septiawanputratanjung.blogspot.co.id /2015/11/laporan-pendahuluan-dan-askep-katarak_50.html
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1 Defenisi
Katarak adalah keadaan dimana terjadi kekeruhan pada serabut atau bahan lensa di dalam kapsul lensa.( sidarta ilyas, 1998 )
Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa beberapa abad yang lalu apabila pengurangan visus diperkirakan oleh suatu tabir (layar) yang diturunkan di
dalam mata, agak seperti melihat air terjun. (Perawatan Mata. Vera H. Darling, Margaret R. Thorpe).
Katarak adalah nama yang diberikan untuk kekeruhan lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan lensa), denaturasi protein lensa atau dapat juga akibat
dari kedua-duanya yang biasanya mengenai kedua mata dan berjalan progesif. (Mansjoer,2000;62)
2 Etiologi
Menurut Mansjoer (2000), faktor risiko terjadinya katarak bermacam - macam, yaitu sebagai berikut:
a. Usia lanjut
Katarak umumnya terjadi pada usia lanjut (katarak senil). Dengan bertambahnya usia lensa akan mengalami proses
menua, di mana dalam keadaan ini akan menjadi katarak.
b. Kongenital
Katarak dapat terjadi secara kongenital akibat infeksi virus di masa pertumbuhan janin
c. Genetic
Pengaruh genetik dikatakan berhubungan dengan proses degenerasi yang timbul pada lensa.
d. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus dapat mempengaruhi kejernihan lensa, indeks refraksi, dan amplitudo akomodatif. Dengan meningkatnya kadar gula darah, maka meningkat pula kadar
glukosa dalam akuos humor. Oleh karena glukosa dari akuos masuk ke dalam lensa dengan cara difusi, maka kadar glukosa dalam lensa juga meningkat. Sebagian
glukosa tersebut dirubah oleh enzim aldose reduktase menjadi sorbitol, yang tidak dimetabolisme tapi tetap berada dalam lensa.
e. Merokok
Merokok dan mengunyah tembakau dapat menginduksi stress oksidatif dan dihubungkan dengan penurunan kadar antioksidan, askorbat dan karetenoid. Merokok
menyebabkan penumpukan molekul berpigmen 3 hydroxykhynurine dan chromophores, yang menyebabkan terjadinya penguningan warna lensa. Sianat dalam rokok juga
menyebabkan terjadinya karbamilasi dan denaturasi protein.
f.
Konsumsi alcohol
Peminum alkohol kronis mempunyai risiko tinggi terkena berbagai penyakit mata, termasuk katarak. Dalam banyak penelitian alkohol berperan dalam terjadinya katarak.
Alkohol secara langsung bekerja pada protein lensa dan secara tidak langsung dengan cara mempengaruhi penyerapan nutrisi penting pada lensa.
3 Manifestasi Klinis
Gejala subjektif dari pasien dengan katarak antara lain:
1. Biasanya klien melaporkan penurunan ketajaman penglihatan dan silau serta gangguan fungsional yang diakibatkan oleh kehilangan penglihatan tadi.
2. Menyilaukan dengan distorsi bayangan dan susah melihat di malam hari
Gejala objektif biasanya meliputi:
1. Pengembunan seperti mutiara keabuan pada pupil sehingga retina tak akan tampak dengan oftalmoskop. Ketika lensa sudah menjadi opak, cahaya akan dipendarkan dan bukannya d
2. Pupil yang normalnya hitam akan tampak abu-abu atau putih. Pengelihatan seakan akan melihat asap dan pupil mata seakan akan bertambah putih.
3. Pada akhirnya apabila katarak telah matang pupil akan tampak benar-benar putih ,sehingga refleks cahaya pada mata menjadi negatif.
Gejala umum gangguan katarak meliputi:
1. Penglihatan tidak jelas, seperti terdapat kabut menghalangi objek.
2. Gangguan penglihatan bisa berupa:
a. Peka terhadap sinar atau cahaya.
b. Dapat melihat dobel pada satu mata (diplobia).
c. Memerlukan pencahayaan yang terang untuk dapat membaca.
d. Lensa mata berubah menjadi buram seperti kaca susu.
Gejala lainya adalah :
1. Sering berganti kaca mata
2. Penglihatan sering pada salah satu mata
4 Patofisiologi
Lensa yang normal adalah struktur posterior iris yang jernih, transparan, berbentuk seperti kancing baju dan mempunyai kekuatan refraksi yang besar. Lensa
mengandung tiga komponen anatomis. Pada zona sentral terdapat nukleus, di perifer ada korteks, dan yang mengelilingi keduanya adalah kapsul anterior dan posterior.
