Anda di halaman 1dari 8

DI BAWAH LANGIT MERBABU

Kamu jadi pergi, Ti? tanya Rindu sambil ayik memainkan ponselnya. Jadi lah! tegas
Shanti seraya memasukkan beberapa pakaian dan makanan kedalam tas ranselnya. Selama ini ia
selalu bermimpi dapat menyambangi salah satu gunung di jawa, pulau tempatnya tinggal. Inilah
pilihannya, merbabu.
Ini adalah kali pertama Shanti akan mendaki gunung, setelah sejak lama berharap-harap
akhirnya kesampaian juga. Kamu beneran nggak mau ikut? tanya Shanti kepada Rindu. Aku
nggak berani. Tukas Rindu. Kenapa? tanya Shanti lagi. Denger-denger di gunung banyakn
hantu, kamu tahu sendiri aku alergi hantu. Terang Rindu yang sontak membuat Shanti tertawa.
Begitulah Rindu, kekonyolannya selalu bisa membuat Shanti tertawa. Untung kamu Cuma
alergi hantu ya, nggak alergi nasi. Shanti menimpali sambil menutup resleting ranselnya. Shanti
sudah siap.
Tiba-tiba terdengar dering ponsel, Shanti meraih ponselnya. Raut wajahnya sedikit
berubah. Halo? Shanti mengangkat telpon. Iya aku berangkat. Jawab Shanti datar. Terserah
kamu mau bilang apa, aku tetap berangkat. Tut..tut..tut.. Shanti menutup telpon.
Damar? tanya Rindu. Shanti mengangguk mengiyakan. Damar juga ngelarang kamu
berangkat?, Tanya Rindu lagi, Shanti hanya diam sambil memajang muka masam. Damar
khawatir Ti sama kamu. Rindu member pengertian. Aku bukan anak kecil. Tukas Shanti,
Aku bisa jaga diri. Lanjutnya. Rindu menghela napas sambil berjalan menuju kamar Shanti
lalu duduk disebelah Shanti, Siapa yang bilang kamu anak kecil Ti? Damar juga tahu kamu bisa
jaga diri, tapi kamu cewe, dan ini perjalanan yang beresiko. Rindu menjelaskan. Aku tetap
berangkat. Jawab Shanti tegas seraya meraih ransel nya. Rin, aku berangkat ya.
Assalamualaikum. Shanti melangakah keluar kos, Alaikumsalam, hati-hati Ti. Jawab Rindu
mengantar kepergian Shanti.
Diluar kos sudah menunggu 4 rekan Shanti yang akan menemaninya berangkat menuju merbabu.
Ada Bang Yudhi, Bang Andi, Anan dan Ria. Bang Yud, sapaan akrab bang yudhi dan bang Andi
adalah pecinta alam yang sudah menyambangi berbagai gunung di pulau jawa, sedangkan Anan
dan Ria adalah teman kampus Shanti, mereka berdua juga pemula tapi sudah beberapa kali naik

gunung. Hanya Shanti yang baru benar-benar pertama kali naik gunung. Berangkat sekarang?
Tanya bang Yud, Kami semua mengangguk mengiyakan.
Perjalanan ditempuh dengan jeep yang disewa dari teman bang Andi. Berapa lama sampai ke
Selo, Bang? Anan membuka percakapan. Ya paling 3 jam, kalo perjalannya lancar. Jawab
Bang Yud, Kalian bawa obat-obatan kan? Penting itu. Bang Yud mengingatkan, Bawa kok
Bangg. Jawab kami. Bang Yud sama Bang Andi udah pernah kemana aja? Kali ini Ria yang
bertanya. Kemana-mana, jawab Bang Andi sambil tertawa. Yee seriusan, Bang. Ria
menimpali. Banyak lah dek, ini kali ketiga ke merbabu, kami pernah 2 kali ke merapi, 4 kali
kelawu, ke sindoro, sumbing, prau, slamet, terakhir kali kami mucak ke semeru. Jelas Bang
Andi. Widihh, semeru Bang? Kapan ya saya bias kesana? Anan berandai-andai. Kapan-kapan
kalo kalian mau, kami bias antar, nabung aja dulu sama sering-sering olah raga. Bang Yud
memberi saran. Shanti dari tadi kok diam saja? tanya Bang Yud. Eh, iya Bang. Jawab Shanti
sekenanya. Kamu nggak apa-apa , kan?tanya Bang Yud sambil menengok ke Shanti. Shanti
mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati Shanti kembali mengingat kejadian seminggu yang
lalu.
