Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TRADE AND ENVIRONMENT

Disusun untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah Hukum Lingkungan Internasional

Disusun oleh:
Kristi Ardiana
Ananda

(1306381332)

KurniawanSukarmaji (1306380632)

Reguler
FakultasHukum
Universitas Indonesia
Depok, 2016

I. SISTEM PERDAGANGAN MULTILATERAL

1.1 Lahirnya Sistem Perdagangan Multilateral dan Dampaknya


Terhadap Perdagangan Internasional
Berdirinya World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995 melalui
Marrakesh Agreement di Moroko1 sebagai organisasi internasional sangat
berpengaruh terhadap sistem perdagangan di dunia. Dengan berdirinya WTO, WTO
memiliki peran sebagai forum bagi negara-negara di dunia untuk membahas dan
bernegosiasi mengenai persoalan perdagangan secara multilateral.2WTO lahir setelah
adanya melalui fase negosiasi yang panjang (dari tahun 1947-1994) setelah adanya
General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT) pada tahun 1947.
GATT sendiri lahir sebagai bentuk komitmen dari negara-negara di dunia pada
tahun itu adalah pelajaran dari peristiwa the Great Depression dan Perang Dunia II
serta maraknya kebijakan proteksi ekonomi yang diadopsi oleh negara-negara yang
menyebabkan sulitnya proses perdagangan internasional.3 Proses terbentuknya GATT
juga melalui perjalanan yang sangatpanjang. Pada awalnya, 43 negara berkumpul di
Bretton Woods, New Hampshire, Amerika Serikat, pada Juli 1944 untuk membentuk
suatuorganisasi ekonomi tingkat internasional, supayadapatmemperbaiki sistem
perekonomian di dunia pasca perang dunia. Tujuan dari pertemuan Bretton Woods
adalah untuk membuat regulasi mengenai masalah finansial dan moneter di level
internasional.4
Dampak signifikan dari berdirinya WTO sebagai organisasi internasional di
ranah perdagangan dapat kita lihat dari mandat WTO sebagai organisasi Internasional,
fungsi, serta tata cara kerja WTO dalam mengatur perdagangan dunia.

1WTO, Understanding the WTO, (Geneva Switzerland Information and Media Relations
Division,2008), hal. 9.
2Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, International Law and the Environment, (New
York: Oxford University Press Inc., 2009), hal. 754.
3Brookings Media Press, The WTO and GATT: A Principled History, (New York: Brookings Media
Press, 2009), hal. 2.
4http://www.brettonwoodsproject.org/2005/08/art-320747/, diakses pada 14 Mei 2016, pada pukul
21:45.
2

Tujuandaripendirian

WTO

adalahuntukmendorongarusperdaganganantarnegaramelaluipengurangantarifdanhamb
atandalamperdagangansertamembatasiperlakuandiskriminasidalamhubunganperdagan
ganinternasional.5Selainitu,

secaraumumtujuanpendirian

dapatdikategorikanmenjadiempattujuanlebihlanjut yang adalah:


(1) Meningkatkantarafhidupumatmanusia;
(2) Meningkatkankesempatankerja;
(3) Meningkatkanpemanfaatankekayaanalamdunia;
(4) Meningkatkanproduksidantukar-menukarbarang.6
Secarasederhana,
hasilperundinganPutaran
Uruguay
dikenaldenganUruguay

Round)

yang

disepakati

WTO

(atau
di

yang

Marrakesh

ituadalahkesepakatanantarnegarauntukmemperbaikisituasihubunganperdaganganinter
nasionalmelaluiupaya:7
1. Menyempurnakanberbagaiperaturanperdagangan;
2. MemperluascakupandariketentuandandisiplinGeneral Agreement on Tariffs
and Trade (GATT); dan
3. Memperbaikikelembagaan/institusiperdagangan multilateral.
Adapuntujuantersebutdirefleksikankedalamkelimafungsidari
WTO
terdapatdalamPasal

berfungsisebagailembaga

Marrakesh
yang

Agreement

yakni:8pertama,

memberikanfasilitasimplementasi,

danpelaksanaandariperjanjian

WTO

administrasi,
WTO

sertamemberikankerangkakerjauntukimplementasi,
danpelaksanaandariperjanjian

yang

multilateral

administrasi,
maupunplurilateral9,

sertamengawasipelaksanaankomitmenaksespasar di bidangtarifmaupun non-tarif.


5SjamsulArifin, Dian Ediana Rae, dan Charles P. R. Joseph, ed.,
KerjaSamaPerdaganganInternasional, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007),
hal. 73.
6Huala Adolf, HukumPerdaganganInternasional, (Jakarta: PT
RajagrafindoPersada, 2005), hlm. 98.
7Syahmin A.K., S.H., M.H., HukumDagangInternasional, (Jakarta: PT
RajaGrafindoPersada, 2006), hlm. 226.
8Ibid.,hlm. 246.
9Adapun yang dimaksuddenganperjanjianplurilateraladalahsebagaimana yang
diaturdalamAnnex 4 Plurilateral Trade Agreements yang terdiridari: (1)
Agreement on Trade in Civil Aircraft; (2) Agreement on Government
Procurement; (3) International Dairy Agreement; dan (4) International Bovine
Meat Agreement.
3

Kedua,

WTO

berfungsisebagailembaga

menyediakan

forum

di

antaraanggotanyaterkaitdenganisu

yang

WTO

termasukmenyediakan

forum

untukmelakukanperundingan
diaturdalamperjanjian

yang

dankerangkakerjauntukimplementasihasil-hasilperundingan
Ketiga,

WTO

yang

bertindakselaku

telahdicapai.
administrator

dariaturanpenyelesaiansengketaatauDispute Settlement Understanding. Keempat,


WTO berfungsiselaku administrator mekanismepengujiankebijakanperdagangan yang
secararegulermelakukanpeninjauanterhadapketentuanperdagangandarimasingmasingnegaraanggota.

