosari Malang. Tesis tidak diterbitkan. Malang: UM
Barak, Moses & Doppelt, Yaron. 2000. Using Portofolio to Enhance Creative Thinking. The
Journal of Technology Studies Summer Fall 2000, (Online), Vol. XXVI, Number 2,
http://scholar.lib.vt.edu/ejournals/JOTS/Summer-Fall-2000/pdf/barak.pdf. diakses 5 Maret
2010
Depdiknas. 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: Badan Standar Nasional
Pendidikan
SESI PARALEL MATEMATIKA
36
37
PENDAHULUAN
Kalangan pendidik telah menyadari bahwa siswa memiliki bermacam-macam cara belajar.
Sebagian siswa bisa belajar dengan sangat baik hanya dengan melihat orang lain melakukannya.
Biasanya mereka ini menyukai penyajian informasi yang runtut. Mereka lebih suka menuliskan apa
yang dikatakan guru. Selama pelajaran, mereka biasanya diam dan jarang terganggu oleh
kebisingan. Siswa visual ini berbeda dengan siswa auditori, yang biasanya tidak sungkan-sungkan
untuk memperhatikan apa yang dikerjakan oleh guru, dan membuat catatan. Mereka menggunakan
kemampuan untuk mendengar dan mengingat. Selama pelajaran, mereka mungkin banyak bicara
dan mudah teralihkan perhatiannya oleh suara atau kebisingan. Siswa kinestetik belajar terutama
dengan terlibat langsung dalam kegiatan. Mereka cenderung impulsive, dan kurang sabaran. Cara
mereka belajar boleh jadi tampak sembarangan dan tidak karuan.
Ada sedikit siswa yang mutlak memiliki satu jenis cara belajar. Grinder(1991) menyatakan
bahwa dari setiap 30 siswa, 22 diantaranya rata-rata dapat belajar dengan efektif selama gurunya
menghadirkan kegiatan belajar yang berkombinasi antara visual, auditori dan kinestik. Namun 8
siswa-siswinya sedemikian menyukai salah satu bentuk pengajaran dibanding dua lainnya.
Sehingga mereka berupaya keras untuk memahami pelajaran bila tidak ada kecermatan dalam
menyajikan pelajaran sesuai dengan cara yang mereka sukai. Guna memenuhi kebutuhan ini,
pengajaran harus bersifat multisensori dan penuh dengan variasi.
Di sisi lain, adanya keluhan beberapa guru(teman peneliti) di SMK Negeri 2 Tuban di
Widang tentang proses kegiatan belajar mengajar di kelas. Siswa SMK cenderung lebih pasif ketika
38
belajar di dalam kelas daripada belajar di bengkel atau laboratorium khususnya materi
produktif/kejuruan di Program Keahlian Teknik Otomotif dan sebagai subyek penelitian adalah
kelas XII. Hal ini berdampak pada materi(khususnya matematika) normatif dan adaptif yang pada
umumnya diberikan di dalam kelas. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya penelitian
dengan tujuan meningkatkan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika dengan
melatih dan membelajarkan guru matematika melalui peningkatan keterampilan guru mengelola
kelas di SMK melalui action research diharapkan dapat memecahkan masalah yang dihadapi
guru di kelas pada saat KBM sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat. Indikator motivasi
yang dibahas dalam penelitian ini meliputi minat, perhatian dan partisipasi siswa dalam
pembelajaran matematika.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research) karena penelitian dilakukan
untuk memecahkan masalah pembelajaran di kelas. Penelitian ini juga termasuk penelitian
deskriptif, sebab menggambarkan bagaimana suatu teknik pembelajaran diterapkan dan bagaimana
hasil yang diinginkan dapat dicapai. Dalam penelitian ini menggunakan bentuk guru sebagai
peneliti, dimana guru sangat berperan dalam proses penelitian tindakan kelas. Guru terlibat
langsung secara penuh dalam proses perencanaan, tindakan, observasi dan refleksi. Kehadiran
pihak lain dalam penelitian ini peranannya tidak dominan dan sangat kecil.
Penelitian ini mengacu pada perbaikan pembelajaran yang berkesinambungan. Penelitian ini
menggunakan model penelitian tindakan dari Kemmis dan Taggart (dalam Arikunto, Suharsimi,
2002:83), yaitu berbentuk spiral dari siklus yang satu ke siklus yang berikutnya. Setiap siklus
meliputi planning (rencana), action (tindakan), observasi (pengamatan) dan reflection (refleksi).
Langkah pada siklus berikutnya adalah perencanaan yang sudah direvisi, tindakan, pengamatan dan
refleksi. Sebelum masuk pada siklus I dilakukan tindakan pendahuluan yang berupa identifikasi
permasalahan. Siklus spiral dari tahap-tahap penelitian tindakan kelas dapat dilihat pada gambar
berikut:
Putaran 1
Refleksi
Rencana
awal/rancangan
Putaran 2
Tindakan/
Observasi
Refleksi
Rencana yang
direvisi
Putaran 3
Tindakan/
Observasi
Refleksi
Rencana yang
direvisi
Tindakan/
Observasi
39
bahasan yang diakhiri dengan tes formatif diakhir masing-masing putaran. Siklus ini berkelanjutan
dan akan dihentikan jika sesuai dengan kebutuhan dan dirasa sudah cukup.
Alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah tes buatan guru yang fungsinya adalah (1)
untuk menentukan seberapa baik siswa telah menguasai bahan pelajaran yang diberikan dalam
waktu tertentu; (2) untuk menentukan apakah suatu tujuan telah tercapai dan (3) untuk memperoleh
suatu nilai (Arikunto, Suharsimi, 2002:149). Sedangkan tujuan dari tes adalah untuk mengetahui
ketuntasan belajar siswa secara individu maupun secara klasikal. Untuk memperkuat data yang di
kumpulkan maka juga digunakan metode observasi (pengamatan) yang dilakukan oleh teman
sejawat untuk mengetahui dan merekam aktivitas guru dan siswa dalam proses belajar mengajar.
Untuk menyusun dan mengelola data yang terkumpul digunakan analisis data kuantitatif dan
kualitatif. Analisis data penelitian tindakan kelas ini merupakan reduksi data yang berupa uraian
singkat yang telah digolongkan dalam suatu kegiatan tertentu. Penyajian data berupa sekumpulan
informasi dalam bentuk teks naratif yang disusun, diringkas dalam bentuk kategori-kategori.
Penarikan kesimpulan di lakukan secara bertahap, kemudian diadakan verifikasi untuk memperoleh
kesimpulan yang tepat dengan cara diskusi bersama mitra kolaborasi.
Adapun langkah dalam penelitian ini dilakukan sejak penelitian ini dilaksanakan, dengan
proses sebagai berikut :
1. Dialog Awal; Tim peneliti bersama-sama melakukan pengenalan, penyatuan ide, dan
berdiskusi membahas masalah-masalah dan cara peningkatan motivasi belajar siswa dalam
pembelajaran matematika yang terfokus pada minat, perhatian dan partisipasi siswa dalam
pembelajaran matematika.
2. Perencanaan Tindakan Pembelajaran; Hasil diskusi mengenai masalah dan cara meningkatkan
motivasi belajar siswa dan hasil evaluasi untuk setiap akhir siklus sebagai dasar untuk
membuat perencanaan tindakan berikutnya. Implementasi tindakan dilaksanakan selama empat
(4) minggu dan terbagi dalam tiga (3) putaran, yang dimulai minggu ke V sampai dengan
minggu ke III bulan berikutnya.
3. Observasi; Kegiatan ini dilakukan oleh guru matematika di kelas XII-Otomotif dan peneliti
dengan dibekali pedoman observasi dan catatan lapangan, diupayakan tidak membebani
administrasi.
4. Refleksi; Kegiatani ini secara rutin dilakukan setiap akhir putaran penelitian. Secara informal
setiap hari kerja diadakan dialog antara guru matematika dan peneliti untuk membahas hal-hal
yang perlu penanganan segera.
5. Evaluasi; Evaluasi tindakan guna peningkatan motivasi belajar siswa dalam pembelajaran
matematika sebagai upaya dalam menentukan tingkat keberhasilan dan pencapaian tujuan
tindakan. Evaluasi diarahkan pada penemuan bukti-bukti dari peningkatan yang terjadi setelah
dilaksanakannya serangkaian tindakan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data penelitian yang diperoleh berupa hasil uji coba item butir soal dan data observasi hasil
pengamatan pengelolaan model pembelajaran kontekstual dengan metode kolaborasi dan
pengamatan aktivitas siswa dan guru pada akhir pembelajaran, juga data tes formatif siswa pada
setiap siklus. Data lembar observasi diambil dari dua pengamatan yaitu data pengamatan
pengelolaan model pengajaran kolaborasi yang digunakan untuk mengetahui pengaruh penerapan
medel pembelajaran kontekstual dengan metode kolaborasi dalam meningkatkan motivasi belajar
siswa dan data pengamatan aktivitas guru dan siswa. Data tes formatif untuk mengetahui
peningkatan prestasi belajar siswa setelah diterapkannya proses belajar mengajar dengan
menerapkan model pembelajaran kontekstual dengan metode kolaborasi.
1.
Siklus I
a. Tahap Perencanaan
40
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan pembelajaran yang terdiri dari rencana
pembelajaran 1, soal tes formatif 1 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. Selain itu
juga dipersiapkan lembar observasi pengelolahan pembelajaran kontekstual dengan metode
kolaborasi dan lembar observasi aktivitas siswa.
b. Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk siklus I mengacu pada rencana
pelajaran yang telah dipersiapkan. Pengamatan (observasi) dilaksanakan bersamaan dengan
pelaksanaan belajar mengajar.
Pada akhir proses belajar mengajar siswa diberi tes formatif I dengan tujuan untuk
mengetahui keberhasln siswa dalam proses belajar mengajar yang telah dilakukan. Adapun
data hasil penelitian pada siklus I adalah sebagai berikut:
No
1
2
3
41
2.
No
1
2
3
Dari data tabel di atas ditunjukkan nilai rata-rata prestasi belajar siswa adalah 74,09
dan ketuntasan belajar mencapai 77,27% atau ada 17 siswa dari 22 siswa sudah tuntas
belajar. Hasil ini menunjukkan bahwa pada siklus II ini ketuntasan belajar secara klasik
telah mengalami peningkatan sedikit lebih baik dari siklus I. adanya peningkatan hasil
belajar siswa ini karena setelah guru menginformasikan bahwa setiap akhir pelajaran akan
selalu diadakan tes sehingga pada pertemuan berikutnya siswa lebih termotivasi untuk
belajar. Selain itu siswa juga sudah mengerti apa yang dimaksud dan diinginkan guru
dengan menerapkan metode pembelajaran kolaborasi.
c. Analisis Data Minat, Perhatian, Partisipasi.
1. Minat; Dari analisis data diperoleh hasil sebanyak 17 siswa(77,27%) memiliki minat
baik, 4 siswa(18,18%) memiliki minat cukup, dan 1 siswa(4,55%) memiliki minat
kurang.
2. Perhatian; Dari analisis data diperoleh hasil sebanyak 18 siswa(81,82%) memiliki
perhatian baik, 4 siswa(18,18%) memiliki perhatian cukup dan 0,00% siswa memiliki
perhatian kurang .
3. Partisipasi; Dari analisis data diperoleh hasil sebanyak 15 siswa(68,18%) memiliki
partisipasi baik, 3 siswa (13,64%) memiliki partisipasi cukup, dan 4 siswa(18,18%)
memiliki partisipasi kurang.
d. Refleksi
Dalam pelaksanaan kegiatan belajar diperoleh informasi dari hasil pengamatan
sebagai berikut:
1. Guru cukup memotivasi siswa
2. Membimbing siswa merumuskan kesimpulan/menemukan konsep
3. Pengelolaan waktu belum maksimal
e. Refisi Rancangan
42
Pelaksanaan kegiatan belajar pada siklus II ini masih terdapat kekurangankekurangan. Maka perlu adanya revisi uintuk dilaksanakan pada siklus III antara lain:
1. Guru hendaknya dapat membuat siswa lebih termotivasi selama proses belajar mengajar
berlangsung.
2. Guru hendaknya mengelola waktu lebih baik lagi sehingga kegiatan pembelajaran dapat
berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
3. Guru hendaknya lebih dekat dengan siswa sehingga tidak ada perasaan takut dalam diri
siswa baik untuk mengemukakan pendapat atau bertanya.
4. Guru hendaknya lebih sabar dalam membimbing siswa merumuskan
kesimpulan/menemukan konsep.
5. Guru sebaiknya menambah lebih banyak contoh soal dan memberi soal-soal latihan
pada siswa untuk dikerjakan pada setiap kegiatan belajar mengajar.
3.
Siklus III
a. Tahap Perencanaan
Pada tahap ini peneliti mempersiapkan perangkat pembelajaran yang terdiri dari
rencana pelajaran 3, soal tes formatif 3 dan alat-alat pengajaran yang mendukung. Selain
itu juga dipersiapkan lembar observasi pengelolaan pembelajaran kontekstual dengan
metode pembelajaran kolaborasi dan lembar observasi aktivitas guru dan siswa.
b. Tahap Pelaksanaan
Kegiatan belajar mengajar untuk siklus III dilaksanakan dengan mengacu pada
rencana pelajaran dengan memperhatikan revisi pada siklus II, sehingga kesalahan atau
kekurangan pada siklus II tidak terulang lagi pada siklus III. Pengamatan (observasi)
dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan pembelajaran.
Pada akhir proses pembelajaran, siswa diberi tes formatif III dengan tujuan untuk
mengetahui tingkat keberhasilan siswa dalam proses belajar mengajar yang telah
dilakukan. Instrumen yang digunakan adalah tes formatif III. Adapun data hasil penelitian
pada siklus III adalah sebagai berikut:
Tabel 3 Rekap Hasil Tes Formatif Sisw pada Siklus III
No
Uraian
Hasil Siklus III
1
Nilai rata-rata tes formatif
81,82
2
Jumlah siswa yang tuntas belajar
22
3
Persentase ketuntasan belajar
100%
Berdasarkan tabel di atas diperoleh nilai rata-rata tes formatif sebesar 81,82 dan 22
siswa telah mencapai ketuntasan belajar atau ketuntasan belajar klasikal telah mencapai
100%. Hasil pada siklus III ini mengalami peningkatan lebih baik dari siklus II. Adanya
peningkatan hasil belajar pada siklus III ini dipengaruhi oleh adanya peningkatan
kemampuan guru dalam menerapkan pembelajaran kontekstual dengan metode kolaborasi
sehingga siswa lebih mudah dalam memahami materi yang telah diberikan.
c. Analisis data Minat, Perhatian, Partisipasi
1. Minat; Dari analisis data diperoleh hasil sebanyak 20 siswa(90,91%) memiliki minat
baik, 2 siswa(9,09%) memiliki minat cukup dan 0 siswa(0,00%) memiliki minat kurang.
2. Perhatian; Dari analisis data diperoleh hasil sebanyak 20 siswa(90,91%) memiliki
perhatian baik, 2 siswa(9,09%) memiliki perhatian cukup, dan 0 siswa(0,00%) memiliki
perhatian kurang.
3. Partisipasi; Dari analisis data diperoleh hasil sebanyak 16 siswa(72,73%) memiliki
partisipasi baik, 4 siswa(18,18%) memiliki partispasi cukup, dan 2 siswa(9,09%)
memiliki partisipasi kurang.
d. Refleksi
43
Pada tahap ini akan dikaji apa yang telah terlaksana dengan baik maupun yang
masih kurang baik dalam proses belajar mengajar dengan penerapan pembelajaran
kontekstual dengan metode kolaborasi. Dari data-data yang telah diperoleh dapat diurakain
sebagai berikut:
1. Selama proses belajar mengajar guru telah melaksanakan pembelajaran dengan baik.
Meskipun ada beberapa aspek yang belum sempurna, tetapi persentase pelaksanaannya
untuk masing-masing aspek cukup besar.
2. Berdasarkan data hasil pengamatan diketahui bahwa siswa aktif selama proses belajar
berlangsung.
3. Kekurangan pada siklus-siklus sebelumnya sudah mengalami perbaikan dan
peningkatan sehingga menjadi lebih baik.
4. Hasil belajar siswa pada siklus III mengalami peningkatan dan telah mencapai
ketuntasan.
e. Evaluasi
Pada siklus III guru telah menerapkan pembelajaran kontekstual menggunakan
metode kolaborasi dengan baik dan dilihat dari aktivitas siswa serta hasil belajar siswa.
Pelaksanaan proses belajar mengajar sudah berjalan dengan baik sehingga tidak diperlukan
revisi terlalu banyak, tetapi yang perlu diperhatikan untuk tindakan selanjutnya adalah
memaksimalkan dan mempertahankan apa yang telah berjalan dengan baik dengan tujuan
agar pada pelaksanaan proses belajar mengajar selanjutnya penerapan pembelajaran
kontekstual dengan metode kolaborasi dapat meningkatkan motivasi belajar siswa sehingga
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa.
Minat
Perhatian
Siklus 1
Siklus 2
Siklus 3
Kurang
Cukup
Baik
Kurang
Cukup
Baik
Kurang
Cukup
Baik
100.00
90.91
90.91
90.00
81.82
77.27
80.00
72.73
68.18
70.00
60.00
45.45
45.45
50.00 40.91
40.00
31.82
31.82
27.27
27.27 27.27
30.00
22.73
18.18
18.18
18.1818.18
13.64
20.00
9.09
9.09
9.09
4.55
10.00
0
00
0.00
Partisipasi
44
ketuntasan belajar siswa dalam setiap siklus, yaitu siklus I (31,82%), siklus II (77,27%), siklus
III (100,00%)
3. Siswa
dapat
bekerja
secara
mandiri
maupun
kelompok,
serta
mampu
mempertanggungjawabkan segala tugas individu maupun kelompok.
4. Peningkatkan motivasi ( minat, perhatian dan partisipasi) belajar siswa dapat ditingkatkan
dengan meningkatkan keterampilan pengelolaan kelas yang baik seperti penggunaan model dan
metode pembelajaran yang bervariasi dan menyenangkan.
Saran
Dari hasil penelitian yang diperoleh dari uraian sebelumnya agar proses belajar mengajar
lebih efektif dan lebih memberikan hasil yang optimal bagi siswa, maka disampaikan saran sebagai
berikut:
1. Untuk melaksanakan metode pembelajaran kolaborasi memerlukan persiapan yang cukup
matang, sehingga guru harus mampu menentukan atau memilih topik yang benar-benar bias
diterapkan dengan pembelajaran kontektual metode kolaborasi dalam proses belajar mengajar
sehingga diperoleh hasil yang optimal.
2. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa, guru hendaknya lebih sering melatih siswa
dengan berbagai metode pengajaran, walau dalam taraf yang sederhana, dimana siswa nantinya
dapat menemukan pengetahuan baru, memperoleh konsep dan keterampilan, sehingga siswa
berhasil atau mampu memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.
3. Untuk penelitian yang serupa hendaknya dilakukan perbaikan-perbaikan agar diperoleh hasil
yang lebih baik.
Daftar Pustaka
[1]
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta;
Rikena Cipata
[2]
Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta Rineksa Cipta.
[3]
Hamalik, Oemar. 2002. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung Sinar Baru Algesindo.
[4]
Melvin. L. Siberman. 2004. Active Learning, 101 Cara Belajar Siswa Aktif . Bandung:
Nusamedia dan Nuansa.
[5]
[6]
Sardiman, A.M. 1996 Interaksi dan Motivasi Belajar mengajar. Jakarta: Bina Aksara.
[7]
Sukidin, dkk. 2002. Manajemen Penelitian Tindakan Kelas. Surabaya: Insan Cendikia.
[8]
[9]
Suryosubroto, B. 1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: PT. Rineksa Cipta.
[10]
Wetherington. H.C and W.H. Walt. Burton. 1986. Teknik-teknik Belajar dan Mengajar
(Terjemahan) Bandung; Jemmars.
Siswa
45
PENDAHULUAN
Pada tahun ajaran 2011/2012 SMP Negeri 3 Malang memperoleh SK sebagai Rintisan
Sekolah Bertaraf Intrnasional (RSBI) sehingga membuka kelas bilingual diseluruh kelas. Berbagai
pelatihan (workshop) telah dilakukan untuk meningkatkan peningkatan kualitas pengajar di SMP
Negeri 3 Malang, namun para pengajar masih merasa perlu untuk mempelajari cara mengajar
dalam bahasa Inggris. Ketika melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam bahasa Indonesia,
para pengajar matematika tidak mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi, peserta didik
juga tidak mengalami kesulitan dalam menerima materi walaupun ada beberapa peserta didik yang
kurang memahami materi dikarenakan tingkat kompleksitas materi. Berbeda dengan ketika
kegiatan belajar mengajar dilaksanakan dengan bahasa Inggris, pembelajaran matematika dalam
bahasa Inggris membuat guru perlu mempelajari kosa kata dalam matematika dan penyampaiannya
dalam bahasa Inggris. Bagi peserta didik selain perlu memahami penyampaian materi dengan
bahasa Inggris, mereka juga harus memahami konsep materi yang dibelajarkan.
Beberapa penelitian di negara-negara yang bahasa keduanya adalah bahasa Inggris seperti
Filipina dan Nigeria menunjukkan bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan bahasa
kedua (bahasa Inggris) menjadi beban kognitif ( beban kognitif extraneous) tersendiri bagi peserta
didik. Hal ini ditandai dengan adanya hasil perbedaan test yang ditulis dengan bahasa asli dengan
yang ditulis dengan bahasa kedua (bahasa Inggris) mereka. Pada penelitian Ong (2009), peserta
didik memperoleh hasil yang lebih tinggi secara signifikan pada test pemecahan masalah
matematika ketika test soal cerita ditulis dalam bahasa Filipina (bahasa pertama) dibanding dengan
bahasa Inggris (bahasa kedua). Hal ini menunjukkan bahwa beban kognitif terjadi dalam bahasa
dimana peserta didik merasakan bahwa masalah yang ditulis dengan bahasa Filipina adalah tugas
yang lebih mudah dibanding dengan yang ditulis dalam bahasa inggris. Hasil penelitian Adetula
(1990) menunjukkan bahwa peserta didik di Nigeria memiliki nilai test pemecahan masalah dan
46
penggunaan strategi belajar yang lebih tinggi ketika masalah disajikan dalam bahasa asli mereka
daripada dalam bahasa inggris (bahasa kedua).
Berdasarkan uraian diatas, penelitit ingin meneliti bagaimanakah beban kognitif intrinsic,
extraneous, dan germane peserta didik kelas VII dalam pembelajaran matematika bilingual di SMP
Negeri 3 Malang berdasarkan teori beban kognitif. Menurut teori beban kognitif, beban kognitif
peserta didik terdiri dari beban kognitif intrinsic, extraneous, dan beban kognitif germane. Dengan
mengelola beban kognitif intrinsic, mengurangi beban kognitif extraneous, dan meningkatkan
beban kognitif germane peserta didik, proses pengolahan informasi pada peserta didik dapat
menjadi lebih efektif, sehingga proses pembelajaran juga lebih efektif
Hal ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mengembangkan sekolah-sekolah
bilingual di Indonesia, karena di negara-negara yang bahasa keduanya adalah bahasa Inggris masih
mengalami beberapa kendala dalam pembelajaran matematika menggunakan bahasa Inggris
apalagi di Indonesia yang bahasa keduanya bukan bahasa Inggris. Oleh karena itu, beban kognitif
ekstrinsik inilah yang harus diminimalisir untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran. Misalnya
dalam pembelajaran matematika bilingual hendaknya meminimalisir pengucapan kata yang tidak
perlu yang dapat membingungkan siswa, tidak tergesa-gesa dalam mengucapkan sesuatu dalam
bahasa inggris, dan lain-lain.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri 3 Malang pada kelas VII. 8 (Kelas bilingual) untuk
mengetahui beban kognitif (intrinsic, extraneous, dan germane) peserta didik saat pembelajaran
matematika secara bilingual dengan menggunakan pendekatan deskriptif dan kualitatif. Instrument
yang digunakan dalam penelitian adalah hasli rekaman video saat pembelajaran berlangsung,
wawancara berbasis tugas, dan lembar pengamatan yang diisi oleh empat pengamat. Peserta didik
kelas VII. 8 sebanyak 36 peserta didik terdiri dari 20 peremuan dan 16 laki-laki. Penelitian ini
memggunakan tiga pertemuan dengan peneliti sebagai guru. Data yang diperoleh dari wawancara
dan hasil rekaman video dideskripsikan untuk menunjukkan terjadinya beban kognitif peserta
didik, sedangkan lembar pengamatan oleh empat observer dianalisis secara kualitatif untuk
menujukkan beban kognitif peserta didik. Untuk memeriksa keabsahan data, hasil wawancara dan
rekaman video ditriangulasi dengan hasil pengamatan oleh empat pengamat.
HASIL
Pembelajaran matematika bilingual di SMP Negeri 3 Malang
Pembelajaran matematika bilingual di SMP Negeri 3 Malang diterapkan pada seluruh peserta
didik di kelas VII pada tahun ajaran 2011/2012. Pada awalnya pembelajaran matematika bilingual
mulai diterapkan di SMP Negeri 3 Malang pada tahun ajaran 2009/2010, namun hanya diterapkan
pada dua kelas khusus saja dan porsi penggunaan bahasanya masih 25 % menggunakan bahasa
Inggris dan 75 % menggunakan bahasa Indonesia. Tahun ajaran berikutnya yakni tahun ajaran
2010/2011 SMP Negeri 3 Malang hanya mengambil tiga kelas bilingual, porsi penggunaan bahasa
Inggris mulai ditingkatkan. Tahun ajaran 2011/2012 pembelajaran matematika bilingual diterapkan
pada seluruh peserta didik yang diterima menjadi peserta didik kelas VII SMP Negeri 3 Malang
serta porsi penggunaan bahasa inggris ditingkatkan menjadi 50 % dan penggunaan bahasa
Indonesia 50 %.
Jumlah jam mata pelajaran matematika di kelas VII di SMP Negeri 3 Malang adalah 6 jam
dalam 1 (satu) minggu yang terbagi menjadi 3 (tiga) pertemuan. Sebelum masuk ke kelas VII para
peserta didik diberi materi matrikulasi tentang pembelajaran matematika dalam bahasa Inggris.
Peserta didik dikenalkan dengan istilah istilah matematika sederhana dalam bahasa Inggris
seperti, adds, subtract, multiply, divided by, dan sebagainya. Tujuan pemberian matrikulasi ini
adalah untuk mengenalkan materi matematika dalam bahasa Inggris agar dalam pembelajaran
berikutnya peserta didik dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Peserta didik yang berasal dari
SD yang bertaraf Internasional mungkin telah terbiasa dengan pembelajaran bilingual, namun
47
peserta didik yang berasal dari SD biasa harus belajar untuk menyesuaikan diri dengan
pemebelajran bilingual. Selain peserta didik harus mampu memahami bahasa Inggris yang
digunakan dalam menyampaikan materi, peserta didik juga harus memahami konsep materi yang
diberikan.
Beban kognitif peserta didik pada tiap pertemuan
Setiap langkah kegiatan pembelajaran seperti kegiatan awal, inti dan akhir terdiri dari
tahapan proses pembelajaran. Kegiatan awal terdiri dari mengulas materi prasyarat, memeriksa
kemampuan prasyarat, dan mengaitkan materi prasyarat dengan materi baru. Kegiatan inti terdiri
dari penggunaan tampilan multimedia, memeriksa pemahaman peserta didik secara langsung
dengan tanya jawab maupun maju ke depan kelas mengerjakan soal, dan mengerjakan soal yang
diberikan guru di buku tugas. Kegiatan akhir terdiri dari memberi penguatan materi baru,
merangkum vocabulary dan materi. Ketiga jenis beban kognitif dapat membebani setiap tahapan
proses pembelajaran di kegiatan awal, inti, maupun kegiatan akhir. Namun, dari ketiga beban
kognitif tersebut ada yang tinggi, sedang, dan ada yang ringan atau bahkan tidak membebani sama
sekali.
Beban kognitif yang ideal pada setiap langkah pembelajaran adalah meningkatkan beban
kognitif germane setinggi tingginya, meminimalisir beban kognitif extraneous serendah
rendahnya, dan mengelola beban kognitif intrinsic agar dapat diproses di memori kerja. Beban
kognitif intrinsic tergantung pada banyaknya elemen interaktivitas yang terdapat pada suatu materi
yang sedang dipelajari. semakin besar beban kognitif extraneous, semakin besar pula hambatan
yang akan di embann peserta didik saat menerima pembelajaran. Semakin besar beban kognitif
germane, semakin besar pula daya serap informasi yang diperoleh peserta didik saat menerima
pembelajaran.
a. Beban kognitif peserta didik pada pertemuan pertama
Berdasarkan kegiatan pembelajaran pada pertemuan pertama, beban kognitif intrinsic,
extraneous, dan germane yang dirasakan peserta didik selama pembelajaran ditampilkan pada
Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Beban kognitif peserta didik pada pertemuan pertama.
Beban Kognitif
Intrinsic
Extraneous
Germane
Deskripsi
a. Kompleksitas pengetahuan prasyarat
b. Banyaknya kosa kata bahasa Inggris yang harus diketahui peserta didik
c. Elemen interaktifitas saat penyelesaikan persamaan
a. Faktor bahasa yang digunakan guru dalam pembelajaran
b. Ucapan guru yang saat bertanya atau memberikan informasi kurang jelas atau
fasih.
c. Gangguan luar (external distraction) saat pembelajaran berlangsung
a. Usaha mental dalam pembentukan skema baru tentang persamaan
b. Animasi gambar dan penjelasan pada multimedia
c. Pembentukan subskema istilah bahasa Indonesia menjadi skema istilah dalam
bahasa Inggris
d. Usaha mental dalam pembentukan skema untuk menyelesaikan persamaan
48
b.
c.
Germane
Lembar pengamatan munculnya beban kognitif pada peserta didik saat pembelajaran
matematika bilingual oleh empat pengamat
Pada lembar pengamatan ini, indikator munculnya beban kognitif intrinsic, extraneous, dan
germane terdapat dalam kegiatan awal, inti, dan akhir. Semakin sering indikator beban kognitif
tersebut muncul, maka semakin besar pula beban kognitif yang muncul. Pada kolom penilaian
untuk setiap indikator terdapat angka 1 sampai 4 yang dapat dipilih pengamat saat mengamati
pembelajaran. angka 1 menunjukkan tidak pernah, angka 2 menunjukkan jarang, angka 3
menunjukkan sedang, dan angka 4 menunjukkan sering. Total skor minimum dari keempat
pengamat untuk satu indikator adalah 4 dan total skor maksimum adalah 16. Sedangkan dalam
beban kognitif terdapat 4 kategori yaitu sangat rendah, rendah, sedang, dan tinggi. Maka, terdapat 3
interval dalam setiap kategori. Oleh karena itu, Berdasarkan hasil yang telah diperoleh pada setiap
indikator dari keempat pengamat tersebut beban kognitif peserta didik dikategorikan sebagai
berikut:
4 skor < 7
7 skor < 10
10 skor < 13
13 skor 16
Sangat Rendah
Rendah
Sedang
Tinggi
1.
2.
1.
Pengamat
1
2
49
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
2
2
1
2
2
2
1
2
2
2
1
1
4
3
3
4
3
3
3
3
3
2
2
3
2
2
3
1
2
4
2
2
3
2
2
1
3
2
2
2
2
2
3
2
3
2
2
3
3
2
2
2
2
2
2
1
1
2
1
1
4
3
3
4
4
3
4
3
3
3
3
4
2
2
1
2
2
3
2
2
2
50
Pengamat
1
2
3
4
3
3
2
4
2
3
2
2
1
3
2
2
2
3
1
1
1
2
3
2
3
3
4
3
3
2
4
3
2
3
3
3
4
4
3
3
3
2
3
2
3
2
2
1
2
2
2
3
2
1
2
3
1
3
2
1
3
3
4
3
3
4
3
3
3
4
1.
2.
1.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
51
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
3
3
4
2
3
3
3
2
4
3
2
4
3
2
2
2
3
2
3
2
2
2
1
2
2
2
2
2
Pengamat
1
2
3
4
2
3
3
4
3
3
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
2
3
3
4
3
3
2
3
3
3
3
2
2
3
2
3
2
3
2
2
2
1.
2.
1.
2.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
1.
52
2.
3.
4.
5.
6.
7.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
bahasa Inggris
Peserta didik kurang memahami tulisan bahasa Inggris yang terdapat dalam
materi atau soal
Guru terlalu cepat dalam menjelaskan materi
Guru kurang lancar dalam menggunakan bahasa Inggris dalam
pembelajaran
Cara guru dalam pengucapan kata dalam bahasa Inggris kurang fasih
Suara gaduh kelas
Teman yang mengajak bicara saat pelajaran berlangsung
KEGIATAN AKHIR
Beban kognitif Intrinsic
Peserta didik kesulitan menentukan karakteristik suatu konsep materi yang
telah dipelajari
Peserta didik kesulitan merangkum materi atau kosa kata
Peserta didik membahas jawaban yang masih kurang tepat
Beban kognitif Germane
Peserta didik mencatat materi yang diajarkan
Peserta didik mencatat kosa kata baru dalam bahasa Inggris
Peserta didik menanyakan hal yang kurang dipahami
Beban kognitif Extraneous
Guru terlalu cepat dalam memberikan penguatan
Peserta didik kurang memahami kata kata yang disampaikan guru dalam
bahasa Inggris
Peserta didik kurang memahami tulisan bahasa Inggris yang terdapat dalam
materi atau soal
Guru kurang lancar dalam menggunakan bahasa Inggris dalam
pembelajaran
Cara guru dalam pengucapan kata dalam bahasa Inggris kurang fasih
Suara gaduh kelas
2
2
2
2
2
3
2
3
3
2
2
2
2
1
3
2
1
2
1
1
2
2
2
3
3
2
2
3
4
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
2
2
2
2
1
2
2
2
3
2
2
1
2
2
1
2
Hasil pengamatan oleh empat pengamat ditriangulasi dengan hasil wawancara dan hasil
rekaman video untuk memeriksa keabsahan data. Hasil triangulasi akan ditampilkan oleh Bagan
pada Gambar 1 untuk pertemuan pertama, Gambar 2 untuk pertemua kedua, dan Gambar 3.
Jenis beban kognitif yang ringan tidak digambarkan pada Gambar di atas, hanya beban
kognitif yang tinggi dan yang sedang saja yang digambarkan pada Gambar. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui kecenderungan letak munculnya ketiga beban kognitif tersebut pada saat proses
pembelajaran berlangsung.
Pada pertemuan pertama yang ditunjukkan oleh Gambar 1, beban kognitif extraneous terjadi
di beberapa langkah pembelajaran, hal ini menyebabkan pembelajaran kurang dapat berjalan
dengan baik. Sedangkan beban kognitif germane pada pertemuan pertama sudah cukup banyak
terjadi pada langkah pembelajaran. Beban kognitif ini yang harus ditingkatkan di pembelajaran
berikutnya agar pembelajaran terlaksana lebih optimal.
Pada pertemuan kedua yang ditunjukkan oleh Gambar 2, beban kognitif extraneous pada
pembelajaran sedikit lebih berkurang dibanding dengan pertemuan pertama, hal ini disebabkan
peserta didik telah familiar dengan istilah matematika dalam bahasa Inggris. Usaha mental yang
dilakukan peserta didik dalam pembentukan skema pengetahuan baru tentang kosa kata matematika
dalam bahasa Inggris membuat pembelajaran lebih efektif. Beban kognitif germane dalam diri
peserta didik dalam pertemuan kedua ini telah memberikan dampak yang positif dalam
pembelajaran.
Pada pertemuan ketiga yang ditunjukkan oleh Gambar 3, beban kognitif yang merugikan
(extraneous) semakin berkurang hal ini dapat diamati pada Gambar 3, muatan yang berwarna
53
kuning semakin sedikit dibanding dengan Bagan beban kognitif pada pertemuan sebelumnya.
Sebaliknya beban kognitif germane semakin meningkat dibanding dengan pertemuan sebelumnya.
Mengulas materi
prasyarat
Mengkaitkan materi
prasyarat dengan materi
baru
Memeriksa
kemampuan prasyarat
KEGIATAN AWAL
Menggunakan tampilan
multimedia flash untuk
menjelaskan materi
KEGIATAN INTI
Memeriksa pemahaman
peserta didik dengan tanya
jawab secara langsung
KEGIATAN AKHIR
Memberi penguatan
tentang materi baru
54
Mengulas materi
prasyarat dan
membahas PR
Mengaitkan materi
prasyarat dengan materi
baru
Memeriksa
kemampuan
prasyarat
KEGIATAN AWAL
Guru menggunakan
tampilan multimedia flash
untuk menjelaskan materi
Memeriksa
pemahaman peserta
didik dengan Tanya
jawab secara langsung
KEGIATAN AKHIR
Membahas jawaban
peserta didik yang
masih salah
Memberi penguatan
tentang materi
pertidaksamaan
Merangkum
vocabulary dan
materi
55
Memeriksa kemampuan
prasyarat
KEGIATAN AWAL
KEGIATAN INTI
Memeriksa pemahaman
peserta didik dengan Tanya
jawab secara langsung
KEGIATAN AKHIR
Membuat kesimpulan
tentang materi yang
dipelajari
56
PEMBAHASAN
Beban Kognitif Intrinsic Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika Bilingual
Pada pembelajaran materi persamaan muncul beban kognitif pada diri peserta didik. Beban
kognitif intrinsic muncul pada saat peserta didik akan menyelesaikan persamaan linier satu
variabel. Elemen interaktifitas pada materi ini cukup banyak, namun dengan adanya usaha mental
dari diri peserta didik untuk membentuk subskema-subskema maka elemen interaktifitas akan
menjadi berkurang. Semakin banyak subskema yang dimiliki peserta didik, maka akan semakin
sedikit elemen interaktifitas pada materi, dan hal ini akan menyebabkan beban kognitif intrinsic
yang diemban peserta didik akan terasa ringan.
Beban kognitif intrinsic terasa semakin berat diemban peserta didik ketika peserta didik
tersebut tidak menguasai pengetahuan prasyarat dengan baik. Pada awal suatu kegiatan
pembelajaran yang kurang mengulas tentang materi prasyarat akan menyebabkan munculnya beban
kognitif ini. Akibatnya, banyaknya elemen interaktifias yang diproses di memori kerja melebihi
kapasitas memori kerja. Hal ini menyebabkan proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik
karena hilangnya beberapa informasi (Shaffer, 2003).
Beban kognitif intrinsic muncul dan dirasakan peserta didik ketika kosa kata matematika
dalam bahasa Inggris cukup banyak. Saat mempelajari penyelesaian soal cerita matematika dalam
bahasa Inggris pengetahuan peserta didik tentang istilah matematika dalam bahasa Inggris menjadi
kunci keberhasilan dalam menerjakan soal. Unsur elemen int eraktifitas pada kosa kata memang
banyak, namun hal ini dapat dipelajari secara bebas dari unsur yang lain, sehingga tidak
membebani beban yang berat pada memori kerja. Hal ini sesuai dengan yang dicontohkan Sweller
(2010) tentang mempelajari nama-nama unsur dalam kimia. Saat peserta didik belajar simbol untuk
unsur kimia, masing-masing unsur dapat dipelajari secara bebas dari unsur yang lain. Tugas
tersebut mungkin sulit untuk dipelajari karena banyak sekali unsur yang harus dipelajari, namun hal
ini tidak membebani beban yang berat pada memori kerja.
Pada kegiatan inti suatu pembelajaran beban kognitif intrinsic selalu menjadi perhatian
karena akan mempengaruhi hasil belajar peserta didik secara langsung. Beban kognitif ini bersifat
tetap sehingga guru tidak dapat mengurangi beban kognitif intrinsic. Yang dapat dilakukan guru
adalah dengan mengelola beban kognitif intrinsic ini sehingga peserta didik mampu membuat
subskema-subskema yang daapat memperingan beban kognitif ini. Salah satunya adalah
menyajikan materi yang lebih terstruktur, sehingga materi prasyarat yang dibutuhkan dapat
dikuasai dengan baik oleh peserta didik, dan alur materi dapat diterima peserta didik dengan urut
dan masuk akal bagi peserta didik, selain itu guru dapat membentuk kelompok kelompok yang
terdiri dari beberapa peserta didik untuk memahami suatu materi yang memiliki elemen
interaktivitas yang tinggi dengan cara membagi submateri submateri untuk dipelajari masing
masing kelompok.
Beban kognitif intrinsic muncul pada kegiatan akhir suatu pembelajaran diantaranya sebagai
akibat dari soal problem solving yang diberikan guru untuk memberikan penguatan materi yang
telah disampaikan pada peserta didik. Beban kognitif intrinsic yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan proses pengolahan informasi tidak akan berjalan dengan baik seperti apa yang telah
dikatakan oleh Shaffer.
Beban kognitif intrinsic dari pertemuan pertama sampai pertemuan ketiga mengalami
peningkatan seiring dengan banyaknya elemen interaktifitas dalam materi yang dipelajari. Pada
awal pertemuan hanya membahas tentang persamaan, pada pertemuan berikutnya membahas
tentang pertidaksamaan yang konsepnya merupakan perluasan dari konsep persamaan. Pada akhir
pertemuan membahas tentang penerapan model persamaan dan pertidaksamaan dalam kehidupan
sehari hari yang konsepnya lebih kompleks lagi dibanding dengan pertemuan sebelumnya.
Beban Kognitif Extraneous Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika Bilingual
Beban kognitif extraneous adalah beban kognitif yang harus diminimalisir dalam proses
pembelajaran. Beban kognitif tersebut muncul pada peserta didik ketika guru menyajikan materi.
57
Beban kognitif extraneous yang diemban peserta didik terdiri dari faktor bahasa yang digunakan
guru dalam pembelajaran, ucapan guru yang saat bertanya atau memberikan informasi kurang jelas
atau fasih, waktu yang digunakan untuk memberikan materi lebih lama, kata-kata guru dalam
bahasa Inggris yang tidak perlu, serta gangguan dari luar (external distraction) saat pembelajaran
berlangsung.
Faktor bahasa merupakan beban kognitif extraneous namun bukan berarti bahwa seharusnya
pembelajaran dalam bahasa Inggris tidak perlu digunakan, namun yang perlu diminimalisir adalah
kesalahan guru mengucapkan kata atau kalimat dalam bahasa inggris dan menuliskan kata atau
kalimat dalam bahasa Inggris, perkataan-perkataan guru dalam bahasa Inggris yang tidak perlu
yang dapat mengganggu pemahaman peserta didik. Hal ini diminimalisir dengan cara guru
memberikan teks pada tampilan sehingga peserta didik juga dapat membaca teks tersebut, dan
mengkaitkan apa yang dilihat dan yang didengar oleh peserta didik. Hal ini sesuai dengan pendapat
Mayer (2010) bahwa penerimaan informasi melalui dua saluran (penglihatan dan pendengaran)
akan menurunkan beban kognitif yang diemban peserta didik.
Faktor bahasa menjadi beban kognitif extraneous penyebabnya yaitu latar belakang asal SD
peserta didik dan pengalaman mengajar guru dalam bahasa Inggris. Peserta didik yang berasal dari
SD yang bertaraf internasional telah terbiasa dengan pembelajaran dalam bahasa Inggris, sehingga
peserta didik tersebut hanya perlu memahami konsep yang diberikan. Sedangkan peserta didik
yang asalnya SD biasa harus beradaptasi dengan keadaan dan harus memahami materi yang
diberikan. Selain itu, pengalaman peneliti selaku guru selama kurang lebih dua tahun mengajar
kelas bilingual masih kurang dan masih harus ditingkatkan lagi kemampuan bahasa Inggrisnya
untuk menghindari hal-hal yang dapat mengganggu penyampaian materi ke peserta didik. Selain
itu, guru juga harus memahami kemampuan bahasa inggris peserta didiknya. Guru tidak perlu
berbicara dalam bahasa Inggris di luar materi atau topik yang sedang dibahas, hal ini dapat
mengganggu pemahaman peserta didik terhadap materi atau topik yang sedang dibahas.
Gangguan dari luar (external distraction) yang dimaksud saat pembelajaran berlangsung
misalnya, suasana kelas yang gaduh, peserta didik berbicara dengan teman lain diluar topik yang
sedang dibahas, keadaan meja atau kursi yang kurang nyaman, jarak pandang mata yang terlalu
jauh dengan papan tulis sehingga sering tidak dapat melihat tulisan di papan tulis dengan jelas,
pikiran peserta didik di luar materi yang sedang dibahas seperti memikirkan tentang rencana
berpergian setelah pulang sekolah, memikirkan tentang janji bertemu seseorang, dan lain-lain.
Dengan pengelolaan kelas yang baik, hal ini dapat diminimalisir dengan baik.
Beban kognitif extraneous dapat terjadi pada kegiatan awal, inti, maupun akhir suatu
kegiatan pembelajaran. Karena sifatnya mengganggu proses pembelajaran sehingga hal ini dapat
terjadi setiap waktu.
Pada permuan pertama beban kognitif extraneous pada peserta didik cukup tinggi dibanding
dengan pertemuan berikutnya, hal ini disebabkan faktor bahasa yang digunakan telah mulai diserap
peserta didik menjadi suatu subskema, sehingga peserta didik telah terbiasa dengan kata atau istilah
tersebut. Oleh karna itu, beban kognitif extraneous peserta didik berkurang dibanding dengan
pertemuan awal.
Beban Kognitif Germane Peserta Didik dalam Pembelajaran Matematika Bilingual
Beban kognitif germane adalah beban kognitif pada diri peserta didik yang timbul akibat
usaha mental yang diacurahkan untuk membentuk skema pengetahuan yang baru. Beban ini adalah
beban yang mendukung proses pembelajaran dan yang harus ditingkatkan. Pada suatu kegiatan
pembelajaran, beban kognitif germane terdiri dari usaha mental dalam pembentukan skema baru
pengetahuan, animasi gambar dan penjelasan pada multimedia, pembentukan subskema istilah
bahasa Indonesia menjadi skema istilah dalam bahasa Inggris, serta usaha mental dalam
pembentukan skema untuk menyelesaikan tugas.
Pada kegiatan awal pembelajaran di pertemuan perrtama beban kognitif germane muncul
ketika peserta didik mencoba mengaitkan materi prasyarat dengan meteri yang akan dipelajari.
58
Semakin besar beban kognitif ini,maka semakin besar pula usaha mental peserta didik dalam
membentuk skema pengetahuan yang baru. Hal ini otomatis mengurangi beban kognitif
extraneous, sebab kedua beban tersebut merupakan beban kognitif tambahan pada memori kerja
bersama dengan beban kognitif intrinsic. Beban kognitif intrinsic bersifat tetap, sehingga jika
beban kognitif germane meningkat maka beban kognitif extraneous akan menurun, dan sebaliknya.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Moreno (2010) bahwa total kapasitas memori kerja adalah
total beban kognitif (intrinsic, extraneous, germane) ditambah kapasiatas bebas.
Meningkatnya beban kognitif germane peserta didik juga ditunjukkan dengan terbentuknya
subskema subskema tentang arti istilah atau kata kata dalam bahasa Inggris. Peserta didik telah
mampu memahami vocabulary yang sering dipakai oleh guru dalam menyampaikan materi. Tanpa
diterjemahkan terlebih dahulu dalam bahasa Indonesia, peserta didik telah mampu memahami yang
yang dimaksud oleh guru, bahkan ada beberapa peserta didik yang mampu memberikan jawaban
dalam bahasa Inggris.
Multimedia yang digunakan guru untuk membantu peserta didik memahami materi yang
sedang diajarkan pada kegiatan inti suatu pembelajaran akan menyebabkan beban kognitif
germane. Pada multimedia tersebut terdapat narasi yang disertai animasi gambar. Menurut Mayer
(2010) pembelajaran aktif dari pembelajaran multimedia mencakup lima proses yaitu
1. Memilih kata-kata yang relevan
2. Memilih gambar yang relevan
3. Mengorganisir kata-kata yang terpilih menjadi model mental verbal
4. Mengorganisir gambar yang terpilih menjadi model mental gambar, dan
5. Menggabungkan model verbal dan model gambar dengan pengetahuan prasyarat menjadi
representasi mental yang masuk akal.
Mayer menggunakan dual-coding yang diutarakan oleh Paivio (1986) dan berasumsi bahwa
system kognisi manusia tersiri dari subsistem verbal dan gambar, Mayer juga berasumsi bahwa dua
subsistem sensori terdapat dalam memori kerja yaitu sistem pendengaran dan sistem penglihatan.
Oleh karena itu, dengan penggunaan multimedia dalam pembelajaran akan dapat mengurangi
beban kognitif yang diemban peserta didik dengan catatan multimedia tersebut sesua dengan
prinsip-prinsip pembuatan multimedia yang efektif.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan keterlaksanaan pembelajaran matematika bilingual yang telah dideskripsikan
pada paparan data dan pada pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa beban kognitif
peserta didik dalam pembelajaran matematika bilingual terjadi dalam tiga bentuk yaitu beban
kognitif intrinsic, extrtaneous, dan beban kognitif germane. Penyebab terjadinya ketiga beban
kognitif tersebut membebani peserta didik antara lain:
1. Terjadinya beban kognitif intrinsic yang diemban peserta didik antara lain karena, a)
kompleksitas materi prasyarat, b) banyaknya elemen interaktifitas pada materi, dan c)
banyaknya elemen interaktivitas pada soal.
2. Terjadinya beban kognitif extraneous yang diemban peserta didik antara lain karena, a) cara
guru dalam menyampaikan materi, b) faktor bahasa Inggris yang digunakan dalam
pembelajaran, c) keadaan psikoklogis peserta didik seperti, tegang, gugup, memikirkan hal lain
selain materi yang sedang dibahas, dan d) gangguan dari luar (external distraction) seperti
suara gaduh kelas dan teman yang lain mengajak bicara saat pembelajaran berlangsung.
3. Terjadinya beban kognitif germane yang diemban peserta didik antara lain karena, a) desain
pembelajaran dengan menggunakan multimedia yang dapat membantu pemahaman peserta
didik, b) besarnya usaha mental yang dicurahkan peserta didik.
59
Saran
Penelititan ini hanya memperhatikan bagaimana suatu beban kognitif muncul tanpa
memperhatikaan strategi pembelajaran yang digunakan. Untuk penelitian selanjutnya disarankan
untuk memperhatikan strategi pembelajaran saat mengamati terjadinya beban kognitif yang
dirasakan peserta didik selama mengikuti pembelajaran. Bahan atau topik yang digunakan pada
penelitian ini hanya membahas materi persamaan dan pertidaksamaan. Pada penelitian selanjutnya
disarankan untuk menggunakan bahan atau topik yang lain untuk menguji temuan penelititan.
DAFTAR RUJUKAN
Adams, T. L. (2003). Reading mathematics: More than words can say: An understanding of
mathematical literacy draws on many of the same skills as print literacy. The Reading
Teacher, 56(8), 786-795.
Adetula, L. 1990. Language factor: does it affect childrens performance on word problems?.
Educational Studies in Mathematics, 21, 351-365.
Bernardo, A. B. I. 2002. Language and mathematical problem solving among bilinguals. The
Journal of Psychology, 136(3), 283-297.
Chipperfield,
B.
2004.
Cognitive
Load
Theory
and
Instructional
Design.
(http://www.usask.ca/education/coursework/802papers/chipperfield/index.htm, diakses 14
September 2011).
Cooper, G. 1998. Research into Cognitive Load Theory and Instructional Design at UNSW,
(http://www.arts.unsw.edu.au/education/CLT_NET_Aug_97.HTML. diakses 5 Agustus
2011).
Cuevas, G. J. 1984. Mathematics learning in English as a second language. Journal for Research
in Mathematics Education, 15(2), 134-144.
Grosjean, F. 1998. Studying bilinguals: Methodological and conceptual issues. Bilingualism:
Language and Cognition, 1, 131-149.
Miller, G. A. 1956. The magical number seven, plus or minus two: Some limits on our capacity for
processing information. The Psychological Review, 63:81-97.
Mayer, R. E, & Moreno, R. 2010. Techniques That Reduce Extraneous Cognitive Load and
Manage Intrinsic Cognitive Load during Multimedia Learning. New York: Cambridge
University Press.
Moleong, L. J. 2001. MetodologiPenelitianKualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Moreno, R. & Park, B. 2010. Cognitive Load Theory: Historical Development and Relation to
Other Theories. New York: Cambridge University Press.
Ong, P., Liau,V. & Alimon, R. 2009. Moderating Language and Number of Mathematical
Operations in the Relationship between Problem Solving Scores and Learning Strategies.
TESOL Journal Vol. 1, pp. 58-78. (http://www.tesol-journal.com, diakses 5 Agustus 2011).
Paivio, A. 1990. Mental Representations: A Dual Coding Approach.
University Press.
Shaffer, D., Doube, W., Tuovinen, J. 2003. Applying Cognitive Load Theory to Computer Science
Education. In M. Petre & D. Budgen (Eds) Proc. Joint Conf. EASE & PPIG 2003 p. 333346
Sweller, J. 1994. Cognitive load theory, learning difficulty, and instructional design. Learning and
Instruction, 4, 293-312.
60
Sweller, J. 2010. Cognitive load theory: Recent Theoretical Advances. New York: Cambridge
University Press.
Tim Penyiapan Naskah. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Edisi Keempat. Malang:
Universitas Negeri Malang.
61
PENDAHULUAN
Peran masalah kontekstual yang digunakan pada pembelajaran matematika selama ini
terbatas pada aplikasi yang umumnya dibahas pada akhir aktivitas pembelajaran. Saat ini, masalah
kontekstual memiliki peran yang lebih sentral. Mereka didukung karena penekanan saat ini adalah
pada kegunaan dari apa yang dipelajari, dan karena memiliki kekuatan yang dianggap mampu
memotivasi siswa. Masalah kontekstual memainkan peran yang lebih menyeluruh dalam
pendekatan pembelajaran yang di Belanda dikenal sebagai Realistic Mathematics Education
(RME). Dalam RME masalah kontekstual berperan mulai dari awal sampai akhir pembelajaran. Di
sini mereka mendefinisikan masalah kontekstual sebagai suatu keadaan atau situasi masalah yang
didasarkan pada pengalaman nyata siswa. Berdasarkan definisi ini, masalah matematika formal
bisa menjadi masalah kontekstual juga. Asalkan matematika formal tersebut mampu menawarkan
konteks berdasarkan pengalaman nyata bagi siswa.
Dalam RME, titik acuannya adalah bahwa masalah kontekstual dapat berfungsi sebagai titik
awal untuk penemuan kembali matematika oleh siswa sendiri. Selain itu, penemuan yang didukung
penawaran solusi dari masalah menjembatani kesenjangan antara pengetahuan informal dan
matematika formal siswa. Masalah yang merupakan inti dari artikel ini: Bagaimana kita dapat
membantu siswa untuk memahami matematika formal?
Kami mengambil perkuliahan kalkulus sebagai contoh, dan menunjukkan bahwa dalam
pendekatan RME reinvention, peran masalah kontekstual, melambangkan dan pemodelan terjalin
secara erat. Sebenarnya, kita membangun di atas pekerjaan yang telah dilakukan pada aktivitas
melambangkan/simbolisasi dan pemodelan di matematika sekolah dasar (Treffers, 1991;
Gravemeijer, 1994). Kami mencoba untuk menunjukkan bahwa kerangka yang telah dikembangkan
untuk sekolah dasar juga dapat digunakan untuk sebuah topik yang lebih tinggi yakni kalkulus.
62
Urutan pembelajaran kalkulus terinspirasi oleh sejarah matematika. Kami akan menjelaskan
beberapa unsur sejarah kalkulus yang menarik dari sudut pandang desain pembelajaran. Penelitian
sebelumnya (Farmaki at all, 2007) menunjukkan bahwa masalah kontekstual tentang pergerakan
melalui pendekatan grafik jarak suatu objek dapat digunakan dalam mengenalkan konsep kalkulus
khususnya konsep turunan. sehingga, kami berpendapat bahwa fungsi dan grafik memainkan peran
penting sebagai perantara antara masalah konteks yang harus dipecahkan dan kalkulus formal yang
sedang dikembangkan..
METODE
Metodologi kami berada di bawah judul umum "Design Research" yang pertama kali
diusulkan sebagai "penelitian pengembangan (Developmental research)" oleh Freudenthal di
Belanda untuk mengembangkan apa yang disebut teori instruksi domain-spesifik RME_domainspecific instruction theory of RME (Cobb et al, 2006; Freudenthal, 1991) Tujuan dari Design
Research ini adalah untuk mengembangkan teori tentang proses belajar dan cara (means) yang
dirancang untuk mendukung pembelajaran, baik itu belajar secara individu, komunitas kelas,
komunitas pengajaran profesional, atau dari sekolah atau distrik sekolah dipandang sebagai sebuah
organisasi (Cobb et al, 2006).
Pada dasarnya, desain penelitian memiliki tiga fase penting, yang merupakan tahap desain
dan persiapan (percobaan berpikir), fase percobaan mengajar (percobaan instruksi), dan tahap
analisis retrospektif (Cobb et al, 2006) . Masing-masing membentuk proses siklus baik dalam
dirinya dan dalam desain penelitian keseluruhan. Oleh karena itu desain percobaan terdiri dari
proses siklik eksperimen pemikiran dan percobaan instruksi (Freudenthal, 1991).
Gambar 3.1. Refleksif hubungan antara teori dan eksperimen (Cobb at al, 2006)
Pada tahap pertama dari desain penelitian ini, dugaan teori instruksi lokal dikembangkan di
bawah bimbingan teori instruksi domain-spesifik RME, kemudian diuji pada tahap percobaan
mengajar, dan akhirnya dugaan baik terbukti atau tidak terbukti di tahap analisis untuk
merekonstruksi teori instruksi lokal. Dalam hal ini, dugaan teori instruksi local mengarahkan secara
siklis eksperiment pengajaran sementara percobaan memberikan kontribusi pada pengembangan
teori instruksi lokal.
Tahap 1: Persiapan dan Desain
Tujuan dari fase awal dari perspektif desain adalah untuk merumuskan dugaan teori instruksi
lokal yang dapat diuraikan dan disempurnakan ketika melakukan percobaan, sementara isu krusial
untuk menyorot dari sudut pandang penelitian adalah bahwa menjelaskan maksud teoritis studi
tersebut (Cobb at al, 2006). Oleh karena itu, dugaan teori instruksi lokal dalam domain turunan
pada matakuliah kalkulus I dirancang dengan terlebih dahulu menguraikan kerangka teori,
kemudian penjelasan tujuan pembelajaran matematika serta eksperimen pemikiran antisipatif di
mana urutan pembelajaran kegiatan dan sarana dirancang untuk mendukung perkembangan
pemikiran mahasiswa. Di samping itu, kegiatan mental siswa dan tingkat berpikir mereka dalam
melakukan kegiatan itu dibayangkan/diduga.
63
64
Pada akhirnya, simbolisasi pada representasi garis bilangan kosong akan digunakan untuk
menjelaskan dan memutuskan strategi penyelesain 95 + 19 dengan menambahkan 95 dengan 5
untuk menjadikannya puluhan, kemudian menjumlahkan sisanya, sehingga diperoleh hasil 100 +
14 = 114. Dalam situasi ini garis bilangan berfungsi sebagai model untuk penalaran matematika.
perubahan dari model-dari ke model-untuk sepakat dengan perubahan pada cara berpikirnya siswa
tentang model, dari model yang berasal dari pemaknaan mereka terhadap masalah kontekstual yang
dimodelkan, untuk berpikir tentang hubungan matematika. Pada fase berikutnya, berpikir tentang
hubungan bilangan akan mendominasi penggunaan dari garis bilangan. Dalam hal ini, kita bisa
melihat macam-macam tipe dari aktivitas (Gravemeijer, 1994):
1. Aktivitas dalam setting penugasan (Pengukuran dengan unit puluhan dan satuan)
2. Aktivitas referensial (menginterpretasi posisi pada penggaris melalui realitas matematika dari
kerangka kerja hubungan bilangan)
3. Aktivitas general (penggunaan penggaris/garis bilangan untuk penalaran tentang metode
penghitungan)
4. Penalaran matematika formal ( penalaran dengan hubungan bilangan dimana realitas
matematika dari kerangka kerja hubungan matematika)
Perhatikan bahwa istilah model harus dipahami dalam arti luas. Ini tidak hanya sekedar
tulisan, tetapi semuanya yang datang dengan hal yang membentuk model dalam RME. Lebih jauh
lagi, model sama mungkin melingkupi aliran dari inskripsi; dari penggarios biasa ke garis bilangan
kosong. Label emergent menekankan pada kekontinuan dalam proses. Label ini juga digunakan
untuk menerangkan fakta bahwa model muncul dari aktivitas siswa.
Kita mungkin mencatat bahwa tujuan tidak hanya untuk membantu siswa menjelaskan pemahaman
informal dan strategi penyelesaian informal mereka sedemikian sehingga mereka bisa membangun
pemahaman matematika formal dan strategi mereka. Tujuannya juga untuk menjaga/melestarikan
hubungan antara konsep matematika dan konsep-konsep yang menjelaskannya. Pemahaman akhir
siswa tentang matematika formal harus tetap terhubung dengan pemahaman mereka dari realitas
dan fenomena kehidupan sehari-hari.
PEMBELAJARAN KALKULUS MELALUI PENDEKATAN RME
Melihat pada sejarah kalkulus dari sudut pandang pemodelan, kita melihat sebuah
pengembangan dari kalkulus yang memulai dengan pemodelan masalah tentang jarak dan
kecepatan. Pada awalnya masalah-masalah ini dijalankan dengan pendekatan diskret yang
diilustrasikan dengan grafik diskrit.
s
18
2
1
65
Selanjutnya, grafik yang sama yang awalnya diskrit dan kemudian berupa fungsi kontinu
bentuk dasar dari kalkulus yang lebih formal.
18
18
() =
Gambar 3. Proses simbolisasi dan generalisasi kecepatan rata-rata dari gerak jatuh benda
(diadopsi dari buku kalkulus, Purcell, edisi 9)
Titik awal adalah pada gagasan tentang kecepatan sesaat. Dalam kontek ini, masalah
diberikan tentang bagaimana menvisualisasikan gerakan dari suatu objek yang bergerak dengan
kecepatan tinggi. Selama proses memecahkan masalah ini, mahasiswa mungkin datang dengan ide
66
tentang symbol percepatan sesaat dengan . Jika tidak, pilihan ini mungkin disajikan
pada mereka, setelah mereka sudah berusaha memecahkan masalah ini.
Disisi yang lain, ini mungkin dicatat bahwa disana selalu terdapat sebuah kesenjanagn antara
sebuah pendekatan dari bawah ke atas yang memanfaatkan pada penemuan dari mahasiswa dan
kebutuhannya, (a) untuk mencapai tujuan pembelajaran yang jelas, dan (b) untuk merencanakan
aktivitas pembelajaran yang menantang. Sebagai sebuah konsekuensi, sebuah unsur dari atas ke
bawah tidak bisa dihindari dalam pembelajaran. Kesadaran kunci untuk kita, bagaimanapun, adalah
bahwa pengalaman mahasiswa unsur dari atas kebawah sebagai unsur dari bawah ke atas: sebagai
solusi mereka bisa menemukan untuk mereka sendiri. Untuk perancang pembelajaran, situasi ini
mengupayakan untuk tetap menjaga jarak antara dimana posisi siswa dan apa yang mungkin di
kenalkan kepada mereka. Lebih jauh, dosen akan bisa untuk mengurangi jarak pada interaksi
dengan siswanya.
Mahasiswa harus menentukan kecepatan dari grafik jarak-waktu dan formula. Dalam bagian
urutan aktivitas, model akan mulai ke fungsi sebagai sebuah model untuk bernalar tentang turunan
dari suatu fungsi pada satu sisi, dan pada sisi yang lain standar fungsi algebra (perhatikan gambar
4). Pada saat yang sama, perubahan dibuat dari penyajian masalah dalam bentuk masalah
kehidupan sehari-hari fokus pada konsep matematika dan hubungannya. Untuk membuat suatu
perubahan yang mungkin untuk mahasiswa, mereka harus membangun sebuah kerangka kerja
matematika dari referensi yang memungkinkan mereka untuk melihat tipe-tipe dari masalah
matematika.
67
didefinisikan sebagai situasi masalah yang secara eksperimen nyata bagi mahasiswa. Contoh di atas
menunjukkan bahwa realitas pengalaman tumbuh dengan perkembangan penalaran matematika
mahasiswa.
KESIMPULAN
Dari sini kita menyimpulkan bahwa tujuan keseluruhan desain pembelajaran adalah untuk
mendukung munculnya kenyataan yang diterima sebagai shared mathematics secara bertahap.
Jika siswa mengalami proses menciptakan kembali matematika sebagai memperluas akal sehat,
maka mereka tidak akan mengalami dikotomi antara pengalaman kehidupan sehari-hari dan
matematika. Keduanya akan menjadi bagian dari realitas yang sama.
Kami dapat mencatat hubungan refleksif antara penggunaan masalah kontekstual dan
perkembangan realitas pengalaman siswa. Di satu sisi, masalah kontekstual yang berakar pada
kenyataan ini, di sisi lain, memecahkan masalah kontekstual yang membantu siswa untuk
memperluas realitas mereka. Meskipun karakter dinamis realitas yang mendefinisikan masalah
konteks, titik awal untuk urutan instruksional akan sering berhubungan dengan pengalaman
kehidupan sehari-hari siswa. Justru koneksi antara kecepatan dan jarak yang menawarkan siswa
sarana untuk alasan dan bertindak dengan cara yang bermanfaat dari awal.
Daftar Pustaka
Anwar, L. 2011. Proses berpikir siswa kelas 2 SD dalam membangun strategi mental aritmatika
untuk menjumlahkan bilangan sampai 500 menggunakan garis bilangan sebagai model.
Surabaya, prosiding Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika, Jurusan
Matematika FMIPA UNESA, ISBN:978-979-028-417-3, 22 Oktober 2011.
Cobb, Paul & Gravemeijer, Koeno. 2006. Educational Design Research, London & New York:
Routledge (Taylor & Francis group).
Farmaki, V., & Paschos, T. 2007. Employing genetic moments in the history of mathematics in
classroom activities. Educational Studies in Mathematics, 66, 83106. [This paper utilizes
Oresmes genetic ideas on motion and geometry to develop mathematical models that can
be employed for the solution of problems relating to linear motion]
Freudenthal H. 1991. Revisiting Mathematics Education: China Lectures. Dordrecht, The
Netherlands: Kluwer Academics Publisher
Gravemeijer, Koeno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education, The Netherlands: CD-
Press, 1994.
Purcell, Edwin J., and Dale Varberg. 1990, The Calculus with Analytic Geomerty, Eight Edition,
Prentice-Hall Inc.
Treffers, A. 1991. Meeting Innumeracy at Primary School, Educational Studies in Mathematics ,
22, 333-352
68
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan sehari-hari banyak permasalahan yang memerlukan pemecahan. Sering
dengan bantuan matematika permasalahan tersebut menjadi lebih mudah dipahami, dipecahkan
atau bahkan dapat ditunjukkan bahwa suatu permasalahan tidak mempunyai penyelesaian. Sebagai
contoh pada saat orang menuju dan pulang dari tempat aktifitas rutinnya setiap hari, sering terjadi
kemacetan lalu lintas. Hal ini disebabkan karena waktu aktifitas yang hampir bersamaan sehingga
volume kendaraan yang melintasi jalan-jalan di suatu daerah meningkat pada waktu itu. Padahal
belum tentu jalan-jalan pada daerah itu mampu menampung besarnya volume kendaraan yang
melewatinya. Persimpangan yang menggunakan lampu lalu lintas adalah salah satu tempat yang
rawan terjadi kemacetan. Masalah lalulintas dan permasalahannya dapat dilihat pada Abubakar,
(1999).
Selain masalah optimalisasi waktu tunggu di persimpangan, masalah aliran maksimal
kendaraan di suatu jalan juga sangat penting. Setiap hari kebanyakan orang melakukan aktifitas
rutinnya baik di sekolah, keluarga dan sebagainya. Pada saat berangkat menuju tempat aktifitas
atau pada saat pulang dari aktifitas biasanya sering terjadi kemacetan lalu lintas. Salah satu
penyebabnya adalah waktu pelaksanaan aktifitas rutin yang hampir bersamaan dengan volume
kendaraan yang melintasi jalan-jalan di suatu daerah meningkat pada waktu itu. Padahal belum
tentu jalan-jalan yang dilewati itu mampu menampung besarnya volume kendaraan yang
melewatinya.
Untuk dapat mengetahui apakah kapasitas maksimum jalan-jalan pada suatu daerah masih
mampu menampung volume kendaraan yang melintasi jalan-jalan pada daerah tersebut, maka harus
diketahui terlebih dahulu beberapa kapasitas maksimum dan volume maksimum kendaraan yang
melintasi daerah itu dengan menggunakan model Maximum Flow. Pembahasan maksimum flow
SESI PARALEL MATEMATIKA
69
terus dikembangkan yang dapat dilihat pada Bin Zhang, Julie Ward, Annabelle Feng (2005) yang
mengkaji masalah model seleksi. Sedangkan algoritma maksimum flow dapat dilihat pada
Goldberg-Tarjan. (2003).
Tentang kepadatan arus lalu lintas dengan menggunakan maximum flow menggunakan
algoritma lintasan penambah telah diteliti oleh Rosyidah (2006), Oktoviana (2007) mengkaji
penggunaan maximum flow dalam upaya mengoptimalkan volume air pada jaringan pipa PDAM.
Permasalahan yang perlu dikaji adalah bagaimana pemodelan graph untuk alternatif pengaturan
lampu lalu lintas, menentukan waktu tunggu yang optimal dengan graph kompatibel, bagaimana
pemodelan graph untuk menentukan besarnya volume maksimum kendaraan yang melintasi suatu
daerah, dan menentukan kapasitas maksimum ruas jalan pada suatu daerah dengan ketentuan
MKJI (Manual Kapasitas Jalan Indonesia) seperti yang sudah ditentukan dinas perhubungan darat
(dirjen perhubungan, 1997).
METODE
Untuk menyelesaikan pemodelan graph dalam optimalisasi system lalulintas, diperlukan
langkah-langkah sebagai berikut.
1. Mengkaji teori graph yang digunakan yaitu graph kompatable, graph bagian maksimal,
network flow, algoritma maksimum flow yaitu algoritma lintasan penambah, algoritma preflow
push, algoritma pelabelan aka, algoritma Ford-Fulkerson, dan algoritma Djikstra.
2. Mengidentifikasi permasalahan sistem lalulintas berdasarkan MKJI (Manual Kapasitas Jalan
Indonesia)
3. Mengidentifikasi permasalahan lalulintas di persimpangan dengan menggambarkan dalam
graph kompatable kemudian menentukan graph bagian maksimalnya.
4. Mengidentifikasi permasalahan aliran kendaraan di jalan raya dengan menggambarkan dengan
network flow kemudian menghitung kapasitas maksimum jalan dan volume maksimum jalan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kajian konsep dasar graph dapat dilihat pada Wilson (1990). Suatu graph terdiri dari suatu
himpunan tak kosong yang masing-masing unsur disebut titik (vertex) dan suatu himpunan
pasangan tak berurutan dari titik-titik tersebut yang disebut sisi (edge). Himpunan titik dalam graph
G dinyatakan dengan V (G ) dan himpunan sisinya dinyatakan dengan E (G ) .
Graph bagian (subgraph) dari G adalah suatu graph yang setiap titiknya adalah anggota
V (G ) dan setiap sisinya adalah anggota E (G ) . Graph bagian komplit dari G adalah graph bagian
dari G yang setiap dua titik dihubungkan dengan tepat satu sisi.
Suatu digraph (directed graph) terdiri dari suatu himpunan tak kosong yang masing-masing
unsurnya disebut titik (vertex) dan suatu himpunan pasangan berurutan dari titik-titik tersebut yang
disebut sisi berarah (directed edge). Suatu digraph D V (E ) dimaksudkan V (D) merupakan
himpunan titik di digraph D dan E (D) himpunan sisi berarah di digraph D . Digraph bagian
(subdigraph) dari D adalah digraph yang setiap titiknya adalah anggota V (D) dan setiap sisinya
adalah anggota E (D) . Digraph berbobot adalah digraph yang tiap sisi berarahnya memiliki bobot
(nilai).
Network adalah digraph berbobot yang memiliki suatu titik sumber dan satu titik tujuan.
Pada titik sumber, tidak terdapat sisi masuk, sedangkan pada titik tujuan tidak terdapat sisi keluar,
bobot tiap sisi pada suatu network adalah kapasitas (C) sisi tersebut. Rosen (2000)
Residual network merupakan network dengan ketentuan pelabelan sisinya adalah sebagai
berikut:
C(i,j) = C(i,j) F(i,j),
C(j,i) = F(i,j).
70
Sebuah network biasanya digunakan untuk memodelkan sistem lalulintas, saluran pipa,
sirkuit elektrik, penjadwalan proyek dan sebagainya.
Flow (F) merupakan suatu bilangan tak negatif yang didefinisikan pada tiap sisi pada suatu
network yang memenuhi Fij<Cij untuk sebarang sisi (i,j) pada network tersebut.Setiap arus(flow)
yang ada dalam network,harus memenuhi sebuah batasan yaitu arus yang masuk pada suatu simpul
harus sama dengan arus yang keluar pada simpul tersebut, kecuali pada source, yang arus
keluarnya lebih besar dari arus masuk, dan sink, yang arus masuknya lebih besar dari arus keluar.
Nilai flow (flow value) adalah jumlah semua flow yang meninggalkan titik sumber.
Beberapa algoritma yang dapat digunakan dalam pencarian maximum flow antara lain:
a. Algoritma Lintasan Penambah (Augmenting Path Algorithm)
Lintasan penambah adalah suatu lintasan berarah dari titik S ke titik tujuan T dalam
suatu jaringan berarah sisaan sehingga setiap sisinya memiliki kapasitas lebih dari nol.
Langkah-langkah:
1. Tentukan suatu lintasan penambah.
2. Tentukan nilai minimum kapasitas semua sisinya, yang dinotasikan dengan
3. Jika telah ditentukan, operasikan dengan kapasitas setiap sisi lintasan penambah
tersebut, yakni:
Cij*= Cij - dan Cji*= Cji +
dengan :
ij = sisi pada lintasan penambah
ji = sisi berarah kebalikan dari sisi ij
Cij = kapasitas sisi ij sebelum iterasi n
Cji = kapasitas sisi ji sebelum iterasi n
Cij* = kapasitas sisi ij setelah iterasi n
Cji* = kapasitas sisi ji setelah iterasi n
Ulangi langkah 1 sampai dengan langkah 3 sampai tidak ada lintasan penambah yang
lain, hitung aliran dari jaringan berasal asli, yakni :
Fij = Cij Cij*
dengan:
Fij = aliran sisi ij pada jaringan berarah asli
Cij= kapasitas sisi ij pada jaringan berarah asli
Cij*= kapasitas ij pada jaringan berarah sisaan iterasi terakhir.
b. Algoritma Preflow-Push
Langkah-langkah:
1. Persiapan
Tentukan flow awal tiap sisi adalah nol. Hitung distance label tiap vertex (banyaknya sisi
berarah pada lintasan terpendek yang menghubungkan suatu vertex ke vertex tujuan).
Tentukan Fsj=Csj, j V (D) dengan s adalah vertex asal.
2. Iterasi
Jika terdapat vertex i (bukan vertex awal maupun tujuan) yang aktif (excess(i)>0) maka
pilih vertex tersebut lalu:
a. Jika ada sisi (i,j) yang admissible (distance label (i) = distance label (j) + 1) maka
push=min{excess(i),rij}
Catatan: excess(i) adalah jumlah flow yang masuk ke vertex i dikurangi jumlah flow
yang keluar dari vertex i.
b. Jika tidak ada sisi (i,j) yang admissible maka ganti distance label (i) dengan min{
distance label (j)+1| (i, j ) V (G) }, rij adalah kapasitas residu yaitu C ij Fij .
Ulangi langkah 2 sampai tidak ada lagi titik yang aktif.
c. Algoritma Pelabelan Aka (Akas Labelling Algorithm)
Langkah-langkah:
71
1. Beri label pada titik sebarang (s) dengan (-,) dan berikan flow awal sebesar nol untuk
setiap label sisi pada jaringan kerja. Tanda (-) menunjukkan bahwa semua flow berasal dari
sumber, tanda () menunjukkan bahwa flow dari sumber nilainya tak terbatas.
a. Label titik: (i, Pf) dengan i merupakan titik dan Pf merupakan potensial A pada titik i.
b. Label sisi: (Cij,Fij) dengan Cij merupakan kapasitas sisi (i,j) dan Fij merupakan flow
aktual pada sisi (i,j).
2. Lanjutkan ke langkah selanjutnya jika terdapat (salah satu atau keduanya) suatau lintasan
pada digraph D yang berkarakteristik sebagai berikut:
a. Sisi terorientasi tepat (arahnya dari sumber ke tujuan) dan memenuhi Fij<Cij
b. Sisi terorientasi tak tepat (arahnya dari tujuan ke sumber) dan memenuhi 0<Fij
3. Misal (i,j) adalah suatau sisi pada digraph D, maka label untuk titik (i,j):
a. Jika (i,j) terorientasi tepat maka label j: [+i,MIN{Cij-Fij, Pf pada i}]
b. Jika (i,j) terorientasi tak tepat maka label j: [-i,MIN{ Fij, Pf pada i}]
4. Misal menjadi Pf dari titk tujuan, maka sisi (i,j) berubah menjadi:
a. Jika label pada j adalah [+i] maka label (i,j) menjadi [Cij,Fij+ ]
b. Jika label pada j adalah [-i] maka label (i,j) menjadi [Cij,Fij- ]
5. Kembali ke langkah dua.
Nilai maximum flow merupakan jumlah dari semua yang didapat dari iterasi-iterasi yang
telah dilakukan.
d. Algoritma Ford Fulkerson
Langkah-langkah :
1. Buatlah graph c simetris jika ada c [u,v] sementara c[v,u] tidak ada dengan membuat
c[v,u]=0.
2. Inisialisai f[u,v]= f[v,u]=0, untuk setiap (u,v) dalam graph
3. Inisialisai G[u,v] c[u,v], (u, v) G, G suatu graph.
4. Dapatkan lintasan residual antara s dant,jika ada maka
a. Aliri melalui lintasan dengan kapasitas sesuai dengan residu terkecil di dalam lintasan
tersebut.
b. Update setiap f [u,v] untuk setiap (u,v) dalam lintasan sesuai debit tersebut.
c. Hitung residual e [u,v] = c [u,v] f [u,v] dalam lintasan sebagai residual terbaru.
d. Ulangi hingga tidak ada lintasan residual antar s dan t.
5. Graph maximum flow adalah graph f [u,v] dengan hanya mengambil sisi (u,v), jika f [u,v]
>0
e. Algoritma Djikstra
Pada dasarnya, algoritma ini merupakan salah satu bentuk algoritma greedy. Algoritma
ini temasuk algoritma pencarian graph yang digunakan untuk menyelesaikan masalah lintasan
terpendek dengan satu sumber pada sebuah graph yang tidak memiliki cost sisi negatif, dan
menghasilkan sebuah pohon lintasan terpendek.
Untuk menyelesaikan Maximum Flow Problem dengan algoritma Djikstra, langkahnya
adalah sebagai berikut:
1. Cari sebuah lintasan yang belum dipilih yang menghubungkan simpul awal dengan simpul
tujuan.
2. Carilah sebuah sisi dengan kapasitas minimum. Kapasitas sisa minimum didapat dari
kapasitas sisi tersbut dikurangi arus yang sudah mengalir pada sisi itu (c-f). Bila kapasitas
minimum sisa sama dengan 0, langsung ke langkah 4.
3. Alirkan arus sejumlah kapasitas minimum sisi pada lintasan yang dipilih.
Kembali ke langkah 1 sampai semua lintasan diperiksa.
Pada penerapan beberapa algoritma yang diuraikan di atas hasil perhitungan dapat
diverifikasi dengan memanfaatkan alat bantu program Giden atau program Grin.
72
Dari hasil pengamatan waktu hijau dan waktu tunggu dari masing-masing jalan, dapat dibuat
siklusnya. Jika pengaturan pola pergerakan arus lalu lintas tanpa memperhatikan kuantitas
kendaraan, maka dari gambar di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
Arus a kompatibel dengan arus b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, l.
Arus b kompatibel dengan arus a, c, e, g, h, i, j, k, l.
Arus c kompatibel dengan arus a, b, d, e, f, g, h, i, j, k, l.
Dan seterusnya.
Kompatibel adalah arus-arus yang dapat berjalan bersama tanpa terjadi tabrakan.
Setelah itu dapat dibentuk dalam graph kompatibel seperti di bawah ini :
Dari gambar graph kompatibel di atas ditemukan graph bagian komplit terbesar antara lain:
73
Karena diambil 2 graph bagian komplit terbesar, maka pengaturan arah lalu lintas dan
pembagian hak berjalan diatur dalam 2 fase. Diasumsikan waktu siklusnya 120 detik, sehingga
lamanya berjalan untuk arus-arus tiap fase adalah
120
40 detik.
3
Faktor smp
0,8
0,25
1
1,2
74
yang dicari dengan menerapkan model maximum flow. Pencarian besarnya volume kendaraan yang
melintas diperoleh dari hasil survey yang kemudian dari hasil tersebut dihitung maximum flow
dengan graph.
Fakta yang terdapat di lapangan akan dibuat graphnya. Yaitu untuk ujung jalan dinyatakan
dengan satu titik dan jalan yang menghubung masing-masing ujung jalan dinyatakan dengan sisi
berarah. Arah dari tiap sisi menunjukkan arah arus kendaraan yang akan dihitung. Setiap sisi
berarah diberi muatan yang menyatakan volume kendaran yang melintasi jalan tersebut. Untuk
mencari maximum flow ini diasumsikan bahwa akan dihitung satu arah saja di setiap ruas jalan.
Adapun graph yang menjelaskan jaringan lalu lintas untuk jalan-jalan di sekitar kampus UM
adalah sebagai berikut.
s
199
219
196
b
165
175
140
129
141
152
107
954
136
537
116
369
975
577
268
736
13
76
b
89
72
70
58
54
79
46
43
52
30
61
26
17
55
14
43
75
Dengan menggunakan Giden, volume maksimum kendaraan hasil survey juga sebesar 1338
smp per jam dengan 3 lintasan penambah.
Dengan menggunakan Giden, kapasitas maksimum jalan pada daerah survey sebesar 2351
smp per jam dengan 3 lintasan penambah. Kapasitas maksimum ruas jalan pada daerah survey
adalah sebesar 1338 smp per jam. Dari hasi di atas dapat dianalisa hasilnya sebagai berikut.
1. Volume maksimum ruas jalan pada daerah survey adalah sebesar 1338 smp per jam.
2. Kapasitas maksimum kendaraan yang melintasi daerah survey adalah sebesar 2351 smp per
jam.
3. Ruas jalan daerah survey masih mampu menampung kendaraan yang melintasinya.
KESIMPULAN
Telah dibahas pemodelan graph pada sistem lalulintas kendaraan. Pemodelan graph
kompatabel dan graph bagian maksimal dapat digunakan untuk menentukan waktu tunggu yang
optimal di persimpoangan. Sedangkan pemodelan maximum flow dapat digunakan untuk
mengamati kepadatan lalulintas pada jalan raya. Dengan menghitung kapasitas maksimum
kendaraan dan volume maksimum dapat diketahui apakah jalan tersebut masih menampung
kendaraan yang melintasinya.
76
DAFTAR PUSTAKA
Abubakar, Iskandar. 1999. Rekayasa Lalu Lintas. Jakarta: Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas dan
Angkutan Kota Direktorat Jenderal Perhubungan Darat.
Bin Zhang, Julie Ward, Annabelle Feng. 2005. A Simultaneous Maximum Flow Algorithm for the
Selection Model. Intelligent Enterprise Technologies Laboratory
Goldberg-Tarjan. 2003. Http://ocw.mit.edu/NR//rdonlyres/Sloan-school-of-management/15-082J
Network-Optimization Sprig2003/155A377E-35CD-4DAA-B29AB06389C18EAB/0/10preflowpushalgorithms.pdf. Diakses Tanggal 10 April 2005.
Johnsonbaugh. R. 2002. Matematika Diskrit, Jakarta: Pearson Education Asia Pte. Ltd dan PT
Prehallindo.
Nagi, Rakesh. 1993. IE 680-Special Topics in Production Systems: Networks, Routing,and
Logistics*, (Online), (http://www.acsu.buffalo.edu/%7enagi/courses/684.maxflow. pdf,
diakses 27 Mei 2005).
Rosyidah.2006. Penerapan Model Maximum Flow dalam Teori Graph pada Lalu Lintas
Kendaraan. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA Universitas Negeri Malang.
Rosen, K.H., Michael, J.G., Gross, J.L., Grossman, J.W. & Shier, D.R. 2000. Handbook of Discrete
and combinatorial mathematics. New York: CRC Press LLC.
Oktaviana, Sri Syahadatina.2007. Aplikasi Teori Graph dengan Menggunakan Maximum Flow
sebagai Upaya Pengoptimalan Aliran Air pada Jaringan Pipa PDAM Daerah Sawojajar
Blok H-1. Skripsi. Universitas Negeri Malang.
Wilson, R. J. and Watkin, J. J. 1990. Graphs An Introductory Approach. Canada: John Wiley and
Sons,Inc.
77
PENDAHULUAN
Dalam masalah himpunan buka pada bilangan real seperti pada (Bartle. 2000: 313) tentang
sifat himpunan buka, bahwa The union of an arbitrary collection of open subsets in R, is open.dan
pada litertur yang lain yaitu (Golberg, Richard. 1976: 136) if and are open subset of R, then
also open. Sedangkan jika A dan B himpunan buka di R maka A B belum tentu
himpunan buka di R, sebagai contoh A = (2, 6), dan B = (3, 8) adalah dua interval buka, tetapi A
B = (2, 3] adalah bukan himpunan buka.
Interval buka I di R adalah himpunan buka di R, panjang interval I disimbokan dengan l(I) di
definisikan sebagai selisih ujung-ujung interval I. Jika I = (a, b) dengan a < b maka l(I) = b a.
Menurut (Jain, P.K., & Gupta, V.V., 1986: 53) untuk sembarang interval, yaitu interval buka, tutup,
dan setengah buka, panjang intervalnya didefinsikan sebagai selisih ujung-ujung interval. Jika I =
[a,b] adalah interval tutup, dan a = b maka l(I) = 0.
Jika A sembarang himpunan bagian dari R, maka kita tidak dapat mencari panjangnya,
karena A belum tentu interval. Pembahasan untuk mengukur himpunan A dibahas oleh Jain, P.K.,
& Gupta, V.V., 1986 yang membahas tentang ukuran himpunan. Sedangkan menurut (Hartman,
S.1961: 20). The union of measurable set is measurable . Pada pembahasan himpunan buka di atas
diperoleh jika A dan B adalah himpunan buka di R maka A B belum tentu himpunan buka,
Permasalahan dalam makalah ini adalah jika A dan B himpunan terukur di R , apakah A B
terukur di R?
Ukuran Luar
Misalkan F adalah kumpulan dari interval buka yang terhitung. Untuk sembarang J F,
jumlah () adalah bilangan real positif. Misalkan E sembarang himpunan, ambil C himpunan
78
bagian dari F dengan C adalah kumpulan J dari interval buka { } sehingga E . Jika
dituliskan himpunan C adalah C = {J: J F dan J cover E}
Definisi 1 : Ukuran luar m*(E) dari himpunan E adalah m*(E) = inf { ( ) : { } interval buka
dan E .}
Teorema 1
Jika E himpunan terhitung, maka m*(E) = 0
Bukti
Karena E himpunan terhitung, maka dapat dituliskan E = { , , , , }. Misalkan >
sembarang, untuk setiap pilih interval buka yang mengkover dengan l( ) = . Kita
perolah m*(E)
= ( ) = = = . Karena dan m*(E) 0. Maka m*(E) = 0.
Teorema 2
Jika m*(A) = 0 maka m*(A ) = m*(B)
Bukti
Karena m*(A ) m*(A) + m*(B), dan diketahui m(A) = 0, maka
m*(A ) 0 + m*(B) = m*(B) .. ......................................................................................... 1)
Karena B A B, maka m*(B) m*(AB) ................................................................................ 2)
Dari 1) dan 2) maka m*(A ) = m*(B).
Teorema 3
Jika m*(A) = 0 dan B A, maka m*(B) = 0
Bukti
Karena B A maka m*(B) m*(A), dan m*(A) = 0, maka m*(B) = 0.
Ukuran Himpunan
Definisi 2
Himpunan E dikatakan terukur, jika A R,
berlaku m*(A) = m*(AE) + m*(A ).
Definisi 3
Jika E himpunan terukur, maka m*(E) = m(E).
Teorema 4
Jika E himpunan terukur maka terukur.
Bukti
Karena E terukur, sesuai definisi A R,
berlaku m*(A) = m*(AE) + m*(A ).
= m*(A ) + m*(AE) (komutatif)
= m*(A ) + m*(A ( ) )
Jadi terukur.(Sukoriyanto. 2002: 5)
Teorema 5
Jika ukuran luar dari E adalah nol maka E terukur.
79
Bukti
Misalkan A sembarang himpunan. Karena A = (A ) ( ), maka
m*(A) m*(A ) + m*(A ) .................................................................................................. 1)
Karena A , maka m*(A ) m*(E) = 0, jadi m*(A ) = , dan
A A, maka m*(A ) m*(A).
Jadi m*(AE) + m*(A ) 0 + m*(A) = m*(A) ..................................................................... 2)
dari 1) dan 2) diperoleh m*(A) = m*(AE) + m*(A ).
Jadi E terukur.
Teorema 6
Jika ukuran luar dari E adalah nol, dan A E, maka E terukur.
Bukti
Sesuai Teorema 3 jika m*(E) = 0 dan A E, maka m*(A) = 0, dan sesuai teorema 5 maka E
terukur..
Teorema 7
Setiap himpunan yang terhitung adalah terukur dan ukurannya adalah nol
Bukti
Misalkan E adalah himpunan terhitung, sesuai teorema1 maka m*(E) = 0. Sesuai teorema 5 maka
E terukur. Sesuai definisi 3 maka m*(E) = m(E) = 0.
Teorema 8
Jika D dan E himpunan terukur, maka terukur.
Bukti
Karena D himpunan terukur,
sesuai definisi, A R,
berlaku m*(A) = m*(AD) + m*(A ).
= m*(AD) + m*((A ) ) + m*((A ) ) karena E terukur
= m*(AD) + m*((A ) ) + m*((A )
m*(A ( )) + m*(A ( ) )
karena A ( ) = (A ) (A ) )
Sehingga m(A) m*(A ( )) + m*(A ( ) ) ............................................................. 1)
Karena A =(A ( ) (A ( ) )), maka
m(A) m*(A ( )) + m*(A ( ) ) .............................................................................. 2)
dari 1) dan 2) diperoleh m(A) = m*(A ( )) + m*(A ( ) )
jadi DE terukur.
Teorema 9
Jika D dan E himpunan terukur, maka DE terukur.
Bukti
Karena D himpunan terukur, sesuai definisi, A R,
berlaku m*(A) = m*(AD) + m*(A ).
= m*((A ) ) + m*((AD) ) + m*(A ).
= m*(A(DE)) + m*(A ) + m*(A(D ))
SESI PARALEL MATEMATIKA
80
m*(A(DE)) + m*(A( )
karena A ( ) = (A ) ( ( )
= m*(A(DE)) + m*(A ( ) )
Jadi m*(A) m*(A(DE)) + m*(A ( ) ) ........................................................................ 1)
Karena A = (A ( )) ( ( ) ), maka
m*(A) m*((A ( ) + m*( ( ) ) ........................................................................... 2)
dari 1) dan 2) diperoleh m*(A) = m*((A ( ) + m*( ( ) )
Jadi D terukur
PEMBAHASAN
Untuk menjawab permasalahan pada makalah ini, yaitu jika D dan E himpunan terukur,
apakah D E himpunan terukur? Kita dapat menggunakan teorema dan definsi yang sudah di
bahas di atas, dan dapat ditunjukkan bahwa jika D dan E adalah himpunan terukur, maka D E
terukur, sehingga dapat disusun teorema tentang hal tersebut beserta buktinya seperti pada teorema
berikut,
Teorema 10
Jika D dan E adalah himpunan terukur, maka D E adalah terukur.
Bukti
Karena E himpunan terukur, maka sesuai teorema 4 diperoleh terukur. Karena D E = A ,
dan diketahui bahwa D terukur dan terukur, maka sesuai teorema 9 diperoleh D E = A
terukur.
Jadi D E terukur.
PENUTUP
Pada pembahasan ukuran himpunan diperoleh sifat-sifat bahawa jika A dan B adalah
himpunan terukur maka AB terukur, juga AB terukur, dan pada pembahasan pada makalah ini
dapat dibuktikan bahawa A B juga terukur. Hal ini berbeda pada pembahasan pada himpunan
buka di R, yaitu jika A dan B adalah himpunan buka di R ternyata belum tentu bahawa A B
adalah himpunan teruka. Ini menunjukan bahawa pembahasan himpunan buka di R adalah bagian
dari pembahasan himpunan terukur.
Untuk pengembangan makalah lebih lanjut,dan berangkat dari pembahasan himpunan buka
merupakan bagian dari pembahasan ukuran himpunan, dapat dikembangkan suatu penelitian yang
mengukap tentang hubungan antara himpunan buka dan himpunan yang terukur. Seara khusus
dapat diteliti apakah setiap himpunan buka adalah suatu himpunan yang terukur?
DAFTAR PUSTAKA
Bartle. R.G. dan Sherbert. D.R 2000. Introduction to Real Analysis. New York: John Wiley and
Sons. Inc
Golberg, Richard R. 1983. Method of Real Analysis. New York: John Wiley & Sons.
Hartman, S and Minkusinski, J. 1962. The Theory of Lebesgue Measure and Integration. New
York: Pergamon Press. Inc.
Jain, P.K., & Gupta, V.V., 1986, Lebesgue Measure and Integration. New Delhi: Wiley Eastern
Limited
Sukoriyanto. 2000. Teorema Kekonvergenan pada Integral Lebesgue. Laporan Penelitian tidak
diterbikan. Malang. FMIPA UM.
81
PENDAHULUAN
Untuk memenuhi kebutuhan guru di sekolah RSBI/SBI sejak tahun 2008 pemerintah melalui
Ditjen Dikti telah meluncurkan program hibah pegembangan Pendidikan Guru MIPA Bertaraf
Internasional (PGMIPABI). Tahun 2010 Universitas Tadulako khususnya Jurusan PMIPA FKIP
sebagai penerima program hibah penyelenggara PGMIPABI.
Program PGMIPABI bertujuan untuk mempersiapkan calon guru MIPA dengan kualifikasi
akademikS-1 yang memiliki kompetensi profesional, pedagogik, sosial, dan kepribadian sebagai
seorang pendididik pada SBI/RSBI. Salah satu karakteristik program PGMIPABI adalah proses
pembelajaran pada program PGMIPABI untuk meningkatkan karaktekter dan kemampuan berpikir
tingkat tinggi.
Program studi pendidikan matematika Universitas Tadulako diharapkan mendesain
kurikulumnya yang mengarah pada kemampuan berpikir tingkat tinggi. Hal ini konsekuensi
sebagai penyelenggara program PGMIPABI dan sejalan dengan petunjuk Committee on the
Undergraduate Program in Mathematics (CUPM) 2004. CUPM 2004 memberikan 6 rekomendasi
dasar untuk jurusan, program dan semua mata kuliah dalam matematika.
Salah satu
rekomendasinya menerangkan bahwa setiap mata kuliah dalam matematika hendaknya merupakan
aktivitas yang akan membantu mahasiswa dalam pengembangan analitis, penalaran kritis,
pemecahan masalah dan keterampilan komunikasi. Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan
bagian dari kemampuan berpikir tingkat tinggi. Kemampuan berpikir analitis, penalaran kritis,
pemecahan masalah sangat diperlukan dalam menghadapi kemajuan IPTEK dan persaingan global.
Dari uraian tentang karakteristik PGMIPABI serta rekomendasi CUPM, sudah seyogyanya
program studi pendidikan matematika Universitas Tadulako yang bertugas melahirkan calon guru
matematika bertanggung jawab mempersiapkan mahasiswanya untuk memiliki kemampuan
berpikir tingkat tinggi khusunya berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis bukanlah pembawaan
sejak lahir namun kemampuan yang harus ditumbuhkembangkan. Untuk menumbuhkembangkan
kemampuan berpikir kritis dapat melalui program pendidikan matematika. Seperti dikatakan
Wittgenstein (Suriasumantri, 2003) bahwa matematika adalah metode berpikir logis.
SESI PARALEL MATEMATIKA
82
Berdasar uraian di atas, peneliti terdorong untuk melakukan penelitian kemampuan berpikir
kritis matematis mahasiswa program PGMIPABI pada program studi pendidikan matematika
Universitas Tadulako. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini dirumuskan dengan Bagaimana
gambaran kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa PGMIPABI pada program studi
pendidikan matematika Universitas Tadulako? Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan
di atas, tujuan penelitian ini adalah menelaah tentang kemampuan berpikir kritis matematis
mahasiswa PGMIPABI pada program studi pendidikan matematika Universitas Tadulako.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini ingin
mengungkapkan langkah-langkah mahasiswa PGMIPA dalam menganalisis dan mengevaluasi
masalah matematika serta membuktikan suatu aturan dalam matematika. Jenis data yang
digunakan adalah data kualitatif ditunjang data kuantitatif. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa
program studi pendidikan matematika kelas PGMIPABI yang sedang belajar kalkulus II pada tahun
akademik 2011/1012 dan berjumlah 32 orang.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari seperangkat tes kemampuan
berpikir kritis. Tes digunakan untuk mengukur aspek-aspek kemampuan berpikir kritis matematis
yang meliputi aspek menganalisis, mengevaluasi dan membuktikan. Tes tersebut berkaitan dengan
materi kalkulus II.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah pemberian tes
kemampuan berpikir kritis matematis dan wawancara mendalam kepada subjek penelitian. Tes
yang digunakan berbentuk uraian sehingga dapat mengungkapkan langkah-langkah pekerjaannya.
Pemberian tes dilakukan secara klasikal.
Setelah diperoleh data-data jawaban mahasiswa, maka dilaksanakan analisis data. Salah
satunya dengan analisis statistika deskriptif.
Penggunaan statistika deskriptif ini untuk
mendiskripsikan atau memberikan gambaran mengenai kemampuan berpikir kritis matematis
subjek dan skor rata-rata kemampuan berpikir kritis matematis.
Dengan terkumpulnya data-data jawaban mahsiswa yang salah, maka analisis data
dilaksanan dengan cara membuat lembar rangkuman. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai
pedoman dalam menentukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan mahasiswa. Selain itu lembar
rangkuman merupakan bahan peneliti dalam memberikan pembahasan hasil-hasil penelitian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis matematis mahasiswa
PGMIPABI rata-rata 26 dengan skor ideal 100. Hasil tersebut mengindikasikan kemampuan
berpikir kritis matematis mahasiswa masih rendah. Hanya 7 mahasiswa dari 32 mahasiswa
memiliki kemampuan mengevaluasi.
Sedangkan 10 mahasiswa memiliki kemampuan
membuktikan dan 13 mahasiswa memiliki kemampuan menganalisis.
Dalam mengevaluasi statement If x > y then ln x > ln y hanya 4 mahasiswa sudah benar
dalam membuat keputusan tentang statement tersebut. Mahasiswa memberikan alasan dalam
mengevaluasi statement If x > y then ln x > ln y dengan memisalkan nilai x tertentu dan nilai y
tertentu kemudian dimasukan dalam fungsi logaritma natural. Dengan membandingkan hasilnya
kemudian mahasiswa membuat kesimpulan dan selanjutnya membuat keputusan bahwa statement
If x > y then ln x > ln y is true.
Dalam mengevaluasi statement arcsin (sin x) = x , x R hanya 1 mahasiswa yang benar
menyimpulkan statement tersebut. Mahasiswa tersebut membuat penilaian bahwa statement
arcsin (sin x) = x , x R is false. Statement arcsin (sin x) = x tidak untuk semua x anggota
83
. Namun kebanyakan
2
mahasiswa menilai statement arcsin (sinx) = x , x R is true, because arcsin is invers of sin x.
1
x
1
x
1
x
84
85
PENDAHULUAN
Manusia tidak lepas dari masalah karena masalah merupakan bagian dari kehidupan
manusia. Hampir setiap hari, manusia dihadapkan pada masalah-masala yang perlu dicari jalan
keluarnya. Masalah tersebut dapat berasal dari diri seseorang atau dari lingkungannya. Upaya
seseorang untuk memecahkan masalah yang dihadapi tidak mudah. Hal ini karena diperlukan
strategi-strategi yang tepat dalam memecahkan suatu masalah.
Dalam pembelajaran matematika, kemampuan pemecahan masalah merupakan hal yang
penting bagi siswa. Hal ini sesuai dengan tujuan diberikan mata pelajaran matematika yaitu salah
satunya adalah siswa memiliki kemampuan pemecahan masalah yang meliputi kemampuan
memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh.
Salah satu materi dalam matematika SMA adalah trigonometri. Ada tiga kompetensi dasar
(KD) pada materi trigonometri yaitu: 5.1) melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan teknis
SESI PARALEL MATEMATIKA
86
yang berkaitan dengan perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri; 5.2) merancang
model matematika dari masalah yang berkaitan dengan perbandingan, fungsi, persamaan dan
identitas trigonometri dan 5.3) menyelesaikan model matematika dari masalah yang berkaitan
dengan perbandingan, fungsi, persamaan dan identitas trigonometri dan penafsirannya. Dari
kompetensi-kompetensi dasar ini, siswa diharapkan dapat memiliki kemamuan dalam memecahkan
masalah yang berkaitan dengan trigonometri namun berdasarkan pengalaman peneliti, siswa
mengalami kesulitan dalam memecahkan masalah rigonometri.
Selain itu, beberapa penelitian menunjkkan bahwa prestasi siswa SMA dalam materi
trigonometri masih rendah. Beberapa penelitian tersebut antara lain: (1) penelitian Fernandes
(1997) yang menunjukkan bahwa prestasi siswa SMA Kabupaten Kupang pda pokok bahasan
trigonometri masih cukup banyak yang tergolong berprestasi kurang (37,99%) dan kurang sekali
(8,12%); (2) penelitian Amrina (1996) menunjukkan prestasi belajar iswa SMA Negeri 1 Baso
sumatera Barat pada materi trigonometri pada umumnya rendah yaitu rata-rata skor yang diperoleh
siswa sekitar 48,39% dari skor maksimal.
Untuk mengatasi kesulitan siswa dalam memecahkan masalah trigonometri, seorang guru
perlu mengetahui profil pemecahan masalah tersebut. Dengan mengetahui profil pemecahan
masalah, diharapkan guru dapat memperoleh gambaran tentang proses siswa dalam memperoleh
jawaban dan kelemahan siswa dalam memecahkan masalah tersebut sehingga guru dapat
menentukan cara pembelajaran yang sesuai.
Profil pemecahan masalah trigonometri yang dilakukan oleh siswa SMA dapat berbeda-beda.
Hal ini karena setiap siswa memiliki kemampuan matematika yang berbeda-beda yaitu ada yang
berkemampuan matematika tinggi, sedang ataupun rendah.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kemampuan matematika mmpengaruhi proses
pemecahan masalah. Beberapa penelitian tersebut diantaranya penelitian Nurman (2008) yang
menemukan bahwa siswa dengan kemampuan matematika yang tinggi cenderung memiliki
kemampuan pemecahan masalah dengan sangat baik. Siswa dengan kemampuan matematika yang
sedang cenderung memiliki kemampuan pemecahan masalah dengan baik. Sedangkan siswa
dengan kemampuan matematika yang rendah cenderung memiliki kemampuan pemecahan masalah
dengan kurang baik. Selain Nurman (2008), Lestari (2010) dalam penelitiannya juga menemukan
bahwa tiga macam kemampuan matematika yaitu tinggi, sdang dan rendah, yang dimiliki siswa
berpengaruh dalam proses pemecahan masalah.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang profil pemecahan
masalah terigonometri ditinjau dari kemampuan matematika. Pertanyaan dalam penelitian ini
adalah: Bagaimana profil pemecahan masalah trignometri siswa SMA ditinjau dari kemampuan
matematika. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendskripsikan profil pemecahan
masalah trigonometri siswa SMA ditinjau dari kemampuan matematika.
METODE
Sudjana dan Ibrahim (2009) menjelaskan dalam penelitian kualitatif, tekanan ada pada
proses bukan hasil dari sutu kegiatan. Dalam penelitian kualitatif, data dan informasi yang
diperlukan berkenaan dengan pertanyaan apa, mengapa dan bagaimana. Pertanyaan-pertanyaan
tersebut mengungkap suatu proses bukan hasil dari suatu kegiatan. Berdasarkan pertanyaan
penelitian yang telah dikemukakan, maka penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.
Penelitian ini dilaksanakan di kelas XI-IPA 1 SMA Negeri 1 Widang Tuban. Proses
pemilihan subjek dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan matematika. Dari tes
kemampuan matematika didapatkan tiga kelompok siswa yaitu siswa berkemampuan matematika
tinggi, siswa berkemampuan matematika sedang dan siswa berkemampuan matematika rendah.
Kriteria penilaian tes kemampuan matematika adalah sebagai berikut:
87
Kriteria
Kemampuan Matematika Tinggi
Kemampuan Matematika Sedang
Kemampuan Matematika Rendah
Selain berdasarkan tes kemampuan matematika, siswa yang dipilih sebagai subjek penelitian
adalah siswa-siswa yang mampu berkomunikasi dengan baik yaitu mampu mengkomunikasikan
pendapat atau jalan pikirannya secara lisan maupun tulisan.
Prosedur penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut: (1) merancang
instrumen penelitian yaitu berupa soal tes kemampuan matematika, soal tes pemecahan masalah
trigonometri dan pedoman wawancara, (2) validasi instrumen oleh validator, (3) menentukan
subjek penelitian berdasarkan hasil tes kemampuan matematika, (4) melakukan kegiatan
pengumpulan data, yaitu memberikan soal tes pemecahan masalah trigonometri kepada subjek
penelitian kemudian mewawancarai subjek penelitian, (5) triangulasi, (6) analisis data, meliputi
analisis hasil tes pemecahan masalah trigonometri dan analisis hasil wawancara, (7) menyusun
deskripsi profil pemecahan masalah trigonometri siswa SMA ditinjau dari kemampuan matematika.
Dalam penelitian ini, yang menjadi instrumen utama adalah peneliti sendiri. Peneliti
berperan aktif dalam mengumpulkan data, menyaring dan menganalisisnya. Sedangkan instrumen
pendukungnya adalah: (1) soal tes kemampuan matematika, (2) soal tes pemecahan masalah
trigonometri dan (3) pedoman wawancara.
Untuk mengetahui profil pemecahan masalah trigonometri siswa SMA maka dilakukan tes
tulis dan wawancara. Tes tulis adalah tes pemecahan masalah trigonometri sedangkan wawancara
yang dilakukan mengacu pada langkah-langkah pemecahan masalah Polya yaitu: (1) memahami
masalah, (2) membuat rencana, (3) melaksanakan rencana dan (4) memeriksa kembali.
Menurut Sugiyono (2010), triangulasi dalam pengujian kredibilitas data diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai waktu. Ada tiga
triangulasi yaitu triangulasi sumber, triangulasi teknik dan triangulasi waktu. Dalam penelitian ini,
triangulasi yang dilakukan adalah triangulasi waktu. Triangulasi ini dilakukan dengan
membandingkan hasil tes siswa beserta wawancaranya dengan hasil dari tes tulis I beserta
wawancaranya pada waktu yang berbeda.
Analisis data dalam penelitian ini meliputi: (1) Analisis kevalidan soal tes yang dilakukan
terhadap dua soal tes yaitu soal tes kemampuan matematika dan soal tes pemecahan masalah, (2)
Analisis data tes kemampuan matematika dan (3) Analisis data tes pemecahan masalah serta data
hasil wawancara.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Tes Kemampuan Matematika
Tes kemampuan matematika dilakukan terhadap 32 siswa kelas XI-IPA 1. Dari tes
kemampuan matematika diperoleh data seperti pada tabel berikut:
Tabel2. Hasil Tes Kemampuan Matematika
Siswa
Kemampuan Matematika Tinggi
Kemampuan Matematika Sedang
Kemampuan Matematika Rendah
Banyaknya
6
17
9
Berdasarkan tabel di atas diperoleh informasi bahwa dari 32 siswa yang mengikuti tes
kemampuan matematika, terdapat 6 (18,75%) siswa berkemampuan matematika tinggi, 17
(53,125%) siswa berkemampuan matematika sedang dan 9 (28,125%) siswa berkemampuan
matematika rendah.
88
Kemampuan Matematika
Tinggi
Sedang
Rendah
Gambar1. Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Tinggi (AM) dalam Tes Pemecahan
Masalah 1
Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Tinggi (AM) dalam Tes Pemecahan
Masalah 2
Gambar2. Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Tinggi (AM) dalam Tes Pemecahan
Masalah 2
89
Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Sedang (TM) dalam Tes Pemecahan
Masalah 1
Gambar3. Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Sedang (TM) dalam Tes Pemecahan
Masalah 1
Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Sedang (TM) dalam Tes Pemecahan
Masalah 2
Gambar4. Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Sedang (TM) dalam Tes Pemecahan
Masalah 2
Dari hasil kerja dan wawancara dengan subjek berkemampuan matematika sedang (TM)
dapat diketahui bahwa subjek TM dalam memahami masalah membaca soal kemudian
menggambar dan menuliskan apa yang diketahui serta apa yang ditanyakan dari soal, subjek TM
dalam membuat rencana penyelesaian menyebutkan urutan langkah-langkah yang akan dikerjakan,
subjek TM melaksanakan rencana penyelesaian secara teratur dan urut, langkah demi langkah dan
subjek TM memeriksa kembali dengan memeriksa perhitungan yang telah dilakukan.
Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Sedang (MS) dalam Tes Pemecahan
Masalah 1
Gambar5. Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Rendah (MS) dalam Tes Pemecahan
Masalah 1
SESI PARALEL MATEMATIKA
90
Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Sedang (MS) dalam Tes Pemecahan
Masalah 2
Gambar6. Hasil Kerja Subjek Berkemampuan Matematika Rendah (MS) dalam Tes Pemecahan
Masalah 2
Dari hasil kerja dan wawancara dengan subjek berkemampuan matematika rendah (MS)
dalam tes pemecahan masalah trigonometri dapat diketahui bahwa subjek MS dalam memahami
masalah membaca soal kemudian menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari
soal, subjek MS dalam membuat rencana penyelesaian menyebutkan satu langkah yang akan
dikerjakan, subjek MS melaksanakan rencana penyelesaian secara teratur dan urut langkah demi
langkah dan subjek MS memeriksa kembali dengan membaca apa yang ia tulis mulai awal sampai
akhir.
Pembahasan
Profil pemecahan masalah trigonometri dari ketiga subjek tersebut dapat dirangkum dalam
tabel sebagai berikut:
Tabel4. Profil Pemecahan Masalah Trigonometri dari Subjek Berkemampuan Matematika Tinggi
(AM), Subjek Berkemampuan Matematika Sedang (TM) dan Subjek Berkemampuan
Matematika Rendah (MS)
Subjek
Langkah
Polya
Memahami Masalah
AM
TM
MS
Membaca soal.
Menuliskan apa yang
diketahui dan apa yang
ditanyakan dari soal.
Membaca soal.
Menggambar.
Menuliskan aa yang
diketahui dan apa yang
ditanyakan dari soal.
Menyebutkan
urutan
langkah-langkah yang
akan dikerjakan untuk
menyelesaikan soal
Membaca soal
Menuliskan apa yang
diketahui dan apa yang
ditanyakan dari soal.
Melaksanakan rencana
penyelesaian
secara
teratur
dan
urut,
langkah demi langkah
Memeriksa perhitungan
yang telah dilakukan
Melaksanakan rencana
penyelesaian
secara
teratur
dan
urut,
langkah demi langkah
Membaca apa yang ia
tulis mulai awal sampai
jawaban akhir.
Membuat Rencana
Menyebutkan
urutan
langkah-langkah
yang
akan dikerjakan untuk
menyelesaikan soal
Melaksanakan Rencana
Melaksanakan rencana
penyelesaian
secara
teratur dan urut, langkah
demi langkah
Menghitung
kembali
mulai dari rumus yang
ditulis sampai jawaban
akhir.
Memeriksa Kembali
Menyebutkan
satu
langkah yang akan
dikerjakan
untuk
menyelesaikan soal.
91
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang profil pemecahan masalah
trigonometri siswa SMA ditinjau dari kemampuan matematika, diperoleh kesimpulan:
1. Untuk siswa berkemampuan matematika tinggi, dalam memahami masalah, siswa membaca
soal kemudian menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal, dalam
membuat rencana penyelesaian, siswa menyebutkan urutan langkah-langkah yang akan
dikerjakan untuk menyelesaikan soal, dalam melaksanakan rencana penyelesaian, siswa
melaksanakannya secara teratur dan urut, langkah demi langkah dan dalam memeriksa kembali
jawaban yang diperoleh, siswa menghitung kembali.
2. Untuk siswa berkemampuan matematika sedang, dalam memahami masalah, siswa membaca
soal dan menyatakan permasalahan dalam bentuk gambar serta menuliskan apa yang diketahui
dan apa yang ditanyakan dari soal, dalam membuat rencana penyelesaian, siswa menyebutkan
urutan langkah-langkah yang akan dikerjakan untuk menyelesaikan soal, dalam melaksanakan
rencana penyelesaian, siswa melaksanakannya secara teratur dan urut, langkah demi langkah
dan dalam memeriksa kembali jawaban yang diperoleh, siswa memeriksa perhitungan yang
telah dilakukan.
3. Untuk siswa berkemampuan matematika rendah, dalam memahami masalah, siswa membaca
soal kemudian menuliskan apa yang diketahui dan apa yang ditanyakan dari soal, dalam
membuat rencana penyelesaian, siswa menyebutkan satu langkah yang akan dikerjakan untuk
menyelesaikan soal, dalam melaksanakan rencana penyelesaian, siswa melaksanakannya
secara teratur dan urut, langkah demi langkah dan dalam memeriksa kembali jawaban yang
diperoleh, siswa membaca apa yang ia tulis mulai awal sampai akhir.
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung dalam penulisan makalah ini, diantaranya:
1. Orang tua dan keluarga besar.
2. Teman-teman di Prodi Pend. Matematika FKIP UNIROW Tuban.
3. Kepala Sekolah, staf guru dan TU di SMA Negeri 1 Widang.
4. Semua pihak yang telah memberikan bantuan baik langsung maupun tidak langsung dalam
penulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Alya, Q. 2009. Kamus Bahasa Indonesia untuk Pendidikan Dasar. Bandung: PT. Indahjaya
Adipratama.
[2] Amrina, Z. 1996. Studi tentang Hasil Belajar Siswa yang Menggunakan LKS dan Metode
Ekspositori dalam kaitannya dengan Taraf Inteligensi Siswa pada Pokok Bahasan
Trigonometri di SMU Negeri I Baso Sumatera Barat. Tesis tidak dipublikasikan. UNESA.
[3] Arifin, Z. 2009. Membangun Kompetensi Pedagogis Guru Matematika (Landasan Filosofi,
Histori dan Psikologi). Surabaya: Lentera Cendikia.
[4] Cooney, T.J, Davis, E.J, Henderson, K.B. 1975. Dynamics of Teaching Secondary School
Mathematics. Boston: Houghton Mifllin Company.
[5] Dahar, R.W. 2006. Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Penerbit Erlangga.
[6] Fernandez, M. 1997. Hubungan antara Kemampuan Penalaran dalam Matematika dan
Prestasi Belajar Matematika di Kalangan Siswa Kelas I Caturwulan I SMU Se-Kabupaten
Kupang Tahun 1995. Tesis tidak dipublikasikan. UNESA.
[7] Hudojo, H. 2001. Mengembangkan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. Jurusan
Pendidikan Matematika FMIPA UM Malang.
92
[8] Lestari, S. N. D. 2010. Profil Pemecahan Masalah Matematika Open-Ended Siswa Kelas V
Sekolah Dasar Ditinjau dari Perbedaan Gender dan Kemampuan Matematika. Tesis tidak
dipublikasikan. UNESA.
[9] Nurman, T. A. 2008. Profil Kemampuan Siswa Sekolah Menengah Pertama dalam
Memecahkan Masalah Matematika Open-Ended Ditinjau dari Perbedaan Tingkat
Kemampuan Matematika Siswa. Tesis tidak dipublikasikan. UNESA.
[10] Polya. 1973. How To Solve It. Princeton: Princeton University Press.
[11] Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta
[12] Sudjana, N dan I. 2009. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Algensindo.
[13] Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. ALFABETA.
[14] Suharnan. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.
93
PENDAHULUAN
Semua yang terlibat dalam pendidikan harus sadar bahwa: a) setiap peserta didik adalah
unik, b) anak bukan orang dewasa dalam bentuk kecil. Jalan pikiran anak tidak selalu sama dengan
jalan pikiran orang dewasa, c) dunia anak adalah dunia bermain tetapi materi pelajaran banyak
yang tidak disajikan lewat permainan, d) usia anak adalah usia yang paling kreatif dalam hidup
manusia, e) dunia anak adalah dunia belajar kreatif (Tim Penyusun Materi PLPG Unesa, 2012).
Peserta didik mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Setiap peserta didik memiliki
keunikan yang berbeda-beda. Keunikan harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih
berkembang. Untuk itu dalam pembelajaran seorang guru harus bisa memperhatikan keunikan yang
dimiliki setiap peserta didik, agar setiap peserta didik mempunyai peluang yang sama untuk
berkembang.
Salah satu keunikan yang jadi perhatian dalam tulisan ini adalah gaya kognitif siswa. Tulisan
ini lebih spesifik mengkaji keunikan siswa yang bergaya kognitif reflektif vs impulsif yang
dikenalkan oleh Jerome Kagan. Kagan (1978) menjelaskan bahwa dimensi reflektif-impulsif
menggambarkan kecenderungan anak yang tetap untuk menunjukkan cepat atau lambat waktu
menjawab terhadap situasi masalah dengan ketidakpastian jawaban yang tinggi. Anak yang
memiliki karakteristik cepat dalam menjawab masalah, tetapi tidak/kurang cermat, sehingga
jawaban cenderung salah, disebut anak yang bergaya kognitif impulsif. Anak yang memiliki
karakteristik lambat dalam menjawab masalah, tetapi cermat/teliti, sehingga jawaban cenderung
betul, disebut anak yang bergaya kognitif reflektif. Keunikan tersebut memiliki kelemahan dan
kelebihan masing-masing. Anak reflektif kelemahannya lambat dalam merespon masalah, tetapi
SESI PARALEL MATEMATIKA
94
kelebihannya jawaban cenderung benar. Anak impulsif kelebihannya cepat dalam merespon
masalah, tetapi kelemahannya adalah jawaban cenderung salah.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan penulis, tentang kemampuan
matematika anak reflektif dan anak impulsif meyimpulkan bahwa: Ada perbedaan yang signifikan
kemampuan matematika antara siswa yang bergaya kognitif reflektif dan siswa yang bergaya
kognitif impulsif. Siswa yang bergaya kognitif reflektif menunjukkan kemampuan matematika
lebih baik dibanding siswa impulsif (Warli, 2010). Penelitian lain Warli (2009) tentang proses
berpikir anak reflektif dan anak impulsif dalam memecahkan masalah geometri menyimpulkan
bahwa: Siswa reflektif dalam memproses pemecahan masalah dilakukan secara analitik. Siswa
yang reflektif sangat berhati-hati pada tahap mengerjakan (banyak mencoba-coba dulu)
memperhatikan berbagai aspek, sehingga jawaban yang diperoleh cenderung sedikit, tetapi bernilai
betul. Siswa impulsif dalam memproses pemecahan masalah dilakukan secara holistik. Siswa yang
impulsif kurang cermat pada tahap mengerjakan (sedikit mencoba-coba), langsung mengerjakan,
sehingga jawaban yang diperoleh banyak, tetapi cenderung salah.
Permasalahannya adalah bagaimana membantu kelemahan dari masing-masing keunikan
anak bergaya kognitif reflektif atau impulsif? Dalam tulisan ini penulis memberikan alternatif
dengan scaffolding sebagai strategi pembelajaran untuk membantu kelemahan masing-masing
siswa yang bergaya kognitif reflektif-impulsif. Slavin (1997: 48) menjelaskan bahwa scaffolding
mengacu kepada bantuan yang diberikan oleh teman sebaya atau orang yang lebih ahli. Scaffolding
merupakan pemberian bantuan kepada seorang anak sejumlah besar bantuan pada tahap-tahap awal
pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan kesempatan kepada anak
untuk mengambil tanggung jawab setelah ia mampu melakukannya sendiri. Scaffolding untuk
belajar dan pemecahan masalah dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, memerinci masalah
ke dalam langkah-langkah, pemberian contoh, atau tindakan lain yang memungkinkan siswa
tumbuh mandiri sebagai pebelajar (siswa). Hal yang sama diungkapkan Santrock (2007: 392)
scaffolding sebagai teknik mengubah level bantuan selama sesi pengajaran; orang yang lebih ahli
(guru atau teman sebaya yang lebih pandai) menyesuaikan banyak bimbingannya dengan kinerja
siswa. Setelah kompetensi siswa meningkat, bimbingan dikurangi. Para peneliti menemukan
bahwa ketika scaffolding dipakai oleh guru dan teman sebaya dalam pembelajaran kolaboratif,
murid akan terbantu proses belajarnya.
Kelemahan anak yang bergaya kognitif impulsif adalah terlalu cepat dalam menjawab suatu
masalah, tetapi kurang cermat/akurat sehingga jawaban cenderung salah. Untuk itu kepada anak
impulsif harus diberi scaffolding berupa petunjuk, peringatan, dorongan, memerinci masalah ke
dalam langkah-langkah, pemberian contoh, atau tindakan lain yang memungkinkan siswa akan
berpikir lebih reflektif. Sebelum memberikan keputusan jawaban final, seorang guru harus dapat
menahan anak impulsif untuk lebih berpikir reflektif terhadap apa yang telah dilakukan. Sedang
kelemahan anak yang bergaya kognitif reflektif adalah terlalu lambat dalam menjawab suatu
masalah, karena lebih cermat/akurat sehingga jawaban cenderung betul. Untuk itu kepada anak
reflektif harus diberi scaffolding berupa petunjuk, peringatan, dorongan, yang memungkinkan
siswa akan berpikir lebih cepat, tetapi tetap akurat.
Scaffolding berperan tidak untuk mengubah anak bergaya kognitif reflektif menjadi impulsif,
atau sebaliknya. Secara teori gaya kognitif yang dimiliki seorang anak bersifat konsisten, sehingga
anak yang bergaya kognitif impulsif tidak bisa menjadi reflektif. Peran scaffolding hanya
memberikan bantuan bagi keunikan yang dimiliki masing-masing anak yang berbeda gaya kognitif.
Scaffolding memberikan kesempatan/peluang pada masing-masing anak untuk tetap berkembang
sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Strategi pembelajaran (matematika) adalah siasat atau kiat yang sengaja direncanakan oleh
guru, berkenaan dengan segala persiapan pembelajaran agar pelaksanaan pembelajaran berjalan
dengan lancar dan tujuannya yang berupa hasil belajar bisa tercapai secara optimal (Suherman dkk,
2001: 6). Kaitannya dengan scaffolding sebagai strategi pembelajaran merupakan suatu kiat berupa
scaffolding yang sengaja direncanakan oleh guru untuk mempersiapkan pelaksanaan pembelajaran
95
dalam upaya membantu kelemahan keunikan gaya kognitif siswa, sehingga bisa berkembang dan
mencapai tujuan secara optimal. Van Der Stuyf (2002) menjelaskan bahwa strategi pengajaran
scaffolding memberikan bantuan kepada individual berdasarkan daerah perkembangan proksimum
(ZPD). Dalam pembelajaran scaffolding memiliki makna lebih luas dalam menyediakan
scaffolding atau bantuan untuk memfasilitasi pengembangan peserta didik. Scaffolding
memfasilitasi kemampuan siswa untuk membangun pengetahuan dan menginternalisasi informasi
baru. Kegiatan yang disediakan dalam pembelajaran scaffolding bisa melampaui tingkat apa yang
bisa dilakukannya sendiri.
Vygotsky (Van Der Stuyf, 2002) mendefinisikan pembelajaran scaffolding sebagai "peran
guru dan teman sebaya dalam membantu perkembangan siswa dan menyediakan struktur
pendukung untuk sampai ke tahap atau tingkat berikutnya". Sebuah aspek penting dari
pembelajaran scaffolding adalah bahwa scaffolding bersifat sementara. Setelah kemampuan siswa
meningkatkan scaffolding yang disediakan secara progresif ditarik. Akhirnya siswa/anak mampu
menyelesaikan tugas atau menguasai konsep mandiri. Oleh karena itu tujuan dari guru saat
menggunakan strategi pengajaran scaffolding adalah berupaya untuk menjadi siswa mandiri dan
mengatur diri sendiri sebagai pemecah masalah. Sebagai pengetahuan siswa belajar meningkatkan
kompetensi, guru secara bertahap mengurangi bantuan yang disediakan.
Pada dasarnya scaffolding yang diberikan kepada siswa bersifat sementara, untuk membantu
mencapai perkembangan proksimal. Peran scaffolding sebagai strategi pembelajaran bagi anak
yang bergaya kognitif reflektif dan anak impulsif merupakan sebuah kiat penulis dalam upaya
membantu keunikan yang dimiliki anak yang berbeda gaya kognitif, sehingga bisa berkembang
mencapai tujuan secara optimal. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan scaffolding dalam
pembelajaran matematika bagi anak yang memiliki gaya kognitif impulsif atau anak yang memiliki
gaya kognitif reflektif.
METODE
Tulisan ini bermaksud untuk mendeskripsikan
scaffolding sebagai strategi dalam
pembelajaran matematika bagi anak yang memiliki gaya kognitif impulsif atau anak yang memiliki
gaya kognitif reflektif. Berdasarkan hal tersebut, jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif
yang bersifat eksploratif. Subjek penelitian adalah siswa Kelas VII SMP Negeri 6 Tuban yang
bergaya kognitif reflektif dan siswa yang bergaya kognitif impulsif. Instrumen untuk mengetahui
gaya kognitif reflektif-impulsif dikembangkan dari tes yang dibuat oleh Jerome Kagan, yaitu
MFFT (Matching Familiar Figure Test), karena MFFT merupakan instrumen yang banyak
digunakan untuk mengukur kecepatan kognitif (Kenny, 2007).
Instrumen utama penelitian adalah peneliti sendiri, dibantu instrumen bantu, meliputi: 1)
desain scaffolding tugas pemecahan masalah berupa pertanyaan, pernyataan, saran dan petunjuk
lainnya, 2) pedoman wawancara, dan 3) MFFT (penentuan subjek). Untuk memperoleh deskripsi
scaffolding sebagai strategi dalam pembelajaran matematika bagi anak yang berbeda gaya kognitif
dilakukan analisis secara kualitatif.