Hari itu, adalah hari terakhir Shanti bertemu dengan Damar, laki-laki yang begitu
menyayanginya dan amat ia sayangi. Suara angin mengiringi langkah kaki dua sejoli itu.
Melangkah perlahan tanpa obrolan. Diam dan diam sampai akhirnya mereka memutuskan untuk
berhenti dn duduk di sebuah kursi taman dibalik rimbunnya dedaunan city walk. Aku mau ke
merbabu. Shanti membuka suara. Shan..Damar mulai berbicara namun ditepis oleh Shanti,
Aku mau kesana. Kamu tahu aku selalu ingin pergi kesana. Kemuadian tak terdengar suara
lagi, sunyi. Semeter jarak yang memisahkan keduanya terasa melebar membentuk jarak yang
sebenarnya.
Kamu itu cewe Ti, ini berbahaya. Damar memulai. Aku tahu. tapi aku yakin aku bias. Tukas
Shanti. Kali ini aja kamu dengerin aku. Jangan berangkat. Damar memohon. Kenapa? Kamu
nggak punya alasan yang logis buat melarangku, kan? Shanti bertanya sambil menoleh kepada
Damar. Ti, ini musim badai. Bahkan aku aja mikir dua kali buat muncak. Damar mencoba
menasihati. Aku tetap pergi. Jawab Shanti tegas. Lalu suasana sunyi sesaat.

Apa sih yang kamu cari? Tanya Damar ingin tahu. Aku mau tahu kenapa Bang Aris sampai
rela mati demi naik gunung. Jawab Shanti dengan suara sedikit tertahan, hingga kemudian
matanya terasa hangat dan air mata mengaliri pipinya. Sejak remaja Bang Aris memang sudah
suka berpetualang sampai akhirnya dia kenal apa itu hiking. Hiking merubah hidup Bang Aris,
Bang Aris jadi sering pergi tanpa ijin, nilai-nilai mata kuliah Bang Aris merosot, bahkan sampai
di beri surat teguran. Tapi dibalik itu semua, Aku melihat raut bahagia Bang Aris. Setiap kali
pulanh Hiking, secara sembunyi-sembunyi ia bercerita padaku tentang apa yang ia lihat. Ia
tunjukkan foto-foto keindahan alam dari puncak-puncak yang pernah ia sambangi.
Sejak itu, Bang Aris mulai menuliskan pengalam-pengalamannya di blog. Beberapa kali aku
pernah membaca tulisan Bang Aris membuatku menyadari sesuatu, Bang Aris tak pernah bercitacita melanjutkan bisnis papa. Bang Aris ingin menjadi seorang penulis dan fotografer . Namun
semua harus kandas karena insiden 3 tahun yang lalu. Saat itu papa marah besar saat mengetahui
bahwa Bang Aris di DO dari kampus. Papa sampai menampar wajah Bang Aris. Aku dan mama
hanya bias menangis. Pa, Aris masih bias sukses dengan jadi penulis dan fotografer. Kata Bang
Aris. Tahu apa kamu soal sukses? Kamu papa sekolahin biar jadi orang. Sekarang apa balasan
kamu ke papa? Kuliah nggak beres, hobimu ngabisin uang Cuma buat hobimu yang nggak
bermutu. Papa semakin naik darah. Pa, Aris memang salah karena udah bikin papa kecewa,
maafin Aris, Pa. Tapi Pa, Aris kerja. Aris nggak pernah pakai sepeserpun uang dari papa. Bang
Aris membela diri. Jadi kamu sudah bangga bisa cari duit sendiri? Kamu nggak butuh Papa
sama mama mu? Kalau begitu, silahkan pergi. Papa semakin marah dan akhirnya mengusir
Bang Aris. Aku dan mama semakin keras terisak. Mama memohon kepada papa untuk
membiarkan Bang Aris tetap tinggal, tapi Papa terlanjur naik pitam.