Dengan bertambahnya usia, nucleus mengalami perubahan warna menjadi coklat kekuningan. Disekitar opasitas terdapat densitas seperti duri di anterior dan posterior
nukleus. Opasitas pada kapsul posterior merupakan bentuk katarak yang paling bermakna, nampak seperti kristal salju pada jendela.
Perubahan fisik dan kimia dalam lensa mengakibatkan hilangnya transparansi. Perubahan pada serabut halus multipel (zunula) yang memanjang dari badan silier ke
sekitar daerah di luar lensa, misalnya dapat menyebabkan penglihatan mengalami distorsi. Perubahan kimia dalam protein lensa dapat menyebabkan koagulasi, sehingga
mengabutkan pandangan dengan menghambat jalannya cahaya ke retina. Salah satu teori menyebutkan terputusnya protein lensa normal terjadi disertai influks air ke
dalam lensa. Proses ini mematahkan serabut lensa yang tegang dan mengganggu transmisi sinar. Teori lain mengatakan bahwa suatu enzim mempunyai peran dalam
melindungi lensa dari degenerasi. Jumlah enzim akan menurun dengan bertambahnya usia dan tidak ada pada kebanyakan pasien yang menderita katarak.
Katarak biasanya terjadi bilateral, namun memiliki kecepatan yang berbeda. Dapat disebabkan oleh kejadian trauma maupun sistemik, seperti diabetes. Namun
kebanyakan merupakan konsekuensi dari proses penuaan yang normal. Kebanyakan katarak berkembang secara kronik ketika seseorang memasuki dekade ketujuh.
Katarak dapat bersifat kongenital dan harus diidentifikasi awal, karena bila tidak terdiagnosa dapat menyebabkan ambliopia dan kehilangan penglihatan permanen. Faktor
yang paling sering berperan dalam terjadinya katarak meliputi radiasi sinar ultraviolet B, obat-obatan, alkohol, merokok, diabetes, dan asupan vitamin antioksidan yang
kurang dalam jangka waktu lama (Smeltzer, 2002).
5
a.
Pemeriksaan penunjang
Kartu mata snellen /mesin telebinokuler : mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, akueus/vitreus humor, kesalahan refraksi, penyakit sistem saraf, penglihatan ke retina
b.
c.
d.
e.
f.
Oftalmoskopi : mengkaji struktur internal okuler, atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan.
g.
h.
i.
j.
Keratometri.
k.
l.
m.
n.
6 Penatalaksanaan
Pembedahan dilakukan bila tajam penglihatan sudah menurun sedemikian rupa sehingga mengganggu pekerjaan sehari-hari atau bila telah menimbulkan penyulit seperti
glaukoma dan uveitis (Mansjoer, 2000). Dalam bedah katarak, lensa diangkat dari mata (ekstraksi lensa) dengan prosedur intrakapsular atau ekstrakapsular. Ekstraksi
intrakapsular yang jarang lagi dilakukan saat ini adalah mengangkat lensa in toto, yakni di dalam kapsulnya melaui insisi limbus superior 140-1600. Pada ekstraksi
ekstrakapsular juga dilakukan insisi limbus superior, bagian anterior kapsul dipotong dan diangkat, nukleus diekstraksi dan korteks lensa dibuang dari mata dengan irigasi
dan aspirasi atau tanpa aspirasi sehingga menyisakan kapsul posterior.
Fakofragmentasi dan fakoemulsifikasi dengan irigasi atau aspirasi (atau keduanya) adalah teknik ekstrakapsular yang menggunakan getaran-getaran ultrasonik untuk
mengangkat nukleus dan korteks melalui insisi lumbus yang kecil (2-5 mm), sehingga mempermudah penyembuhan luka pasca operasi. Teknik ini kurang bermanfaat
pada katarak senilis yang padat dan keuntungan insisi lumbus yang kecil agak berkurang jika dimasukkan lensa intraokuler. Pada beberapa tahun silam, operasi katarak
ekstrakapsular telah menggantikan prosedur intrakapsular sebagai jenis bedah katarak yang paling sering. Alasan utamanya adalah bahwa apabila kapsul posterior utuh,
ahli bedah dapat memasukkan lensa intra okuler ke dalam kamera posterior. Insiden komplikasi pasca operasi seperti abasio retina dan edema makula lebih kecil bila
kapsul posteriornya utuh.