PEMBAHASAN
1. Karakteristik Siswa Reflektif vs Impulsif
Setiap individu mempunyai gaya kognitif yang berbeda. Bahkan kajian gaya kognitif para
ahli juga memiliki banyak perbedaan, sehingga berkembang banyak macam gaya kognitif. Namun
dalam tulisan ini penulis hanya mengakaji gaya kognitif yang dikemukakan oleh Jerome Kagan.
Santrock (2007: 156) mengatakan bahwa tak satupun dari kita yang hanya punya satu gaya belajar
dan berpikir; kita punya banyak gaya. Individu itu sangat bervariasi sehingga ada ratusan gaya
berlajar dan berpikir yang dikemukakan oleh para pendidik dan psikolog. Apabila anak hanya
memiliki satu gaya belajar, mungkin seorang guru tidak perlu repot harus mempelajari banyak
teknik, metode, pendekatan, strategi maupun model. Perbedaan inilah yang menyebabkan teori
belajar selalu berkembang.
96
Kagan (1978) mengelompokkan gaya kognitif anak menjadi 2 kelompok, yaitu: anak
reflektif atau anak impulsif. Anak yang memiliki karakteristik cepat dalam menjawab masalah,
tetapi tidak/kurang cermat, sehingga jawaban cenderung salah, disebut anak yang bergaya kognitif
impulsif. Anak yang memiliki karakteristik lambat dalam menjawab masalah, tetapi cermat/teliti,
sehingga jawaban cenderung betul, disebut anak yang bergaya kognitif reflektif. Perbedaan
karakteristik dalam berpikir sangat jelas berlawanan. Anak reflektif memiliki kelemahan lambat
dalam berpikir, karena terlalu hati-hati, sedang anak impulsif memiliki kelemahan tidak
cermat/akurat dalam berpikir dan terlalu cepat dalam mengambil keputusan. Kelemahan-kelemahan
tersebut tidak selama buruk bagi anak, karena bergantung siatusi dan masalahnya. Menurut
Santrock (2007: 156) bereaksi cepat adalah strategi buruk hanya jika menghasilkan jawaban yang
salah. Guru bisa mendorong siswa untuk mempertahankan gaya reflektifnya tapi tetap bisa
mencapai solusinya.
Tabel 1. Perbedaan Siswa Reflektif dan Impulsif
Siswa Reflektif
Siswa Impulsif
Untuk menjawab digunakan waktu lama
Cepat memberikan jawaban tanpa mencermati
terlebih dahulu
Jawaban lebih tepat (akurat)
Tidak menyukai jawaban masalah yang analog
Reflektif terhadap kesusastraan
Sering memberi jawaban salah
IQ tinggi
Menggunakan hypothesis-scaning; yaitu merujuk
pada satu kemungkinan saja
Menyukai masalah analog
Pendapat kurang akurat
Berpikir sejenak sebelum menjawab
Kurang strategis dalam menyelesaikan masalah
Kelainan dari segi kognitif
Menggunakan paksaan dalam mengeluarkan
berbagai kemungkinan
Berargumen lebih matang
Strategis dalam menyelesaikan masalah
Sumber: Kagan (Warli, 2010)
Mencermati perbedaan siswa reflektif dan siswa impulsif pada Tabel 1, siswa reflektif
memiliki banyak aspek positif yang bisa menunjang kesuksesan dalam belajar. Siswa impulsif
memiliki banyak aspek negatif dalam menunjang kesuksesan belajar. Perbedaan ini akan berakibat
pada cara belajar dari masing-masing individu. Menurut Santrock (2007: 156) dibandingkan siswa
impulsif, siswa yang reflektif lebih mungkin melakukan tugas: a) mengingat informasi yang
terstruktur, b) membaca dengan memahami dan menginterpretasikan teks, c) memecahkan masalah
dan membuat keputusan. Siswa yang reflektif lebih mungkin untuk menentukan sendiri tujuan
belajar dan berkonsentrasi pada informasi yang relevan. Siswa yang reflektif biasanya standar
kinerjanya tinggi. Banyak bukti menunjukkan siswa reflektif lebih efektif dan lebih baik dalam
pelajaran sekolah ketimbang siswa impulsif.
Perbedaan gaya kognitif siswa juga akan berakibat dalam sistem pengajaran, karena
perbedaan gaya kognitif bersifat konsisten, maka guru harus bisa mendesain pembelajaran yang
mampu mengakomodir perbedaan tersebut. Kagan (1978) menjelaskan bahwa ada dua implikasi
yang jelas dari gaya kognitif reflektif vs impulsif untuk praktek sehari-hari dalam pendidikan.
Pertama, guru paling tidak menyesuaikan diri kepada aspek perilaku anak. Guru cenderung untuk
mengkategorikan anak sebagai senang atau membosankan, taat atau tidak taat, malu atau berani,
tapi jarang mereka memperhatikan bagaimana anak impulsif dalam pendekatan konseptual untuk
penyelesaian masalah. Data yang disajikan menunjukkan bahwa anak-anak impulsif membuat
kesalahan lebih dalam membaca materi tekstual. Banyak guru menganggap bahwa perilaku ini
adalah akibat dari rendahnya motivasi, ketajaman visual yang rendah, atau "kerusakan otak". Hal
ini mendorong guru untuk mempertimbangkan relevansi dimensi refleksi vs impulsif dalam
bereksperimen yang sesuai.
97
Implikasi yang kedua adalah menyangkut tempo guru. Beberapa guru memiliki tempo yang
cepat. Mereka bergegas melalui presentasi, mengingatkan anak-anak bahwa hanya ada beberapa
menit, meninggalkan untuk menyelesaikan latihan, mendorong kecepatan, berbicara cepat, dan
menawarkan prosedur mengungkapkan ide secara cepat. Mungkin sekolah masa depan akan
menyesuaikan tempo anak dengan guru dalam rangka memaksimalkan produktivitas hasil belajar.
Berdasarkan uraikan tersebut, Kagan menyarankan guru untuk mampu menyesuaikan dengan
kecepan anak dalam belajar. Hal ini bukan hal yang mudah karena dalam satu kelas tidak hanya
dihuni oleh anak reflektif saja atau impulsif saja.
Sejalan dengan hal tersebut Santrock (2007: 157) menguraikan strategi mengajar bagi anak
impulsif: a) Pantau siswa di kelas untuk mengetahui mana anak-anak yang impulsive, b) Bicara
dengan meraka agar mau meluangkan lebih banyak waktu untuk berpikir sebelum memberikan
jawaban, c) Dorong mereka untuk menandai informasi baru saat mereka membahasnya, d) Jadilah
guru yang bergaya reflektif, e) Bantu murid untuk menentukan standart tinggi bagi kenerjanya, f)
Hargai murid yang mau meluangkan lebih banyak waktu untuk berpikir. Pujilah peningkatan
kinerja mereka, g) Bimbing siswa untuk menyusu sendiri rencana guna untuk mengurangi
keimpulsivitas. Santrock hanya memberikan saran strategi mengajar untuk anak impulsif, tetapi
tidak untuk anak reflektif. Hal ini mungkin karena anak impulsif memiliki banyak aspek negatif
(buruk) yang menunjang kesuksesan belajarnya. Artinya anak impulsif lebih banyak memiliki
kelemahan dibanding anak reflektif, sehingga dalam strategi mengajar memerlukan perhatian
khusus.
2. Scaffolding sebagai Strategi Pembelajaran
Santrock (2007: 63) mengatakan bahwa Vygotsky menganggap anak punya konsep yang
kaya tetapi tidak sistematis, tidak teratur, dan spontan. Anak akan bertemu dengan konsep yang
lebih sistematis, logis, dan rasional yang dimiliki oleh orang yang lebih ahli yang membantunya.
Sebagai hasil pertemuan dan dialog antar anak dengan penolongnya yang lebih ahli, konsep anak
akan lebih sistematis, logis dan rasional. Untuk membantu terbentuknya konsep yang lebih
sistematis, logis, dan rasional diperlukan scaffolding. Menurut Slavin (1997: 275) scaffolding
mungkin memberi siswa struktur yang lebih di awal serangkaian pelajaran dan secara bertahap
mengubah tanggung jawab kepada mereka untuk beroperasi sendiri. Arend (1997: 165) juga
mengatakan bahwa Bruner menggambarkan scaffolding sebagai suatu proses seorang siswa dibantu
untuk menguasai masalah tertentu melampaui atau kapasitas perkembangan melalui bantuan
(scaffolding) dari seorang guru atau orang yang lebih berprestasi. Merujuk pada beberapa pendapat
tersebut peran scaffolding mempu membantu siswa untuk mendapatkan konsep yang lebih
sistematis, logis, dan rasional.
Van Der Stuyf (2002) menjelaskan bahwa dalam pandangan Vygotsky, siswa tidak belajar
dalam isolasi. Sebaliknya belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial, yang berlangsung dalam
konteks yang bermakna. Interaksi sosial anak dengan orang lain yang lebih berpengetahuan atau
mampu dan lingkungan mereka secara signifikan berdampak pada cara mereka berpikir dan
menafsirkan situasi. Seorang anak mengembangkan kecerdasannya melalui konsep internalisasi
berbasis interpretasi dari aktivitas yang terjadi dalam lingkungan sosial. Komunikasi yang terjadi
dalam pengaturan dengan orang lain yang lebih berpengetahuan atau mampu (orang tua, guru,
teman sebaya, orang lain) membantu anak membangun pemahaman konsep. Arend (1997: 165)
juga menjelaskan bahwa peran dialog sosial dalam proses pembelajaran juga penting menurut
Bruner. Dia percaya bahwa interaksi sosial di dalam dan di luar sekolah menyumbang banyak
akuisisi anak bahasa dan pemecahan masalah. Dalam pembelajaran interaksi sosial dengan teman
sebaya yang lebih berpengetahuan menjadi penting untuk menunjang kesuksesan dalam belajar.
Hal ini sejalan dengan Van de Walle (2007) mengatakan ada tiga faktor yang mempengauhi
pembelajaran di dalam kelas: 1) Berfikir reflektif siswa, 2) Interaksi sosial dengan siswa lain dan
guru, 3) Penggunaan model atau alat-alat untuk belajar. Berfikir reflektif menjadi lebih meningkat
98
99
Ada beberapa alasan proses sukses scaffolding; 1) proses ini dapat memotivasi prosedur
pemecahan masalah bagi siswa, 2) metode scaffolding akan membantu tingkat kapasitas siswa dan
hubungan sosial, 3) proses scaffolding akan meningkatkan kepercayaan diri siswa dalam
menyelesaikan masalah matematika yang sulit dipecahkan, dan 4) metode pendidikan dapat
menunjukkan kesalahan dan kesalahpahaman siswa dalam menyelesaikan prosedur. Amiripour dkk
(2012).
3. Scaffolding sebagai Strategi Pembelajaran bagi Anak Impulsif vs Reflektif
Suherman dkk (2001) menjelaskan bahwa mengajarkan ilmu pengetahuan termasuk
matematika, mempunyai cara-cara yang sifatnya umum dan khusus. Keduanya harus mencakup
hakekat pemahaman kognitif, efektif, dan psikomotor. Di samping itu, tidak kalah pentingnya
bagaimana mengkomunikasikan idea atau gagasan yang dikandung oleh ilmu pengetahuan tersebut
kepada orang lain. Pada dasarnya pembelajaran adalah proses menjadikan orang lain paham dan
mampu menyebarluaskan
apa yang dipahaminya. Permasalahannya adalah bagaimana
mengkomunikasikan idea kepada seorang peserta didik yang memiliki gaya kognitif berbeda?
Scaffolding dipilih sebagai alternatif merupakan sifat khusus yang digunakan sebagai strategi
pembelajaran untuk membantu menyampaikan sebuah paham kepada peserta didik yang berbeda
gaya berpikir. Menurut Suherman (2001) sebuah strategi pembelajaran, apapun materi dan
bidangnya harus menekankan pada tiga aspek penting, yaitu: a) aspek kemampuan khusus; b) aspek
wawasan dan kemampuan umum; dan c) aspek kemampuan berkomunikasi.
Aspek kemampuan khusus menekankan pada kemampuan peserta didik dalam memahami
dan menguasai secara mendalam dan rinci tentang idea tau gagasan materi ajar. Aspek wawasan
dan kemampuan umum lebih menitikberatkan pada bagaimana pembelajar mehamami keterkaitan
materi ajar dengan materi ajar yang lain. Sedang aspek kemampuan berkomunikasi menekankan
pada kemahiran pembelajar dalam mengungkapkan idea-idea yang telah mereka pelajari, baik
secara lisan maupun tulisan. Berdasarkan pada perbedaan siswa reflektif dan impulsef terlihat
bahwa siswa reflektif memiliki banyak aspek positif yang bisa menunjang kesuksesan dalam
belajar. Pada aspek kemampuan khusus, misal: jawaban lebih tepat (akurat), berpikir sejenak
sebelum menjawab, dan strategis dalam menyelesaikan masalah. Pada kemampuan umum, misal:
IQ tinggi, dan pada aspek kemampuan berkomunikasi, misal: berargumen lebih matang, dan
reflektif terhadap kesusastraan. Siswa impulsif memiliki banyak aspek negatif dalam menunjang
kesuksesan belajar. Pada aspek kemampuan khusus, misal: cepat memberikan jawaban tanpa
mencermati terlebih dahulu, sering memberi jawaban salah, dan kurang strategis dalam
menyelesaikan masalah. Pada aspek kemampuan berkomunikasi, misal: Pendapat kurang akurat.
(lihat Tabel 1).
Berdasarkan pada analisis ketiga aspek di atas, jelas anak impulsif memiliki banyak
kelemahan yang perlu mendapat bantuan dibanding anak reflektif. Pertanyaannya adalah
scaffolding yang bagaimana yang dapat membantu kelemahan anak impulsif untuk
mengembangkan potensinya secara optimal? Scaffolding yang mengarahkan anak impulsif untuk
bisa berpikir lebih reflektif serta melakukan metakognisi, sehingga menjadi anak yang dalam
memberikan jawaban bisa mencermati terlebih dahulu, bisa memberi jawaban tidak salah, dan lebih
strategis dalam menyelesaikan masalah.
Sehubungan dengan scaffolding untuk membantu berpikir siswa lebih reflektif khususnya
bagi anak impulsif, maka seorang guru harus bersifat reflektif. Tanner and Jones (1998)
menjelaskan bahwa dalam wacana reflektif, guru harus mengelola interaksi norma-norma sosial
dan pola interaksi dalam menciptakan peluang bagi siswa untuk diri mereka sendiri dan dalam
pemikiran reflektif atau reflektif abstraksi. Para scaffolder reflektif juga menggunakan struktur
sosial dalam membatasi siswa mereka untuk bertindak sebagai ahli pemula, dan scaffolder dinamis
dalam mengkonjektur, memimpin wacana dalam kelas mereka. Mereka diberikan otonomi lebih,
bagaimanapun, mendorong beberapa pendekatan untuk masalah yang agak sulit dengan membatasi
wacana untuk menghasilkan tujuan yang direncanakan. Para scaffolder reflektif yang sangat
100
Beberapa pertanyaan scaffolding di atas, dapat membantu siswa untuk berpikir lebih
reflektif, sehingga siswa impulsif akan bisa lebih menjadi anak cermat dalam memberikan jawaban,
bisa memberi jawaban tidak salah, dan lebih strategis dalam menyelesaikan masalah. Contoh lain
yang diadaptasi dari Kiong & Yong (2001) untuk mendorong siswa lebih reflektif adalah: a)
Bagaimana menurutmu tentang? b) Bagaimana mungkin ? c) Apa yang kita lakukan? d)
101
Mengapa? e) Pikirkan! f) Apakah Anda ingat? g) Apakah Anda tahu? h) Saya tidak percaya! i)
Apa ... jika ... '?
Sejalan dengan hal tersebut, Marpaung (2011) juga mengatakan bahwa siswa belajar lebih baik
melalui interaksi dengan siswa lainnya, dan guru sebagai orang yang lebih kompeten membantu
mereka jika mereka membutuhkan, dengan memberikan mereka beberapa scaffolding metakognitif,
misalnya:
a) Apa ini ... (kata atau konsep) artinya?
b) Apa yang Anda ketahui tentang ...?
c) Dapatkah Anda mengungkapkan ... dalam kata Anda sendiri?
d) Dapatkah Anda mewakili ... dalam gambar, diagram, tabel, skema, dalam simbol matematika?
e) Apa yang diketahui dari masalah itu?
f) Apa yang tidak diketahui dalam masalah?
g) Dapatkah Anda melihat hubungan antara yang diketahui dan yang tidak diketahui?
h) Apa yang dapat Anda lakukan untuk memahami masalahnya?
i) Apakah Anda berpikir, bahwa Anda dapat memahami masalah dengan mengambil kasus?
j) Apakah Anda melihat sekarang bahwa kemungkinan untuk memecahkan masalah? Maukah
Anda mencobanya?
Pertanyaan-pertanyaan scaffolding di atas dapat dijadikan sebagai strategi dalam
pembelajaran untuk anak yang bergaya kognitif impulsif atau reflektif, sehingga keunikan dalam
berpikir yang mereka miliki tetap berkembang secara optimal dalam menggapai kesuksesan belajar.
KESIMPULAN
Setiap individu mempunyai gaya belajar atau berpikir yang berbeda-beda. Keunikan ini
harus diberi tempat dan dicarikan peluang agar dapat lebih berkembang. Untuk itu dalam
pembelajaran seorang guru harus bisa memperhatikan keunikan yang dimiliki setiap peserta didik,
agar setiap peserta didik mempunyai peluang yang sama untuk berkembang. Anak yang bergaya
kognitif impulsif memiliki karakteristik cepat dalam menjawab masalah, tetapi tidak/kurang
cermat, sehingga jawaban cenderung salah. Anak yang bergaya kognitif reflektif memiliki
karakteristik lambat dalam menjawab masalah, tetapi cermat/teliti, sehingga jawaban cenderung
betul. Keunikan tersebut memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing. Anak reflektif
kelemahannya lambat dalam menjawab masalah, tetapi kelebihannya jawaban cenderung benar.
Anak impulsif kelebihannya cepat dalam menjawab masalah, tetapi kelemahannya adalah jawaban
cenderung salah. Penulis memberikan alternatif dengan scaffolding sebagai strategi pembelajaran
dalam membantu kelemahan masing-masing siswa yang bergaya kognitif reflektif-impulsif.
Scaffolding sebagai stratetegi pembelajaran merupakan kiat memberikan batuan berbentuk
pertanyaan, petunjuk, motivasi, dan lainnya. Pertanyaan scaffolding dapat membantu siswa untuk
berpikir lebih reflektif, sehingga anak impulsif bisa lebih cermat dalam memberikan jawaban, bisa
memberi jawaban tidak salah, dan lebih strategis dalam menyelesaikan masalah. Dengan demikian
keunikan dalam berpikir yang mereka miliki tetap berkembang secara optimal dalam menggapai
kesuksesan belajar.
DAFTAR PUSTAKA
Amiripour, Parvaneh; Amir-Mofidi, Somayeh and Shahvarani, Ahmad. 2012. Scaffolding as
effective method for mathematical learning. Indian Journal of Science and Technology.
Vol. 5 No. 9 (Sep. 2012) ISSN: 0974-6846. http://www/indjst.org/archive/sep.12/17-2454amiripour-Sep12.pdf. Diakses, 9 September 2012.
Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: The McGraw-Hill
Companies, Inc.
102
Kagan, Jerome (1978) Impulsive and Reflective Children: Significance of Conceptual Tempo.
Dalam Krumboltz, J.D (Edt.) Learning and the Educational Process. Chicogo: Rand Mc
Nally & Company.
Kenny, Robert F. 2007. Digital Narrative as a Change Agent to Teach Reading to Media-Centric
Students. International Jurnal of Social Sciences Volume 2 Number 3 Tahun 2007.
Marpaung, Yansen. 2011. PMRI and Metacognitive Scaffolding. Proceeding International Seminar
and The Fourth National Conference on Mathematics Education 2011. Yogyakarta State
University. July 21-23 2011. p 631-638.
Kiong, Paul Lau Ngee & Yong, Hwa Tee. 2001. Scaffolding as a Teaching Strategy to Enhance
Mathematics
Learning
in
The
Classrooms.
http://www-ipbl-edumy/bm/penyelidikan/2001/2001_8_paul.pdf. Diakses, 9 September 2012.
Santrock, John W. 2007. Psikologi Pendidikan. Edisi Kedua. Alih Bahasa, Tri Wibisono B.S.
Jakarta: Kencana.
Slavin, Robert R. 1997. Educational Psychology Theory and Practice. Fifth Edition. Boston:
Allyn and Bacon.
Suherman, Erman dkk (2001) Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Jurusan
Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung
Tanner, Howard and Jones, Sonia. 1998. Dynamic Scaffolding and Reflective Discourse: Successful
Teaching Styles Observed Within a Project to Teach Mathematical Thinking Skills.
http://www.merga.net.au/documents/RP_Tanner_Jones_1998.pdf. Diakses, 9 September
2012.
Van de Walle, John A. 2007. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah. Edisi Keenam. Alih
Bahasa Suyono. Erlangga: Jakarta.
Van
Der
Stuyf,
Rachel
R.
2002.
Scaffolding
as
a
Teaching
Strategy.
http://www.condor.admin.ccny.cuny.edu/.../Van%20Der. Diakses, 9 September 2012.
Warli. 2009. Proses Berpikir Anak Reflektif dan Anak Impulsif dalam Memecahkan Masalah
Geometri. Paedagogi. Jurnal Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan. Vol. 5 No. 2 Sept. 2009
ISSN 1693-9689 Hal 40 - 56
Warli. 2010. Kemampuan Matematika Anak Reflektif dan Anak Impulsif. Prosiding Seminar Pend.
Matematika UMM Malang, 30 Januari 2010. 590 602
103
PENDAHULUAN
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha membudayakan manusia atau memanusiakan
manusia, pendidikan amat strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan diperlukan guna
meningkatkan mutu bangsa secara menyeluruh. Dalam Undang-undang (UU) Nomor 20 Tahun
2003 pasal 39 sampai dengan 44 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga
kependidikan menekankan tiga aspek penting dalam peningkatan mutu pendidikan di Indonesia
dilihat dari tenaga pendidik dan kependidikan, yakni kualifikasi, sertifikasi dan kesejahteraan.
Seperti yang diketahui bahwa pendidikan menduduki posisi sentral dalam pembangunan
selanjutnya mutu pendidikan nantinya berorientasi pada peningkatan sumber daya manusia.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam
proses pendidikan. Sumber daya manusia yang dimaksud adalah guru.
Guru merupakan faktor yang sangat dominan dan paling penting dalam pendidikan formal.
Hal ini disebabkan guru sering dijadikan tokoh teladan bahkan menjadi tokoh identifikasi diri bagi
diri siswa. Di sekolah guru merupakan unsur yang sangat mempengaruhi tercapainya tujuan
pendidikan selain unsur peserta didik dan fasilitas lainnya.
Keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan kesiapan guru dalam
mempersiapkan peserta didiknya melalui kegiatan belajar mengajar. Namun demikian posisi
strategis guru untuk meningkatkan mutu hasil pendidikan sangat dipengaruhi oleh kemampuan
104
profesional guru dan mutu kinerjanya. Selama ini guru dituntut memiliki kinerja yang mampu
memberikan dan merealisasikan harapan dan keinginan semua pihak terutama masyarakat umum
yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam membina anak didik.
Dalam meraih mutu pendidikan yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam
melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi tuntutan penting untuk mencapai
keberhasilan pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik menjadi tolok ukur bagi
keberhasilan kinerja yang ditunjukkan guru.
Guru pada prinsipnya memiliki potensi yang cukup tinggi untuk berkreasi guna
meningkatkan kinerjanya. Namun potensi yang dimiliki guru untuk berkreasi sebagai upaya
meningkatkan kinerjanya tidak selalu berkembang secara wajar dan lancar. Hal ini disebabkan
adanya pengaruh dari berbagai faktor baik yang muncul dalam pribadi guru itu sendiri maupun
yang terdapat diluar pribadi guru.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi di lapangan mencerminkan keadaan guru yang tidak
sesuai dengan harapan seperti adanya guru yang bekerja sambilan baik yang sesuai dengan
profesinya maupun diluar profesi mereka. Bahkan terkadang ada sebagian guru yang secara
totalitas lebih menekuni kegiatan sambilan dari pada kegiatan utamanya sebagai guru di sekolah.
Kenyataan ini sangat memprihatinkan dan mengundang berbagai pertanyaan tentang konsistensi
guru terhadap profesinya.
Di sisi lain kinerja guru pun dipersoalkan ketika memperbincangkan masalah peningkatan
mutu pendidikan. Kontroversi antara kondisi ideal yang harus dijalani guru sesuai harapan Undangundang tentang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 dengan kenyataan yang terjadi di
lapangan merupakan suatu hal yang perlu dan patut untuk dicermati secara mendalam. Jika
ditelusuri tentang faktor penyebab munculnya dilema tersebut, maka tentu saja kita dapat
memahami faktor yang berpengaruh terhadap kinerja guru. Hal inilah sebaiknya kita maka dapat
mencarikan alternatif pemecahannya. Sebaiknya faktor tersebut bukan menjadi hambatan bagi
peningkatan kinerja guru melainkan mampu meningkatkan dan mendorong kinerja guru ke arah
yang lebih baik sebab kinerja sebagai suatu sikap dan perilaku dapat meningkat dari waktu ke
waktu.
Tugas dan peran guru dari hari ke hari semakin berat, seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Sehingga guru pada saat ini haruslah memiliki kualitas baik dari segi
kualifikasi, kompetensi dan dedikasi. Sejalan dengan tugas dan peran guru yang semakin berat
maka tentu saja kebutuhan-kebutuhan terhadap guru haruslah dipenuhi. Kebutuhan-kebutuhan yang
ada pada guru diikuti dengan peningkatan kesejahteraan guru.
Oleh karena itu, kesejahteraan guru dan professional guru merupakan kebutuhan yang harus
diseimbangkan. Sejalan dengan pernyataan Majid (2008) bahwa standar guru professional
merupakan sebuah kebutuhan mendasar yang tidak bisa ditawar-tawar lagi yang diimbangi dengan
kesejahteraan guru.
Ada lima kesejahteraan pribadi dan professional guru yang meliputi:
1. imbalan jasa yang wajar dan proporsional
2. rasa aman dalam melaksanakan tugasnya
3. kondisi kerja yang kondusif bagi pelaksanaan tugas dan suasana kehidupannya
4. hubungan antar pribadi yang baik dan kondusif
5. kepastian jenjang karier dalam menuju masa depan yang lebih baik
Namun pada kenyataannya banyak permasalahan-permasalahan yang terjadi pada guru yang
menjadi sorotan atau perlu mendapat perhatian. Ada guru yang diberikan kompensasi layak namun
memiliki kinerja yang kurang baik sedangkan ada guru yang kompensasi yang diterima kurang
layak atau hanya sebatas honor mengajar dan waktu pembayaran honor juga sering tidak tepat
waktu memiliki kinerja yang baik. Demikian pula kita melihat guru, sejak pagi hari sudah
berangkat ke sekolah, kemudian pada sore harinya bahkan menjelang larut malam baru pulang ke
rumah. Kemanakah mereka, jika ditelusuri dan diamati secara seksama, banyak di antaranya
sesudah melaksanakan jam wajib di sekolah di mana mereka di tempatkan, maka sang guru
SESI PARALEL MATEMATIKA
105
bergegas menuju sekolah lain dengan tugas yang sama, yakni menambah pendapatan keluarga,
demikian seterusnya sesuah menjelang magrib, sang guru bergegas pula berangkat ke suatu tempat
Bimbingan Belajar, juga tugas yang sama dan niat yang sama untuk menambah pendapatan
keluarga.
Begitulah kondisi guru kita, dan memang tidak semua sama, ada yang berada pada kondisi
ekonomi di atas rata-rata, persentasenya sangat minim, akan tetapi kebanyakan di bawah rata-rata,
ibarat gaji, pada tengah bulan atau sepertiga bulan gaji yang diterima sudah ludes alias terkuras
untuk keperluan sehari-hari, dan bagaimana untuk tengah bulan atau sepertiga bulannya lagi, tentu
tidak lain harus bekerja keras dengan kegiatan lainnya, dengan niat yang penting halal.
Kenyataannya kesejahteraan guru masih rendah didukung kisah sedih guru honorer di Banyumas
Jawa Tengah dalam Husamah (2011) bahwa GTT yg mereka terima Rp. 200.000 setiap bulan tidak
lebih dari gaji pembantu rumah tangga paruh waktu dan banyak kisah sedih guru-guru lainnya yang
tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Kondisi di atas memberikan perhatian kepada kita tentang aspek-aspek apa yang perlu
diperhatikan dari guru yaitu kesejahteraan. Untuk sejahtera sebaiknya guru dapat melakukan
pekerjaan yang lain sesuai dengan profesinya atau menciptakan sendiri lapangan kerjanya seperti
mendirikan usaha pembuatan alat-alat permainan edukatif, membuka bimbingan belajar, menulis
buku-buku yang diterbitkan secara Nasional atau memiliki ISBN dan bidang pekerjaan lainnya
yang sesuai dengan bidang ilmunya.
Di samping itu seorang guru juga harus memiliki kinerja yang baik dalam melaksanakan
tugasnya, hal ini tercermin dari kompetensi yang dimilikinya sesuai dengan PP No. 19 tahun 2005
tentang Standar Pendidikan Nasional pasal 28 ayat 1-3 yaitu kompetensi profesional, pedagogik,
kepribadian dan sosial. Dengan demikian diharapkan pendidikan di Indonesia memiliki kualitas
yang baik.
Dalam melaksanakan tugasnya, berkualitas tidaknya seorang guru juga sangat dipengaruhi
motivasi kerja yang ada dalam dirinya. Untuk aspek motivasi berkaitan dengan dorongan muncul
dari diri seseorang adalah motivasi untuk melakukan tugas secara keseluruhan berdasarkan
tanggung jawab masing-masing. Motivasi yang mempengaruhi kinerja guru memerlukan
pengkajian lebih lanjut melalui penelitian di lapangan sehingga baik secara teoritis maupun empiris
dapat dinyatakan hubungan antara motivasi kerja dengan kinerja guru. Sedangkan kesejahteraan
merupakan bagaimana kondisi sosial ekonomi guru akan mempengaruhi kinerja guru itu sendiri.
Dalam penelitian ini hubungan motivasi kerja dan kesejahteraan terhadap kinerja guru dengan
menggunakan suatu perangkat kuesioner yang berguna untuk menentukan seberapa besar hubungan
antara variabel-variabel tersebut. Untuk itu peneliti perlu melakukan penelitian dengan judul
Hubungan motivasi kerja dan kesejahteraan terhadap kinerja guru matematika sekolah menengah
pertama di kota Pekanbaru.
Tujuan khusus dari penelitian adalah menghubungkan dan memberikan deskripsi atau
gambaran tentang motivasi kerja, kesejahteraan dan kinerja pada guru terkhusus dalam hal ini guru
matematika tingkat SMP/MTs di kota Pekanbaru. Penelitian ini juga ditujukan dapat memberikan
suatu pandangan kepada pemerhati pendidikan, depdikbud, pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat bahwa guru merupakan aset negara yang penting dalam membangun bangsa.
Secara operasional tujuan dari penelitian ini yang ingin dicapai adalah untuk memberikan
deskripsi secara umum motivasi atau dorongan yang ada pada guru yang akan mempengaruhi
kinerjanya. Kemudian kesejahteraan yang ada pada guru juga memberikan dampak dari kinerja
yang ditekuninya. Selanjutnya, diharapkan deskripsi dari motivasi, kesejahteraan dan kinerja guru
dan sejauhmana hubungan antara ketiga variabel tersebut sehingga dapat memberikan suatu
gambaran dari fenomena fenomena yang terjadi pada guru saat ini.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru, dalam rangka meningkatkan
kinerjanya, dan juga memberikan masukan berkaitan dengan adanya hubungan motivasi kerja dan
kesejahteraan terhadap kinerja guru. Selain itu manfaat lainnya juga memberikan gambaran tentang
seberapa besar hubungan antara motivasi kerja dan kesejahteraan terhadap kinerja guru sehingga
106
nantinya dapat diperlihatkan ke instansi terkait khususnya dinas pendidikan dan umumnya kepada
pemerintah daerah dan pusat untuk menindaklanjuti hasil penelitian ini agar menghasilkan sumber
daya tenaga pendidik yang lebih baik untuk ke depannya. Untuk penelitian tahap berikutnya, hasil
penelitian akan dapat memberikan gambaran lebih detail lagi bagaimana motivasi kerja guru yang
disertifikasi dengan yang belum sertifikasi, PNS dan Non-PNS sehingga juga memberi masukan
yang berarti bagi instansi yang terkait.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode statistik deskriptif kualitatif dan metode
statistik inferensial. Metode statistik deskriptif yaitu penelitian yang menggambarkan keadaan yang
sebenarnya dari fenomena objek yang diteliti dan dibandingkan dengan teori yang sesuai dengan
masalah penelitian, sedangkan metode statistik inferensial adalah metode menguji sejauh mana
hubungan antara variabel-variabel bebas dengan variable terikat.
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian dan sampel adalah sebagian atau wakil
populasi yang diteliti (Arikunto, Suharsimi 2002). Populasi dalam penelitian ini adalah guru-guru
matematika Sekolah Menengah Pertama di Kota Pekanbaru. Untuk mendapatkan data populasi,
maka penulis mencari informasi data tentang guru-guru SMP ke Dinas Pendidikan Kota Pekanbaru
khususnya guru matematika. Dari data yang diperoleh bahwa jumlah guru matematika di kota
Pekanbaru adalah 334 orang (belum teridentifikasi maksimal, prediksinya populasi lebih dari data
yang diperoleh).
Menurut Arikunto, Suharsimi (1985) jika populasinya kurang dari 100 lebih baik diambil
semua sehingga penelitiannya penelitian populasi, jika populasinya jumlahnya besar (lebih dari
100) maka jumlah sampelnya boleh diambil 10% -- 15% atau 20% -25% atau lebih tergantung pada
pada kemampuan peneliti dari segi waktu, tenaga dan dana, sempit luasnya wilayah pengamatan
dan besar kecilnya resiko yang ditanggung peneliti. Berdasarkan pendapat tersebut, maka peneliti
memutuskan mengambil sampelnya lebih dari 25% dari populasi yaitu 35% sehingga diperoleh
sampelnya berjumlah 117 orang.
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa tujuan pokok penelitian ini adalah untuk
mengungkapkan ada tidaknya hubungan antara motivasi kerja dan kesejahteraan guru terhadap
kinerja guru. Oleh karena itu, instrumen yang digunakan dalam penelitian ini disusun dalam bentuk
kuesioner yang menggunakan penilaian dengan skala Likert.
Variabel adalah obyek penelitian atau apa saja yang menjadi titik perhatian suatu penelitian.
Dalam penelitian ini ada dua macam variabel yaitu variabel bebas disebut juga variabel penyebab
atau independen variabel (X) dan variabel terikat atau dependen variabel (Y) (Arikunto, 2002).
Variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi variabel lain. Dalam penelitian ini
variabel bebasnya adalah:
a. Motivasi kerja (X1) adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri guru yang menimbulkan
profesionalisme guru pada proses pembelajaran sehingga kegiatan pembelajaran terencana dengan
baik yang pada akhirnya tujuan yang dikehendaki oleh guru maupun siswa dapat tercapai.
Oleh karena itu berdasarkan pendapat Uno, Hamzah (2011), maka disusun indikator motivasi
kerja guru sebagai berikut:
1) Tanggung jawab guru dalam melaksanakan tugas
2) Melaksanakan tugas sesuai kurikulum yang ada
3) Memiliki tujuan yang jelas dan menantang
4) Ada umpan balik atas hasil pekerjaannya
5) Memiliki perasaan senang dalam bekerja
6) Selalu berusaha untuk mengungguli orang lain
b. Kesejahteraan (X2)
Kesejahteraan merupakan kemampuan memenuhi kebutuhan primer dan sekunder, bahagia
lahir dan batin serta mampu menciptakan keharmonisan dalam kehidupan masyarakat. Seseorang
dapat dikatakan sejahtera apabila tercukupi atau terpenuhi kebutuhan lahir dan batin, sehingga
SESI PARALEL MATEMATIKA
107
merasa aman, tentram dan makmur dalam kehidupannya. Usaha manusia dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya didasari dengan motivasi. Motivasi merupakan suatu usaha yang
mengarahkan daya dan potensi, agar mau bekerja sama secara produktif berhasil mencapai dan
mewujudkan tujuan yang telah ditentukan (Nofita Amaliya,2009).
Teknik Analisis Data
a. Analisis Deskriptif
Analisis statistik yang dipakai adalah statistik persentase. Untuk menganalisa data yang telah
diperoleh maka penulis mengubah data tersebut dalam bentuk persentase dengan menggunakan
rumus persentase, yaitu :
F
100%
N
Keterangan :
P : Persentase
F : Frekuensi
N : Banyaknya sampel
(Sudijono, Anas, 2011).
b. Analisis Inferensial
Dalam penelitian ini akan digunakan regresi linear dan korelasi sederhana dan regresi linier
berganda dan korelasi linier berganda.
1.
Analisis regresi linier dan korelasi linier sederhana
Rumus regresi linier sederhana adalah :
Y = a + bX
Y
: peubah takbebas
X
: peubah bebas
a
: konstanta
b
: kemiringan
dan rumus korelasi linier sedehana dengan menggunakan korelasi product moment yaitu dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
rxy
n xy x y
n x
x n y 2 y
2
108
Ryx1x2
dimana :
Ryx1x2
: koefisien korelasi ganda antara variabel x1 dan x2
ryx1
: koefisien korelasi x1 terhadap Y
ryx
: koefisien korelasi x2 terhadap Y
rx1x2
: koefisien korelasi x1 terhadap X2
3.
Uji Signifikan
Untuk mengetahui apakah hubungan antara motivasi kerja, kesejahteraan terhadap kinerja
guru dari data sampel dapat menduga populasi perlu diketahui signifikan hubungan tersebut. Uji
signifikan dilakukan dengan uji t. Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya pengaruh
masing-masing variabel (Yohanes, 2011).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dari analisis data hasil penelitian, baik analisis secara deskriptif ataupun secara inferensial
diperoleh informasi bahwa motivasi kerja guru, kesejahteraan dan kinerja tergolong baik. Dari
analisis deskriptif dapat dikatakan bahwa motivasi kerja guru, kesejahteraan dan kinerja guru
matematika SMP di kota Pekanbaru secara umum sudah baik dan dapat ditingkatkan lagi pada
indikator-indikator tertentu dari masing-masing variabel. Contohnya pada variabel motivasi kerja
pada indikator memiliki perasaan senang dalam bekerja persentasenya 67,8% artinya 32,2%
dikategorikan kurang memiliki perasaan senang dalam bekerja, sebatas melaksanakan kewajiban
saja, dalam variabel kesejahteraan pada indikator mengembangkan komunikasi ke berbagai arah
persentasenya 71,7 % artinya 28,3% guru belum dapat mengembangkan komunikasi, baik dengan
teman sejawatnya atau dengan lembaga lain sesuai dengan kapasitasnya, baik dengan
memanfaatkan teknologi maupun secara konvensional. Sedangkan pada indikator kinerja
Kemampuan mengembangkan kreatifitas persentasenya 55,5 %, artinya guru masih belum
maksimal seperti menyusun buku atau diktat pembelajaran, melakukan penelitian sesuai bidangnya.
Dari pendapat Uno, Hamzah (2011) bahwa ada kaitan antara motivasi dengan kinerja seperti salah
satu indikator motivasi adalah adanya tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dapat
dikatakan bahwa indikator motivasi ini berkorelasi dengan kinerja guru pada indikator disiplin
dalam menjalankan tugas, seperti terdapat pada pernyataan datang ke sekolah tepat waktu dan
masuk ke kelas tepat waktu. Pada indikator kesejahteraan Pendidikan berkelanjutan dan selalu
mengembangkan diri berkorelasi dengan indikator kinerja kemampuan mengembangkan
kreatifitas artinya orang yang mempunyai keinginan melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi akan memiliki kemampuan untuk menyusun karya ilmiah yang merupakan salah satu
pernyataan pada indikator kinerja yang disebutkan diatas. Hubungan ini diperkuat lagi dengan hasil
uji inferensial.
Dari uji inferensial diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi
kerja dengan kinerja dengan rxy= 0,488 dan hubungan yang signifikan antara kesejahteraan dan
kinerja dengan dengan rxy= 0,400 dan hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dan
kesejahteraan dengan kinerja dengan koefisien korelasi berganda (R) sebesar 0,53 atau 53%.
Sedangkan kedua variabel tersebut mempengaruhi kinerja sebesar 28,1 %, artinya 71,9% diduga
dipengaruhi faktor lain, seperti kepuasan kerja, lingkungan kerja, kepemimpinan kepala sekolah,
dan lain-lain yang memerlukan penelitian tersendiri. Hasil uji inferensial ini mendukung hipotesis
penelitian yang diajukan. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
109
motivasi kerja dan kesejahteraan terhadap kinerja guru matematika sekolah menengah pertama di
kota Pekanbaru.
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa : (1) Motivasi kerja guru matematika SMP di
kota Pekanbaru tergolong tinggi yaitu rata-rata (81,13%), (2) Kesejahteraan guru matematika SMP
di kota Pekanbaru tergolong tinggi yaitu rata-rata (72,6%), (3) kinerja guru matematika SMP di
kota Pekanbaru tergolong tinggi yaitu rata-rata (78,6%). (4) Terdapat hubungan yang linier antara
motivasi kerja dengan kinerja guru dan besar pengaruhnya sebesar 23,8%, (5) Terdapat yang linier
antara kesejahteraan dengan kinerja guru besar pengaruhnya sebesar 16,6%, (6) Terdapat hubungan
yang linier antara kesejahteraan dan motivasi kerja terhadap kinerja guru besar pengaruhnya
sebesar 28,1%. Namun begitu masih banyak hal-hal yang bisa ditindaklanjuti dari penelitian ini
yaitu bagaimana kinerja guru yang sudah disertifikasi dengan yang belum disertifikasi, guru yang
PNS dengan honorer (guru bantu), guru dari SMP swasta dengan guru dari SMP negeri dan lainlain yang merupakan penelitian lanjut dari penelitian ini sehingga dapat memberi gambaran secara
menyeluruh bagaimana kinerja guru dan tindakan apa atau kebijakan yang dapat dilakukan dengan
hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Algifari. 1997. Analisis Statistik Untuk Bisnis; Dengan Regresi, Korelasi dan Nonparametrik.
Yogyakarta: BPFE.
Algifari. 1997. Statistika Induktif Untuk Ekonomi dan Bisnis. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Alma, Buchari .2009. Guru Profesional. Alfabeta. Bandung. Cetakan kedua
A.M, Sardiman 2001. Interaksi Belajar Mengajar. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
Amaliya, Nofita 2008. Pengaruh Tingkat Kesejahteraan dan Motivasi Kerja Terhadap Kinerja
Guru (Studi Kasus SMAN Malang). Universitas Negeri Malang
Araska, A. Lusita.2011. Jurus Sukses Menjadi Guru Kreatif, Inspiratif dan Inovatif. Yogyakarta.
Arikunto, Suharsimi (2002) Prosedur Penelitian. Rineka Cipta. Bandung.
Danim, Sudarwan. Pengembangan Profesi Guru dan Pra Jabatan. Kencana Prenadi Media Group.
Dwiloka,B,Riana, R.2005. Teknik Menulis Karya Ilmiah. Rineka Cipta.Jakarta. Cetakan Pertama
Hidayatullah, M.Furqan. 2010. Guru Sejati : Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas.
Yuma Pustaka. Surakarta. Cetakan ketiga
Hudoyo, Herman (1988). Mengajar Belajar Matematika, P2LPTK, Jakarta
Husamah. 2011. Teacherpreneur. Jurus Cerdas Menjadi Guru Makmur &Banyak Penghasilan.
Interprebook. Yogyakarta.
Isnawati, Nurlaela. 2010. Guru Positif-Motivatif. Laksana. Yogyakarta.
Janawi. 2011. Kompetensi Guru. Citra Guru Profesional. Alfabeta. Bandung
Kane, J.S. 1986. Performance Distribution Assessment. Dalam Berk, R.A (ed). Performance
assessment (pp 237-273). Baltmore, John Hopkins, University Perss
Maida, Kirania. 2012 Kitab Suci Guru. Motivasi Pembakar Semangat Untuk Guru. Araska Pinang
Merah Residence. Yogkarta.
Majid .2008. Perencanaan Pembelajaran. Remaja Rosdakarya. Bandung
Mason, R.D & Douglas A. Lind. 1996. Teknik Statistik Untuk Bisnis dan Ekonomi, Jilid II. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Mulyasa 2009. Menjadi Guru Profesional. Remaja Rosdakarya. Bandung. Cetakan kedelapan
Musbikin, Imam 2010 Guru yang Menakjubkan. BukuBiru. Yogyakarta
110
Muslich, Masnur. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Bumi Aksara. Jakarta.
Cetakan-1
Musfoh, J.2011 Peningkatan Kompetensi Guru. Kencana. Jakarta. Cetakan ke-1
Purwanto, Ngalim 2009. Prinsip-Prinsip & Teknik Evaluasi Pengajaran. Remaja Rosdakarya.
Bandung. Cetakan kelimabelas
Sardiman, A.R.2001. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Radja Grafindo Persada. Jakarta.
Subana, Rahadi, M .2000. Statistik Pendidikan. Pustaka Setia Bandung. Cetakan-10
Sudijono, Anas 2011. Pengantar Statistik Pendidikan. Radja Grafindo Persada. Jakarta. Cetakan
ke-23
Sudjipto, Kosasi, R.2009. Profesi Keguruan. Rineka Cipta. Jakarta
Sugiyono. 2001. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
Uno, Hamzah.2011. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Bumi Aksara. Jakarta
Usman, H. & R. Purnomo Setiady Akbar. 2000. Pengantar Statistika. Jakarta: Bumi
Aksara.
Yamin, M, Maisah .2010. Standarisasi Kinerja Guru. Gaung Persada. Jakarta
111
Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UIR; 2)Alumni Program Studi Pendidikan
Matematika FKIP UIR
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada peningkatan hasil belajar
matematika siswa dari sebelum dan sesudah dilaksanakan penerapan pembelajaran kooperatif
dengan metode CRH pada siswa kelas VII-7 SMPN 10 Pekanbaru tahun pelajaran 2011/2012
yang berjumlah 35 orang siswa dengan 14 siswa laki-laki dan 21 siswa perempuan dengan
kemampuan heterogen. Penelitian ini dilatar belakangi oleh rendahnya hasil belajar siswa pada
semester ganjil tahun pelajaran 2011/2012 dan kurangnya guru untuk menerapkan suatu model
pembelajaran dalam proses pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 03 Mei
2012 sampai dengan 28 Mei 2012. Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
yang terdiri dari dua siklus. Teknik Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
teknik pengamatan dan teknik tes. Lembar pengamatan akan dianalisis secara deskriptif yang
bertujuan untuk mendeskripsikan tentang aktivitas siswa dan guru selama proses pembelajaran
berlangsung, sedangkan tes hasil belajar akan dianalisis dengan analisis rata-rata (Mean),
Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM), untuk mengetahui ada atau tidaknya peningkatan hasil
belajar siswa sesudah penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode CRH. Hasil
penelitian menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar matematika siswa kelas VII-7 SMPN
10 Pekanbaru. Hal ini dapat terlihat dari rata-rata skor dasar yakni 45,43% pada ulangan harian
1 menjadi 66,60% kemudian meningkat pada ulangan harian 2 menjadi 75,03%. Dari hasil
penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran kooperatif dengan
metode CRH dapat meningkatkan hasil belajar matematika pada siswa kelas VII-7 SMPN 10
Pekanbaru semester genap tahun pelajaran 2011/2012.
Kata kunci: model pembelajaran kooperatif, metode Course Review Hore (CRH), Hasil
belajar
PENDAHULUAN
Pendidikan pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memberikan pengetahuan,
wawasan, keterampilan dan keahlian tertentu kepada individu guna mengembangkan dirinya
sehingga mampu menghadapi perubahan yang terjadi akibat adanya ilmu pengetahuan dan
teknologi. Oleh karena itu masalah pendidikan perlu mendapatkan perhatian dan penanganan yang
lebih baik yang menyangkut berbagai masalah yang berkaitan dengan kuantitas, kualitas, dan
relevansinya. Salah satunya masalah kualitas pembelajaran matematika.
Matematika merupakan salah satu cabang ilmu yang berperan penting bagi cabang ilmu
lainnya sehingga matematika sering disebut sebagai raja dari semua ilmu pengetahuan. Karena
peranannya yang begitu besar pada dunia pendidikan sehingga matematika menjadi pelajaran yang
wajib diikuti disemua jenjang pendidikan yang ada. Meskipun matematika mempunyai peranan
penting tetapi banyak siswa yang beranggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sukar
untuk dipelajari. Padahal sulit tidaknya pelajaran itu tergantung pada siswa sendiri, berhasil atau
tidaknya menerima pelajaran. Sehingga diperlukan peranan seorang guru untuk meyakinkan siswa
112
bahwa pelajaran matematika tidaklah sulit, karena dengan adanya fikiran-fikiran yang seperti itu
dapat mempengaruhi keberhasilan dalam proses pembelajaran matematika.
Keberhasilan proses kegiatan belajar mengajar pada pembelajaran matematika dapat diukur
dari keberhasilan siswa yang mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut. Keberhasilan itu dapat
dilihat dari tingkat pemahaman, penguasaan materi serta prestasi belajar siswa. Semakin tinggi
tingkat pemahaman maka semakin tinggi pula tingkat keberhasilan pembelajaran. Namun dalam
kenyataannya prestasi belajar matematika yang dicapai siswa masih rendah.
Adapun tujuan pembelajaran matematika yang tercantum dalam Badan Standar Nasional
Pendidikan (BSNP,2006) adalah : 1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan
antarakonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat,
dalam pemecahan masalah; 2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti atau menjelaskan gagasan dan
pernyataan matematika; 3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, memyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; 4)
Mengomunikasikan gagasan dengan symbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas
keadaan atau masalah; 5) Memiliki sikap menghargai kegunaan-kegunaan matematika dalam
kehidupan, yaitu memilki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Berdasarkan hasil observasi yang peneliti lakukan pada tanggal 3, 5 dan 6 Oktober 2011 di
kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru khususnya pada mata pelajaran matematika, peneliti melihat dalam
proses belajar mengajar, ceramah masih mendominasi cara guru dalam menyampaikan materi
pelajaran sehingga proses belajar mengajar yang terjadi belum terpusat kepada siswa tetapi
berpusat pada guru. Penyampaian materi pelajaran dengan ceramah membuat siswa menjadi bosan
ditambah lagi dengan suasana yang terjadi ketika proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan
proses belajar mengajar di kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru ini berlangsung pada siang hari. Tentu
saja kondisi ini juga mendukung kebosanan yang dirasakan oleh siswa. Ini tentu saja berdampak
pada minat siswa untuk memperhatikan penjelasan guru. Karena guru mendominasi kegiatan
pembelajaran, siswa merasa jenuh hanya beberapa orang siswa saja yang memperhatikan guru,
sebahagian dari siswa ada yang mengantuk di dalam ruang kelas, ada beberapa orang siswa yang
bercerita dengan teman sebangkunya dan ada juga yang sibuk dengan diri mereka sendiri. Hal ini
peneliti temukan ketika berada di dalam kelas, karena pada saat kegiatan observasi peneliti
memperhatikan dari belakang kelas sehingga peneliti dapat melihat kegiatan yang dilakukan siswa
di dalam ruangan kelas. Proses komunikasi yang tadinya diharapkan terjadi tidak terjadi. Hal ini
tentu saja berdampak pada hasil belajar siswa. Hasil belajar siswa masih tergolong rendah.
Rendahnya hasil belajar matematika siswa dapat dilihat dari ketercapaian KKM hasil belajar
matematika pada dua materi pokok yang telah dilaksanakan di kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru
yang terlihat pada pada tabel 1
Tabel 1. Ketercapaian KKM Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru pada Dua
Materi Pokok di Semester Ganjil Tahun Ajaran 2011/2012
Jumlah
Jumlah Siswa yang
Persentase
No.
Materi Pokok
KKM
Siswa
Mencapai KKM
Ketercapaian KKM
1.
Bilangan bulat
35
3
9,4 %
75
2.
Pecahan
35
9
28 %
Sumber : Guru mata pelajaran matematika SMPN 10 Pekanbaru
Dari Tabel 1 diatas terlihat bahwa hasil belajar matematika siswa pada setiap materi pokok
yang telah diberikan masih sangat rendah. Secara klasikal hasil belajar siswa belum mencapai
ketuntasan yang telah ditetapkan oleh guru mata pelajaran matematika dalam Kriteria Ketuntasan
Minimum (KKM) yaitu 75.
113
Penyebab rendahnya hasil belajar melalui observasi di kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru ini
khususnya pada mata pelajaran matematika adalah kurangnya partisipasi siswa untuk terlibat aktif
dalam proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan siswa cendrung menerima penjelasan yang
diberikan oleh guru dan tidak terlibat aktif selama proses pembelajaran berlangsung.
Dari hasil wawancara dan observasi, peneliti memandang perlu adanya satu perubahan pada
proses pembelajaran yang dilaksanakan, karena proses pembelajaran masih terpusat pada guru yang
mengakibatkan siswa menjadi pasif. Peneliti memandang perlunya suatu metode pembelajaran
yang dapat memberikan konstribusi dalam upaya perbaikan proses pembelajaran matematika dan
meningkatkan hasil belajar siswa yaitu dengan menerapkan model pembelajaran kooperatif dengan
metode Course Review Horey (CRH).
Dengan memperhatikan permasalahan tersebut dan dengan mengkaji kelebihannya, metode
CRH dipandang cocok untuk diterapkan di dalam pembelajaran matematika. Sehingga berdasarkan
uraian di atas peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul Penerapan Model Pembelajaran
Kooperatif dengan Metode Course Review Horey Untuk Memperbaiki Proses Pembelajaran dan
Meningkatkan Hasil Belajar Matematika siswa Kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru tahun ajaran
2011/2012.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah dengan penerapan model
pembelajaran kooperatif dengan metode CRH dapat memperbaiki proses pembelajaran dan
meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru tahun ajaran
2011/2012?
Sesuai dengan permasalahan yang diketahui, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini adalah untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar
matematika siswa kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru tahun ajaran 2011/2012 melalui penerapan
model pembelajaran kooperatif dengan metode CRH.
METODE PENELITIAN
Bentuk penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas (PTK). Wardani (2006: 14)
menyatakan bahwa Penelitian Tindakan Kelas (PTK) atau Class Action Research adalah penelitian
yang dilakukan oleh guru di kelasnya sendiri melalui refleksi diri dengan tujuan untuk
memperbaiki kinerjanya sehingga hasil belajar selalu meningkat.
Menurut Suharsimi (2010: 16) model penelitian tindakan kelas secara garis besar terdapat empat
tahapan yang lazim dilalui, yaitu (1) perencanaan, (2) pelaksanaan tindakan, (3) pengamatan, dan
(4) refleksi.
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis untuk mengetahui aktivitas guru dan siswa
selama proses pembelajaran serta ketercapaian KKM. Teknik analisis yang digunakan adalah
analisis deskriptif, yaitu teknik analisis yang bertujuan untuk menggambarkan data aktivitas guru
dan siswa selama proses pembelajaran, analisis data penghargaan kelompok dan data keberhasilan
tindakan.
Data yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah data tentang aktivitas guru dan siswa
diamati selama proses pembelajaran diperoleh dari lembar pengamatan. Dengan adanya analisis
data ini akan terlihat bagaimana guru melaksanakan proses mengajar dan bagaimana siswa
mengikuti proses belajar yang berlangsung dengan melihat kelemahan-kelemahan yang terdapat
selama proses pembelajaran yang bertujuan untuk refleksi. Pengamatan dilakukan terhadap
aktivitas guru dan siswa dengan mengisi lembar pengamatan.
Dta hasil belajar dianalisis dengan menggunakan kriteria ketercapaian KKM dan analisis
rata-rata hasil belajar siswa.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Aktivitas Guru dan Siswa
Untuk mengetahui aktivitas guru dan siswa dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif metode CRH yang dilakukan selama proses pembelajaran dapat dilihat dari hasil
114
pengamatan sebelumnya dan pada lembar hasil pengamatan. Pengamatan pada siklus pertama, dari
hasil pengamatan yaitu pada:
a.
Kegiatan Awal
Aktifitas yang dilakukan guru sudah cukup baik, namun pada saat meminta ketua kelas
untuk mempersiapkan teman-teman satu kelasnya membaca doa sebaiknya guru lebih
memperhatikan terlebih dahulu seluruh siswa agar tidak ada lagi yang tidak membaca doa, selain
itu guru juga harus tegas dalam meminta siswa mengumpulkan pekerjaan rumah yang telah
diberikan sehingga tidak ada lagi siswa yang tidak mengumpulkan pekerjaan rumah. Ketika
menyampaikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai sebaiknya guru harus lebih antusias dan
memberi penegasan karena nantinya siswa akan mengerti untuk apa mempelajari materi yang akan
disampaikan. Dalam memberikan apersepsi dan motivasi terlihat guru sudah cukup baik namun
guru harus lebih bisa memberikan contoh-contoh yang nyata agar siswa bisa mengaitkannya dalam
pembelajaran yang dilakukan serta berilah contoh yang mudah ditemukan dalam kehidupan.
b.
1)
Kegiatan Inti
Eksplorasi
Dalam kegiatan eksplorasi yang dilaksanakan oleh guru terlihat dalam penyampaian materi
guru belum bisa mengoptimalkan waktu, guru terlalu lama dalam menyampaikan materi sehingga
waktu yang tadinya direncanakan tidak terlaksana sebagaimana semestinya. Guru harus lebih
meningkatkan aktifitasnya ketika berinteraksi dengan siswa secara lebih baik agar siswa mampu
untuk bertanya dan mempunyai keinginan untuk bertanya terhadap materi yang belum mereka
kuasai.
2) Elaborasi
Dalam kegiatan elaborasi, aktifitas yang dilakukan guru belum berjalan sesuai dengan
rencana. Guru belum bisa bersikap adil dalam membimbing peserta didik bekerja di dalam
kelompoknya. Guru belum bisa mengkondisikan siswa untuk bekerja di dalam kelompoknya
sehingga ditemukannya siswa yang bermain-main ketika mengerjalakan pekerjaan kelompoknya
dan ada juga siswa yang hanya menunggu jawaban dari teman kelompoknya sehingga siswa tidak
memahami materi yang dipelajari. Selain itu dalam menunjuk perwakilan dari masing-masing
anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya terlihat guru belum tegas. Dalam
meminta siswa mengumpulkan LKS maupun CRH guru harus lebih tegas dan tidak membuangbuang waktu, selain itu soal CRH yang diberikan sebaiknnya diperhatikan lagi agar tidak
menimbulkan jawaban ganda.
3) Konfirmasi
Tahapan konfirmasi yang dilaksanakan oleh guru belum berjalan dengan baik sebagaimana
semestinya. Guru belum bisa memberikan umpan balik dan penguatan kepada siswa, selain itu juga
guru belum bisa secara baik menjadi fasilitator dalam menjawab pertanyaan dari peserta didik yang
mengalami kesulitan.
c.
Kegiatan Akhir
Guru belum bisa melaksanakan kegiatan akhir dengan baik. Kegiatan akhir yang
dilaksanakan guru pada setiap kali pertemuan belum berlangsung sesuai dengan RPP. Guru masih
sulit memberi kesimpulan dan mengajak siswa dalam membuat kesimpulan. Selain itu dalam
meminta siswa untuk mempelajari materi berikutnya guru juga belum sepenuhnya baik dalam
melaksanakan tahapan ini.
Adapun hasil pengamatan guru pada siklus kedua, yaitu :
a. Kegiatan Awal
Secara menyeluruh kegiatan yang dilakukan guru pada kegiatan awal ini sudah lebih baik
dari pada siklus pertama. Guru sudah mampu memberi penegasan ketika menyampaikan tujuan
115
pembelajaran sehingga siswapun mengerti untuk apa mempelajari materi ini. Sikap siswa juga
sudah mulai baik, siswa berdoa dengan tertib dan siswa sudah sadar untuk mempersiapkan dirinya
mengikuti pembelajaran yang akan dilaksanakan.
b. Kegiatan Inti
1) Eksplorasi
Dalam menyampaikan materi pembelajaran guru telah mampu menyampaikannya dengan
benar, guru menjelaskan materi secara garis besar sehingga waktu yang direncanakan berjalan
sesuai dengan rencana. Guru sudah mampu mengoptimalkan waktu. Selain itu sikap yang
ditunjukkan oleh siswa ketika memperhatikan guru sudah baik. Siswa sudah disiplin dan tidak
bermain-main lagi sehingga proses pembelajaran berlangsung dengan benar dan menyenangkan.
2) Elaborasi
Kegiatan elaborasi yang dilaksanakan guru pada siklus kedua ini sudah baik. Guru sudah
mulai tegas ketika meminta siswa mengumpulkan LKS dan lembar jawaban CRH. Selain itu juga
guru sudah mampu bersikap adil dalam membimbing siswa dalam mengerjakan LKS sebagai tugas
individunya. Dalam membacakan soal CRH guru sudah baik sehingga tahapan pelaksanaan CRH
ini berjalan dengan benar. Aktifitas yang dilaksanakan oleh siswapun sudah baik. Siswa sudah
mampu mempresentasikan hasil dari kerja kelompok mereka secara lebih baik, dalam mengerjakan
LKS siswa sudah mulai tenang dan tidak hanya menunggu jawaban dari teman sekelomponya.
Siswa sudah terbiasa dengan metode pembelajaran ini sehingga interaksi yang terjadi juga berjalan
dengan baik.
3) Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi guru sudah mampu memberikan umpan balik positif dengan baik.
Penguatan yang diberikan oleh guru kepada siswapun berjalan dengan baik sehingga minat peserta
didik untuk mengikuti pembelajaran meningkat. Guru yang bertugas sebagai fasilitator telah
melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menjawab pertanyaan peserta didik yang mengalami
kesulitan.
c.
Kegiatan Akhir
Kegiatan akhir yang dilaksanakan pada siklus kedua ini sudah berjalan dengan benar. Guru
sudah mampu membimbing siswa dalam membuat kesimpulan. Selain itu ketika meminta siswa
untuk mempelajari materi berikutnya guru sudah terlihat tegas sehingga siswa pun memperhatikan
dengan baik penjelasan yang diberikan oleh guru .
Dari uraian di atas dari pertemuan ke 1 hingga pertemuan ke 6 terlihat bahwa aktivitas guru
dan siswa secara keseluruhan sudah berjalan dengan baik dan sudah sesuai dengan rencana
pelaksanaan pembelajaran yang telah dibuat oleh guru yang bersangkutan dan sesuai dengan
ketentuan tata cara kelompok kooperatif dengan metode CRH.
2. Analisis Keberhasilan Tindakan
a. Analisis Ketercapaian KKM Setiap Indikator Pada UH I dan UH II
Analisis keberhasilan tindakan pada siklus I dan II dalam penelitian ini dianalisis dengan
melihatjumlah siswa yang mencapai KKM sesuai dengan yang ditetapkan sekolah yaitu 75 dari
nilai hasil belajar siswa pada nilai dasar, Ulangan Harian I dan II.
Ketuntasan belajar siswa dapat juga dilihat dari analisis hasil belajar matematika siswa untuk
setiap indikator. Adapun hasil belajar siswa untuk setiap indikator pada ulangan harian I dan
ulangan harian II dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3 berikut
Tabel 2. Analisis Ketuntasan Belajar Matematika Siswa Ulangan Harian I untuk setiap Indikator Soal
Jumlah Siswa
Persentase
No.
Indikator Ketercapaian
Tuntas
Ketercapaian
1
Menjelaskan pengertian segitiga
28
80%
2
Menjelaskan jenis-jenis segitiga berdasarkan sisi-sisinya dan
6
17,14%
SESI PARALEL MATEMATIKA
116
3
4
5
6
besar sudutnya
Mengidentifikasi sifat-sifat segitiga
Menggunakan hubungan sudut dalam dan sudut luar segitiga
Menemukan rumus keliling dan luas segitiga
Menghitung keliling dan luas segitiga dalam pemecahan
masalah
Sumber : Data olahan peneliti
9
25
30
25,71%
74,29%
85,71%
22,86%
Tabel 3 Analisis Ketuntasan Belajar Matematika Siswa Ulangan Harian II untuk setiap Indikator Soal
Jumlah Siswa
Persentase
No
Indikator Pembelajaran
Tuntas
Ketercapaian
Siswa dapat melukis segitiga yang diketahui tiga sisinya, dua
1
18
51,43%
sisi satu sudut apitnya atau satu sisi dan dua sudut
Melukis garis tinggi, garis bagi, garis berat, dan garis sumbu
2
20
57,14%
suatu segitiga
3
Melukis segitiga sama kaki dan segitiga sama sisi
26
74,29%
Sumber : Data olahan peneliti
Dari tabel 4 di atas terlihat bahwa jumlah siswa yang mencapai KKM mengalami
peningkatan dari skor dasar ke ulangan harian I dan dari ulangan harian I ke ulangan harian II.
Jumlah siswa yang mencapai KKM 75 pada ulangan harian II meningkat dari pada ulangan harian
I. Dari skor dasar ke ulangan harian I terjadi peningkatan 3 orang yang tuntas KKM dengan
persentase peningkatan sebesar 8,57% sedangkan dari ulangan harian I ke ulangan harian II terjadi
peningkatan 14 orang yang tuntas KKM dengan persentase peningkatan sebesar 40%, maka dari
penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa hasil belajar matematika siswa meningkat melalui
penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode Course Review Horey (CRH).
c. Analisis Rata-rata Hasil Belajar
Berdasarkan hasil Ulangan Harian I dan II serta skor dasar yang diperoleh siswa, dapat
dilihat peningkatan hasil belajar matematika siswa dengan menggunakan rata-rata. Adapun ratarata hasil belajar siswa pada skor dasar, ulangan harian I dan II dapat dilihat pada tabel 5 berikut:
Tabel 5 Analisis Rata-rata Hasil Belajar Siswa Pada Skor Dasar, UH I dan UH I
Skor Dasar
UH I
UH II
Rata-rata Hasil Belajar
45,43
66,60
75,03
Sumber : Data olahan peneliti
Berdasarkan tabel 5 di atas terlihat bahwa rata-rata hasil belajar matematika siswa setelah
dilakukan tindakan yaitu pada siklus I yang terlihat dari hasil ulangan harian I dan siklus II yang
terlihat dari UH II terjadi peningkatan dibandingkan dengan sebelum tindakan (skor dasar). Hal ini
jelas menyatakan bahwa rata-rata hasil belajar siklus I meningkat dibandingkan dengan skor dasar
yaitu sebesar 21,17 dan rata-rata hasil belajar siklus II yaitu sebesar 8,43. Dengan demikian dapat
SESI PARALEL MATEMATIKA
117
disimpulkan bahwa hasil belajar siswa dapat ditingkatkan dengan penerapan model pembelajaran
kooperatif dengan metode CRH.
Dari analisis data tentang aktivitas siswa dan guru yang telah terjadi terlihat berjalan sesuai
dengan perencanaan. Berdasarkan pengamatan peneliti, terlihat siswa lebih bersemangat dalam
belajar dan lebih berpartisipasi dalam proses pembelajaran. Dalam mengikuti setiap aktivitas
pembelajaran siswa berusaha memahami materi dengan cara bertanya pada teman, bertanya kepada
guru, menyimak penjelasan teman yang mempresentasikan hasil diskusi.
Dari analisis data yang diperoleh menunjukkan bahwa adanya peningkatan hasil belajar
matematika siswa kelas VII7 SMP Negeri 10 Pekanbaru semester genap tahun pelajaran 2011/2012
setelah dilaksanakan tindakan kelas melalui pembelajaran kooperatif dengan metode CRH. Hal ini
terlihat dari jumlah siswa yang mencapai KKM mengalami peningkatan pada sikuls II dari skor
dasar, dimana pada ulangan harian II siswa mencapai KKM sebanyak 23 orang siswa atau 65,71%.
Jumlah tersebut meningkat dari siswa yang mencapai KKM pada skor dasar yaitu 6 orang atau
17,14% dan 9 orang siswa pada siklus I atau 25,71% pada ulangan harian I.
Berdasarkan uraian di atas, penerapan pembelajaran kooperatif dengan metode CRH
merupakan salah satu cara yang dapat diterapkan guru untuk meningkatkan hasil belajar dalam
mata pelajaran matematika.
Dalam penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode CRH, terlihat siswa tidak
hanya menunggu informasi dari guru, melainkan siswa harus terlibat aktif dalam mencari
informasi. Dalam hal ini siswa akan terbiasa untuk mengeluarkan idea tau gagasan, selanjutnya
siswa akan terbiasa untuk bekerja same dalam kelompok. Dengan penerapan model pembelajaran
ini, siswa menjadi lebih aktif dan mampu tampil di depan kelas untuk mempresentasikan hasil kerja
mereka. Sebagaimana yang dikemukan oleh (Rachmad, 2009: http://wywld.wordpress.com)
metode CRH merupakan suatu metode pembelajaran yang dapat menciptakan suasana kelas
menjadi meriah dan menyenangkan karena setiap siswa yang dapat menjawab benar maka siswa
tersebut diwajibkan berteriak horey atau yel-yel lainnya yang disukai sehingga metode CRH ini
merupakan salah satu metode pembelajaran yang dapat memberikan konstribusi yang baik dalam
meningkatkan hasil belajar siswa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil belajar matematika siswa dapat
ditingkatkan dengan model pembelajaran kooperatif dengan metode CRH. Jadi, hasil analisis
tindakan ini mendukung hipotesis tindakan yang diajukan yaitu penerapan model pembelajaran
kooperatif dengan metode CRH dapat memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil
belajar matematika siswa kelas VII7 SMPN 10 Pekanbaru khususnya pada materi pokok bangun
datar segitiga semester genap tahun ajaran 2011/2012.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa
penerapan model pembelajaran kooperatif dengan metode course review horey dapat memperbaiki
proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar matematika siswa kelas VII7 SMP Negeri 10
Pekanbaru tahun ajaran 2011/2012.
Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti menyarankan kepada
pembaca :
1. Dalam penerapan pembelajaran model kooperatif dengan metode CRH, sebaiknya guru
memperhatikan pembagian waktu dalam kerja kelompok, penyajikan hasil diskusinya, dan
pengerjaan dari soal CRH sehingga siswa mempunyai kesempatan yang cukup untuk
menunjukkan penguasaan konsep yang dimilikinya di depan kelas.
2. Supaya guru memperhatikan lagi soal CRH yang dibuat jangan sampai ada jawaban ganda
yang membingungkan siswa dalam menjawabnya.
3. Supaya guru lebih mempertegas siswa dalam penulisan nomor soal secara acak dan juga guru
membacakan soal CRH secara acak
118
4. Penerapan pembelajaran model kooperatif dengan metode CRH dapat menjadi salah satu
model pembelajaran yang dapat diterapkan untuk proses pembelajaran di sekolah dalam rangka
meningkatkan hasil belajar matematika
5. Model pembelajaran ini dapat dijadikan sebagai salah satu model pembelajaran yang dapat
digunakan untuk membiasakan siswa bekerja sama diantara sesama siswa dengan pertanggung
jawaban individu.
DAFTAR PUSTAKA
Amir Amjad, dkk. (2010). Buku Panduan Akademik, PPL & Ilmu Pendidikan. Pekanbaru : FKIP
UIR PRESS
Anita Lie. (2010). Cooperative Learning Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-ruang
Kelas. Jakarta : Grasindo
Agus Suprijono. (2010). Cooperative learning Teori dan Aplikasi Paikem. Surabaya: Pustaka
Belajar
BSNP. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta : Pusat Kurikulum Balitbang
Depdiknas
Dimyati & Mudjiono. (2010). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta
Dola Nevia Andini. 2010. Model Pembelajaran Course Review Horey.
http://idrismatematika.blogspot.com/2011/01/model-course-review-horay.html (26
November 2011)
Gitta Faolina. (2011). Model Pembelajaran Course Review Horey.
http://gittafaolina.blogspot.com/2011/11/model-pembelajaran-course-review-horay
Kunandar. (2011) .Penelitian Tindakan kelas sebagai pengembangan profesi guru. Jakarta :
Rajawali Pers
Latifa Rachmawati. (2009). Model Pembelajaran Course Review Horey.
http://etd.eprints.ums.ac.id/2919/ (15 Januari 2011)
Nana Sudjana. (2008). Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Nana Sudjana. (2009). Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya
Oemar Hamalik. (2009). Proses Belajar Mengajar. Jakarta : Bumi Aksara
Rachmad Widodo. (2007). Model Pembelajaran Course Review Horey.
http://wywld.wordpress.com/2009/11/10/model-pembelajaran-20-course-review-horay/ (3
Januari 2011)
Rusman. (2011). Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta :
Grafindo Persada
Slameto. (2010). Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta
Slavin, RE. (1995). Cooperative Learning theory, Research and Practice. America: Ally and
Bacon
Slavin, RE. (2010). Cooperative learning Teori Riset dan praktik. (Narulita Yusron. Terjemahan).
Bandung : Nusa Media
Suharsimi Arikunto, dkk. (2010). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara
Syaiful Sagala. (2009). Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan. Bandung :
Alfabeta
Wardani, dkk. (2006). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
119
120
Pendidikan Fisika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta; 3) Pendidikan Matematika UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta
E-mail: adib_udin08@yahoo.co.id
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengembangkan modul astronomi yang berbasis
integrasi interkoneksi; (2) mengetahui kualitas modul yang telah dikembangkan; (3)
mengetahui respon mahasiswa terhadap modul yang dikembangkan. Penelitian ini merupakan
penelitian pengembangan atau Research and Development (R&D).Desain penelitian yang
digunakan mengadaptasi pada pengembangan perangkat model 4-D ( Define, Design, Develop,
and Disseminate). Model ini menggunakan 4 tahap pengembangan yakni pendefinisian,
perancangan, pengembangan, dan penyebaran. Untuk mengetahui data kualitas modul yang
dikembangkan, maka digunakan metode angket. Kemudian dilakukan uji terbatas kepada 6
mahasiswa dan diujiluaskan kepada 30 mahasiswa yang mengambil mata kuliah astronomi.
Kata kunci: Modul, Astronomi, Integrasi-Interkoneksi, Azimuth Matahari.
PENDAHULUAN
Pendidikan, khususnya di tingkat perguruan tinggi diharapkan memberikan output yang
dapat menerapkan ilmunya untuk kemaslahatan umat di lingkungan sekitarnya. Hal ini sesuai
dengan Tri Dharma perguruan tinggi yang salah satunya adalah pengabdian masyarakat. Salah satu
mata kuliah di UIN Sunan kalijaga Yogyakarta yang diharapkan mampu memenuhi harapan
tersebut adalah mata kuliah Astronomi. Melalui Astronomi, mahasiswa mempelajari berbagai
fenomena benda langit serta manfaatnya bagi kehidupan masyarakat, khususnya Islam yang banyak
menggunakan Ilmu Astronomi dalam penentuan peristiwa besar. Peristiwa besar yang
menggunakan ilmu astronomi diantaranya adalah penentuan awal bulan qomariyah, waktu sholat
dan penentuan arah kiblat.
Arah kiblat merupakan fenomena yang banyak mengemuka belakangan ini. Banyak masjidmasjid di sekitar kita yang belum sempurna arah kiblatnya. Hal ini terbuti dengan banyaknya
masjid yang memiringkan shofnya ke arah kiblat dan tidak sesuai dengan arah bangunan. Hal ini
dikarenakan proses penentuan arah kiblat pada zaman dahulu masih menggunakan alat yang tidak
mempunyai ketelitian yang tinggi seperti kompas dan rubuk mujayyab yang terbukti tidak sesuai
alat pengukuran arah kiblat zaman sekarang. Dengan semakin berkembangnya teknologi saat ini,
banyak metode yang digunakan untuk mengukur arah kiblat dengan perlengkapan modern seperti
Theodolit, GPS dan sebagainya. Sayangnya metode-metode yang digunakan belum bisa
diimplementasikan kepada masyarakat luas karena mahalnya alat dan perlengkapan yang
digunakan. Pengukuran arah kiblat saat ini hanya mampu dilakukan oleh pihak terkait (Kementrian
Agama) yang merupakan pihak yang memang menangani masalah tersebut dan memiliki fasilitas
yang dibutuhkan. Melihat fenomena tersebut banyak ilmuan fisika khususnya dosen dan praktisi
astronomi mencoba untuk melakukan terobosan baru dalam penentuan arah kiblat. Salah satu
metode yang dikembangkan adalah dengan menggunakan azimuth matahari. Kelebihan dari
azimuth matahari adalah pengukuran yang dilakukan tidak menggunakan alat yang mahal, cukup
121
dengan alat yang sederhana dan dengan metode yang sederhana pengukuran arah kiblat sudah
dapat dilakukan. Namun demikian, ada beberapa kendala yang dihadapi. Salah satunya adalah
belum adanya media yang memadai untuk menyampaikan konsep azimuth matahari kepada
mahasiswa dan masyarakat sehingga mahasiswa masih merasa kesulitan dalam memahami dan
mengimplementasikan konsep tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, makalah ini akan membahas tentang pengukuran arah kiblat
menggunakan azimuth matahari. Diharapkan dapat menciptakan suatu media yang dapat
mengembangkan kemampuan mahasiswa untuk bereksperimen, serta dapat membantu mahasiswa
menerapkan ilmu yang didapat di bangku kuliah di lingkungan masyarakat dengan metode yang
mudah dan biaya yang cukup terjangkau.
LANDASAN TEORI
1. Pembelajaran Fisika
Pada hakikatnya belajar fisika sama halnya belajar sains, karena fisika merupakan
bagian tak terpisahkan dari sains. Fisika adalah ilmu yang paling fundamental dan mencakup
semua sains (Siregar, 2003). Hal yang dipelajari dalam sains adalah sebab-akibat, hubungan kausal
dari kejadian-kejadian yang terjadi di alam. Fisika termasuk pengetahuan yang memerlukan
intelektualitas yang tinggi sehingga sebagian besar siswa mengalami kesulitan mempelajarinya.
(Sutarto, 2005) menyatakan bahwa:
Fisika mencakup tiga pengetahuan yaitu pengetahuan sosial yang didasarkan obyek
atau peristiwa, pengetahuan fisik yang didasarkan pada pengalaman langsung
tentang obyek atau peristiwa, dan pengetahuan logika-matematika yang melibatkan
kemampuan berabstraksi atau banyak melibatkan kemampuan dalam melakukan
gambaran mental.
Belajar fisika bukan hanya sekedar bisa matematika, tetapi lebih jauh siswa diharapkan
mampu memahami konsep yang terkandung di dalamnya, memahami permasalahan dan
menyelesaikannya
secara
matematis. Tujuan fisika yakni mengamati, memahami, dan
memanfaatkan gejala-gejala alam yang melibatkan zat dan energi. Fisika dipandang sebagai suatu
proses dan sekaligus produk sehingga dalam pembelajarannya harus mempertimbangkan
strategi atau metode pembelajaran yang efektif dan efesien. Carin dan Sund mendefinisikan
IPA sebagai pengetahuan yang sistematis, dan tersusun secara teratur, berlaku umum (universal),
dan kumpulan dari data observasi dan eksperimen.
2. Modul
Modul dirumuskan sebagai salah satu unit lengkap yang berdiri sendiri, terdiri dari
rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu peserta didik dalam mencapai
sejumlah tujuan belajar yang telah dirumuskan secara spesifik dan rasional (Basyirudin
Umar,2002).
Menurut Vembrianto (1985) ciri-ciri pembelajaran modul adalah:
a) Modul merupakan paket pembelajaran
b) Adanya pengakuan atas perbedaan individual anak
c) Memuat rumusan atas perbedaan individual anak
d) Adanya asosiasi struktur dan urutan pengetahuan, penggunaan berbagai macam media
e) Adanya partisipasi aktif dari peserta didik dalam proses belajar mengajar
f) Adanya reinforcement langsung terhadap respon mahasiswa
g) Adanya evaluasi terhadap penguasaan siswa atau hasil belajar
Menurut Muhammad Rasyid (2010) sebuah modul bisa dikatakan baik dan menarik
apabila terdapat karakteristik sebagai berikut:
a) Self Instructional: yaitu melalui modul tersebut sesorang atau peserta belajar mampu
membelajarkan diri, tidak tergantung pada pihak lain
122
b) Self Contained: yaitu seluruh materi pembelajaran dari satu unit kompetensi atau sub
kompetensi yang dipelajari terdapat di dalam satu modul secara utuh.
c) Stand Alone (berdiri sendiri): yaitu modul yang dikembangkan tidak tergantung pada
media lain atau tidak harus digunakan bersama-sama dengan media pembelajaran lain.
d) Adaptive: modul hendaknya memiliki daya adaptif yang tinggi terhadap perkembangan
ilmu dan teknologi.
e) Use Friendly: modul hendaknya bersahabat dengan pemakainya.
3. Integrasi Interkoneksi
Menutut Abudin Nata (2010) Pendekatan integrasi interkoneksi merupakan upaya
mempertemukan antara ilmu ilmu agama dan ilmu umum termasuk di dalamnya ilmu fisika.
Dengan adanya interaksi antara ilmu agama dengan ilmu fisika ini diharapkan dapat memperkuat
satu sama lain, sehingga bangunan keilmuan masingmasing akan semakin kokoh.
Implementasi pendekatan integrasi interkoneksi antara ilmu fisika dan ilmuilmu agama
dapat dilakukan pada level materi maupun filosofi. Beberapa kemungkinan yang dapat
dikembangkan antara lain:
a. Konsepkonsep ilmu fisika diintegrasi interkoneksikan dengan konsep-konsep ilmu agama
b. Konsep-konsep ilmu fisika diintegrasi-interkoneksikan dengan filosofi atau nilai-nilai yang
terkandung dalam konsep-konsep ilmu agama
c. Nilai-nilai yang terkandung dalam konsep-konsep ilmu fisika diintegrasi-interkoneksikan
dengan konsep-konsep ilmu agama
d. Filosofi (nilai-nilai) yang terkandung dalam konsep-konsep ilmu fisika diintegrasiinterkoneksikan dengan filosofi (nilai-nilai) yang terkandung dalam konsep-konsep ilmu
agama.
Pada tiap level diatas, dapat dikembangkan menjadi enam kemungkinan model integrasiinterkoneksi, yaitu similarisasi, parerelisasi, komplementasi, komparasi, induktifikasi dan verifikasi
(Pokja UIN, 2010).
4. Azimuth Matahari
Azimuth sebuah benda langit adalah jarak dari titik utara ke lingkaran vertikal yang dilalui
benda langit tersebut, diukur sepanjang lingkaran horizon searah perputaran jarum jam melalui titik
timur, titik selatan, sampai ke titik barat (Jamil, 2009). Dalam buku lain juga disebutkan bahwa
azimuth atau As Samtu adalah arah, yaitu harga suatu sudut untuk matahari atau bulan yang
dihitung sepanjang horizon atau ufuk. Biasanya diukur dari titik utara ke timur sampai pada titik
perpotongan antara lingkaran vertikal yang melewati matahari dengan lingkaran horizon
(Muhyiddin Khozin, 2005).
Sedangkan azimuth matahari merupakan besarnya arah matahari pada suatu tempat dan
waktu di permukaan bumi. Dengan adanya azimuth matahari ini, maka cara pengukuran arah kiblat
dapat ditentukan dengan mudah, yaitu dengan menyesuaikan azimuth matahari dengan azimuth
kabah pada suatu tempat di permukaan bumi.
METODE
Penelitian merupakan penelitian Riset dan Pengembangan (R&D), yaitu metode
penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan
produk tersebut (Sugiyono, 2008). Hasil akhirnya berupa modul Astronomi berbasis integrasi
interkoneksi dengan tema pengukuran arah kiblat menggunakan azimuth matahari.
Harapannya dengan adanya modul ini nantinya akan mempermudah mahasiswa dalam
memahami materi azimuth matahari dan dapat mengimplementasikannya dalam kehidupan
masyarakat. Adapun prosedur pengembangan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam
pembelajaran astronomi terutama pada konsep azimuth matahari
123
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Nilai
Kategori Kualitatif
Sangat Baik
Baik
Cukup
Kurang
Sangat Kurang
Keterangan :
= skor responden
= Mean ideal.
Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan cara menghitung jumlah skor yang
diperoleh dibagi dengan jumlah skor ideal untuk seluruh item dikalikan 100%. Seperti yang tertera
dalam buku Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan oleh Suharsimi Arikunto (2007: 236) secara
matematis dituliskan persamaan :
Presentasi Tingkat Penilaian = %
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini telah berhasil mengembangkan produk media pembelajaran berupa Modul
Astronomi Berbasis Integrasi Interkoneksi dengan Tema Pengukuran Arah Kiblat Menggunakan
Azimuth Matahari. Materi yang dibahas dalam modul adalah Mekanika Benda Langit yang
meliputi Hukum Kepler, Geometri Bola Langit, Azimuth Matahari, serta Pemanfaatan azimuth
matahari untuk mengukur arah kiblat. Pada bagian akhir modul diberikan langkah-langkah untuk
mengukur arah kiblat menggunakan azimuth matahari yang mudah dan dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari.
124
Pengembangan modul dilakukan secara prosedural, artinya tiap tahapan dalam penelitian
dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan pada metode penelitian.
Kualitas modul diperoleh berdasarkan penilaian dari reviewer (Ahli Materi, Ahli Media, Ahli
Integrasi Interkoneksi, dan Dosen Mata Kuliah Astronomi) dengan mengisi angket kualitas modul
astronomi serta memberikan saran dan masukan dalam pengembangan media, yang akhirnya nanti
diujikan kepada mahasiswa mata kuliah astronomi dalam uji terbatas dan uji luas untuk mengetahui
respon mahasiswa.
Berdasarkan tinjauan ahli materi aspek kelayakan isi memperoleh presentase keidealan
sebesar 89% . sedangkan untuk aspek penyajian memperoleh presentase keidealan sebesar 85%.
Penilaian kualitas modul untuk ahli materi banyak dikomposisikan untuk menilai isi materi secara
garis besar dan sedikit tentang media secara umum. Langkah ini diambil untuk memaksimalkan
penilaian isi modul dan cara penyajiannya. Masukan yang diberikan oleh ahli materi terhadap
pengembangan modul astronomi adalah mengenai materi Geometri Bola Langit yang ada sedikit
kesalahan pada wilayah gambarnya. Kemudian juga pada materi segitiga bola yang diharapkan ada
penurunan rumus untuk mendapatkan nilai yang sesuai dengan yang tercantum pada modul.
Masukan selanjutnya adalah pada pelaksanaan eksperimen yang diusahakan menggunakan bandul
saja dari pada tongkat, hal ini dikarenakan penggunaan bandul akan mendapatkan hasil yang lebih
presisi dari pada tongkat. Berdasarkan masukan-masukan dari ahli materi, peneliti langsung
melakukan revisi materi, diantaranya perbaikan gambar pada materi geometri bola dan perbaikan
pada langkah-langkah pada eksperimen. Kemudian untuk rumus pada segitiga bola tetap peneliti
pertahankan dengan alasan agar mahasiswa aktif menurunkan rumus tersebut agar lebih menguasai
materi tentang segitiga bola. Berdasarkan teknik analisa data dan skor ahli materi, secara
keseluruhan modul astronomi dikategorikan memiliki kualitas Sangat Baik (SB).
Berdasarkan tinjauan ahli media aspek bahasa dan gambar memperoleh presentase keidealan
sebesar 83,80% . sedangkan untuk aspek kegrafisan memperoleh presentase keidealan sebesar
88,30%. Penilaian kualitas modul untuk ahli media banyak dikomposisikan untuk menilai desain
dan tampilan modul secara umum. Langkah ini diambil untuk memaksimalkan penilaian desain dan
cara penyajiannya. Masukan yang diberikan oleh ahli media terhadap pengembangan modul
astronomi adalah mengenai penulisan yang masih banyak kesalahan dan bahasa yang kurang tepat.
Selain itu ahli media juga memberikan masukan tentang kualitas gambar yang ada pada modul agar
diberi garis tepi supaya dapat diperhatikan dengan jelas oleh mahasiswa. Secara keseluruhan,
kualitas modul yang banyak mendapatkan masukan dan saran adalah tentang gambar yang
dianggap kurang jelas dalam penyajiannya. Berdasarkan teknik analisa data dan skor ahli media,
secara keseluruhan modul astronomi dikategorikan memiliki kualitas Sangat Baik (SB).
Berdasarkan tinjauan ahli integrasi interkoneksi, aspek integrasi interkoneksi mendapatkan
prosentase keidealan sebesar 100% dari 1 ahli integrasi interkoneksi. Sedangkan untuk aspek
model integrasi interkoneksi mendapatkan presentase keidealan sebesar 95%. Menurut ahli
integrasi interkoneksi, modul yang disusun sudah bagus dan layak digunakan, namun perlu
ditambahkan beberapa ayat lain yang menyinggung tentang masalah arah kiblat dengan alasan agar
lebih kuat dalam melandasi materi tersebut. Begitu juga dengan ayat yang berkaitan dengan judul
pada sampul. Hendaknya setiap kata pada judul yang tertera pada sampul diberikan ayat sehingga
perspektif integrasi interkoneksi dapat dipertanggungjawabkan dengan jelas. Masukan terakhir dari
ahli integrasi interkoneksi adalah mencantumkan jumlah kata kiblat, sholat, dan kata yang
berhubungan dengan tema dituliskan pada modul sehingga pembaca dapat menganalisa dimana
saja ayat tersebut terletak pada Al-Quran. Secara keseluruhan modul astronomi yang disusun
memiliki kategori sangat baik (SB) berdasarkan penilaian dari ahli integrasi interkoneksi.
Berdasarkan penilaian dari dosen astronomi, aspek kelayakan isi mendapatkan presentase
keidealan sebesar 91,4% dari 1 dosen astronomi, aspek model penyajian mendapatkan presentase
keidealan sebesar 85%, aspek bahasa dan gambar 77,5%, dan aspek kegrafisan mendapatkan
presentase keidealan sebesar 83,45. Menurut dosen astronomi modul yang disusun sudah bagus dan
layak digunakan, namun perlu diperhatikan beberapa masukan yang membangun dalam
125
pengembangan modul secara keseluruhan. Adapun masukan dari astronomi adalah halaman isi agar
dibuat semenarik mungkin karena hal ini bisa berpengaruh terhadap minat baca mahasiswa.
Selanjutnya beberapa rumus yang dicantumkan agar dibeberkan asal usul dari rumus tersebut, hal
ini dapat membingungkan mahasiswa jika tiba-tiba rumus tersebut digunakan tanpa diketahui asal
muasalnya. Masukan yang terakhir adalah tentang penulisan daftar pustaka yang masih ada
beberapa yang kurang sesuai. Berdasarkan masukan-masukan di atas, penulis mencoba untuk
memberikan beberapa perbaikan sesuai dengan saran dari dosen astronomi. Namun begitu, masih
ada masukan yang belum dapat kami penuhi yaitu tentang asal muasal rumus mencari azimuth
matahari. hal ini dikarenakan referensi yang terbatas dari penulis. Secara keseluruhan modul
astronomi yang disusun memiliki kategori sangat baik (SB) berdasarkan penilaian dari dosen
astronomi.
Uji terbatas dilaksanakan dengan uji coba modul hasil revisi dari reviewer. Berdasarkan hasil
analisis data yang dilakukan, modul astronomi mendapatkan respon rata-rata 80,83 dari skor ideal
110. Sedangkan untuk prosentase didapatkan nilai 78%. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan
bahwa mahasiswa yang terlibat dalam uji terbatas Setuju terhadap modul astronomi yang dibuat.
Setelah melihat hasil dari uji terbatas dan melakukan revisi seperlunya, penulis melanjutkan
dengan melakukan uji luas atau uji skala besar. Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan,
modul astronomi mendapatkan respon rata-rata 77,73 dari skor ideal 110. Sedangkan untuk
prosentase didapatkan nilai 74,05%. Berdasarkan hasil tersebut, disimpulkan bahwa mahasiswa
yang terlibat dalam uji luas Setuju terhadap modul astronomi yang dikembangkan.
KESIMPULAN
Kesimpulan yang didapat dari penelitian pengembangan ini adalah tersusunnya Modul
Astronomi berbasis integrasi interkoneksi dengan tema pengukuran arah kiblat menggunakan
azimuth matahari untuk mahasiswa Astronomi. Dalam modul terdapat aspek integrasi interkoneksi
dimana Al-Quran sebagai sumber dari segala ilmu pengetahuan mampu melandasi perhitungan
astronomi yang kaitannya dengan azimuth matahari.
Berdasarkan hasil pembahasan di atas
juga dapat ditarik kesimpulan bahwa modul untuk mahasiswa astronomi layak digunakan dan dapat
mempermudah mahasiswa untuk memahami konsep astronomi pada materi azimuth matahari serta
menerapkannya di lingkungan sekitar.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pembimbing Ibu Winarti, M.Pd.Si dan
Bapak Iwan Kuswidi, M.Sc yang telah memberikan dukungan moral kepada penulis sehingga
makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Kemudian kepada segenap civitas akademika
FMIPA Universitas Negeri Malang yang telah memberikan ruang dan kesempatan kepada penulis
untuk mempresentasikan hasil penelitian yang telah dilakukan. Kepada semua pihak yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungan dan doanya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Jamil. 2009. Ilmu Falak Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Amzah
Abuddin Nata. 2005. Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum. Jakarta:Raja Grafindo Perkasa
Arikunto, Suharsimi. 2009.Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta Yogyakarta: Bumi Aksara.
Basyirudin, Usman. 2002. Pembelajaran Modul. Jakarta: Ciputat Press.
Depdiknas. 2008. Panduan Pengembangan Bahan Ajar. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Atas Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen
Pendidikan Nasional.
Khazin, Muhyiddin. 2005. Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana Pustaka
126
Pokja Akademik. 2004. Kerangka Dasar Keilmuan & Pengembangan Kurikulum UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga.
Siregar, Harrys. 2003. Peranan Fisika pada Disiplin Ilmu Teknik Kimia. Online. http:// library. usu.
ac .id/ download/ ft/ tkimia-harrys2. pdf
ST. Vembrianto. 1985. Pengantar Pengajaran Modul, Yogyakarta: yayasan Pendidikan Paramita.
Sudijono, Anas. 1987. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press
Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, Bandung: Alfabeta
127
PENDAHULUAN
Bumi memiliki banyak fenomena struktur geologi yang perlu diketahui oleh manusia seperti
rongga di bawah permukaan, patahan dan retakan, dan penentuan kedalaman batuan dasar. Untuk
memberikan informasi tentang struktur geologi di bawah permukaan bumi yang akurat diperlukan
metodologi yang dapat digunakan dalam eksplorasi geofisika.
Salah satu metode yang digunakan dalam eksplorasi geofisika adalah metode geolistrik. Saat
ini metode geolistrik banyak digunakan dalam pencarian air tanah, menentukan lokasi sumber
energi dan mineral, memberikan informasi tentang struktur, komposisi batuan di bawah
permukaan, monitoring rembesan limbah, aplikasi geoteknik, eksplorasi geothermal dan untuk
penyelidikan di bidang arkeologi. Menurut Reynolds (1997), pada bidang geoteknik, metode
geolistrik banyak digunakan untuk mengetahui letak rongga di bawah permukaan, patahan dan
retakan, penentuan kedalaman batuan dasar, dan lain-lain.
SESI PARALEL FISIKA
128
Metode geolistrik berkembang dengan pesat belakangan ini karena cukup sederhana, murah,
tidak merusak struktur objek/batuan bawah permukaan bumi dan efisien untuk memetakan atau
melokalisir batuan/objek bawah permukaan bumi sehingga efektif untuk kegiatan eksplorasi.
Pemodelan keberadaan rongga dalam tanah dalam skala laboratorium dapat digunakan
sebagai pertimbangan survey lapangan dalam kegiatan eksplorasi untuk menguji metode geolistrik
dalam penerapannya di bidang geoteknik, yaitu mempelajari pola anomali akibat adanya rongga
dalam tanah. Dari uraian di atas maka perlu dilakukan penelitian dengan judul Pemodelan
Keberadaan Tanah Berongga Dengan Menggunakan Metode Geolistrik (Penelitian
Laboratorium).
Pemodelan Keberadaan Rongga Dalam Tanah
Rongga tanah adalah ruang atau lubang yang berada di bawah permukaan tanah. Rongga
tanah merupakan bagian dari struktur geologi di bawah permukaan bumi. Saat ini, untuk
memberikan informasi tentang struktur geologi di bawah permukaan bumi dengan lebih akurat,
telah banyak dilakukan dan dikembangkan metode survey tahanan jenis 1-D, 2-D, dan 3-D. Untuk
areal survey yang cukup besar, metode survey 1-D dan 2-D cukup efektif digunakan dibandingkan
dengan survey 3-D. Karena pada survey 3-D waktu dan biaya yang diperlukan cukup lama dan
mahal, jika dibandingkan dengan survey 2-D (Loke,1999a).
Salah satu metode yang digunakan dalam eksplorasi geofisika yang cukup sederhana, murah,
tidak merusak struktur objek/batuan bawah permukaan bumi dan efisien untuk memetakan atau
melokalisir batuan/objek bawah permukaan bumi sehingga efektif untuk kegiatan eksplorasi adalah
metode geolistrik. Metode geolistrik memanfaatkan sifat resistivitas listrik batuan untuk
mendeteksi dan memetakan formasi bawah permukaan.Berdasarkan pada harga resistivitas
listriknya, suatu struktur bawah permukaan bumi dapat diketahui material penyusunnya. Menurut
Reynolds (1997), pada bidang geoteknik, metode geolistrik banyak digunakan untuk mengetahui
letak rongga di bawah permukaan, patahan dan retakan, penentuan kedalaman batuan dasar, dan
lain-lain.
Metode Geolistrik dalam penerapannya di bidang geoteknik, yaitu untuk mempelajari pola
anomali akibat rongga di bawah permukaan tanah melalui distribusi nilai resistivitas semu yang
terukur dapat diuji dengan membuat pemodelan keberadaan rongga di bawah permukaan tanah
dalam skala laboratorium dengan menggunakan benda berongga sebagai analogi rongga di bawah
permukaan tanah untuk pertimbangan survey lapangan dalam kegiatan eksplorasi.
Dasar Kelistrikan
Pada sebagian besar bahan termasuk sebagian besar batuan, arus yang mengalir pada suatu
material semakin besar sejalan dengan kenaikan tegangannya. Dari hukum Ohm dapat diturunkan
persamaan (Prasetiawati, 2004):
V
I
Dengan R adalah resistivitas (Ohm), V adalah tegangan (Volt), dan I adalah arus (Ampere).
Berdasarkan harga resistivitas listriknya, batuan/mineral digolongkan menjadi tiga yaitu:
konduktor baik : 10-6
konduktor buruk : 1 < r < 107
isolator
: r > 107
Konduktivitas batuan di dekat permukaan bumi kebanyakan ditentukan oleh jumlah
distribusi air garam pada batuan berpori. Di bawah lapisan sedimen dan bagian bawahnya, tekanan
begitu besarnya sehingga pori-pori tertutup dan hanya konduktivitas batuan keraslah yang
membawa arus listrik.
Teori Potensial Listrik
Konsep dasar dari Metoda Geolistrik adalah Hukum Ohm. Hukum Ohm menyatakan:
SESI PARALEL FISIKA
129
V I atau V I R
L
L
atau R
A
A
Pendekatan yang paling sederhana untuk mempelajari secara teoritis tentang aliran listrik di
dalam bumi adalah dengan menganggap bumi sebagai medium yang homogen isotropis.
Jika sumber arus I diberikan pada permukaan medium yang homogen isotropik dan dalam
hal ini konduktivitas udara dianggap nol, maka akan diperoleh model resisistivitas satu titik
permukaan. Untuk model ini bidang equipotensialnya hanya berbentuk setengah bola dengan
I
.
2
V
I 1
V
atau 2r
I
2 r
luasan A
maka
Gambar 2 Dua pasang elektroda arus dan potensial pada permukaan medium homogen isotropis
dengan tahanan jenis (Telford dkk., 1990)
Potensial yang terukur di P1 oleh elektroda arus C1 adalah (Telford dkk., 1990):
V1
I
A1
, dimana A1
r1
2
V2
A2
I
, dimana A2
A1
r2
2
V1 V2
I
2
1 1
r1 r2
Begitu juga dengan potensial yang terukur di P2 akibat elektroda arus C1 dan C2
130
V3 V4
I
2
1 1
r3 r4
I
2
1 1 1 1
r1 r2 r3 r4
Metoda Geolistrik
Metode geolistrik merupakan metode yang menggunakan prinsip aliran arus listrik dalam
menyelidiki struktur bawah permukaan bumi. Aliran arus listrik dalam mengalir didalam tanah
melalui batuan-batuan dan sangat dipengaruhi oleh adanya air tanah dan garam yang terkandung
didalam batuan serta hadirnya mineral logam maupun panas yang tinggi. Oleh karena itu metode
geolistrik dapat digunakan pada penyelidikan hidrogeologi seperti penentuan aquifer dan adanya
kontaminasi, penyelidikan mineral, survei arkeologi dan deteksi hotrocks pada penyelidikan panas
bumi. Berdasarkan asal sumber arus listrik yang digunakan, metode resistivitas dapat
dikelompokan ke dalam dua kelompok yaitu (Prasetiawati, 2004):
1. Metode pasif
Metode ini menggunakan arus listrik alami yang terjadi di dalam tanah (batuan) yang timbul
akibat adanya aktivitas elektrokimia dan elektromekanik dalam materi-materi penyusun batuan.
Metode yang termasuk dalam kelompok ini diantaranya Potensial Diri/Self Potensial (SP) dan
Magneto Teluric (MT).
2. Metode aktif
Yaitu bila arus listrik yang diinjeksikan (dialirkan) didalam batuan, kemudian efek potensial
yang ditimbulkan arus buatan tersebut diukur di permukaan. Metode yang termasuk kedalam
kelompok ini diantaranya metode resistivity dan Induced Polarization (IP).
Prinsip kerja metode geolistrik adalah dengan menginjeksikan arus ke bawah permukaan
bumi sehingga diperoleh beda potensial, yang kemudian akan didapat informasi mengenai tahanan
jenis (resistivitas) batuan.
Resistivitas batuan adalah fungsi dari konfigurasi elektroda dan parameter-parameter listrik
batuan. Arus yang dialirkan di dalam tanah dapat berupa arus searah (DC) atau arus bolak-balik
(AC) berfrekuensi rendah. Untuk menghindari potensial spontan, efek polarisasi dan
menghindarkan pengaruh kapasitansi tanah yaitu kecenderungan tanah untuk menyimpan muatan
maka biasanya digunakan arus bolak balik yang berfrekuensi rendah (Bhattacharya & Patra, 1968).
131
Untuk medium yang tidak homogen, tahanan jenis yang terukur adalah tahanan jenis semu
(apparent resistivity). Harga tahanan jenis semu ini tergantung pada tahanan jenis lapisanlapisan
pembentuk formasi dan konfigurasi elektroda yang digunakan. Tahanan jenis semu dirumuskan
sebagai:
a K
V
V
; R
I
I
a2 b
a2 b2
Ks 2 atau Ks
2b
b 4
132
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan pemodelan fisis laboratorium. Pada penelitian ini terbagi
menjadi beberapa tahap diantaranya:
1. Mengukur resistivitas medium pasir sebelum ditanam benda berongga ()
2. Mengukur resistivitas medium pasir setelah adanya benda berongga () yang ditanam pada
posisi 0o
3. Mengukur resistivitas medium pasir setelah adanya benda berongga () yang ditanam pada
posisi 90o
4. Menganalisa data pengukuran menggunakan program Res2dinv.
Objek dalam penelitian ini adalah silinder berongga yang terbuat dari semen cor. Medium
yang digunakan adalah pasir yang dimasukkan ke dalam wadah balok kaca, dan diusahakan pasir
yang digunakan benar-benar kering.
Instrumen Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Alat Geolistrik OYO Mc OHM-EL Model 2119D buatan Jepang yang merupakan peralatan
utama dalam penelitian ini.
Aki.
Satu rol alat ukur panjang (meteran) 400 cm, yang digunakan untuk mengukur jarak spasi
elektroda arus C1 dan C2 elektroda Potensial P1 dan P2.
Empat buah elektroda tembaga, berdiameter 2,5 mm dan panjang 20 cm, digunakan untuk
mengalirkan atau menginjeksikan arus ke dalam medium (tanah) yang akan diukur. Elektroda
ini ditanam mencapai kedalaman 5-10 cm dimana ujung elektroda dihubungkan dengan
rangkaian alat geolistrik, jarak antara elektroda tergantung dari konfigurasi yang digunakan.
Empat buah kabel konektor digunakan untuk mengalirkan arus dan tegangan yang nantinya
akan disambungkan dengan elektroda arus dan elektroda potensial.
Triplek sebagai penutup benda berongga agar pasir tidak masuk dalam rongga.
Set Up Peralatan
Pasir ditempatkan di dalam bak kaca dengan ketebalan lapisan 65 cm. silinder berongga
ditanam pada tiga keadaan yaitu untuk posisi 0o terhadap lintasan pengukuran, ditanam pada
kedalaman 10 cm, dan untuk posisi 90o terhadap lintasan, ditanam pada kedalaman 10 cm. Set-up
peralatan dapat dilihat pada Gambar 6.
Lintasan pengukuran
65 cm
100 cm
10 cm
Silinder
berongga
22 cm
15 cm
60 cm
200 cm
Gambar 6 Medium yang akan Digunakan dalam Penelitian
133
Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang baik dan mewakili data dari daerah penelitian, maka dalam
pengumpulan data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Menyiapkan desain penelitian dan bahan yang diperlukan.
2. Dengan menggunakan meteran, kemudian menentukan panjang lintasan yang akan digunakan
untuk pengukuran serta letak titik-titik setiap elektroda baik elektroda arus C1 dan C2 maupun
elektroda P1 dan P2.
3. Selanjutnya peralatan dirangkai sesuai dengan set alat konfigurasi Schlumberger.
4. Elektroda potensial yaitu P1 dan P2 ditancapkan dengan jarak 5 cm. Jarak dari elektroda C1 dan
C2 dalam penelitian ini adalah 25 cm pada variasi pertama.
5. Dipasangkan kabel-kabel pada konfigurasi elektroda. Dua kabel sebagai elektroda arus dan
dua kabel sebagai elektroda potensial.
6. Kemudian tegangan diinjeksikan. Setelah itu, tegangan diinjeksikan dengan cara
menembakkan arus bersamaan dengan menekan tombol enter.
7. Setelah arus diinjeksikan maka akan didapatkan nilai beda potensial (mV), nilai arus (mA),
serta nilai Self Potensial (mV) pada layar,
8. Pengukuran dilakukan secara berulang-ulang dengan memindahkan letak elektroda arus C1
dan C2 serta elektroda potensial P1 dan P2 dengan jarak spasi yang sudah ditentukan.
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger, yaitu:
1. Menempatkan elektroda-elektroda arus dan tegangan sesuai dengan konfigurasi Schlumberger
sounding-mapping. Di dalam alat tersebut secara otomatis mengukur nilai beda potensial, arus
dan Self Potensial.
2. Memindah elektroda arus dan elektroda potensial pada jarak kedua yang telah ditentukan.
Melakukan berkali-kali sampai batas yang ditentukan.
HASIL
Analisis Res2dinv
Dari hasil interpretasi dengan menggunakan software Res2dinv diperoleh hasil kontur dan
penyebaran lapisan permukaan tanah yang nilai resistivitas, ketebalan dan kedalamannya yang
berbeda-beda. Hasil interpretasi Res2dinv dengan menggunakan konfigurasi Schlumberger
Sounding-Mapping sebagai berikut:
134
Struktur Lapisan Batuan Setelah Adanya Benda Berongga Yang Ditanam Pada Posisi 0o
Terhadap Lintasan Pengukuran
Gambar 9 Struktur Lapisan Batuan setelah adanya Benda Berongga yang Ditanam pada
Posisi 0o terhadap Lintasan Pengukuran
Gambar 9 memperlihatkan distribusi resistivitas semu batuan setelah adanya benda berongga
yang ditanam pada posisi 0o dengan spasi P1P2 = 5 cm. Gambar tersebut memperlihatkan distribusi
resistivitas semu batuan yang dijadikan model dalam penelitian ini menunjukan variasi nilai
resistivitas jenis dengan bentangan nilai resistivitasnya antara 837 m sampai 99694 m. Nilai
resistivitas terendah digambarkan dengan dengan warna biru dan nilai resistivitas tertinggi dengan
warna coklat dan ungu. Perbedaan warna pencitraan resistivitas dikarenakan adanya polarisasi
listrik dengan bidang listrik. Sumbu horizontal menunjukan bentangan pasir secara lateral,
135
sedangkan sumbu vertikal menunjukan kedalaman, dengan kedalaman maksimal yang dapat
dicapai sebasar 0,524 m.
Pada gambar tersebut terlihat adanya anomali akibat benda berongga yang ditunjukkan
dengan warna biru tua yang berada pada skala horizontal yang berkisar antara (0,775-0,975) m dan
pada skala vertikal yang berkisar antara (0,093-0,240) m. Dari perhitungan skala tersebut,
didapatkan posisi anomali tersebut berada pada skala 0,093 yang berarti pada kedalaman sekitar
0,093 m atau sama dengan 9,3 cm.
Struktur Lapisan Batuan Setelah Adanya Benda Berongga Yang Ditanam Pada Posisi
90o Terhadap Lintasan Pengukuran
Gambar 10 Struktur Lapisan Batuan setelah Adanya Benda Berongga yang Ditanam pada
Posisi 90o Terhadap Lintasan Pengukuran
Gambar 10 memperlihatkan distribusi resistivitas semu batuan setelah adanya benda
berongga yang ditanam pada posisi 90o dengan spasi P1P2 = 5 cm. Gambar tersebut
memperlihatkan distribusi resistivitas semu batuan yang dijadikan model dalam penelitian ini
menunjukan variasi nilai resistivitas jenis dengan bentangan nilai resistivitasnya antara 172 m
sampai 1776348 m. Nilai resistivitas terendah digambarkan dengan dengan warna biru dan nilai
resistivitas tertinggi dengan warna coklat dan ungu. Perbedaan warna pencitraan resistivitas
dikarenakan adanya polarisasi listrik dengan bidang kaca. Sumbu horizontal menunjukan
bentangan pasir secara lateral, sedangkan sumbu vertikal menunjukan kedalaman, dengan
kedalaman maksimal yang dapat dicapai sebasar 0,524 m.
Pada Gambar 10 terlihat adanya anomali yang ditunjukkan dengan warna biru tua yang
berada pada skala horizontal yang berkisar antara 1,025-1,275 m dan pada skala vertikal yang
berkisar antara 0,126-0,289 m. Dari perhitungan skala tersebut, didapatkan posisi anomali tersebut
berada pada skala 0,126 yang berarti pada kedalaman sekitar 0,126 m atau sama dengan 12,6 cm.
PEMBAHASAN
Untuk mendapatkan nilai resistivitas semu lapisan bawah permukaan dapat dilakukan
dengan menggunakan konfigurasi schlumberger soundingmapping. Pada penelitian ini didapakan
nilai resistivitas semu dengan cara menginjeksikan arus ke bawah permukan.
Dari analisis dengan interpretasi software Res2dinv pada hasil penelitian diperoleh
penyebaran nilai resistivitas lapisan bawah permukaan yang berbeda-beda dengan kedalaman yang
sama.
Hasil interpretasi dengan software Res2dinv:
Pada analisis data resistivitas pasir sebelum ada anomali seperti yang terlihat pada gambar
struktur lapisan batuan sebelum adanya benda berongga, terlihat sebaran nilai resistivitas
yang berbeda sampai kedalaman 0,524 m. Nilai resistivitas terendah digambarkan dengan
dengan warna biru dan nilai resistivitas tertinggi dengan warna coklat dan ungu. Perbedaan
136
warna pencitraan resistivitas dikarenakan adanya polarisasi listrik dengan bidang listrik,
namun dalam penelitian ini nilai resistivitas tetap dianggap homogen.
Pada analisis data resistivitas pasir setelah adanya benda berongga yang ditanam pada posisi
0o terhadap lintasan pengukuran, seperti yang terlihat pada gambar struktur lapisan batuan
setelah adanya benda berongga yang ditanam pada posisi 0o terhadap lintasan pengukuaran,
terlihat sebaran nilai resistivitas yang berbeda sampai kedalaman 0,524 m. Nilai resistivitas
terendah digambarkan dengan dengan warna biru dan nilai resistivitas tertinggi dengan warna
coklat dan ungu. Pada gambar 4.5, terlihat adanya anomali akibat benda berongga yang
ditunjukkan dengan warna biru tua yang berada pada skala horizontal yang berkisar antara
0,775-0,975 m dan pada skala vertikal yang berkisar antara 0,093-0,240 m. Dari perhitungan
skala tersebut, didapatkan posisi anomali tersebut berada pada skala 0,093 yang berarti pada
kedalaman sekitar 0,093 m atau sama dengan 9,3 cm.
Pada analisis data resistivitas pasir setelah adanya benda berongga yang ditanam pada posisi
90o terhadap lintasan pengukuran, seperti yang terlihat pada gambar 4.7, terlihat sebaran
nilai resistivitas yang berbeda sampai kedalaman 0,524 m. Nilai resistivitas terendah
digambarkan dengan dengan warna biru dan nilai resistivitas tertinggi dengan warna coklat
dan ungu. Pada gambar 4.7, terlihat adanya anomali yang ditunjukkan dengan warna biru tua
yang berada pada skala horizontal yang berkisar antara 1,025-1,275 m dan pada skala
vertikal yang berkisar antara 0,126-0,289 m. Dari perhitungan skala tersebut, didapatkan
posisi anomali tersebut berada pada skala 0,126 yang berarti pada kedalaman sekitar 0,126 m
atau sama dengan 12,6 cm.
Adanya anomali benda berongga yang ditanam pada posisi yang berbeda, terlihat memiliki
pola anomali hasil inversi yang berbeda juga. Untuk benda berongga yang ditanam pada
posisi 0o menghasilkan pola yang landai dibandingkan dengan benda anomali pada posisi
90o. Hal ini dikarenakan untuk posisi 0o yang terukur adalah luas penampang tegak,
sedangkan untuk posisi 90o yang terukur adalah luas penampang melintang.
137
3.
Keberadaan rongga dapat dilihat dari skala horizontal dan vertikal yang menunjukkan pola
anomali yang berbeda akibat adanya rongga di bawah permukaan tanah
Saran
1.
2.
3.
4.
DAFTAR PUSTAKA
Azhar, 2004. Penerapan Metode Geolistrik Konfigurasi Schlumberger untuk Penentuan Tehanan
Jenis Batubara, Jurusan Geofisika Terapan, Pascasarjana ITB, Bandung.
Bhattacharya, P. K. and Patra, H. P. 1968. Direct Current Geolelectric Sounding. Elsevier
Publishing Company. London.
Loke, M.H., 1999a. Electrical imaging surveys for environmental and engineering studies: A
practical guide to 2-D and 3-D surveys, Penang, Malaysia.
Loke,
Surveys.
(Online),
Prasetiawati, Lukei, 2004. Aplikasi metode resistivitas dalam eksplorasi Endapan laterit nikel serta
studi perbedaan Ketebalan endapannya berdasarkan morfologi Lapangan: Penelitian
Lapangan. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Program Sarjana Sains FMIPA, Universitas
Indonesia, Jakarta.
Reynold, J.M., 1997. An Introduction to Applied and Environmental Geophysics, John Wiley &
Sons Ltd., UK.
Santoso, Djoko. 2002. Pengantar Geofisika. Institut Teknologi Bandung: Bandung.
Sugiharto, Ruli. 2003. Pembuatan Resistivitymeter Untuk Mendeteksi Resistivitas Bawah
Permukaan Bumi. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Program Sarjana Sains Universitas
Indonesia.
Syamsuddin. 2007. Penentuan Struktur Bawah Permukaan Bumi Dangkal Dengan Menggunakan
Metode Geolistrik Tahanan Jenis 2D (Studi Kasus Potensi Tanah Longsor di Panawangan,
Ciamis). Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Program Pasca Sarjana Institut Teknologi
Bandung.
Telford, W. M., L. P. Geldart and R. E. Sheriff, 1990. Applied Geophysics: Second Edition,
Cambridge University Press, USA, 522-538.
138
Wahab, Aminul. 2008. Pemetaan Distribusi Intrusi Air Laut Dengan Menggunakan Metode
Geolistrik. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Program Sarjana Universitas Negeri Malang.
Zainuri, Ahmad. 2007. Aplikasi Metode Resistivitas Dan Simulasi Aliran Fluida Untuk
Menganalisa Fenomena Intrusi Air Laut Di Daerah Pesisir (Studi Kasus Di Pulau Sapeken,
Madura). Tesis tidak diterbitkan. Bandung: Program Pasca Sarjana Institut Teknologi
Bandung.
139
PENDAHULUAN
Gelombang merupakan salah satu topik penting yang dipelajari di fisika dan merupakan
dasar untuk mempelajari fisika lanjut yang lebih kompleks seperti fisika kuantum, optik dan radiasi
elektromagnetik. Gelombang juga dipelajari mulai dari SD sampai pada perguruan tinggi, namun
penelitian berkaitan dengan gelombang belum banyak dilakukan. Selama 25 tahun terakhir peneliti
pendidikan fisika, secara intensif melakukan penelitian tentang pemahaman siswa terhadap topiktopik dalam mekanika, rangkaian listrik, suhu dan kalor (Mihas & Gemousakakis, 2007). Untuk
memahami beberapa konsep seperti interferensi, refleksi, transmisi, refraksi yang berhubungan
dengan gelombang mekanik, mahasiswa harus terlebih dahulu memiliki pemahaman yang benar
tentang sifat pokok (fundamental ) gelombang seperti panjang gelombang, amplitudo, kecepatan
gelombang, persamaan gelombang fundamental, energi gelombang, dan superposisi gelombang.
Jika konsep-konsep dasar tersebut, di atas di fahami dengan baik maka fisika lanjut yang lebih
kompleks dan berkaitan dengan konsep-konsep ini akan menjadi lebih mudah untuk dipahami
(Qiaovu, 2002). Ketika mahasiswa bertemu dengan lingkungan belajar yang baru, mereka
mendapatkan makna berdasarkan pengetahuan mereka sebelumnya (Acikgoz, 2002). Untuk dapat
mengajarkan pengetahuan baru dan berhasil, pengajar harus menyelidiki pengetahuan sebelumnya
dari mahasiswa baik pengetahuan yang mendukung atau yang bertentangan.
Dalam proses pembelajaran sering sekali diperdebatkan, mana yang lebih penting dikuasai
guru fisika dalam mengajarkan fisika, penguasaan konten fisikanya atau pedagoginya? Keduanya
sesungguhnya penting, dan pengajaran fisika tidak pernah lepas dari pengetahuan tentang konten
(content knowledge) dan pengetahuan tentang pedagogi (pedagogical knowledge). Dengan
demikian calon guru fisika sudah seharusnya memiliki pengetahuan dan ketrampilan bidang fisika
dan pembelajarannya (National Research Council, 1996), dan mampu mengintegrasikan keduanya
(Adair & Chiaverina, 2000). Pengajar fisika sering mengajarkan fisika dengan hanya menonjolkan
rumus-rumus tanpa mengajarkan konsep fisika secara utuh. Mengajarkan fisika hanya dilakukan
SESI PARALEL FISIKA
140
dengan menurunkan rumus, memberi contoh soal dan latihan mengerjakan soal-soal, sehingga
siswa terjebak hanya belajar membahas soal, sedikit sekali mengungkapkan proses yang
sebenarnya terjadi. Dampaknya siswa cukup trampil menyelesaikan soal hitungan, yang berkaitan
dengan penggunaan rumus, tetapi siswa mengalami kesulitan apabila diminta menjelaskan
permasalahan yang menyangkut penalaran arti fisisnya (Wittmann, 2002). Menurut hasil penelitian
tentang perambatan gelombang mekanik dalam medium yang homogen ditemukan bahwa siswa
memiliki pendapat yang berbeda-beda, dikatakan bahwa siswa mengalami kesulitan (Witmann,
2002; Witmann, 1998; Witmann, Steinberg, & Redish, 1999). Kesulitan tersebut meliputi: 1)
medium hanya sebagai transporter gelombang, secara langsung tidak berurusan dengan
perambatan gelombang. 2) Pulsa dengan ukuran berbeda akan bergerak dengan kecepatan
berbeda di media yang sama. 3) Gerakan tangan akan menimbulkan gaya yang lebih besar
menciptakan kecepatan yang lebih besar. 4) Siswa menganggap gelombang sebagai obyek,
deskripsi gelombang sebagai perambatan gangguan dalam suatu sistem. 5) Perambatan gelombang
tergantung pada penciptaan gelombang, tidak tergantung pada sifat sistem media.
Bagaimana pemahaman dan penalaran mahasiswa calon guru fisika yang sedang belajar di Jurusan
Fisika Universitas Malang, tentang perambatan pulsa gelombang pada tali?
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi pemahaman dan penalaran
mahasiswa tentang perambatan pulsa gelombang pada tali yang meliputi pengertian gelombang,
factor-faktor yang berpengaruh terhadap cepat- rambat gelombang dan pemantulan gelombang tali
pada ujung bebas dan ujung terikat.
Penelitian ini penting dilakukan karena dengan mengetahui keberagaman pemahaman dan
penalaran mahasiswa berarti dapat diketahui tingkat kesulitan mahasiswa dalam memahami
perambatan pulsa gelombang dan dapat mempersiapkan bahan ajar yang sesuai dan lebih efektif
pada topik ini untuk pembelajaran yang akan datang.
METODE
Jenis penelitian yang dilakukan ini termasuk penelitian deskriptif kualitatif (Emzir, 2008).
Sampel penelitian terdiri dari mahasiswa calon guru fisika sebanyak 60 mahasiswa yang terdiri dari
A = mahasiswa yang sedang menempuh matakuliah gelombang optic, B = mahasiswa yang sudah
setahun yang lalu menempuh matakuliah gelombang optic dan C = mahasiswa yang sudah
yudisium. Masing-masing sebanyak 20 mahasiswa, dengan pertimbangan, saat ini jumlah
mahasiswa pendidikan fisika yang sedang menempuh matakuliah Gelombang-Optik berjumlah 38
diambil 20 mahasiswa secara acak, untuk angkatan lain diambil dengan jumlah yang sama. Semua
mahasiswa sudah menempuh matakuliah Fisika Dasar pada tahun pertama dan sudah mempelajari
masalah gelombang mekanik saat di SMP dan SMA.
Instrumen yang digunakan berupa tes tertulis (paper and pencil tes) dan tes lesan (oral tes).
Bentuk tes tertulis yang digunakan adalah tes essay (uraian) dan tes obyektif (pilihan ganda). Tes
essay adalah tes yang disusun dalam bentuk pertanyaan terstruktur dan mahasiswa menyusun,
mengorganisasikan sendiri jawaban tiap pertanyaan itu dengan bahasanya sendiri. Berdasarkan
uraian jawaban (penalaran ) mahasiswa ini dapat diketahui tingkat pemahaman mahasiswa. Pada
tes pilihan ganda disediakan kemungkinan berbagai jawaban dan mahasiswa bisa memilih jawaban
yang dianggapnya paling benar. Tujuan pemberian tes jenis ini adalah agar mahasiswa
menganalisis jawaban yang disediakan dan menyusun interpretasinya. Kedua jenis tes ini
digunakan untuk memperoleh jumlah sampel yang lebih banyak (untuk semua sampel= 60 orang)
dibandingkan tes lesan dan untuk melihat kekonsistenan jawaban mahasiswa. Tes uraian
dilaksanakan lebih dahulu, baru tes pilihan ganda, mengingat permasalahan keduanya sama. Tes
lesan dilakukan dengan cara wawancara tatap muka antara peneliti (dosen) dengan mahasiswa,
dilakukan secara terpisah dengan tes tertulis dan dilaksanakan satu persatu. Tidak semua
mahasiswa (responden) mengikuti tes lesan, dipilih mahasiswa yang dalam memberi jawaban pada
tes uraian kurang jelas. Pada saat wawancara mahasiswa diarahkan untuk memberi alasan mengapa
mengemukakan jawaban seperti yang telah dikatakan pada jawaban tes uraian dan pilihan ganda.
141
Tes lesan diikuti oleh 9 mahasiswa, yang terdiri dari sampel A,B dan C masing-masing diwakili
oleh 3 orang mahasiswa.
Soal tes terdiri dari 3 pertanyaan,yaitu tentang 1) pengertian gelombang mekanik, 2) faktor
yang mempengaruhi cepat rambat gelombang tali , 3) menggambar pemantulan pulsa pada ujung
bebas dan ujung terikat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan dilakukan berdasarkan hasil pekerjaan mahasiswa dari tes tulis dan hasil wawancara
terhadap ketiga pertanyaan yang diberikan dan pembahasan dilakukan untuk masing-masing
pertanyaan .
1) Pengertian gelombang mekanik
Pertanyaan tentang pengertian gelombang mekanik untuk soal uraian:
Bagaimanakah pengertian gelombang mekanik menurut Anda? Jelaskan. Bagaimana
mekanisme mediumnya pada saat gelombang merambat?
Data hasil penalaran mahasiswa tentang pengertian gelombang mekanik, yang merupakan
jawaban dari soal uraian cukup beragam dan jika jawaban yang hampir sama digabungkan dalam
satu kelompok maka seluruh jawaban mahasiswa dapat dikelompokkan menjadi 5. Mahasiswa
kebanyakan tidak menjelaskan mekanisme medium pada saat gelombang merambat. Frekuensi
sebaran jawaban dalam %, ditunjukkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Ragam jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan tentang pengertian gelombang mekanik
NO
RAGAM JAWABAN
Jml mhs
persen
1
Sistem yang bergerak melewati titik setimbang secara periodik
8
13
2
Gerak bolak balik yang memiliki gaya pemulih/ melewati titik
setimbang secara periodik
7
12
3
Getaran yang merambat bersama mediumnya
2
3
4
Getaran merambat melalui medium tertentu dan medium tidak ikut
bergerak
36
60
5
Getaran yang hanya merambatkan energy, medium tidak ikut
merambat
7
12
JUMLAH
60
100
Terlihat bahwa 25% mahasiswa masih merancukan antara pengertian getaran dan
gelombang, hal ini terlihat dari ragam jawaban mahasiswa no 1 dan 2 . Ada juga yang masih
menganggap bahwa dalam perambatannya medium ikut merambat (3%). Ragam jawaban no 1, 2
dan 3 adalah jawaban yang salah (28%) dan mahasiswa yang menjawab salah ini sebagian besar
(10 orang) adalah mahasiswa yang sudah yudisium, alasan yang dikemukakan karena sudah lama
tidak pernah dipelajari lagi mereka sudah lupa. Sebagian besar (60%) mahasiswa menjawab bahwa
gelombang mekanik adalah getaran yang merambat melalui medium, mediumnya tidak ikut
bergerak. Setelah dikonfirmasi mahasiswa mengerti bahwa yang dirambatkan adalah energy, hanya
tidak mencantumkan dalam jawaban. Jumlah mahasiswa yang menjawab bahwa yang dirambatkan
hanya energy dan mediumnya tidak ikut merambat ada 12 %. Kelompok mahasiswa yang ragam
jawabannya no 4 dan 5 tergolong jawaban yang betul (72%). Sebagian besar mahasiswa belum
menjelaskan mekanisme medium pada saat gelombang merambat. Hanya sebagian kecil mahasiswa
yang menjelaskan mekanisme medium pada saat perambatan gelombang terjadi.