Dengan menggendong sebuah ransel, Bang Aris memohon pamit, Pa, Ma, Aris pergi. Aris minta
maaf karena mengecewakan papa dan mama. Jaga kesehatan Pa, Ma. Assalamualaikum. Lalu
Bang Aris melangkah keluar. Aku berlari menghampirinya. Bang Aris.. Pnggilku saraya
menghambur keluar pintu. Bang Aris menoleh ke belakang, Aku pun menghampirinya. Bang,
Panggilku sambil terus meneteskan air mata. Bang Aris hanya tersenyum kemudian memeluk
dan mencium keningku. Jaga kesehatan ya dek, titip Papa sama Mama. Kata Bang Aris sambil
berlalu meninggalkanku. Itu adalah pelukan pertama dan terakhir Bang Aris. Sampai akhirnya
dua minggu kemudian terdengar kabar 7 orang pendaki Semeru hilang dan salah satunya adalah

Bang Aris. Mama begitu kehilangan sampai jatuh sakit. Meski akhirnya kami merelakan
kepergian Bang Aris, tapi aku masih ingin tahu apa yang Bang Aris perjuangkan hingga ia rela
pergi. Cerita Shanti dengan panjang lebar sambil mengusap air matanya.
Lama keduanya terdiam. Ti, seharusnya kamu tahu apa yang dilakukan Bang Aris sangat
berbahaya, kenapa kamu malah ingin mencoba? Damar memulai pembicaraan lagi. Karena
Aku ingin tahu apa yang Bang Arsi perjuangkan. Jawab Shanti datar namun tegas. Aku akan
tetap pergi dengan atau tanpa persetujuan kamu. Tutup Shanti seraya melangkah pergi
meninggalkan Damar yang termenung di bangku taman.
Ti.. Ti,.. Panggilan Ria mengejutkan Shanti. Kok ngelamun? Ngelamunin apa hayoo? Tanya
Ria menggoda. Shanti hanya tersenyum sambil menggeleng. Setelah tiga jam menyusuri jalanan
boyolali-salatiga, akhirnya mereka sampai ke pos pendakian Selo. Pos pendakian itu ramai
dipenuhi para pecinta alam yang tengah berkemas. Kami menuju salah satu rumah penduduk
yang menyiapkan tempat untuk beristirahat. Setelah makan dan mengemasi perlengkapan, kami
pun bergegas menuju pos pemberangkatan. Yuk berdoa dulu. Bany Yud mengingatkan. Kami
pun berdoa memohon keselamatan kepada Tuhan yang Maha Esa. Selanjutnya kami pun
berangkat.
Shanti terlihat tenang, meskipun ini kali pertama dirinya ikut suatu pendakian, tapi Dia sangat
mudah beradaptasi. Pendakian selalu ramai ketika weekend, seperti hari ini. Sambil jalan,
rombongan Shanti saling mengobrol dan bersenda gurau untuk melupakan lelah yang mereka
rasakan. Saat jalan menanjak, setiap 15 meter berjalan rombongan akan berhenti untuk
beristirahat. Shanti dan Ria yang paling sering meminta untuk break. Setelah 7 jam pendakian
akhirnya mereka sampai di sabana satu. Sebuah tempat yang cukup luas dipenuhi oleh tendatenda para pendaki yang warna-warni. Rombongan memutuskan untuk berhenti dan beristirahat.