Jika digunakan teknik insisi kecil, masa penyembuhan pasca operasi biasanya lebih pendek. Pasien dapat bebas rawat jalan pada hari operasi itu juga, tetapi dianjurkan
untuk bergerak dengan hati- hati dan menghindari peregangan atau mengangkat benda berat selama sekitar satu bulan. Matanya dapat dibalut selama beberapa hari,
tetapi kalau matanya terasa nyaman, balutan dapat dibuang pada hari pertama pasca operasi dan matanya dilindungi dengan kacamata. Perlindungan pada malam hari
dengan pelindung logam diperlukan selama beberapa minggu. Kacamata sementara dapat digunakan beberapa hari setelah operasi, tetapi biasanya pasien melihat
dengan cukup baik melalui lensa intraokuler sambil menantikan kacamata permanen.(Vaughan, 2000).
1.
a.
Pengkajian
Identitas Klien: nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, alamat, pekerjaan, status perkawinan.
Katarak biasanya lebih banyak pada orang yang berusia lanjut. Pekerjaan yang sering terpapar sinar ultraviolet akan lebih berisiko mengalami katarak.
b. Riwayat kesehatan: diagnosa medis, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi,
imunisasi, kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan, riwayat penyakit keluarga. Keluhan utama yang dirasakan yaitu penurunan ketajaman penglihatan dan
silau.
c.
Riwayat penyakit saat ini
d.
e.
Genogram
g.
Pengkajian Keperawatan:
Pola nutrisi/metabolik
Tidak ada gangguan terkait pola nutrisi dan metabolic klien.
Pola eliminasi
Tidak ada gangguan pada pola eliminasi klien.
Pola aktivitas & latihan
Perubahan aktivitas biasanya/ hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
Pola tidur & istirahat
Tidak ada gangguan pola tidur dan istirahat yang disebabkan oleh katarak.
Pola kognitif & perceptual
Gangguan penglihatan (kabur/tak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/ merasa di ruang
gelap.
Pola persepsi diri
Klien berisiko mengalami harga diri rendah karena kondisi yang dialaminya.
Pola seksualitas & reproduksi
Tidak ada gangguan pada pola seksualitas dan reproduksi yang diakibatkan oleh katarak.
Pola peran & hubungan
Pola peran dan hubungan klien akan terganggu karena adanya gangguan pada penglihatannya.
Pola manajemen & koping stress
Klien dapat mengalami stress karena klien tidaka dapat melihat secara jelas seperti sebelumnya.
Sistem nilai dan keyakinan
System nilai dan keyakinan seseorang akan berbeda satu sama lain.
h.
Pemeriksaan fisik
2.
Diagnosa
a.
Pre Operasi
1.
Gangguan persepsi sensori visual / penglihatan berhubungan dengan penurunan ketajaman penglihatan, penglihatan ganda.
2.
Cemas berhubungan dengan pembedahan yang akan dijalani dan kemungkinan kegagalan untuk memperoleh penglihatan kembali.
b.
Post Operasi
1.
2.
Resiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (bedah pengangkatan).
3.
Intervensi
a.
No
Diagnosa
Pre operasi
Noc
Nic
NOC:
1.
Identifikasi kebiasaan dan faktor-faktor
yang mengakibatkan risiko jatuh
Indikator:
a.
b.
c.
2.
Kaji riwayat jatuh pada klien dan
keluarga
3.
Identifikasi karakteristik lingkungan yang
dapat meningkatkan terjadinya risiko jatuh
(lantai licin)
4.
5.
Ajarkan cara penggunaan alat bantu
(tongkat atau walker)
6.
Instruksikan pada klien untuk meminta
bantuan ketika melakukan perpindahan, joka
diperlukan
7.
Ajarkan pada keluarga untuk
menyediakan lantai rumah yang tidak licin
8.
Ajarkan pada keluarga untuk
meminimalkan risiko terjadinya jatuh pada
pasien
2
NOC :
NIC :
a.
Anxiety control
b.
Coping
Kriteria Hasil :
a.
Klien mampu mengidentifikasi dan
mengungkapkan gejala cemas
b.
Mengidentifikasi, mengungkapkan dan
menunjukkan tehnik untuk mengontol cemas
c.
d.
Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa
tubuh dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan
b.
No
Diagnosa
Past Operasi
Noc
Nic
NOC :
NIC :
Pain Level,
Pain Management
Pain control,
Comfort level
Kriteria Hasil :
6. Tingkatkan istirahat
Analgesic Administration
1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis, dan
frekuensi
3. Cek riwayat alergi
4. Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari
analgesik ketika pemberian lebih dari satu
5. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
6. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala (efek
samping)
NOC :
NIC :
a.
Immune Status
b.
c.
Risk control
Kriteria Hasil :
a.
d.
e.
Batasi pengunjung
C. Daftar pustaka
Long, C Barbara. 1996. Perawatan Medikal Bedah : 2. Bandung: Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran
Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa : Setiawan Sari. Jakarta: EGC
Sidarta Ilyas. 2001. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: FKUI