Pertanyaan tentang pengertian gelombang mekanik untuk soal pilihan ganda
1.
142
2.
Pertanyaan no 1 dijawab benar oleh mahasiswa sejumlah 46 orang atau 77 % dan soal no 2
dijawab benar oleh 50 orang atau 83 %. Kesalahan mahasiswa pada pertanyaan no 1, kebanyakan
karena kurang teliti dalam membaca soal sehingga terkecoh oleh jawaban A atau B. Sedangkan
soal no 2, hampir betul semua, karena soalnya tergolong mudah.
Pertanyaan tentang pengertian gelombang mekanik soal tes lesan
Bagaimana Anda (sebagai guru) menjelaskan pada siswa tentang pengertian gelombang
mekanik. Bagaimana dengan mediumnya. Bagaimana mekanisme perambatan energinya
143
sehingga akan terbentuk riak gelombang air, berupa lingkaran cekungan dan cembungan yang jarijarinya semakin besar. Jika diperhatikan lebih seksama, partikel air pada lingkaran itu mengalami
gerakan naik (ke bagian cembungan) dan turun (ke bagian cekungan) secara berulang-ulang. Maka,
akan terlihat dengan jelas bahwa potongan gabus tersebut bergerak naik-turun ketika riak
gelombang tadi melewatinya. Apa yang bisa dipelajari dari fenomena tadi? Ketika batu dijatuhkan
mengenai air, energy kinetic batu dipindahkan ke partikel air yang ditumbuknya. Akibatnya,
partikel air tersebut sekarang memiliki energy mekanik, yaitu energy kinetic (yang ditandai dengan
adanya gerakan turun-naik) dan energy potensial (akibat gaya elastic tegangan permukaan air yang
cenderung mengembalikan partikel-partikel air ke posisinya semula). Energi mekanik partikel air
ini dipindahkan lagi ke bagian partikel air di sisi berikutnya sehingga bagian air di tempat baru ini
juga bergerak naik turun (memiliki energy mekanik). Transfer energy ini terus berlanjut sampai ke
bagian air yang jauh dari tempat jatuhnya batu. Partikel-partikel air tidak bergerak menjauh dari
pusat lingkaran (seperti ditunjukkan oleh gabus tadi), melainkan hanya bergerak naik-turun di
sekitar posisi setimbangnya. Jadi, fenomena tersebut menunjukkan proses perpindahan energy
melalui suatu medium (dalam hal ini air) yang tidak diikuti dengan perpindahan partikel-partikel
medium pada arah ke mana energy tersebut merambat. Inilah hakekat gelombang, yaitu perambatan
energy tanpa diikuti oleh perpindahan partikel-partikel yang merambatkannya.
2) Factor-faktor yang mempengaruhi cepat rambat gelombang tali
Pertanyaan tentang Factor-faktor yang mempengaruhi cepat rambat gelombang tali untuk
soal uraian.
Sebuah tali diikat kuat pada tembok sehingga tali dalam keadaan tertegang. Jika ujung
tali yang bebas digerakkan sehingga terjadi pulsa gelombang yang merambat sampai
ke ujung tali yang terikat memerlukan waktu t, apa yang harus dilakukan agar pulsa
gelombang yang merambat memerlukan waktu yang lebih singkat dari t untuk sampai
ke ujung tali? (lihat Gambar 2 Ragam jawaban mahasiswa dapat dikelompokkan
menjadi 7 kelompok, seperti ditunjukkan pada Tabel 2.
144
Gunakan tali yang lebih ringan dengan panjang sama, dan tegangan sama
Gunakan tali dengan kerapatan yang sama, tetapi kurangi tegangan
Gunakan tali dengan kerapatan yang sama, tetapi perbesar tegangan
Berikan gaya yang lebih besar pada gelombang
Berikan gaya yang lebih kecil pada gelombang
Tidak satupun jawaban diatas akan menyebabkan efek yang diinginkan
Tabel 2. Ragam jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan tentang factor-faktor yang mempengaruhi cepat
rambat gelombang dengan pertanyaan terbuka
NO
RAGAM JAWABAN MAHASISWA
Jml
FREK (%)
1
Mengurangi panjang gelombang dan frekwensi getaran, meningkatkan
6
10
kecepatan, dengan rumus =
2
6
10
Mengurangi tegangan sehingga menurunkan laju gelombang , =
/
3
Jarak, gaya, massa tali diperbesar, panjang tali diperkecil karena waktu
8
13
sebanding dengan panjang tali dengan rumus : = /
4
Menambah tegangan / mengganti tali yang lebih ringan / memperpanjang 22
37
tali =
6
7
10
9
3
15
5
60
100
JUMLAH
Berdasarkan jawaban mahasiswa baik pada soal uraian, pilihan ganda dan pada saat
wawancara, sebagian besar mahasiswa sudah mengenal rumus matematik untuk menentukan
cepat rambat gelombang. Pada dasarnya mahasiswa memahami bahwa cepat rambat gelombang
pada tali ditentukan oleh besarnya gaya dan massa persatuan panjang tali yang secara
Pada soal uraian, jawaban yang benar adalah yang tercantum pada Table 2 pada ragam
jawaban no 4. Dengan penjelasan bahwa untuk mempersingkat waktu agar pulsa segera sampai di
145
ujung tali berarti kecepatan perambatan gelombang pada tali harus diperbesar. Sesuai dengan
memperbesar gaya F, 2) memperpanjang tali (l) , dan 3) mengganti tali yang lebih ringan (m kecil).
Jumlah mahasiswa yang menjawab benar hanya 37 % , hanya sepertiga dari jumlah keseluruhan
responden.
Pada soal pilihan ganda jawaban yang benar adalah jawaban e dan g yang jumlahnya jika
ditotal hanya 37 % . Soal pilihan ganda berlawanan dengan soal uraian. Pada soal pilihan ganda
diharapkan waktu yang digunakan oleh pulsa gelombang untuk sampai pada ujung tali lebih lama
berarti kecepatan perambatannya harus lebih kecil. Untuk memperkecil v dengan menggunakan
rumus yang digunakan oleh soal uraian maka yang dapat dilakukan adalah: gaya F diperkecil
dengan tanpa mengganti tali (kerapatan massa tali tetap), atau pada gaya dan jenis tali yang tetap
tali diperpendek, cara lain adalah mengganti tali dengan tali lain yang massanya lebih besar,
dengan F dan l tetap.
Pada saat wawancara mahasiswa dengan semangatnya menjelaskan bahwa untuk
memperbesar atau memperkecil kecepatan perambatan adalah dengan cara menggerakkan ujung
tali dengan amplitude yang lebih besar atau lebih kecil. Jika ingin meninggikan kecepatan
perambatan, amplitudonya diperbesar, jika ingin mengurangi kecepatan amplitudonya diperkecil.
Memperbesar amplitude getaran berarti memperbesar gaya. Mahasiswa lain berpendapat bahwa
makin cepat tali digerakkan (dihentakkan) semakin cepat pula perambatan gelombangnya.
Menghentakkan tali berarti memperbesar gaya. Mahasiswa mengatakan jika kita menghentakkan
tangan lebih keras . . .berarti kita menaruh gaya yang lebih besar di tangan kita, sehingga gerakan
pulsa menjadi lebih cepat. Mahasiswa mencoba meyakinkan dengan mempraktekkan
menggerakkan pergelangan tangannya ke atas dan ke bawah untuk menjelaskan lambat dan cepat
nya gerakan pulsa. Mahasiswa lain juga memberikan penjelasan yang sama. Mahasiswa ini
menganggap bahwa cepat rambat gelombang tergantung pada penciptaan gelombang bukan pada
karakteristik medium tempat perambatan gelombang. Mahasiswa menganggap bahwa
gelombang sama dengan obyek, deskripsi gelombang sebagai perambatan gangguan dalam suatu
system tidak dihiraukan. Mahasiswa yang menjawab benar bisa menjelaskan bahwa untuk
memperoleh kecepatan perambatan gelombang menjadi lebih tinggi atau lebih rendah factor
penentunya ada 2 yaitu factor tegangan pada tali dan kerapatan massa tali. Oleh karena itu untuk
meningkatkan kecepatan perambatan dapat dilakukan dengan 1) menambah tegangan (gaya)
dengan tetap mempertahankan jenis tali dan panjang tali. 2) jika tegangannya dipertahankan tetap,
maka yang harus dirubah adalah talinya yaitu harus diperpanjang atau diganti tali yang
kerapatannya lebih kecil untuk memperoleh cepat rambat gelombang yang lebih besar, atau
mengganti dengan tali yang kerapatannya besar sehingga kecepatan perambatannya menjadi kecil.
3) Pemantulan gelombang pada ujung terikat dan ujung bebas
Pertanyaan tentang menggambar pemantulan pulsa gelombang pada ujung terikat dan ujung
bebas. Gambar 3 berikut menunjukkan sebuah pulsa pada tali yang ujungnya terikat kuat. Pulsa
menjalar ke arah ujung yang terikat dengan kecepatan 1 cm/sec. Gambar tersebut menunjukkan
kondisi pulsa pada t = 0. Menjadi bagaimanakah bentuk tali pada t = 8 sec ? Gambarkan dan
jelaskan.
1 cm
1 cm
Gambar 4, menunjukkan sebuah pulsa pada tali yang ujungnya diikatkan pada cincin yang dapat
bergerak bebas. Pulsa menjalar ke arah ujung yang terikat dengan kecepatan 1 cm/sec. Gambar
tersebut menunjukkan kondisi pulsa pada t = 0. Menjadi bagaimanakah bentuk tali pada t = 8 sec
? Gambarkan dan jelaskan
1 cm
1 cm
Y
X
Y
Persen
5
20
40
17
18
100
Persen
5
17
20
17
23
18
100
Pertanyaan tentang pemantulan pulsa gelombang pada ujung terikat dan ujung bebas untuk
pilihan ganda:
1. Salah satu ujung tali diikat pada cincin yang dapat bergerak bebas pada batang. Jika ujung yang
tidak terikat digetarkan maka timbul pulsa yang merambat sampai ke ujung terikat kemudian
dipantulkan. Di titik pantul tersebut, gelombang pantul terhadap gelombang asli.
A. Sefase
B. berlawanan fase
C. memiliki amplitude lebih besar.
D. memiliki kecepatan lebih besar E. memiliki periode lebih lama
147
2. Salah satu ujung tali diikat mati pada sebuah batang. Jika ujung bebasnya digetarkan maka
timbul pulsa yang merambat sampai ke ujung terikat kemudian dipantulkan. Di titik pantul
tersebut, bentuk gelombang pantul terhadap gelombang asli .
A. sefase B. berlawanan fase
C. memiliki amplitude lebih besar
D. memiliki kecepatan lebih besar E. memiliki periode lebih lama
Jawaban mahasiswa terhadap soal pilihan ganda tentang pemantulan pulsa gelombang pada
ujung terikat dan ujung bebas
Hampir semua jawaban mahasiswa terhadap soal pilihan ganda betul, soal no 1 dijawab betul
oleh 85 % (51) mahasiswa, sedangkan soal no 2 dijawab betul oleh 78 % (47) mahasiswa.
Jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan menggambar pulsa gelombang pantul pada ujung
terikat.
Jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan no. 1 yaitu menggambar pulsa gelombang pantul
pada ujung terikat dan hasil wawancara dengan mahasiswa, setelah dirangkum ditunjukkan dalam
Tabel 4. Jawaban yang benar adalah jawaban no 1, dan jika digambar seperti ditunjukkan dalam
Gambar 5, pulsa dengan garis putus-putus menggambarkan pulsa asli setelah 8 s. Terlihat bahwa
mahasiswa yang menjawab benar soal no 1 hanya 3 orang (50%), tetapi tidak ada penjelasan, hanya
gambarnya benar. Mereka hanya menuliskan bahwa pulsa pantul pada ujung terikat berlawanan
fase dengan pulsa asli. Ketika di lihat jawaban mahasiswa pada soal pilihan ganda dan ketika
ditanya dengan soal yang sama jawaban mahasiswa yang mengikuti tes lesan semuanya benar,
yaitu pulsa gelombang pantul pada ujung terikat berlawanan fase dengan pulsa gelombang asli.
Mengapa menggambarnya salah, pada hal secara teori mereka mengerti? Ternyata hampir semua
mahasiswa dalam menggambar gelombang pantul, tidak memperhatikan dimana posisi gelombang
asli setelah 8 s seperti yang diminta soal. Sebagian besar (40%) mereka langsung menggambar
bahwa pulsa pantul berlawanan dengan pulsa asli dan menjalar kearah kiri. Tanpa melihat posisi
pulsa asli itu pada saat kapan dan pulsa pantul yang diminta pada saat kapan, mereka langsung
menggambar pulsa pantulnya berlawanan dengan pulsa asli sehingga pulsa pantulnya digambarkan
berada di sebelah kiri pulsa asli (karena geraknya ke kiri) menghadap ke atas dan posisinya di
bawah (karena berlawanan fase dengan pulsa asli) (Tabel 4, jawaban no 3). Sebanyak 20 %
mahasiswa penalarannya berbeda, mereka menggambar pulsa asli diteruskan sampai mencapai
ujung terikat kemudian pulsa pantulnya berlawanan fase dan menjalar ke kiri, sehingga pulsa
pantulnya digambarkan berimpit dengan pulsa asli (Tabel 4, jawaban no 2). Sejumlah 17%
mahasiswa yang jawabannya tidak bisa dipahami mengapa mereka menggambar seperti itu, dan
jawabannya tidak dapat digolongkan pada jawaban di atasnya, mereka juga tidak menuliskan
penalarannya, ada kemungkinan mereka sekedar menggambar, sehingga jawaban yang demikian
dikelompokkan pada jawaban tidak relevan. Sisanya 18 % mahasiswa tidak menjawab. Ketiga
mahasiswa yang jawabannya benar adalah mahasiswa yang sudah setahun menempuh matakuliah
gelombang optic.
Jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan menggambar pulsa gelombang pantul pada ujung
bebas.
Jawaban mahasiswa terhadap pertanyaan no. 2 yaitu menggambar pulsa gelombang pantul
pada ujung bebas dan hasil wawancara dengan mahasiswa, setelah dirangkum ditunjukkan dalam
Tabel 5. Jawaban yang benar adalah jawaban no 1, dan jika digambar seperti ditunjukkan dalam
Gambar 6, pulsa dengan garis putus-putus menggambarkan pulsa asli setelah 8 s. Terlihat bahwa
mahasiswa yang menjawab benar soal no 2 hanya 3 orang (5%), sama dengan yang terjadi pada
pemantulan ujung terikat mereka tidak member penjelasan, hanya gambarnya benar. Sebanyak
17% jawaban mahasiswa seperti jawaban no 2 pada Tabel 5, dengan penalaran bahwa pulsa pantul
pada ujung bebas sefase dengan pulsa asli sehingga digambar berimpit dengan pulsa asli, hanya
arah merambatnya diberi tanda ke kiri. Mahasiswa yang jawabannya seperti jawaban no 3, ada 20
148
% menjelaskan bahwa pulsa asli diteruskan sampai pada pemantul, kemudian pulsa pantul sefase
dengan pulsa asli digambarkan dengan pulsa yang bentuknya sama dengan pulsa asli dan berada di
sebelah kiri pulsa asli, sehingga pulsa pantulnya puncaknya berada di bawah menghadap ke atas
dan persis berhadapan dengan pulsa asli. Sejumlah 17 % mahasiswa menganggap bahwa karena
ujung tonggak tali bebas bergerak naik turun maka pulsa tidak akan dipantulkan, maka
sesampainya di ujung pemantul pulsa menghilang. Jawaban mahasiswa sebanyak 23% tidak jelas
penalarannya, tidak bisa difahami mengapa mereka menggambar seperti itu, sehingga dimasukkan
dalam kelompok tidak relevan. Mahasiswa yang tidak mengerjakan ada 18 %.
KESIMPULAN
Berdasarkan paparan data dan pembahasan di atas , dapat disimpulkan bahwa pembelajaran
pada topik gelombang mekanik belum mampu mengantarkan mahasiswa membangun pengetahuan
yang utuh tentang gelombang mekanik, terutama gelombang pada tali yang homogen. Mahasiswa
masih mengalami kesulitan dalam memahami konsep gelombang mekanik, terutama dalam
menjelaskan mekanisme perambatan energinya, memaknai arti fisis persamaan matematis untuk
mmenentukan cepat rambat gelombang, menggambarkan pemantulan gelombang pada ujung
bebas dan terikat.
Sebagai tindak lanjut, perlu dilakukan penyempurnaan dalam merancang pembelajaran
sehingga memberi pengalaman belajar yang bervariasi (multi representasi), menjelaskan proses
terjadinya bukan hanya memberikan rumus matematika dan memvisualkan materi yang abstrak
dengan menggunakan bantuan elektronik (misalnya animasi).
DAFTAR PUSTAKA
Adair, LR & Chiaverina, CJ. 2000. Preparation of Excellent Teachers at All Levels. Canada:
AAPT Planning Meeting, 27-28 July 2000
Mihas, P. & Gemousakakis, T. (2007). Difficulties that students face with two dimensonal motion.
Physics Education, 42(2), 13-19.
National Research Council. 1996. National Science Education Standard. Washington DC: National
Academy Press
Qiaovu, L. (2002). Examining the effectiveness of interactivity in A3- dimensional web based
tutorial on interference phenomenon (Master Thesis, Mississippi State University).
Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses. (AAT 1418231)
Rustaman, NY, Dirdjosoemarto, S, Yudianto, SA, Achmad, Y, Subekti, R, Rochintaniawati, D,
Nurjhani, M. 2003. Strategi Belajar Mengajar Biologi. UPI Bandung: IMSTEP JICA
Witmann, M. C. (2002). The object coordination class applied to wavepulses: analysing student
reasoning in wave physics. International Journal of Science Education, 24(1), 97-118.
Wittmann, M.C. (1998). Making sense of how students come to an understanding of physics: an
example from mechanical waves (Doctoral Dissertation, University of
Maryland. ?. Retrieved from ProQuest Dissertations & Theses. (AAT 9921649)
Witmann, M.C., Steinberg, R.N. & Redish, E.F. (1999). Making sense of how students make sense
of mechanical waves. Physics Teacher, 37, 15-21.
149
PENDAHULUAN
Model pembelajaran aktif memiliki banyak kelebihan dibanding pembelajaran konvensional,
salah satunya adalah lebih memberdayakan potensi mahasiswa untuk terlibat secara aktif dalam
pembelajaran sehingga mencapai hasil belajar yang optimal. Hasil-hasil penelitian terdahulu
menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan pembelajaran tradisional (kuliah satu arah),
pembelajaran aktif ini memberikan peluang bagi mahasiswa untuk dapat menyerap lebih banyak
materi pelajaran, mengingat dan memahami lebih lama, dan yang terpenting adalah menyukai
150
aktivitas belajar itu sendiri. Meyer & Jones (1993) mengemukakan bahwa pada pembelajaran aktif
terjadi aktivitas berbicara dan mendengar, menulis, membaca, dan refleksi yang menggiring ke
arah pemaknaan mengenai isi pelajaran, ide-ide, dan berbagai hal yang berkaitan dengan satu topik
yang sedang dipelajari. Selain itu telah banyak ditemukan bahwa kualitas pembelajaran akan
meningkat jika para mahasiswa peserta proses pembelajaran memperoleh kesempatan yang luas
untuk bertanya, diskusi, dan menggunakan secara aktif pengetahuan baru yang diperoleh [1].
Model pembelajaran aktif telah diterapkan pada perkuliahan Fisika Keramik (2010),
Termodinamika (2011). Berdasarkan hasil penelitian
yang dilakukan Hartatiek (2010)
menunjukkan bahwa hasil belajar mahasiswa meningkat 12.73% masih dalam klasifikasi medium.
Temuan lain menunjukkan bahwa keterampilan mahasiswa dalam hal: kerjasama, komunikasi , dan
berpikir kritis juga meningkat, dan yang penting lagi adalah sebanyak 94,6% mahasaiswa
termotivasi belajarnya [2]. Hasil penelitian Hartatiek (2011) menunjukkan adanya peningkatan
hasil belajar 22,08% dalam klasifikasi medium. Pembelajaran aktif mendapat respon positif dari
mahasiswa sebesar 86,67% dan dapat melatih keterampilan komunikasi dengan bahasa Inggris
sebesar 93,33% [3].
Berdasarkan dua hasil penelitian yang telah diuraikan tersebut menunjukkan bahwa hasil
belajar mahasiswa mengalami peningkatan tetapi masih belum optimal, masih dalam klasifikasi
medium. Hasil belajar yang belum optimal ini mungkin disebabkan mahasiswa kurang berlatih
dalam problem solving (pemecahan masalah) soal-soal kuantitatif. Pemecahan masalah menuntut
tidak hanya penguasaan konsep tetapi juga keterampilan yang memadai sehingga diperlukan
latihan. Untuk mengoptimalkan hasil belajar mahasiswa dilakukan penelitian dengan memadukan
antara pembelajaran aktif dan problem solving dengan tujuan selain mahasiswa menguasai konsep
juga mampu menyelesaikan masalah dengan baik sehingga hasil belajarnya optimal.
Problem solving secara definisi diartikan sebagai perumusan jawaban melalui penerapan
aturan-aturan yang telah dipelajari sebelumnya untuk membuat penyelesaian. Untuk dapat
menemukan prinsip pemecahan masalah, seseorang dituntut telah menguasai beberapa kaidah,
kaidah baru dapat dikuasai setelah konsep-konsep tertentu telah dikuasai, demikian seterusnya.
Metode-metode kerja tertentu ini selanjutnya oleh Heller [4] disebut strategi pemecahan masalah
secara eksplisit yang terdiri dari lima langkah: (1) memfokuskan masalah, (2) menggambarkan
keadaan fisisnya, (3) merencanakan penyelesaian, (4) menyelesaian masalah berdasarkan rencana,
dan (5) mengevaluasi hasil (jawaban).
Tujuan dari penelitian ini: (1) untuk mengetahui pengaruh paduan pembelajaran aktif dan
problem solving terhadap peningkatan pemahaman konsep, dan (2) untuk mengetahui pengaruh
paduan pembelajaran aktif dan problem solving terhadap peningkatan kemampuan problem
solving.
Bonwell (1995) mengemukakan, bahwa pembelajaran aktif memiliki karakteristik antara
lain: (1) Penekanan proses pembelajaran bukan pada penyampaian informasi oleh pengajar,
melainkan pada pengembangan keterampilan pemikiran analitis dan kritis terhadap topik atau
permasalahan yang dibahas; (2) Mahasiswa tidak hanya mendengarkan kuliah secara pasif tetapi
mengerjakan sesuatau yang dibekaitan dengan materi kuliah; (3) Penekanan pada ekplorasi nilainilai dan sikap-sikap berkenaan dengan materi kuliah; (4) Mahasiswa lebih banyak dituntut untuk
berpikir kritis, menganalisis dan melakukan evaluasi; dan (5) Umpan balik yang lebih cepat akan
terjadi pada proses pembelajaran [5].
Disamping karakteristik tersebut, secara umum dalam proses pembelajaran aktif
memungkinkan diperolehnya beberapa hal yaitu: (1) interaksi yang timbul selama proses
pembelajaran akan menimbulkan positive interdepedence dimana konsolidasi pengetahuan yang
dipelajari hanya dapat diperoleh secara bersama-sama melalui eksplorasi aktif; (2) Setiap individu
harus terlibat aktif dalam proses pembelajaran dan pengajar harus bisa mendapatkan penilaian
untuk setiap mahasiswa sehingga terdapat individual accountability; (3) Proses pembelajaran aktif
dapat berjalan dengan efektif diperlukan kerjasama yang tinggi sehingga akan memupuk social
151
skills. Dengan demikian kualitas pembelajaran dapat ditingkatkan sehingga penguasaan materi juga
meningkat.
Memadukan pembelajaran aktif dan problem solving dalam suatu pembelajaran artinya
menerapkan salah satu model pembelajaran aktif dalam penelitian ini model collaborative learning
group dan dilanjutkan dengan problem solving dalam satu rangkaian pertemuan tatap muka.
Collaborative learning group: model ini diawali dengan presentasi di depan kelas kemudian diikuti
dengan tanya jawab, sangat efektif untuk mendorong mahasiswa berpikir mengenai berbagai sisi
yang berkaitan dengan topik, sehingga dapat mengasah pemahaman yang lebih kuat. Dalam
collaborative learning group akan terjadi beberapa proses penting di antaranya self explanation
dan students tutoring to each other.
Setelah presentasi dan diskusi kelas selesai dilanjutkan dengan penguatan materi oleh dosen
dan diakhiri dengan problem solving untuk menguatkan pemahaman konsep serta melatih
mahasiswa agar terampil menyelesaikan masalah. Untuk dapat menemukan prinsip pemecahan
masalah, seseorang dituntut telah menguasai beberapa kaidah, kaidah baru dapat dikuasai setelah
konsep-konsep tertentu telah dikuasai, demikian seterusnya. Metode-metode kerja tertentu ini
terdiri dari lima langkah: (1) memfokuskan masalah, (2) menggambarkan keadaan fisisnya, (3)
merencanakan penyelesaian, (4) menyelesaian masalah berdasarkan rencana, dan (5) mengevaluasi
hasil (jawaban).
Langkah-langkah pembelajaran yang memadukan model pembelajaran aktif dan problemsolving dilakukan sebagai berikut:
1. Mahasiswa dibagi dalam kelompok yang beranggotakan 3-4 orang untuk berdiskusi dalam
memahami konsep/materi (collaborative learning group)
2. Setiap kelompok wajib membuat rangkuman individual tentang materi yang akan dibahas,
tugas merangkum dikerjakan di rumah.
3. Salah satu kelompok ditunjuk untuk presentasi (explanation to the others))
4. Dilanjutkan dengan diskusi antara penyaji dan audien bisa dalam bentuk bertanya,
menyanggah, mengemukakan pendapat atau menjawab (penggalian konsep).
5. Review/ penguatan konsep oleh dosen.
6. Kelompok penyaji maupu audien melakukan pemecahan masalah dari soal-soal kuantitatif
yang sudah diberikan dosen minggu lalu. Pemecahan masalah mengikuti 5 tahapan: (1)
memfokuskan masalah, (2) menggambarkan keadaan fisisnya, (3) merencanakan penyelesaian,
(4) menyelesaian masalah berdasarkan rencana, dan (5) mengevaluasi hasil jawaban (problem
solving).
7. Memberi kuis/tes harian pada setiap akhir perkuliahan agar memotivasi mahasiswa untuk
belajar.
8. Rangkuman dan pemecahan masalah dikumpulkan untuk dinilai.
9. Minggu berikutnya tugas merangkum dan pemecahan masalah serta hasil kuis yang sudah
dinilai dibagikan untuk umpan balik bagi mahasiswa.
METODE
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan the one group
pretest-posttest design [6]. Penelitian kuasi eksperimen tanpa kelompok kontrol dan pretestposttest dilakukan dalam satu kelompok . Subyek penelitian adalah mahasiswa prodi fisika
semester IV yang sedang menempuh matakuliah fisika Modern pada semester genap 2011/2012
sebanyak 29 orang. Pada subjek diberikan pretest sebelum perlakuan dan posttest setelah
perlakuan. Bentuk perlakuannya adalah pembelajaran aktif model debat yang dipadukan dengan
problem solving. Pretest dimaksudkan untuk mengetahui pemahaman konsep dan kemampuan
problem-solving awal mahasiswa sebelum perlakuan sedangkan postest untuk mengetahui
pemahaman konsep dan kemampuan problem-solving mahasiswa setelah perlakuan.
Presedur penelitian ini meliputi langkah-langkah: 1) melakukan pretest pemahaman konsep
dan kemampuan poblem solving ; 2) memberikan perlakuan pembelajaran aktif dan problem
152
solving pada materi: mekanika kuantum, struktur atomik dan teori kuantum atom hidrogen; 3)
memberikan posttest pemahaman konsep dan kemampuan problem solving.
Pretest pemahaman konsep berupa tes pilihan benar salah berjumlah 25 soal, dengan skor
maksimal 100, fokus pada penguasan materi (konsep). Sedangkan pretest kemampuan problem
solving berupa tes essay berjumlah 5 soal, dengan penekanan pada kemampuan mahasiswa
melakukan pemecaha menggunakan lima langkah eksplisit yang dikemukakan oleh Heller dengan
skor maksimal 100.
Postest pemahaman konsep berupa tes essay 5 soal tentang materi (konsep) dengan skor
maksimal 100. Sedangkan postest kemampuan problem solving berupa tes essay berjumlah 5 soal
yang lebih ditekankan pada penyelesaian menggunakan 5 langkah penyelesaian dengan skor
maksimal 100. Data pemahaman konsep dan kemampuan problem solving dianalisis dengan
menghitung skor minimal, skor maksimal, dan skor rata-rata.
Peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan problem solving mahasiswa dapat dilihat
dengan membandingkan antara skor rata-rata pretest dan skor rata-rata postest. Untuk mengetahui
seberapa besar tingkat peningkatan skor tersebut ditentukan gain ternormalisasi rata-rata, yaitu
gain rata-rata aktual dibagi dengan gain rata-rata aktual maksimum yang mungkin, dengan rumus
berikut [7].
% < >
% < > % < >
<>=
=
% < >
% < >
Klasifikasi peningkatan pemahaman konsep dan kemampuan problem solving ditandai oleh
besarnya < > , yakni :
< > tinggi jika terdapat < > lebih besar daripada 0,7
< > medium jika terdapat < > antara 0,3 sampai dengan 0,7
< > rendah jika terdapat < > lebih kecil daripada 0,3
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Data Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah
Hasil analisis data pemahaman konsep dan kemampuan problem-solving mahasiswa Prodi
Fisika pada matakuliah fisika Modern pada semester Genap 2011/2012 disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Mahasiswa Prodi Fisika
pada Matakuliah Fisika Modern Semester Genap 2011/2012
Variabel
Pemahaman Konsep
Kemampuan Pemecahan
Masalah
Statistik
Skor minimal
Skor maksimal
Skor rerata
Skor minimal
Pretest
60
88
67,03
0
Posttest
15
95
72,76
0
Skor maksimal
Skor rerata
78
32,97
90
62,07
Peningkatan
-45
7
5,73
0
12
29,1
Gain
0,17
0,43
Berdasarkan data pada Tabel 1, untuk pemahaman konsep tampak bahwa skor maksimal
pretest dibanding postest mengalami peningkatan sekitar 7%, ada peningkatan yang tidak terlalu
besar tetapi kedua skor berada pada klasifikasi sangat baik (klasifikasi A). Sedangkan skor minimal
pretest dibanding postest terjadi penurunan. Skor rerata pretest dan postest mengalami peningkatan
5,73 % atau gain 0,17 yang berada pada klasifikasi rendah. Keadaan ini menunjukkan: (1) soal
pretest memiliki tingkat kesulitan yang lebih rendah dibandingkan soal postest, (2) ada
kemungkinan bentuk soal pilihan ganda pada pretest memberi peluang untuk melakukan gambling
dalam menjawab, (3) ada variasi yang lebar pada tingkat pemahaman konsep mahasiswa.
153
Untuk kemampuan pemecahan masalah skor maksimal pretest dibanding postest mengalami
peningkatan 12%, ada peningkatan yang tidak terlalu besar tetapi kedua skor berada padaklasifikasi
baik dan sangat baik (B+ dan A). Sedangkan skor minimal pretest dan postest tidak menglami
peningkatan dan berada pada skor terendah yakni 0.Hal ini menunjukkan ada mahasiswa yang
mengalami masalah serius dalam belajar.
2. Data Penilaian Proses Pembelajaran Meliputi Keaktifan dalam Diskusi, Membuat
Rangkuman, Presentasi Individual, Kuis Harian
Data hasil analisis terhadap proses pembelajaran yang meliputi keaktifan dalam diskusi,
membuat rangkuman, presentasi dan kuis harian disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Data Proses Pembelajaran
Proses Pembelajaran
SkorRerata
Keaktifan
81,4
Rangkuman
81,9
Presentasi
79,9
Kuis
81,3
Berdasarkan data pada Tabel 2 tampak bahwa keaktifan dalam diskusi dengan rerata skor
81,4 berada pada klasifikasi baik. Membuat rangkuman dengan rerata skor 81,9 berada pada
klasifikasi baik. Presentasi dengan rerata skor 79,9 berada pada klasifikasi baik. Kuis harian dengan
rerata skor 81,3 berada pada klasifikasi baik. Secara keseluruhan proses pembelajaran memperoleh
rerata skor 81,1 pada klasifikasi baik ( A-).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan hal-hal berikut:
1. Ada pengaruh paduan pembelajaran aktif dan problem solving terhadap pemahaman konsep
mahasiswa pada matakuliah Fisika Modern dengan peningkatan pada klasifikasi rendah.
2. Ada pengaruh paduan pembelajaran aktif dan problem solving terhadap kemampuan
pemecahan masalah mahasiswa pada matakuliah Fisika Modern dengan peningkatan pada
klasifikasi medium.
3. Paduan pembelajaran aktif dan problem solving dapat meningkatkan antusiasme mahasiswa
dalam mengikuti proses pembelajaran dengan dukungan keaktifan sebesar 81,4.
4. Proses pembelajaran aktif dan problem solving dapat berlangsung dengan klasifikasi baik (A-).
Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan hal-hal berikut:
1. Untuk pembelajaran aktif diperlukan perangkat asessmen yang memadai karena segala
aktivitas yang dilakukan mahasiswa mendapat penilaian.
2. Semua hasil asessmen sangat perlu untuk dikembalikan/diberikan kepada mahasiswa sebagai
umpan balik terhadap apa yang sudah dilakukannya (refleksi).
3. Pemecahan masalah perlu ditingkatkan diluar jam tatap muka melalui tutorial atau tugas
mandiri untuk lebih meningkatkan ketrampilan pemecahan masalah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Ketua Jurusan Fisika
FIMIPA UM yang telah memberi kesempatan untuk menulis makalah ini.
DAFTAR RUJUKAN
Bonwell CC & Eison JA. 1991. Active Learning: Creating Excitement in the Classroom.
Washington, DC : George Washington University
Hake, R. 1988. Interactive-engagement vs traditional methods: a six-thousand-student survey of
mechanics tes data for introductory physics courses. Am. J, phys. 64-74.
154
Hartatiek, 2010. Penerapan Beberapa Teknik Pembelajaran Aktif untuk Meningkatkan Hasil
Belajar Fisika Keramik dan Softskill Mahasiswa Prodi Fisika. Foton: Jurnal Fisika dan
Pembelajarannya, 14 (1) hal. 41-48 Juli 2010 ISSN 14103273.
Hartatiek, 2011. Penerapan Beberapa Teknik Pembelajaran Aktif Termodifikasi Pada Perkuliahan
Termodinamika untuk Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan
Berbahasa Inggris Mahasiswa Jalur SBI. Semnar Nasionala LS IV di FMIPA, UM tanggal 1
November 2011, ISBN: 987-602-97895-5-3
Huffman, D. 1997. Effect of Explicit Problem Solving Instruction on High School StudentProblem
Solving Performance and Concepual Understanding of Physics. Journal of Research in
Science Teaching, 34 (6), p. 551-570.
Samadhi, A. 2008. Pembelajaran Aktif. Makalah dalam Teaching improvement Workshop.
Tuckman, Bruce W. 1987. Conducting Educational Research (second edition). New York: harcourt
Brace Jovanovich, Inc.
155
PENDAHULUAN
Saat ini Indonesia dihadapkan pada permasalahan multidimensi yang menyentuh berbagai
tatanan kehidupan mendasar manusia. Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan pada
umumnya dan pada khususnya fisika di Indonesia adalah kualitas proses dan hasil pembelajaran
masih belum optimal. Proses pembelajaran yang dilakukan belum sepenuhnya diarahkan untuk
mengembangkan kemampuan berpikir siswa, seperti memahami makna yang dipelajari,
menggunakan konsep untuk memecahkan masalah, menganalisis, mensintesis, maupun melakukan
evaluasi untuk refleksi.
Krisis pada aspek sosial juga sudah melanda sebagian siswa di sebagian sekolah. Di sekolah
sudah terjadi menurunnya etika siswa, tawuran, dan demo yang anarkis. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa pendidikan karakter di sekolah mulai menurun.
156
Salah satu alternatif untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah melalui peningkatan
kualitas pembelajaran. Tujuan pembelajaran pada hakekatnya mengacu pada hasil pembelajaran
yang diharapkan dan karakteristik siswa (Degeng, 1989). Suatu perubahan tingkah laku terjadi
akibat proses belajar, dan perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar meliputi tiga domain, yaitu
kognitif, afektif, dan psikomotor (Anderson, 2001). Fungsi dan tujuan mata pelajaran fisika di
SMA/MA diantaranya adalah sebagai sarana untuk: 1) mengembangkan kemampuan berpikir
analisis induktif dan deduktif dengan menggunakan konsep dan prinsip fisika untuk menjelaskan
berbagai peristiwa alam dan menyelesaian masalah baik secara kualitatif maupun kuantitatif, 2)
menguasai pengetahuan, konsep, dan prinsip fisika serta mempunyai keterampilan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri sehingga dapat diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari dan sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang yang
lebih tinggi. Untuk itu dalam kegiatan pembelajaran perlu ada pergeseran penekanan dari apa
bahan yang akan dipelajari siswa ke bagaimana membelajarkan kompetensi dan memperkaya
pengalaman belajar siswa. Kegiatan pembelajaran lebih diarahkan pada belajar daripada
mengajar. Kondisi ini mendudukkan guru sebagai fasilitator sehingga proses belajar dapat
berlangsung dengan siswa lebih aktif. Semua siswa diajak terlibat aktif dalam kegiatan
pembelajaran.
Keberhasilan siswa sebagian besar bergantung pada kemahiran untuk belajar secara mandiri
dan memonitor belajar mereka sendiri. Mengajarkan siswa bagaimana belajar merupakan suatu
tujuan pendidikan yang sangat penting dan merupakan tujuan utama, hanya saja pengajar jarang
sekali melakukannya. Pengajar seringkali meminta siswa untuk belajar, tetapi jarang mengajarkan
bagaimana belajar pada siswa. Untuk itu perlu dikembangkan prinsip-prinsip umum tentang
bagaimana belajar, bagaimana mengingat, bagaimana memecahkan masalah, dan kemudian
mengemasnya dalam bentuk pelajaran yang siap diterapkan (Weinstein & Meyer dalam Arends,
1997). Hal ini menunjukkan pentingnya pengajaran strategi belajar.
Strategi belajar atau strategi kognitif adalah alat untuk membantu siswa belajar dengan
kemampuannya sendiri untuk menyelesaikan tugas-tugas pembelajaran (Arends, 1997). Strategistrategi belajar dapat dibagi dalam empat kategori, yaitu strategi pengulangan, strategi elaborasi,
strategi kognisi, serta strategi metakognitif (Arends, 1997).
Strategi metakognitif berhubungan dengan berpikir siswa dengan berpikirnya sendiri dan
kemampuannya untuk memonitor proses-proses kognitif. Strategi metakognitif meliputi
pengetahuan tentang kognisi dan kemampuan memonitor, mengendalikan, dan mengevaluasi
fungsi kognitif diri sendiri (Arends, 1997). Dirkes (1998), menyatakan bahwa strategi metakognitif
dasar adalah menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan terdahulu, memilih strategi
berpikir secara sengaja, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi proses berpikir. Strategi
metakognitif terkait erat dengan metakognisi.
Metakognisi merupakan keterampilan yang dimiliki oleh siswa dalam mengatur dan
mengontrol proses berfikirnya (Pusdiklat Depdiknas, 2008; Hitipeauw, 2009). Menurut Preisseien
(2008) metakognisi meliputi empat jenis ketrampilan, yaitu: 1) ketrampilan pemecahan masalah; 2)
keterampilan pengambilan keputusan (decision making); 3) keterampilan berpikir kritis (critical
thinking) dan 4) keterampilan berpikir kreatif (creative thinking). Keterampilan metakognitif
diyakini memegang peranan pada banyak tipe aktivitas kognitif termasuk pemahaman, komunikasi,
perhatian, ingatan, dan pemecahan masalah (Howard, 2004). Livingstone (1997) menyatakan
metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar pembelajaran berhasil.
Belajar pada dasarnya memiliki aspek sosial, dan siswa harus tetap mampu belajar bersama
dengan siswa lain, maka diperlukan rancangan pembelajaran yang dapat memberikan kesempatan
kepada siswa untuk melakukan proses interaksi sosial, interpersonal, dan meningkatkan
kemampuan akademik. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat mencakup hal tersebut adalah
pembelajaran kooperatif.
Pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran dengan kelompok-kelompok kecil
dengan kemampuan heterogen, menggunakan berbagai aktivitas belajar untuk meningkatkan
157
pemahaman mereka (Kagan, 1994). Pada pembelajaran kooperatif diajarkan keterampilanketerampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi
pendengar yang baik, menghargai kontribusi, berada dalam tugas, menerima tanggungjawab, dan
lain-lain. Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana keberhasilan
individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994). Pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan penting pembelajaran, yaitu
hasil belajar akademik, penerimaan terhadap keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial
(Arends, 1997). Penelitian menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan prestasi akademik, meningkatkan retensi, meningkatkan respon belajar, membantu
mengembangkan keterampilan komunikasi lisan dan keterampilan sosial, dan meningkatkan harga
diri siswa (Kagan, 1994; Slavin, 1994, Neo, 2005; Lara, 2007; Willis, 2007; Manlunas, 2009;
TSOI, et al., 2004; Zingaro, 2008).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi kooperatif memiliki berbagai keunggulan,
antara lain: memudahkan siswa melakukan penyesuaian sosial; meningkatkan keterampilan
metakognitif; meningkatkan kemampuan memandang masalah dan situasi dari berbagai
perspektif; meningkatkan motivasi belajar instrinsik; meningkatkan sikap positif terhadap belajar
dan pengalaman belajar; meningkatkan keterampilan hidup bergotong-royong; meningkatkan
kemampuan berpikir divergen atau berpikir kreatif; memungkinkan siswa mampu mengubah
pandangan klise dan stereotip menjadi pandangan yang dinamis dan realistis; meningkatkan rasa
harga diri dan penerimaan diri; meningkatkan hubungan positif antara siswa dengan guru
dan personel sekolah ( Johnson dan Johnson dalam Nurhadi, 2003:63-64).
Terdapat beberapa tipe/jenis pembelajaran kooperatif, diantaranya adalah Student Teams
Achievement Division (STAD), Jigsaw, Numbered Heads Together (NHT), Investigasi Kelompok
(GI), Teams-Games-Tournamen (TGT), dan Think-Pair-Share (TPS). Setiap tipe pembelajaran
kooperatif mempunyai ciri khas masing-masing tentang jumlah anggota kelompok dan langkahlangkah pembelajarannya. Pemilihan tipe disesuaikan dengan karakteristik siswa dan materi, dan
ketersediaan sarana dan prasarana serta waktu yang tersedia.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam makalah ini
adalah : 1) bagaimanakah rancangan pembelajaran kooperatif dengan strategi metakognitif sebagai
alternatif solusi untuk meningkatkan keterampilan sosial, kemampuan metakognitif dan pemecahan
masalah fisika bagi siswa SMA/MA?, 2) bagaimanakah pengaruh pembelajaran kooperatif dengan
strategi metakognitif terhadap keterampilan sosial, kemampuan metakognitif dan kemampuan
pemecahan masalah fisika?
PEMBAHASAN
Metakognisi, Kemampuan Metakognitif, dan Strategi Metakognitif
Metakognisi
Terdapat beberapa pengertian tentang metakognisi, yaitu: (1) metakognisi berhubungan
dengan berpikir siswa tentang berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan
strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat (Arends, 1997), (2) metakognisi mencakup perumusan
tujuan, memantau, assessment diri (self-assesing), dan pengaturan diri (self-regulating) selama
proses berpikir dan menyelesaikan tugas belajar (Peirce, 2004 : 3), (3) metakognisi adalah
kesadaran dan kontrol terhadap terhadap proses kognitif, yaitu proses mengetahui dan memantau
proses berpikir sendiri (Peters, 2000; Eggen dan Kauchak dalam Miranda, 2008; Hitipeauw, 2009),
(4) keterampilan metakognitif pada umumnya dibagi dalam 2 tipe, yaitu self assessment atau
keterampilan mengakses kognitif sendiri dan self management atau mengelola perkembangan
kognitif sendiri lebih lanjut, sedangkan metakognitif adalah pengetahuan yang berasal dari proses
kognitif sendiri beserta hasil-hasilnya (Djiwandono, 2006:168), (5) metakognisi menunjukan
berpikir pada urutan yang lebih tinggi yang mencakup kontrol aktif terhadap proses-proses kognitif
158
yang terlibat dalam belajar atau metacognition refers to higher order thinking which involves
active control over the cognitive processes engaged in learning (Livingston, 1997:1). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa metakognisi adalah kemampuan/keterampilan yang dimiliki
seseorang dalam mengatur dan mengontrol proses berpikirnya sendiri. Livingstone (1997)
menyatakan metakognisi memegang salah satu peranan kritis yang sangat penting agar
pembelajaran berhasil. Siswa dapat belajar lebih aktif, bergairah, dan percaya diri selama proses
pembelajaran karena pengajar mampu mengembangkan strategi metakognitif (Hollingworth &
McLouglin, 2001).
Kemampuan metakognitif
Tiga keterampilan yang terlibat pada metakognisi, yakni 1) keterampilan memahami
strategi atau sumber apa, dan bagaimana yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas, 2)
keterampilan mengetahui bagaimana menggunakan strategi, atau sumber dan sebagainya itu, 3)
keterampilan mengetahui kapan penggunaan strategi, atau sumber dan sebagainya itu (Corebima,
2006:3).
Terdapat empat kemampuan yang dikembangkan dalam strategi metakognitif menurut
Oxford (1990), yaitu : 1) planning, 2) monitoring, 3) problem solving, dan 4) evaluating. Untuk itu
dalam penelitian ini kemampuan metakognitif yang dikaji adalah kemampuan metakognitif yang
meliputi perencanaan diri (self-planning), pemantauan diri (self-monitoring), problem solving, dan
evaluasi diri (self-evaluation). Kemampuan metakogniif tersebut terkait dengan tujuan belajar,
waktu penyelesaian tugas, pengetahuan awal, serta strategi-strategi kognitif yang digunakan untuk
menyelesaikan tugas.
Strategi metakognitif
Strategi metakognitif adalah strategi yang digunakan untuk mengetahui proses kognitif dan
caranya berpikir tentang bagaimana informasi diproses (Arends, 1997). Strategi metakognitif
digunakan oleh siswa dalam kegiatan pembelajarannya (Corebima, 2006 : 10). Strategi
metakognitif dasar adalah menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan terdahulu, memilih
strategi berpikir secara sengaja, merencanakan, memantau, dan mengevaluasi proses berpikir
(Dirkes, 1998). Arends (1997) menyatakan bahwa pengetahuan metakognitif merupakan
pengetahuan seseorang tentang pembelajaran diri sendiri atau kemampuan untuk menggunakan
strategi-strategi belajar tertentu dengan benar. Ini berarti bahwa pembelajaran metakognitif bagi
siswa adalah sangat penting. Jika siswa telah memiliki metakognisi, maka siswa akan terampil
dalam strategi metakognitif. Siswa yang terampil dalam strategi metakognitif akan lebih cepat
menjadi anak mandiri.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi metakognitif dan strategi pemecahan masalah
secara signifikan dapat meningkatkan prestasi akademik, kesadaran metakognitif, dan pengetahuan
metakognitif (Ponnusamy, tanpa tahun : 133). Menurut Abdurrahman (1999: 179) prestasi
akademik banyak terkait dengan kemampuan memori dan keterampilan metakognitif. Keterampilan
metakognitif merupakan pemahaman proses kognisinya sendiri dan kemampuan memantau strategi
yang digunakan saat mempelajari tugas. Selama pemecahan masalah, meningkatkan pengetahuan
metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kognitif pada tingkat yang lebih
tinggi.
Ada lima langkah dalam melatihkan strategi, yaitu 1) preparation, 2) presentation, 3)
practice, 4) evaluation, dan 5) expansion (ubuku', tanpa tahun). Sesuai uraian tersebut di atas,
maka strategi metakognitif yang dikaji terkait dengan kemampuan metakognitifi, yaitu 1) planning,
2) monitoring, 3) problem solving, dan 4) evaluating.
Pemecahan Masalah Fisika
Masalah (problem) adalah suatu situasi yang tak jelas jalan pemecahannya yang
mengkonfrontasikan individu atau kelompok untuk menemukan jawaban. Pemecahan masalah
159
(problem solving) adalah upaya individu atau kelompok untuk menemukan jawaban berdasarkan
pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya dalam rangka memenuhi tuntutan situasi yang tak
lumrah (Krulik & Rudnick, 1996). Aktivitas pemecahan masalah diawali dengan konfrontasi dan
berakhir apabila sebuah jawaban telah diperoleh sesuai dengan kondisi masalah.
Kegiatan pemecahan masalah, harus dirancang untuk mempromosikan proses kognitif yang
terstruktur membangun pengetahuan dan mengembangkan kebiasaan pikiran yang diinginkan dan
untuk membimbing siswa melalui lima tahap perkembangan kognitif dan keterampilan
metakognitif harus diajarkan (Gerace, 2005). Tiga cara independen yang dipercaya siswa mampu
belajar memecahkan masalah fisika adalah: (1) bekerja pada masalah; (2) menggunakan umpan
balik, dan (3) melihat/mendengar contoh solusi masalah (Kuo, dkk., 2002).
Pembelajaran Kooperatif dan Keterampilan Sosial
Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran melalui penggunaan kelompok
kecil yang heterogen (kemampuan akademik, jenis kelamin, ras) untuk bekerja sama dalam
memaksimalkan kondisi belajar dalam mencapai tujuan belajar (Johnson, dkk., 1994, Eggen &
Kauchack, 1996). Pembelajaran kooperatif memiliki ciri-ciri khusus, yaitu: (1) siswa bekerja dalam
kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya, (2) kelompok dibentuk dari
siswa yang memiliki kemampuan heterogen (tinggi, sedang dan rendah), (3) bilamana mungkin,
anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda-beda, (4)
penghargaan lebih berorientasi kelompok dari pada individu (Arends, 1997; Slavin, 2005, Ibrahim,
dkk., 2000).
Tujuan dibentuk kelompok adalah untuk memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk
dapat terlibat aktif dalam proses berpikir dan kegiatan belajar (Arends, 1997). Pembelajaran
kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidaknya tiga tujuan pembelajaran yang penting, yaitu:
(1) meningkatkan prestasi akademik, (2) penerimaan terhadap keanekaragaman, dan (3)
mengembangkan keterampilan sosial (Kagan, 1994; Arends, 1997; Slavin, 2005). Tujuan
terpenting dari pembelajaran kooperatif adalah belajar keterampilan berkerja sama dan
berkolaborasi. Keterampilan kooperatif berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas
dalam proses pembelajaran kooperatif. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan
mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dapat dilakukan
dengan membagi tugas antar anggota kelompok (Trianto, 2007).
Lingkungan belajar untuk pembelajaran kooperatif dicirikan oleh proses demokrasi dan
peran aktif siswa dalam menentukan apa yang harus dipelajari dan bagaimana mempelajarinya.
Pembelajaran kooperatif bertitik tolak dari pandangan John Dewey dan Herbert (dalam Arends,
1997) yang menyatakan bahwa pendidikan dalam masyarakat demokratis seyogyanya mengajarkan
proses demokratis secara langsung. Perilaku kooperatif dipandang oleh Dewey dan Thelan sebagai
dasar demokrasi, dan sekolah dipandang sebagai laboratorium untuk mengembangkan demokrasi.
Tokoh konstruktivisme terkait dengan pembelajaran kooperatif adalah Piaget dan Vygotsky
yang keduanya menekankan adanya hakekat sosial dalam belajar di samping penekanan utama
pada perubahan kognitif yang hanya terjadi, jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami
sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami informasiinformasi baru (Slavin, 1994). Ide pokok teori konstruktivisme adalah siswa secara aktif
membangun pengetahuan mereka sendiri. Pembelajaran merupakan kerja mental aktif, bukan
menerima pengajaran dari pengajar secara pasif. Dalam kerja mental siswa ini pengajar memegang
peran penting dengan cara memberikan dukungan, tantangan berpikir, melayani sebagai pelatif atau
model, namun tetap merupakan kunci pembelajaran (Woolfolk, 1990). Bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah,
menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha susah payah dengan ide-ide (Slavin, 1994).
Teori Vygotsky menekankan pada hakikat sosial dalam pembelajaran, yakni siswa dapat
belajar melalui interaksi dengan teman sebaya yang lebih mampu. Pembelajaran kooperatif muncul
dari konsep bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep yang sulit jika
160
mereka saling berdiskusi dengan temannya. Vygotsky (dalam Slavin, 1994). mengemukakan
bahwa siswa belajar konsep paling baik, jika konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat
mereka atau yang sering disebut zone of proximal development. Tugas-tugas dalam zone of
proximal development adalah yang tidak bisa dilakukan sendiri oleh anak, namun bisa dilakukan
dengan bantuan pengajar, teman atau orang tuanya. Hal ini sering disebut dengan belajar
berbantuan (assisted learning).
Ide penting lain dari Vygotsky adalah scaffolding, yaitu memberikan bantuan pada tahap
awal belajar dan membiarkan anak mengambil tanggungjawabnya sendiri segera setelah ia mampu
melakukannya (Slavin, 1994). Scaffolding adalah bantuan untuk belajar dan pemecahan masalah.
Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan, menguraikan masalah-masalah ke
dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, atau apapun yang lain yang
memungkinkan siswa tumbuh sendiri (Slavin, 1994).
Agar pembelajaran kooperatif dapat berjalan efektif, maka perlu ditanamkan unsur-unsur
dasar pembelajaran kooperatif sebagaimana disebutkan dalam Lundgren (1994), yaitu: (1) siswa
harus memiliki persepsi bahwa mereka sehidup sepenanggungan bersama, (2) siswa bertanggung
jawab terhadap tiap siswa lain dalam kelompoknya, disamping tanggungjawab diri sendiri dalam
mempelajari materi yang dihadapi, (3) siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki
tujuan yang sama, (4) siswa harus membagi tugas dan berbagi tanggung jawab sama besarnya
diantara para anggota kelompok, (5) siswa akan dikenakan evaluasi atau diberikan
hadiah/penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi semua anggota kelompok, (6)
siswa akan berbagi kepemimpinan dan mereka memperoleh keterampilan bekerjasama selama
belajar, (7) siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani
dalam kelompok kooperatif.
Tujuan yang paling penting dari pembelajaran kooperatif adalah belajar keterampilan
berkerja sama dan berkolaborasi. Keterampilan-keterampilan tersebut penting dalam masyarakat
dimana pekerjaan orang dewasa lebih banyak dilakukan dalam organisasi-organisasi yang lebih
luas dan saling bergantung, dan masyarakat menjadi lebih global dalam orientasi mereka.
Keterampilan sosial yang dikembangkan ini merupakan keterampilan kooperatif yang terdiri dari
tiga tingkatan, yaitu keterampilan kooperatif tingkat awal, menengah, dan mahir (Lundgren, 1999 :
22).
Keterampilan kooperatif tingkat awal, meliputi: (1) berada dalam tugas meliputi terlibat aktif
dalam tugas kelompok, meneruskan tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya, (2) mengambil
giliran dan berbagi tugas meliputi bersedia menerima tugas, memberikan kepercayaan kepada
teman dalam menyelesaikan tugas, bekerja sama dalam kelompok dan bersedia membantu teman
dalam menyelesaikan tugas, (3) mendorong partisipasi yaitu mendorong teman untuk memberi
pendapat/ide, (4) mendengarkan dengan aktif yaitu memperhatikan informasi/ penjelasan/ pendapat
yang disampaikan teman kelompok/ guru, dan (5) mengajukan pertanyaan yaitu mengajukan
pertanyaan kepada teman
Keterampilan tingkat menengah, meliputi: (1) penghargaan dan simpati, (2) mengungkapkan
ketidak setujuan dengan cara yang dapat diterima, (3) mendengarkan dengan aktif, (4) bertanya, (5)
membuat ringkasan, (6) menafsirkan, (7) mengatur dan (8) mengorganisasikan,
Keterampilan tingkat mahir, meliputi: (1) mengolaborasikan, (2) memeriksa dengan cermat,
(3) menanyakan kebenaran, (4) menetapkan tujuan, dan (5) berkompromi.
Terdapat enam langkah utama dalam pembelajaran koperatif sebagaimana diungkapkan
Arends (1997) dan Ibrahim, dkk.(2000), yaitu : (1) menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa,
(2) menyajikan informasi, (3) mengorganisasi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar, (4)
membimbing kelompok bekerja dan belajar, (5) evaluasi, dan (6) memberikan penghargaan.
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dalam pembelajaran kooperatif. Penelitian
menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan prestasi
akademik, meningkatkan retensi, meningkatkan respon belajar, membantu mengembangkan
keterampilan komunikasi lisan dan keterampilan sosial, dan meningkatkan harga diri siswa
161
(Kagan, 1994; Slavin, 2005; Gilbert, dkk.,1997; Morgan, 2005; Neo, 2005; Manlunas, 2009;
Duxbury & Tsai, 2010). Lundgren (1994) menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat
memperbaiki sikap, meningkatkan rasa harga diri, kepekaan, toleransi kehadiran, pemahaman,
motivasi, hasil belajar lebih tinggi, retensi lebih lama. Akinbobola (2006), Ho & Bo (2008),
Santyasa (2009), dan Fauzi (2011) menyimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif dapat
meningkatkan hasil belajar fisika. Ini berarti bahwa hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan
bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif unggul dalam meningkatkan hasil belajar, kinerja dan
keterampilan sosial siswa.
Terdapat beberapa tipe/jenis pembelajaran kooperatif, diantaranya adalah Student Teams
Achievement Division (STAD), Jigsaw, Numbered Heads Together (NHT), Investigasi Kelompok
(GI), Teams-Games-Tournamen (TGT), dan Think-Pair-Share (TPS). Setiap tipe pembelajaran
kooperatif mempunyai ciri khas masing-masing tentang jumlah anggota kelompok dan langkahlangkah pembelajarannya. Pemilihan tipe disesuaikan dengan karakteristik siswa dan materi, dan
ketersediaan sarana dan prasarana serta waktu yang tersedia.
Pembelajaran kooperatif Numbered Heads Together (NHT) dan Think-Pair-Share (TPS)
merupakan dua strategi pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural (Arends, 1997;
Ibrahim, dkk., 2000; Slavin, 2005). Pendekatan struktural dikembangkan oleh Spenser Kagan
(Arends, 1997) dan merupakan kegiatan kooperatif informal yang paling bermanfaat (Slavin,
2005). Pendekatan ini menekankan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk
mempengaruhi pola interaksi siswa. Struktur ini menghendaki agar siswa bekerjasama, saling
membantu dalam kelompok kecil dan lebih dicirikan oleh penghargaan kelompok daripada
penghargaan individu. Strategi pembelajaran kooperatif TPS dan NHT merupakan strategi
pembelajaran koperatif yang dapat diterapkan sehari-hari (Slavin, 1994). Pembelajaran koperatif
tersebut dapat diterapkan dalam semua jenjang sekolah, karena sederhana dan mudah dilaksanakan
dan terbukti secara empiris masing-masing tipe pembelajaran kooperatif tersebut dapat
meningkatkan kemampuan akademik dan keterampilan sosial. Berdasarkan alasan tersebut, maka
kedua strategi pembelajaran kooperatif tersebut diterapkan.
Pembelajaran Kooperatif dengan Strategi Metakognitif
Strategi metakognitif dapat dipadukan dalam pembelajaran kooperatif baik secara
terintegrasi maupun terpisah. Rancangan pembelajaran menggunakan strategi metakognitif
terintegrasi dalam pembelajaran kooperatif adalah dengan memberikan lembar aktivitas strategi
metakognitif yang terkait dengan kemampuan metakognitif yang dikembangkan dalam strategi
metakognitif yaitu : 1) planning, 2) monitoring, 3) problem solving, dan 4) evaluating yang
dilakukan siswa pada saat menyelesaikan tugas/pemecahan masalah dalam pembelajaran
kooperatif.
Pembelajaran dengan menggunakan strategi metakognitif terpisah dalam pembelajaran
kooperatif, secara umum langkah-langkah pembelajarannya sama dengan pembelajaran
menggunakan strategi metakognitif terintegrasi, tetapi siswa tidak diberikan lembar aktivitas
strategi metakognitif. Strategi metakognitif dilatihkan di luar pembelajaran kooperatif, namun
selama KBM guru tetap membimbing siswa untuk menerapkan strategi metakognitif.
Pembelajaran Kooperatif dengan Strategi Metakognitif dan Pengaruhnya terhadap
Keterampilan Sosial, Kemampuan Metakognitif dan Pemecahan Masalah Fisika
Gagasan pembelajaran untuk pemecahan masalah sangat ditentukan oleh lingkungan belajar
tempat siswa melakukan interaksi akademik dalam membangun pengetahuan. Oleh karena
lingkungan merupakan salah satu fasilitas bagi siswa untuk mengembangkan pemahaman dan
kemampuan pemecahan masalah, maka konsepsi interaksi sosial merupakan salah satu faktor
penting untuk dipahami. Interaksi sosial yang optimal secara konseptual didukung oleh premis:
Students may learn more if teacher teach them less. Premis ini dilandasi oleh gagasan teoretis:
Meaning making is not just anindividual operation, the individual interacts with others to
162
construct shared knowledge (Costa, 1999). Konsepsi terakhir ini mengisyaratkan, bahwa dalam
pemecahan masalah diperlukan pembelajaran kolaboratif yang memberdayakan potensi dialog
antar siswa. Itulah yang menjadi alasan diterapkannya pembelajaran kooperatif untuk kemampuan
pemecahan masalah fisika. Dampak penggunaan pemecahan masalah ini adalah dapat
meningkatkan pemahaman konsep, kinerja dan prestasi belajar fisika siswa (Gaigher, 2006; Seluk,
2008).
Ada empat komponen kemampuan metakognitif yang dikembangkan dalam strategi
metakognitif yaitu : 1) planning, 2) monitoring, 3) problem solving, dan 4) evaluating (Oxford;
1990). Karena problem solving adalah salah satu komponen kemampuan metakognitif, maka
terdapat pengaruh strategi belajar metakognitif terhadap kemampuan pemecahan masalah fisika.
Kecuali itu untuk memecahkan masalah fisika juga dibutuhkan kemampuan metakognitif yang
lainnya termasuk merencanakan, memonitoring, serta mengevaluasi permasalahan serta bagaimana
pemecahan masalahnya. Guru dapat merangsang siswa untuk mengembangkan keterampilan
metakognitif dengan menilai aspek metakognitif dari pemecahan masalah di kelas dan mendorong
siswa untuk berpikir metakognitif. Metakognisi menyediakan platform yang lebih menjanjikan
untuk menetapkan tujuan, dan untuk melakukan tindakan untuk mencapai tujuan selama
pemecahan masalah (Biryukov, tanpa tahun).
Beberapa hasil penelitian menyimpulkan bahwat: (1) pemahaman muncul dari hasil
evaluasi dan refleksi diri sendiri (Valiotis, 2008), (2) strategi metakognitif dan strategi pemecahan
masalah secara signifikan dapat meningkatkan prestasi akademik, kesadaran metakognitif, dan
pengetahuan metakognitif (Ponnusamy, tanpa tahun : 133), (3) selama pemecahan masalah,
meningkatkan pengetahuan metakognitif, dan siswa dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan
kognitif pada tingkat yang lebih tinggi (Abdurrahman, 1999), dan (4) kegiatan pemecahan masalah,
harus dirancang untuk mempromosikan proses kognitif yang terstruktur membangun pengetahuan
dan mengembangkan kebiasaan fikiran yang diinginkan dan untuk membimbing siswa melalui lima
tahap perkembangan kognitif dan keterampilan metakognitif harus diajarkan secara eksplisit
(Gerace, 2005), (5) tiga cara independen yang dipercaya agar siswa mampu belajar memecahkan
masalah fisika adalah: bekerja pada masalah; menggunakan umpan balik, dan melihat/mendengar
contoh solusi masalah (Kuo, dkk., 2002), (6) siswa yang terampil dalam penilaian metakognitif diri
dan, menyadari kemampuan mereka, lebih strategis dan tampil lebih baik daripada mereka yang
tidak menyadari (Rivers 2001; Schraw dan Dennison, 1994 dalam Justice & Dornan, 2003).
Tujuan penting dari pembelajaran kooperatif adalah mengembangkan keterampilan sosial,
belajar keterampilan berkerja sama dan berkolaborasi. Pada pembelajaran kooperatif diajarkan
keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya,
seperti menjadi pendengar yang baik, menghargai kontribusi, berada dalam tugas, menerima
tanggungjawab, dan lain-lain. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai
ketuntasan (Slavin, 1995). Tujuan dari pembelajaran kooperatif adalah menciptakan situasi di mana
keberhasilan individu ditentukan atau dipengaruhi oleh keberhasilan kelompoknya (Slavin, 1994).
Pembelajaran koperatif berpusat pada siswa dan mendorong siswa untuk bekerja sama dan
berkolaborasi dengan satu sama lain dalam mencapai hasil pembelajaran mereka. Hal ini juga
mendorong siswa untuk mengembangkan kompetensi interpersonal seperti "komunikasi lisan; aktif
mendengarkan; kelompok kepemimpinan; kemampuan untuk memeriksa asumsi-asumsi, dan
kemampuan untuk mentoleransi ambiguitas. Semua keterampilan ini sangat dihargai dalam
hubungan kerja" (Tribe, dalam Neo, 2009).
Penelitian telah menunjukkan bahwa teknik-teknik pembelajaran kooperatif: meningkatkan
pembelajaran siswa dan prestasi akademik, meningkatkan retensi, meningkatkan kepuasan siswa
dengan pengalaman belajar mereka, membantu siswa mengembangkan ketrampilan dalam
komunikasi lisan, mengembangkan siswa keterampilan sosial, meningkatkan harga diri siswa, dan
membantu untuk mempromosikan hubungan ras positif (Kagan, 1994; Slavin, 1995, Neo, 2005;
Lara, 2007; Willis, 2007; Manlunas, 2009; Perera, 2009). Dari uraian tersebut di atas tampak
bahwa pembelajaran kooperatif dapat meningkatkan keterampilan sosial siswa.
163
KESIMPULAN
Sesuai dengan permasalahan dan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Strategi metakognitif dapat dipadukan dalam pembelajaran kooperatif baik secara terintegrasi
maupun terpisah. Rancangan pembelajaran menggunakan strategi metakognitif terintegrasi
dalam pembelajaran kooperatif adalah dengan memberikan lembar aktivitas strategi
metakognitif yang harus ditulis siswa dalam KBM. Pembelajaran dengan menggunakan strategi
metakognitif terpisah dalam pembelajaran kooperatif, secara umum langkah-langkah
pembelajarannya sama dengan pembelajaran menggunakan strategi metakognitif terintegrasi,
tetapi siswa tidak diberikan lembar aktivitas strategi metakognitif. Strategi metakognitif
dilatihkan di luar pembelajaran kooperatif, namun selama KBM guru tetap membimbing siswa
untuk menerapkan strategi metakognitif.
2. Pembelajaran kooperatif dengan strategi metakognitif berdasarkan kajian teoritis dan empiris
diharapkan dapat meningkatkan keterampilan sosial, kemampuan metakognitif dan kemampuan
pemecahan masalah fisika.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, M. 1999. Pendidikan bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineke Cipta.
Akinbobola. 2008. Effects of Cooperative and Competitive Learning Strategies on Academic
Performance of Students In Physics, J.Research in Education, 3(1), pp:1-5, (Online),
(http://academicjournals.org/err/PDF/pdf%202008/Jan/ Kolawole.pdf, diakses 17 Januari
2010).
Anderson, W. L. & Krathwohls, D. R. 2001. Taxonomy for Learning Teaching, Teaching, and
Assesing. A Revision of Blooms Taxonomy of Educatiobal Objectives. Abridged Edision.
New York: DavidnMcKay Company, Inc.
Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction and Management, Chapter 3. New York: McgrawHill.
Blakey, Elaine, Spence, & Sheila. 1990. Developing Metacognition. ERIC Digest. ERIC
Clearinghouse
on
Information
Resources
Syracuse
NY.
(Online),
http://www.ericdigests.org/pre-9218/developing.htm diakses 23 September 2010.
Corebima, A.D. 2006. Metakognisi : Suatu Ringkasan Kajian. Makalah disajikan dalam Pelatihan
Strategi metakognitif pada Pembelajaran Biologi untuk Guru-Guru Biologi SMA.
Palangkaraya : LPKM UNPAR.
Cokun, Abdullah.2010. The effect of metacognitive strategy training on the listening performance
of beginner students. Novitas-ROYAL (Research on Youth and Language), 2010,4 (1), 3550.
ubuku', Feryal. 2008.. How To Enhance Reading Comprehension Through Metacognitive
Strategies. Uluslararas Sosyal Aractrmalar Dergisi The Journal Of International Social
Research Volume 1/2 Winter 2008, diakses 19 September 2010.
Degeng, I N. S. 1989. Teori Pembelajaran 1: Variabel. Jakarta : P2LPTK, Ditjendikti, Depdikbud.
Dirkes, M.A. 1998. Selfdirected Thinking in Curriculum Roeper Review, 11 (2), 92-94
Eggen, P.D.& Kauchack,D.P. 1996. Strategies for Teachers: Teaching Content and Thingking
Skills. Boston: Allyn and Bacon.
164
Fauzi, A. 2011. Pembelajaran Fisika dengan Pendekatan Kooperatif Model Team Game
Tournament (TGT) sebagai Upaya Peningkatan Kompetensi Sosial Mahasiswa. ORBITH
Vol. 7, No. 3 November 2011: 413-417
Hollingworth, R.W., & Mcloughlin, C. 2001. Developing Science Students Metacogniive Problem
Solving Skills. Journal of Educational Technology. Australian, 17(1), 50-63.
Ibrahim,M., & Nur, M. 2001. Pembelajaran Berdasarkan Masalah. Surabaya : University Press.
Ibrahim, M.,Rachmadiarti, F., Nur, M & Ismono. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Surabaya :
University Press.
Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang : Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Malang.
Ho, F. F.., & Boo, H. K. 2007. Cooperative Learning: Exploring Its Effectiveness in the Physics
Classroom. Asia-Pacific Forum on Science Learning and Teaching, Volume 8, Issue 2,
Article 7 (Dec., 2007), (Online), 2 Mei 2011).
Johnson, D., Johnson, R., & Holubec, E. 1994. Cooperative learning in the classroom. Alexandria,
VA: Association for Supervision and Curriculum Development.
Justice, E. M., and Dornan, T. M. "Metacognitive Differences between Traditional-Age and Nontraditional-Age College
Students." Adult Education Quarterly 51, no. 3 (May 2003): 236-249.
Kagan, S. 1994. Cooperative Learning. San Clemente, CA: Kagan Publishing, (Online), diakses
28 Oktober 2009).
Kuo, V.H., Heller, K., Heller, P., Henderson, C., & Yerushalmi, E. 2002. Teaching Students
Problem Solving in Introductory PhysicsForming an Initial Hypothesis of Instructors
Beliefs. Proceedings of the Physics Education Research Conference. August, 2002 in
Boise, ID. (Online), (diakses 11 Maret 2010).
Lie, A. 2002. Cooperative Learning: Mempraktikkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang
Kelas. Jakarta : Gramedia Widiasarana Indonesia.
Livingstone, J.A. 1997. Metacognition: An Overview, (Online) diakses 13 September 2010
Lundgren, L. 1994. Pembelajaran Kooperatif dalam Kelas IPA. Terjemahan Mohamad Nur.
Surabaya : Unesa.
Manlunas, R. P. 2009. ICT and Cooperative Learning: Reinventing the Classroom. Professional
Education
Division.(Online),
(www.slideshare.net/.../ict-and-cooperative-learning
reinventing-the-classroom, diakses 28 Oktober 2009).
Mc.Donald, S.C., Anju, R. Formenting Metacognitive Skill hrough Cooperative Learning in a
Scientific Concep-learning Task using Hypermedia. Educational Technology Unit The
Office of Biomedical Research Education and Training School of Medicine, Vanderbilt
University and The Educational Technology Departement, Chiangmay University, hailand.
Instructional Design and Technology Unit, School of Medicine, UCLA, (Online), diakses
13 September 2010
Miranda, Yula. 2008. Pembelajaran Metakognitif dalam Strategi Kooperatif Think-Pair-Share dan
Jigsaw serta Pengaruhnya terhadap Hasil Belajar Biologi Siswa di SMA Negeri
Kalimantan Tengah. Disertasi tidak diterbitkan. Malang. Program Pascasarjana Universitas
Negeri Malang.
Morgan, B. M. 2005. Cooperative Learning in Higher Education: Comparison of Hispanic and
Non-Hispanic Graduate Student Reflections on group Exams for Group Grades. Journal of
College Teaching & Learning August 2005 Volume 2, No. 8.
SESI PARALEL FISIKA
165
166
1. PENDAHULUAN
Perspektif konstruktivisme mengatakan bahwa pengetahuan dibangun dalam pikiran siswa
berdasarkan struktur kognitif yang telah ada (Bodner,1996). Struktur kognitif (skemata) terbentuk
pada waktu seseorang berinteraksi dengan lingkungannya (Piaget dalam Suparno, 2007).
Perkembangan kognitif didasarkan pada dua fungsi yaitu organisasi dan adaptasi. Organisasi memberikan kemampuan untuk mengorganisasi-kan proses-proses fisik atau proses-proses psikologis
menjadi sistem-sistem yang teratur dan berhubungan. Adaptasi mem-berikan kecendrungan untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Adaptasi dilakukan melalui dua proses yaitu
asimilasi dan akomodasi. Melalui proses asimilasi seseorang menggunakan struktur kogntif yang
sudah ada dalam pikirannya untuk menanggapi informasi baru. Jika informasi baru tersebut cocok
dengan struktur kognitif yang sudah ada, maka terjadi keseim-bangan (equilibrium) antara
informasi baru dan struktur kognitif yang sudah ada, sehingga terjadi penguatan. Jika informasi
baru tidak cocok dengan struktur kognitif yang telah ada, maka terjadi ketidak-seimbangan
(disequilibrium) antara infor-masi baru dengan struktur kognitif yang sudah ada. Melalui proses
akomodasi terjadi perubahan/penyesesuaian struktur kognitif yang telah ada, sehingga terbentuk
struktur kognitif (skemata) yang baru. Implikasi pandangan kontruktivisme dalam pembe-lajaran
sains (fisika) adalah pentingnya konsepsi awal siswa sebelum mereka mempelajari konsep sains
secara formal di sekolah. Sebelum siswa belajar tentang konsep sains (fisika), mereka sudah
memiliki konsepsi masing-masing terhadap konsep sains (fisika) yang dipelajari. Konsepsi tersebut
berkembang dari penga-laman belajar mereka sehari-hari dalam memahami fenomena atau gejala
alam, maupun dari pengalaman belajar formal pada jenjang pendidikan sebelumnya. Konsepsi ini
sering bersifat sebagai konsepsi pribadi (personal conception) yang berbeda-beda antara siswa
167
yang satu dengan siswa lainnya. Konsepsi pribadi siswa yang dibawa dalam proses pem-belajaran,
kadang-kadang sesuai dan kadang-kadang tidak sesuai atau berten-tangan dengan konsepsi
ilmuwan atau scientist. Jika konsepsi siswa sesuai dengan konsepsi scientist (konsepsi ilmiah)
dikata-kan siswa memahami konsep. Jika konsepsi siswa tidak sesuai atau bertentangan dengan
konsepsi scientist disebut miskon-sepsi atau salah konsep. Jika konsepsi siswa tidak terstruktur
dengan jelas dikatakan tidak tahu konsep (Suparno, 2005; Berg, 1994; Atherton, 2009). Miskonsepsi atau kekeliruan konsepsi merupakan fenomena yang hingga kini menjadi momok dalam
pengajaran sains (fisika) yang tidak bisa dibiarkan. Miskonsepsi diduga dapat menghambat pada
proses asimilasi konsep-konsep baru pada struktur kognitif siswa, sehingga akan menghalangi
keberhasilan siswa dalam proses belajar lebih lanjut (Klammer, 1998). Berbagai upaya penanggulangan miskonsepsi terus dikembangkan, namun hasilnya belum begitu menggembira-kan.
Kemungkinan salah satu faktor yang menyebabkan adalah karakteristik konsepsi siswa tidak
diidentifikasi secara jelas, sehingga sulit membedakan antara siswa yang miskonsepsi dengan
siswa yang tidak tahu konsep. Hal ini akan berdampak pada cara penanggulangannya yang tidak
tepat. Sebelum lebih jauh membicarakan tentang upaya penanggulangan miskonsepsi, sebe-narnya
terdapat persoalan yang lebih mendasar dan sangat urgen dalam masalah miskonsepsi ini, yaitu
masalah pengidentifi-kasian karakteristik konsepsi siswa. Hingga saat ini masih terdapat kesulitan
dalam membedakan antara siswa-siswa yang miskonsepsi dan yang tidak tahu konsep. Tanpa dapat
membedakan diantara kedua-nya, akan sulit untuk menentukan langkah penanggulangannya, sebab
cara penang-gulangan untuk siswa yang mengalami miskonsepsi akan berbeda dengan siswa yang
tidak tahu konsep. Berdasarkan hal tersebut, melalui penelitian ini dikembang-kan salah satu
instrument untuk mengung-kap atau mengidentifikasi karakteristik konsepsi siswa dan sekaligus
membedakan antara siswa yang memahami konsep, mengalami miskonsepsi, dan tidak tahu
konsep. Instrumen yang dikembangkan berupa tes diagnostik pilihan ganda yang salah satu
optionnya dikosongkan. Option kosong dimaksudkan untuk jawaban/respon siswa yang tidak
sesuai dengan option yang disediakan. Di samping itu, tes juga dilengkapi dengan tingkat
keyakinan atau Certainty of Response Index (CRI) terhadap pilihan/jawaban siswa. Savinainen &
Scott (2002) mengatakan bahwa CRI merupakan ukuran tingkat keyakinan/kepastian respon-den
dalam menjawab setiap pertanyaan (soal) yang diberikan. CRI biasanya didasarkan pada suatu skala
dan diberikan bersamaan dengan setiap jawaban suatu soal. Tingkat kepastian jawaban tercermin
dalam skala CRI yang diberikan. CRI yang rendah menandakan ketidakyakinan konsep pada diri
responden dalam menjawab suatu pertanyaan, dalam hal ini jawaban biasanya ditentukan atas dasar
tebakan semata. Sebaliknya, CRI yang tinggi mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep yang
tinggi pada diri responden dalam menjawab pertanyaan, dalam hal ini unsur tebakan sangat kecil.
Seorang responden yang memahami konsep, mengalami miskonsepsi, dan tidak tahu konsep dapat
dibedakan secara sederhana dengan cara membanding-kan benar tidaknya jawaban suatu soal dengan
tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban (CRI) yang diberikannya untuk soal tersebut. CRI biasanya
didasarkan pada suatu skala (0 - 5). 0 = totally guessed answer, 1 = almost guess, 2 = not Sure, 3 = sure,
4 = almost certain, 5 = certain. Ketika seorang responden diminta untuk memberikan CRI bersamaan
dengan setiap jawaban suatu pertanyaan (soal), sebenarnya dia diminta untuk memberikan penilaian
terhadap dirinya sendiri akan kepastian yang dia miliki dalam memilih aturan-aturan, prinsip-prinsip, dan
hukum-hukum yang telah tertanam dibenaknya hingga dia dapat menentukan jawaban dari suatu
pertanyaan. Jika derajat kepastiannya rendah (CRI: 0-2), maka hal ini menggambarkan bahwa proses
penebakan (guesswork) memainkan peranan yang signifikan dalam menentukan jawaban. Tanpa
memandang apakah jawaban benar atau salah, nilai CRI rendah menunjukkan adanya unsur penebakan,
yang secara tidak langsung mencerminkan ketidaktahuan konsep yang mendasari penentu-an jawaban. Jika
CRI tinggi (CRI: 3 - 5), maka responden memiliki tingkat kepercayaan diri (confidence) yang tinggi dalam
memilih aturan-aturan dan metode-metode yang digunakan untuk sampai pada jawaban. Dalam keadaan
ini, jika jawaban resaponden benar, ini dapat menunjukkan bahwa tingkat keyakinan yang tinggi akan
kebenaran konsepsinya telah dapat teruji (justified) dengan baik. Akan tetapi, jika jawaban salah, ini
menunjukkan adanya suatu kekeliruan konsepsi dalam pengetahuan tentang suatu konsep yang dimilikinya,
168
dan dapat menjadi suatu indikator terjadinya mis-konsepsi. Dari ketentuan-ketentuan seperti itu,
menunjukkan bahwa jawaban suatu pertanyaan (soal) yang dilengkapi dengan CRI, memung-kinkan kita
dapat membedakan siswa yang memahami konsep, miskonsepsi, dan tidak tahu konsep. Hasan,
Bagayoko, and Kelley (1999) memberikan criteria untuk membedakan siswa yang memahami
konsep, miskonsep-si, dan tidak tahu konsep adalah jika jawaban benar dengan CRI tinggi ( 2.5),
maka siswa dikatakan memahami konsep dengan baik. Jika jawaban salah tetapi CRI tinggi ( 2.5),
maka siswa dikatakan mengalami miskonsepsi. Jika jawaban benar atau salah dengan CRI rendah
(< 2.5), maka siswa dikatakan tidak tahu konsep. Di samping itu, Tayubi (2002), mengatakan
bahwa setiap kriteria skala CRI dapat diganti dengan persentase unsur tebakan dalam menjawab suatu
pertanyaan (soal). CRI=0 : jawaban 100% ditebak, CRI=1 : jawaban ditebak antara 75 - 99%, CRI=2 :
jawaban ditebak antara 50 - 74%, CRI=3 : jawaban ditebak antara 25 - 49%, CRI=4 : jawaban
ditebak antara 1 - 24%, CRI=5 : jawaban tidak ada unsure tebakan sama sekali (0%).
2. METODE PENELITIAN
2.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian pengem-bangan yang pada saat penulisan naskah ini
sampai pada tahap uji-coba terbatas. Salah satu tujuan dari penelitian ini adalah mengembangan
model pembelajaran yang berorientasi karakteristik konsepsi awal siswa. Sebagai studi
pendahuluan, maka dikembangkan instrument penelitian untuk mendeteksi karakteristik konsepsi
siswa yaitu siswa yang memahami konsep, miskonsepsi, dan tidak tahu konsep terhadap konsep
gaya dan gerak, usaha dan energi.
2.2 Subjek dan Obyek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah siswa kelas IX SMP 3 Singaraja. Jumlah siswa yang telibat
dalam penelitian ini adalah 22 orang. Objek dari penelitian ini adalah konsepsi siswa terhadap
konsep gaya dan gerak, usaha, dan energi.
2.3 Instrumen Penelitian
Instrumen yang dikembangkan dan diguna-kan dalam penelitian ini adalah tes diagnostik
konseptual pilihan ganda yang salah satu optionnya dikosongkan. Option kosong dimaksudkan
untuk jawaban/respon siswa yang tidak sesuai dengan option yang disediakan. Sebagai pengecoh,
pada opsi-opsi pilihan disajikan jawaban-jawaban yang diperkirakan merupakan jawaban miskonsepsi yang terjadi pada diri siswa. Tes juga dilengkapi dengan tingkat keyakinan atau Certainty
of Response Index (CRI) terhadap pilihan/jawaban siswa. CRI didasarkan pada suatu skala dan
diberikan bersamaan dengan setiap jawaban soal. CRI dan kriterianya menggunakan skala 1 - 3. 1 =
tidak yakin (not sure), 2 = kurang yakin (less sure), 3 = yakin (certain). CRI yang rendah
menandakan ketidakyakinan konsep pada diri siswa dalam menjawab suatu pertanyaan (soal), dalam
hal ini jawaban biasanya ditentukan atas dasar tebakan semata. Sebaliknya, CRI yang tinggi
mencerminkan keyakinan dan kepastian konsep yang tinggi pada diri siswa dalam menjawab
pertanyaan (soal), dalam hal ini unsur tebakan sangat kecil. Seorang siswa yang memahami konsep,
mengalami miskonsepsi, dan tidak tahu konsep dapat dibedakan secara sederhana dengan cara
membandingkan benar tidaknya jawaban suatu soal dengan tinggi rendahnya indeks kepastian jawaban
(CRI) yang diberikannya untuk soal tersebut. Kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut.
Tabel 1: Kriteria untuk membedakan siswa memahami konsep, miskonsepsi, dan tidak tahu konsep
secara individu
Kriteria
jawaban
Benar
Salah
169
Kriteria untuk membedakan kelompok siswa memahami konsep, miskonsepsi, dan tidak tahu
konsep secara kelompok adalah sebagai berikut.
Tabel 2: Kriteria untuk membedakan siswa memahami konsep, miskonsepsi,dan tidak tahu konsep
secara kelompok
Kriteria
jawaban
Benar
Salah
Rata-Rata CRI
rendah (<2,5)
Tidak tahu konsep
(lucky guess)
Tidak tahu konsep
(lucky guess)
Rata-Rata CRI
tinggi (>=2,5)
Menguasai konsep
dengan baik
Miskonsepsi
Kriteria
Jika dalam menjawab soal persentase unsur
tebakan antar 51 100 %
Jika dalam menjawab soal persentase unsur
tebakan antar 1 - 50 %
Jika dalam menjawab soal tidak ada unsur
tebakan sama sekali (0 %)
Dengan menggunakan prosedur seperti itu, data dianalisis secara deskriftif dan dinyata-kan dalam
bentuk prosentase.
3. HASIL PENELITIAN
3.1 Karakteristi Konsepsi Siswa pada Konsep Gaya dan Gerak, Usaha dan Energi
Berdasarkan hasil analisis data, karakteristik konsepsi siswa pada konsep gaya dan gerak,
usaha, dan energi disajikan dalam table berikut.
Tabel 4. Karakteristik Konsepsi Siswa pada Konsep Gaya dan Gerak, Usaha dan Energi
Konsep
Gaya dan
No. Item
1
MK
(%)
4.55
MIS
(%)
74.72
TTK
(%)
20.73
170
No. Item
Dari table di atas, terlihat bahwa (a) pada konsep gaya dan gerak, rata-rata 12,59% siswa
memahami konsep, 61.45% siswa mengalami miskonsepsi, dan 25.96% siswa tidak tahu konsep;
(b) pada konsep energi, rata-rata 15.97% siswa memahami konsep, 57.12% siswa mengalami
miskonsepsi, dan 26.91% siswa tidak tahu konsep; (c) pada konsep usaha, rata-rata 9.55% siswa
memahami konsep, 59.55% siswa menga-lami miskonsepsi, dan 30.91% siswa tidak tahu konsep.
3.2 Prosentase Unsur Tebakan
Prosentase unsur tebakan siswa dalam menjawab soal, disajikan dalam tabel berikut.
Tabel 3. Unsur Tebakan Siswa dalam memberikan Jawaban Terhadap Konsep Sains (fisika)
Konsep
Gaya dan
gerak
Energi
Usaha
Unsur Tebakan
(%)
antara 51 100
antara 1 - 50
tidak ada sama sekali (0)
antara 51 100
antara 1 - 50
tidak ada sama sekali (0)
antara 51 100
antara 1 - 50
tidak ada sama sekali (0 )
RataRata (%)
8.33
31.82
59.85
11.04
35.71
53.25
4.55
29.55
71.21
171
Berdasarkan tabel tersebut, terlihat bahwa pada konsep gaya dan gerak, unsur tebakan siswa
antara 51-100% adalah 8.33%, antara 1-50% adalah 32.82%, tidak ada unsur tebakan sama sekali
(0%) adalah 59.85%. Pada konsep energi, unsur tebakan siswa antara 51-100% adalah 11.04%,
antara 1-50% adalah 35.71%, tidak ada unsur tebakan sama sekali (0%) adalah 53.25%. Pada
konsep usaha, unsur tebakan siswa antara 51-100% adalah 4.55%, antara 1-50% adalah 29.55%,
tidak ada unsur tebakan sama sekali (0%) adalah 71.21%. Dari sebaran tersebut, terlihat bahwa
sebagian besar siswa dalam menjawab soal pada ke tiga konsep tidak ada unsur tebakan sama
sekali.
4. PEMBAHASAN HASIL
Berdasarkan hasil yang diperoleh melalui identifikasi, CRI dapat digunakan untuk
mendeteksi dan membedakan karakteristik konsepsi siswa. Karakteristik konsepsi siswa terhadap
konsep yang dipelajari teridentifikasi menjadi siswa yang sudah memahami konsep, siswa yang
mengalami miskonsepsi, dan siswa yang tidak tahu konsep. Rata-rata konsepsi siswa pada pokok
bahasan gaya dan gerak sebanyak 12.59% siswa sudah memahami konsep, 61.45% siswa
mengalami miskonsepsi, dan 25.96% siswa tidak tahu konsep. Rata-rata konsepsi siswa pada
konsep energi sebanyak 15.97% siswa sudah memahami konsep, 57.12% siswa mengalami
miskonsepsi, dan 26.91% siswa tidak tahu konsep. Rata-rata konsepsi siswa pada konsep usaha
sebanyak 9.55% siswa sudah memahami konsep, 59.55% siswa mengalami miskon-sepsi, dan
30.91% siswa tidak tahu konsep. Identifikasi tersebut memberikan indikasi bahwa sebagian besar
siswa mengalami miskonsepsi dan tidak tahu konsep pada ketiga konsep yang diberikan. Beberapa
miskonsepsi yang diketemukan dalam penelitian ini antara lain (a) gaya didefinisikan sebagai
tarikan atau dorongan yang menyebabkan benda ber-gerak, (b) pada benda diam tidak ada gaya
yang bekerja, (c) besarnya gaya yang bekerja pada suatu benda tergantung pada massa dan percepatan benda, makin besar massa atau semakin cepat benda bergerak gaya yang bekerja semakin
besar pula, (d) dua buah benda yang massanya sama dijatuhkan dari ketinggian yang sama, maka
benda yang tiba lebih duluan di tanah adalah benda yang massanya lebih besar, (e) Ketika benda
tetap diam, gaya gesekan selalu bekerja pada benda yang besarnya sama dengan fs = sN. (f)
Percepatan dide-finisikan sebagai peningkatan kecepatan terhadap waktu, (g) Jika kecepatan nol
maka percepatan juga akan nol, (h) tidak ada grafitasi di ruang hampa, (i) Suatu benda akan
bergerak lebih cepat ketika mendapatkan resultan gaya yang lebih besar, (j) usaha didefinisikan
sebagai gaya yang diberikan pada benda, (k) seorang yang sedang menjinjing tas dikatakan
melakukan usaha, (l) benda diam tidak memiliki energi, (m) energi dapat habis, (n) energi hanya
ada pada benda yang bergerak, (o) energi merupakan gaya. Temuan ini didukung oleh pernyataan
yang mengatakan bahwa miskonsepsi dapat dialami oleh setiap orang, siswa, maha-siswa, guru,
dan akademisi sekalipun (Berg,1994; Soeparno, 2005). Di samping itu, temuan ini juga didukung
oleh hasil-hasil penelitian terdahulu yang dilakukan pada siswa SD, SMP,SMA, maupun guruguru sains (fisika). Hasil penelitian-penelitian tersebut menemu-kan bahwa sebagian besar siswa,
maha-siswa, dan guru mengalami miskonsepsi tentang konsep sains (fisika) sebelum proses
pembelajaran berlangsung. Jenis-jenis miskonsepsi tersebut beraneka ragam yang sifatnya personal
(Mariawan, 2008; Masril & N. Asma, 2002; Amiruddin & Sahrul Saehana, 2008; Campanario.
J.M., 2009; Refik Dilber, &Bahattin Duzgun, 2008; Tayubi, 2007; Chi, M. T. H., 2005; Sahrul
Saehana & Haeruddin, 2009). Dilihat dari unsur tebakan siswa dalam menjawab soal yang
diberikan, terdapat beberapa siswa menjawab benar dengan CRI rendah dan menjawab salah
dengan CRI tinggi. Hal ini disebabkan oleh ketidak jujuran siswa dalam mengisi CRI. Sekalipun
demikian, sebagian besar siswa memberikan jawaban yang tidak ditebak sama sekali, yakni ratarata 59.85% pada konsep gaya dan gerak, rata-rata 53.25% pada konsep energi, dan rata-rata
71.21% pada konsep usaha. Berdasarkan identifikasi karakteristik konsepsi siswa terhadap konsep
yang dipelajari, selanjutnya dapat dirancang model pembelajaran yang cocok untuk ketiga konsepsi
tersebut.
172
173
PENDAHULUAN
Pembangunan di masa sekarang dan akan datang sangat dipengaruhi oleh pendidikan, karena
pendidikan merupakan proses perkembangan yaitu suatu proses yang meningkat dan dinamis, maka
pendidikan harus mampu menciptakan dan meningkatkan tenaga yang kreatif dan terampil
sehingga dapat melibatkan diri dalam proses pembangunan. Secara umum tujuan pendidikan
nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu melalui pendidikan diharapkan mampu
berdaya guna bagi dirinya teristimewa bagi nusa dan bangsa.
Proses pendidikan membutuhkan komponen-komponen yang juga turut menentukan maju
tidaknya proses tersebut, di antaranya guru sebagai pengajar, siswa sebagai pelajar dan bahan ajar.
Dan untuk mewujudkan pola pengajaran dengan sistem kompetensi diharapkan agar komponenkomponen tersebut secara aktif dapat mengembangkan dan menghasilkan suatu interaksi yang baik
dalam kegiatan belajar mengajar.
Pelajaran fisika merupakan ilmu pengetahuan alam yang membutuhkan penalaran dengan
pola berpikir abstrak untuk menghubungkan suatu teori dengan teori lain juga suatu konsep dengan
konsep lain. Sehingga dalam pengajaran ini siswa perlu bertindak secara langsung ke hal yang
demikian dan sebagai faktor utamanya adalah melalui kegiatan eksperimen. Kegiatan ini
merupakan suatu metode yang terpenting dalam pengajaran fisika. Dengan demikian siswa akan
lebih mudah memahami suatu materi apabila sudah langsung mengalami, melihat dan mengerjakan
sendiri sebagai mengaplikasikan dari metode ceramah. Namun sering terjadi di sekolah, walaupun
sudah melaksanakan eksperimen, siswa belum mampu untuk mengaplikasikan apa yang telah
diperoleh nya kebentuk lain. Kemampuan dalam mengimplementasikan apa yang dialami kebentuk
174
baru sebagai hasil dari kegiatan eksperimen merupakan dasar pengetahuannya untuk memahami
konsep selanjutnya.
Belajar fisika dengan menggunakan metode eksperimen berarti belajar dengan menggunakan
alat ukur. Gejala-gejala fisika di ukur besarannya agar dapat dibandingkan dengan besaran-besaran
lain yang berkaitan. Misalnya alat ukur neraca pegas yang digunakan untuk memahami konsep
elatisitas. Dalam hal ini neraca pegas sebagai sarana untuk menjelaskan konsep elastisitas, dalam
bentuk eksperimen. Hubungan massa beban dengan luas penampang yang ditunjukan oleh neraca
pegas berdiameter dan massa beban berfariasi. Hal inilah yang diharapkan dari siswa untuk dapat
melihat dan mengerti hubungan tersebut dan mampu untuk menginterprestasikan kebentuk lain.
Ketrampilan dari siswa dalam mengikuti eksperimenpun turut berpengaruh terhadap hasil
dari kegiatan tersebut. Karena untuk menciptakan sesuatu yang baru, membutuhkan ketelitian dan
ketrampilan yang sungguh pula. Misalnya dalam mendesain alat yang digunakan pada saat
mengikuti eksperimen sering terjadi alat yang digunakan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan,
sehingga kevalidan dari alat tersebut tidak akurat. Untuk itu siswa dituntut untuk lebih kreatif dan
cermat dalam melihat dan menginterprestasikan serta mengamati kelayakan dari alat tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan tipe penelitian pengembangan yaitu mengembangkan perangkat
pembelajaran eksperimen berbasis keterampilan proses dan menggambarkan atau melukiskan
keadaan objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tepat atau sebagaimana
mestinya, dan dilaksanakan di SMA Negeri 4 Ambon. Pengambilan sampel akan dilakukan
dengan teknik random sampling (acak) yaitu: 20 orang siswa yang dipilih untuk mewakili seluruh
populasi, yang terdiri dari 10 orang siswa yang diambil dari kelas I1 yang mempunyai nilai fisika
tinggi, 5 orang siswa yang diambil dari kelas I3 yang mempunyai nilai fisika sedang, dan 5 orang
siswa lagi yang mempunyai nilai fisika yang kurang. Setelah itu diacak menjadi 4 kelompok
sehingga pada masing-masing kelompok ada siswa yang mempunyai kemampuan baik, sedang, dan
ada juga yang mempunyai kemampuan yang cukup atau kurang.
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode wawancara. Metode ini dikhususkan bagi guru fisika untuk mengetahui
tentang hal-hal yang berkaitan dengan pembelajaran materi fisika, seperti: pendekatan/metode
yang digunakan, berapa kali dalam sebulan dilaksanakan praktikum, ataupun menyangkut
sejauh mana persiapan guru sebelum melaksanakan praktikum, ataupun pelaksanaan praktikum
itu sebatas materi tertentu saja. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi data bagi peneliti untuk
memperoleh data dari hasil penelitian.
2. Menyiapkan alat praktikum bersama dengan beberapa guru fisika.
3. Mengedarkan lembaran kerja siswa (LKS) kepada siswa.
4. Siswa diminta memberikan komentar atau interpretasi terhadap materi yang dipraktikum.
5. Mengamati proses pembuatan siswa dalam melaksanakan praktikum.
6. Mengamati sikap siswa dalam melaksanakan praktikum.
Untuk teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menganalisa secara
deskriptif dengan presentase dan mengamati hasil eksperimen siswa dalam ketrampilan proses
sains yang dikembangkan, seperti Tabel 1.
Tabel 1. Keterampilan Interpretasi yang Dikembangkan Siswa
No
1
2
3
4
Kelompok
I
II
III
IV
Jumlah
Angka
175
Menggunakan
alat ukur
I
II
III
IV
II
I
II
III
IV
Menyajikan
tabel dalam
bentuk tabel
2
2
1
2
2
1
1
-
176
I
II
III
IV
IV
Menuliskan
persamaan
Hooke
I
II
III
IV
Menafsirkan
persamaan
hukum Hooke
3
3
3
2
Menyimpulkan
2
1
1
Dari tabel 1 di atas, maka dapat di presentasikan kemampuan interpretasi dari ke empat kelompok,
seperti Tabel 3.
No
1
2
3
4
Dengan mengacu pada teknik analisis data, maka presentase hasil yang diperolah
berdasarkan keterampilan interpretasi yang dikembangkan oleh siswa kelas X SMA Negeri 4
Ambon adalah 100 % berhasil. Hasil ini berarti bahwa kemampuan menginterpretasi yang
dikembangkan oleh siswa meliputi 4 langkah dapat dioptimalkan sebagai salah satu alat evaluasi
hasil belajar fisika siswa.
Adapun presentase total yang diperoleh dari masing-masing keterampilan interpretasi dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Kemampuan menggunakan alat
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam melakukan penelitian ternyata kelompok 1 sampai
kelompok 4 hanya dapat menggunakan alat dengan baik, namun kemampuan mengukur
pertambahan panjang awal dan kemampuan mengukur pertambahan panjang hanya dua kelompok
yang mampu melakukannya, dan terlihat jelas bahwa kemampuan menjelaskan sistem pada alat
ukur, dalam hal ini pegas keempat kelompok tidak bisa melakukannya, dengan demikian maka
kemampuan menggunakan alat dari keempat kelompok diklasifikasikan dengan bobot baik,
presentase 26,92 % yang diperoleh dari total nilai penguasaan menggunakan alat dari keempat
kelompok dibagi dengan total nilai keseluruhan kemampuan interpretasi yang dikembangkan oleh
siswa dikalikan dengan 100 %.
177
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang diperoleh, dimana untuk mengetahui besar/bobot kemampuan
siswa menginterpretasi sebagai salah satu bentuk alat evaluasi pendekatan keterampilan proses
pada kelas 1 SMA Negeri 4 Ambon, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Kemampuan interpretasi yang dikembangkan oleh siswa dalam keempat kelompok ternyata
100 % berhasil namun disadari bahwa dari keempat langkah ada seorang yang tidak bisa
menafsirkan hasil, baik dalam bentuk tabel, grafik dan persamaan Matematika.
2. Proses belajar mengajar yaitu berorientasi pada produk pendekatan keterampilan proses dalam
hal ini kemampuan menginterpretasi dapat mengembangkan aspek intelektual, kreatifitas,
menafsirkan dan menganalisis suatu hasil eksperimen.
Sehubungan dengan hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti menyarankan agar para guru dan
calon guru dapat menggunakan pendekatan keterampilan proses dalam hal kemampuan menginterprestasi
sebagai salah satu bentuk alat evaluasi proses belajar mengajar khususnya pada bidang studi Fisika.
178
DAFTAR PUSTAKA
Ali. M. 1987. Penelitian kependidikan Prosedur dan Strategi. Bandung: Angkasa.
Decceco J.P and Crafood W, The Psychology of Learning and Intructional Educational
Psychology. New York : Prentice Hall, 1977.
Elizabeth B.Hurlock, Child Devlopment. Singapore : McGraw-Hall International Book Company,
1981.
Halliday R. 1990. Fisika Dasar Jilid I Edisi Ketiga. Jakarta : Erlangga
Kanginan. M. 1996. Fisika SMU Kelas 1. Jakarta: Erlangga.
Kartiase. N. 1990. Fisika SMU Kelas 1. Bandung: Depdikbud.
Masidjo. 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa Di Sekolah. Yokyakarta: Kanisius.
Mulyasa E. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi: Konsep, Karakteristik dan Implementasi.
Bandung: Rosdakarya.
Nitko. Anthony J. 1996. Educational Assessment of Students. New Jerse: Englewood.
Nur. M. 1998. Proses Belajar Mengajar Dengan Metode Pendekatan Ketrampilan Proses.
Surabaya : LPM IKIP Surabaya.
Pedhazur Elazar. 1991. Measurement, Design, and Analysis. New Jersey: Hillsdale
Popham. 1992. Teknik Mengajar Secara Sistematis. Jakarta : Erlangga
Popham J. W. 1999. Classroom Assesment: What Teachers Need to Know
Rengreng. H. A. 1981. Asas-Asas Fisika Dasar 1. Bandung: Armico.
Semiawan. C. 1992. Pendekatan Ketrampilan Proses. Jakarta : Grasindo
Suherman. E. 1994. Penelitian Proses dan Hasil Belajar Mengajar Matematika. Jakarta:
Depdikbud.
Suharhkmad. W. 1986. Pengantar Interaksi Mengajar Belajar. Bandung: Tarsito.
Syaodih. N dan Ibrahim. R. 1991.
Taranggono. 2002. Fisika Untuk SMA Kelas X Semester 1 dan 2. Jakarta : Bumi Aksara
Tim penyusun Fisika (1994), Konsep-Konsep Fisika SMU Kelas 1, Klaten: Intan Patiwara.
179
Mahasiswa PPs Pendidikan Fisika UM; 2,3)Dosen Jurusan Fisika FMIPA UM, Jl. Semarang
No. 5 Malang 65145
E-mail: muhammadnurhudha@yahoo.com
Abstrak: Tingkat kemampuan berpikir kritis untuk menyelesaikan suatu permasalahan awal
calon guru fisika masih belum maksimal. Kemampuan berpikir kritis dapat diamati melalui tes
dengan indikator yaitu merumuskan masalah, memberi argumen, melakukan deduksi,
melakukan induksi, melakukan evaluasi, memutus dan melaksanakan. Penelitian ini bertujuan
untuk mendeskripsikan pembelajaran authentic learning dan kemampuan berpikir kritis calon
guru Fisika di Prodi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang. Penelitian menggunakan
desain penelitian tindakan kelas dari Kemmis & Mc Taggart dengan tahapan; indentifikasi
masalah, perencanaan tindakan, pelaksanaan tindakan, observasi, dan refleksi. Penelitian ini
menggunakan tindakan berupa authentic learning. Authentic Learning yang digunakan berupa
Problem Based Learning (PBL), Think Pair Share (TPS), Two Stay Two Stray (TS-TS).
Penelitian dilakukan dua siklus pada 19 calon guru pada matakuliah Strategi Pembelajaran
Fisika (SPF). Keterlaksanaan authentic learning diukur menggunakan Lembar Keterlaksanaan
Pembelajaran. Kemampuan berpikir kritis diukur dengan menggunakan tes pada setiap akhir
siklus. Data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Hasil penelitian menunjukkan peningkatan persentase rata-rata keterlaksanaan authentic
learning sebesar 6,75%. Persentase rata-rata nilai tes kemampuan berpikir kritis diperoleh
peningkatan sebesar 11%. Indikator merumuskan masalah, memberi argumen, melakukan
deduksi, melakukan induksi mengalami peningkatan. Indikator melakukan evaluasi
persentasenya tetap dan indikator memutus dan melaksanakan mengalami penurunan. Dengan
demikian, authentic learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis calon guru Fisika
Kata kunci : authentic learning, kemampuan berpikir kritis
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara (UU No.20 Tahun 2003).
Tercapainya pendidikan yang berkualitas tidak terlepas dari peran pendidik. Pendidik harus
menempuh pendidikan tinggi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang relevan. Usaha yang
dapat dilakukan untuk meningkatkan kemampuan mengajar pendidik (guru) adalah dengan
memberikan bimbingan yang optimal ketika masih berstatus sebagai calon guru. Calon guru dibina
dan dididik untuk menjadi guru melalui Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Salah
satu LPTK yang ditunjuk oleh pemerintah untuk menghasilkan lulusan sebagai tenaga
kependidikan yang berkualitas adalah Universitas Negeri Malang (UM).
Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan adalah masalah lemahnya proses
pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, peserta didik kurang didorong untuk mengembangkan
kemampuan berpikir. Proses pembelajaran di dalam kelas diarahkan kepada kemampuan peserta
didik untuk menghafal informasi, otak peserta didik dipaksa untuk mengingat dan menimbun
180
berbagai informasi tanpa dituntut untuk memahami informasi yang diingatnya itu untuk
menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat ketika lulus dari sekolah,
peserta didik pintar secara teoritis tetapi miskin aplikasi (Sanjaya, 2010:1).
Pada Jurusan Fisika UM terdapat mata kuliah Strategi Pembelajaran Fisika (SPF), yang
dapat melatih mahasiswa untuk melakukan pembelajaran Fisika. Mata kuliah ini membekali
mahasiswa sebagai calon Guru Fisika agar menjadi Guru Fisika yang berkompetensi tinggi. Namun
menurut data awal yang diperoleh pada tahun 2010/2011 kelas AX-CC pada mata kuliah SPF
(Lestari, 2011), tingkat berpikir kritis mahasiswa untuk menyelesaikan suatu permasalahan masih
belum maksimal. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon Guru Fisika perlu ditingkatkan agar
kelak jika menjadi guru bisa mengajak para peserta didik untuk lebih berpikir kritis dalam
menghadapi permasalahan.
Berpikir kritis adalah berpikir dengan konsep matang dan mencerna segala informasi dengan
baik dan cermat sebelum akhirnya disimpulkan sesuai dengan indikator kemampuan berpikir kritis
dari Marzano (1988: 19-21) yaitu merumuskan masalah, memberi argumen, melakukan deduksi,
melakukan induksi, melakukan evaluasi, memutus dan melaksanakan, melalui tes kemampuan
berpikir kritis.
Kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru dapat ditingkatkan dengan authentic
learning. Menurut Depdiknas 2006 (dalam Nurgiyantoro, 2011:17) pembelajaran otentik (authentic
learning) adalah pendekatan pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk mempelajari
konteks bermakna melalui pengembangan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang
penting didalam konteks kehidupan nyata. Konteks yang bermakna selalu berangkat dari berbagai
persoalan yang secara nyata ditemukan, dibutuhkan, atau ditemukan solusinya di dunia nyata.
Pembelajaran ini berpusat pada mahasiswa calon guru yang mana akan membuat mahasiswa
menjadi aktif, dan bertumpu pada tugas-tugas dan permasalahan awal otentik yang membuat
mahasiswa calon guru menjadi lebih berpikir kritis untuk menyikapi suatu permasalahan yang
relevan dengan kehidupan nyata. Berpikir kritis merupakan tujuan yang ideal di dalam pendidikan
karena mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan kedewasaannya. Mempersiapkan peserta
didik untuk kehidupan kedewasaannya bukan berarti memberikan kepada peserta didik sesuatu
yang telah siap tetapi mengikutsertakan peserta didik di dalam pemenuhan perkembangan dirinya
sendiri dan arah dari perkembangannya sendiri (Tilaar dkk, 2011:17).
Berpikir kritis diperlukan dalam kehidupan di masyarakat, karena manusia selalu dihadapkan
pada permasalahan yang memerlukan pemecahan. Untuk memecahkan suatu permasalahan tentu
diperlukan data-data agar dapat dibuat keputusan yang logis dan untuk membuat suatu keputusan
yang tepat diperlukan kemampuan berpikir kritis yang baik. Sebelum mengambil suatu kesimpulan
dari informasi yang didapatkan, sebaiknya menganalisis dengan baik dan cermat suatu
permasalahan yang diterima dalam kehidupan nyata. Untuk itu seorang mahasiswa calon guru
harus memiliki kemampuan berpikir kritis untuk mengkaitkan apa yang dipelajari peserta didiknya
kelak dengan kehidupan nyata. Hal ini sesuai dengan pendapat Piaw (2010) bahwa kemampuan
berpikir kritis ini sangat penting dikembangkan dalam semua aspek pendidikan.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis bagi mahasiswa sebagai
calon guru Fisika, maka bersama dengan dosen pengampu mata kuliah SPF melakukan penelitian
yang berjudul Authentic Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa
Program Studi Pendidikan Fisika Universitas Negeri Malang dalam mata kuliah Strategi
Pembelajaran Fisika
METODE
Jenis penelitian yang digunakan berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Penelitian ini
dilakukan dalam konteks kelas yang bertujuan memperbaiki proses pembelajaran dalam
perkuliahan sehingga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis Tindakan yang dilakukan
adalah penerapan authentic learning pada mata kuliah SPF dengan model Problem Based Learning
(PBL). Model ini menggunakan variasi kegiatan diskusi Think Pair Share (TPS) pada pertemuan 4
181
siklus I dan Jigsaw pertemuan 6 siklus II. Selain itu, pada pertemuan 5 siklus II menggunakan
variasi penyajian hasil karya Two Stay Two Stray (TS-TS). Penelitian ini dilaksanakan di ruang 316
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang kelas AY offering CC pada perkuliahan Strategi
Pembelajaran Fisika Semester Genap Tahun Akademik 2011/2012.
Pengambilan data penelitian dilakukan pada minggu keempat bulan Januari 2012 sampai
minggu keempat bulan Pebruari 2012. Data yang diperoleh berupa data keterlaksanaan authentic
learning dan kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang bersumber dari mahasiswa pada saat
authentic learning berlangsung. Data dikumpulkan dengan cara pengamatan parsitipatif, observasi,
data penelitian, dan tes kemampuan berpikir kritis. Instrumen penelitian berupa instrumen
pembelajaran, instrumen pengukuran penelitian, dan catatan lapangan. Instrumen pembelajaran
yang berupa SAP, LKM, dan media pembelajaran yang mendukung. Instrumen pengukuran
penelitian berupa lembar keterlaksanaan authentic learning dan butir soal yang dibuat berdasarkan
indikator kemampuan berpikir kritis. Pengukuran tes berpikir kritis ini menggunakan pilihan ganda.
Menurut Starko (dalam Piaw, 2010) berpikir kritis dapat diidentifikasi, diukur, dan diwakili oleh
skor. Catatan lapangan yang berupa foto, video, dan catatan pribadi peneliti tetapi tidak tercantum
dalam format lembar observasi.
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif dan analisis
data kuantitatif. Analisis data kualitatif digunakan untuk menganalisis paparan data yang mengacu
pada catatan lapangan, data lembar keterlaksanaan pembelajaran, dan nilai. Hasil analisis data
disajikan secara naratif. Analisis data kuantitatif digunakan untuk mendukung keberhasilan
penelitian yang dijabarkan dalam bentuk persentase dan angka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
A. Keterlaksananan Authentic Learning pada Siklus I dan Siklus II
Mengacu pada persentase keterlaksanaan pembelajaran yang telah diperoleh siklus I dan
siklus II, dibuat perbandingan ketercapaian pelaksanaan authentic learning untuk tiap aspek yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Berdasarkan persentase pencapaian authentic learning tersebut
diperoleh peningkatan dari siklus I dan siklus II. Pada tiap siklus juga mengalami peningkatan
untuk masing-masing aspek, kecuali pada aspek penilaian. Peningkatan paling signifikan terdapat
pada aspek manajemen kelas, yaitu dari rata-rata 59,37% menjadi 100%. Peningkatan ini
menunjukkan bahwa hasil refleksi pada siklus I dapat memperbaiki kekurangan yang terdapat pada
pembelajaran siklus I dan diterapkan pada siklus II. Namun untuk penilaian mengalami penurunan
dari 89,28% menjadi 71,43%. Hasil keterlaksanaan authentic learning untuk lebih jelasnya dapat
dilihat pada Gambar 1.
120
100
80
60
40
20
0
100100
95.83
91.58
100
59.37
89.28
71.43
SIKLUS I
SIKLUS II
182
Pembahasan
A. Authentic Learning Dalam Mata Kuliah Strategi Pembelajaran Fisika
Menurut Depdiknas 2006 (dalam Nurgiyantoro, 2011:17) pembelajaran otentik adalah
pendekatan pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk mempelajari konteks bermakna
melalui pengembangan keterampilan berpikir dan pemecahan masalah yang penting didalam
konteks kehidupan nyata. Konteks yang bermakna selalu berangkat dari berbagai persoalan yang
secara nyata ditemukan, dibutuhkan, atau ditemukan solusinya di dunia nyata. Authentic Learning
dapat dilakukan dalam matakuliah SPF menggunakan model pembelajaran yang mempunyai
karakteristik untuk memberi pengajaran kepada siswanya agar dapat mengaitkan apa yang
dipelajari dengan kehidupan nyata. Model pembelajaran yang dimaksudkan adalah Problem Based
Learning (PBL). Model pembelajaran tersebut dipilih karena dapat mengarahkan mahasiswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri dengan aktif berpikir kritis dan menyelesaikan masalah yang
relevan dengan kehidupan nyata.
Menurut Arends (dalam Trianto, 2011:68) pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu
pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud
untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir
tingkat tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Arends juga menambahkan bahwa
model pembelajaran ini mengacu pada model pembelajaran belajar otentik (authentic learning).
Proses pembelajaran yang diteliti menggunakan 2 siklus dimana siklus I terdiri dari 4
pertemuan dan siklus II terdiri dari 3 pertemuan. Model PBL digunakan pada pertemuan siklus I
dan siklus II. Model ini menggunakan variasi kegiatan diskusi Think Pair Share (TPS) pada
pertemuan 4 siklus I dan Jigsaw pertemuan 6 siklus II. Selain itu, pada pertemuan 5 siklus II
menggunakan variasi penyajian hasil karya Two Stay Two Stray (TS-TS). PBL diterapkan dengan
memberikan permasalahan yang berkaitan dengan kehidupan nyata agar mahasiswa dapat berpikir
kritis baik secara individu maupun kelompok sesuai keadaan lingkungannya. Hal ini juga sesuai
pendapat Ratumanan (dalam Trianto, 2011:68) bahwa pembelajaran berbasis masalah ini sangat
efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi karena pembelajaran ini membantu siswa
untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka
sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini sangat cocok untuk mengembangkan
pengetahuan dasar maupun kompleks.
SESI PARALEL FISIKA
183
Temuan pertama pada siklus I adalah kemampuan mahasiswa masih didasarkan pada fakta.
Terlihat dari pertemuan pertama dan ketiga dimana mahasiswa kurang mampu menganalisis
permasalahan secara lebih mendalam. Mereka hanya menyimpulkan berdasarkan apa yang hanya
mereka lihat saja. Mahasiswa juga kurang memahami materi Fisika lebih mendalam. Hal ini yang
mengakibatkan kemampuan merumuskan masalah di awal pembelajaran masih kurang dan
mahasiswa kurang aktif dan kritis dalam merespon pertanyaan dari dosen.
Keterlaksanan Authentic Learning pada siklus I secara keseluruhan sudah berjalan baik.
Namun jika dianalisis tiap aspek, aspek manajemen kelas menunjukkan hasil yang kurang
signifikan. Pada siklus I aspek manajemen kelas mempunyai nilai yang paling rendah dibandingkan
aspek yang lain. Hal ini dikarenakan mahasiswa belum beradaptasi dengan karakteristik
pembelajaran Authentic Learning. Menurut Sanjaya (2010: 24), manajemen kelas yang baik dapat
menjaga kelas agar tetap kondusif untuk terjadinya proses pembelajaran yang baik seluruh peserta
didik.
Hasil analisis data menunjukkan adanya peningkatan keterlaksanaan pembelajaran dari
siklus I ke siklus II untuk masing-masing aspek, kecuali pada aspek penilaian. Aspek penilaian
yang paling menonjol mengalami penurunan yaitu pada pertemuan keenam. Hal ini dikarenakan
pada pertemuan tersebut tidak diberikan tugas karena materi pada siklus II telah habis dan
mahasiswa sudah siap mengikuti tes berpikir kritis II. Menurut Corebima (2008) penilaian dapat
secara langsung mengukur perbuatan dan penampilan mahasiswa dan mengeluarkan segala
kemampuannya, sehingga ketercapaian hasil untuk aspek penilaian kurang maksimal. Peningkatan
paling signifikan terjadi pada aspek manajemen kelas. Hal ini mengindikasikan bahwa hasil
refleksi siklus I telah berhasil membiasakan mahasiswa untuk beradaptasi terhadap pembelajaran
Authentic Learning. Kegiatan refleksi tidak hanya dilakukan pada akhir setiap siklus, tetapi juga
pada akhir tiap pertemuan. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Trianto (dalam Lestari, 2011)
bahwa refleksi merupakan kegiatan yang penting dalam proses pembelajaran yang berfungsi untuk
memperbaiki proses pembelajaran tersebut.
Pada penelitian, peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa ditunjukkan melalui
hasil tes berpikir kritis pada akhir siklus. Nilai rata-rata tes mahasiswa juga telah memenuhi
indikator keberhasilan yang diterapkan pada penelitian ini. Hal ini menunjukkan adanya
peningkatan pemahaman mahasiswa setelah diajar menggunakan authentic learning pada siklus I
dan siklus II.
B. Kemampuan Berpikir Krirtis Mahasiswa Prodi Pendidikan Fisika pada Mata Kuliah
Strategi Pembelajaran Fisika UM Melalui Authentic Learning.
Authentic Learning merupakan pembelajaran yang menekankan peserta didik untuk
mempelajari konteks bermakna melalui pengembangan keterampilan berpikir. Keterampilan
berpikir yang bisa dikembangkan salah satunya adalah berpikir kritis. Authentic Learning yang
diterapkan tidak hanya efektif dilakukan untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap
materi ajar, tetapi juga dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Hal ini
diketahui dari hasil tes berpikir kritis yang telah dilaksanakan. Sebelum mengambil suatu
kesimpulan dari informasi yang didapatkan, sebaiknya permasalahan yang diterima dianalisis
dengan baik. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam menghadapi
permasalahan tersebut.
Sebagai seorang calon guru Fisika profesional, mahasiswa harus mengikuti matakuliah SPF
yang sangat membantu mahasiswa calon guru Fisika untuk lebih siap memberi pengajaran dan
dapat mengaitkan apa yang dipelajari siswanya kelak dengan kehidupan nyata. Untuk itu
diperlukan pemikiran yang lebih dari berpikir seperti biasa atau dapat dikatakan perlu berpikir
tingkat tinggi.
Kemampuan berpikir kritis termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi. Menurut Bloom
(dalam Dehghani,2011) berpikir kritis berkaitan dengan berpikir kognitif tingkat tinggi (analisis,
sintesis dan evaluasi). Cohen (dalam Costa, 1985: 45) juga menerangkan bahwa berpikir tingkat
184
tinggi memiliki kompleksitas yang berbeda, yaitu: pemecahan masalah, pengambilan keputusan,
berpikir kritis, dan berpikir kreatif. Berpikir kritis juga perlu dikembangkan secara terus menerus
agar selalu berhati-hati dalam menghadapi permasalahan yang relevan dalam kehidupan nyata.
Menurut Dewey (dalam Fisher, 2009:2) berpikir kritis merupakan pertimbangan yang aktif,
persistent (terus-menerus), dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang
diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulankesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya.
Tes berpikir kritis dilakukan pada setiap akhir siklus. Pada tes siklus I kemampuan berpikir
kritis mahasiswa cenderung mengalami kesalahan pada kemampuan merumuskan masalah. Hal ini
juga terbukti pada saat pembelajaran bahwa mahasiswa kesulitan dalam merumuskan masalah yang
ada di awal pembelajaran yang diajukan oleh dosen. Berpikir kritis bisa dikatakan berhasil jika
mahasiswa mampu merumuskan masalah dan kemudian mengkaji masalah tersebut. Glaser (dalam
Fisher, 2009:3) mengungkapkan bahwa berpikir kritis merupakan sikap mau berpikir secara
mendalam tentang masalah-masalah melalui metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis
terhadap masalah tersebut. Pada siklus II kemampuan merumuskan masalah telah mengalami
peningkatan.
Kemampuan memberi argumen untuk siklus I mengalami peningkatan di siklus II.
Peningkatan ini disebabkan oleh adanya variasi diskusi Jigsaw dan presentasi TS-TS. Adanya
variasi metode ini mahasiswa tampak lebih aktif dalam mengungkapkan argumen. Pengungkapan
argumen oleh mahasiswa menunjukkan adanya peningkatan berpikir kritis. Hal ini didukung oleh
pernyataan Amri (2010) bahwa berpikir kritis berkaitan erat dengan argumen.
Kemampuan melakukan deduksi mengalami peningkatan di siklus II. Hal ini dikarenakan
adanya permasalahan yang terkait dengan pembelajaran Fisika. Dari KD yang diberikan mahasiswa
dituntut untuk dapat menjabarkannya kedalam indikator-indikator. Kemampuan induksi juga
mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan mahasiswa sudah mulai terbiasa dalam kegiatan
diskusi sehingga lebih mudah mengumpulkan data dan menggeneralisasi data-data yang telah
diperolehnya melalui diskusi. Kemampuan melakukan evaluasi sudah berjalan baik dari siklus I.
Terjadi penurunan pada indikator kemampuan memutus dan melaksanakan. Hal ini terbukti saat
pembelajaran mahasiswa masih mengalami kesulitan dalam menarik kesimpulan dan melakukan
tindakan karena materi teori belajar sangat banyak serta terdapat beberapa istilah asing yang
membingungkan mahasiswa. Glaser (dalam Fisher, 2009:3) menyatakan bahwa kemampuan
berpikir kritis adalah upaya untuk memerikasa setiap keyakinan atau pengetahuan berdasarkan
bukti pendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Mata kuliah SPF merupakan salah satu mata kuliah yang dapat mengorientasikan dan
mengaplikasikan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam kehidupan nyata. Secara
keseluruhan kemampuan berpikir kritis mahasiswa melalui penerapan authentic learning dapat
dikatakan berhasil karena dari siklus I ke siklus II telah mengalami ketuntasan untuk semua
indikator kemampuan berpikir kritis meskipun terdapat indikator yang mengalami penurunan. Oleh
karena itu, pelaksanaan authentic learning dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran untuk
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa sebagai calon guru Fisika sebelum
terjun langsung ke kehidupan nyata di sekolah.
KESIMPULAN
Penerapan Authentic Learning pada mata kuliah SPF telah berjalan sesuai dengan rancangan
yang telah dibuat. Rancangan tersebut berupa penerapan Authentic Learning menggunakan model
Problem Based Learning (PBL) dengan variasi diskusi Jigsaw, dan Think Pair Share (TPS) serta
variasi penyajian hasil karya berupa model TS-TS. Aspek keterlaksanaan Authentic Learning
meliputi perencanaan, pembelajaran, manajemen kelas, dan penilaian.
Penerapan Authentic Learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa
Prodi Pendidikan Fisika pada matakuliah SPF. Peningkatan ini dilihat dari persentase tes berpikir
kritis yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil rata-rata nilai tes pada siklus I dan siklus II diperoleh
SESI PARALEL FISIKA
185
peningkatan sebesar 11%. Aspek-aspek indikator berpikir kritis terdiri dari merumuskan masalah,
memberi argumen, melakukan deduksi, melakukan induksi, melakukan evaluasi, serta memutus
dan melaksanakan.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Bapak dan Ibu serta keluarga yang tulus ikhlas
memberikan kasih sayang, doa, motivasi, dan bimbingan, serta semua pihak yang tidak dapat di
sebutkan satu-persatu dalam memberi doa, motivasi, dan bantuan lain sehingga terselesaikannya
makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Amri, S. & Ahmadi, K. 2010. Proses Pembelajaran Kreatif dan Inofatif dalam Kelas. Jakarta:
Prestasi Pustaka.
Costa, A.L.1985. Developing Minds.Alexandria,virginia : ASCD.
Corebima, AD.2008. Asesmen Autentik. Malang: UM Press.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2003
tentang
Sistem
Pendidikan
Nasional..
(http://www.inherentdikti.net/files/sisdiknas.pdf), diakses 9 Oktober 2011.
Dehghani, M. 2011. Relationship between Students' Critical Thinking and Self-efficacy Beliefs in
Ferdowsi University of Mashhad, Iran. Procedia Social and Behavioral Sciences 15 (2011)
29522955. (http://www.sciencedirect.com), diakses 23 Oktober 2011.
Fisher, A.2009. Berpikir Kritis Sebuah Pengantar.Jakarta: Erlangga.
Lestari, N. A. 2011. Pembelajaran Aktif Untuk Meningkatkan Kemampuan Melaksanakan
Pembelajaran Bagi Mahasiswa Program Studi Pendidikan Fisika Pada Matakuliah Strategi
Pembelajaran Fisika. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: FMIPA UM.
Nurgiyantoro, B. 2011. Penilaian Otentik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Marzano, R.J., Brand, R.S, Hugnes, C.S., Jones, B., Pressisen, B.Z., Rankin, C.C., Suhor, C. 1988.
Dimensions of Thinking. Alexandria,virginia : ASCD.