Kelima,

WTO

organisasiinternasionalsepertiInternational

bekerjasamadenganorganisasi-

Monetary

Fund

(IMF)

danWorld

Bank.Atasdasarfungsi-fungsitersebutlah

WTO

bekerjadalamrangkapembuatankebijakanekonomi global.
Selanjutnya,
mandatdariorganisasiinitelahmengalamibeberapaperubahanjikadibandingkandenganpe
ndahulunya

yang

adalah

GATT 1947sebagaikonsekuensidariadanyaperubahan-

perubahanpada GATT 1994. Adapunmandatawal yang digariskanoleh GATT 1947


adalahpertama,10WTO

yang

menyediakanberbagaimacamperaturanterkaitkebijakannegaradalamranahperdagangan
khususnyaranahexchange of

goods

atautransaksibarangdankedua, WTO yang

menyediakan forum untukpenyelesaiansengketa. Dalamperkembanganselanjutnya


pun,

yaituantaratahun

1947

hingga

1994,

mandattersebutdiperluaslagisehinggamencakupdenganapa
kinidisebutsebagaiTrade

Policy

Review

yang
Mechanism

(TPRM)

ataumekanismetinjauankebijakanperdagangannegaraanggotanyamelaluiprosedurnotifi
kasi.11
Selanjutnya,

padatahapPutaran

memanglahmerupakanperubahan
yang

pertama

kali

yang

Uruguay,Pasal

dariWTO

Agreement

sangatterasasebabpasaltersebutadalahpasal

mencanangkanfungsidari

WTO

itusendiri.

Namunperludiketahuibahwakehadiranpasaltersebutbukanlahperubahan yang paling


signifikan.

Perubahanterpentingdarimandat

WTO

adalahbahwamultilateral

10 Richard Blackhurst, The WTO and the Global Economy, World Economy
(1997): hlm. 6, diaksespada18 Mei 2016, doi: 10.1111/1467-9701.00087.
11Syahmin A.K., S.H., M.H., Op. Cit.,hlm. 235.
4

rulesatauperaturan yang kinimenjadiranah WTO telahmencakupbukanhanyabarang


(exchange of goods) namun juga jasa (services).12
Adapunperluasanmandatdari
inibukanlahhanyadalamhalperdaganganatauekonomi

WTO
global

jugadalamhalperlindunganlingkunganhidup.Dalambagianpreamble

namun
dariMarrakesh

Agreement dikatakan:
Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour
should be conducted with a view to raising standards of living.and expanding the
production of and trade in goods and services, while allowing for the optimal use of
the world's resources in accordance with the objective of sustainable development,
seeking both to protect and preserve the environment[bold dariPenulis].13
1.2 Sistem Perdagangan Multilateral, Perdagangan Bebas,

dan

Permasalahan Lingkungan
Paska berdirinya WTO, pola perdagangan multilateral di taraf internasional
merupakan perdagangan yang mengedepankan prinsip kebebasan. Bahkan, dalam
beberapa tahun ini, fokus dari liberalisasi perdagangan bukan lagi mengurangi tarif,
namun menghapuskan restriksi dalam perdagangan secara keseluruhan dan
menciptakan kebebasan pasar dengan sebebas mungkin.14 Contoh nyata dalam pola
perdagangan internasional ini adalah usaha yang dilakukan oleh negara-negara
eksportir agrkultur yang mendorong untuk dihapuskannya tarif dalam ekspor
agrikultur.15Dengan berkurangnya restriksi perdagangan antara negara, serta
dilindunginya kebebasan negara untuk berdagang secara Internasional, hal ini tentu
mempengaruhi perlindungan lingkungan. Para aktivis lingkungan hidup juga
menunjukkan rasa prihatin mereka terhadap ekploitasi lingkungan hidup yang
dilakukan negara-negara maju demi mencapai keuntungan ekonomi.16
12Ibid.
13Pasal 1 BagianPembukaanthe Agreement Establishing the World Trade
Organization.
14John H. Jackson, World Trade Roles and Environmental Policies: Congruence or
Conflict?, 49 Wash & Lee L. Rev 1227 (1992), , 49 Wash. & Lee L. Rev. 1227
(1992), http://scholarlycommons.law.wlu.edu/wlulr/vol49/iss4/4, hal. 1232
15 Nigel Grimwade, International Trade: New Patterns of Trade, Production and
Investment, (London: Routledge Publishing, 2003), hal. 335
16Loc. Cit., hal. 338
5

Permasalahan lingkungan yang marak terjadi dan berhubungan dengan


perdanganan internasional adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Penanganan sampah (waste management);