Sambil bertegur sapa dengan para pendaki yang berkemah maupun yang sekadar lewat.
Udah sore, gimana mau lanjut apa camp di sini? Tanya Bang Andi. Emang kalo lanjut masih
berapa lama Bang? Ria balik bertanya. Sebentar, paling sejam. Bang Yud dengan santai
menimpali. Kalau mau lanjut, nanti kita camp di sabana dua, udah deket sama puncak. Bang
Yud melanjutkan. Aku mau lanjut, tapi istirahat disini agak lama ya Bang. Shanti menjawab.

Iya, setuju sama Shanti. Anan ikut berkomentar. Gimana yang lain? Bang Andi meminta
kepastian. Kami pun saling perbandangan dan mengangguk tanda setuju.
Tak terasa lima belas menit telah berlalu berlalu. Senda gurau yang sejak tadi saling terlontar
terhenti karena alrm dari Bang Andi, Lanjut sekarang? tanya Bang Andi. Kami kembali saling
berpandangan, kemudian mengangguk. Setelah membersihkan sampah-sampah sisa perbekalan,
kami pun bergegas melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 4 sore, rombongan
sampai di sabana dua. Sesampainya disana, mereka segera mencari tempat yang sekiranya
nyaman untuk berkemah. Sabana dua lebih remain demanding sabana satu, dari sana terlihat
puncak merbabu. Terlihat wajah sumringah Shanti, Anan dan Ria. Gunung merbabu yang terlihat
begitu tinggi, hampir mereka taklukan. Shanti memandangi puncak merbabu lekat-lekat,
kemudian pandangannya beralih menyusuri bukit-bukit sabana dua yang begitu menawan. Ia
dongakkan wajahnya hingga menatap langit, senyum kecil menghiasi wajahnya.
Setelah dua puluh menit berkutat dengan tenda-tenda, akhirnya berdirilah dua buah tenda. Tenda
pertama berwarna kuning biru untuk tenda laki-laki, Bang Yud, Bang Andi dan Anan. Sedangkan
tenda berwarna merah yang berukuran lebih kecil untuk Shanti dan Ria.
Mentari yang semenjak tadi tertutup awan, kini benar-benar lenyap digantikan langit mendung
berwarna kusam. Tak lama setelah adzan magrib berkumandang, hujan turun dengan lebatnya
membasahi tenda-tenda para pendaki. Shanti dan Ria pun masuk kedalam tenda. Meskipun
berada didalam tenda, pakaian mereka tetap basah karena angin kencang kerap kali berhembus
mengantarkan hujan masuk melalui celah-celah tenda. Tak terasa tiga puluh menit berlalu, hujan
pun mulai reda. Meski begitu diluar kilat masih menyambar-nyambar. Shanti dan Rombongan
pun keluar tenda .
Tenda kalian gimana? Tanya Bang Yud sambil menghampiri tenda Shanti dan Ria. Basah si
Bang, tapi nggak parah kok. jawab Ria yang sudah berada di luar tenda. Barang-barang oke?
tanya Bang Yud lagi sambil menelisik tiap sudut tenda. Oke kok Bang. jawab Ria lagi. Setelah
menunaikan shalat isya rombongan pun segera mempersiapkan alat dan bahan untuk memasak
makan malam mereka.
Sambil meminum kopi hangat dan bersenda gurau, mereka pun bergegas menanak nasi dan mie.
Sumpe Lo, ini mie paling enak yang pernah aku rasakan. Kata Ria seraya mengunyah mie

yang masih berkepul uap. Kami pun tertawa mendengarnya. Bilang aja kalo laper. Anan
menimpali. Kamipun kembali tertawa. Malam ini dipenuhi gurauan-gurauan pereda lelah yang
menggema dari tiap-tiap tenda.
Malam semakin larut, kami pun memutuskan untuk segera tidur. Suasana menjadi semakin sepi.