Piaw, C.Y. 2010. Building a Test to Assess Creative and Critical Thinking Simultaneously.
Procedia Social and Behavioral Sciences 2 (2010) 551559. (http://www.sciencedirect.com),
diakses 23 Oktober 2011.
Sanjaya, W. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Pendidikan. Bandung: Kencana
Prenada Media Group.
Tilaar, H.A.R., Paat, J., Paat, L. 2011.Pedagogik Kritis. Jakarta:Rineka Cipta
Trianto.2011. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Jakarta: Prestasi
Pustaka.
186
PENDAHULUAN
Silika atau yang dikenal silkon dioksida (SiO2) merupakan senyawa yang banyak ditemui
dalam sekam padi. Silika atau dalam bahasa kimia silikon dioksida (SiO 2) yang merupakan
senyawa yang biasa digunakan dalam proses produksi gelas atau botol. Silika merupakan bahan
baku utama dalam pembuatan keramik putih, bahkan merupakan campuran bagi poduksi semen.
Kadar silika dalam bentuk SiO2 dalam abu sekam padi menurut Valchev dkk (2009:256)
adalah sekitar 93,54%, sedangkan menurut Kalapathy dkk (2000) kandungan silika dalam abu
sekam adalah sekitar 80%. Menurut penelitian yang dilakukan di Indonesia yang sebelumnya
dilkukan oleh Enymia (tanpa tahun), kadar silika yang terkandung dalam abu sekam padi adalah
83,33%. Dari berbagai penelitian yang telah ada dapat disimpulkan bahwa kandungan silika padi
cukup banyak yaitu sekitar 12-25 gram silika dalam 100 gram sekam padi, dan kandungan silika
pada abu sekam adalah 80-95%. Salah satu bahan berbasis silika yang dapat dibuat adalah silika
gel.
187
Silika gel telah banyak digunakan sebagai adsorben pada proses adsorpsi. Hal ini disebabkan
oleh adanya gugus aktif silanol (Si-OH) dan siloksan (Si-O-Si). Namun bahan ini belum efektif
untuk mengadsorpsi ion logam. Hal ini dikarenakan atom O yang merupakan situs aktif pada silika
gel berukuran kecil dan memiliki polarisabilitas yang rendah, sehingga interaksi dengan logam
berat yang pada umumnya berukuran besar dan memiliki polarisabilitas yang tinggi secara teoritis
relatif kurang kuat. Oleh karena itu, perlu adanya modifikasi permukaan silika gel. Modifikasi
dapat dilakukan secara fisik (impregnasi) dan kimia (Hermania dkk, 2011).
Kombinasi atau persenyawaan antara dua atau lebih unsur atau bahan (material) dapat
menghasilkan bahan atau material fungsional. Persenyawaan antara silikon dan karbon misalnya
dapat menghasilkan atau membentuk bahan semikonduktor silikon karbida (SiC). Sintesis SiC telah
banyak dilakukan diluar negeri tapi di Indonesia masih kurang. Hal ini disebabkan sintesis SiC
dilakukan pada suhu tinggi (1000C) sehingga membutuhkan biaya yang besar. Selain itu untuk
mendapatkan bahan baku silikon (Si) murni relatif sulit, silika (SiO2) diperoleh setelah melalui
proses yang panjang. Dalam penelitian ini silika diperoleh dari sekam padi melalui pengeringan,
pembakaran, pengabuan dan pemurnian (Suparman, 2010).
SiC merupakan calon ideal khususnya untuk aplikasi-aplikasi berdayaguna tinggi, seperti
mesin-mesin keramik dan lebih banyak aplikasi-aplikasi keteknikan, termasuk aplikasi struktural
temperatur tinggi (Bandyopadhyay AK. 2008). SiC digunakan secara intensif dalam piranti
elektronik dan optoelektronik, seperti sel surya, detektor, modulator dan laser semikonduktor
secara khusus pada kondisi frekuensi tinggi, radiasi intensif, atau temperatur tinggi.
METODE
Isolasi Silika dari Sekam Padi
Silika diperoleh setelah melalui proses penimbangan, pencucian, pengeringan pengarangan,
pengabuan, dan pemurnian. Massa sekam padi yang digunakan adalah 2000 gram. Pencucian
dilakukan sebanyak empat kali dengan air ledeng. Pencucian dimaksudkan untuk menghilangkan
zat-zat pengotor berupa debu dan pasir yang menempel pada sekam padi tersebut.
Pengeringan melalui penjemuran di bawah sinar matahari menyebabkan penyebaran panas
kedalam bahan berlangsung secara bertahap dan menyeluruh sehingga penyerapan air ke udara
lebih merata. Tahap pengarangan dilakukan dengan membakar sekam padi dengan api sampai
terlihat seperti arang. Tahap pengerusan sekam dengan mortar dan pengayakan dengan mesh 200.
Tahap selanjutnya adalah pengabuan dalam furnace yang dilakukan pada suhu 700oC selama
5 jam. Pada tiap hasil furnace dilakukan karakterisasi menggunakan XRD untuk mengetahui
bentuk struktur SiO2. Dan dilakukan uji XRF untuk melihat kandungan silikon dan unsur lain yang
ada pada sekam.
Pembuatan Silika Gel
Pembuatan silika gel dilakukan dengan metode ekstraksi basa, pertama abu sekam padi
ditimbang kurang lebih 5 gram, kemudian ditambahkan dengan 40 ml larutan NaOH 3 N dan
distirer selama 3 jam dengan suhu 95oC dalam erlenmeyer 250 ml tertutup. Kemudian larutan
campuran disaring dengan kertas saring whatman nomer 41. Residu hasil saring dicuci dengan 10
ml air panas, filtrat hasil cucian tersebut didinginkan pada suhu kamar. Filtrat dingin ditambahkan
dengan H2SO4 5 N dengan proses stiring hingga pH 2 dan ditambahkan NH4OH hingga pH 8,5
dan dibiarkan selama 3,5 jam. Silika gel dicuci sebanyak dua kali dalam aquades pada putaran
2.500 rpm selama 10 menit.
Sintesis Silikon Karbida
Pencampuran silika gel dengan karbon aktif dilakukan dalam cawan petri. Perbandingan
massa yang digunakan yaitu 5:3 dalam satuan gram. Pengadukan selama 45 menit bertujuan
mereduksi ukuran butir sekaligus diharapkan terjadinya reaksi menghasilkan silikon karbida.
188
Campuran antara silika gel dengan serbuk dicetak pada diameter 6 mm dan disintering selama 1
jam pada suhu 1.300oC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Silika Hasil Isolasi dari Sekam Padi
Pada penelitian pendahuluan telah dilakukan pengabuan silika pada suhu 1000-1400oC.
Gambar 1. Perbandingan Hasil Uji XRD pada proses pengabuan silika T=1000-1400oC
menggunakan excel
Tabel 1. Hasil uji XRF pada sekam padi
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Unsur
Si
K
Ca
Mn
Fe
Cu
Zn
Eu
Re
Prosentase (%)
90,6
3,43
4,21
0,70
0,642
0,093
0,063
0,10
0,2
189
Dilihat dari bentuk puncak yang diperoleh, silika pengabuan pada suhu 1000-1400oC
memiliki struktur kristal. Kristal silika ini lebih tahan terhadap asam, sehingga tidak dapat
membentuk gel dengan maksimal.
Unsur
Si
S
Ca
Mn
Fe
Ni
Cu
Yb
Persentase (%)
39,7
52,2
4,7
0,52
0,85
0,2
0,83
0,9
190
Tabel 3. Hasil uji XRF pada SiC (sintering T = 700oC selama 1 jam)
No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
Unsur
Si
P
S
K
Ca
Ti
V
Mn
Fe
Ni
Cu
Zn
Sr
Mo
In
Ba
Ce
Yb
Re
Persentase (%)
16,0
0,63
3,0
4,01
63,5
0,23
0,02
0,34
3,60
0,04
0,077
0,11
0,40
5,2
2,2
0,4
0,1
0,8
0,10
Gambar 3. Perbandingan Hasil karakterisasi SiC model dengan SiC sampel (sintering pada
T = 700; 900; 1100oC; t = 1 jam) dengan metode difraksi sinar-X
Hasil karakterisasi silika dengan metode difraksi sinar-X memperlihatkan puncak yang
diperoleh dari sampel SiC belum cocok dengan model SiC.
KESIMPULAN
1. Silika dapat disintesis dari sekam padi dengan kandungan silikon sebesar 90,6%.
2. Peneliti belum berhasil mendapatkan Silikon karbida yang dapat disintesis dari silika sekam padi
dan karbon aktif melalui reaksi sol-gel sehingga peneliti akan berusaha untuk mendapatkan
variabel-variabel yang cocok.
3. Hasil sintesis SiC belum optimal, karena belum memperoleh temperatur sintering yang sesuai.
SESI PARALEL FISIKA
191
SARAN
Akan dilakukan pencampuran NaOH p.a dan pengurangan tahap basa berupa pencampuran
NH4OH pada pembuatan silika gel. Dan akan dilakukan optimasi temperatur sintering pada suhu
yang sesuai dengan cara memvariasi suhu sintering mulai dari suhu 700oC 1200oC.
DAFTAR PUSTAKA
Bandyopadhyay AK. 2008. Nano Materials.New Age International (P) Limited, New Delhi, India.
Cestari AR, Vieira EFS, Simoni JA, dan Airoldi C. 2000.Thermochemical Investigation on the
Adsorption of Some Divalent Cations on Modified Silicas obtained from Sol-Gel Process.
Thermochimica Acta, 348, 25-31.
Enymia, Suhanda, dan Sulistarihani. 1998. Pembuatan Silika Gel Kering dari Sekam Padi untuk
Pengisi Karet Ban. Jurnal Keramik dan Gelas Indonesia, 7 (1&2).
Hermania Em Wogo, Juliana Ofi Segu, Pius Dore Ola. 2011. Sintesis Silika Gel Terimobilisasi
Dithizon Melalui Proses Sol-Gel. Sains dan Terapan Kimia, 5[1]:84-95.
Kalapathy U, Proctor A, dan Shultz J. 2000. A Simple Method for Production of Pure Silica from
Rice Hull Ash. Bioresource Technology, 73, 257-262.
Kamath, Savita R. and Andrew P. 1998. Silica Gel from Rice Hull Ash: Preparation and
Characterization. Publication no. C-1998-0603-03R. American Association of Cereal
Chemists, Inc.
Limthongkul P, Dateraksa K, Suchatjaroenying B, Sujirote K. 2005. Effect of Processing
Conditions on The Phase and Microstructure of Nano-SiC Produced From Rice Husks.
Materials Forum 29:200-204.
Mittal D. 1997. Silika from Ash. (A Valuable Product from Waste Material).
Nuryono, Narsito, dan Astuti, E. 2004. Sintesis Silika Gel Terenkapsl Enzim dari Abu Sekam Padi
dan Aplikasinya Untuk Biosensor. (Laporan Penelitian Hibah Bersaing XI/2), Lembaga
Penelitian UGM, Yogyakarta.
Sipahutar D. 2011. Teknologi Briket Sekam Padi. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)
Riau.
Suparman. 2010. Sintesis Silikon Karbida (SiC) dari Silika Sekam Padi dan Karbon Kayu dengan
Metode Reaksi Fasa Padat. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Thuadaij N, & Nuntiya A. 2008. Synthesis and Characterization of Nanosilica from Rice Husk Ash
Prepared by Precipitation Methods. Special Issue on Nanothecnology, 7 (1).
Valchev I, Lasheva V, Tzoloz T, & Josidov N. 2009. Silika Product from Rice Hulls. Journal of
The University of Chemical Technology and Metallurgy, 44 (3).
Vyshnyakova K, Yushin G, Pereselentseva L, Gogotsi Y. 2006. Formation of Porous SiC Ceramics
by Pyrolysis of Wood Impregnated with Silica. Int J Appl Ceram Technol 3[6]:485-490.
192
PENDAHULUAN
Upaya peningkatan kualitas pembelajaran telah dan terus dilakukan oleh pemerintah dan
sekolah sebagai pihak pelaksana pendidikan di lapangan. Upaya ini sejalan dengan diterbitkannya
UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional Nomor 22 tahun 2006 tentang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). UU No 20
tahun 2003 menekankan pentingnya suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif.
Upaya peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah dengan menerapkan KTSP bukan hal
yang mudah. Berbagai kendala dialami guru untuk melaksanakan pembelajaran yang sesuai dengan
KTSP dan dapat mengakomodasi kebutuhan siswa. Kendala umum yang dialami guru diantaranya
kurang efektifnya kegiatan pembelajaran di dalam kelas, sebagian besar siswa belum belajar
sewaktu guru mengajar, selama proses pembelajaran guru belum memberdayakan seluruh potensi
dirinya, sehingga sebagian besar siswa belum mampu mencapai kompetensi individual yang
diperlukan untuk mengikuti pelajaran lanjutan, siswa belum belajar sampai pada tingkat
pemahaman, dan sebagian siswa belum dapat menggunakan dan menerapkan secara efektif dalam
pemecahan masalah sehari-hari yang kontekstual (Martinis, 2008: 3).
Hasil belajar mata pelajaran fisika yang dicapai siswa di sekolah belum memuaskan. Hal ini
terungkap berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan guru fisika SMAN 7 Malang. Siswa
mengalami kesulitan dalam memahami materi fisika yang dipelajarinya. Persentase keterlibatan
siswa dalam pembelajaran kurang dari 50%, bahkan hampir semua siswa yang ada dalam kelas
cenderung diam kalau ditanya apakah sudah paham atau tidak. Pengajuan masalah yang diberikan
guru belum direspon dengan baik oleh siswa. Sebagian kecil (31%) siswa memberikan jawaban
walaupun jawaban masalah tersebut masih ada yang keliru. Pencapaian hasil belajar fisika kurang
memuaskan, masih banyak siswa yang berada dibawah KKM. Dari 40 siswa yag ada di dalam
193
kelas, sekitar 45% siswa nilainya di atas KKM, itupun dengan KKM yang sebelumnya 75
diturunkan menjadi 65.
Pelaksanaan pembelajaran Fisika di sekolah sebenarnya dapat dilakukan dengan berbagai
cara. Guru dapat menggunakan variasi model dan metode pembelajaran untuk membelajarkan
siswa. Hal ini belum menjadi kenyataan di sekolah. Berdasarkan observasi pembelajaran fisika di
kelas X-8 SMAN 7 Malang, pembelajaran fisika dilakukan dengan menggunakan metode
pembelajaran yang bervariatif walaupun kecenderungannya lebih banyak menggunakan metode
ceramah. Beberapa upaya telah dilakukan oleh guru fisika di kelas X-8 SMAN 7 Malang,
diantaranya menerapkan model-model pembelajaran yang sudah dikenal guru. Model pembelajaran
yang sudah dikenal guru diantaranya adalah diantaranya adalah model Jigsaw, STAD, Direct
Instruction, dan Problem Based Learning. Model-model pembelajaran tersebut merupakan model
pembelajaran yang berbasis pada pembelajaran kontruktivisme dan dipahami secara teoritis oleh
guru sehingga pelaksanaannya di kelas masih perlu ditingkatkan. Guru merasa belum puas dan
belum yakin dengan implementasi model-model pembelajaran tersebut di kelas. Oleh karena itu,
guru fisika di SMAN 7 Malang merasa perlu berkolaborasi dengan pihak lain untuk meningkatkan
hasil belajar fisika siswa.
Berdasarkan permasalahan yang muncul di kelas X-8 SMAN 7 Malang dan diskusi dengan
guru fisika, upaya peningkatan hasil belajar fisika di kelas X-8 SMAN 7 Malang difokuskan pada
penguasaan konsep fisika dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik melalui pembelajaran
berbasis masalah. Model pembelajaran yang dipilih adalah problem based learning (PBL).
Pemilihan model PBL didasarkan permasalahan yang terjadi di kelas X-8 yaitu kurangnya respon
siswa terhadap pengajuan masalah dari guru sehingga penggunaan model PBL dapat menjadi
sarana untuk meningkatkan kompetensi siswa melalui pengajuan dan pemecahan masalah.
Pembelajaran berbasis masalah bersifat kolaboratif dan kooperatif. Siswa bekerja dalam
kelompok, berinteraksi, saling mengajarkan, dan melakukan presentasi. Pemberian masalah pada
awal pertemuan dimaksudkan supaya siswa tertantang/memiliki motivasi untuk mempelajari materi
yang akan dibahas. Pembahasan masalah secara kelompok membimbing siswa dalam memperjelas
masalah, menulusuri berbagai perspektif dalam masalah tersebut, dan mengkaji bersama untuk
menguasai informasi, gagasan dan skill serta kompetensi social siswa. Tugas guru adalah
mengelola dan menertibkan proses kelompok tersebut, membantu siswa menemukan dan
mengelola informasi, dan memastikan bahwa ada tingkat kegiatan dan pembahasan yang dinamis
dalam kelompok (Joyce dkk. 2009: 36). Oleh karena itu, model PBL merupakan pembelajaran
yang menggunakan masalah sebagai sarana untuk mengaktifkan belajar siswa secara fisik dan
mental.
Model PBL yang digunakan dalam upaya meningkatkan hasil belajar fisika di kelas X-8
SMAN 7 Malang dimodifikasi dengan authentic learning. Modifikasi dilakukan berdasarkan
permasalahan yang muncul bahwa siswa di kelas X-8 tidak benar-benar mengetahui apa yang
dipelajari. Kebanyakan dari siswa melakukan kegiatan belajar karena ada penugasan bukan kerena
kebutuhan (Lombardi, 2007a).
Authentic learning adalah pembelajaran yang memungkinkan siswa menggali,
mendiskusikan, dan membangun secara bermakna konsep-konsep dan hubungan-hubungan, yang
melibatkan masalah nyata dan proyek yang relevan dengan siswa (Lombardi, 2007b). Istilah
otentik berarti asli, sejati, dan nyata (Websters Revised Unabridged Dictionary, 1998).
Pembelajaran ini dapat digunakan untuk siswa pada semua tingkatan kelas, maupun siswa dengan
berbagai macam tingkat kemampuan. Prinsip-prinsip pembelajaran otentik adalah berpusat pada
siswa, siswa belajar secara aktif, dan menggunakan tugas otentik.
Model PBL yang dikombinasi dengan pembelajaran autentik untuk selanjutnya menjadi
Authentic Problem Based Learning (aPBL). Langkah-langkah pembelajaran aPBL meliputi; a) di
akhir pertemuan sebelumnya siswa diberi tugas yang berupa masalah yang harus diselesaikan di
rumah, masalah ini boleh saja diselesaikan mandiri atau kelompok (sesuai kelompok kecil yang
telah dibagi); b) penyelesaian dari masalah tersebut harus ditulis oleh siswa dalam suatu buku tulis;
194
c) pada pertemuan yang selanjutnya siswa langsung berkumpul pada kelompok kecil guna
mendiskusikan ulang masalah yang dimiliki dan mencapai solusi final; d) setelah diskusi kelompok
kecil maka masing-masing perwakilan kelompok ditunjuk untuk mewakili kelompok
menyampaikan hasil diskusi; dan e) Guru memberikan tanggapan terhadap jawaban siswa.
METODE
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan desain
Kemmis dan Mc Taggart. Penelitian dilakukan dalam siklus spiral, yang terdiri dari beberapa tahap
yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian ini dirancang
dengan menggunakan siklus dengan materi optika. Tindakan yang diberikan adalah pembelajaran
sesuai dengan authentic problem based learning
Penelitian dilaksanakan pada siswa kelas kelas X-8 SMA Negeri 7 Malang dengan jumlah
30 siswa, yang terdiri dari 10 siswa laki-laki dan 20 siswa perempuan. Penelitian ini merupakan
penelitian kolaborasi antara Dosen Prodi Pendidikan Fisika dengan Guru Fisika SMAN 7 Malang.
Sebelum penelitian dilakukan observasi dan melakukan kolaborasi dengan guru.
Perencanaan pada siklus 1 diawali dengan perencanaan untuk menyusun RPP dan perangkatnya
sesuai tindakan yang diberikan, instrumen penelitian yang diperlukan dan penetapan jadwal
pelaksanaan tindakan serta refleksi. Siklus II dirancang sebagai perbaikan dari hasil refleksi
terhadap berbagai kelemahan yang terjadi pada siklus 1. Jika dalam siklus 2 sudah ditemukan
peningkatan hasil belajar sesuai indicator keberhasilan penelitian, maka penelitian dihentikan pada
siklus II dan jika tidak, akan dilanjutkan pada siklus 3.
Data penelitian yang dikumpulkan adalah data keterlaksanaan pembelajaran dengan
authentic learning dan data hasil belajar Fisika siswa. Data keterlaksanaan pembelajaran diperoleh
dari hasil observasi pada setiap pertemuan. Sumber data keterlaksanaan pembelajaran adalah guru
dan siswa. Data hasil belajar terdiri dari tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek psikomotor, dan
aspek afektif. Data hasil belajar pada aspek kognitif diperoleh dari nilai ulangan harian dan tugas.
Data hasil belajar pada aspek psikomotor dan afektif diperoleh dari hasil observasi pada setiap
pertemuan. Sumber data hasil belajar ini adalah siswa.
Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, tes dan tugas. Instrumen penelitian yang
digunakan berupa instrument pembelajaran dan instrumen pengukuan penelitian. Instrumen
pembelajaran meliputi RPP dengan materi Kalor yang disertai perangkatnya. Instrumen
pengukuran penelitian meliputi lembar observasi, butir soal tes dan tugas. Lembar observasi dibuat
untuk mengamati aktivitas belajar siswa pada aspek psikomotor dan afektif selama penelitian serta
keterlaksanaan model pembelajaran. Data dari hasil observasi berupa data cek list yang sudah
memiliki rubrik penilaian masing-masing. Lembar tes berisi soal ulangan harian yang diisi
langsung oleh sisw dan lembar tugas diberikan pada setiap akhir pertemuan.
Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan bantuan perhitungan sederhana. Analisis
data dilakukan teknik reduksi data dan mempersentase data untuk melihat keberhasilan penelitian
yang dilakukan. Setelah data dianalisis, hasil analisis disesuaikan dengan indikator keberhasilan
penelitian untuk direfleksi. Indikator keberhasilan untuk keterlaksanaan model pembelajaran adalah
sebesar 85% dan indikator keberhasilan untuk hasil belajar siswa adalah rata-rata nilai hasil belajar
sebesar 80 dan ketuntasan klasikal untuk hasil belajar pada aspek kognitif sebesar 85%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Siklus I
Pada tahap siklus 1, kegiatan yang dilakukan adalah membuat perencanaan tindakan yang
berupa RPP dan perangkatnya, dan instrumen hasil belajar Fisika. RPP yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan Authentic Problem Based Learning (aPBL). Pada siklus I, digunakan 2
RPP dengan aPBL untuk dua pertemuan. Kompetensi Dasar yang digunakan adalah Menganalisis
195
pengaruh Kalor terhadap suatu zat. Pertemuan pertama akan membahas materi suhu dan pertemuan
kedua akan membahas materi pemuaian.
Penilaian hasil belajar pada siklus I terdiri dari 2 aspek, yaitu aspek kognitif dan aspek
afektif. Penilaian aspek kognitif didapat dari ulangan harian dan tugas-tugas dan penilaian aspek
afektif didapat dari keaktifan dan sikap siswa dalam kegiatan pembelajaran. Soal ulangan harian
pertama pada materi suhu dan pemuaian yangs sudah disusun akan diberikan pada siswa di akhir
siklus I. Soal-soal ulangan harian pertama terdiri dari 10 soal pilihan ganda dan 2 soal uraian.
Lembar kerja siswa (LKS) yang digunakan memuat judul, tujuan dalam melaksanakan
diskusi kelompok, alat dan bahan, prosedur pelaksanaan diskusi, data hasil pengamatan
demonstrasi, analisis data, dan kesimpulan. LKS dipergunakan sebagai petunjuk bagi siswa dalam
melakukan diskusi kelompok.
Sebelum melaksanakan tindakan, peneliti mencoba alat-alat yang digunakan dalam
pembelajaran pada siklus I. Penyiapan alat-alat dan bahan dilakukan sebelum pelaksanaan
pembelajaran berlangsung. Sebelum pelaksanaan tindakan I tim peneliti mengetahui tugas masingmasing, dimana salah satu peneliti bertindak sebagai guru yang akan melaksanakan tindakantindakan yang sudah direncanakan sebelumnya dan peneliti yang lain sebagai observer.
Pada tahap tindakan dilakukan pelaksanaan pembelajaran dan observasi pembelajaran.
Pelaksanaan tindakan I meliputi materi suhu dan pemuaian dengan penerapan pembelajaran dengan
aPBL. Pada pelaksanaan tindakan I nilai kognitif siswa diukur melalui Ulangan Harian diakhir
pelaksanaan siklus I dan tugas-tugas. Nilai afektif siswa diukur melalui keaktifan siswa pada saat
proses pembelajaran. Semua materi dilakukan dalam 3 pertemuan dengan alokasi waktu 2x45
menit setiap pertemuan.
Hasil refleksi siklus 1 menunjukkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran pada siklus I
mencapai 82,22%. Data selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel.1 Keterlaksanaan Pembelajaran aPBL
No. Aspek yang Diamati
1
Perencanaan
2
Membuka Pelajaran
3
Penguasaan Materi Pelajaran
4
Pendekatan atau Strategi Pembelajaran
5
Pemanfaatan Media Pembelajaran
6
Pembelajaran yang Memicu dan Memelihara Keterlibatan siswa
7
Asesmen dalam Proses Pembelajaran
8
Refleksi dan Rangkuman Pembelajaran
Keterlaksanaan Pembelajaran
Persentase (%)
90,00
100,00
50,00
60,00
80,00
87,78
100,00
90,00
82,22
Dari pelaksanaan pembelajaran diperoleh rata-rata hasil belajar siswa pada aspek kognitif
adalah 77,84 dengan persentase siswa yang tuntas sebesar 56,67%. Rata-rata hasil belajar siswa
pada aspek afektif adalah 69,78 dengan persentase siswa yang tuntas adalah 13,33%. Dilihat dari
indikator keberhasilan, hasil belajar siswa belum mencapai indikator yang diharapkan sehingga
perlu ditingkatkan lagi. Pada umumnya, siswa masih kebingungan dalam memahami soal tentang
pemuaian dan banyak kesalahan terjadi pada soal hitungan.
Siswa kurang aktif dalam pembelajaran, hanya beberapa siswa saja yang aktif
menyampaikan pendapat. Pada saat diskusi kelompok, banyak siswa yang hanya diam menunggu
jawaban dari teman lain. Sumber belajar yang digunakan siswa hanya satu buku yang hanya terdiri
dari rangkuman materi, contoh soal, dan latihan soal. Siswa kurang mendapat pengetahuan
terutama contoh aplikasi pemuaian dalam kehidupan sehari-hari.
196
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari siklus I terdapat beberapa aspek yang belum
memenuhi indikator keberhasilan. Pelaksanaan pembelajaran dengan aPBL masih perlu diperbaiki
lagi agar pelaksanaan pembelajaran dan hasil belajar siswa lebih baik pada siklus II.
Siklus II
Berdasarkan pelaksanaan tindakan pada siklus I dan observasi diketahui bahwa siswa lebih
bersemangat dalam mengikuti pelajaran fisika dengan menggunakan pembelajaran aPBL. Rata-rata
hasil belajar yang diperoleh pada siklus I pada aspek kognitif sudah mencapai KKM yaitu 77,84,
namun belum mencapai indikator keberhasilan yang diharapkan. Rata-rata hasil belajar siswa pada
aspek afektif belum mencapai indikator keberhasilan, yaitu 69,78, maka peneliti merancang
tindakan siklus II untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Dengan memperbaiki kekurangankekurangan dalam pelaksanaan pembelajaran siklus I adalah sebagai berikut.
1. Hasil belajar siswa pada aspek kognitif masih belum maksimal, hal ini ditunjukkan dengan
banyaknya siswa yang belum memenuhi KKM.
2. Banyak siswa yang belum paham dengan soal hitungan dan aplikasi karena kurang latihan soal
dan sumber belajar.
3. Siswa pasif dalam pembelajaran maupun diskusi kelompok, hanya beberapa siswa yang aktif.
Pelaksanaan siklus II merupakan tindak lanjut dari siklus I. kelebihan yang ditemukan pada
siklus I dipertahankan dan kekurangan dalam melasanakan tindakan I diperbaiki pada siklus II.
Pada tahap perencanaan dilakukan kegiatan menyusun RPP dan LKS dengan kegiatan yang
menunjang siswa untuk lebih aktif dalam pembelajaran, menyiapkan rubrik penilaian hasil belajar
siswa yaitu pada aspek kognitif, aspek psikomotor, dan aspek afektif, menyusun kisi-kisi ulangan
harian siklus II yang terdiri dari 4 soal essay, memberikan tahap praktikum dan mempertahankan
pemberian contoh aplikasi kehidupan sehari-hari pada tahap apersepsi, memberi lebih banyak
latihan soal agar siswa lebih paham bagaimana menggunakan rumus dalam memecahkan masalah
fisika, dan memberi lebih banyak kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat agar
siswa lebih aktif dalam pembelajaran.
Hasil refleksi siklus II menunjukkan bahwa keterlaksanaan pembelajaran pada siklus II
mencapai 87,78%.
Tabel 2 Keterlaksanaan Pembelajaran aPBL Siklus 2
No. Aspek yang Diamati
1
Perencanaan
2
Membuka Pelajaran
3
Penguasaan Materi Pelajaran
4
Pendekatan atau Strategi Pembelajaran
5
Pemanfaatan Media Pembelajaran
6
Pembelajaran yang Memicu dan Memelihara Keterlibatan siswa
7
Asesmen dalam Proses Pembelajaran
8
Refleksi dan Rangkuman Pembelajaran
Keterlaksanaan Pembelajaran
Persentase (%)
80,00
100,00
85,00
80,00
90,00
82,23
100,00
85,00
87,78
Dari pelaksanaan pembelajaran diperoleh rata-rata hasil belajar siswa pada aspek kognitif
adalah 86,79 dengan persentase siswa yang tuntas sebesar 90,00%. Rata-rata hasil belajar siswa
pada aspek psikomotor adalah 83,8 dengan presentase siswa yang tuntas sebesar 100%. Rata-rata
hasil belajar siswa pada aspek afektif adalah 80,42 dengan persentase siswa yang tuntas adalah
76,67%. Dilihat dari indikator keberhasilan, hasil belajar siswa telah mencapai indikator yang
diharapkan yaitu 80. Siswa lebih paham materi kalor dan kalor leten karena banyak mengerjakan
latihan soal, walaupun masih ada beberapa siswa yang nilainya kurang dari KKM. Siswa antusias
dalam melaksanakan praktikum tentang kalor dan kalor laten, namun masih ada beberapa siswa
SESI PARALEL FISIKA
197
Persentase
yang kurang tepat dalam membaca stopwatch. Pada siklus II siswa lebih aktif dalam pembelajaran,
baik pada saat tanya jawab dengan guru maupun diskusi kelompok, karena guru memotivasi dan
memberi kesempatan siswa untuk lebih aktif.
Berdasarkan hasil analisis dan refleksi siklus 1 dan II, pelaksanaan pembelajaran dengan
aPBL mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 1.
120%
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Siklus I
Siklus II
1
Sebelum
Tindakan
80
Siklus I
75
70
Siklus II
65
Peningkatan Aspek Kognitif Siswa
Gambar 2 Grafik Peningkatan Aspek Kognitif Siswa Sebelum dan Sesudah Tindakan
85
80
Sebelum Tindakan
75
Setelah Tindakan
70
Peningkatan Aspek Psikomotor
Siswa
Gambar 3. Grafik Peningkatan Aspek Psikomotor Siswa Sebelum dan Sesudah Tindakan
SESI PARALEL FISIKA
198
80
75
Siklus I
70
65
Siklus II
60
Peningkatan Aspek Afektif Siswa
Gambar 4 Grafik Peningkatan Aspek Afektif Siswa Sebelum dan sesudah tindakan
Pembelajaran dengan authentic problem based learning (aPBL) dapat meningkatkan hasil
belajar dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Hal ditunjukkan dari hasil penelitian yang
menerapkan aPBL di SMAN 7 Malang. Peningkatan tersebut terjadi karena aPBL memfasilitasi
siswa untuk aktif belajar secara mandiri dengan menggunakan fenomena fisika secara langsung.
Authentic Learning dapat meningkatkan keterlibatan dan keaktifan siswa. Pernyataan tersebut
didukung oleh beberapa penelitian tentang authentic learning, diantaranya adalah penelitian oleh
Lombardi (2008) yang menyimpulkan bahwa keakuratan fisika pada simulasi suatu materi tidak
lebih penting daripada simulasi yang menunjukkan proses penyelesaian masalah secara realistis.
Dalam penelitiannya juga, Herington (2006) menyatakan bahwa autentisitas kognitif lebih kecil
daripada autentisitas fisik yang merupakan faktor utama dalam mendesain lingkungan authentic
learning. Rule (2006) menyatakan bahwa autentisitas dapat berupa takdir atau keputusan
sebelumnya dan upaya tersebut lebih sering menghasilkan daripada pembuktian, artinya upaya
untuk membuat materi dan lingkungan pembelajaran diprioritaskan sesuai dengan kehidupan nyata
untuk membuat siswa berinteraksi dengannya. Autentisitas terjadi tidak pada siswa, tugas, atau
lingkungan tetapi terjadi pada interaksi dinamis antara variabel-variabel tersebut.
Pembelajaran fisika yang mengenalkan siswa pada fenomena langsung mendukung
kebijakan pemerintah. Hal ini tertuang dalam Standar Isi Pembelajaran Fisika (Permendiknas No
24 tahun 2006) yang menyatakan bahwa proses pembelajaran fisika di sekolah menekankan pada
pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara ilmiah. Hal ini juga disebabkan Fisika diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan manusia melalui pemecahan masalah-masalah yang dapat
diidentifikasikan.
Pembelajaran fisika harus interaktif, inspiratif, menyenangkan, dan menantang sehingga
dapat memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif. Proses pembelajaran memberikan ruang yang
cukup untuk peserta didik agar memiliki akhlak mulia, budi pekerti luhur, kepribadian unggul,
kepemimpinan, jiwa entrepreneurship, jiwa patriot, jiwa inovator, prakarsa, kreativitas,
kemandirian berdasarkan bakat, minat dan perkembangan fisik maupun psikologisnya secara
optimal yang terintegrasi pada keseluruhan kegiatan pembelajaran. Pendidik harus dapat
mengembangkan proses pembelajaran yang membangun pengalaman belajar siswa melalui
kegiatan eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi yang efektif dan efisien (Depdiknas, 2009:23).
Keterlibatan dan keaktifan siswa harus didukung dengan peran guru sebagai fasilitator untuk
mengmbangkan kemampuan siswa. Guru harus menyadari bahwa keaktifan membutuhkan
keterlibatan langsung siswa dalam kegiatan pembelajaran. Namun demikian, perlu diingat bahwa
keterlibatan langsung secara fisik tidak menjamin keaktifan belajar. Untuk dapat melibatkan siswa
secara fisik, mental-emosional, dan intelektual dalam kegiatan pembelajaran, maka guru hendaknya
merancang dan melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mempertimbangkan karakterisitik
siswa dan isi pelajaran (Dimyati & Mudjiono, 2009:63).
Hasil belajar siswa dapat dilihat setelah siswa melakukan pembelajaran selama beberapa
waktu. Sudjana (1995: 32) menyatakan hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki siswa setelah
menerima pengalaman belajarnya. Hasil belajar pada hakekatnya adalah perubahan tingkah laku
sebagai hasil dari proses belajar mengajar. Perubahan ini berupa pengetahuan, pemahaman,
keterampilan dan proses yang biasanya meliputi ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
SESI PARALEL FISIKA
199
KESIMPULAN
1. Pembelajaran Fisika dengan aPBL di kelas X-8 SMAN & Malang dapat mengaktifkan belajar
siswa. aPBL member kesempatan pada siswa untuk menyelesaikan masalah secara mandiri
dalam kelompok belajar.
2. Pembelajaran Fisika dengan aPBL di kelas X-8 SMAN & Malang dapat meningkatkan hasil
belajar siswa. Terdapat peningkatan pada aspek kognitif sebesar dengan ketuntasan sebesar
36,37%, pada aspek afektif sebesar 6,57%, dan aspek psikomotorik sebesar 14,64%.
SARAN
1. Bagi guru yang hendak menggunakan aPBL, perlu menyiapkan RPP yang menunjukkan
masalah dalam kehidupan sehari-hari yang dapat diselesaikan siswa. Permasalahan tersebut
hendaknya permasalahan penggunaan konsep Fisika di alam dengan menunjukkan fenomena
langsung. Penyusunan LKS hendaknya memiliki petunjuk yang jelas bagi siswa sehingga
siswa tidak mengalami kebingungan ketika kegiatan praktikum atau diskusi kelas.
2. Pembelajaran Fisika dengan aPBL hendaknya menggunakan media langsung untuk
mempermudah siswa mengenali dan menyelesaikan permasalahan.
3. Pembelajaran Fisika dengan aPBL sebaiknya digunakan untuk materi-materi fisika yang
membutuhkan adanya kegiatan praktikum, diskusi kelompok, dan penerapan aplikasi fisika
dalam kehidupan nyata, misalnya pada materi kinematika, fluida, dan kalor.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih kepada Ibu Catur Wigiati, guru SMAN 7 Malang, yang telah bersedia
membantu pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Dimyati & Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rhineka Cipta
Herrington, J. 2006. Authentic e-learning in Higher Education:Design Principles for Authentic
Learning Environtmen and Task. Research Online: e-Learn Conference, 2006. Universitay
of Wollongong.
Joyce, B., Weil, M., & Calhoun, E. 2009. Models of Teaching (Eighth Edition). Terjemahan oleh
Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Lombardi, Marilyn M. 2007a. Approaches That Work: How Authentic Learning is Transforming
Higher Education. http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ELI3009.pdf, diakses tanggal 15
September 2011.
Lombardi, Marilyn M. 2007b. Authentic Learning for the 21st Century:an Overview.
http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ELI3009.pdf, diakses tanggal 15 September 2011.
Lombardi, Marilyn M. 2008. Making the Grade: The Role of Assessment in Authentic Learning.
http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ELI3009.pdf, diakses tanggal 12 Oktober 2011.
Martinis, S, A. 2008 Portofolio Capture Rich Array of Student Performance. The School
Administrator 6, 8-11.
Rule, Audrey C. 2006. Editorial: The Components of Authentic Learning. Journal of Authentic
Learning, Volume 3, Number 1, Pages 1-10, August 2006. Oswego: State University of
New York.
Sudjana, N. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
200
PENDAHULUAN
Khususnya di Kabupaten Tulungagung Kecamatan Campurdarat dikenal sangat kaya dengan
hasil tambang seperti marmer. Sebenarnya, di daerah ini banyak pula dijumpai berbagai batuan.
Hal ini didukung oleh hasil dieksplorasi awal oleh tim Universitas Negeri Malang (UM)
menggunakan Ground Penetrating Radar serta uji laboratorium menggunakan X-Ray Fluorescent
(X-RF), dan X-Ray Diffractometer (X-RD). Eksplorasi batuan yang banyak dilakukan dan dikenal
cara pengolahannya adalah batu marmer. Masyarakat sekitar tidak mengolah atau membiarkan
batuan batuan keras tersebut, dan menilai batuan itu sebagai batuan yang tidak semahal marmer.
SESI PARALEL FISIKA
201
Jika dijual atau diekspor, batuan mentah tersebut dijual dengan harga murah. Keadaan industri
pertambangan bahan tambang mineral alam seperti pirit ( ), kalkopirit ( ) dan kuarsa
( ) belum berkembang, salah satu penyebabnya karena masyarakat Tulungagung lebih tertarik
pada batuan marmer yang lebih menjanjikan nilai ekonominya. Bahan tambang lain yang mereka
cari selain batuan marmer adalah emas (Au) dan tembaga (Cu) (Diantoro, 2010). Karena
masyarakat masih awam akan nama dan wujud mineral, mereka sering menduga pirit ( ) dan
kalkopirit() sebagai emas (Au). Kedua mineral tersebut secara fisik memang memiliki
warna kuning keemasan dengan kilap logam yang mirip emas (Au).
Sejauh ini, penelitian identifikasi komposisi, karakterisasi fasa kristal dan dielektrisitas pada
mineral pirit dan kalkopirit dari daerah Tulungagung sangat jarang dilaporkan. Jenis batuan mineral
di Tulungagung sangat banyak, penulis mengambil dua buah jenis batuan pirit dan kalkopirit
sebagai obyek studi penelitian karena dipandang sebagai salah satu sumber masalah yang berkaitan
dengan kesalahan identifikasi dan data konstanta dielektrik pada batuan mineral di Tulungagung
belum pernah dilaporkan pada sebuah literatur.
Bumi terbentuk dari batuan-batuan. Batuan terbentuk dari kepingan material yang disebut
mineral-mineral. Batuan bisa terdiri dari satu atau lebih jenis mineral. Mineral membangun blokblok batuan. Mineral terdiri dari atom-atom yang membentuk Kristal (Cull, 2009).
Identifikasi sifat fisika ada dua. Pertama, sifat fisika secara teori. Sifat-sifat ini antara lain:
Suhu Kohesi, Optik, Perawakan Kristal, Sifat Radioaktifitas, Gejala Emisi Cahaya. Kedua, sifat
fisika secara laboratorium. Semua sifat-sifat mineral memiliki nilai atau patokan tertentu sesuai
dengan jenisnya. Dalam pendeskripsian mineral, juga ditentukan sistem kristal, komposisi atau
rumus kimia, kelas dan grup mineral serta asosiasi dan kegunaan mineral tersebut (Lesmana, 2010).
Sifat-sifat ini diantaranya: Warna, kilap, cerat (warna serbuk), perawakan kristal, belahan, pecahan,
kekerasan, sifat dalam, berat jenis dan kemagnetan.
Pirit merupakan mineral yang sangat umum, ditemukan dalam berbagai macam formasi
geologi dari endapan sedimen untuk urat hidrotermal dan sebagai penyusun batuan metamorf.
Warna metalik kekuningan dari Pirit, menyebabkan orang mengira itu emas (Au), maka julukan
umum 'Fool's Gold yang artinya emas bodoh atau emas yang menipu. Pirit tetap digunakan
komersial untuk produksi belerang dioksida, digunakan dalam aplikasi seperti industri kertas dan
pembuatan asam sulfat. Pirit dapat menunjukkan hambatan negatif dan sudah secara eksperimen
digunakan getaran sirkuit sebagai detektor radio. Dekomposisi termal dari pirit menjadi FeS
dimulai dari sulfur elemental di 550 C; pada sekitar 700 C dengan tekanan sekitar 1 atm. Pirit
merupakan bahan semikonduktor dengan celah pita dari 0,95 eV (K. Ellmer, 2000).
Kalkopirit terbentuk melalui proses hidrotermal,terutama terdapat dalam deposit mesotermal
dan hipotermal. Ini terdapat bersama pirit, turmalin, kuarsa dan kasiterit. Dijumpai juga dalam
batuan beku, retas pegmatit dan dalam deposit metamorfisme kontak. Manfaat kalkopirit adalah
sebagai mineral bijih sumber logam tembaga. Sehingga ini menjadi sumber komersial utama
penghasil tembaga.
METODE
Terdapat dua tahap dalam penelitian ini. Pertama, identifikasi, dilakukan penelitian
laboratorium yang meliputi identifikasi sifat fisika. Identifikasi sifat fisika meliputi warna dan
dielektrisitas batuan dengan menggunakan metode pemisahan, penggerusan dan kompaksi. Kedua,
karakterisasi, berdasarkan hasil tahap pertama digunakan untuk mengetahui unsur, senyawa dan
dielektrisitas batuan mineral. Metode analisis dalam penelitian ini bersifat kuantitatif yang
digunakan untuk mengetahui dielektrisitasnya yang digambarkan pada konstanta dielektrik.
Kandungan bahan dilakukan uji XRF dan analisis difraksi sinar-X untuk pengamatan fasa yang
terbentuk dan mengetahui struktur kristal. Langkah-langkah penelitian antara lain: Pemotongan dan
pemecahan batuan, pemotongan lebih kecil, pemisahan berdasar warna, penggerusan dan
karakterisasi XRF, XRD dan dielektrisitas.
202
Loga
m
Optik
Warna
Original
Hitam
Pirit B
Kilap
Tidak
Mengkilap
Logam
Kuning
Pucat
Putih
Kecoklatan
Optik
Kalkopirit A
Warna
Kilap
Original
Kuning
Logam
Pucat
Kuning
Logam
kehitaman
Putih
Tidak
Mengkilap
Kalkopirit B
Warna
Kilap
Original
Kuning Pucat Logam
Kuning
Kehitaman
Putih
kehijauan
Logam
Tidak
mengkilap
Identifikasi sifat fisik mineral digunakan untuk mengidentifikasi mineral tanpa bantuan alat
kristalografis atau bahan kimia. Sifat fisik mineral banyak ragamnya, sebagian meliputi: warna,
kilap, belahan, cerat (warna serbuk), kekerasan dan lainnya (Cull, 2009). Penelitian ini
menggunakan dua dari beberapa sifat fisik tersebut yaitu warna dan kilap karena kenampakan
kedua sifat ini lebih mudah dan cepat untuk mengidentifikasi tanpa bantuan alat.
Warna dapat dilihat ketika terjadi beberapa proses pemindahan panjang gelombang,
beberapa menyerap panjang gelombang spesifik dari spektrum yang dapat dilihat. Warna juga
merupakan sifat pembawaan yang disebabkan oleh adanya suatu zat sebagai biang warna (pigment
agent) dari mineral-mineral tersebut (Burns, 1993).
Kilap adalah kesan mineral akibat pantulan cahaya yang dikenakan padanya. Kilap
dibedakan menjadi dua, yaitu kilap logam dan kilap bukan logam. Kilap logam memberikan kesan
seperti logam bila terkena cahaya. Kilap ini biasanya dijumpai pada mineral-mineral yang
mengandung logam atau mineral bijih seperti emas, pirit dan kalkopirit. Kilap bukan logam tidak
memberikan kesan seperti logam jika terkena cahaya. Kilap bukan logam ada dua jenis yaitu kilap
optik dan sama sekali tidak mengkilap. Kilap optik akan memberikan kesan optik atau bisa
ditembus cahaya ketika terkena cahaya. Kilap seperti pada mineral kuarsa (Burns, 1993; Husein,
2008; Lesmana, 2010).
Hasil Analisis Komposisi Unsur Mineral dengan XRF
Untuk mengetahui kandungan komposisi unsur-unsur dalam batuan digunakan XRF. Hasil
XRF digunakan sebagai pedoman untuk mengidentifikasi fasa kristalin dengan menggunakan
software XPert HighScore Plus. Tujuannya agar fasa kristalin yang dicari sesuai dengan
kandungan komposisi unsur di dalam batuan sehingga lebih mudah dalam menganalisa senyawa
karena software ini menampilkan banyak kandidat senyawa. Hasil XRF menunjukkan kandungan
unsur beserta persentase komposisinya sehingga dapat diketahui unsur-unsur apa saja yang ada di
dalam sampel.
203
Tabel 4.2 Hasil identifikasi komposisi unsur batuan dengan XRF pada batuan pirit
Original
Kuning
Pucat
Hitam
Putih
Unsur
%
Unsur
%
Unsur
%
Unsur
%
Si
25,8
Fe
34,6
Zn
45,5
Si
63
S
22
S
26,5
S
33
P
9,5
Pirit A
Zn
Fe
21,3 14,9
Mo
Si
15
9
Si
Mo
7,8
6
Fe
S
8,79 6,8
Mo
5
Cu
8,83
P
2,4
Ca
5,61
Cu
3,97
Zn
3,92
Fe
2,38
P
2,5
Fe
46,29
Fe
51,09
Fe
54,38
Si
96,9
Pirit B
Si
S
30
13
S
Si
35,8 4,2
Si
Al
28
9,5
Fe
1,29
Al
6,4
Al
4
S
4
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kandungan mineral pada masing-masing jenis batuan
memiliki komposisi yang berbeda. Ketika masih original akan berbeda setelah dipisahkan. Setelah
mineral dipisahkan berdasarkan warnanya, setiap mineral mempunyai unsur dominan masingmasing yang berbeda dengan warna yang lainnya. Unsur-unsur dominan disetiap sampel hasil
pemisahan, tidak keluar dari unsur ketika masih original. Namun, unsur-unsur tersebut hanya
mengalami kenaikan, penurunan atau bahkan tidak terdapat pada warna tertentu hasil pemisahan.
Untuk unsur dibawah 10%, bisa mengalami kenaikan yang tidak terlalu signifikan atau turun
bahkan tidak dikandung oleh mineral tertentu setelah dilakukan proses pemisahan. Mineral-mineral
dibawah 10% merupakan sebuah impurities atau zat campuran yang sedikit berperan dalam
pembentukan warna mineral dominan namun keberadaannya menyebabkan batuan memiliki warna
lebih dari satu. Keberadaan zat campuran tersebut akan menunjukkan pengaruh pada sifat batuan
jika batuan dialiri medan listrik sehingga tidak bisa diabaikan.
Pada mineral berwarna putih, didominasi oleh unsur Si sebesar 63% pada Pirit A dan 96,9%
pada Pirit B. Unsur Si mengalami kenaikan persentase setelah dipisahkan dari mineral originalnya.
Sehingga mineral berwarna putih mengindikasikan adanya kandungan Si yang cukup banyak.
Kenaikan persentase unsur Zn dan S juga terjadi setelah pemisahan, kenampakan mineral dengan
warna hitam juga dipengaruhi oleh adanya unsur Fe. Sedangkan pada mineral kuning pucat,
didominasi oleh unsur Fe dan S dengan persentase kenaikan unsur yang cukup besar dari sebelum
dipisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa proses pemisahan berdasar warna telah meningkatkan
komposisi unsur pada mineral tertentu. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa
tingginya kandungan unsur tertentu dapat di prediksi dari warna yang tampak. Tingginya
kandungan unsur Si menyebabkan suatu mineral akan berwarna putih. Sedangkan untuk mineral
yang mengandung Fe yang cukup banyak, menyebabkan suatu mineral berwarna gelap. Gabungan
beberapa unsur, menyebabkan mineral mempunyai warna tertentu, banyaknya mineral-mineral
penyusun batuan batuan, menjadikan batuan memiliki warna-warna yang tertentu pula.
Tabel 4.3: Hasil identifikasi komposisi unsur batuan dengan XRF pada Kalkopirit
Original
Kuning
Pucat
Kuning
Kehitaman
Putih
Unsur
%
Unsur
%
Unsur
%
Unsur
%
Mo
25
Fe
44,8
Mo
28
Si
69,1
Si
22
S
24
Fe
27,2
Al
12
Kalkopirit A
Fe
Cu
Al
17,8 17,7 6
Mo Si
Cu
20
2,2
4,45
Cu
S
P
24,1 8,7
4
Fe
K
S
5,85 5,12 2
P
4,8
P
1,7
Ca
3,9
Cu
1,84
S
2
Ca
1,7
Si
2,7
Fe
40,7
Fe
32,8
Fe
36,6
Fe
40,4
Kalkopirit B
S
Cu
Si
19,3 12,1 15
Cu
S
Mo
32,3 27,9 3
S
Cu
Mo
29,6 28,5 3
Si
Cu
Al
23,1 9,12 11
Al
7,4
Si
2
Si
2
S
8,6
Tabel 4.3 menunjukkan kandungan komposisi unsur hasil XRF pada batuan Kalkopirit.
Komposisi unsur pada Kalkopirit A dan Kalkopirit B berbeda. Pada semua sampel, baik ketika
204
masih original dan setelah dipisahkan, masih mengandung unsur Cu, Fe dan S namun dengan
persentase yang berbeda-beda. Pada Kalkopirit A, unsur Fe mengalami kenaikan persentase dari
17,8 % (original) menjadi 44,8 % (kuning pucat) dan 27,2 % (kuning kehitaman). Namun
mengalami penurunan menjadi 5,85% (putih). Begitu pula unsur lainnya seperti Cu dan S akan
mengalami kenaikan dan penurunan pada warna sampel hasil pemisahan. Kenaikan dan penurunan
ini menunjukkan bahwa warna mineral ditentukan oleh unsur yang terkandung dalam batuan
tersebut. Hal serupa juga terjadi pada Kalkopirit B. Keberadaan unsur Fe pada batuan
menyebabkan mineral berwarna gelap yaitu pada sampel kuning pucat dan kuning kehitaman.
Sedangkan pada sampel berwarna putih pada Kalkopirit A didominasi oleh unsur Si. Sampel
berwarna putih kehijauan pada Kalkopirit B didominasi unsur Fe dan Si sehingga warna putihnya
gelap atau tidak seputih warna putih pada Kalkopirit A. Hal ini dikarenakan kandungan unsur Fe
yang cukup banyak.
Pola Difraksi Sinar-X
Pola Difraksi Sinar-X pada Pirit warna Original
Gambar 4.1 dan Tabel 4.4 menunjukkan bahwa mineral original mengandung banyak
mineral yang menyusunnya. Terdiri dari empat mineral dan didominasi oleh ZnS dengan
persentase 42%. ZnS, pirit dan kalkopirit dalam batuan original menunjukkan bahwa ketiga mineral
tersebut sering hadir bersama-sama karena ketiganya mineral sulfida yang terbentuk pada proses
hidrotermal. Sehingga ketiganya hampir selalu bersamaan dalam sebuah batuan (Lesmana, 2010).
Mineral quartz yang merupakan salah satu dari kelompok mineral silikat juga ditemukan pada
sampel.
Fe0.987 S2; Zn S
34 pyrit campur
3000
Fe0.987 S2; Zn S
Si O2
Counts/s
Fe0.987 S2; Zn S
Si O2
Si O2
Fe0.987 S2; Zn S; Cu Fe S2
Fe0.987 S2; Cu Fe S2
Si O2; Zn S
Si O2; Zn S
Fe0.987 S2; Zn S
Fe0.987 S2; Zn S
Fe0.987 S2; Zn S
Fe0.987 S2; Zn S; Cu Fe S2
Si O2; Zn S
Si O2; Cu Fe S2
Zn S; Cu Fe S2
Si O2
Cu Fe S2
Si O2
Si O2; Zn S
Zn S
Si O2
Si O2; Zn S
Fe0.987 S2; Zn S
Fe0.987 S2
Si O2; Zn S
Fe0.987 S2
Zn S
Si O2
1000
Zn S; Cu Fe S2
2000
0
20
30
40
50
60
70
Gambar 4.1: Identifikasi fasa kristalin pada warna original menggunakan XPert HighScore Plus
Ref. Code
01-085-0504
01-074-8366
01-089-2209
03-065-1573
37
18
42
3
Compound
Name
Quartz
Pyrite
Zinc Sulfide
Chalcopyrite
Scale Factor
0,647
0,257
0,566
0,143
Chemical
Formula
,
Zn S
205
menyebabkan mineral berwarna gelap. Pada Gambar 4.2 terlihat berkurangnya background
menandakan semakin murninya kandungan mineral yang mampu dipisahkan dari mineral original.
Senyawa dominan lebih terlihat setelah dipisahkan. Sehingga, dari ketiga senyawa tersebut
bergabung membentuk mineral berwarna hitam. Pada mineral ini, tidak ditemukan senyawa
yang sebelumnya ada di mineral original. Mineral mengalami kenaikan persentase
dari dari 18% menjadi 55,6%. Artinya, mineral akan menampakkan diri ketika dipisahkan
dari mineral campurannya.
Zn S; Fe S2
Counts/s
34 pyrit hitam mengkilat
20000
Zn S; Fe S2
Zn S; Fe S2
Zn S; Fe S2
Zn S; Fe S2
Si O2
60
Si O2
Si O2
Fe S2
Si O2
50
Si O2
Si O2
Fe S2
Si O2
Si O2
Zn S; Fe S2
Zn S; Fe S2
Zn S; Fe S2
10000
0
20
30
40
70
Gambar 4.2: Identifikasi fasa kristalin pada warna hitam menggunakan XPert HighScore Plus
Tabel 4.5: Keterangan hasil identifikasi fasa kristalin
Ref. Code
%
Compound
Scale Factor
Name
01-078-2315
4 Quartz
0,020
03-065-5476
40,4 Zinc Sulfide
0,528
03-065-7643
55,6 Iron Sulfide
0,212
Visible
*
*
*
Chemical
Formula
Zn S
Counts/s
Fe S2
Fe S2
Si O2
Fe S2
Fe S2
Fe S2
Si O2
Fe S2
Fe S2
1000
Fe S2; Cu Fe S2
Fe S2
Si O2
Si O2
Cu Fe S2
Fe S2
Fe S2
Fe S2; Cu Fe S2
Si O2
Cu Fe S2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Cu Fe S2
Cu Fe S2
500
0
20
30
40
50
60
70
Gambar 3: Identifikasi fasa kristalin pada warna kuning pucat menggunakan HighScore Plus
Gambar 3 dan Tabel 6 menunjukan bahwa warna kuning pucat didominasi oleh mineral pirit
dengan persentase sebesar 68%. Ini menandakan bahwa mineral dengan warna kuning pucat dan
206
kilap logam berdasar pada Tabel1 adalah sifat fisik yang dimiliki oleh mineral pirit. Persentase
mineral pirit dalam warna ini lebih banyak dibandingkan pada warna hasil pemisahan yang lain.
Mineral pirit saat berada di original hanya 18% namun setelah dipisahkan menjadi 68%. Berarti,
mineral pirit berhasil dipisahkan dari campurannya.
Tabel 6: Keterangan hasil identifikasi fasa kristalin
Ref. Code
%
Compound
Scale Factor
Chemical
Name
Formula
03-065-1211
68 Pyrite
0,640 Fe S2
01-078-2315
23 Quartz
0,746 Si O2
01-075-6866
9 Chalcopyrite
0,735 Cu Fe S2
Visible
*
*
*
Counts/s
34 pyrit putih
8000
6000
Si O2
Si O2
Si O2; Fe P2
Si O2
Si O2
Si
Si O2
O2
Si O2
Si O2; Fe P2
Si O2; Fe P2
Fe S2; Fe P2
Si O2
Si O2
Fe S2
Si O2
Fe P2
Fe S2
Si O2
Si O2; Fe P2
Si O2
Si O2
Fe S2
Fe S2
Fe P2
Fe S2
2000
Si O2; Fe P2
Si O2
4000
0
20
30
40
50
60
70
Gambar 4: Identifikasi fasa kristalin pada warna putih menggunakan XPert HighScore Plus
Visible
*
*
*
207
Counts/s
105_campur
Cu ( Fe S2 )
3000
Cu ( Fe S2 )
Cu ( Fe S2 )
Si O2
Si O2; Cu2 O
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Cu ( Fe S2 )
Cu2 O
Si O2; Cu ( Fe S2 )
Cu ( Fe S2 )
Si O2
Cu ( Fe S2 )
Si O2; Cu ( Fe S2 )
Cu ( Fe S2 )
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Cu ( Fe S2 )
Si O2; Cu2 O
Si O2
1000
Si O2; Cu2 O
Cu ( Fe S2 )
2000
0
20
30
40
50
60
70
Gambar 5: Identifikasi fasa kristalin pada warna original menggunakan HighScore Plus
Tabel 8: Keterangan hasil identifikasi fasa kristalin
Ref. Code
%
Compound
Scale Factor
Name
01-085-0504
78 Quartz
0,876
01-075-6613
5 Chalcopyrite
0,466
01-071-4310
17 copper(I)
0,149
oxide
Visible
*
*
*
Chemical
Formula
( )
Counts/s
Fe S2; Cu ( Fe S2 )
Fe S2
Fe S2
Cu ( Fe S2 )
Cu ( Fe S2 )
Cu ( Fe S2 )
500
Fe S2; Cu ( Fe S2 )
Fe S2
Cu ( Fe S2 )
Fe S2
Fe S2
Fe S2
1000
Fe S2
Fe S2
105_kuning_pucat_kilap
0
20
30
40
50
60
70
Gambar 6: Identifikasi fasa kristalin pada warna kuning pucat menggunakan HighScore Plus
208
Visible
*
*
Chemical
Formula
( )
Gambar 4.6 dan Tabel 4.9 kandungan mineral pirit cukup banyak hampir mendominasi
sampel. Keberadaan kalkopirit juga berperan di dalamnya sebagai mineral ikutan. Dalam sampel
ini juga ditemukan adanya pirit di dalam kalkopirit. Sebagian pirit terjebak ke dalam kalkopirit
pada saat proses pembentukan mineral. Hal ini memang bisa terjadi karena pirit dan kalkopirit
terbentuk dalam proses yang sama dan keduanya merupakan senyawa sulfida. Karena kesamaan
tersebut, pada suhu kohesi keduanya bisa saling mengikat saat proses pertumbuhan kristal
berlangsung. Persentase komposisi pirit mengalami kenaikan yang cukup signifikan dari 5 % di
dalam jebakan kalkopirit menjadi 97 % setelah di pisahkan. Berarti, proses pemisahan berdasar
warna mampu mengeluarkan kandungan pirit dalam jebakan kalkopirit meskipun tidak 100 %
bisa dikeluarkan.
Pola Difraksi Sinar-X pada Kalkopirit warna kuning kehitaman
Gambar 7 dan Tabel 10 menunjukkan bahwa sampel kuning kehitaman dibentuk oleh
mineral utamanya yaitu kalkopirit. Kalkopirit yang awalnya pada mineral originalnya hanya 5 %
dan itu pun bercampur dengan pirit, setelah dipisahkan menjadi 100 %. Ini juga menandakan
bahwa mineral kalkopirit berhasil dipisahkan dari senyawa ikutannya sehingga lebih murni
meskipun sesunnguhnya ada unsur-unsur lain yang dikandungnya sesuai dengan hasil XRF.
Namun, hal ini bisa dikatakan bahwa proses pemisahan berhasil dilakukan dalam mengidentifikasi
mineral. Warna kuning kehitaman yang dimiliki sampel ini yang ternyata didominasi oleh
kalkopirit menandakan bahwa kalkopirit memang sering tampak berwarna kuning kehitaman
dengan kilap logam.
Cu Fe S2
Counts/s
105_kuning_hitam_kilap
Cu Fe S2
3000
Cu Fe S2
Cu Fe S2
Cu Fe S2
Cu Fe S2
1000
Cu Fe S2
Cu Fe S2
Cu Fe S2
Cu Fe S2
2000
0
20
30
40
50
60
70
Gambar 7: Identifikasi fasa kristalin pada warna kuning kehitaman menggunakan HighScore Plus
Visible
*
Chemical
Formula
209
optik berdasar pada Tabel 1 adalah sifat fisik yang dimiliki oleh mineral kuarsa. Persentase mineral
kuarsa dalam warna ini lebih banyak dibandingkan pada warna hasil pemisahan yang lain. Mineral
kuarsa saat berada di original 78 % namun setelah dipisahkan menjadi 100 %. Berarti, mineral
kuarsa berhasil dipisahkan dari campurannya meskipun jika dilihat hasil XRF masih mengandung
mineral ikutan dengan persentase yang jauh lebih sedikit.
Si O2
Counts/s
105_putih
4000
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
O2
SiSiO2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
Si O2
2000
0
20
30
40
50
60
70
Gambar 8: Identifikasi fasa kristalin pada warna putih menggunakan HighScore Plus
Visible
*
Chemical
Formula
Warna
Original/
Campuran
Kuning
Pucat
Mengkilap
18
,
42
ZnS
3
373.7465
195.7154
68 681.9762
,
23
210
ZnS
40,4
4
55,6
89
6
5
19.9096
5.8269
5.8541
29.0113
4.8508
4.9069
Konstanta Dielektrik
Ketergantungan konstanta dielektrik mineral terhadap frekuensi berbeda-beda. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 12 dan Gambar 9. Pada frekuensi 1 kHz-100 kHz terjadi penurunan konstanta
dielektrik secara drastis apabila frekuensi bertambah. Pada frekuensi 100 kHz-200kHz, diperoleh
konstanta dielektrik yang hampir konstan pada grafik berwarna hijau yang didominasi mineral ZnS
dan grafik biru yang didominasi mineral dengan konstanta dielektrik yang rendah. Konstanta
dielektrik pada serbuk putih berkisar antara 4,8-4,9, sebagai pembanding kuarsa memiliki
rentang konstanta dielektrik 4,5-5. Sedangkan grafik berwarna merah yang mengandung mineral
pirit cukup banyak, konstanta dielektriknya cukup besar. Besarnya konstanta dielektrik ini
ditunjukkan keberadaan grafik yang berada paling atas dibandingkan ketiga grafik yang lainnya.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa mineral pirit mempunyai konstanta dielektrik yang cukup
besar dibandingkan mineral lain dalam batuan Pirit. Konstanta dielektrik mineral pirit akan
menunjukkan konstan pada frekuensi antara 100-500 kHz dengan suhu 297K (Husk, 2002).
PIRIT A
campuran
kuning pucat
hitam
putih
700
650
600
550
500
450
400
350
300
250
200
36
34
32
30
28
26
24
22
20
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
0
50
100
150
200
frekuensi (kHz)
Grafik konstanta dielektrik original atau campuran, menandakan hasil rata-rata konstanta
dielektrik dari mineral-mineral gabungan. Sedangkan untuk konstanta dielektrik yang didapatkan
pada bagian-bagian yang sudah dipisahkan diasumsikan merupakan konstanta dielektrik mineral
yang paling dominan. Keberadaan mineral utama dan mineral pengikut dalam suatu batuan atau
mineral tentunya akan menghasilkan konstanta dielektrik yang berbeda pula karena permitifitas
relatif pada mineral bergantung pada kandungan komposisinya.
Konstanta Dielektrik Batuan Kalkopirit
Ketergantungan konstanta dielektrik mineral yang berbeda-beda terhadap frekuensi dapat
dilihat pada Tabel 13 dan Gambar 10. Pada frekuensi 1 kHz-100 kHz terjadi penurunan konstanta
dielektrik secara drastis apabila frekuensi bertambah. Pada frekuensi 100 kHz-200kHz, diperoleh
konstanta dielektrik yang hampir konstan pada grafik berwarna hijau yang didominasi ,
hitam dan biru yang didominasi mineral . Konstanta dielektrik serbuk putih yang didominasi
dengan persentase sebesar 78 % bernilai 36,82-42,23 dan saat 100 % memiliki 27,67-
211
32,2, sebagai perbandingan mineral quartz phorpyry memiliki rentang konstanta dielektrik 14-49,3.
Sehingga, yang terdapat pada Kalkopirit A merupakan mineral quartz phorpyry.
Warna
Original/
Campuran
Kuning
Pucat
Mengkilap
Kuning
Kehitaman
Putih
5
( )
17
182.6509
73.1190
97 402.8009
3
( )
100
776.4724
21.9282
49.5859
100
201.8029
32.2027
27.6787
KALKOPIRIT A
Campuran
Kuning Pucat
Kuning Kehitaman
Putih
800
700
Konstanta Dielektrik
600
500
400
300
240
220
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
0
50
100
150
200
frekuensi (kHz)
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan dapat disimpulkan
sebagai berikut:
Batuan Kalkopirit A dan Kalkopirit B dari Tulungagung menunjukkan komposisi yang
berbeda meskipun jenis batuannya sama. Persamaannya terdapat pada komposisi unsur dominan
yang ada di dalamnya. Pada batuan Pirit unsur utamanya yaitu Fe dan S, pada kalkopirit Cu, Fe
dan S dengan persentase paling dominan. Perbedaannya terletak pada komposisi unsur pengikut
dan jumlah persentase unsur dominannya.
Fasa-fasa kristalin dengan warna berbeda memiliki senyawa berbeda. Kandungan senyawa
unsur utama pirit adalah . Pada Kalkopirit masih dalam rentang fasa campuran.
Perbedaan fasa tiap warna mengindikasikan mineral yang berbeda pula. Lebih jauh hasil
karakterisasi dielektrisitas menunjukkan nilai hampir konstan pada frekuensi 100 kHz dan 200
kHz. Konstanta dielektrik yang terukur pada sampel original merupakan rata-rata konstanta
dielektrik mineral-mineral penyusunnya berbeda warna. Konstanta dielektrik sampel berbeda
warna didominasi oleh nilai konstanta dielektrik senyawa mineral utama.
212
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan SEM dan EDX untuk mengetahui
perubahan morfologi mineral campuran dan didominasi mineral hasil pemisahan berdasarkan
warna. Pengukuran dielektrisitas menggunakan rentang frekuensi diatas 200 kHz.
ACKNOWLEDGEMENT
Penelitian ini sebagian didukung pendanaannya oleh Hibah Hi-Link 2009, dan Hibah
Unggulan Perguruan Tinggi 2012.
DAFTAR RUJUKAN
Burns, Roger G. 1993. Mineralogical Applications of Crystal Field Theory. Cambridge University
Press.
Copper
(http://nevada-outback-
Cull, Selby. 2009. The Restless Earth: Rocks and Minerals. New York: Chelsea House Publisher
The Franklin Institute.
Diantoro, Markus. 2010. Penerapan Teknologi Eksplorasi, Separasi dan Purifikasi Logam dan
Mineral Batuan Tambang Industri Rakyat untuk Pemberdayaan Masyarakat Campurdarat
Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Malang: Program Hi-Link UM.
Herman, Danny Z. 2005. Kegiatan Pemantauan dan Evaluasi Konservasi Sumber Daya Mineral di
Daerah Tulungagung Provinsi Jawa Timur. Tulungagung: Subdit Konservasi.
Husk D. E. & Seehra, M.S. 1978. Dielectric Constant of
Communications. 27 (11): 1147-1148.
213
PENDAHULUAN
Pasir besi merupakan bahan yang sangat melimpah di Indonesia, akan tetapi selama ini
proses pemanfaatannya masih belum optimal hanya terbatas sebagai bahan bangunan atau bahkan
cenderung diabaikan sehingga nilai jualnya masih sangat rendah. Sebenarnya pasir besi
mengandung unsurunsur tambang yang mempunyai nilai jual tinggi misalnya silikon, besi dan
lain sebagianya. Karenanya kajian penguassaan teknologi proses pengolahan atau pemurnian pasir
besi menjadi produk yang bernilai sangat diperlukan supaya bisa dapat meningkatkan kesejahtraan
masyarakat sekitarnya .
Pasir besi ini pada umumnya mempunyai komposisi utama besi oksida seperti magnetit
(Fe3O4), hematit (-Fe2O3), maghemit (-Fe2O3) dan silikon oksida (SiO2), serta senyawa pengotor
lainnya dengan kadar yang lebih rendah (Yulianto, 2002). Dari ketiga senyawa ini, senyawa Fe 3O4
merupakan memiliki sifat magnet yang paling kuat di banding senyawa oksida besi lainnya.
Akan tetapi, Fe3O4 mudah bereaksi membentuk Fe2O3 pada suhu tinggi atau kurang stabil pada
suasana asam (Bijaksana, 2002, Prasetyo, 2009).
Bahan magnetik barium ferit (BaFe12O19) dan Fe3O4 menjadi bahan yang menarik perhatian
para peneliti karena memiliki peluang aplikasi yang luas pada berbagai bidang, dan harganya
relatif murah. Bahan BaFe12O19 digunakan seperti transformator, filter berkualitas tinggi, sirkuit
214
frekuensi tinggi dan perangkat operasi (Rashad, 2011. Zhang, 2011). Sedangkan penggunaan
nanopartikel Fe3O4 misalnya sebagai bahan biocompatible untuk agen dalam bioimaging pada
contrast agent MRI (Magnetic Resonance Imaging), drug Delivery System, baik dengan cara
konjugasi atau pembungkusan, sebagai material pada penyimpan data magnetik (magnetic storage
devices) (Fauziatul, 2009)
Bahan Fe3O4 secara umum kurang stabil terhadap alam seperti suhu tinggi dan asam (Xuan,
2007), pada suhu tunggi bahan Fe3O4 akan teroksidasi menjadi Fe2O3, dan diketahui bahan ini
bukan merupakan magnet kuat, sehingga perlu adanya upaya agar Fe3O4 menjadi stabil di alam,
salah satunya dengan pembentukan bahan magnetik BaFe12O19 dan pembungkusan karbon
(Carbon encapsulated) pada bahan Fe3O4. Pada penelitian ini digunakan metode reaksi padatan
untuk pembentukan bahan BaFe12O19 dan metoda sonifikasi untuk pembungkusan karbon (Ilsu
Rhee, 2011) dengan glukosa sebagai sumber karbonnya. Kelebihan metode sonifikasi untuk
metode pembungkusan antara lain alat ultrasonic cleaner sangat gampang dikontrol, memerlukan
sedikit biaya dan glukosa sangat mudah didapat.
Pada penelitian ini menjadikan pasir besi lokal dari kediri dan Tulungagung sebagai bahan
dasar nanopartikel Fe3O4
METODE EKSPERIMEN
a. Sintesis bahan magnetik BaFe12O19
Nanopartikel Fe3O4 disintesis dari pasir besi kediri dengan metode kopresipitasi. Pasir besi
mula-mula diekstrak dengan menggunakan magnet permanen, kemudian dilarutkan dalam HCl
o
(12,063 M , PA 99,9%) pada suhu sekitar 70 C dan diaduk dengan menggunakan magnetic stirer
sekitar 30 menit. Setelah larutan terbentuk, dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas
saring. Hasil larutan yang diperoleh diendapkan dengan NH4OH (6,5 M, PA 99,9%). Kemudian
endapan disaring dan dicuci dengan aquades sampai bersih. Bahan yang diperoleh selanjutnya
o
dikeringkan dalam oven pada suhu 100 C sekitar 1 jam.
Kemudian bahan Fe3O4 ini direaksikan dengan BaCO3 menggunakan metode reaksi
pambang secara stoikiometri dengan perbandingan 1:12, kemudian kedua bahan digerus dengan
mortar selama 5 jam. Serbuk hasil pencampuran kedua bahan dikalsinasi 800oC selama 8 jam dan
digerus kembali untuk mendapatkan pencampuran yang homogen. Setelah penggerusan tahap
kedua serbuk dipeletisasi dan disentering suhu 1000oC selama 16 jam.
b.
Timur. Kemudian bahan ini diproses untuk pelapisan karbon. Fe3O4 di larutkan dengan DI water
yang telah dicampur dengan Glukosa dengan molaritas yang telah di tentukan. Larutan di sonifikasi
menggunakan ultrasonic cleaner tipe Power Sonic 405 (40 kHz - 350 W) selama 5 jam. Selama
proses ini, Karbon akan terlapis pada permukaan nanomaterial Fe3O4. Cairan yang telah sonifikasi
di saring setelah itu hasil saringan di keringkan dengan furnace selama 4 jam dengan suhu 80oC.
Sampel hasil sintesis BaFe12O19 dan pelapisan karbon Fe3O4 dikarakterisasi dengan uji X-Ray
Diffraction (XRD), SEM (FEI tipe INSPECT-S50) untuk melihat morfologi bahan, dan uji EDX
untuk mengetahui komposisi bahan. Ukuran Kristal dihitung menggunakan persamaan Scherrer
dan dikonfirmasi dengan hasil fotografi SEM. Komposisi bahan di uji dengan EDX. Ukuran
partikel dapat ditentukan dengan memakai persamaan Scherrer :
= (Pratapa, 2004)
Lave merupakan ukuran Kristal, k merupakan konstanta, B0 merupakan lebar puncak pada
setengah maksimum (Full Width Half Maksimum, FWHM) dan merupakan sudut difraksi. Nilai
FWHM ditentukan dengan menggunakan software Microcal Origin.
215
Gambar 2. Pola difraksi partikel nano Fe3O4 yang dilapisi karbon pada berbagai
molaritas glukosa
Pola difraksi partikel nano Fe3O4 yang dilapisi karbon (Fe3O4@C) yang disintesis pada
berbagai molaritas glukosa ditunjukkan pada gambar 2. Semua sampel menghasilkan pola difraksi
yang sama dengan pola difraksi Fe3O4 (ICSD no. 96012) dan tidak ditemukan adanya puncak
difraksi yang baru pada sampel yang bungkus dengan karbon. Hal ini menunjukkan bahwa karbon
yang membungkus Fe3O4 mempunyai phasa amorp. Selain itu, pola difaraksi XRD yang dihasilkan
mempunyai puncak difraksi yang lebar dan intensitas puncak menurun dengan meningkatnya
216
molaritas glukosa. Pelebaran puncak difraksi menunjukkan bahwa ukuran partikel Fe3O4
mempunyai ukuran nano, karena semakin lebar puncak difraksi maka ukuran partikel semakin kecil
sebagaimana dirumuskan oleh Scherer. Sedangkan penurunan intensitas puncak dengan
meningkatnya molaritas glukosa menunjukkan bahwa lapisan karbon yang membungkus Fe3O4
semakin tebal. Hal ini disebabkan karena lapisan karbon akan menghambat jumlah sinar yang
terdifraksi dari Fe3O4, Pola penurunan intensitas puncak difraksi dengan peningkatkan molaritas
glukosa ditampilkan dalam tabel 1. Dari hasil ini tampak bahwa penurunan intensitas pucak relatif
tajam pada penambahan glukosa di atas 1 M.
Tabel 1. Persentase penurunan intensitas
Persentase
Selisih
100%
Fe3O4
98%
2%
Fe3O4@C 0,5M
90%
10%
Fe3O4@C 1M
82%
18%
Fe3O4@C 2M
61%
39%
Fe3O4@C 3M
Parameter
A=b=c ()
== (o)
V (3)
Fe3O4
8.3447
90
581.075
Fe3O4@C 3M
8.3451
90
581.159
Parameter
FWHM
Cos
Ukuran
partikel (nm)
Fe3O4@C 3M
0.0141
0.8530
11
Untuk melihat morpologi hasil pembungkusan karbon pada Fe3O4 pada berbagai molaritas
glukosa digunakan Scaning Electron Microscopy (SEM) seperti tampak pada Gambar 3. Pada
gambar ini tampak bahwa penambahan molaritas glukosa maka sampel semakin teraglomirasi yang
dibuktikan dengan penggumpalan pada photo SEM. Dari hasil EDAX tampak bahwa peningkatan
karbon pada sampel mempunyai hubungan yang linier terhadap banyaknya pemberian molaritas
glukosa selama proses sonokimia. Akan tetapi, hasil SEM tidak tampak dengan jelas ukuran
partikel dan membuktikan adanya pembungkusan oleh karbon. Oleh karena itu dilakukan
karakterisai TEM seperti tampak pada gambar 4, karena TEM mempunyai resolusi yang lebih baik
217
dibandingkan SEM. Dari hasil TEM tampak jelas bahwa ukuran partikel sampel di bawah 20 nm.
Selain itu tampak ada bagian hitam pada bagian tengah bulatan sedagkan bagain pinggirnya
transparan. Bagian yang hitam merupakan partikel nano Fe3O4, sedangkan bagian yang transparan
merupakan karbon yang membungkus partikel nano Fe3O4.
A
Gambar 3. Hasil Foto SEM Fe3O4@C. Fe3O4 (A), Fe3O4@C 0.5M (B), Fe3O4@C 1M (C), Fe3O4@C 2M
(D), Fe3O4@C 3M (E), dan Grafik pertambahan Jumlah karbon (F).
218
dilakukan pengujian perlakuan asam pada sampel Fe3O4 yang tidak dilapisi karbon dan Fe3O4 \yang
sudah dilapisi karbon (Fe3O4@C). Sampel dilarutkan kedalam HCl 1M dan di sonifikasi selama 70
menit.
A
Gambar 5. Hasil foto nanomaterial Fe3O4 (kiri) dan nanomaterial Fe3O4@C (kanan). (A) sebelum
perlakuan asam dan (B) setelah perlakuan asam.
Dari gambar 5 (a) dapat dilihat bahwa penambahan asam pada sampel Fe 3O4 tanpa dilapisi
karbon dengan dengan Fe3O4@C menunjukkan perbedaan warna, dimana warna Fe3O4 terlihat
lebih terang daripada Fe3O4@C yang terlihat berwarna coklat pekat, warna coklat pekat ini terjadi
karena pada Fe3O4 terdapat karbon yang memang warnanya lebih gelap daripada warna Fe3O4 itu
sendiri. Pada gambar 5 (b) terlihat bahwa berubah menjani kuning setelah sampel di sonifikasi
selama 70 menit, sedangkan sampel Fe3O4@C masih menunjukkan warna coklat walaupun tidak
sepekat sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa sampel Fe3O4 yang mengalami perlakuan asam
telah telah berubah fase menjadi FeCl3, Sedangkan sampel Fe3O4@C sebagian besar masih dalam
bentuk Fe3O4. Hal ini membuktikan bahwa pembungkusan karbon lebih stabil terhadap lingkungan
asam.
KESIMPULAN
Pada penelitian telah berhasil dilakukan sintesis bahan magnet BaFe12O19 dari bahan dasar
pasir besi lokal dengan metoda reaksi padatan dengan tingkat kemurnian sekitar 92 %. Hasil uji
kemagnetan dengan magnet permanen menunjukkan bahan ini mempunyai sifat kemagnetan yang
baik.
Disamping itu, pada bahan dasar pasir besi lokal juga telah dilakukan sintesis partikel nano
Fe3O4 yang dibungkus karbon (Fe3O4@C) menggunakan metoda sonifikasi dengan glukosa sebagai
sumber karbonnya. Hasil uji XRD dan TEM menunjukkan ukuran partikel nano Fe 3O4@C
berkisar antara 10 nm sampai 12 nm. Dari hasil SEM tampak bahwa semakin banyak glukosa yang
digunakan maka partikel nano Fe3O4@C akan semakin teraglomerasi. Pada proses uji perlakuan
asam telah dibuktikan bahwa Fe3O4@C lebih tahan tehadap lingkungan asam dibandingkan Fe3O4
tanpa dibungkus karbon, sehingga disimpulkan bahwa pembungkusan karbon meningkatkan
kestabilan partikel nano Fe3O4 .
UCAPAN TERIMA KASIH
Penelitian ini sebagian didukung pendanaannya oleh Hibah BOPTN FMIPA Universitas
Negeri Malang tahun 2012.
DAFTAR PUSTAKA
Bijaksana, S. 2002. Kajian Sifat Magnetik pada Endapan Pasir Besi di WilayahCilacap dan Upaya
Pemanfaatannya untuk Bahan Industri. Laporan penelitian Hibah Bersaing. ITB
219
220
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang 65145
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk membuat video (CD) pembelajaran fisika
dengan metode konflik kognitip untuk bentuk ceramah, demonstrasi, dan eksperimen.
Objek penelitiannya mahasiswa angkatan 2011/2012 kelas A dan N yang berjumlah
62 siswa. Instrumen penelitian yang digunakan berupa lembar Format Angket Validasi
Video Pembelajaran, catatan lapangan, Instrumen Uji Coba Terbatas ke Mahasiswa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan analisis pada validasi isi video, skor
rata-rata totalnya berkriteria layak. Sedangkan berdasarkan analisis data uji coba
terbatas pada mahasiswa skor rata-rata totalnya berkriteria layak. Dari hasil tersebut
dapat diketahui bahwa video yang telah dikembangkan memiliki kriteria layak.
Kata Kunci: Video pembelajaran, konflik kognitif.
PENDAHULUAN
Matakuliah Fisika Dasar dipandang sebagai tempat yang paling strategis untuk meluruskan
kesalahan konsepsi terhadap konsep-konsep dasar Fisika. Pemikiran di atas setidaknya didukung
oleh tiga alasan pokok. Pertama sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya hampir bisa dipastikan
bahwa mahasiswa yang mengikuti matakuliah Fisika Dasar ini masih membawa sisa-sisa kesalahan
konsepsi dalam memahami konsep-konsep Fisika Dasar di SMA. Kedua, matakuliah ini antara lain
bertujuan untuk menanamkan konsep-konsep dasar yang nantinya harus diajarkan di sekolah
menengah. Oleh karena itu kesalahan pemahaman yang terjadi harus diluruskan kembali.
Kadim dkk (2005), pernah mengadakan penelitian dengan judul Penerapan Metode Kotra
Kognitip pada Mata kuliah Telaah Kurikulum Fisika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode
tersebut mampu meluruskan kesalahan konsep mahasiswa sampai 75 %. Dengan demikian metode
tersebut memang handal untuk digunakan mendongkrak kesalahan-kesalahan konsep mahasiswa.
Didasari oleh beberapa pertimbangan di atas, maka penelitian ini akan berupaya
memvisualisasikan model pembelajaran Fisika tersebut. Diharapkan dengan melihat visualisasi
metode tersebut, dosen, dosen atau calon dosen mampu menerapkan pada proses belajar
mengajarnya. Visualisasi yang dimaksud adalah membuat CD pembelajaran dengan metode kontra
kognitif. Dengan mengambil lokasi di Jurusan Fisika FMIPA UM, dan aktornya juga dosen dan
mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA UM secara live, maka diharapkan rekaman video dalam bentuk
CD ini semakin berdaya guna tinggi.
Kesalahan Konsepsi dalam Pembelajaran Fisika merupakan suatu hal yang sangat mendasar
untuk diupayakan perbaikannya dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran (Irianto, 2001).
Dari banyak pengalaman di kelas, terlihat bahwa kesalahan konsepsi tersebut bersifat relatip
permanen dalam pikiran mahasiswa. Bahkan sajian ceramah yang bagus sekalipun tidak bisa
meluruskan kesalahan konsepsi semacam ini. (Koes, 2008).
Dosen harus dengan penuh kehatihatian dan dengan persiapan yang baik berupaya
mengidentifikasi konsep salah apa yang telah menyatu dalam pikiran mahasiswa, baru kemudian
SESI PARALEL FISIKA
221
membuat perencanaan yang jitu untuk meluruskan kesalahan konsepsi tersebut (Ditjen Dikdasmen
& Balitbang Diknas, 2009).
Mertajaya (1993:36) menyarankan agar dosen dapat memilih bentuk-bentuk penugasan dan
strategi pembelajaran yang tepat bagi mahasiswanya. Permasalahan yang muncul berikutnya adalah
apakah yang dapat dipergunakan dosen sebagai acuan untuk memilih dan menetapkan strategi
pembelajaran yang baik agar dapat memperbaiki pemahaman konsep bagi mahasiswanya.
Pemikiran dasarnya adalah: bahwa konsepsi mahasiswa terhadap konsep Fisika belum tentu
sesuai dengan gejala alam yang dapat diamati. Perbedaan inilah yang kemudian dimanfaatkan
untuk membangun situasi konflik dalam struktur kognitip mahasiswa dengan berbasis kopetensi
(Supeno, 2002). Mahasiswa disadarkan atas kesalahan yang terjadi pada dirinya dan kemudian
dibawa ke arah pemikiran/konsepsi yang benar.
Menurut Wartono (2008:71-74), pelajaran akan lebih ditangkap jika menggunakan media.
Media tersebut bisa berupa bagan, diagram, poster, model, benda aslinya, diaroma, radio, record
player, OHP, slide, televisi, film suara, video tape, dan lain-lain.
METODE
Subyek penelitian ini adalah mahasiswa peserta matakuliah Fisika Dasar II. Penelitian ini
melibatkan sejawat dosen pembina matakuliah Fisika Dasar. Secara keseluruhan shooting ini akan
dilangsungkan dalam dua siklus besar masing-masing dalam waktu dua pertemuan. Setiap shooting
terdiri dari beberapa langkah seperti lazimnya pelaksanaan penelitian tindakan yaitu: shooting saat
analisis permasalahan, shooting saat perencanaan tindakan yang diduga dapat menyelesaikan
permasalahan, shooting saat pelaksanaan tindakan, dan shooting saat pelaksanaan evaluasi yang
dilakukan dengan cara observasi, shooting saat perekaman dan tes, shooting saat analisis hasil
evaluasi yang digunakan sebagai bahan pemikiran refleksi untuk masuk ke dalam shooting
perencanaan perbaikan atau revisi pada paket shooting berikutnya. Setiap paket shooting
direncanakan terisi oleh shooting-shooting kecil yang ditetapkan berdasarkan pokok bahasan materi
yang sedang dikaji.
Pembuatan video eksperimen kelas ini menggunakan sarana dan prasarana laboratorium
fisika dasar. Dengan demikian yang menjadi subjek penelitian adalah peneliti dan tim shooting
yang akan terlibat langsung dalam pembuatan video, sedangkan obyek penelitian adalah mahasiswa
Jurusan Fisika FMIPA UM angkatan 2011/2012 offering A. Bertindak sebagai tim editing pada
penelitian ini adalah satgas shooting Jurusan Fisika FMIPA UM Malang. Data pendukung shooting
dijaring dengan menggunakan alat eksperimen dan wawancara langsung dengan informan.
Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian ini ada 3 jenis yaitu: (1) perangkat alat
laboratorium Fisika Dasar, (2) Angket kepada Dosen pengampu Fisika Dasar II, 3) perangkat
shooting.
Sebagaimana lazimnya shooting penelitian tindakan, setiap siklus shooting terdiri dari
langkah-langkah: shooting analisis permasalahan sebagai refleksi awal, shooting perencanaan
tindakan, shooting pelaksanaan tindakan, shooting evaluasi dan refleksi untuk masuk ke siklus
shooting berikutnya. Proses editing dilakukan di Jurusan Fisika FMIPA UM. Pada proses ini juga
ditambahkan dubing suara untuk penjelasan gambar.
HASIL
Tabel 1 Data Hasil Validasi Video oleh Dosen Fisika Dasar untuk Strategi Ceramah
Aspek yang Dinilai
Validator
Kelayakan isi
3,5 Layak
Penyajian Isi
3,5 Layak
Keterangan: Validator utuk materi fisika dasar adalah Bapak Drs. Soemardji A.K., M.Si. Saran dan kritik
yang telah diberikan oleh validator disajikan pada Tabel 2. Saran dan kritik dari validator dipertimbangkan
sebagai bahan revisi agar video lebih bagus dan menarik.
222
223
Kriteria
Cukup
layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
PEMBAHASAN
Pengembangan video berdasarkan atas penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Adikusumo (2004) membuat video tentang pembelajaran dengan menggunakan model CTL. Atas
SESI PARALEL FISIKA
224
225
Koes, Supriyono. 2008. Strategi Pembelajaran Fisika. JICA-IMSTEP FMIPA UM, Malang.
Mertajaya, I.G.L. (1993). A Comparison of Student achievement in Physics when taught by
experimental and group discussion approach. Unpublished Masters thesis, Curtin Univesity
of technology, perth, Western Australia.
Supeno, (2002). Physics Curriculum Development Based on Competence: New Challenge for
Physics Teachers. Proceeding, JICA-IMSTEP FMIPA UM, Malang
Wartono. 2008. Strategi Belajar Mengajar Fisika. JICA-IMSTEP FMIPA UM, Malang.
226
Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang 65145
Abstrak: Telah dilakukan penelitian pengembangan model perkuliahan hybrid on-line untuk
menunjang matakuliah penelitian pendidikan fisika. Penelitian ini bertujuan untuk: (1)
Mengembangkan model perkuliahan hybrid on-line yang dapat mendukung pelaksanaan
perkuliahan tatap muka matakuliah penelitian pendidikan fisika. (2) Mengetahui kelayakan
model perkuliahan hybrid on-line menurut kajian reviewer ahli, kajian pengguna, dan
keterbacaan mahasiswa. (3) Mendeskripsikan produk akhir model perkuliahan hybrid on-line.
Model penelitian yang digunakan adalah model Four-D, Define, Design, Develop, dan
Disseminate (Thiagarajan, dkk., 1974). Penelitian dilakukan dengan melibatkan mahasiswa
peserta matakuliah penelitian pendidikan fisika. Validasi model perkuliahan hybrid on-line
dilakukan oleh beberapa dosen dari Jurusan Fisika FMIPA UM. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa model hybrid on-line dibutuhkan oleh mahasiswa dalam rangka meningkatkan
penguasaan materi perkuliahan. Model perkuliahan juga dibutuhkan dosen dalam mengelola
perkuliahan yang lebih baik. Dalam penelitian ini telah dikembangkan modus-modus bahan
perkuliahan yang dapat diakses melalui internet, forum diskusi, dan penugasan melalui
internet. Hasil validasi dan ujicoba menunjukkan bahwa model yang dikembangkan dalam
kategori layak digunakan dalam perkuliahan.
Kata Kunci: Model Perkuliahan, hybrid on-line
PENDAHULUAN
Penilaian pembelajaran merupakan salah satu kompetensi pedagogik yang perlu dimiliki
oleh guru fisika. Penilaian pembelajaran yang efektif diperlukan mengingat penilaian merupakan
bagian intergral proses pembelajaran (Cowie&Bell, 2002: 82). Penilaian menghasilkan informasi
tentang kelemahan dan kekuatan siswa sehingga guru dapat mengambil keputusan pembelajaran
dengan tepat (Harlen, 2003: 20). Dengan penilaian yang efektif, guru dapat mengantarkan siswa
untuk memahami konsep fisika dengan baik. Peranan penilaian dalam pembelajaran fisika juga
penting mengingat pembelajaran fisika melibatkan konsep-konsep yang abstrak dan rumit serta
memungkinkan siswa mengalami miskonsepsi (misconception) (Demirci, 2008: 55-58). Oleh
karena itu, calon guru fisika perlu menguasai dengan baik penilaian pembelajaran dan
implementasinya dalam pembelajaran fisika.
Matakuliah Penilaian Pendidikan Fisika (PPF) merupakan matakuliah di Program
Pendidikan Fisika yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan ketrampilan calon guru
fisika untuk merancang dan melaksanakan penilaian pembelajaran fisika. Matakuliah yang
berbobot 3 sks dengan lama pertemuan 4 js dalam satu minggu ini wajib ditempuh oleh mahasiswa
fisika sebelum mengikuti matakuliah pembelajaran lain seperti matakuliah Program Pengembangan
Pembelajaran Fisika (PPPF) dan Matakuliah Pengembangan Bahan Ajar Fisika (PBAF).
Matakuliah PPF juga menjadi prasyarat bagi mahasiswa untuk melaksanakan Praktik Pengalaman
Lapangan (PPL). Dalam matakuliah PPF ini mahasiswa berlatih ketrampilan penyelenggaraan
penilaian diantaranya mengembangkan instrumen penilaian tes dan non tes, menganalisis data
penilaian, dan melaporkan hasil-hasil penilaian.
SESI PARALEL FISIKA
227
Berdasarkan pengalaman peneliti mengampu matakuliah ini dalam beberapa tahun terakhir,
diidentifikasi beberapa permasalahan yang sering dihadapi dalam menyelenggarakan perkuliahan
PPF. (1) Dosen tidak dapat melaksanakan perkuliahan PPF sebagai role model implementasi
penilaian yang efektif. Sebagai contoh, dalam materi kuliah terdapat penilaian formatif formal
dimana intinya guru perlu memberikan tes, segera melakukan koreksi, melakukan analisis hasil,
serta memberikan balikan (feedback) dan remedial secepatnya. Hal ini tidak dapat diterapkan
dikarenakan dosen menghadapi jumlah mahasiswa yang besar. Sementara, dosen juga memiliki
waktu yang terbatas untuk menganalisis data tes. (2) Dosen tidak memiliki rekaman data penilaian
secara tertulis dan data tentang kegiatan penilaian formatif terutama formatif informal. Hal ini
terjadi mengingat sulitnya mengelola data penilaian dalam jumlah yang banyak dan diperlukan
waktu tersendiri untuk perekaman dan analisisnya. (3) Terbatasnya waktu interaksi dan tanya
jawab antara dosen dengan mahasiswa, dan antara mahasiswa dengan mahasiswa. (4) Belum
tersedianya wahana bagi mahasiswa untuk berbagi sumber belajar khususnya dalam bentuk teks
dan media berbantuan komputer. (5) Belum tersedianya media pembelajaran berbantuan komputer
yang dapat memperkaya khasanah pengetahuan mahasiswa tentang penilaian dan praktik
pembelajaran abad 21 .
Salah satu bentuk inovasi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas
penyelenggaraan matakuliah PPF adalah dengan mengembangkan model perkuliahan Hybrid Online. Model perkuliahan Hybrid On-line merupakan sebutan bagi model perkuliahan yang
mengintegrasikan pembelajaran tatap muka dengan kelebihan pembelajaran E-Learning yang
menggunakan media internet (Vaughan & Garrison, 2008: 5). Model perkuliahan semacam ini
sering pula disebut dengan Model Blended Learning. Dalam model Hybrid On-line kelebihan ELearning dimanfaatkan untuk menutupi kekurangan yang terjadi pada pembelajaran tradisional
tatap muka. Perkuliahan Hybrid On-line dapat dimanfaatkan untuk memberikan tugas,
melaksanakan tes, asesmen informal, mengelola jurnal kuliah, dan menambahkan media-media
pendukung perkuliahan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model hybrid on-line untuk mendukung
Matakuliah Penelitian Pendidikan Fisika. Dengan kata lain tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut. (1) Mengembangkan model perkuliahan hybrid on-line yang dapat mendukung
pelaksanaan perkuliahan tatap muka matakuliah penelitian pendidikan fisika. (2) Mengetahui
kelayakan model perkuliahan hybrid on-line menurut kajian reviewer ahli, kajian pengguna, dan
keterbacaan mahasiswa. (3) Mendeskripsikan produk akhir model perkuliahan hybrid on-line.
METODE
Penelitian ini menggunakan Four-D Model; Define, Design, Develop, dan Disseminate
(Thiagarajan, dkk., 1974). Penelitian dilakukan dengan melibatkan mahasiswa peserta matakuliah
penelitian pendidikan fisika. Validasi model perkuliahan hybrid on-line dilakukan oleh beberapa
dosen Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Malang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada tahapan define, dilakukan penelitian awal yang meliputi kajian kurikulum matakuliah
penilaian pendidikan fisika dan pengumpulan data pelaksanaan perkuliahan. Telaah terhadap
matakuliah penilaian pendidikan fisika merupakan matakulian wajib bagi mahasiswa program studi
pendidikan fisika FMIPA UM. Matakuliah bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan dan
ketrampilan calon guru fisika untuk merancang dan melaksanakan penilaian pembelajaran fisika.
Matakuliah yang berbobot 3 sks dengan lama pertemuan 4 js dalam satu minggu ini wajib
ditempuh oleh mahasiswa fisika sebelum mengikuti matakuliah pembelajaran lain seperti
matakuliah Program Pengembangan Pembelajaran Fisika (PPPF) dan Matakuliah Pengembangan
Bahan Ajar Fisika (PBAF). Matakuliah PPF juga menjadi prasyarat bagi mahasiswa untuk
melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL). Dalam matakuliah PPF ini mahasiswa berlatih
ketrampilan penyelenggaraan penilaian diantaranya mengembangkan instrumen penilaian tes dan
228
229
referensi bahan perkuliahan; dan 8) secara tidak langsung akan mampu menjadikan mahasiswa
menjadi orang yang selalu berpikiran positif dan inovatif.
Berkaitan dengan feedback dari dosen terhadap pemberian soal latihan, tugas, maupun soalsoal ujian, sebanyak 42% mahasiswa responden menyatakan Setuju (S) untuk mendapatkan
feedback dari dosen dan selebihnya sebanyak 58% menyatakan Sangat Setuju (SS). Selengkapnya
disajikan dalam gambar di bawah ini.
Gambar 2. Diagram yang berkaitan dengan feedback dosen terhadap pemberian soal latihan, tugas
maupun soal ujian.
Beberapa alasan responden yang menyatakan mereka Setuju (S) terhadap feedback dosen
adalah sebagai berikut. 1) sebagai bahan evaluasi bagi mahasiswa untuk mengetahui kelemahan
dan kelebihan dirinya sendiri; 2) dijadikan sebagai bahan penyempurnaan dalam mengerjakan soal
tugas atau soal-soal selanjutnya; 3) mahasiswa akan segera tahu hasil belajarnya; 4) sebagai
motivasi belajar; 5) untuk menghindari miskonsepsi; dan 6) mahasiswa mengetahui sejauhmana
kemampuannya dalam mengikuti pembelajaran. Beberapa temuan lain menunjukkan bahwa
mahasiswa perlu waktu untuk berinteraksi di luar perkuliahan, dan persetujuan mahasiswa atas
diterapkannya model hybrid dalam perkuliahan.
Kajian terhadap model-model perkuliahan hybrid on-line yang telah dilakukan oleh beberapa
peneliti sebelumnya diantaranya adalah sebagai berikut. (1) Kebanyakan model yang
dikembangkan adalah memanfaatkan materi pelajaran diinternet untuk memotivasi mahasiswa
mempersiapkan diri dalam perkuliahan. Dosen memberikan pertanyaan awal berkaitan dengan
materi yang akan di bahas. (2) Bahan perkuliahan berbantuan internet dimaksudkan untuk
memperkaya materi perkuliahan. (3) Sangat jarang penggunaan kuis dalam model perkuliahan
hybrid on-line
Berdasarkan berbagai temuan dalam tahap define, ditentukan desain model perkuliahan
hybrid on-line yang dapat membantu mahasiswa mempelajari dan memperkaya materi kuliah.
Bahan penunjang adalah berbagai bahan bacaan dan video yang dapat dimanfaatkan oleh
mahasiswa untuk memperkaya pengetahuannya tentang materi perkuliahan. Bahan-bahan ini dapat
dibaca diinternet dan sebagaian dapat diunduh oleh mahasiswa. Bahan meliputi slide powerpoint
perkuliahan, bahan bacaan, video pembelajaran, dan bahan-bahan lainnya. Slide perkuliahan
diharapkan dapat membantu mahasiswa jika ingin mempelajari ulang penjelasan dosen. Materi
tertulis sifatnya memperkaya bacaan mahasiswa terhadap materi yang sedang di bahas. Bahan lain
seperti video banyak di dapatkan melalui internet hal ini merupakan bahan kuliah namun dengan
format yang berbeda.
Forum adalah sarana di dalam moodle yang dapat dimanfaatkan untuk berdiskusi antara
mahasiswa dengan dosen atau antar mahasiswa. Dalam penelitian ini forum dimulai oleh dosen
dengan mengajukan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perkuliahan. Selanjutnya
230
mahasiswa dapat menyampaikan berbagai gagasannya melalui diskusi forum ini. Dosen akan
memberikan komentar pada diskusi yang dilakukan mahasiswa.
Modus penugasan merupakan salah satu modus dalam moodle yang akan dimanfaatkan oleh
dosen. Dengan modus penugasan, mahasiswa dapat mengetahui tugas-tugas perkuliahan dengan
baik. Dosen juga dapat membatasi kapan tugas harus dikumpulkan. Jika mahasiswa tidak
memperhatikan tugas ini maka secara otomatis mereka tidak dapat menngirimkan tugas
perkuliahan. Kuis akan diberikan dalam perkuliahan ini untuk mengetahui pemahaman mahasiswa
pada materi perkuliahan.
Tahap develop adalah tahapan mengembangkan model hybrid online. Tahapan ini dimulai
dengan mengembangkan situs yang dapat diakses oleh mahasiswa. Karena di UM telah tersedia
moodle yang dapat dimanfaatkan oleh dosen maka model perkuliahan ini mengikuti situs yang
telah tersedia tersebut. Dosen mendaftar sebagai course developer pada pengelola situs. Berikut
adalah situs yang telah tersedia di UM. Halaman depan yang dijumpai oleh mahasiswa adalah
sebagai berikut.
231
232
29). (2) Perhatian individual, sebagaimana dikeahui bahwa setiap siswa memiliki cara belajar yang
berbeda, kecepatan belajar yang berbeda dan minat belajar yang berbeda. Semua perbedaan yang
dimiliki oleh siswa ini akan dapat diakomodasi oleh pembelajaran berbantuan komputer yang
dirancang dengan baik. (3) Berkembang pesat, perkembangan komputer yang pesat menjanjikan
perkembangan pembelajaran baru yang belum pernah ditemukan.
Beberapa penelitian menunjukkan dampak penggunaan komputer dalam pembelajaran.
Beberapa penelitian menunjukan beberapa hal sebagai berikut. (1) Penggunaan komputer dalam
pembelajaran menunjukkan peningkatan belajar atau hasil yang sama dengan pembelajaran
tradisional (Hofe, 2001). (2) Penggunaan komputer menurunkan waktu belajar jika dibandingkan
dengan waktu belajar di kelas. (3) Penggunaan komputer meningkatkan sikap posiif siswa terhadap
penggunaan komputer dalam belajar. (4) Pengembangan pembelajaran berbantuan komputer
dengan mengikuti pedoman tertentu dapat diadopsi dan dimanfaatkan oleh guru di lain tempat.
Penggunaan komputer dan teknologi informasi dalam pembelajaran juga memberikan
keuntungan bagi guru. Menurut Musker (2004: 14) keuntungan bagi guru diantaranya adalah
sebagai berikut. (1) Dapat mengembangkan pembelajaran yang lebih menarik. (2) Dapat
mempercepat dan mempermudah tugas. (3) Dapat meningkatkan kualitas presentasi. (4) Dapat
mengembangkan pembelajaran yang lebih visual.
Model perkuliahan hybrid on-line merupakan salah satu implementasi blended learning
dimana dosen tetap menyelenggarakan perkuliahan tatap muka sebagaimana biasanya dan
menambahkan kegiatan berbantuan internet untuk melengkapi kegiatan tatap muka. Dalam
perkuliahan hybrid on-line dikembangkan sebuah situs untuk mengelola kegiatan perkuliahan
sebagaimana E-learning. Namun demikian, perkuliahan hybrid on-line hanya memanfaatkan elearning untuk mendukung kegiatan tatap muka. Penilaian, interaksi di luar perkuliahan, dan
berbagi bahan ajar adalah beberapa contoh kegiatan hybrid on-line.
Hasil penelitian Ernst, J.V. (2008) mendukung pelaksanaan model hybrid on-line dalam
perkuliahan. Mahasiswa yang terlibat dalam penelitian menunjukkan manfaat dari implementasi
hybrid on-line dibandingkan dengan perkuliahan tatap muka meskipun mereka belum
berpengalaman dalam model ini sebelumnya. Namun demikian, penelitian lain yang dilakukan oleh
Senn, G.J. (2008) mendapatkan bahwa penggunaan hybrid on-line tidak dianjurkan untuk
matakuliah yang sarat dengan kegiatan keterampilan (hand on). Matakuliah PPF bukanlah
matakuliah yang sarat dengan keterampilan fisik sehingga sesuai dengan model hybrid on-line
PENUTUP
Model hybrid on-line yang dikembangkan memiliki manfaat yang besar dalam perkuliahan
penilaian pendidikan fisika. Produk yang dikembangkan juga dinyatakan layak untuk digunakan
dalam perkuliahan. Keunggulan produk adalah membantu penyelenggaraan perkuliahan menjadi
lebih efektif. Saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut. (1) Mengingat cukup
efektifnya model perkuliahan hybrid on-line ini, jurusan pendidikan fisika diharapkan dapat
mendesimenasikan dan menerapkannya pada matakuliah yang lain. (2) Mengembangkan situs
secara mandiri akan mempermudah pengelolaan model hybrid on-line. (3) Bagi pengembang model
hybrid on-line sebaiknya menggunakan versi moodle yang terbaru. (4) Jika akan diterapkan
sebaiknya pada mahasiswa diberikan pelatihan berkaitan dengan penggunaan Moodle.
DAFTAR PUSTAKA
Barton, R. (2004). Why use computer in practical science? Dalam Barton, R. (eds.), Teaching
secondary science with ICT (pp. 29). New York: Open University Press.
Bell, B., &, Cowie B. (2002). Formative assessment and science education. New York: Kluwer
Academic.
Boohan, R. (2002). ICT and cCommunication. Dalam Amos, S., & Boohan, R. (eds.), Aspects of
teaching secondary science (pp. 211). New York: The Open University.
SESI PARALEL FISIKA
233
Clyde, W., & Delohery, A. (2005). Using Technology in Teaching. London: Yale University Press.
Demirci, N. (2008). Misconception pattern from teacher to student: An example for force and
motion concepts[versi elektronik]. Journal of Science Education, 9, 1.
Ernst, J. V. (2008). A Comparison of Tradisional and Hybrid Online Instructional presentation in
Communication Technology. Journal of Technology Education, 19(2).
Harlen, W. (2003). Enhancing inquiry through formative assessment. San Francisco:
Exploratorium.
Hofe, R. V. (2001). Investigation into student learning of application in computer-based learning
environtment [versi electronik]. Teaching Mathematics and Its Applications, 20(3), 109119.
Musker, R. (2004). Using ICT in a secondary science department. Dalam Barton, R. (eds.),
Teaching secondary science with ICT (pp. 19). New York: Ope University Press.
Senn, G. J. (2008), Comparison of Face-to-Face and Hybrid Delivery of a Course that Requires
Technology Skills Development, Journal of information Technology, Vol 7.
Thiagarajan, S., Dorothy S. Semmel, dan Melvyn I. Semmel. 1974. Instructional Development
forTraining Teachers of Exceptional Children. Source Book. Bloomington: Center for
Innovation on Theaching the Handicapped.
Vaughan, N. D, & Garrison, D, R, (2008), Blended Learning in Higher Education, San Francisco,
John Willey and sons.
234
PENDAHULUAN
Kejujuran mahasiswa dalam mengerjakan tugas atau ujian mengawatirkan. Salah bukti
adalah hasil penilaian diri (self assessment) mahasiswa terhadap kejujuran pada matakuliah yang
peneliti ampu. Hampir semua mahasiswa menilai dirinya dengan menyatakan bahwa pada awalnya
mereka berusaha untuk jujur namun akhirnya mereka berbuat curang. Salah satu ungkapan
kejujuran mahasiswa adalah sebagai berikut,
... Mmm ... dalam matakuliah ini, bapak dosen menekankan tentang kejujuran. Saya suka sebenarnya,
di awal-awal saya mengikuti dan berusaha untuk melaksanakannya, tapi kadang saya juga merasa gimana
gitu. Kadang merasa gak adil juga, kalau misalnya saya jujur terus, ada yang gak jujur dan ternyata yang gak
jujur itu mendapat lebih. ... Kalau misal saya jujur sejujur-jujurnya, bagaimana kalau tidak lulus? Bagaimana
kalau harus mengulang? Siapa yang menanggung? Saya sendiri. Nanti saya jujur malah ajur,...
235
Peneliti juga menemukan kasus ketidakjujuran pada saat ujian matakuliah Fisika Matematika
I. Pada saat peneliti harus meninggalkan ruang ujian, peneliti mendengar percakapan antara mereka
dan ketika peneliti memasuki ruang ujian kembali maka terjadi perubahan yang mendadak seperti
perubahan gerak mahasiswa dan suasana menjadi tenang kembali. Keadaan ini menunjukkan telah
terjadi ketidakjujuran. Peneliti juga menemukan kasus ketidakjujuran pada pengerjaan tugas atau
ujian matakuliah Fisika Matematika I. Beberapa tugas yang dikumpulkan memiliki jawaban yang
sama persis mulai dari awal bahkan kesalahan kecil yang terjadi juga sama.
Keterlambatan mahasiswa memasuki ruang kelas atau mengumpulkan tugas, tidak membawa
handout merupakan indicator rendahnya tanggungjawab mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan.
Peneliti menandai bahwa tanggungjawab mahasiswa masih rendah. Pada awal awal perkuliahan
lebih dari 5 orang terlambat kuliah, beberapa tidak mengumpulkan tugas dan tidak membawa
handout.
Aktivitas berbahasa Inggris yang berupa mengajukan pertanyaan, menjelaskan mengajukan
pendapat atau menjawab pertanyaan dan melakukan presentasi dengan menggunakan bahasa
Inggris mahasiswa program RSBI Prodi Pendidikan Fisika masih kurang. Catatan perkuliahan
peneliti menunjukkan bahwa jumlah rata-rata mahasiswa yang mengajukan pertanyaan, menjawab
pertanyaan atau mengajukan pendapat, dan melakukan presentasi berturut-turut hanya 2, 1, dan 1
orang dari 30 orang mahasiswa pada tahun akademik 2011/2012. Pada tahun sebelumnya
jumlahnya kurang dari satu.
Di samping kejujuran, tanggungjawab dan aktivitas berbahasa Inggris yang kurang pada
perkuliahan Fisika Matematika I, hasil belajar kognitif juga belum menunjukkan hasil yang
menggembirakan. Dalam lima tahun terakhir, rata rata nilai Fisika Matematika I adalah antara 55
60 atau masuk kategori C sampai C+.
Masalah-masalah yang disebutkan di atas muncul disebabkan oleh berbagai faktor. Salah
satu faktor adalah penedekatan pembelajaran yang peneliti gunakan. Peneliti menemukan bahwa
pendekatan pembelajaran yang peneliti gunakan selama ini masih terkesan belum secara
menyeluruh. Peneliti telah menggunakan multimetode perkuliahan aktif [1] dan memadukan
sistem, perangkat dan metode dalam perkuliahan [2] namun belum memberikan hasil yang optimal.
Peneliti menganalisis dan menemukan bahwa ada hal mendasar yang belum tersentuh yakni
bagaimana mampu melaksanakan perkuliahan yang memenuhi kebutuhan mahasiswa dan
menghilangkan hal-hal yang kontra-produktif sebagaimana yang terungkap dari penilaian diri
mahasiswa tentang kejujuran di atas, jika saya jujur malah ajur. Ini perlu langkah nyata, bagaimana
tindakan yang peneliti lakukan untuk menumbuhkan kejujuran memenuhi kebutuhan mahasiswa
dan tidak menimbulkan kontraproduktif karena mereka harus lulus matakuliah. Bagaimana
menyeimbangkannya, kerja keras dan jujur dapat dilaksanakan secara bersama tanpa menimbulkan
hal-hal yang kontra-produktif.
Di samping itu, peneliti juga menemukan bahwa peneliti belum menggunakan pendekatan
individu terutama kepada mahasiswa yang capaian hasil belajarnya masih rendah. Peneliti hanya
memanfaatkan kegiatan asistensi matakuliah Fisika Matematika I. Perlu usaha dari peneliti sebagai
dosen untuk membantu mahasiswa yang capaian hasil belajarnya masih rendah secara lebih intensif
dan individu untuk memenuhi kebutuhan mereka dan menghentikan perilaku yang menjadi
masalah mereka.
Peneliti menemukan bahwa sebagian besar kita pasti memiliki satu orang guru atau lebih
dalam proses pendidikan yang kita jalani sejak taman kanak-kanak sebagai seorang guru idola.
Peneliti renungkan bahwa guru idola tersebut merupakan guru yang mampu memenuhi kebutuhan
peserta didik, merubah hal-hal yang kontra-produktif, membantu peserta didiknya mengatasi
masalah mereka, menggunakan multimetode pembelajaran aktif dan sejenisnya. Peneliti
menemukan bahwa pendekatan pembelajaran ini merupakan model pembelajaran positif secara
total (totally positive teaching model) [1].
Berdasarkan analisis peneliti, masalah-masalah tersebut di depan, dapat diatasi dengan
menggunakan model pembelajaran positif secara total karena pendekatan ini menggunakan 5
236
langkah yakni (1) meeting mutual needs (2) changing counterproductive feelings, (3). ending
behavior problems, (4). helping underachievers, (5). using active-learning strategies. Masingmasing langkah telah dibuktikan oleh beberapa penelitian [2] dan [3].
Langkah pertama dirancang agar mampu memenuhi kebutuhan mahasiswa dan dosen
sehingga menciptakan kemitraan antara keduanya dan selanjutnya mampu membentuk tim kerja
yang handal. Beberapa langkah untuk mewujudkan langkah ini adalah menciptakan kelas yang
menyenangkan yakni menciptakan kondisi agar dosen dan mahasiswa merasa nyaman,
menggunakan talenta, semangat, dan membangun ketertarikan, membantu peserta didik terutama
yang bermasalah dan menciptakan kebersamaan. Langkah kedua diwujudkan dengan antara lain
dengan mengidentifikasi hal-hal yang positif dan kemudian menciptakannya melalui kegiatan yang
positif. Langkah ketiga berisi penegakan disiplin untuk menghentikan perilaku yang bermasalah,
dengan cara (1) menggunakan perlombaan dan permainan dalam kelas, (2) melibatkan mahasiswa
dalam kegiatan dengan memberikan bonus poin bagi mahasiswa yang terlibat dengan sempurna;
(3) menggunakan teknik pengendalian yakni membuang hal negatif dan menggantinya menjadi hal
yang positif; (4) memenuhi kebutuhan mahasiswa untuk membangun hubungan yang baik yang
pada akhirnya terbentuk penerimaan yang total. Langkah keempat dilakukan dengan (1)
menggunakan tes untuk menciptakan mind set yang positif; (2) melibatkan mahasiswa yang belum
tuntas dalam kegiatan tanya-jawab; (3) memberikan penghargaan yang bersifat deskriptif; dan (4)
membangun/menciptakan harapan tinggi (high expectation). Langkah kelima adalah menerapkan
perkuliahan aktif. Perkuliahan aktif memberikan kesempatan yang luas kepada mahasiswa untuk
aktif mencari, menemukan, membangun gagasan, mempertanyakan, dan menerapkan gagasan
untuk menyelesaikan masalah secara mandiri. Peran mahasiswa menjadi dominan dibandingkan
dengan peran dosen. Pembelajaran aktif ini akan memotivasi mahasiswa untuk menjadi the fully
active learners [3]. Perkuliahan aktif dapat diwujudkan dengan penerapan multimetode antara lain
brainstorming, work in pair, small group discussion, tanya-jawab, jigsaw, kuis, dan sebagainya [5].
Jujur (honesty) merupakan salah satu karakter mulia yang merupakan ukuran kualitas diri
seseorang yang dipergunakan masyarakat untuk mendefinisikan karakter orang tersebut [6].
Beberapa penanda karakter jujur antara lain adalah bertindak atau berkata apa adanya, tidak
direkayasa atau diubah, tidak menipu, tidak menjiplak atau mencuri, melakukan apa yang
dikatakan, keberanian untuk melakukan hal yang benar, membangun reputasi yang baik, patuh, dan
sebagainya. Pada kegiatan perkuliahan indikator kejujuran antara lain berupa kegiatan tidak
mencontek jawaban orang lain, tidak menciplak pekerjaan atau jawaban ujian, tidak menanyakan
jawaban ujian kepada orang lain, tidak melirik atau menengok ke kanan ke kiri untuk memperoleh
jawaban orang lain, tidak curang dalam mengerjakan ujian atau tugas, tidak membuka catatan atau
buku untuk mendapatkan jawaban ujian ketika ujian bersifat tutup buku, tidak menggunakan
teknologi untuk memperoleh jawaban ujian atau tugas, dan sejenisnya.
Beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan ketidakjujuran antara lain (1)
pengawasan yang ketat sehingga tidak memberi kesempatan mahasiswa untuk melakukan
ketidakjujuran, (2) menuliskan sumpah demi Tuhan bahwa mahasiswa mengerjakan sendiri ujian
atau tugas tidak mencontek teman, (3) memberikan sanksi bagi yang berbuat curang dengan sanksi
yang cukup berat, misalnya setelah ketahuan curang tiga kali maka yang bersangkutan dinyatakan
tidak lulus, dan (4) memberikan pemahaman secara intensif bahwa ketidakjujuran dapat merusak
integritas dan moral seseorang. Persatuan guru New York [1] mengajarkan bahwa jika menemukan
peserta didik yang mencontek dengan alasan untuk mendapatkan nilai yang bagus maka pendidik
dapat merespon dengan mengatakan apakah curang merupakan cara terbaik untuk mengorbankan
integritas demi nilai yang bagus?
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian
tindakan kelas (PTK). Menggunakan PTK karena penelitian ini merupakan usaha untuk
memperbaiki proses penyelenggaraan perkuliahan Fisika Matematika I dalam rangka
237
238
239
Hasil belajar diperoleh dari hasil penyelesaian soal-soal ujian harian yang diselenggarakan
pada setiap pertemuan. Terdapat 5 kali ujian harian pada siklus I. Soal-soal ujian harian disesuaikan
dengan indikator hasil belajar yang disajikan pada handout untuk setiap pertemuan. Nilai rata-rata
hasil belajar pada siklus I adalah 42.0. Untuk meningkatkan capaian hasil belajar, maka refleksi
siklus I memberikan rekomendasi antara lain (1) tahap penguatan harus benar-benar sederhana dan
mudah dipahami, (2) memberikan kesempatan bertanya-jawab yang lebih luas, dan (3) memberikan
penjelasan tentang maksud soal karena masalah bahasa. Ujian harian pada siklus II dilaksanakan
mengikuti masukan-masukan hasil refleksi siklus I. Ada 5 ujian pada siklus II karena ada 5
pertemuan. Nilai rata-rata ujian harian pada siklus II adalah 63. Jika dibandingkan dengan rata-rata
nilai pada siklus II maka terdapat peningkatan capaian hasil belajar sebesar 21.0.
KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian adalah bahwa penerapan model pembelajaran positif secara total
dapat (1) menumbuhkan karakter tanggungjawab dan kejujuran dengan pertumbuhan yang ditandai
dengan jumlah mahasiswa yang datang terlambat, tidak membawa handout, tidak mengumpulkan
tugas sesuai kesepakatan, tidak mengerjakan sendiri ujian atau tugas, tengok ke kiri atau ke kanan
dengan maksud mendapatkan jawaban teman pada saat ujian, dan tugas yang dikumpulkan sama
persis dengan tugas teman lain menurun dari dari rata-rata 19 23% pada siklus I menjadi 3 7%
pada siklus II; (2) meningkatkan aktivitas berbahasa Inggris yang terdiri dari mengajukan
pertanyaan, mengajukan ide/pendapat atau menjawab pertanyaan, dan melakukan presentasi di
depan kelas menggunakan bahasa Inggris meningkat dari rata-rata 15 19% per pertemuan pada
siklus I menjadi 23 27% per pertemuan pada siklus II; (3) hasil belajar kognitif mahasiswa
meningkat yang ditandai dengan nilai rata-rata ujian harian sebesar 42,0 pada siklus I menjadi 62,9
pada siklus II.
Daftar Pustaka
[1] Joseph Ciaccio.2004. Totally Positive Teaching Approach, ASCD, Alexandria,
[2] Sulur, Subani dan Muharjito, 2010, Penerapan Multimetode Perkuliahan Aktif Untuk
Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Inggris Dan Hasil Belajar Fisika Matematika II
Mahasisa Semester Genap 2009/2010 Jurusan Fisika FMIPA UM Malang, Seminar
Nasional, FMIPA UM Malang.
[3] Sulur dan Subani, 2011, Pengembangan Karakter dan Peningkatan Hasil Belajar Fisika
Matematika II Melalui Sistem, Perangkat, dan Metode Perkuliahan yang Terpadu, Seminar
Nasional Lesson Study 3, FMIPA UM Malang.
[4] Harmin, Merril and Toth Melanie. 2006. Inspiring Active Learning, A Complete Handbook
for Todays Teachers. ASCD (Assosiation of Supervision and Curriculum Development)
Alexandria.
[5] Silbermann, Mell. 1996. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject.
[6] Sara Dimerman, 2009, Character is the Key How to Unlock the Best in Our Children and
Ourselves, John Wiley and Son, Canada, Ltd.
240
PENDAHULUAN
Mutu pendidikan di suatu negara sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia di
negara tersebut. Dunia pendidikan di Indonesia sudah menunjukkan adanya pemikiran kearah
untuk memajukan sumberdaya manusia. Sebagai indikatornya pemerintah yang dalam hal ini
Kementerian Pendidikan Nasional telah dapat menghasilkan beberapa peraturan menteri yang salah
satunya adalah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tanggal 23 Mei 2006
tentang Standar Isi. Dalam bab pendahuluan lampiran Permendiknas tersebut telah dinyatakan
bahwa peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia
seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa dan olahraga agar memiliki daya saing dalam
menghadapi tantangan global. Peningkatan relevansi pendidikan dimaksudkan untuk menghasilkan
lulusan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan berbasis potensi sumber daya alam Indonesia
(Depdiknas, 2006:1). Sumber daya manusia dalam dunia pendidikan yang harus mendapatkan
perhatian adalah guru. Seorang guru harus dapat menjadi seorang pendidik dan pengajar, karena
guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Sebagai seorang pengajar tentu harus
mempunyai kemampuan dan kompetensi mengajar sesuai dengan bidang studinya. Dengan
demikian maka sebagai seorang guru IPA harus menguasai materi IPA yang didalamnya terdapat
materi fisika. Untuk itu Universitas Negeri Malang sebagai salah satu LPTK wajib membina para
calon guru khususnya calon guru IPA agar kelak dapat mengaplikasikan keilmuannya ke dunia
pendidikan yang nyata, yaitu sebagai pengajar dan pendidik yang profesional. Salah satu
matakuliah yang digunakan sebagai wahana pembinaan calon guru IPA adalah melalui matakuliah
Materi IPA SMP II dengan sandi BIO 436 yang lebih banyak mempelajari materi fisika.
Matakuliah ini termasuk matakuliah keilmuan dan keterampilan (MKK) yang wajib ditempuh oleh
mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi FMIPA UM.
Dalam mempelajari materi fisika tidak menutup kemungkinan terjadinya salah konsep pada
diri mahasiswa. Untuk itu perlu adanya perubahan dalam pola pikir mahasiswa, dalam arti
mengubah cara belajarnya, sehingga dalam perkuliahan tidak hanya mendengarkan atau menunggu
SESI PARALEL FISIKA
241
informasi dosen saja, tetapi juga terjadi proses belajar yang lebih memberikan kreativitas dan
pemikiran yang kritis kepada mahasiswa, agar tidak salah dalam memaknai. Disisi lain salah satu
penyebab adanya salah konsep ini adalah karena keterampilan generik sains mahasiswa masih
lemah. Sebagai mahasiswa calon guru IPA (sains) hendaknya memiliki keterampilan generik sains
dan penguasaan konsep yang memadai.
Secara umum, keterampilan generik merupakan keterampilan yang seharusnya dimiliki oleh
para mahasiswa, termasuk di dalamnya mahasiswa calon guru, karena keterampilan generik
merupakan:
1. Keterampilan yang diperlukan oleh para mahasiswa untuk menjadi pebelajar yang sukses dan
mandiri. Misalnya, melek informasi, keterampilan metakognitif (Candy, 1994)
2. Kemampuan intelektual dan imajinatif, pemahaman dan penilaian, pemecahan masalah dan
keterampilan berpikir kritis serta kemampuan menjalin hubungan (Squires, 1990; Ramsden,
1992)
3. Keterampilan pribadi dan interpersonal untuk komunikasi, kerja tim kooperatif dan
kolaboratif, serta kepemimpinan (Ashcroft & ForemanPeck, 1994; Gibbs, dkk., 1994)
4. Keterampilan yang diperlukan untuk keberhasilan praktik kerja termasuk manajemen waktu,
kepemimpinan manajemen tugas dan evaluasi diri (Gibbs, dkk.,1992; Blumhof, dkk., 1996)
Agar dalam mempelajari materi fisika tidak mengalami salah konsep, maka salah satu
syaratnya adalah harus dimilikinya keterampilan generik sains. Setiap keterampilan generik sains
mengandung cara berpikir dan berbuat, karena itu akan memudahkan dosen dalam meningkatkan
keterampilan generik mahasiswa. Seperti yang dikemukakan oleh Liliasari, dkk.(2011), bahwa
keteram-pilan generik sains adalah keterampilan berpikir dan bertindak berdasarkan pengetahuan
sains dan terkait erat dengan sains sebagai proses. Menurut Brotosiswoyo (2000) keterampilan
generik dalam pembelajaran IPA (sains) dapat dikategorikan menjadi 9 indikator yaitu (1)
pengamatan langsung; (2) pengamatan tak langsung; (3) kesadaran tentang skala besaran; (4)
bahasa simbolik; (5) kerangka logika-taat asas; (6) inferensi logika; (7) hukum sebab akibat; (8)
pemodelan matematika; (9) membangun konsep. Kemudian Sudarmin (2007) menambahkan
indikator keterampilan generik sains tersebut di atas dengan keterampilan abstraksi sehingga
terdapat 10 indikator keterampilan generik sains.