Standar kesehatan publik;
Standar keamanan makanan;
Pembatasan emisi;
Eco-labelling (sistem pemberian label terhadap produk);
Metode yang digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam

seperti metode penanaman, pemancingan ikan, dll;


g. Proses pembungkusan produk;
h. Proses recycling;
i. Dan lain-lain.17
Selain itu, WTO juga membahas mengenai masalah dumping dan
menyediakan sistem penyelesaian sengketa mengenai dumping.Penyelesaian sengketa
menjadi tanggung jawab dispute settlement body yang merupakan penjelmaan dari
Dewan Umum (General Council) dari WTO.18Dikarenakan kebijakan-kebijakan yang
menjunjung tinggi kebebasan berdagang memiliki potensi besar untuk dapat
menimbulkan konflik dengan persoalan lingkungan, bahkan banyak ahli lingkungan
yang beranggapan bahwa free trade (perdagangan bebas) secara umum memiliki
dampak negatif terhadap lingkungan hidup19, maka penting bagi organisasi
Internasional yang berhubungan dengan perdagangan untuk menyeimbangkan antara
kepentingan ekonomi dengan kepentingan perlindungan lingkungan hidup.
Contoh kasus yang terkenal mengenai perdagangan bebas dan perlindungan
lingkungan hidup adalah kasusTuna-Dolphin antara Amerika Serikat dengan Mexico
pada tahun 1991. Kasus ini diajukan oleh Mexico kepada WTO disputes settlement
body dan ditangani dengan menggunakan metode dikarenakan Amerika Serikat
melakukan embargo terhadap import ikan tuna dari Mexico yang dirasa oleh Mexico
merupakan pelanggaran dari prinsip GATT yang mempromosikan liberalisasi pasar
17Daniel C.Etsy, Brigding the Trade-Environment Divide, Journal of Economic
Perspectives Vol 15, (2001), hal. 114.
18Christhoporus Barutu, Dumping dalam Perdagangan Internasional dan
Mekanisme Penyelesaian Sengketa Dumping Melalui World Trade Organization,
Indonesian Journal of International Law Vol 4 Nomor 2 2007 (Depok: LPHI, 2007),
hal. 385
19Lihat Daly, 15, ICLJ (1992) 36 dan OECD, The Environmental Effect of Trade
(Paris, 1994)
6

dan menghapuskan diskriminasi terhadap negara-negara dalam hal impor dan


ekspor.20 Prinsip tersebut dicerminkan dalam Pasal 1 dalam GATT dalam pembahasan
mengenai Most Favored Nation (MFN).21
Amerika Serikat mengajukan embargo karena Mexico menggunakan teknik
memancing ikan Tuna di areal Laut Pasifik yang menyebabkan kematian mamalia
lumba-lumba. Di bagian timur area tropis pada Laut Pasifik, ikan tuna biasanya
berenang dibawah mamalia lumba-lumba, sehingga jika terjadi pemancingan, maka
jika tidak berhat-hati akan menyebabkan dampak terhadap ikan lumba-lumba. 22 Yang
terjadi dalam kasus Tuna-Dolphin adalah ikut matinya mamalia lumba-lumba di
perairan tersebut akibat jaring dengan metode penjaringan purse seine netsyang
menjaring ikan Tuna.23 Hal tersebut melanggar US United States Marine Mammal
Protection Act.24Pada bagian 1371 (a) (2) (B) dari peraturan tersebut, Amerika Serikat
dilarang untuk mengimpor ikan yellowfin tuna dari negara yang memperbolehkan
penggunaan penjaringan ikan menggunakan metode purse-seine nets karena dapat
membahayakan makhluk hidup lainnya.25 Meskipun begitu, namun ternyata keputusan
dari panelist berpihak kepada Meksiko atas nama perdagangan bebas dan menyatakan
bahwa tindakan Amerika Serikat yang melakukan embargo atas hasil ikan tuna dari
Mexico melanggar Article XX (b) dalam GATT.26 Pada kasus tersebut kita lihat bahwa
memang sering kali prinsip perdagangan bebas berbenturan dengan usaha
perlindungan lingkungan hidup dan hayati.
20John H. Jackson dan William J.Davey, Legal Problems of International Economic
Relations (1986), hal. 297
21 General Agreement on Tariffs and Trade, 30 Oktober 1947, Pasal I.
22https://www.wto.org/english/tratop_e/envir_e/edis04_e.htm, diakses pada 18
Mei 2016.
23Carol J.Beyers, The U.S./Mexico Tuna Embargo Dispute: A Case Study of the
GATT and Environmental Progress, Marylan Journal of International Law Vol 16
Issue 2, 1992, hal. 233.
24Ibid.
25Loc.Cit., hal. 234
26Panel Report Mexico/US Dispute, supra note 32, hal. 24.
7

II. PEMBATASAN PERDAGANGAN UNTUK MELINDUNGI LINGKUNGAN


(TRADE RESTRICTIONS FOR ENVIRONMENTAL PROTECTION)
Seiring dengan berjalannya waktu serta meningkatnya kesadaran manusia terhadap
pentingnya menjaga lingkungan, hal ini tercermin dalam meningkatnya perjanjian
Internasional mengenai lingkungan yang disebut dengan Multilateral Environmental
Agreements (MEAs). Contoh dari MEAs adalah antara lain The Cartagena Protocol on
Biosafety 2003, Convention on the Control of Transboundary Movements of Hazardous
Wastes and their Disposal, Basel Convention 1989, Kyoto Protocol, dan lain-lain. WTO
sebagai organisasi internasional yang mengurus masalah perdagangan dunia juga memegang
peran yang besar dalam melindungi lingkungan. Hal ini tercermin dai pembukaan WTO yang
berbunyi sebagai berikut:
Recognizing that their relations in the field of trade and economic endeavour
should be conducted with a view to raising standard of living, ensuring full
employment and a large and steadily growing volume of real income and
effective demand, and expanding the production of and trade in good and
services, while allowing for the optimal use of the worlds resources in
accorance with the objective of sustainable development andto enhance the
means for doing so in a manner consisistent with their respective needs and
concerns at different levels of economic development.27
Melalui pembukaan tersebut dapat disimpulkan bahwa WTO juga berpegang teguh terhadap
prinsip sustainable development (pembangunan berkelanjutan)dalam usaha menjaga
lingkungan hidup. Menurut identifikasi dari sekertariat WTO, terdapat lebih dari 14 MEAs
yang berkaitan dengan perdagangan.28 Secara spesifikpun, terdapat MEAs yang membahas
mengenai pembatasan perdagangan, seperti contohnya Montreal Protocol on Substances that
Deplete the Ozone Layer dan the Convention on International Trade in Engdangered Species
(CITES).29MEAs dan WTO bekerja saling melengkapi dalam mencapai tujuan-tujuan
perlindungan lingungan hidup bagi negara-negara di dunia.
27Fiona Macmillan, WTO and the Environment, (London: Sweet and Maxwell,
2001), hal.1
28Matrix on Trade Measures Pursuant to Multilateral Trade Agreements,
WT/CTE/W/160/Rev 3 TN/TE/S/5/Rev 1, 16 Februari 2005.
29Patricia Birnie, Alan Boyle, dan Catherine Redgwell, Op.Cit., hal. 766.
8