Shanti menengok kea rah kanan, Ia dapati Ria sudah lelap tertidur. Ia pandangi langit-langit
tenda yang rendah. Kerapkali Ia rasakan selimutnya disusupi angin dingin yang masuk melalui
celah-celah tenda. Malam itu dingin sekali. Shanti beberapa kali berguling kekanan dan kekiri
untuk mencari posisi tidur yang nyaman, namun Ia tetap kedinginan. Tubuhnya mulai mengigil.
Ria yang tersadar kalau ada yang tidak beres dengan rekan tidurnya bertanya, Shan, kamu
kenapa?. Shanti tetap menggigil dan mulai meracau. Ria pun membuka tasnya dan mencari
apapun yang bisa menutupi tubuh Shanti yang menggigil. Ia gosok-gosok telapak tangan Shanti
yang dingin. Ia oleskan minyak ke telapak tangan, telapak kaki dan hampir ke seluruh tubuh
Shanti. Tak lama setelah itu Shanti mulai tenang, napasnya mulai beraturan, Ria merasa lega
kemudian kembali merebahkan diri.
Shanti yang semenjak tadi menggigil kini mulai terlelap. Tiba-tiba terdengar suara dari luar
tenda. Ti, Bangun, Ti.. Ayo bangun. Shanti yang merasa dipanggil dengan perlahan-lahan
membuka tenda, Ia tak melihat siapa-siapa. Ia pun melangkang keluar tenda. Ia dapati seseorang
berdiri dihadapannya. Bang Aris?! Shanti terkejut bukan kepalang. Laki-laki yang berdiri
dihadapannya hanya tersenyum. Nampak Ia mengenakan celana pendek selutut, jaket gunung
berwarna biru. Ia juga mengenakan sepatu gunung dan ransel. Shanti setengah percaya dengan
apa yang Ia lihat sekarang. Ia tepuk pipinya beberapa kali, ia kucek matanya dan laki-laki itu
masih disana menyunggingkan senyum. Senyum manis yang begitu Shanti kenal, senyum Bang
Aris.
Perlahan Bang Aris mendekati Shanti. Shanti hanya diam membeku. Ti, ayo ikut Abang. Ajak
Bang Aris sambil menarik lengan Shanti. Shanti tak kuasa menolak. Tubuhnya dengan suka rela
mengikuti seseorang yang begitu mirip dengan Abangnya. Mereka berdua berjalan melewati
tenda tenda yang sudah gelap dan sepi, kemudian berlanjut menyusuri hutan yang gelap. Saat
tiba di hutan, Bang Aris melepaskan lengan Shanti kemudian mengambil senter dari ranselnya.
Kamu ikutin Abang, jangan jauh-jauh jalannya. Bang Aris menasihati.

Mereka berdua memasuki hutan yang gelap. Satu-satunya penerangan yang ada hanyalah senter
yang dipegan Bang Aris. Shanti mulai merasa tak nyaman, Ia pun memberanikan diri untuk
bertanya. Kita mau kemana Bang? Shanti membuka suara. Ke suatu tempat. Jawab Bang
Aris singkat. Kemana? Tanya Shanti merasa tak puas dengan jawaban Abangnya. Sebentar
lagi sampai kok. Bang Aris meyakinkan.
Setelah hampir satu jam berjalan, mereka sampai ditepi sebuah tebing yang amat curam. Mereka
berdiri menghadap tebing lain yang ada diseberangnya. Shanti merasakan wajahnya diterpa
sinar-sinar lembut dari balik pepohonan ditebing bagian seberang. Hari sudah pagi. Ia tatap
wajah Abangnya. Nampak jelas sekali wajah tampan Bang Aris tengah menatap kedepan dengan
tatapan tenang dan redup. Bang Aris menengok kearah Shanti, terlihat wajah yang begitu segar
dan sumringah. Shanti tak pernah melihat wajah Abangnya begitu bahagia seperti saat ini.
Kamu lihat Ti, indah bukan? Kata Bang Aris sambil kembali menghadap tebing seberang.