Dengan kata lain jika seorang mahasiswa telah memiliki keterampilan generik sains dengan
baik, maka dalam mempelajari materi IPA termasuk fisika tidak mengalami salah konsep. Salah
satu manfaat keterampilan generik sains dalam pembelajaran IPA adalah dapat menghilangkan
salah konsep. (Sunyono, 2009). Jika salah konsep sudah tidak menghinggapi mahasiswa, maka
mahasiswa dapat memiliki penguasaan konsep fisika yang lebih baik.
Dipihak lain, Liliasari, dkk. (2011), menyatakan sulitnya mengembangkan keterampilan
generik sains pada calon guru sains. Hal tersebut menunjukkan perlunya pendekatan baru dalam
menyiapkan calon guru sains melalui perkuliahan bidang studi. Pengembangan keterampilan
generik sains pada calon guru memerlukan proses pembelajarn aktif.
Keterampilan generik sains dapat terpelihara jika dalam proses belajarnya menggunakan
model PBM. Seperti yang dinyatakan oleh Amir (2010:21) bahwa dalam model PBM dirancang
masalah-masalah yang menuntut mahasiswa memperoleh pengetahuan yang penting, membuat
mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan
berpartisipasi dalam tim. Disamping itu proses pembelajaran dalam PBM menggunakan pendekatan yang sistematis untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nantinya
diperlukan dalam karier dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian pula yang dinyatakan oleh Williams & Duch (1996) dalam hasil penelitiannya
bahwa Education research suggests that students involved in PBL are more active, more
motivated to solve real world problems, and also learn more throughout the proces. Mahasiswa
yang terlibat dalam pembelajaran model PBM lebih aktif, lebih termotivasi, dan banyak
menyelesaikan problem dunia nyata. Arends (2008:47) menyatakan bahwa teori-teori konstruktivis
242
tentang belajar, yang menekankan pada kebutuhan mahasiswa untuk menginvestigasi lingkungannya dan mengonstruksikan pengetahuan yang secara personal berarti, memberikan dasar
teoritik pada PBM. Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam pembelajaran yang menggunakan
model PBM, terdiri atas lima fase utama sebagai berikut.
Fase
Fase 1
Fase 2
Fase 3
Fase 4
Fase 5
Memberikan orientasi
tentang permasalahan
kepada mahasiswa
Mengorganisasikan
mahasiswa untuk
meneliti
Membantu investigasi
mandiri dan kelompok
Mengembangkan dan
mempresentasi-kan
artifak
dan exhibit
Menganalisis dan
mengevaluasi proses
mengatasi masalah
Perilaku Dosen
Membahas tujuan pembelajaran, mendeskripsikan berbagai
kebutuhan logistik penting, dan memotivasi mahasiswa untuk
terlibat dalam kegiatan mengatasi masalah
Membantu mahasiswa untuk mendefinisikan
dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar
yang terkait dengan permasalahan
Mendorong mahasiswa untuk mendapatkan informasi yang tepat,
melaksanakan eksperimen, dan mencari penjelasan dan solusi
Membantu mahasiswa dalam merencanakan
dan menyiapkan artefak-artefak yang tepat,
berupa laporan, rekaman video, model-model
dan membantu menyampaikan kepada orang lain
Membantu mahasiswa melakukan refleksi
terhadap investigasi dan proses-proses
yang mereka gunakan
(Arends, 2008:57)
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi dengan desain faktorial sederhana 2
x 2. Dalam desain ini terdapat dua variabel bebas dan satu variabel terikat, seperti yang ditunjukkan
dalam Tabel 1..
Tabel 1. Desain Faktorial Sederhana 2 x 2
Model Pembelajaran
Keterampilan Generik Sains
(KGS)
PBM
Konvensional
KGS Tinggi
X1
X3
KGS Rendah
X2
X4
(diadaptasi dari Furchan, 1982:363)
Keterangan:
X1
X2
X3
X4
sekor penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang mempunyai KGS tinggi
yang belajar dengan model PBM
sekor penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang mempunyai KGS rendah
yang belajar dengan model PBM
sekor penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang mempunyai KGS tinggi
yang belajar dengan model konvensional
sekor penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang mempunyai KGS rendah
yang belajar dengan model konvensional
Sebagai variabel terikat adalah penguasaan konsep fisika dan variabel bebasnya adalah
model pembelajaran dan keterampilan generik sains. Model pembelajaran terdiri atas model PBM
dan model konvensional, sedangkan keterampilan generik sains dikatagorikan menjadi
keterampilan generik sains tinggi dan keterampilan generik sains rendah
Untuk menentukan katagori keterampilan generik sains, terlebih dahulu diadakan tes
keterampilan generik sains terhadap kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok
eksperimen adalah kelompok mahasiswa yang belajar dengan model PBM sedangkan kelompok
kontrol adalah kelompok mahasiswa yang belajar dengan model konvensional. Selanjutnya untuk
SESI PARALEL FISIKA
243
menentukan kelompok mahasiswa yang mempunyai keterampilan generik sains tinggi dan
kelompok mahasiswa yang mempunyai keterampilan generik sains rendah digunakan kriteria 33.3
% kelompok KGS tinggi dan 33.3 % kelompok KGS rendah, baik kelompok mahasiswa yang
belajar dengan model PBM maupun kelompok mahasiswa yang belajar dengan model
konvensional (Adiningsih, 1993:97).
Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh dua kelompok mahasiswa yaitu kelompok
mahasiswa yang memiliki KGS tinggi dan KGS rendah yang belajar dengan model PBM masingmasing 21 orang. Begitu pula kelompok mahasiswa yang memiliki KGS tinggi dan KGS rendah
yang belajar dengan model konvensional, masing-masing 14 orang.
Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi,
Jurusan Biologi FMIPA UM yang menempuh matakuliah Materi IPA SMP II dengan sandi
matakuliah BIO 436 semester 6 tahun 2011/2012 yang terdiri atas 101 orang mahasiswa. Teknik
sampling sensus, sebab semua populasi digunakan sebagai sampel. Pengujian hipotesis penelitian
dilakukan dengan uji statistik ANAVA dua jalan dan uji lanjut Scheffe.
Penelitian ini membutuhkan tiga macam instrumen, yaitu (1) instrumen perlakuan ini
berupa Satuan Acara Perkuliahan (SAP) yang dilengkapi dengan skenario pembelajaran baik
pembelajaran dengan model PBM maupun dengan model konvensional, Lembar Kegiatan
Mahasiswa, dan Bahan Ajar, (2) instrumen tes keterampilan generik sains, yang menggunakan
teknik tes dengan bentuk soal pilihan ganda lima pilihan jawaban dan terdiri atas soal-soal yang
mencerminkan keterampilan generik sains, dan (3) instrumen tes penguasaan konsep fisika yang
menggunakan teknik tes dengan bentuk soal pilihan ganda lima pilihan jawaban yang berisi butirbutir soal fisika yang mencerminkan penguasaan konsep fisika, pada materi getaran dan
gelombang. Setelah dilakukan uji coba, diperoleh instrumen tes KGS pilihan ganda sejumlah 30
butir soal valid dengan reliabiltas 0,8492 dan instrumen tes PKF pilhan ganda sejumlah 41 butir
soal valid dengan reliabilitas 0,8284.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Analisis data untuk uji hipotesis penelitian dengan menggunakan ANAVA dua jalan
dilakukan perhitungan secara manual dengan bantuan komputer yang menggunakan program
Microsoft Office Excel 2007. Analisis ini dimaksudkan untuk menguji ada atau tidak adanya
pengaruh yang signifikan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM) terhadap penguasaan
konsep fisika ditinjau dari keterampilan generik sains. Ringkasan hasil perhitungan ANAVA dua
jalan disajikan pada Tabel 2 berikut ini.
Tabel 2. Ringkasan Perhitungan ANAVA dua jalan.
Sumber variansi
Antar A
Antar B
Antar AB
Dalam (D)
Total
JK
db
124,8595
554,4143
1065,6214
1.333,9762
3078.8714
1
1
1
66
69
RK= (JK/db)
124,8595
554,4143
1065,6214
20,2118
Fh= RK/RK D
6,1776
27,4303
52,7228
p
0,05
0,05
0,05
Hasil perhitungan ANAVA dua jalan menunjukkan bahwa nilai Fhitung antar kolom atau
Fhitung antar B = 27,4303. Nilai Fhitung ini lebih besar dari nilai Ftabel untuk db 1 vs 66 adalah 3,9900,
sehingga disimpulkan bahwa ada perbedaan penguasaan konsep fisika antara mahasiswa yang
belajar dengan model PBM dan mahasiswa yang belajar dengan model konvensional.
Setelah diadakan uji lanjut dengan uji Scheffe ternyata juga menunjukkan adanya
perbedaan penguasaan konsep fisika antara kelompok yang belajar dengan model PBM dan
SESI PARALEL FISIKA
244
kelompok yang belajar dengan model konvensional, baik yang memiliki keterampilan generik sains
tinggi maupun rendah. Hal ini ditunjukkan oleh nilai FS (hitung) = 15,8324 > FS (tabel) = 2,7400 (db 3 vs
66) untuk data X1 vs X3 dan nilai FS (hitung) = 3,8010 > FS (tabel) = 2,7400 (db 3 vs 66) untuk data X2 vs
X4. Namun sekor rata-rata penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki
keterampilan generik sains rendah yang belajar dengan model konvensional (X4 = 19,5714) lebih
tinggi dari sekor rata-rata penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki
keterampilan generik rendah yang belajar dengan model PBM (X2 = 14,3333).
Hasil perhitungan ANAVA dua jalan menunjukkan bahwa nilai Fhitung antar kolom-baris
atau Fhitung antarA B = 52,7228. Karena nilai Fhitung ini lebih besar dari nilai Ftabel = 3,9900, (db 1 vs
66), maka Ho ditolak sehingga disimpulkan bahwa terdapat interaksi antara model PBM dan
keterampilan generik sains terhadap penguasaan konsep fisika.
Adanya interaksi tersebut juga ditunjukkan oleh grafik interaksi sebagai berikut.
26.33
19.57
15.64
14.33
X4
X1
X2
X3
KGS Rendah
KGS Tinggi
Gambar 1. Grafik Interaksi Model PBM dan Keterampilan Generik Sains terhadap
Penguasaan Konsep Fisika
Hasil perhitungan lanjut uji Scheffe menunjukkan bahwa nilai FS(hitung) antara sekor ratarata penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik tinggi
yang belajar dengan model PBM dan sekor rata-rata penguasaan konsep fisika kelompok
mahasiswa yang memiliki keterampilan generik tinggi yang belajar dengan model konvensional
adalah 15,8324. Karena nilai Fhitung ini lebih besar dari nilai FS (tabel) = 2,74, (db 3 vs 66), maka Ho
ditolak, sehingga disimpulkan bahwa penguasaan konsep fisika mahasiswa yang memiliki
keterampilan generik sains tinggi, lebih tinggi jika belajar dengan model PBM daripada belajar
dengan model konvensional. Berdasarkan data diinformasikan bahwa sekor rata-rata penguasaan
konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik tinggi yang belajar dengan
model PBM (X1= 26,3333) lebih tinggi daripada sekor rata-rata penguasaan konsep fisika
245
kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik tinggi yang belajar dengan model
konvensional (X3 = 15,6429).
Hasil perhitungan lanjut uji Scheffe menunjukkan bahwa nilai FS(hitung) antara sekor ratarata penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik rendah
yang belajar dengan model PBM dan sekor rata-rata penguasaan konsep fisika kelompok
mahasiswa yang memiliki keterampilan generik rendah yang belajar dengan model konvensional
adalah 3,8010. Karena nilai FS(hitung) ini lebih besar dari nilai FS(tabel) = 2,7400, (db 3 vs 66), maka Ho
ditolak, sehingga disimpulkan bahwa penguasaan konsep fisika mahasiswa yang memiliki
keterampilan generik sains rendah, lebih rendah jika belajar dengan model PBM daripada belajar
dengan model konvensional. Berdasarkan data diinformasikan bahwa sekor rata-rata penguasaan
konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik sains rendah yang belajar
dengan model PBM (X2= 14,3333) lebih rendah daripada sekor rata-rata penguasaan konsep fisika
kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik rendah yang belajar dengan model
konvensional (X4 = 19,5714).
PEMBAHASAN
Mengacu pada pernyataan hipotesis pertama penelitian ini, bahwa penguasaan konsep
fisika mahasiswa yang belajar dengan model PBM berbeda daripada mahasiswa yang belajar
dengan model konvensional. Hal ini ditunjukkan oleh hasil analisis data melalui ANAVA dua jalan
bahwa FB= 27,4303 lebih besar dari Ftabel = 3,9900. Jika ditinjau dari keterampilan generik sains,
yaitu dengan membedakan tinggi rendahnya keterampilan generik sains, maka berdasarkan hasil
analisis uji lanjut Scheffe, ditemukan bahwa penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang
memiliki keterampilan generik sains tinggi dan belajar dengan model PBL, lebih tinggi daripada
yang belajar dengan model konvensional. Hasil ini dinyatakan dengan sekor rata-rata penguasaan
konsep fisika yang diperoleh kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik tinggi dan
belajar dengan model PBL, yaitu sebesar 26,3333 lebih tinggi dari sekor rata-rata penguasaan
konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik tinggi tetapi belajarnya
dengan model konvensioanl, yaitu sebesar 15,6429. Hasil ini sesuai dengan pernyataan hipotesis
ketiga yang menyatakan bahwa penguasaan konsep fisika mahasiswa yang memiliki keterampilan
generik tinggi, lebih tinggi jika belajar dengan model PBM daripada belajar dengan model
konvensional. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Rusnayati (2011), bahwa
adanya pengaruh yang signifikan dengan adanya penerapan model PBM terhadap peningkatan
penguasaan konsep elastisitas pada kelas eksperimen dengan katagori tinggi <g> = 0,77, dan lebih
tinggi peningkatannya dibandingkan dengan kelas kontrol yang terkatagori rendah, yaitu <g> =
0,05. Disamping itu adanya pengaruh signifikan penerapan model PBM terhadap peningkatan keterampilan proses sains dengan katagori tinggi, yaitu <g>= 0,87, dan lebih tinggi peningkatannya
dibandingkan dengan kelas kontrol yang terkatagori sedang, yaitu <g> = 0,59. Hal ini
menunjukkan bahwa ada pengaruh model PBM terhadap penguasaan konsep fisika ditinjau dari
keterampilan generik sains.
Penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik sains
rendah, antara yang belajar dengan model PBM dan yang belajar dengan model konvensional, juga
ada perbedaan. Akan tetapi penguasaan konsep fisika kelompok mahasiswa yang memiliki
keterampilan generik sains rendah, lebih rendah jika belajar dengan model PBL daripada jika
belajar dengan model konvensional. Dengan kata lain penguasaan konsep fisika kelompok
mahasiswa yang memiliki keterampilan generik rendah dan belajar dengan model konvensional
lebih tinggi daripada jika belajar dengan model PBL. Hal ini dapat ditelaah bahwa kelompok
mahasiswa yang memiliki keterampilan generik sains rendah ada kecenderungan kurang mampu
mengikuti proses belajar yang ada pada pembelajaran model PBL.
Pembelajaran yang menggunakan model PBM merupakan pembelajaran yang berpusat
pada mahasiswa. Untuk itu maka dalam proses pembelajaran yang menggunakan model PBM,
mahasiswa perlu memiliki kemampuan yang cukup agar dapat menyelesaikan permasalahan yang
246
merupakan inti dari pembelajaran model PBM. Karena inti dari proses belajar model PBL adalah
penyelesaian masalah, maka ada kecenderungan bahwa mahasiswa yang memiliki keterampilan
generik sains tinggilah yang dengan mudah dapat menyelesaikannya. Akan tetapi bagi mahasiswa
yang memiliki keterampilan generik sains rendah justru merupakan suatu kendala tersendiri dalam
proses belajarnya. Bagi kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik sains rendah
cenderung lebih berhasil dalam belajarnya jika mereka dibelajarkan dengan model konvensional.
Hal ini karena dalam pelaksanaannya cenderung lebih banyak sajian materi yang disampaikan
secara terstruktur oleh dosen. Dalam pelaksanaannya model pembelajaran konvensional cenderung
berpusat pada dosen. Bagi mahasiswa yang keterampilan generik sainsnya rendah cenderung
menunggu informasi yang datang dari dosen, karena informasi dari dosen diyakini merupakan
informasi yang paling benar daripada informasi dari kelompok belajarnya.
Kondisi seperti ini sesuai juga dengan pernyataan Cronbach & Snow (1977), bahwa (1)
lingkungan pengajaran yang sangat terstrukur cenderung lebih berhasil bagi para peserta
didik/mahasiswa berkemampuan rendah, sebaliknya lingkungan pengajaran yang kurang terstruktur
cenderung memberikan hasil belajar yang lebih baik bagi para peserta didik/mahasiswa
berkemampuan tinggi, (2) para peserta didik/mahasiswa yang mudah cemas atau sangat patuh
cenderung belajar lebih baik di dalam lingkungan pengajaran yang lebih terstruktur, sedangkan
para peserta didik/mahasiswa yang lebih percaya diri dan mandiri cenderung belajar lebih baik di
dalam lingkungan pengajaran yang kurang terstruktur.
Dalam penelitian ini hanya kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik sains
tinggi dan belajar dengan model PBM yang dapat memiliki penguasaan konsep fisika yang paling
baik. Hal ini dinyatakan oleh hasil analisis data bahwa sekor rata-rata tertinggi dari keempat
kelompok dimiliki oleh kelompok yang memiliki keterampilan generik sains tinggi dan belajar
dengan model PBM.
Penguasaan konsep fisika mahasiswa yang memiliki keterampilan generik tinggi maupun
rendah jika belajar dengan model konvensional tidak berbeda. Hal ini dapat dikatakan bahwa
perkuliahan dengan dominasi ceramah, penguasaan konsep fisika yang diperoleh mahasiswa tidak
terpengaruh oleh keterampilan generik sains. Namun penguasaan konsep fisika yang diperoleh
lebih tinggi bagi kelompok mahasiswa yang belajar dengan model PBM daripada kelompok
mahasiswa yang belajar dengan model konvensional.
Perkuliahan yang dirancang dengan menggunakan model PBM dapat menghasilkan
kelompok mahasiswa yang memiliki penguasaan konsep fisika yang lebih baik, dengan satu syarat
mahasiswa dalam kelompok belajar tersebut memiliki keterampilan generik sains tinggi. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Tika, I Ketut (2008) , bahwa
penerapan model PBM berorientasi penilaian kinerja dapat meningkatkan kompetensi kerja ilmiah
maupun kompetensi pemahaman konsep fisika pada siswa kelas XI IPA 3 SMAN 1 Singaraja.
Kenyataan di dalam proses pembelajaran nampak bahwa kelompok mahasiswa yang mempunyai
keterampilan generik sains tinggi lebih menyukai tantangan melalui permasalahan yang disajikan
dalam proses belajarnya. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan bahwa model PBM merupakan
model pembelajaran yang dapat mendorong mahasiswa untuk menganalisis dan berpikir kritis
dengan mengintegrasikan serta mensintesis fakta dan ide yang mereka pelajari.(Center for
Teaching and Learning .CB# 3470, 316 Wilson Library Chapel Hill, NC 27599-347). Demikian
pula pernyataan Candy (2002) yang menyatakan bahwa kurikulum di perguruan tinggi haruslah
didesain untuk memberikan kesempatan kepada mahasiswa dalam mengembangkan keterampilan
generik, termasuk keterampilan generik sains.
Dari hasil penelitian ini nampaknya ada kecenderungan bahwa model PBM hanya
berpengaruh pada kelompok mahasiswa yang memiliki keterampilan generik sains tinggi saja. Hal
ini sejalan dengan pernyataan yang dinyatakan oleh Williams dan Duch (1996) dalam hasil
penelitiannya bahwa Education research suggests that students involved in PBL are more active,
more motivated to solve real world problems, and also learn more throughout the proces.
Mahasiswa yang terlibat dalam pembelajaran model PBM lebih aktif, lebih termotivasi, dan banyak
247
248
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan tujuan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
terjadinya penguasaan konsep fisika yang rendah bagi kelompok mahasiswa yang memiliki
keterampilan generik sains rendah jika belajar dengan model PBM.
2. Perlu diadakan penelitian yang bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang menjadi
penyebab tidak berpengaruhnya keterampilan generik sains dalam pembelajaran konvensional
terhadap penguasaan konsep fisika.
3. Disarankan dalam mengatur komposisi anggota kelompok belajar dilakukan secara
proposional, sehingga dalam kelompok belajar tersebut terdiri atas mahasiswa yang memiliki
keterampilan generik sains tinggi, sedang, dan rendah. Kemudian hasil penguasaan konsep
fisika mahasiswa dibandingkan dengan jika pengaturan kelompok belajar dilakukan secara
acak.
DAFTAR RUJUKAN
Adiningsih. 1993. Statistik. Yogyakarta. Penerbit BPFE.
Amir, T. 2010. Inovasi Pendidikan melalui Problem Based Learning: Bagaimana Pendidik
Memberdayakan Pebelajar di Era Pengetahuan. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Arends, Richard I. 2008. Learning to Teach. McGrow Hill Companies, Inc, 1221 Avenue of the
Americas, New York, NY10020.
Ashcroft, K., & Foreman-Peck, L. 1994. Managing Teaching and Learning in Further and Higher
Education. London, UK: The Falmer Press.
Blumhof, J., Honeybone, A., Pearlman, D., & Pinn, K. 1996. Tackling the problem of skills
development in a modular degree programme: the Skillswise Project. In G. Gibbs (Ed.),
Improving Student Learning: Using Research to Improve Student Learning (pp. 328339). Oxford, UK: Oxford Centre for Staff Development.
Brotosiswoyo S. dan The Hong Liong. 2000. Hakikat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran
Fisika di Perguruan Tinggi. Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Direktorat
Jengral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Candy, Crebert, O'Leary. 1994. Developing lifelong learners through undergraduate education.
Canberra: Australian Government Publishing Service.
Candy, Philip C. 2002. Reaffirming a proud tradition: Universities and lifelong learning. Active
Learning in Higher Education 1; 101. Tersedia: (http://www.sagepub.com.), diakses 3
Juni 2011.
Center for Teaching and Learning (CTL).March 1993 Number 14. Research and Problem-based
Learning in Undergraduate Courses. Wilson Library Chapel Hill, NC 27599-3470.
Cronbach, L. & Snow, R. 1977. Aptitudes and Instructional Methods: A Handbook for Research on
Interactions. New York: Irvington.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 tahun 2006 tanggal 23 Mei
2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:
Depdiknas.
Gibbs, Rust, Jenkin, & Jaques. 1994. Developing Students' Transferable Skills. Oxford: The Oxford
Centre for Staff Development.
Liliasari. 2007. Scientific Concepts and Generic Science Skills Relationship In The 21st Century
Science Education.Seminar Proceeding of The First International Seminar of Science
Education,27 October2007. Bandung.13 18.
Liliasari, Setiawan & Widodo. 2011. The development of generic science skills of prospective
science teacher using interactive multimedia. Paper presented at 5thInternational Seminar
of Science Education, Indonesia University of Education. Bandung Indonesia.
November12.
Ramsden, P. 1992. Learning and Teaching in Higher Education. London: Routledge.
SESI PARALEL FISIKA
249
Rusnayati & Prima. 2011. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning Dengan
Pendekatan Inkuiri Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses sains dan Penguasaan
Konsep Elastisitas Pada Siswa SMA. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan,
dan Penerapan MIPA.Universitas Negeri Yogyakarta: Jurusan Pendidikan Fisika
FPMIPA.
Sudarmin. 2007. Pengembangan Model Pembelajaran Kimia Organik dan Keterampilan Generik
Sains (MPKOKG) Bagi Calon Guru Kimia. Disertasi tidak diterbitkan. Bandung SPs.
UPI.
Sunyono. 2009. Pembelajaran IPA dengan Keterampilan Generik Sains. (Online),
(http;//blog.unila.ac.id/sunyono/file/2009/keterampilan-generik.pdf), diakses 10 Juni
2011.
Squires, G. 1990. First Degree: the Undergraduate Curriculum. Open University Press,
Buckingham.
Tika, I Ketut. 2008. Penerapan Problem Based Learning Berorientasi Penilaian Kinerja Dalam
Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Kompetensi Kerja Ilmiah Siswa. Universitas
Pendidikan Ganesha: Jurnal Pendidikan dan Pengajaran UNDISHA, No. 3 TH. XXXXI,
Juli 2008.
Wan Azlinda Wan Mohamed & Mime Azrina Jaafar. 2010. Using Cooperative Learning to
Improve Generic Skills Among University Students. Malaysia: Universitin Tun Hussein
Onn Malaysia.
Williams, B. & Duch, B. 1996. Cooperative problem-based learning in an undergraduate physics
classroom. In A. McNeal & C. D'Avanzo, (Eds.), Student-active science: Models of
innovation in college science teaching. Fort Worth, TX: Saunders College Publishing, pp.
453-470.
250
PENDAHULUAN
Dalam matakuliah Dasar-dasar Komputer sudah diberikan materi Pemrograman Komputer
tingkat dasar untuk pemula. Sajian yang dibahas adalah tiga struktur perintah dasar dalam
Pemrograman Komputer yaitu : Perintah sequence (diproses oleh kompiler secara berurutan),
perintah pencabangan atau pemilihan kasus (diproses sesuai kasus yang terpenuhi), perintah
pengulangan (diproses secara berulang sampai kondisi tertentu).
Tiga struktur perintah dasar tersebut sangat penting untuk dipahami oleh seseorang yang
sedang memulai belajar Pemrograman Komputer. Penguasaan terhadap tiga struktur perintah dasar
ini menjadi kunci keberhasilan untuk meningkatkan kemampunnya pada tahapan pemrograman
selanjutnya. Bila tahapan pemula ini bisa dilewati dengan baik maka tahapan pemrograman lanjut
bisa dengan mudah dilalui.
Materi Pemrograman Komputer tingkat pemula dalam matakuliah Dasar-dasar Komputer
dimaksudkan untuk menjembati atau mengantarkan mahasiswa untuk siap menerima materi
251
252
253
Gambar 3. Borland Delphi 7.0 Digunakan untuk Mengenerate atau Membangkitkan Form sebagai
User Interface Beserta Source Codenya
CamStudio digunakan untuk pembuatan video tutorial praktikum. Video ini untuk
menggambarkan langkah-langkah pemrograman delphi step by step, mulai setting properti,
penanganan event, penulisan code, hingga proses kompilasi dan running. Jendela utama CamStudio
ditunjukkan gambar 4.
254
255
256
Gambar 8. Form utama media tutorial digital Pemrograman Delphi Untuk Pemula
User Interface tersebut terdiri atas:
Title Bar
: Berisi nama perangkat lunak, yaitu: Media Tutorial Digital Pemrograman
Delphi Untuk Pemula.
Tool Bar
: Berisi beberapa Icon sebagai shortcut untuk melakukan proses tertentum, yaitu:
Hide, Back, Forward, Home, Print, dan Options.
Jendela Explorer : Jendela antarmuka bagian kiri yang terdiri dari tiga tab, yaitu: Content, Search,
dan Favorites
Jendela Display : Jendela antarmuka perangkat lunak sebelah kiri. Jendela ini berfungsi
menampilkan content materi yang di pilih pada jendela explorer.
257
seperti yang disajikan pada tab Content. Sistematika beberapa topik materi tersebut tersaji dalam
Jendela Explorer seperti ditampilkan gambar 9.
Sedangkan contoh penyajian content materi yang dipilih berdasarkan sub topik materi
ditunjukkan gambar 10. Pemilihan sub topik yang dijadikan contoh penelusuran data untuk
menampilkan content materi di Jendela Display adalah sub topik Tutorial Pemrograman Delphi
untuk Pemula.
Gambar 10. Jendela Antarmuka Sebelah Kanan Menampilkan Isi Setiap Materi dan Submateri
yang Dipilih
Pembahasan
Media tutorial digital pemrograman Delphi untuk pemula yang telah dikembangkan
divalidasi oleh dosen pengampu matakuliah Dasar-dasar Komputer Jurusan Fisika Program Studi
Pendidikan Fisika, dan diujicobakan terhadap mahasiswa sebagai user utama. Validasi dilakukan
dengan menggunakan metode angket yang dilengkapi dengan aspek-aspek penilaian dan skala
penilaian berdasarkan Skala Likert (skala 1,2,3,4). Dari uji coba tersebut diperoleh data validasi
seperti ditunjukkan tabel 1.
Tabel 1. Data hasil validasi media oleh Dosen Dasar-dasar Komputer
Aspek yang dinilai
Cakupan Materi
Penyajian Materi
Form User Interface
Animasi
Teks
Tombol Navigasi
Hasil validasi
3,5
Layak
3,5
Layak
3,25
Layak
4
Layak
3,3
Layak
3,5
Layak
Data hasil uji coba terhadap mahasiswa sebagai pemakai media tutorial digital juga diperoleh
dengan menggunakan metode angket seperti ditampilkan tabel 2.
Tabel 2. Data hasil uji coba terhadap mahasiswa
No
1
2
3
4
Aspek
Tampilan form utama menarik bagi saya sehinga saya ingin
mengetahui lebih lanjut isi media
Urutan penyajian materi runtut sehingga dapat memandu proses belajar
saya
Struktur navigasi media memudahkan saya dalam menggunakannya
Fasilitas contents, search, favorites, dan hyperlink yang tersedia
membuat saya mudah dan cepat mengeksplorasi seluruh isi media
Rerata
2
3
Kriteria
Cukup
Layak
Layak
4
4
Layak
Layak
258
3
2
3
Layak
Cukup
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
259
PENDAHULUAN
Sesuai dengan karakteristik fisika, pembelajaran fisika seyogyanya melibatkan pengamatan
gejala, pengkuantifikasian pengamatan, dan pensintesisan hasilnya menjadi teori (Williams, 1999).
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut, mahasiswa fisika diharapkan belajar fisika tidak hanya pada
aspek deskriptif atau konseptualnya tetapi juga pada aspek-aspek prediktif, pemecahan masalah,
dan logika penalarannya. Karena belajar berpikir logis dan kritis itu sulit, banyak mahasiswa
mencoba menghafal konsep-konsep dan rumus-rumus. Hammer (1994) melaporkan bahwa banyak
mahasiswa belajar fisika melalui menghafal karena mereka memiliki konsep fisika yang naif.
Rumus-rumus dan persamaan-persamaan merupakan hal penting dalam fisika karena kuantitas fisik
harus dihitung dengan menggunakannya. Namun, jika mahasiswa tidak dapat memahami makna
fisika di balik rumus itu, mereka biasanya tidak akan mampu memecahkan masalah fisika.
Saul et al. (2000) menunjukkan bahwa berdasarkan laporan dosen-dosen fisika banyak
mahasiswa yang mengambil matakuliah Fisika Dasar yang diselenggarakan melalui ceramah dan
kegiatan laboratorium tradisional mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan-kesulitan tersebut antara
lain: 1) pemahaman yang lemah terhadap konsep-konsep fisika dasar, 2) ketidakmampuan untuk
menerapkan apa yang mereka ketahui ke dalam situasi baru, 3) keyakinan bahwa fisika hanya
sekedar kumpulan persamaan dan prosedur, 4) keyakinan bahwa fisika tidak memiliki kaitan
dengan kehidupan sehari-hari, dan 5) kegagalan untuk melihat fisika sebagai proses untuk
memahami dunia fisik.
Tobias (1990) melaporkan bahwa mahasiswa-mahasiswa yang berprestasi jelek dalam Fisika
Dasar adalah tidak bodoh, tetapi mereka hanya berbeda. Oleh sebab itu, penting bagi dosen fisika
untuk memahami pengetahuan awal dan pengalaman yang dibawa mahasiswa ke dalam matakuliah
Fisika Dasar dan bagaimana mereka menanggapi perkuliahan (Bao dan Redish, 2001).
Banyak aspek menyebabkan mahasiswa berprestasi jelek dalam Fisika Dasar. Hasil
penelitian Wang et al. (2007) menunjukkan bahwa penyebab utama kesulitan belajar mekanika
mahasiswa Cina adalah: metode belajar, pendekatan pembelajaran, kesulitan tugas, penggunaan
keterampilan, dan matematika lanjut.
260
Selama ini perkuliahan Fisika Dasar di Jurusan Fisika Universitas Negeri Malang
diselenggarakan dengan cara penyajian materi Fisika Dasar secara ceramah oleh dosen yang
dilanjutkan tutorial oleh mahasiswa pada kesempatan lain. Dengan kata lain, cara pembelajaran
semacam ini dapat dikatakan sebagai strategi pembelajaran konvensional. Dengan cara ini, hasil
belajar mahasiswa pendidikan fisika masih rendah sehingga masih belum mampu memenuhi syarat
minimal kompetensi profesional calon guru fisika.
Ditinjau dari segi masukan, pengetahuan awal mahasiswa fisika masih rendah. Ausubel
(1968) menyatakan bahwa faktor tunggal paling penting yang mempengaruhi pembelajaran adalah
apa yang pebelajar telah ketahui. Dengan mengetahuinya, maka ajari dia berdasarkan hal itu.
Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa pengetahuan awal merupakan variabel sangat penting
dalam psikologi pendidikan; tingkat pengetahuan awal siswa harus menjadi tumpuan untuk prestasi
belajar dalam pembelajaran yang optimal; situasi pembelajaran menjadi optimal karena serasi
dengan tingkat pengetahuan awal.
Dengan pengetahuan awal mahasiswa yang masih rendah, apabila strategi pembelajarannya
tetap dilaksanakan seperti di atas maka mahasiswa benar-benar mengalami kesulitan yang luar
biasa dalam belajar fisika dasar. Oleh sebab itu, sangat beralasan apabila hasil belajar fisika para
mahasiswa pada matakuliah Fisika Dasar masih sangat rendah.
Studi pendahuluan (Koes H., 2008) dengan menggunakan instrumen yang dikembangkan
oleh Wang et al. (2007) menemukan bahwa kesulitan belajar mahasiswa dalam matakuliah Fisika
Dasar di Jurusan Fisika UM disebabkan terutama oleh: metode belajar, penggunaan keterampilan,
pengetahuan awal, kesulitan tugas, dan pendekatan pembelajaran.
Berdasarkan kesulitan belajar fisika di atas, tampak jelas bahwa mahasiswa fisika yang
sedang menempuh matakuliah Fisika Dasar memerlukan pendampingan kognitif (cognitive
apprenticeship) dalam belajar fisika. Pendampingan semacam ini akan menjembatani pengetahuan
awal fisika para mahasiswa yang masih rendah menuju hasil belajar fisika yang diharapkan. Selain
itu, pendampingan semacam ini membantu mahasiswa dalam menggunakan keterampilannya
secara bertahap sehingga dapat mengurai kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan
tugas.
Secara esensi, pendampingan kognitif merupakan penggunaan model pendampingan untuk
membantu belajar dalam ranah kognitif (Dennen, 2004). Bantuan semacam ini sesuai dengan
karakteristik matakuliah Fisika Dasar pada khususnya dan matakuliah fisika pada umumnya.
Salah satu strategi dalam pendampingan kognitif ini adalah scaffolding. Secara kognitif,
scaffolding membantu pemilihan aktivitas dan penggunaan berbagai bantuan untuk memastikan
bahwa belajar telah terjadi, seperti petunjuk, model, analogi, dan demonstrasi. Belajar akan benarbenar terjadi jika berbagai bantuan itu berada pada zone of proximal development (ZPD). ZPD
adalah jarak antara apa yang seseorang dapat kerjakan dengan dan tanpa bantuan. Istilah proximal
menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan sedikit di atas kompetensi pebelajar saat ini
melengkapi dan membangun kemampuan mereka yang ada (Cole dan Cole, 2001).
Scaffolding merupakan upaya menempatkan dan menyediakan bantuan secara dinamis dalam
pergeseran ZPD yang memungkinkan pebelajar mampu menunjukkan aktivitas yang tidak dapat
ditunjukkan tanpa bantuan ini. Interpretasi dan operasionalisasi scaffolding dalam penelitian
pendidikan begitu beragam dan kadang digunakan secara longgar (Hammond, 2002). Scaffolding
telah diinterpretasikan dalam pengertian yang luas sebagai suatu bentuk bantuan untuk
perkembangan dan belajar anak dan remaja (Rasmussen, 2001). Istilah tersebut dapat digunakan
sebagai payung untuk memerikan cara yang digunakan guru atau teman sebaya dalam membantu
siswa dengan alat yang dibutuhkan agar mereka belajar (Jacobs, 2001). Kerangka teori sistematik,
terkait dengan sejumlah teori pendidikan lainnya (Jacobs, 2001; Rasmussen, 2001) memperkaya
konteks pelaksanaan dari scaffolding tetapi membuatnya lebih generik. Hammond (2002)
berargumentasi bahwa perluasan pemahaman scaffolding dalam bahasa dan pendidikan literasi
diperlukan. Hal itu menunjukkan peran penting bahasa dalam scaffolding.
261
Secara emosional, scaffolding membantu pebelajar untuk menjaga dari rasa gagal melalui
berbagai bantuan yang difokuskan pada kesuksesan pebelajar (Bean dan Stevens, 2002).
Scaffolding akan menjembatani pengetahuan awal mahasiswa dengan hasil belajar yang hendak
dicapai, mengurai kesulitan tugas-tugas melalui penerapan keterampilan secara bertahap.
Menurut Girodano (1996), ada empat jenis utama scaffold yang dapat digunakan sendirisendiri atau kombinasi, yakni: scaffold tertulis, scaffold visual, scaffold oral, dan scaffold
pengambilan keputusan. Scaffold tertulis dapat berupa lembar kerja yang berisi kalimat tidak
lengkap yang harus dilengkapi oleh pebelajar. Selain itu, pebelajar dapat disodori daftar kata kunci
dan diminta untuk mengajukan gagasannya berdasarkan daftar tersebut. Scaffold tertulis dapat
berupa latihan dimana pebelajar mengisi bagian kosong dari latihan tersebut.
Secara teoretik, scaffolding akan meningkatkan kualitas proses pembelajaran matakuliah
Fisika Dasar yang pada saatnya akan meningkatkan hasil belajar fisika. Sebab hasil penelitian Kalu
dan Ali (2004) menemukan bahwa kualitas proses pembelajaran berpengaruh secara signifikan
terhadap hasil belajar fisika siswa. Dengan demikian, perlu dikaji secara empirik apakah strategi
pembelajaran scaffolding yang diterapkan di matakuliah Fisika Dasar benar-benar mampu
meningkatkan hasil belajar fisika para mahasiswa.
Selain itu, perlu dikaji pula cara penerapan strategi scaffolding dalam pembelajaran Fisika
Dasar, apakah dilakukan secara klasikal atau kelompok. Secara tradisional, scaffolding telah
dilaksanakan dalam bentuk interaksi satu-satu. Hanya sedikit penelitian tentang scaffolding gurusiswa dalam latar kelas secara keseluruhan (Hogan dan Pressley, 1997). Hogan dan Pressley
berpendapat bahwa salah satu alasan mengapa hanya sedikit penelitian pada wilayah ini adalah
karena dalam kelas yang besar guru tidak mungkin berinteraksi dengan setiap siswa secara
individual. Idealnya, guru akan bereaksi terhadap situasi terkini dan memodifikasi scaffold
berdasarkan pada semua kebutuhan siswa. Ketika seorang guru mengalamatkan scaffold ke seluruh
kelas ia dikonfrontasikan dengan ZPD majemuk. Ada pendapat bahwa scaffolding guru-siswa tidak
dapat dilaksanakan secara efektif dalam latar kelas secara keseluruhan semacam ini.
Satu penyelesaian yang mungkin terhadap masalah di atas adalah memberi kesempatan siswa
bekerja dalam kelompok dan kemudian men-scaffolding terhadap kelompok tersebut. Tetapi hal ini
masih dapat menjadi masalah karena jumlah kelompok di dalam kelas. Kemungkinan lainnya
adalah memberi siswa dengan alat bantu, seperti komputer atau materi tertulis, yang menyediakan
scaffold pada siswa. Disini interaksi terjadi antara siswa dengan komputer atau materi tertulis.
Karena alat-alat bantu eksternal (seperti komputer atau materi tertulis) tidak dapat mencakup
dinamika orang dewasa-anak atau bahkan interaksi teman sebaya, alat bantu tersebut dapat
dipandang sebagai keterbatasan penggunaan metafora scaffolding (Stone, 1998). Palincsar
berpendapat bahwa peneliti telah terjerat pada cara penggunaan scaffolding, yakni dengan
memaknai scaffolding hanya terhadap interaksi yang terjadi antara individu-individu, dan secara
tipikal antara individu-individu dengan keahlian berbeda. Sangat berguna untuk memahami bahwa
ZPD termasuk tidak hanya orang tetapi juga artefak, dan ZPD itu melekat dalam aktivitas dan
konteks (Palincsar, 1998).
Walaupun penelitian terdahulu menyarankan pengurangan bantuan (fading) mendorong
ketakbergantungan siswa lebih besar, sebagian besar penelitian tersebut terfokus pada interaksi
orang dewasa-anak dimana orang dewasa dapat mengindividualkan scaffold untuk kebutuhan
khusus siswa. Meskipun bantuan tertulis jelas tidak memiliki keuntungan tersebut, panduan
(prompt) tertulis kontinyu, yang disediakan untuk keseluruhan unit pelajaran, telah terbukti
meningkatkan belajar siswa. Satu contoh keuntungan dari panduan tertulis kontinyu terdapat dalam
the ThinkerTools curriculum yang diciptakan oleh White dan Frederiksen (1998; 2000). Mereka
merancang kurikulum untuk membantu perkembangan siswa dalam proses inkuiri ilmiah,
permodelan, dan keterampilan dan pengetahuan metakognitif. Dalam rangka mengembangkan
keterampilan metakognitif, mereka mengembangkan seperangkat panduan refleksi yang memandu
evaluasi siswa terhadap kerja mereka di akhir setiap fase dari siklus inkuiri. Untuk menentukan
keefektivan panduan metakognitif, White dan Frederiksen membandingkan dua versi kurikulum,
262
satu dengan panduan refleksi dan satu lagi tanpa panduan refleksi. Mereka menemukan bahwa
siswa yang menerima panduan refleksi berhasil memperoleh pemahaman yang lebih tinggi dalam
praktik inkuiri.
Agar scaffolding berfungsi dengan baik maka scaffold tertulis yang digunakan harus berada
pada ZPD mahasiswa. Dengan kata lain, scaffold tertulis harus dikembangkan berdasarkan
pengetahuan awal rata-rata mahasiswa. Dalam rangka mengembangkan scaffold tertulis tersebut,
profil kompetensi fisika mahasiswa perlu diketahui. Selain itu, pola pelaksanaan perkuliahan perlu
diketahui sehingga pengintegrasian scaffolding dapat dilaksanakan secara baik dalam perkuliahan.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif (Salkind, 2006). Terkait dengan
rancangan tersebut, ditempuh tiga cara, yaitu survei, pengamatan, dan wawancara. Survei
digunakan untuk mengetahui profil kompetensi Fisika calon guru SMA di LPTK Jawa Timur.
Adapun pengamatan perkuliahan dan wawancara dengan mahasiswa dilakukan untuk mendapatkan
data lebih rinci dan mendalam tentang karakteristik pelaksanaan perkuliahan Fisika Dasar di LPTK
Jawa Timur. Hasil survei, pengamatan, dan wawancara akan dijadikan masukan dalam menyusun
prototipe paket Scaffolding Berbasis Kooperatif untuk meningkatkan kompetensi Fisika calon guru
SMA dan panduan pelaksanaannya di LPTK Jawa Timur.
Populasi penelitian ini adalah dosen Fisika Dasar dan mahasiswa di LPTK Jawa Timur.
Jumlah dosen dan mahasiswa di LPTK Jawa Timur sangat besar. Oleh sebab itu, dilakukan
pencuplikan baik dosen maupun mahasiswa fisika LPTK. Jumlah sampel dosen untuk pengamatan
perkuliahan adalah 5 orang, untuk wawancara 10 orang yang terdiri atas 4 orang dosen UM, 4
orang dosen UNESA, dan 2 orang dosen UNEJ. Sedangkan sampel mahasiswa fisika adalah 326
orang yang terdiri atas 158 mahasiswa UM, 51 mahasiswa UNESA, dan 117 mahasiswa UNEJ.
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes, inventori, lembar observasi, dan
pedoman wawancara. Tes digunakan untuk mengukur prestasi belajar fisika dan kerja ilmiah
mahasiswa, skala sikap digunakan untuk mengukur sikap ilmiah mahasiswa, lembar observasi
digunakan untuk mengetahui pelaksanaan perkuliahan Fisika Dasar, dan pedoman wawancara
digunakan untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam terhadap kompetensi fisika
mahasiswa. Hasil ujicoba instrumen menunjukkan bahwa reliabilitas tes prestasi belajar, tes kerja
ilmiah dan skala sikap ilmiah masing-masing adalah 0,73; 0,83; dan 0,83.
Ada empat metode pengumpulan data yang akan digunakan, yaitu inventori, tes,
pengamatan, dan wawancara. Pada saat pengisian inventori dan tes ini para mahasiswa didampingi
oleh peneliti. Dengan cara ini diharapkan tingkat kesalahan pengisian dapat ditekan sekecil
mungkin dan kelengkapan jawaban dapat dioptimalkan. Selain itu, persentase pengembalian
inventori dapat ditingkatkan.
Pengamatan pelaksanaan pembelajaran Fisika Dasar dilakukan pada jam-jam reguler
perkuliahan Fisika Dasar di Perguruan Tinggi sampel. Dengan demikian, setting alamiah
pelaksanaan pembelajaran Fisika Dasar di Perguruan Tinggi tersebut dapat dipotret seperti apa
adanya dan tanpa rekayasa. Agar data hasil pengamatan lebih akurat maka setiap pengamatan
pelaksanaan pembelajaran Fisika Dasar dilakukan oleh dua orang peneliti.
Wawancara dilakukan kepada 10 orang dosen dan 50 orang mahasiswa Fisika Dasar di
LPTK Jawa Timur. Dengan cara ini diharapkan informasi yang diperoleh menjadi lebih kaya dan
mendalam.
Berdasarkan data yang dikumpulkan maka ada dua teknik analisis data yang akan digunakan,
yaitu analisis kuantitatif dan analisis kualitatif. Teknik analisis kuantitatif yang digunakan adalah
analisis deskriptif seperti persentase, rerata, dan simpangan baku.
263
264
Subtopik
Persamaan Gelombang
Optika Fisik
Optika Geometri
Listrik Statik
Listrik Dinamik
Medan Magnet
Induksi Magnet
UNESA
39,2%
45,1%
48,4%
50,3%
80,9%
64,1%
47,7%
UNEJ
47,4%
35,9%
38,7%
44,2%
77,1%
59,8%
46,2%
Hasil di atas menunjukkan bahwa persentase pencapaian prestasi belajar tertinggi diperoleh
mahasiswa pada subtopik listrik dinamis. Sedangkan persentase pencapaian prestasi belajar
terendah diperoleh mahasiswa pada subtopik optika fisik. Jika tingkat penguasaan materi Fisika
Dasar untuk setiap subtopik ditetapkan pada persentase sebesar 75% maka hampir di semua
subtopik mahasiswa belum mencapai tingkat penguasaan minimal materi Fisika Dasar. Dengan
kata lain, sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan dalam mempelajari Fisika Dasar.
Data di atas sejalan dengan hasil wawancara dengan 10 dosen Fisika Dasar (4 orang UM, 4
orang UNESA, dan 2 orang UNEJ). Semua dosen menyatakan bahwa mahasiswa mereka
mengalami kesulitan dalam mempelajari Fisika Dasar. Persentase mahasiswa yang mengalami
kesulitan dalam memahami Fisika Dasar berkisar antara (10 75)% dari seluruh mahasiswa yang
menempuh matakuliah tersebut. Kesulitan mereka bervariasi dan tersebar di semua subtopik materi
Fisika Dasar.
Hasil wawancara terhadap 50 mahasiswa (30 orang UM, 10 orang UNESA, 10 orang UNEJ)
menunjukkan bahwa semua mahasiswa menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan dalam
memahami materi Fisika Dasar. Semua mahasiswa menyatakan bahwa mereka mendapat bantuan
untuk mengatasi kesulitan mereka. Bantuan tersebut sebagian besar diberikan dosen atau asisten di
luar jam perkuliahan yang sedang berlangsung. Bantuan yang sangat membantu mereka untuk
mengatasi kesulitannya adalah saat berdiskusi dengan teman yang lebih pandai.
Untuk menanggulangi kesulitan mahasiswa dalam memahami materi Fisika Dasar tersebut,
berbagai cara telah ditempuh oleh para dosen. Sebagian dosen menugasi asisten untuk memberi
responsi kepada mahasiswa yang mengalami kesulitan. Sebagian dosen menugasi mahasiswa yang
mengalami kesulitan untuk membaca kembali buku rujukan, mengerjakan soal-soal latihan, atau
melakukan praktikum. Sebagian dosen lainnya mendemonstrasikan gejala-gejala Fisika Dasar yang
sulit dipahami oleh mahasiswa.
Hasil wawancara terhadap dosen Fisika Dasar juga menunjukkan bahwa 10 dosen tersebut
memberi bantuan-bantuan khusus dalam rangka mengatasi kesulitan mahasiswa. Sebagian dosen
memberi contoh-contoh cara memecahkan masalah. Sebagian dosen mengajak mahasiswa yang
mengalami kesulitan untuk melakukan praktikum materi terkait. Seorang dosen memberi bantuan
untuk mengatasi kesulitan mahasiswa dengan mengajak mereka berdiskusi dengan lembar kerja
yang telah dibuat.
3. Pembahasan
Berdasarkan pengamatan pelaksanaan pembelajaran Fisika Dasar di LPTK Wilayah Jawa
Timur, tampak jelas bahwa hampir semua dosen (80%) menunjukkan penguasaan materi
pembelajaran Fisika Dasar, terutama materi seputar kompetensi dasar yang dibelajarkannya.
Hampir semua dosen (80%) sering mengkaitkan materi yang dibahas dengan realitas kehidupan.
Semua dosen (100%) mengintegrasikan prinsip-prinsip kerja ilmiah dalam pembelajaran Fisika
Dasar secara baik. Hal ini menunjukkan bahwa proses perkuliahan Fisika Dasar sudah berada pada
jalur yang tepat.
265
Perkuliahan Fisika Dasar yang telah dilaksanakan dengan tepat ini masih belum berdampak
secara positif terhadap prestasi belajar mahasiswa. Prestasi belajar mahasiswa masih belum
memadai jika yang bersangkutan dipersiapkan untuk menjadi guru fisika SMA. Di hampir semua
subtopik materi Fisika Dasar mereka mengalami kesulitan dan belum mencapai ketuntasan belajar.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesenjangan antara pelaksanaan perkuliahan dengan
pengetahuan awal mahasiswa.
Fakta bahwa mahasiswa mengalami kesulitan saat belajar materi Fisik Dasar didukung oleh
hasil wawancara dengan dosen dan mahasiswa itu sendiri. Semua mahasiswa yang diwawancarai
menyatakan bahwa mereka mengalami kesulitan saat mempelajari materi Fisika Dasar. Semua
dosen yang diwawancarai juga menyatakan hal yang sama walaupun dengan persentase jumlah
mahasiswa yang bervariasi.
Untuk mengatasi kesulitan mahasiswa dalam memahami materi Fisika Dasar, semua dosen
menyatakan bahwa mereka telah memberi bantuan dengan berbagai cara. Pernyataan tersebut juga
dibenarkan oleh mahasiswa. Sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa bantuan tersebut masih
belum mencukupi untuk mengurangi kesulitan mereka. Beberapa mahasiswa menyatakan bahwa
bantuan dari teman yang lebih pintar sangat membantu mereka dalam mengatasi kesulitannya.
Bantuan dosen untuk mengatasi kesulitan mahasiswa dilakukan dengan berbagai cara dan
pada umumnya dilakukan setelah perkuliahan berlangsung. Cara semacam ini disamping
memerlukan jam tambahan juga sulit menjangkau seluruh mahasiswa yang mengalami kesulitan.
Oleh sebab itu, bantuan tersebut harus diintegrasikan ke dalam pelaksanaan perkuliahan sehingga
akan membantu mengurangi kesulitan mahasiswa seketika dan dengan memanfaatkan mahasiswamahasiswa yang berkemampuan lebih. Ini berarti bahwa perkuliahan Fisika Dasar harus
menggunakan alat bantu (scaffold) yang difungsikan melalui pembelajaran kooperatif.
Bantuan untuk mengatasi kesulitan mahasiswa dalam mempelajari Fisika Dasar perlu
dilakukan seketika, saat perkuliahan berlangsung dan dibantu oleh mahasiswa-mahasiswa yang
berkemampuan lebih. Bantuan untuk mengatasi kesulitan mahasiswa tidak perlu ditunda setelah
perkuliahan berlangsung. Hal ini di samping memerlukan jadwal khusus, juga cenderung tidak
mampu menjangkau semua mahasiswa yang mengalami kesulitan. Oleh sebab itu, bantuan dapat
dilakukan dengan bantuan scaffold yang diterapkan dengan pola pembelajaran kooperatif. Jadi,
paket Scaffolding yang berbasis pembelajaran kooperatif merupakan bantuan seketika dalam proses
perkuliahan Fisika Dasar untuk mencapai tingkat penguasaan minimal materi Fisika Dasar, dan
perlu dikembangkan di semua subtopik.
Uraian berdasarkan temuan di atas mengarah pada realitas bahwa paket Scaffolding berbasis
pembelajaran kooperatif benar-benar dibutuhkan dalam pelaksanaan perkuliahan Fisika Dasar.
Dengan menggunakan paket dalam pola pembelajaran kooperatif, perkuliahan Fisika Dasar
diharapkan dapat mengurangi kesulitan mahasiswa memahami materi dan mencapai tingkat
penguasaan minimal materi Fisika Dasar.
KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dari penelitian ini. Pertama, pola pelaksanaan perkuliahan
Fisika Dasar di LPTK Jawa Timur sudah baik tetapi masih terdapat kesenjangan antara
pengetahuan awal mahasiswa dengan materinya sehingga belum optimal meningkatkan kompetensi
fisika calon guru SMA. Kedua, secara keseluruhan, kompetensi fisika mahasiswa di LPTK Jawa
Timur cenderung rendah, terutama prestasi belajar dan kerja ilmiah. Ketiga, perkuliahan Fisika
Dasar di LPTK Jawa Timur sangat membutuhkan paket Scaffolding Berbasis Pembelajaran
Kooperatif untuk menumbuhkan kompetensi fisika calon guru SMA.
Berdasarkan kesimpulan di atas, beberapa saran diajukan. Pertama, pelaksanaan perkuliahan
Fisika Dasar di LPTK Jawa Timur segera diperbaiki agar menghasilkan kompetensi yang
diharapkan. Perbaikan ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan strategi scaffolding-kooperatif.
Kedua, kompetensi fisika mahasiswa di LPTK Jawa Timur segera ditingkatkan dengan cara
memperbaiki pemberian bantuan dalam perkulianan Fisika Dasar. Pemberian bantuan dalam
266
perkuliahan Fisika Dasar dapat dilakukan salah satunya dengan menerapkan Paket Scaffolding
Berbasis Pembelajaran Kooperatif. Ketiga, paket Scaffolding Berbasis Pembelajaran Kooperatif
beserta panduan pelaksanaannya segera dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan perkuliahan
Fisika Dasar di LPTK Jawa Timur dalam rangka membantu mahasiswa menumbuhkan kompetensi
fisika.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih kepada Purbo Suwasono dan Eddy Supramono yang mendukung
penelitian sehingga makalah dapat ditulis disini.
DAFTAR PUSTAKA
Ausubel, D.P. 1968. Educational Psychology: A Cognitive View. New York: Holt, Rinehart &
Winston.
Bao, L dan Redish, E. 2001. Model Analysis: Assessing the Dynamics of Student Learning. Dapat
diperoleh online pada http://www.physics umd.edu/perg/papers/bao/index.html
Bean, T. W. dan Stevens, L. P. 2002. Scaffolding Reflection for Preservice and Inservice Teachers.
Reflective Practice, 3(2), 205 218.
Cole, M. dan Cole, S. 2001. The Development of Children 4th Ed. New York: Scientific American
Books.
Davis, E. A. 2003. Prompting Middle School Science Students for Productive Reflection: Generic
and Directed Prompts. The Journal of the Learning Sciences. 12(1), 91-142.
Dennen, V. P. 2004. Cognitive Apprenticeship in Educational Practice: Research on Scaffolding,
Modeling, Mentoring, and Coaching as Instructional Strategies. Dalam D. H. Jonassen (Ed.).
Handbook of Research on Educational Communications and Technology. Mahwah, New
Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Girodano, G. 1996. Literacy Programs for Adults with Developmental Disabilities. San Diego, CA:
Singular Publishing Group, Inc.
Hammer, D. 1994. Epistemological Beliefs in Introductory Physics. Cognitive and Instruction,
12(2), 151-183.
Hammond, J. (Ed.). 2002. Scaffolding Teaching and Learning in Language and Literacy
Education. Newtown, Australia: PETA.
Hogan, K. dan Pressley, M. 1997. Scaffolding Student Learning: Instructional Approaches and
Issues. Cambridge, MA: Brookline Books.
Jacobs, G. 2001. Providing the Scaffold: A Model for Early Childhood/Primary Teacher
Preparation. Early Childhood Education Journal, 29(2), 125-130.
Kalu, I. dan Ali, A. N. 2004. Classroom Interaction Patterns, Teacher and Student Characteristics
and Students Learning Outcomes in Physics. Journal of Classroom Interaction, 39(2), 24
31.
Palincsar, A. S. 1998. Keeping the Metaphor of Scaffolding Fresh A Response to C. Addison
Stones The Metaphor of Scaffolding: Its Utility for the Field of Learning Disabilities.
Journal of Learning Disabilities, 31(4), 370-373.
Rasmussen, J. 2001. The Importance of Communication in Teaching: A Systems-Theory Approach
to the Scaffolding Metaphor. Curriculum Studies, 33(5), 569-582.
267
Salkind, N. J., 2006. Exploring Research 6th Edition. Upper Saddle River, New Jersey: Pearson
Education Inc.
Saul, J.M., Abbott, D.S., Parker, G.W., & Beichner, R.J. 2000. Can One Lab Make a Difference?
Physics Education Research: A Supplement to the American Journal of Physics, 68 (7S1),
S60-61.
Stone, C. A. 1998. The Metaphor of Scaffolding: Its Utility for the Field of Learning Disabilities.
Journal of Learning Disabilities, 31(4), 344-364.
Tobias, S. 1990. Theyre not Dumb. Theyre Different: Stalking the Second Tier. Tucson, AZ:
Research Corporation.
Wang, J., Goodwin, A., dan Zhong, Q. 2007. Looking for Causes of Learning Difficulties in
Physics: a Chinese Study. Journal of Science Education, 8(2), 70 74.
White, B. dan Frederiksen, J. 1998. Inquiry, Modeling, and Metacognition: Making Science
Accessible to All Students. Cognition and Instruction, 16(1), 3 118.
White, B. dan Frederiksen, J. 2000. Metacognitive Facilitation: An Approach to Making Scientific
Inquiry Accessible to All. Dalam J. Minstrell & E. v. Zee (Eds.), Inquiring into Inquiry
Learning and Teaching in Science, 283-315. Washington D.C.: AAAS.
Williams, H. T. 1999. Semantics in Teaching Introductory Physics. American Journal of Physics,
67(8), 670-680.
268
269
PENDAHULUAN
Biodiesel dari minyak nabati dapat dibuat dengan mengkonversi trigliserida menjadi alkil
ester asam lemak dengan memanfaatkan katalis melalui reaksi transesterifikasi dengan alkohol.
Transesterifikasi minyak umumnya dilakukan secara konvensional selama 2-8 jam (Hidayat, 2011:
6). Sintesis biodiesel dari minyak jarak pagar yang dilakukan Abdel et al (2011) dengan waktu 2
jam, menggunakan katalis heterogen CaO sebanyak 1,5%. Sintesis biodiesel dari minyak lobak
juga dilakukan Liang et al (2008) membutuhkan waktu 3,5 jam pada suhu 64,50C, dan rasio
perbandingan mol minyak dan metanol yaitu 1:18 dengan katalis CaO dan MgO sebanyak 10%.
Golongan alkali tanah, seperti magnesium oksida (Cantrell et al, 2005) dan kalsium oksida
(Kouzu et al, 2008) dapat digunakan sebagai katalis heterogen dalam pembuatan biodiesel.
Kalsium Oksida umumnya dikenal sebagai kapur tohor yang dihasilkan dari pembakaran batu alam
atau gamping yang komposisinya berupa kalsium karbonat, reaksi pembentukan kalsium oksida.
Penggunaan CaO sebagai katalis basa mempunyai banyak keuntungan, karena aktivitasnya yang
tinggi, kondisi reaksi yang rendah, masa katalis yang lama, serta biaya katalis yang rendah (Azmi,
2009: 17).
Radiasi gelombang mikro telah digunakan untuk berbagai aplikasi termasuk sintesis organik
dimana reaksi kimia dapat dipercepat karena penyerapan selektif energi gelombang mikro oleh
270
suatu molekul (Varma, 2001). Pemanasan dengan gelombang mikro mempunyai kelebihan yaitu
pemanasan lebih merata karena bukan mentransfer panas dari luar tetapi membangkitkan panas dari
dalam bahan tersebut.
Pada penelitian ini digunakan minyak jarak pagar sebagai bahan baku pembuatan biodiesel
karena minyak jarak pagar tidak bersaing dengan kebutuhan pangan masyarakat. Reaksi
transesterifikasi minyak jarak pagar dan metanol dibantu katalis heterogen CaO dan MgO serta
gelombang mikro. Tujuan dari penelitian ini adalah mencari kondisi optimum sintesis biodiesel
dari minyak jarak pagar menggunakan gelombang mikro melalui reaksi transesterifikasi dengan
variasi waktu serta konsentrasi katalis CaO dan MgO. Biodiesel hasil sintesis diidentifikasi dan
dikarakterisasi seperti, uji KLT, analisis GC-MS, uji indeks bias, uji massa jenis, uji viskositas dan
uji angka asam.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratoris yang bertujuan untuk
mendapatkan kondisi optimum sintesis biodiesel yang memanfaatkan gelombang mikro. Alkohol
yang digunakan untuk reaksi transesterifikasi adalah metanol, katalis yang digunakan adalah katalis
heterogen CaO dan MgO.
Penelitian ini terdiri dari 5 tahap yang meliputi: penentuan angka asam minyak jarak pagar,
proses esterifikasi, preparasi katalis CaO dan MgO, optimasi sintesis biodiesel melalui reaksi
transesterifikasi minyak jarak pagar hasil esterifikasi menggunakan gelombang mikro dengan
variasi waktu dan konsentrasi CaO dan MgO, identifikasi dan karakterisasi biodiesel hasil sintesis
meliputi, uji KLT, analisis GC-MS, uji indeks bias, uji massa jenis, uji viskositas dan uji angka
asam.
Sintesis Biodiesel Melalui Reaksi Transesterifikasi Menggunakan Gelombang Mikro
Sebanyak 25 g minyak hasil esterifikasi dimasukkan ke dalam gelas kimia, selanjutnya
dengan hati-hati ditambahkan katalis CaO dan MgO dengan konsentrasi 7,5% dan perbandingan
mol minyak: metanol 1:18 kemudian diaduk dengan mechanical stirrer dengan kecepatan 200
rpm. Campuran dimasukkan ke dalam microwave dengan variasi waktu (5; 7,5; 10; 12,5; 15) menit,
kemudian disentrifugasi selama 20 menit pada kecepatan 3000 rpm. Ester yang berada pada lapisan
atas dipisahkan dari dengan corong pisah..
Metode Pengumpulan Data
Data penelitian ini diperoleh mulai dari tahap penentuan angka asam minyak jarak pagar,
esterifikasi minyak jarak pagar, sintesis biodiesel dari minyak jarak pagar menggunakan
gelombang mikro, identifikasi dan karakterisasi senyawa biodiesel (metil ester) hasil sintesis. Dari
hasil identifikasi senyawa dengan GC-MS menghasilkan data tentang komponen-komponen yang
terdapat dalam biodiesel (metil ester) hasil sintesis. Hasil karakterisasi diperoleh karakter biodiesel
yang selanjutnya dibandingkan dengan standar SNI biodiesel.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Esterifikasi merupakan reaksi yang mengubah asam karboksilat menjadi ester dengan
penambahan alkohol dan katalis asam. Angka asam dalam minyak jarak pagar sangat tinggi adalah
sebesar 14,39% 0,07. Minyak jarak pagar harus diesterifikasi terlebih dahulu agar reaksi
transesterifikasi dapat berlangsung dengan baik. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut.
Esterifikasi yang telah dilakukan dapat menurunkan angka asam minyak jarak pagar dari
14,39% 0,07 menjadi 7,73% 0. Proses esterifikasi berlangsung dua kali karena pada esterifikasi
SESI PARALEL KIMIA
271
pertama, angka asam masih diatas 2,5% sehingga dilakukan esterifikasi lagi untuk menurunkan
angka asam menjadi < 2,5%. Esterifikasi kedua menghasilkan angka asam 2,26 % 0. Angka
asam minyak menurun karena semakin banyak asam karboksilat yang diubah menjadi ester seiring
dengan lamanya waktu esterifikasi.
2. Sintesis Metil Ester (Biodiesel) dari Minyak Jarak Pagar Melalui Reaksi Transesterifikasi
Menggunakan Gelombang Mikro
Transesterifikasi adalah tahap konversi trigliserida menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan
alkohol dan menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Transesterifikasi merupakan reaksi yang
bersifat reversible, sehingga untuk mendorong reaksi ke arah kanan atau produk, dapat dilakukan
dengan penambahan metanol berlebih. Mekanisme reaksi transesterifikasi minyak jarak pagar
dengan metanol menggunakan katalis CaO dan MgO ditunjukkan pada reaksi berikut:
272
Rendemen (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
5
7.5
10
12.5
15
waktu (menit)
Gambar 1 Pengaruh Waktu Terhadap Rendemen Biodiesel pada Konsentrasi Katalis CaO dan
MgO 7,5% w/w
Identifikasi Komponen Senyawa Hasil Sintesis dengan GC-MS
Biodiesel hasil transesterifikasi dari minyak jarak pagar merupakan campuran metil ester
yang dapat dianalisis menggunakan GC-MS. Analisa kromatogram GC-MS dengan analisis
Library yang ada secara sederhana dapat digunakan untuk memprediksikan massa molekul dari
metil ester yang dihasilkan. Hasil kromatogram kromatografi gas dari senyawa hasil sintesis adalah
seperti pada Gambar 2.
18,502
18,759
20,908
21,058
7798897
68252263
201368020
45192916
2,40
21,20
62,40
14,00
322612096
100
273
Spektrum massa puncak kromatogram biodiesel dengan waktu retensi (t r) 18,502 menit
ditunjukkan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Spektrum Massa Puncak Kromatogram Biodiesel dengan Waktu Retensi (tr)18,759
Menit
Spektrum massa yang diperoleh selanjutnya dibandingkan dengan spektrum massa yang ada
dalam library WILEY7.LIB dan dicari puncak-puncak yang memiliki posisi yang relatif sama.
Berdasarkan pengamatan, diperoleh puncak-puncak yang posisinya relatif sama dengan yang
terdapat dalam library WILEY7.LIB nomor entry 178119, diduga bahwa senyawa tersebut adalah
metil palmitoleat.
Kemungkinan senyawa metil ester adalah metil palmitoleat, diperkuat dari pola fragmentasi
yang mungkin, terutama adanya puncak-puncak utama dengan m/z 41, 55, 97, 123, 152, dan 236.
Puncak dengan m/z 236 diduga akibat lepasnya radikal metoksi (OCH3) dan radikal hidrogen (H)
dari ion molekul sebagai berikut:
Puncak dengan m/z 152 dan m/z 97 diduga diperoleh dari puncak dengan m/z 237 melalui
pemutusan ikatan sebagai berikut:
274
Puncak dengan m/z 55 diduga diperoleh dari puncak dengan m/z 268 dengan pemutusan
ikatan karbon-karbon dan radikal hidrogen (H) sebagai berikut:
Puncak dengan m/z 41 diduga diperoleh dari puncak dengan m/z 268 dengan pemutusan
ikatan sebagai berikut:
Berdasarkan hasil analisis pola fragmentasi puncak kromatogram biodiesel dengan waktu
retensi tr 18,502 menit dengan m/z 41, 55, 97, 123, 152, dan 236, dapat disimpulkan bahwa
senyawa tersebut adalah metil palmitoleat dengan rumus molekul C17H32O2 dan rumus struktur
sebagai berikut:
275
Spektrum massa puncak kromatogram biodiesel dengan waktu retensi (t r) 18,759 menit
seperti pada Gambar 4.
Gambar 4. Spektrum Massa Puncak Kromatogram Biodiesel dengan Waktu Retensi (tr) 18,759
Menit
Berdasarkan pengamatan, diperoleh puncak-puncak yang posisinya relatif sama dengan yang
terdapat dalam library WILEY7.LIB nomor entry 180435, dan berdasarkan pola fragmentasinya
diduga bahwa senyawa tersebut adalah metil palmitat. Spektrum massa puncak kromatogram
biodiesel dengan waktu retensi (tr) 20,908 menit ditunjukkan dalam Gambar 5.
Gambar 5. Spektrum Massa Puncak Kromatogram Biodiesel dengan Waktu Retensi (tr)
20,908 Menit
Berdasarkan puncak-puncak yang diperoleh posisinya relatif sama dengan yang terdapat
dalam library WILEY7.LIB nomor entry 207862, dan diperkuat dengan analisis pola
frgamentasinya diduga bahwa senyawa tersebut adalah metil oleat.
Spektrum massa puncak kromatogram biodiesel dengan waktu retensi (tr) 21,058 menit
ditunjukkan dalam Gambar 6.
Gambar 6. Spektrum Massa Puncak Kromatogram Biodiesel dengan Waktu Retensi (tr) 21,058
Menit
Berdasarkan pengamatan, diperoleh puncak-puncak yang posisinya relatif sama dengan yang
terdapat dalam library WILEY7.LIB nomor entry 209840, dan analisis pola frgamentasi hasil
spektroskopi masanya diduga bahwa senyawa tersebut adalah metil stearat. Sehingga dapat
disimpulkan dari hasil analisis pola fragmentasi secara keseluruhan dapat diketahui bahwa empat
276
komponen penyusun utama metal ester hasil sintesis dari minyak jarak pagar adalah metil
palmitoleat (2,40 %), metil palmitat (21,20 %), metil oleat (62,40 %), dan metil stearat (14,00 %).
Karakterisasi Biodiesel Hasil Sintesis
Indeks bias didefinisikan sebagai perbandingan antara kecepatan cahaya di udara dengan
kecepatan cahaya dalam medium tertentu. Hasil analisis indeks bias biodiesel dari minyak jarak
pagar hasil penelitian ini adalah 1,46445 0. Indeks bias maksimal menurut SNI adalah 1,45. Nilai
indeks bias hasil penelitian memenuhi standar mutu biodiesel menurut SNI. Massa jenis adalah
jumlah suatu zat pada suatu unit volum. Massa jenis biodiesel bergantung pada komposisi asam
lemak dan kemurniannya. Massa jenis biodiesel menurut SNI adalah antara 0,850-0,890 g/mL.
Massa jenis biodiesel dari hasil penelitian 0,888 g/mL.
Viskositas merupakan ukuran kekentalan suatu zat. Viskositas menjadi parameter utama
dalam penentuan mutu biodesel, karena memiliki pengaruh besar terhadap efektivitas biodiesel
sebagai bahan bakar. Viskositas biodiesel hasil penelitian adalah 4,23 cSt . Standar mutu biodiesel
menurut SNI menetapkan viskositas biodiesel yaitu berkisar antara 2,30-6,00 cSt. Nilai viskositas
hasil penelitian memenuhi standar mutu biodiesel menurut SNI.
Berdasarkan hasil analisis keseluruhan karakter biodiesel hasil sintesis dari minyak jarak
pagar, dapat disimpulkan bahwa biodiesel hasil sintesis memiliki potensi sebagai bahan bakar
karena karakternya memenuhi rentang standar mutu biodiesel menurut SNI. Karakter biodiesel
hasil sintesis dari minyak jarak pagar dan biodiesel SNI tertera pada Tabel 2.
Tabel 2 Karakter Biodiesel Hasil Sintesis dari Minyak Jarak Pagar dan Biodiesel (SNI)
Parameter
Biodisel Hasil Penelitian
Biodiesel (SNI)
Indeks Bias
Massa jenis (g/mL)
Viskositas (cSt)
Angka Asam (mg KOH/g biodiesel)
1,46445
0,888
4,23
0,58
Max 1,45
0,850 0,890
2,30 6,00
Max 0,80
Biodiesel hasil sintesis dari minyak jarak pagar memiliki karakter yang tidak jauh beda
dengan karakter biodiesel dari minyak jarak pagar hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Hidayat dan Sumangat (2008). Nilai massa jenis, viskositas dan angka asam hasil penelitian
sebelumnya berturut-turut adalah 0,88 g/mL, 3,89 cSt dan 0,48 mg KOH/g
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kondisi optimum sintesis biodiesel dari minyak jarak pagar menggunakan gelombang mikro
adalah dengan katalis CaO dan MgO pada konsentrasi 7,5 % dengan waktu 10 menit, dengan
rendemen 92,39% 0,04.
2. Biodiesel dari minyak jarak pagar hasil sintesis dengan katalis CaO dan MgO menggunakan
gelombang mikro tersusun dari senyawa metil palmitoleat (2,40 %), metil palmitat (21,20 %),
metil oleat (62,40 %), dan metil stearat (14,00 %). Karakter metil ester hasil sintesis dengan
indeks bias 1,46445 0, massa jenis 0,888 g/mL 0, viskositas 4,23 cSt 0 dan angka asam
0,58 mg KOH/g biodiesel 0, yang mendekati SNI biodiesel sehingga mempunyai potensi
sebagai biodiesel.
Saran
1. Perlu dilakukan beberapa jenis katalis heterogen yang lain dan variasi konsentrasi katalis
heterogen yang lebih banyak.
2. Perlu dilakukan uji kualitas biodiesel yang lainnya (angka setana, titik nyala, titik kabut, dan
kandungan air) untuk meyakinkan bahwa biodiesel hasil sintesis dari minyak jarak pagar dapat
digunakan sebagai bahan bakar diesel.
277
DAFTAR RUJUKAN
Badan Standarisasi Nasional. 2006. Biodiesel, (Online),
(http://www.ebtke.esdm.go.id/download/doc_download/494-sni-04-7182-2006-biodieselics-75160.html), diakses 25 November 2011.
Cantrell, D.G., Gillie, L.J., Lee, A.F. & Wilson, K. 2005. Structure Reactivity Correlation in MgAl
Hydrotalcite Catalysts for Biodiesel Synthesis. Applied Catalysis A General, (Online), 287:
183-190, (http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0926860X05002140), diakses
20 November 2011.
Gerpen, J.V., Shanks, B. & Pruszko, R. 2004. Biodiesel Analytical Methods. Colorado: National
Renewable Energy Laboratory.
Hidayat, R. 2011. Optimasi Sintesis Metil Ester Melalui Reaksi Transesterifikasi Minyak Biji
Kapuk Randu (Ceiba Pentandra) dengan Metanol Berkatalis KOH Menggunakan
Gelombang Mikro dan Uji Potensinya sebagai Biodiesel. Skripsi tidak diterbitkan. Malang:
FMIPA Universitas Negeri Malang.
Hidayat, T. & Sumangat, D. 2008. Karakteristik Metil Ester Minyak Jarak Pagar Hasil Proses
Transesterifikasi Satu dan Dua Tahap. Jurnal Pascapanen, (Online), 5 (2): 18- 26,
(http://pascapanen.litbang.deptan.go.id/assets/media/publikasi/jurnal/j.Pascapanen.2008_2_
3.pdf), diakses 3 Maret 2012.
Kouzu, M., Kasuno, T., Tajika, M., Sugimoto, Y., Yamanaka, S. & Hidaka, J. 2008. Calcium
Oxide as a Solid Base Catalyst for Transesterification of Soybean Oil and its Application to
Biodiesel Production. Fuel, (Online), 87: 2798-2806, (http://www.sciencedirect.com/scien
ce/article/pii/S0016236107004589), diakses 21 November 2011.
Liang, B., Lu, H. & Yan, S. 2008. Supported CaO Catalyst Used in the Transesterification of
Rapeseed Oil for the Purpose of Biodiesel Production. Energy Fuels, (Online), 22(1): 646
651, (http://pubs.acs.org/doi/pdf/10.1021/ef070105o), diakses 9 November 2011.
Liu, X., He, H.,Wang, Y. & Zhu, S. 2007. Transesterification of Soybean Oil to Biodiesel Using
SrO as a Solid Base Catalyst. Catalyis Communications, (Online), 8: 1107-1111,
(http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1566736706003931), diakses 11
November 2011.
Valya, A. 2007. Rahasia Jarak Pagar (Biodiesel). Bandung: PT Sinar Wadja Lestari.
Varma, R.S. 2001. Solvent-Free Accelerated Organic Syntheses Using Microwaves. Pure Appl.
Chem, (Online), 73(1): 193-198,
(http://www.iupac.org/publications/pac/2001/pdf/7301x0193.pdf), diakses 17 November
2011.
Widyastuti, L. 2007. Reaksi Metanolisis Minyak Biji Jarak Pagar menjadi Metil Ester Sebagai
Bahan Bakar Pengganti Minyak Diesel dengan Menggunakan Katalis KOH. Skripsi tidak
diterbitkan. Semarang: FMIPA Universitas Negeri Semarang.
278
Abstract: The first steps in chemical education should be a qualitative way, students in high
schools or universities can learn much about substances and chemical reaction. However, for
the real understanding of chemistry, the teachers also have to include the quantitative way of
chemistry. They have to introduce the mole concept and first calculations. The introduction
doesnt seem to be easy to teach: one can find a lot of school-made misconceptions.This
paper describes the mole concept and the difficulties arising in students at the first-year
undergraduate in universities of Germany and Indonesia in 2011. During several years of
learning chemistry in high schools, they have applied the mole concept more or less. This
empirical studies want to explore the students understanding of the mole concept and their
application in chemistry. Some hundred fresh undergraduate students in Germany and
Indonesia completed the questionnaires. We used questionnaire with open-ended questions
continued by interviews. Regarding the definition of the mole, both German and Indonesian
students had a low percentage of proper knowledge: about less than twenty percent understand
the mole idea. Mostly they didnt use the number of particles in chemical reactions (Avogadro
number) and were unable to connect it to masses. Especially in Indonesia, they tried to answer
every question in algorithm strategy but they didnt understand the concept. In questions
related to application of the mole concept, more than fifty percent of the students applied
unsuitable strategies to answer the problems and gave incorrect solutions. The details of the
difficulties in gaining their knowledge will be presented. After knowing the difficulties we will
propose a way of instruction and evaluation which prevents from school-made
misconceptions.
Keywords : mole, School-made misconceptions, Challenge
PENDAHULUAN
Pembelajaran tentang konsep mol adalah salah satu bagian yang menatang untuk guru
maupun untuk siswa. Saya mengutip percakapan antara siswa dan guru (Kolb, 1978) sebagai
berikut:
Siswa: bagaimana anda mengetahui berapa banyak bahan yang digunakan dalam reaksi kimia?
Guru:
biasanya kita menggunakan jumlah yang secara kimia adalah ekivalen. Anggap kita
ingin mereaksikan 10 gram sampel aluminium dengan iodium. Berapa banyak iodine
yang kamu butuhkan?
Siswa: Kurang lebih 10 gram, bukankah begitu?
Guru:
Kamu membuat reaktan mempunyai massa yang sama, namun coba sekarang asumsikan
dalam ranah atom. Atom Iodium tiga kali lebih besar daripada satu atom aluminium, dan
beratnya hampir lima kalinya.
Siswa: Saya menebak berarti butuh lima kali massa aluminium, 50 gram, betulkah?
Guru:
Jawaban kamu benar jika masing-masing alumunium bereaksi hanya dengan satu atom
279
Siswa:
iodium, jangan lupa bahwa atom aluminium dapat berkombinasi dengan tiga atom
iodium.
Oh kalo begitu, saya menebak kita membutuhkan tiga kali 50 gram iodium, sehingga
menjadi 150 gram. Waw, terlalu banyak iodium yang dibutuhkan untuk hanya bereaksi
dengan 10 gram aluminium.
Walaupun kata mol tidak digunakan dalam dialog tersebut namun konsep mol jelas ada di
sana. Diskusi tersebut tidak akan bisa berhasil tanpa mol. Atau bisa dikatakan tidak ada konsep
yang lebih sulit bagi siswa dari konsep mol saat pertama kali belajar kimia. Ada beberapa hal yang
membuat sedikit masalah bagi siswa.
Dierks (1981) menulis mengenai konsep mol dan kesulitan siswa. Dalam hasil penelitianya,
dia menggaris bawahi salah satu penyebab kesulitan siswa adalah mol diartikan dalam beberapa
hal, misalnya massa, bilangan avogadro, jumlah partikel. Dengan ini guru perlu mempertegas
makna dari jumlah partikel dan mol sebagai satuannya. Cervellati, dkk (1982) juga menemukan
bahwa siswa menganggap mol sama dengan massa. Mereka mengabaikan jumlah partikel (jumlah
mol) yang berakibat kesulitan dalam stoikiometri.
Sejumlah penelitian menulis kesulitan siswa dalam menggunakan konsep mol dalam
perhitungan kimia. Salah satu dari penelitian tersebut adalah yang dilakukan oleh Duncan dan
Johnstone (1973). Salah satu penyebab siswa mengalami kesulitan adalah hampir sebagian besar
siswa dengan usia 14 atau 15 tahun belum mencapai tingkat perkembangan kognitif yang
dibutuhkan untuk memahami konsep mol yaitu formal operational thinking sesuai teori Piaget.
Siswa mengalami kesulitan mengaplikasikan konsep dalam perhitungan adalah jika proporsi
jumlah partikel dari reaktan bukan 1:1. Dalam reaksi penetralan siswa juga mengalami kesulitan
dalam memahami konsep mol. Saat mengencerkan larutan siswa tidak mepertimbangkan bahwa
volume berubah.
Schmidt (1990) meneliti 6000 siswa menengah dalam menerapkan konsep mol dalam
perhitungan kimia. Dari hasil studi diperoleh bahwa siswa berfikir bahwa perbandingan jumlah
molekul yang bereaksi sama dengan perbandingan massa pereaksi. Schmidt melanjutkan studi
berikutnya di tahun 1994 untuk mengetahui strategi yang siswa gunakan untuk menjawab
pertanyaan terkait perhitungan kimia. Dari studi ini, schmidt menyimpulkan bahwa siswa
menghindari perhitungan jumlah mol.
Sedangkan penelitian lainnya (Staver and Lumpe, 1995) lebih menekankan penyebab
kesulitan siswa dalam mempelajari konsep mol. Konsep mol merupakan materi yang abstrak yang
ada di level sub mikroskopis berdasarkan Johnstones Triangle. Dalam studinya, ada dua defisiensi
siswa dalam mempelajari konsep mol; (1) ketidakmampuan untuk mentransfer dari level konkrete,
misalnya 12 gram karbon ke level molekular/atom, misalnya 1 mol atom C; (2) pemahaman konsep
yang kurang dan selalu menjawab berdasarkan rumus atau algoritma.
SuChi (2011) meneliti pembelajaran konsep mol di beberapa sekolah menengah di Taiwan
dan Australia. Sebagian besar dari siswa sekolah menengah baik senior maupu junior di Taiwan
dan Australia mendefinisikan mol hanya dalam aspek jumlah, dalam hal ini adalah bilangan
avogadro. Hanya sedikit siswa yang dapat menghubungkan massa molar dan massa atom relatif.
Walaupun guru-guru kimia di kedua negara menggunakan strategi mengajar yang berbeda, namu
dari hasil penelitian ini diperoleh bahwa cara siswa memahami konsep mol tersebut adalah sama.
SuChi menyimpulkan bahwa kesamaan kesulitan pemahaman konsep tidak bergantung kepada
budaya dan kematangan intektual siswa.
Dengan mengacu kepada penelitian terdahulu, dalam studi ini akan dipaparkan kesulitan
yang dihadapi siswa saat menemukan masalah yang terkait konsep mol.
METODE
Subyek penelitian ini adalah 135 mahasiswa semester satu di program studi pendidikan
kimia di Indonesia dan 150 mahasiswa pendidikan kimia di jerman. Instrumen penelitian
280
menggunakan open-ended questions terkait materi konsep mol, yang terdiri dari pertanyaan
konseptual sampai aplikasi konsep mol dalam perhitungan kimia. Instrument yang digunakan
disusun antara peneliti 1 dan 2 dan analisis data terkait skor responden dilakukan oleh peneliti 1
dengan kriteria yang dibuat oleh peneliti 2. Studi dilanjutkan dengan melakukan wawancara namun
hanya kepada 11 mahasiswa di program studi pendidikan kimia Uni Muenster di akhir semester
untuk mengetahui pemahaman yang diperoleh. Analisis jawaban dilakukan dengan deskriptif
persentase dengan penjelasan kualitatif terkait kesulitan siswa dalam pemahaman konsep mol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Definisi mol
Pertanyaan mengenai definisi mol bertujuan bagaimana siswa mengetahui mol dan penggunaannya
dalam kimia. Mol adalah satuan untuk jumlah partikel yang jumlahnya sama dengan jumlah atom
dari atom karbon (C-12). Definisi tersebut berdasarkan IUPAC yang digunakan secara luas. Namun
dalam studi ini, siswa tidak harus menjawab persis seperti definisi di atas. Hasil secara prosentase
jawaban siswa dapat dilihat sebagai berikut:
Indonesia
22.22%
Correct
47.78%
30.00%
partly correct
incorrect
Germany
13.33%
19.26%
Correct
67.41%
partly correct
incorrect
281
atom/molekul relatif. Tiga puluh persen menunjukkan jawaban yang eror, contoh jawaban
responden mengenai pertanyaan definisi mol:
DE1. Mol = 6,02.1023 partikel
IDN1. Mol = m/Mr
IDN2, mol : jumlah molekul
IDN3, mol adalah satuan kimia yang menyatakan jumlah molekul dari suatu senyawa atau
unsur.
Hubungan jumlah mol dan massa
Sebagian besar responden (lebih dari 50%) dapat membuat hubungan antara jumlah mol dan
massa. Beberapa kesalahan yang diberikan yaitu responden tidak bisa membedakan partikel baik
itu atom, molekul atau yang lain. Kemampuan mentransfer pengetahuan dari konkrete ke abstrak
masih menjadi hambatan bagi siswa. contoh jawaban sebagai berikut:
Pertanyaan : berikan 3 contoh senyawa dengan jumlah mol dan massanya
Jawaban :
Keterangan: wasser artinya air, wasserstof adalah hidrogen, sauerstoff adalah oksigen.
Entitas atom, molekul atau partikel lainnya harus sudah mulai diperkenalkan sejak awal
dalam pembelajaran serta penggunaan buku teks yang tepat. Dalam studi 2 yaitu wawancara, pada
saat responden diberikan pertanyaan sebagai berikut. What mass of carbon dioxide gas will get
from the reaction 12 gram of carbon and excess of oxygen?
Semua responden wawancara langsung menulis persamaan reaksi C + O2 CO2. 5 dari 11
responden tidak mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Mereka menjawab
dengan menkonversikan massa menjadi mol. Empat responden menjawab benar namun tidak
menkonversikan ke mol hanya menghitung massa molekul karbon dioksida. Namun saat
pertanyaan dimodifikasi menjadi hanya 3 gram karbon yang direaksikan responden mengalami
kesulitan karena mereka mengabaikan konsep mol untuk menyelesaian permasalahan tersebut.
Massa molar
Massa molar merupakan massa dari senyawa per mol. Dalam indentifikasi kesulitan siswa
ini, diberikan masalah untuk membedakan massa molar oksigen yaitu 16 gram/mol dan 32
gram/mol. Hampir lebih dari 70 % responden di kedua negara mampu membedakan . Namun
kesulitan yang dihadapi adalah belum tepat dalam memberikan alasan dalam penjelasan. Dari
definisi mol yang diberikan IUPAC sebenarnya memberikan keuntungan dengan memudahkan
siswa untuk mentransfer dari level konkrete dalam hal ini massa ke level partikel yaitu atom O dan
molekul O2.
Hubungan mol dan jumlah partikel
Dalam menghubungan antara mol dan jumlah partikel, diberikan pertanyaan sebagai berikut.
1 mol molekul etanol (C2H5OH) mempunyai massa 46 gram, berapa banyak molekul etanol
282
dalam sampel tersebut, dan hitunglah berapa banyak atom C,H dan O?. Hanya kurang dari 30%
responden yang dapat menjawab dengan benar. kesulitan ada dalam mengkonversi jumlah mol ke
partikel. Pemahaman konsep mol yang dihubungkan dengan bilangan avogadro. Sebagian besar
dapat menjawab jumlah molekul, namun mereka tidak bisa menjawab jumlah masing-masing atom.
Ketidakmampuan ini akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep.
Penerapan konsep mol dalam perhitungan kimia
Penerapan konsep mol diberikan contoh dalam larutan dan reaksi netralisasi asam basa.
Pertanyaan terkait larutan adalah sebagai berikut. larutan asam sulfat mempunyai konsentrasi 0,1
mol/L. Berapa jumlah mol ion H+ dan ion SO42- dalam 1 liter larutanya?. Sebagian besar siswa
dapat menjawab pertanyaan dengan benar dengan menjawab dalam mol. Sebanyak kurang lebih
30% siswa menjawab jumlah ion sama dengan koefisien ion tersebut. Dalam hal ini mereka tidak
memahami peranan mol dalam menghitung jumlah partikel. Pertanyaan selanjutnya terkait reaksi
netralisasi asam basa. berapa volume dari 1 molar NaOH yang dibutuhkan untuk menetralkan
100mL 0,1 molar larutan sama sulfat?
Lebih dari 60% responden memberikan jawaban yang salah. Salah satu penyebab kesulitan
adalah langsung menggunakan rumus penetralan tanpa memahami konsep mol (jumlah ion yang
terlibat), seperti contoh jawaban berikut ini.
Dari hasil yang sama dari tahun ke tahun terkait kesulitan pemahaman konsep yang bisa
dilihat dari penelitian sebelumnya dan studi ini maka materi ini masih dikatakan cukup menantang
bagi guru. Berdasarkan kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa dalam memahami konsep mol
maka diperlukan strategi mengajar yang tepat saat pengenalan konsep mol.
KESIMPULAN
Dari hasil studi dan mengacu kepada penelitian terdahulu dapat disimpulkan beberapa
kesulitan dalam konsep mol:
1. Siswa kurang memahami konsep mol yang merupakan konsep teoritis.
2. Sebagian besar siswa mengidentifikasi mol dengan massa, volume dan juga jumlah partikel
(bilangan avogadro).
3. Kurang pemahaman terhadap makna jumlah partikel (dalam mol), sehingga mengabaikan
bahwa mol adalah satuan (counting unit).
4. Siswa sering melakukan kesalahan mengenai level konkrete dalam hal ini massa molar dan
level abstrak dalam hal ini pemahaman atom/molekul (massa atom dan massa molekul).
5. Siswa mengidentifikasi perbandingan jumlah molekul sama dengan perbandingan massa.
Dengan melihat mol adalah konsep teoritis maka pada saat awal pembelajaran, guru sudah
harus bisa mengajarkan dengan membedakan satu sama lain pengertian jumlah mol, jumlah
283
partikel, massa dan volume kemudian baru menghubungkan masing-masing konsep satu sama lain.
Berdasarkan penelitian terdahulu dan hasil studi ini bahwa pemahaman konsep mol membutuhkan
pemahaman level makro yang langsung berhubungan dengan level sub mikro. Oleh karena itu
siswa harus bisa menghubungkan keduanya dengan cara paham dan dengan konsep atom yang
digunakan untuk menjelaskan interaksi partikel.
DAFTAR RUJUKAN
Barke, H.-D., Harsch, G, Schmidt, S., 2011, Essentials of Chemical Education, Heidelberg,
Springer.
Barke, H.-D.,Hazari, A., Sileshi, Y., 2008, Misconceptions in Chemistry. Addressing Perceptions
in Chemical Education. Heidelberg (Springer).
Cervellati, R., Montuschi, A., Perugini, D., Grimellini-Tomasini, N. & Pecorini Balandi, B. (1982).
Investigation of secondary school students understanding of the mole concept in Italy.
Journal of Chemical Education, 59, 852-856.
Dierks, W. (1981). Teaching the mole. European Journal of Science Education, 3, 145-148.
Duncan, I.M. & Johnstone, A.H. (1973). The mole concept. Education in Chemistry, 10, 213-214.
Fang, S. (2011). Teaching and learning the mole concept: an investigation of science secondary
classrooms in Australia and Taiwan. Unpublished PhD thesis, Melbourne Graduate School
of Education, The University of Melbourne.
Kolb, D., 1978, The Mole, Journal of Chemical Education 55(11): 728-732.
Staver, J.R. & Lumpe, A.T., 1995. Two Investigations of students understanding of the mole
concept and its use in problem solving. Journal of Research in Science Teaching, 32, 177193
284
PENDAHULUAN
Sejak bergulirnya sertifikasi guru dan dosen, istilah pendekatan, model dan strategi
pembelajaran sudah tidak asing lagi bagi dunia pendidikan. Istilah-istilah pembelajaran seperti
expository, direct instruction, cooperative learning, discovery learning, inquiry-based learning,
learning cycle, dan problem-based learning dengan fasih meluncur dari lisan para pembelajar.
Sayangnya suasana belajar di kelas tidak sefasih lafal yang keluar dari lidah kebanyakan
pembelajar dalam melafalkan istilah-istilah pembelajaran. Oleh karena itu, setiap model
pembelajaran yang efektif yang sesuai dengan falsafah pendidikan Indonesia perlu dideskripsikan
secara sederhana sehingga dapat dilaksanakan. Tulisan ini mendeskripsikan, membandingkan dan
mempertentangkan dua model pembelajaran yang dikembangkan dari filosofi yang sama, yaitu
inquiry-based learning (IBL, pembelajaran berbasis inkuiri) dan problem-based learning (PBL,
pembelajaran berbasis masalah) dalam pembelajaran sains, khususnya sains kimia.
Pembelajaran berbasis inkuiri (IBL) dan pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah dua
model pembelajaran yang telah digunakan dengan sukses lebih dari 40 tahun dan terus
mendapatkan penerimaan dari berbagai disiplin ilmu dan tingkat pendidikan. Terdapat ribuan
publikasi tentang IBL dan PBL yang sebagiannya berupa studi review. Ini menunjukkan bahwa
IBL dan PBL sangat menarik perhatian peneliti, terutama mahasiswa dan dosen. Di Indonesia,
dorongan untuk mempelajari dan menerapkan kedua model pembelajaran ini juga dipicu oleh
penerapan kurikulum berbasis kompetensi yang mulai diterapkan di sekolah dan dirintis di
perguruan tinggi sejak tahun 2004. Konsekuensinya pendidik Indonesia harus memahami dan dapat
menerapkan kedua model pembelajaran yang menjadi jantung student center approach
(pembelajaran berpusat pada siswa) ini.
285
METODE
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Pertama, mereview publikasi tentang IBL dan PBL
serta mendeskripsikan keduanya secara singkat. Kedua, membandingkan kedua model pembelaaran
tersebut dari sisi: asal-usul, prinsip, peran pengetahuan awal, langkah pembelajaran, sumber
penjelasan, karakteristik masalah, belajar kelompok, peran guru, peran siswa, luaran, tingkat kelas
yang sesuai dan bidang aplikasi.
TEMUAN HASIL
Pembelajaran Berbasis Inkuiri (IBL)
Sebagai kegiatan belajar, IBL mengacu pada kegiatan siswa di mana mereka
mengembangkan pengetahuan dan pemahaman sebagaimana ilmuwan mempelajari alam
(Anderson, 2002).
Asal Usul IBL
Ide awalnya pembelajaran sains dibangun dalam bentuk percobaan di laboratorium. Ide-ide
ini mencakup pengamatan langsung, manipulasi dan transfer pengetahuan (Oguz-Unver dan
Arabacioglu, 2011). Namun, ide-ide ini kemudian mengalami variasi dari transfer pengetahuan
menuju proses atau metode belajar. Dengan perspektif baru, pada tahun 1960 Robert Karplus
(Karplus and Their, 1967) dari University of California-Berkeley mengusulkan dan pertama kali
menggunakan IBL sebagai model pembelajaran sains yang diberi nama learning cycle (siklus
belajar). Strategi pembelajaran ini menyarankan para guru untuk menyajikan sains sebagai inquiry
(inkuiri, penelitian) dan mempraktikumkan siswa di laboratorium sebelum mereka mendapatkan
penjelasan tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip ilmiah yang terkait dengan materi pelajaran.
Saat ini, skenario pembelajaran siklus belajar yang paling populer adalah yang dikembangkan oleh
Bybee (1989) yang dikenal dengan nama Learning Cycle 5Es (LC-5E) yang terdiri atas 5 langkah
atau 5E yaitu Engagement, Exploration, Explanation, Elaboration, dan Evaluation.
Prinsip IBL
Prinsip utama inkuiri adalah bahwa sains diperoleh dari pengamatan langsung menggunakan
pertanyaan deduktif. Oleh karena itu, IBL adalah seni bertanya (art of questioning) atau seni
memunculkan pertanyaan (art of raising questions) (Oguz-Unver dan Arabacioglu, 2011).
Prosedur Pembelajaran IBL
IBL merupakan model pembelajaran yang paling sesuai dengan fitrah manusia. Segala
macam fenomena secara naluriah memerlukan pertanyaan inkuiri. Oleh karena itu, model
pembelajaran IBL diawali dengan pertanyaan yang didasarkan atas fenomena nyata. Karakteristik
pertanyaan IBL memungkinkan untuk mengambil kesimpulan melalui diskusi dan eksplanasi
berdasarkan fakta. Pertanyaan-pertanyaan ini memiliki jawaban satu-langkah, dan memungkinkan
munculnya pertanyaan terbuka baru dan proses ini didorong oleh pertanyaan yang dikemukakan
oleh siswa (Blumenfeld et. al., 1991). Untuk alasan ini, sebagian besar pertanyaan (pertanyaan
pendorong) dibuat oleh guru untuk mengatur dan mengarahkan inkuiri. Karakteristik pertanyaanpertanyaan ini tampaknya sangat kompleks. Namun, proses IBL hanya memerlukan pengetahuan
dan keterampilan awal yang sangat sederhana karena pengetahuan dibangun pada saat siswa
melakukan pengamatan dan percobaan. Proses ini dan penggunaan pengetahuan dan keterampilan
awal siswa membebani guru dengan berbagai peran. Peran-peran ini bervariasi dari pemimpin
sampai fasilitator dan pelatih. Sebagai seorang pemimpin, mereka merangsang interaksi,
membangun inkuiri, dan panduan eksplorasi membentuk definisi operasional. Sebagai pelatih,
mereka melatih siswa untuk bekerja, sebagai fasilitator, mereka memfasilitasi pembelajaran dan
menyediakan pengetahuan. Sedangkan peran siswa adalah meramalkan, menjelaskan, menyusun
hipotesis, merancang dan mengarahkan kegitan belajar mereka sendiri. Para siswa juga harus
didorong untuk bertanya dan menggali pertanyaan, merancang kegiatan untuk menguji ide-ide
286
mereka, berbagi ide, merancang dan melakukan eksperimen serta cara mengolah data. Model
pembelajaran IBL yang terkenal adalah LC 3 Fase (Karplus, 1960) dan LC 5E (Bybee, 1989). Fasefase LC 3 Fase adalah Exploration, Concepts Attainment (Invention), dan Application. Sedangkan
fase-fase LC 5E adalah Engagement, Exploration, Explanation, Elaboration (atau Extention), dan
Evaluation.
Luaran IBL
IBL menghasilkan beberapa hasil belajar. IBL meningkatkan kecerdasan dan kreativitas
melalui olah pikiran (Lawson, 2010), meningkatkan literasi ilmiah, kosakata, pemahaman konsep,
dan sikap ilmiah (Anderson, 2002; Minner et al, 2010.), berpikir kritis (Anderson, 2002; Panasan &
Nuangchalerm, 2010), keterampilan proses sains, dan prestasi belajar (Anderson, 2002; Panasan
dan Nuangchalerm, 2010; Lawson, 2010). Inkuiri membantu siswa untuk memahami bagaimana
pengetahuan dihasilkan dari berbagai disiplin ilmu dan mendorong pengembangan, transformasi
dan representasi ide-ide (Krajcik, et. al., 1998).
Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)
Pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah strategi pembelajaran yang dilakukan dengan
memberikan masalah yang bermakna, kontekstual, dan nyata kepada pebelajar serta menyediakan
sumber dan bimbingan belajar dalam memecahkan masalah tersebut sehingga pengetahuan dan
keterampilan memecahkan masalah pebelajar dapat berkembang (Mayo, et. al., 1993). Dengan
belajar kelompok model PBL siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga beberapa
karakter yang baik seperti keterampilan komunikasi, keterampilan kerjasama, keterampilan
memecahkan masalah, keterampilan dalam berbagi informasi, rasa tanggung jawab, rasa hormat
kepada orang lain (Wood, 2003), sifat kritis, analitis dan kreatif.
Asal Usul PBL
Asal usul PBL dapat dirunut kembali dari strategi pembelajaran IBL. Terdorong oleh
kebutuhan akan variasi pembelajaran, beberapa peneliti (misalnya, Anderson et al, 1970; Van
Deventer, 1958, Washton, 1967) merancang varian IBL yang disebut pembelajaran berbasis
masalah (Lawson, 2010). Aplikasi pertama metode ini dilakukan pada mahasiswa kedokteran
Universitas McMaster guna mengatasi kesenjangan pembelajaran konvensional. Oleh karena itu,
sebagian besar ide-ide PBL berkembang dari program pengajaran klinis yang inovatif ini (Savery
dan Duffy, 2001; Savery, 2006). Keberhasilan penerapan PBL di sekolah-sekolah kedokteran ini
telah meluas secara global ke segala bentuk lembaga pendidikan sarjana, pendidikan dasar dan
pendidikan menengah.
Prinsip Utama PBL
Prinsip utama PBL adalah pemaksimalan pembelajaran dengan investigasi (penelitian),
eksplanasi, dan penyelesaian masalah yang diawali dari masalah nyata dan bermakna. Oleh karena
itu, PBL adalah art of problem solving (seni pemecahan masalah) (Oguz-Unver dan Arabacioglu,
2011).
Prosedur Pembelajaran PBL
Pengajaran PBL dirancang dari masalah nyata yang tidak terstruktur (ill-structured
problems). Berbeda dengan well-structured problems yang penyelesaiannya jelas, ill-structured
problems tidak memiliki satu jawaban yang jelas sehingga memungkinkan pebelajar melakukan
inkuiri bebas (Savery, 2006). Dari titik ini, sekilas PBL serupa dengan IBL, tetapi kalau dicermati
secara mendalam dari masalahnyapun sudah berbeda. Proses PBL terutama didasarkan pada
pemecahan ill-structured problems. Proses ini lebih dari pertanyaan seperti yang ada pada IBL.
Pada proses pemecahan masalah dalam PBL juga terdapat proses identifikasi masalah,
brainstorming pengerahuan awal, identifikasi dan transfer pengetahuan yang diperolukan untuk
287
memecahkan masalah, dan proses menghasilkan dan merumuskan solusi nyata. Satu hal penting
dalam PBL adalah bahwa pertanyaan pendorong dan eksplanasi yang digunakan untuk menguji
hipotesis disusun oleh siswa, bukan oleh guru. Oleh karena itu, siswa memerlukan keterampilan
dan pengetahuan prasyarat. Pada awal penerapan PBL, kemampuan untuk mengidentifikasi
masalah dan keterampilan dalam melakukan pengamatan perlu mendapatkan prioritas yang tinggi
(Mills dan Treagust, 2003). Oleh karena itu, penyelesaian tugas-tugas PBL memerlukan
pengetahuan dan keterampilan tingkat tinggi. Selain itu, keterampilan literasi ilmiah, eksplorasi
yang mendalam, pengujian ide dan proses ilmiah, kerja kelompok dan pengetahuan pendukung
juga penting untuk memecahkan masalah. Dari titik pandang ini, PBL memperluas peran guru
sebagai fasilitator atau peran pelatih dari pada sebagai pemimpin. Sebagian besar tugas dilakukan
oleh siswa, seperti menentukan apakah masalahnya ada atau tidak, merumuskan pernyataan yang
tepat dan menyusun rencana kerja, mengidentifikasi informasi, data, dan tujuan pembelajaran, dan
menyusun solusi nyata. Dengan deskripsi ini, PBL tampaknya cukup konvensional di bidang
kedokteran, hukum dan bidang lainnya yang memperoleh suplai kasus dan masalah yang
bervariasi, dan cocok untuk kelas tinggi karena membutuhkan pengetahuan dan keterampilan awal
sehingga bisa menjadi arena praktek pertama. Model-model pembelajaran PBL yang terkenal
adalah Ten-step Approach (Barrows, 1986), Seven Jump (Wood, 2003), dan Five Stage Process
(Mills, 2008; dalam Pouyioutas et. al. tt.).
Luaran PBL
Tidak ada penelitian yang melaporkan temuan negatif yang signifikan mengenai penerapan
PBL pada pembelajaran, baik dari aspek pengetahuan maupun aspek keterampilan. PBL adalah
menantang, memotivasi dan menyenangkan (Norman dan Schmidt, 2000). Proses PBL dapat
membangun pengetahuan yang luas dan fleksibel berbasis multidisiplin. Proses PBL
memungkinkan siswa untuk mengembangkan pemecahan masalah yang efektif, mandiri, dan
keterampilan belajar seumur hidup.
Meskipun banyak mendatangkan manfaat, penerapan PBL ternyata juga memiliki
keterbatasan. Keterbatasan tersebut terkait dengan biaya, prestasi belajar siswa, waktu yang
diperlukan untuk pembelajaran, volume pekerjaan institusi, kualitas tutor, peran pebelajar, peran
pembelajar, kelayakan masalah, penilaian yang layak terhadap unjuk kerja siswa.
PEMBAHASAN
Bagi sebagian orang yang pernah mencoba atau biasa melakukan IBL dan PBL, barangkali
tidak banyak memperoleh sesuatu yang baru dari artikel ini. Tetapi kebanyakan pembelajar akan
merasa kaget karena IBL dan PBL yang namanya biasa mereka tulis dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) atau Rencana Perkuliahan memiliki sintaks dan deskripsi yang jelas, bukan
hanya filosofi. Deskripsi temuan penelitian ini menunjukkan bahwa format dua pembejaran ini
memiliki banyak persamaan, tetapi perbedaannya jauh lebih banyak. Ringkasan persamaan dan
perbedaan kedua pembelajaran ini disajikan pada Tabel 1. Sedangkan perbandingan langkahlangkah pembelajaran antara Learning Cycle 5E (model IBL yang paling populer) dengan Five
Stage Process (model PBL yang paling mirip dengan LC 5Es) disajikan pada Tabel 2.
Sejarah
288
Prinsip
Kerangka Kerja
Pokok
Teori Pendukung
Prinsip
Sifat
Pembelajaran
Pendekatan
Pembelajaran
Format dan durasi
IBL
Roger Bybee
Inkuiri
PBL
Unsur-unsur
penting
Peran pengetahuan
dan keterampilan
awal siswa
Peran Buku
Pelajaran
Cara Memperoleh
Konsep
Peran guru
Peran siswa
Bidang terapan
Inkuiri
289
Bentuk Masalah
Sumber Masalah
Kelompok
Siswa
Sifat Anggota
kelompok
Jumlah siswa
dalam kelompok
Tanggung jawab
individu siswa
Jumlah Guru
Pembelajaran
di Luar Kelas
Peran Guru
Peran Siswa
Peran Buku
Pelajaran
Luaran
Luaran khusus
IBL
Untuk semua tingkat, khususnya
untuk pendidiran dasar
Tidak terstruktur (ill-structured),
kompleks, terbuka, masalah
nyata, kadang-kadang samar /
tidak jelas
Buku; disusun sendiri oleh guru,
baik berbasis buku atau kreasinya
sendiri; websites
Permanen
PBL
Untuk semua bidang, khususnya
untuk pendidikan tingkat tinggi
Terstruktur (well-structured) dan
dipecahkan melalui siklus
exploration, concepts attainment
(invention), dan application
Literatur primer (laporan);
mengolah kembali isu-isu
berbasis kasus
Tidak Permanen
3-4 siswa
Masing-masing pebelajar
memerankan peran yang
ditugaskan kepadanya untuk
mendukung efektifitas kelompok
Satu kelas satu guru
Guru berkeliling dari satu
kelompok ke kelompok yang lain
dan melakukan intervensi kerja
kelompok bila diperlukan
Menyiapkan aktifitas dan kuis
untuk kelompok; menyiapkan
masalah
Menyelesaikan pekerjaan
sebelumnya; menyiapkan diri
untuk menghadapi kuis atau
menyelaikan tugas bagian
selanjutnya
Menyelesaikan soal-soal terkait
dengan tugas kelompok dan soalsoal dari buku
Pada awal-awal pembelajaran,
buku pelajaran digunakan setelah
kelompok menemukan konsepkonsep penting materi yang
dipelajari guna memperkaya
pemahaman.
Pada akhir-akhir pembelajaran,
penggunaan buku pelajaran
sangat variatif.
Pemahaman konsep sains,
pemahaman hakekat metode
ilmiah, penerapan sains untuk
masalah sosial dan personal,
kreatifitas, dan kecerdasan
Tabel 2. Perbandingan Langkah-langkah Pembelajaran antara Model Learning Cycle 5Es (Bybee, 1989)
dengan Model Mills PBL Approach (Mills, 2008)
Learning Cycle 5Es (Bybee, 1989)
Mills PBL Approach (Mills, 2008; dalam
Pouyioutas et. al. tt.)
Phase 1: Engagement:
Stage 1: Definition (Sesi I: 10 mins)
1. Mengajukan
pertanyaan,
menciptakan 1. Melakukan kesepakatan antara ketua kelompok,
290
291
KESIMPULAN
IBL dan PBL memberikan perspektif baru dan kontribusi nyata dalam pembelajaran sains
yang diharapkan dapat mengatasi beberapa keterbatasan pengajarannya. Perspektif baru dan
kontribusi nyata tersebut antara lain mengembangkan pengetahuan dan keterampilan pebelajaran
melalui masalah; memulai, mengembangkan, dan mengendalikan pembelajaran dengan masalah,
pertanyaan pemicu, dan pertanyaan pengendali. IBL dan PBL memiliki banyak persamaan;
memiliki landasan filosofis yang sama, sama-sama menggunakan kerangka inkuiri, sama
berpendekatan student center approach, dan sama-sama dikembangkan dari masalah. Namun,
perbedaannya jauh lebih banyak, khususnya dari sisi peran pengetahuan dan keterampilan awal
pebelajar, cara pebelajar memperoleh konsep, bidang terapan, level pebelajar, bentuk dan sumber
masalah, tanggung jawab anggota kelompok, dan luaran pembelajaran. IBL dan PBL berasal dari
konteks sejarah yang berbeda, menekankan pada kebutuhan sosial dan pendidikan yang berbeda,
dan memiliki pertimbangan teoritis yang berbeda. Oleh karena itu, untuk dapat menerapkan kedua
pembelajaran ini secara efektif dan efisien pembelajar perlu mempertimbangkan aspek kondisi
peserta didik, tingkat kemahiran mereka dalam memperoleh pengetahuan dan keterampilan, dan
kondisi di mana mereka akan menggunakan ilmu pengetahuan di masa depan, dan sebagainya.
Pada prinsipnya, tidak ada pembelajaran yang cocok untuk semua materi pelajaran, media
pembelajaran, dan keadaan pebelajar serta sanggup menjamin keberhasilan pembelajaran.
Kesimpulan ini sejalan dengan pendapat Eberlein et. al. (2008) yang mengusulkan hibridisasi
model pembelajaran sehingga diperoleh model yang sesuai dengan materi pelajaran, media
pembelajaran dan kondisi pebelajar.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, R.D. 2002. Reforming science teaching: What research says about inquiry?, Journal of
Science Teacher Education, 13(1), 1-12.
Barrows, H.S. 1986. A taxonomy of problem-based learning methods. Medical Education 20(6),
481-486.
Blumenfeld, P.C., Soloway, E., Marx, R.W., Krajcik, J.S., Guzdial, M., & Palincsar, A. 1991.
Motivating project-based learning: Sustaining the doing, supporting the learning.
Educational Psychologist, 26(3-4), 369-398.
Bybee, R.W., 1989. The 5E learning cycle model. Inquiry Approach, 65, 1-2.
292
Eberlein, T., Kampmeier, J., Minderhout, V., Moog, R.S., Platt, T., Varma-Nelson, P., and White,
H.B. 2008. Pedagogies of engagement in science, a comparison of PBL, POGIL, and
PLTL. Biochemistry and Molecular Biology Education, 36(4), 262273
Greenwald, N. 2000. Learning from problems. The Science Teacher, 67(4): 28-32
Karplus, R. and Their, H. 1967. A New Look at Elementary School Science. Chicago: Rand
McNally.
Kirschner, P.A., Sweller, J., & Clark, R.E. 2006. Why minimal guidance during instruction does
not work: An analysis of the failure of constructivist, discovery, problem-Based,
experiential, and inquiry-based teaching. Educational Psychologist, 41(2), 75-86.
Krajcik, J., Blumenfeld, P.C., Marx, R.W., Bass, K.M., Fredricks, J., & Soloway, E. 1998. Inquiry
in project-based science classrooms: Initial attempts by middle school students. The
Journal of The Learning Sciences, 7(3-4), 313-350.
Lawson, A.E. 2010. Teaching Inquiry Science in Middle and Secondary Schools. Los Angles:
Sage, 2010.
Mayo, P., Donnelly, M. B., Nash, P. P. and Schwartz, R. W. 1993. "Student perceptions of tutor
effectiveness in problem-based surgery cleckship." Teaching and Learning in Medicine, 5:
227-233
Mills, J.E. & Treagust, D.F. 2003. Engineering education Is problem-based or project-based
learning the answer?. Journal of the Australasian Association of Engineering Education,
on-line at http://www.aaee.com.au/journal/2003/mills_treagust03.pdf.
Minner, D.D., Levy, A.J., & Century, J. 2010. Inquiry-based science instructionWhat is it and
does it matter? Results from a research synthesis years 1984 to 2002. Journal of Research
in Science Teaching, 47(4), 474496.
Norman, G. R. & Schmidt, H.G. 2000. Effectiveness of problem-based learning curricula: theory,
practice and paper darts. Medical Education, 34, 721-728.
Oguz-Unver, A. dan Arabacioglu, S. 2011. Overviews on inquiry based and problem based
learning. WAJES, Special Issue, 303310
Pouyioutas, P., Solomou, E., dan Ioannou, C. tt. Problem Based Learning in the Educational
System of Cyprus. Accessed 8.10.12 at:
http://unic.ac.cy/media/Research/Photos/papereuclides.pdf
Savery, J.R. 2006. Overview of problem-based learning: Definitions and distinctions. The
Interdisciplinary
Journal
of
Problem-Based Learning,
1(1),
on-line
at
http://docs.lib.purdue.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1002&context=ijpbl.
Savery J. R. & Duffy T. M. 2001. Problem Based Learning: An Instructional Model and its
Constructivist Framework. CRLT Technical Report No. 16-01. The Center for Research on
Learning and Technology, Indiana University, Bloomington, IN 47405.
Wood, D. F. 2003. ABC of Learning and Teaching in Medicine: Problem Based Learning, BMJ,
Volume 326.
293
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang 65145; 2) SMA
Negeri 9 Malang
Abstrak: Salah satu ciri pendekatan konstruktivisme adalah memberikan kesempatan kepada
pebelajar (siswa) untuk membangun sendiri pemahamannya dan guru hanya bersifat sebagai
fasilitator. Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu model pembelajaran yang
termasuk dalam pendekatan konstruktivisme. Dengan demikian proses pembelajaran terpusat
pada siswa (students centered) dan bukan terpusat pada guru (teacher centered). Tujuan
penelitian ini adalah meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kimia kelas XII SMA
Negeri 9 Malang melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan Problem
Posing. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XII IPA SMA Negeri 9 Malang pada semester
I tahun ajaran 2009/2010 yang terdiri dari satu kelas yaitu kelas XII-IPA1. Penelitian tindakan
kelas ini dirancang dalam dua siklus, yang masing-masing siklus terdiri dari tahap
perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Rencana tindakan dan instrumen penelitian
yang berupa: lembar observasi keterampilan kooperatif, lembar observasi unjuk kerja,
ketrampilan berdiskusi, kuesioner terbuka, kuis atau tes prestasi belajar, dan catatan
guru/jurnal, serta perangkat pembelajaran yang meliputi silabus, rencana pembelajaran, bahan
ajar, lembar observasi, lembar kegiatan kelompok, quis, dan tes hasil belajar dirancang
bersama oleh team peneliti (dosen dan guru). Pelaksana tindakan adalah guru kimia SMA 9
Malang sedangkan anggota tim lain (dosen) bertindak sebagai observer. Hasil tindakan dalam
suatu siklus yang berupa kualitas proses dan hasil belajar kemudian dievaluasi sebagai bahan
pertimbangan dalam merencanakan tindakan di siklus berikutnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan model pembelajaran kooperatfi tipe STAD dapat
meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kimia kelas XII SMA Negeri 9 Malang. Nilai
rata-rata pada siklus I = 54,4, dengan tingkat ketuntasan 69%, siklus II = 67,7,dengan tingkat
ketuntasan 87,2%. Beberapa saran yang diusulkan terkait dengan temuan-temuan dalam
penelitian adalah: 1) perlu dilakukan penelitian tindakan untuk materi yang lain atau
menerapkan model pembelajaran yang lain sehingga guru dapat menemukan model
pembelajaran yang paling cocok untuk setiap materi yang terkait, 2) perlu melatih siswa untuk
belajar mandiri dan tidak selalu tergantung pada penjelasan guru.
Kata-kata kunci: proses dan hasil belajar, model pembelajaran, pembelajaran kooperatif.
PENDAHULUAN
Ilmu kimia merupakan salah satu cabang IPA yang dianggap sulit oleh siswa SMA. Salah
satu faktor penyebabnya adalah bahwa sebagian besar materi kimia merupakan konsep yang
abstrak dan berjenjang (Kean dan Midlecamp, 1985). Penyebab lain adalah bahwa ilmu kimia
meliputi 3 komponen yaitu, makroskopis, mikroskopis, dan simbolik (Johnstone, 2000). Sifat kimia
yang makroskopis menyangkut fenomena yang dapat diamati langsung dengan indera, sifat
mikroskopis menggambarkan gejala-gejala pada tingkat molekuler, sedangkan simbolik berkaitan
dengan penggunaan lambang-lambang, rumus kimia, dan persamaan reaksi.
294
Salah satu indikator yang menunjukkan bahwa kimia merupakan pelajaran yang sulit
adalah prestasi belajar yang diperoleh siswa SMA belum memuaskan. Berdasarkan rekaman hasil
belajar pelajaran kimia Kelas XII SMA 9 Malang, menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa
masih rendah (nilai rata-rata pada semester semester gasal 2008/2009 adalah 57 dengan ketuntasan
klasikal 61%). Di samping itu menurut catatan guru bidang studi kimia dan pengamatan penulis
pada saat membimbing PPL di SMA tersebut menunjukkan bahwa kualitas proses belajar mengajar
juga masih rendah. Beberapa indikator yang menunjukkan rendahnya kualitas proses belajar
mengajar antara lain adalah: 1) masih rendahnya partisipasi siswa dalam proses belajar mengajar
yang ditandai dengan minimnya jumlah pertanyaan yang diajukan atau siswa yang mau menjawab
pertanyaan guru, 2) keterlibatan siswa dalam kegiatan diskusi masih kurang, 3) kemampuan siswa
dalam menyampaikan ide/gagasan masih minim, 4) motivasi siswa yang masih rendah, ditandai
dengan masih banyaknya siswa yang tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru.
Rendahnya kualitas proses dan hasil belajar siswa tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor.
Salah satunya adalah metode atau pendekatan yang digunakan guru dalam proses belajar mengajar.
Menurut informasi guru bidang studi kimia, selama ini penyampaian materi pelajaran oleh guru
masih didominasi dengan metode ceramah (pendekatan behaviouristm), sehingga proses
pembelajaran terpusat pada guru (teacher centered) dan siswa bersifat pasif. Sampai saat ini belum
pernah dilakukan penggunaan pendekatan konstruktivisme (learning cycle, science technology and
society/sts, cooperative learning, problem posing, dll.) pada mata pelajaran kimia kelas XII SMAN
9 Malang.
Menurut Nur (1998) model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement
Divisions) sangat cocok digunakan untuk mengajarkan konsep-konsep seperti yang terdapat dalam
matematika dan IPA. Dengan demikian model tersebut juga cocok diterapkan di dalam Kimia.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Utiya (1998) menunjukkan bahwa perangkat pembelajaran
yang berorientasi pada kooperatif tipe STAD efektif untuk mencapai ketuntasan belajar kimia
secara klasikal di SMA. Pendekatan kooperatif tipe STAD juga dapat meningkatkan ketrampilan
proses siswa dan ketuntasan belajar klasikal pada pembelajaran konsep kesetimbangan kimia di
SMU (Parlan, dkk., 2001), meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar Kimia Organik III siswa
Kimia UM (Parlan, dkk., 2003). Hasil penelitian Karuru (2005) terhadap penerapan model
pembelajaran kooperatif tipe STAD diperoleh beberapa temuan antara lain guru mengelola
pembelajaran cukup baik, dapat meningkatkan aktivitas guru dan siswa selama pembelajaran, guru
mampu melatihkan keterampilan proses dengan baik, mengubah pembelajaran yang teacher center
menjadi student center, dan dapat meningkatkan proporsi jawaban benar siswa. Penelitian oleh
Wardan (2005) diperoleh bahwa hasil belajar kelompok siswa yang diajar dengan model
pembelajaran kooperatif lebih baik dari pada hasil belajar kelompok siswa yang diajar dengan
metode ceramah.
Model pembelajaran kooperatif merupakan salah satu jenis strategi pembelajaran yang
menerapkan interaksi kelompok teman sebaya (Damon dan Phelps, 1989). Dalam strategi ini siswa
dikelompokkan secara heterogen dengan pola anggota seorang siswa dengan pemahaman tinggi,
seorang siswa dengan pamahaman rendah dan dua atau tiga siswa dengan pemahaman rata-rata,
sehingga akan terjadi interaksi dan komunikasi di antara anggota kelompok. Penelitian yang
dilakukan oleh Johnson (1989) dan Slavin (1990) menemukan bahwa pembelajaran kelompok
merupakan strategi yang efektif dalam praktek pembelajaran dan banyak dipakai oleh guru-guru
IPA di Amerika.
Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang di dalamnya siswa
bekerja bersama-sama untuk mencapai tujuan khusus atau menyelesaikan sebuah tugas. Dalam
model pembelajaran ini nampak adanya komponen-komponen utama dari pembelajaran kooperatif
merupakan bagian integral dari setiap model pembelajaran kooperatif. Pertama, pembelajaran
kooperatif mengajak siswa bekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas-tugas, memecahkan
masalah, mereview kuis, mengerjakan aktivitas laboratorium, melengkapi lembar kerja. Kedua,
pengaturan siswa dalam kelompok kecil yang heterogen manantang siswa untuk saling membantu,
295
berbagi tugas, dan mendukung belajar teman lainnya dalam kelompok. Ketiga, adanya saling
ketergantungan positif di antara anggota kelompok. Keempat, penumbuhan rasa tanggung jawab
untuk belajar dan bekerjasama. Kelima, terjadinya pemrosesan kelompok dalam belajar.
Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kimia siswa
kelas XII SMA Negeri 9 Malang melalui penggunaan model pembelajaran kooperatif (cooperatif
learning) tipe STAD.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas (classroom action research)
yang berusaha mengkaji dan merefleksikan secara mendalam beberapa aspek dalam kegiatan
belajar mengajar, yaitu interaksi guru-siswa dan interaksi antar siswa untuk dapat menjawab
permasalahan penelitian.
Penelitian ini dibagi dalam dua siklus yang disesuaikan dengan alokasi waktu dan topik yang
dipilih. Masing-masing siklus terdiri dari empat langkah (Kemmis dan Mc Taggart, 1988) berikut:
a) perencanaan, yaitu merumuskan masalah, menentukan tujuan dan metode penelitian serta
membuat rencana tindakan, b) tindakan, yang dilakukan sebagai upaya perubahan yang dilakukan,
c) observasi, dilakukan secara sistematis untuk mengamati hasil atau dampak tindakan terhadap
proses belajar mengajar, dan d) refleksi, yaitu mengkaji dan mempertimbangkan hasil atau dampak
tindakan yang dilakukan.
Secara operasional prosedur penelitian tindakan kelas yang diterapkan dalam penelitian ini
diuraikan sebagai berikut:
Siklus Pertama
Kegiatan yang dilakukan pada siklus pertama meliputi:
a. Perencanaan
Peneliti merencanakan tindakan berdasarkan tujuan penelitian. Beberapa perangkat yang
disiapkan dalam tahap ini adalah: bahan ajar, program tahunan dan program semester, rencana
pembelajaran (RP), skenario pembelajaran, tugas-tugas kelompok, quis, dan lembar observasi.
b. Pelaksanaan
1. Siswa diberi penjelasan tentang pembelajaran kooperatif tipe STAD dan komponenkomponennya.
2. Siswa dibagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan pertim-bangan kemampuan
akademik dan jenis kelamin.
3. Peneliti memberikan penjelasan tentang tujuan pembelajaran dan garis besar materi yang
akan dipelajari.
4. Siswa ditugaskan untuk bergabung ke dalam kelompoknya masing-masing.
5. Peneliti membagi tugas kepada setiap kelompok.
6. Peneliti melakukan observasi dan membimbing kegiatan kelompok.
7. Setelah kegiatan kelompok selesai, dilanjutkan dengan diskusi kelas yang dipandu oleh
guru untuk membahas hal-hal yang tidak/belum terselesaikan dalam kegiatan kelompok.