Sehingga, anggapan bahwa WTO hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi saja tanpa
menilik faktor-faktor lain non ekonomi seperti lingkungan merupakan suatu hal yang keliru.
Dalam WTO sendiri terdapat kebijakan dan aturan yang signifikan yang bertujuan untuk
mengatur tentang permasalahan lingkungan. Terdapat lima set peraturan mengenai domestic
health, safety, and environmental protection dalam WTO yang mencakup dalam General
Agreement on Trade and Tariffs (GATT), General Agreement on Trade in Service (GATS),
the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIP Agreement),
Application of Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS Agreement), dan the Agreement on
Technical Barriers to Trade (TBT Agreement). 30 Contoh eksepsi terhadap prinsip
perdagangan bebas adalah pada Article XX (b) dan (g) dalam GATT yang menyatakan bahwa
penting untuk menjaga kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, serta melakukan konservasi
terhadap alam.31
2.1 Trade Restictions to Protect Resources Beyond National Jurisdictions
(Pembatasan Perdagangan untuk Melindungi Sumber Daya di Luar Yurisdiksi
Nasional)
Pembahasan mengenai kemampuan negara untuk secara unilateral melakukan aksi
untuk mendorong negara lain melakukan perlindungan terhadap lingkungan atau
keanekaragaman hayati di luar yurisdiksi nasionalnya timbul setelah kasus TunaDolphin antara Amerika Serikat dengan Mexico.32
Kemampuan bagi negara dengan tingkat kesadaran terhadap perlindungan lingkungan
yang lebih tinggi untuk membantu menegakkan peraturan diluar yurisdiksi
nasionalnya sangat berpengaruh terhadap perlindungan lingkungan global. Hal ini
dapat meningkatkan standar lingkungan hidup secara global33 Contoh kasus lain selain
kasus Tuna-Dolphin adalah kasus the Sea Turtle case34dimana Amerika Serikat
mengenalkan aturan mengenai penangkapan udang yang tidak boleh mengganggu
30Fiona Macmillan, Loc.Cit., hal. 8
31Ibid.
32Tuna-Dolphin I, supra note 67.
33Steinberg, Trade-Environment Negotiations in the EU, NAFTA, and WTO:
Regional Trajectories of Rule Development, (1997) 91, American Journal of International
Law, hal. 235.

habitat kura-kura laut yang dalam proses migrasi dan sering mati karena terjaring
jaring yang digunakan untuk menangkap udang.
2.2 Trade Restrictions to Protect The Domestic Environment
Terdapat tiga jenis dari pembatasan perdagangan domestik, yaitu:
a. Pembatasan impor terhadap barang atau jasa yang tidak memenuhi
syarat yang sesuai dengan norma lingkungan yang berlaku secara
domestik dalam negara;
b. Pembatasan impor barang atau jasa yang tidak memenuhi syarat
yang telah diatur oleh negara tujuan impor seperti labelling,
packaging, dan recyling.
c. Pembatasan expor bagi sumber daya alam yang harus dilindungi.

35

Dalam Article XI (2) (a) GATT diperbolehkan adanya larangan


melakukan ekspor serta dalam Article XX (g) juga diatur mengenai
pentingnya melakukan konservasi terhadap sumber daya alam pada
suatu negara.
Contoh kasus yang terkenal mengenai recycling dan packaging adalah kasus di
Jerman di mana Jerman merupakan negara pelopor yang melakukan regulasi
mengenai packaging melalui Verpackungverordnung (Packaging Ordinance).36Aturan
ini kemudian diadopsi oleh Uni Eropa pada Desember 1994.

34United StatesImport Prohibition on Certain Shrimp & Shrimp Products, Panel


Report: WT/DS58/R,
35Patricia Birnie, Alan Boyle, Catherine Redgwell, Op.Cit., hal. 779
3620 Agustus 1991 BGBI I S 1234 ditranslate ke bahasa Inggris dalam 21 ILM
(1992), 1135.
10

III.

PEMBATASAN

PERLINDUNGAN

PERDAGANGAN

TERHADAP

UNTUK

LINGKUNGAN

MENINGKATKAN

NEGARA

LAIN

(TRADE

RESTRICTIONS TO IMPROVE THE ENVIRONMENT OF OTHER COUNTRIES)


Permasalahan yang mendasar dalam perlindungan lingkungan adalah berbedanya
standar perlindungan lingkungan maupun kesadaran suatu negara terhadap pentingnya
perlindungan lingkungan. Hal ini menyebabkan pentingnya sebuah negara untuk membantu
meningkatkan standar perlindungan lingkungan hidup negara lain apabila ia memiliki
kapasitas untuk melakukannya. Yang masih menjadi perdebatan adalah cara apa yang secara
prinsip dan efektitivas baik sehingga seharusnya digunakan.37
Contoh Metode yang dapat digunakan:
a. Menilai metode proses produksi negara lain dalam melakukan perdagangan;
b. Melakukan perjanjian internasional mengenai perlindungan lingkungan hidup
dengan negara lain;
c. Melalui sistem managemen lingkungan hidup;
d. Melalui Investment (menggunakan pendekatan ekonomi).