Shanti memberanikan diri melangkah mendekati Abangnya. Lembut angin menerpa wajah
Shanti. Mereka berdua tersenyum. Ti.. Panggil Bang Aris tanpa melepaskan pandangannya
pada tebing. Shanti menengok kearah kakaknya. Abang minta maaf. Abang terlalu mencintai
diri abang sendiri sehingga abang lupa kalau ada orang-orang yang sangat mencintai abang.
Bang Aris berkedip beberapa kali lalu air matanya mulai menetes. Kemudian Bang Aris
menghadap kearah Shanti yang pipinya juga mulai basah. Ingat pesan Abang ya Ti, jangan
menyia-nyiakan kasih saying orang-orang disekitarmu. Jaga mereka. Kata Bang Aris sampil
menatap mata Shanti dalam-dalam. Shanti hanya bisa mengannguk sambil tersedu.
Sesaat setelah itu, tiba-tiba mimic muka Bang Aris berubah.Ekspresi serius Bang Aris hilang
digantikan dengan senyum sendu. Bang Aris melangkah perlahan menuju tepi jurang yang dalam
meninggalkan Shanti dalam ketakutan. Bang,.. Panggil Shanti dengan suara bergetar. Kembali
Bang Aris menengok kearah Shanti dan tersenyum kemudian sambil menarik napas dalam Bang
Aris melangkah dan Bang Ariiiiiisss ! Shanti berteriak sambil menuju tepi jurang. Tapi Ia
tak melihat apapun. Lalu matanya menangkap sosok Bang Aris tersenyum dari atas awan.
Tiba-tiba tubuhnya menjadi hangat dan Shanti pun tersadar, Ia tidak sedang berada ditep jurang.
Ia sedang berada di tenda bersama Ria yang semenjak tadi menatapnya khawatir. Kamu nggak
papa Ti? Tanya Ria sambil menyentuh dahi Shanti. Shanti menggeleng pelan sambil menggeliat

bangun. Shanti masih berusaha mengumpulkan kesadaran. Mimpi yang baru saja Ia alami terlihat
begitu nyata.
Perjalanan Shanti menuju puncak Ia isi dengan berpikir, apa makna mimpi semalam. Kedatangan
Bang Aris begitu nyata, pesannya pun masih Shanti ingat baik-baik. Sesampainya di puncak
Bang Yud, Bang Andi, Anan dan Ria langsung berfoto-foto. Sedangkan Shanti hanya dua kali
mengambil gambar lalu terduduk diam. Ia pandangi langit merbabu yang bersih dan biru, Ia
teringat pada Damar, teman yang selalu ada untuknya. Teman yang begitu menyayanginya.
Damar. Bisiknya pilu. Ia teringat pertengkarannya sebelum Ia berangkat ke merbabu. Ia
sunnguh menyesalinya.
Capek-capek muncak ke merbabu cuma buat bengong, pulang aja kalo gitu. Shanti terkejut
dan menengok ke belakang. Matanya terbelalak kaget. Damar?! Shanti seakan tak percaya.
Damar hanya tersenyum melihat reaksi Shanti. Ia pun menghampiri Shanti dan ikut duduk di
sebelahnya. Jadi, gimana? Tanya damar datar sambil menengok kearah Shanti. Shanti
membalas pandangan Damar seraya tersenyum dan menggeleng. Kok kamu bisa kesini? tanya
Shanti ingin tahu. Kemudian Damar bercerita panjang dan lebar. Shanti mendengarkan. Terus
mendengarkan tanpa memotong. Ia sandarkan kepalanya ke bahu Damar, matanya memanas dan
air matanya pun meleleh. Maaf Kata Shanti lalu tersedu. Damar tersenyum iba kemudian Ia
diam dan gentian mendengarkan sedu sedan sahabatnya. Ah.. akhirnya mereka hanya diam
membisu sambil memandangi langit merbabu.

Anda mungkin juga menyukai