8. Peneliti memberikan quis untuk mengetahui penguasaan konsep yang dipelajari secara
individual.
c. Pengamatan
Selama tahap pelaksanaan peneliti melakukan observasi terhadap aktivitas guru selama
proses pembelajaran dengan menggunakan lembar observasi untuk guru (Lampiran 1) dan
ketrampilan kooperatif yang dilatihkan kepada siswa dengan menggunakan lembar observasi untuk
siswa (Lampiran 2).
d. Refleksi
296
297
Penyajian Materi. Penyajian materi secara klasikal merupakan tahap awal dalam
pembelajaran kooperatif. Penyajian materi dilakukan dengan metode ceramah dan tanya jawab
yang berlangsung kurang lebih 10 menit dengan urutan penyajian disadasarkan pada skenario
pembelajaran yang telah disusun. Pembetukan Kelompok. Dalam pembelajaran kooperatif tipe
STAD pembentukan kelompok dilakukan berdasarkan nilai semester sebelumnya (semester Genap
kelas XI). Penentuan anggota kelompok dimulai dengan menyusun nama-nama siswa berdasarkan
urutan (rangking) semester II kelas XI. Nama-nama siswa diurutkan dari rangking tertinggi sampai
dengan terendah. Susunan rangking tersebut selanjutnya dimasukkan dalam format pembentukan
kelompok, sehingga dari format tersebut dapat dilihat pada kelompok mana seorang siswa berada.
Setelah penyajian materi, siswa diminta bergabung dengan anggota kelompoknya masingmasing. Setelah semua siswa bergabung dalam kelompoknya masing-masing, guru menjelaskan
tata cara berdiskusi dalam pembelajaran kooperatif tipe STAD, yaitu beban tugas kelompok
merupakan tanggung jawab seluruh anggota kelompok. Anggota kelompok yang sudah memahami
materi yang dipelajari bertanggung jawab mengajari anggota kelompok lain yang belum mengerti.
Keberhasilan masing-masing anggota kelompok dalam diskusi kelompok menentukan hasil
kelompok dan juga keberhasilan siswa mengerjakan kuis sevara individual. Guru memberi tahu
bahwa kelompok yang memperoleh nilai tertinggi akan memperoleh penghargaan/ hadiah dari
guru.
Diskusi kelompok. Pada saat berlangsung diskusi kelompok, guru berkeliling ke seluruh
kelompok untuk membantu siswa yang masih mengalami kesulitan sambil mengamati dan
melakukan penilaian terhadap berlangsungnya kegiatan pembelajaran kooperatif. Hasil pengamatan
ketrampilan kooperatif siswa direkam menggunakan format observasi. Hasil pengamatan disajikan
pada Lampiran 4. Pada awal kegiatan diskusi ternyata belum semua anggota kelompok terlibat aktif
dalam diskusi, kegiatan penyelesaian tugas lebih didominasi oleh siswa yang pandai. Beberapa
siswa terlihat baru berdiskusi apabila guru mendekati mereka. Untuk mengatasi keadan tersebut
guru kembali mengingatkan peran masing-masing anggota kelompok dalam diskusi dan
menjelaskan kembali bahwa keberhasil kelompok dan individu merupakan tanggung jawab
bersama seluruh anggota kelompok.
Diskusi Kelas. Setelah diskusi kelompok dilakukan diskusi kelas. Pada diskusi kelas hasil
diskusi kelompok ditukarkan dengan hasil kelompok lain untuk dibahas bersama. Dalam diskusi
kelas terjadi tukar pendapat antar kelompok, jika ada kelompok menyampaikan hasil diskusinya
kelompok lain menanggapi. Pada kegiatan ini guru memantau dan mengarahkan agar diskusi
berlangsung lancar dan tidak terjadi salah konsep di antara para siswa.
Kuis. Setelah kegiatan diskusi selesai, kegiatan belajar diakhiri dengan memberikan kuis
kepada siswa. Soal kuis dikerjakan secara individu dan tidak boleh kerjasama antara anggota
kelompok. Nilai kuis dan nilai diskusi kelompok digunakan untuk menetukan kelompok mana yang
menunjukkan performansi yang paling baik. Nilai kuis juga digunakan untuk menghitung skor
peningkatan individu. Kelompok yang mendapatkan hasil paling tinggi mendapatkan hadiah.
Selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar dilakukan observasi terhadap ketrampilan
kooperatif siswa oleh guru. Hasil observasi menunjukkan bahwa pada awal penerapan model
pembelajaran ini ketrampilan kooperatif siswa masih kurang. Beberapa hal yang menjadi
penyebabnya diduga antara lain: 1) siswa belum terbiasa melakukan diskusi, 2) sebagain besar
siswa belum memahami fungsi dan perannya dalam kegiatan kelompok, akibatnya tugas kelompok
dikerjakan sendiri-sendiri oleh setiap anggota kelompok tanpa adanya interaksi satu dengan yang
lain. Jadi adanya saling ketergantungan di antara anggota kelompok belum terjadi. Berdasarkan
hasil observasi pada pertemuan pertama tersebut maka sebelum dilakukan pertemuan kedua siswa
diingatkan kembali tentang pembelajaran kooperatif terutama bagaimana peranan anggota
kelompok pada diskusi kelompok. Dalam kegiatan kelompok masih banyak siswa yang kurang bisa
memamahi tugas yang diberikan guru (memahami soal, membaca grafik, dll.), sehingga guru harus
memberikan penjelasan yang lebih rinci pada masing-masing kelompok. Meskipun dalam
penyelesaian tugas benyak bertanya kepada guru, tetapi sudah menunjukkan adanya kemauan para
298
siswa untuk menggali pengetahuan tentang materi yang sedang dipelajari (sifat koligatif larutan,
khususnya penurunan tekanan uap).
Pada pertemuan kedua masih banyak kelompok yang mengerjakan tugas secara individu, ada
dua kelompok yang serius berdiskusi (kelompok D dan H). Penyelesaian tugas kedua kelompok
tersebut lebih lama dari kelompok lain. Kelompok C yang menyelesaikan tugasnya secara individu
selesai paling cepat, tetapi setelah diperiksa ternyata banyak salah, sehingga hasilnya dikembalikan
oleh guru dan akhirnya mereka serius berdiskusi dalam kelompoknya. Pada diskusi kelas salah satu
kelompok ditunjuk guru untuk mempresentasikan hasilnya di depan kelas. Dalam diskusi kelas ini
terjadi perbedaan pemahaman terhadap materi yang dipelajari, dan adu argumentasi antara
kelompok D dan H yang ditengahi oleh kelompok F. Diskusi kelas berlangsung ramai, siswa sangat
antusias menanggapi jawaban kelompok yang ditunjuk guru untuk presentasi di depan kelas. Dari
hasil diskusi kelompok, diskusi kelas dan kuis menunjukkan bahwa kemampuan siswa untuk
memhami buku teks masih kurang, dan masih memerlukan penjelasan dari guru untuk
memahaminya. Nilai rata-rata kuis pada pertemuan ini adalah 42,4, yang menunjukkan bahwa
sebagian besar siswa melum mencapai standar kompetensi minimal (SKM).
Pada pertemuan ketiga, siswa melakukan percobaan (eksperimen) kenaikan titik didih.
Dalam kegiatan ini siswa nampak termotivasi dalam kerja kelompok, semua siswa aktif dalam
menyelesaikan tugas kelompok. Di sela-sela kegiatan banyak siswa bertanya apakah hasil yang
diperoleh subah benar atau belum. Guru meminta siswa untuk membandingkan hasil pengamatan
dengan hasil perhitungan secara teoritis.
Pada pertemuan keempat kegiatan belajar mengajar sama dengan pertemuan ketiga yaitu
eksperimen di laboratorium. Secara umum kegiatan pada pertemuan ketiga dan keempat
berlangsung lancar, yang juga ditandai dengan meningkatnya nilai kuis.
Beberapa hal yang diamati pada siklus I adalah: 1) siswa masih mengalami kesulitan dalam
memahami beberapa konsep penting seperti mendidih, membeku, kenaikan titik didih, penurunan
titik beku, elektrolit dan non elektrolit dengan cara menggali dari buku sumber. Hal ini ditunjukkan
dengan rendahnya nilai kuis pada untuk soal yang menanyakan tentang konsep-konsep tersebut,
sedangkan untuk soal-soal hitungan umumnya siswa bisa mengerjakannya, 2) siswa lebih mudah
memahami konsep dari kegiatan eksperimen, 3) kemampuan berkomunikasi antar siswa masih
kurang, tetapi dari tugas kelompok yang diberikan tampak siswa ingin/berusaha untuk dapat
menyelesaikan tugas kelompok dengan baik, yang ditandai dengan banyaknya pertanyaan yang
diajukan kepada guru. Hal seperti ini tidak tampak pada pembelajaran tradisional. Hasil-hasil
pengamatan pada siklus I tersebut digunakan sebagai dasar perbaikan pada siklus II.
Ada satu hal menarik yang teramati pada pembelajaran kooperatif bahwa pemberian hadiah
kepada kelompok yang terbaik sangat memotivasi kelompok-kelompok untuk bekerja secara baik,
sehingga tercipta iklim kompetisi yang sangat baik. Jadi ketika kelompok diminta
mempresentasikan hasil diskusinya mereka saling berebut untuk ke depan. Demikian juga apabila
jawaban yang dituliskan di papan tulis belum benar kelompok lain berebut untuk membetulkannya.
Pengelolaan pembelajaran kooperatif yang dilakukan oleh guru diobservasi dengan
menggunakan format seperti pada Lampiran 7. Hasil observasi menunjukkan bahwa guru telah
cukup baik mengelola pembelajaran kooperatif, meskipun nampaknya guru agak merasa cukup
berat untuk membimbing siswa dalam kegiatan kelompok karena pada awal-awal kegiatan banyak
kelompok yang belum dapat bekerja sebagaimana yang diharapkan.
Ditinjau dari kualitas proses belajar mengajar dapat dikatakan cukup baik, karena siswa tidak
lagi hanya mengandalkan penjelasan dari guru tetapi berusaha memahami materi yang dipelajari
dalam diskusi kelompok atau diskusi kelas. Ditinjau dari kualias hasil belajar (quis) menunjukkan
hasil yang masih beragam. Nilai rata-rata pada siklus I adalah 54,4 dengan tingkat ketuntasan
belajar (69%) lebih baik daripada rata-rata tahun sebelumnya, yaitu 47 dengan ketuntasan 16%.
299
Siklus II
Siklus II dilaksanakan pada tanggal 8 September sampai dengan 2 Oktober 2009 sebanyak
empat kali pertemuan. Dengan memperhatikan kelemahan-kelemahan yang dijumpai pada siklus,
maka pada siklus II (topik redoks) ditempuh langkah-langkah sebagai berikut:
1. Guru memberikan tugas membaca materi redoks yang telah dipelajari pada kelas X dan
memberikan pretes sebelum kegiatan pembelajaran redoks dilakukan. Dengan cara ini
diharapkan siswa lebih siap terhadap materi yang akan dipelajari.
2. Guru memberikan waktu yang lebih lama untuk kegiatan awal (presntasi kelas). Pada saat
presentasi kelas guru tidak hanya menjelaskan materi secara umum tetapi juga memberikan
penekanan terhadap konsep-konsep penting pada materi yang sedang dipelajari. Dengan cara
ini diharapkan diskusi kelompok dapat berlangsung lebih baik dan lancar.
3. Pada tahapan kegiatan diskusi digunakan problem posing.
Materi pokok yang yang pelajari pada siklus ini tergolong materi yang cukup sulit dan
memerlukan pemahaman yang baik terhadap materi yang dipelajari pada kelas X. Ternyata
sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal, sehingga pertemuan tersebut
digunakan untuk membahas materi kelas X tentang bilangan oksidasi.
Pada pertemuan kedua dilakukan pembelajaran kooperatif seperti biasa, tetapi presentasi
kelas yang dilakukan guru lebih lama dan lebih mendetail. Pada pertemuan ini mempelajari
penyetaraan reaksi redoks dengan cara setengah reaksi. Banyak pertanyaan yang diajukan oleh
siswa pada saat diskusi kelompok. Kesulitan siswa dalam mempelajari materi ini antara lain
membedakan suasana asam dan basa dalam menyamakan jumlah atom H dan atom O.
Pertemuan ketiga melanjutkan pertemuan kedua yaitu penyetaraan reaksi redoks dengan cara
setengah reaksi. Pada saat diskusi kelompok nampak beberapa siswa merasa putus asa karena
mengalami kesulitan dalam menyelesaikan tugas dan memahami penjelasan dari buku sumber.
Setelah guru membantu siswa dalam kegiatan kelompoknya mereka mulai antusias mengerjakan
tugas dan mulai bisa membedakan penyetaraan reaksi redoks dengan cara setengah reaksi dan cara
bilangan oksidasi. Pada pertemuan ini guru menjanjikan hadiah/penghargaan yang lebih tinggi bagi
kelompok yang menunjukkan performasi yang paling baik, dan ternyata dapat memacu semangat
untuk diskusi dan menyelesaikan tugas kelompok. Hal ini dibuktikan dengan nilai kuis yang lebih
baik (80,6) daripada pertemuan sebelumnya.
Ditinjau dari kualitas proses belajar mengajar dapat dikatakan cukup baik, karena siswa tidak
lagi hanya mengandalkan penjelasan dari guru tetapi berusaha memahami materi yang dipelajari
dalam diskusi kelompok atau diskusi kelas. Ditinjau dari kualias hasil belajar (quis) menunjukkan
peningkatan daripada siklus I, meskipun materi yang dipelajari lebih sulit. Nilai rata-rata pada
siklus II adalah 67,7 dengan tingkat ketuntasan belajar (87,2%). Rata-rata tahun sebelumnya 61
dengan ketuntasan 59%.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut.
1. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan problem posing dapat
meningkatkan kualitas proses belajar mengajar pelajaran kimia siswa kelas XII SMA Negeri 9
Malang. Beberapa indikator terjadinya peningkatan kualiatas proses belajar mengajar tersebut
adalah: a) keterlibatan siswa dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas, dan b) terjadinya
peningkatan partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, yang ditandai dengan semakin
banyaknya siswa yang mengajukan pertanyaan atau menanggapi pertanyaan siswa lain. Pada
penggunaan model ini peran guru tidak lagi sebagai satu-satunya sumber informasi tetapi lebih
banyak sebagai fasilitator untuk membimbing siswa dalam diskusi kelompok dan diskusi kelas,
sehingga kegiatan pembelajaran terpusat pada siswa (students centered).
300
2. Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe STAD dan problem posing meningkatkan
kualitas hasil belajar kimia siswa kelas II SMA Negeri 9 Malang (terjadi peningkatan rata-rata
kuis dan persentase ketuntasan, yaitu pada siklus I 54,4 dengan ketuntasan 69% dan siklus II
67,7 dengan ketuntasan 87,2%.
Saran-saran
Beberapa saran yang diajukan terkait dengan hasil pembelajaran ini adalah:
1. Mengubah paradigma dari behaviorisme ke konstruktivisme bukanlah hal yang mudah, oleh
karena itu guru harus bersabar dalam menerapkan paradigma tersebut dan memulainya sedikit
demi sedikit.
2. Perlu dilakukan penelitian tidakan sejenis untuk materi/konsep kimia yang lain atau
menerapkan model pembelajaran lain, sehingga guru dapat menemukan model pembelajaran
yang paling cocok untuk materi terkait.
3. Penggunaan model-model pembelajaran konstruktivistik umumnya memerlukan waktu yang
lebih lama khususnya bagi pemula, sehingga guru harus mempersiapkan diri lebih baik.
4. Perlu melatih siswa untuk belajar memahami uraian dalam buku teks agar tidak selalu
mengandalkan penjelasan dari guru.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, W. 2005. Konstruktivisme dan Penerapannya dalam Pembelajaran. Makalah disajikan
dalam Seminar dan Lokakarya Pembelajaran Berorientasi Konstruktivistik, Jurusan Kimia
UM.
Brown, J.S., Collins, A., dan Duguid, P. 1989. Situated Cognition and The Culture of Learning.
Educational Researcher, 18,32-42.
Brown, A.L., dan Palincsar, A.S.1986. Guided, Cooperative Learning and Individual Knowledge
(Report No. 372). Urbana, IL: Center for the Study of Reading.
Damon, W., dan Pelps, E. 1989. Critical Distictions Among Three Approaches to Peer Education.
International Journal of Educational Research, 13, 9-19.
Forman, E.A., Cordle, J., Carr, N., dan Gregorius, T. 1991. Expertise and the Construction on
Meaning in Colaborative Problem Solving. Paper presented at the 21st Annual Symposium
of the Jean Peagget Society.
Johnson, D.W., dan Johnson, R.T., 1989. Cooperative and Competitive: Theory and Research.
Edina, MN: Interaction Book Co.
Karuru, Perdy. 2005. Penerapan Pendekatan Keterampilan Proses Dalam Seting Pembelajaran
Kooperatif Tipe STAD Untuk Meningkatkan Kualitas Belajar IPA Siswa SLTP, (Online),
(http : // www. Depdiknas.go.id/jurnal/45/perdy-karuru.htm, diakses 14 Maret 2005).
Kemmis, S. & McTaggart, R. 1988. The Action Research Planner. Third Edition. Victoria: Deakin
University Press.
Lundgren, L., 1994. Cooperative Learning in the Science Classroom. New York: Mc.Millan/Mc
Graw-Hill.
Mayer, R.E. 1983. Thinking, Problem Solving, and Cognition. New York: Freeman.
Nur, M., Wikandari, Prima, R., Sugiarto. 1998. Teori Pembelajaran Kognitif. Surabaya: IKIP
Surabaya.
Nur, M., Wikandari, Prima, R.,. 1998. Pendekatan-pendekatan Konstruktivis dalam Pembelajaran.
Surabaya: IKIP Surabaya.
301
Pannen, P., Mustafa, D., Sekarwinahyu, M. 2001. Konstruktivisme dalam Pembelajaran. Pusat
Antar Universitas. Dirjen Dikti. Depdiknas.
Parlan, Hoetawarman, W., Ponijan. 2001. Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD
untuk Meningkatkan Ketrampilan Proses Siswa pada Pembelajaran Konsep Kesetimbangan
Kimia di Kelas II Cawu I SMU Negeri Jombang. Laporan Penelitian Tidakan Kelas.
Malang: Lembaga Penelitian UM.
Salomon, G., dan Globerson, T. 1989. When Teams Do Not Function the Way They Ought To.
International Journal of Educational Research. 13, 89-99.
Slavin, R.E. 1990. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. Englewood Cliffs, NJ:
Prentice Hall.
Slavin, R.E. 1994. Educational Psychology, Theory and Practice. Fourth Edition. Massachusetts:
Allyn and Bacon Publisher.
Tuckman, Bruce, W. 1978. Conducting Educational Research. Second Edition. New York:
Harcourt Brace Jovanovich.
Utiya Azizah. 1998. Pengembangan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk
Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kimia di SMU. Surabaya: Tesis tidak dipublikasikan.
Wardan. 2005. Kefektifan Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD dengan Menggunakan LKS untuk
Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Kelas II SMA Negeri Muara Batu Kabupaten Aceh
Utara. Tesis tidak diterbitkan. Malang : PPS-UM.
302
Prodi Kimia Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang; 2,3Jurusan Kimia FMIPA Universitas
Negeri Malang, Jl. Semarang No. 5 Malang 65145
E-mail: reny_eka_evi@yahoo.com
Abstract: The purposes of the research, which was combination of two learning strategies the Six
Phased Learning Cycle-Problem Posing Find out the effect of Six Phased Learning Cycle-Problem
Posing toward the achievement grade XI RSBI student during 2 nd semester in Senior High School 8
Malang on the salt hydrolysis in period 2011/2012. The eksperiment class learned using the Six
Phased Learning Cycle-Problem Posing and the control class learned using the Six Phased
Learning Cycle.The design of the research were Quasy Experimental without pretest (used to
compare the students achievement between the experiment class and the control class). The
findinges of the research showed that students achievement were significant differences between
the Six Phased Learning Cycle-Problem Posing class and the Six Phased Learning Cycle class
PENDAHULUAN
Ilmu kimia dapat didefinisikan sebagai ilmu yang memiliki karakteristik ilmu yang mencari
jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan
komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energetika zat (Sulistina, 2010: 82).
Dibandingkan dengan ilmu lain, kimia sering terkesan lebih sulit paling tidak pada tingkat dasar.
Terdapat beberapa alasan untuk kesan sulit ini. Salah satunya adalah kimia memiliki perbendaharaan
kata yang khusus. Pada awalnya mempelajari kimia sama halnya mempelajari bahasa yang baru, selain
itu beberapa konsepnya bersifat abstrak (Chang, 2004: 4). Salah satu materi kimia yang bersifat abstrak
yaitu materi Hidrolisis Garam. Berdasarkan hasil wawancara guru kimia kelas XI SMA Negeri 8
Malang, kesulitan terbesar pemahaman konsep Hidrolisis Garam terletak pada penentuan sifat larutan
garam. Siswa yang sulit untuk menentukan sifat larutan garam biasanya juga sulit untuk menentukan pH
larutan garam. Untuk itu, pemahaman tentang cara menentukan sifat larutan garam pada Hidrolisis
Garam menjadi sangat penting. Dengan demikian sangat diperlukan strategi pembelajaran yang tepat
untuk mengajarkan materi Hidrolisis Garam, agar siswa memahami materi dengan mudah. Untuk
mengatasi masalah tersebut maka diperlukan penerapan strategi pembelajaran yang berbasis
konstruktivistik. Pembelajaran konstruktivistik merupakan pembelajaran yang menekankan pada
pembentukan pengetahuan secara mandiri oleh siswa yang dibantu dengan pertanyaan yang saling
terkait dari guru, atau dengan kata lain guru sebagai fasilitator (Suparno, 1997: 73). Salah satu strategi
pembelajaran yang tepat selain meningkatkan hasil belajar, tetapi juga motivasi belajar utamanya
motivasi instrinsik adalah Daur Belajar 6F-Problem Posing. Penelitian-penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa baik Daur Belajar 6F (Iskandar, 2004: 4) dan Pembentukan Soal (Iskandar, 2004: 4)
memberikan dampak positif terhadap hasil belajar dan motivasi belajar. Untuk itu peneliti mencoba
memadukan dua model pembelajaran tersebut yaitu Daur Belajar 6F dan Pembentukan Soal dalam
membelajarkan materi Hidrolisis Garam. Pemilihan kedua model ini didasarkan pada beberapa hal,
yaitu (1) Hidrolisis Garam memiliki karakteristik materi konseptual. Materi yang bersifat konseptual
cocok diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran Daur Belajar 6F. Hal ini didukung juga dari
hasil penelitian sebelumnya pada materi yang diajarkan dengan menggunakan Daur Belajar 6F yaitu
303
Koloid, Reaksi Redoks dan Sel Elektrolisis. (2) Hidrolisis Garam juga mempunyai karakteristik materi
matematik yaitu pada perhitungan pH. Materi yang bersifat matematik cocok dibelajarkan dengan
menggunakan model pembelajaran Pembentukan Soal (Problem Posing). Hal tersebut didukung juga
dari hasil penelitian sebelumnya, materi yang bersifat matematik yang diajarkan dengan menggunakan
Problem Posing yaitu Larutan Buffer, Stoikiometri dan pH Larutan Asam Basa. (3) Berdasarkan hasil
studi literatur penelitian yang menggabungkan dua model pembelajaran tersebut ternyata belum pernah
digunakan untuk membelajarkan materi Hidrolisis Garam. Dengan perpaduan kedua model
pembelajaran tersebut diharapkan siswa dapat meningkatkan hasil belajarnya daripada jika model
belajar tersebut diterapkan sendiri-sendiri. Proses pembelajaran pada dasarnya menggunakan strategi
Daur Belajar 6F untuk memperdalam konsep dan pada fase elaborasi disisipi dengan Problem Posing
untuk memperdalam perhitungan pH.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Tabel 1. Paparan Tahap-Tahap Kegiatan Pembelajaran Daur Belajar 6F- Pembentukan Soal
Fase
Proses
Identification
Pengajar mengidentifikasi kompetensi dasar. Siswa memahami tujuan dan
berperan serta secara aktif pada pembelajaran yang dilaksanakan
Engagement
Pengajar mengajukan pertanyaan misalnya Apakah yang anda ketahui
tentang Hidrolisis Garam?. Pertanyaan ini diajukan agar pembelajar tidak
datang ke kelas dengan pengetahuan nihil. Selain itu fase ini bertujuan
untuk mendapatkan perhatian siswa, mendorong kemampuan berfikirnya,
dan membantu mereka mengakses pengetahuan awal yang dimilikinya.
Exploration
pengajar mengajukan pertanyaan berikut ini apakah jawaban yang anda
berikan itu benar atau salah?. Pengajar memberi kesempatan kepada
pembelajar untuk mengeksplorasi sumber informasi yang ada, kemudian
menentapkan sendiri apakah jawaban yang diberikannya benar atau salah.
Dalam mengeksplorasi sumber, siswa dapat bekerja secara mandiri
maupun secara berkelompok.
Explanation
Pengajar mengajukan pertanyaan sebagai berikut:
dapatkah anda memberi penjelasan mengapa anda mengatakan bahwa
jawaban anda benar atau salah?. Kegiatan belajar dalam fase ini bertujuan
untuk melengkapi, menyempurnakan, dan mengembangkan konsep yang
diperoleh siswa
Elaboration
Pengajar menerapkan strategi pembelajaran Problem Posing
a. Memberikan contoh menyelesaikan soal
b. Memberikan kesempatan untuk bertanya
c. Memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk membuat soal dari
kondisi yang diberikan dan mempertukarkan serta mendiskusikannya
d. Mempersilahkan pembelajar untuk mempresentasikan soal
bentukannya
e. Memberikan kondisi lain dan memberikan kesempatan pada
pembelajar untuk membentuk soal sebanyakbanyaknya
f. Mempersilahkan pembelajar untuk mempertukarkan soal bentukannya
dengan pembelajar lain dan mendiskusikannya
Evaluation
Dalam fase ini pengajar memberikan pertanyaan berupa quiz untuk
mengetahui apakah kompetensi dasar telah tercapai atau belum
METODE
Penelitian ini menggunakan jenis rancangan penelitian eksperimental semu (Quasy Experimental
Design) tanpa pretes. Rancangan eksperimental semu digunakan untuk mengetahui perbedaan hasil
belajar siswa yang dibelajarkan dengan menggunakan strategi pembelajaran Daur Belajar 6F (Six
Phased Learning Cycle)-Pembentukan Soal (Problem Posing) dan siswa yang dibelajarkan
menggunakan strategi pembelajaran Daur Belajar 6F (Six Phased Learning Cycle). Sampel diambil
dengan menggunakan teknik convenience sampling, dari hasil sampling didapatkan dua kelas sebagai
sampel yaitu kelas XI IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan XI IPA 5 sebagai kelas eksperimen. Siswa
kelas eksperimen dibelajarkan dengan menggunakan strategi pembelajaran Daur Belajar 6F-Problem
304
Posing dan siswa kelas kontrol dibelajarkan dengan menggunakan strategi pembelajaran Daur Belajar
6F. Tahapan pembelajaran pada dasarnya sama antara kelas eksperimen dan kontrol yaitu menggunakan
tahap-tahap Daur Belajar 6F, namun yang membedakan adalah pada fase elaborasi. Pada fase
elaborasi kelas eksperimen disisipi dengan langkah pembelajaran Pembentukan Soal, sedangkan pada
kelas kontrol tidak. Untuk lebih jelasnya dijelaskan pada Tabel 1 yaitu paparan tahapan kegiatan
pembelajaran Belajar 6F- Pembentukan Soal. Secara singkan tahap-tahap pembelajaran Daur
Belajar 6F-Pembentukan Soal disajikan pada Gambar 1.
Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini meliputi instrumen perlakuan dan
instrumen pengukuran. Instrumen perlakuan berupa RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran),
worksheet, dan handout. Sesuai dengan alokasi waktu tersebut, RPP yang digunakan sebagai instrumen
perlakuan adalah RPP 1 (Daur Belajar 6F-Probblem Posing) dan RPP 2 (Daur Belajar 6F). Instrumen
pengukuran yang digunakan mengukur hasil belajar kognitif berupa 30 soal pilihan ganda, sebelum soal
tersebut digunakan dilakukan validasi ahli dan validasi empirik. Validasi empirik dilakukan uji coba
soal d kelas XI IPA 2 SMA Negeri 8 Malang, hasil uji coba kemudian diuji validitas butir soal dengan
menggunakan SPSS 16 for windows, yang digunakan adalah Pearson Correlation maka dari 30 soal 15
soal yang valid dengan harga reliabilitas adalah 0,920 dengan kriteria sangat tinggi, sehingga dapat
dipercaya sebagai instrumen penelitian. Instrumen untuk penilaian hasil belajar psikomotorik dan
afektif yang dikembangkan berbentuk lembar observasi yang berisi rubrik-rubrik penilaian.
HASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL
Hasil uji statistik uji-t 2 tailed menyatakan bahwa kemampuan awal siswa kelas kontrol dan
eksperimen adalah sama. Langkah selanjutnya dilakukan pengujian hipotesis dengan menggunakan
uji-t 2 tailed. Sebelum dilakukan uji hipotesis dilakukan uji prasyarat analisis yaitu uji normalitas
dan homogenitas dengan menggunakan bantuan SPSS 16.0 for Windows. Hasil uji tersebut
menyatakan bahwa sampel terdistribuasi normal dan homogen, sehingga untuk uji hipotesis
digunakan uji-t 2 tailed. Hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 3.
fase 1
Identific
a-tion
fase 2
Engagement
fase 6
Evaluation
Problem
Posing
Fase 5
Elabora
-tion
Fase 3:
Eksploration
Fase 4
Explanation
Kelas
Jumlah Siswa
Eksperimen 33
% Ketuntasan
79
305
32
100
33
71
38
Tabel 3 Hasil Uji Hipotesis Hasil Belajar Kognitif Siswa
Independent Samples Test
t-test for Equality of Means
Hasil
Belajar
Equal
variances
assumed
Sig.
Equal
variances not
assumed
df
60
3.012 50.536
Sig. (2Mean
Std. Error
tailed) Difference Difference
95% Confidence
Interval of the
Difference
Lower
Upper
.003
12.42947
4.04381
4.34065
20.51828
.004
12.42947
4.12633
4.14367
20.71526
Dari hasil pengujian Independent-Samples T Test diperoleh nilai signifikasi < 0,05 (yaitu 0,003),
sehingga dapat disimpulkan bahwa Ha diterima. Jadi, terdapat perbedaan hasil belajar antara siswa yang
dibelajarkan dengan strategi Daur Belajar 6F-Pembentukan Soal dengan siswa yang dibelajarkan
dengan Daur Belajar 6F pada materi pokok Hidrolisis Garam. Data hasil belajar afektif siswa
ditunjukkan pada Tabel 4, sedangkan hasil belajar psikomotorik siswa ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 4 Perbandingan Persentase Nilai Afektif Siswa Tiap Kriteria
Kelas
Kriteria afektif
(%) sangat baik (A)
(%) Baik (B)
(%) Cukup (C)
Eksperimen
0
64
36
Kontrol
0
61
39
Tabel 5 Perbandingan Persentase Nilai Psikomotor Siswa Tiap Kriteria
Rata -rata
Kriteria psikomotorik
(%) sangat baik (A)
(%) Baik (B)
(%) Cukup (C)
Eksperimen
99
100
Kontrol
97
100
Kelas
PEMBAHASAN
Srategi pembelajaran Daur Belajar 6F-Pembentukan Soal lebih efektif dibandingkan Srategi
pembelajaran Daur Belajar 6F dalam meningkatkan hasil belajar kognitif siswa yang ditunjukkan
dengan rerata hasil belajar kognitif siswa dengan pembelajaran Daur Belajar 6F-Pembentukan Soal
(84) lebih tinggi dibandingkan dengan pembelajaran Daur Belajar 6F (71). Selain itu didukung oleh
nilai signifikansi Uji hipotesis dengan uji t sebesar 0,003.
Hasil belajar afektif siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran Daur Belajar 6FPembentukan Soal lebih tinggi daripada siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran Daur
Belajar 6F. Hal ini ditunjukkan siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran Daur Belajar 6FPembentukan Soal 64% siswa mempunyai kriteria afektif baik dan 36% siswa mempunyai kriteria
afektif cukup. Sedangkan siswa yang dibelajarkan dengan Daur Belajar 6F 61% siswa mempunyai
kriteria afektif baik dan 39% siswa mempunyai afektif cukup.
Strategi pembelajaran Daur Belajar 6F-Pembentukan Soal memberikan pengaruh positif
terhadap kemampuan psikomotorik siswa. Rata-rata psikomotorik siswa yang dibelajarkan dengan
strategi pembelajaran Daur Belajar 6F-Pembentukan Soal (yaitu 99) lebih tinggi dari pada siswa yang
dibelajarkan dengan Daur Belajar 6F (yaitu 97). Hal ini dikarenakan pada saat pengujian larutan
dengan menggunakan kertas lakmus, siswa kelas kontrol meletakkan kertas lakmus merah dan biru
secara bersama-sama dengan alasan agar praktikum lebih cepat selesai.
306
Penerapan strategi pembelajaran Daur Belajar 6F-Pembentukan Soal positif terhadap hasil
belajar dikarenakan, siswa memperoleh pelajaran dengan suasana berbeda yaitu siswa dapat membuat
soal yang bervariasi berdasarkan kondisi yang telah diberikan dan mengerjakan soal yang dibuat
temannya. Sedangkan Siswa yang dibelajarkan dengan strategi pembelajaran Daur Belajar 6F soal
hanya diperoleh dari guru saja, sehingga siswa cepat merasa bosan.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan yang telah dilakukan, diperoleh
kesimpulan yaitu ada perbedaan hasil belajar yang signifikan antara kelas yang menggunakan strategi
pembelajaran Daur Belajar 6F-Pembentukan Soal dengan kelas yang menggunakan strategi
pembelajaran Daur Belajar 6F. Rata-rata hasil belajar kognitif siswa kelas eksperimen 84 dan kelas
kontrol 71. Hasil belajar afektif siswa kelas eksperimen (64% baik dan 36% cukup) dan kelas kontrol
(61% baik dan 39% cukup). Rata-rata hasil belajar psikomotorik siswa kelas eksperimen 99 dan kelas
kontrol 97 dengan kriteria 100% sangat baik.
DAFTAR RUJUKAN
Chang, Raymond. 2004. Kimia Dasar Konsep-Konsep Inti Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
Dimyati & Mudjiono. 1994. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Proyek Pembinaan Peningkatan Mutu
Tenaga Kependidikan Dikti.
Sulistina, Oktavia. 2010. Penggunaan Metode Pembelajaran Inkuiri Terbuka dan Inkuiri Terbimbing
dalam Meningkatkan Hasil Belajar Kimia Siswa Kelas X SMA Laboratorium Malang. Jurnal
Pendididkan & Pembelajaran, 17 (1): 82-88.
Imron, Ali. 1996. Belajar dan Pembelajaran.Jakarta: Pustaka Jaya.
Iskandar, Srini M. 2004. Strategi Pembelajaran Konstruktivistik Dalam Kimia. Malang: UM Press.
Suparno, Paul.1997. Filsafat Konstrutivistime Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
307
PENDAHULUAN
Pendidikan sains di sekolah harus bisa memenuhi dua tujuan (Harlen, 1999), yaitu:
mempersiapkan calon-calon ilmuwan dan ahli teknologi di masa depan, dan mempersiapkan semua
warga negara dengan pengetahuan yang mencukupi agar dapat membuat keputusan bijak mengenai
isu-isu yang berkaitan dengan sains yang mempengaruhi kehidupannya.
Ilmu kimia merupakan ilmu yang diperoleh dan dikembangkan berdasarkan eksperimen
yang mencari jawaban atas apa, mengapa, dan bagaimana gejala-gejala alam; khususnya yang
berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, transformasi, dinamika, dan energitika zat yang
melibatkan keterampilan penalaran. Ilmu kimia merupakan produk (pengetahuan kimia yang
berupa fakta, teori, prinsip dan hukum) temuan sains dan proses (kerja ilmiah). Oleh sebab itu,
dalam penilaian dan pembelajaran kimia harus memperhatikan karakteristik ilmu kimia sebagai
produk dan proses (Depdiknas, 2003).
Kimia merupakan disiplin sains yang berkembang melalui eksperimen. Hal ini menuntut
hakikat sains sebagai proses yang perlu diperkenalkan kepada siswa. Pengenalan ini biasanya
dilakukan melalui kegiatan eksperimen kimia. Artinya pembelajaran kimia melibatkan siswa dalam
kegiatan praktikum, agar diperoleh keutuhan pengalaman dalam menghayati hakikat kimia sebagai
bagian dari sains.
Seperti kita ketahui bersama kegiatan praktikum kimia, terutama di sekolah-sekolah
menengah, pada umumnya menggunakan banyak zat kimia dan limbahnya biasanya tidak dikelola
dengan baik sebelum dibuang ke lingkungan. Makin banyak siswa yang melakukan praktikum,
makin banyak pula limbah yang dibuang ke lingkungan. Secara tidak disadari pembuangan limbah
ini dapat berdampak pencemaran lingkungan.
308
Green Chemistry merupakan bidang kajian kimia yang relatif baru. Kajian ini memfokuskan
pada penerapan sejumlah prinsip kimia yaitu dalam merancang, menggunakan atau memproduksi
bahan kimia untuk mengurangi pemakaian atau produksi zat berbahaya. Oleh karena itu tujuan
green chemistry adalah untuk mencegah atau mengurangi bahaya polusi akibat bahan kimia
beracun langsung pada sumbernya. Ada dua belas prinsip yang harus dipertimbangkan dalam
menerapkan pendekatan ini, empat diantaranya adalah prinsip pencegahan, ekonomi atom, sintesis
bahan kimia yang kurang berbahaya dan merancang bahan kimia yang lebih aman.
Dalam rangka menuju green chemistry untuk mengurangi dampak pencemaran lingkungan,
telah dicoba penggunaan peralatan semi-mikro atau micro scale laboratory equipment. Diharapkan
penggunaan peralatan tersebut dapat mengurangi banyaknya jumlah limbah laboratorium yang
dibuang ke lingkungan.
Ilmu kimia memiliki 3 aspek, yaitu aspek makroskopik, mikroskopik, dan simbolik.
Mempelajari kimia melalui praktikum merupakan wahana mempelajari aspek makroskopik kimia.
Demikian pula halnya praktikum yang menggunakan peralatan semimikro hanya dapat digunakan
untuk melakukan reaksi-reaksi sederhana yang menunjukkan sifat makroskopik ilmu kimia melalui
wet-laboratory.
Di pihak lain untuk lebih sukses menuju green chemistry, dapat pula digunakan drylaboratory yang berupa simulasi komputer dari percobaan-percobaan di laboratorium berupa
laboratorium virtual. Wahana ini sangat cocok digunakan, karena selain dapat menunjukkan 3 level
kimia dalam pembelajaran, keuntungan penggunaan laboratorium virtual adalah dapat
menunjukkan cara kerja alat-alat yang canggih dan penggunaan zat-zat yang berbahaya, juga dapat
memberikan gambaran aspek sub-mikroskopik dan simbolik kimia, yang menjelaskan
berlangsungnya suatu proses kimia. Bagian sub-mikroskopik ini merupakan aspek yang biasanya
sulit dipahami siswa, karena mereka pada umumnya berfikir secara common sense dalam belajar
kimia. Sebagai contoh dalam mempelajari topik kesetimbangan kimia biasanya siswa sangat sulit
memahami makna kesetimbangan dinamis, pergeseran kesetimbangan, dan kesetimbangan dalam
industri. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan laboratorium virtual.
Penyajian konsep kimia pada laboratorium virtual dengan bantuan komputer dapat dibuat
semenarik mungkin sehingga diharapkan siswa menjadi tertarik dan senang untuk belajar dan
kemudian menjadi jelas. Hal ini juga didukung oleh fakta bahwa 92% responden yakni
siswa-siswi MAN Denanyar Jombang menginginkan belajar materi kimia dengan menggunakan
media pembelajaran komputer.
Belajar hakikat kimia sebagai proses pada esensinya adalah mengembangkan keterampilan
berfikir sains atau keterampilan sains. Belajar kimia menggunakan laboratorium virtual ternyata
dapat pula mengembangkan keterampilan berfikir tingkat tinggi di antaranya keterampilan berfikir
kritis. Jadi penggunaan laboratorium virtual dalam pembelajaran selain mendukung mengatasi
dampak limbah eksperimen kimia untuk mendukung green chemistry, juga penggunaan komputer
dapat meningkatkan technological literacy pada era informasi ini (Heinich, 1966). Serta
mengembangkan tiga macam kemampuan lain sekaligus yaitu, penguasaan konsep kimia,
keterampilan generik sains, dan keterampilan berfikir kritis siswa (Wiratama. 2010).
Kemampuan dalam berfikir ilmiah sangat penting untuk mengembangkan ilmu dan
pengetahuan dan menjadikan siswa menjadi manusia yang cerdas, kritis dan kreatif.
Kemampuan berfikir yang logis dan sistematis ini akan berdampak pada kemampuan siswa
dalam memecahkan segala masalah yang ada sehingga akan siswa akan mencapai ketuntasan
belajar. Oleh karena itu diperlukan suatu upaya dalam pembelajaran kimia yang merangsang
peningkatan kemampuan berfikir kritis bagi siswa. Kemampuan menyelesaikan masalah yang
terkait degan materi kimia yang diajarkan diharapkan akan berkorelasi positif terhadap
ketuntasan belajar siswa.
309
METODE
Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu Pengembangan Perangkat dan Implementasi
Perangkat.
Tahap Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Dalam pengembangan perangkat pembelajaran yang berorientasi pembelajaran kimia
melalui simulasi komputer laboratorium virtual pokok bahasan kesetimbangan kimia, yang secara
keseluruhan mulai dari langkah awal sampai pada mengujicobakan perangkat yang dikembangkan
menggunakan rancangan pengembangan perangkat oleh Thiagarajan, Semmel, dan Semmel (1974)
(dalam Ibrahim, 2001): Model 4-D (four D models) yang terdiri atas 4 tahap, yaitu: (1) Define, (2)
Design, (3) Develop, dan (4) Disseminate dengan disertai penyesuaian-penyesuaian seperlunya.
Namun untuk keperluan guru/peneliti sendiri dimana hasil pengembangannya hanya diterapkan di
satu sekolah, maka tahap keempat yaitu Disseminate (Penyebaran) tidak dilakukan.
Implementasi Perangkat
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan subjek penelitian siswa kelas XI IPA
MAN Denanyar Jombang. Metode penelitian yang digunakan yaitu pretest-posttest control group
dan melibatkan siswa kelas XI IPA MAN Denanyar. Adapun objek penelitian meliputi; penguasaan
konsep, ketuntasan belajar dan kemampuan berfikir kritis siswa. Perlakuan terhadap kelas
eksperimen adalah dengan pemberian tes interpretative, yaitu tes yang tidak hanya menuntut
jawaban siswa, tetapi juga menuntut alasan dan analisis dari siswa sehingga dapat digunakan untuk
mengukur kemampuan berfikir kritis siswa yang merupakan kegiatan berfikir tingkat tinggi
(Gronlund dalam Asih, 2005). Hasil rancangan siswa dan jawaban tes interpretative dikaji untuk
mengungkap kemampuan berfikir kritis siswa.
Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengumpulkan data kelayakan meliputi lembar
telaah, angket validasi guru, sedangkan pada implementasi instrumen yang digunakan adalah
lembar respon siswa, tes hasil belajar dan lembar observasi.
Pada implementasi laboratorium virtual, hasil pretes dan postes digunakan untuk mengetahui
sejauh mana laboratorium virtual dapat membantu siswa dalam memahami konsep dan aplikasi dari
topik kesetimbangan kimia sebagaimana terdapat pada angket respon siswa. Soal pada pretes dan
postes terdiri dari soal dengan katagori konsep, kritis dan kreatif. Pelaksanan implementasi terbatas
dilakukan selama 135 menit. Dalam implementasi terbatas dikondisikan satu komputer digunakan
untuk satu siswa dan setiap 5 siswa diamati oleh seorang pengamat.
Media dikatakan efektif jika persentase respon siswa 61% dari skor kriterium, ketuntasan
skor hasil belajar mencapai SKM secara klasikal dan ada perbedaan secara statistika, serta
mendapat dukungan dari hasil observasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirancanglah media pembelajaran laboratorium
virtual kesetimbangan kimia yang berorientasi keterampilan berfikir kritis pada materi
kesetimbangan kimia sesuai dengan tahapan pada rancangan penelitian. Pada tahap pendefinisian
(define) diperoleh data mengenai kurikulum, tantangan masa depan dan GBRP sekolah. Diperoleh
juga data mengenai karakteristik siswa dan rancangan tugas yang harus diselesaikan siswa agar
mencapai tujuan pembelajaran.
Tahap berikutnya yaitu perancangan (Design). Pada tahap ini dilakukan penjabaran konsep
materi pokok dan soal-soal latihan berdasarkan standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator
dan tujuan pembelajaran. Materi dirancang dengan memperhatikan komponen-komponen dasar
yang dapat menstimulus siswa untuk berfikir kritis diantaranya adalah mengarahkan siswa agar
memiliki karakteristik seorang pemikir kritis yaitu jujur, melawan manipulasi, berfikir sistematis,
mendasarkan penilaian pada bukti, memiliki pemikiran yang luas serta memiliki ide-ide baru.
310
Penanaman nilai-nilai tersebut menjadi penting untuk diorientasikan pada media yang
dikembangkan mengingat tujuan pembelajaran kimia SMA/MA dalam kurikulum KTSP yang
dikembangkan sekolah menuntut penerapan sikap ilmiah seperti berfikir kritis yang mencakup
disiplin, sifat jujur, objektif, terbuka, dan betanggung jawab. Nilai-nilai tersebut juga menjadi
acuan dalam pencanangan pendidikan karakter yang tercantum dalam Restra (2010-2014) yaitu
menanamkan pendidikan karakter yang mengintegrasikan muatan agama, budi pekerti, peduli
lingkungan (Kemendiknas, 2010).
Perancangan konsep materi pokok kesetimbangan kimia. Perancangan konsep materi pokok
kesetimbangan kimia pada menu equilibrium chemistry dilakukan dengan mengambil beberapa
konsep pokok yang bersumber pada teksbook Raymond Chang, John T. Moor dan Richard Langley
dalam Chemistry Edu AP yang disesuaikan dengan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar
yang tercantum dalam kurikulum KTSP. Pada tahap ini dilakukan penelaahan media oleh para ahli
diantaranya ahli materi, bahasa dan media melalui angket terbuka. Pada tahap berikutnya saran dari
para ahli akan ditindaklanjuti dengan melakukan revisi seperti yang disarankan oleh para ahli.
Selanjutnya adalah tahap pengembangan (develop). Media laboratorium virtual berorientasi
keterampilan berfikir kritis pada materi kesetimbangan kimia yang dikembangkan divalidasi oleh 3
orang guru kimia. Hasilnya menunjukkan bahwa media pembelajaran yang dikembangkan sesuai
dengan indikator kelayakan media yang meliputi ketepatan format dan kualitas media (Rivai dalam
Harsiwi, 2009).
Setelah diperoleh kelayakan media oleh guru kimia, selanjutnya dilakukan implementasi
terbatas terhadap siswa MAN Denanyar Jombang. Dari hasil implementasi terbatas diketahui
bahwa terdapat peningkatan ketuntasan belajar siswa, dari hasil sebelum menggunakan media
(pretes), ketuntasannya mencapai 53% kemudian menjadi 78% pada saat postes. Secara lebih
terperinci terlihat pada tabel hasil pretes dan postes (tabel 1) tiap aspek yang menunjukkan bahwa
melalui laboratorium virtual siswa mengalami peningkatan dalam menyelesaikan soal-soal baik
pada aspek konsep dan aspek berfikir kritis.
Dari angket respon siswa diperoleh persentase keseluruhan sebesar 85,32%. Jika
diinterpretasikan terhadap Skala Likert, persentase tersebut termasuk dalam kriteria sangat kuat
yang menunjukkan bahwa media laboratorium virtual yang dikembangkan sangat efektif digunakan
sebagai media pembelajaran.
Penguasaan Konsep Kesetimbangan Kimia
Sebagai hasil analisis konsep ditemukan bahwa topik kesetimbangan kimia terdiri atas 17
konsep yang tersusun oleh 35% konsep berdasarkan prinsip, 59% merupakan konsep yang
menyatakan proses, dan 6% konsep abstrak dengan contoh konkret. Selanjutnya penguasaan
konsep siswa diukur dengan tes pilihan berganda yang terdiri atas 20 butir soal yang bermuatan
keterampilan generik sains dan berfikir kritis.
Hasil tes dianalisis menggunakan perhitungan gain yang dinormalisasi untuk menunjukkan
perolehan siswa melalui pembelajaran dengan laboratorium virtual. Penguasaan konsep siswa dapat
dilihat pada tabel 1 dan selanjutnya grafiknya dapat dilihat pada Gambar 1.
Berdasarkan uji statistik parametrik dengan program SPSS 17.0 terhadap N-gain diperoleh
bahwa baik kelompok kontrol (p 0.436) maupun eksperimen (p 0.985) berdistribusi normal.
Perbedaan N-gain kedua kelompok diperoleh t = 2.766 dengan p = 0.008. Hal ini menunjukkan
bahwa N-gain kedua kelompok berbeda signifikan. Artinya penguasaan konsep kelompok
eksperimen lebih tinggi dari kelompok kontrol.
Tabel 1. Rekapitulasi nilai pretes, postes, dan N-gain penguasaan konsep pada
kelas kontrol dan eksperimen
Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
Pretes
Postes
N-gain
Pretes
Postes
N-gain
Rata-rata (%)
20,00
50,82
38,94
52,68
77,75
49,63
Standar Deviasi
6,50
10,95
14,55
16,84
7,73
15,97
311
28
28
80
70
60
50
40
30
20
10
0
Eksperimen
Kontrol
No
1.
2.
3.
Indikator
Keterampilan Generik
Sains
Pengamatan tak
langsung,
Pengamatan langsung,
Membangun konsep
Simbol
KGS
No
Soal
KGS1
KGS2
KGS3
4.
5.
6.
7.
Pemodelan matematis
Bahasa simbolik
Hukum sebab akibat,
Inferensi logis,
KGS4
KGS5
KGS6
KGS7
Rata-rata
K. Kontrol
Rata-rata
K. Eksperimen
Pretes
(%)
Poste
s (%)
NGain
(%)
Pretes
(%)
Postes
(%)
NGain
(%)
17
15,71
54,29
52,00
35,71
91,43
93,00
12
1,9
14
dan 18
7, 19
6, 8
5, 16
2, 15,
27,86
34,29
4,00
25,71
30,71
7,00
48,04
69,64
28,00
25,18
51,96
34,00
11,79
22,86
24,29
13,10
31,79
67,86
75,00
48,57
21,00
61,00
63,00
39,00
42,50
46,07
73,57
58,57
87,50
81,43
91,79
72,14
79,00
61,00
69,00
0,13
312
KGS8
3, 11
19,64
72,86
65,00
73,57
93,21
93,00
KGS9
10, 13
2,86
7,41
4,00
23,57
48,21
27,00
KGS10
30,00
61,43
47,00
65,71
62,86
53,00
0.93
0.93
0.9
0.79
0.8
0.69
0.63
0.7
0.6
0.65
0.53
0.47
0.52
0.5
0.3
0.13
0.07
0.04
0.1
Kontrol
0.27
0.21
0.2
Eksperimen
0.39
0.34
0.28
0.4
0.04
0
KGS1
KGS2
KGS3
KGS4
KGS5
KGS7
KGS8
KGS9
KGS10
Gambar 2. Pencapaian N-gain kemampuan generik sains untuk setiap indikator antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol
Keterangan : KGS1= Pengamatan tak langsung, KGS2= Pengamatan langsung, KGS3= membangun
konsep, KGS4= pemodelan matematis, KGS5= bahasa simbolik, KGS6= hukum sebab akibat, KGS7=
inferensi logis, KGS8= kerangka logis taat azaz, KGS9= kesadaran tentang skala besaran, KGS10=
abstraksi
No
1.
2.
Indikator Keterampilan
Berfikir Kritis
Memfokuskan pada
sebuah pertanyaan,
Menganalisis argumen,
No
Soal
Rata-rata
K. Kontrol
Pretes
Postes N-Gain
(%)
(%)
(%)
Rata-rata
K. Eksperimen
Pretes
Postes
N-Gain
(%)
(%)
(%)
8,14
35,71
73,93
58,00
58,57
66,43
10,00
29,29
56,43
34,00
45,71
84,29
79,00
313
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Mempertimbangkan
kredibilitas sebuah
sumber; kriteria (yang
sering bukan kondisi yang
diperlukan),
Mengobservasi dan
mempertimbangkan hasil
observasi; kriteria (sering
kondisi tidak diperlukan)
Membuat deduksi dan
mempertimbangkan hasil
deduksi
Membuat induksi dan
mempertimbangkan
induksi
Membuat dan
mempertimbangkan nilai
keputusan
Mendefinisikan istilah dan
dan mempertimbangkan
definisi
Mengidentifikasi asumsi
Memutuskan sebuah
tindakan
13
6,43
45,71
40,00
41,07
45,71
52,00
15,17
16,79
39,64
23,00
37,14
65,00
35,00
2,16
20
15,71
49,05
38,00
37,14
69,00
34,00
4,5,9
26,67
56,19
35,00
53,33
73,10
32,00
3,11
19,64
72,86
65,00
60,48
93,21
94,00
12,18
23,21
38,21
11,00
73,57
49,64
21,00
6
7, 10,
19
21,79
46,43
27,00
35,00
35,00
30,00
9,76
26,19
17,00
44,05
90,48
84,00
1
0.8
0.6
kontrol
0.4
eksperimen
0.2
0
1
10
Gambar 3. Pencapaian N-gain keterampilan berfikir kritis untuk setiap indikator pada kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol
Keterangan :
1 = memfokuskan pada pertanyaan, 2 = menganalisis argumen, 3 = mempertimbangkannya kredibiltas
sumber; kriteria (yang sering bukan kondisi yang diperlukan), 4 = mengobservasi dan mempertimbangkan
hasil observasi kriteria (kondisi tidak diperlukan), 5 = membuat deduksi dan mempertimbangkan induksi, 7 =
membuat dan mempertimbangkan keputusan, 8 = mendefinisikan istilah dan mempertimbangkan definisi, 9 =
mengidentifikasi asumsi, 10 = memutuskan tindakan.
Dalam proses berfikir kritis dikenal 5 tahap berfikir, yaitu memberikan penjelasan sederhana
(elementary clarification) membangun keterampilan dasar (basic support), membuat kesimpulan
(inference), memberikan penjelasan lanjut (advanced clarification), dan mengatur strategi dan
taktik (strategy and tactic). Selanjutnya pada setiap tahap berfikir kritis dikemukakan sejumlah
indikator berfikir. Dari ke lima tahap berfikir kritis ditemukan 12 indikator berfikir yang dapat
dikembangkan (Ennis, 1985).
314
Laboratorium virtual telah berhasil mengembangkan keterampilan berfikir kritis siswa. Skor
keterampilan berfikir kritis pebelaiar pada setiap indikator keterampilan berfikir kritis dapat dilihat
pada tabel 3. Selanjutnya hasil tersebut dipaparkan dalam bentuk grafik yang dapat dilihat pada
Gambar 3.
Pencapaian berfikir kritis berkisar dari kategori tinggi dengan N-gain 0.94 pada indikator
membuat dan mempertimbangkan keputusan, menuju kategori rendah dengan N-gain 0.10 pada
indikator memfokuskan pada pertanyaan. Hal ini ternyata dapat dicapai lebih baik oleh kelompok
kontrol, yang diakomodasikan oleh kegiatan diskusi yang dilakukan dalam kelas.
Dalam pembelajaran virtual kegiatan diskusi ini tidak dirancang sebelumnya, jadi hal ini
merupakan kelemahan dari software laboratorium virtual yang dirancang. Disamping itu
pembelajaran dilakukan secara a-synchronous melalui CD pembelajaran, yang salah satu
kelernahannya adalah kurang fleksibel adaptasinya dengan situasi pembelajaran (Liliasari, et al,
2010). Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan pada arsitektur pembelajarannya.
KESIMPULAN
Berdasarkan data yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:
1. Laboratorium virtual yang dikembangkan sangat efektif digunakan sebagai media
pembelajaran berbasis komputer.
2. Laboratorium virtual dapat menjamin ketercapaian green chemistry, karena tidak menghasilkan
limbah yang dapat mencemari lingkungan.
3. Laboratorium virtual dapat mengakomodasi 3 level pembelajaran kimia yang abstrak, yaitu
aspek makroskopik, mikroskopik dan simbolik
4. Laboratorium virtual dapat meningkatkan penguasaan konsep, keterampilan generik sains, dan
berfikir kritis siswa
Kelemahan laboratorium virtual yaitu tidak mengembangkan aspek makroskopik kimia dan
domain psikomotor siswa, serta kurang fleksibel untuk diadaptasikan situasi selama pembelajaran
berlangsung, akibat tidak adanya fasilitas forum diskusi.
Dengan demikian disarankan agar implementasi laboratorium virtual dapat dilakukan secara
synchronous melalui LMS. Aspek makroskopik dari eksperimen kimia juga dapat dimunculkan
dengan menyisipkan video eksperimen dalam laboratorium virtual.
DAFTAR RUJUKAN
Asih, P. 2005. Pembelajaran Kimia Berpendekatan SETS untuk Meningkatkan Kemampuan
Berfikir Kritis dan Kreatif Siswa Kelas X SMA Muhammadiyah 1 Semarang tahun
Pelajaran 2004/2005. Skripsi tidak diterbitkan. FMIPA Universitas Negeri Semarang
Brotosiswoyo, B. S. 2000. Kiat Pembelajaran MIPA dan Kiat Pembelajaran Fisika di Perguruan
Tinggi, Jakarta: Depdiknas
Costa, A. L. (ed). 1985. Developing Minds: A Resource Book for Teaching Thinking, Alexandria:
ASCD
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 SMA, Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian
Mata Pelajaran Kimia. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Harlen, W. 1999. Effective Teaching of Science. Skotlandia: The Scottish Council for Research in
Education.
Heinich, R. et al. 1996. Instructional Media and Technology for Learning, New Jersey: Prentice
Hall Inc.
Hidayati, R. E. 2009. Penerapan Pembelajaran Bermakna pada Materi Pokok Kelarutan dan Hasil
Kali Kelarutan di Kelas XI IPA 2 MAN Denanyar Jombang. Laporan Penelitian. MAN
Denanyar Jombang.
315
316
PENDAHULUAN
Membangkitkan motivasi belajar siswa untuk ikut berperan aktif dalam proses pembelajaran
dengan baik bukanlah hal yang mudah dilakukan oleh guru. Banyak model dan pendekatan yang
telah diterapkan oleh guru untuk memotivasi siswa agar aktif dalam proses pembelajaran, namun
belum memberikan hasil yang maksimal. Salah satu model pembelajaran yang banyak digunakan
oleh guru SMA sekarang ini adalah pembelajaran kooperatif dengan berbagai macam tipe dengan
harapan bahwa pembelajaran kooperatif dapat mengoptimalkan interaksi antar siswa.Untuk
meningkatkan interaksi antar siswa diperlukan keterampilan komunikasi dan rasa percaya diri.
Oleh karena itu dilakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
komunikasi siswa dan mendapatkan tipe pembelajaran kooperatif yang sesuai untuk pembelajaran
kimia di SMA.
Keterampilan komunikasi dan rasa percaya diri siswa dalam pembelajaran sangat diperlukan
untuk meningkatkan aktifitas belajar siswa di dalam kelas. Mengingat pentingnya interaksi tersebut
maka penerapan model pembelajaran kooperatif dalam proses pembelajaran menjadi sangat
penting. Menurut pandangan teori motivasi, struktur dan tujuan kooperatif adalah menciptakan
suatu situasi sedemikian rupa untuk mengoptimalkan interaksi antara siswa di dalam kelompok
tersebut, sehingga keberhasilan semua anggota kelompok secara individual diakibatkan oleh
keberhasilan kelompok itu sendiri. Sejalan dengan pendapat Slavin, bahwa untuk menciptakan
tujuan dari suatu kelompok, maka salah seorang anggota harus membantu anggota lainnya dalam
kelompoknya dengan melakukan apa saja yang dapat membantu keberhasilan kelompok itu.
Disinilah pentingnya seorang siswa harus memiliki keterampilan berkomunikasi.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu teknik kelas praktis yang dapat digunakan untuk
keseharian pembelajaran oleh guru dengan memberikan pengalaman belajar mulai dari
keterampilan dasar yang sederhana sampai pemecahan masalah yang kompleks. Dalam model
pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam kelompok kecil saling membantu dan bekerjasama
317
satu sama lain. Kelompok yang dibentuk hendaknya heterogen yang berangotakan siswa dengan
hasil belajat tinggi, sedang, dan rendah. Model pembelajaran ini menciptakan suatu revolusi
pembelajaran di dalam kelas. Kelas akan menjadi aktif dan tidak ada lagi kelas yang sunyi selama
pembelajaran berlangsung. (Slavin, 1994).
Menurut Holubec (Hartono 2011) pengajaran kooperatif memerlukan pendekatan pengajaran
melalui penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerjasama dalam memaksimalkan kondisi
belajar dalam mencapai tujuan belajar. Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang
secara sadar dan sengaja menciptakan inetraksi yang saling mencerdaskan sehingga sumber belajar
bagi siswa bukan hanya guru dan buku ajar saja tetapi juga sesama siswa. Hartono (2011)
mengatakan secara ringkas, pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang secara sadar dan
sistematis mengembangkan interaksi yang silih asah (saling mencerdaskan), silih asih (saling
menyayangi), dan silih asuh (saling tenggang rasa) antara sesama siswa sebagai latihan hidup dari
dalam masyarakat nyata. Salah satu unsur yang dianggap sangat penting dalam pembelajaran
kooperatif adalah keterampilan berkomunikasi dan menjalin hubungan antar pribadi. Keterampilan
berkomunikasi dan keterampilan sosial seperti tenggang rasa, sikap sopan terhadap teman, berani
mengungkapkan dan mempertahankan pikiran logis, mengkritik ide dan bukan mengkritik teman ,
tidak mendominasi orang lain, mandiri, dan berbagai sifat lain yang bermanfaat dalam menjalin
hubungan antar pribadi tidak hanya diasumsikan tetapi secara sengaja diajarkan.
Pembelajaran kooperatif tipe TAI dipilih karena dianggap tipe TAI dapat mengoptimalkan
aktifitas belajar siswa karena mampu meningkatkan keterampilan komunikasi siswa. Slavin
membuat model ini dengan beberapa alasan. Pertama, model ini mengkombinasikan keunggulan
kooperatif dan program pengajaran individual. Kedua, model ini memberikan tekanan pada efek
sosial dari belajar kooperatif. Ketiga, TAI disusun untuk memecahkan masalah dalam program
pengajaran, misalnya dalam hal kesulitan belajar siswa secara individual.
Pembelajaran kooperatif tipe TAI dapat merevolusi proses pembelajaran siswa. Pada
pembelajaran sebelumnya kebanyakan siswa pasif. Mereka malas bertanya dan merespon
pertanyaan dari guru dan siswa lainnya secara sukarela. Hal ini dapat terlihat dalam aktivitas siswa
dalam proses pembelajaran sebelum diterapkan pembelajaran kooperatif tipe TAI. Jumlah siswa
yang merespon pertanyaan guru tidak lebih dari lima orang dan itupun hanya siswa tertentu saja.
Pembelajaran disampaikan dengan metode ceramah dan tanya jawab karena guru beranggapan
bahwa pada materi kimia perlu ada penanaman konsep. Berdasarkan pengamatan guru kimia dari
beberapa sekolah, siswa cenderung belajar berkelompok di dalam kelas maupun di luar kelas. Pola
berkelompok antar siswa umumnya adalah homogen. Kehomogenitasan kelompok berdasarkan
kesamaan level hasil belajar tinggi, hobi, hubungan keagamaan, dan kedaerahan. Sehingga
dipandang kelompok yang ada kurang kondusif. Kenyataan tersebutlah yang menginspirasi penulis
untuk melakukan kajian pembelajaran dengan membandingkan pembelajarankooperatif tipe TAI
dengan pembelajaran secara konvensional melalui penelitian eksperimen sederhana.
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan di dua sekolah yaitu SMAN 2 Palu dan SMAN 7 Palu dengan
pertimbangan bahwa SMAN 2 Palu berlokasi di pusat kota Palu dan SMAN 7 Palu berlokasi
dipinggiran kota Palu.
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen sederhana yang terdiri dari satu kelas
eksperimen dan satu kelas kontrol dari masing masing sekolah. Untuk SMAN 2 Palu penelitian
dilaksanakan di kelas XI IPA pada pokok bahasan Koloid dan untuk SMAN 7 Palu penelitian
dilaksanakan di kelas X pada pokok bahasan Reaksi Oksidasi Reduksi. Penetapan kelas
eksperimen dan kelas kontrol didasarkan pada pertimbangan bahwa kedua kelas tersebut
mempunyai prestasi belajar kimia yang hampir sama.
Desain penelitian yang digunakan adalah desain eksprimen dengan dua kelompok untuk
menunjang penelitian yang akan dilaksanakan agar diharapkan dapat memberikan hasil yang sesuai
dengan tujuan penelitian.
318
Perlakua
n
+
Kelompok
Eksperimen
Tes Akhir
Hasil Belajar
T1
Y1 : Y2
Kontrol
T2
Keterangan:
X1 = Kelompok/kelas yang diberi perlakuan dengan cara menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI (kelas eksperimen)
X2 = Kelompok/kelas yang tidak diberi perlakuan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (kelas
kontrol)
+ = Menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI
- = Tanpa menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI
T1 = Tes akhir pada kelas yang diberi model pembelajaran TAI
T2 = Tes akhir pada kelas yang tidak diberi model pembelajaran TAI
Y1 : Y2 = Perbandingan hasil belajar siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1) lembar observasi,2) Wawancara
dengan guru kimia dan siswa, dan 3) tes hasil belajar. Hasil data yang diperoleh dari ketiga
instrumen tersebut diolah secara deskriftif dan kuantitatif. Data yang diperoleh dari lembar
observasi dan hasil wawancara ditranskripsikan sedangkan data dari tes hasil belajar diolah
dengan menggunakan statistik sederhana yaitu uji-t untuk melihat apakah ada perbedaan hasil
belajar yang signifikan dari kedua perlakuan yang diterapkan.Kriteria keberhasilan penelitian
adalah keaktifan siswa berkomunikasi meningkat sampai 85% yang berperan aktif dalam proses
pembelajaran. Instrumen lembar observasi berisikan aktivitas siswa dalam proses pembelajaran,
yang diamati oleh observer . Fokus observasi adalah keterampilan berkomunikasi di dalam
kelompok kecil dan di dalam kelas (presentasi), jumlah siswa yang bertanya dan menjawab
pertanyaan temannya. Wawancara dilakukan untuk menunjang hasil observasi di dalam kelas pada
saat pembelajaran. Lebih lanjut tes hasil belajar yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui daya
serap siswa terhadap materi yang telah diajarkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil observasi dari kedua sekolah di dapatkan hasil sebagai berikut
Proses
Pembelajaran
Kelas eksperimen
Kelas kontrol
Kelas eksperimen
Pert. I
44%
47%
37%
39%
Pert. II
41%
63%
42%
61%
Pert. III
48%
87%
38%
83%
Adanya perbedaan hasil yang didapatkan dari ke dua sekoalah tersebut disebabkan karena,
1) lokasi SMAN 2 Palu terletak di pusat kota dan komunitas siswa yang ada di sekolah tersebut
berasal dari kota Palu. 2) yang dijadikan sampel dalam penelitian ini untuk SMAN 2 Palu adalah
kelas XI IPA yang sudah mempunyai banyak pengalaman belajar kimianya, sedangkan yang
319
dijadikan sampel untuk SMAN 7 Palu adalah kelas X yang pengalaman belajar kimianya belum
cukup memadai.
Sekalipun terdapati perbedaan dari ke dua sekolah tersebut, namun dapat disimpulkan
bahwa pembelajaran kooperatif tipe TAI sudah mampu meningkatkan keterampilan berkomunikasi
siswa hal tersebut terlihat dari adanya peningkatan dari tiap pertemuan.
Berdasarkan data hasil belajar dari kedua sekolah tersebut maka didapatkan hasil sebagai
berikut:
SMAN 2 Palu kelas XI IPA
Tabel 2. Rentang dan Frekuensi Skor Tes Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Interval Kelas
Fi
Interval kelas
Fi
17 18
1
15 16
1
19 20
3
17 18
3
21 22
8
19 20
11
23 24
3
21 22
8
25 26
6
23 24
3
27 28
7
25 - 26
3
Jumlah
28
Jumlah
29
Tabel 3. Hasil analisis tes akhir kelas eksperimen dank e;las kontrol
Sampel
Tes Akhir
Nilai
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Sampel
28
2
Nilai Minimum
17
15
Nilai Maksimum
28
26
Nilai rata-rata
23,71
20,74
Standar Deviasi
9,285
6,118
Berdasarkan data tes hasil belajar yang diberikan kepada siswa dilakukan pengujian dengan
uji F yang menyatakan bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian bersifat homogen, maka
selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji t student, yakni uji t dua pihak dan diperoleh
harga thitung = 4,085 dan harga ttabel = 1,669 pada taraf signifikan ... = 0,05 dan dk = 55. Karena thitung
berada pada daerah penolakan H0 yaitu thitung > ttabel atau 4,085 > 1,669 maka H0 ditolah dan H1
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata tes akhir
kelas eksperimen dengan nilai rata-rata kelas kontrol. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pembelajaran kooperatif tipe TAI yang diterapkan pada kelas eksperimen untuk materi koloid
lebih baik dari pada penerapan l pembelajaran secara konvensional sebagai mana diterapkan pada
kelas kontrol.
SMAN 7 Palu kelas X
Tabel 4. Rentang dan Frekuensi Skor Tes Hasil Belajar Siswa Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
Kelas Eksperimen
Kelas Kontrol
Interval Kelas
Fi
Interval kelas
Fi
12 13
4
9 10
6
14 15
4
11 12
7
16 17
7
13 14
5
18 19
8
15 16
5
20 21
6
17 18
7
22 23
5
19 - 20
4
Jumlah
34
Jumlah
34
320
Berdasarkan data tes hasil belajar yang diberikan kepada siswa dilakukan pengujian dengan
uji F yang menyatakan bahwa sampel yang digunakan dalam penelitian bersifat homogen, maka
selanjutnya dilakukan uji hipotesis menggunakan uji t student, yakni uji t dua pihak dan diperoleh
harga thitung = 8,090 dan harga ttabel = 1,67 pada taraf signifikan ... = 0,05 dan dk = 66. Karena t hitung
berada pada daerah penolakan H0 yaitu thitung > ttabel atau 8,09 > 1,67 maka H0 ditolah dan H1
diterima. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara nilai rata-rata tes akhir
kelas eksperimen dengan nilai rata-rata kelas kontrol. Sehingga dapat dikatakan bahwa
pembelajaran kooperatif tipe TAI yang diterapkan pada kelas eksperimen untuk materi reaksi
oksidasi reduksi lebih baik dari pada penerapan pembelajaran secara konvensiona sebagai mana
diterapkan pada kelas kontrol.
Adanya hasil lebih baik yang didapatkan pada kelas eksperimen disebabkan karena
terjadinya interaksi yang optimal antara siswa dengan siswa serta antara guru dengan siswa. Hal
tersebut terjadi karena siswa sudah mampu berkomunikasi dengan baik dan memiliki rasa percaya
diri yang tinggi. Siswa berani mengemukakan pendapatnya karena adanya dukungan dari teman
kelompoknya. Ketika pada proses pembelajaran ada siswa yang belum mengerti, maka siswa yang
lain dalam satu kelompok bisa saling memberikan informasi dalam hal ini akan terjadi diskusi antar
siswa dalam satu kelompok yang juga sebagai aplikasi dari tutor sebaya sehingga sesama siswa
saling bertukar pengetahuan dan informasi yang lebih. Siswa saling memberikan layanan sebagai
tutor sehingga menumbuhkan pemikiran yang lebih mendalam tentang hubungan ide-ide yang
terdapat dalam materi koloid maupun materi reaksi oksidasi reduksi sehingga secara langsung
dapat menambah pemahaman terhadap konsep yang diberikan.
Pembelajaran secara berkelompok juga mengajarkan siswa untuk bekerja sama mendapatkan
nilai tertinggi dalam satu kelompok sehingga ide-ide dari sekian siswa dalam kelompok akan
tersalurkan dan diharapkan semua siswa akan mendapatkan nilai yang tinggi dan memuaskan, baik
siswa yang sebelumnya mempunyai kemampuan tinggi, sedang maupun rendah karena saling
bertukar pengetahuan maka pengetahuan mereka akan bertambah. Pada umumnya siswa yang
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi kadang enggang membagi informasi kepada temantemannya yang lain karena ingin dianggap lebih mampu dan mendapat nilai paling tinggi di dalam
kelas sehingga dengan adanya pembelajaran koopeatif hal ini tidak akan terjadi.
Apabila siswa mendapat kesulitan dalam memecahkan masalah dalam pembelajaran, maka
guru akan memberikan bantuan secara individu sebagai aplikasi dari pembelajaran kooperatif tipe
TAI. Pembibingan dilakukan secara individu karena berdasarkan pemikiran bahwa setiap siswa
mempunyai daya nalar yang berbeda-beda sehingga dengan cara ini guru akan melihat dengan
jelas perkembangan pemahaman siswa dengan mudah secara individual dan akan lebih
menciptakan keakraban antara siswa dengan siswa antara siswa dengan guru. Siswa terkadang
merasa malu bertanya atau memberikan jawaban karena merasa takut salah pada saat memberi
pertanyaan atau jawaban. Selain itu terkadang ada konsep di dalam fikirannya tapi mereka tidak
bisa menyampaikan secara lisan karena mereka tidak memiliki keterampilan berkomunikasi dan
kurang percaya diri dari seorang siswa juga sangat mempengaruhi. Interaksi dalam proses
pembelajaran akan optimal apabila terjadi komunikasi yang lancar antara siswa dengan siswa dan
antara siswa dengan guru. Komunikasi akan berjalan lancar jika semua siswa memiliki
keterampilan berkomuniaksi yang baik.
321
322
PENDAHULUAN
Beberapa hasil penelitian selama kurun waktu 30 tahun yang didokumentasikan dalam
berbagai jenis literatur menunjukkan bahwa siswa memasuki kelas dengan membawa ide-ide awal
tentang tingkah laku alam semesta (Duit, 2009; Wandersee, Mintzes, & Novak, 1994). Ide-ide ini
seringkali mengarahkan siswa untuk membuat prediksi dan penjelasan yang berbeda dari konsepsi
yang diterima oleh masyarakat ilmiah saat ini (Herron & Nurrenbern, 1999). Karena belajar
merupakan proses kognitif yang terjadi dengan cara membangun pengetahuan dalam pikiran siswa
(Bodner, 1986), maka pada saat siswa mencoba mengasimilasikan informasi baru kedalam struktur
pengetahuan yang telah dimilikinya dimungkinkan akan dihasilkan berbagai hasil belajar yang
tidak diharapkan yang dapat mengganggu proses belajar selajutnya (Sanger & Greenbowe, 1997;
Griffiths & Preston, 1999). Kenyataan ini telah menyebabkan para pendidik makin khawatir,
sehingga mereka mulai mengidentifikasi kesulitan-kesulitan siswa dalam mengkonseptualisasi
pengetahuan ilmiah yang dilakukan sebelum, selama atau setelah pembelajaran berlangsung serta
merekomendasikan pendekatan pembelajaran baru untuk menantang pemahaman siswa yang
kurang memadai tersebut. Beberapa istilah telah dikemukakan untuk menjelaskan pemahaman
siswa yang kurang memadai tersebut, misalnya istilah miskonsepsi, konsepsi alternatif dan
kerangka alternatif (Andersson, 1986; Brown, 1992). Dalam penelitian ini akan digunakan istilah
konsepsi alternatif untuk menjelaskan konsepsi yang dimiliki siswa yang tidak sejalan dengan
pandangan yang dimiliki oleh komunitas ilmiah pada umumnya.
Sebagian besar konsep-konsep dalam ilmu kimia bersifat abstrak. Hal inilah nampaknya juga
menjadi salah satu penyebab kesulitan siswa dalam membangun konsep-konsep kimia (Dhindsa &
Treagust, 2009:33; Nahum dkk., 2004:302). Jika ditinjau dari tujuan pembelajaran kimia,
pembelajaran kimia tidak hanya bertujuan membekali siswa dengan semua pengetahuan/fakta-fakta
kimia, tetapi juga membantu siswa dalam memahami dengan baik konsep dasar dan konsep yang
323
lebih tinggi serta hubungan-hubungan diantaranya (Unal dkk., 2010:5). Dalam kurikuluam kimia
KTSP 2006 (BNSP, 2006:178) disebutkan bahwa satu tujuan pembelajaran kimia adalah siswa
harus dapat memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan
penerapannya dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa konsep kimia dan saling keterkaitannya merupakan hal penting yang harus
dipahami oleh siswa.
Penelitian tentang pemahaman konsep siswa dalam bidang kimia telah banyak dilakukan
(Griffiths & Preston, 1992:611; Tan & Treagust, 1999:75; Ebenezer & Fraser, 2001:510). Tan &
Treagust, (1999:75) menyebutkan bahwa salah satu topik yang ditenggarai paling banyak
menimbulkan konsep alternatif dalam diri siswa adalah ikatan kimia (Tan, dkk., 2000:15; Tan &
Treagust, 1999:75). Selain karena konsepnya yang abstrak, konsep ini juga tidak berhubungan
langsung dengan kehidupan sehari-hari siswa. Padahal, konsep ikatan kimia merupakan konsep
dasar yang penting untuk mempelajari sebagian besar topik kimia seperti konsep-konsep senyawa
karbon, asam & basa, energi, termodinamika, protein, karbohidrat, dan polimer (Nahum, dkk.,
2004:308). Salah satu konsep dalam ikatan kimia adalah ikatan ionik dan ikatan kovalen. Jika
siswa dibiarkan memahami konsep tersebut secara tidak tepat maka hal ini dapat menimbulkan
masalah-masalah belajar yang lebih serius di masa yang akan datang (Taber, 2011:7; Dhindsa &
Treagust, 2009:34). Oleh karena itu, konsep ikatan ionik dan ikatan kovalen merupakan konsep
penting yang harus dikuasai siswa untuk dapat menjelaskan tingkat sub-mikroskopik dalam kimia
(Dhindsa & Treagust, 2009:34).
Masalah utama yang dikembangkan peneliti berdasarkan latar belakang diatas adalah sebagai
berikut: (1) bagaimanakah keragaman konsepsi siswa kelas X di sebuah SMA Malang pada materi
ikatan ionik? (2) bagaimanakah keragaman konsepsi siswa kelas X di sebuah SMA Malang pada
materi ikatan kovalen? (3) apakah ditemukan konsepsi alternatif pada siswa kelas X di sebuah
SMA Malang pada materi ikatan ionik dan ikatan kovalen? Manfaat yang diharapkan dari
penelitian ini adalah diperolehnya pengetahuan tentang
keragaman siswa dalam
mengkonseptualisasi konsep ikatan ionik dan ikatan kovalen, serta konsep alternatif yang mungkin
mucul. Pengetahuan ini selanjutnya, digunakan sebagai acuan untuk merancang pembelajaran
ikatan kimia yang lebih efekif untuk memperbaiki, meningkatkan, dan membantu siswa dalam
memahami konsep yang benar dalam pengajaran materi tersebut.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah kualitatif dengan pendekatan fenomenografi. Fenomenografi
merupakan pendekatan penelitian yang bertujuan untuk menggali berbagai perbedaan/variasi siswa
dalam mengalami, memahami dan mengkonseptualisasi fenomena-fenomena sains/kimia yang
dijumpai siswa, baik di sekolah maupun di dalam kehidupan sehari-hari (Rahayu, 2000:119).
Variasi konsepsi siswa tersebut ditunjukkan dengan kategori deskripsi yang didasarkan pada
persamaan dan perbedaan maknanya (Sin 2010:306). Deskripsi mengenai perbedaan kategorikategori ini merupakan temuan penting dari penelitian fenomenografi yang tidak bisa ditemukan
dengan pendekatan yang lain (Marton & Pong, 2005:335; Ebenezer & Fraser, 2001:511; Rahayu,
2000:120). Hubungan yang logis antar kategori deskripsi dikembangkan semaksimal mungkin
kemudian kategori-kategori tersebut disusun secara hirarkis sehingga bisa menunjukkan tingkat
pemahaman (Rahayu, 2000:122).
Penelitian dilakukan di sebuah SMA RSBI di kota Malang. Subyek adalah 30 orang siswa
kelas X yang dipilih dengan pertimbangan, yaitu sudah menerima pembelajaran topik ikatan kimia,
berasal dari berbagai kelas dan bersedia diwawancarai. Siswa- siswa di SMA tersebut pada
umumnya juga mengikuti kegiatan belajar tambahan di luar sekolah pada berbagai bimbingan
belajar di kota Malang. Hal ini memungkinkan dapat ditemukannya konsepsi siswa yang beragam
pada topik ikatan ionik dan ikatan kovalen.
Data dikumpulkan oleh peneliti kedua dengan melakukan wawancara mendalam. Sebelum
dilakukan wawancara, para peneliti mendiskusikan pedoman wawancara dan teknik melakukan
324
wawancara sebelum kegiatan pengumpulan data. Pedoman wawancara yang semi terstruktur
tersebut berisi beberapa pertanyaan kunci untuk memberikan arah dan batasan dalam wawancara.
Selanjutnya wawancara dikembangkan berdasarkan respon jawaban yang diberikan oleh siswa
(Nahum, dkk., 2004:315). Sebelum kegiatan pengumpulan data pedoman wawancara diujicobakan
terhadap siswa di sekolah tersebut. Hal ini dilakukan untuk menguji kelayakan dan mengetahui
kemungkinan-kemungkinan respon/jawaban yang diberikan oleh siswa. Sehingga diharapkan
pedoman wawancara layak untuk digunakan dan dapat menggali secara mendalam pemahaman
siswa pada materi ikatan ionik dan ikatan kovalen sesuai dengan data penelitian yang diharapkan
oleh peneliti. Wawancara berdurasi 15-30 menit direkam dengan tape recorder dan dibuat transkrip
hasil wawancara. Selanjutnya hasil transkrip diidentifikasi berdasarkan kemiripan dan perbedaan
makna dari pernyataan-pernyataan yang dibuat siswa. Perbedaan konsepsi ini nantinya akan
dinyatakan dalam bentuk kategori deskripsi (Marton & Pong, 2005:335; Ali, 1995:137).
Pernyataan-pernyataan yang maknanya mirip/sama dikelompokkan dalam satu kategori atau tema
deskripsi. Dengan demikian nantinya akan muncul beberapa kategori deskripsi yang
menggambarkan berbagai konsepsi siswa tentang ikatan ionik dan ikatan kovalen.
Untuk mengecek keabsahan temuan berupa pengujian reabilitas dan validitas, dilakukan
dengan tiga cara yaitu:
(1) pemeriksaan terhadap akurasi transkrip dengan rekaman suara dilakukan oleh anggota tim;
(2) co-judging (pengujian bersama), yaitu draft kategori deskripsi yang telah dibuat diperiksa oleh
anggota tim peneliti sebagai co-judge (penguji) untuk menunjukkan persetujuannya terhadap
sistem kategori (Rahayu, 2000:129). Dari hasil proses pengujian bersama diperoleh
ketidakkonsistenan kategori sebesar 10% pada topic ikatan ionik dan 6,67% pada topik ikatan
kovalen . Ketidakkonsistenan ini selanjutnya didiskusikan bersama untuk mencapai
kesepakatan. Menurut Saljo (1988) reabilitas hasil co-judging ini termasuk tinggi karena
didapatkan kekonsistenan lebih dari 90%. Dari hasil co-judging dapat dikatakan bahwa cojudge menyetujui kategori yang telah dibuat oleh peneliti;
(3) check re-check yang dilakukan oleh peneliti cara mengidentifikasi dan mengklasifikasikan
kembali respon siswa ke dalam kategori yang telah ditemukan dalam jeda waktu dua minggu
diperoleh ketidakkonsistenan sebesar 10% pada kategori deskripsi tersebut. Dari hasil proses
check re-check dan co-judging dibuat kesepakatan oleh para peneliti tentang kategori deskripsi
yang dibuat.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Hasil-hasil penelitian yang berupa kategori deskripsi dan konsep alternatif siswa merupakan
penemuan dalam penelitian ini. Berikut ini dijabarkan penemuan penelitian beserta deskripsinya
serta jenis-jenis konsep alternatif dalam ikatan inonik dan ikatan kovalen.
1. Keragaman konsepsi siswa SMA kelas X pada topik ikatan ionik
Keragaman konsepsi siswa SMA kelas X pada topik ikatan ion dijabarkan dalam Tabel 1
berikut.
Kategori
(Kode)
Ikatan
LogamNonlogam
(ILN)
%
Siswa dapat menentukan jenis atom penyusun dari senyawa yang
4
13,3%
berikatan ionik yang diberikan, yaitu terdiri dari atom logam dan
nonlogam. Namun, mereka belum dapat menentukan senyawa yang
berikatan ionik dan menjelaskan proses terjadinya ikatan ionik.
Contoh:
Peneliti : ...... trus intinya ikatan ionik itu apa? ......
Siswa : Ini, yang nonlogam sama logam, terus bisa
menghantarkan listrik.
325
Proses
Transfer
Elektron
(PTE)
(lengkap)
Proses
Exchange
Muatan
(PEM)
20,0%
13
43,3%
10,0%
326
Gaya
Elektrostatik
(GE)
supaya apa ... masing-masing itu gak ada apa... gak ada muatannya.
Siswa menjelaskan ikatan ionik terjadi melalui proses tarik menarik
antara kation dan anion. Kation dan anion dihasilkan dari proses
transfer elektron. Muatan pada kation dan anion yang berlawanan ini
akan menimbulkan gaya tarik menarik, dengan atau tanpa menyebutkan
gaya tarik menarik antar muatan (elektrostatik), karena hal ini hanya
permasalahan istilah yang pada hakekatnya siswa paham bahwa terjadi
gaya tarik menarik antar muatan (elektrostatik) dalam ikatan ionik.
Siswa juga dapat menentukan jenis atom penyusun dan senyawa yang
berikatan ionik.
Contoh:
Siswa : Kalau ionik...
Peneliti: Antara apa?
Siswa : Metal sama nonmetal
Peneliti: Atom logam sama nonlogam. Terus klo sekarang untuk
proses pembentukannya seperti apa?
Siswa: Proses pembentukan ikatan... pertama ini kayak kalau misalnya
NaCl kan Na logamnya, Na an di kulit terluarnya kan sisa elektron satu
jadi kurang stabil terus Cl kurang terluarnya kurang satu ditransfer
elektron dari Na ke Cl. Kalau ini yang Na kelebihan protonnya lebih
satu banyak daripada elektronnya, jadi muatannya secara total Na +.
Karena Cl menerima elektron, elektronnya lebih satu daripada proton
jadi minus, karena satunya muatannya Na +sama Cl- ada ikatan, jadi ada
ikatan listrik itu karena ada + sama -, elektrostatik gitu.
Jumlah
13,3%
30
100 %
Kategori ILN (Ikatan Logam- Non-logam ) merupakan kategori dengan tingkat pemahaman
paling rendah pada materi ikatan ionik. Siswa memiliki konsep bahwa ikatan ionik terjadi antara
atom logam dan nonlogam dan siswa memahami ikatan ionik hanya dari sisi atom penyusunnya
saja. Dalam menjelaskan ikatan ionik, siswa terkadang melengkapi penjelasannya dengan sifat
senyawa yang berikatan ionik. Misalnya senyawa yang berikatan ionik dapat menghantarkan listrik
atau siswa juga menambahkan penjelasannya dengan proses yang terjadi pada ikatan ionik. Namun,
penjelasan tersebut belum tepat, yaitu ikatan ionik terjadi melalui proses pemakaian bersama
elektron. Konsep yang dimiliki siswa yang tergolong pada kategori ini tidak sepenuhnya salah.
Sebagian besar senyawa yang berikatan ionik terdiri dari atom logam dan nonlogam. Akan tetapi,
siswa dengan pemahaman ini tidak dapat menjelaskan ikatan ionik lebih jauh. Hal ini
dimungkinkan siswa belum memahami sepenuhnya tentang sifat-sifat dari atom logam dan
nonlogam yang membuat keduanya dapat membentuk ikatan ionik. Temuan penelitian seperti
dalam kategori ini juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Unal, dkk. (2010).
Kategori PTE (Proses Transfer Elektron) adalah kategori yang menjelaskan bahwa ikatan
ionik terjadi melalui transfer elektron. Perbedaan konsepsi siswa dalam kategori PTE (sebagian)
dan PTE (lengkap) adalah kemampuan siswa dalam menentukan jenis atom penyusun pada
senyawa yang membentuk ikatan ionik maupun dalam menentukan senyawa yang berikatan ionik.
Siswa yang belum mampu menjelaskan hal tersebut dikelompokkan dalam PTE (sebagian),
sedangkan siswa yang telah mampu menjelaskan hal tersebut dikelompokkan kedalam
PTE(lengkap). Pada dasarnya proses transfer elektron ini memang tidak terlepas dari proses
pembentukan ikatan ionik. Transfer elektron ini terjadi karena atom logam yang memiliki energi
ionisasi yang rendah memudahkannya untuk melepaskan elektron. Atom nonlogam memiliki
keelektronegatifan yang tinggi dan memiliki harga afinitas elektron yang sangat negatif,
memudahkan atom ini untuk menarik elektron kearah dirinya. Jika keduanya bereaksi, maka akan
mudah terbentuk ikatan ionik (Zumdahl & Zumdahl, 2007: 330). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ikatan ionik terjadi melalui proses pemberian dan penerimaan elektron (transfer elektron).
Hasil penelitian yang sama juga ditemukan oleh Unal, dkk. (2010) dan pada penelitian yang
327
dilakukan oleh Taber (1998,1997 dalam Taber 2011). Kategori PTE ini memiliki jumlah persentase
respon terbesar yaitu sebanyak 63,3% atau sebanyak 19 siswa memiliki pemahaman bahwa ikatan
ionik terjadi melalui proses transfer elektron. Hal ini dimungkinkan bersumber dari Lembar
Kegiatan Siswa (LKS) dan berbagai buku yang dijadikan sumber yang digunakan untuk
pembelajaran di kelas yang menjelaskan ikatan ionik lebih menekankan pada proses transfer
elektron. Latihan-latihan soal yang disajikan di dalamnya juga dilengkapi dengan berbagai macam
soal tentang transfer electron sehingga siswa lebih cenderung memiliki pemahaman bahwa ikatan
ionik merupakan proses transfer elektron.
Kategori PEM (Proses Exchange Muatan), siswa menjelaskan bahwa ikatan ionik terjadi
melalui proses tukar menukar muatan yang dimiliki oleh ion-ion akibat proses transfer elektron.
Siswa sudah dapat menentukan jenis atom penyusun pada senyawa yang membentuk ikatan ionik
maupun dalam menentukan senyawa yang berikatan ionik. Pada kategori ini siswa sudah bisa
memahami bahwa terjadi proses transfer elektron dalam pembentukan ikatan ionik yang
menyebabkan terbentuknya ion yang bermuatan positif (kation) dan ion yang bermuatan negatif
(anion). Siswa menganggap bahwa muatan positif dan negatif ini pada akhirnya akan bertukar
sehingga tidak terdapat lagi muatan (netral) pada senyawa yang membentuk ikatan ionik. Siswa
memiliki pemahaman seperti ini dimungkinkan terpengaruh oleh materi tentang tata nama senyawa
ionik yang dalam materi tersebut dijelaskan bahwa senyawa ionik terdiri dari kation dan anion yang
dalam reaksinya harus memiliki jumlah muatan yang seimbang sehingga bisa didapatkan senyawa
ionik yang netral. Dari berbagai kajian literatur, nampaknya belum ada belum ada penelitian
sebelumnya yang menemukan konsep alternatif seperti ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa
konsep alternatif ikatan ionik terjadi akibat proses tukar menukar muatan antara kation dan anion
merupakan temuan baru dari penelitian ini.
Kategori GE (Gaya Elektrostatik) ini merupakan kategori pemahaman dengan tingkat
kebenaran paling tinggi dari hasil penelitian. Siswa menjelaskan bahwa ikatan ionik terjadi pada
atom logam dan nonlogam karena atom logam memiliki kecenderungan untuk dapat melepaskan
elektron, sedangkan atom nonlogam memiliki kecenderungan untuk menarik elektron. Sehingga
terjadi proses transfer elektron dari atom logam ke atom nonlogam. Akibat dari proses transfer
elektron ini terbentuklah kation dan anion yang masing-masing bermuatan positif dan negatif.
Terbentuknya kedua muatan yang berlawanan ini menyebabkan adanya gaya tarik menarik listrik
(gaya elektrostatik). Pemahaman ini merupakan pemahaman yang sudah lengkap dan benar sesuai
dengan pemahaman yang diterima para ahli kimia.
Ikatan ionik merupakan ikatan yang terjadi karena tarikan elektrostatik (gaya elektrostatik)
antara ion positif dan ion negatif (Effendy, 2008a: 29). Atom logam melepaskan elektron untuk
membentuk ion positif, sedangkan atom nonlogam menarik elektron untuk membentuk ion negatif.
Menurut Ebbing & Gammon (2009:32) gaya tarik yang kuat antar ion dengan muatan yang
berlawanan inilah yang mempertahankan atom-atom dalam senyawa yang berikatan ionik yang
dikenal dengan ikatan ionik. Dalam penelitian ini hanya 4 orang siswa (13, 3%) yang memiliki
konsep seperti ini. Temuan penelitian bahwa ikatan ionik terbentuk dari gaya tarik elektrostatik
antar muatan yang berlawanan ditemukan juga oleh Unal, dkk. (2010), Coll & Treagust (2003), dan
Coll & Taylor (2002).
2. Keragaman konsepsi siswa kelas X pada topik ikatan kovalen
Keragaman konsepsi siswa SMA kelas X pada topik ikatan kovalen dijabarkan dalam Tabel
2 berikut.
Tabel 2. Konsepsi Siswa Pada Materi Ikatan Kovalen
Kategori
(Kode)
Antar
Atom
Nonlogam
Deskripsi
Siswa dapat menentukan jenis atom penyusun dari senyawa yang
berikatan kovalen yang diberikan, yaitu terdiri dari atom nonlogam dan
nonlogam. Akan tetapi siswa belum dapat menentukan molekul yang
%
4
13,3%
328
Sharing
Elektron
(SE)
(sebagian)
Sharing
Elektron
(SE)
(lengkap)
Overlap
16,7%
18
60,0%
10,0%
30
100,0%
Kategori AAN (Antar Atom Nonlogam) merupakan kategori dengan tingkat pemahaman
paling rendah pada topik ikatan kovalen. Siswa dalam kategori ini memiliki konsep bahwa ikatan
kovalen terjadi antara atom nonlogam dan nonlogam atau dengan kata lain siswa memahami ikatan
kovalen dari sisi atom penyusunnya saja. Dalam menjelaskan ikatan kovalen siswa kadang-kadang
melengkapi penjelasannya dengan hal-hal pernyataan seperti: a) sifat senyawa yang berikatan
kovalen; atau b) senyawa yang berikatan kovalen kurang baik dalam menghantarkan listrik; atau c)
ikatan kovalen disertai dengan proses yang terjadi pada ikatan kovalen. Akan tetapi penjelasan
329
mereka belum tepat, yaitu ikatan kovalen terjadi melalui proses pemberian dan penerimaan
elektron. Pada dasarnya meskipun belum tepat, siswa sudah mempunyai konsep tentang ikatan
kovalen. Sebagian besar senyawa yang berikatan kovalen terdiri dari atom nonlogam dan
nonlogam. Akan tetapi siswa dengan pemahaman ini belum bisa menjelaskan ikatan kovalen lebih
jauh. Hal ini dimungkinkan siswa belum sepenuhnya memahami sifat-sifat dari atom nonlogam
yang membuatnya dapat membentuk ikatan kovalen. Temuan penelitian seperti dalam kategori ini
juga ditemukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Unal, dkk. (2010).
Kategori SE (Sharing Elektron) dibedakan menjadi dua yaitu SE (sebagian) dan SE
(lengkap). Siswa dengan kategori SE (sebagian) memahami bahwa ikatan kovalen terjadi melalui
proses sharing elektron, akan tetapi siswa masih memiliki pemahaman yang bersifat sebagian,
yaitu siswa belum dapat menentukan jenis atom penyusun pada senyawa yang membentuk ikatan
kovalen maupun dalam menentukan senyawa yang berikatan kovalen. Sedangkan pada kategori SE
(lengkap) memiliki pemehaman bahwa ikatan kovalen terjadi melalui proses sharing elektron dan
siswa sudah dapat menentukan jenis atom penyusun pada senyawa yang membentuk ikatan kovalen
maupun dalam menentukan senyawa yang berikatan kovalen. Penelitian yang dilakukan oleh Unal,
dkk. (2010) dan Taber (1998 dalam Taber, 2011:8) juga menemukan pemahaman konsep yang
sama seperti pada kategori SE (lengkap) ini.
Pada dasarnya proses sharing elektron ini merupakan salah satu dari proses dalam
pembentukan ikatan kovalen. Sharing elektron ini terjadi karena kedua atom nonlogam yang
terlibat dalam ikatan kovalen memiliki keelektronegatifan yang tinggi. Selain itu, harga afinitas
elektron yang sangat negatif yang dimiliki kedua atom memudahkan keduanya untuk saling
menarik elektron dari atom lain kearah dirinya. Perbedaan keelektronegatifan yang tidak terlalu
besar diantara kedua atom yang berikatan kovalen menyebabkan proses transfer elektron tidak
dapat terjadi diantara keduanya. Proses yang memungkinkan untuk terjadi diantara kedua atom
tersebut adalah sharing elektron (Silberberg, 2006: 330), sehingga dapat dikatakan bahwa ikatan
kovalen terjadi melalui proses pemakaian bersama elektron (sharing elektron). Kategori SE ini
merupakan kategori yang memiliki jumlah persentase terbesar yaitu sebanyak 76,7% atau sebanyak
23 siswa dari 30 siswa memiliki pemahaman bahwa ikatan kovalen terjadi melalui proses sharing
elektron. Hal ini dimungkinkan disebabkan oleh materi yang disampaikan guru beracuan Lembar
Kerja Siswa (LKS) dan berbagai buku yang digunakan dalam pembelajaran lebih menekankan pada
proses sharing elektron. Latihan-latihan soal tentang ikatan kovalen juga banyak membahas
tentang sharing elektron. Sehingga kebanyakan siswa memiliki konsep bahwa ikatan kovalen
hanya terjadi melalui proses sharing elektron.
Kategori Overlap ini merupakan kategori pemahaman dengan tingkat kebenaran paling
tinggi dari hasil penelitian meskipun masih belum sesuai dengan konsep yang diterima para ahli
kimia. Siswa menganggap bahwa dalam ikatan kovalen terjadi peristiwa overlap diantara kedua
atom yang berikatan. Akan tetapi siswa belum dapat menjelaskan dengan detail tentang proses
tersebut. Selain itu, siswa menjelaskan bahwa ikatan kovalen merupakan ikatan yang terjadi
antaratom nonlogam yang keduanya sama-sama memiliki kecenderungan menarik elektron ke arah
dirinya, sehingga terjadi proses sharing elektron diantara kedua atom tersebut. Akibat dari proses
sharing elektron ini dapat terbentuk dipole positif dan negatif jika kedua atom yang berikatan
kovalen memiliki perbedaan keelektronegatifan.
Pada dasarnya dalam senyawa yang berikatan kovalen terdapat dua gaya elektrostatik yang
terjadi, yaitu gaya tarikan elektrostatik yang terjadi antara inti atom dengan elektron bersama yang
digunakan dalam ikatan kovalen dan gaya tolakan elektrostatik yang terjadi antar kedua inti atom
dan antar elektron dari kedua atom (Zumdahl & Zumdahl 2007:331; Silberberg, 2006:339). Pada
saat kedua atom berada pada jarak tertentu terjadi keseimbangan antara gaya tarikan dan gaya
tolakan elektrostatik yang mengakibatkan terbentuknya ikatan kovalen (Silberberg, 2006: 339).
Pada saat inilah terjadi pemakaian bersama elektron oleh kedua atom yang berikatan (Effendy,
2008c: 15). Ikatan yang dihasilkan dari gaya tarik antar inti kedua atom dengan elektron yang
dipakai bersama inilah yang disebut ikatan kovalen (Zumdahl & Zumdahl, 2007: 12, Silberberg,
330
2006:339). Berdasarkan teori ikatan valensi, elektron yang dipakai bersama merupakan elektron
yang menempati orbital yang belum terisi penuh (berisi 1 elektron) dari kedua atom. Jarak yang
cukup dekat antara kedua atom memungkinkan terjadinya tumpang tindih (overlap) antara orbital
yang masih berisi 1 elektron dari atom yang satu dengan atom yang lain (McMurry & Fay, 2004:
271).
Data penelitian menunjukkan bahwa hanya ada 3 siswa dari 30 siswa sampel penelitian yang
memiliki konsep yang tergolong dalam kategori ini. Nampaknya, dalam menjelaskan ikatan
kovalen siswa cenderung menggunakan konsep pemakaian bersama elektron dibandingkan
menggunakan konsep gaya tarikan antar inti masing-masing atom dengan pasangan elektron yang
dipakai bersama. Hal ini dimungkinkan karena berbagai LKS dan sumber belajar yang digunakan
oleh siswa tidak menekankan penjelasan pada konsep tersebut, sehingga siswa cenderung memiliki
pemahaman bahwa ikatan kovalen terjadi melalui proses sharing elektron. Berdasarkan berbagai
kajian literatur, nampaknya belum ada penelitian sebelumnya yang menemukan konsep alternatif
seperti ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa konsep alternatif ikatan kovalen terjadi karena
peristiwa overlap merupakan temuan baru dari penelitian ini.
3. Konsepsi alternatif yang dimiliki siswa kelas X pada topik ikatan kimia
Konsepsi alternatif yang ditemukan dalam penelitian ini ditunjukkan dalam Tabel 3.
Tabel 3. Konsepsi Alternatif Siswa Pada Materi Ikatan Ionik dan Ikatan Kovalen
Respon Siswa
Konsepsi Alternatif
%
Ikatan Ionik
6
20,0%
Jari-jari ion Cl- dan atom Cl adalah sama karena keduanya memiliki jumlah
kulit yang sama
Ikatan Kovalen
7
23,3%
Kation dan anion tidak terbentuk dalam ikatan kovalen karena kedua atom
yang berikatan sama-sama kekurangan elektron
9
30,0%
Posisi elektron yang dipakai bersama dalam ikatan kovalen terletak ditengahtengah diantara atom yang berikatan
Ikatan Kimia Secara Umum
8
26,7%
Atom-atom cenderung berikatan untuk memenuhi aturan oktet
22
73,3%
Ikatan kimia merupakan ikatan antaratom kimia
Jari-jari ion Cl- dan atom Cl adalah sama karena keduanya memiliki jumlah kulit yang
sama.
Siswa menganggap bahwa jari-jari ion Cl- dan atom Cl adalah sama. Mereka menjelaskan
bahwa meskipun ion Cl- merupakan ion yang terbentuk jika atom Cl kelebihan elektron (menerima
elektron dari Na dan Mg pada NaCl dan MgCl2), akan tetapi elektron tersebut tetap menempati
kulit ketiga dari atom Cl. Sehingga dalam proses ini tidak mengakibatkan berubahnya jumlah kulit.
Hal ini membuat siswa menganggap bahwa keduanya memiliki jari-jari yang sama. Siswa yang
memiliki konsepsi alternatif seperti ini berjumlah 6 siswa atau 30,0% dari siswa sampel penelitian.
Konsepsi alternatif yang dimiliki oleh siswa ini kemungkinan disebabkan oleh siswa kurang
memahami terhadap gaya tarikan dan tolakan yang terjadi pada suatu atom atau ion. Siswa hanya
melihat ukuran jari-jari dari suatu atom atau ion hanya dari jumlah kulitnya, dan mengabaikan gaya
tarikan inti terhadap elektron dan gaya tolakan antarelektron.
Pada dasarnya baik dalam pembentukan NaCl dan MgCl2, terbentuknya ion Cl- terjadi akibat
proses penerimaan elektron dari Na dan Mg. Ion Cl- ini akan memiliki jari-jari yang lebih besar
daripada jari-jari atom Cl (Zumdahl & Zumdahl, 2007:341). Meskipun tidak terjadi perubahan
jumlah kulit, jumlah elektron yang lebih banyak dibandingkan jumlah proton pada ion Cl menyebabkan bertambahnya tolakan antar elektron, sehingga jari-jari ion Cl- lebih besar daripada
jari-jari atom Cl (Ebbing & Gammon, 2009:340; McMurry & Fay, 2004:204). Diketahui bahwa
331
jari-jari ion Cl- adalah 181 pm (Ebbing & Gammon, 2009:339; Effendy, 2008a:6) dan jari-jari atom
Cl adalah 100 pm (Effendy, 2008a:3). Berdasarkan kajian literatur, nampaknya belum ada
penelitian sebelumnya yang menemukan konsep alternatif ini. Hal ini dapat dikatakan bahwa
konsep alternatif ini merupakan temuan baru dari hasil penelitian.
Kation dan anion yang tidak terbentuk pada ikatan kovalen karena kedua atom sama-sama
kekurangan elektron.
Siswa menganggap bahwa tidak terbentuknya kation dan anion pada ikatan kovalen karena kedua
atom yang berikatan sama-sama kekurangan elektron. Oleh karena itu, tidak memungkinkan
terjadinya proses transfer elektron diantara kedua atom tersebut untuk membentuk kation dan
anion. Siswa yang memiliki pemahaman ini berjumlah 7 siswa atau 23,3% dari sampel penelitian.
Siswa memiliki konsepsi alternatif seperti ini dimungkinkan karena siswa belum memahami sifatsifat dari atom logam nonlogam yang membuatnya dapat membentuk ikatan kovalen. Sehingga
siswa lebih cenderung memandang dari sisi konfigurasi elektron atom nonlogam yang belum
memenuhi aturan oktet (sama-sama kekurangan elektron untuk dapat memenuhi aturan oktet).
Ikatan kovalen terbentuk dari ikatan antaratom nonlogam. Atom nonlogam memiliki harga energi
ionisasi yang tinggi sehingga tidak mudah untuk dapat melepaskan elektron (McMurry & Fay,
2004:5). Selain itu, atom nonlogam juga memiliki harga afinitas elektron yang bernilai negatif
sehingga memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk menarik elektron ke arah dirinya
(Effendy, 2008a:17). Berdasarkan kedua sifat tersebut dapat dikatakan bahwa atom nonlogam
memiliki kecenderungan menarik elektron kearah dirinya. Oleh karena itu, tidak dimungkinkan
terjadinya proses transfer elektron diantara kedua atom nonlogam untuk membentuk kation dan
anion dalam ikatan kovalen. Berdasarkan kajian literatur, nampaknya belum ada penelitian
sebelumnya yang menemukan konsepsi alternatif seperti ini. Hal ini dapat dikatakan bahwa
konsepsi alternatif ini merupakan temuan baru dari hasil penelitian.
Posisi pasangan elektron yang dipakai bersama dalam semua senyawa yang berikatan
kovalen terletak tepat ditengah-tengah diantara kedua atom yang berikatan.
Siswa menganggap bahwa pasangan elektron yang dipakai bersama dalam ikatan kovalen terletak
ditengah-tengah diantara kedua atom yang berikatan. Siswa menganggap hal ini terjadi karena
pasangan elektron tersebut dipakai bersama oleh kedua atom. Siswa yang memiliki konsepsi
alternatif seperti ini berjumlah 30,0% atau 9 dari 30 siswa dalam sampel penelitian. Konsepsi
alternatif yang ditemukan ini sesuai dengan konsepsi alternatif yang ditemukan oleh Unal, dkk.,
(2010) dan Dhindsa & Treagust (2009). Penelitian yang dilakukan oleh Birk & Kurtz (1999) dan
Peterson & Treagust (1989) juga menemukan konsep alternatif yang sama. Konsepsi alternatif ini
muncul kemungkinan disebabkan oleh siswa kurang memahami sifat keelektronegatifan dari suatu
atom dan terpengaruh oleh konsep pemakaian bersama pasangan elektron pada ikatan kovalen.
Siswa menganggap bahwa pasangan elektron dalam ikatan kovalen selalu berada ditengah-tengah
diantara kedua atom yang berikatan karena dipakai bersama oleh kedua atom.
Ikatan kovalen merupakan ikatan antaratom nonlogam. Jika kedua atom nonlogam yang sama
membentuk ikatan kovalen, maka posisi pasangan elektron yang dipakai bersama akan tepat berada
ditengah-tengah diantara kedua atom yang berikatan. Akan tetapi jika kedua atom nonlogam
berbeda, pasangan elektron tersebut tidak akan berada ditengah-tengah diantara kedua atom. Hal ini
dapat dijelaskan dengan menggunakan sifat keelektronegatifan (Zumdahl & Zumdahl, 2007:403).
Semakin besar harga keelektronegatifan, semakin besar pula kemampuan suatu atom untuk
menarik elektron kearah dirinya (Ebbing & Gammon, 2009:345; Zumdahl dkk., 2007:402).
Sehingga dapat dikatakan bahwa posisi pasangan elektron yang dipakai bersama dalam ikatan
kovalen tergantung dari harga keelektronegatifan dari atom yang berikatan.
Atom-atom Cenderung Berikatan untuk Memenuhi Aturan Oktet
Siswa cenderung menganggap bahwa aturan oktet merupakan tujuan utama atom-atom dalam
membentuk ikatan, baik ionik maupun kovalen. Siswa yang memiliki konsepsi alternatif ini
berjumlah 8 siswa atau 26,7% dari sampel penelitian. Konsep alternatif ini sesuai dengan konsepsi
alternatif yang ditemukan oleh Coll & Taylor (2001). Beberapa peneliti lain juga menemukan
332
konsep alternatif yang sama (Horton, 2007). Konsepsi alternatif ini muncul kemungkinan
disebabkan oleh anggapan bahwa aturan oktet merupakan suatu aturan yang harus dipenuhi jika
suatu atom ingin stabil. Atom yang sudah memenuhi aturan oktet, memiliki konfigurasi elektron
seperti gas mulia. Konfigurasi ini dapat dipenuhi jika atom melakukan transfer elektron pada ikatan
ionik dan memakai bersama pasangan elektron pada ikatan kovalen. Sehingga siswa menganggap
bahwa atom-atom membentuk ikatan untuk memenuhi aturan oktet. Menurut Robinson
(1998:1075) aturan oktet hanya merupakan suatu aturan yang digunakan untuk mengenali
kestabilan dari suatu sistem (konfigurasi elektron. Schmid (2003 dalam Effendy, 2008b:68)
menyatakan bahwa The Noble Gas Configuration-Not the Driving Force but the Rule of the Game
in Chemistry. Sehingga dapat dikatakan bahwa konfigurasi elektron seperti gas mulia (aturan
oktet) hanya merupakan aturan bukan merupakan penyebab atom-atom berikatan, akan tetapi atomatom berikatan agar memiliki tingkat energi yang lebih stabil. Tingkat energi yang dimiliki oleh
atom setelah berikatan akan lebih rendah daripada tingkat energi atom-atomnya dalam keadaan
terpisah (Effendy,2008c:14).
Ikatan Kimia merupakan Ikatan antar atom Kimia
Siswa menganggap bahwa ikatan kimia merupakan ikatan yang terjadi antara satu atom dengan
atom yang lain. Siswa yang memiliki konsepsi alternatif ini berjumlah 22 siswa atau mencapai
73,3%. Peneliti mengajukan pertanyaan tentang ikatan kimia dikarenakan peneliti melihat sebagian
besar siswa menjawab bahwa ikatan ionik terjadi akibat transfer elektron dan ikatan kovalen terjadi
akibat sharing elektron. Hal ini dimungkinkan terjadi karena siswa tidak memahami konsep ikatan
kimia dari aspek gaya sejak awal konsep ikatan kimia diberikan. Sehingga siswa juga tidak
memahami ikatan ionik dan ikatan kovalen dari aspek gaya.
Ikatan kimia merupakan gaya yang membuat atom-atom yang sama atau berbeda menjadi satu
kesatuan yang menunjukkan perilaku yang sama dalam senyawa kimia (Effendy, 2008c:14;
Effendy, 2008a:25, Zumdahl & Zumdahl, 2007: 400). Ebbing & Gammon (2009:329) menyatakan
bahwa ikatan kimia merupakan gaya tarikan yang kuat yang terdapat diantara atom-atom tertentu
dalam suatu materi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ikatan kimia merupakan suatu gaya
yang kuat yang dapat membuat atom-atom menjadi satu kesatuan yang menunjukkan perilaku yang
sama dalam senyawa kimia. Misalnya saja arah gerak atom C dan atom H dalam keadaan gas
tentunya masing-masing berbeda sebelum membentuk ikatan. Akan tetapi setelah membentuk
molekul CH4 arah gerak atom C dan H menjadi sama (Effendy, 2008c:14). Berdasarkan kajian
literature, nampaknya belum ada penelitian sebelumnya yang menemukan konsepsi alternatif ini.
Hal ini dapat dikatakan bahwa konsepsi alternatif ini merupakan temuan baru dari hasil penelitian.
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan diatas, ditemukan beberapa konsepsi alternatif
dalam penelitian ini. Konsepsi alternatif yang ditemukan beberapa diantaranya berupa kategori
deskripsi dan konsepsi alternatif lain yang bukan merupakan kategori deskripsi. Tabel 4 berikut ini
disajikan keseluruhan konsepsi alternatif yang ditemukan dalam penelitian ini:
Tabel 4 Konsepsi Alternatif yang Ditemukan dalam Penelitian
Respon Siswa
Konsepsi Alternatif
Peneliti Lain*
%
Ikatan Ionik
Ikatan ionik merupakan ikatan antara atom
logam dan nonlogam
Ikatan ionik terjadi karena proses transfer
elektron
Ikatan ionik merupakan ikatan yang terjadi
akibat proses tukar menukar muatan
Jari-jari ion Cl- dan atom Cl adalah sama karena
keduanya memiliki jumlah kulit yang sama
Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen merupakan ikatan antaratom
13,3%
19
63,3%
10,0%
20,0%
13,3%
333
23
76,7%
3
9
10,0%
30,0%
23,3%
26,67%
PENUTUP
Kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Keragaman konsepsi siswa kelas X di sebuah SMA Malang pada materi ikatan ionik
ditunjukkan dengan lima kategori deskripsi, yaitu: a) Ikatan Logam- Non-logam (ILN), yaitu
ikatan ionik merupakan ikatan antara atom logam dan nonlogam; b)Proses Transfer Elektron
(PTE) (sebagian), yaitu ikatan ionik terjadi karena proses transfer elektron; c) Proses Transfer
Elektron (PTE) (lengkap), yaitu ikatan ionik terjadi karena proses transfer elektron; d) Proses
Exchange Muatan (PEM), yaitu ikatan ionik terjadi karena proses tukar menukar muatan; dan
e) Gaya Elektro-statik (GE), yaitu ikatan ionik terjadi karena gaya tarikan elektrostatik yang
ditimbulkan oleh kation dan anion.
2. Keragaman konsepsi siswa kelas X di sebuah SMA Malang pada materi ikatan kovalen
ditunjukkan dengan empat kategori deskripsi, yaitu: a) Antar Atom Nonlogam (AAN), yaitu
ikatan kovalen merupakan ikatan antaratom nonlogam ; b) Sharing Elektron (SE) (sebagian),
yaitu ikatan kovalen terjadi karena proses sharing elektron; c) Sharing Elektron (SE) (lengkap),
yaitu ikatan kovalen terjadi karena proses sharing elektron; dan d) Overlap, yaitu ikatan
kovalen terjadi karena peristiwa overlap.
3. Ditemukan beberapa konsepsi alternatif yang merupakan temuan baru dari penelitian ini, dua
diantaranya merupakan kategori deskripsi sebagai berikut: (1) ikatan ionik terjadi karena proses
tukar menukar muatan, (2) ikatan kovalen terjadi karena peristiwa overlap. Selain itu, juga
ditemukan beberapa konsep alternatif temuan baru yang bukan merupakan kategori deskripsi
sebagai berikut: (1) jari-jari ion Cl- dan atom Cl adalah sama karena keduanya memiliki jumlah
kulit yang sama, (2) kation dan anion tidak terbentuk pada ikatan kovalen karena kedua atom
yang berikatan sama-sama kekurangan electron, (3) ikatan kimia merupakan ikatan antaratom
kimia.
DAFTAR RUJUKAN
Ali, W. Z. W. 1995. Memahami Pemelajaran Menerusi Penyelidikan Fenomenografi. Pertanika
Journal Social Science & Humanity, 3(2): 135-146.
334
335
Nahum, T.L., Hofstein, A., Mamlok-Naman, R., & Bar-Dov, Z. 2004. Can Final Examinations
Amplify Students Misconceptions in Chemistry? Chemistry Education: Research and
Practice. 5(3): 301-325.
Peterson, R.F., & Treagust, D.F. 1989. Grade-12 Students Misconceptions of Covalent Bonding
and Structure. Journal of Chemical Education, 66(6): 459-460.
Rahayu, S. 2000. Menggali Konsepsi Siswa tentang Sains dengan Pendekatan Fenomenografi.
Jurnal Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Pengajarannya, 29(1): 115-133.
Robinson, W.R. 1998. An Alternative Framework for Chemical Bonding. Journal of Chemical
Education, 75(1): 1075.
Sanger, M. J., & Greenbowe, T. J. 1997a. Common student misconceptions in electrochemistry:
galvanic, electrolytic, and concentration cells, Journal of Research in Science Teaching,
34(4), 377398
Silberberg, M.S. 2006. Chemistry: The Molecular Nature of Matter and Change, 4th Ed. New York:
McGraw-Hill.
Sin. S. 2010. Consideration of Quality in Phenomenographic Research. International Journal of
Qualitative Methods, 9(4): 305-319.
Taber, K.S. 2011. Building the Structural Concepts of Chemistry: Some Considerations from
Educational Research. Chemistry Education: Research and Practice in Europe, 2(2): 123158.
Taber, K.S. 2011. Models, Molecules and Misconceptions: A Commentary on Secondary School
Students Misconceptions of Covalent Bonding. Turkish Science Education, 8(1): 3-18.
Tan, K.D., & Treagust, D.F. 1999. Evaluating Students Understanding of Chemical Bonding.
School Science Review, 81(294): 75-84.
nal, S., Cotu, B., & Ayas, A. 2010. Secondary School Students Misconception of Covalent
Bonding. Journal of Turkish Science Education, 7 (2): 3-29.
Wandersee, J. H., Mintzes, J. J., and Novak, J. D. (1994) Research on alternative conceptions in
science, in: D. Gabel (ed.) Handbook of research in science teaching and learning, New
York: MacMillan), 177210.
Zumdahl, S.S., & Zumdahl, S.A. 2007. Chemistry 7th Ed. New York: Houghton Mifflin Company.
Zumdahl, S.S., Zumdahl, S.L., & DeCoste, D.J. 2007. World of Chemistry. Dallas: McDougal
Littell.
336
1)
Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No. 5 Malang 65145; 2)
BALITKABI Malang
E-mail: sumari_um@yahoo.com
PENDAHULUAN
Sebagian bahan-bahan makanan baik dalam bentuk segar maupun bahan yang sudah diolah
bersifat mudah rusak. Untuk mendapatkan penyimpanan yang optimal baik dari segi daya simpan,
nilai gizi, dan ekonomis, maka diterapkan teknologi pengemasan pada bahan pangan (Susanto dan
Saneto, 1994). Penggunaan plastik sebagai pengemas selama ini telah berkembang pesat karena
memiliki banyak keunggulan yaitu, ringan, praktis, anti karat, dapat diberi warna sehingga
kelihatan menarik, penghambat panas dan penghambat listrik yang baik (Billmeyer, 1984). Namun,
disisi lain plastik menimbulkan masalah pencemaran lingkungan karena sulit terurai oleh cuaca
maupun mikroba tanah (Martaningtyas, 2004). Oleh karena itu, penggunaan bahan pengemas yang
berasal dari sumber yang dapat diperbaharui dan mudah diuraikan oleh mikroorganisme
(biodegradable) mulai dikembangkan. Salah satunya adalah edible film yang dibuat dengan bahan
baku polisakarida yang mampu membentuk matrik film (Krochta et al., 1994).
Edible film dapat didefinisikan sebagai lapisan tipis yang melapisi suatu bahan pangan dan
layak makan, digunakan pada makanan dengan cara membungkus makanan, pencelupan atau
penyemprotan (Robertson, 1992). Edible film digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan,
memperpanjang masa simpan, menghambat perpindahan uap air, gas (oksigen, karbondioksida),
dan sebagai pembawa komposisi-komposisi makanan (misalnya antioksidan, antimikroba,
pengawet, flavour (Robertson, 1992). Penggunaan edible film ini diperuntukkan sebagai
pembungkus misalnya pada permen, buah, sup kering, dan lain-lain (Susanto dan Sucipta, 1994).
SESI PARALEL KIMIA
337
Menurut Fennema (1994), bahan polimer penyusun edible film dibagi menjadi tiga kategori
yaitu hidrokoloid, lemak dan komposit. Komponen yang termasuk hidrokoloid antara lain protein,
turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lemak biasanya tersusun dari wax,
asil gliserol, dan asam lemak. Sedangkan komposit merupakan gabungan dari lemak dan
hidrokoloid. Film dari komposit dapat membentuk lapisan ganda yang terdiri dari lapisan pertama
berupa hidrokoloid dan lapisan kedua berupa lemak yang saling menyebar rata (Krochta, 1994).
Hidrokoloid memiliki sifat-sifat pembentuk edible film yang baik. Ketahanan bahan edible film ini
terhadap rembesan gas dan flavour cukup baik, demikian pula terhadap lemak dan minyak, tetapi
kurang efektif dalam meghambat uap air (Guilbert, 1986). Edible film lemak seperti monogliserida
asetil (AMGs) sangat baik digunakan sebagai penghalang terhadap uap air karena bersifat
hidrofobik (Yvonne, 1995 dalam Proborini, 2006).
Edible film yang lentur dan kuat dapat dibuat dari pati yang mengandung amilosa (Meyer,
1960). Adanya amilopektin dalam jumlah yang tinggi dapat mengurangi ikatan antar molekul dan
akan menghambat pembentukan gel yang kuat. Struktur amilosa memungkinkan pembentukan
ikatan hidrogen dengan molekul tetangganya dan selama pemanasan mampu membentuk jaringan
tiga dimensi yang dapat menangkap air untuk menghasilkan gel yang kuat. Amilopektin dalam
granula pati tidak memiliki kemampuan membentuk jaringan tiga dimensi karena cabangnya
menyulitkan dalam pembentukan jaringan, oleh karena itu pemilihan pati yang digunakan
ditentukan oleh kadar amilosa (Meyer, 1960).
Kelebihan penggunaan edible film dibandingkan pengemas polimer sintetik lainnya adalah:
1)Edible film dapat dikonsumsi bersama dengan produk yang dikemas, dan tidak menimbulkan
efek beracun. 2) Jika edible film tidak dikonsumsi (dibuang setelah digunakan), tidak berdampak
buruk terhadap lingkungan karena tidak menimbulkan polusi dan mudah didegradasi oleh
mikroorganisme. 3) Edible film dapat menambah sifat organoleptik bahan yang dikemas, seperti
rasa, warna dan bahan-bahan pemanis yang dimasukkan ke dalamnya. 4). Edible film dapat
digunakan untuk pengemasan tersendiri dari makanan berukuran kecil seperti ercis, buncis,
kacang-kacangan dan strawberry. 5). Edible film dapat digunakan pada permukaan antar lapisan
makanan yang berbeda karena dapat mencegah kelembaban antar komponen dan perpindahan
larutan dalam makanan seperti pizza, dan permen. 6). Bahan-bahan untuk membuat edible film
relatif murah dan teknologi pembuatannya cukup sederhana.
Bahan edible film dari polisakarida yang cukup potensial adalah bahan-bahan berbasis pati
(Jokay 1967 dan Willet 1994 dalam Marseno, dkk., 2003). Beberapa bahan yang mengandung pati
antara lain ubi kayu, ubi jalar, ganyong, ubi kayu, dan talas (Suismono, 2001). Dalam penelitian ini
bahan yang digunakan adalah pati ubi kayu Adira-4 yang kadar amilosanya cukup tinggi.
Menurut Whisltler and Pascal (1967), pati dengan kadar amilosa tinggi sesuai untuk bahan
baku edible film karena struktur amilosa memungkinkan pembentukan ikatan hidrogen dengan
molekul tetangganya dan selama pemanasan mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat
menangkap air untuk menghasilkan gel yang kuat. Namun, edible film yang dihasilkan dari bahan
baku pati relatif mudah robek (getas), sehingga perlu penambahan plasticizer agar film menjadi
lebih lentur (Gontard et al., 1993). Beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai plasticizer antara
lain gliserol, sorbitol, propilen glikol dan xylitol. Pada penelitian ini dilakukan penambahan
sorbitol dan gliserol pada pati ubi kayu untuk melihat karakteristik edible film yang dihasilkan.
METODE
Pembuatan Pati Ubi Kayu
Ubi kayu dikupas kemudian diparut dengan pemarut mekanis, ditampung dalam air (1:3 b/v).
Setelah itu diperas dengan kain saring untuk memisahkan patinya. Pati yang diperoleh kemudian
didiamkan/ diendapkan, air dibagian atas dibuang. Selanjutnya pati basah ini dikeringkan dalam
oven pada suhu 50 oC selama 8 jam, digiling dengan alat penepung mekanis dan diayak 100 mesh.
Pati diuji analisis kadar pati, kadar amilosa, kadar air, derajat putih dan identifikasi gugus fungsi
dengan spektroskopi inframerah.
338
Pati ubi kayu memiliki nilai derajat putih cukup tinggi (89,350,78). Pada penelitian ini dilakukan
proses perendaman dalam larutan natrium bisulfit yang dapat mencegah terbentuknya warna gelap/
coklat akibat aktivitas enzim polifenolase. Untuk menghambat aktivitas enzim polifenolase,
disarankan penambahan garam sulfit atau klorida pada air rendaman saat proses pemarutan
berlangsung (Widowati et al.,1997). Warna/ derajat putih pati turut menentukan kualitas produk
yang dihasilkan, terutama warna/ tingkat kecerahan karena itu merupakan salah satu kriteria
persyaratan mutu, dimana makin tinggi persentase derajat putih pati makin baik
Pati ubi kayu memiliki kadar pati 65,460,36 dengan kadar amilosa 29,800,14. Baik kadar pati
dan amilosa tersebut dapat dipengaruhi oleh varietas, umur panen, iklim, dan jenis tanah. Selain itu,
kadar pati juga dipengaruhi oleh cara ekstraksi, sehingga adanya ikutan senyawa lain seperti
protein, lemak, serat, dan abu akan menentukan tingkat kemurnian pati (Ginting et al., 2005). Pati
tersusun atas amilosa dan amilopektin. Pati dengan kadar amilosa rendah jika dibuat pasta akan
bersifat lunak dan relatif tidak membentuk gel yang kokoh (Suryani, 2001).