37Patricia Birnie, Alan Boyle, Catherine Redgwell, Op.Cit., hal. 788


11

IV. EKSPOR BAHAN BERBAHAYA DAN LIMBAH


4.1. Barang-barang yang Dilarang di Dalam Negeri
Barang-barang yang dilarang di dalam negeri adalah produk yang penjualan dan
penggunaannya dibatasi di pasar domestik suatu negara dengan alasan bahwa mereka
menghadirkan bahaya bagi manusia, hewan, atau tanaman hidup, kesehatan, atau
lingkungan.38 Barang-barang tersebut termasuk pestisida yang tidak terdaftar, bahan-bahan
farmasi kadaluarsa, alkohol, tembakau, bahan-bahan kimia berbahaya, dan produk makanan
tercemar. Misalnya, di Amerika Serikat, ekspor pestisida yang tidak terdaftar hanya
diperbolehkan di bawah sistem pemberitahuan yang memerlukan persetujuan resmi
sebelumnya.39
Jelas negara dapat menghalangi atau melarang mengimpor produk yang dilarang
untuk dijual atau konsumsi dalam negeri. Namun, bisakah ekspor terhadap produk tersebut
juga dibatasi? Masalah ini ditangani oleh sebuah kelompok kerja GATT pada tahun 1991,40
tapi tidak ada Konsensus dalam laporan tersebut; masalah tersebut dipindahkan ke agenda
Komite Perdagangan dan Lingkungan/ Committee on Trade and Environment (CTE). Hal ini
diikuti pada tahun 1998 oleh negosiasi Konvensi Rotterdam pada Sebelum Prosedur yang
sudah disepakati untuk bahan kimia Berbahaya Tertentu dan Pestisida dalam Perdagangan
Internasional (The Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for
Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade) dalam membangun
rezim kesepakatan yang sudah diberitahu terlebih dahulu/ Prior Informed Consent (PIC)
untuk produk kimia dilarang atau dibatasi dan formulasi pestisida berbahaya yang dapat
menyebabkan kesehatan atau masalah lingkungan.41 Pengiriman produk internasional ini akan
dilarang tanpa pemberitahuan sebelumnya dan persetujuan eksplisit dari otoritas nasional
yang ditunjuk di negara tujuan. Apakah melakukan kontrol ekspor ini dan rezim PIC untuk
produk berbahaya sesuai dengan aturan WTO? Hubungan Konvensi PIC dengan perjanjian
WTO adalah isu kontroversial selama negosiasi, dengan kurangnya konsensus mengenai
38 Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Op.Cit. Hal. 794
39 7 USC &1360 (West Supp, 1994).
40Lihatreport by the chairman of GATT Working Group in Export of Domestically
Prohibited Goods and Other Hazardous Substances, (GATT Doc L/6872, 1991).
41 Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Loc.cit.
12

kata-kata dari ketentuan membuat urutan prioritas antara hal-hal tersebut. Sebagaimana
Kummer mengamati, "kontroversi tentang hal ini terlihat menjadi melekat dalam negosiasi
lingkungan multilateral menangani perpindahan lintas batas dari zat yang berpotensi
berbahaya, karena kesepakatan yang berkaitan erat dengan pertimbangan akan lingkungan
dan perdagangan".
Hal yang patut digarisbawahi adalah bahwa kebijakan perdagangan dan lingkungan
harus saling mendukung dengan tujuan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
Cartagena Protocol tahun 2000 dan Stockholm POP Convention tahun 2001 kedua-duanya
menggunakan prinsip ini.42 Konvensi PIC secara lebih lanjut menekankan bahwa tidak ada
dalam konvensi ini bisa diartikan dalam cara apapun sebagai penyiratan setiap perubahan
dalam hak dan kewajiban Pihak dalam perjanjian internasional yang ada dalam penerapannya
ke bahan-bahan kimia dalam perdagangan internasional atau untuk perlindungan lingkungan,
memahami bahwa pernyataan diatas tidak dimaksudkan untuk membuat hirarki antara
konvensi ini dan perjanjian internasional lainnya.43The Cartagena Protocol (tapi tidak 2001
Stockholm POP Convention) mengulangi ketentuan-ketentuan prinsip ini kata demi kata,
meskipun menggantikan "hierarki" dengan "bawahan". Pendekatan-pendekatan yang ada ini
sebenarnya tidak sangat membantu, paling tidak karena tidak ada bimbingan khusus
diberikan pada bagaimana "perdagangan dan lingkungan" konflik harus diselesaikan dimana
seharusnya hal tersebut muncul. Ketentuan penyelesaian sengketa Konvensi PIC mengadopsi
rumus penyelesaian sengketa yang familiar dan

tidak wajib (non-compulsory) yang

ditemukan di begitu banyak perjanjian lingkungan hidup internasional.44


Apakah hal ini akan diperbolehkan untuk negara untuk melampaui PIC dan
mengadopsi larangan total di ekspor kategori tertentu dari Barang-barang yang Dilarang di
Dalam Negeri? Pembatasan PIC atau larangan total 45 dapat dilakukan dalam batas-batas
hukum yang didirikan saat ini. GATT Pasal XX (b) memungkinkan langkah-langkah
perdagangan (mempengaruhi baik impor atau ekspor) yang diperlukan untuk melindungi
manusia, hewan, tumbuhan atau kesehatan. Selain itu, menurut Tuna-Dolphin II dan Shrimp42Ibid.
43Ibid.
44Ibid.,Hal.795.
45Misalnya, dalam POPS Convention.
13