Kadar air pati ubi kayu sebesar 7,790,04. Kadar air berpengaruh terhadap kualitas dan masa
simpan dari pati tersebut. Kadar air pati tersebut cukup rendah (<10%), sehingga aman untuk
339
disimpan. Kadar air pati telah memenuhi standar mutu untuk pati ubi kayu (SNI 1991), maksimum
15%. Standar ini digunakan sebagai acuan karena standar mutu untuk pati ubi kayu belum tersedia
Sifat Fisik Edible Film
Dari penelitian didapatkan bahwa rerata berat edible film perlembar 0,47 gram dari pati ubi kayu
dengan kandungan sorbitol atau gliserol 0,03 ml perlembar. Hasil analisis ketebalan, warna,
tensile strength dan elongasi edible film dari pati ubi kayu dengan penambahan sorbitol dan gliserol
disajikan pada Tabel 2
Tabel 2 Hasil Analisis Ketebalan, Warna, Tensile Strength, dan Elongasi dari Edible Film)*
Jenis Pati
Plasticizer
Ketebalan (mm)
Warna (L*)
Tensile Strength
(MPa)
Elongasi
(%)
Ubi kayu
Gliserol
0.02
81,470,50
8,770,87
1,970,14
Sorbitol
0.02
81,330,84
*Data merupakan rerata dari 3 ulangan standar deviasi.
8,601,39
1,430,05
Ketebalan
Pada penelitian ini, pembuatan edible film menggunakan alat dan cetakan yang sama, demikian
pula suhu dan waktu pengeringan yang sama, sehingga diperoleh edible film dengan ketebalan yang
sama pula. Ketebalan edible film yang diperoleh dari semua perlakuan memiliki nilai yang sama
yakni 0.02 mm. Ketebalan edible film dipengaruhi oleh konsentrasi pati dan ukuran plat kaca.
Edible film dengan ketebalan 0.03 mm memberikan arti bahwa film cukup tipis sehingga
applicable untuk digunakan sebagai pembungkus makanan baik ditinjau dari sisi sensoris maupun
penampilan dari makanan yang dibungkus.
Warna
Parameter warna yang diuji pada edible film diukur dengan menggunakan colour reader dengan
parameter yang dibaca L*, a*, dan b*. Nilai L* menyatakan tingkat kecerahan/ lightness dengan
kisaran 0-100. Nilai 0 untuk kecenderungan warna hitam (gelap) dan 100 untuk kecenderungan
putih (terang). Nilai a* menunjukkan intensitas warna merah (+) sampai hijau (-), dan nilai b*
menyatakan intensitas warna kuning (+) sampai biru (-). Pada penelitian ini parameter yang
digunakan hanya nilai L* karena bahan yang digunakan berupa pati yang berwarna putih dengan
penambahan sorbitol dan gliserol yang tidak berwarna, sehingga warna putih/ kecerahan lebih
dominan. Tingkat kecerahan (L*) edible film dari campuran pati ubi kayu dengan gliserol
81,470,50 dan dengan sorbitol (81,330,84). Hal ini menunjukkan bahwa kedua plasticizer tidak
terlalu mempengaruhi warna edible film yang dihasilkan. Berdasarkan data warna tersebut
menunjukkan kedua edible film memiliki tingkat kecerahan yang baik.
Kekuatan Tarik (Tensile Strength) dan Perpanjangan (Elongasi)
Uji kekuatan tarik digunakan untuk mengetahui sifat mekanik bahan, terutama kekuatan tarik dan
regangannya. Semakin tinggi rerata nilai tensile strength edible film maka kekuatannya dalam
menahan tekanan yang diberikan semakin baik, demikian sebaliknya. Elongasi adalah kemampuan
perpanjangan film saat diberikan gaya tarik. Semakin tinggi persen elongasi edible film maka edible
film yang dihasilkan memiliki fleksibilitas yang baik karena mampu melakukan perpanjangan
secara maksimum, demikian sebaliknya (Gontard et al., 1993)
Kekuatan tarik dan perpanjangan edible film yang dihasilkan antara pati ubi kayu dengan
penambahan gliserollebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sorbitol. Hal ini karena gliserol
memiliki rantai molekul yang lebih pendek sehingga memungkinkan pembentukan ikatan hydrogen
yang lebih banyak sehingga interaksi antar poliglukosa lebih kuat yang berimbas pada sifat tensile
strength dan elongasi yang lebih tinggi.. Semakin besar nilai tensile strength dan elongasi
340
menunjukkan ketahanannya terhadap kerusakan akibat tarikan, peregangan, dan tekanan sehingga
kualitas fisik yang dihasilkan semakin baik. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Gontard (1993)
kekuatan peregangan merupakan kemampuan edible film untuk menahan suatu beban gaya dari luar
yang diberikan terhadap edible film. Nilai tensile strength tinggi berarti menunjukkan bahwa bahan
tersebut mempunyai kecenderungan sulit patah.
Analisis Gugus Fungsi Dengan FTIR).
Karakterisasi dengan spektrofotometer FTIR digunakan untuk mengetahui interaksi antara
komponen penyusun edible fim. Dari data spektra IR dapat diketahui gugus fungsi yang ada pada
pati ubi kayu, sorbitol, gliserol, dan edible film. Hasil spektrum IR pati ubi kayu, sorbitol dan
gliserol disajikan pada Gambar 3 , 4, dan 5 serta analisis gugus fungsi disajikan pada Tabel 3, 4,
dan 5
341
Interaksi yang terjadi antar komponen dalam edible film dapat dilihat dari hasil spektrum IR
campuran pati ubi kayu dengan sorbitol kemudian dibandingkan dengan spektrum IR komponenkomponen penyusunannya. Spektrum IR dari pati ubi kayu dengan penambahan sorbitol dan
gliserol disajikan pada Gambar 6 dan Gambar 7 dan hasil analsis sektrum IR disajikan pada Tabel 6
dan Tabel 7.
Gambar 6 Spektrum IR Edible Film dari Pati Ubi kayu dengan Penambahan Gliserol
Tabel 6 Hasil Analisis Spektrum IR Pati Ubi kayu 8% b/v total + Gliserol 2% v/bpati
342
Gugus Fungsi
Ulur O-H
O-H ikatan hidrogen
C-H alifatik
Tekuk O-H
C-O-C -1,4-glikosidik
C-O-C -1,6-glikosidik
Ulur C-O
C-O-O siklik piranosa
Gambar 7 Spektrum IR Edible Film dari Pati Ubi kayu dengan Penambahan Sorbitol
Tabel 7 Hasil Analisis Spektrum IR Pati Ubi kayu 8% b/v total + Sorbitol 2% v/bpati
Bilangan Gelombang (cm-1)
3446,56
3378,09
2928,71
1646,13
1414,69
1153,35
1081,99
933,48
Gugus Fungsi
Ulur O-H
O-H ikatan hidrogen
C-H alifatik
Tekuk O-H
C-O-C -1,4-glikosidik
C-O-C -1,6-glikosidik
Ulur C-O
C-O-O siklik piranosa
343
1. Edible Film terbuat dari pati ubi kayu dengan plasticizer bisa dibuat cukup tipis, memiliki
tingkat kecerahan yang baik, sehingga applicable untuk digunakan sebagai pembungkus
makanan dan obat-obatan
2. Kekuatan tarik dan perpanjangan edible film yang dihasilkan antara pati ubi kayu dengan
gliserol lebih tinggi dibandingkan dengan penambahan sorbitol
3. Penambahan gliserol dan sorbitol pada pati ubi kayu tidak menyebabkan perubahan gugus
fungsi pada edible film dibandingkan komponen penyusunnya. Antar komponen edible film
hanya terjadi interaksi gaya van der Walls dan ikatan hidrogen.
DAFTAR PUSTAKA
Apriyantono, Fardiaz, D., Puspitasari, N., dan Budianto, S. 1993. Petunjuk Laboratorium, Analisa
Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas, IPB.
Billmeyer, J. R, R. W. 1962. Texbook of Polymer Science. New York: John Wiley & Sons. Inc.
pp.1-18.
Cuq, B., Gountard, N., & Guilbert, S. 1996. Funcional Properties of Myofibrillar Protein-based
Biopacking as Affected by Film Thickness. Journal of Food Science, 61 (3): 580-583.
Fennema, D.R. 1996. Food Chemistry (3rd ed.). New York: Marcell Dekker, Inc.
Ginting, E., Widodo, Y., Rahayuningsih, S.A., & Jusuf, M. 2005. Karakteristik Pati Beberapa
Varietas Ubi Jalar. Jurnal: Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 24 (1): 8-16.
Gontard, N., Guilbert, S., & Cuq, J.L. 1993. Water and Glycerol as Plastiziers Effect Mechanical
and Water Vapour Barrier Properties of an Edible Film Wheat Gluten Film. Journal of
Food Science, 58 (1).
Gountard, N., Guilbert, S., & Jean-Louis, C. 1992. Edible Wheat Gluten Film: Influence of Main
Process Variable on Film Properties Using Response Surface and Corn Proteins. Journal of
Food Science, 1 (57): 190.
Guilbert, S. 1986. Technology and Application of Edible Protective Film. p-371-394. New York:
Elsevier Applied Science Publishers.
Indarti, E. & Fahrizal. 2007. Kajian Pengaruh Konsentrasi dan Jenis Plasticizer terhadap
Kekuatan Fisik Edible Film dari Sagu. UNSYIAH Digital Library. (Online),
(http://222.124.186.229/gdl40/go.php?id=gdlnode-gdl-res-2007-iretiindar1113&width=400,
Kester, J.J. & Fennema, O. 1996. Edible Film and Coating A Review. Food Technology. 40 (12):
371-394.
Krochta, J.M., Balduin, E.A. & M.O, Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coatings and Film to
Improve Food Quality. California: Technomic Publishing Company, Inc.
Marseno, W., Djagal. & Amrinarsih. 2003. Sifat Fisik dan Mekanik Biodegradable Film Pati Ubi
kayu (Maranta arundinaceae L). Seminar Nasional PATPI. p-755-764.
Martaningtyas, D. 2004. Potensi Plastik Biodegradable. (http://www.pikiran-rakyat.com)
McHugh, T.H. & Krochta, J.M. 1994. Permeability Properties of Edible Films. dalam John, M.K.,
Elizabeth, A.B. & Myrna, O.N. (Eds.), Edible Coatings and Films to Improve Food Quality
p-140-157. Pennsylvania: Technomic Publishing Company, Inc.
Meyer, L.H. 1960. Food Chemistry. New Delhi: Affiliated East West Press PVT.
Robertson, L.G. 1992. Food Packaging Principles and Practice. New York: Marcel Dekker,
Inc.pp.1-67
SESI PARALEL KIMIA
344
SNI. 1991. Standar Nasional Indonesia untuk Tapioka. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Sudarmadji, S.B., Haryono., & Suhadi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: PT. Liberty.
Sudjadi. 1983. Penentuan Struktur Senyawa Organik. Bandung: Ghalia Indonesia.pp.41-75
Suismono. 2001. Teknologi Pembuatan Tepung dan Pati Ubi-ubian untuk Menunjang Ketahanan
Pangan. Pangan 10 (37): 37-49.
Suryani, C.L. 2001. Karakteristik Amilografi Pati Ganyong Putih, Ubi Jalar dan Ubi kayu serta
Sifat-sifat Fisik Sohun yang Dihasilkan. Dalam B. Widianarko, B. Widiloka, V.P. Bintaro,
A.M. Legowo, G. Adjisoetopo, R. Pratiwi, dan Nurwanto (Eds). Himpunan Makalah
Seminar Nasional Teknologi Pangan. Semarang: PATPI. Pp. 42-52.
Susanto, T. & Sucipta, N. 1994. Teknologi Pengemasan Bahan Makanan. Blitar: CV Family. Pp.135
Widowati, S., Waha, S.G., & Santosa, B.A.S. 1997. Ekstraksi dan Karakteristik Sifat Fisikokimia
dan Fungsional pati Beberapa Varietas Talas (colocasia esculenta (L.) Schott). Dalam
Budjianto, S., Zakaria, F., Haryadi, R.D. dan Satiawiharja, B. (Eds). Prosiding Seminar
Nasional Teknologi Pangan. Denpasar, 16-17 Juli 1997. Buku I. PATPI-Menpangan RI.
Pp.181-195.
345
PENDAHULUAN
Penggunaan insektisida di lingkungan pertanian menjadi masalah pada saat ini, terutama
pada tanaman sayuran yang masih menggunakan insektisida sintetik secara intensif. Kebanyakan
insektisida sintetik memiliki sifat non spesifik, yaitu tidak hanya membunuh jasad sasaran tetapi
juga membunuh organisme lain. Insektisida sintetik dianggap sebagai bahan pengendali hama
penyakit yang mudah diperoleh, mudah dikerjakan dan hasilnya cepat terlihat. Namun dalam
penggunaan dari insektisida sintetik ini sering menimbulkan berbagai masalah, seperti pencemaran
lingkungan, keracunan terhadap manusia dan hewan peliharaan serta mengakibatkan resistensi
serta resurgensi bagi hama serangga [1]. Pada catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tercatat
bahwa di seluruh dunia setiap tahunnya terjadi keracunan insektisida antara 44.000-2.000.000
orang dan dari angka tersebut yang terbanyak terjadi di negara berkembang [2]. Oleh karena itu,
diperlukan suatu cara untuk mengatasi masalah tersebut, yaitu menggantinya dengan insektisida
berbahan nabati. Hal ini dikarenakan, beberapa hasil penelitian telah menunjukkan bahwa ekstrak
bagian tanaman memiliki sifat toksik terhadap hama. Berbagai jenis tumbuhan telah diketahui
mengandung senyawa bioaktif antara lain alkaloid, terpenoid, steroid, fenolik, dan tannin yang
dapat berfungsi sebagai insektisida nabati.
Salah satu tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida nabati adalah Bruguiera
gymnorrhiza. Bruguiera gymnorrhiza (Lamk) merupakan salah satu tanaman Rhizoporaceae yang
346
memiliki kandungan kimia yaitu tannin sebesar 41 % [3]. Pada kulit batang Bruguiera gymnorrhiza
(Lamk) ditemukan senyawa flavonoid yaitu campuran senyawa 3,3,4,5,7-pentahidroksi flavan dan
polimer 3,3,4,5,5,7-heksahidroksi flavan. Selain senyawa tersebut, dilaporkan juga bahwa dalam
kulit batang telah berhasil diisolasi senyawa triterpenoid yaitu triterpen oleanan dan -amirin.
Sedangkan pada daun ditemukan senyawa triterpenoid yaitu senyawa tarakseril-sis-p-hidroksisinamat.
Berdasarkan hasil penelitian tentang senyawa metabolit sekunder yang terkandung di dalam
tumbuhan Bruguiera gymnorrhiza maka dilakukan uji bioaktivitas insektisida dari ekstrak
kloroform kulit batang tumbuhan Bakau Daun Besar (Bruguiera gymnorrhiza) setelah dilakukan
formulasi dengan ekstrak metanol biji mimba (EMBM) dan efektifitas hasil pengujian semilapang
formula EKBG terhadap ulat grayak.
METODE PENELITIAN
ALAT
Peralatan yang digunakan pada penelitian ini adalah gelas kimia, spatula, toples plastik, kain
kasa dengan ukuran 20 cm x 20 cm, gelas ukur, labu ukur, cawan petri, pipet, kuas halus,
timbangan analitik, kertas tissue, botol, pot berdiameter 15 cm dan tinggi 5 cm, alat semprot,
plastik milar, dan lain-lain.
BAHAN
Pada penelitian ini, bahan-bahan yang digunakan adalah ekstrak kloroform kulit batang
tumbuhan Bruguiera gymnorrhiza (EKBG), ekstrak metanol biji mimba (EMBM), tween 80,
aquades, ulat grayak instar II, daun jarak kepyar, dan tanaman sawi.
PROSEDUR PENELITIAN
Uji Bioaktivitas Formula EKBG
Bahan bioaktif dari ekstrak kloroform tumbuhan bakau daun besar (Bruguiera gymnorrhiza)
sebanyak 1,067 g dituang dalam gelas kimia, kemudian ditambahkan dengan ekstrak metanol biji
mimba (EMBM) dengan perbandingan 2:1, yaitu sebanyak 0,533 g. Setelah itu, ditambahkan
dengan 10 tetes Tween 80 (sebagai pengemulsi karena ekstrak tidak dapat larut dalam air), diaduk
hingga tercampur homogen. Kemudian ditambahkan dengan bahan pembawa berupa air (aquades)
sedikit demi sedikit, diaduk hingga tercampur homogen dan larut. Larutan uji formula EKBG
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 250 mL dan ditambahkan aquades sampai tanda
batas, sehingga diperoleh larutan induk 6400 mg/L.
Membuat larutan uji formula EKBG dengan konsentrasi 0, 200, 400, 800, 3200, dan 6400
mg/L dengan cara mengambil 0; 3,13; 6,25; 12,5; 25; 50; dan 100 mL dari larutan induk 6400
mg/L kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL, dan ditambahkan aquades hingga tanda
batas. Campuran formula kemudian dikocok hingga menjadi homogen dan didiamkan selama 30120 menit, sehingga dihasilkan formulasi dalam bentuk sediaan Emulsible Concerate (EC).
Larutan hasil formulasi tersebut dicelupkan pada ulat grayak (Spodoptera litura Fabr.)
menggunakan cawan petri dengan volume 10 mL tiap konsentrasi formula. Sementara itu disiapkan
pakan daun jarak kepyar dengan masing-masing larutan uji. Kemudian memasukkan ulat grayak
(Spodoptera litura Fabr.) ke dalam tempat uji yang telah berisi bahan pakan daun jarak kepyar
yang telah kering dan dipotong-potong.
Pengujian ini dilakukan dengan metode residu daun dengan cara penyemprotan pakan (racun
perut) dan pencelupan ulat pada larutan uji (racun kontak), yaitu daun jarak kepyar segar disemprot
dengan menggunakan sprayer pada berbagai konsentrasi yang di uji, kemudian dikering-keringkan
selama 10 menit dan dimasukkan ke tabung perlakuan (toples plastik) berdiameter 5 cm dan
tinggi 10 cm yang berisi 15 ekor larva instar II yang telah dicelupkan pada larutan uji dengan
menggunakan pinset. Setiap perlakuan diulang 4 kali. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 1-5
hsp kemudian menimbang berat larva pada 8 hsp.
347
EI = X 100 %
Keterangan :
EI = Efikasi insektisida yang diuji
Ta = Populasi ulat grayak pada petak perlakuan formula bahan bioaktif ekstrak kloroform
setelah penyemprotan insektisida.
Ca = Populasi ulat grayak pada kontrol setelah penyemprotan insektisida
Kriteria efikasi didasarkan bahwa suatu formulasi insektisida dikatakan efektif apabila pada
sekurang-kurangnya (1/2n+1) kali pengamatan (n=jumlah total pengamatan), tingkat efikasi
insektisida (EI) 50 % dengan syarat :
a. Populasi ulat grayak pada perlakuan insektisida yang diuji lebih rendah atau tidak berbeda nyata
dengan populasi pada perlakuan insektisida pembanding. Dalam penelitian ini digunakan
OrgaNeem (taraf nyata 5%).
b. Populasi ulat grayak pada petak perlakuan insektisida yang diuji nyata lebih rendah
dibandingkan populasi pada petak kontrol (taraf nyata 5%). Prosedur kerja pengujiannya adalah
dengan melakukan penyemprotan formula insektisida pada tanaman sayur menggunakan alat
menara potter.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji Bioaktivitas Formula EKBG
Hasil pengujian bioaktivitas insektisida nabati formula EKBG dengan konsentrasi yang
berbeda dapat menyebabkan mortalitas ulat grayak yang bervariasi, seperti yang terlihat pada Tabel
1.
Tabel 1. Pengaruh Konsentrasi Formula EKBG Terhadap Jumlah Ulat yang mati
Formula EKBG
Jumlah Total
Jumlah Ulat yang Mati hari ke(mg/L)
Ulat (N)
1
2
3
4
5
60
0
1
2
4
6
0
60
1
4
6
7
10
200
60
3
8
11
13
16
400
60
3
7
14
18
23
800
60
6
13
17
22
28
1600
60
9
16
24
33
37
3200
60
12
21
33
39
42
6400
348
Pada Tabel 2 terlihat bahwa pengaruh pengaruh konsentrasi formula EKBG terhadap jumlah
ulat grayak yang mati pada 1 dan 2 hsp masih sangat rendah yaitu antara 1,67-35,00%. Pengaruh
perlakuan formula EKBG mulai terlihat pada 3-5 hsp yang selanjutnya terus mengalami
peningkatan dan mencapai mortalitas antara 18,33-70,00%.
Tabel 2. Data Persentase Pengaruh Formula EKBG terhadap Mortalitas Ulat Grayak
% Mortalitas
Konsentrasi Formula
EKBG (mg/L)
Hari 1
Hari 2
Hari 3
Hari 4
Hari 5
0,00
1,67
3,33
6,67
10,00
0
1,67
6,67
10,00
11,67
16,67
200
5,00
13,33
18,33
21,67
26,67
400
5,00
11,67
23,33
30,00
38,33
800
10,00
21,67
28,33
36,67
46,67
1600
15,00
26,67
40,00
55,00
61,67
3200
20,00
35,00
55,00
65,00
70,00
6400
Pada Gambar 1 terlihat bahwa pola hubungan antara konsentrasi dan % mortalitas ulat
grayak adalah nyata. Hal ini dikarenakan mortalitas ulat grayak mengalami peningkatan seiring
dengan perlakuan konsentrasi yang semakin tinggi. Hal ini dapat terlihat dari nilai koefisien
determinasi adalah R2 = 0,8043 atau sebesar 80,43%.
Pendugaan nilai toksisitas insektisida terhadap serangga uji diukur dengan nilai LC50, yaitu
suatu konsentrasi atau dosis yang dapat menyebabkan kematian 50% serangga uji. Data
pengamatan pada Tabel 1 dianalisis dengan menggunakan program Minitab 14 for windows untuk
dihitung nilai mortalitas median (LC50). Nilai LC50 formula EKBG pada 1-5 hsp berturut-turut,
yaitu 10565.50 mg/L, 7888.895 mg/L, 5147.734 mg/L, 3862.189 mg/L, 3100.050 mg/L.
Uji Efikasi Semilapang EKBG
Pengamatan uji efikasi semilapang ini dilakukan pada 1, 3, 5, dan 7 hsp dengan hasil
pengamatan disajikan pada Tabel 3 sebagai berikut.
Tabel 3. Pengaruh Konsentrasi EKBG Terhadap Jumlah Populasi Ulat Grayak
Jumlah Populasi Pengamatan Hari KeFormula
Konsentrasi
Insektisida
(g/L) air
1
3
5
7
Kontrol
59
58
56
54
EKBG 2 EC
55
48
41
36
349
4
6
8
58
41
42
47
38
36
43
32
29
29
25
23
OrgaNeem
3mL/L
50
38
34
26
Data Tabel 3 kemudian digunakan untuk menghitung nilai Efikasi Insektisida (EI) dengan
menggunakan rumus abbot sehingga diperoleh nilai EI formula EKBG seperti pada Tabel 4.
Formula
Insektisida
EKBG 2 EC
6,77
17,24
26,78
33,33
EKBG 4 EC
EKBG 6 EC
EKBG 8 EC
4
6
8
1,69
30,50
28,88
18,96
34,48
37,93
23,21
42,85
48,21
46,29
53,70
57,40
OrgaNeem
3mL/L
15,25
34,48
39,28
51,85
Dari data Tabel 4 terlihat bahwa pada 7 hsp nilai EI formula EKBG 6 EC adalah 53,70%
dan EI insektisida nabati pembanding OrgaNeem 1 EC mencapai puncak pada 7 hsp adalah
51,85%. Dari nilai ini terlihat bahwa efektivitas insektisida nabati pembanding OrgaNeem.
Formula EKBG 2 dan 4 EC dari empat kali pengamatan tidak pernah mencapai nilai Efikasi
Insektida (EI) 50%, yang berarti tidak memenuhi kriteria efikasi. Pada EKBG 6 EC dari empat
kali pengamatan sudah memenuhi nilai EI 50% yang dicapai pada pengamatan hari ke-7 setelah
aplikasi yaitu sebesar 53,70%. Data EI % pada perlakuan insektisida dari empat kali pengamatan
memiliki nilai EI 50% yang lebih besar jika dibandingkan dengan nilai EI % pada insektisida
pembanding (OrgaNeem 1 EC) dimana kemampuan dalam menekan populasi ulat grayak instrar II
lebih rendah.
Kriteria efikasi didasarkan bahwa suatu formula insektisida dikatakan efektif apabila pada
sekurang-kurangnya (1/2 n + 1) kali pengamatan (n = jumlah total pengamatan), tingkat Efikasi
Insektisida (EI) 50% dengan syarat:
1. Populasi ulat grayak pada perlakuan insektisida yang diuji lebih rendah atau tidak berbeda nyata
dengan populasi pada perlakuan insektisida pembanding (taraf nyata 5%).
2. Populasi ulat grayak pada petak perlakuan insektisida yang diuji nyata lebih rendah
dibandingkan dengan populasi pada petak kontrol (taraf nyata 5%).
Jadi nilai EI 50% minimal yang harus dicapai agar memenuhi kriteria insektisida yang
efektif dalam penelitian ini adalah empat kali. Dengan mengacu pada ketentuan tersebut, maka
formula EKBG minimal pada 6 EC konsentrasi 6 g/L nilai EI 50% dapat dicapai lebih dari
jumlah minimal yang ditentukan, maka formula EKBG 2 EC dan 4 EC, belum memenuhi kriteria
sebagai formulasi insektisida yang efektif. Jadi, hasil formulasi insektisida nabati EKBG dapat
dikatakan efektif pada konsentrasi 6 g/L air.
Adanya pengaruh konsentrasi formula EKBG dengan jumlah populasi ulat grayak yang
hidup pada pengujian semilapang ditunjukkan pada Gambar 2 berikut.
350
Dari Gambar 2 terlihat bahwa jumlah populasi ulat grayak terus menurun dari hari 1-7 hsp
untuk tiap konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi maka akan menyebabkan semakin kecil jumlah
populasi ulat grayak. Dari hasil analisis data two-way Anava dengan menggunakan minitab 13
pada pengaruh konsentrasi EKBG, pembanding, dan kontrol terhadap populasi ulat grayak
diperoleh harga probabilitas pada hari ke-1, 3, 5, dan 7 masing-masing sebesar 0,001; 0,007; 0,001;
0,000 dimana 0,05 maka menunjukkan adanya pengaruh yang nyata antara konsentrasi formula
EKBG terhadap populasi ulat grayak. Jadi, hasil formulasi bioinsektisida EKBG dapat dikatakan
efektif.
SIMPULAN
Dari hasil pengamatan dan analisis data disimpulkan bahwa nilai LC50 tertinggi uji
bioaktivitas formula EKBG terhadap ulat grayak dicapai pada 5 hsp dengan nilai LC50 adalah
3100,150 mg/L Nilai EI 50% pengujian semilapang menunjukkan formula EKBG 6 EC pada 7
hsp adalah 53,70% lebih baik jika dibandingkan dengan pembanding OrgaNeem 7 hsp yaitu
sebesar 51,85%. Sehingga formula EKBG 6 EC dapat dikatakan efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Rejesus, B.M. 1986. Botanical Pest Control Research in the Philippines. University of
Philippines, Los Banos. 30 pp.
Maulana, Awal. 2010. Pertanian Organik (Pestisida Nabati).
http://worldplant.multiply.com/journal/ item/24/Pertanian_Organik_Pestis-ida_Nabati.
Diakses pada tanggal 1 April 2011.
Damaik, S. 1987. Ekologi Ekosistem Sumatra. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Yasin, M dan A. Rugaya. 2007. Insektisida Abuki 350 SC (b.a: Imidakloprid 350 g/l)
Efektif terhadap Hama Wereng Hijau (Nephotettix Virescens Distant) pada Tanaman
Padi. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda.
Sulawesi Selatan.
351
PENDAHULUAN
Dalam sintesis senyawa kompleks, prediksi kestabilan senyawa kompleks yang akan
disintesis pada umumnya didasarkan pada deret kestabilan Irving-Williams. Kestabilan senyawa
kompleks dengan ion pusat divalen pada deret tersebut akan meningkat dengan berkurangnya
ukuran ion ( Irving and Williams dalam Huheey, 1978). Berdasarkan pada teori ini, mensintesis
senyawa kompleks dari ion pusat Mn2+ akan lebih sulit dibandingkan dengan Fe2+ atau Co2+
karena pada deret Irving-Williams Mn2+< Fe2+ < Co2+. Namun dalam sintesis kompleks dengan
dua ligan (ligan N-heterosiklik dan ligan CN-) diketahui bahwa senyawa kompleks dengan ion
pusat yang lebih besar lebih mudah disintesis. Pada ketiga ion di atas, kompleks dengan Mn2+ jauh
lebih mudah disintesis dibandingkan dengan Fe2+ atau Co2+ (Dasna et al, 2000; Dasna et al,
2011). Keadaan tersebut menunjukan bahwa ion dengan volume lebih besar akan dapat membentuk
kompleks dengan dua jenis ligan yang berbeda dibandingkan dengan ion pusat yang lebih kecil.
Hal ini tidak sejalan dengan deret kestabilan Irving-Williams. Penjelasan yang relevan dengan
keadaan tersebut adalah pada ion pusat dengan volume lebih besar akan terjadi tolakan antar liganligan yang berikatan lebih rendah karena orbital-orbital yang berikatan mempunyai ruang lebih
besar untuk berinteraksi sampai mencapai tolakan minimal.
Selain deret Irving-Williams, prediksi kestabilan kompleks sering menggunakan teori
Pearson (1963) dimana hard acids prefer to bind to hard bases and soft acids prefer to bind to soft
bases (Huheey, 1978). Pada kompleks Mn2+, Fe2+, dan Co2+, ion Mn2+ merupakan asam keras
sedangkan dua ion lainnya merupakan borderline acids. Dengan demikian, ion Mn2+ akan lebih
suka mengikat ligan N-heterosiklik yang merupakan basa keras. Berdasarkan teori tersebut akan
SESI PARALEL KIMIA
352
sangat menarik dikaji kompleks-kompleks yang disintesis dari ion-ion logam dalam kelompok
borderline acids dengan ligan-ligan dalam kelompok basa keras dan basa lunak. Pada penelitian ini
dipilih ion pusat Co2+ (borderline acid) dengan ligan kuinolina (borderline base) dan ligan 8hidroksi kuinolina/oxine yang merupakan ligan kelompok basa keras. Sintesis kompleks dari ion
pusat yang sama (Co2+) dengan ligan dari dua kelompok yang berbeda akan sangat bermanfaat
untuk memprediksi kestabilan senyawa-senyawa kompleks dari ion pusat boderline acids. Ion pusat
ini ada dalam perbatasan asam keras dan asam lunak sehingga kestabilan kompleks yang terbentuk
akan mempunyai karakteristik tersendiri.
Senyawa kompleks kobalt(II) dengan ligan-ligan N-heterosiklik telah berhasil disintesis,
diantaranya adalah reaksi antara ion kobalt(II) dengan ligan-ligan piridina (py), bipiridin (bipy),
fenantrolina (phen), pirazin (pz), atau pirimidin (prd) dengan perbandingan mmol 1:2 untuk ligan
bidentat dan 1:4 untuk ligan monodentat menghasilkan senyawa kompleks dengan rumus CoL2X2
(L = bipy, phen; X=Cl, NO3) dan CoR4X2 (R = py, pz, prd). Contoh lain senyawa kompleks
kobalt(II) dengan ligan N-heterosiklik adalah senyawa [Co(quin-2-c)2(EtOH)2] dimana quin-2-c =
kuinolina-2-karbosilat (Dobrzyska et.all, 2003), dan senyawa dengan kombinasi ion logam Co(II)
dengan ligan 1,2-bis(8-quinolyloxymethyl)benzene dan 1,3-bis(8-quinolyloxymethyl)benzene (AlMandhary dan Stell, 2003). Selain itu, telah disintesis pula senyawa [Fe(quin-2-c)2(EtOH)2] dan
[Fe(quin-2-c)2(PrOH)2] dimana quin-2-c = kuinolina-2-karbosilat, EtOH = etanol dan PrOH =
propanol (Dobrzyska et.all, 2003) dan senyawa [{Ag(pts)} (dap)]n, [Ag(oxine)2+].(pts-) dan
[Ag2(dah)32+]n.2n(pts-) dimana pts = p-toluenesulfonate, dap = 2,6-iaminopyridine, oxine =
quinolin-8-ol (Al-Mandhary, dan Stell, 2003).
Berdasarkan uraian senyawa-senyawa similer yang telah berhasil disintesis maka sintesis
senyawa kompleks dari ion pusat Co2+ dengan ligan kuinolina dan oksina akan dapat dilakukan.
Senyawa hasil sintesis akan diamati sifat magnetisnya untuk mengetahui tipe hibridiasi yang terjadi
pada kedua kompleks.
METODE
Penelitian dilaksanakan dengan tahap-tahapan: sintesis kompleks, karakterisasi: titik lebur
dan sifat magnetik, serta SEM-EDAX.
Sintesis senyawa kompleks
Pada penelitian ini, sintesis dilakukan dengan metode langsung dimana garam dari ion pusat
dilarutkan dalam metanol seminimal mungkin kemudian ditambahkan ke dalam larutan ligan yang
telah dilarutkan dalam metanol juga. Perbandingan reaktan garam Kobalt(II) klorida dan ligan 8hidroksikuinolina (oxine) adalah 1: 2. Reaksi berlangsung pada wadah terbuka dan tidak dalam
pengaruh tekanan tertentu.
Sintesis Senyawa Kompleks dari Kobalt(II) Klorida dan Ligan Kuinolina
Sebanyak 0,238 g, (1 mmol) garam CoCl2.6H2O dilarutkan dalam 4 mL metanol dan
diaduk dengan pengaduk magnet hingga homogen menghasilkan larutan berwarna ungu tua.
Larutan ini kemudian ditambahkan tetes demi tetes ke dalam larutan ligan yang dibuat dari 0,24
mL (2 mmol) kuinolina dalam 4 mL metanol. Campuran kedua larutan ini kemudian diaduk
selama dua jam disertai pemanasan sampai dihasilkan larutan yang homogen. Kristalisasi dilakukan
dengan cara memindahkan larutan ke dalam tabung reaksi 50 mL, kemudian ditutup dengan
alumunium foil yang dilubangi dengan jarum pentul dan diuapkan secara perlahan pada suhu
kamar. Setelah kurang lebih tiga hari, kristal berwarna biru gelap berbentuk jarum dipisahkan dan
dicuci dengan pelarut metanol.
Sintesis Senyawa Kompleks dari Kobalt(II) Klorida dan Ligan 8-hidroksikuinolina
Sebanyak 0,238 g (1 mmol) garam CoCl2.6H2O (0,238 g, 1 mmol) dilarutkan dalam 4 mL
metanol (4 mL) dan diaduk dengan pengaduk magnet hingga homogen menghasilkan larutan
353
berwarna ungu tua. Larutan ini kemudian ditambahkan tetes demi tetes ke dalam larutan ligan yang
dibuat dari 0,290g (2 mmol) 8-hidroksikuinolina yang dilarutkan dalam 4 mL methanol. Larutan
ligan bersifat asam sehingga ditambahkan tetes demi tetes larutan KOH 0,1M. Campuran kedua
larutan ini kemudian diaduk selama dua jam disertai pemanasan sampai dihasilkan larutan yang
homogen. Kristalisasi dilakukan dalam tabung reaksi 50 mL, kemudian ditutup dengan alumunium
foil yang dilubangi dengan jarum pentul dan diuapkan secara perlahan pada suhu kamar. Setelah
kurang lebih dua minggu, kristal warna coklat gelap berbentuk balok dipisahkan dan dimurnikan
dengan pelarut metanol.
Senyawa-senyawa hasil sintesis selanjutnya dianlisis untuk mengetahui karakteristiknya.
Kedua senyawa diukur titik leburnya untuk mengetahui apakah kedua hasil sintesis merupakan
senyawa baru ataukah prekursor (zat-zat reaktan). Selain itu dilakukan analisis dengan magnetic
supceptibility balance (MSB) pada suhu ruang untuk mengetahui sifat kemagnetannya. Prediksi
struktur senyawa yang dihasilkan dilakukan dengan analisis hasil SEM-EDAX.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data hasil sintesis berdasarkan prosedur yang telah dipaparkan sebelumnya disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Data Senyawa kompleks hasil sintesis
Ligan
Garam
N-Heterosiklik
CoCl2.6H2O
Quinoline (quin)
(Komplek 1)
8-hidroksikuinolina
(oxine) (Kompleks 2)
Warna kristal
Biru tua
252
Coklat tua
> 300
Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa senyawa kompleks hasil sintesis merupakan
senyawa baru yang berbeda dengan zat-zat reaktan. Garam kobalt(II) klorida mempunyai titik lebur
87oC dan oxine 74-76oC sedangkan quinoline pada suhu kamar berupa cairan sehingga
mempunyai titik lebur yang rendah. Titik lebur senyawa-senyawa reaktan jauh lebih rendah
dibandingkan dengan senyawa hasil sintesis. Data titik lebur juga menunjukkan bahwa kompleks
dengan ligan oxine tidak mempunyai titik lebur yang tajam menunjukkan bahwa senyawa tersebut
mempunyai molekul yang besar sehingga mengalami dekomposisi pata temperatur di atas 300oC.
Morfologi kedua kristal yang diperoleh disajikan pada Gambar 1.
(a)
(b)
Gambar 1: (a) senyawa kompleks 1 dan (b) senyawa kompleks 2
Berdasarkan hasil analisis dengan SEM-EDAX (Gambar 2), menunjukkan bahwa senyawa
kompleks 2 tidak mengandung Cl- dan perbandingan jumlah atom Co : N pada senyawa tersebut
sebasar 4,21% : 8,03% atau mendekati 1 : 2. Data tersebut menunjukkan bahwa pada senyawa
SESI PARALEL KIMIA
354
komples 2, ion pusat Co mengikat 2 molekul oksina. Untuk mencapai kompleks stabil dengan
bilangan koordinasi 6 maka sangat mungkin molekul tersebut mengikat 2 molekul pelarut lainnya.
Berdasarkan data spektra infra merah diketahui bahwa senyawa tersebut mengikat molekul air
dimana pada panjang gelombang 3394.10 cm-1 terdapat puncak melebar (Gambar 3).
Element
CK
NK
OK
ClK
CoK
Matrix
Wt%
65.32
07.76
09.82
00.00
17.10
Correction
At%
78.86
08.03
08.90
00.00
04.21
ZAF
Gambar 2: Hasil analisis senyawa kompleks 2 dengan SEM-EDAX yang menunjukkan tidak ada
atom Cl dalam senyawa tersebut.
Gambar 3: Spektra IR senyawa kompleks 2 yang menunjukkan adanya molekul H2O yang terikat
pada senyawa.
Senyawa kompleks 1 belum dapat dianalisis dengan SEM-EDAX karena terkendala jumlah
sampel yang diperoleh. Namun demikian, analisis kualitatif untuk kompleks 1 menunjukkan bahwa
355
kompleks tersebut sangat larut dalam air, hal ini mengindikasikan bahwa kompleks tersebut
merupakan senyawa kompleks ionik. Ion Cl- tidak terikat sebagai ligan karena kekuatan ligan H2O
lebih kuat daripada Cl-. Ion Cl- pada kompleks 1 berfungsi sebagai anion pengimbang. Hal ini
terbukti saat larutan dari senyawa kompleks ditambahkan dengan larutan perak nitrat (AgNO3)
menghasilkan endapan putih yang diduga berasal dari AgCl. Sedangkan analisis dengan IR
menunjukkan adanya gugus OH pada senyawa tersebut yang diduga dari molekul air yang terikat
seperti disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Spektra IR senyawa kompleks 1 yang menunjukkan adanya gugus OH pada 3448.10 cm-1
Mo
Ro
l
(cm-1)
T
(K)
eff
Sifat Magnet
Kompleks 1
0.8234
0.9478
-35
1155
2.0
298
4.206
Paramagnetik
Kompleks 2
0.8234
0.9481
-35
-44
2.2
298
0,601
Diamagnetik
Keterangan:
Mo
= massa tabung kosong
M
= masaa tabung + sampel
Ro
= pembacaan tabung kosong
R
= pembacaan tabung + sampel
l
= tinggi sampel dalam tabung (cm)
T
= temperatur ruang ketika pengukuran (K)
eff
= momen magnet effektif eff
Dari kedua hasil pengukuran tersebut, momen magnet dari senyawa kompleks 1 dan 2
diperoleh data dengan perbedaan yang signifikan. Senyawa kompleks 1 mempunyai momen
magnet efektif 4,206 BM, sedangkan untuk senyawa kompleks 2 mempunyai momen magnet
effektif 0,601BM. Dari pengukuran tersebut diketahui bahwa untuk senyawa kompleks 1 bersifat
paramagnetic pada suhu kamar sedangkan kompleks 2 paramagnetik lemah. Data tersebut
SESI PARALEL KIMIA
356
menunjukkan bahwa kedua kompleks mempunyai elektron tidak berpasangan pada orbital d ion
pusat berbeda.
Pada kompleks 1 momen magnet 4,206 BM setara dengan 3 elektron tidak berpasangan pada
orbital d ion Co2+. Pada keadaan dasar Co2+ mempunyai konfigurasi elektron [Ar]3d7 dimana
pada orbital d tersebut terdapat 3 elektron tidak berpasangan. Hal ini menunjukkan bahwa pada
kompleks 1 ligan-ligan terikat pada outer orbital atau dalam hal ini ligan quinoline berperan
sebagai ligan lemah. Adanya gugus aril yang terikat pada cincin piridina (molekul kuinolina) dapat
menyebabkan ligan tersebut sangat ruah sehingga tolakan antar ligan besar dan kompleks yang
terbentuk kurang stabil.
Kompleks 2 yang mempunyai momen magnetik 0, 601 BM, setara dengan satu elektron
tidak berpasangan. Berlawanan dengan kompleks 1, ligan oxine berfungsi sebagai ligan kuat
dimana energi yang dihasilkan dari interaksi ion pusat dengan ligan mampu memasangkan
elektron-elektron pada orbital d ion pusat. Dengan demikian, pada kompleks 2 hanya terdapat 1
elektron tidak berpasangan dari 7 elektron yang ada pada orbital d ion Co2+.
Berdasarkan data yang diperoleh pada penelitian ini diketahui bahwa Co2+ sebagai asam
pada kelompok batas (borderline) dalam konteks asam-basa keras lunak dari Pearson dapat
membentuk senyawa kompleks dengan kuinolina (basa borderline) dimana basa tersebut berfungsi
sebagai ligan lemah. Hasil yang berbeda diperoleh Dasna (2006) bahwa ion Co2+ dengan ligan
turunan dari piridin yang merupakan ligan kuat dengan moment magnetik setara dengan 3 elektron
tidak berpasangan. Keadaan ini disebabkan oleh volume ligan kuinolina yang ruah sehingga
menjadi ligan lemah. Keadaan sebaliknya diperoleh pada ligan oxine dimana ligan ini merupakan
basa keras, menurut teori Pearson, seharusnya kompleks yang dibentuk kurang stabil. Namun,
kompleks 2 merupakan senyawa sangat stabil dan bahkan setelah 5 tahun disintesis senyawa ini
tetap stabil pada suhu kamar. Beberapa alasan yang relevan menjelaskan peristiwa ini adalah ligan
oxine merupakan ligan bidentat dimana gugus OH pada posisi orto dari gugus N sangat dekat
untuk berikatan dengan ion pusat. Selain itu, kompleks ini juga merupakan kompleks netral karena
kedua ligan oxine melepaskan ion H+ sehingga ligan tersebut merupakan ligan anion. Kompleks 2
merupakan kompleks garam yang stabil.
KESIMPULAN
Berdasarkan data dan hasil analisis data yang disajikan dapat disimpulkan bahwa ion Co2+
yang dalam kelompok asam-basa keras lunak bersifat asam borderline dapat dengan mudah
membentuk kompleks dengan basa pada kelompok borderline ataupun basa keras. Kompleks yang
dihasilkan merupakan kompleks stabil. Namun, perubahan ligan kuinolina menjadi oksina akan
menghasilkan kompleks dengan sifat magnetik yang berbeda. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan
dengan studi kristalografi untuk mengetahui struktur pasti kedua kompleks.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Mandhary, M.R.A dan Steel, P.J. 2003. X-ray Crystallographic Study of Copper(II), Cobalt(II)
and Silver(I) Complexes of Ligands Containing Two Oxine Subunits Linked by Xylylene
Spacer Groups,(online), (http://www3.interscience.wiley.com/cgibin/abstract/106562613/ABSTRACT/CRETRY=1&SRETRY=0, diakses 15 Januari 2012).
Dasna, I.W., Golhen, S., Ouahab,L., Pena,O., Guillvic, J. and Fettouhi, M. 2000. 1-D mixed
stact of coordinated and uncoordinated radicals in MnII(NITpPy)4[N(CN)2]2 (NITpPy =
nitronyl nitroxide radical). Journal of Chemical Society Dalton Transantion, 2000, 129132.
Dasna, I.W., Golhen, S., Ouahab, L., Pena, O., Daro, N., Sutter, J.-P.2001 Ferromagnetic
interaction in 0D and 2D Mn(II) coordination complexes containing nitronyl nitroxide
radicals and dicyanamide anions: MnII(NITpPy)2[N(CN)2]2(H2O)2 and
357
358
PENDAHULUAN
Eter mahkota (crown ether) adalah nama kelompok senyawa makrosiklik yang memiliki tiga
atau lebih atom oksigen yang terikat dalam kerangka karbon monosiklik. Nama eter mahkota
diberikan pada kelompok senyawa ini karena bentuk molekulnya yang menyerupai mahkota raja.
Nama IUPAC kelompok senyawa ini agak sukar dan panjang, apalagi bila jenis atomnya lebih dari
satu dan strukturnya lebih kompleks, sehingga nama singkatan yang mengandung kata mahkota
lebih sering digunakan. Nama singkatan untuk eter mahkota tersebut adalah m-mahkota-n (mCn),
dengan m menunjukkan jumlah total atom dalam cincin dan n menunjukkan jumlah atom oksigen.
Substituen lain yang ada, diberi nama dengan cara biasa (Arnaud-Neu dkk., 2003).
Eter mahkota mulai mendapat perhatian sejak Pedersen pada tahun 1967 secara tidak sengaja
berhasil mensintesis eter mahkota tersebut dan mengamati bahwa eter mahkota memiliki
kemampuan mengikat ion tertentu. Kemampuan eter mahkota mengikat ion tertentu mendapatkan
perhatian utama karena dapat diterapkan untuk berbagai keperluan di bidang kimia, biologi,
lingkungan maupun pengobatan. Misalnya, kemampuan eter mahkota mengikat kation secara
selektif telah digunakan untuk meningkatkan selektivitas pemisahan dalam kromatografi (Richens
dkk., 2000; Saari dkk., 2004), elektroforesis (Takayanage, 2004), dan ekstraksi kation (Pavithran
dan Reddy, 2004). Eter mahkota juga digunakan secara luas sebagai katalis transfer fasa dalam
sintesis polimer (Hiroya dkk., 1998) dan dalam sintesis organik (Pozzi dan Fish, 2012). Beberapa
tahun belakangan ini, eter mahkota juga dimanfaatkan sebagai komponen sistem kimia
supramolekul (Diederich dkk., 2008) dan penyusun membran elektroda selektif ion (Zareh dkk.,
2007).
Pentingnya eter mahkota dalam berbagai bidang mengakibatkan penelitian mengenai
senyawa ini makin meningkat baik secara eksperimen maupun teori, terutama setelah Pedersen,
Cram dan Lehn menerima hadiah Nobel bidang kimia pada tahun 1987. Makalah ini memaparkan
hasil penelitian mengenai spektra IR eter 12-mahkota-4 (12C4) dan kompleksnya dengan kation
359
logam Mn+ juga sifat-sifat termodinamika dari kompleks yang bersangkutan. Peneltiain telah
dilakukan secara teoritis dengan metode ab initio Hartree-Fock.
METODE
Penelitian ini dilakukan dengan memakai laptop dan komputer pribadi, pc (Personal
Computer). Laptop yang digunakan adalah thosiba satelilite A-105 dengan spesifikasi prosesor
intel pentium core2 duo T5500, RAM 2048MB (2GB), hard disk 500GB dengan sistem operasi
windows 7. Laptop digunakan untuk menggambar dan membuat model tiga dimensi dari senyawa
kompleks yang diteliti dan mengubahnya menjadi file yang siap dieksekusi di komputer pribadi.
Spesifikasi komputer pribadi yang digunakan adalah prosesor intel pentium quad core Q9550
2,83GHz, RAM 8192MB (8GB), harddisk 1000GB (1TB) dan sistem operasi linux openSUSE
11.2. Komputer pribadi ini dipakai untuk menjalankan komputasinya.
Struktur senyawa eter mahkota digambarkan dalam bentuk tiga dimensi (3D) menggunakan
program gaussview versi 3.0 [11] dan dihasilkan file berekstensi gjf (gaussian job file) untuk
sistem operasi windows. Oleh karena komputasi dilakukan memakai gasussian 03 untuk linux
maka job file untuk gaussian 03 windows yang berkestensi gjf dikonversi lebih lanjut memakai
gabedit versi 2.40 [12] yang berekstensi com. Konformasi eter mahkota diatur sedemikian rupa
agar gugus etilen mengarah ke bagian luar kavitas eter mahkota sedangkan atom-atom oksigen
mengarah ke bagian dalam kavitas eter mahkota. Ion logam Mn+ diletakkan tepat di tengah-tengah
kavitas eter mahkota. Struktur kompleks yang sudah digambar dalam bentuk 3D kemudian
dioptimasi.
Optimasi geometri dilakukan terhadap seluruh senyawa kompleks Mn+-12C4. Optimasi
dilakukan dengan memakai paket program komputasi Gaussian 03 rev. B.02 untuk linux [13].
Perhitungan dilakukan memakai metode ab initio Hartree-Fock dengan himpunan basis Los
Alomos ECP, LANL2MB. Energi interaksi kation Mn+ dengan ligan 12C4 dalam kompleks
dihitung menggunakan rumus
Einteraksi Ekompleks kation-eter mahkota Ekation Eeter mahkota
Setelah kompleks dioptimasi, selanjutnya diambil koordinat kompleks yang bersangkutan
lalu dilakukan perhitungan frekuensi dan sifat-sifat termodnimika. Perhitungan frekuensi dilakukan
dengan metode dan himpunan basis yang sama dengan optimasi.
Sifat-sifat termodinamika yang meliputi entalpi reaksi, energi bebas Gibbs dan entropi
dihitung dengan mengacu pada artikel tentang panduan penghitungan sifat-sifat termodinamika
dalam program Gaussian (Ochterski, 2000). Entalpi reaksi dan energi bebas Gibbs berturut-turut
dihitung memakai persamaan
o
o
r H o (298K ) f H produk
(298K ) f H reaktan
(298K )
produk
dan
r Go (298K )
reaktan
G
f
o
produk
produk
(298K )
G
f
o
reaktan
(298K )
reaktan
H G
T
360
menunjukkan bahwa senyawa 12C4 bebas berada pada titik minimum global pada permukaan
energi potensial (potential energy surface) dan juga menunjukkan bahwa senyawa 12C4 adalah
stabil.
Perhitungan frekuensi dengan metode ab inito pada tingkat teori HF diketahui mengandung
kesalahan sistematik yang diakibatkan oleh pengabaian korelasi elektron. Hasil perhitungan
frekuensi tersebut perlu dikalikan faktor koreksi sekitar 10-12% agar sesuai dengan eksperimen.
Jika himpunan basis yang digunakan dalam perhitungan HF adalah himpunan basis yang
pertengahan seperti 6-31G(d), maka faktor koreksi yang harus digunakan sekitar 15%. Untuk
himpunan basis yang berukuran kecil, faktor koreksinya bisa sampai 20% (Foresman dan Frisch,
1996). Jadi tidak mengherankan apabila serapan yang tajam pada 1663 cm-1 menunjukkan vibrasi
regangan C-O karena dengan faktor koreksi 0,2 nilai ini akan sesuai dengan nilai eksperimen yang
berkisar antara 13301050 cm-1.Selanjutnya spektra vibrasi IR hasil pemodelan untuk kompleks
Mn+-12C4 yang juga diambil pada daerah 0 2000 cm-1 ditunjukkan dalam Gambar 2.
361
Tabel 1 Entalpi reaksi, energi bebas Gibbs, dan entropi pada 298 K kompleks 12-mahkota-4
o
H 298
K
Kompleks
[Li(12-mahkota-4)]
-931,853
(kJ/mol)
o
G298
K
-890,252
(kJ/mol)
o
S298
K
(J/mol)
-139,724
362
-556,091
-334,764
-1533,061
-1323,021
-1297,097
-514,199
-297,062
-1491,822
-1277,327
-1251,174
-140,713
-126,622
-138,509
-153,259
-154,025
KESIMPULAN
Hasil perhitungan dengan metode ab initio Hartree-Fock menunjukkan bahwa spektra IR
semua kompleks Mn+-12C4 dapat teramati sehingga kompleks yang terbentuk merupakan
kompleks dengan konformasi yang stabil. Vibrasi regangan C-O dalam kompleks mengalami
pergeseran merah dibanding vibrasi dalam 12C4 bebas. Dengan faktor koreksi 0,2 spektra vibrasi
hasil perhitungan sesuai dengan eksperimen. Perhitungan sifat-sifat termodinamika juga
menunjukkan bahwa semua kompleks Mn+-12C4 adalah kompleks yang stabil.
DAFTAR RUJUKAN
Arnaud-Neu, F., Delgado, R. dan Chaves, S., 2003, Critical Evaluation of Stability Constants and
Thermodynamics Function of Metal Complexes of Crown Ethers Pure Appl. Chem., 75, 1,
71-102.
Richens, D.A., Simpson, D., Peterson, S., McGinn, A. dan Lamb, J.D., 2000, Use of mobile phase
18-crown-6 to improve peak resolution between mono- and divalent metal and amine
cations in ion chromatography, J. Chromatogr., A, 1016, 155-164.
Saari-Nordhaus, R., Anderson, J.A. dan James, M., 2004, Alternative approach to enhancing cation
selectivity in ion chromatography, J. Chromatogr., A, 1039, 123-127.
Takayanage, T., 2004, Analysis of ion-association reaction in aqueous solution and its utilization
by capillary zone electrophoresis, Anal. Sci., 20, 255-265.
Hiroya, W., Takao, I., Wakichi, F. dan Masao, T., 1998, Synthesis and phase-transfer catalytic
activity of novel chiral crown ethers immobilized onto polystyrene supports, React. Funct.
Polymers, 37, 101-109.
Pozzi, G. dan Fish, R.H., 2012, Fluoroponytailed Crown Ethers and Quaternary Ammonium Salts
as Solid-Liquid Phase Transfer Catalysts in Organic Synthesis, Top. Curr.Chem., 308, 213232.
Diederich, F., Peter, J., Stang dan Tykwinski, R.R., 2008, Modern Supramolecular Chemistry:
Strategies for Macrocycle Synthesis, Wiley-VCH Verlag, Weinheim.
Zareh, M.M., Akl, A.M., Gohneim, A.K, dan Abd El-Aziz, M.H, 2007, PVC-Membrane Electrodes
Based on 18-Crown-6 and Dibenzo-18-Crown-6 Ethers for Determination of Silver., Turk.
J. Chem., 31, 449-456.
Ochterski, J.W., 2000, Thermochemistry in Gaussian, help@gaussian.com, Gaussian Inc.,
Pittsburgh.
Foresman, J.B. dan Frisch, A., 1996, Exploring Chemistry with Electronic Structure Methods, edisi
2, Gaussian Inc., Pittsburgh.
Pretsch, E., Buhlmann, P. dan Badertscher, M., 2009, Structure Determination of Organic
Compounds Tables of Spectral Data, edisi 4, Springer-Verlag, Berlin.
Nakamoto, K., 1987, Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds.
edisi 4, John Wiley & Sons, New York.
363
364
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variasi genotip kerbau lokal Lombok Tengah
berbasis Mikrosatelit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) terdapat variasi genetik pada dua
populasi kerbau lokal Lombok Tengah yang meliputi frekuensi alel, heterozigositas, dan
Polymorphism Information Content (PIC), (2) nilai frekuensi alel dari keempat lokus mikrosatelit
yaitu HEL09, INRA023, INRA032, dan ILSTS005 pada populasi kedua lebih tinggi dibandingkan
populasi pertama, yaitu berkisar antara 0,14 sampai 0,86, sedangkan untuk populasi pertama
berkisar antara 0,19 sampai 0,81, (3) nilai rataan heterozigositas hasil pengamatan pada keempat
lokus mikrosatelit yaitu HEL09, INRA023, INRA032, dan ILSTS005 pada populasi pertama lebih
tinggi dibandingkan populasi kedua, yaitu sebesar 78,12%, sedangkan untuk populasi kedua sebesar
59,52% (4) Nilai PIC (Polymorphism Information Content) paling tinggi pada kedua populasi
diperoleh dari lokus INRA032 sebesar 0,38, diikuti oleh lokus INRA 023 sebesar 0,35, lokus
ILSTS005 sebesar 0,31 dan lokus HEL09 sebesar 0,24. Berdasarkan hasil yang diperoleh, lokus
mikrosatelit yang paling informatif untuk menggambarkan keanekaragaman genetik pada kedua
populasi kerbau Lombok Tengah adalah lokus INRA032.
Kata kunci: variasi genetik, Bubalus bubalis, mikrosatelit
PENDAHULUAN
Kerbau Asia (Bubalus bubalis) dan kerbau Afrika (Syncerus caffer) adalah dua spesies utama
kerbau di dunia. Kerbau Asia mempunyai dua subspesies utama yaitu kerbau sungai (River buffalo) dan
kerbau lumpur (Swamp buffalo) (Lanuzzi dan Di Meo, 2009). Kerbau sungai utamanya digunakan
sebagai ternak penghasil susu selain sebagai penghasil daging, sedangkan kerbau lumpur terutama
digunakan sebagai alat transportasi yang juga dimanfaatkan sebagai penghasil daging (Aziz, 2008).
Sebagian besar kerbau di Indonesia adalah kerbau lumpur. Kerbau lumpur (Bubalus bubalis)
mempunyai variasi yang cukup besar pada bobot badan dan warna kulit, sehingga kerbau ini dikenal
dengan berbagai nama seperti kerbau Jawa, Aceh, Toraja, Kalang dan Moa (Triwulaningsih, 2008).
Propinsi Nusa Tenggara Barat adalah salah satu wilayah yang memiliki populasi kerbau
terbanyak di Indonesia (Hilmiati, 2008). Wilayah di Pulau Lombok yang memiliki populasi kerbau
paling banyak adalah Kabupaten Lombok Tengah dengan 18.525 ekor kerbau pada tahun 2008 (Disnak
NTB, 2010). Kabupaten Lombok Tengah merupakan daerah pensuplai terbesar ternak kerbau di
Propinsi Nusa Tenggara Barat dari wilayah Lombok, selain dari daerah-daerah lain seperti Kabupaten
Sumbawa dan Bima. Besarnya potensi ternak kerbau di wilayah Nusa Tenggara Barat khususnya di
Lombok Tengah ini ditunjang dengan sumber daya lahan yang masih memungkinkan untuk
pengembangan ternak kerbau serta keunggulan bio-fisik yang dimiliki oleh kerbau itu sendiri. Kerbau
memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga penyebarannya meluas tidak hanya di Kalimantan dan
Sumatera, tetapi juga Jawa, Sulawesi, bahkan Nusa Tenggara Timur (Winarto, 2010).
Menurut Hilmiati (2008), keunggulan bio-fisik yang dimiliki oleh kerbau adalah mampu bertahan
hidup dengan baik di daratan yang kering, memiliki kemampuan memanfaatkan pakan berkualitas
rendah seperti rumput kering dengan kadar nutrisi rendah dan serat kasar tinggi, dan kerbau memiliki
365
kapasitas yang cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan yang ekstrim. Selain
keunggulan bio-fisik, sistem pemeliharaan kerbau juga lebih mudah dibandingkan sapi. Pemeliharaan
kerbau dapat dilakukan dengan sistem penggembalaan yang lebih efisien dibandingkan sistem cut and
carry (disabitkan).
Potensi Lombok Tengah secara umum sangat memungkinkan dijadikan sebagai wilayah
pengembangan ternak kerbau yang mendukung daerah ini sebagai pensuplai terbesar ternak kerbau di
Nusa Tenggara Barat dari wilayah Lombok. Potensi ini didukung dengan tersedianya daya dukung
lingkungan dan kondisi sosial budaya di Lombok Tengah. Lahan di Nusa Tenggara Barat mampu
mendukung sekitar 2,6 juta satuan ternak baik untuk ternak besar dan kecil (Hilmiati, 2008), termasuk di
dalamnya lahan peternakan kerbau di Kabupaten Lombok Tengah. Kondisi sosial budaya pada sebagian
masyarakat mendukung pengembangan peternakan kerbau. Pada upacara adat tertentu, kerbau
merupakan ternak penting yang harus selalu tersedia. Dengan kondisi sosial budaya yang seperti ini,
harga ternak kerbau sering kali jauh lebih mahal daripada sapi. Pada masyarakat Lombok Utara dan
Lombok Tengah bagian Selatan, upacara perkawinan dengan pemotongan kerbau dianggap suatu
prestise tersendiri.
Pemanfaatan ternak kerbau di Lombok Tengah selain untuk memenuhi kebutuhan daging secara
lokal juga untuk kebutuhan regional khususnya di Nusa Tenggara Barat yang semakin meningkat. Data
dari Badan Pusat Statistik Lombok Tengah pada tahun 2008 menunjukkan sebanyak 2.403 ekor kerbau
telah dipotong untuk kebutuhan konsumsi. Selain itu, pemanfaatan ternak kerbau di NTB juga
digunakan untuk kebutuhan ekspor yaitu ke Timor Leste yang dimulai pada tahun 2001 dengan
mengekspor kerbau bibit sebanyak 2.485 ekor (Deptan, 2007). Pendayagunaan kerbau seperti di atas
dikhawatirkan akan mengurangi populasi kerbau khususnya di Lombok Tengah dan Nusa Tenggara
Barat pada umumnya.
Peternakan kerbau di daerah Nusa Tenggara Barat belum mendapat perhatian khusus dari
pemerintah propinsi. Pengembangan sektor peternakan terutama ditekankan untuk meningkatkan
produktivitas sapi dengan mengadakan program Bumi Sejuta Sapi, sementara potensi ternak yang lain
seperti kerbau belum dicanangkan sebuah program yang akan mengembangkan potensi kerbau secara
intensif. Peternakan kerbau yang ada sekarang kurang memperhatikan sumber-sumber plasma nutfah
yang bisa dijadikan bibit unggul dimasa yang akan datang. Kegiatan penjualan dan pemotongan kerbau
oleh peternak untuk kebutuhan konsumsi lokal maupun regional di wilayah Nusa Tenggara Barat seperti
di Lombok Tengah masih bersifat seleksi negatif artinya hanya ternak yang berkualitas bagus yang
dipotong ataupun dijual. Akibat dari seleksi negatif ini adalah berkurangnya individu kerbau yang
memiliki kualitas bagus yang digunakan untuk pembibitan. Dalam upaya pembibitan ini pula, peternak
kerbau di Lombok Tengah diduga menggunakan individu yang memiliki hubungan keluarga dekat yang
digunakan sebagai pejantan, sehingga dikhawatirkan sudah banyak terjadi inbreeding dalam populasi
kerbau tersebut.
Inbreeding adalah perkawinan antara individu yang berkerabat dekat. Konsep inbreeding
berdasarkan kemungkinan dua gen pada satu lokus identik pada keturunannya. Inbreeding diukur
sebagai korelasi diantara induk pada sebuah individu dan disimbolkan dengan huruf F (Thompson et al,
2000). Inbreeding tidak mengubah frekuensi gen, hewan yang mengalami inbreeding menjadi
homozygot pada beberapa lokasi kromosom. Inbreeding memiliki dampak positif dan negatif. Dampak
positif inbreeding adalah genotip dari sel sperma dan telur pada hewan inbred lebih bisa diprediksi
dibandingkan hewan noninbred. Sedangkan dampak negatif inbreeding lebih besar daripada dampak
positifnya yaitu mengurangi profitabilitas individu hewan, umur produktif menurun, seluruh sifat dari
individu tersebut mengalami penurunan, dan jarak kelahiran semakin panjang (Mirhabibi et al, 2007).
Lombok Tengah merupakan satu-satunya wilayah di Pulau Lombok yang memiliki populasi
kerbau terbanyak di Nusa Tenggara Barat, dan merupakan daerah pensuplai terbesar ternak kerbau dari
Wilayah Lombok. Kualitas dan populasi kerbau di Lombok Tengah ini lambat laun dikhawatirkan akan
semakin menurun karena eksploitasi yang terus menerus dilakukan seperti untuk kebutuhan konsumsi
dan penjualan, sementara belum ada upaya pelestarian plasma nutfah kerbau lokal. Dalam upaya
pelestarian dan pembibitan kerbau lokal, maka perlu dilakukan identifikasi variasi genetik. Variasi
genetik merupakan salah satu kunci pengelolaan yang optimal terhadap sumber daya genetik. Variasi
366
genetik ini sangat diperlukan dalam usaha pemuliaan ternak, karena dengan adanya variasi genetik
dimungkinkan untuk membentuk bangsa ternak baru melalui seleksi dan sistem perkawinan. Hal ini
penting karena dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan outbreeding dengan
menggunakan kerbau jantan dari wilayah lain. Untuk mengidentifikasi variasi genetik dapat
menggunakan penanda genetik. Penanda genetik adalah ekspresi pada individu yang terlihat oleh mata
atau terdeteksi dengan alat tertentu yang menunjukkan dengan pasti genotip suatu individu (Semagn et
al, 2006).
Mikrosatelit merupakan bagian DNA dengan 2 sampai 6 pasang basa pendek yang diulang
beberapa kali. Mikrosatelit terletak dan ditemukan pada genom seluruh organisme hidup. Memiliki
polimorfisme yang tinggi yaitu jumlah pengulangan bervariasi antar individu (Renwick et al, 2001).
Kestabilan mikrosatelit diterima secara luas sebagai ukuran yang baik untuk genom (Lee et al, 2008).
Mikrosatelit merupakan marker yang digunakan untuk pemetaan genom, pemotongan gen dari sifat-sifat
yang komplek dan untuk penyelidikan keragaman genetik karena sifat polimorfisnya yang sangat tinggi,
serta memiliki cara kodominan dalam pewarisan sifat dan mudah untuk dicetak (Navani et al, 2001).
Dalam penelitian ini digunakan penanda mikrosatelit untuk mengidentifikasi variasi genetik kerbau
lokal (Bubalus bubalis) Lombok Tengah.
METODE
Sampel Darah dan Isolasi DNA
Sampel darah diambil dari 15 individu kerbau lokal Lombok Tengah yang diambil dari dua
populasi berbeda. Darah kerbau diambil melalui vena jugularis di leher menggunakan veno ject dan
tabung vacum (kosong). Tabung yang sudah berisi darah kemudian diberi EDTA sebanyak 0,1 gr agar
darah tidak membeku. Darah yang dicampur dengan EDTA tadi kemudian diberi label yang berisi
nomor sampel dan lokasi pengambilan sampel. Darah kemudian disimpan di dalam termos es pada suhu
20C dan selanjutnya disimpan dalam lemari es sampai proses isolasi DNA dilakukan. Proses isolasi
DNA dilakukan dengan menggunakan KIT NucleospinR Quickpure Blood mengikuti prosedur isolasi
yang telah ditentukan. Untuk mendeteksi DNA hasil isolasi digunakan elektroforesis gel agarose 0,8%.
Analisis Mikrosatelit
Penelitian ini menggunakan empat primer mikrosatelit yang dipilih secara acak yaitu HEL09,
INRA 023, INRA 032, dan ILSTS 005. Karakteristik dari primer yang digunakan dapat dilihat pada
Tabel 1. Proses amplifikasi DNA melalui Polimerase Chain Reaction (PCR) terdiri dari campuran
reaksi 2,5 l DNA template, 2,5 l primer forward, 2,5 l primer reverse, 12,5 l PCR mix, dan 5,0 l
dH2O. Proses PCR terdiri dari 30 siklus dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: predenaturasi pada
suhu 950C selama 2 menit, denaturasi pada suhu 920C selama 1 menit, annealing atau penempelan pada
suhu 560C selama 45 detik (suhu annealing masing-masing primer berbeda) , elongation atau
pemanjangan pertama pada suhu 720C selama 1 menit, final elongation pada suhu 720C selama 10
menit, dan tahap terakhir pada suhu 40C.
Analisis Data
Proses separasi DNA hasil PCR, dilakukan dengan menggunakan elektroforesis gel poliakrilamid
yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak (silver staining). Penentuan posisi pita atau alel DNA pada
gel poliakrilamid dilakukan secara manual. Ukuran dan jumlah alel yang muncul pada gel ditentukan
berdasarkan asumsi bahwa semua pita DNA dengan laju migrasi yang sama adalah homolog (Leung et
al, 1993). Seluruh alel yang muncul dicatat sesuai dengan ukurannya, kemudian berdasarkan ukuran
alel-alel tersebut dihitung nilai frekuensi alel, heterozigositas, dan PIC (Polymorphism Information
Content). Perhitungan nilai frekuensi alel dan nilai heterozigositas dilakukan dengan bantuan software
Genepop Versi 3.1, sedangkan untuk menghitung nilai PIC digunakan rumus (Meta et al, 2004):
(1)
dimana :
Pi dan Pj frekuensi alel ke - i dan ke - j
k
SESI PARALEL BIOLOGI
jumlah alel
367
Urutan Basa
F 5-CCC ATT CAG TCT TCA GAG GT-3
R 5-CAC ATC CAT GTT CTC ACC AC-3
F 5-GAG TAG AGC TAC AAG ATA AAC TTA-3
R 5-TAA CTA CAG GGT GTT AGA TGA ACT C-3
F 5-AAA CTG TAT TCT CTA ATA GCT AC-3
R 5-GCA AGA CAT ATC TCC ATT CCT TT-3
HEL09
INRA023
INRA032
ILSTS005
Suhu Annealing
560C
560C
570C
580C
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data ukuran alel mikrosatelit pada masingmasing lokus yaitu HEL09, INRA023, INRA032, dan ILSTS005 meliputi: frekuensi alel,
heterozigositas (observed heterozygosity dan expected heterozygosity), dan Polymorphism Information
Content (PIC).
1) Frekuensi Alel
Hasil analisis frekuensi alel tiap lokus mikrosatelit pada dua populasi kerbau lokal Lombok
Tengah, disajikan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2 Frekuensi Alel Tiap Lokus Mikrosatelit Pada Dua Populasi Kerbau Lokal Lombok Tengah
Lokus
HEL09
INRA023
INRA032
ILSTS005
Populasi 1
0,81
0,19
0,62
0,38
0,50
0,50
0,50
0,50
Populasi 2
0,86
0,14
0,67
0,33
0,50
0,50
0,79
0,21
2) Heterozigositas
Hasil perhitungan nilai heterozigositas (observed heterozygosity dan expected heterozygosity)
pada masing-masing lokus mikrosatelit dari kedua populasi dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3 Nilai Heterozigositas Tiap Lokus Mikrosatelit Pada Dua Populasi Kerbau Lokal Lombok Tengah
Lokus
HEL09
INRA023
INRA032
ILSTS005
Rata-rata
Keterangan:
*Observed Heterozygosity
**Expected Heterozygosity
Obs. Het*
37,50%
75,00%
100%
100%
78,12%
Populasi 1
Expc. Het**
35,17%
53,85%
57,14%
57,14%
50,83%
Obs. Het
28,57%
66,66%
100%
42,86%
59,52%
Populasi 2
Expc. Het
28,09%
53,06%
58,33%
38,71%
44,55%
368
2. Pembahasan
Penggunaan penanda mikrosatelit untuk mengetahui variasi genetik pada suatu individu
organisme telah banyak digunakan, seperti pada tumbuhan (Prasetiyono et al, 2003; He et al, 2003;
Aggarwal et al, 2004), hewan ternak seperti sapi (Maskur et al, 2007), kambing (Mahmoudi et al,
2010), keledai (Jordana et al, 1999), babi (Martinez et al, 2000), dan kerbau (Alim et al, 2011). Pada
penelitian ini digunakan penanda mikrosatelit untuk mengetahui keanekaragaman atau variasi genetik
kerbau lokal dari wilayah Lombok Tengah. Variasi genetik ditentukan berdasarkan pita-pita alel yang
ditemukan pada lokus-lokus mikrosatelit. Dalam penelitian ini digunakan empat lokus mikrosatelit yaitu
HEL09, INRA023, INRA032, dan ILSTS005. Suatu lokus harus bersifat polimorpik, sehingga dapat
menunjukkan variasi genetik. Derajat polimorpisme dari keempat lokus mikrosatelit yang digunakan
diketahui berdasarkan nilai PIC (Polimorphism Information Content) hasil perhitungan.
Polimorphism Information Content (PIC) merupakan sebuah parameter yang mengindikasikan
derajat keinformatifan dari sebuah marker (Aminafshar et al, 2008). Dari hasil yang diperoleh, nilai PIC
selalu kurang dibandingkan dengan nilai expected heterozygosity, hal ini disebabkan karena PIC
dihitung dengan mengurangi nilai expected heterozygosity dengan turunan dari frekuensi alel
(Mirhoseinie et al, 2005). Lokus dengan banyak alel dan nilai PIC mendekati 1 merupakan lokus yang
sangat diinginkan (Aminafshar et al, 2008).
Nilai Polimorphism Information Content (PIC) dari masing-masing kedua populasi kerbau lokal
Lombok Tengah menunjukkan nilai yang berbeda. Pada populasi pertama, nilai PIC terendah didapat
dari lokus HEL09 yaitu sebesar 0,26, sedangkan nilai tertinggi diperoleh dari dua lokus yaitu INRA032
dan ILSTS005 dengan nilai masing-masing 0,38, sedangkan untuk lokus INRA023 sebesar 0,36.
Berdasarkan nilai PIC ini, maka lokus yang paling informatif menggambarkan keanekaragaman genetik
pada individu kerbau pada populasi pertama kerbau lokal Lombok Tengah berturut-turut adalah
INRA032, ILSTS005, INRA023 dan HEL09. Sedangkan pada populasi kedua, nilai PIC terendah
diperoleh dari lokus HEL09 sebesar 0,21, sedangkan nilai tertinggi diperoleh dari lokus INRA032 yaitu
sebesar 0,38, dua lokus lainnya yaitu INRA023 dan ILSTS005 berturut-turut mempunyai nilai PIC 0,34
dan 0,23. Dari nilai PIC yang diperoleh, maka lokus yang paling informatif menggambarkan
keanekaragaman genetik pada individu kerbau pada populasi kedua kerbau Lombok Tengah berturutturut adalah INRA032, INRA023, ILSTS005, dan HEL09. Secara keseluruhan, baik pada populasi
pertama maupun kedua, dari nilai rata-rata, lokus yang menunjukkan PIC paling tinggi adalah INRA032
yaitu sebesar 0,38. Sehingga lokus ini dianggap paling informatif untuk menggambarkan
keanekaragaman genetik pada individu kerbau pada kedua populasi kerbau lokal Lombok Tengah. Hal
ini sesuai dengan yang diungkapkan El-Kholy et al (2007), bahwa PIC merupakan sebuah parameter
yang mengindikasikan adanya variasi genetik; marker dengan nilai PIC yang tinggi merupakan marker
yang sangat informatif.
Lokus yang polimorpik, menunjukkan adanya heterozigositas. Heterozigositas merupakan jumlah
individu dalam sebuah populasi yang memiliki alel yang berbeda dalam satu lokus (Ellegren, 2004).
Semakin tinggi nilai heterozigositas, maka nilai PIC juga akan semakin tinggi. Dari hasil penelitian
yang disajikan pada Tabel 3 dan 4, menunjukkan bahwa lokus HEL09 pada populasi pertama memiliki
nilai observed heterozygosity sebesar 0,375 (37,50%), sedangkan nilai PICnya sebesar 0,26. Lokus
INRA023 pada populasi pertama yang memiliki nilai observed heterozygosity sebesar 0,75 (75%),
memiliki nilai PIC yang semakin tinggi yaitu 0,36. Pola yang sama juga terjadi pada lokus INRA032
dan ILSTS005 pada kedua populasi. Nilai heterozigositas akan selalu berbanding lurus dengan nilai
PIC. Semakin polimorpik lokus yang digunakan, maka semakin banyak individu heterozigot yang
369
ditemukan yang menandakan adanya variasi genetik. Hal ini didukung dari hasil perhitungan nilai
heterozigositas pada kedua populasi kerbau lokal Lombok Tengah.
Heterozigositas merupakan parameter yang bagus untuk menggambarkan variabilitas genetik
pada individu kerbau (El-Kholy et al, 2007). Nilai heterozigositas pada kedua populasi kerbau Lombok
Tengah menunjukkan hasil yang berbeda. Pada populasi kerbau pertama, lokus HEL09 memiliki nilai
observed heterozygosity yang paling rendah yaitu 37,50%, sedangkan yang paling tinggi diperoleh dari
lokus INRA032 dan ILSTS005 masing-masing 100%. Sementara itu, pada populasi kerbau kedua, nilai
observed heterozygosity paling rendah diperoleh dari lokus HEL09 sebesar 28,57%, sedangkan nilai
paling tinggi diperoleh dari lokus INRA032 sebesar 100%.
Dari nilai rata-rata heterozigositas, diperoleh nilai rata-rata tertinggi pada populasi pertama
sebesar 78,12%, sedangkan pada populasi kedua diperoleh nilai sebesar 59,52%. Hal ini menunjukkan
heterozigositas pada kedua populasi kerbau Lombok Tengah berbeda, dimana populasi pertama lebih
heterozigot dibandingkan dengan populasi kedua. Hasil sebaliknya dilaporkan oleh Riyanto (2010),
adanya nilai heterozigositas yang lebih rendah pada populasi kerbau Banyuwangi dibandingkan dengan
populasi kerbau Blitar, dengan nilai heterozigositas berturut-turut 27,60% dan 41,50%. Lebih lanjut
Riyanto (2010), menjelaskan adanya gambaran nilai rata-rata heterozigositas yang rendah pada kerbau
Banyuwangi, maka dapat pula diasumsikan bahwa tingkat kekerabatan dari populasi kerbau
Banyuwangi lebih tinggi apabila di bandingkan populasi kerbau dari Blitar. Sedangkan Afrida (2011),
mengungkapkan bahwa rata-rata nilai heterozigositas dari dua lokus mikrosatelit yang digunakan pada
populasi kerbau Tana Toraja lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kerbau Lombok Barat yaitu
berturut-turut 39,29% dan 36,61%.
Dari rata-rata nilai heterozigositas, diperoleh nilai observed heterozygosity lebih tinggi
dibandingkan dengan nilai expected heterozygosity. Hal ini mengindikasikan kelebihan heterozigositas
pada kedua populasi kerbau Lombok Tengah, artinya perbedaan genetik diantara populasi yang
dibandingkan tinggi. Heterozigositas genetik yang tinggi memperkirakan adanya generasi campuran
yaitu populasi campuran dari area-area yang berbeda, aliran gen, dan seleksi alami (El-Kholy et al,
2007). Hal ini dapat dipahami karena kedua populasi kerbau yang ada di Lombok Tengah merupakan
populasi lokal yang penyebarannya terbuka, artinya banyak individu-individu kerbau yang didatangkan
dari daerah lain selain Lombok Tengah oleh para peternak untuk dipelihara bersamaan dengan individuindividu kerbau yang sudah ada, sehingga terjadi percampuran atau perkawinan diluar kerabat dekat
diantara individu kerbau. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Nei (1987), bahwa faktor yang
mempengaruhi tingkat heterozigositas yaitu ukuran populasi. Pada populasi lokal yang tertutup dan
tidak bermigrasi akan mempunyai tingkat heterozigositas genetik yang lebih kecil dibandingkan
populasi lokal yang penyebarannya terbuka. Lebih lanjut Zhou et al (2005), mengungkapkan bahwa
masuknya alel-alel dari populasi lain ke dalam populasi yang sedang diteliti dapat menyebabkan
meningkatnya nilai observed heterozigosity.
Dari keempat lokus mikrosatelit yang digunakan, yaitu HEL09, INRA023, INRA032, dan
ILSTS005, masing-masing lokus memiliki jumlah alel yang sama yaitu masing-masing 2 pada setiap
lokus. Hasil ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Riyanto (2010) yang memperoleh jumlah alel pada
lokus HEL09 pada populasi kerbau Banyuwangi dan Blitar sebanyak 1 alel, sedangkan untuk lokus
INRA023 diperoleh jumlah alel sebanyak 3 alel pada populasi kerbau Blitar. Hasil penelitian ini sejalan
dengan hasil yang didapatkan oleh Afrida (2011), menggunakan lokus INRA032 yang diujikan pada
populasi kerbau Lombok Barat yang memperoleh jumlah alel sebanyak 2 buah alel. Hasil yang berbedabeda ini menunjukkan polimorfisme dari marker yang digunakan. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Renwick et al (2001), bahwa mikrosatelit memiliki polimorfisme yang tinggi yaitu
jumlah pengulangan yang bervariasi antar individu.
Untuk mengetahui seberapa sering munculnya alel-alel yang ditemukan dari keempat lokus
mikrosatelit pada populasi kerbau lokal Lombok Tengah, maka dilakukan perhitungan frekuensi alel.
Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh nilai frekuensi alel keempat lokus mikrosatelit pada populasi
pertama berkisar antara 0,19 sampai dengan 0,81, sedangkan pada populasi kedua nilai frekuensi alel
berkisar antara 0,14 sampai dengan 0,86. Penelitian sebelumnya oleh Riyanto (2010), mendapatkan nilai
370
frekuensi alel pada populasi kerbau Blitar berkisar antara 0,06 sampai 0,65, sedangkan pada populasi
kerbau Banyuwangi berkisar antara 0,07 sampai 0,63. Selain itu Afrida (2011), melaporkan bahwa nilai
frekuensi alel yang diperoleh pada populasi kerbau Lombok Barat berkisar antara 0,36 sampai 0,64,
sedangkan untuk populasi kerbau Tana Toraja berkisar antara 0,36 sampai 0,64. Dari kedua hasil ini,
maka nilai frekuensi alel pada kedua populasi kerbau Lombok Tengah lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai frekuensi alel pada populasi kerbau Blitar, Banyuwangi, Tana Toraja, dan Lombok Barat yaitu
berkisar antara 0,14 sampai 0,86. Perbedaan pada distribusi dan frekuensi alel menunjukkan bahwa
faktor-faktor seperti penyimpangan genetik dan mutasi memiliki efek yang berbeda dalam penetapan
struktur gen pada individu (Ciofi dan Bruford, 1999).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka terdapat variasi genetik pada kedua populasi
kerbau Lombok Tengah yang meliputi frekuensi alel, heterozigositas, dan Polymorphism Information
Content (PIC).
a. Nilai frekuensi alel dari keempat lokus mikrosatelit yaitu HEL09, INRA023, INRA032, dan
ILSTS005 pada populasi kedua lebih tinggi dibandingkan populasi pertama, yaitu berkisar antara
0,14 sampai 0,86, sedangkan untuk populasi pertama berkisar antara 0,19 sampai 0,81.
b. Nilai rataan heterozigositas hasil pengamatan pada keempat lokus mikrosatelit yaitu HEL09,
INRA023, INRA032, dan ILSTS005 pada populasi pertama sebesar 78,12%, sedangkan untuk
populasi kedua sebesar 59,52%.
c. Nilai PIC (Polymorphism Information Content) paling tinggi pada kedua populasi diperoleh dari
lokus INRA032 sebesar 0,38, diikuti oleh lokus INRA023 sebesar 0,35, lokus ILSTS005 sebesar
0,31 dan lokus HEL09 sebesar 0,24. Dari hasil ini, lokus mikrosatelit yang paling informatif untuk
menggambarkan keanekaragaman genetik pada kedua populasi kerbau Lombok Tengah adalah lokus
INRA032.
Saran
Hasil peneliltian ini dapat digunakan oleh pemerintah daerah setempat sebagai informasi awal
variasi genotip kerbau lokal Nusa Tenggara Barat dari wilayah Lombok Tengah sebagai acuan dalam
konservasi, sehingga memudahkan dalam upaya pelestarian dan pembibitan kerbau lokal.
Daftar Rujukan
Afrida, I.R. 2011. Identifikasi Variasi Genetik Kerbau Lokal (Bubalus bubalis)Tana Toraja dan Lombok
Berbasis Mikrosatelit sebagai Bahan Pengembangan Materi Ajar Genetika Populasi. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Aggarwal, R.K.,Udaykumar, D.,Hendre, P.S.,Sarkar, A. & Singh, L.I. 2004. Isolation and
characterization of six novel microsatellite markers for Mulbery (Morus indica). Molecular
Ecology Notes, No 4: 477-479.
Alim, M.A.,Sun, D.X.,Zhang, Y. & Faruque, M.O. 2011. Genetic markers and their application in
Buffalo production. Journal of Animal and Veterinary Advances, Vol 10 (14): 1789-1800.
Aminafshar, M.,Amirinia, C. & Torshizi, R. 2008. Genetic diversity in Buffalo population of Guilan
using microsatellite markers. Journal of Animal and Veterinary Advances, Vol 7 (11) : 14991502.
Aziz, M.M. 2008. Nili Ravi Buffalo-potential and challenges. BRI Bulletin Quarterly. Vol 01 (01): 1.
Ciofi, C & Bruford, M.W. 1999. Genetic structure and gene flow among Komodo dragon populations
inferred by microsatellite loci analysis. Molecular Ecology, 8: 17-30.
Deptan. 2007. Draft laporan akhir: kajian peluang perencanaan investasi pertanian Indonesia. (online),
(http://deptan.go.id_ppi_investasi_content_NTB_doc_pdf, diakses tanggal 10 Oktober 2010).
371
372
Riyanto. 2010. Identifikasi Variasi Genetik Kerbau Lokal Jawa Timur (Bubalus bubalis) dari Wilayah
yang Berbeda, Berbasis Mikrosatelit sebagai Pengembangan Bahan Ajar Mata Kuliah Genetika.
Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang.
Semagn, K., Bjornstad, A. & Ndijondjop, M.N. 2006. An overview of molecular marker methods for
plant. African Journal of Biotechnology, Vol 5: 2540-2568.
Thompson, J.R., Everett, R.W. & Hammerschmidt, N.L. 2000. Genetics and breeding, effect of
inbreeding on production and survival in Holstein. Journal of Diary Science, Vol 83 (8): 18561864.
Triwulaningsih, E. 2008. Kerbau Sumber Daging dan Susu, Mungkinkah?, (Online),
(http://www.pustaka-deptan.go.id/publikasi-wr274055.pdf, diakses 10 Maret 2010).
Winarto, D. 2010. Menguak Potensi Kerbau, (Online),
(http://www.mit.undip.ac.id/images/download/artikel/potensi_kerbau.pdf, diakses 10 Maret
2010).
373
PENDAHULUAN
Serasah merupakan lapisan yang terdiri dari bagian tumbuhan yang telah mati seperti guguran
daun, ranting, cabang, bunga, kulit kayu, buah serta bagian lain yang menyebar di permukaan tanah di
bawah hutan sebelum bahan-bahan tersebut mengalami dekomposisi (Dephut, 1997). Serasah tumbuhan
sebagai bahan organik mengandung komponen utama berupa lignoselulosa sebagai penyusun sel
tumbuhan. Lignoselulosa terdiri atas tiga polimer yaitu selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Diperkirakan
bahwa jumlah karbon terbanyak terdapat dalam bentuk selulosa dan mayoritas terdapat di lingkungan
terrestrial (Levin dkk, 2009).
Proses degradasi serasah tumbuhan dapat dilakukan dengan bantuan hewan dan
mikroorganisme. Secara alami mikroorganisme menghasilkan enzim yang berfungsi untuk
mendegradasi serasah tumbuhan. Komponen paling utama dalam serasah tumbuhan adalah selulosa,
maka dari itu kehadiran bakteri pendegradasi selulosa menjadi penting untuk menguraikan polisakarida
tersebut menjadi monomer-monomernya. Selain itu juga berfungsi untuk menjaga keseimbangan unsurunsur yang ada di alam khususnya di tanah.
374
Bakteri selulolitik secara alami terdapat di tanah yang mengandung material organik khususnya
yang berasal dari tumbuhan. Bakteri ini memerankan bagian penting dalam siklus karbon yaitu
biodegradasi struktur polimer polisakarida. Aktivitas degradasi polisakarida oleh bakteri ini
menghasilkan karbon dioksida dan materi organik sederhana yang dibutuhkan bakteri lain. Keberadaan
bakteri ini sangat penting dalam mendekomposisikan serasah yang berada di hutan khususnya Tahura R.
Soerjo. Lingkungan biotik dan abiotik hutan tersebut mendukung pertumbuhan berbagai jenis
mikroorganisme terutama bakteri selulolitik. Bakteri tersebut dapat diisolasi dari habitat alaminya dan
dikembangkan di laboratorium untuk diteliti jenis spesiesnya dan penelitian dilanjutkan dengan menguji
kemampuan degradasi selulosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi dan mengkarakterisasi tiga
spesies bakteri selulolitik yang berasal dari serasah tumbuhan di kawasan Tahura R. Soerjo.
METODE PENELITIAN
1. Pengambilan Sampel dan Pengayaan
Sampel berupa serasah tumbuhan yang berada pada lantai hutan. Sampel diambil dengan
menggunakan pipa paralon dan sekop kecil. Sampel serasah diambil pada lapisan serasah, yaitu dari
permukaan hingga ke kedalaman +15 cm (Paul Eldor, 2007). Sebelum diambil, terlebih dahulu serasah
dicampurkan agar merata. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam botol steril dan disimpan di dalam
ice box yang berisi es batu. Sampel dibawa ke laboratorium dan langsung dilakukan perlakuan
pengayaan.
Sampel serasah sebanyak 10 gr dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer yang berisi 500 ml
media pengayaan yang terdiri dari 0,5 gr yeast extract, 2,5 gr pepton, 1 gr CaCO3, 0,6 gr NaCl, 5 gr
jerami padi yang dihaluskan dan ditambah dengan aquades hingga 500 ml. Kemudian diinkubasikan di
atas rotary shaker dengan kecepatan 100 rpm selama 1 minggu pada suhu ruangan.
2. Isolasi Bakteri Selulolitik
Kultur pengayaan yang sudah diinkubasi kemudian diinokulasikan ke media Cellulose Congo
Red Agar (CCRA) (Hendricks dkk, 1995). Media CCRA dibuat dengan komposisi yaitu 0,5 gr K2HPO4,
0,25 gr MgSO4, 0,2 gr Congo Red, 10 gr agar, 2 gr gelatin, 1,88 gr CMC, 100 ml ekstrak tanah dan
ditambah aquades hingga 1000 ml. Pembuatan ekstrak tanah dengan cara mencampur 1 kg tanah dengan
1 liter aquades lalu diotoklaf kemudian disaring.
Pengenceran seri dilakukan untuk memudahkan isolasi bakteri. Pengenceran seri hasil
pengayaan bakteri dari 10-1 sampai 10-7 menggunakan akuades steril. Suspensi yang telah diencerkan ini
diinokulasikan sebanyak 0,1 ml ke media lempeng CCRA menggunakan mikropipet steril. Kemudian
menginkubasi biakan pada suhu 37C selama 1x24 jam. Pertumbuhan koloni bakteri terus diamati
selama 1-7 hari. Bakteri selulolitik ditunjukkan dengan adanya zona bening pada sekitar koloni bakteri.
3. Pengukuran Indeks Selulolitik
Isolat bakteri selulolitik yang berhasil diisolasi diukur indeks selulolitiknya. Pengukuran ini
menggunakan media Carboxymethyl cellulose agar (CMC) dengan komposisi 10 gr CMC, 0,04 gr
CaCl2, 0,02 gr FeSO4.7H2O, 1 gr glukosa, 0,11 gr KNO3, 0,02 gr K2HPO4, 2 gr yeast extract, 15 gr agar
dan ditambah aquades hingga 1000 ml.
Isolat bakteri diinokulasi ke media lempeng CMC dengan menggunakan metode cawan gores
(streak) kemudian diinkubasi pada suhu 37C selama 1x24 jam. Setelah diinkubasi, media CMC yang
telah ditumbuhi bakteri selulolitik ditetesi larutan indikator Congo Red 0,1% dan menunggu hingga 15
menit lalu membilas media dengan larutan NaCl 1M. Zona bening yang terlihat dan koloni bakteri
kemudian diukur dengan jangka sorong. Perhitungan indeks selulolitik menggunakan rumus berikut
(Hankin dan Anagnostakis, 1977).
Indeks selulolitik =
(1)
375
Tiga isolat bakteri selulolitik dengan indeks selulolitik terbesar kemudian dilanjutkan perlakuan
pengamatan karakter masing-masing.
4. Karakterisasi Bakteri
Isolat bakteri selulolitik kemudian dikarakterisasi dan selanjutnya diidentifikasi. Karakterisasi
yang dilakukan meliputi pengamatan morfologi, sitologi serta pengujian fisiologi. Pengamatan
morfologi isolat bakteri selulolitik meliputi pengukuran diameter bakteri, warna koloni, bentuk koloni,
tepian koloni, elevasi koloni, bentuk koloni pada media miring dan respirasi. Pengamatan sitologi isolat
bakteri selulolitik meliputi gerak, gram, bentuk sel, ukuran (m), endospora, dan kapsula. Pengujian ciri
fisiologi dengan MicrobactTM GNB A/B/E, 24E Identification Kits. Hasil pengamatan ciri morfologi,
sitologi dan fisiologi dirujuk menggunakan buku acuan Bergeys Manual of Determinative Bacteriology
7th Edition untuk mendapatkan nama spesies bakteri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolat bakteri selulolitik dari serasah tumbuhan di Tahura R. Soerjo yang berhasil ditemukan
ada 13 isolat bakteri. Penentuan isolat ini berdasarkan kemampuan selulolitik yang terlihat dari adanya
zona bening yang berada di sekeliling koloni bakteri yang tumbuh pada medium Cellulose Congo Red
Agar (CCRA). Semua isolat bakteri selulolitik yang ditemukan diuji indeks selulolitiknya dan dipilih
tiga isolat dengan indeks terbesar untuk dikarakterisasi. Hasil pengukuran indeks selulolitik isolat
bakteri selulolitik ditunjukkan dengan Tabel 1 berikut. Berdasarkan hasil penghitungan indeks
selulolitik diketahui bahwa tiga isolat bakteri selulolitik terbesar adalah isolat kode A, D dan F.
Kode
Isolat
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
K
L
M
Diameter koloni
(mm)
3.62
5.98
2.07
3.17
1.30
1.15
1.85
1.43
3.30
2.13
2.02
1.65
2.15
Indeks
hidrolisis
0.62
0.03
0.09
0.13
0.10
1.45
0.06
0.10
0.05
0.05
0.05
0.07
0.06
Bakteri selulolitik memproduksi enzim selulase untuk menghidrolisis substrat berupa selulosa.
Bakteri tersebut mendegradasi selulosa menjadi monomer glukosa. Bakteri selulolitik dapat
menghidrolisis medium CMC (Carboxymethyl cellulose) dikarenakan adanya enzim yang disekresikan
oleh sel bakteri yang tumbuh pada medium. Enzim ekstraseluler disintesis di dalam membran sel
kemudian dilepaskan keluar sel sehingga menyebabkan CMC yang ada di media terdegradasi menjadi
polimer glukosa. Keadaan ini belum teramati pada media apabila belum diberi reagen. Zona bening baru
terlihat apabila media CMC yang telah ditumbuhi koloni bakteri diberi larutan Congo Red 0,1% lalu
ditunggu selama 15 menit, kemudian dibilas dengan larutan NaCl 1 M. Keadaan media ini dapat dilihat
pada Gambar 1.
376
Gambar 1. Media CMC yang ditumbuhi koloni Bacillus alvei sebelum dan sesudah diberi larutan Congo
Red 0,1% dan larutan NaCl 1M.
Tiga isolat bakteri selulolitik dengan indeks terbesar kemudian diamati karakter morfologi
koloninya dan data tersaji pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Karakter Morfologi Koloni Bakteri
Isolat
bakteri
Warna
Bentuk
Koloni
Putih
Bundar
Putih
tulang
Putih
D
F
Kepekatan
Koloni
Media
Miring
Tidak pekat
Berduri
Bundar
Licin
Timbul
Mengkilat
Pekat
Pedang
Bundar
Licin
Cembung
Mengkilat
Pekat
Pedang
Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa tiga isolat bakteri selulolitik yang ditemukan
mempunyai morfologi yang berbeda. Warna koloni tidak jauh berbeda yaitu putih dan putih tulang pada
medium CMC. Selain pengamatan terhadap morfologi, pengamatan juga dilakukan terhadap karakter
sitologi yang tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3. Karakter Sitologi Bakteri
Karakter Sitologi Bakteri
Isolat
Bakteri
Gram
Bentuk
Ukuran (m)
Endospora
Kapsula
Respirasi
Gerak
basil
1x2
anaerob fakultatif
basil
1 x 1.3
anaerob fakultatif
basil
1x2
anaerob fakultatif
Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa tiga isolat tersebut merupakan anaerob fakultatif, motil,
tidak berkapsula, serta bentuk sel basil. Isolat kode A berbeda dari isolat lain yaitu isolat A membentuk
endospora dan merupakan gram positif. Isolat lainnya tidak menghasilkan endospora dan merupakan
gram negatif.
Pengujian terhadap karakter fisiologis perlu dilakukan untuk mengetahui nama spesies bakteri.
Hasil karakterisasi fisiologis dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan data diketahui bahwa isolat bakteri
kode A adalah spesies Bacillus alvei, kode D adalah Enterobacter gergoviae, dan kode F adalah
Acinetobacter iwoffi.
377
Jenis Tes
A
BGP
Spora
Fermentasi Gula-gula
Glukosa
Xylosa
Mannitol
Laktosa
Sukrosa
Maltosa
Arabinosa
Suhu Pertumbuhan
20 C
37 C
40 C
45 C
Tumbuh di
Nutrient Broth
SDA
TSI
A/A, H2S-
Citrat
Indol
VP
NaCl 7 %
Motilitas
Starch hydrolysis
Lysine
Ornithine
H2S
ONPG
Urease
TDA
Casein hydrolysis
Penicillin
+
Sensitif
Beta-Hemolisa
Katalase
Oksidase
Reduksi Nitrat
Spesies
Bacillus alvei
Enterobacter gergoviae
Acinetobacter iwoffi
378
Spesies bakteri yang ditemukan pada penelitian ini yaitu Acinetobacter iwoffi dan Bacillus alvei
ternyata juga merupakan mikroba yang umum ditemukan di tanah. Dickinson dan Pugh (1974)
menyertakan Enterobacter sebagai mikroba yang berperan dalam dekomposisi serasah. Enterobacter
gergoviae merupakan bakteri Gram negatif yang berbentuk basil. Bakteri ini seringkali ditemukan pada
tanah, kulit manusia, kotoran dan kosmetik. Bakteri ini merupakan famili Enterobacteriaceae dan
merupakan endofit oportunistik karena dapat hidup di tanah maupun akar sejenis jagung sebagai bakteri
yang dapat memfiksasi nitrogen (An dkk, 2007).
Berdasarkan Cogem Research Report, spesies bakteri Enterobacter gergoviae masuk kategori
BSL 2 (Biosafety Level 2). Bakteri ini berasosiasi dengan penyakit pada manusia yang jarang berakibat
serius dan untuk pencegahan maupun pengobatan tersedia bermacam terapi. Penggunaan dalam industri
maupun penelitian, bakteri BSL 2 perlu mendapatkan penanganan khusus standar laboratorium kelas 2
yaitu dengan penanganan yang tepat dan menggunakan perlengkapan seperti jas laboratorium dan
masker.
Acinetobacter iwoffii merupakan mikroorganisme patogen oportunis yang secara normal
ditemukan pada kulit manusia. Bakteri ini juga ditemukan di beberapa hewan, yang kadangkala
berasosiasi dengan penyakit. Seringkali ditemukan di tanah, air kolam pemancingan, limbah cair
industri, susu, dan daging. Sebagai flora normal bakteri ini tinggal di kulit manusia, oropharing, dan
perineum (Rathinavelu, 2003). Penelitian yang dilakukan oleh Ramin dkk (2008) pada usus rayap yang
mencerna jerami padi dan daun kelapa sawit menemukan bahwa bakteri Acinetobacter yang ditemukan
di usus rayap tersebut menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam menghidrolisis polisakarida sampai
menjadi asam asetat. Berdasarkan Cogem Research Report, spesies bakteri Acinetobacter iwoffi ini
masuk kategori BSL 2 (Biosafety Level 2) sama halnya seperti Enterobacter gergoviae.
Nama spesies Bacillus alvei berubah menjadi Paenibacillus alvei seiring dengan dipindahnya
genus ke Paenibacillus berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ash dkk (1994). Bacillus alvei
pertama kali ditemukan pada larva lebah madu yang terkena penyakit European Foulbrood, penyakit
yang menyebabkan kematian pada larva lebah madu akibat terserang bakteri Melissococcus pluton dan
Paenibacillus larvae subsp. larvae (Djordjevic dkk, 1999). Namun bakteri ini bukan penyebab penyakit
European Foulbrood. Selain ditemukan pada larva lebah yang mati, bakteri ini juga ditemukan di lebah
dewasa. Bakteri Bacillus alvei banyak ditemukan di berbagai lingkungan, seperti tanah, bagian
tumbuhan, makanan, akar pohon, larva nyamuk, ngengat, manusia dan benda-benda di rumah sakit.
Wenzel dkk (2001) meneliti mengenai bakteri selulolitik aerob dan anaerob fakultatif yang
diperoleh dari usus rayap (Zootermopsis angusticollis). Penelitian tersebut menemukan beberapa bakteri
selulolitik yang salah satunya adalah Paenibacillus. Bakteri selulolitik Paenibacillus alvei sifatnya
nonpatogen dan masuk kategori BSL 1 (Biosafety Level 1).
1. Proses Biokomposisi Selulosa oleh Bakteri Selulolitik
Selulosa dan hemiselulosa adalah polimer penting yang menyusun dinding sel tumbuhan,
sekitar 10 sampai 70% dari sisa tumbuhan. Dinding sel sekunder mengandung 5 sampai 30% lignin,
hidrokarbon unik penyusun tumbuhan terestrial yang membentuk struktur keras pada kayu dan sebagai
pertahanan terhadap patogen (Paul Eldor, 2007). Hemiselulosa lebih larut dibandingkan dengan
selulosa. Hemiselulosa adalah material yang berbeda dengan selulosa. Hemiselulosa adalah molekul
bercabang yang hanya memiliki 150-200 monomer (Mulcahy, 1996). Selulosa adalah polimer 2.00010.000 unit glukosa (Mangu, 1980).
Degradasi selulosa merupakan proses yang penting dalam menguraikan sisa-sisa tumbuhan.
Proses ini membutuhkan enzim selulase yang dihasilkan oleh sel bakteri selulolitik. Rantai glukosa
yang dimiliki oleh selulosa sangat panjang sehingga tidak bisa langsung masuk ke dalam sel bakteri
untuk dihidrolisis. Diperlukan enzim ekstraseluler untuk menghidrolisis selulosa menjadi monomermonomer sehingga dapat ditransfer ke dalam sel. Zona bening pada medium CMC yang digunakan pada
penelitian ini merupakan hasil kerja enzim selulase yang dihasilkan oleh koloni bakteri yang
ditumbuhkan.
379
Selulosa terdiri dari unit-unit glukosa yang terikat bersama menjadi rantai panjang melalui
ikatan pada atom C nomor 1 dan 4 dari molekul gula (Mangu, 1980). Dibutuhkan sistem enzim
selulase yang saling sinergis untuk menguraikan selulosa. Sistem enzim selulase terdiri dari tiga enzim
yaitu endoglukanase, eksoglukanase dan -glukosidase (Paul Eldor, 2007). Enzim selulase memiliki
peranan yang berbeda dalam mengurai bermacam rantai yang mengusun struktur mikrofibril. Reaksi
penguraian selulosa dapat dilihat pada Gambar 2 berikut.
Selulosa
Endoglukanase
Eksoglukanase
glukosa rantai panjang
selobiosa
-glukosidase
glukosa
Endoglukanase bekerja pada rantai glukosa yang larut dan tak dapat larut dengan mengurai
ikatan (1-4), menghasilkan glukosa dan selooligosakarida. Eksoglukanase bekerja dengan mengurai
derivat rantai selulosa hasil kerja endoglukanase, menghasilkan glukosa dan selobiosa (dimer glukosa)
dan selotriosa (trimer glukosa). Tahap akhir yaitu -glukosidase menghidrolisis fragmen rantai glukosa
menjadi glukosa (monomer). Hasil akhir proses hidrolisis secara enzimatik ini adalah glukosa.
Pada proses dekomposisi material organik sisa tumbuhan, hasil akhir hidrolisis selulosa yaitu
glukosa digunakan oleh mikroorganisme untuk menghasilkan energi melalui proses secara aerob
maupun anaerob bergantung pada jenis mikroorganisme. Proses hidrolisis selulosa menjadi glukosa
memerlukan waktu yang lama dari berhari-hari sampai berminggu-minggu, tetapi proses selanjutnya
yaitu fermentasi glukosa hanya dalam hitungan jam sampai hari. Proses fermentasi aerob menghasilkan
CO2 dan substansi sel, sedangkan proses anaerob menghasilkan etanol dan asam organik seperti asetat,
asam format, asam laktat, dan asam butirat.
Pemanfaatan bakteri selulolitik tepat apabila digunakan untuk agen biokomposer dalam
mengolah sampah organik dari sisa tumbuhan yang sebagian besar mengandung senyawa selulosa.
Kinerja sinergis dari beberapa macam bakteri diperlukan dalam mengurai material lain yang ada dalam
sampah organik sehingga dihasilkan humus atau kompos dengan kandungan nutrien tinggi. Penelitian
ini merupakan tahap awal dalam mencari bakteri yang memiliki prospek untuk dijadikan biokomposer.
Harapannya penelitian ini dapat dikembangkan dan ditemukan komposisi yang tepat untuk menciptakan
biokomposer dalam menangani sampah sisa tumbuhan.
KESIMPULAN
Hasil isolasi dan karakterisasi menunjukkan bahwa tiga bakteri selulolitik yang berhasil
diisolasi dari serasah tumbuhan di Tahura R. Soerjo Kota Batu adalah spesies Bacillus alvei dengan
indeks selulolitik 0,62, Enterobacter gergoviae dengan indeks selulolitik 0,13, dan Acinetobacter iwoffi
dengan indeks selulolitik 1,45.
SARAN
Sebelum diaplikasikan untuk biokomposer sampah tumbuhan, isolat bakteri selulolitik yang
ditemukan perlu diteliti lagi mengenai:
1. Karakterisasi selulase meliputi penentuan pH dan suhu optimum untuk proses degradasi selulosa.
2. Uji dekomposisi substrat berupa sisa tumbuhan dengan parameter nisbah C/N, bobot sisa substrat,
dan laju dekomposisi.
Daftar Pustaka
An, Q., Y. Dong, W. Wang, Y. Li dan J. Li. 2007. Constitutive Expression of The Nifa Gene Activates
Associative Nitrogen Fixation of Enterobacter Gergoviae 57-7, an Opportunistic Endophytic
Diazotroph. Journal of Applied Microbiology. 103: 613620.
380
Ash, C., Priest, F. G. dan Collins, M. D. 1995. Paenibacillus Alvei Comb. Nov., Paenibacillus
Amylolyticus Comb. Nov., Paenibacillus Azotofixans Comb. Nov., Paenibacillus Gordonae
Comb. Nov., Paenibacillus Larvae Comb. Nov., Paenibacillus Macerans Comb. Nov.,
Paenibacillus Macquariensis Comb. Nov., Paenibacillus Pubuli Comb. Nov., Paenibacillus
Pulvifaciens Comb. Nov. and Paenibacillus Validus Comb. Nov. in Validation of The
Publication of New Names and New Combinations Previously Effectively Published Outside
The Ijsb, List No. 52. Int J Syst Bacteriol. 45: 197198.
Cogem Research Report. 2006. Classification of Bacterial Pathogens. Rotterdam: Erasmus MC
Department of Medical Microbiology and Infectious Diseases.
Dephut RI (Departemen Kehutanan Republik Indonesia). 1997. Sistem Silvikultur Intensif Mendorong
Optimalisasi Produksi Hutan Alam, (Online), (http:/www.dephut.go.id/index.php.), diakses 3
Januari 2012.
Dickinson C.H. dan Pugh, G. J. F. 1974. Biology of Plant Litter Decomposition. Academic Press:
London.
Djordjevic, Steven P., Wendy A. Forbes, Lisa A. Smith, dan Michael A. Hornitzky. 1999. Genetic And
Biochemical Diversity Among Isolates Of Paenibacillus Alvei Cultured From Australian
Honeybee (Apis Mellifera) Colonies. Applied And Environmental Microbiology. 66 (3) : 1098
1106.
Hankin, Lester dan Anagnostakis, Sandra L. 1977. Solid Media Containing Carboxymethylcellulose to
Detect C, Cellulase Activity of Micro-Organisms. Journal Of General Microbiology. 98: 109-1
15.
Hendricks, Charles W., Jack D. Doyle, dan Bonnie Hugley. 1995. A New Solid Medium for
Enumerating Cellulose-Utilizing Bacteria in Soil. Applied and Environmental Microbiology. 61
(5): 20162019.
Levin, D. B., Carere C. R., Cicek R., dan Sparling R. 2009. Challenges for Biohydrogen Production Via
Direct Lignocelluloses Fermentation. International journal of hydrogen energy. 34: 73907403.
Mangu, 1980. Improving Soil Fertility Through Organic Recycling. New Delhi: Project Field Document
No.13.
Mulcahy. 1996. An investigation of cellulose Binding Domain in non-celululose binding domains in
non-cellulolytic enzymes. Final year project university of Limerick.
Paul Eldor, Alvin. 2007. Soil Microbiology, Ecology, and Biochemistry Third Edition. Oxford:
Elsevier.
Ramin, M, Alimon AR, Panandam JM, Sijam K, Javanmard A, dan Abdullah N. 2008. Digestion of
Rice Straw and Oil Palm Fronds by Microflora from Rumen and Termite Bacteria, in Vitro. Pak
J Biol Sci. 11 (4) : 583-8.
Rathinavelu, S., Y. Zavros, dan J. L. Merchant. 2003. Acinetobacter lwoffii Infection and Gastritis.
Microbes Infect. 5 : 651657.
Wenzel, M., I. Schonig, M. Berchtold, P. Kampfer dan H. Konig, 2002. Aerobic and Facultatively
Anaerobic Cellulolytic Bacteria from The Gut of The Termite Zootermopsis angusticollis. J.
Applied Microbiol. 92 : 32-40.
381
PENDAHULUAN
Senyawa antioksidan memiliki peran penting dalam kesehatan. Banyak bukti ilmiah yang
menunjukkan bahwa senyawa antioksidan dapat mengurangi resiko terhadap penyakit degeneratif
seperti kanker, diabetes, dan jantung koroner. Senyawa antioksidan mempunyai kemampuan untuk
menangkap radikal bebas (Prakash, 2001). Radikal bebas dalam tubuh dihasilkan dari proses
metabolisme. Molekul ini mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital
terluarnya. Radikal bebas mempunyai reaktivitas tinggi terhadap molekul sehingga memiliki daya
perusak yang tinggi terhadap substansi biologi seperti protein, lipoprotein, deoxyribonucleic acid
(DNA), karbohidrat dan asam lemak tidak jenuh (Pincemail, 1995, Leong and Sui, 2001). Radikal bebas
dapat berasal dari proses biokimia di dalam sel dan di luar sel, selain itu juga dihasilkan oleh sel fagosit
pada berbagai proses inflamasi. Dalam proses biokimia, radikal bebas dibentuk secara terus menerus
melalui proses fosforilasi oksidatif pada respirasi sel.
Senyawa antioksidan dibedakan antara antioksidan enzimatis dan antioksidan non enzimatis.
Antioksidan enzimatis antara lain superoksid dismutase (SOD), katalase, glutation peroksidase.
Senyawa antioksidan non enzimatis seperti vitamin C, vitamin D, karoten, asam-asam fenol, polifenol,
flavonoid berasal dari tumbuhan. Temugiring merupakan tanaman obat asli Indonesia yang belum
banyak dimanfaatkan obat. Rimpang temugiring mempunyai kandungan senyawa aktif golongan
terpenoid, flavonoid, pigmen kuning curcumin sehingga diduga mempunyai potensi sebagai
antioksidan alami yang bermanfaat untuk bahan obat penyakit yang terkait dengan radikal bebas seperti
diabetes melitus (Lukiati, 2012).
Metode aktivitas antiradikal DPPH merupakan salah satu yang digunakan untuk uji aktivitas
antioksidan bahan alam (Sunarmi & Asnah, 2007; Rai et al., 2009; Yung et al., 2009; Iqbal, 2010).
Penelitian ini melakukan pengujian antiradikal bebas DPPH terhadap ekstrak etanol dan ekstrak air
382
rimpang temugiring. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tambahan tentang
rimpang temugiring sebagai salah satu antioksidan alami.
METODE
1. Alat dan bahan
Rimpang temugiring diperoleh dari Balai Materia Medika (BMM) kota Batu, difinil pikril hidrasil
hidrat (DPPH) ex Sigma, etanol, methanol pro analisis ex Merk. Spektrofotometer UV (Shimadzu).
2. Uji Aktivitas antioksidan
Rimpang temugiring umur panen yang diperoleh dari Balai materia medika kota Batu, diiris tipistipis kemudian dikering anginkan untuk memperoleh simplisia kering, setelah itu ditumbuk sampai
menjadi serbuk. Serbuk rimpang temugiring ditimbang sebanyak 100 gram, selanjutnya diekstraksi
menggunakan metoda maserasi dengan 1000 mL pelarut etanol 95% dan aquades selama 24 jam dan
disaring, maserasi dilakukan 3 kali. Maserasi pertama dengan pelarut sebanyak 500 mL, maserasi kedua
dengan pelarut sebanyak 250 mL, dan maserasi ketiga dengan pelarut 250 mL. Maserat etanol dan
maserat air yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan rotari evaporator pada suhu 400C (Lee et al,
2006).
Pengukuran aktivitas antioksidan secara spektrofotometri menggunakan radikal bebas 1,1difenil-2pikril hidrazil hidrat (DPPH). Senyawa antioksidan dalam ekstrak akan meredamkan radikal
DPPH melalui mekanisme donasi atom hidrogen dan menyebabkan terjadinya peluruhan warna DPPH
dari ungu ke kuning yang diukur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 517
nm (Sumarmi & Asmah, 2007, Rai et al.,2009).
Kristal DPPH sebanyak 4 mg dilarutkan dalam metanol pro analisis sampai dengan 100 ml
sebagai larutan standart dengan konsentrasi 40 g/mL. Larutan standart dijaga pada suhu 250C dan
terlindung dari cahaya, serta segera digunakan. Sampel ekstrak dibuat dengan konsentrasi 40, 80, 120,
160 ,dan 200 g/mL masing-masing sebanyak 300 L dilarutkan dalam DPPH 40 g/mL sampai
dengan 3 mL. Sampel diinkubasi selama 30 menit pada suhu 250C dan dalam keadaan gelap,
selanjutnya diukur absorbansinya pada panjang gelombang 517 nm dengan metanol sebagai larutan
blanko. Aktivitas antioksidan dihitung berdasarkan prosentase peredaman radikal bebas DPPH oleh
senyawa antioksidan dengan rumus:
% Peredaman DPPH= (Absorbansi standar Absorbansi sampel) X 100%
Absorbansi standard
(1)
(Sumarmi & Asnah, 2007; Rai et al., 2009; Yung et al., 2009)
383
Absorbansi
I
0,626
0,319
0,303
0,289
0,255
0,240
Absorbansi
II
0,652
0,328
0,296
0,284
0,266
0,230
Absorbansi
III
0,648
0,329
0,306
0,282
0,261
0,245
Rerata
peredaman (%)
49,32
52,99
55,59
59,40
62,86
60,00
50,00
40,00
y = 0.0837x + 45.987
r = 0.9986
30,00
20,00
10,00
0,00
0
50
100
150
200
250
Gambar 1: Hubungan antara konsentrasi fraksi etanol ekstrak temugiring dengan % peredaman
Absorbansi
I
0,652
0,358
0,332
0,319
0,298
0,267
Absorbansi
II
0,648
0,340
0,332
0,317
0,299
0,268
Absorbansi
III
0,626
0,349
0,335
0,318
0,293
0,260
Rerata
peredaman (%)
45,62
48,11
50,45
53,78
58,72
384
60,00
50,00
40,00
30,00
20,00
10,00
0,00
0
100
200
300
400
500
600
Gambar 2: Hubungan antara konsentrasi fraksi air ekstrak temugiring dengan % peredaman
Gambar 3: Struktur dasar senyawa flavonoid (diambil dari Vermerris & Nicholson, 2006)
385
Aktivitas antioksidan dari senyawa polifenol berhubungan dengan struktur kimianya. Pada
flavonoid, adanya struktur o-hidroksi pada cincin B memberikan derajat stabilitas yang tinggi pada
radikal fenoksil melalui delokalisasi elektron. Hal ini merupakan sifat penting dari antiradikal. Ikatan
rangkap 2,3 dengan sistem konjugasi menyebabkan stabilitas bagi radikal fenoksil flavonoid dengan
melakukan resonansi, sehingga meningkatkan aktivitas flavonoid sebagai penangkap radikal. Gambar 4
menunjukkan struktur kimia senyawa flavonoid sebagai antioksidan adalah karena adanya: (a). gugus
hidroksil 3,4 (orto-dihidroksi) pada cincin B flavonoid, (b). ikatan rangkap 2,3 yang terkonjugasi
dengan gugus 4-okso (gugus 1,4-piron) pada cincin C dan (c). gugus hidroksil pada posisi 3 dan 5.
Gambar 4: Stuktur kimia senyawa flavonoid sebagai Antioksidan (diambil dari Zhang, 2005)
Struktur kurkumin mempunyai dua cincin aromatik dan beberapa gugus hidroksil. Kurkumin
adalah antioksidan yang sangat potensial, mampu menangkap berbagai Reactive Oxygen Species (ROS).
Kurkumin berperan penting sebagai antiinflamasi, antitumor, dan aktivitas farmakologi yang lain karena
aktivitas antioksidan yang dimiliki.
KESIMPULAN
Hasil pengujian aktivitas antioksidan fraksi etanol dan fraksi air ekstrak rimpang temugiring
pada penelitian dapat disimpulkan:
1. Ekstrak temugiring mempunyai aktivitas antioksdidan
2. Fraksi etanol mempunyai aktivitas antioksidan lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi air
berdasarkan nilai IC50.
Daftar Pustaka
Iqbal, M. 2010. Aktivitas Antioksidan Dan Profil Kromatogram Ekstrak Etanol 96% Daun Syzygium
cumini, Syzygium aromaticum, Syzygium polyanthum dan Syzygium aquaeum. Skripsi:
Fakultas Farmasi Universitas Airlangga, Surabaya.
Lee, Y.L, Weng, C.C, Leun Mau, J. 2007. Antioxidant Properties of Ethanolic and Hot Water Extract
from The Rhizome of Curcuma aromatica. Journal of Food Biochemistry 31: 757-777.
Leong L.P and Shui,g. 2002. In investigation of Antioxidant Capacity of Fruit in Singapore Market.
Food Chemistry. 76: 69-75;
Lukiati, B, Aulanniam, Darmanto W. 2012. The Effect of Curcuma heyneana Ethanolic Extract on The
Superoxide Dismutase Activity and Histological Pancreas of Type 1 Diabetes Mellitus Rats.
International Journal of Basic & Applied Sciences. Vol 12 (02): 22-30.
Naciye E, Guller A, & Errol A. 2008. Antioxidant activities of Rosemery (Rosmarinus officinale L)
extract, black seed (Nigella sativa L) essensial oil, carnacic acid rosmarinic acidand sesamol.
Food Chemistry 110: 76-82.
386
Pincemail.J. 1995. Free Radical and Antioxidants in Human Disease in Analysis of Free Radicals in
Biological System. Berlin.
Prakash, A. 2001. Antioxidant Activity. Medallion Analitical Progres.Vol 19. No 2
Rai M, Biswas G, Chateterjee S, Mandal S, and Acharya K. 2009. Evaluation of Antioxidant and Nitric
Oxide Synthase Activation Properties of Armillaria mellea Quel. E Journal of Biological
Sciences. Vol 1. Issue 1: 39-45.
Sumarmi T, Pramono S, & Asmah R. 2007. Flavonoid Antioksidan Penangkap Radikal dari daun Kepel
(Stelechocarpus burahol (BI) Hook., F & T), Majalah Farmasi Indonesia, 18 (3), 2007.
387
PENDAHULUAN
Diabetes melitus merupakan salah satu kelompok penyakit metabolik ditandai dengan
hiperglisemia akibat kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas, gangguan kerja insulin/resistensi
insulin atau keduanya (Groop, 2001; Masharani et al., 2001). Resistensi insulin dan kegagalan
metabolisme sel beta pankreas disebabkan oleh faktor genetika, lingkungan, dan faktor metabolik.
Resisitensi insulin berarti ketidaksanggupan insulin memberi efek biologik normal pada kadar gula
darah tertentu.
Disfungsi seksual seperti gangguan spermatogenesis, penurunan libido, dan impotensi merupakan
permasalahan yang diakibatkan karena penyakit diabetes melitus pada pria (Sexton dan Jarow, 1997;
Zarzycki et al., 2005; Clark, 2004; De Berardis, 2007; Betocchi et al., 2008). Infertilitas pada pria
penderita diabetes melitus merupakan gangguan kompleks sistem reproduksi. Hasil penelitian yang
telah dilakukan oleh Kolodny et al., 1974; Fairburn, 1981; Jensen et al., 2002; Bener et al., 2009)
menjelaskan terjadinya penurunan kualitas sperma, dan perusakan tubulus seminiferus testis manusia
serta hewan model diabetes melitus. Saat ini masih terus dilakukan kajian penelitian terkait dengan
aktivitas mulai dari tingkat organ, jaringan, dan sel.
Hasil penelitian Bhasin et al .,(2007) terjadi gangguan sistem endokrin yang melibatkan
hubungan antara hipofisis dan gonad, sehingga berpengaruh terhadap sel Sertoli dan sel Leydig.
Perubahan kontrol hubungan hipofise dan testis mengakibatkan perubahan pada sel Leydig (Steger dan
Rabe, 1997), penurunan kadar testosteron, luteinizing hormone (LH) (Benitez dan Perez, 1985;
Ballester et al., 2005).
Streptozotocin (Stz) disebut juga 2 deoxy-2-(3-methyl-3Nitrosoureido)- D-glukopyranose
(Oktayoglu, 2011) senyawa kimia dengan ciri spesifik memiliki berat molekul 265,2 g/mol dengan
rumus molekul C8H15N3O7 berupa padatan berwarna putih kekuningan larut dalam air dan alkohol
100% bersifat toksik dan karsinogenik. Streptozotocin sebagai suatu jenis antibiotika berspektrum luas
mempunyai efek toksik, pertama kali diisolasi dari jamur Streptomyces achromogenes (Herr, et al.,
1967; Axxora, 2006).
388
Preparat streptozotocin sebagai agen diabetogenik pada hewan coba bersifat sitotoksik spesifik
bagi sel beta pankreas (Rossini, et al., 1977; Gezginci, et al., 2009). Hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Gezginci (2011) bahwa streptozotocin merupakan preparat diabetogenik menyebabkan
nekrosis dan apoptosis sel beta pankreas sehingga menurunkan produksi insulin. Steger et al., (1997)
menjelaskan bahwa kerusakan sel beta pankreas induksi Streptozotocin pada hewan coba digunakan
sebagai hewan model diabetes tipe I.
Seethalakshmi et al., (1987), Oksanen, (1975), Sexton et al., (1997), Sainio et al., (1997),
Baker (1998), Meyer (2000) penggunaan Streptozotocin pada hewan coba sebagai preparat diabetogenik
menunjukkan terjadinya penurunan jumlah, motilitas, konsentrasi, dan volume spermatozoa. Kim dan
Moley (2008) diabetes melitus pada mencit induksi Streptozotocin menyebabkan penurunan kualitas
sperma dan kapasitasi fertilisasi. Hasil penelitian Oksanan (1975), Cai, et al., (1997), Cai, et al.,
(2000), menjelaskan terjadi peningkatan apoptosis sel germinal tubulus seminiferus testis terjadi pada
hewan coba setelah induksi Streptozotocin.
METODE PENELITIAN
1. Hewan coba dan Pemeliharaan
Hewan coba menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar jantan, bobot badan 120150 gram, kondisi sehat, berumur 2-3 bulan, berjumlah 24 ekor yang dipelihara dalam kandang
tikus/mencit di Program Studi Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP PGRI Madiun.
Tikus putih ditempatkan dalam kandang, diberi makan dan minum secara ad libitum dan
diaklimatisasi selama 14 hari sebelum perlakuan induksi. Tikus putih dipelihara pada suhu ruang (
27o C), kelembaban relatif antara 50-60% dan siklus pencahayaan 12 jam. Sebelum dilakukan injeksi
Streptozotocin, tikus ditimbang untuk menentukan volume streptozotocin yang diinjeksikan.
2. Pembuatan Larutan Streptozotocin
Streptozotocin 100 mg dilarutkan dalam 3 ml buffer sitrat pH 4,5 terdiri dari 0,1M larutan
sodium sitrat dan 0,1M larutan natrium sitrat (ONeil et al., 2009 dan Gunelli et al., 2008) selanjutnya
divorteks hingga homogen dan dihasilkan larutan streptozotocin stok. Larutan streptozotocin stok
disimpan pada suhu 4oC diinjeksikan dengan dosis 40 mg/kg dan 80 mg/kg, volume pengambilannya
disesuaikan dengan berat badan.
3. Injeksi Streptozotocin Intraperitoneal
Tikus diposisikan rebah dorsal, disposable needle diposisikan sudut 45o pada daerah peritoneal,
larutan streptozotocin dimasukkan secara perlahan.
4. Pengukuran Kadar Glukosa Darah
Pengukuran kadar glukosa darah diperoleh dari darah pemotongan ujung ekor (vena lateralis).
Pengukuran kadar glukosa darah menggunakan alat Blood Glucose Test Meter GlukoDr (AllMedicus
Co. Ltd. Korea). Alat diset kodenya sesuai dengan kode GlucoDr TM Test Strip yang digunakan,
selanjutnya darah dari vena ekor tikus diteteskan pada strip yang terhubung dengan glucometer,
dibiarkan selama 6 detik dan dibaca skala yang terlihat pada layar. Pengukuran kadar glukosa dilakukan
3 kali yaitu sebelum dilakukan injeksi streptozotocin, setelah masa inkubasi (24 jam setelah induksi
streptozotocin), dan 72 jam setelah induksi streptozotocin.