Turtle Cases, tidak ada dalam Pasal XX yang mencegah negara dari pengenaan ukuran
perdagangan untuk melindungi kesehatan atau keselamatan orang atau lingkungan di luar
yang wilayah negara itu. Di bawah penafsiran ini, maka, rezim ekspor PIC atau ekspor
larangan total akan dibenarkan.46
Namun, klarifikasi lebih lanjur oleh CTE akan menghapus ketidakpastian yang tersisa dengan
menegaskan kembali persyaratan hukum saat ini dan menyatakan secara eksplisit bahwa
mereka berlaku untuk Barang-barang yang Dilarang di Dalam Negeri. CTE juga bisa
mengadopsi persyaratan transparansi yang akan memaksa negara-yang-membatasiperdagangan (trade-restricting states) untuk memberitahu WTO dan mempublikasikan secara
penuh semua hukum, peraturan, dan keputusan yang berkaitan dengan produk yang
bersangkutan. WTO lalu akan memberikan tempat untuk pemberitahuan dan publikasi
pembatasan barang dalam negeri yang dilarang, dan mereka akan sepenuhnya tunduk pada
rezim penyelesaian sengketa WTO.47
4.2. Limbah
Ekspor limbah berbahaya telah mendapat perhatian besar dari masyarakat
internasional. Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah
Berbahaya dan Pembuangan (The Basel Convention on the Control of Transboundary
Movements of Hazardous Wastes and Their Disposal) membutuhkan pemberitahuan terlebih
dahulu dan persetujuan dari negara penerima sebagai prasyarat untuk otorisasi pengiriman
limbah internasional. Selanjutnya, Konvensi menetapkan bahwa pihak harus melarang ekspor
limbah setiap kali ada alasan untuk percaya bahwa itu tidak akan dapat dilakukan dengan cara
yang ramah lingkungan.48
Dua aspek Basel Convention menimbulkan masalah sehubungan dengan aturan WTO.
Pertama, berdasarkan Konferensi yang dilakukan oleh para pihak, hasilnya yaitu mengadopsi
amandemen untuk melarang ekspor limbah berbahaya dari negara-negara industri (OECD,
Uni Eropa, dan Liechtenstein) ke negara berkembang. Larangan itu berlaku baik untuk
limbah berbahaya dimaksudkan untuk pembuangan dan, sejak akhir tahun 1997, untuk
limbah berbahaya dimaksudkan untuk digunakan kembali atau didaur ulang. Kedua, Pasal 4
46 Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, Loc.cit.
47Ibid.
48Ibid.
14

(5) dari konvensi ini melarang ekspor dan impor limbah berbahaya dan limbah lainnya
didasarkan pada pengalaman yang sudah terjadi dan ketakutan masa yang akan datang yang
berkaitan dengan eksploitasi dari negara-negara berkembang. Aspek-aspek ini juga
mencerminkan prinsip-prinsip tertentu yang diadopsi pada Konferensi 1992 PBB tentang
Lingkungan dan Pembangunan, terutama prinsip 14 Deklarasi Rio, yang mengatur bahwa
negara harus saling bekerja sama untuk mencegah pergerakan bahan berbahaya bagi
lingkungan dan manusia, dan prinsip 19, yang mengharuskan sebelum melihat ke negaranegara yang berpotensi terkena dampak sehubungan dengan kegiatan yang berpotensi
membahayakan.49
Larangan ekspor limbah berbahaya dapat dibenarkan dalam GATT Pasal XX (b) atas
dasar yang sama seperti pembatasan ekspor atas barang dalam negeri yang dilarang. Limbah
berbahaya memiliki potensi membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan hidup;
sehingga pasal XX (b) dapat ditafsirkan untuk memungkinkan pelarangan ekspor untuk
melindungi daerah di luar wilayah negara yang membatasi perdagangan. Bahkan larangan
ekspor diskriminatif dapat ditegakkan berdasarkan Pasal XX (b) jika diskriminasi tidak
"sewenang-wenang ... antara negara-negara di mana dalam kondisi yang sama". Larangan
yang membedakan antara OECD dan negara-negara berkembang, bisa dibilang setidaknya,
bisa melewati tes ini karena kondisi yang sangat berbeda di negara-negara berkembang.
Dengan demikian, muncul rezim limbah berbahaya internasional tampaknya dipertemukan di
bawah sistem WTO / GATT.50

49Ibid.,hal. 796.
50Ibid.
15

VII. Perjanjian TRIPS dan Konvensi Keanekaragaman Hayati


Perjanjian WTO tentang Aspek-aspek Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual/ The
WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)51
menjamin pengakuan dan penegakan hak kekayaan intelektual yang didukung oleh otoritas
mekanisme sengketa penyelesaian masalah dari WTO. Seperti ditunjukkan di atas, hubungan
antara TRIPS dan lingkungan adalah salah satu dari tiga bidang fokus untuk CTE yang
diidentifikasi pada Deklarasi Doha tahun 2001, dengan dua fitur kemudian mendominasi
diskusi CTE: (i) transfer teknologi ramah lingkungan, dan (ii) hubungan umum antara TRIPS
dan konvensi Keanekaragaman Hayati.52 Sementara itu, Konvensi Keanekaragaman Hayati
menyediakan bahwa sumber daya genetik tanaman dan hewan berada di bawah kedaulatan
negara di mana mereka berada, dan negara-negara berkembang memiliki hak untuk
mendapatkan keuntungan dari pengembangan sumber daya ini juga dari transfer teknologi
yang relevan untuk pengembangan dan pemanfaatan sumber daya genetik. 53 Kedua perjanjian
mengandung benih-benih-benih potensial untuk berkonflik dengan implikasi luas tidak hanya
untuk lingkungan, tetapi juga untuk bioteknologi, farmasi, dan industri pertanian.
Mengingat dua rezim tersebut terpisah, sengketa yang timbul di bawah kedua
Konvensi Keanekaragaman Hayati / Cartagena Protocol dan TRIPS mungkin akan ditangani
oleh rezim penyelesaian sengketa WTO. Hal ini karena proses WTO adalah wajib jika salah
satu pihak membawa keluhan; pihak lain akan ikut hanya jika kedua pihak yang terlibat
setuju untuk mengorbankan resor ke WTO. Dalam beberapa kasus perselisihan mungkin
timbul antara negara-negara yang telah menerima arbitrase yang mengikat atau ajudikasi oleh
Mahkamah Internasional serta rezim WTO. Dalam kasus seperti konflik yang benar mungkin
timbul sebagai mana tubuh penyelesaian sengketa memiliki yurisdiksi primernya masingmasing.54
7.1 Kasus Terkait
Tuna Dolphin Case United States v. Mexico55
51 The Text of TRIPS is reprinted in WTO, The Legal Texts, supra, n 1.
52 Article 94 TRIPS
53Patricia Bernie, Alan Boyle, dan Catherine Ridgewell, op.cit.,hal. 802.
54Ibid.,Hal. 803.
16

Kasus tuna sirip kuning merupakan kasus embargo yang dikenakan Amerika
Serikat atas produk tuna sirip-kuning milik Meksiko yang diimpor ke Amerika
Serikat, pada Februari 1991. Meksiko membawa kasus tersebut ke hadapan GATT.
Meksiko meminta kepada GATT untuk membentuk sebuah panel guna memeriksa
legalitas dari ketentuan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Laut atau Marine
Mammal Protection Act (MMPA) milik Amerika Serikat.
Kasus ini bergulir atas terjadinya peningkatan kasus kematian lumba-lumba
oleh para nelayan yang menangkap ikan tuna di wilayah pasifik timur. Untuk
mendapatkan hasil tangkapan ikan tuna yang biasanya selalu berenang secara
berkelompok di bawah lumba-lumba, nalayan ini akhirnya menangkap ikan tuna
dengan ikut membawa serta lumba-lumba tersebut dan kebanyakan lumba-lumba
yang ikut tertangkap ini akan mati ataupun terluka dalam proses penangkapannya.
Melihat kekhawatiran publik dari meningkatnya kematian terhadap lumbalumba yang hampir mendekati nol ini, pihak Kongres Amerika Serikat meloloskan
Undang-Undang Perlindungan Mamalia Laut atau Marine Mammal Protection Act
(MMPA), yang mensyaratkan nelayan penangkap tuna untuk menyesuaikan teknik
penangkapan mereka dengan standar yang telah ditetapkan dalam MMPA. Lebih jauh
lagi, undang-undang ini membentuk sebuah sistem perizinan yang merancang batasan
maksimal jumlah lumba-lumba yang terbunuh dan membatasi rasio penangkapan
untuk spesies yang dianggap terancam punah. Jika negara-negara tidak mematuhi
aturan tersebut, maka Amerika Serika berhak mengembargo negara pelanggar aturan
tersebut.
Salah sau negara yang terkena embargo langsung dari Amerika Serikat terkait
kasus ini adalah Meksiko yang pada akhirnya membawa kasus ini ke ranah GATT
dengan meminta dibentuknya sebuah panel. Kasus Tuna Dolphin ini sebenarnya
adalah kasus pertama yang ditangani oleh Panel GATT di mana terjadi perbenturan
antara kepentingan perdagangan bebas dan kepentingan untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup dan sumber daya alam yang terdapat di dalamnya.
Ketentuan dalam Perjanjian-perjanjian WTO Mengenai Lingkungan
55https://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/cases_e/ds381_e.htm,
diaksespadatanggal 18 Mei 2016, pukul 20:00.
17

Pasal XX GATT: Pengecualian terhadap Lingkungan


Proses Penyelesaian
Amerika Serikat berpendapat bahwa aturan MMPA sesuai dengan Article III
GATT yang megatakan bahwa MMPA merupakan aturan yang non-diskriminatif
karena persyaratan yang terkait dengan produksi tuna yang diimpor adalah setara
dengan tuna yang ditangkap oleh armada laut Amerika Serikat. Argumen ini
kemudian ditolak oleh Panel. Panel menyimpulkan bahwa Article III hanya mencakup
undang-undang yang mempengaruhi sebuah barang impor dalam bentuk produk dan
beranggapan bahwa embargo MMPA tidak tercakup dalam ketentuan Article III
karena pelarangan impor yang dikenakan Amerika Serikat atas tuna milik Meksiko
tidak ada hubungannya dengan karakteristik produk tuna itu sendiri.Panel menyatakan
bahwa MMPA hanya mengatur penangkapan domestik tuna untuk mengurangi jumlah
angka terbunuhnya lumba-lumba dan karena itu tidak bisa dianggap sebagai aturan
yang diberlakukan terhadap tuna dalam bentuk produk mengingat aturan tersebut
tidak secara langsung mengatur penjualan tuna.
Panel juga menyimpulkan bahwa Amerika Serikat melanggar ketentuan
Article XI GATT yang melarang penerapan kuota, embargo dan pembatasan
kuantitatif lainnya atas ekspor dan impor dan memperbolehkan negara anggota GATT
untuk mengatur ekspor dan impornya melalui tarif. Embargo yang dilakukan oleh
Amerika secara terang-terangan melanggar pelarangan umum akan pembatasan impor
yang bersifat kuantitatif.
Tindakan embargo yang dilakukan Amerika Serikat juga tidak dibenarkan
dalam General Exeptions Article XX GATT poin (b) dan (g), Panel mengatakan
bahwa embargo yang dikenakan Amerika tidak bersifat penting berdasarkan tujuan
Article XX (b) yang bertujuan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia,
hewan atau tumbuhan, apabila terdapat usaha perlindungan domestik yang serupa
dalam kondisi yang sama di negara pengimpor karena setiap undang-undang
perdagangan harus bersifat penting dan tidak dirancang sebagai usaha untuk
menyamarkan upaya pembatasan perdagangan.
Laporan Akhir Panel
18