5. Histologi Testis
Mencit didislokasi 72 jam setelah induksi streptozotocin, dengan kadar glukosa mencapai batas
minimal 250 mg/dl (Yang, et al., 2003) dilakukan pengambilan testis dan difiksasi dalam larutan Bouin.
Pembuatan preparat histologi testis dengan metode parafin meliputi tahap-tahap yaitu: fiksasi, dehidrasi,
cleaning, infiltrasi, embedding, pengirisan dan pewarnaan Hematoxylene-Eosin (H&E). Menghitung
rerata jumlah sel-sel germinal dalam tubulus seminiferus testis.
6. Analisis Data
389
Data sel-sel germinal dianalisis menggunakan One Way ANOVA ( = 5%). dilanjutkan uji posthoc menggunakan Least Significant Difference (LSD) ( = 5%). Uji statistik menggunakan software
SPSS versi 16.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 disajikan hasil uji One Way ANOVA terhadap rerata jumlah sel-sel germinal dalam
tubulus seminiferus testis diperoleh nilai F hitung sebesar 47,270 dan nilai signifikan 0,000. Nilai
signifikan lebih kecil dari nilai 0,05 berarti bahwa ada pengaruh signifikan pemberian streptozotocin
terhadap rerata jumlah sel-sel germinal dalam tubulus seminiferus testis.
Tabel 1. Uji ANOVA Perlakuan Streptozotocin dalam 0,1 ml Sodium Sitrat pH 4,5
(Kontrol, 40 mg/kg,80mg/kg) Terhadap Rerata Jumlah Sel-Sel Germinal
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
187690,758
3
62563,586
47,270
0,000
Between Goups
153531,033
116
1323,543
Within Groups
341221,792
119
Total
Berdasarkan hasil pengamatan terhadap histologi tubulus seminiferus testis, maka diperoleh hasil
adanya perubahan jaringan testis seperti pada Gambar 1.
A
B
C
Gambar 1. Tubulus Seminiferus Tikus Wistar dengan Pewarnaan HE, Perbesaran 400X
(Sumber : Primiani, 2012)
Keterangan: 1) Kontrol (P1); 2) Dosis 40 mg/kg (P2); 3) Dosis 80 mg/kg (P3)
A. Struktur tubulus seminiferus testis normal, tidak mengalami perubahan, sel-sel germinal (spermatogonia,
spermatosit primer, spermatosit sekunder, spermatid dan spermatozoa) tampak jelas. Lumen tubulus penuh
karena terisi spermatozoa (Kontrol).
B. Sel germinal mengalami ketidakteraturan formasi, pengurangan jumlah sel germinal (P2).
C. Sel-sel germinal hampir tidak dijumpai dalam tubulus testis, spermatogonia hampir tidak ada dalam tubulus
(P3).
Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar glukosa sebesar 264 mg/dl dengan pemberian
streptozoocin dosis tunggal 40 mg/kg intraperitoneal memerlukan waktu 72 jam. Pemberian
streptozotocin dosis tunggal 80 mg/kg intraperitoneal memerlukan waktu 56 jam dengan rerata kadar
glukosa 291 mg/dl. Penelitian Gojo et al., (2007) dan Al-Qattan et al., (2008) pemberian streptozotocin
dosis tunggal 40-65 mg/kg intraperitoneal menyebabkan hiperglisemi dalam waktu 72 jam. Hasil uji
One Way ANOVA terdapat perbedaan rerata jumlah sel-sel germinal tubulus seminiferus testis. Jumlah
sel-sel epitel dan sel-sel germinal tubulus seminiferus testis mengalami degenerasi. Gamal dan
Moneium (2001) menjelaskan tubulus seminiferus testis hewan coba yang diinduksi streptozotocin
menyebabkan terjadinya peningkatan droplet vakuola lemak pada sel Leydig dan sel Sertoli. Struktur
tubulus seminiferus testis mengalami gangguan dan penurunan sel-sel germinal (Gunelli et al., 2008).
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Foglia (1996) diabetes melitus pada pria dapat
mengakibatkan perusakan sistem reproduksi sehingga mengakibatkan penurunan sintesis androgen dan
penurunan jumlah sel Leydig dalam tubulus seminiferus testis. Ballester (2005) menyatakan LH
berperan penting dalam pengaturan sel Leydig, karena adanya reseptor insulin dalam sel Leydig. Insulin
berperan penting dalam pengaturan fungsi reproduksi (Bruning et al., 2000), insulin mampu
meningkatkan sekresi GnRH dari hipotalamus. Hasil penelitian Banitez dan Diaz (1985) menunjukkan
390
penurunan kadar insulin hewan coba mampu menurunkan sekresi LH. Sesuai dengan pendapat Saez
(1994) biosintesis testosteron diatur oleh sekresi LH dan steroidogenesis pada sel Leydig diatur oleh
produksi sitokin dan growth factor. Leptin merupakan salah satu faktor yang sangat tepat berhubungan
dengan fungsi reproduksi pada resistensi insulin (Chehab et al., 1996; Farooqi et al., 1999; Chan et al.,
2003), dan reseptor leptin terdapat pada sel Leydig yang mampu menghambat stimulasi human
chorionic gonadotropin (HCG) dan sekresi testosteron (Caprio et al., 1999).
Streptozotocin merupakan agen alkilasi yang memecah rangkaian DNA dalam sel-sel pulau
langerhans tikus. Hasil penelitian membuktikan bahwa efek racun streptozotocin diperantarai oleh
oksida nitrit (NO) yang dihasilkan selama metabolisme streptozotocin (Bellmann et al., 1995). Menurut
Allan et al., (1992) dan Reiter et al., (2000) streptozotocin menyebabkan terjadinya apoptosis sel-sel
germinal akibat stres oksidatif. Kelainan metabolik tikus diabetes melitus induksi streptozotocin mirip
dengan diabetes melitus tipe I pada manusia (Mordes dan Rossini, 1985).
Kerusakan sel-sel beta pankreas akibat induksi streptozotocin menyebabkan defisiensi insulin,
sehingga mempengaruhi pengaturan insulin terhadap hipofise dan gonad (Adashi et al., 1981).
Penurunan sekresi GnRH yang disebabkan karena defisiensi insulin pada hewan coba menyebabkan
terjadinya penurunan sekresi FSH dan LH (Kirchick, et al., 1979; Bestetti, 1985; Seethalakshmi, 1987).
Menurut Vignera et al., (2012) induksi streptozotocin pada hewan coba terjadi penurunan fungsi sel
Leydig dan kadar testosteron akibat kerusakan sel beta pankreas.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan pemberian streptozotocin dosis tunggal 40 mg/kg dan 80 mg/kg
intraperitoneal berpengaruh terhadap rerata jumlah dan struktur sel-sel germinal tubulus seminiferus
testis. Perbedaan dosis tunggal streptozotocin yang diberikan sebagai preparat diabetogenik
memberikan perbedaan kecepatan waktu hiperglisemia.
Perubahan yang terjadi pada sel-sel germinal tubulus seminiferus testis perlu dilanjutkan
pengkajian beberapa faktor yang terlibat dalam spermatogenesis. Kajian tingkat molekuler (apoptosis
dan nekrosis) organ-organ lain sangat diperlukan sehingga komplikasi diabetes melitus terhadap sistem
reproduksi dapat dijelaskan untuk penanganan secara efektif.
Ucapan Terima Kasih
Terima kasih disampaikan kepada Johar Wahyudi dan Dhany Kurniawan yang telah membantu
dalam kerja di laboratorium.
Daftar Pustaka
Adashi, E.Y., Hsueh, A.J., & Yen, S.S. 1981. Insulin Enhancement of Luteinizing Hormone and Follicle
Stimulating Hormone Release by Cultured Pituitary Cells. J. Endocrinology, 108:1441-1449.
Allan, D.J., Harmon, B.V., & Roberts, S.A.1992. Spermatogonial Apoptosis Has Three
Morphologically Recognizable Phases and Shows No Circadian Rhythm During Normal
Spermatogenesis in The Rat. Cell Prolif, 25:241-250.
Al-Qattan, K., Thomson, M., & Ali, M. 2008. Garlic (Allium sativum) and Ginger (Zingiber officinale)
Attenuate Structural Nephropathy Progression in Streptozotocin Induced Diabetic Rats. Euro.
J.Clin. Nut. Met, 3(2),62-71.
Axxora.2006. Streptozotocin (Online) (http://www.Axora.com/nitric oxide donors.Alx-380-010/OPFA.
Diakses tanggal 8 Desember 2011.
Baker, H.W. 1998. Reproductive Effects of Nontesticular Illness. Endocrinol Metab Clin North Am.
27:831-850.
Ballester, J., Munoz, M.C., Dominguez, J., Rigau, T., Guinovart, J.J., & Rodriguez Gil, J.E. 2005.
Insulin Dependent Diabetes Affects Testicular Function by FSH and LH Linked Mechanism. J.
Androl, 25(5),706-719.
391
Ballester, J., Dominguez, J., Munoz, C., Sensat, M., Rigau, T., Guinovart, J.J.,& Gil, J.E.R. 2005.
Tungstate Treatment Improves Leydig Cell Function in Streptozotocin Diabetic Rats. J. Androl,
6(6),706-715.
Banitez A., & Perez, D. 1985. Effect of Streptozotocin-Diabetes and Insulin Treatment on Regulation of
Leydig Cell Function in Rat. Horm Metab Res, 17:5-7.
Bellmann, K., Wenz, A., Radons, J., Burkar, V., & Kleemann, K.H. 1995. Heat Shock Induces
Resistance in Rat Pancreatic Islet Cells Against Nitric Oxide, Oxigen, Radicals and Streptozotocin
Toxicity In Vitro. Diabetes Research Institut at Universitas of Dusseldorf, Auf Hennekamp 65, D40225 Dusseldorf Germany.
Benner, A., Al-Ansari, A.A., Zirie, M., & Al-Hamaq, A.O. 2009. Is Male Fertility Associated With
Type 2 Diabetes Mellitus? Int Urol Nephrol, 41:777-784.
Bettocchi, C., Verse, P., & Palumbo, F., 2008. Ejaculatory Disorders: Pathophysiology and
Management. Nat. Clin. Pract. Urol, 5:93-103.
Bestetti, G., Locatelli, V., Tirone, F., Rossi, G,L., & Muller, E.E. 1985. One Month of Streptozotocin
Diabetes Induces Different Neuroendocrine and Morphological Alterations in The Hypothalamo
Pituitary Axis of Male and Female Rats. Endocrinology, 117:208-216.
Bhasin S, Enzlim P, Coviello A, & Basson R. 2007. Sexual Disfungtion in Men and Women with
Endocrine Disorders. Lancet, 369(9561),597-611.
Bruning, J.C., Gautam, D., Burks, D.J., Gillette, J., Schubert M., Orban, P.C., Klein, R., Krone, W.,
Muller-Wieland, D., & Kahn, C.R. 2000. Role of Brain Insulin Receptor in Control of Body
Weight and Reproduction. Science, 289:2122-2125.
Cai, L., Hales, B.F., & Robaire. 1997. Induction of Apoptosis in The Germ Cells of Adult Male Rats
After Exposure to Cyclophosphamide. Biol Reprod, 56:1490-1497.
Cai,L., Chen, S., Evans, T., Deng, D.X., Mukherjee, K., & Chakrabarti, S.2000. Apoptotic Germ Cell
Death and Testicular Damage in Experimental Diabetes: Prevention by Endothelin Antagonism.
Urol Res, 28:342-347.
Caprio, M., Isidori, A.M., Carta, A.R., Moretti, C., Dufau, M.L., & Fabbri, A. 1999. Expression of
Functional Leptin Receptors in Rodent Leydig Cells. Endocrinology, 140:4939-4947.
Chan, J.L., Heist,K., DePaoli, A.M., Veldhuis J.D., & Mantzoros, C.S.2003. The Role of Falling Leptin
Levels in The Neuroendocrine and Metabolic Adaption to Shorterm Starvation in Healthy Men. J
Clin Invest, 111:1409-1421.
Chehab, F.F., Lim, M.E., & Lu, R. 1996. Correction of The Sterility Defect in Homogenous Obese
Female Mice by Treatment With The Human Recombinant Leptin, Nat Genet, 12:318-320.
Clark W. 2004. Testosterone and Diabetes. Whats The Connection? Diabetes Self Manag,21(5):100103.
De Beradis G, Pellegrini F, Franciosi M, Belfiglio M, Di Nardo, B., & Greenfield, S. 2007. Clinical and
Pshichological Predictors of Incidence of Self Reported Erectile Dysfungtion in Patients with Type
2 Diabetes. J. Urol. 177(1),252-257.
Fairburn, C. 1981. The Sexual Problems of Diabetic Men. Br J Hosp Med. 25(5), 484, 487, 489-491.
Farooqi, I.S., Jebb, S.A., Langmck,G., Lawrence, E., Cheetham, C., Prentice, A.M., Hughes, I.A.,
McCamish, M.A., & ORahilly, S. 1999. Effect of Recombinant Leptin Therapy in A Child with
Congenital Leptin Deficiency. N Engl J Med, 341:879-884.
Foglia, V.G., Rosner, J.M., Ramos, M., Lemma, B.E. 1996. Sexual Disturbances in The Male Diabetic
Rat. Horm Metab Res, 1:72-77.
392
Gamal, M.A., & Moneium, T.A. 2001. Structural Changes in The Testes of Streptozotocin-Induced
Diabetic Rats. J. Med, 4(1),17-24.
Gezginci, Oktayoglu, S., & Bolkent, S. 2009. Exendin-4 Exert its Effects Through The NGF/p75NTR
System in Diabetic Mouse Pancreas. Biochem and Cell Biol, 87(4),641-651.
Gojo, A., Utsunomiya, K., Taniguchi, K., Yokota, T., Ishizawa, S.S., Kanazawa, Y., Kurata, H.,&
Tajima, N. 2007. The Rhokinase Inhibitor, Fasudil, Attenuates Diabetic Nephropathy in
Streptozotocin Induced Diabetic Rats. Euro. J. Pharmacol, 568(13),242-247.
Groop, L.C. 2001. Type 2 Diabetes Mellitus: Pathogenesis and Treatment. In Endocrinology and
Metabolism. Mc Graw-Hill, England, 607-614.
Gunelli, E., Tugyan, K., Ozturk, H., Gumustekin, M., Cilaker, S., & Uysal, N. 2009. Effect of
Melatonin on Testicular Damage in Streptozotocin Induced Diabetes Rats. Eur Surg Res, 40:354360.
Herr, R.R., Jahnke, J.K., Argoudelis, A.D. 1967. The Structure of Streptozotocin. J.American Chem
Society, 89(18),4808-489.
Jensen, T.K., Carlsen, E., & Jorgensen, N.P.2002. Poor Semen Quality May Contribute to Recent
Decline in Fertility Rates. Hum. Reprod, 17:1437-1440.
Kirchick, H.J., Keyes, P.L., & Frye, B.E. 1979. An Explanation for Anovulation in Immature Alloxan
Diabetic Rats Treated with Pregnant Mares Serum Gonadotropin: Reduced Pituitary Response to
Gonadotropin Relasing Hormone. Endocrinology, 105:1342-1349.
Kolodny, R.C., Kahn, C.G., Goldstein, H.H.,& Barnett, D.M. 1974. Sexual Dysfunction in Diabetic
Men. J. Diabetes, 23:306-309.
Kim, S.T.,& Moley, K.H. 2008. Paternal Effect on Embryo Quality in Diabetic Mice is Related to Poor
Sperm Quality and Associated with Decreased Glucose Transporter Expression. Reproduction,
136:313-322.
Masharani, U., & Karam, J.H. 2001. Pancreatic Hormones and Diabetes Mellitus. In Basic & Clinical
Endocrinology. 6th ed. Greenspan PS, Gardner DG (eds), Mc Graw Hill, New York 623-648.
Meyer, K., Deutscher, J., Anil, M., Berthold A., & Bartsch, K.W. 2000. Serum Androgen Levels in
Adolescents with Type I Diabetes: Relationship to Pubertal Stage and Metabolic Control. J.
Endocrinol Invest, 23:362-368.
Mordes, P., & Rossini, A.A. 1985. Animal Model of Diabetes Mellitus, Joslins Diabetes Mellitus, 12
th.Ed. Lea&Ferbiger, Philadelphia. P.110-137.
ONeil, J., Czerwiec, A., Agbaje, I., Glenn, J., Stitt, A., McClure, N., & Mallidis, C.2009. Difference in
Mouse Models of Diabetes Mellitus in Studies of Male Reproduction. J.Androl, 33,709-716.
Oksanen, A. 1975. Testicular Lessions of Streptozotocin Diabetic Rats. Horm, Res.6:138-144.
Oktayoglu, S.G. 2011. The Apoptotic Effects of Streptozotocin in Different Dose and Administration
Time on Pancreatic Islet Cells of Rats, IUFS. J. Biol, 70(2),43-51.
Sainio, P.S., Henriksen, K., Parvinen, M., Simel, O., & Pollanen, P. 1997. Stage Specific Degeneration,
of Germ Cells in The Seminiferous Tubules of Non Obese Diabetic Mice. Int. J. Androl, 20: 243253.
Saez, J.M. 1994. Leydig Cells: Endocrine, Paracrine, adn Autocrine Regulation. Endocr Rev, 15:574626.
Seethalakshmi, L., Menon, M., & Diamond, D. 1987. The Effect of Streptozotocin Induced Diabetes on
The Neuroendocrine Male Reproductive Tract Axis of The Adult Rat. J. Urol, 138:190-194.
Sexton, W.J., & Jarow, J.P. 1997. Effect of Diabetes Mellitus Upon Male Reproductive Function.
UroloY, 49:508-513.
SESI PARALEL BIOLOGI
393
Steger, R.W., & Rabe, M.B. 1997. The Effect of Diabetes Mellitus on Endocrine and Reproductive
Function. Proc. Soc Exp Biol Med, 214:4-11.
Reiter, R.J., Tan, D.X., Osuna, C., & Gitto, E. 2000. Actions of Melatonin in The Reduction of
Oxidative Stress: A Review. J. Biomoed Sci,7:444-438.
Rossini, A.A., Like, A.A., William, L.C., & Appel, M.C. 1977. Studies of Streptozotocin Induced
Insulitis and Diabetes. Cell Biology, 74(6),2485-2489.
Vignera, S.L., Condorelli, R., Vicari, E., Dagata, R., & Calogero, A.E. 2012. Diabetes Mellitus and
Sperm Parameters. J. Androl. 33(2),145-153.
Yang, Z., Chen, M., Fialkow, L.B., Ellett, J.D., Wu, R., & Nadler, J.L. 2003. The Novel Anti
Inflamatory Compound Lisofylline, Prevents Diabetes in Multiple Low Dose Streptozotocin
Treated Mice. Pancreas, 26:e99-e104.
Zarzycki, W., & Zieniewicz, M. 2005. Reproductive Disturbances in Type 1 Diabetic Women. Neuro
Endocrinol Lett, 26(6),733-738.
394
PENDAHULUAN
Jumlah katak di Indonesia sekitar 450 jenis atau 11 % anura dari total anura di dunia (4100
jenis) [1,2]. Di Jawa, diketahui terdapat 42 spesies katak dan kodok, tetapi untuk Jawa Timur dan Jawa
Tengah masih kekurangan informasi [1]. Di alam, peran utama katak yaitu sebagai indikator
lingkungan. Keberadaan katak di suatu tempat menunjukkan tempat tersebut masih asri [1,2,3].
Universitas Negeri Malang (UM) yang terletak di Kota Malang telah mengalami perkembangan
yang pesat, sehingga diperlukan pembangunan berbagai fasilitas penunjang. Pembangunan tersebut
menyebabkan berkurangnya area asri yang merupakan habitat dari katak. Walau menurut Zainuri (2012,
Komuniasi Pribadi) bagian Unit Layanan Pengadaan (ULP), Pembangunan di UM tetap akan
memperhatikan area hijau. Dapat dilihat pada perbedaan jumlah gedung yang ada saat ini jika
dibandingkan dengan tahun 1995 (Master Plan Map UM 1994 dan 2012). Jumlah gedung pada tahun
2012 lebih banyak dan masih akan dilakukan pembangunan. Terjadi penambahan bangunan dengan
memanfaatkan lahan kosong yang merupakan habitat dari spesies-spesies katak yang hidup di dalam
kampus. Selain itu, proses pembangunan itu sendiri dapat mengganggu habitat katak, sehingga
diperlukan penelitian atau identifikasi untuk melihat jenis katak apa saja yang masih bertahan di dalam
kampus UM.
Katak dapat diidentifikasi mengamati morfologi [1] dan karakter morfometriknya [4]. Selain itu,
identifikasi dapat dilakukan secara genetik dengan menggunakan DNA Barcoding. DNA Barcoding
merupakan urutan gen pendek standar yang digunakan untuk identifikasi spesies yang belum diketahui,
395
memudahkan deskripsi suatu spesies baru, memperjelas spesies yang masih samar, menghubungkan
antara yang dewasa dengan yang juvenile, dan jantan dengan betina [5]. Gen yang sering digunakan
sebagai DNA Barcoding adalah cytochrome-c oxidase subunit-I (COI), karena memiliki sekuen paling
conserve jika dibandingkan dengan gen pengkode protein lain pada genom mitokondria hewan.
Pemilihan gen COI sebagai DNA Barcoding karena sekuen DNA mudah diamplifikasi dengan primer
yang sama bahkan untuk kelompok organisme yang berbeda [6,7].
METODE
Penelitian ini dilakukan selama 4 bulan dari bulan, dari bulan Maret sampai Juni 2012. Pencarian
katak dilakukan pada bulan Maret dengan membagi wilayah UM menjadi empat bagian. Pada pagi hari,
pencarian dilakukan pada jam 6:00-10:00 wib, dan malam hari pada jam 18:00-21:00 wib.
Identifikasi morfologi dilakukan dengan pengamatan karakter morfologi dan karakter
morfometrik. Karakter morfologi meliputi eberadaan tungkai, ukuran tungkai, bentuk kepala, bentuk
tubuh, keberadaan lipatan dorsolateral, kejelasan timpani, bentuk dan warna timpani, bentuk moncong,
keberadaan gigi, bentuk ujung lidah, keberadaan alur supraorbital, keberadaan alur parietal, tekstur kulit
dorsal, warna kulit dorsal, tekstur kulit ventral, warna kulit ventral, keberadaan kelenjar parotoid,
bentuk kelenjar parotoid, bentuk jari, keberadaan selaput renang jari, luas selaput renang jari kaki depan
dan belakang, tonjolan metatarsal, tonjolan antar ruas jari, dan habitat ditemukannya katak. Karakter
morfometrik meliputi ukuran moncong ke anus/snout vent length (SVL), jarak antar dua lubang
hidung/internarial distance (IN), jarak antar lubang hidung ke moncong/snout nostril length (SNL),
lebar kepala/head width (HW), panjang kepala/head length (HL), kedalaman kepala/head depth (HD),
jarak mata ke hidung/eye nostril distance (END), diameter mata/eye diameter (ED), jarak antar dua
mata/interorbital distance (IO), jarak mata ke moncong/eye to snout distance (ES), lebar kelopak mata
atas/upper eyelid width (UEW), jarak timpani ke mata/tympanum eye length (TEL), diameter
timpani/tympanum diameter (TD), panjang dari siku ke ujung jari kaki depan ke-3/lower arm and hand
length (LAL), panjang kaki depan/forelimb length (FLL), lebar tubuh/body width (BW), jarak pangkal
bawah paha kaki depan ke pangkal paha atas kaki belakang/axilla to groin distance (AG), panjanh paha
kaki belakang/thigh length (TL), panjang betis kaki belakang/tibia length (TBL), panjang kaki
belakang/hind limb length (HLL), dan panjang jari kakai ke-1/first toe length (1TL).
Isolasi DNA total dilakukan dengan mengambil bagian jari kaki katak dan diisolasi dengan
menggunakan DNA Isolation Kit NucleoSpin Tissue, Macherey-Nagel, Germany. Primer yang
digunakan adalah Lep-F1 (5-ATTCAACCAATCATAAAGATATTGG-3), Lep-R1 (5TAAACTTCTGGATGTCCAAAAAATCA-3), dan siklus PCR yang terdiri dari 1) denaturasi awal
selama 2 menit pada suhu 94C; 2) 5 siklus terdiri dari denaturasi selama 40 detik pada suhu 94C,
annealing selama 40 detik pada suhu 45C, dan extention selama 40 detik pada suhu 72C; 3) 35 siklus
terdiri dari denaturasi selama 40 detik pada suhu 94C, annealing selama 40 detik pada suhu 51C, dan
extention selama 1 menit pada suhu 72C; dan 4) extention akhir 5 menit pada suhu 72C [5].
Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan gel agarose 1% dan sekuensing dilakukan di
Lembaga Biologi Molekular Eijkman Jakarta dengan Big Dye Transiluminator melalui ABI 3130x1 dan
3130 Genetic Analyzer. Analisis genetik dilakuakn dengan menggunakan software BioEdit, DNA Baser,
BLAST, Clustal X, dan Mega 5. Konstruksi topologi pohon filogenetik dilakukan dengan metode
Maximum Likelihood (ML), Neighbor Joining (NJ), Minimum Evolution (ME), dan Maximum
Parsimony (MP) dengan bootstrap sebanyak 1000 ulangan dan parameter Kimura-2, kemudian dipilih
yang terbaik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan pengamatan karakter morfologi dan morfometrik, ditemukan empat spesies katak di
UM, yaitu: Duttaphrynus melanostictus, Hylarana chalconota. Kaloula baleta, and Polypedates
leucomystax (Gb. 1).
Duttaphynus melanostictus adalah kodok, dengan karakter morfologi sebagai berikut: ukuran
tubuh besar (SVL : 79 mm dan : 99 mm), bonteng hitam merata di seluruh tubuh, alur supraorbital
396
dan supratympanic menyabung, tidak memiliki alur parietal, jari kaki berselaput renang setengah
bagian. Kodok tersebut ditemukan di semua area pengamatan wilayah UM. Hylarana chalconota adalah
katak, dengan karakter morfologi sebagai berikut: ukuran rubuh kecil (SVL : 43 mm), warna timpani
coklat gelap, kaki panjang dan ramping, jari berselaput renang penuh, kulit bertekstur seperti pasir, dan
ditemukan di beberapa kolam di area pengamatan wilayah UM. Kaloula baleta adalah katak belentuk,
dengan karakter morfologi tubuh gembung (SVL : 51 mm dan : 55 mm), kaki pendek, ujung jari
berbentuk seperti huruf T, timpani tersembunyi di bawah kulit, jari kaki berselaput renang pada
bagian dasar, dan ditemukan di genangan air yang terbentuk saat hujan. Spesies terakhir adalah
Polypedates leucomystax, yang dikenal sebagai katak pohon bergaris dengan karakter morfologi
ukuran tubuh sedang (SVL : 53 mm), berwarna kuning kecoklatan, terdapat bintik hitam atau enam
garis longitudinal pada bagian dorsal, jari kaki belakang memiliki selaput renang hampir penuh, dan
ditemukan di kolam yang terdapat pohon disekitarnya (Suplemen 1 dan 2).
Mashuri menyebutkan pada tahun 1995 terdapat tujuh spesies yang hidup di area UM [8], yaitu
Duttaphrynus melanostictus, Polypedates leucomystax, Kaloula baleta; Fejervarya cancrivora,
Fejervarya limnocharis, Ingerophrynus biporcatus, dan Occidoziga lima. Pada penelitian ini, ditemukan
tiga spesies yang bertahan dari tahun 1995, yaitu Duttaphrynus melanostictus, Polypedates leucomystax,
dan Kaloula baleta; dan satu spesies baru yaitu Hylarana chalconota. Pada penelitian ini diketahui
empat spesies telah hilang dalam kurung waktu 17 tahun, yaitu Fejervarya cancrivora, Fejervarya
limnocharis, Ingerophrynus biporcatus, dan Occidoziga lima.
Analisis genetik dengan menggunakan DNA Barcoding cytochrome-c oxidase subunit-I (COI)
dilakukan hanya pada jenis 2 dan jenis 3. Jenis 1, 4, dan 5 belum dapat dianalisis karena tidak berhasil
memperoleh sekuen barcode gen COI. Hasil analisis dengan BLAST diketahui bahwa sekuen gen yang
diperoleh merupakan sekuen gen COI.
Gambar 2. Peta posisi sekuen barcode gen COI dari katak jenis 2 dan jenis 3 dengan sekuen gen COI Rana
nigrovittata KIZ01523 dari GenBank dengan menggunakan BLAST.
Bar warna merah
: Query (Gen COI Rana nigrovittata KIZ01523)
Bar warna merah muda
: Gen COI sampel
Sekuen sampel jenis 2 diperoleh DNA konsensus sepanjang 604 bp; analisis dengan BLAST
dibandingkan dengan Rana nigrovittata jenis 2 memiliki query coverage 93% dengan homologi sekuen
397
81%. Sekuen sampel jenis 3 diperoleh DNA konsensus sepanjang 574 bp; analisis dengan BLAST
dibandingkan dengan Rana nigrovittata jenis 3 memiliki query coverage 95% dengan homologi sekuen
81% (Gb.2).
Jenis 2 dan jenis 3 memiliki variasi intraspesies sebesar 0,54%. Suatu spesies menunjukkan
intraspesies jika memiliki variasi sekuen intraspesies 2% [5], sehingga jenis 2 dan jenis 3 merupakan
spesies yang sama.
Berdasarkan metode ML, NJ, ME, dan MP, metode ML memberikan hasil terbaik di dalam model
pohon filogenetik dengan berbagai tingkat evolusi [9]. Pohon filogenetik ML (Gb.3) menunjukkan
tingkat probabilitas yang tinggi, lebih akurat, dan menunjukkan hasil yang paling baik diantara topologi
lainnya [10].
Gambar 3. Topologi pohon filogenetik jenis 2 dan jenis 3 dengan metode Maximum likelihood dengan repitisi
bootstrap 1000 dan parameter Kimura-2
Spesies Hylarana chalconota (jenis 2 dan jenis 3) merupakan cryptic species asli Jawa yang
belum diketahui posisinya secara pasti di dalam susunan taksonomi dan masih merupakan kontroversi.
Terdapat tujuh spesies yang berbeda dari Hylarana chalconota di Thailand sampai ke Borneo dan
Jawa. Tetapi hanya tiga nama yang berhasil diberikan, yaitu Hylarana chaconota, Hylarana raniceps,
dan Hylarana labialis [11].
Pada Hylarana chalconota, analisis posisi taksonomik dengan gen COI membutuhkan sekuen
lengkap (648 bp) untuk menjangkau tingkat spesies [12]. Sekuen dengan panjang kurang dari 500 bp
sudah dapat dianalisis [5], namun hasil alignment menunjukkan bahwa sekuen barcode gen COI belum
lengkap, sehingga belum mampu menunjukkan perbedaan maupun persamaan basa nukleotida di semua
titik sepanjang sekuen barcode tersebut.
Sekuen foward jenis 3 yang diperoleh memiliki hasil yang kurang bagus (unspecified), akibatnya
diperlukan desain primer foward yang lebih spesifik untuk dapat menangkap keseluruhan sekuen COI
jenis 3. Diduga jenis 3 sangat spesifik sehingga berbeda secara genetik dari spesies yang dipakai sebagai
referensi sekuen COI. Selain itu, diduga jenis 3 sudah mengalami mutasi/evolusi yang cukup jauh,
karena ujung 5 mempunyai domain yang mengalami mutasi lebih cepat dibanding domain yang lain
[13]. Katak jenis 3 menjadi kontroversi dalam menentukan spesiesnya. Apakah katak jenis 3 termasuk
dalam spesies yang sama dengan katak jenis 2?, ataukah subspesies dengan katak jenis 2?, atau
mungkin menjadi spesies baru?, mengingat spesies Hylarana chalconota dengan persebaran mulai dari
398
Philipina, Malaysia, Padang, dan Jawa memiliki tujuh jenis berbeda dimana hanya tiga spesies yang
berhasil diberi nama [11].
KESIMPULAN
Berdasarkan karakter morfologi ditemukan empat jenis spesies katak di Universitas Negeri
Malang, yaitu Duttaphrynus melanostictus, Hylarana chalconota, Polypedates leucomystax, dan
Kaloula baleata. Konstruksi topologi pohon filogenetik berdasarkan sekuen barcode gen COI dilakukan
hanya pada jenis 2 dan jenis 3. Hasil terbaik diperoleh dengan metode Maximum Likelihood, di mana
jenis 2 dan jenis 3 berada dalam satu clade dengan jarak evolusi yang berbeda. Jenis 2 dan jenis 3
berkerabat dekat dengan spesies Rana rugosa dan termasuk dalam kelompok famili Ranidae.
Daftar Pustaka
Iskandar. Djoko T. 1998. The Amphibians of Java and Bali. Research and Development Center for
Biology-LIPI. Indonesia.
Kusrini., Endarwin, W. & Yazid, M. 2007. Panduan Bergambar Identifikasi Amfibi di Jawa Barat.
Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Gardner, T. 2001. Declining Amphibian Populations: A Global Phenomenon in Conservation Biology.
Animal Biodiversity and Conservation. Museu de Zoologia, 24.2.
Das, I & Haas, A. 2003. A New Species Of Kalophrynus (Anura: Microhylidae) From The Highlands
Of North-Central Borneo. The Raffles Bulletin Of Zoology, 51 (1): 109-113.
Smith, M. A., Poyarkov JR, A., & Hebert, P. D. N. 2008. DNA Barcoding CO1 DNA Barcoding
Amphibians: Take The Chance, Meet The Challenge. Molecular Ecology Resource, 8:235-246.
Folmer, O., Hoeh, B. W., Lutz, R. & Vrijenhoeicatk, R. 1994. DNA Primers For Amplification of
Mitochondrial Cytochrome-c Oxidase I from Diverse Metazoan Invertebrates. Molecular
Marine Biology and Biotechnology, 3 (5): 294-299.
Popa, L. O., Popa, O. P., Gargarea, P. & Murariu, D. 2007. Sequence Analysis of the 5 COI Gene
Region from Dama dama (Linnaeus, 1758) (Mammalia: Cervidae). Travaux du Musum
National dHistoire Naturelle. L: 537-542.
Mashuri, Toyib. 1995. Inventarisasi Jenis Katak di Kampus IKIP Malang. Skripsi tidak diterbitkan.
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Malang.
Saitou, N. & Imanishi, T. 1989. Relative Efficiencies of the Ficth-Margoliash, Maximum-Parsimony,
Maximum-Likelihood, Minimum-Evolution, and Neighbor-joining Methods of Phylogenetic
Tree Construction in Obtaining the Correct Tree. Molecular Biology Evolution, 6 (5): 514-525.
Takahashi, K. & Nei, M. 2000. Efficiences of Fast Algorithm of Phylogenetic Inference Under the
Criteria of Maximum Parsimony, Monimum Evolution, and Maximum Likelihood When a
Large Number of Sequences Are Used. Molecular Biology Evolution, 17 (8); 1251-1258.
Inger, F.R., Stuart, B.L. & Iskandar, D.T. 2009. Systematics of a Widespread Southeast Asian Frog,
Rana Chalconota (Amphibian: Anura: Ranidae). Zoological Journal of The Linnean Society,
155: 123-147.
Hebert, P. D. N., Cywinska, A., Ball, S., & deWaard, J. R. 2003. Biological Identifications Through
DNA Barcodes. The Royal Society, 270:313-321.
Zang, J. & Hanner, R. 2012. Molecular Approach to The Identification of Fish In The South China Sea.
PloS ONE. Volume 7.
399
No.
Karakter morfologi
1.
Keberadaan tungkai
Jumlah tungkai
(pasang)
Ukuran tungkai
Kejelasan bagian
kepala
Bentuk kepala
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
2 pasang
Pendek
2 pasang
Panjang
2 pasang
Panjang
2 pasang
Panjang
2 pasang
Pendek
Jelas
Besar
Jelas
Tidak pipih
Jelas
Tidak pipih
Jelas
Kecil
Kekar
Tidak ada
Ramping
Ada
Ramping
Ada
Terlihat
Terlihat
Terlihat
Terlihat
Tidak terlihat
Elips
Bulat
Bulat
Bulat
10.
11.
12.
13.
Bentuk tubuh
Lipatan dorsolateral
Kejelasan membran
timpani
Bentuk membran
timpani
Warna membran
timpani
Bentuk moncong
Gigi vomer
Gigi maxilla
Jelas
Tidak pipih
Agak
ramping
Tidak ada
Coklat tua
Lancip
Ada
Ada
Coklat tua
Lancip
Ada
Ada
Coklat tua
Lancip
Ada
Ada
14.
15.
16.
Ujung lidah
Alur supraorbital
Alur parietal
Bifida
Tidak ada
Tidak ada
Bifida
Tidak ada
Tidak ada
Bifida
Tidak ada
Tidak ada
17.
18.
Berpasir
Coklat
Berpasir
Coklat
Halus
Coklat
Membulat
Tidak
terbelah
Tidak ada
Tidak ada
Berbintil
jelas
Coklat
19.
Berpasir
Berpasir
20.
Coklat tua
Lancip
Tidak
terbelah
Ada
Tidak ada
Berbintil
jelas
Coklat
Berbintil
jelas
Putih
kecoklatan
Putih
Putih
Halus
Putih sedikit
orange
Halus
Putih sedikit
orange
Ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Lonjong
Tumpul
Diskus
Diskus
Rata
Seperti huruf
"T"
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
ada
Tidak ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
1/2 bagian
1/2 bagian
Penuh
Penuh
3/4 bagian
1/2 bagian
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Ada
Kolam,
rumput, tanah
Ada
Ada
Ada
Ada
Kolam
Kolam
Pohon
Kubangan air
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
21.
22.
23.
30.
31.
Habitat
24.
25.
26.
27.
28.
29.
Gemuk
Tidak ada
400
Karakter morfometrik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Ukuran (mm)
Jenis 3
Jenis 4
45
53
3
4
1
2
13
13
14
15
6
4
5
5
4
4
5
5
7
6
4
3
1
1
3
3
22
25
-
Jenis 1
79 99
6
7
4
6
23 32
22 24
12 18
5
6
6
6
7
9
8
12
6
8
3
3
4
6
36 41
Jenis 2
43
30
1
14
14
6
4
4
3
7
3
1
5
21
-
56
50
53
59
65
55
30
13
19
29
14
21
3
13
25
35
36
3
41
36
3
35
31
11
8
5
36
33
12
1
5
23
23
76
22
26
77
17
24
7
21
17
67
22
18
72
Jenis 5
51 55
4
4
1
1
21 21
13 18
14 14
3
4
2
2
5
6
4
4
3
3
27 28
401
Mahasiswa Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang; 2,3Dosen Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No. 5 Malang 65145
Email: ervina.wj@gmail.com
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak genistein (4', 5, 7-trihydroxy
isoflavone) terhadap kualitas spermatozoa. Kualitas spermatozoa yang diteliti mencakup morfologi dan viabilitasnya. Rancangan penelitian yang dipakai adalah rancangan acak kelompok
(RAK). Penelitian eksperimental ini menggunakan 24 ekor mencit jantan galur Balb/C ber-umur
8 sampai 10 minggu yang dibagi dalam 4 perlakuan dan 6 ulangan dan di-gavage setiap hari
selama 36 hari. Dosis genistein yang digunakan adalah 3,5 mg/kg bb, 4,2 mg/kg bb, dan 4,9
mg/kg bb, sedangkan untuk dosis 0 mg/kg bb digunakan pelarut genistein yaitu minyak ja-gung.
Pengamatan persentase morfologi normal dan abnormal serta viabilitas spermatozoa di-lakukan
di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali. Data spermatozoa didapatkan de-ngan cara
membuat apusan spermatozoa yang diwarnai eosin-nigrosin. Data morfologi dan viabilitas
kemudian dihitung menggunakan ANAVA tunggal dan dilanjutkan dengan uji BNT 5%.
Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa genistein menurunkan kualitas spermatozoa.
Genistein mulai berpengaruh secara signifikan pada dosis perlakuan terendah yaitu 3,5 mg/kg
bb. Pada dosis ini, viabilitas dan morfologi normal spermatozoa menurun, serta abnormalitas
morfologi meningkat. Abnormalitas spermatozoa yang terjadi dalam penelitian ini meliputi abnormalitas kepala, ekor, dan gabungan antara keduanya.
Kata Kunci: Genistein, Kualitas Spermatozoa, Mencit
PENDAHULUAN
Genistein (4', 5, 7-trihydroxy isoflavone) merupakan senyawa fitoestrogen dari golongan
isoflavon. Struktur genistein mirip dengan estrogen. Genistein terkandung dalam berbagai tanaman
leguminaceae terutama kedelai dan makanan olahannya. Jumlah genistein cukup tinggi dalam makanan
sehari-hari yaitu 3 g dalam 100 g kedelai jenis pioneer 9111 (Muchtadi, 2010). Menurut Barlow et al
(2007), terdapat 24 mg genistein dalam setengah cangkir kedelai rebus, 21 mg dalam 3 ons tempe, 19
mg dalam 1 ons kedelai sangrai, 17 mg dalam sari kedelai, dan 12 mg dalam 3 ons tahu. Meskipun
genistein merupakan senyawa yang banyak terdapat dalam makanan sehari-hari, namun penelitian
mengenai dampak genistein terhadap sistem reproduksi jantan masih kurang memadai dan hasil
penelitiannya cenderung bertolak belakang.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Bennetau-Pelissero (2000) dinyatakan bahwa pada individu
jantan dewasa, pemberian fitoestrogen dapat menurunkan jumlah spermatozoa dan meningkatkan
jumlah spermatozoa cacat (abnormal). Penelitian Cederroth dalam Cederroth et al (2010) juga
menyatakan bahwa pemberian genistein dapat mengganggu mekanisme spermatogenesis. Kedua hasil
penelitian ini bertentangan dengan hasil penelitian dari Lee et al (2004) yaitu pemberian genistein tidak
mengganggu sistem reproduksi jantan dan fungsinya. Kurzer dalam Muchtadi (2010) juga menyatakan
bahwa pemberian isoflavon sebanyak 40-70 mg/hari tidak memberikan pengaruh negatif baik pada
kadar hormon maupun kualitas sperma. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian
mengenai potensi genistein terhadap sistem reproduksi jantan, khususnya terhadap kualitas
402
spermatozoa. Penelitian ini nantinya diharapkan dapat menambah informasi bagi masyarakat mengenai
senyawa yang terdapat dalam makanan sehari-hari, yaitu genistein, dan pengaruhnya terhadap kualitas
sperma.
METODE
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) yang
dilakukan dalam 4 perlakuan masing-masing 6 ulangan. Hewan coba yang digunakan adalah 24 ekor
mencit (Mus musculus) jantan galur Balb/C umur 8-10 minggu dengan berat badan awal 25-29 g.
Terdapat empat dosis perlakuan pada penelitian ini yaitu 3,5 mg/kg bb, 4,2 mg/kg bb, 4,9 mg/kg bb dan
kontrol atau 0 mg/kg bb. Masing-masing dosis perlakuan genistein tersebut dilarutkan dalam minyak
jagung dan untuk kontrol atau 0 mg/kg bb digunakan pelarutnya saja yaitu minyak jagung.
Setiap mencit di-gavage setiap hari dengan dosis masing-masing selama 36 hari. Pada hari ke-37,
mencit didislokasi leher, dibedah, kemudian diambil epididimis kauda bagian kanan. Epididimis yang
telah bersih dari jaringan lemak dicacah dalam 2 ml NaCl 0,9% sampai terbentuk suspensi. Suspensi ini
kemudian diwarnai dengan teknik pewarnaan eosin-nigrosin untuk kemudian dibuat preparat apusan
spermatozoa. Langkah-langkah untuk membuat preparat apusan spermatozoa adalah mengambil satu
tetes suspensi sperma ke atas gelas arloji, kemudian mencampur suspensi dengan 2 tetes eosin 1% dan
didiamkan selama 20 detik, setelah itu menambahkan 1 tetes nigrosin 10% dan dihomogenkan. Suspensi
yang telah diwarnai tersebut diteteskan ke atas 5 kaca benda untuk diapus sehingga diperoleh 5 preparat
apusan spermatozoa untuk 1 mencit.
Pengambilan data terkait morfologi maupun viabilitas dilakukan dengan menghitung jumlah
spermatozoa yang normal dan abnormal, serta yang mati dan hidup per 100 spermatozoa menggunakan
hand counter, diulangi sebanyak 5 kali pada slide apusan yang berbeda, kemudian hasilnya dirata-rata.
Spermatozoa dengan morfologi normal memiliki kait pada kepalanya dengan ekor yang panjang dan
cenderung lurus. Spermatozoa yang hidup tidak berwarna sehingga nampak transparan, sedangkan
spermatozoa yang mati akan berwarna merah keunguan pada bagian kepala dan ekor karena
spermatozoa yang mati dapat menyerap warna. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis
varian (ANAVA) tunggal dengan taraf signifikansi 5% untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh
genistein terhadap kualitas spermatozoa mencit galur Balb/C,karena hasilnya signifikan maka
dilanjutkan dengan Uji BNT 5% (Sulisetijono, 2006).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa rerata persentase morfologi normal dan
viabilitas spermataozoa menurun, sedangkan rerata morfologi abnormal meningkat. Ringkasan
morfologi dan viabilitas spermatozoa dengan notasi masing-masing dipaparkan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Rerata dan Notasi Morfologi dan Viabilitas Spermatozoa Mencit Setelah Diberi Genistein dalam
Berbagai Dosis
Morfologi
Viabilitas
Normal
Abnormal
Hidup
0
69,33a
30,67a
77,83a
3,5
34,50b
65,50b
29,17b
4,2
29,67b
70,33b
16,83c
c
c
4,9
19,33
80,67
15,67c
Keterangan: notasi yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antar
perlakuan dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Dosis Perlakuan (mg/kg bb)
Hasil analisis anava tunggal pada data morfologi normal spermatozoa menunjukkan bahwa Fhitung
perlakuan (52,48) lebih besar daripada Ftabel (2,13). Dengan demikian, berarti bahwa terdapat pengaruh
genistein terhadap morfologi spermatozoa mencit galur Balb/C. Nilai BNT 5% pada data morfologi
normal ini adalah 5,46, sehingga didapatkan notasi untuk masing-masing perlakuan seperti pada Tabel
1. Pada Tabel 1, nampak bahwa persentase morfologi spermatozoa normal semakin menurun sedangkan
SESI PARALEL BIOLOGI
403
spermatozoa dengan morfologi abnormal meningkat dalam rentangan dosis perlakuan yang diberikan.
Perbedaan yang nyata atau signifikan antara dosis kontrol terhadap dosis perlakuan mulai nampak pada
dosis 3,5 mg/kg bb. Dengan demikian, besar dosis genistein yang mulai berpengaruh terhadap
morfologi adalah perlakuan terendah yaitu 3,5 mg/kg bb.
Terdapat berbagai bentuk abnormalitas morfologi pada spermatozoa yang ditemui dalam
penelitian ini. Adapun abnormalitas tersebut meliputi:
1. Abnormalitas kepala, yang terdiri dari kepala pin, mikrosepali (kepala kecil), makrosepali, amorf,
dan kepala ganda.
2. Abnormalitas ekor, diantaranya adalah ekor pendek, ekor panjang, bengkok, patah, ganda, dan
koil.
Spermatozoa dapat mengalami lebih dari satu abnormalitas sekaligus, baik dalam gabungan antar
abnormalitas kepala atau antar abnormalitas ekor, maupun perpaduan antara abnormalitas kepala dan
ekor. Gabungan antar abnormalitas ekor misalnya ekor bengkok dan panjang, sedangkan contoh
perpaduan antara abnormalitas kepala dan ekor misalnya spermatozoa dengan kepala ganda dengan ekor
pendek. Spermatozoa dengan morfologi normal dapat dilihat pada gambar 1 sedangkan gambar 2 dan 3
merupakan bentuk-bentuk abnormal spermatozoa yang ditemukan dalam penelitian ini.
Gambar 1. Morfologi Normal Spermatozoa Mencit (Mus musculus) Galur Balb/C. Perbesaran 10x40 (Sumber:
Data Hasil Pengamatan)
a.
b.
Gambar 2. Morfologi Spermatozoa Mencit (Mus musculus) Galur Balb/C. a. Kepala Pin-Mikro;
b. Kepala Amorf-Makro Perbesaran 10x40 (Sumber: Data Hasil Pengamatan)
404
a.
b.
c.
d.
e.
g.
f.
h.
Gambar 3. Morfologi Spermatozoa Mencit (Mus musculus) Galur Balb/C. ; a. Kepala Mikro-Ekor Koil dan
Spermatozoa dengan Ekor Bengkok; b. Kepala Ganda (Double Head) dan Spermatozoa dengan Ekor Pendek; c.
Kepala Ganda yang Menyatu di Ekor; d. Kepala Ganda dan Ekor Pendek, serta Ekor Koil; e. Ekor Ganda (double
tail) dengan Salah Satu Ekor Koil dan droplet sitoplasma; f. Ekor Panjang (Long Tailed); g. Ekor Patah; h. Ekor
menggulung (Koil). Perbesaran 10x40 (Sumber: Data Hasil Pengamatan)
405
terima, yaitu terdapat pengaruh pemberian genistein terhadap viabilitas spermatozoa. Nilai BNT 5%
adalah 8,97 untuk data viabilitas, sehingga didapatkan notasi tiap perlakuan. Berdasarkan penghitungan
tersebut, maka diketahui bahwa genistein mulai berpengaruh secara signifikan terhadap viabilitas
spermatozoa pada dosis perlakuan terendah yaitu 3,5 mg/kg bb.
Spermatozoa yang hidup dicirikan dengan transparan atau tidak terwarnainya spermatozoa, baik
kepala maupun ekornya seperti bentukan yang ditunjuk oleh panah pada pada gambar 4a. Spermatozoa
yang mati akan berwarna merah keunguan pada bagian kepala dan ekor. Adapun perbandingan
spermatozoa yang hidup dan yang mati dapat dilihat pada gambar 4.
a.
b.
Gambar 4. a. Spermatozoa Hidup; b. Spermatozoa Mati. Perbesaran 10x40 (Sumber: Data Hasil Pengamatan)
Berdasarkan hasil penelitian ini, diketahui bahwa genistein (4, 5, 7- trihydroxy isoflavone)
berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa mencit galur Balb/C. Genistein merupakan senyawa yang
berpengaruh negatif terhadap kualitas spermatozoa dengan meningkatkan morfologi abnormal dan
menurunkan morfologi normal spermatozoa, serta menurunkan viabilitas spermatozoa pada dosis
perlakuan terendah yaitu 3,5 mg/kg bb.
Peran genistein dalam mempengaruhi kualitas (morfologi dan viabiltas) spermatozoa terkait
dengan sifat genistein sebagai fitoestrogen yaitu senyawa yang bersifat sebagai estrogen dengan cara
berkompetisi dengan estrogen untuk menempati reseptornya. Menurut Kuiper dalam Cederroth et al
(2009), fitoestrogen adalah komponen yang dapat berikatan dengan reseptor estrogen ER dan ER
karena kemampuannya dalam menyerupai struktur oestradiol. Kedua ER ini merupakan reseptor dari
17-estradiol yang ada di sel Leydig (Santti et al, 1998) dan sel Sertoli (Greenspan dan Baxter, 1998).
Genistein mampu mengganggu kerja enzim-enzim kunci pengkonversi hormon testosteron dan
dihidrotestosteron setelah berikatan dengan ER. Berdasarkan hasil beberapa penelitian, diketahui bahwa
genistein mengganggu kerja 3-hidroksisteroid dehidrogenase (HSD3B) (Ye et al, 2011) yang penting
dalam konversi testosteron di sel Leydig. Genistein juga mengganggu kerja 5-reduktase yang
membantu konversi testosteron menjadi steroid yang lebih potensial yaitu dihidrotestosteron di dalam
sel Sertoli (Hiipakka et al, 2002). Turunnya kadar testosteron kemudian berakibat pada semakin
rendahnya kadar dihidrotestosteron karena rendahnya kadar testosteron dari sel Leydig yang akan
dikonversi menjadi dihidrotestosteron di sel Sertoli, dan terutama disebabkan karena terhambatnya 5reduktase yang merupakan enzim pengkonversi testoseteron menjadi dihidotestosteron. Tidak
memadainya kadar kedua hormon ini dapat menyebabkan terganggunya spermatogenesis dan sistem
reproduksi jantan secara umum karena testosteron, dihidrotestosteron, dan estradiol merupakan tiga
hormon terpenting dalam sistem reproduksi jantan (Greenspan dan Baxter, 1998).
Penyebab turunnya viabilitas spermatozoa pada spermatozoa hewan coba oleh genistein
kemungkinan adalah karena rendahnya kadar testosteron. Jonhson dan Everitt (2000) menyatakan
bahwa spermatogenesis akan terhenti tanpa adanya testosteron. Testosteron juga diperlukan bagi organorgan reproduksi jantan lainnya, misalnya epididimis. Secara fungsional epididimis sangat tergantung
pada hormon testosteron. Sebagaimana diketahui, testosteron diperlukan untuk daya hidup spermatozoa
dalam epididimis (Arsyad, 1986). Ketidakseimbangan hormon testosteron dapat menyebabkan
hambatan bagi epididimis sebagai tempat yang penting bagi viabilitas spermatozoa karena merupakan
tempat disekresikannya zat yang penting dalam menunjang proses pematangan dan keberlangsungan
hidup spermatozoa seperti ion (Ca, Na, K, Cl), substrat (protein, asam sialat, glikogen, asam laktat,
406
fosfolipid) dan enzim (LDH, fosfatase asam dan fosfatase basa) (Riar, et al, 1973, dalam Sutyarso, dkk.,
1994). Apabila ketiga unsur tersebut tidak tersedia dalam jumlah cukup, maka proses pematangan
spermatozoa akan terganggu, akibatnya kualitas spermatozoa akan menurun. Rentangan rerata viabilitas
spermatozoa antara kontrol dan dosis perlakuan terendah yaitu 3,5 mg/kg bb yang besar, menunjukkan
bahwa terdapat kemungkinan adanya dosis genistein yang kurang dari 3,5 mg/kg bb yang benar-benar
mulai berpengaruh terhadap viabilitas spermatozoa mencit galur Balb/C. Hal ini juga menunjukkan
bahwa genistein adalah senyawa yang memiliki efek yang kuat dalam penurunan viabilitas spermatozoa
mencit galur Balb/C sesuai dengan penelitian yang dilakukan Opalka et al (2006) yang menyatakan
bahwa genistein memiliki efek paling kuat dalam mempengaruhi sekresi testikular dibandingkan dengan
jenis fitoestrogen lainnya.
Pengaruh genistein dalam penelitian ini berbanding lurus terhadap abnormalitas morfologi
spermatozoa pada rentangan 0 mg/kg bb sampai 4,9 mg/kg bb. Abnormalitas yang ditemukan dalam
penelitian ini meliputi abnormalitas pada kepala dan ekor atau gabungan antara keduanya. Wibisono
(2000) menyatakan bahwa terbentuknya ekor dan kepala ganda pada spermatozoa dikarenakan adanya
gangguan pemisahan pada tahap telofase yang dapat berlanjut sampai akhir meiosis II sehingga dalam
satu sel spermatosit terdapat banyak inti (multinuklei), dan kemudian pertumbuhannya dapat berlanjut
ketahap berikutnya (spermiogenesis) sehingga terbentuk ekor maupun kepala ganda. Kerusakan
morfologi spermatozoa mencit dalam penelitian ini lebih banyak terjadi pada bagian ekor dibandingkan
dengan kepala. Kemungkinan penyebab terjadinya abnormalitas ekor spermatozoa adalah karena sifat
genistein yang merupakan obat anti-mitotik yang dapat mempengaruhi spermatogenesis. Genistein
merupakan salah satu senyawa yang memiliki potensi sebagai obat anti-kanker yang dapat menghambat
Nuclear Factor (NF)-kB, b-Growth Factor, angiogenesis, DNA topoisomerase II, dan meningkatkan
regulasi apoptosis sel (Ullmann et al, 2005). Selain itu menurut Messina et al dalam Barlow et al
(2007), genistein dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan sel tumor pada kelenjar mamae
dengan menghambat reseptor estrogen pada sel tersebut.
Alberts (1994) menyatakan bahwa: Microtubules are highly labile structures that are sensitive
to specific anti-mitotic drugs mikrotubula merupakan struktur yang sangat labil dan sensitif terhadap
obat-obatan anti-mitotik. Mikrotubula dalam sel merupakan kesatuan yang labil, dan fungsinya sendiri
sangat bergantung pada tingkat kelabilannya ini. Salah satu mekanisme yang telah ditemukan terkait
labilnya mikrotubula terhadap obat anti-mitotik adalah adanya gangguan pada benang-benang spindel
mitotik. Benang spindel yang muncul pada tahap pembelahan sel merupakan sasaran dari obat antimitotik dengan cara mencampuri pertukaran subunit tubulin antara mikrotubula dengan kelompok
tubulin bebas (Alberts, 1994). Mikrotubula sendiri merupakan penyusun utama dari ekor spermatozoa,
dan genistein adalah obat anti-kanker yang bekerja sebagai zat anti-mitotik. Dengan demikian, maka
dapat dinyatakan bahwa peranan genistein dalam meningkatkan abnormalitas morfologi spermatozoa
terutama pada bagian ekor adalah karena genistein dapat mengganggu pertumbuhan mikrotubula pada
ekor spermatozoa sesuai dengan pernyataan Albert (1994).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa genistein (4,5,7-trihydroxy isoflavone)
berpengaruh terhadap kualitas spermatozoa dengan meningkatkan persentase morfologi abnormal,
menurunkan persentase morfologi normal, dan menurunkan viabilitas spermatozoa. Dosis genistein
(4,5,7-tryhidroxy isoflavone) yang mulai berpengaruh terhadap morfologi dan viabilitas spermatozoa
adalah dosis perlakuan terendah yaitu 3,5 mg/kg bb.
Saran yang diajukan adalah agar diadakan penelitian lanjutan mengenai genistein dengan
menggunakan dosis kurang dari 3,5 mg/kg bb, serta penelitian mengenai pengaruh genistein terhadap
motilitas dan konsentrasi spermatozoa.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih ingin peneliti sampaikan khususnya kepada Ibu Umie Lestari, Ibu Nursasi
Handayani, teman-teman di laboratorium biologi molekuler UM, Ketua Jurusan dan Ketua
Laboratorium Biologi, serta pihak-pihak lain yang telah membantu perampungan penelitian ini. Ucapan
terima kasih juga peneliti sampaikan kepada para panitia seminar nasional FMIPA UM tahun 2012 atas
kesempatan yang telah diberikan, serta kerja kerasnya dalam kepengurusan seminar ini.
407
DAFTAR RUJUKAN
Alberts, B., Baray, D., Lewis, J., Raff, M., Roberts, K., dan Watson, J. D. 1994. Molecular Biology of
The Cell (3rd edition). New York & London: Garland Publishing, ind.
Arsyad, K.M. 1986. Kemungkinan Perkembangan Kontrasepsi Pria. Medika. 4R: 342-315.
Barlow, J., Johnson, J. A. P., dan Scofield, L
. 2007. fact sheet on the phytoestrogen genistein. the
Breast Cancer and the Environment Research Centers, NIEHS/NCI Breast Cancer and the
Environment Research Centers.
Bennetau-Pelissero, C., Latonnelle,K., Squeira, A., dan Lamothe, V. 2000. Phytoestrogens, endocrine
disrupters from food. Analusis, (online), 28 (No.9): 763-775, (http://analusis.edpsciences.org),
diakses tanggal 7 September 2011.
Cederroth, C. R., Auger J., Zimmermann, C., Eutache, F., dan Nef, S. 2010. Soy, Phyto-Oestrogens and
Male Reproductive Function: A Review. International Journal of Andrology, (online), 33: 304316, (http://web.ebscohost.com), diakses tanggal 7 September 2011.
Greenspan, F. S., dan Baxter, J. D. 1998. Endokrinologi Dasar dan Klinik. Ed. Agnes Kartini, Lydia I
Mandera, Vivi Sadikin. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
Hiipakka, R. A., Zhang, H. Z., Dai, W., Dai, Q., dan Lia, S. 2002. Structure-Activity Relationships for
Inhibition of Human 5-reductases by Polyphenols. Biochemical pharmacology, (online), 63
(2002): 1165-1176, (http://www.bettinamoritz.com.br), diakses tanggal 25 Juni 2012.
Johnson, H.M. dan Everitt, B.J. 2000. Essential Reproduction 5th Ed. United Kingdom: Blackwell
Science.
Lee, B. J., Kang, J. K., Jung, E. Y., Yun, Y. W., Baek, I. J., Yon, J. M., Lee, Y. B., Sohn, H. S., Lee, J.
Y., Kim, K. S., dan Nam, S. Y. 2004. Exposure to genistein does not adversely affect the
reproductive system in adult male mice adapted to a soy based commercial diet. Journal of
Veterinary science, (online), 5 (3), 227234, (http://web.ebscohost.com), diakses tanggal 17
Juni 2010.
Muchtadi, D. 2010. Kedelai Komponen untuk Kesehatan. Bandung: Alfabeta.
Opalka, M., Kaminska, B., Piskula, M.K,. Skowronska, Puchajda H,. dan Dusza, L. 2006. Effects of
Phytoestrogens on Testosterone Secretion by Leydig Cells from Bilgoraj Ganders (Anser
anser). British Poultry Science, (online), 47 (2): 237-245, (http://web.ebscohost.com), diakses
tanggal 7 September 2011.
Santti, R., Makela, S., Strausss, L., Korkman, J., dan Kostian, M. L. 1998. Phytoestrogen: Potential
Endocrine Distruptors in Males. Toxycology and Industrial Health, (online) 14 (1/2): 223-237,
(http://tih.sagepub.com), diakses tanggal 7 September 2011.
Sulisetijono. 2006. Hand Out Mata Kuliah Statistika untuk Biologi dan Ilmu-Ilmu yang Bertautan.
Malang: Universitas Negeri Malang.
Sutyarso, O. S. dan N. Suhana. 1994. Efek Anti Fertilitas Ekstrak Buah Pare Pada Mencit Jantan.
Majalah Kedokteran Indonesia, (online), 44 (12), (http://bioscientie.unlam.ac.id), diakses
tanggal 3 Desember 2011.
Ullmann, U., Bendik, I., dan Flhmann, B. 2005. Bonistein (Synthetic Genistein), A Food Component
in Development for A Bone Health Nutraceutical. Journal of Physiology and Pharmacology,
(online),56 (1): 79-95, (http://www.jpp.krakow.pl), diakses tanggal 17 September 2011.
Wibisono, H. 2010. Atlas Spermatologi, Buku Kedua dari Panduan Laboratorium Andrologi. Bandung:
Refika Aditama.
408
Ye, L., Su, Z. J., dan Ge, R. S. 2011. Inhibitors of Testosterone Biosynthetic and Metabolic Activation
Enzymes. Molecules, (online), 2011 (16): 9983-10001, (http://www.mdpi.com), diakses tanggal
24 Juni 2012.
409
PENDAHULUAN
Biologi merupakan ilmu yang membahas tentang kehidupan. Biologi secara umum dibagi
menjadi Morfologi, Fisiologi, dan Ekologi. Ekologi dapat dibedakan menjadi ekologi hewan dan
ekologi tumbuhan meskipun pada pembahasannya keduanya sulit dipisahkan. Ekologi berasal dari
bahasa Yunani, yaitu oikos yang artinya rumah atau tempat hidup, dan logos yang berarti ilmu.
Ernest Haeckel pada tahun 1869 memperkenalkan istilah Ekologi yang diartikan sebagai ilmu yang
mempelajari baik interaksi antar makhluk hidup maupun interaksi antara makhluk hidup dan
lingkungannya. Sebagai Pembina matakuliah ekologi, banyak ditemukan istilah yang menuntut
siswa untuk menghafal. Proses menghafal tersebut sulit dilakukan karena istilah-istilah dalam
ekologi tidak menggunakan bahasa Indonesia melainkan didominasi dengan bahasa Latin (Greek).
Kesulitan mahasiswa untuk menghafal, memberikan dampak pada kurang lancarnya proses belajar,
sehingga hasil belajar menjadi rendah. Rendahnya hasil belajar tersebut menuntut dosen untuk
melakukan perbaikan (remidi) sampai mahasiswa mampu mencapai kompetensi dasar yang telah
ditentukan.
Berbagai strategi telah dilakukan untuk pencapaikan kompetensi dasar misalnya inovative
models based on ICT. Pemanfaatan ICT tersebut biasanya dilakukan untuk menayangkan power
poin yang telah disiapkan sebelumnya baik oleh dosen maupun mahasiswa. Penerapan model
tersebut dirasakan belum membuahkan hasil belajar maksimal.
Pada era informasi sekarang ini, hampir seluruh insan akademika yaitu siswa, guru,
mahasiswa, maupun dosen memiliki komputer PC maupun laptop. Kemudahan yang dimiliki oleh
insane akademika tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan kepada kegiatan positip termasuk
410
pemanfaatan komputer tersebut sebagai media belajar. Pemanfaatan komputer sebagai media
belajar telah banyak dimanfaatkan insane akademika khususnya mahasiswa terutama dalam
mencari informasi penunjang perkuliahan misalnya artikel dan film-film yang berkaitan dengan
materi perkuliahan melalui internet. Namun tidak sedikit yang memanfaatkan sebagai sumber
informasi negatip bagi mahasiswa.
Pemanfaatan komputer sebagai media belajar tersebut dilakukan pada hamper seluruh
matakuliah termasuk matakuliah Ekologi. Penanfaatan komputer pada matakuliah ekologi
khususnya dalam membantu menghafal istilah-istilah keilmuan tertentu khususnya dalam bentuk
Tesaurus, belum pernah dilakukan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dibutuhkan sebuah
pengembangan Tesaurus Elektronik Ekologi. Tesaurus adalah semacam kamus berisi kumpulan
istilah berserta penjelasannya dalam bidang keilmuan tertentu
Pengembangan Tesaurus Elektronik Ekologi yang akan dilakukan, membutuhkan proses
yang sistematik berdasarkan partisi keilmuan dalam Ekologi yaitu: (1) asas-asas dan konsepkonsep ekologi dasar, (2) pendekatan habitat, dan (3) penerapan dan teknologi. Agar memudahkan
pencarian istilah, maka software Tesaurus Elektronik Ekologi yang dikembangkan dirancang agar
dapat dioperasikan secara offline. Bahasa pemrograman yang digunakan adalah JAVA.
JAVA merupakan bahasa pemrograman yang dikembangkan oleh James Gosling di Sun
Microsystems dan direlease pada 1995 sebagai inti komponen dari Sun Microsystems java
platfom. Bahasanya kebanyakan mengambil dari C dan C++ tetapi mempunyai model object yang
lebih simple lebih sedikit fasilitas level rendah. Aplikasi java biasanya dikompilasi ke dalam
bytecode yang dapat berjalan di Java Virtual Machine (JVM) apapun tanpa memperhatikan
kompurter. Java mempunyai beberapa keunggulan diantaranya adalah sebagai berikut.
Multiplatform. Kelebihan utama dari Java ialah dapat dijalankan di beberapa platform atau
operating system. Dengan kelebihan ini programmer cukup menulis sebuah program Java dan
dikompilasi (diubah, dari bahasa yang dimengerti manusia menjadi bahasa mesin atau bytecode)
lalu hasilnya dapat dijalankan di beberapa platform tanpa perubahan. Kelebihan ini memungkinkan
sebuah program berbasis java dikerjakan di operating system Linux tetapi dijalankan dengan baik
di atas Microsoft Windows. Platform yang didukung sampai saat ini adalah Microsoft Windows,
Linux, Mac OS dan Sun Solaris. Penyebanya adalah setiap sistem operasi menggunakan
programnya sendiri-sendiri untuk meninterpretasikan bytecode tersebut.
Object Oriented Programming (OOP) merupakan semua aspek yang terdapat di Java adalah
Objek. Java merupakan salah satu bahasa pemrograman berbasis objek secara murni. Semua tipe
data diturunkan dari kelas dasar yang disebut Object. Hal ini sangat memudahkan pemrogram
untuk mendesain, membuat, mengembangkan dan mengalokasi kesalahan sebuah program dengan
basis Java secara cepat, tepat, mudah dan terorganisir. Kelebihan ini menjadikan Java sebagai salah
satu bahasa pemograman termudah, bahkan untuk fungsi fungsi yang advance seperti komunikasi
antara komputer sekalipun.
Complete Class Library. Java terkenal dengan kelengkapan library atau perpustakaan
(kumpulan program yang disertakan dalam pemrograman java) yang sangat memudahkan dalam
penggunaan oleh para pemrogram untuk membangun aplikasinya. Kelengkapan library ini
ditambah dengan keberadaan komunitas Java yang besar yang terus menerus membuat library baru
untuk melingkupi seluruh kebutuhan pembangunan aplikasi.
Contoh Syntax. Syntax atau Script dari java kebanyakan berasal dari C++, tetapi tidak seperti
C++, yang menggabungkan syntax untuk struktur, generic, dan object oriented programming. Java
dibangun hampir seluruhnya sebagai object oriented programming. Semua kode ditulis dalam
sebuah kelas dan semuanya adalah sebuah object. JAVA telah menekan beberapa feature (seperti
operator overloading dan multiple inheritance) pada kelas untuk membuat bahasanya lebih
sederhana dan untuk mencegah error dan desain anti-pattern.
Tujuan khusus penelitian ini untuk mengembangkan Tesaurus Elektronik Ekologi yaitu
sebuah software kamus istilah-istilah ekologi yang dapat dioperasikan secara offline, dan dilampiri
dengan buku petunjuk pemanfaatan program. Tesaurus Elektronik Ekologi yang dihasilkan dari
411
penelitian ini besar manfaatnya khususnya bagi insan akademika baik siswa, guru, mahasiswa, dan
dosen. Manfaat penting bagi siswa, guru, mahasiswa, dan dosen tersebut akan dirasakan terutama
dalam membantu menghafal istilah-istilah ekologi yang didominasi oleh istilah dari bahasa Latin
(Greek). Proses menghafal membutuhkan pengulangan yang biasanya jarang diminati oleh siswa
maupun mahasiswa. Mereka cenderung menyukai ilmu yang mudah dicerna secara logika, padahal
Dalam mempelajari Biologi khususnya Ekologi tidak dipungkiri akan sering dijumpai istilah-istilah
yang membutuhkan hafalan.
Tesaurus Elektronik Ekologi diharapkan akan membantu proses pembelajaran khususnya di
bangku perkuliahan pada matakuliah Ekologi. Pemanfaatan Tesaurus Elektronik Ekologi dapat
dipadu dengan berbagai model pembelajaran sehingga menjadikan pembelajaran lebih berkesan
dan menyenangkan. Tesaurus Elektronik Ekologi yang telah dikembangkan akan didesiminasi dan
dipromosikan melalui internet. Kemudahan Tesaurus Elektronik Ekologi yang dioperasikan secara
offline tersebut lebih memberikan kelonggaran bagi penggunanya tanpa bergantung pada
ketersediaan jaringan internet.
Hasil penelitian ini sangat penting artinya dan merupakan bagian dari Penelitian lain yaitu
Pengembangan Sumber Belajar Ekologi lain yaitu berupa Buku, dengan demikian siswa maupun
mahasiswa akan lebih mudah dalam mempelajari Ekologi. Ke depan diharapkan akan
dikembangkan Tesaurus Elektronik sub bidang Biologi lain misalnya Fisiologi, Mikrobiologi,
Biologi Sel, Bioteknologi Molekuler, Genetika, dan lain-lain. Dengan demikian Sebuah Tesaurus
Elektronik Biologi akan dapat dikembangkan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini tergolong penelitian pengembangan yang bertujuan mengembangkan Tesaurus
Elektronik Ekologi yaitu sebuah software kamus istilah-istilah ekologi yang dapat dioperasikan
secara offline, dan dilampiri dengan buku petunjuk pengoperasian program. Software Tesaurus
Elektronik Ekologi akan dikembangkan berdasarkan partisi keilmuan dalam ekologi meliputi: (1)
asas-asas dan konsep-konsep ekologi dasar, (2) pendekatan habitat, dan (3) penerapan dan
teknologi. Uji validitas isi akan dilakukan validitas pakar yaitu empat orang pakar dosen Ekologi
dan satu orang pakar teknologi informasi.
Rancangan penelitian yang digunakan akan diadaptasi dan dimodifikasi mengacu kepada
rancangan penelitian pengembangan Borg & Gell (1979) yaitu terdiri atas langkah-langkah: (1)
penelitian dan pengumpulan data melalui survei; (2) perencanaan; (3) pengembangan prototype
awal; (4) pengujian awal terbatas; (5) revisi produk; (6) uji lapangan; (7) revisi produk berdasar
masukan dari lapangan; (8) uji operasional dalam skala lebih luas; (9) revisi produk final; dan (10)
desimenasi dan distribusi. Tujuan khusus yang ingin dicapai adalah terwujudnya salah satu media
pendidikan berbasis elektronik. Berdasarkan langkah-langkah pengembangan Borg & Gell (1979)
tersebut di atas maka secara menyeluruh tahap-tahap penelitian ini meliputi: (1) Penyusunan
Tesaurus Elektronik Ekologi dilampiri buku petunjuk pengoperasian program, (2) Uji validitas isi
oleh pakar, (3) Uji coba lapangan skala kecil, (4) Uji coba lapangan skala luas, dan (5) Desiminasi
dan promosi. Bagan alir penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Pada tahun pertama dilakukan penyusunan sebuah software Tesaurus Elektronik Ekologi.
Kegiatan yang dilakukan meliputi: (1) Perancangan design system dan database, (2) Pengumpulan
data, (3) Pembuatan database, (4) Input data ke dalam database, (5) Pembuatan design dan program
system, (6) Pengujian system, (7) Analisis kekurangan dan error pada program, (8) Penyempurnaan
design dan program system, (9) Tersusun Tesaurus Elektronik Ekologi, dan (10) Uji validitas isi
oleh empat orang pakar dosen Ekologi dan satu orang pakar Teknologi Informasi.
Berdasarkan masukan yang diperoleh dari uji validitas isi oleh para pakar tersebut digunakan
sebagai dasar merevisi produk. Jadi pada tahun pertama ini akan diperoleh produk software
Tesaurus Elektronik Ekologi hasil penyempurnaan tahap awal.
412
413
IMPLEMENTING
OBSERVING
REFLECTING
PENYEMPURNAAN
PRODUK
Gambar 3 Tahap-tahap Penelitian Tindakan Tahun Kedua untuk Menguji Keefektifan Produk
414
Tes awal kompetensi Ekologi; (4) Pelaksanaan penerapan pemanfaatan Tesaurus Elektronik
Ekologi, pada matakuliah Ekologi; dan (5) Tes akhir kompetensi Ekologi.
Reflecting
Reflecting dilakukan untuk menganalisis data hasil observing untuk mengetahui keefektifan
produk. Data yang dijaring meliputi tingkat kompetensi Ekologi dan data masukan umum untuk
mengetahui keunggulan dan kelemahan produk yang akan digunakan sebagai bahan
penyempurnaan produk.
Subyek penelitian tindakan pada ujicoba skala kecil adalah 25 mahasiswa (satu kelas)
penempuh matakuliah Ekologi yang ditemtukan melalui purposive sampling, sedangkan subyek
penelitian tindakan pada ujicoba skala luas adalah 110 mahasiswa (seluruh kelas) penempuh
matakuliah Ekologi (sampel populasi).
Keefektifan produk sebagai hasil dari tindakan diukur menggunakan analisis statistik dengan
rumus Gain Score Ternormalisasi (Yuliati, dkk. , 2006). Rumus Gain Score Ternormalisasi:
g
g
%G
% G max
(% S f % S i )
(100% % S i )
Keterangan :
Sf
Si
<g>
adalah gain score ternormalisasi
adalah score rerata post test
adalah score rerata pretest
Gain Score ternormalisasi <g> merupakan metode yang cocok untuk menganalisis hasil
pretest dan post test (Hake, dalam Yuliati, dkk., 2006). Gain Score ternormalisasi <g> juga
merupakan indikator yang lebih baik dalam menunjukkan tingkat efektivitas perlakuan daripada
perolehan skor atau post test. Tingkat perolehan Gain Score ternormalisasi dikategorikan ke dalam
tiga kategori, yaitu : g tinggi jika (<g>) > 0,7; g sedang jika 0,7 (<g>) 0,3; dan g rendah
jika (<g>) < 0,3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tesaurus Elektronik Ekologi
Hasil Pengembangan awal software Tesaurus Elektronik Ekologi adalah sudah tersusunnya
satu buah CD berisi software Tesaurus Elektronik Ekologi, daftar istilah yang diidentifikasi dari
kajian literatur, serta buku Petunjuk Penggunaan Program.
Validitas Tesaurus Elektronik Ekologi
Uji Validias Isi oleh Pakar ICT
Uji validitas isi oleh Pakar ICT telah dilakukan terhadap produk. Pakar yang dimaksud
adalah Dr. Munzil, M.Si. Beliau adalah dosen Universitas Negeri Malang yang aktif dalam Badan
Penjaminan Mutu Universitas dan menguasai bidang ICT. Hasil uji validitas dapat dijelaskan
sebagai berikut. Rata-rata skor validitas isi dari aspek ICT adalah 4,7 tergolong sangat baik.
Ditinjau dari segi kemudahan penggunaan memiliki skor 5 tergolong sangat baik. Dari segi
kecepatan program dalam beroperasi memiliki skor 5 tergolong sangat baik. Dari segi tata letak
memiliki skor 4 tergolong baik. Dari segi tingkat keterbacaan memiliki skor 4 tergolong baik. Dari
segi kejelasan pesan memiliki skor 5 tergolong sangat baik. Dari segi interaktivitas memiliki skor 5
tergolong sangat baik (Tabel 1).
Beberapa komentar diberikan oleh pakar ICT sebagai berikut. Perlu ditambahkan identitas
pembuat software. Tata letak pada defiisi terlalu panjang, perlu dibuat dalam bentuk wrap
sehingga mempermudah pembaca. Saat pencarian jumlah kata yang ditemukan perlu ditampilkan,
jika tidak ada kata yang ditampilkan/tidak ada, tampilkan pesan bahwa kata tidak ditemukan, jika
SESI PARALEL BIOLOGI
415
ingin menambahkan istilah user diarahkan pada penambahan data. Kata yang sesuai dengan
pencarian, sebaiknya diberi warna yang berbeda. Jika memungkinkan, istilah-istilah dalam
software menggunakan bahasa Indonesia. Komentar selanjutnya adalah secara umum software ini
sangat bagus, mudah digunakan, kecepatannya tinggi (tidak membutuhkan komputer dengan
spesifikasi tinggi), dan up to date. Saran yang diberikan adalah
Tabel 1. Hasil Uji Validitas Isi oleh Pakar ICT
ASPEK VALIDASI
SUB ASPEK VALIDASI
Program
Kemudahan Penggunaan
Kecepatan Program dalam Beroperasi
Tata Letak
Tingkat Keterbacaan
Kejelasan Pesan
Interaktivitas
Rata-rata
SKOR
5
5
4
4
5
5
4,7
Pakar 4
4
Rerata
4
4,8
4,3
4,3
416
417
Mahasiswa S1 jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang; 2,3Jurusan Biologi FMIPA
Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang No. 5 Malang 65145
Email: habib1_m@yahoo.com
Abstrak: bai merupakan salah satu tanaman yang telah banyak dimanfaatkan dan
dibudidayakan masyarakat Indonesia. Terdapat tiga spesies cabai yang ditemukan di Indonesia,
yaitu Capsicum annuum L., Capsicum frutescens L., dan Capsicum violaceum H.B.K. Capsicum
frutescens merupakan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi disebabkan karena
rasa pedas dan kandungan karotenoidnya. Capsicum frutescens mempunyai beberapa kultivar,
salah satunya adalah Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau. Kultivar ini tahan terhadap hama dan
penyakit serta mempunyai rasa yang pedas. Rasa pedas pada tanaman cabai dikarenakan adanya
senyawa kapsaisin. Selain memberikan rasa pedas, kapsaisin juga berfungsi untuk pertahanan
tanaman cabai, antiartritis, analgesik, dan antikanker. Penelitian ini bertujuan untuk mengisolasi
gen Acyltransferase (AT3) sebagai gen pengkode enzim CS (Capsaicin synthase). Gen AT3
diisolasi menggunakan metode PCR dengan primer forward 5-ATG GCT TTT GCA TTA CCA
TCA-3 dan reverse 5-CCT TCA CAA TTA TTC GCC CA-3. Data dianalisis dengan
menggunakan DNA baser, BLAST, dan ClustalW. Dari penelitian ini diperoleh sekuen parsial
sepanjang 404 basa dari gen AT3. Hasil alignment dengan gen AT3 dari Capsicum frutescens cv.
Shuanla dan Capsicum frutescens cv. BG2814.6 menunjukkan bahwa gen AT3 yang
teramplifikasi adalah pada bagian tengah. Sebanyak 1917 basa dari bagian upstream dan 1435
downstream masih belum teramplifikasi, sehingga diperlukan design primer untuk mendapatkan
gen AT3 secara utuh.
Kata Kunci: Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau, Kapsaisin, gen AT3
PENDAHULUAN
Cabai merupakan salah satu tanaman yang telah banyak dimanfaatkan dan dibudidayakan
masyarakat Indonesia. Terdapat tiga spesies cabai yang ditemukan di Indonesia, yaitu Capsicum
annuum L., Capsicum frutescens L., dan Capsicum violaceum H.B.K.(Backer et al., 1965) Capsicum
annuum L. dan Capsicum frutescens L. merupakan spesies cabai yang paling banyak dibudidayakan di
Indonesia (Djarwaningsih, 2005). Cabai rawit (Capsicum frutescens) merupakan tanaman yang
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi disebabkan karena rasa pedas dan kandungan karotenoidnya
(Sukrasno et al., 1997). Capsicum frutescens mempunyai beberapa kultivar, seperti Sky line, White
chilli, Bara, Cakra putih, dan Cakra hijau. Cakra hijau merupakan kultivar unggul. Kultivar ini tahan
terhadap hama dan penyakit, mempunyai rasa yang pedas, dapat dipanen pada umur 80 hari, dan
berpotensi menghasilkan 12.000 kg/ha buah cabai (Rukmana, 1996:18).
Rasa pedas pada tanaman cabai dikarenakan adanya senyawa kapsaisin. Kapsaisin hanya
ditemukan pada genus Capsicum. Kapsaisin juga berfungsi dalam bidang pengobatan dan farmasi
sebagai antiartritis dan analgesik (Mori et al., 2006), selain itu Kapsaisin juga berfungsi sebagai
pengatur distribusi lemak dalam tubuh (Leung, 2008), antibakteri (Xu et al., 2005), dan anti-kanker
(Lee et al., 2000).
Biosintesis kapsaisin melibatkan beberapa enzim. Capsaicin Synthase (CS) merupakan enzim
tahap akhir yang mempunyai peranan penting dalam biosintesis kapsaisin dengan mengkondensasi
418
vanillylamin dengan acyl moieties dan selanjutnya akan membentuk kapsaisin (Lang et al., 2006).
Enzim CS juga berfungsi sebagai regulator pembentukan kapsaisin (Prasad et al., 2006). Stewart et al.
(2005) mengusulkan gen AT3 sebagai gen yang mengkode CS. Pernyataan ini didukung oleh Lee et al.
(2005) dengan beberapa alasan, yaitu gen AT3 terekspresi di plasenta dan gen ini tersegregasi pada
lokus C, sementara itu Kim et al. (2009) melaporkan bahwa gen AT3 terlokalisasi dengan lokus Pun1
dan delesi 2,3 kb dari gen AT3 menyebabkan cabai tidak pedas.
Isolasi gen AT3 telah dilakukan pada kultivar Capsicum annuum (Stewart et al., 2007) dan
beberapa Capsicum frutescens (Lee et al., 2004). Sejauh ini belum ada laporan mengenai gen AT3 C.
frutescens dari Indonesia, data gen ini juga belum terekam di Gene Bank. Penelitian ini bertujuan untuk
mengisolasi gen AT3 dari Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau.
BAHAN DAN METODE
Tanaman Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau diperoleh dari BPTP (Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian) Karangploso, Malang. Isolasi DNA total dari daun dilakukan dengan menggunakan kit
isolasi DNA tumbuhan (Nucleospin II, Macherey-Nagel, germany). Primer yang digunakan adalah
primer forward 5-ATG GCT TTT GCA TTA CCA TCA-3 dan reverse 5 CCT TCA CAA TTA TTC
GCC CA-3. PCR dilakukan dengan pre-denaturasi pada 94oC selama 5 menit, denaturasi 94oC
selama1 menit, annealing 53oC selama 1 menit, polimerisasi 72oC selama 2 menit, dan polimerisasi
akhir 72oC selama 10 menit; dalam 30 siklus.
Produk PCR dielektroforesis dengan menggunakan gel agarose 1% untuk mengetahui hasilnya.
Sekuensing dilakukan di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Jakarta dengan Big Dye Transluminator
melalui mesin ABI 3130 Genetic analyzer. Hasil sekuensing dianalisis dengan menggunakan software
Bioedit, Peaktrace, DNA Baser, BLAST, dan ClustalX.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Isolasi gen AT3 dari Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau menggunakan teknik PCR dengan
sepasang primer menghasilkan sekuen sepanjang 404 basa. Gen target yang teramplifikasi adalah pada
bagian tengah gen AT3 merujuk C. frutescens (Kode akses: HM854860.1 dan AY819026.1). Sekuen
DNA dari gen AT3 Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau yang diperoleh disajikan pada gambar 1.
10
20
30
40
50
60
70
5....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
TACCATCATC ACTTGTTTCA GTTTGTNACA AATCTTTTAT CAAACCTTCC TCTCTCACCC CCTCTACACT
80
90
100
110
120
130
140
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
TAGATTTCAC AAGCTATCTT TCATCGATCA ATCTTTAAGT AATATGTATA TCCCTTGTGC ATTTTTTTAC
150
160
170
180
190
200
210
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
CCTAAAGTAC AACAAAGACT AGAAGACTCC AAAAATTCTG ATGAGCTTTC CCATATAGCC CACTTGCTAC
220
230
240
250
260
270
280
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
AAACATCTCT ATCACAAACT CTAGTCTCTT ACTATCCTTA TGCTGGAAAG TTGAAGGACA ATGCTACTGT
290
300
310
320
330
340
350
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....|
TGACTGTAAC GATATGGGAG CTGAGTTCTT GAGTGTTCGA ATAAAATGTT CCATGTCTGA AATTCTTGAT
360
370
380
390
400
....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....|....| ....3
CATCCTCATG CATCTCTTGC AGAGAGCATA GTTTTGCCCA AGGATTTGCC TTGG
Gambar 1. Partial sequence Gen AT3 Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau yang berhasil diisolasi
Analisis sekuen dengan menggunakan program BLAST dibandingkan dengan gen AT3 dari
Capsicum frutescens cv. Shuanla (Gambar 2A) dan Capsicum frutescens cv. BG2814.6 (Gambar 2B)
419
menunjukkan query coverage 24% dan 10% berturut-turut dengan indeks similaritas masing-masing
99%. Berdasarkan hal tersebut maka sekuen yang diperoleh adalah benar gen AT3.
A)
B)
Gambar 2 Hasil BLAST gen target dengan a) gen AT3 C. frutescens cv. Shuanla, b) gen AT3 C. frutescens
cv. BG2814.6
Sekuen DNA dari gen AT3 Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau dianalisis dengan menggunakan
program ClustalX untuk membuat alignment asam aminonya dengan asam amino gen AT3 Capsicum
frutescens cv. Shuanla dan Capsicum frutescens cv. BG2814.6. Hasil alignment asam amino dari ketiga
spesies tersebut menunjukkan bahwa gen AT3 Capsicum frutescens cv. Cakra Hijau berada pada 43
sampai 139 dari sekuen asam amino gen AT3 Capsicum frutescens cv. Shuanla dan Capsicum frutescens
cv. BG2814.6. (Gambar 3).
C. frutescens cv. Cakra Hijau
C. frutescens cv. Shuanla
C. frutescens BG2814.6
Clustal Consensus
C. frutescens cv. Cakra Hijau
C. frutescens cv. Shuanla
C. frutescens BG2814.6
Clustal Consensus
C. frutescens cv. Cakra Hijau
C. frutescens cv. Shuanla
C. frutescens BG2814.6
Clustal Consensus
10
20
30
40
....|....|....|....|....|....|....|....|
---------------------------------------MAFALPSSLVSVCDKSFIKPSSLTPSKLRFHKLSFIDQSL
MAFALPSSLVSICDKSFIKPSSLTPSTLRFHKLSFIDQSL
50
60
70
80
....|....|....|....|....|....|....|....|
--MYIPCAFFYPKVQQRLEDSKNSDELSHIAHLLQTSLSQ
SNMYIPCAFFYPKVQQRLEDSKNSDELSHIAHLLQTSLSQ
SNMYIPCAFFYPKVQQRLEDSKNSDELSHIAHLLQTSLSQ
**************************************
90
100
110
120
....|....|....|....|....|....|....|....|
TLVSYYPYAGKLKDNATVDCNDMGAEFLSVRIKCSMSEIL
TLVSYYPYAGKLKDNATVDCNDMGAEFLSVRIKCSMSEIL
TLVSYYPYAGKLKDNATVDCNDMGAEFLSVRIKCSMSEIL
****************************************
420
130
140
150
160
....|....|....|....|....|....|....|....|
DHPHASLAESIVLPKDLPW--------------------DHPHASLAESIVLPKDLPWANNCEGGNLLVVQVSKFDCGG
DHPHASLAESIVLPKDLPWANNCEGGNLLVVQVSKFDCGG
*******************
170
180
190
200
....|....|....|....|....|....|....|....|
---------------------------------------IAISVCFSHKIGDGCSLLNFLNDWSSVTRDHTTTALVPSP
IAISVCFSHKIGDGCSLLNFLNDWSSVTRDHTTTTLVPSP
210
220
230
240
....|....|....|....|....|....|....|....|
---------------------------------------RFVGDSVFSTKKYGSLITPQILSDLNECVQKRLIFPTDKL
RFVGDSVFSTKKYGSLITPQILSDLNECVQKRLIFPTDKL
250
260
270
....|....|....|....|....|....|....|
----------------------------------DALRAKVILPSSIIVCLTVFLKRIIFNSLLETYFT
DALRAKVILPSSIIVCLTVFLKRLIFNSLLET---
Gambar 4.4 Hasil alignment asam amino gen AT3 C. frutescens cv. Cakra Hijau dengan gen AT3 dari C. frutescens
cv. Shuanla dan C. annuum cv. Hot.
KESIMPULAN
Gen AT3 (Acyltransferase) dari Capsicum frutescens cv. Cakra hijau sepanjang 404 basa yang
mengkode 97 asam amino berhasil diisolasi dengan metode PCR menggunakan sepasang primer.
Sekuen yang diperoleh adalah bagian tengah gen AT3. Masih perlu dilakukan isolasi bagian up-stream
dan down-stream gen ini untuk memperoleh sekuen utuhnya.
Daftar Pustaka
Backer, C. A. & Bakhuizen Van Den Brink Jr. 1965. Flora of Java Vol II. Netherland : N.V.P
Noordhoff.
Djarwaningsih, Tutie. 2005. Capsicum spp. (Cabai): Asal, persebaran dan Nilai Ekonomi. Biodiversitas
6 : 292-196.
Lang, Y.Q., Kisaka, H., Sugiyama, R., Nomura, K., Morita, A., Watanabe, T., Tanaka, Y., Yazawa, S.,
Miwa, T. 2009. Functional loss of pAMT results in biosynthesis capsinoids, capsaicioids
analog, in Capsicum annuum cv. CH-19 sweet. Plant Journal 59 : 953-961.
Lee YS., Nam DH., and Kim JA. 2000. Induction of apoptosis by capsaicin in A172 human glublastoma
cells. Cancer Lett. 161 : 121-130.
Lee CJ, Yoo EY, Shin J, Lee J, Hwang HS, Kim BD. 2005. Non-pungent Capsicum contain a deletion
in the capsaicinoid synthetase gene, wich allow early detection of pungency with SCAR
markers. Mol. Cells 19:262-267.
Mori, A., Lehmann, S., Okelly, J., Kumagai, T., Desmond, J.C., Pervan, M., McBride, W.H., Kizaki,
M. & Koefler, H.P. 2006. Capsaicin, a component of red peppers, inhibits the growth of
Androgen-independent, p53 mutant prostate cancer cells. Cancer Res. 66(6): 3222-3229.
Prasad Narasimha B. C. 2006. Characterization of Capsaicin Synthase And Identification of its Gene
(csy1) For Pungency Factor Capsaicin In Pepper. 2006. India. Central food and Technological
Research Institute.
421
422
423
424
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka yang menjadi urgensi sehingga penelitian
ini dapat dilakukan di S1 Jurusan Biologi UM, adalah kedua program studi tersebut tersebut
memiliki dan membelajarkan matakuliah genetika pada mahasiswa. Di samping hal tersebut, maka
penelitian yang penting, dapat dilakukan adalah: a) pentingnya mengobervasi secara mendetail
tingkah laku mahasiswa dan dosen selama perkuliahan genetika sehingga didapatkan pola
pembelajaran atau sintaks pembelajaran yang baku, b) pentingnya memperoleh gambaran secara
terukur tentang potensi proses pembelajaran genetika kedua program studi Jurusan Biologi S1
UM dalam memberdayakan keterampilan metakognitif dan daya retensi. Adapun tujuan
dilakukannya penelitian adalah berikut ini: 1) mendeskripsikan gambaran strategi perkuliahan
genetika di S1 Jurusan Biologi UM, 2) menjelaskan perbedaan keterampilan metakognitif, dan
daya retensi mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Biologi dan Biologi setelah pembelajaran
genetika.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang bertujuan untuk
mendeskripsikan pelaksanaan model perkuliahan genetika di Jurusan Biologi S1 UM. Subyek
yaitu mahasiswa semester ganjil pada saat berlangsung perkuliahan genetika I, dan semester genap
tahun ajaran 2010/2011 saat berlangsung perkuliahan genetika II yang berjumlah 57 mahasiswa S1
Program Studi Pendidikan Biologi, dan Biologi terdiri dari 46 mahasiswa. Sedangkan instrumen
yang dipakai dalam penelitian ini terdiri dari: Lembar observasi digunakan untuk memperoleh
gambaran terkait dengan pola perkuliahan genetika di Jurusan Biologi UM. Instrumen tes terdiri
dari: a) Tes hasil belajar, instrumen tes yang digunakan berupa essay test yang bertujuan untuk
mengukur pemahaman konsep. Aspek kognitif yang diukur adalah dimensi proses dari ranah
kognitif taksonomi Bloom yang telah direvisi yang meliputi: C1 (mengingat), C2 (memahami), C3
(menerapkan), C4 (menganalisis), C5 (mengevaluasi), dan C6 (mencipta) (Anderson & Krathwol,
2001). Sebelum instrumen tes digunakan terlebih dahulu dilakukan uji validasi, reliabilitas, tingkat
kesukaran dan daya beda. Data setiap variabel terikat dalam penelitian ini diperoleh dengan
menggunakan rubrik penskoran. Rubrik yang digunakan terdiri dari: a) Rubrik penilaian
keterampilan metakognitif yang diadaptasi dari Corebima (2006) yang terdiri dari skala 0 sampai 7.
b) Rubrik penilaian hasil belajar (retensi).Tes akhir, untuk mengetahui keterampilan metakognitif,
setelah mengikuti seluruh kegiatan perkuliahan. Tes retensi, untuk mengetahui daya retensi setelah
selang waktu dua minggu setelah pelaksanaan pembelajaran atau postes. Data yang terkumpulkan
dinalisis dengan statistik sebagai berikut: a) Analisis deskriptif, digunakan untuk menjawab tujuan
nomor 1, yaitu mendeskripsikan proses perkuliahan , presentase keterampilan metakognitif, dan
retensi mahasiswa sesudah pembelajaran. 2) Anacova, digunakan untuk menjawab tujuan nomor 2,
yaitu melihat perbedaan keterampilan metakognitif, dan daya retensi, mahasiswa S1, terdiri dari
kelas pendidikan biologi dan biologi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Deskripsi Perkuliahan Genetika
Perkuliahan genetika Jurusan Biologi S1, yaitu terdiri dari matakuliah genetika I dan II yang
dilaksanakana pada kedua semester. Observasi yang dilakukan mencakup proses perkuliahan
teori, dan praktikum. Sesuai dengan pengertian genetika yang dianut, terdapat tujuh konsep penting
yang dipelajari pada perkuliahan genetika. Konsep-konsep tersebut masih memiliki beberapa
subkonsep. Tujuh konsep genetika tersebut dipelajari pada dua mata kuliah, yaitu genetika I dan
genetika II. Secara rinci, pembagian materi matakuliah genetika I adalah: 1) Pengantar genetika
(pengertian ilmu genetika, ruang lingkup genetika, posisi ilmu genetika dalam bidang ilmu biologi
lainnya, manfaat genetika dalam kehidupan sehari-hari. 2) Materi genetika (kromosom, asam
nukleat (DNA dan RNA) plasmid, episome, elemen transposable. 3) Reproduksi matari genetika
(mitosis, meiosisi, replikasi DNA, rolling circle replicationcel, transkripsi balik, cytoplasmic
425
inheritance. 4) Ekspresi materi (tingkat ekspresi gen, transkripsi translasi, modifikasi pasca
transkripsi, regulasi ekspresi gen pada prokariotdan eukariot. Matakuliah genetika II: 1) Perubahan
materi genetika (mutasi) terdiri lanjutan dari materi genetika lanjutan, reproduksi materi genetika
lanjutan, kerja materi genetika lanjutan, perubahan materi genetika (rekombinan). 2) Materi
Genetika dalam populasi. 3) rekayasa materi genetika.
Selain materi-materi yang dibahas pada perkuliahan teori, terdapat pula materi yang dikaji
melalui praktikum berbasis kerja proyek dan klasikal. Materi yang terdapat pada praktikum
merupakan materi yang tidak diajarkan pada materi perkuliahan teori. Deskripsi tema-tema yang
menjadi fokus kegiatan praktikum berbasis klasikal adalah: 1) mitosis pada akar bawang merah, 2)
kromosom raksasa Drosophila melanogaster dan 3) isolasi DNA. Praktikum berbasis kerja proyek
ada 16 judul.
Strategi perkuliahan genetika yang dijelaskan di atas telah dikembangkan di Jurusan Biologi
S1 di UM semenjak tahun 1989. Materi-materi tersebut diberikan pada dua tahapan mata kuliah,
dimana matakuliah genetika II merupakan kelanjutan dari matakuliah genetika I baik pada program
studi pendidikan biologi dan biologi. Masing-masing kelas di S1 mendapat perlakuan yang sama
dalam arti ditangani oleh dosen, topik dan strategi pembelajaran yang sama. Secara spesifik pola
pembelajaran genetika tidak merujuk pada suatu model pembelajaran tertentu, tetapi menggunakan
beberapa model pembelajaran dengan berlandaskan filosofi konstruktivisme. Pola perkuliahan
genetika di Jurusan Biologi UM juga menunjukkan model pembelajaran kooperatif. Mahasiswa
bekerja bersama di dalam kelompok-kelompok yang terdiri dari 2-3 orang. Pelaksanaan
perkuliahan genetika selama ini sudah mengarah pada pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa
(student-centered), yaitu memberikan pengalaman kepada pebelajar untuk mengembangkan
kemampuan berpikir dan mahasiswa sudah terbiasa menggunaan strategi belajar ini. Strategi
pembelajaran yang teramati pada saat perkuliahan adalah strategi yang saat ini dikembangkan,
yaitu RQA (Reading, Questioning and Answering). Berikut ini disajikan Tabel sintaks strategi
RQA yang dilakukan dalam perkuliahan genetika di Jurusan Biologi UM
Tabel. Sintaks Strategi RQA
Sintaks/fase
Membaca (Reading)
Bertanya (Questioning)
Menjawab (Answering)
Setelah melewati fase-fase yang tertera pada Tabel di atas, pembelajaran selanjutnya
dilakukan dengan presentasi kelas. Materi-materi yang telah dibaca diringkas sesuai dengan tugas
yang diberikan dosen, dipresentasikan secara berkelompok dan ditanggapi oleh peserta didik yang
lain. Pada bagian akhir tiap kali tatap muka, dosen memberikan tanggapan tentang setiap
pertanyaan yang ada, memberikan kesempatan kembali pada peserta didik bila ada pertanyaan dan
memberikan komentar tentang materi yang sedang dibahas sekaligus merangkum.
Deskripsi keterampilan metakognitif, dan retensi mahasiswa S1. Rata-rata keterampilan
metakognitif mahasiswa pada Program Studi Pendidikan Biologi sebelum mengikuti pembelajaran
adalah 42,14 dan setelah mengikuti pembelajaran adalah 53,04. Program Studi Biologi, rata-rata
keterampilan metakognitif mahasiswa sebelum pembelajaran adalah 35,20 dan setelah
pembelajaran adalah 47,33. Untuk rata-rata postes keterampilan metakognitif mahasiswa Program
Studi Pendidikan Biologi adalah 53,04, sedangkan daya retensi adalah 62,11. Berdasarkan selisih,
terlihat ada peningkatan rata-rata keterampilan metakognitif daya retensi dibanding dengan ratarata postes. Peningkatan rata-rata keterampilan metakognitif mahasiswa pada daya retensi sebesar
426
17,10%. Pada Program Studi Biologi, rata-rata keterampilan metakognitif mahasiswa pelaksanaan
postes adalah 47,33, sedangkan daya retensi adalah 48,46, sehingga terjadi peningkatan sebesar
2,39%.
Pengujian perbedaan keterampilan metakognitif mahasiswa S1. Uji normalitas kelompok
masing-masing data dengan uji statistk non parametrik One sample Kolmogoro-Smirnov yaitu
keterampilan metakognitif pretes 0,000 (tidak normal), postes 0,0200 (normal), retensi 0,200
(normal). Uji homogenitas dengan Levens Test of Equality of Error Variance yaitu pre (F 0,505,
df1 1, df2 101 sig 0,064 dan alpha 0,05 homogen, postes 0,192, 1101, 0,662 dan alpha 0,5
homogen, retensi 0,116, 1, 101, 0,662,0,05 homogen. Melalui uji anakova, ternyata tidak berbeda
signifikan. Meskipun demikian, rata-rata keterampilan metakognitif mahasiswa Program Studi
Pendidikan Biologi lebih tinggi 3,32% dari mahasiswa Program Studi Biologi. Rata-rata daya
retensi keterampilan metakognitif mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi adalah 60,69 dan
Biologi adalah 50,20. Melalui uji anakova ternyata berbeda signifikan. Rata-rata daya retensi
keterampilan metakognitif mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi lebih tinggi 20,89% dari
Program Studi Biologi.
PEMBAHASAN
Genetika sebagai salah satu cabang ilmu biologi kini menjadi topik yang tidak hanya
menjadi concern dalam biologi, tetapi telah banyak dikenal luas oleh masyarakat umum.
Munculnya berbagai penelitian dan penemuan dalam ilmu genetika juga telah mempengaruhi
kehidupan masyarakat (Bowling dkk. 2008). Dalam hubungan ini ada pendapat yang menyatakan
bahwa bukan hanya pengetahuan tentang genetika yang berkembang sangat pesat, tetapi dewasa ini
banyak aplikasinya sudah terbukti mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari (Corebima, 2008).
Isu-isu genetik memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat, meskipun peningkatan
dalam penemuan-penemuan genetik tidak berbanding lurus dengan peningkatan pemahaman
tentang konsep-konsep genetika (Alozie dkk, 2010). Hasil penelitian Bowling dkk. (2008)
menegaskan bahwa dibutuhkan pemahaman yang lebih, tentang pengaruh metode pembelajaran
terhadap pemahaman konsep-konsep genetika.
Di perguruan tinggi, khususnya Jurusan Biologi, genetika menjadi salah satu matakuliah
yang dikenal rumit karena fokus kajian pada gen yang sulit dilihat dengan mata telanjang. Herlanti
dkk. (2007) mengemukakan bahwa genetika merupakan materi yang sulit dimengerti. Kesulitan ini
disebabkan konsep genetika bersifat abstrak yang meliputi obyek-obyek mikroskopis dan prosesproses di luar pengalaman sehari-hari. Sedangkan Liang (2004) menjelaskan bahwa genetika
merupakan dasar (basic) yang penting dalam ilmu biologi. Zubaidah (2011) menyatakan bahwa
dewasa ini hampir atau tidak satupun ilmu biologi yang dapat berkembang tanpa konsep genetika,
dengan kata lain genetika adalah ilmu biologi yang melingkupi seluruh ilmu hayati. Ditambahkan
pula oleh Ruijong (2004) bahwa pemahaman tentang genetika merupakan suatu tantangan terbesar
bagi guru dalam pembelajaran biologi, dengan demikian, diperlukan perubahan paradigma
pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik genetika, agar pemahaman tentang genetika menjadi
lebih baik. Dijelaskan lebih lanjut oleh Alozie dkk. (2010) bahwa untuk membelajarkan genetika,
Dosen dapat menciptakan lingkungan belajar yang dapat mendorong mahasiswa untuk
mengkonstruksi pengetahuan.
Pembelajaran genetika tidak menekankan pembelajaran pada proses penyampaian materi
(content transmision) oleh dosen kepada mahasiswa, tetapi menurut konstruktivisme, mengajarkan
sifat dasar bagaimana manusia belajar, adalah constructing understanding atau knowledge, dengan
cara mencocokan fenomena, ide atau aktivitas yang baru sesuai dengan ide yang telah ada. Hal ini
kata kunci konstruktivisme adalah to construct, dimana para pebelajar sungguh-sungguh
membangun arti atau makna dalam sudut pandang pembelajaran bermakna, bukan sekedar hafalan
atau tiruan yang berpusat pada pebelajar, dan dosen berperan sebagai fasilitator. Hal ini sesuai
dengan Suparno (1997) yang menjelaskan bahwa konstruktivis memandang pengetahuan tidak
dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada orang lain tetapi harus diinterpretasikan sendiri
427
oleh setiap orang. Artinya, pengetahuan tentang genetika yang dimiliki oleh mahasiswa merupakan
hasil interpretasi terhadap konsep-konsep yang didiskusikan di dalam kelompok maupun dalam
kelas yang dipandu oleh dosen matakuliah.
Pembelajaran genetika di biologi UM, fungsi dosen bukan sebagai sumber belajar utama di
dalam kelas, tetapi mahasiswa dituntut memiliki keterampilan untuk mencari dan menemukan
sumber-sumber belajar lainnya dan mempresentasikannya untuk didiskusikan secara bersama di
dalam kelas. Jika terdapat konsep-konsep yang terkait dengan substansi genetika yang tidak relevan
dengan karateristik materi genetika yang dianut, maka dosen matakuliah akan memberikan evaluasi
dan memperbaiki konsep-konsep tersebut. Jelas prinsip ini sesuai dengan premis students may
learn more if we teach them less (Schraw, 1998). Artinya, pebelajar mungkin akan belajar lebih
baik jika Dosen tidak selalu mengajar. Tidak selalu mengajar dalam arti bahwa tidak memposisikan
diri sebagai satu-satunya sumber pengetahuan di dalam kelas.
Pembelajaran genetika di Jurusan Biologi UM yang teramati pada saat perkuliahan adalah
strategi yang sedang dikembangkan, yaitu RQA (Reading, Questioning and Answering). Peserta
didik diwajibkan untuk membaca literatur yang berkaitan dengan topik pembelajaran genetika,
baik literatur yang berbahasa asing maupun bahasa Indonesia. Selanjutnya pebelajar membuat
pertanyaan dan jawaban berdasarkan hasil bacaannya. Pola pembelajaran semacam ini
memperlihatkan pola pembelajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir secara sengaja.
Artinya, perkuliahan genetika yang dilakukan tidak hanya menekankan penguasaan materi
pembelajaran genetika, tetapi juga memberdayakan kemampuan metakognitif. Keterampilan
berpikir tidak dapat berkembang dengan sendirinya sehingga harus diajarkan. Hal ini diperkuat
oleh pendapat Nagappan (2010) yang menyatakan bahwa keterampilan metakognitif dapat
diajarkan sehingga diperlukan pengajaran yang efektif. Jika ingin mendorong kemampuan berpikir
maka pelaksanaan pembelajaran dan evaluasinya harus dikelolah, secara sengaja. Mendukung
kepentingan itu, dalam hal pelaksanaan yang benar-benar harus diperhatikan adalah pendekatan,
strategi, metode, serta teknik pembelajaran lain.
Perkuliahan yang dilakukan juga memperlihatkan pola pembelajaran kooperatif. Pebelajar
bekerja secara berkelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen pembina
mata kuliah selama perkuliahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Lie dkk. (2001) yang mengartikan
pembelajaran kooperatif sebagai sistem pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada
pebelajar untuk bekerjasama dengan sesama pebelajar dalam tugas-tugas terstruktur dalam sebuah
tim atau kelompok kecil. Selanjutnya Nur (2011) menyatakan bahwa dengan model pembelajaran
kooperatif dapat menerapkan ide bahwa pebelajar bekerja sama untuk belajar dan
bertanggungjawab terhadap pembelajaran teman sekelompok sembari bertanggungjawab pula atas
pembelajaran sendiri. Arti keberhasilan-keberhasilan tim/kelompok hanya dapat dicapai apabila
seluruh anggota kelompok itu belajar tentang tujuan-tujuan yang sedang dipelajari. Pembelajaran
kelompok tugas-tugas bukan hanya melakukan sesuatu sebagai sebuah tim, tetapi belajar sesuatu
sebagai sebuah tim.
Perkuliahan genetika di UM, mahasiswa mengerjakan tugas secara berkelompok yang terdiri
dari dua sampai tiga orang. Kelompok-kelompok tersebut mengerjakan tugas yang diberikan dan
dipertanggungjawabkan di depan kelas dan kemudian ditanggapi oleh kelompok lainnya. Isjoni
(2010) mengemukakan pula bahwa cooperative learning adalah mengelompokan pebelajar di
dalam kelas ke dalam kelompok kecil agar pebelajar dapat bekerja sama dengan kemampuan
maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut. Materimateri yang dibahas dalam kelompok meliputi tujuh konsep penting sesuai pengertian genetika
yang dianut pada Jurusan Biologi UM. Zubaidah (2010) menyatakan bahwa kemampuan berpikir
adalah potensi intelektual yang dapat dikembangkan melalui proses pembelajaran dan setiap
manusia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang menjadi pemikir yang kritis. Dalam hal
ini yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan adalah keterampilan berpikir, kemampuan
seseorang untuk dapat berhasil dalam kehidupan, antara lain ditentukan oleh keterampilan
berpikirnya, terutama dalam upaya memecahkan masalah-masalah kehidupan yang dihadapinya.
428
Browne & Freeman (2000) menyatakan bahwa kunci untuk mengembangan kemampuan berpikir
kritis dan berpikir tingkat tinggi pebelajar adalah dengan menciptakan kondisi pembelajaran yang
memungkinkan pebelajar untuk aktif dan secara emosional akan menyatu dengan materi yang
diajarkan. Kutipan tersebut memperkuat hasil temuan penelitian bahwa kondisi perkuliahan yang
tercipta selama pembelajaran genetika lingkungan pembelajaran yang memberdayakan kemampuan
metakognitif. Keaktifan dan tanggung jawab mahasiswa untuk menyelesaikan materi-materi
perkuliahan secara berkelompok merupakan aspek penting dalam meningkatkan kemampuan
berpikir. Selain itu, diskusi yang terjadi di dalam kelas antara kelompok yang menyampaikan
gagasan-gagasannya dan kelompok lain yang memberikan tanggapan, merupakan kultur belajar
yang mendorong pemberdayaan berpikir tingkat tinggi. Supriyono (2009) menegaskan cooperative
learning meningkatkan kemampuan berpikir pebelajar dan membantu mengkonstruksi pemahaman
sains, memperkuat dan memperluas pengetahuan tentang topik.
Selain perkuliahan teori, dalam perkuliahan genetika juga terdapat praktikum yang
dilaksanakan dengan pola proyek dan klasikal yang berbasis kelompok. Materi-materi praktikum
tidak diikutsertakan dalam perkuliahan teori. Artinya, materi-materi yang diajarkan pada
perkuliahan teori tidak dipraktekan dan materi-materi genetika yang terdapat di dalam topik
praktikum tidak diajarkan pada perkuliahan teori. Selain itu, praktikum dilakukan tanpa adanya
topik praktikum yang ditentukan terlebih dahulu. Masing-masing kelompok diberikan tugas yang
berbeda dan hanya diberikan langkah-langkah kerja dan berdasarkan hasil pengamatannya
mahasiswa menentukan topik praktikumnya sendiri serta membuat laporan selayaknya laporan
hasil penelitian. Model praktikum genetika di Jurusan Biologi UM memberi kesempatan
mahasiswa melakukan keterampilan-keterampilan proses dan keterampilan inkuiri. Model
praktikum genetika di Jurusan Biologi UM juga memperlihatkan pola pembelajaran kooperatif
group investigation. Dalam hal ini pebelajar melakukan penyelidikan dan bekerja secara
berkelompok yang terdiri dari 2-3 orang.
Kegiatan kelompok ini merupakan kegiatan penelitian untuk menemukan sesuatu, dimana
setiap kelompok mahasiswa berusaha menemukannya sendiri dalam bimbingan dosen dan asisten.
Jadwal kerja ditetapkan sendiri sesuai kondisi kelompok dan dikerjakan selama setengah semester.
Laporan penelitian diseminarkan pada tiap-tiap kelas yang berlangsung selama setengah semester
berdasarkan urutan topik praktikum. Model praktikum semacam ini tidak lazim diterapkan karena
umumnya praktikum yang dilakukan adalah melakukan eksperimen terhadap konsep-konsep yang
diajarkan pada perkuliahan teori. Meskipun tidak lazim, model praktikum ini memungkinkan
pebelajar mampu menemukan konsep-konsep baru yang sebelumnya belum pernah ada. Corebima
(2011) menyatakan bahwa konsep-konsep pembelajaran yang merupakan karakteristik
pembelajaran konstruktivisme sebagaimana telah dikemukakan, diyakini memberi peluang yang
sangat besar bagi pebelajar untuk menyusun sendiri pemahaman. Seperti diketahui kunci filosofi
pembelajaran konstruktivisme adalah to construct.
Variabel lainnya yang menjadi fokus penelitian ini adalah keterampilan metakognitif dan
daya retensi. Metakognitif menunjuk pada kecakapan pebelajar sadar dan memonitor proses
pembelajarannya (Peters, 2000). Salah satu tujuan pembelajaran genetika, selain peningkatan
pemahaman materi, adalah peningkatan keterampilan metakognitif mahasiswa. Perkuliahan
genetika yang dilakukan pada Jurusan Biologi S1 merupakan model pembelajaran yang
mengutamakan proses metakognitif. Keaktifan mahasiswa secara mandiri untuk memperoleh
pengetahuan dan mengontrol proses-proses kognitif adalah karakteristik dari perkuliahan genetika.
Observasi terhadap pola pembelajaran memperlihatkan bahwa perkuliahan genetika menekankan
pembelajaran pada keaktifan mahasiswa untuk menemukan konsep-konsep penting dalam materi
pembelajaran melalui pembuatan ringkasan. Proses semacam ini membutuhkan kemampuan
pemahaman bacaan yang tinggi untuk menemukan gagasan-gagasan utama serta menuliskannya
kembali dalam bentuk berbeda dengan naskah yang dibaca. Blakey (1990) menyatakan bahwa
manfaat keterampilan metakognitif membantu para pebelajar memecahkan problem atau
mengerjakan soal-soal berhasil melalui kehidupan mereka. Keterampilan metakognitif sangat
429
bermanfaat dalam meningkatkan hasil belajar, pengembangan pengetahuan bagi dirinya. Pebelajar
yang memiliki strategi metakognitif akan lebih cepat menjadi anak yang mandiri.
Selanjutnya tentang retensi. Retensi merupakan daya ingat peserta didik terhadap materi
pembelajaran yang telah dilalui meskipun pembelajaran telah selesai diikuti. Tes retensi dalam
penelitian ini dilakukan dua minggu setelah pembelajaran genetika selesai dilakukan atau
pelaksanaan postes. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan mahasiswa
dalam mengingat materi pembelajaran yang telah diterima dalam pembelajaran genetika. Menurut
Slavin (2000), seseorang dapat menyimpan informasi pada memori, tidak hanya berupa informasi
terkait dengan fakta-fakta, tetapi juga dalam bentuk strategi pembelajaran agar lebih mudah untuk
diakses kembali. Yeli (2007) menjelaskan bahwa memori terkait dengan pengalaman yang dialami
seseorang akan disimpan pada memori yang berisikan fakta-fakta, konsep-konsep, prinsip serta
aturan tentang bagaimana menggunakannya kembali. Selanjutnya dikatakan aspek-aspek yang
tidak dapat diingat kembali disebut lupa. Rentang waktu (interval, jarak) dengan proses
mencamkan (belajar) akan mempengaruhi memori (ingatan) seseorang. Hal ini dapat dilihat dari 2
sisi, yaitu: 1) lama interval, menunjukkan lamanya rentang waktu antara pemasukan bahan dengan
masa ditimbulkan kembali bahan tersebut, makin panjang jarak (interval) antara keduanya maka
makin lemah retensinya; 2) isi interval, menunjukkan aktivitas-aktivitas yang terdapat (dilakukan)
selama interval waktu akan mempengaruhi memori, sehingga dapat menyebabkan orang tersebut
lupa.
Simpulan
Pembelajaran yang diterapkan pada perkuliahan genetika merupakan pola pembelajaran
konstruktivisme, dengan model kooperatif melalui strategi Reading, Questioning and Answering
(RQA), Tidak terdapat perbedaan keterampilan metakognitif mahasiswa S1 Program Studi
Pendidikan Biologi dan Biologi, meskipun tidak berbeda, rata-rata keterampilan metakognitif
mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi 53,04 dan Biologi 47,33.Terdapat perbedaan daya
retensi keterampilan metakognitif mahasiswa S1 Program Studi Pendidikan Biologi dan Biologi,
rata-rata daya retensi keterampilan metakognitif mahasiswa Program Studi Pendidikan Biologi ada
kenaikan 17,1% dan Biologi 2,39%.
Deseminasi dari hasil penelitian, dapat berupa masih terdapat variabel-variabel lain yang
tidak tercakup dalam penelitian ini, misalnya: IQ, asal sekolah, latar belakang ekonomi, suku,
namun mempengaruhi pencapaian hasil belajar mahasiswa. Demikian, diperlukan penelitian
lanjutan secara eksperimen untuk membuktikan efektifitasnya langkah-langkah pembelajaran
genetika di Jurusan Biologi UM. Selain itu strategi pembelajaran genetika di Jurusan Biologi UM
tentang RQA dalam hal ini memberdayakan kemampuan berpikir pebelajar dapat dijadikan rujukan
untuk kegiatan perkuliahan genetika lainnya. Artinya strategi ini dapat digunakan di Perguruan
Tinggi lainnya.
DAFTAR RUJUKAN
Alozie N, Eklund J, Rogat A, Krajcik J. 2010. Genetics in the 21st Century: The Benefits &
Challenges of Incorporating a Project-Based Genetics Unit in Biology Classrooms. The
American Biology Teacher, Vol. 72, No. 4, pages 225230.
Anderson & Krathwohl. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. A Revision of
Blooms Taxonomy of Educational Objectives. New York: Addison Longman, Inc.
Brown. G. 2003. A Microteaching Programe Teaching Skill. London: Betler Hhgg.
Bowling B. V., Acra, E.A., Wang, L., Myers, M. F., Dean, G. E., Markle G. C. 2008.
Development and Evaluation of a Genetics Literacy Assessment Instrument for
Undergraduates. Genetics 178: 1522 ( January 2008).
430
Blakey, E. S. & Sheila. 1990. Developing Metacognition. Erick Digest. ERIC Clearinghouse on
Information
Resources
Syracuse
NY:
ED
327218.
http://amazon.com/xc/obidos/redirect.tag. Diakses 12 November 2010.
Corebima, A. D. 2006. Metakognisi: Suatu Ringkasan Kajian. Makalah disajikan dalam Pelatihan
Strategi Metakognitif pada Pembelajaran Biologi Guru Biologi SMA, Lembaga
Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) UNPAR, Palangkaraya, 23 Agustus.
Corebima, A. D. 2009. Pengalaman Berupaya Menjadi Guru Profesional, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Bidang Genetika. Malang. FMIPA. UM.
Corebima, A.D.2011. Jadikan Peserta Didik Pebelajar Mandiri. Makalah disajikan di Pelatihan
Guru IPA SMP, SMA di Bitung. Sulut, 18 Januari.
Eggen, P, D & Kauchak. 1996. Strategies for Teachers; Teaching Content and Thinking Skils.
Boston: Allyn & Bacon.
Friedrichen, P.M. 2001. A Biologi Course for Prospective Elementary Teachers Journal The
American Biology Teacher, Vol. 63(8): 562-568.
Herlanti, H., Rustaman, N,Y. dan Setiawan, W. Kontribusi Wacana Multimedia Terhadap
Pemahaman Konsep Hereditas Dan Retensi. Jurnal Pendidikan IPA: Metamorfosa. Vol. 2.
No. 1 April 2007 hal 29-38
Henia., Dhieb, N. 2006. Applying Metacognitive Strategies to Skimming Research Article in an
ESP Context. English Teaching Forum. Number 1.
Khairil, 2009. Potensi Perkuliahan Genetika di Jurusan Biologi FMIPA UM Dalam
Memberdayakan Kemampuan Metakognisi, Keja Ilmiah, dan Hasil Belajar Kognitif
Mahasiswa. Universitas Negeri Malang. Program Studi Pendidikan Biologi. Disertasi.
Tidak dipublikasi. PPS. UM.
Lawson, A. B. 2004. The Development of Reasoning Among College Biology Student. A review
of Recearch. Journal of College Science Teaching XXI (16) 338-344.
Livingston, J.A. 1997. Metacognition: An Overview State Univ. Of New York at
Buffalo,(Online),http://www.gse.buffalo.edu/fas/shuell/cep564/ Metacog. htm. Diakses 16
Mei 2011
Lie, Q. 2004. A Shift from Traditional Teacher-Centred Strategy to Student-Centred Strategy in
Genetics Teaching. The China Papers, July 2004
Liliasari, 2000. Model Pembelajaran IPA untuk Meningkatkan Keterampilan Berpikir Tingkat
Tinggi Calon Guru Sebagai Kecenderungan Baru Era Globalisasi. Jurnal Pengajaran
MIPA. 2 (1) Juni : 55 56.
Lin, G., Laffey, J. & Buss, K. 2001. Effects of Cooperation Script and Technology on Social
Ability. In C. Montgomerie & J. Seale (Eds.), Proceedings of World Conference on
Educational Multimedia, Hypermedia and Telecommunications 2007 (pp. 1847-1854).
Chesapeake, VA: AACE.
McMurarry, M.A., Beisenherz, and Thompson, B. 1991. Reliability and Concurrent Validity of A
Measure of Critical Thinking Skills in Biology. Journal of Research in Science Teacher,
28(2).
Nagappan R. 2010. Teaching Thinking Skills at Institutions of Higher Learning: Lessons Learned.
Pertanika J. Soc. Sci. & Hum. 18 (S): 1 - 14 (2010)
Nur, M. 2000. Model Pembelajaran Bermasalah, Keterampilan Berpikir Surabaya: Unesa
431
Peters, M. 2000. Does Constructivist Epistemology Have a Place in Nurse Education. Journal of
Nursing Education 39, no. 4: 166-170.
Peirce, W. 2004. Metacognition: Study Strategies, Monitoring, and Motivation. A greatly expanded
text version of a workshop presented November 17, 2004, at Prince George's Community
College. http:// academic. pgcc. edu/~wpeirce/MCCCTR/metacognition.htm. Diakses 1410-09.
Pranata, H. 2006. Standar Kompetensi dan Retensi. (online). www dolstoc.cm/docs/102407684.
Diakses 5 November 2010.
Phillips, J. A., Tanpa Tahun. Metakognisi. Malaysia: Faculty of Education, Arts & Social Sciences
Open University Malaysia. (Online), e-mail: johnarul@oum.edu.my . website:
http://www.oum.edu.my, Diakses, 5-12-2006.
Rivers, W. Summer. 2001. Autonomy at All Costs: An Etnography of Metacognitive Self
Assesment and Self Management Among Experienced Language Learners, Modern
Language Journal 86 (2) : 279 290
Ruiyong w. 2004. How to Teach Students to Understanding of GeneticsThinking as a Geneticist.
The China Papers, November 2004. Email. wangry@nju.edu.
Rasekh, S. E., & Ranjbary, R. 2003 Metacognitive Strategy Training for Vocablary Learning.
TESL-EJ. ISSN: 1072-4303. Vol 7 No 2.
Santrock, J. 2008. Psikologi Pendidikan. Edisi 2. Kencana Prenada Media Group.
Schneider, Wolfang. 2008. The Development of Metacognitive Knowledge in Children and
Adolescents: Major trends and implications for education. Journal compilation 2008
International Mind, Braid an Education Society and Wiley Periodical, Inc.Vol. 2-Number3.
Schraw, G. & Dennison, R. S. 1994. Assessing Metacognitive Awareness. Contemporary
Educational Psycology. 19 No 4. 460-475.
Schraw, G. M.1998. Promoting General Metacognitive Awareness. Instructional Science 26, No.
1-2:.http://literacy.kent.edu/ohioeff/resources/06newsmetacognition.doc.1 okt 2011.
Slavin, R .1995. Educational Psychology: Theory and Practice. Masschusetts: Allyn &Bacon
Suprijono, A. 2009. Cooperatif Learning. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Susantini, E. 2004. Memperbaiki Pembelajaran Genetika dengan Menerapkan Metakognitif pada
Beberapa SMU Negeri di Surabaya. Disertasi tidak diterbitkan. PPS UM.
Sumampouw, H, 2010. Pembelajaran Genetika Berbasis Metakognitif. Prosiding Seminar Nasional
MIPA disajikan di UM: Peran MIPA dalam Pengembangan Teknologi dan Pendidikan
Karakter. UM. 13 November.
Sumampouw, H. 2011. Pembelajaran Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi dalam Perkuliahan
Genetika di Jurusan Biologi UM. Prosiding Seminar Nasional dan Workshop
2011.Disajikan di FMIPA UNESA. 23 Juli.
Veenman, M.V.J., 2006. Metacognition and Learning: Conceptual and Methodological
Considerations. Recieved: 08 December 2005/Accepted: 08 December 2005/Published
online: 08 March 2006 # Springer Science + Business Media, Inc. 2006.
www://springerlink.com. Diakses 10 Januari 2011
Venville G. & Traegust. 2002. Teaching Abaut the Gene in the Genetic Information Age.
Australian Science Teachers. Juni 2002.
432
Yeli, S. 2009. Memori dan Pembelajaran. (online) :http/unsuda.info/tarbiyah/ image/salmapemb.pdf. Diakses 18 November
Zubaidah, S. 2010. Berpikir Kritis; Kemampuan Berpikir Tingkat Tinggi yang dapat
Dikembangkan Melalui Pembelajaran Sains. Makalah disampaikan pada Semnas Sains
tema: Optimalisasi Sains untuk Memberdayakan Manusia di PPS Unesa 16 Januari.
433