Oleh karena itulah Hasil Panel GATT memenangkan Meksiko dan


memutuskan bahwa embargo yang dilakukan oleh Amerika Serikat adalah tidak
sah/illegal dan tidak sesuai dengan aturan-aturan dalam GATT.
Sebagai tindak lanjut dari Laporan Akhir Panel ini Pihak Amerika Serikat
bersedia mencabut embargo terhadap Meksiko setelah negara tersebut meratifikasi
International Dolphin Conservation Program (IDCP) dan bersedia memenuhi
kewajibannya berdasarkan perjanjian tersebut.

19

DAFTAR PUSTAKA
1991. Report by the Chairman of GATT Working Group in Export of
Domestically Prohibited Goods and Other Hazardous Substances. GATT Doc L/6872.
7 USC& 1360. (1994). West Supp.
Adolf,Huala.

2005.HukumPerdaganganInternasional.

Jakarta:

PT

RajagrafindoPersada.
Arifin, Sjamsul, Rae, Ediana, dan P. R. Joseph. 2007. KerjaSamaPerdagangan
Internasional. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Barutu, Christhoporus. 2007.Dumping dalam Perdagangan Internasional dan
Mekanisme

Penyelesaian

Sengketa

Dumping

Melalui

World

Trade

Organization.Indonesian Journal of International Law Vol 4 Nomor 2 (Depok: LPHI).


Bernie, Patricia, Boyle, Alan danRidgewell, Catherine. 2009. International
Law and The Environment. Oxford: University Press.
Blackhurst, Richard. 1997. The WTO and the Global Economy.World
Economydiakses

pada 18 Mei 2016, doi: 10.1111/1467-9701.00087.

Brookings Media Press. 2009. The WTO and GATT: A Principled History,
New York:

Brookings Media Press.

C.Etsy, Daniel. 2001. Brigding the Trade-Environment Divide. Journal of


Economic

Perspectives Vol 15.

Canada Import, Distribution, and the Sale of Alcoholic Drinks by Canadian


Provincial Marketing Agencies, 22 Maret 1988, GATT BISD (35th Supp) 37 (1989)
(hereafter Canada Beet I) ; Canada Import, Distributin, and Sle of Alcoholic
Drinks by Canadian Provincial Marketing Agencies, 18 Februari 1992, GATT BISD
(39th Supp) 27 (1993) (hereafter Canada Beer II)
Cartagena Protocol 2000

20

Cordero, Paula., Sepulveda, Sergio., dan Rodriguez, Adrian. (2004). Trade


and Environment Issues. San Jose:Inter-American Institute for Cooperation on
Agriculture.
Demaret, P. Dan Stewardson, R. 1994. Border Tax Adjustment under GATT
and EC Law and General implications for Environmental Taxes. 28 J World Trade.
Fauchald. 1998. Environmentak Taxes and Trade Discrimination. The Hague
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)
Grimwade, Nigel. 2003.
Production and

International Trade: New Patterns of Trade,

Investment. London: Routledge Publishing

H. Jackson, John. 1992. World Trade Roles and Environmental Policies:


Congruence or

Conflict?. 49 Wash & Lee L. Rev 1227.

http://www.brettonwoodsproject.org/2005/08/art-320747/, diakses pada 14


Mei 2016, pada

pukul 21:45.

HufbauerdanErb. 1984. Subsidies in International Trade. Washington DC.


J.Beyers, Carol. 1992. The U.S./Mexico Tuna Embargo Dispute: A Case Study
of the GATT

and Environmental Progress. Marylan Journal of International Law Vol

16 Issue 2.
Macmillan, Fiona. 2001. WTO and the Environment. London: Sweet and
Maxwell.
Panel Report Mexico/US Dispute, supra note 32
Starr, J dan Hardy, K. 1993. Not by Seeds Alone: The Biodiversity Treaty and
the Role for Native Agriculture. 12 Stand ELJ.
Steinberg. 1997. Trade-Environment Negotiations in the EU, NAFTA, and
WTO: Regional

Trajectories of Rule Development. 91, American Journal of

International Law.

21

Stockholm POP Convention 2001


The Basel Convention on the Control of Transboundary Movements of
Hazardous Wastes and Their Disposal
The Convention on Biological Diversity
The Rotterdam Convention on the Prior Informed Consent Procedure for
Certain Hazardous Chemicals and Pesticides in International Trade
The WTO Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights
(TRIPs)
WTO. 2008. Understanding the WTO. Geneva: Geneva Switzerland
Information and Media

Relations Division.

22

Anda mungkin juga menyukai